Anda di halaman 1dari 4

BERITA HOAX

1.Sila Pertama Pancasila Diubah Jadi Ketuhanan yang


Berkebudayaan :
Klaim bahwa sila pertama Pancasila diubah dari "Ketuhanan yang Maha Esa"
menjadi "Ketuhanan yang Berkebudayaan" beredar di Facebook. Menurut klaim
tersebut, perubahan sila pertama Pancasila ini tertuang dalam Rancangan Undang-
Undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila (HIP).

Salah satu akun yang membagikan narasi itu adalah akun Hafid Daeng Al
Makassary, yakni pada 13 Juni 2020. Akun ini juga mengunggah foto siaran program
Kabar Petang di stasiun televisi tvOne. Topik yang dibahas dalam siaran itu adalah
"RUU Pancasila Buka Pintu Komunisme?".

Terdapat pula narasumber dalam program tersebut, yakni anggota Komisi III
DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Masinton Pasaribu. Hingga artikel ini dimuat,
unggahan itu telah dibagikan lebih dari 200 kali.

Unggahan tersebut beredar di tengah penolakan RUU HIP yang saat ini sedang
dibahas di DPR. RUU HIP masuk ke dalam program legislasi prioritas DPR pada
2020 dan sudah disetujui dalam Rapat Paripurna DPR sebagai inisiatif DPR.
Persetujuan ini diperoleh setelah mayoritas fraksi memberikan dukungan.

Salah satu ormas yang menolak RUU tersebut adalah Pengurus Pusat (PP)
Muhammadiyah. Mereka menilai materi RUU HIP banyak bertentangan dengan
UUD 1945 dan sejumlah undang-undang. Hal itu berpotensi membuka kembali
perdebatan ideologis dalam sejarah perumusan Pancasila yang sudah berakhir.

Namun, apa benar di RUU HIP sila pertama Pancasila diubah menjadi
"Ketuhanan yang Berkebudayaan"?

Untuk memverifikasi klaim di atas, Tim CekFakta Tempo mula-mula memeriksa


foto yang diunggah oleh akun Hafid Daeng Al Makassary dengan memasukkan kata
kunci sesuai judul program yang tertera, yakni "RUU Pancasila Buka Pintu
Komunisme?", ke kolom pencarian di kanal YouTube tvOne.
Dengan cara itu, Tempo menemukan bahwa siaran program dengan narasumber
anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDIP Masinton Pasaribu tersebut pernah
ditayangkan pada 13 Juni 2020. Siaran itu diberi judul "Pasal 7 RUU Pancasila HIP
Tuai Kontroversi, Abdul Mu'ti: Jangan Buka Sejarah yang Harusnya Dikubur".

Dalam siaran tersebut, disinggung tentang frasa "Ketuhanan yang


Berkebudayaan" yang tertera dalam Pasal 7 RUU HIP. Frasa ini menuai kontroversi
karena dianggap mereduksi arti ketuhanan. Masinton membantah hal tersebut.
Menurut dia, frasa itu muncul dalam pidato Bung Karno di Sidang BPUPKI pada 1
Juni 1945.

"Bahwa setiap orang Indonesia hendaknya percaya pada Tuhan. Landasan


kepercayaan pada Tuhan ini satu-kesatuan dengan empat sila lainnya yang
menghormati kemanusiaan, kehidupan, perbedaan, dan sebagainya. Ketika kita
bicara Pancasila sejak proses kelahirannya pada 1 Juni hingga 18 Agustus 1945, itu
adalah satu tarikan napas, satu rangkaian proses historis bangsa kita dalam
merumuskan Pancasila. Ini sudah disampaikan secara gamblang oleh Bung Karno
dalam pidato di Sidang BPUPKI itu. Jadi, ini adalah sebuah penegasan dalam
rangkaian proses historis itu. Nah, tentu Pancasila yang kita kenal saat ini adalah
dengan urut-urutan sila yang sekarang. Namun, sebelum dia berproses menjadi
urut-urutan sila yang sekarang, ada proses historis awalnya. Nah, di situlah
diletakkan dalam draf RUU ini. Bukan berarti kita kemudian mengabaikan hal-hal lain
yang sudah secara monumental dan bersama-sama, konsensus dasar berbangsa
kita, tokoh-tokoh bangsa kita merumuskan ini dan menerima Pancasila secara
bersama-sama. Maka, kesimpulannya, tidak ada yang berubah di sini. Justru saling
menguatkan, menegaskan aspek historisnya," ujar Masinton.

