Anda di halaman 1dari 8

Skenario 3

Kaki saya berdarah dan tidak bisa bergerak

Seorang laki – laki 23 tahun dirujuk dari rumah sakit tipe D ke IGD RSUZA dengan keluhan nyeri
disertai luka pada tungkai kanan setelah mengalami KLL 1 jam yang lalu. Pasien sedang mengendarai
sepeda dan tiba – tiba dari arah berlawanan ada sepeda motor dengan kecepatan tinggi menabraknya.
Dari hasil pemeriksaan dijumpai keluhan nyeri, luka 12 cm, dan sulit digerakkan tungkai kanan
bawahnya disertai dengan deformitas, echymosis dan bone expose.

IDENTIFIKASI ISTILAH

KLL: Kecelakaan lalu lintas


NYERI: perasaan tidak nyaman yang umumnya disebabkan oleh rangsangan yang kuat atau merusak.
The International Association for the Study of Pain's secara luas mendefinisikan nyeri sebagai "suatu
sensori yang tidak menyenangkan dan pengalaman emosional yang berhubungan dengan kerusakan
jaringan aktual atau potensial, atau digambarkan sebagai kerusakan tersebut"
DEFORMITAS: perubahan bentuk pada kaki atau suatu kondisi kelainan bentuk secara anatomi
dimana struktur tulang berubah dari bentuk yang seharusnya
ECHYMOSIS: istilah yang sering digunakan secara bergantian dengan memar atau purpura purpura.
(ekstravasasi darah) di bawah kulit yang ukurannya lebih besar dari 1 cm atau hematoma. Ekimosis
sering kali dinyatakan sebagai istilah lain untuk memar atau bercak biru kehitam-hitaman yang
tampak di kulit tubuh. Namun ekimosis memiliki perbedaan dengan memar biasa. Memar terjadi
disebabkan oleh trauma (benturan), sedangkan Ekimosis tidak disebabkan oleh benturan
BONE EXPOSE: Tulang yang terekspos didefinisikan sebagai area tulang yang terlihat terekspos
dengan hilangnya jaringan lunak mukosa di atasnya.

KONSEP:

