Anda di halaman 1dari 26

MANAJEMEN LINTAS BUDAYA

“Ringkasan Materi untuk memenuhi Mata Kuliah Manajemen Linta Budaya”

DOSEN PENGAMPU:

Dr.Putu Saroyini Piartini., SE., MM., Ak

OLEH :

ANAK AGUNG MADE EMMA APRILLYANI (1707521027)

NI WAYAN RIANITA ANDANI (1707521080)

I GUSTI AGUNG GDE AGUNG PRAYOGA (17075210128)

MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS UDAYANA

2019
PEMBAHASAN

2.1 PERAN MANAJER SEBAGAI LEADER


Pemimpin adalah seseorang yang dapat mempengaruhi orang lain dan memiliki
otoritas manajerial. Berikut merupakan beberapa tugas pokok pemimpin :
a. Menyatukan orang-orang yang memiliki motivasi berbeda dengan cara memberikan
motivasi yang sama;
b. Mengusahakan suatu kelompok dinamis yang sadar;
c. Memberikan inspirasi dan mendorong anggota-anggotanya agar bekerja secara efektif
dan efisien;
d. Menciptakan suatu lingkungan dimana terdapat integrase antara individu kelompok
dengan organisasinya;
e. Menumbuhkan kesadaran lingkungan yang senantiasa mengalami perubahan
(dinamis) dan mengusahakan agar orang-orang yang dipimpinnya dapat
menyesuaikan diri dengan perubahan situasi yang terjadi.
f. Membangun dan menjaga komunikasi dengan kontak internal perusahaan maupun
kontak eksternal perusahaan.
g. Ketika terdapat suatu permasalahan atau hambatan, manajer harus bertanggung jawab
untuk menyelesaikannya. Jika terjadi konflik antara angota timnya, manajer harus
menjadi penengah dan mencarikan alternatif strategis untuk menyelesaikan konflik.

2.2 KEPEMIMPINAN (LEADERSHIP )


a. Pengertian Kepemimpinan / Leadership
Pengertian Kepemimpinan adalah sebuah kemampuan atau kekuatan dalam diri
seseorang untuk mempengaruhi orang lain dalam hal bekerja, dimana tujuannya adalah
untuk mencapai target (goal) organisasi yang telah ditentukan.Beberapa ahli, baik ahli
dari Indonesia maupun dari luar negeri, pernah menjelaskan mengenai definisi
kepemimpinan, diantaranya adalah :
 Wahjosumidjo (1987:11)
Menurut Wahjosumidjo pengertian kepemimpinan adalah kemampuan yang ada
pada diri seorang leader yang berupa sifat-sifat tertentu, seperti :

