Anda di halaman 1dari 6

RIZKO PAMBUDI

2C PERBANKAN SYARIAH
11220850000150

RESUME MATERI TENTANG KEPEMIMPINAN


Pengertian Kepemimpinan Secara umum, kepemimpinan adalah sebuah kemampuan
dalam diri seseorang untuk mempengaruhi orang lain atau mengarahkan pihak tertentu untuk
mencapai tujuan. Teori kepemimpinan juga bisa didefinisikan sebagai kemampuan seseorang
dalam mengelola dan mengarahkan sebuah kelompok dengan efektif dan efisien agar mencapai
tujuan. Sedangkan, Warren Bennis dan Burt Nanus, penulis bukuLeaders: The Strategies for
Taking Charge berpendapat teori kepemimpinan adalah kekuatan yang sangat berpengaruh di
balik kesuksesan suatu organisasi atau perusahaan.
Teori Kepemimpinan Menurut Para Ahli Para ahli yang mengemukakan gagasan-
gagasannya merupakan bentuk dari teori kepemimpinan. Para ahli pun memiliki pendapat
masing-masing mengenai teori kepemimpinan, berikut ini:
1. Moejiono (2002) Moejiono mengatakan kepemimpinan merupakan pengaruh satu
arah, karena pemimpin mungkin memiliki kualitas-kualitas tertentu yang
membedakan dirinya denganpengikutnya. Para ahli teori sukarela (compliance
induction theorist) cenderung memandang kepemimpinan sebagai pemaksaan atau
pendesakan pengaruh secara tidak langsung dan sarana membentuk suatu
kelompok yang sesuai dengan keinginan pemimpinnya.
2. Wahjosumidjo (1987:11) Menurut Wahjosumidjo, teori kepemimpinan adalah
suatu yang melekat pada diri seorang pemimpin yang berupa sifat-sifat tertentu,
seperti: kepribadian (personality), kemampuan (ability) dan kesanggupan
(capability). Kepemimpinan juga rangkaian kegiatan pemimpin yang tidak bisa
dipisahkan dengan kedudukan dan gaya atau perilaku pemimpin itu sendiri.
Kepemimpinan adalah proses antar hubungan atau interaksi pemimpin, pengikut
dan situasi.
3. Fiedler (1967) Fiedler mengatakan teori kepemimpinan merupakan pola
hubungan antara individu yang menggunakan wewenang dan pengaruhnya
terhadap kelompok agar bekerjasama untuk mencapai tujuan.
4. Sondang P. Siagian Menurut Sondang P. Siagian, teori kepemimpinan bisa
diartikan sebagai kemampuan seseorang saat menjabat sebagai pimpinan
organisasi tertentu dalam mempengaruhi orang lain, khususnya bawahannya. Hal
itu dilakukan agar mereka mampu bertindak dan berpikir sesuai dengan arahan,
sehingga tujuan pun bisa tercapai dengan mudah.

STUDI KASUS

Uin Jakarta. Seorang mahasiswa baru menghampiri saya di selasar lobby FEB. Wajahnya
cemas. ia baru saja merasa keasingan di jurusannya sendiri karena dinamika politik yang
diterapkan tak adil, kendati satu almameter dan jurusan yang sama. Ia tidak protes kepada
kepengurusan jurusan, juga ia tidak menyalahkan "faktor politik". Tapi ia sangat bingung karena
melihat sifat hipoktrit (kemunafikan) pada slogan ataupun visi misi yang di
agitasikan(sampaikan) saat menjelang pemilihan ketua.

Pesan yang klise memang, karena saya membayangkan lebih jauh kegelisahan maba itu.
Apa yang harus ia katakan nanti kepada teman temannya yang mungkin akan bertanya
bagaimana dialektika dan dinamika proses di himpunan jurusan? saya membayangkan diskusi ia
kepada teman temannya disaat ditanya hal seperti itu. Apakah ia akan berubah fikiran untuk
menyalahkan faktor politik yang ada di jurusannya, atau memutuskan memviralkan kisah ia agar
menjadi protes publik terhadap ketidakmampuan pemimpin dalam menjamin sustainabilitas
proses pada mahasiswa? Bukankah janji kampanye merupakan hal yang fundamen untuk
merencanakan ruang berproses bagi mahasiswa tanpa memandang golongan?

Cerita kecil tadi adalah sinopsis dari semua kisah ketidakadilan yang diulang dalam alur
diskusi ini. Ketimpangan demokrasi yang gagal, mahasiswa dari golong-golongan dan seterusnya
yang terjadi pada hari ini. Dengan kata lain, Orgamisasi internal juga mengandung potensi
gejolak sosial yang sama.

Potensi social unrest tersedia hari ini, narasi represif justru menjadi umpan pengerasan
politik identitas. Terlihat bahwa internal ini tidak siap menyaksikan ketidak pastian pemimpin,
dan bahwa mahasiswa dari berbagai komunal sedang tumbuh dalam sisi buruk dari pemimpin
agony: persaingan "kita" lawan "mereka" tidak ditampung dalam kultur demokrasi. Pemimpin
mengalami pendangkalan makna karena sekedar diselenggarakan dalam konteks persaingan
kuantitatif; yang berkuasa harus menguasai, kendati tanpa argumen. Para demogog mengumbar
slogan slogan kosong, himpunan jurusan medioker memaksa diri berteori. Kekonyolan dan
kedunguan, silih berganti di panggung panggung talk show.
Problem kita bukan pada soal ruang proses didalam organisasi internal, melainkan
pertanggung jawaban dari apa yang sudah ada pada slogan dan visi misinya. Apakah persyaratan
normatif itu akan menyelesaikan kesenjangan pendapat? Indoktrinasi itu justru sekedar sebagai
sublimasi dari realitas sosial yang gagal dipahami kepengurusan itu. Dari sudut analisa
"diskursus ideologi", sosialisasi yang gencar diwacanakan itu tak lebih dari proyek "kesadaran
palsu" (false consciuness), yaitu psikologi manipulasi untuk menghibur mahasiswa dengan dalih
kebersamaan. Apalagi kalau kita mengkaitkan ideologi pancasila didalam sila ke 2, keadilan
tanpa memandang komunal manapun. Siapa yang akan diyakinkan untuk percaya pada "Jurusan
Maju" bila sila "keadilan sosial" tidak "bagi seluruh rakyat indonesia" alias masih memandang
komunal dan jalan dengan yang sekomunalnya.