IDENTIFIKASI MASALAH

1. Apa yang terjadi pada kasus di atas?

2. Bagaimana tatalaksana awal yang tepat pada kasus tersebut?

3. Kenapa pasien mengalami nyeri?

4. Bagaimana ekimosis bisa terjadi?

Analisis Masalah

1. Pemeriksaan fisik yang dilakukan pada pasien dengan fraktur adalah: mengidentifikasi tipe
fraktur, inspeksi daerah mana yang terkena, palpasi, dan movement. Pada inspeksi dapat
ditemukan deformitas yang nampak jelas, edema, ekimosis sekitar lokasi cedera, laserasi,
perubahan warna kulit, kehilangan fungsi daerah yang cidera, penonjolan yang abnormal,
angulasi, rotasi, pemendekan, kulit dapat robek atau utuh dan perhatikan adanya sindrom
kompartemen pada bagian distal fraktur femur. Pada saat palpasi, hal yang dapat ditemukan
adalah bengkak, adanya nyeri dan penyebaran, krepitasi pada daerah paha, denyut nadi, akral
dingin, observasi spasme otot sekitar daerah fraktur, terdapat nyeri tekan setempat. Krepitus
dan gerakan abnormal dapat ditemukan, tetapi lebih penting untuk menanyakan apakah pasien
dapat menggerakan sendi-sendi dibagian distal cedera. Gerakan yang dilihat adalah gerakan
pasif dan aktif. Berdasarkan pemeriksaan didapatkan adanya gangguan/keterbatasan gerak
tungkai, ketidakmampuan menggerakkan kaki, dan penurunan kekuatan otot ekstremitas
bawah dalam melakukan pergerakan
2. Diagnosis fraktur terbuka didapatkan dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik
meliputi pemeriksaan awal (survei primer dan sekunder) dan pemeriksaan status lokalis, serta
pemeriksaan penunjang radiologi menggunakan prinsip Rule of Two. Fokus awal harus pada
penilaian status jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi pasien, dan tindakan resusitasi harus
diterapkan jika diperlukan. Setelah pasien telah stabil, fraktur terbuka harus ditangani secara
darurat. Cedera ini berhubungan dengan gejala nyeri, deformitas, pembengkakan, dan luka
yang mungkin berdarah. Perlu dicatat bahwa luka mungkin tidak terletak langsung di atas
lokasi fraktur. Pergerakan dan status neurovaskular dari semua anggota tubuh yang terlibat
harus dinilai untuk memastikan apakah ada kemungkinan cedera saraf atau vaskular yang
terkait dengan fraktur. Luka harus diperiksa secara menyeluruh dan dikarakterisasi menurut
sistem klasifikasi Gustilo-Anderson untuk fraktur terbuka karena ini akan menentukan
perawatan awal. Fraktur terbuka Gustilo-Anderson tipe I adalah cedera energi rendah dengan
luka kurang dari 1 cm dengan kerusakan jaringan lunak minimal. Fraktur tipe II adalah cedera
energi rendah sampai sedang dengan luka yang lebih besar dari 1 cm dengan kerusakan
jaringan lunak dan otot sedang. Fraktur tipe III adalah cedera kecepatan tinggi yang memiliki
luka lebih dari 10 cm. Cedera tipe IIIa memiliki kerusakan jaringan lunak yang parah, tipe
IIIb memiliki kehilangan cakupan jaringan yang signifikan, dan tipe IIIc memiliki kehilangan
jaringan yang signifikan dengan cedera vaskular yang terkait.

Prinsip penanganan fraktur dikenal dengan empat R yaitu :

 Rekognisi, yaitu menyangkut diagnosis fraktur pada tempat kejadian dan kemudian di rumah
sakit.
 Reduksi,yaitu usaha serta tindakan memanipulasi fragmen tulang yang patah sedapat mungkin
untuk kembali seperti letak asalnya.
 Retensi, yaitu aturan umum dalam pemasangan gips, yang dipasang untuk mempertahankan
reduksi harus melewati sendi diatas dan sendi dibawah fraktur.
 Rehabilitasi, yaitu pengobatan dan penyembuhan fraktur

Terapi pada open fracture:


1) Pemberian antibiotik profilaksis, luka harus ditutup sampai pasien mencapai ruang operasi.
Antibiotik profilaksis pada fraktur terbuka merupakan tambahan untuk debridemen luka yang
teliti dan seharusnya tidak diharapkan untuk mengatasi kegagalan dalam teknik aseptik atau
debridemen.Antibiotik profilaksis diberikan untukpencegahan terhadap mayoritas bakteri
Gram-positif dan Gram-negatif yang mungkin telah memasuki luka pada saat cedera.
2) Luka mendesak dan debridemen fraktur,operasi ini bertujuan untuk membersihkan luka dari
bahan asing dan jaringan mati (misalnya, fragmen tulang avaskular), meninggalkan bidang
bedah bersih dan jaringan dengan suplai darah yang baik.
3) Penutupan luka definitif awal, luka kecil yang tidak terkontaminasi pada fraktur tipe I atau II
dapat dijahit (setelah debridemen), asalkan hal ini dilakukan tanpa ketegangan