 Kepribadian (personality)
 Kemampuan (ability)
 Kesanggupan (capability)
Kepemimpinan merupakan rangkaian aktivitas pemimpin yang tidak dapat
dipisahkan dengan kedudukan, gaya dan perilaku pemimpin tersebut, serta
interaksi antara pemimpin, pengikut dan situasi.
 Sutarto (1998b:25)
Menurut Sutarto arti kepemimpinan adalah rangkaian aktivitas penataan berupa
kemampuan seseorang dalam mempengaruhi perilaku orang lain dalam situasi
tertentu agar bersedia bekerja sama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
 S. P. Siagian
Menurut S. P. Siagian pengertian kepemimpinan adalah kemampuan dan
keterampilan seseorang ketika menjabat sebagai pimpinan dalam suatu organisasi
untuk mempengaruhi perilaku orang lain, khususnya bawahannya agar berpikir
dan bertindak sedemikian rupa sehingga dapat memberikan sumbangan nyata
dalam pencapaian tujuan organisasi.
 Moejiono (2002)
Menurut moejiono pengertian kepemimpinan adalah kemampuan dalam
memberikan pengaruh satu arah, karena pemimpin mungkin memiliki beberapa
kualitas tertentu yang membuatnya berbeda dengan pengikutnya.
 Wexley dan Yuki (1977)
Menurut Wexley dan Yuki pengertian kepemimpinan adalah kegiatan
mempengaruhi orang lain untuk lebih berupaya dalam mengarahkan tenaga dalam
tugasnya, atau mengubah perilaku mereka.
b. Teori Sifat
Teori ini melihat sifat-sifat apa saja yang melekat dan seharusnya melekat
pada seorang pemimpin, seperti :
- Intelegensia, yaitu mampu menyesuaikan diri, mampu memutuskan, memiliki
pengetahuan, dan kelancaran berbicara.
- Kepribadiannya, yaitu individualisme, kreaktif (independent dalam melakukan
respons, penyesuaian diri, kesigapan, integritas pribadi, percaya diri, dan
keseimbangan emosional kemandirian kontrol (non-conformity).
- Karakteristik fisik, antara lain kelebihan secara fisik diasosiasikan memiliki
kemungkinan kemampuan kepemimpinan lebih.
- Kemampuan, antara lain kemampuan mendapatkan kerja sama, popular dan
berpengaruh, sosiabilitas, partisipasi sosial, taktis, dan diplomatis (Bass, 1982
dalam Matteson dkk, 2002).
Teori ini banyak dikritik karena daftar sifat sangat banyak, skor test yang
dilakukan mengandung subjektifvitas, pola perilaku efektif kepemimpinan
tergantung situasi yang dihadapinya (Gibsondkk, 1997).
c. Teori Perilaku
Teori ini menjelaskan bahwa keberhasilan seorang pemimpin sangat
bergantung pada perilakunya dalam melaksanakan fungsi-fungsi kepemimpinan.
Gaya atau perilaku kepemimpinan tampak dari cara pengambilan keputusan, cara
memerintah, cara memberikan tugas, cara berkomunikasi, cara mendorong
semangat bawahan, cara membimbing dan mengarahkan, cara menegakkan
kedisiplinan, cara memimpin rapat, cara menegur dan memberikan sanksi.
Terdapat beberapa teori perilaku, diantaranya adalah Teori X dan Y, studi
kepemimpinan Universitas IOWA, studi kepemimpinan Universitas OHIO, studi
kepemimpinan Universitas Michigan, managerial grid, dan empat sistem
manajemen likert.
1) Teori X dan Y.
Teori ini diperkenalkan oleh Mc Gregor di dalam buku The Human
Side of Enterprise (1983,p. 215) . Teori X berasumsi bahwa pada
hakikatnya manusia itu memiliki perilaku pemalas, penakut, dan tidak
bertanggung jawab. Sebaliknya teori Y berasumsi : manusia itu
memiliki perilaku bertanggung jawab, motivasi kerja, kreativitas dan
inisiatif serta mampu mengawasi pekerjaan dan hidupnya sendiri.
Teori X memeiliki perilaku kepemimpinan otoriter dan Teori Y
memiliki perilaku kepemimpinan demokratis.
2) Studi Kepemimpinan OHIO
Studi yang dilakukan di universitas IOWA. Menurut Lippit dan
White dalam sutarto (1991) menyatakan bahwa gaya kepemimpinan
dibedakan menjadi tiga yaitu :
 Authoritarian atau dictactorial, yaitu erilaku pemimpin dalam
mempengaruhi karyawan menuntut agar bekerja / bekerja sama
dengan semua cara yang diputuskan oleh seorang pemimpin.
 Democratic, yaitu gaya kepemimpinan dalam mempengaruhi
orang lain agar bersedia bekerja sama dalam melaksanakan
pekerjaan termasuk juga antara pimpinan dan anggota
organisasi.
 Laisser faire atau free rein, yaitu kemampuan mempengaruhi
orang lain dengan menyerahkan semua wewenang kepada
bawahan atau karyawan.
Studi Kepemimpinan yang dilakuakan Universitas OHIO (Stephen
P Robbins ) menyimpulkan ada dua dimensi perilaku kepemimpinan
yang efektif yakni :
 Dimensi struktur tugas / prakarsa struktur (initiating struktur).
Mengutamakan tercapainya tujuan, produktifitas yang tinggi,
dan penyelesaian tugas yang sesuai jadwal yang telah
ditetapkan.
 Dimensi pertimbangan/tenggang rasa (consideration) Perilaku
kepemimpinan consideration memiliki ciri-ciri seperti,
memperhatikan kebutuhan bawahan, menciptakan suasana
saling percaya, dan harga menghargai, simpati pada ide dan
perasaan bawahan.
 Kedua perilaku initiating structure dan consideration
merupakan prilaku kepemimpinan yang tidak saling
mempengaruhi atau tidak saling ketergantungan, tetapi masing-
masing berdiri sendiri
3) Studi Kepemimpinan Universitas Michigan
Menurut Stephen P Robbins (1996), Universitas michigan dalam
penelitian perilaku menemukan 2 jenis perilaku yang terdiri dari
orientasi kepada bawahan (employee oriented) dan orientasi
produktivitas production oriented. Dengan demikian jelas bahwa
penelilitian dari tiga universitas yang berbeda menghasilkan perilaku
kepemimpinan yang sama.
4) Managerial Grid
Menurut Blake dan Mounton di dalam fred luthans (1995, p. 373)
mengetengahkan suatu usaha untuk mengidentifikasi gaya atau
perilaku kepemimpinan yang efektif di dalam manajemen.Pendekatan
ini berdasarkan pada perilaku kepemimpinan yang memiliki dua
dimensi yaitu dimensi mengutamakan produksi (concern for
production) ditempatkan pada sumbu horizontal, dan dimensi
mengutamakan karyawan (concern for people) ditempatkan pada
sumbu vertical. Tinggi rendahnya perilaku tersebut dinyatakan dengan
angka satu (1) sampai sembilan (9).
5) Empat Sistem Manajemen Likert
Menurut Rensis Likert di dalam Fred Luthans (1995, p. 377)
menyusun teorinya bertolak dari dua jenis perilaku kepemimpinan
sebagaiman telah diuraikan terdahulu, yakni perilaku kepemimpinan
yang berorientasi pada anggota organisasi. Likert membagi perilaku
dan gaya kepemimpinan menjadi empat sistem yaitu
 Sistem I : exploitative autocratic, yaitu perilaku atau gaya
kepemimpinan ditunjukan oleh pemimpin sebagai pihak yang
berhak menyelesaikan masalah-masalah organisasi sebagai satu
satunya pengambil keputusan dan memberikan perintah dan
pimpinan tidak menaruh kepercayaan dan karenanya tidak
melimpahkan sedikitpun wewenang pada bawahan
 Sistem II :benovelent autaocratic, yaitu perilaku atau gaya
kepemimpinan ini ditunjukan dengan sudah memberikan
kesempatan kepada bawahan/anggota organisasi untuk
menyampaikan komentar terhadap keputusan dan perintah
pimpinan sebagai atasan. Pendapat kadang kadang diterima
dan lebih banyak ditolak.
 Sistem III :participative, yaitu perilaku atau gaya
kepemimpinan ini ditunjukan dengan memberikan kesempatan
pada anggota organisasi/bawahan ikut serta dalam menerapkan
tujuan, membuat keputusan dan mendiskusikan perintah –
perintah.
 Sistem IV :democratic, yaitu perilaku atau gaya kepemimpinan
ini ditunjukan dengan pemecahan masalah pekerjaan dan
organisasi secara bersama sama antara pimpinan sebagai atasan
dengan anggota organisasi sebagai bawahan. Sebelum
membuat keputusan pimpinan selalu mempertimbangkan
pendapat bawahan.
d. Teori Kontigensi
Teori kontingensi adalah teori kesesuaian pimpinan ( Fiedler& Chemers,
1974), yang berarti berusaha menyesuaikan pemimpin dengan situasi yang tepat.
Hal ini disebut sebagai kontingensi, karena teori ini menyatakan bahwa
keefektifan pemimpin tergantung pada seberapa sesuai gaya pemimpin dengan
situasi sekitar. Untuk memahami kinerja pemimpin, penting untuk memahami
situasi dimana mereka memimpin. Kepemimpinan yang efektif itu tergantung
pada kesesuain gaya pemimpin dengan latar yang tepat. Fiedler mengembangkan
teori kontingensi dengan mempelajari gaya dari banyak pemimpin yang berbeda
yang bekerja di konteks yang berbeda, terutama di organisasi militer. Dia menilai
gaya pemimpin, situasi dimana mereka bekerja, dan apakah mereka efektif atau
tidak. Setelah menganalisis gaya ratusan pemimpin yang baik dan buruk, Fiedler
dan koleganya mampu membuat generalisasi yang secara empiris benar tentang
manakah gaya kepemimpinan yang terbaik dan yang terburuk, berdasarkan
konteks organisasi yang ada. Intinya, teori kontingensi terkait dengan gaya dan
situasi. Hal itu memberi kerangka kerja untuk menyesuaikan pemimpin dengan
situasi secara efektif.
Model kepemimpinan Kontingensi Fiedler, mengemukakan tiga variable
utama yang menentukan suatu situasi yang menguntungkan dan tidak
menguntungkan bagi pemimpin :
1. Hubungan pemimpin –anggota (baik atau buruk). Dikatakan baik
apabila pemimpin memiliki dukungan dan kesetiaan bawahan dan
hubungan dengan para bawahan bersahabat dan kooperatif.
2. Struktur tugas (terstruktur atau tak terstruktur). Dikatakan terstruktur
apabila terdapat standar prosedur operasi untuk menyelesaikan tugas,
gambaran rinci dari produk atau jasa yang telah jadi, dan indikator
obyektif mengenai seberapa baik tugas itu dilaksanakan.
3. Kekuasaan posisi (kuat atau lemah). Dikatakan kuat apabila pemimpin
memiliki kewenangan untuk mengevaluasi kinerja bawahan dan
memberikan penghargaan dan hukuman.
Ketiga variable situasi ini dikaitkan dengan teori yang berorientasi pada
tugas, hal ini tergantung pada situasi yang ada pada saat tertentu. Kombinasi
antara situasi yang dihadapi oleh pemimpin dengan perilaku kepemimpinan yang
tepat akan menentukan efektifitas kepemimpinan. Yang dimakud perilaku yang
tepat adalah dalam situasi apa perilaku pemimpin berorientasi pada tugas dan
dalam situasi apa perilaku pemimpin berorientasi pada hubungan.
Perilaku pemimpin yang berorientasi pada hubungan akan efektif dalam
situasi yang moderat misalnya pemimpin yang menghadapi situasi ketika derajat
variabel situasi hubungan pemimpin dan bawahan rendah, tetapi kedua variabel
yang lain derajatnya tinggi. Atau dalam situasi lain yaitu variable posisi
kewenangan pemimpin derajatnya rendah tetapi variabel yang lain derajatnya
tinggi.
Dapat disimpulkan dari model kepemimpinan kontingensi, perilaku
pemimpin yang efektif tidak berpola dari satu gaya tertentu, melainkan dimulai
dengan mempelajari situasi tertentu pada satu saat tertentu. Yang dimaksud
dengan situasi tertentu adalah adanya tiga variabel yang dijadikan dasar sebagai
perilaku kepemimpinan yang berorientasi pada tugas dan hubungan, tetapi tidak
berarti bahwa tugas tidak pernah berorientasi pada hubungan.

