Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia sebagai suatu bangsa yang besar yang memiliki berbagai macam suku, ras,

etnis, bahasa, agama, serta golongan kepercayaan lainya yang mewarnai keberagaman bangsa

ini, juga memiliki ketentuan-ketentuan atau norma-norma yang hidup ditengah-tengah

masyarakat. Sebagai pedomam dalam pergaulan kehidupan sehari-hari untuk memberikan

suatu patokan dasar tentang tatacara anggota kelompok masyarakat dalam kelancaran

kehidupan bersosial yang tertib.

Masyarakat dan ketertibannya merupakan dua hal yang berhubungan sangat erat bahkan bisa

juga dikatakan sebagai dua sisi dari satu mata uang. Susah untuk mengatakan adanya

masyarakat tanpa adanya suatu ketetriban, bagaimana pun kualitasnya. Kendati demikian

segera perlu ditambahkan disini, bahwa yang disebut ketertiban itu tidak didukung oleh suatu

Lembaga yang monolitik. Ketertiban dalam masyarakat diciptakan bersama-sama oleh

berbagai lembaga secara bersama-sama, seperti hukum dan tradisi. Oleh karena itu dalam

masyarakat juga dijumpai berbagai macam norma yang masing-masing mem- berikan

sahamnya dalam menciptakan ketertiban itu.1.

Dalam mengupayakan kehidupan yang tertib ditengah-tengah masyarakat norma menjadi

suatu hal yang sangat penting. Norma sebagai petunjuk hidup atau norma itu menjadi gejala

sosial, yakni gejala dalam masyarakat. Sehingga pada setiap masyarakat selalu ada petunjuk

hidup. Tanpa ada petunjuk hidup (norma) niscaya masyarakat menjadi kacau. 2 Norma tidak

terlepas dari masyarakat itu sendiri sebab dimana ada masyarakat disitu ada hukum “ubi

societas ibi ius” (norma hukum).


1
. Satjipto Rahardjo., 2012, ILMU HUKUM, Cet. 7, Bandung, PT. CITRA ADITNYA BAKTI, Hlm.13.
2
. H. Riduan Syahrani., 2013, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Ed. Revisi. Cet. 6, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, Hlm. 7

Page 1 of 37
Norma Hukum inilah yang sangat tegas dan memberikan batasan-batasan, perintah, untuk

melakukan atau tidak melakukan sesuatu dengan suatu sangsi yang tegas, yang diatur

didalam sebuah ketentuan undang-undang didalam. suatu negara tentang sejauh mana kita

sebagai masyarakat bertingkah laku dalam kehidupan sosial ditengah-tengah masyarakat.

Adapun beberapa norma yang perlu penulis kemukakan dalam penulisan proposal skripsi ini

termasuk norma hukum yang sudah sedkit disinggung di atas, sebab proposal sripsi ini akan

mengangkat permasalahan berkaitan dengan tindak pidana penganiayaan yang mana oleh

karena adanya suatu upaya mediasi antara korban dan pelaku penganiayaan hingga tercapai

suatu perdamaian, sehingga perkara tersebut dihentikan di tingkat penyidikan lewat cara

restorative justice.

Ada tiga norma lain juga yang berlaku sangat erat ditengah-tengah masyarakat yang

mengatur segala hubungan antar individu beserta karakternya.

- Norma agama adalah norma norma yang berpangkal pada kepercayaan Yang Maha

Kuasa dan mengangap norma agama ditentukan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa dialam

semesta ini. Pelanggaran terhadap norma agama berarti pelanggara terhadap perintah

tuhan yang akan mendapat hukuman di akhirat kelak. Contoh norma agama misalnya:

Kamut tidak boleh membunuh, kamu tidak boleh mencuri, kamu tidak boleh berdusta

atau ingkar janji.

- Norma kesusilaan adalah norma berpangkal pada hati nurani manusia sendiri, yang

berisikan agar melakukan perbuatan-perbuatan yang baik dan meninggalkan perbuatan-

perbuatan yang tercela. Pelanggaran terhadap norma susila berarti melangar perasaan

baiknya sendiri yang berakibat penyesalan. Perbuatan yang tidak mengindahkan norma

susila disebut asusila. Kamu tidak boleh membunuh, kamu tidak boleh mencuri, kamu

tidak boleh berzina, juga merupakan contoh norma kesusilaan.

Page 2 of 37
- Norma kesopanan adalah norma yang timbul atau diadakan dalam suatu masyarakat.

Yang mengatur sopan santun dan prilaku dalam prilaku dalam pergaulan hidup antar

sesame anggota masyarakat. Norma kesopanan ini didasarkan pada kebiasaan,

kepantasan, atau kepatutan yang berlaku dalam suatu masyarakat. Orang yang

melakukan pelanggaran terhadap norma kesopanan akan dicela oleh sesame anggota

masayarakat. Celaan itu tidak selalu dengan mulut, tetapi bis dengan cara lain atau

bentuk lain, misalnya: dibenci, dijahui, dipandang tidak tau tata krama, dipandang hina

dan sebagainya oleh anggota masyarakat sekelilingnya. Norma kesopanan misalnya

menetukan: jangan bersikap kasar terhadap orang lain, kamu jangan berlaku sombong,

kamu jangan meremehkan orang lain, dan lain sebagainya.

Dalam pergaulan hidup di masyarakat ketiga norma tersebut diatas yakni: norma agama,

kesusilaan, ataupun kesopanan memang memegang peranan yang sangat penting, tetapi

belum cukup menjamin keserasian, keselarasan dan keseimbangan hubungan anggota sesama

masyarakat dan belum menjamin segala kepentingan anggota masyarakat. Oleh karenanya

norma-norma diatas perlu ditambah satu norma yang lain yaitu Norma Hukum.

