Anda di halaman 1dari 7

Nama: Kartina Mahadewi Wulandari

NIM: 1701130368
Program Studi: Tadris Fisika
Mata Kuliah: Administrasi Pendidikan Fisika
Dosen: Hj. Nurul Septiana, M. Pd.

1. Pengertian Kepemimpinan
Kepemimpinan menurut Tannenbaum, Wesler dan Massarik dalam
Wahjosumidjo (2002: 17) adalah kemampuan seseorang dalam mempengaruhi
orang lain dengan sengaja, dalam suatu situasi melalui proses komunikasi, untuk
mencapai tujuan atau tujuan-tujuan tertentu. Adapun menurut Ivanchevich (1995:
334), kepemimpinan adalah suatu upaya penggunaan jenis pengaruh bukan
paksaan untuk memotivasi orang-orang mencapai tujuan tertentu. Sutisna (1993),
dalam Mulyasa (2004:107) merumuskan kepemimpinan sebagai proses
mempengaruhi kegiatan seseorang atau kelompok dalam usaha ke arah
pencapaian tujuan dalam situasi tertentu. Mulyasa juga menyebutkan bahwa
menurut Supardi (1988) mendefinisikan kepemimpinan sebagai kemampuan
untuk mengerakkan, mempengaruhi, memotivasi, mengajak, mengarahkan,
menasihati, membimbing, menyuruh, memerintah, melarang, dan bahkan
menghukum bila perlu, serta membina dengan maksud agar manusia sebagai
media manajemen mau bekerja dalam rangka mencapai tujuan administrasi secara
efektif dan efisien. Sedangkan menurut Atmosudirdjo dalam Fattah (2004:25)
menyebutkan bahwa kepemimpinan merupakan suatu bentuk persuasi seni (art)
pembinaan kelompok-kelompok orang-orang tertentu, biasanya melalui human
relation dan motivasi yang tepat.

2. Konsep Kepemimpinan
Konsep tentang kepemimpinan tampaknya lebih pada konsep pengalaman dan
konsep kepemimpinan dapat digolongkan antara lain:
a. Kepemimpinan sebagai fokus proses-proses kelompok
Keunggulan seseorang atau beberapa individu dalam mengontrol proses dari
gejala-gejala sosial. Melihat kepemimpinan sebagai sentralisasi usaha dalam diri
seseorang sebagai cerminan kekuasaan dari keseluruhan. Kecenderungan
pemikiran dari definisi-definisi di atas sangat berpengaruh di dalam mengarahkan
perhatian terhadap pentingnya struktur kelompok.
b. Kepemimpinan sebagai suatu kepribadian dan akibatnya
Pemimpin adalah seorang individu yang memiliki sifat dan karakter yang
diinginkan oleh rakyatnya. Teori kepribadian cenderung memandang
kepemimpinan sebagai akibat pengaruh satu arah. Mengingat bahwa pimpinan
mungkin memiliki kualitas-kualitas tertentu yang membedakan dirinya dengan
para pengikutnya maka biasanya ahli teori pribadi lupa menyinggung karakteristik
timbal balik atau reciprocal dan interaksi dari atau dalam situasi kepemimpinan.
c. Kepemimpinan sebagai tindakan atau tingkah laku
Tingkah laku kepemimpinan sebagai tingkah laku yang akan menghasilkan
tindakan orang lain searah dengan keinginannya dan tingkah laku seorang
individu dapat mengarahkan aktivitas kelompok.
d. Kepemimpinan sebagai bentuk persuasi
Kepemimpinan adalah pengelolaan manusia melalui persuasi dan inspirasi
daripada melalui pemaksaan langsung. Hal ini melibatkan penerapan pengetahuan
mengenai faktor manusia dalam memecahkan masalah yang konkret.
e. Kepemimpinan sebagai alat mencapai tujuan
Proses menciptakan situasi sehingga para anggota kelompok termasuk
pemimpin dapat mencapai tujuan bersama dengan hasil maksimal dalam waktu
dan kerja yang singkat.