2.3 KEPEMIMPINAN DI ARAB (PATERNALISTIK)


Tipe pemimpin ini memiliki sifat kebapakan, mereka menganggap bahwa bawahan
tidak bisa bersifat mandiri dan perlu dorongan dalam melakukan sesuatu. Pemimpin ini
selalu melindungi bawahannya. Pemimpin paternalistik memiliki sifat maha tahu yang besar
sehingga jarang memberikan kesempatan pada bawahan untuk mengambil keputusan. Sikap
lain dari pemimpin paternalistik yaitu :

1. Menganggap bawahan sebagai manusia yang tidak/belum dewasa, atau anak


sendiri yang perlu dikembangkan
2. Bersikap terlalu melindungi
3. Jarang memberikan kesempatan bawahan untuk berinisiatif maupun
mengambil keputusan sendiri
4. Tidak memberikan kesempatan bawahan mengembangkan imajinasi
kreativitas
5. Selalu bersikap maha tahu dan maha benar. Sedangkan tipe kepemimpinan
maternalistik tidak jauh beda dengan paternalistik, selain terdapat sikap over-
protective atau terlalu melindungi dan disertai kasih sayang yang berlebihan.
 Kelebihan       :

 Pemimpin pasti memiliki sifat yang tegas dalam mengambil keputusan

 Bawahan akan merasa aman karena mendapat perlindungan

 Kelemahan     :

 Bawahan tidak memiliki inisiatif dalam bertindak karena tidak diberi


kesempatan

 Keputusan yang diambil tidak berdasarkan musyawarah bersama karena


menganggap dirinya sudah melakukan yang benar
 Daya imajinasi dan kreativitas para pengikut cukup rendah

 Kepemimpinan di Arab
Muslim merasa bahwa bekerja adalah kebajikan dan kewajiban untuk membangun
keseimbangan dalam kehidupan individu dan sosial seseorang. Pekerja Arab ditentukan oleh
tingkat komitmennya terhadap keluarga, dan pekerjaan dianggap sebagai faktor penentu
dalam kemampuan untuk menikmati kehidupan sosial dan keluarga. Sebuah studi terhadap
117 manajer di Arab Saudi oleh Ali menemukan bahwa manajer Arab sangat berkomitmen
terhadap etika kerja Islam dan bahwa ada kecenderungan moderat terhadap individualisme.
Tampilan 11-1 menunjukkan hasil penelitian dan memberikan lebih banyak wawasan
tentang etos kerja Islam. Sebuah studi berbeda oleh Kuroda dan Suzuki menemukan bahwa
orang-orang Arab serius tentang pekerjaan mereka dan pilih kasih dalam memberi dan
menerima, serta paternalisme tidak memiliki tempat di tempat kerja Arab. Mereka
membandingkan sikap ini dengan sikap orang Jepang dan Amerika, yang menganggap
persahabatan sebagai bagian integral dari tempat kerja.
Variabel lain memengaruhi persepsi makna pekerjaan dan bagaimana memenuhi
berbagai kebutuhan, seperti kekayaan relatif suatu negara. Ketika orang memiliki
standar hidup yang tinggi, pekerjaan dapat memiliki makna yang berbeda dari sekadar
menyediakan kebutuhan ekonomi dasar kehidupan. Perbedaan ekonomi antara
negara-negara ditemukan untuk menjelaskan variasi sikap terhadap pekerjaan dalam
sebuah studi oleh Furnham, lebih dari 12.000 anak muda dari 41 negara di lima
benua. Secara khusus, para peneliti menemukan bahwa orang-orang muda di negara-
negara Timur dan Timur Tengah melaporkan daya saing dan akuisisi yang tertinggi
untuk uang, sedangkan mereka yang dari Amerika Utara dan Amerika Selatan
mendapat nilai tertinggi dalam etika dan penguasaan kerja (yaitu, terus berjuang
untuk menguasai sesuatu). Studi semacam itu menunjukkan kompleksitas alasan yang
mendasari perbedaan sikap terhadap pekerjaan, budaya, ekonomi, dan sebagainya
yang harus diperhitungkan ketika mempertimbangkan kebutuhan dan motivasi apa
yang dibawa orang ke tempat kerja. Penelitian menunjukkan variabilitas budaya yang
cukup besar yang mempengaruhi bagaimana pekerjaan memenuhi kebutuhan
karyawan.