Tempo pun mengecek draf RUU HIP yang diunggah di situs resmi DPR. Berikut
narasi lengkap Pasal 7 yang memuat frasa “Ketuhanan yang Berkebudayaan”:

Ciri pokok Pancasila adalah keadilan dan kesejahteraan sosial dengan


semangat kekeluargaan yang merupakan perpaduan prinsip ketuhanan,
kemanusiaan, kesatuan, kerakyatan/demokrasi politik dan ekonomi dalam satu
kesatuan.
Ciri Pokok Pancasila berupa trisila, yaitu: sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta
ketuhanan yang berkebudayaan.
Trisila sebagaimana dimaksud pada ayat 2 terkristalisasi dalam ekasila, yaitu gotong-
royong.
Dalam Pasal 7 tersebut, tidak tercantum narasi bahwa sila pertama Pancasila diubah
dari sebelumnya berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa” menjadi "Ketuhanan yang
Berkebudayaan". Meskipun begitu, pasal ini menyinggung rumusan trisila-ekasila yang
dinilai oleh PP Muhammadiyah mereduksi Pancasila.
RUU HIP tidak mendesak
Selain ormas, sejumlah akademisi mengkritik RUU HIP ini. Pengajar hukum tata
negara di Sekolah Tinggi Hukum Jentera, Bivitri Susanti, mengatakan RUU HIP
mengandung banyak pasal yang tidak lazim, yaitu hanya bersifat pernyataan, definisi,
hingga political statement.
"Norma hukum biasanya mengatur perilaku dan kelembagaan. Di dalam UU, ada
pasal 'siapa melakukan apa' dan bukan pernyataan-pernyataan. Memang biasanya ada
pasal definisi dan asas, namun setelahnya ada pasal-pasal yang mengatur perilaku,"
kata Bivitri seperti dikutip dari Tirto. Dia pun menyatakan RUU ini tidak mendesak.
"Pancasila tentu amat sangat penting, tapi masalah riil yang kita hadapi adalah pandemi
COVID-19."
Ahli hukum tata negara Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar juga
mempermasalahkan isi RUU HIP. Ia menilai banyak pasal yang isinya multitafsir dan
akhirnya mubazir. "Misalnya, Pasal 7 yang menjelaskan Pancasila bisa diperas jadi tiga
sila dan diperas lagi jadi satu sila, yakni gotong royong. Buat apa isi pidato Sukarno
dijadikan bunyi pasal?" kata Zainal.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati sependapat
dengan Bivitri. Menurut dia, RUU HIP tidak mendesak sama sekali. "Ini berpotensi
mengendalikan hak kebebasan berekspresi. Persis seperti Orba (Orde Baru) karena
terlihat sekali ada upaya memonopoli tafsir Pancasila," kata Asfinawati.
Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa di RUU HIP sila pertama
Pancasila diubah menjadi "Ketuhanan yang Berkebudayaan" menyesatkan. Frasa itu
memang disebutkan sebagai ciri pokok Pancasila dalam Pasal 7 RUU HIP. Namun,
dalam RUU tersebut, tidak tercantum narasi bahwa sila pertama Pancasila diubah dari
sebelumnya berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa” menjadi "Ketuhanan yang
Berkebudayaan". Meskipun begitu, sejumlah pihak menilai RUU HIP tidak mendesak
untuk disahkan dan secara substansi mengandung pasal-pasal yang multitafsir.

HIMBAUAN :

Ketika kita memperoleh informasi tersebut, jangan percaya dulu. Kita harus mencari
kebenarannya dengan cara, membaca banyak sumber informasi tersebut dan
mengartikan serta memahami setiap informasi yang kita dapatkan. Setelah itu, jika
informasi tersebut bermanfaat bagi orang lain maka boleh di sebarkan dan jika informasi
tersebut malah menimbulkan kerugian bagi orang lain maka tidak boleh sembarangan di
sebarkan. Maka, kita harus tetap waspada dan teliti dulu setiap informasi yang masuk,
baik melalui media sosial maupun melalui media yang lain.

Anda mungkin juga menyukai