3. Dimensi Kependidikan
David G Bowers dan Stanley E Seashore dalam Purwanto (2004:29)
menyebutkan empat dimensi pokok dari struktur fundamental kepemimpinan,
yaitu:
a. Bantuan (support), yaitu tingkah laku yang memperbesar perasaan berharga
seseorang dan dianggap penting.
b. Kemudahan interaksi, yaitu tingkah laku yang memberanikan anggota-
anggota kelompok untuk mengembangkan hubungan yang saling
menyenangkan.
c. Pengutamaan tujuan, yaitu tingkah laku yang merangsang antusiasme bagi
penemuan tujuan kelompok mengenai pencapaian prestasi yang baik.
d. Kemudahan bekerja, yaitu tingkah laku yang membantu pencapaian tujuan
dengan kegiatan-kegiatan seperti penetapan waktu, pengoordinasian,
penyediaan sumber-sumber dan bantuan teknis.

4. Pendekatan Kepemimpinan
a. Pendekatan Sifat
Pendekatan ini mengasumsikan bahwa kepemimpinan mempunyai beberapa
sifat kepribadian yang sama dibawa sejak lahir. (Herabuddin, 2009: 187)
Di dalam uraian tentang konsep-konsep kepemimpinan terutama konsep yang
pertama telah dikemukakan bahwa keberhasilan atau kegagalan seseorang
pemimpin banyak ditentukan atau dipengaruhi oleh sifat – sifat yang dimiliki oleh
pribadi pemimpin. Sifat – sifat itu ada pada seseorang karena pembawaan atau
keturunan. Jadi, menurut pendekatan ini, seseorang menjadi pemimpin karena
sifat – sifatnya yang dibawa sejak lahir, bukan karena dibuat atau dilatih. Seperti
dikatakan oleh Thierauf pendekatan keturunan yang menyatakan bahwa
pemimpin adalah dilahirkan bukan dibuat bahwa pemimpin tidak dapat
memperoleh kemampuan untuk memimpin, tetapi mewarisi.
Banyak ahli yang telah berusaha meneliti dan mengemukakan pendapatnya
mengenai sifat – sifat baik manakah yang diperlukan bagi seorang pemimpin agar
dapat sukses dalam kepemimpinannya. Ghizeli dan Stogdil, misalnya
mengemukakan adanya lima sifat yang perlu dimiliki seorang pemimpin, yaitu
kecerdasan, kemampuan mengawasi, inisiatif, ketenangan diri, dan kepribadian.
Thierauf dan teman – teman mengemukakan 16 sifat kepemimpinan yang baik,
yaitu kecerdasan, inisiatif, daya khayal, bersemangat, optimisme, individualisme,
keberanian, keaslian, kesediaan menerima, kemampuan berkomunikasi, rasa
perlakuan yang wajar terhadap sesama, kepribadian, keuletan, manusiawi,
kemampuan mengawasi, dan ketenangan diri. Meskipun telah banyak peneliti
tentang sifat- sifat kepemimpinan, hingga kini para peneliti tidak berhasil
menemukan satu atau jumlah sifat yang dapat dipakai sebagai ukuran untuk
membedakan pemimpin dan bukan pemimpin.
b. Pendekatan Perilaku
Tingkah laku tidak sama dengan sifat dapat dipelajari pendekatan ini
mengikuti aliran bahwa individu yang dilatih dalam tingkah laku kepemimpinan.
(Herabuddin, 2009: 187)
Pendekatan perilaku (behavioral approach) merupakan pendekatan yang
berdasarkan pemikiran keberhasilan atau kegagalan pemimpin ditentukan oleh
sikap dan gaya kepemimpinan yang dilakukan oleh pemimpin yang bersangkutan.
Sikap dan gaya kepemimpinan itu tampak dalam kegiatan sehari-hari, dalam hal
bagaimana cara pemimpin memberi perintah, membagi tugas dan wewenangnya,
cara berkomunikasi, cara mendorong semangat kerja bawahan, cara memberi
bimbingan dan pengawasan, cara membina disiplin kerja bawahan, cara
menyelenggarakan dan memimpin rapat anggota, cara mengambil keputusan, dan
sebagainya.