Pada “Norma Hukum”. Apabila terjadi pembunuhan, pencurian atau setidak-

tidaknya pemukulan/penganiayaan di dalam kehidupan bermasyarakat yang hanya

memiliki tiga norma tadi tanpa adanya norma hukum, norma apakah yang paling berperan

untuk menyelesaikan keadaan ini ?. Apakah norma agama, kesusilaan, kesopanan tentu tidak.

Sebagaimana penulis telah sedikit menyinggung tentang tegasnya norma hukum di atas

dengan sangsinya yang dapat dipaksakan keberlakuanya, apabila ketentuan didalam norma

tersebut dilanggar. Contoh pada norma hukum modern ini apa bila terjadi “penganiayaan”

ditengah masyarakat akan di kenakakan sanksi pidana yang diatur pada Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 351, 352, 353, 354, 355, 356, tentang penganiayaan,

yang akan dilakukan penyelidikan, penyidikan penangkapan hingga penahanan terhadap

Page 3 of 37
anggota masyaraka yang melakukan perbuatan yang melanggar norma hukum oleh pihak

penyidik polisi hingga penyerahan berkas perkara ke penuntut umum. Tindakan penyidik ini

dilakukan atas aduan atau lapoaran dari pihak yang merasa dirugikan. Berdasarkan

kewenangan dan ketentuan sebagaimana diataur didalam Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana (KUHAP). Sedangkan pada era modern saat ini tidakan pihak kepolisian dapat

melaksanakan kebijakan atau kewenangan diskresi penerapan hukum yang lebih menitik

beratkan pada adanya pemulihan kerugian korban, berupa pengembalian barang, mengganti

kerugian, menggantikan biaya yang ditimbulkan dari akibat tindak pidana. Dengan adanya

pemulihan diharapkan konflik tidak terjadi, inilah yang disebut dengan keadilan retoratif.

Pada paragraph diatas sedikit telah dikemukakan tentang bagaimana “norma hukum,

ketika norma tersebut dilanggar dengan contoh kasus penganiayaan”. Disini penulis akan

menggambarkan sampai dimanakah norma agama, kesusilaan dan norma kesopanan dapat

bertindak memberikan perlindungan/jaminan terhadap pelanggaran ketiga norma ini dengan

contoh yang sama denga norma hukum yakni penganiayaan. Tentunya ketiga norma ini tidak

dapat berbuat apa-apa disebabkan ketiga norma tersebut tidak memiliki sangsi yang dapat

dipaksakan keberlakuannya layaknya norma hukum. (lihat beberapa paragraph di atas)

Mengapa norma agama, kesusilaan dan kesopanan belum cukup memberikan jaminan

ketertiban serta ketentraman dalam masyarakat ? hal ini dapat di karenakan oleh dua hal.3 :

(1) masih adanya aspek-aspek kehidupan kepentingan anggota masyarakat yang belum

diaturdalam ketiga norma itu. Misalnya, tidak ada satupun norma agama, kesusilaan, dan

kesopanan yang menentukan, bahwa orang yang menggunakan jalan raya menuju suatu

tempat harus mengambil posisi disebelah kiri jalan. Demikian pula tidak ada satupun

ketentuan dalam ketika norma itu yang mengharuskan pencatatan perkawinan, penguguman

sebelum melangsungkan perkawinan. Padahal, apabila ketentuan-ketentuan tersebut tidak

diindahkan bisa menimbulkan akibat yang buruk, yang tidak saja akan dirasakan oleh
3
.ibid. Hlm. 8-9

Page 4 of 37
seseorang, tetapi juga oleh masyarakat luas. Pencatatan perkawinan misalnya, merupakan

kebutuhan dalam masyarakat modern yang kehidupannya serba kompleks, yang apa bila

diabaikan dampak negatifnya akan sangat luas.

(2) ketaatan terhadap norma agama, kesusilaan dan kesopanan hanya tergantung pada

kepercayaan, keyakinan, keinsafan dan kesadaran tiap pribadi dalam masyarakat. Dengan

demikian orang yang tidak meyakini akan hukuman Tuhan di akhirat, dapat menahan rasa

penyesalan dan mau menanggung celaan dari masyarakat, akan dengan mudah sekali

melakukan pelangaran terhadap ketiga norma itu. Kerenanya. Hal-hal yang menyangkut

kepentingan anggota masyarakat atau kepentinga masyarakat keseluruhan yang telah diatur

ketiga norma tersebut, perlu diberi perlindungan norma lain, yaitu norma hukum yang

bersifat memaksa. Perkataan “memaksa” disini bukan berarti senantiasa dapat dipaksakan.

Sebab, tidak ada kekuasaan pun didunia ini –juga tata hukum yang bersifat memaksa yang

dapat mencegah pembunuhan, penccurian, pengingkaran janji, dan sebagainya. Namun tata

hukum tidak mau menerima pelangaran norma-normanya demikian saja, tetapi sedapat

mungkin memaksakan pelaksanaan norma-normnya melalui apparat pelaksananya. Kalua

pelaksanaan norma-norma hukum tersebut tidak mungkin dilakukan, tata hukum akan

melaksanakan hal yang lain,yang sedapat mungkin mendekati apa yang dituju norma-norma

hukum yang bersangkutan.

