Anda di halaman 1dari 21

INFEKSI MENULAR SEKSUAL : STUDI LITERATUR PENCEGAHAN HIV AIDS

Nama : Irfan
Kelas : B (Kesehatan Masayarakat)
NIM:22103036
Dosen pembimbing:Dr. dr. NADYAH, SKM.M.Kes
INFEKSI MENULAR SEKSUAL : STUDI LITERATUR PENCEGAHAN HIV AIDS

ABSTRAK
infeksi menular Seksual Ada banyak jenis infeksi menular seksual antara lain kencing
nanah,sifilis,herpes,hepatitis b dan HIV/AIDS yang akan banyak dibahas adalah
HIV/AIDS. Penyebab Infeksi Menular Seksual Penyakit Infeksi Menular Seksual (PMS) merupakan
penyakit yang penularannya terutama melalui hubungan seksual baik melalui genital-genital, oro-
genital maupun ano-genital. Lebih dari 1 juta orang setiap harinya terkena penyakit menular akibat
hubungan seksual, atau Penyakit Menular Seksual (PMS) menurut WHO. (Mongan, 2019) Penyakit
menular seksual atau PMS, atau dikenal dengan istilah infeksi menular seksual (IMS), adalah
penyakit atau infeksi yang umumnya ditularkan melalui hubungan seks yang tidak aman. Infeksi
Menular Seksual (IMS) disebut juga Penyakit Menular Seksual (PMS) atau dalam Bahasa
inggrisnya Sexually Transmitted Disease (STD), Sexually Transmited Infection (STI) atau Veneral
Disease (VD).
Kata Kunci : IMS,HIV/AIDS,PMS

ABSTRACT
Types of Sexually Transmitted Infections There are many types of sexually transmitted infections
including gonorrhea, syphilis, herpes, hepatitis B and HIV/AIDS which will be discussed a lot is
HIV/AIDS. Causes of Sexually Transmitted Infections Sexually Transmitted Infectious Diseases
(STDs) are diseases that are transmitted mainly through sexual intercourse either through genital-
genital, oro-genital or ano-genital. More than 1 million people every day are exposed to sexually
transmitted diseases, or Sexually Transmitted Diseases (STDs) according to WHO. (Mongan,
2019) Sexually transmitted diseases or STDs, otherwise known as sexually transmitted infections
(STI), are diseases or infections that are generally transmitted through unsafe sex. Sexually
Transmitted Infections (STIs) are also known as Sexually Transmitted Diseases (STDs) or in
English for Sexually Transmitted Diseases (STD), Sexually Transmitted Infections (STIs) or Veneral
Diseases (VD).
Keyword : STI,HIV/AIDS,STD
A. Pengertian Infeksi Menular Seksual
Banyaknya risiko terkena penyakit bisa dihitung dan dibandingkan dengan proses
penghitungan besar suatu insiden dengan penyakit antara orang-orang yang terkena oleh faktor
pada penyebab penyakit tersebut dengan orang-orang yang tidak terkena penyakit. (Ardiani and
Sakufa Marsanti, 2018) Infeksi menular seksual (IMS) adalah penyakit-penyakit yang timbul atau
ditularkan melalui hubungan seksual melalui hubungan seksual dengan manifestasi klinis
berupa berupa timbulnya kelainan-kelainan terutama pada alat kelamin (Mularsih, 2020)
Menurut World Health Organization (WHO) lebih dari 1 juta orang mendapatkan Penyakit
Menular Seksual (PMS) setiap hari. Setiap tahun sekitar 500 juta orang menjadi sakit dengan
salah satu dari 4 (empat) Penyakit Menular Seksual (PMS) yaitu Klamidia, Gonore, Sifilis dan
Trikomoniasis. WHO dan UNAIDS memperkirakan bahwa lebih dari 35,3 juta orang terinfeksi
HIV di seluruh dunia, dan 90% dari mereka berada di Negara berkembang (UNAIDS, 2013)
dalam (Diniarti et al., 2018). Infeksi Menular Seksual (IMS) disebut juga Penyakit Menular
Seksual (PMS) atau dalam Bahasa inggrisnya Sexually Transmitted Disease (STD), Sexually
Transmited Infection (STI) atau Veneral Disease (VD). Dimana pengertian IMS ini adalah infeksi
yang sebagian besar menular melalui hubungan seksual dengan pasangan yang sudah tertular.
(Mongan, 2019)
IMS adalah penyakit-penyakit yang timbul, ditularkan melalui hubungan seksual dengan
manifestasi klinis berupa timbulnya kelainan-kelainan terutama pada alat kelamin. Kegagalan
deteksi dini IMS dapat menimbulkan berbagai komplikasi misalnya kehamilan di luar
kandungan, kanker anogenital, infeksi pada bayi yang baru lahir atau infeksi pada kehamilan.
Pada prakteknya banyak IMS yang tidak menunjukkan gejala (asimtomatik). sehingga
mempersulit pemberantasan dan pengendalian penyakit ini. Epidemiologi penyakit Infeksi
Menular Seksual di Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun baik infeksi candidiasis,
bakteri vaginosis, gonorrhea, condyloma akuminata, herpes genetalis, AIDS,syphilis dan herpes
simpleks. (Abrori and Qurbaniyah, 2018)
Penyakit menular seksual atau PMS, atau dikenal dengan istilah infeksi menular seksual
(IMS), adalah penyakit atau infeksi yang umumnya ditularkan melalui hubungan seks yang tidak
aman. Penyebaran bisa melalui darah, sperma, cairan vagina atau pun cairan tubuh lainnya.
Selain itu, penyebaran tanpa hubungan seksual juga bisa terjadi dari seorang ibu kepada
bayinya, baik saat mengandung atau melahirkan. Pemakaian jarum suntik secara berulang atau
bergantian di antara beberapa orang juga berisiko menularkan infeksi.(Syahputra et al., 2019)
Secara umum, ada tiga faktor yang menentukan tingkat awal penyebaran IMS dalam suatu
populasi: tingkat pajanan seksual dari orang yang rentan terhadap infeksi, efisiensi penularan
per pajanan, dan durasi penularan dari mereka yang terinfeksi. Sejalan dengan itu, upaya
pencegahan dan pengendalian IMS bertujuan untuk menurunkan tingkat pajanan seksual orang
yang rentan terhadap infeksi (misalnya, melalui pendidikan dan upaya untuk mengubah norma
perilaku seksual dan melalui upaya pengendalian yang bertujuan untuk mengurangi proporsi
populasi yang tertular); untuk mengurangi durasi infektivitas (melalui diagnosis dini dan
pengobatan kuratif atau supresif); dan untuk mengurangi efisiensi penularan (melalui promosi
penggunaan kondom dan praktik seksual yang lebih aman, penggunaan vaksin yang efektif, dan
sunat medis pada pria (Handayani Purba et al., 2021)
Jumlah kasus IMS di Indonesia sampai bulan desember tahun 2017 mengalami kenaikan
dari tahun 2015 sampai 2017 dengan jumlah kasus 2015 yaitu 30.935, pada tahun 2016
sebanyak 41.250 dan pada tahun 2017 mengalami kenaikan menjadi 48.300 kasus pertahunnya
Data DKI Jakarta pada tahun 2017 menurut jenis kelamin pada laki-laki sebanyak 18.598 kasus
dan pada perempuan sebanyak 11.411 kasus selama tahun 2017, kasus ims mengalami
kenaikan setiap tahun dari tahun 2015 sampai 2017 yaitu pada tahun 2015 4.695 , pada tahun
2016 6.019, dan pada tahun 2017 sebanyak 6.626 kasus (Sirait, 2021)
Menurut Lestari (2008) dalam Mongan (2019) Indonesia, infeksi menular seksual yang
paling banyak ditemukan adalah sypilis dan gonorrhea. Prevalensi infeksi menular seksual di
Indonesia sangat tinggi ditemukan di kota Bandung, yaitu dengan prevalensi infeksi gonorrhea
sebanyak 37,4%, Chlamydia 34,5%, dan sypilis 25,2%; di kota Surabaya prevalensi infeksi
Chlamydia 33,7%, sypilis 28,8%, dan gonorrhea 19,8%; sedangkan di Jakarta prevalensi infeksi
gonorrhea 29,8%, sypilis 25,2%, dan Chlamydia 22,7%. Kebanyakan penderita penyakit
menular seksual adalah usia 15-29 tahun, tetapi ada juga bayi yang tertular dari ibunya
Infeksi Menular Seksual (IMS) merupakan salah satu dari sepuluh penyebab pertama
penyakit yang tidak menyenangkan pada dewasa muda laki- laki dan penyebab kedua terbesar
pada dewasa muda perempuan di negara berkembang. Lebih dari 1 juta orang setiap harinya
terkena penyakit menular akibat hubungan seksual, atau Penyakit Menular Seksual (PMS)
menurut WHO. Badan kesehatan PBB itu mengatakan satu dari 25 orang di dunia mengidap
satu dari empat penyakit menular seksual yaitu infeksi klamidia, gonore atau kencing nanah,