Pendekatan perilaku inilah yang selanjutnya melahirkan berbagai tentang teori
tentang tipe atau gaya kepemimpinan. Beberapa teori yang berdasarkan
pendekatan perilaku akan dikemukakan dalam uraian berikut.
1. Teori Tannebaum dan schmid
Robert tennabaum dan warren A. Schmid mengemukakan bermacam-macam
gaya kepemimpinan yang dapat dilukiskan sebagai suatu kontinum. Kontinum
tersebut tersebar di antara dua gaya kepemimpinan yang ekstrem , yaitu gaya
kepemimpinan yang otokratis dan gaya kepemimpinan laissez faire.jika kontinum
dapat diumpamakan sebagai suatu garis , maka ujung garis yang satu terletak pada
gaya kepemimpinan otokratis dan ujung garis satunya terletak pada gaya
kepemimpinan demokratis.
2. Studi kepemimpinan Universitas Ohio
Universitas negeri ohio (ohio state university) mengembangkan instrument
yang disebut leader behavior description questionnaire (LBDQ) dan leader
opinion questionnaire (LOQ) untik mempelajari bagaimana seorang pemimpin
menjalankan tugasnya.
3. Studi Kepemimpinan Universitas Micghigan
Pusat penelitian survei universitas michigan melakukan penelitian untuk
mempelajari masalah kepemimpinan. Dari hasil penelitiannya ditemukan adanya
dua macam perilaku kepemimpinan, yaitu the jo-centered (terpusat pada
pekerjaan) dan employe- centered(terpusat pada pekerjaan /bawahan).
4. Jaringan manajerial (Managerial grid)
Teori atau pendekatan jaringan manajerial ini dikembangkan oleh Robert
K.Bbake dan james S. Mouton. Dalam pendekatan ini dikenal adanya dua macam
perilaku kepemimpinan, yaitu perhatian terhadap produksi (concern for
production) dan perhatian terhadap orang (concern for people).
c. Pendekatan Situasional
Pendekatan ini biasa disebut juga pendekatan Kontingensi, pendekatan yang
berdasarkan atas asumsi bahwa keberhasilan kepemimpinan suatu organisasi atau
lembaga tidak hanya tergantung pada atau dipengaruhi oleh perilaku dan sifat
pemimpin saja. Menurut pendapat Hersey dan Blanchard bahwa pendekatan
situasional ini merupakan suatu teori yang berusaha mencari jalan tengah antara
pandangan yang mengatakan bahwa adanya asas-asas organisasi dan manajemen
yang bersifat Universal, pandangan yang berpendapat bahwa tiap organisasi
adalah unik dan memiliki situasi yang berbeda-beda sehingga harus dihadapi
dengan gaya kepemimpinan tertentu.
Salah satu faktor yang menunjukkan adanya perbedaan situasi organisasi
adalah tingkat kematangan dan perilaku kelompok atau bawahan. Tinggi
rendahnya tingkat kematangan kelompok turut menentukan ke mana
kecenderungan gaya kepemimpinan harus diarahkan. Demikian betapa banyaknya
faktor yang dapat menimbulkan adanya perbedaan-perbedaan situasi tiap
organisasi atau lembaga, yang selanjutnya dapat mempengaruhi perilaku
kepemimpinan, dalam hubungan ini Sutarto mengemukakan sebagai berikut:
“berbagai faktor yang dapat mempengaruhi pemilihan gaya kepemimpinan antara
lain sifat pribadi pemimpin, sifat pribadi bawahan, sifat pribadi sesama pemimpin,
struktur organisasi, kegiatan yang dilakukan, motivasi kerja, harapan pemimpin
maupun bawahan, pengalaman pemimpin maupun bawahan, adat, kebiasaan,
tradisi, budaya lingkungan kerja, tingkat pendidikan pemimpin maupun bawahan,
lokasi organisasi di kota besar, kota kecil, atau desa kebijaksanaan atasan,
teknologi, peraturan perundang-undangan yang berlaku ekonomi, politik
keamanan yang sedang berlangsung di sekitarnya.”