Norma hukum yang dijadikan salah satu pedoman dalam pergaulan hidup

bermasyarakat bertujuan supaya pergaulan hidup berjalan stabil dan normal, sehingga

kepentinga-kepentinga individu yang beraneka ragam dimasyaraka dapat diselaraskan satu

sama lain. Norma-norma hukum pada giliranya mampu meng-unifikasi kepantasan-

kepantasa yang berlaku ditengah-tengah masyarakat. Diantara sekian banyak norma, norma

hukumlah yang memiliki ciri khusus yang berbeda dengan norma-norma lain. Norma hukum

bertujuan untuk mencapapai suasana damai masyarakat melalui keserasian, ketertiban dan

Page 5 of 37
keadilan. Didalam masyarakat pada umumnya norma hukum lah yang lebih dipatuhi jika

dibandingkan dengan norna-norma lain., akan tetapi dalam keadaan khusus ada sebagian

masyarakat yang lebih patuh terhadap norma-norma agama. Tetapi pada umumnya mereka

lebih patu pada norma hukum dari pada norma-norma yang lain. Kecuali bagi kelompok

sosial tertentu lebih patuh terhadap norma hukum atau norma susila atau norma sosial tidak

tertutup kemunkinan adanya sistenm kombinasi dari norma-norma yang dimiliki, berlaku dan

yang sedang berkembang ditengah-tengah masyarakat saat ini4

Contohnya pada penerapan keadilan restoratif di tingkat penyidikan kepolisian lebih khusus

kasus peganiayaan yang telah memiliki dasar hukum yang baru mengenai penerapan

restorative justice antara lain berupa Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor

8 Tahun 2021 Tentang Penegakan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif, Peraturan

Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Penghentian Penuntutan

Berdasarkan Keadilan Restoratif dan Surat Keputusan Direktur Jendral Badan Peradilan

Umum Nomor: 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020.

Norma hukum modern saat ini khususnya hukum pidana, memiliki berbagai ketentuan

peraturan perundang-undangan yang dipedomani oleh masyarakat Negara Kesatuan Republic

Indonesia dalam kehidupan pergaulan sosialnya. Pada norma hukum modern saat ini norma

hukum disebut hukum positif.

Hudip bermasyarakat memiliki konsokuensi tersendiri bagi individu-individu yang

menjadi anggota kelompok tersebut. Salah satu konsekuensi dapat ditunjukan yakni rasa

tanggung jawab masing-masing individu akan keutuhan dan kelancaran kehidupan social.

Perasaan demikian tidak dapat ditimbulkan dengan sendirinya, melainkan harus ditanamkan

sedini mungkin; terutama bagi masyarakat yang heterogen. Masyrakat merupaka setiap

kelompok manusia yang telah hidup dan bekerja sama cukup lama sehingga mereka dapat

mengatur diri mereka, dan menganggap diri mereka satu kesatuan social dengan batas-batas
4
Sudarsono

Page 6 of 37
yang dirumuskan dengan jelas. 5
Tetapi tidak dapat dipungkiri sampai saat ini pelangaran-

pelangaran terhadap aturan hukum kerap terjadi sampai saat ini. Untuk itu betitik tolak dari

masih banyak pelanggaran-pelangaran tersebut tadi penulis akan mengfokuskan penelitian

ini lebih kepada pelanggaran penganiayaan yang mana berdasarkan ketentuan perundang-

undangan, dapat di selesaikan di tingkat penyidikan pihak kepolisian, Restortive Justice (RJ).

B. Perumusan Masalah

Permasalahan adalah merupakan persoalan atau sesuatu yang harus dicari

pemecahannya. Permasalahan yang timbul dari sesuatu itu tidak akan habis-habisnya apabila

dikaji lebih mendalam, sistematis dan secara menyeluruh. Berdasarkan pengamatan dan

penelahan keadaan literatur, maka untuk memahami lebih lanjut dan lebih mendalam tentang

“Tinjauan yuridis normatif penerapan keadilan restoratif (restoratif justice) tindak pidana

penganiayaan ringan di tingkat penyidikan kepolisian”.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas dan dari permasalahan yang

timbul, maka penulis dibatasi pada penelitian yang terkait dengan kajian dalam ilmu

pengetahuan dalam praktik Hukum. Maka perlu mengemukakan permasalahan yang akan

menjadi pangkal tolak dalam pembahasan selanjutnya, yaitu :

1. Bagaimana pelaksanaan keadilan retoratif tindak pidana penganiayaan ringan pada

tingkat pemeriksaan kopolisian ?

2. Hal apa yang dapat menghambat pelaksanaan keadilan restorative tindak pidana

penganiayaan ringan pada tingkat pemeriksaan kepolisian ?

5
. Sudarsono., 1991, PENGANTAR ILMU HUKUM, Jakarta, PT. RINEKA CIPTA, Hlm. 65.

Page 7 of 37
C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian yuridis normatif ini, yang hendak dicapai adalah

sebagai berikut:

1. Untuk Mengetahui Bagaimana Pelaksanaan Keadilan Restoratif Tindak Pidana

Penganiayaan Ringan di Tingkat Pemeriksaan kepolisian

2. Untuk Mengetahui hal apa saja yang dapat menghambat pelaksanaan keadilan restoratif

tindak pidana penganiayaan ringan pada tingkat pemeriksaan kepolisian.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian yang saya lakukan ini dapat dilihat dari dua aspek, yaitu:

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis hasil penelitian dapat menjadi bahan pengembangan Ilmu Hukum

Pidana, khususnya tentang pelaksanan restoratif justice dalam hukum acara pidana, juga hasil

dari penelitian ini diharapkan dapat membantu mengembangkan ilmu pengetahuan dan

menambah wawasan terutama untuk menemukan jawaban atas permasalahan yang

dikemukaan dalam perumusan masalah di atas yakni. Tinjauan yuridis normatif pelaksanan

restoratif justice tindak pidana penganiayaan ringan di tingkat penyidikan kepolisian.

Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan

informasi dan keilmuan hukum pada umumnya.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis, hasil penelitian dapat menjadi bacaan yang bermanfaat bagi

masyarakat luas pada umumnya, para akademisi, para penegak hukum dalam rangka

pelaksanaan penegakkan hukum di indonesia, khususnya bagi pembaca atau untuk bahan

penelitian lanjutan atau memberi manfaat bagi yang membutuhkan.