Dalam semua cerita historical sosial yang digaungkan dilatar forum, keluhan publik
adalah nyata. Apakah kelas menengah kita tidak berciri urban-metropolis sehingga ketidakadilan
itu tidak dapat diartikualasikan secara politik? apalagi dalam naungan keluarga. Apakah
extended family telah menunda protes sosial dari masing masing komunal terhadap kebijakan
kepemimpinan yang memburukan nilai nilai keadilan? Sering kali, hukum sosiologi dilampaui
oleh keramahan antropologi: bahwa kita hidup dalam psikologi nrimo. Tetapi sejarah politik
menunjukan bahwa psikologi "ngamuk" adalah juga ciri antropologis dari dialektika mahasiswa
ini. Lalu, masih adakah keadilan dalam ruang berproses untuk mahasiswa tanpa membedakan
komunal tertentu?

Mengapa takut pada perbedaan? demokrasi, pada asasnya adalah kemerdekaan untuk
berbeda ide. Perselisihan pikiran menghidupkan perbedaan itu. Pertandingan argumen
memungkinkan kita menemukan motif buruk dibalik slogan slogan politik. Kritisisme
memungkinkan kita menemukan logika manipulatif dalam pidato penguasa. Demokrasi memang
tidak dibuat untuk memaksakan persatuan, tetapi untuk mengelola perbedaan.

Jadi, kebebasan berpendapat dengan sendirinya menimbulkan perbedaan pendapat.


Karena itu, baik pendapat yang memuji, maupun pendapat yang mengkritik, statusnya sama
dalam demokrasi. Jadi, soal utamanya bukan pada cara menyampaikan pendapat (sopan atau
tidak) atau tujuannya (konstruktif atau destruktif), melainkan pada kemampuan
mengargumentasikan pendapat itu. Bila pujian anda tidak argumentatif, kesantunanmu tidak
akan menyembunyikan kedunguanmu. Pun bila kritik anda tak argumentatif, suara bisingmu tak
akan membuatmu cerdas.

Dalam konteks kepemimpinan hari ini, kita tidak menilai apa yang sudah dilakukan
pemimpin untuk menghasilkan demokrasi. Pemimpin hari ini justru dihasilkan oleh demokrasi
yang telah diperjuangkan oleh rakyat sebelumnya. Jadi, pertanyaannya bukan apa yang telah
dibuat pemimpin dalam menjaga demokrasi, melainkan mengapa demokrasi memburuk saat ini.
Narasi ini adalah anamnesis dari kegagalan kepemimpinan karena
tidak mempunyai karakteristrik kepemimpinanannya. Apalagi, hal
fundamen yang harus kita ketauhi dalam sifat sifat kepemimpinan itu
harus mempunyai karakter yang bersifat kebijaksanaan, keadilan,
dapat dipercaya dan tidak mementingkan sekomunalnya atau dirinya
sendiri.
https://news.republika.co.id/berita/ro14g7282/refleksi-akhir-tahun-
kepemimpinan-jokowi-periode-kedua

Presiden Jokowi telah memimpin Indonesia pada periode kedua selama 3 tahun 2 bulan,
sejumlah pencapaian besar telah ditorehkan Jokowi, di antaranya adalah mengendalikan pandemi
Covid-19, menjaga pertumbuhan ekonomi, melakukan pemerataan pembangunan di seluruh
wilayah Indonesia, menunjukkan eksistensi Indonesia di dunia internasional dan memulai
pembangunan ibu kota negara yang baru.

Pada awal Jokowi menjabat di periode kedua ini, di 2020 Jokowi dihadapi persoalan besar,
yakni pandemi Covid-19 yang memporak-porandakan sistem dunia, baik sisi sosial, kesehatan dan
juga ekonomi, ditambah lagi dengan dampak dari perang dagang global. Namun, Jokowi mampu
menunjukkan kelasnya sebagai seorang pemimpin yang siap menjawab tantangan zaman, ia
langsung mengambil langkah-langkah strategis dalam penanganan Covid-19 di Indonesia.
Persoalan pandemi ini tentu tidak mudah, ada dua hal yang harus diselamatkan, nyawa
masyarakat dan juga ekonomi masyarakat. Kebijakan yang tidak tepat bisa berakibat fatal, dan bisa
mengorbankan salah satunya atau mengorbankan keduanya.

Kematangan Jokowi sebagai seorang pemimpin terlihat pada momen ini, ia mampu
mengambil keputusan yang cukup baik, menyelamatkan Indonesia dari penyebaran virus Covid-19,
membuat sistem yang baik untuk menangani pasien Covid-19, dan tetap menjaga perekonomian
masyarakat agar tetap stabil.

Keberhasilan Indonesia menurunkan angka positif Covid-19 menjadi bukti kerja keras
Jokowi dalam melindungi masyarakat. Ia juga berhasil mengakselerasi percepatan vaksinasi
sehingga menciptakan kekebalan komunal, bahkan cakupan vaksinasi Indonesia masuk peringkat
lima besar dunia.

Anda mungkin juga menyukai