 Tabel : 11-1 Etos Kerja Islami: Tanggapan oleh Manajer Arab Saudi
ITEM* MEAN*
Etika Kerja Islami

1. Kemalasan adalah sifat buruk. 4.66


2. Dedikasi untuk bekerja adalah suatu kebajikan.
4.62
3. Kerja yang baik bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain.
4. Keadilan dan kemurahan hati di tempat kerja adalah kondisi 4.57
yang diperlukan untuk kesejahteraan masyarakat.
5. Memproduksi lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan
4.59
pribadi seseorang berkontribusi pada kesejahteraan masyarakat
secara keseluruhan.
6. Seseorang harus melakukan latihan sesuai kemampuan
3.71
terbaiknya.
7. Kerja bukan tujuan itu sendiri tetapi sarana untuk mendorong
pertumbuhan pribadi dan hubungan sosial. 4.70
8. Hidup tidak ada artinya tanpa bekerja.
9. Lebih banyak waktu luang baik untuk masyarakat.
10. Hubungan manusia dalam organisasi harus ditekankan dan 3.97
didorong.
11. Pekerjaan memungkinkan manusia untuk mengendalikan alam.
4.47
12. Pekerjaan kreatif adalah sumber kebahagiaan dan pencapaian.
13. Setiap pria yang bekerja lebih cenderung maju dalam hidup. 3.08
14. Pekerjaan memberi seseorang kesempatan untuk mandiri.
3.89
15. Pria yang sukses adalah orang yang memenuhi tenggat waktu di
tempat kerja.
16. Seseorang harus terus bekerja keras untuk memenuhi tanggung 4.06
jawab.
4.60
17. Nilai pekerjaan berasal dari niat yang menyertainya daripada
hasilnya 3.92

4.35

4.17
4.25

3.16

2.4 MODEL INTEGRAL KEPEMIMPINAN DI LINGKUNGAN MULTI BUDAYA

Banyak teori kepemimpinan fokus dalam berbagai cara pada sifat individu, perilaku
pemimpin, pola interaksi, hubungan peran, persepsi pengikut, pengaruh terhadap pengikut,
pengaruh pada tujuan tugas, dan pengaruh pada budaya organisasi. Di sini penting untuk
memahami bagaimana variabel masyarakat budaya cocok dengan teori-teori ini dan implikasi
apa yang dapat ditarik untuk manajer internasional ketika mereka berusaha untuk
memberikan kepemimpinan di seluruh dunia. Meskipun kepemimpinan adalah fenomena
universal, apa yang membuat kepemimpinan efektif berbeda-beda antar budaya. Misalnya
para pemimpin industri di Prancis dan Italia sangat dihargai karena keunggulan sosial dan
kekuatan politik mereka. Di negara-negara Amerika Latin, para pemimpin dihormati sebagai
orang dan pemimpin total dalam masyarakat, dan penghargaan terhadap seni adalah penting.
Di Jerman, Polandia, ketegasan dan pengetahuan umum yang luas sangat dihormati.

Adanya dominasi budaya tertentu terhadap budaya lain di dalam satu komunitas, tak
dapat mengakibatkan ketegangan yang berujung kepada konflik. Hal demikian sering terjadi
akibat adanya penempatan yang tidak tepat dalam identitas lokal, nasional maupun universal
pada saat berinteraksi maupun bersosialisasi. Sehingga seseorang tanpa adanya kesadaran
yang lapang merasa benar dengan membawa dominasi identitas lokal ke dalam komunitas
yang multikultural.  Dalam hal ini perlu paradigma kepemimpinan yang tepat agar dominasi
budaya tertentu dalam sebuah komunitas yang beragam tidak terjadi. Pada kasus
kepemimpinan dalam pendidikan, paradigma yang harus dibenahi adalah paradigma
kepemimpinan yang bersifat hierarkis-otokratis menuju kepemimpinan yang berbasis
kemitraan bersama dalam naungan kepemimpinan pendidikan dengan paradigma
multikultural.
Kepemimpinan multi budaya intinya merujuk pada upaya memperdayakan setiap
komponen manusia yang multi budaya untuk terlibat dan bertanggung jawab pencapaian
tujuan. Hersey dan Blanchard mengatakan bahwa gaya kepemimpinan akan sangat efektif
apabila mengakomodir budaya dan lingkungan. Untuk itu ditawarkan konsep kepemimpinan
multi-kultur, yaitu kepemimpinan yang menggunakan perspektif multukultural. Secara
makna multi-kultur berarti  membandingkan atau menangani dua atau lebih budaya yang
berbeda terkait dengan berbagai budaya daerah, bangsa dan lainnya.