trikomoniasis, dan sifilis. Sebagian orang mengidap lebih dari satu penyakit menular seksual
(Wijayanti & Budiyati, 2021)
Penyakit kelamin merupakan suatu fenomena yang telah lama kita kenal dan
beberapa diantaranya sangat popular seperti sifilis, gonore maupun herpes. Di kalangan
remaja penyakit ini sudah banyak ditemukan. Bukan hal yang Ajaib melihat fenomena tersebut,
kerasnya arus media massa ditambah dengan kurangnya informasi mengenai seksologi
membuat fenomena ini bagaikan bom waktu (Fithri et al., 2021)
B. Penyebab Infeksi Menular Seksual
Penyakit Infeksi Menular Seksual (PMS) merupakan penyakit yang penularannya terutama
melalui hubungan seksual baik melalui genital-genital, oro- genital maupun ano-genital. Jenis-
jenis PMS ini antara lain chlamydia, gonore, herpes genital, kutil kelamin, sifilis, dan HIV
Patogen-patogen penyebab PMS terdiri dari bakteri, virus, protozoa, jamur dan parasit. Bakteri
penyebab PMS yang paling sering antara lain Neiiseria gonorrhoeae yang menyebabkan gonore
atau kencing nanah, Chlamydia trachomatis yang menyebabkan klamidioisis, Treponema
pallidum yang menyebabkan sifilis atau penyakit raja singa, Haemophilus ducreyi yang
menyebabkan chancroid.10 Virus penyebab PMS antara lain Herpes simplex tipe 1 dan 2 yang
menyebabkan herpes genital, Human papillomavirus yang menyebabkan kutil kelamin, virus
hepatitis B, dan Human Immunodeficiency Virus (HIV). Protozoa penyebab PMS adalah
Trichomonas vaginalis, jamur penyebab PMS adalah Candida albicans, dan parasit penyebab
PMS antara lain Sarcoptes scabiei (Simorangkir, 2019)
Lebih dari 30 jenis patogen dapat ditularkan melalui hubungan seksual dengan manifestasi
klinis bervariasi menurut jenis kelamin dan usia. Meskipun infeksi menular seksual (IMS)
terutama ditularkan melalui hubungan seksual, namun penularan dapat juga terjadi dari ibu
kepada janin dalam kandungan atau saat kelahiran, melalui produk darah atau transfer jaringan
yang telah tercemar, kadang - kadang dapat ditularkan melalui alat kesehatan (Umar &
Baharza, 2020)
Infeksi Menular Seksual berkembang sangat cepat berkaitan dengan perubahan perilaku
seksual yang semakin bebas yang ditandai dari adanya kelompok perilaku-perilaku berisiko
tinggi, seperti ; adanya wanita penjaja seks (WPS), pecandu narkotika, homoseksual atau
perilaku seks bebas. Estimasi jumlah orang terkena IMS yang dapat diobati sekitar lebih dari 30
juta kasus setiap tahunnya. Tahun 2010 diperkirakan terdapat 8,6 juta orang yang positif HIV
(ODHA) di Asia Tenggara, termasuk 960.000 orang yang baru terinfeksi (kasus baru) pada
tahun sebelumnya diperkirakan sekitar 630.000 orang telah meninggal karena penyakit yang
berhubungan dengan AIDS. Sehingga dalam kurun waktu kurang lebih 6 tahun (2000-2010)
terdapat peningkatan kasus sebesar 130.000 orang yang meninggal karena AIDS
C. Faktor Penyebab Infeksi Menular Seksual
Menurut Refti, (2018) 4 faktor yang mempengaruhi derajat kesehatan yakni: lingkungan,
perilaku kesehatan, fasilitas pelayanan kesehatan, dan keturunan. Perilaku merupakan faktor
terbesar kedua yang mempengaruhi kesehatan individu, kelompok atau masyarakat. Faktor
gaya hidup meliputi sikap dan perilaku dan faktor pelayanan kesehatan meliputi pencegahan
dan rehabilitas
Saat ini lebih dari satu juta orang menderita infeksi menular seksual (IMS) setiap hari.
Setiap tahun, sekitar 499 juta orang menjadi sakit dengan salah satu dari empat IMS: klamidia,
gonore, sifilis dan trikomoniasis terjadi pada tahun 2008. Lebih dari 536 juta orang memiliki virus
yang menyebabkan herpes genital (HSV2) yang sulit disembuhkan. Lebih dari 291 juta Wanita
memiliki infeksi human papillomavirus (HPV) . Pada akhir 2012, 35,3 juta orang hidup dengan
HIV, dua pertiga dari mereka dalam sub-Sahara Afrika, dan 1,6 juta orang meninggal karena
kondisi terkait HIV (Paulus, 2013)
Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian IMS pada ibu rumah tangga melingkupi semua
aspek epidemiologi yaitu host, agent dan environment. Beberapa perilaku berisiko dari
perempuan maupun pasangan perempuan (laki-laki) dapat meningkatkan kerentanan
perempuan untuk mengalami IMS dan atau HIV, karena dalam hubungan heteroseksual tanpa
kondom, perempuan dua kali lebih mungkin untuk tertular HIV dan IMS dari pasangan laki-laki
yang terinfeksi (Paulus, 2013)
Kuman penyebab infeksi tersebut dapat berupa jamur, virus, dan parasit. Perempuan lebih
mudah terkena ISR dibanding laki-laki, karena saluranreproduksi perempuan lebih dekat ke
anus dan saluran kencing. ISR padaperempuan juga diketahui karena gejalanya kurang jelas
disbandingdengan laki-laki. Diantara ISR, penyakit menular seksual (PMS) merupakan penyakit
infeksi yang sering ditemukan dan ditularkan melaluihubungan kelamin.(Rohaeni, 2020) Faktor-
faktor yang menyebabkan PMS antara lain seks tanpa pelindung, berganti-ganti pasangan, aktif
secara seksual pada usia dini, penggunaan alkohol, penyalagunaan obat, dan atau sebelumnya
sudah terkena PMS. Selain itu perubahan sikap akibat adanya kemajuan social ekonomi dan
peningkatan jumlah penduduk atau kurangnya akses untuk mendapatkan layanan
pencegahan[5]. Banyak masyarakat yang menganggap remeh tentang IMS hanya dengan
mengkonsumsi obat antibiotic tanpa resep dokter, sehingga berakibat resistensi kuman
terhadap antibiotic (Chabibah et al., 2021)
D. Jenis infeksi menular Seksual
Ada banyak jenis infeksi menular seksual antara lain kencing nanah,sifilis,herpes,hepatitis b
dan HIV/AIDS yang akan banyak dibahas adalah HIV/AIDS. HIV/AIDS merupakan issue
sensitive dibidang kesehatan. Meskipun upaya untuk menekan laju kematian akibat AIDS dapat
dikendalikan namun penemuan baru infeksi HIV dan kasus AIDS masih terus bertambah. Salah
satu kendala dalam pengendalian penyakit HIV/AIDS adalah stigma dan diskriminasi terhadap
penderita AIDS. Bila stigma dan diskriminasi dampak dari kesalahan persepsi tentang HIV/AIDS
terus terjadi di masyarakat akan berdampak cukup signifikan terhadap penanggulangan
HIV/AIDS (noerliani, 2022)
Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan virus yang menyerang system kekebalan
tubuh manusia, sehingga manusia yang terinfeksi virus ini tidak dapat melawan berbagai jenis
penyakit yang menyerang tubuhnya. Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah
suatu kumpulan gejala berkurangnya kemampuan pertahanan diri yang disebabkan oleh
masuknya HIV dalam tubuh seseorang. Di Indonesia, pada tahun 2019, jumlah kasus baru HIV
mencapai 50.282 dengan total kematian akibat AIDS sebanyak 614 jiwa. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui gambaran karakteristik pasien HIV/AIDS di fasilitas pelayanan kesehatan di
Indonesia Virus HIV masuk ke dalam tubuh manusia melalui tiga cara, yaitu melalui hubungan
seksual (heteroseksual maupun homoseksual), secara horizontal yaitu kontak antar darah
seperti transfusi darah, dan secara vertikal dari ibu yang terinfeksi ke bayi secara intrapartum,
perinatal, dan menyusui / melalui ASI. HIV merupakan virus yang menyerang sel sistem imun
manusia seperti limfosit CD4(Sutrasno et al., 2022)
Permasalahan HIV dan AIDS menjadi tantangan kesehatan hampir di seluruh dunia,
termasuk di Indonesia. Sejak pertama kali ditemukan sampai dengan Juni 2018, HIV/ AIDS
telah dilaporkan keberadaannya oleh 433 (84,2%) dari 514 kabupaten/kota di 34 provinsi di
Indonesia. Jumlah kumulatif infeksi HIV yang dilaporkan sampai dengan Juni 2018 sebanyak
301.959 jiwa (47% dari estimasi ODHA jumlah orang dengan HIV AIDS tahun 2018 sebanyak
640.443 jiwa) dan paling banyak ditemukan di kelompok umur 25-49 tahun dan 20-24 tahun.