4) tabilisasi fraktur/ imobilisasi, menstabilkan fraktur penting dalam mengurangi kemungkinan


infeksi dan membantu pemulihan jaringan lunak. Metode fiksasi yang dipilih tergantung pada
tingkat kontaminasi, waktu dari cedera untuk operasi dan jumlah kerusakan jaringan lunak.
Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontin, pin, dan teknik gips.
3. Gejala klinis pada fraktur antara lain sebagai berikut: nyeri dirasakan langsung setelah terjadi
trauma. Hal ini dikarenakan adanya spasme otot, tekanan dari patahan tulang atau kerusakan
jaringan sekitarnya. Nyeri dirasakan terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen
tulang diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah
yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang. Edema muncul lebih
cepat dikarenakan cairan serosa yang terlokalisir pada daerah fraktur dan extravasi daerah di
jaringan sekitarnya. Muncul pula memar/ekimosis yang merupakan perubahan warna kulit
sebagai akibat dari extravasi daerah di jaringan sekitarnya. Spame otot merupakan kontraksi
otot involunter yang terjadi disekitar fraktur. Penurunan sensasi dapat terjadi karena
kerusakan syaraf, terkenanya syaraf karena edema.
4. Komplikasi:

1. Syok
Syok hipovolemik atau traumatic akibat perdarahan (baik kehilangan darah eksterna maupun
yang tidak kelihatan) dan kehilangan cairan ekstrasel ke jaringan yang rusak.
2. Sindrom emboli lemak
Setelah terjadi fraktur femur dapat terjadi emboli lemak khususnya pada dewasa muda (20-30
tahun) pria. Pada saat terjadi fraktur, globula lemak dapat masuk ke dalam darah karena
tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler atau karena katekolamin yang
dilepaskan oleh reaksi stres pasien akan memobilisasi asam lemak dan memudahkan
terjadinya globula lemak dalam aliran darah. Globula lemak akan bergabung dengan
trombosit membentuk emboli yang kemudian menyumbat pembuluh darah kecil yang
memasok otak, paru, ginjal dan organ lain. Awitan gejalanya sangat cepat, dapat terjadi dari
beberapa jam sampai satu minggu setelah cedera, namun paling sering terjadi dalam 24
sampai 72 jam. Gambaran khasnya berupa hipoksia, takipnea, takikardia dan pireksia.
Gangguan cerebral diperlihatkan dengan adanya perubahan status mental yang bervariasi dari
agitasi ringan dan kebingungan sampai delirium dan koma yang terjadi sebagai respon
terhadap hipoksia, akibat penyumbatan emboli lemak di otak.
3. Sindrom kompertemen
Sindrom kompartemen disebabkan karena penurunan ukuran kompartemen otot karena fasia
yang membungkus otot terlalu ketat atau gips atau balutan yang menjerat, atau peningkatan
isi kompartemen otot karena edema atau perdarahan sehubungan dengan berbagai masalah.
Pasien mengeluh adanya nyeri dalam, berdenyut tak tertahankan. Palpasi pada otot akan
terasa pembengkakan dan keras.
4. komplikasi lambat yang mungkin terjadi:
1) Penyatuan terlambat atau tidak ada penyatuan
Penyatuan terlambat terjadi bila penyembuhan tidak terjadi dengan kecepatan normal untuk
jenis dan tempat fraktur tertentu. Penyatuan terlambat mungkin berhubungan dengan infeksi
sistemik atau distraksi fragmen tulang. Tidak ada penyatuan terjadi karena kegagalan
penyatuan ujung-ujung patahan tulang. Malunion adalah tulang patah telah sembuh dalam
posisi yang tidak seharusnya. Delayed union : proses penyembuhan yang terus berjalan tetapi
dengan kecepatan yang lebih lambat dari keadaan normal. Non union : tulang yang tidak
menyambung kembali
2) Nekrosis avaskuler tulang
Nekrosis avaskuler terjadi bila tulang kehilangan asupan darah dan mati, dapat terjadi setelah
fraktur khususnya pada kolum femoris. Tulang yang mati mengalami kolaps atau diabsorbsi
dan diganti dengan tulang baru. Pasien mengalami nyeri dan keterbatasan gerak.