Di dalam kepemimpinan multi-kultur ini, lebih ditujukan kepada budaya pemimpin


(yang mempengaruhi) yang berbeda dengan pengikutnya (yang dipengaruhi). Maka
kepemimpinan multi-kultur merupakan kemampuan seorang pemimpin untuk mempengaruhi
dan memotivasi anggota grupnya yang berbeda budaya dengan sengaja dan tidak seimbang
menuju sasaran yang diterapkan dengan mempertimbangkan pengetahuan dan sistem makna
dari budaya yang berbeda didalam grup. Atau dengan kata lain adalah pemimpin yang
mampu menyesuaikan dan menerapkan gaya kepemimpinan yang sesuai dengan situasi,
budaya dan kondisi lingkungan yang beragam.

Budaya secara tidak langsung berpengaruh terhadap prilaku kepemimpinan. Hal itu
dikemukakan oleh Bowditch dan Buono dengan alasan bahwa sikap dan prilaku seseorang
dipengaruhi oleh nilai-nilai yang dipegangnya, dan nilai – nilai itu dipengaruhi oleh budaya
dan lingkungan sosial. Seorang pemimpin dalam menjalankan kepemimpinannya perlu
menyadari bahwa setiap individu, walaupun berada dalam satu unit kerja yang sama namun
tetap memiliki nilai-nilai yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu,
agar proses kepemimpinan dapat berjalan dengan efektif, maka setiap pemimpin hendaknya
menerapkan gaya kepemimpinan yang sesuai dengan kondisi yang ada sehingga tidak
menimbulkan masalah dan konflik dengan bawahannya dan organisasinya.

Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan internasional yang efektif
antara lain:

1) Pemimpin harus dapat sebagai pengarah dan pengingat budaya organisasi yang
telah ada dalam organisasi, serta sebagai pihak penengah apabila terjadi
kesenjangan atau konflik dalam multikultural budaya di organisasi (dalam hal ini,
pemimpin juga berperan sebagai pencipta keadilan kepada seluruh pihak secara
obyektif).
2) Pemimpin harus berperan sebagai icon penerjemah, pemberi contoh, serta
penunjuk dalam menjalankan atau menerapkan budaya organisasi.
3) Disamping itu, peran pemimpin juga harus mampu dalam menyatukan orang-
orang yang memiliki perbedaan budaya di dalam organisasi atau perusahaan
internasional.
4) Pemimpin yang efektif tentunya adalah pemimpin yang dapat memberdayakan
sumber daya-sumber daya manusia yang ada sehingga tujuan organisasi dapat
tercapai secara efektif dan efisien.

 Proyek GLOBE
Penelitian oleh program penelitian Global Leadership and Efektivitas Perilaku
(GLOBE) terdiri jaringan 170 ilmuwan sosial dan sarjana manajemen dari 62 negara
untuk tujuan memahami dampak variabel budaya pada proses kepemimpinan dan
organisasi. Dengan menggunakan metodologi kuantitatif dan kualitatif untuk
mengumpulkan data dari 18.000 manajer di negara-negara tersebut, yang mewakili
mayoritas populasi dunia. Para peneliti ingin mengetahui perilaku kepemimpinan mana
yang diterima secara universal dan yang bergantung secara budaya. Tidak disangka-
sangka, mereka menemukan bahwa perilaku kepemimpinan positif yang diterima secara
umum di mana saja adalah perilaku seperti dapat dipercaya, memberi semangat, seorang
pemimpin yang efektif, administrator dan komunikator yang terampil, dan pembangun
tim, sedangkan sifat-sifat yang dianggap negatif termasuk tidak kooperatif, egosentris,
kejam, dan diktatorial. Gaya kepemimpinan dan perilaku yang ditemukan bersifat
kultural adalah karismatik, berorientasi pada tim, protektif pada diri sendiri, partisipatif,
manusiawi, dan otonom. Hasil untuk beberapa negara yang diteliti ditunjukkan dalam
Tampilan 11-5. Kolom pertama (N) adalah ukuran sampel di negara itu.
Skor untuk masing-masing negara pada dimensi kepemimpinan tersebut didasarkan pada
skala dari 1 (pendapat bahwa perilaku kepemimpinan tersebut tidak akan dianggap baik) sampai
7 (bahwa perilaku tersebut akan secara substansial memfasilitasi kepemimpinan yang efektif).
Perhatikan bahwa membaca dari atas ke bawah pada dimensi tunggal memungkinkan
perbandingan di antara negara-negara tersebut pada dimensi itu. Misalnya, menjadi pemimpin
partisipatif dianggap lebih penting di Kanada, Brasil, dan Austria daripada di Rusia dan
Meksiko. Selain itu, membaca dari kiri ke kanan untuk negara tertentu pada semua dimensi
memungkinkan pengembangan profil gaya kepemimpinan yang efektif untuk negara itu. Di
Brazil, misalnya, orang dapat menyimpulkan bahwa seorang pemimpin yang efektif diharapkan
sangat karismatik, berorientasi pada tim dan partisipatif, dan relatif manusiawi tetapi tidak
mandiri.

GLOBE mengidentifikasi enam perilaku pimpinan yang dapat diamati dan dinilai dalam
berbagai budaya. Perilaku-perilaku tersebut adalah :
1. Kepemimpinan karismatik/berbasis nilai : kemampuan untuk menginspirasi, memotivasi,
meningkatkan kinerja yang tinggi; termasuk menjadi visioner, pencapaian dari sendiri,
terpercaya, tegas dan berorientasi pada kinerja.
2. Kepemimpinan berorientasi pada tim : menekankan pada pembentukan tim dan
terciptanya rasa tujuan bersama; termasuk melakukan kolaborasi, diplomatis, dan mampu
secara administratif.
3. Kepemimpinan partisipatif : sejauh mana pemimpin mengikutsertakan yang lain dalam
pengambilan keputusan, menjadi lebih partisipatif dan tidak autokrat.
4. Kepemimpinan berorientasi kemanusiaan : menjadi pendukung, penuh perhatian,
penyayang, dermawan, menunjukkan kesederhanaan dan sensitivitas.
5. Kepemimpinan otonom : mengacu pada independen dan individualis, otonom dan unik.
6. Kepemimpinan perlindungan diri : termasuk perilaku yang berkeinginan untuk
memastikan keselamatan dan keamanan pemimpinan dan kelompok; termasuk menjadi
berpusat pada diri sendiri, sadar akan status yang dimiliki, menginduksi konflik, dan
melindungi diri sendiri.