Adapun provinsi dengan jumlah infeksi HIV tertinggi adalah DKI Jakarta (55.099), diikuti Jawa
Timur (43.399), Jawa Barat (31.293), Papua (30.699), dan Jawa Tengah (24.757) Data
Kementerian Kesehatan tahun 2017 mencatat dari 48.300 kasus HIV positif yang ditemukan,
tercatat sebanyak 9.280 kasus AIDS. Sementara data triwulan II tahun 2018 mencatat dari
21.336 kasus HIV positif, tercatat sebanyak 6.162 kasus AIDS. Adapun jumlah kumulatif kasus
AIDS sejak pertama kali dilaporkan pada tahun 1987 sampai dengan Juni 2018 tercatat
sebanyak 108.829 kasus (Mularsih, 2020)
Pada bulan Juni 2019 dilaporkan kasus HIV/AIDS oleh 463 kabupaten dan kota di seluruh
provinsi Indonesia mencapai 90,07%. Dan terdapat 10 Provinsi dengan jumlah kasus HIV
terbesar yaitu; DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, Papua, Jawa Tengah, Bali, Sumatera
Utara, Sulawesi Selatan, Kepulauan Riau, dan Banten. Prevalensi HIV/AIDS diseluruh dunia
terus mengalami peningkatan. Berdasarkan. (UNAIDS) Global Statistics pada tahun 2018
tercatat 36,9 juta orang di dunia hidup dengan HIV dan 940.000 orang meninggal karena
penyakit terkait AIDS. Posisi pertama dengan HIV tertinggi yakni di Afrika Selatan 19,6 juta,
Afrika Timur 6,1 juta, pada posisi kedua Afrika Tengah, dan Afrika Barat, dan ketiga Asia Pasifik,
dimana Indonesia menempati urutan ke 5 sebanyak 620 ribu penderita dari total yang terjangkit
HIV/AIDS di Asia Pasifik yaitu 5,2 juta Jiwa (Menggawanti et al., 2021)
E. Penyebab HIV/AIDS
Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immunodefiency Syndrome (AIDS) yang
saat ini masih menjadi topik dalam permasalahan internasional khususnya dalam dunia
kesehatan, karena penyakit ini telah banyak ditemukan di belahan dunia dan belum ada obat
untuk menyembuhkannya. MDGs (Millenium Development Goals) penyakit HIV- AIDS dijadikan
salah satu penyakit yang menjadi konsentrasi oleh 198 negara, untuk segera ditanggulangi tidak
terkecuali di Indonesia. MGDs menjadikan sasaran karena kasusnya yang terus meningkat dari
waktu ke waktu Faktor risiko penularan HIV- AIDS yang paling utama adalah faktor perilaku
seksual. Faktor lainnya adalah penularan secara parental atau berikatan dengan orang tua dan
mempunyai riwayat penyakit infeksi menular, perilaku seksual yang berisiko merupakan faktor
utama yang berkaitan dengan penularan HIV- AIDS. Partner seks lebih dari satu dan tidak
memakai kondom dalam melakukan aktivitas seksual yang berisiko merupakan faktor utama
penularan HIV- AIDS. Pemakaian kondom merupakan cara pencegahan penularan HIV- AIDS
yang efektif dalam melakukan aktivitas seksual. Sex anal juga merupakan faktor perilaku
seksual yang memudahkan penularan HIV- AIDS, pemakaian narkotika dan obat- obatan
terlarang (Narkoba) secara suntik atau Injecting Drug User (IDU) merupakan faktor penularan
HIV- AIDS dan termasuk di Indonesia (Riyatin et al., 2019)
Penyebab meningkatnya HIV-AIDS dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya riwayat
HIV-AIDS pada suami, jumlah pasangan lebih dari satu, tingkat pendidikan dan usia pertama
menikah Selain itu, faktor pengetahuan juga berperan dalam penyebab HIV-AIDS Olehnya itu
faktor yang diduga dapat mempengaruhi terjadinya HIV-AIDS adalah kurangnya pengetahuan
masyarakat tentang HIV-AID sehingga diperlukan pemberian edukasi pada masyarakat agar
pengetahuan meningkat sebagai upaya preventif penyakit HIV-AIDS (Sufrianto et al., 2020)
HIV masuk ke dalam tubuh manusia melalui berbagai cara yaitu secara vertikal horizontal
dan seksual HIV dapat mencapai sirkulasi sistemik secara langsung dengan di perantarai benda
tajam yang mampu menembus dinding pembuluh darah atau secara tidak langsung melalui kulit
dan mukosa yang tidak seperti yang terjadi pada kontak seksual setelah sampai dalam sirkulasi
sistemik 4 sampai 11 hari sejak paparan pertama HIV dapat dideteksi dalam darah (Nurul
Hidayati, 2022)
F. Stigma Masyarakat terhadap Penderita HIV/AIDS
Salah satu masalah dalam pengendalian HIV/ AIDS adalah masih tingginya stigma
terhadap Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) di masyarakat. Mengingat HIV/AIDS sering
diasosiasikan dengan perilaku atau kebiasaan buruk yang dianggap tidak sesuai atau berten-
tangan dengan norma positif dalam masyarakat. Rasa takut dan ketidaktahuan yang
disebabkan karena selalu berujung kematian pada awal epidemi ini makin memperberat
timbulnya stigma tersebut (Yani et al., 2020)
diskriminasi tidak saja dilakukan oleh masyarakat awam yang tidak mempunyai
pengetahuan yang cukup tentang penyakit HIV/AIDS tetapi juga dilakukan oleh kalangan
masyarakat terpelajar dan dapat juga dilakukan oleh masyarakat yang paham betul tentang
penyakit HIV/AIDS. Dimungkinkan stigma dan diskriminasi terhadap penderita HIV/AIDS timbul
karena factor resiko penyakit ini yang terkait dengan perilaku seksual yang menyimpang dan
penyalahgunaan Napza, masyarakat menganggap Odha sebagai sampah masyarakat,
pengguna narkoba dan pelanggan lokalisasi. Banyak masyarakat yang masih salah persepsi
tentang ODHA, mereka beranggapan siapapun yang sudah terkena HIV/AIDS harus dijauhi
keberadaannya di lingkungan masyarakat atau dikucilkan di masyarakat sekitarnya (noerliani,
2022)
Secara umum seperti stigma dan diskriminasi seolah-olah tidak pernah terjadi ODHA hidup
dan tinggal berdampingan dengan masyarakat dalam waktu yang lama. Stigma merupakan
reaksi sosial yang muncul dan diarahkan pada ODHA karena takut tertular virus HIV karena
ketidaktahuan masyarakat tentang HIV dan AIDS, perilaku-perilaku menyimpang yang bisa