5. Model Kepemimpinan
Beberapa model kepemimpinan yang diutarakan di sini adalah model
kepemimpinan Fielder, model kepemimpinan tiga Dimensi, dan model
kepemimpinan lima faktor.
a. Model kepemimpinan kontingensi Fielder
Fielder cukup dikenal dengan teori kepemimpinan model kontingensi yang
dalam literatur disebut sebagai Fielder’s Contingency Model. Dalam model ini
kepemimpinan akan efektif bila menggunakan gaya kepemimpinan yang tepat
untuk berbagai situasi. (Sudarman, 2010: 90-91)
Model kepemimpinan yang dikembangkan oleh Fred E. Fielder ini
berpendapat bahwa keberhasilan seorang pemimpin tidak hanya ditentukan oleh
gaya kepemimpinan yang diterapkannya. Dengan kata lain, tidak ada seorang
pemimpin yang dapat berhasil hanya dengan menerapkan satu gaya semua situasi.
Seorang pemimpin akan cenderung berhasil dalam menjalankan
kepemimpinannya apabila menerapkan gaya kepemimpinan yang berlainan untuk
menghadapi situasi yang berbeda.
Menurut pendekatan ini, ada 3 variabel yang menentukan efektif tidaknya
kepemimpinan, yaitu (1) hubungan antar pemimpin dengan yang dipimpin, (2)
derajat struktur tugas, dan (3) kedudukan kekuasaan pemimpin. Menurut Fielder,
hubungan pemimpin dengan yang dipimpin merupakan variabel yang terpenting
dalam menentukan situasi yang menguntungkan. Derajat struktur tugas
merupakan masukan kedua sangat penting bagi situasi yang menguntungkan, dan
kedudukan kekuasaan pemimpin yang diperoleh melalui wewenang formal
merupakan dimensi penting ketiga dari situasi.
Berdasarkan pendapat Fielder tersebut, maka situasi organisasi atau lembaga
dikatakan menguntungkan dalam arti menentukan keberhasilan pemimpin jika.
1. Hubungan pemimpin dengan anggota bawahan baik, pemimpin
disenangi oleh anggota kelompoknya dan ditaati segala perintah.
2. Struktur tugas-tugas terinci dengan jelas dan dipahami oleh tiap
anggota kelompok, setiap anggota memiliki wewenang dan tanggung
jawab masing-masing secara jelas.
3. Kedudukan kekuasaan formal pemimpin kuat dan jelas sehingga
memperlancar usahanya untuk mempengaruhi anggota kelompoknya.
Dilihat dari tingkatannya, masing-masing variabel dibedakan menjadi dua
kategori sebagai berikut: Hubungan pemimpin anggota: baik dan tidak baik,
Derajat struktur tugas : tinggi dan rendah, Kedudukan kekuasaan pemimpin : kuat
dan lemah.
b. Model kepemimpinan tiga dimensi
Pendekatan atau model kepemimpinan ini dikemukakan oleh William J.
Reddin (1970). Model ini dinamakan three-dimensional-model karena dalam
pendekatannya menghubungkan tiga kelompok gaya kepemimpinan, yang
disebutkan gaya dasar, gaya efektif, dan gaya efektif menjadi satu kesatuan.
c. Model Kontinum berdasarkan banyaknya peran serta bawahan dalam
pengambilan keputusan
Pengembangan model kepemimpinan ini adalah Vroom dan Yetton,
keduannya berpendapat bahwa ada dua macam kondisi utama yang dapat
dijadikan dasar bagi pemimpin untuk mengikutsertakan atau tidak
mengikutsertakan bawahan dalam pembuatan putusan. Dua macam kondisi
tersebut ialah : (1). Tingkat keefektifan teknis di antara para bawahan (2) tingkat
motivasi serta dukungan para bawahan.