Page 8 of 37
E Metode Penelitian

Metode yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Tipe Penelitian

Dalam penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan Pendekatan

yuridis normatif. Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan yang dilakukan berdasarkan

bahan hukum utama dengan cara menelaah teori-teori, konsep-konsep, asas-asas hukum serta

peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan penelitian ini. Pendekatan ini

dikenal pula dengan pendekatan kepustakaan, yakni dengan mempelajari buku-buku,

peraturan perundang-undangan dan dokumen lain yang berhubungan dengan penelitian ini.

2. Bahan Penelitian

Sumber dan jenis data-data yang digunakan dalam penelitian ini adalah6:

1) Data primer adalah data-data yang didapat secara langsung di lapangan dengan

mendapatkan informasi dari stehkholder yang dilakukan melalui di lapangan.

2) Data sekunder ini bersifat melengkapi hasil penelitian yang dilakukan yaitu data yang

diperoleh dari studi kepustakaan.

3) Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang memiliki kekuatan yang mengikat.

Untuk mendapatkan bahan penelitian tersebut maka penelitian ini akan dilakukan dengan

studi pustaka yang mengkaji bahan hukum. Bahan hukum ini sebagai bahan penelitian,

diambil dari bahan kepustakaan yang berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder,

bahan hukum tersier dan bahan non hukum. Penulis akan menggambarkan tentang bagaimana

penerapan deponering oleh Jaksa Agung terhadap suatu perkara demi kepentingan umum

dalam logika deduktif7.

6
Soerjono Soekanto,PengantarpenelitianHukum, UI Pers, Jakarta, 1984, hlm.52.
7
.Mukti Fajar Nur Dewata dan Yuliato Ahamad, 2017., Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris,
Yogyakarta, Pustaka Pelajar, Hal. 109.

Page 9 of 37
1) Bahan hukum primer, merupakan bahan pustaka yang merupakan peraturan perundangan8

yang terdiri dari.

a) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

b) Undang-undang Republic Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan.

c) Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945.

d) Undang-undang Republic Indonesia Nomor 2 tahun 2002 tentang kepolisian Republic

Indonesia

e) Peraturan kepolisian Negara Republic Indonesia Nomor 8 Tahun 2021 tenntang

Penerapan Tndak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif

f) Penjelasan Atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang

Hukum Acara Pidana;

g) Peraturan perundangan lain yang terkait dengan penelitian;

2) Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat kaitannya dengan bahan hukum

primer, dan dapat membantu untuk proses analisis. Yaitu;

a) Buku-buku ilmiah yang terkait;

b) Hasil penelitian terkait;

c) Makala-makala seminar yang terkait;

d) Jurnal dan literature yang terkait;

e) Doktrin, pendapat dan kesaksian dari ahli hukum baik yang tertulis maupun yang

tidak tertulis;

3) Bahan Bukum Tersier, yaitu berupa kamus dan ensiklopedi.

4) Bahan Non Hukum, yaitu bahan yang digunakan sebagai pelengkap bahan hukum yaitu:9

a) Buku-buku yang berkaitan dengan tugas dan wewenang Kepolisian;

b) Hasil penelitian tentang asas Restorative Justice;


8
Dr. Dyah Ochtorina Susanti, S.H.,M.Hum. dan Aan Efendi, S.H., M.H. 2014., PENELITIAN HUKUM (LEGAL
RESEARCH) –Cet. 1.—Jakarta; Sinar Grafika,hal. 53
9
Ibid., hlm 109

Page 10 of 37
c) Jurnal tentang asas Restorative Justice;

3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik pengumpulan data sebagai

berikut;

d) Studi kepustakaan, yaitu dilakukan dengan cara mencari, mengumpulkan,

mempelajari dan mengutip bahan-bahan berupa buku-buku,makalah-makalah,

peraturan perundangan yang berlak, serta dokumen lainya yang berkaitan dengan

masalah yang diteliti;

e) Metode Analisis Data, yaitu setelah data terkumpul kemudian dianalisis

menggunakan metode analisis kualitatif, yaitu data yang diperoleh disusun secara

sistematis, untuk selanjutnya dianalisis secara kualitatif, untuk mencapai kejelasan

permasalahan yang dibahas.10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

10
.Ronny Hanitijo Soemitro, 1990, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta: Ghalia Indonesia, hal. 57.

Page 11 of 37
A. Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana bersal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana belanda

yaitu strafbaar feit.11 Istilah strafbaar feit sendiri terdiri dari tiga kata, yakni straf, baar dan

feit, yang diterjemahkan dengan strafbaar feit itu, ternyata straf diterjemakan dengan pidana

dan hukum. Perkataan baar diterjemahkan dengan dapat dan boleh. Sementara ituuntuk kata

feit. Diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan12

Sementara itu tindak pidana sering dipakai dalam istilah-istilah dalam buku-buku menegenai

hukum pidana di Indonesia juga pada putusan hakim yang memutuskan suatu pemeriksaan

perkara pidana yang disama artikn dengan delik. Istilah delik sebetulnya tidak ada kaitannya

dengan istilah strfbaar feit, karna istilah ini berasal dari kata delictum (latin), yang juga

dipergunakan dalam perbendaharaan hukum belanda: delict, namun isi pengertiannya tidak

ada perbedaan prinsip dengan istilah strafbaar feit.13 Dalam kamus besar Bahasa Indonesia

tercantum sebagai berikut: “Delik adalah perbuatan yang dapat dikenakan hukuman kerena

merupakan pelanggaran terhadap undang-undang tindak pidana”.14.

Andi Hamza pada bukunya Asas-Asas Hukum Pidana 15 berpendapat: Sarjana hukum

Indonesia membedakan istilah hukuman dan pidana yang dalam Bahasa belanda hanya

dikenal satu istilah untuk keduanya itu, yaitu straf. Istilah hukumanistilah umum untuk segala

macam sanksibaik perdata, administrative, disiplin dan pidana. Sedangkan istilah pidana

diartikan sempit yang berkaitan dengan hukum pidana.

Pidana merupakan karakterristik hukum pidana yang membedakan dengan hukum perdata.