menularkan virus HIV seperti seks bebas yang berakibat pada risiko diskriminasi yang diterima
oleh individu dengan status HIV positif. Isu stigma dan diskriminasi di kalangan ODHA, muncul
seiring dengan merebaknya penularan virus HIV dan AIDS itu sendiri. Karena munculnya kasus
HIV dan AIDS pertama kali terjadi di kalangan laki-laki homoseksual/gay, penyalahguna NAPZA
jarum suntik dan pekerja seks komersial, masyarakat menilai bahwa HIV merupakan akibat bagi
orang yang berperilaku melanggar norma dan ajaran agama sehingga dianggap layak terinfeksi
HIV. Hal ini pada akhirnya menimbulkan stigma yang berujung pada perilaku diskriminasi bagi
setiap orang yang positif HIV (Rizki et al., 2020)
Stigma telah diberikan terhadap ODHA dilebih dari 65 negara. Tercatat prevalensi stigma
ketiga berada di Asia Pasifik, Indonesia pun menduduki posisi tertinggi dengan angka kasus
62,8%. Tingginya prevalensi tersebut diprediksikan akibat dari beberapa faktor diantaranya jenis
kelamin, rendahnya pengetahuan mengenai HIV/AIDS, persepsi negatif yang tinggi kepada
ODHA, dan lain-lainnya. Tingkat pengetahuan penduduk di Indonesia tentang HIV/AIDS
terbilang masih dibawah standar (rendah). Tingkat pengetahuan masyarakat Indonesia masih
rendah dengan presentase wanita usia (15-49 tahun) menyatakan pernah mendengar tentang
HIV/AIDS sebanyak 76,7%. Sedangkan presentase pria usia (15-54 tahun) menyatakan pernah
mendengar tentang HIV/AIDS sebanyak 82,3% (Menggawanti et al., 2021) Persepsi ODHA
merupakan sudut pandang atau pengindraan ODHA terhadap stigma atau pemikiran
Masyarakat tentang penderita HIV/AIDS, sehingga penderita HIV/AIDS mempersepsikan
sesuatu dengan hal yang negatif maupun yang positif yang mempengaruhi tindakan ODHA
(Panjukang et al., 2020)
Adanya stigma negatif terhadap ODHA didasarkan pada pengertian masyarakat dimana
HIV/AIDS adalah penyakit mematikan dan mudah menular. Sehingga pemahaman tersebut
memicu persepsi negatif masyarakat yang menganggap ODHA harus bertanggung jawab jika
terdapat individu lain yang terinfeksi. Terlebih lagi pandangan individu terkait penyebab
terjadinya HIV/AIDS yakni karena perbuatan asusila (Saparina et al., 2022) stigma terhadap
ODHA yang seringkali menjadi hambatan dalam upaya menurunkan prevalensi HIV dan AIDS.
Stigma adalah ciri negatif yang menempel pada pribadi seseorang karena pengaruh
lingkungannya. Stigma dengan sendirinya akan melahirkan diskriminasi yang didefinisikan
sebagai tindakan yang menghakimi terhadap orang – orang berdasarkan status HIV mereka,
baik yang pasti maupun diperkirakan atau keadaan kesehatan mereka Stigma menyebabkan
ODHA tidak ingin untuk berkonsultasi, menolak mendapatkan pelayanan kesehatan serta takut
untuk membuka status Stigma sudah menjadi ketakutan terbesar terhadap ODHA namun
dengan pengetahuan yang cukup, hal ini bisa sedikit membantu mengubah pandangan
masyarakat (Febrianti et al., 2021)
Stigma digambarkan sebagai cap buruk yang sangat memojokan seseorang dimata orang
lain. Stigma tentang HIV/AIDS telah tersebar secara cepat, menyebabkan terjadinya kecemasan
dan prasangka negatif terhadap orang dengan HIV/AIDS (ODHA). ODHA adalah sebutan bagi
orang yang telah positif HIV dan AIDS. Dengan status sebagai ODHA banyak diantara penderita
yang mengucilkan diri sendiri. Sikap dan pandangan masyarakat terhadap ODHA sangat buruk
sehingga melahirkan ermasalahan serta tindakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) bagi
penderita dengan HIV/AIDS dan keluarganya Stigma pada ODHA menghambat proses
sosialisasi, bahkan dalam hal pengobatan penderita tersebut. Akibat dari stigma ODHA sering
didiskriminasi dan cenderung dikucilkan oleh keluarga, teman-teman disekitar lingkungan
tersebut. Pada sisi lain mereka juga mengalami diskriminasi dalam pelayanan kesehatan,
pendidikan dan hak-hak lainnya. Lebih lanjut, stigma mempengaruhi kehidupan ODHA dengan
menimbulkan depresi dan kecemasan, rasa sedih, rasa bersalah, dan perasaan kurang bernilai
(Bubu et al., 2019)
Masih didapati stigma negatif bermunculan dan menyasar pada ODHA. Berbagai stigma
dan mitos masih berkembang pada masyarakat, terutama persepsi pada penularan HIV/AIDS.
Persepsi yang beredar menganggap bila virus HIV/AIDS dapat menular dengan mencium,
bersentuhan tangan, dan menggunakan peralatan makan bekas ODHA. Pandangan demikian,
membuat ODHA tidak diterima sepenuhnya oleh masyarakat sekitarnya. Tak jarang diskriminasi
masyarakat membuat ODHA menutup diri dari lingkungan. Kenyataan ini mengindikasikan
informasi penularan HIV/AIDS yang melekat pada masyarakat dirasa masih abu-abu, atau dapat
dikatakan belum benar sepenuhnya. Artinya, upaya promosi dari pemerintah maupun berbagai
elemen belum terlalu tersebar secara menyeluruh. Hal inilah yang kemudian membawa akibat
buruk pada pola penerimaan ODHA dalam masyarakat (Wahyuni, 2020)
Stigma terhadap ODHA yang muncul pada perawat bersumber dari kurang lengkapnya
pengetahuan yang dimiliki perawat mengenai permasalahan dan penularan infeksi HIV.
Kejadian diskriminasi pada pasien HIV yang dilakukan oleh terjadi akibat ketidaktahuan perawat
mengenai tata laksana perawatan pasien HIV termasuk mengenai pencegahan penularan
infeksi HIV Oleh karena itu, penguasaan pengetahuan mengenai penularan infeksi HIV dan
penatalaksanaan penanganan pasien dengan HIV/AIDS harus dimiliki secara utuh oleh seorang
perawat.
Stigma dan diskriminasi terhadap orang dengan HIV/AIDS (ODHA) yang dilakukan perawat
menyebabkan hambatan pada pelayanan asuhan keperawatan. Kejadian stigma tidak lepas
kaitannya dengan persepsi stigma ketika mereka masih menjadi mahasiswa atau calon perawat.
