Anda di halaman 1dari 18

BUKTI DAN PETUNJUK EVOLUSI, ANALISIS FOSIL DAN

KERAGAMAN HAYATI, DAN PETUNJUK EVOLUSI

MAKALAH
Untuk memenuhi tugas mata kuliah Evolusi yang
diampu oleh Prof. Dr. H. Abdul Gofur, M.Si.

Disusun oleh:
Kelompok 2 / Offering H-HP
Aura Agatha Putri (190342621271)
Diva Casanu Putri (190342621226)
Leni Samara (190342621276)
Nina Aulia (190342621209)
Yudha Dwi Kartika (190342621297)

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
PRODI S1 BIOLOGI
September 2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul "Bukti Dan Petunjuk Evolusi, Analisis Fosil Dan Keragaman Hayati, Dan Petunjuk
Evolusi" ini. Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah
Evolusi dan juga untuk memperluas dan menambah pengetahuan serta wawasan keilmuan
bagi pembaca dan penulis makalah.
Adapun makalah mengenai Bukti Dan Petunjuk Evolusi, Analisis Fosil Dan
Keragaman Hayati, Dan Petunjuk Evolusi ini telah kami usahakan semaksimal mungkin dan
tentunya dengan bantuan berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah
ini. Untuk itu pertama kami tidak lupa menyampaikan terima kasih kepada Prof. Dr. H.
Abdul Gofur, M.Si. selaku dosen pengampu yang telah membimbing kami dalam mata kuliah
parasitologi ini serta memberi banyak ilmu pengetahuan baru pada kami. Selain itu, kepada
semua anggota kelompok juga kami menyampaikan terima kasih dan apresiasi karena telah
menyelesaikan makalah ini dengan baik. Namun tidak lepas dari semua itu, kami menyadari
sepenuhnya bahwa ada kekurangan baik dari segi penyusun bahasanya maupun segi lainnya.
Oleh karena itu dengan lapang dada dan tangan terbuka kami membuka selebar-lebarnya bagi
pembaca yang ingin memberi saran dan kritik kepada kami sehingga kami dapat
memperbaiki makalah ini nantinya.
Akhir kata, penyusun mengharapkan semoga dari makalah ini kita dapat mengambil
hikmah dan manfaatnya sehingga dapat memberikan inspirasi terhadap pembaca dan peneliti
di masa yang akan datang.

Malang, 27 September 2022

Penyusun

(Kelompok 2)

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN 2
Latar Belakang 2
Rumusan Masalah 2
Tujuan 3
BAB II PEMBAHASAN 4
Analisis Fosil 4
Embriologi Perbandingan 5
Anatomi Perbandingan 6
Organ yang Mengalami Rudimentasi 7
Biogeografi 8
Domestikasi 10
Keanekaragaman Hayati 10
Perbandingan Genetika 11
BAB 3 KESIMPULAN 13
DAFTAR PUSTAKA 14

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Evolusi merupakan perubahan yang berlangsung sedikit demi sedikit dan memakan
waktu yang lama (Candramila dkk., 2016). Perubahan yang dimaksudkan disini adalah
perubahan struktur dan fungsi makhluk hidup dari yang sederhana menuju struktur dan
fungsi yang kompleks dan beragam. Perubahan tersebut bukan merupakan waktu yang
sangat sedikit melainkan merupakan waktu yang sangat lama atau bahkan beratus-ratus
juta tahun yang lalu. Evolusi yang berkelanjutan selama beberapa generasi dapat
mengakibatkan pengembangan varietas dan spesies baru. Demikian juga, kegagalan untuk
berkembang sebagai respon terhadap perubahan lingkungan dapat menyebabkan
kepunahan. Kepunahan terjadi tidak hanya karena mundurnya struktur dan fungsi tetapi
juga dapat terjadi karena perkembangan struktur dan fungsi yang melebihi proporsinya
sehingga makhluk hidup tersebut tidak mampu bertahan hidup (Situmorang, 2021).

Evolusi yang terjadi di bumi ini telah berlangsung sejak beratus-ratus juta tahun
yang lalu. Di dalam evolusi terdapat namanya evolusi biologi. Evolusi biologis adalah
perubahan genetik dalam suatu populasi dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Kecepatan dan arah perubahannya adalah variabel dengan garis-garis spesies yang
berbeda dan pada waktu yang berbeda. Bukti-bukti mengenai adanya evolusi sudah mulai
bermunculan dan memunculkan polemic tersendiri di dalam masyarakat (Eka, 2021).