Dalam gugatan perdata pada umumnya, pertanyaan timbul mengenai berapa besar jika ada,

tergugat telah merugikan tergugatdan kemudia pemulihan apa jika ada yang sepadan untuk

11
. Adami Chazawi., 2012, PELAJARAN HUKUM PIDANA 1, Stelsel Pidana, Tindak pidana, Teori-Teori Pemidanaan
Dan Batas Berlakunya Hukum Pidana, Cet. 7, Jakarta, Raja Grafindo, hlm. 67.
12
. Adami Chazawi.ibid. hlm.69.
13
. Adami Chazawi.ibid. hlm.70.
14
.Teguh Prasetyo, 2011, Hukum Pidana Ed. Revisi, Jakarta, Rajawali Pers, hlm. 47.
15
. Andi Hamza., 2004 ASAS-ASAS HUKUM PIDANA, Ed Revisi, Cet. 2, Jakarta, PT. Rineka Cipta, hlm. 27.

Page 12 of 37
mengganti kerugian tergugat. Dalam perkara pidana, sebaliknya, seberapa jauh terdakwa

telah merugikan masyarakat dan pidana apa yang perlu dijatuhkan kepada terdakwa karena

telah melanggar hukum (pidana).

Tujuan hukum pidana tidak melulu dicapai dengan pengenaan pidana, tetapi merupakan

upaya represif yang kuat berupa Tindakan-tindakan pengamanan. Perlu pula dibedakan antara

pengertian pidana dan tundakan.

Pidana dipandang sebagai suatu nestapa yang dikenakan kepada pembuat karena melakukan

suatu delik. Ini bukan merupakan tujuan akhir tetapi tujuan terdekat. Inilah perbedaan antara

pidana dan Tindakan kerena Tindakan dapat berupa nestapa juga bukan tujuan. Tujuan akhir

pidana dan Tindakan dapat menjadi satu, yaitu memperbaiki pembuat. Jika seorang anak

dimasukakn kependidikan paksa maksudnya ialah intuk memeprbaiki tingkah lakunya yang

buruk.16

Dapat pula kita melihat pendapat para ahli mengenai pandangan mereka terhadap kata

strafbaar feit tersebut.

1. Simon, merumuskan strafbaar feit adalah suatu handeling (tindakan/perbuata) yang

diancam dengan pidana oleh undang-undang, bertentangan dengan hukum

(onrechtmatik) dilakukan dengan kesalahan (schuld) oleh seorang yang mampu

bertanggung jawab. Kemudian beliau membaginya dalam dua golongan unsur yaitu:

unsur-unsur objektif yang berupa tindakan yang dilarang/diharuskan, akibat dari

keadaan/atau masalah tertentu, dan unsur subjektif yang berupa kesalahan (schuld)

dan kemampuan bertanggung jawab (toerekeings-vatbaar) dari petindak

2. Perumusan Van Hamel, Van Hamel merumuskan strafbaar feit itu sama dengan yang

dirumuskan oleh Simons, hanya ditambahkan dengan kalimat “tindakan mana yang

dapat dipidana”.

16
.H.B.Vos, hlm.9. Andi Hamza, Ibid, hlm. 28.

Page 13 of 37
3. Pompe merumuskan, strafbaar feit adalah suatu pelanggaran kaidah (penggangguan

ketertiban hukum) terhadap mana pelaku mempunyai kesalahan untuk mana

pemidanaan adalah wajar untuk menyelenggarakan ketertiban hukum dan memjamin

kesejahteraan umum. Pompe juga merumuskan (pada lamintang, (1990: 174) baha

suatu strafbaar feit itu sebenarnya adalah tidak lain daripada suatu tindakan yang

menurut suatu rumusan undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat

dihukum.

4. Vos merumuskan, baha strafbaar feit adalah suatu kelakuan manusia yang diancam

pidana oleh peraturan perundang-undangan

5. R. Tresna, menyatakan peristiwa pidana itu adalah suatu perbuatan atau rangkaian

perbuatan manusia yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan

perundang-undangan lainya, terhadap perbuatan mana diadakan tindakan

penghukuman.17

Pengelompokan istilah strafbaar feit oleh para ahli sebagai litelatur hukum adalah

sebagai berikut;

1. Tindak Pidana: Prof. Dr. irjono Prodjodikoro, S.H. (lihat buku Tindak tindak

pidana tertentu di Indonesia).

2. Peristiwa pidana: Mr. R Tresna dalam bukunya (Asas asas hukum pidana), Mr.

Drs. H.J. Van Schravendijk dalam buku pelajaran tentang (Hukum Pidana

Indonesia)

3. Delik: Prof. Moeljatno dalam bukunya delik-delik percobaan , delik-delik

penyertaan. Prof. Dr. E. Utrecht, S.H., juga menggunakan delik dalam buku Prof,

A. Zainal Abidin (Hukum Pidana 1) alaupu beliau mengunakan istilah peristiwa

pidana.

17
Adami Chazawi, Op.Cit . hlm. 73.

Page 14 of 37
4. Pelanggaran pidana: Mr. M.H Tirtaamidjaja, dalam bukunya (Pokok-Pokok

Hukum Pidana).

5. Perbuatan yang boleh dihukum: Mr Karni, dalam buku beliau (Ringkasan Tentang

Hukum Pidana).

6. Perbuatan yang dapat dihukum; digunakan oleh pembentuk Undang-undang

dalam Undang –Undang No 12/Drt/1951 tentang Senjata Api dan Bahan Peledak

(pasal 3)

7. Perbuatan pidana: Prof. Mr. Moelyatno, dalam berbagai tulisan beliau, misalnya

dalam buku (Asas-Asas Hukum Pidana). 18

Dalam hal pembahasan mengenai tindak pidana dan artiannya, dapatlah kita pahami

ada berbagai perbedaan penafsiran pendapat mengenai strafbaar feit oleh para ahli hukum,

yang dapat kita temui di atas tadi mulai dari arti kata strafbaar feit itu sendiri, maupun

devinisinya strafbaar feit. Tetapi walaupun tidak berupa istilah resmi dalam perundang

undang-undangan kita, banyak undang-undang yang menggunakan istilah strafbaar feit.