Penelitian yang luas dan mendobrak oleh para peneliti GLOBE ini dapat sangat
membantu para manajer yang pergi ke luar negeri, memungkinkan mereka untuk menerapkan
gaya kepemimpinan yang sesuai dengan budaya. Pada tahap lain dari proyek penelitian yang
sedang berlangsung ini, wawancara dengan manajer dari berbagai negara mengarahkan para
peneliti, dipimpin oleh Robert House, untuk menyimpulkan bahwa status dan pengaruh para
pemimpin sangat bervariasi di berbagai negara atau wilayah sesuai dengan kekuatan budaya
yang berlaku. Sedangkan orang Amerika, Arab, Asia, Inggris, Eropa Timur, Prancis, Jerman,
Amerika Latin, dan Rusia cenderung memuliakan para pemimpin baik di arena politik dan
organisasi, di Belanda, Skandinavia, dan Swiss Jerman memiliki pandangan yang sangat berbeda
dari kepemimpinan. Berikut adalah beberapa contoh komentar yang dibuat oleh manajer dari
berbagai negara.

 Orang Amerika menghargai dua jenis pemimpin. Mereka mencari pemberdayaan dari
para pemimpin yang memberikan otonomi dan mendelegasikan wewenang kepada
bawahan. Mereka juga menghormati pemimpin yang berani, kuat, percaya diri, dan
berani mengambil risiko, sebagaimana dipersonifikasikan oleh John Wayne dalam film-
filmnya.
 Belanda menekankan egalitarianisme dan skeptis tentang nilai kepemimpinan. Istilah
seperti pemimpin dan manajer membawa stigma. Jika seorang ayah dipekerjakan sebagai
manajer, anak-anak Belanda tidak akan mengakuinya kepada teman sekolah mereka.
 Orang-orang Arab menyembah para pemimpin mereka selama mereka berkuasa
 Orang Iran mencari kekuasaan dan kekuatan di dalam pemimpin mereka.
 Orang Malaysia mengharapkan para pemimpin mereka untuk berperilaku dengan cara
yang rendah hati, sederhana, dan bermartabat.
 Orang Prancis berharap agar para pemimpin dibudidayakan — berpendidikan tinggi
dalam bidang seni dan matematika.

 Model Integratif

Gambar 11-7 menggambarkan model integratif dari proses kepemimpinan yang


menggabungkan variabel-variabel yang dijelaskan dalam buku ini dan dalam penelitian tentang
budaya, kepemimpinan, dan motivasi — dan menunjukkan kemungkinan budaya yang kuat
karena memengaruhi peran kepemimpinan. Membaca dari kiri ke kanan, Gambar 11-7
menyajikan kemungkinan dari faktor lingkungan yang luas hingga hasil yang dipengaruhi oleh
seluruh situasi kepemimpinan. Seperti yang ditunjukkan, konteks luas di mana manajer
beroperasi memerlukan penyesuaian dalam gaya kepemimpinan untuk semua variabel yang
berkaitan dengan lingkungan kerja dan tugas dan orang-orang yang terlibat. Variabel budaya
(nilai-nilai, norma-norma kerja, lokus kontrol, dan sebagainya), karena mereka mempengaruhi
semua orang yang terlibat — pemimpin, bawahan, dan kelompok kerja kemudian membentuk isi
situasi kepemimpinan langsung.

Interaksi pemimpin-pengikut selanjutnya dibentuk oleh pilihan perilaku pemimpin


(otokratis, partisipatif, dan sebagainya) dan oleh sikap karyawan terhadap pemimpin dan insentif.
Efek motivasi yaitu berbagai tingkat upaya, kinerja, dan kepuasan serta hasil dari interaksi pada
tingkat individu dan kelompok. Efek-efek ini menentukan hasil untuk perusahaan (produktivitas,
kualitas) dan untuk karyawan (kepuasan, pengaruh positif). Hasil dan penghargaan dari hasil
tersebut kemudian bertindak sebagai umpan balik (positif atau negatif) ke dalam siklus motivasi
dan proses kepemimpinan.

Maka, jelaslah, manajer internasional harus menganggap serius kemungkinan budaya


dalam penerapannya pada teori kepemimpinan kontingensi. Mereka harus menyesuaikan
perilaku kepemimpinan mereka sesuai dengan konteks, norma, sikap, dan variabel lain dalam
masyarakat itu. Sebagaimana dicatat, kepemimpinan merujuk tidak hanya pada hubungan
manajer-bawahan tetapi juga dengan tugas penting menjalankan seluruh perusahaan, divisi, atau
unit yang menjadi tanggung jawab manajer. Ketika itu merupakan tanggung jawab global, sangat
penting untuk dapat menyesuaikan gaya kepemimpinan seseorang dengan konteks lokal di
banyak tingkatan.

2.5 PERBEDAAN BUDAYA DAN IMPLIKASINYA PADA PROSES


KEPEMIMPINAN

Telah diakui secara luas bahwa perbedaan budaya menyisipkan pengaruh besar pada
pemikiran manusia serta perilaku sehingga manajemen itu sendiri dipengaruhi oleh norma-norma
lokal, historis, dan budaya (DiMaggio dan Powell, 1983; Hofstede, 2001; Littrell, 2002). Budaya
yang berbeda memiliki konsepsi yang berbeda dan standar evaluasi kepemimpinan yang efektif.
Jadi prototipe kepemimpinan yang berbeda diharapkan terjadi secara alami dalam kelompok
budaya yang berbeda (Bass, 1990; Hofstede, 2001). Beberapa budaya mungkin mengharapkan
para pemimpin untuk membuat semua keputusan menjadi efektif sedangkan dalam budaya lain
para pemimpin mungkin perlu mengadopsi pendekatan yang lebih demokratis agar terlihat
efektif.