Kecaman dari berbagai pihak tentang teori evolusi, mendorong para pendukung
teori evolusi membuktikan kebenaran teori evolusi. Hal-hal yang perlu dibuktikan dalam
teori evolusi sebenarnya sudah dibahas dalam buku Darwin ”The Origin of Species by
Means Natural Selection” (Masruroh dkk., 2018). Upaya untuk mencari bukti sampai
sekarang lebih mengarah pada petunjuk adanya evolusi daripada bukti adanya evolusi.
Pemaparan bukti evolusi harus dilakukan dengan pendekatan multidisipliner. Adapun
bukti evolusi yang sering dipakai adalah fosil, anatomi komparatif, struktur sisa,
embriologi komparatif, biokimia komparatif dan biogeografi.

Pada makalah ini, pemakalah akan menyajikan bukti-bukti evolusi yang telah
dikemukakan oleh beberapa ahli sebagai bahan pembelajaran dan perbandingan dalam
mempelajari evolusi.

2
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah penjelasan analisis fosil sebagai bukti evolusi?
2. Bagaimanakah penjelasan embriologi perbandingan sebagai bukti evolusi?
3. Bagaimanakah penjelasan organ yang mengalami rudimentasi sebagai bukti evolusi?
4. Bagaimanakah penjelasan biogeografi sebagai bukti evolusi?
5. Bagaimanakah penjelasan domestikasi sebagai bukti evolusi?
6. Bagaimanakah penjelasan keanekaragaman hayati sebagai bukti evolusi?
7. Bagaimanakah penjelasan perbandingan genetika sebagai bukti evolusi?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui penjelasan analisis fosil sebagai bukti evolusi
2. Untuk mengetahui embriologi perbandingan sebagai bukti evolusi.
3. Untuk mengetahui penjelasan organ yang mengalami rudimentasi sebagai bukti
evolusi.
4. Untuk mengetahui penjelasan biogeografi sebagai bukti evolusi.
5. Untuk mengetahui penjelasan domestikasi sebagai bukti evolusi.
6. Untuk mengetahui penjelasan keanekaragaman hayati sebagai bukti evolusi.
7. Untuk mengetahui penjelasan perbandingan genetika sebagai bukti evolusi.

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Analisis Fosil

Fosil merupakan sisa-sisa atau bekas-bekas makhluk hidup yang menjadi batu atau
mineral. Fosil berasal dari makhluk hidup yang mati dan terhindar dari proses
pembusukan, perlindungan dari pembusukan sering terjadi ketika makhluk hidup
tersebut dikubur. Ketika dikubur, utamanya dalam sedimen dengan butiran yang kecil,
maka proses pembusukan oleh oksigen dan bakteri akan melambat, fosil terbentuk dari
makhluk hidup yang mati dalam lingkungan yang bebas oksigen (Hudd, 2019).
Fosil yang berhasil ditemukan jarang terawetkan dalam bentuknya yang asli, dalam
beberapa kasus kandungan mineral berubah secara kimiawi atau sisa-sisanya terlarut
seluruhnya sehingga digantikan dengan cetakan. Salah satu proses fosilisasi ini terjadi
ketika cangkang maupun tulang tertanam dalam lapisan sedimen di bawah permukaan
air, kemudian meninggalkan bekas berupa bentukan atau cetakan dari organisme
tersebut. Fosil yang umum ditemukan merupakan fosil yang berasal dari kerangka kapur
seperti tulang dan cangkang, sementara fosil dari jaringan lunak sangat jarang ditemukan
(Arbi, 2012).
Fosil tersebar dan ditemukan di berbagai macam lapisan bumi, sehingga penentuan
umurnya dapat didasarkan pada umur lapisan dimana fosil tersebut berada. Metode
untuk menentukan usia fosil yang mengacu pada lapisan tanah tempat fosil berada
disebut metode Relatif. Umumnya fosil yang ditemukan di lapisan tanah yang paling
dalam mempunyai umur yang lebih tua sedangkan fosil yang ditemukan pada lapisan
yang lebih atas mempunyai umur yang lebih muda, akan tetapi metode ini menjadi tidak
akurat karena terdapat perbedaan pendapat para ahli geologi pada penilaian unsur tanah,
ini berdampak pada penentuan umur fosil yang tidak sama pada tiap ahli geologi (Nastiti
dan Widyaningsih, 2016).
Terdapat perbedaan fosil-fosil yang ditemukan di berbagai lapisan bumi yang
menandakan adanya proses evolusi. Salah satu fosil yang dapat dipelajari dalam proses
evolusi adalah fosil kuda, fosil kuda cukup lengkap karena kuda hidup dalam kelompok
yang cukup besar sehingga meninggalkan sejumlah besar fosil dari masa ke masa. Fosil
kuda yang paling primitif adalah dengan Hyracotherium, termasuk kelompok Eohippus,
yang muncul dari Eocene awal di Amerika Utara dan Eropa. Ciri-ciri Eohippus