Stigma pada mahasiswa ini muncul dan berkembang karena pengetahuan mengenai HIV yang
dimilikinya tidak komprehensif. Salah satu upaya untuk mengatasi hal ini dilakukan melalui
penguatan informasi melalui program edukasi kesehatan HIV.(Wilandika, 2021)

G. Penanganan HIV/AIDS
Meningkatkan pencegahan HIV/AIDS pada semua populasi kunci, menyediakan dan
meningkatkan pelayanan perawatan, dukungan dan pengobatan yang bermutu, terjangkau dan
bersahabat bagi ODHA, meningkatkan akses dan dukungan sosial ekonomi bagi anak dan
keluarga terdampak, serta ODHA yang miskin. Selain itu, menciptakan dan memperluas
lingkungan kondusif yang memberdayakan masyarakat sipil untuk berperan secara bermakna,
sehingga stigma dan diskriminasi terhadap populasi kunci, ODHA dan orang-orang yang
terdampak oleh HIV/AIDS berkurang.Hal ini termasuk pengembangan kebijakan, koordinasi
program, manajemen, monitoring dan evaluasi termasuk pemantauan epidemi, perilaku serta riset
operasional. Penanganan HIV/AIDS dapat dilakukan dengan cara meningkatkan sarana pelayanan
kesehatan (meliputi dukungan pelayanan klinik IMS, dukungan pelayanan VCT dan PITC,
dukungan pelayanan CTS dan PMTCT, ketersediaan obat, bahan habis pakai dan reagensia),
meningkatkan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia tenaga kesehatan HIV/AIDS, serta
meningkatkan penjangkauan dan pendampingan bagi kelompok rawan ODHA (Demartoto, 2018)
Hingga saat ini HIV/AIDS belum dapat disembuhkan karena belum ada obat yang dapat
menghilangkan virus HIV di dalam tubuh penderita. Salah satu cara menurunkan infeksi HIV/AIDS,
yaitu dengan penggunaan obat antiretroviral (ARV) yang telah diakui dunia sebagai obat
penghambat proses replikasi HIV yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia. Pengobatan
ARV hanya bersifat menghambat virus agar penderita dapat meningkatkan kualitas hidup dan
meningkatkan harapan hidup (Ariatama et al., 2020)
Program yang komprehensif diterapkan untuk secara bermakna menekan laju penularan HIV
dan AIDS. Program Pencegahan bertujuan untuk meningkatkan perilaku aman tertular HIV, baik
pada penduduk usia muda, maupun penduduk paling berisiko. Program dilaksanakan untuk
meredam penularan melalui penggunaan Narkoba, hubungan seksual berisiko,serta
pemberdayaan masyarakat melalui pencegahan positif. Program perawatan, dukungan dan
pengobatan dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan konseling dan testing, pencegahan
penularan dari ibu ke bayi, dan pemberian terapi antiretroviral. Program yang komprehensif juga
ditandai dengan peningkatan peran sektor untuk penanggulanan AIDS dimulai dari lingkungan
terdekat. Dunia usaha, dunia kerja,sektor- sektor pendukung kesehatan, sektor-sektor yang
menyasar pada kalangan pemuda melalui pendidikan, sektor yang menyentuh penduduk rentan
tertular, seperti tentara, telah berupaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat melindungi diri
dan orang lain dari penularan HIV (Handitya & Sacipto, 2019)
Upaya penanggulangan yang terbatas dan tak terkoordinasi tidak akan mampu mengendalikan
epidemi HIV/AIDS di Indonesia sehingga perlu dilakukan perubahan dalam status, keanggotaan
maupun tata kerja dari Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN). Perpres nomor 75 tahun
2006 menandai terjadinya intensifikasi penanggulangan AIDS di mana keanggotaan KPA Nasional
diperluas dengan mengikutsertakan masyarakat sipil. Keterlibatan masyarakat sipil dalam
Organisasi Berbasis Komunitas (OBK) memegang peran penting dalam upaya penanggulangan
HIV/AIDS dan telah menjadikannya sebagai salah satu pemain utama dalam penanggulangan
HIV/AIDS di Indonesia Salah satu bentuk pelibatan masyarakat sipil adalah dengan mengajak
warga masyarakat biasa untuk terlibat dalam upaya pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS.
Sejumlah studi di beberapa negara telah membuktikan bahwa melibatkan partisipasi masyarakat
dalam program pencegahan dan penanggulangan masalah HIV/ AIDS membuahkan hasil yang
positif Salah satu bentuk atau komponen partisipasi masyarakat dalam program HIV/AIDS adalah
konsep Community Based Organizations atau CBOs (Suciati et al., 2019)
Menurut Ripnowati et al.,(2019) Strategi penanggulangan HIV/AIDS antara terdiri dari:
1. Program pencegahan yang kegiatannya terdiri dari : a) Sosialisasi pencegahan
HIV/AIDS melalui media komunikasi, informasi dan Edukasi kepada seluruh
masyarakat, b) Memanfaatkan media massa secara optimal untuk sosialisasi dan
advokasi sehingga tercipta kepedulian masyarakat untuk berperilaku aman dari risiko
penularan HIV/AIDS, c) Pelaksanaan Harm Reduction/ pengurangan dampak buruk,
d) Penerapan Universal Precaution pada fasilitas pelayanan kesehatan, e) Screening
Donor darah, f) Kampanye penggunaan kondom 100% kepada kaum yang berisiko, g)
PMTCT (Prevention Mother To Child Transmision), perawatan ibu hamil yang
terinfeksi HIV/AIDS agar tidak menular terhadap bayi yang dikandungnya, h)
Pembangunan klinik IMS.
2. Program pengobatan dan perawatan serta dukungan terhadap ODHA, a) Fasilitas
pelayanan pengobatan, perawatan dan Laboratorium untuk kasus IMS, HIV dan
AIDS, b) Dibukanya klinik VCT untuk pelayanan kesehatan kelompok beresiko tinggi
dan pengidap, c) Ketersediaan obat ARV (anti retrovirus) untuk menjamin
kelangsungan perawatan ODHA, Ketersediaan obat untuk Infeksi oportunistik,
Ketersediaan obat untuk IMS, d) Manajemen Kasus
3. Program Penunjang a) Surveilans Kasus IMS, HIV dan AIDS, b) Pengembangan
Jejaring Penaggulangan HIV/AIDS, c) Pemberdayaan Puskesmas Temayang, d)
Program Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM)
Penanggulangan HIV AIDS ialah meningkatkan ketersediaan dan keterjangkauan pengobatan
antiretroviral di rumah sakit atau puskesmas. Kekosongan obat antiretroviral merupakan fenomena
yang sering terjadi di rumah sakit atau puskesmas yang berada di tingkat kabupaten/kota
pemerintah melakukan perubahan pada pengelolaan system logistik obat ARV yang sebelumnya
bersifat sentralisasi menjadi desentralisasi. Perubahan ini sejalan dengan semangat otonomi
daerah sebagaimana diatur dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang pembagian urusan
pemerintahan pusat dan daerah. Desentralisasi sistem logistik obat ARV bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan obat ARV dengan kualitas logistik yang efektif dan efisien. Efektif artinya:
logistik obat tersedia menurut waktu dan tempat yang tepat sesuai kebutuhan; sedangkan efisien
artinya: logistik obat yang dijalankan dapat mengurangi over stock dan jumlah obat kadaluarsa.
Dalam sistem logistik desentralisasi, dinas kesehatan provinsi memiliki peran dan tanggungjawab
penting dalam menjamin ketersediaan obat ARV di wilayahnya. Sistem desentralisasi obat ARV
pertama kali diimplementasikan di Provinsi Jawa Timur pada November 2009. Pada tahun 2013,
system ini diterapkan di 12 provinsi, yakni: Jawa Timur, Bali, Papua, Jawa Barat, Jawa Tengah,
Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Timur (NTT), Papua Barat, Kepulauan Riau,
Kalimantan Timur, dan Kalimantan Barat (Jegalus et al., 2019)
Upaya pencegahan dan penanggulanggan HIV AIDS dengan membagi kondom kepada pasien
yang datang berobat,kemudian sering turun ke masyarakat seperti tempat spa dan panti pijat lalu
memberikan kondom juga ke tempat- tempat itu dan melakukan penyuluhan atau memberi edukasi
ke sekolah-sekolah seperti SMP dan SMA yang ada di Helvetia setiap bulan atau tiga bulan sekali.