3) Reaksi terhadap alat fiksasi interna


Alat fiksasi interna biasanya diambil setelah penyatuan tulang telah terjadi, namun pada
kebanyakan pasien alat tersebut tidak diangkat sampai menimbulkan gejala. Nyeri dan
penurunan fungsi merupakan indikator utama telah terjadi masalah. Masalah tersebut meliputi
pemasangan dan stabilisasi yang tidak memadai, alat yang cacat atau rusak, berkaratnya alat
menyebabkan inflamasi lokal, respon alergi terhadap campuran logam yang digunakan dan
remodeling osteoporotik di sekitar alat fiksasi.

LEARNING OBJECTIVE:
DEFINISI

Fraktur adalah hilangnya continuitas tulang, tulang rawan, baik yang bersifat total atau sebagian.
Dikatakan fraktur total bila seluruh ketebalan tulang rusak dan fraktur tidak lengkap adalah fraktur
yang tidak melibatkan seluruh ketebalan tulang. Fraktur adalah patahan yang terjadi didalam
kontinuitas struktural tulang. Hal ini mungkin tidak lebih dari sebuah retakan, suatu pengisutan, atau
pecahnya korteks; lebih sering disebut sebagai patahan yang sempurna. Fragmen tulang yang
dihasilkan mungkin akan berada di tempatnya atau keluar dari tempatnya. Jika kulit atasnya tetap
utuh, maka disebut juga fraktur tertutup. Namun jika kulit atau salah satu dari rongga tubuh
menerobos keluar atau tertembus, maka disebut juga fraktur terbuka

KLASIFIKASI

Klasifikasi fraktur dapat digolongkan sesuai jenis dan luka pada fraktur, yaitu terbagi menjadi 2,
closed fraktur (simple fraktur), dimana tidak menyebabkan robeknya kulit, integritas kulit masih utuh.
Dan open fracture (compound fraktur/komplikata/kompleks), merupakan fraktur dengan luka pada
kulit (integritas kulit rusak dan ujung tulang menonjol sampai menembus kulit) atau membran
mukosa sampai kepatahan tulang.

Menurut Egol K.et al (2010), dalam bukunya ―Handbook of Fractures”, mengatakan bahwa
klasifikasi fraktur menurut Gustilo dan Anderson pada awalnya dirancang untuk mengklasifikasikan
cedera jaringan lunak yang terkait dengan fraktur tibialis terbuka dan kemudian diperluas ke semua
fraktur terbuka. Klasifikasi pada fraktur terbuka dibagi menjadi beberapa tipe, yaitu : 1) Tipe I :
Laserasi < 1 cm, biasanya dari dalam ke luar; kontusio otot minimal; fraktur oblik sederhana
transversal atau pendek. 2) Tipe II: Laserasi > 1 cm, dengan kontusi otot di sekitarnya; tanpa
kerusakan jaringan lunak yang luas; komponen penghancuran minimal sampai sedang; melintang
sederhana atau fraktur oblik pendek dengan kominitas minimal. 3) Tipe III: Kerusakan jaringan lunak
yang luas, termasuk otot, kulit, dan struktur neurovaskular; sering cedera energi tinggi dengan
komponen penghancur yang parah. Tipe IIIA: Laserasi jaringan lunak yang luas, cakupan tulang yang
memadai dan masih ditutupi jaringan lunak ; fraktur segmental, pengupasan periosteal minimal. Tipe
IIIB: Cedera jaringan lunak yang luas dengan pengelupasan periosteal dan pemaparan tulang yang
membutuhkan penutupan jaringan lunak; biasanya berhubungan dengan kontaminasi massif. Tipe
IIIC: Vascular injury atau cedera arteri membutuhkan perbaikan.