4
berdasarkan rangkanya dapat dideskripsikan sebagai berikut: kuda ini memiliki tinggi
20-50 cm, berleher pendek dan mempunyai kaki depan yang berbeda dengan kaki
belakang, kaki depan jumlah jari kakinya empat dan kaki belakang jumlah jarinya hanya
tiga; jari keempat dan kelima masih ada tapi kecil sekali; gigi geraham pendek yang
sesuai untuk memakan tunas-tunas rumput. Selanjutnya ditemukan Mesohippus,
perkembangannya dimulai pada zaman Oligocene dengan morfologi tinggi badan yakni
sekitar 45 cm, bentuk punggung menyerupai Eohippus, mempunyai kaki lebih panjang
dengan tiga jari kaki, gigi premolar dan incisor lebih kuat sehingga mampu memotong
daun-daun yang lebih beragam. Kemudian ditemukan Miohippus, yang diduga
berkembang pada akhir zaman Oligocene dan awal Miocene dengan tinggi badan sekitar
60 cm, bentuk kaki dan gigi lebih berkembang dibanding Mesohippus, memiliki tiga jari
kaki bagian tengah lebih menonjol dan mempunyai gigi seri yang lebih jelas. Lalu
dijumpai Merychippus yang berkembang pada pertengahan dan akhir zaman Miocene
dengan tinggi badan diatas 90 cm, jari kaki tengah semakin membesar sedangkan kedua
jari kaki lainnya mengecil, gigi seri semakin jelas dan semakin sesuai untuk merumput,
berleher panjang sehingga memungkinkan menggapai makanan di permukaan dan
meningkatkan jarak pandang. Baru pada Pleistocene muncul apa yang disebut Pliohippus
yang jari sampingnya sudah mereduksi. Pada akhir Pleistosen akhir sudah muncul nenek
moyang kuda yang berjari satu, kuda ini memiliki tinggi badan 122 cm, seluruh gigi
untuk merumput telah lengkap, jenis ini merupakan prototipe kuda modern (Restiyadi,
dkk., 2012).

B. Embriologi Perbandingan

Beberapa kelas vertebrata, seperti ikan, reptil, burung dan mamalia, meskipun
bentuk individu dewasanya berbeda jenis satu sama lainnya, namun fase awal dari
perkembangan embrionya sangat mirip. Organisme dengan hubungan kekerabatan yang
dekat akan mengalami tahapan yang sama dalam perkembangan embriony. Semua
tahapan perkembangan embrio terdiri dari tahap morula, blastula, gastrula, dan
organogenesis (Zulfa, dkk., 2021). Mengenai perkembangan embrio Karl von Baer,
menyatakan bahwa sifat-sifat umum muncul paling awal kemudian diikuti sifat-sifat
khusus; perkembangan dimulai dari yang umum sekali, kemudian kurang umum, dan
akhirnya ke sifat-sifat yang khusus (Sumarmin, 2016).
Pada tahap perkembangan embrio, semua vertebrata memiliki banyak kesamaan,
akan tetapi setelah mengalami perkembangan selanjutnya akan semakin bervariasi dan

5
akhirnya akan memiliki ciri khas dari kelasnya sendiri-sendiri. Pada embriologi
perbandingan seringkali membentuk homologi pada beberapa struktur yang berubah
menjadi sedemikian rupa pada perkembangan selanjutnya sehingga tidak sama dengan
mulanya ketika dibandingkan dengan yang telah berkembang lengkap (Eka, 2021).
Perkembangan individu mulai dari sel telur dibuahi hingga menjadi individu dewasa
disebut ontogeni, sedangkan filogeni yaitu sejarah perkembangan makhluk hidup dari
makhluk yang hidup sebelumnya. Para ahli berpendapat bahwa ontogeni (perkembangan
individu) adalah ulangan dari revolusi filogeni (perkembangan hubungan kekerabatan
organisme). Pandangan ini dipengaruhi oleh pendapat Darwin mengenai pewarisan yang
dimodifikasi. Kaidah ini dianggap terlalu berlebihan karena meskipun semua vertebrata
memiliki banyak ciri perkembangan embrio yang sama, tidak benar bahwa vertebrata
berevolusi dari tahap perkembangan ikan menjadi tahap reptil, kemudian menjadi
berkaki empat dan seterusnya (Catania, 2014).