Dalam pelaksanaan program kebijakan HIV AIDS ini, Terkait biaya khusus atau tambahan untuk
pencegahan dan pengobatan HIV AIDS tidak ada yang dibebankan ke masyarakat. Pasien HIV
AIDS yang mengambil obat tidak dikenakan biaya atau gratis. Sementara itu, mengenai sarana
prasarana penunjang kebijakan ini, alat-alatanya sudah tersedia khusus seperti laptop, kulkas,
komputer sendiri serta alat- alat pemeriksaan yang semuanya diberikan oleh Dinas
Kesehatan.(Pratama & Gurning, 2019)
Penanggulangan HIV/AIDS dilakukan melalui upaya-upaya pencegahan, penanganan,
rehabilitasi, hingga mitigasi dampak. Upaya pencegahan dilakukan melalui kegiatan- kegiatan
seperti sosialisasi HIV/AIDS yang minimal dilakukan satu kali dalam satu tahun, klinik VCT yang
ada sejak tahun 2017, VCT mobile, PITC (provider inisiated testing and counseling) atau tes dan
konseling HIV/AIDS, pencegahan penularan dari ibu ke anak dengan cara mewajibkan ibu hamil
melakukan konseling HIV/AIDS, serta penjaringan calon pengantin. Upaya penanganan dilakukan
melalui langkah-langkah peningkatan sarana pelayanan kesehatan, kualitas serta kuantitas SDM
tenaga kesehatan HIV/AIDS, dan peningkatan penjangkauan dan pendampingan bagi kelompok
rawan ODHA. Sedangkan rehabilitasi dilakukan melalui langkah-langkah rehabilitasi yang dimulai
dari motivasi dan diagnosa psikososial, perawatan dan pengasuhan, hingga kelompok dukungan
sebaya. Serta mitigasi dampak bagi orang terinfeksi atau terdampak HIV memiliki akses untuk
mitigasi dampak termasuk kesehatan, pendidikan, psikososial dan pemberdayaan ekonomi
(Istiqomah, 2020)
Dalam Peraturan Presiden RI Nomor 75 tahun 2006 tentang Komisi Penanggulangan AIDS
Nasional dan Peraturan Daerah Nomor 5 tahun 2013 tentang Penceggahan dan Penanggulangan
HIV/AIDS erdasarkan pasal 6 huruf G dan H tersebut upaya yang dilakukan Komisi
Penanggulangan AIDS diantaranya adalah program Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE)
yang telah berlangsung pada tahun 2009 hingga sekarang. Program KIE ini ditempuh dengan
menjalankan kerjasama melalui jaringan berbagai Stakeholder baik Organisasi Perangkat Daerah
(OPD), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan masyarakat. Upaya berbagai upaya termasuk
program KIE telah dilakukan tetapi angka orang dengan HIV/AIDS (ODHA) tetap tinggi dan
cenderung naik erdasarkan hal inilah yang menjadi landasan pemerintah perlu menggunakan
strategi dengan melibatkan aktor lain diluar pemerintah Maka pemerintah. Dalam program KIE ini
sudah menempuh program yang menggunakan model Governance dengan pemanfaatan jejaring
antara lembaga pemerintah dan lembaga non pemerintah. KIE berlangsung melalui Jejaring
kemitraan dalam bentuk Collaborative Governance. Hal ini dikarenakan adanya permasalahan
belum efektifnya Collaborative Governance, diantaranya : (1) Kompleksitas permasalahan yang
tidak memungkinkan pemerintah bekerja sendiri dan, (2) Keterbatasan akses sumber daya
pemerintah yang memadai untuk menjawab permasalahan HIV/AIDS yang mana dalam
penyelesaiannya harus bersifat lintas sektor dan melibatkan semua pihak, adanya kepedulian
terhadap permasalahan HIV/AIDS. Tujuannya untuk menghasilkan nilai publik yang lebih dari
setiap tingkat sumberdaya. (Kusnadi, 2020)
Di Indonesia, pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan dalam menangani kasus
HIV/AIDS. Pengobatan dan perawatan yang ada terdiri dari sejumlah unsur yang berbeda, yang
meliputi konseling dan test mandiri (VCT) dukungan bagi pencegahan penularan HIV, konseling
tidak lanjut, saran-saran mengenai makanan dan gizi, pengobatan IMS, pengelolaan efek nutrisi,
pencegahan dan perawatan infeksi oportunistik (IOS), dan pemberian obat-obat antiretroviral. Saat
ini ada sebuah terapi farmakologi yang dapat membantu meningkatkan kualitas hidup penderita
HIV, selain itu terapi ini juga dapat meningkatkan antibodi bagi penderita HIV terapi ini bernama
ARV. Tujuan utama dari pengobatan ARV adalah dengan menekan jumlah virus HIV sehingga
pertumbuhan virus dapat diperlambat atau bahkan dihentikan. ARV di Indonesia sudah mulai
disediakan secara gratis dari tahun 2014 melalui program pemerintah Indonesia (Karyadi, 2017).
Dengan adanya program penyediaan ARV di Indonesia diharapkan bisa sebagai solusi baru dalam
mengatasi masalah kesehtan lain pada penderita HIV di Indonesia (Siska Mutiara Hikmah S et al.,
2021)
Perlunya peran pemerintah dalam menangani kasus HIV/AIDS, stigma serta diskriminasi
terhadap ODHA, perlu dihapuskan, stigma dan diskriminasi ini berbagai bentuknya, baik berupa
penolakan terhadap ODHA, pengasingan oleh masyarakat bahkan keluarga, serta penghindaran
terhadap para ODHA, lingkungan yang kurang kondusif seperti yang disebutkan sebelumnya dapat
menghambat proses penanggulangan HIV AIDS sendiri. Mereka butuh penerimaan serta
dukungan. Terutama dari keluarga serta Pemerintah dalam hal ini. HIV AIDS di Indonesia harus
memperhatikan nilai agama, budaya, norma kemasyarakatan, menghormati harkat dan martabat
manusia, serta keadilan dan kesetaraan gender. Dengan meningkatkan perilaku hidup sehat,
pencegahan penyakit dengan memberikan informasi dan edukasi tentang bahaya nya HIV,
perawatan dan dukungan pengobatan, serta dukungan kepada ODHA dan mereka yang terdampak
HIV AIDS bertujuan untuk memberdayakan dan mempertahankan kehidupan social ekonomi yang
layak dan produktif (Rahmawati, 2021)
Dibuka program Voluntary Counseling and Testing (VCT) yang dilakukan secara gratis di
beberapa puskesmas agar angka penderita HIV/AIDS bisa menurun. Dengan program VCT ini
masyarakat dapat mengecek apakah yang bersangkutan positif HIV/AIDS atau tidak setelah
mengikuti prosedur, pasien akan mendapatkan konseling lanjutan. Tes tersebut bersifat rahasia
dan sukarela. Selain itu, Pemerintah dalam mengendalikan penyebaran virus HIV/AIDS telah
membentuk Forum Kesehatan Keluarga (FKK) dan Gasurkes (Petugas Surveilans Kesehatan).
Gasurkes ini terdiri dari tenaga kesehatan yang terlatih untuk membantu mencegah penyebaran
virus HIV/AIDS disetiap kelurahan yang ada, yaitu dengan melakukan penyuluhan kepada
masyarakat (Neysadella Adilina, Dewi Rostyaningsih, 2021) Penerapan program penanganan
HIV/AIDS merupakan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan program tersebut. Berikut
merupakan beberapa kegiatan yang dilakukan dalam implementasi program
a. Promosi, kegiatan promosi dilaksanakan melalui Pemerintah Daerah serta masyarakat
dengan meningkatkan komunikasi, edukasi, dan informasi (KIE)
b. Pencegahan, upaya pencegahan disini dilakukan melalui transmisi seksual, pemakaian
jarum dan alat suntik yang steril dan sekali pakai, peningkatan kesadaran dalam
pemakaian kondom, peningkatan layanan VCT dan IMS, serta mengecek kualitas
darah yang diterima PMI.
c. Penanganan, kegiatan penanganan dilaksanakan dengan usaha merawat, mendukung,
mengobati, mendampingi ODHA yang dilaksanakan dengan didasarkan atas
pendekatan basisnya klinis, keluarga, kategori dukungan sebaya, organisasi profesi
serta masyarakat.
d. Rehabilitasi Sosial, kegiatan rehabilitasi sosial dilakukan melalui pembimbingan mental,
fisik, sosial, intelektual, dan keterampilan. Bimbingan sosial, mencakup tukar opini,
diberikannya motivasi serta dukungan dan juga konseling. Pembimbingan mental
maupun spiritual, mencakup ceramah agama, bimbingan rohani serta budi pekerti.
Pembimbingan kemampuan atau keterampilannya, mencakup latihan kerja, dan praktik
kerja
Pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS dapat ditarik; pertama, aspek komunikasi yang
dilakukan oleh aktor utama implementor KPA, Dinas Kesehatan beserta klinik VCT di bawahnya,
dan LSM Peduli HIV/AIDS telah berjalan baik dan dapat melakukan kegiatan-kegiatan kolaborasi;
kedua, pada aspek sumber daya secara umum dapat dikatakan cukup, baik sumber daya manusia,
pasokan dan perbekalan obat-obatan dan alat pencegah HIV/AIDS, kantor atau gedung KPA
Kabupaten Banyuwangi, dan klinik-klinik VCT di Puskesmas dan RSUD. Namun, dukungan
anggaran yang diberikan oleh Pemerintah Kabubaten kepada KPA mengalami kekurangan, yaitu
masalah waktu pemberian anggaran yang jatuh pada bulan Oktober. Padahal KPA membutuhkan
dana sejak awal tahun (Januari); ketiga, aspek disposisi implementor sudah sangat positif dan
mendukung adanya Perda No.5 Tahun 2017; dan yang keempat adalah aspek struktur birokrasi
pelaksana, dimana pembagian peran antar Badan- Badan implementor sudah sangat baik.
