Sampah plastik sudah menjadi salah satu masalah terbesar yang dihadapi di seluruh dunia,
termasuk Indonesia. Di Indonesia sendiri, limbah yang dihasilkan dari sampah plastik sudah
sangat banyak dan sangat parah. Bahkan menurut data dari newsecuritybeat, Nabila Shahab,
"Indonesia is Facing a Plastic Waste Emergency“, pada 11 Juni 2021, Indonesia
menyumbang lebih dari 600.000 ton sampah plastik ke laut tiap tahunnya.
Melalui data yang diberikan oleh BPS (Badan Pusat Statistik) DKI Jakarta, Jakarta
menghasilkan 22,95% sampah plastik pada tahun 2022.
Seperti yang diketahui, Indonesia merupakan salah satu negara penyumbang sampah plastik
terbesar di dunia. Dalam lingkup kecil saja seperti lingkungan masyarakat sekitar, masih
banyak orang yang membuang sampah sembarangan, terlebih itu adalah sampah plastik.
Meski dapat terurai secara alami, namun prosesnya sangat lama, sehingga butuh kerja sama
sesama masyarakat sekitar untuk gotong-royong membersihkan sampah, selain itu juga
mengurangi penggunaan barang-barang plastik. Di lingkungan sekolah dan kampus sendiri
masih ditemukan banyak pelajar yang menganggap bahwa sampah plastik itu sama dengan
sampah lain pada umumnya.
Menurut survey dari databoks.katadata.co.id, ada 5 alasan utama kenapa plastik masih
sering digunakan di lingkungan Masyarakat, terutama pelaku UMKM;
Praktis (65,5%)
Mudah didapat (61,2%)
Harganya murah (55,1%)
Mudah digunakan (51,9%)
Fleksibel (39,1%)
Lainnya (6,7%)
Lalu, apa hubungannya sampah plastik dengan Arsitektur? Ada salah satu peran penting yang
menghubungkan antara kedua hal ini, yaitu SDGs (Sustainable Development Goals). SDGs
yang paling berpengaruh dan menjadi peran penting antara masalah limbah plastic dan
arsitektur adalah SDG goals ke-11, yaitu “SUSTAINABLE CITIES AND COMMUNITIES”,
yangmana salah satu tujuan dari SDG ini tentunya adalah membuat kota yang lebih
berkelanjutan dan hemat energi.
Sebagai contoh, permasalahan yang sedang dihadapi saat ini adalah masalah polusi udara.
Apa hubungannya dengan sampah plastik? Sampah plastik yang belum terurai dapat
mengeluarkan gas metana dan etilena, yang menjadi salah satu penyebab utama terjadinya
perubahan iklim. Dampak dari hal ini nantinya akan menyebabkan Global Warming
(Pemanasan Global), yang nantinya akan membuat suhu permukaan di bumi meningkat
drastis. Hal ini sendiri dapat berdampak pada bangunan-bangunan yang memiliki fasad
dengan material kaca yang akan memantulkan panas dari matahari ke lingkungan sekitar atau
bangunan yang tidak memiliki material dalam menyerap/memantulkan panas matahari.
Contoh lainnya yang sangat berdampak pada bangunan itu sendiri ada pada sampah plastik
yang dibuang. Dikarenakan sampah plastik memiliki durasi yang sangat lama agar dapat
terurai, maka sampah plastik yang belum terurai itu dapat membuat terjadinya pencemaran
tanah, sehingga dapat mengganggu dan merusak kualitas dari tanah itu sendiri, apalagi jika
tanah itu nantinya akan dibangun sebuah bangunan. Maka dari itu, saat ini sudah mulai
banyak dimanfaatkan sampah plastik menjadi material untuk bahan bangunan. Hal ini
dilakukan agar dapat membantu mengurangi pembuangan sampah plastik yang berlebih.
(Rumah Botol, Bolivia)
Salah satu contoh pemanfaatan sampah plastik menjadi bahan bangunan ada pada Rumah
Botol yang dibangun di Bolivia. Pemiliki dari rumah ini adalah Ingrid Vaca Diez yang
membuat rumah ini dengan menggunakan botol plastik. Hal ini dilakukan sebagai salah satu
cara dalam membantu mengurangi pembuangan sampah plastik yang berlebihan. Rumah
seluas 170 m2 ini membutuhkan sekitar 36.000 botol plastik. Hingga tercatat Diez sudah
membantu membangun sampai 300 rumah dengan menggunakan jutaan botol plastik.