C. Anatomi Perbandingan

Teori evolusi memprediksi bahwa keterkaitan organisme ditunjukkan dengan


adanya kesamaan organ yang berasal dari nenek moyang umum. Para ahli anatomi
perbandingan mencoba menemukan persamaan dan perbedaan antara struktur dasar
(fundamental structure) organisme hidup. Sebagai contoh elemen kerangka yang sama
menyusun tungkai depan manusia, kadal, kucing, paus, kelelawar, katak dan burung.
Meskipun tungkai tersebut memiliki fungsi yang sangat berbeda. Tungkai depan semua
vertebrata dibangun dari unsur kerangka yang sama, dan terlihat adanya hubungan
arsitektur seperti yang kita harapkan jika tungkai depan leluhur yang sama dimodifikasi
menjadi beberapa struktur untuk mengemban berbagai jenis fungsi yang berbeda
(Ristasa, 2013).
Di dalam tubuh setiap organisme banyak terdapat bukti tentang sejarah kehidupan
mereka dan penjelasan terbaik untuk keberadaan fitur ini adalah dengan evolusi. Bagian
tubuh yang memiliki fungsi yang sama tetapi berbeda dalam struktur/bentuk dasar
seperti sayap burung dengan sayap serangga, disebut struktur analog. Analogi adalah dua
organ yang mempunyai bentuk dasar berbeda, tetapi akibat peristiwa evolusi menjadikan
organ tersebut mempunyai fungsi yang sama. Contohnya adalah belalai gajah analog
dengan tangan manusia serta sayap burung analog dengan sayap kupu-kupu (Hendriani,
2017).

6
Kemiripan dalam ciri khusus yang dihasilkan dari leluhur yang sama disebut
homologi, dan tanda-tanda anatomis seperti itu disebut dengan struktur homolog. Dapat
dikatakan bahwa homologi merupakan dua organ yang mempunyai bentuk dan fungsi
yang berbeda, tetapi kedua organ tersebut memiliki bentuk dasar yang sama. Anggota
tubuh depan dari manusia dipakai untuk memegang. Burung dan kelelawar anggota
tubuh depan untuk terbang. Kaki depan buaya dan salamander untuk berjalan. Organ
tersebut memiliki bentuk dasar sama, tetapi adanya evolusi, organ tersebut berbeda.
Akibatnya, perubahan adaptasi berbeda sehingga fungsi menjadi berbeda (Sari, 2020).

Gambar 2.1 Struktur homolog, tanda anatomis proses evolusi (Ristasa, 2013)

D. Organ yang Mengalami Rudimentasi


Rudimentasi organ merupakan petunjuk adanya evolusi. Organ yang berguna pada
suatu makhluk hidup, pada makhluk hidup lain mungkin kurang berfungsi. Organ
vestigial (organ sisa yang tidak berguna lagi/ organ yang mengalami rudimentasi), yaitu
7
struktur dengan arti penting yang kecil, jika ada, bagi organisme tersebut. Organ
vestigial merupakan sisa-sisa historis dari struktur yang memiliki fungsi penting pada
leluhurnya. Kenyataannya meskipun alat tersebut tidak lagi menunjukkan suatu fungsi
nyata tapi tetap dijumpai secara nyata dan jumlahnya boleh dikatakan cukup banyak.
Adapun organ-organ sisa antara lain: apendiks, selaput mata sebelah dalam,
otot-otot penggerak telinga, tulang ekor, gigi taring yang runcing, geraham ketiga,
rambut didada, mammae pada laki-laki, musculus piramidalis dan masih banyak lagi.
Salah satu contoh organ vestigial pada mamalia yakni paus yang masa kini tidak
memiliki tungkai belakang tetapi memiliki sisa tulang pelvis dari kaki leluhur daratnya
yang berkaki empat Pada tingkat dasar, organ vestigial tampaknya bisa mendukung
konsep "use dan disuse" yang dikemukakan oleh Lamarck, tetapi pengaruh penggunaan
struktur tubuh oleh suatu individu tidak diwariskan ke keturunan individu tersebut.
Sebaliknya, organ vestigial merupakan bukti evolusi melalui seleksi alam (Ristasa,
2013).

Gambar 2.2 Organ vestigial pada paus, sisa tulang pelvis (Ristasa, 2013)