ETIOLOGI

1) Cedera, yang terbagi atas :


oCedera langsung, yaitu tulang patah pada titik benturan; jaringan lunak juga rusak. Pukulan
langsung biasanya membagi tulang secara melintang atau membengkokkannya di atas titik tumpu
sehingga menciptakan patahan dengan fragmen ̳kupu-kupu‘. Kerusakan pada kulit diatasnya
adalah umum; Jika penghancuran terjadi atau dalam cedera energi tinggi, pola fraktur akan
diperhitungkan dengan kerusakan jaringan lunak yang luas.
oCedera tidak langsung, yaitu tulang patah pada jarak dari tempat gaya diterapkan; kerusakan
jaringan lunak di situs fraktur tidak bisa dihindari.

2) Stress berulang, atau fraktur kelelahan, fraktur ini terjadi pada tulang normal yang mengalami
pemuatan berat berulang, biasanya pada atlet, penari atau personil militer yang memiliki program
latihan yang melelahkan atau ketika intensitas latihan meningkat secara signifikan dari baseline.
Pembebanan berat menciptakan deformasi menit yang memulai proses normal remodelling -
kombinasi dari resorpsi tulang dan pembentukan tulang baru sesuai dengan hukum Wolff. Ketika
paparan stres dan deformasi berulang dan berkepanjangan, resorpsi tulang terjadi lebih cepat daripada
penggantian (pembentukan tulang baru) dan meninggalkan daerah yang bisa patah. Masalah serupa
terjadi pada pasien dengan penyakit inflamasi kronis yang sedang dalam pengobatan dengan steroid
atau methotrexate, yang mengubah keseimbangan normal dari resorpsi tulang dan penggantian.
3) Kelainan tulang yang abnormal (fraktur 'patologis'), yaitu fraktur yang dapat terjadi bahkan
dengan tekanan normal jika tulang telah dilemahkan oleh perubahan dalam strukturnya atau karena
proses penyakit(misalnya pada pasien dengan osteoporosis, osteogenesis imperfecta atau penyakit
Paget, terapi bifosfonat) atau melalui lesi lisis (misalnya kista tulang atau metastasis).

FAKTOR RISIKO

Faktor-faktor yang mempengaruhi fraktur terdiri dari faktor ekstrinsik dan instrinsik. Faktor ekstrinsik
adalah adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang tergantung terhadap besar, waktu, dan
arah tekanan yang dapat menyebabkan fraktur. Faktor intrinsik antara lain kapasitas absorbsi dari
tekanan, elastisitas, kelelahan, dan kepadatan atau kekerasan tulang

EPIDEMIOLOGI
Data epidemiologi fraktur terbuka di Indonesia masih belum tersedia. Namun berdasarkan survei dari
RISKESDAS tahun 2013, angka prevalensi cedera secara nasional sebesar 8,2%. [9] Secara global,
insiden fraktur terbuka dilaporkan sebesar 30,7 per 100.000 orang per tahun dengan bentuk cedera
yang umumnya terjadi adalah cedera dengan energi tinggi seperti crush injury (39,5%) diikuti oleh
kecelakaan lalu lintas (34,1%). Insiden terjadinya fraktur terbuka menurun pada laki-laki dan
meningkat pada perempuan seiring pertambahan usia, dengan usia rata-rata keseluruhan 45,5 tahun.