(Agustina & Hentika, 2019)
Kebijakan HIV/AIDS mencakup serangkaian keputusan dan tindakan yang mempengaruhi
institusi, organisasi dan sistem penyedia layanan dan penyedia layanan terkait HIV/AIDS. Sejarah
kebijakan AIDS akan mencakup kondisi politik, ekonomi dan sosial budaya di tingkat internasional,
regional, nasional dan local Menurut Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2006 tentang Komisi
Penanggulangan AIDS Nasional, Penanggulangan HIV/AIDS merupakan upaya Komisi
Penanggulangan AIDS (KPA) untuk mencegah, mengobati dan mengatasi dampak penyakit yang
mengancam kesehatan pelaku seks. Pengguna narkoba suntik yang tidak menggunakan kondom
berganti pasangan dan berbagi jarum suntik. Di mana KPA membantu latihan perlawanan dan
pengendalian melalui pengaturan dan proyek yang memiliki upaya untuk mencegah dan mengatasi
masalah ini tanpa membahayakan hak keamanan, sesuai dengan undang-undang kesejahteraan.
Tujuannya adalah untuk mengurangi angka kematian untuk membatasi penularan dan penyebaran
penyakit sehingga flare-up tidak menyebar ke berbagai daerah.
lembaga yang muncul, mulai berperan dan mendapatkan donor dalam memerangi HIV dan
AIDS, kemudian tidak selalu berbasis pada gerakan dengan isu kesehatan murni tetapi juga mulai
berbagai menyasar isu- isu sosial budaya, terutama yang paling menonjol adalah lembaga-
lembaga berbasis keagamaan atau Faith Based Organization (FBO). Kemudian, peran serta
organisasi, tokoh serta masyarakatnya dalam usaha ini terindikasi dari salah satu pemberi dana
terbesar untuk program penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia saat ini, yakni Global Fund for
AIDS, Tubercolosis and Malaria Sebelum keterlibatan FBO atau, pada dasarnya hubungan dengan
komunitas LSM yang bergerak dalam bidang penanggulangan HIV dan AIDS telah terbentuk
lebihawal, kemudian berlanjut ketika FBO secara formal telah terlibat dalam usaha- usaha ini.
Berbagai kelompok yang bekerja dalam bidang ini telah berperan banyak dalam edukasi kepada
para tokoh agama, setidaknya pada level lokal. Sementara,(Wattie & Sumampouw, 2018)
Daftar Pustaka
Abrori, P. and Qurbaniyah, M., 2018. Buku Ajar Infeksi Menular Seksual. Pontianak: UM Pontianak
Press
Ardiani, H. and Sakufa Marsanti, A., 2018. BUKU AJAR EPIDEMIOLOGI PENYAKIT MENULAR
SEKSUAL DAN HIV/AIDS. Ponorogo: Uwais Inspirasi Indonesia.
Agustina, E., & Hentika, N. P. (2019). Analisis Pencegahan Dan Penanggulangan Hiv/Aids Pada
Populasi Gay Dan Waria Di Kabupaten Banyuwangi. Reformasi, 9(2), 96.
https://doi.org/10.33366/rfr.v9i2.1419
Ariatama, E. M., Respati, T., & Nurhayati, E. (2020). Kondisi Psikologi, Sosial, dan Spiritual pada
Orang dengan HIV/AIDS Selama Pengobatan Antiretroviral di Komisi Penanggulangan AIDS
Kota Bogor Tahun 2019. Jurnal Integrasi Kesehatan & Sains, 2(2), 109–113.
https://doi.org/10.29313/jiks.v2i2.5601
Bubu, W., Berek, P. A. L., & Rua, Y. M. (2019). Gambaran Persepsi Masyarakat Tentang
Stigmatisasi Bagi Odha Di Rsud Mgr. Gabriel Manek Svd Atambua. Jurnal Sahabat
Keperawatan, 1(02), 44–50. https://doi.org/10.32938/jsk.v1i02.251
Chabibah, N., Khairiyah, N., & Hastuti, P. (2021). Pengetahuan dan Sikap Masyarakat Terhadap
Tindakan Pencegahan Penyakit Menular Seksual. Journal of Innovation Research and
Knowledge, 1(3), 425–434.
Demartoto, A. (2018). Warga Peduli AIDS Wujud Peran Serta Masyarakat dalam Penanggulangan
HIV/AIDS. Jurnal Analisa Sosiologi, 7(1), 141–151.
Diniarti, F., Felizita, E., & Hasanudin. (2018). HUBUNGAN PENGETAHUAN DENGAN KEJADIAN
INFEKSI MENULAR SEKSUAL DI PUSKESMAS PENURUNAN KOTA BENGKULU TAHUN
2018. Sriwijaya Journal of Medicine, 1(2), 101–107.
Febrianti, D., Sulaiman, Z., & Said, S. (2021). 1235-Article Text-2323-1-10-20210412. 5(1), 451–
457.
Fithri, Fistaqul, Erike, & Wulandari, S. (2021). IDENTIFIKASI AGEN PENYEBAB INFEKSI
MENULAR SEKSUAL PADA WANITA USIA SUBUR. Java Health Journal.
Handitya, B., & Sacipto, R. (2019). Penanggulangan Dan Pencegahan Hiv Dan Aids Secara
Terintegrasi, Tepat, Kolaboratif Dan Berkesinambungan (Tetep Kober) Di Kabupaten
Semarang. Adil Indonesia Jurnal, 1(1), 51–60.
Istiqomah, A. (2020). Implementasi Kebijakan Penanggulangan HIV/AIDS. HIGEIA Journal of
Public Health Research and Development, 2(3), 386–395.
Handayani Purba, D., Trismanjaya Hulu, V., Rahmaniar, M., Priastomo, Y., Yanti Silaban, N. and
Ruth Marpaung, D., 2021. Infeksi Menluar seksual dan HIV/AIDS. 1st ed. medan: Yayasan
Kita Menulis.
Jegalus, D., Sirait, R. W., Dodo, D. O., & Kendjam, Y. (2019). Manajemen Logistik Obat
Antiretroviral Dalam Program Penanggulangan HIV/AIDS (Studi Kasus Di RSUD Manggarai,
Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur). Timorese Journal of Public Health, 1(June
2019), 48–59.
Kusnadi, I. H. (2020). Jejaring Collaborative Governance Pada Program Komunikasi, Informasi dan
Edukasi (KIE) dalam Pencegahan HIV/AIDS di Kabupaten Subang. Ijd-Demos, 1(2), 204–231.
https://doi.org/10.31506/ijd.v1i2.21
Menggawanti, E., Faridah, I., Afiyanti, Y., & Tangerang, S. Y. (2021). HUBUNGAN TINGKAT
PENGETAHUAN DAN PERSEPSI DENGAN STIGMA MASYARAKAT TERHADAP ODHA
BERDASARKAN USIA DAN PENDIDIKAN DI INDONESIA TAHUN 2020 Relationship Levels
Of Knowledge And Perceptions With Community Stigma On Plwha Based On Age And
Education In Indonesi. Nusantara Hasana Journal, 1(1), 85–94.
Mongan, E. A. (2019). Pemeriksaan Infeksi Menular Seksual (Ims) Pada Ibu Hamil Di Puskesmas
Kotaraja Kota Jayapura Papua. Global Health Science, 4(2), 59–63.
Mularsih, S. (2020). Gambaran pengetahuan dan sikap remaja tentang infeksi menular seksual di
Desa Muntal Pakintelan Kota Semarang [Skripsi]. Semarang: Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
Mitra Husada Karanganyar. IV(2), 89–93.
Neysadella Adilina, Dewi Rostyaningsih, H. L. (2021). Implementasi Kebijakan Penanggulangan
HIV/AIDS di Kota Semarang. Jurnal Undip.