E. Biogeografi
Biogeografi adalah salah satu bukti yang digunakan untuk menunjukkan garis
keturunan evolusioner melalui distribusi geografis dari spesies. Distribusi organisme
dipengaruhi oleh beberapa hal, yakni sejarah, iklim masa lalu, bentuk benua-benua dan
hubungan ekologis masa lalu hingga masa sekarang, serta semua interaksi satu sama
lainnya. Kompleksitas hubungan ini menyebabkan para pakar biogeografi untuk
memusatkan pada salah satu dari dua pendekatan utama bidang ilmu ini. Biogeografi
menekankan terutama pada sejarah evolusi (perkembangan) dari kelompok-kelompok
organisme. Darwin memperoleh ide tentang evolusi pertama kali dari fenomena
penyebaran geografis spesies. Darwin mencatat bahwa tumbuhan dan hewan di daerah
beriklim sedang (temperata) Amerika Selatan lebih dekat kekerabatannya dengan spesies
8
yang hidup di daerah tropis benua tersebut dibandingkan dengan spesies didaerah
beriklim sama namun hidup di benua lain (Halffter & Morrone, 2017). Dengan
demikian, penjelasan yang paling tepat adalah organisme yang ada di suatu pulau
memiliki kekerabatan dengan organisme yang ada di pulau terdekatnya karena
berkembang dari nenek moyang yang sama.
Iklim adalah faktor utama yang dapat menentukan tipe tanah atau spesies tumbuhan
yang ada di suatu daerah, sedangkan jenis tumbuhan yang ada dapat menentukan jenis
hewan dan mikroorganisme yang menghuni daerah tersebut. Pada dasarnya, iklim
tergantung dari matahari. Matahari tidak hanya mempengaruhi intensitas cahaya yang
tersedia untuk proses fotosintesis, tetapi juga untuk temperatur umumnya (Halffter &
Morrone, 2017). Komponen iklim lain yang menentukan organisme apa yang dapat
hidup di suatu daerah adalah kelembaban. Kelembaban ini umumnya juga bergantung
pada cahaya matahari dan temperatur. Curah hujan yang banyak diperlukan untuk
mendukung pertumbuhan pohon-pohon yang besar. Selain itu, curah hujan yang lebih
sedikit membantu komunitas yang didominasi oleh pohon-pohon pendek, semak belukar,
rumput, kaktus, dan juga tumbuhan gurun lainnya. Semakin tinggi curah hujan dan
temperatur (tanah) di suatu daerah maka semakin banyak jumlah tumbuhan yang
didukungnya. Dengan demikian, iklim adalah salah satu faktor utama terbentuknya
daerah-daerah biogeografi (Ferro et al., 2017).
Selain itu, adanya bukti-bukti observasi atau pengamatan memperkuat konsep
bahwa seleksi alam disebabkan akibat pengaruh dari lingkungan, sehingga muncul
spesies baru yang hanya dapat hidup beradaptasi atau dapat menyesuaikan diri dengan
kondisi topografinya maupun kondisi iklim di sekelilingnya (Morrone, 2015). Sebagai
buktinya, apa yang dilihat Darwin ketika menemukan bahwa spesies pada pulau tertentu
terhalang untuk berhubungan dengan spesies pada pulau-pulau dekat, dan bahwa spesies
sepulau umumnya berhubungan dengan spesies terdekat yang hidup dalam satu daratan.
Sebaliknya, tidak ada bukti yang mendukung keberadaan sekelompok “island species”
(spesies yang hanya ada pada pulau tertentu) dengan karakteristik tertentu ditemukan
dalam habitat-habitat pulau lain kemanapun kita mengelilingi dunia (Morrone, 2018).
Pada tingkatan yang lebih spesifik, biogeografi menunjukkan banyak bukti-bukti
mencolok yang mengarah pada kejadian evolusi konvergen (convergent evolution).
Organisme-organisme pada kenyataannya mempunyai biogeografi berbeda-beda. Namun
meski diturunkan dari keturunan nenek moyang yang sangat berbeda, mereka memiliki
kesamaan proses adaptasi pada habitat-habitat khusus. Sebagai contoh, tanaman kaktus
9
(famili Cactaceae) ditemukan di gurun pasir sebelah tenggara Amerika Utara, dan di
gunung pasir Andes, tetapi dulunya tidak ditemukan di tempat lain. Di samping itu
habitat-habitat kering dan tandus di Afrika ditempati oleh sekelompok tanaman dari
famili Euphorbiaceae (Halffter & Morrone, 2017). Contoh-contoh ini memperjelas teori
kekuatan seleksi alam dimana terbentuk ciri-ciri atau bentuk-bentuk yang sangat sama
oleh karena adaptasi pada lingkungan yang sama.