Seperti, dalam UU Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta, (diganti dengan UU Nomor

19/2002). UU No 11/PNPS/1963 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Subversi. UU Nomor

3 Tahun 1971 tentang Penberantasan Tindak Pidana Korupsi (diganti dengan UU Nomor 31

Tahun 1999). Dan perundang-undangan lainya. Patutlah kita inggat bahwa pelaku tindak

pidana kejahatan dapat diperhadapkan dengan sanksi pemidanaan, pemidanaan adalah

penjatuhan hukuman kepada pelaku yang telah melakukan perbuatan pidana.19 Sanksi pidana

yang dijatuhkan kepada pelaku kejahatan dapat digolongkan menjadi dua macam, yaitu

pidana pokok dan pidana tambahan (pasal 10 Kitab Undang-Undan Hukum Pidana)20. Pidana

18
. Adami Chazawi Op. Cit,. hlm. 68.
19
H. Salim HS., S.H., M.S. 2012, PERKEMBANGAN TEORI DALAM ILMU HUKUM, Cet.2, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, hal 149
20
R. Soenarto Soerodibroto. 2017, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(Dilengkapi Yurisprudensi, Mahkama Agung, dan Hoge Raad), --Ed 2, --Cet. 17, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal 16.

Page 15 of 37
pokok merupakan pidana yang paling utama yang akan di jatuhkan kepada pelaku. Pidana

pokok terdiri dari; pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, dan pidana tutupan.

B. Tinjauan Umum Tindak Pidana Penganiayaan

1. Pengertian Penganiayaan

penganiayaan berasal dari kata ”aniaya” yang terkandung makna yaitu perbuatan yang

menyiksa/penyiksaaan. Didalam konteks hukum dijabarkan bahwa didalam bagan

perancangan wetboek van strafrecht belanda yang awalnya dipakai adalah lichamelijk leed

dengan tiada maksud atau penjelasan lebih lanjut diberikan kepada iterpretasi hakim

nantinya. Didalam Bahasa Indonesia mishandeling diterjemahkan sebagai penganiaayaan.

Pada kitab Undang-Undan Hukum Pidana (KUHP) tindak pidana penganiayaan

beserta jenis penganiayaan diatur Bab XX.

a). Jenis-Jenis Penganiayaan

 Penganiayaan Biasa (pasal 351 KUHP)

1. penganiayaan dipidana dengan penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau

pidana denda paling banyak empet ribu lima ratus rupiah.

2. Jika perbuatan itu mengakibatkan luka berat, yang bersalah diancan dengan pidana penjara

paling lama lima tahun

3. Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara tujuh tahun

4. Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusaka Kesehatan

5. percobaan melakukan kejahatan ini tidak dipidana

Undang undang tidak menegaskan apa arti sesunguhnya dari pada ”penganiayaan”.

Menurut yurisprudensi, arti penganiayaan ialah perbuatan dengan sengaja yang menimbulkan

Page 16 of 37
rasa tidak enak, rasa sakit atau luka. Dan menurut ayat (4) pasal ini, masuk dalam pengertian

penganiayaan ialah perbuatan dengan sengaja merusak Kesehatan orang.21

- Perbuatan yang menimbulkan perasaan tidak enak misalnya: mendorong orang kedalam

kubangan airsehingga basah, menyuruh orang berdiri dibawaterik matahari dan

sebagainya

- Perbuatan yang menimbulkan rasa sakit misalnya: mencubit, mendepak, memukul

menempeleng, dan sebagainya.

- Perbuatan yang membuat luka misalnya: mengiris, memotong, menusuk dengan benda

tajam dan sebagainya.

- Perbuatan yang dapat merusak Kesehatan misalnya menyiram dengan air aki

Semuanya ini dilakukan dengan sengaja dan tidak dengan maksud yang pantas atau

perbuatan yang melewati batas yang diizinkan. Seorang dokter gigi yang mencabut gigi

pasiennya, walaupun menimbulkan rasa sakit pada si penderita, tidak dapat dikatakan

menganiaya, karna perbuatan dokter itu mempunyai perbuatan yang baik, yakni mengobati

sisakit. Seorang yang mengajar anaknya yang nakal dengan cara memukuli pantatnya,

walaupun menimbulkan rasa sakit pada anak tersebut, tidak dapat dikatakan menganiaya,

karna perbuatannya mempunyai maksud yang baik, yakni mencegah anaknya agar anaknya

tidak nakal. Walaupun demikian, apabila kedua perbuatan itu dilakukan dengan cara yang

melewati batas-batas yang diisinkan, umpamanya dokter gigi mencabut gigi pasiennya tanpa

memakai obat pemati rasa, atau seorang bapak mengajar anaknya dengan cara memukuli,

dengan sepotong besi, dapat dianggap sebagai penganiayaan.

Penganiayaan ini dinamakan “penganiayaan biasa”. Yang bersalah diancam hukuman

lebih berat, apabila perbuatan ini mengakibatka luka berat atau matinya si korban.

Mengenai arti luka berat lihat penjelasan pasal 90. Luka berat atau mati yang dimaksud

disini hanya sebagai akibat dari penganiayaan itu. Apabila luka berat itu direncanakan sejak
21
. R. Sugandi, 1980, KUHP dan Penjelasannya, Usaha Nasional, Surabaya, hlm.366.