6. Tipe dan Gaya Kepemimpinan


a. Kepemimpinan yang otokratis
Pemimpin yang bersifat otokratis (authocratic) adalah tipe yang membuat
semua keputusan sendiri tanpa membicarakannya terlebih dahulu. Mereka
menentukan tujuan bisnis sendiri, memberi instruksi lengkap kepada karyawan,
dan akan selalu memastikan bahwa instruksi tersebut dijalankan secara persis.
Karyawan yang terbiasa bekerja di bawah pemimpin tipe ini akan tergantung
dengan pemimpin mereka dan tingkat inisiatif mereka akan rendah. Motivasi
mereka pun rendah dan karena itu bisnis tersebut harus mengawasi karyawan
mereka. Cara pemimpin tipe ini berkomunikasi juga satu arah; mereka akan
memberi instruksi, dan tidak akan menerima masukan dari karyawan.
Tipe kepemimpinan ini sering digunakan di pekerjaan yang berhubungan
dengan krisis. Contohnya, di dalam kepolisian atau tim pertolongan pertama.
Pemimpin yang bertanggung jawab di tim pertolongan pertama akan memberikan
instruksi secepat mungkin tanpa meminta masukan dari anggota tim mereka. Bila
mereka menunggu anggota lain menyetujui instruksi pemimpin tersebut, maka
krisis yang mereka hadapi mungkin akan bertambah buruk sebelum mereka mulai
membantu.
b. Kepemimpinan yang laisssez faire
Tipe pemimpin laissez-faire adalah tipe kepemimpinan yang keterbalikannya
pemimpin otokratis. Di mana pemimpin otokratis akan memberi instruksi dan
memastikan bahwa instruksi mereka dilakukan secara persis, pemimpin laissez-
faire hampir tidak memberi instruksi sama sekali dan membiarkan karyawan
mereka memutuskan cara kerja mereka. Kata laissez-faire ((leɪ seɪ ˌfeə(ɹ)) sendiri
adalah bahasa Perancis yang berarti “membiarkan mereka untuk melakukannya”
dan tipe kepemimpinan tersebut persis seperti itu. Tipe kepemimpinan ini sangat
efektif di tim peneliti atau desain. Para ahli di bidang ini biasanya akan bekerja
lebih maksimal saat mereka tidak diawasi dengan ketat dan diberikan kebebasan
untuk bekerja menurut metode yang mereka sukai.
Bila diterapkan ke tempat yang cocok, laissez-faire dapat meningkatkan
motivasi karyawan dengan banyak dan memaksimalkan pekerjaan karyawan
mereka, namun bila diterapkan ke tempat yang salah maka laissez-faire bisa
menjadi bencana. Membiarkan karyawan kita untuk melakukan pekerjaan mereka
tanpa memberikan instruksi ataupun pengawasan dapat memperburuk percaya diri
mereka dan keputusan yang dibuat, karena mereka tidak pernah terlalu yakin
bahwa yang apa dilakukan sudah cocok dengan tujuan bisnis pekerjaan mereka.
Motivasi mereka pun juga bisa berkurang karena mereka merasa bahwa mereka
tidak lagi yakin akan pekerjaan mereka dan atasan mereka mengacuhkan mereka.
c. Kepemimpinan yang demokratis
Pemimpin bersifat demokratis adalah tipe yang akan berdiskusi terlebih
dahulu sebelum membuat sebuah keputusan. Komunikasi berjalan dua arah di
tempat kerja yang memiliki pemimpin tipe ini; sang pemimpin akan selalu
menginginkan masukan dari karyawan mereka. Orang-orang yang ingin
menggunakan kepemimpinan tipe ini harus mempunyai kemampuan dalam
berkomunikasi agar dapat menjelaskan masalah yang ingin dihadapi dengan jelas,
sekaligus mengerti betul jawaban-jawaban yang diberikan oleh karyawan mereka.
Karena mengambil masukan dari banyak orang, keputusan yang dibuat oleh
pemimpin macam ini bisa lebih baik dari pemimpin yang tidak meminta masukan.
Masukan dari karyawan juga berharga karena karyawan kita memiliki
pengalaman lebih banyak bekerja di lapangan (atau langsung dengan pekerja
lainnya). Menurut teori Herzberg (two-factor theory), karyawan yang diberikan
tanggung jawab lebih banyak juga akan lebih termotivasi. Karena para karyawan
juga merasa bahwa keputusan yang digunakan adalah sebagian dari ide mereka
juga, mereka akan lebih berkomitmen terhadap kesuksesan keputusan tersebut.
Walaupun keputusan yang dibuat mungkin lebih baik, namun karena memerlukan
masukan dari karyawan terlebih dahulu, maka pembuatan keputusan tersebut akan
memakan waktu yang lebih lama. Karena itu, tipe kepemimpinan seperti ini tidak
akan bisa digunakan di situasi dan tipe bisnis yang memerlukan keputusan dengan
cepat.

Anda mungkin juga menyukai