F. Domestikasi
Domestikasi adalah usaha manusia untuk menjadikan hewan/tanaman liar menjadi
tanaman/hewan yang dapat dikuasai dan bermanfaat bagi manusia (Zeller & Göttert,
2019). Pada dasarnya tindakan ini adalah memindahkan makhluk hidup dari lingkungan
aslinya ke lingkungan yang diciptakan oleh manusia dan modifikasi di bawah tekanan
yang didorong oleh antropogenik (Brown et al., 2009). Tindakan ini dapat
mengakibatkan timbulnya jenis-jenis hewan dan tumbuhan yang menyimpang dari
aslinya, yang mengarah terbentuknya spesies baru. Dipengaruhi oleh Analogi Darwin
terkait eksperimen domestikasinya, serta berdasarkan pengamatan bahwa seleksi buatan
berjalan seiring dengan perubahan frekuensi gen dari waktu ke waktu, dapat diterima
secara luas bahwa domestikasi dianggap sebagai bagian dari evolusi (Zeller & Göttert,
2019). Berdasarkan kerangka teori konsep spesies biologis dan konsep sistematika
filogenetik, dapat diadopsi pandangan objektif tentang fenomena domestikasi.
Peristiwa persilangan dari dua varietas tanaman/hewan sejenis juga dapat
menyebabkan terbentuknya variasi baru yang berbeda dari induknya yang dapat
menyebabkan terjadinya spesies baru. Hasil perjalanan Darwin menunjukkan bahwa
spesiasi dapat terjadi karena upaya domestikasi oleh manusia, misalnya upaya pemuliaan
tanaman maupun hewan (Smith & Winterhalder, 2017). Kegiatan domestikasi ini
semata-mata dilakukan demi kepentingan manusia, dimana manusia tidak lagi harus
mengembara untuk berburu binatang dan mengumpulkan tumbuhan untuk persediaan
makanan mereka.

G. Keanekaragaman Hayati
Keanekaragaman hayati dapat dikelompokkan menjadi 3, yaitu: (1) keanekaragaman
tingkat gen, (2) keanekaragaman tingkat jenis, dan (3) keanekaragaman tingkat
ekosistem (Afdal, 2016). Keanekaragaman tingkat gen menyebabkan adanya variasi
antar individu sejenis. Misalnya dalam satu keluarga, antara kakak dan adik tidak akan

10
sama persis meskipun keduanya berasal dari orang tua yang sama. Keanekaragaman
tingkat jenis menyebabkan adanya variasi individu spesies dalam suatu famili yang
sama. Misalnya dalam famili Felidae terdapat beberapa genus seperti Felis, Otocolobus,
Catopuma, Profelis, Prionailurus, Lynx, dan Caracal. Keanekaragaman tingkat
ekosistem disebabkan oleh adanya variasi dalam penyusun ekosistem. Misalnya susunan
populasi yang terdapat dalam ekosistem gurun akan berbeda dengan populasi yang
terdapat pada ekosistem hutan konifer. Adanya variasi tersebut dapat disebabkan oleh
adanya perubahan gen akibat mutasi atau rekombinasi dimana lingkungan dapat
berpengaruh secara tidak langsung (Hershberg, 2015).
Sifat yang menguntungkan dari hasil mutasi maupun rekombinasi dapat
meningkatkan peluang suatu organisme untuk bertahan hidup dan kemungkinan besar
sifat tersebut akan diturunkan. Seiring berjalannya waktu, sifat tersebut semakin banyak
jumlahnya dalam populasi menyebabkan adanya perbedaan dengan nenek moyang.
Adanya variasi sifat individu dalam keturunan yang sama tersebutlah yang dapat menjadi
petunjuk dari adanya evolusi. Misalnya burung unta memiliki nenek moyang yang dapat
terbang, namun seiring berjalannya waktu tubuh mereka mulai membesar dan kaki
mereka berkembang membuatnya lebih sesuai untuk berjalan atau berlari.

H. Perbandingan Genetika
Perbandingan genetik berasal dari teori Gregor Mendel terkait alel serta pewarisan
sifat. Mendel menyatakan bahwa suatu sifat atau karakteristik tidak diwariskan secara
terus menerus melainkan dalam suatu unit terpisah yang ia sebut sebagai “faktor”, saat
ini dikenal sebagai gen. Di dalam “faktor” tersebut terdapat dua “bentuk” yang kini
dikenal dengan sebutan alel. Dalam setiap sifat atau karakter terdiri dari dua alel yang
berasal dari kedua orang tua. Ekspresi dari alel tersebut dipengaruhi oleh kombinasi
antara kedua alel, yaitu: alel dominan dan alel resesif. Alel dominan dapat menutupi
ekspresi dari alel resesif, sedangkan alel resesif hanya dapat terekspresi ketika tidak ada
alel dominan (Schwarzbach et al, 2014).
Sitogenetik merupakan kombinasi antara ilmu sel dengan genetika yang membahas
tentang struktur, jumlah, fungsi kromosom dan korelasi antara sifat-sifat tersebut
(Haryono, 2018). Ilmu tersebut menyediakan pemahaman dasar akan susunan genom
yang dapat menjadi petunjuk terjadinya evolusi pada suatu kelompok taksa (Grzywacz et
al, 2019). Dasar petunjuk adanya evolusi tersebut dapat berasal dari kesamaan maupun
keragaman sifat. Kesamaan sifat dapat menjadi petunjuk adanya hubungan antara spesies

11
pada masa kini dengan individu yang berpotensi sebagai nenek moyang, sedangkan
adanya keragaman sifat dapat menjadi petunjuk telah terjadinya evolusi.
Misalnya dalam penelitian yang dilakukan oleh Husemann et al (2022), memakai
jumlah kromosom pada belalang untuk melakukan pemetaan terhadap nenek moyang
kelompok Acrididae tersebut. Belalang secara umum memiliki kromosom berjumlah 23
(22A + X0), namun beberapa kelompok mengalami reduksi menjadi 17 (16A + X0).
Hilangnya kromosom Y serta terjadinya penyusunan ulang kromosom (autosom maupun
gonosom) membuat beberapa spesies mengembangkan atau berevolusi membentuk
sistem jenis kelamin yang baru seperti neo-XY⚦ atau neo-X¹X¹X²X² ♀
(Palacios-Gimenez et al, 2018).