Page 17 of 37
semula, maka perbuatan itu dikenakan pasal 354 (penganiayaan berat). Dan apabila kematian

itu memang direncanakan sejak semula, maka perbuatan itu dikenakan pasal 338

 Penganiayaan Ringan (pasal 352)

1. Kecuali yang tersebut dalam pasal 353dan 356, maka penganiayaan yang tidak

menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian ,

diancam sebagai penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau

pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Pidana dapat ditambah sepertiga

bagi orang yang melakukan kejahatan itu terhadap orang yang bekerja kepadanya, atau

menjadi bawahannya.

2. Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.

Tindak pidan ini disebut penganiayaan ringan. Yang masuk dalam pasal ini ialah

penganiayaan yang tidak:

- Menyebabkan sakit (walaupun menimbulkan rasa sakit.

- Menimbulkan halangan untuk menjalankan jabatan atau melakukan pekerjaan sehari-

hari.

Perbuatan itu misalnya menempeleng kepala. Walaupun perbuatan itu menimbulkan rasa

sakit pada si penderita namun tidak menyebabkan ia menjadi sakit dan dapat menjalankan

jabatan serta dapat melakukan pekerjaan sehari-hari.

 Penganiayaan Berencana (pasal 353)

1. Penganiayaan dengan rencana lebih dahulu,diancam dengan pidana penjara paling lama

empat tahun.

2. Jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah dikenakan pidana penjara

paling lama tujuh tahun.

3. Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian yang bersalah diancam dengan pidana penjara

paling lama sembilan tahun.

Page 18 of 37
Yang dapat dituntut dengan pasal ini adalah penganiayaan yang dilakukan dengan

direncanakan lebih dahulu. Ancaman hukumannya lebih berat dari pada ancaman hukuman

yang tersebut dalam pasal 351.22

 Penganiayaan Berat (pasal 354)

1. Barang siapa sengaja melukai berat orang lain, diancam karena melakukan penganiayaan

berat dengan pidana penjara paling lama delapan tahun.

2. jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersala diancam dengan pidana penjara

paling lama sepuluh tahun.

Tindak pidan ini dinamakan “penganiyaan berat”. Untuk kejahatan ini disyaratkan bahwa

kesengajaan ditunjukan untuk menimbulkan luka berat (HR 19 November 1894)23

 Penganiayaan Berat Berencana (pasal 355)

1. Penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu, diancam dengan

pidana penjara paling lama dua belas tahun.

2. Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam dengan pidana penjara

paling lama lima belas tahun.

Yang dituntut menurut pasal ini ialah penganiayaan yang tersebut dalam pasal 354 yang

dilakukan dengan “direncanakan lebih dahulu”. Mengenai apa yang dimaksud dengan

“direncanakan lebih dahulu” lihat penjelasan pasal 340. Percobaan pada penganiayaan ini

dapat dihukum.24

 Penganiayaan terhadap orang yang berkwalitas (Pasal 356)

Pidana yang ditentukan dalam pasal 351, 353, 354, dan 355 dapat ditambah dengan

sepertiga;

1. Bagi yang melakukan kejahatan itu terhadap ibunya, bapaknya yang sah, istrinya atau

anaknya;
22
. R. Sugandi, Ibid, hlm. 369.
23
. R. Soenarto Soerodibroto, loc. Cit, hlm.217.
24
. R. Sugandi, Loc. Cit, hlm. 370.

Page 19 of 37
2. Kejahatan itu dilakukan terhadap seorang pejabat Ketika atau karena menjalankan

tugasnya yang sah;

3. Jika kejahatan itu dilakukan dengan memberikan bahan yang berbahaya bagi nyawa atau

Kesehatan untuk dilaksanakan atau diminum.

Yang memberatkan dari bentuk ke kehususan penganiayaan pada pasal ini sehingga bisa

di tambah sepertiga hukumannya yakni pelanggaran ini dilakukan kepada.

1) pribadi orang sebagai:

a) Ibunya

b) Bapak yang sah

c) Istrinya

d) Anaknya

e) Dan pegawai negeri saat menjalankan tugasnya

2) apabila ia melakukan penganiayaan memberikan bahan-bahan yang pada akhirnya

dimakan maupun diminum yang dapat membahayakan nyawanya atau kesehatannya.

Penganiayaan kepada sesama anggota keluarga ini sebagaimana dijelaskan diatas

dipandang sebagai tindakan yang amat buruk. sebagaimana juga tindakan penganiayaan

kepada orang lain atau termasuk kepada pegawai negeri yang sedang menjalankan tugasnya.

Factor memperberat pidana yang diletakan pada hal yang demikian khususnya oleh orang tua

pada anaknya sendiri terdapat pula pada pasal 307.

2. Pengertian Penganiayaan Ringan

Penganiayaan ringan sempat disinggung di atas yang terdapat pada KUHPidana. Yakni

perbuata seseorang yang dianggap melakukan tindak pidana penganiayaan terhadap

orang lain yang menimbulkan rasa sakit tetapi didak menimbulkan sakit kapada sikorban

atau dengan kata lain korban tidak tehalang dalam melakukan kegitana seharin hari,

korban tetap melaksanakan pekerjaanya seperti biasa dan tidak mengganggu

Page 20 of 37
kesehatannya sehingga tidak menghalangi atau menghambat pelaksanaan mata

pencaharian atau tidak menghambat pelaksanaan tugas jabatan seseorang. C. Djisman

Samosir menyatakan:25 pasal 352 ayat 1 KUHPidana ini adalah merupakan penganiayaan

dalam bentuk yang meringankan (GEPRIVILIGIEERDE MISHANDELING). Syarat

untuk dikategorikan sebagai penganiayaan sebagaimana disebut didalam pasal 352 ayat

(1) adalah sebagai berikut

1. penganiayaan itu tidak menimbulkan rasa sakit

2. penganiayan itu tidak menghambat pelaksanaan tugas jabatan

3. penganiayaan itu tidak menghambat pelaksanaan mata pencaharian.