MANIFESTASI KLINIS
1. Nyeri terus menerus dan bertambah berat sampai fragmen tulang dimobilisasi. Spasme otot
yang mnyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan
gerakan antar fragmen tulang.
2. Bagian-bagian tidak dapat digunakan dan cenderung bergerak secara alamiah (gerakan luar
biasa) setelah terjadinya fraktur. Pergeseran fragmen pada fraktur lengan dan tungkai
menyebabkan deformitas (terlihat maupun teraba) ekstremitas yang bisa diketahui dengan
membandingkan dengan ekstremitas normal. Ekstremitas tidak dapat berfungsi dengan baik
karena fungsi normal otot tergantung pada integritasnya tulang tempat melekatnya otot.
3. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang
melekat diatas daan bawah tempat fraktur. Fragmen sering saling melengkapi satu sama
lainnya sampai 2,5 – 5cm (1- 2 inci).
4. Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang yang dinamakan
krepitus yang teraba karena adanya gesekan antar fragmen satu dengan yang lainnya. Uji
krepitus dapat mengakibatkan kerusakan jaringan lunak yang lebih berat.
5. Edema dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi akibat trauma dan perdarahan yang
menyertai fraktur. Edema dan perubahan warna biasanya terjadi setelah beberapa jam atau
hari setelah cedera terjadi.
PATOFISIOLOGI
Sewaktu tulang patah, perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat patah dan kedalam jaringan lunak
sekitar tulang tersebut. Jaringan lunak juga biasanya mengalami kerusakan. Kerusakan pembuluh
darah akan mengakibatkan pendarahan, maka volume darah menurun. Karena ada cedera, respon
terhadap berkurangnya volume darah yang akut adalah peningkatan detak jantung, pelepasan
katekolamin endogen, yang akan meningkatkan tahanan pembuluh perifer. Hal ini akan meningkatkan
pembuluh darah diastolik dan mengurangi tekanan nadi (pulse pressure), tetapi hanya sedikit
membantu peningkatan perfusi organ. Hormon lain yang bersifat vasoaktif juga dilepaskan ke dalam
sirkulasi saat terjadi syok, yaitu histamine, bradikinin beta-endorphin, dan sejumlah besar prostanoid
dan sitokin. Pada syok perdarahan yang masih dini, mekanisme kompensasi sedikit mengatur
pengembalian darah (venous return) dengan cara kontraksi volume darah didalam system vena
sistemik

Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula tulang.
Hematoma akan mengeksudasi plasma dan poliferasi menjadi edem lokal maka penumpukan di dalam
tubuh. aringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai
dengan vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. Sel- sel darah putih
dan sel mast berakumulasi sehingga menyebabkan peningkatan aliran darah ke tempat tersebut.
Fagositosis dan pembersihan sisa-sisa sel mati dimulai. Ditempat patahan terbentuk fibrin (hematoma
fraktur) yang berfungsi sebagai jala- jala untuk melakukan aktivitas osteoblast terangsang dan
terbentuk tulang baru imatur yang disebut callus. Bekuan fibrin direabsorbsi dan sel-sel tulang baru
mengalami remodeling untuk membentuk tulang sejati

DIAGNOSIS BANDING

 Sindrom Kompartemen Akut


 Cedera Pergelangan Kaki, Jaringan Lunak
 Child Abuse
 Manajemen Fraktur Lutut di Unit Gawat Darurat
 Pincang Anak
 Manajemen Cedera Vaskular Perifer di Unit Gawat Darurat
 Penatalaksanaan Cedera Jaringan Lunak Lutut (ACL, LCL, MCL, PCL) di IGD