12
BAB 3
KESIMPULAN
● Terdapat perbedaan fosil-fosil yang ditemukan di berbagai lapisan bumi yang
menandakan adanya proses evolusi. Salah satu fosil yang dapat dipelajari dalam proses
evolusi adalah fosil kuda, fosil kuda cukup lengkap karena kuda hidup dalam kelompok
yang cukup besar sehingga meninggalkan sejumlah besar fosil dari masa ke masa.
● Para ahli berpendapat bahwa ontogeni (perkembangan individu) adalah ulangan dari
revolusi filogeni (perkembangan hubungan kekerabatan organisme).
● Kemiripan dalam ciri khusus yang dihasilkan dari leluhur yang sama disebut homologi,
dan tanda-tanda anatomis seperti itu disebut dengan struktur homolog. Dapat dikatakan
bahwa homologi merupakan dua organ yang mempunyai bentuk dan fungsi yang
berbeda, tetapi kedua organ tersebut memiliki bentuk dasar yang sama.
● Pada tingkat dasar, organ vestigial tampaknya bisa mendukung konsep "use dan disuse"
yang dikemukakan oleh Lamarck, tetapi pengaruh penggunaan struktur tubuh oleh suatu
individu tidak diwariskan ke keturunan individu tersebut. Sebaliknya, organ vestigial
merupakan bukti evolusi melalui seleksi alam.
● Pada tingkatan yang lebih spesifik, biogeografi menunjukkan banyak bukti-bukti
mencolok yang mengarah pada kejadian evolusi konvergen (convergent evolution).
Organisme-organisme pada kenyataannya mempunyai biogeografi berbeda-beda. Namun
meski diturunkan dari keturunan nenek moyang yang sangat berbeda, mereka memiliki
kesamaan proses adaptasi pada habitat-habitat khusus.
● Peristiwa persilangan dari dua varietas tanaman/hewan sejenis juga dapat menyebabkan
terbentuknya variasi baru yang berbeda dari induknya yang dapat menyebabkan
terjadinya spesies baru. Hasil perjalanan Darwin menunjukkan bahwa spesiasi dapat
terjadi karena upaya domestikasi oleh manusia, misalnya upaya pemuliaan tanaman
maupun hewan.
● Adanya variasi sifat individu dalam keturunan yang sama tersebutlah yang dapat
menjadi petunjuk dari adanya evolusi. Misalnya burung unta memiliki nenek moyang
yang dapat terbang, namun seiring berjalannya waktu tubuh mereka mulai membesar
dan kaki mereka berkembang membuatnya lebih sesuai untuk berjalan atau berlari.
● Dasar petunjuk adanya evolusi tersebut dapat berasal dari kesamaan maupun keragaman
sifat. Kesamaan sifat dapat menjadi petunjuk adanya hubungan antara spesies pada masa
kini dengan individu yang berpotensi sebagai nenek moyang, sedangkan adanya
keragaman sifat dapat menjadi petunjuk telah terjadinya evolusi.
13
DAFTAR PUSTAKA
Afdal. (2016). Pengembangan Metode Demonstrasi dalam Pembelajaran Biologi di SMK
Kesehatan Samarinda (Keanekaragaman Hayati). Jurnal Pendas Mahakam, 1(2), 116-134.
Arbi, U. Y. (2012). Sejarah dan bukti evolusi pada Gastropoda. OSEANA37, 2, 41-51.
Candramila, W., Adrianto, O. M., & Ariyati, E. (2016). Pemahaman konsep evolusi di
Perguruan Tinggi.
Catania, A. C. (2014). The phylogeny and ontogeny of language function. In Biological and
behavioral determinants of language development (pp. 273-296). Psychology Press.
Eka, S. (2021). Evolusi (Diktat Kuliah) (Doctoral Dissertation, Universitas Islam Negeri Raden
Intan Lampung).
Ferro, I., Navarro-Sigüenza, A.G., Morrone, J.J. (2017). Biogeographic transitions in the Sierra
Madre Oriental, Mexico, shown by chorological and evolutionary biogeographic affinities
of Passerine birds (Aves: Passeriformes). J Biogeogr, 44:2145–2160
Grzywacz, B., Tasuta, H., Bugrov, A.G., & Warchałowska-Śliwa, E. (2019). Genetic Markers