Dalam buku terbaru Hofstede Cultures and Organizations --- software of the mind
(2004), ia membahas bahwa karena perbedaan yang terlihat dan tidak terlihat antara negara dan
kelompok semuanya dikembangkan oleh berbagai sejarah, untuk memahami sejarah kelompok
budaya adalah kunci untuk memahami karakteristik budaya dan untuk menemukan cara untuk
mengendalikan karakteristik tersebut dan akhirnya mengarah pada kepemimpinan yang efektif.

2.6 FUNGSI UNIVERSAL LEADERSHIP : CULTURE SPESIFIC LEADER


BEHAVIOURS

Kepemimpinan Global (Global Leadership / Universal Leadership) adalah studi


interdisipliner dari elemen-elemen kunci yang harus diperoleh oleh para pemimpin masa depan
di semua bidang pengalaman pribadi untuk membiasakan diri secara efektif dengan efek
psikologis, fisiologis, geografis, geopolitik, antropologis, dan sosiologis dari globalisasi.
Kepemimpinan global terjadi ketika seorang individu atau individu menavigasi upaya kolaboratif
dari berbagai pemangku kepentingan melalui kompleksitas lingkungan menuju sebuah visi
dengan memanfaatkan pola pikir global. Sebagai hasil dari tren, dimulai dengan kolonialisme
dan diabadikan oleh peningkatan media massa, inovasi, (dibawa oleh internet dan bentuk-bentuk
lain dari interaksi manusia berdasarkan kecepatan mediasi komputer) sejumlah masalah baru
yang dihadapi umat manusia; terdiri dari tetapi tidak terbatas pada: perusahaan manusia menuju
perdamaian, desain bisnis internasional, dan perubahan signifikan dalam paradigma geopolitik.
Bakat dan wawasan yang diperlukan para pemimpin untuk berhasil menavigasi umat manusia
melalui perkembangan-perkembangan ini secara kolektif telah difokuskan pada fenomena
globalisasi untuk merangkul dan secara efektif membimbing evolusi umat manusia melalui
pengaburan yang terus menerus dan integrasi strategi nasional, ekonomi dan sosial.

GLOBE secara empiris menetapkan sembilan dimensi budaya yang memungkinkan


untuk menangkap persamaan dan / atau perbedaan dalam norma, nilai, kepercayaan - dan praktik
- di antara masyarakat. Dimana sembilan budaya tersebut meliputi :
1) Jarak kekuasaan
Sejauh mana anggota kolektif mengharapkan kekuatan untuk didistribusikan secara
merata.
2) Penghindaran ketidakpastian
Sejauh mana masyarakat, organisasi, atau kelompok bergantung pada norma sosial,
aturan, dan prosedur untuk mengurangi ketidakpastian peristiwa di masa depan.
3) Orientasi Manusiawi
Sejauh mana suatu kolektif mendorong dan memberi penghargaan kepada individu
untuk bersikap adil, altruistis, dermawan, peduli, dan baik kepada orang lain.
4) Kolektivisme I (Institusional)
Sejauh mana praktik institusional dan kelembagaan mendorong dan menghargai
distribusi sumber daya dan aksi kolektif secara kolektif.
5) Kolektivisme II: (Dalam Grup)
Sejauh mana individu mengekspresikan kebanggaan, kesetiaan, dan kekompakan
dalam organisasi atau keluarga mereka.
6) Ketegasan
Sejauh mana individu bersikap asertif, konfrontatif, dan agresif dalam hubungan
mereka dengan orang lain.
7) Egalitarianisme Gender
Sejauh mana kolektif meminimalkan ketidaksetaraan gender.
8) Orientasi Masa Depan
Sejauh mana individu terlibat dalam perilaku berorientasi masa depan seperti
menunda kepuasan, perencanaan, dan berinvestasi di masa depan.
9) Orientasi Kinerja
Sejauh mana suatu kelompok mendorong dan memberi penghargaan kepada anggota
kelompok untuk peningkatan dan keunggulan kinerja.

Para peneliti GLOBE menempatkan negara ke dalam kelompok budaya yang


dikelompokkan berdasarkan kesamaan budaya karena kondisi geografis dan iklim yang dimiliki
bersama, yang semuanya memengaruhi persepsi dan perilaku:
Perbedaan budaya meningkat dengan semakin jauhnya kelompok terpisah. Sebagai
contoh, klaster Nordic paling berbeda dari Eropa Timur.

 Cluster Negara dan Gaya Pemimpin


berdasarkan pada definisi kepemimpinan berikut: seorang pemimpin yang menonjol adalah
seseorang dalam suatu organisasi atau industri yang "sangat ahli dalam memotivasi, memengaruhi,
atau memungkinkan Anda, orang lain, atau kelompok untuk berkontribusi pada keberhasilan
organisasi atau tugas." Analisis ini menghasilkan 21 skala kepemimpinan. Berdasarkan skala 7 poin
dan "rata-rata dunia" dari setiap skala (mis., Rata-rata 61 negara), 21 skala kepemimpinan
diperingkat dari "yang paling diinginkan secara universal" ke "yang paling tidak diinginkan secara
universal" sebagai berikut:

Integritas (6.07) Manusiawi (4,78)


Inspirational (6.07) Sadar status (4.34)
Visioner (6.02) Pembuat konflik (3.97)
Berorientasi pada kinerja (6.02) Prosedural (3,87)
Integrator tim (5.88) Otonom (3,85)
Tegas (5.80) Menjaga reputasi, kredibilitas, atau
Kompeten secara administratif (5.76) martabat (2.92)
Diplomatik (5.49) Non-partisipatif (2,66)
Orientasi tim kolaboratif (5.46) Autokratis (2,65)
Pengorbanan diri (5.0) Berpusat pada diri sendiri (2.17)
Kesederhanaan (4.98) Berhati dengki (1,80)
21 skala kepemimpinan ini secara statistik dan konseptual direduksi menjadi enam skala,
menghasilkan enam gaya kepemimpinan:
1) Gaya berorientasi kinerja (disebut "karismatik / berbasis nilai" oleh GLOBE)
menekankan standar tinggi, ketegasan, dan inovasi; berupaya menginspirasi orang-
orang di sekitar visi; menciptakan semangat di antara mereka untuk tampil; dan
melakukannya dengan berpegang teguh pada nilai-nilai inti (core value).
2) Gaya berorientasi tim (The team-oriented style) menanamkan kebanggaan, kesetiaan,
dan kolaborasi di antara anggota organisasi; dan sangat menghargai kekompakan tim
dan tujuan atau sasaran bersama.