NOERLIANI, D. (2022). Persepsi Masyarakat Terhadap Hiv/Aids Dan Odha Sebagai Upaya Untuk
Menurunkan Stigma Masyarakat Terhadap Penderita Hiv/Aids Di Desa Krebet Kecamatan
Pilangkenceng Kabupaten Madiun Tahun 2016. HEALTHY : Jurnal Inovasi Riset Ilmu
Kesehatan, 1(1), 20–28. https://doi.org/10.51878/healthy.v1i1.853
Nurul Hidayati, A., 2022. Manajemen HIV/AIDS: Terkini, Komprehensif, dan Multidisiplin. Surabaya:
Airlangga Universtity Press.
Panjukang, M., Chayaningtyas, M. E., & ZA, D. T. (2020). Persepsi ODHA Terhadap Stigma
HIV/AIDS Masyarakat dengan TIingkat Stres pada ODHA di Surakarta. Universitas Kusuma
Husada, 75.
Paulus, A. Y. (2013). Faktor Pejamu Dan Lingkungan Sosial Budaya Mempengaruhi Kejadian
Infeksi Menular Seksual (IMS) Pada Ibu Rumah Tangga. Journal of Chemical Information and
Modeling, 53(9), 1689–1699.
Pratama, M. Y., & Gurning, F. P. (2019). Analisis Implementasi Kebijakan Pencegahan Dan
Penanggulangan Hiv/Aids Di Puskesmas Helvetia Kota Medan. Indonesian Trust Health
Journal, 2(2), 252–257. https://doi.org/10.37104/ithj.v2i2.42
Rahmawati, R. (2021). Kerjasama Indonesia Dengan Who (World Health Organization) Dalam
Upaya Menanggulangi Hiv Aids Di Indonesia Tahun 2015-2017. MODERAT: Jurnal Ilmiah
Ilmu Pemerintahan, 7(1), 101–111. https://ojs.unigal.ac.id/index.php/modrat/article/view/2400
Refti, W. G. (2018). Faktor Resiko yang Berhubungan dengan Kejadian Infeksi Menular Seksual
(IMS) di Klinik Voluntary Counseling Test (VCT). Jurnal Aisyah : Jurnal Ilmu Kesehatan, 3(1),
47–60. https://doi.org/10.30604/jika.v3i1.81
Ripnowati, D., Kesehatan, D., Bojonegoro, K., Hartati, C. S., Putro, G., Wijaya, U., & Surabaya, P.
(2019). MANAJEMEN PELAYANAN PENANGGULANGAN HIV / AIDS DALAM UPAYA
SCREENING DI PUSKESMAS TEMAYANG KABUPATEN Halaman 230-243. Jurnal
Manajerial Bisnis, 2(3), 230–243.
Riyatin, R., Suryono, S., & Haryanti, T. (2019). Faktor Penyebab Penularan HIV/AIDS pada Wanita
di Kabupaten Sragen. Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat Berkala, 1(1), 14.
https://doi.org/10.32585/jikemb.v1i1.693
Rizki, S., Sutiaputri, L. F., & Heryana, W. (2020). Stigma Masyarakat Terhadap Orang Dengan
Human Immunodeficiency Virus Dan Acquired Immune Deficiency Syndrome (Hiv Dan Aids)
Di Kota Bandung. Jurnal Ilmiah Rehabilitasi Sosial (Rehsos), 2(1).
https://doi.org/10.31595/rehsos.v2i1.255
Rohaeni, E. (2020). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Beresiko Remaja Terhadap
Penyakit Menular Seksual. Bidan Prada: Jurnal Publikasi Kebidanan, 11(2), 82–92.
Saparina, T., Firmansyah, Akbar, Mu. I., & Ban, A. R. S. (2022). Determinan Stigma Terhadap
Orang dengan HIV/AIDS di Wilayah Kerja Puskesmas Perumnas. JURNALKESEHATAN
MASYARAKAT CELEBES, 03(01), 16–22.
Simorangkir, S. J. V. (2019). PENYULUHAN CARA MENGENALI TANDA DAN GEJALA
PENYAKIT MENULAR SEKSUAL SERTA PENCEGAHANNYA KEPADA PARA PELAJAR DI
SMAN1 SILIMA PUNGGA PUNGGA. PKM : Pengabdian Kepada Masyarakat, 03(01), 62–73.
Sirait, L. I. (2021). Perilaku Seksual Berisiko Infeksi Menular Seksual. Jurnal Ilmiah PANNMED
(Pharmacist, Analyst, Nurse, Nutrition, Midwivery, Environment, Dentist), 16(1), 150–154.
https://doi.org/10.36911/pannmed.v16i1.1024
Siska Mutiara Hikmah S, Hasri Kuswiharyanti, Vidi Ahmad Raafi, Ninik Juarti, & Tria Amaliadiana.
(2021). Pengaruh Terapi ARV untuk Meningkatkan Kualitas Hidup Pasien HIV/AIDS: A
Literature Review. Journal of Bionursing, 3(2), 134–145.
https://doi.org/10.20884/1.bion.2021.3.2.101
Suciati, R., Mujiati, M., & Novianti, N. (2019). Kendala Organisasi Berbasis Komunitas dalam
Program Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS: Studi Kasus pada Dua LSM Peduli
AIDS di Jakarta. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pelayanan Kesehatan, 2(3), 163–174.
https://doi.org/10.22435/jpppk.v2i3.761
Sufrianto, Ellyani, A., & Demmawela, J. Q. (2020). Penyuluhan Metode Ceramah dapat
Meningkatkan Pengetahuan Tentang HIV-AIDS di Desa Kondowa Kabupaten Buton. Jurnal
Kesehatan Masyarakat Celebes, 01(04), 18–22.
Sutrasno, M. A., Yulia, N., & Rumana, N. A. (2022). Literature Review Gambaran Karakteristik
Pasien HIV / AIDS di Fasilitas Pelayanan Kesehatan di Indonesia. Jurnal Manajemen
Informasi dan Administrasi Kesehata (JMIAK, 05(1), 50–59.
Syahputra, T., Halim, J., & Ishak, I. (2019). Sistem Pakar Untuk Mendiagnosa Penyakit Menular
Seksual (HIV/AIDS) Dengan Menggunakan Metode Case Based Reasoning (CBR). Jurnal
SAINTIKOM (Jurnal Sains Manajemen Informatika dan Komputer), 18(1), 62.
https://doi.org/10.53513/jis.v18i1.105
Umar, M. Y., & Baharza, S. N. (2020). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Deteksi Dini
Penyakit Menular Seksual di Puskesmas Panjang Kota Bandar Lampung. Jurnal ilmu
kesehatan Indonesia ( JIKMI ), 1(1), 1–8.
http://jurnal.umitra.ac.id/index.php/jikmi/article/download/290/174
Wahyuni, M. (2020). Strategi Bertahan Hidup Pada Ibu Rumah Tangga Odha ( Orang Dalam Hiv /
Aids ) Di Kecamatan Sukomoro Kabupaten Nganjuk. Unessa, 1–18.
Wattie, A. M., & Sumampouw, N. S. A. (2018). Gerakan Organisasi Berbasis Keagamaan Melawan
Hiv/Aids Di Indonesia: Penilaian Pada Wilayah Jawa Tengah Dan Bali. Aqlam: Journal of
Islam and Plurality, 3(1). https://doi.org/10.30984/ajip.v3i1.637
Wijayanti, N., & Budiyati, R. A. (2021). RISIKO KEJADIAN INFEKSI MENULAR SEKSUAL PADA
PEMANDU KARAOKE. Jurnal Ilmiah Permas: Jurnal Ilmiah STIKES Kendal, 11(1), 1–8.
Wilandika, A. (2021). Implementasi Edukasi Kesehatan HIV dalam Perubahan Stigma HIV AIDS
pada Mahasiswa Keperawatan. ABDIMAS: Jurnal Pengabdian Masyarakat, 4(1), 405–411.
https://doi.org/10.35568/abdimas.v4i1.918
Yani, F., Harahap, F. S. D., & Hadi, A. J. (2020). Stigma Masyarakat Terhadap Orang Dengan
HIV/AIDS (ODHA) Di Kabupaten Aceh Utara. MPPKI (Media Publikasi Promosi Kesehatan
Indonesia): The Indonesian Journal of Health Promotion, 3(1), 56–62.
https://jurnal.unismuhpalu.ac.id/index.php/MPPKI/article/view/102

Anda mungkin juga menyukai