Reveal A Reinforcement of Variation in the Tension Zone Between Chromosome RAces
in the Brachypterous Grasshopper Podisma sapporensis Shir. on Hokkaido Island.
Scientific Reports, 9, 16860
Halffter, G. & Morrone, J.J. 2017. An analytical review of Halffter’s Mexican transition zone,
and its relevance for evolutionary biogeography, ecology and biogeographical
regionalization. Zootaxa, 4226:1–46
Haryono, S. K. (2018). Sitogenetika. Yogyakarta: Lily Publisher.\
Hendriani, Yeni. (2017). Modul PKB (Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan) Biologi SMA
Kelompok Kompetensi D. Jakarta. pp. 1-160.
Hershberg, R. (2015). Mutation-The Engine of Evolution: Studying Mutation and Its Role in the
Evolution of Bacteria. Cold Spring Harb Perspect Bio, 7(9): a018077. DOI:
10.1101/cshperspect.a018077.
Hudd, E. (2019). How Long Does it Take to Make a Fossil?. Capstone Press.
Masruroh, I. H., Triesita, N. I. P., Sulistiono, S., & Santoso, A. M. (2018, September).
HUBUNGAN KEKERABATAN BAMBU BERDASARKAN GEN rbcL BERBASIS
ANALISIS IN SILICO SEBAGAI BUKTI ADANYA EVOLUSI MOLEKULER. In
Prosiding Seminar Nasional Hayati (Vol. 6, pp. 164-178).
Morrone, J.J. (2015). Biogeographical regionalisation of the world: a reappraisal. Austr Syst Bot,
28:81–90
14
Morrone, J. J. (2018). The Mexican Transition Zone. In Neotropical Biogeography. Springer.
https://doi.org/10.1201/b21824-4
Nastiti, F. E., & Widyaningsih, P. (2016). Perangkat Lunak Bantu Paleontologi Penentuan Usia
Fosil Purba Menggunakan Pendekatan Rule Based Architecture. Jurnal Teknologi
Informasi dan Ilmu Komputer (JTIIK), 3(3).
Nusantari, E. (2018). Kesalahan Memahami Mutasi Terhadap Penolakan Teori Evolusi Dan
Mempersiapkan Pembelajaran Evolusi Masa Depan. ARTIKEL, 1(1518).
Palacios-Gimenez, O. M., Milani, D., Lemos, B., Castillo, E. R., Martí, D. A., Ramos, E., et al.
(2018). Uncovering the evolutionary history of neo-XY sex chromosomes in the
grasshopper Ronderosia bergii (Orthoptera, Melanoplinae) through satellite DNA analysis.
BMC Evolutionary Biology, 18(1), 1–10.
Restiyadi, A., Nasoichah, C., Simatupang, D. E., Sutrisna, D., Hidayati, D., Soedewo, E., &
Wiradnyana, K. (2012). Fauna Dalam Arkeologi.
Ristasa, Rusna and Syulasmi, Ammi and T, Fransiska Sudargo and Saefudin, and Sutarno, Nano
and Djuita, Nina Ratna (2013) Evolusi dan Sistematika Makhluk Hidup. In: Sejarah
Perkembangan Teori Evolusi Makhluk Hidup. Universitas Terbuka, Jakarta, pp. 1-77.
ISBN 9790110219
Sari, Eka. (2020). Diktat Teori Evolusi Pendidikan Biologi. UIN
Schwarzbach, E., Smykal, P., Dostal, O., Jarkovska, M., & Valova, S. (2014). Gregor J. Mendel-
Genetics Founding Father. Czech J. Genet. Plant Breed, 50(2): 43-51.
Situmorang, J. T. (2021). Matinya Teori Evolusi. PBMR ANDI.
Smith, E.A. & Winterhalder, B. (2017). Evolutionary Ecology and Human Behavior. Routledge,
London-New York
Sumarmin, R. (2016). Perkembangan Hewan. Kencana.
Zeller, U., & Göttert, T. (2019). The relations between evolution and domestication reconsidered
- Implications for systematics, ecology, and nature conservation. Global Ecology and
Conservation, 20. https://doi.org/10.1016/j.gecco.2019.e00756
Zulfa, C. S., Yogica, R., & Atifah, Y. (2021, September). Pengaruh Perbedaan Masa Inkubasi
terhadap Perkembangan Embrio Gallus gallus domesticus. In Prosiding Seminar Nasional
Biologi (Vol. 1, No. 1, pp. 567-573).

15
16

Anda mungkin juga menyukai