3) Gaya partisipatif (The Participative style) mendorong masukan dari orang lain dalam
pengambilan keputusan dan implementasi; dan menekankan delegasi dan kesetaraan.
4) Gaya manusiawi (The Humane style) menekankan belas kasih dan kedermawanan;
dan itu sabar, mendukung, dan peduli dengan kesejahteraan orang lain.
5) Gaya otonom (The Autonomous style) ditandai oleh pendekatan mandiri,
individualistis, dan egois terhadap kepemimpinan.
6) Gaya perlindungan diri dan perlindungan kelompok (The Self-Protective and Group-
Protective style) menekankan pada perilaku prosedural, sadar status, dan
'menyelamatkan muka'; dan berfokus pada keselamatan dan keamanan individu dan
kelompok.

Tabel 1 dibawah ini mengelompokkan kelompok negara dari Gambar 1 sesuai dengan
tingkat yang mereka sukai masing-masing dari enam gaya pemimpin. Cluster sosial
dikelompokkan bersama di ujung yang lebih tinggi atau lebih rendah atau di tengah berbeda
secara signifikan dari kelompok lain dari cluster, tetapi tidak dari satu sama lain. Tidak ada
perbedaan yang signifikan secara statistik untuk gaya berorientasi tim dan otonom di semua
cluster.
Lebih jauh, penempatan masing-masing kelompok masyarakat dalam suatu gaya
menandakan kepentingan relatif dari gaya tersebut dibandingkan dengan gaya-gaya lain untuk
kelompok tersebut. Misalnya, gaya pemimpin yang berorientasi pada kinerja adalah peringkat
tertinggi untuk klaster Anglo, yang menunjukkan bahwa gaya ini lebih penting bagi klaster
Anglo daripada gaya lainnya. Selain itu, jika dibandingkan dengan kelompok negara lain, gaya
berorientasi kinerja juga paling dihargai oleh kelompok Anglo.

 Karakteristik Pemimpin Universal dan Kontingen Budaya


Analisis lebih lanjut dari 65 sifat-sifat pemimpin yang membentuk enam gaya pemimpin
menunjukkan 22 di antaranya merupakan karakteristik yang diinginkan secara universal,
yaitu, mereka adalah karakteristik yang memungkinkan seorang pemimpin dianggap sebagai
yang luar biasa, dan delapan (8) dipandang sebagai secara universal tidak diinginkan, yaitu,
mereka kemungkinan menghalangi seorang pemimpin dari yang digambarkan sebagai luar
biasa. 35 karakteristik pemimpin yang tersisa bersifat kontingen budaya.
Tabel 2 Karakteristik Pemimpin Universal dan Kontingen Budaya

Karakteristik Pemimpin Universal


Berkontribusi pada Seseorang yang Terlihat sebagai Pemimpin yang Luar Biasa
Dapat dipercaya Pembuat Keputusan
Adil Berorientasi pada keunggulan
Jujur Bisa diandalkan
Tinjauan ke masa depan Cerdas
Rencana ke depan Penawar yang efektif
Mendorong (encourage) Pemecah masalah win-win
Positif Secara administratif terampil
Dinamis Komunikatif
Motive arouser Diberitahukan (informed)
Pembangun kepercayaan diri Koordinator
Motivasi Pembangun Tim (Team builder)
Menghambat Seseorang agar Tidak Terlihat sebagai Pemimpin yang Luar Biasa
Seorang penyendiri Pemarah
Asosial Egosentris
Tidak langsung / Tidak eksplisit Kejam
Non-kooperatif Diktatoris
Karakteristik Pemimpin Kontingen Budaya
Antisipatif Intuitif
Ambisius Logis
Otonom Manajer mikro
Waspada Tertib
Sadar kelas Prosedural
Welas asih Provokator
Licik Pengambil risiko
Mendominasi Penguasa
Elitis Self-effacing
Antusias Pengorbanan diri
Menghindar Peka
Resmi Tulus
Biasa Sadar status
Independen Lemah
Tidak langsung Unik
Individualistis Keras kepala
Pesaing antar kelompok Duniawi
Penghindar konflik antar kelompok
Source: Adapted from House et al., 2004.

Di seluruh 61 negara dalam studi kepemimpinan GLOBE, orang ingin para pemimpin
mereka dapat dipercaya, adil, jujur, tegas, dan sebagainya. Namun, bagaimana sifat-sifat ini
diekspresikan dan diberlakukan mungkin masih terasa berbeda dari masyarakat ke masyarakat.
Misalnya, agar seorang pemimpin digambarkan sebagai penentu di AS, ia diharapkan untuk
membuat keputusan yang cepat dan perkiraan. Sebaliknya, di Perancis atau Jerman, menjadi
penentu cenderung berarti pendekatan yang lebih tidak tergesa-gesa tepat untuk pengambilan
keputusan. Kehati-hatian yang sama berlaku untuk sifat-sifat pemimpin yang tidak diinginkan
secara universal.

Karakteristik pemimpin yang bergantung budaya, seperti ambisius, antusias, formal,


logis, atau pengambil risiko dinilai berbeda di seluruh dunia. Sebagai contoh, pada skala 7-poin
GLOBE untuk mengukur pandangan masyarakat tentang sifat-sifat pemimpin ini, mulai dari 1
(sangat menghambat) hingga 7 (memberikan kontribusi besar) hingga terlihat sebagai pemimpin
yang luar biasa, negara ini memiliki rentang pengambilan risiko mulai dari 2 hingga 6. Ini
sejalan dengan sejauh mana negara-negara mentolerir ketidakpastian, sebagaimana diukur oleh
dimensi penghindaran ketidakpastian GLOBE, seperti dijelaskan di atas.
DAFTAR PUSTAKA

Deresky, Helen. 2016.International Management Managing Across Borders and Cultures 9 th.
Statue University of New York.

Anda mungkin juga menyukai