TATALAKSANA
Penatalaksanaan fraktur terbuka derajat III meliputi tindakan life saving dan life limb dengan
resusitasi sesuai dengan indikasi, pembersihan luka dengan irigasi, eksisi jaringan mati dan
debridement, pemberian antibiotik (sebelum, selama, dan sesudah operasi), penutupan luka, stabilisasi
fraktur dan fisioterapi.
Prinsip penanganan fraktur terbuka derajat III secara umum adalah :
1. Pertolongan pertama, untuk mengurangi / menghilangkan nyeri dan mencegah gerakan
fragmen yang dapat merusak jatringan sekitarnya. Stabilisasi fraktur bisa menggunakan splint
atau bandage yang mudah
dikerjakan dan efektif. Luka ditutup dengan material yang bersih dan steril.
2. Resusitasi, yaitu penatalaksanaan sesuai ATLS (Advance Trauma Life Support)dengan
memberikan penanganan sesuai prioritas (resusitasi), bersamaan dengan dikerjakan
penanganan fraktur terbuka agar terhindar dari komplikasi. Tindakan resusitasi dilakukan
apabila ditemukan tanda syok hipovolemik (kehilangan banyak darah pada pasien fraktur
terbuka grade III), gangguan nafas atau denyut jantung. Penderita diberikan resusitasi cairan
Ringer Laktat atau transfuse darah dan pemberian analgetik selama tidak ada
kontraindikasi.
3. Penilaian awal, merupakan dasar dalam observasi dan penanganan awal,
termasuk memeriksa adanya trauma pada daerah atau organ lain dan
komplikasi akibat fraktur itu sendiri.
4. Terapi antibiotik, pemberian antibiotik sebaiknya diberikan segera mungkin
setelah terjadinya trauma. Antibiotik yang berspektrum luas, yaitu sefalosporin generasi 1
(cefazolin (1x1-2g)) dan dikombinasikan dengan aminoglikosid (gentamisin (3 x
1-2mg/kgBB)) selama 5 hari. Selanjutnya, perawatan luka dilakukan setiap hari dengan
memperhatikan sterilitas.
5. Terapi anti tetanus serum (ATS), pemberian anti tetanus diindikasikan pada fraktur cruris atau
humerus terbuka derajat III berhubungan dengan kondisi luka yang dalam, luka yang
terkontaminasi, luka dengan kerusakan jaringan yang luas serta luka dengan kecurigaan
sepsis.
6. Debridement, yaitu operasi yang bertujuan untuk membersihkan luka dari benda asing dan
jaringan mati, memberikan persediaan darah yang baik diseluruh bagian itu.
7. Penanganan jaringan lunak, apabila terjadi kehilangan jaringan lunak yang luas maka dapat
dilakukan soft tissue transplantation atau falap pada tindakan berikutnya, sedangkan tulang
yang hilang dapat dilakukan bone grafting setelah pengobatan infeksi berhasil baik.
8. Penutupan luka, pada luka kecil dan tidak banyak kontaminasi setelah dilakukan debridement
dan irigasi dapat langsung dilakukan penutupan secara primer tanpa tegangan. Sementara,
pada luka yang luas dengan kontaminasi berat sebaiknya dirawat secara terbuka, luka dibalut
kassa steril dan dilakukan evaluasi setiap hari.
9. Stabilitas fraktur, dalam melakukan stabilitas fraktur awal penggunaan gips dianjurkan
sampai dicapai penanganan luka yang adekuat, baru bisa dilanjutkan dengan pemasangan gips
sirkuler, atau diganti fiksasi internal dengan plate and screw, atau fiksasi eksternal sebagai
terapi stabilisasi definitif. Pemasangan fiksasi internal dapat dipasang setelah luka jaringan
lunak baik dan diyakini tidak ada infeksi lagi, sedangkan pemasangan fiksasi ekternal pada
fraktur terbuka derajat III adalah salah satu pilihan untuk memfiksasi fragmen-fragmen
fraktur tersebut guna mempermudah perawatan luka harian

PROGNOSIS
Prognosis pada fraktur terbuka tergantung dari tingkat keparahan cedera, semakin tinggi derajat
keparahan cedera semakin tinggi risiko infeksi dan komplikasi lain. Penundaan operasi juga akan
meningkatkan risiko infeksi dan memperburuk prognosis pasien.

EDUKASI DAN PREVENTIF

Pasien dan keluarga memerlukan edukasi dan promosi kesehatan mengenai fraktur terbuka. Beberapa
hal yang perlu disampaikan, antara lain :
 Fraktur terbuka merupakan salah satu kegawatdaruratan dalam ortopedi yang memerlukan
penanganan segera.
 Intervensi awal yang diberikan pada fraktur terbuka antara lain survei primer dan resusitasi,
pemberian profilaksis antibiotik dan tetanus, debridement, dan stabilisasi fraktur yang
dilanjutkan dengan tindakan operatif.

Anda mungkin juga menyukai