Perlu juga diketahui bersama, bahwa berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981,

tentang hukum acara pidana pasal 21 ayat 4 butir a, pelaku tindak pidana terkait dengan

tindak pidana yang diatur didalam pasal 352 ayat 1 KUHP tidak dapat ditahan,kerena

ancaman pidananya dibawah lima tahun dan lagipula bukan merupakan pasal yang di

kecualikan dari penahanan.

C. Tinjauan Umum Tugas dan Wewenang Kepolisisan.

Penegakan hukum adalah merupakan tanggung jawab bersama dalam system

peradilan pidana di Indonesia termasuk dalam hal ini adalah pihak kepolisian sebagai suatu

sub system penegakan hukum paling terdepan, karena kepolisian merupakan institusi yang

memiliki wewenang dalam penegakan hukum, keamanan dan ketertiban masyarakat. Serta

merupakan aparat yang dapat menentukan apakah suatu pelanggaran maupun kejahatanyang

terjadi didalam masyarakat itu akan diproses lanjut atau tidak atau sering disebut sebagai

system peradilan pidana.26 Ada pula wewenang kepolisian untuk melakukan tindakan
25
. Djisman Samosir dan Timbul Andes Samosir, 2021, Tindak Pidana Tertentu Di Dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana, Edisi Revisi, Cet 2, Jakarta, CV. Nuansa Aulia, hlm. 76-77.
26
. Dr. Kurniawan Tri Wibowo dan Erri Gunrahti Yuni Utamininggrum, 2022, Implimentasi Keadilan Restoratif Dalam
Sistim Peradilan Pidana Di Indonesia, Jakarta, Papas Sinar Sinanti, hlm. 63.

Page 21 of 37
penyelidikan, penyidikan terhadap semua tindak pidana. Namun demikian, hal tersebut tetap

memperhatikan dan tidak mengurangi kewenangan penyidik lainya, sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang menjadi dasar hukumnya masing-masing. Bagian dari tugas dan

wewenag kepolisisn yang diamanatkan undang-undang terdapat pada Undang-undang

Repoblik Indonesia Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Kepolisian Republik Indonesia.

Pada Undang-undang Repoblik Indonesia Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Kepolisian

Republik Indonesia, yang membahas tentang tugas dan wewenang kepolisian, terdapat pada

pasal 13 yang membahas mengenai. Tugas pokok Kepolisian Republik Indonesia Yakni

a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;

b. Menegakkan hukum dan

c. Memberikan perlindungan , pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.27

Rumusan tugas pokok tersebut diatas bukan merupakan urutan priroritas, ketiga-tiganya

sama penting, sedangkan dalam pelaksanaannya tugas pokok mana yang akan dikedepankan

sangat tergantung terhadap situasi masyarakatdan lingkungan yang di hadapi karena pada

dasarnya keiga tugas pokok tersebut dilakukan secara simlutan dan dapat dikombinasikan.

Disamping itu dalam pelaksanaan tugas ini harus berdasarkan norma hukum, mengindahkan

norma agama,kesopanan dan kesusilaan, serta menjung-jung tingi hak asasi manusia.

Pada pasal 14 ayat 1 kepolisian dalam “melaksanakan tugas pokok” sebagaimana

dimaksud dalam pasal 13 Kepolisan Negara Republik Indonesia beartugas:

a. melaksankan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patrol terhadap kegiatan mesyarakat

dan pemerintah sesuai dengan kebuthanan;

b. menjaklankan segala kegiatan dalam menjamin keamanan ketertiban dan kelancaran

lalulintas dijalan

27
.Dr. Kurniawan Tri Wibowo dan Erri Gunrahti Yuni Utamininggrum, Ibid, hlm. 64.

Page 22 of 37
c. membina masyarakan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum

masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan;

d. turut serta dalam pembinaan hukum nasional

e. memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum;

f. melakukan koordinasi pengawasan dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus,

penyidik pegawai negeri sipil dan bentuk-bentuk pengamana swakarsa.

g. melakukan penyidikan dan penyelidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan

hukum acara pidana dan peraturan perundangan lainya.

h. menyelenggarakan identifikasi kepolisian kedokteran kepolisian, laboratorium forensic,

dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian

i. melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda masyarakat dan lingkungan hidup dari

gangguan ketertiban dan atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan

dengan menjunjung tinggi hak asai manusia.

j. melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi

dan/atau pihak yang berwenang

k. memberikan pelayana kepada masyarakatsesuai dengan kepentingannya dalam lingkup

tugas kepolisian

l. melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Sedangkan pada pasal 14 ayat 2 yakni. Tatacara pelaksanaan ketentuan sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) huruf f diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah

Pada pasal 15 ayat (1) Dalam rangka “penyelenggaraan tugas” sebagaimana dimaksud

dalam pasal 13 dan 14 Kepolisian Negara Republik Indinesia “secara umum” berwenang

a. menerima laporan dan atau pengaduan.

b. membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat menggangu

ketertiban umum

Page 23 of 37
c. mencegah dan menanggulangi timbulnya penyakit masyarakat

d. mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau pengancamanpersatuan dan

kesatuang bangsa

e. mengeluarkan peraturan kepolisisan dalam lingkup kewenangan administratif kepolisian

f. melaksanakan pemerikasaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka

pencegahan

g. melakukan tindakan pertama ditempat kejadian

h. mengambil sidik jari dan identitas lain serta memotret seseorang

i. mencari keterangan dan barang bukti

j. menyelenggarakan Pusat Informasi Criminal Nasional

k. menegeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukandalam rangka

pelayanan

l. memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan

kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat

m. menerima dan menyimpanbarang temuan untuk semantara waktu.

Pasal 15 ayat (2). Kepolisian Negara Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan

lainya :

a. memberikan ijin dan mengawasi kegiatan keramaian keramaian umum dan kegiatan

masyarakat lainnya.

b. menyelenggarakan reistrasi dan identifikasi kendaraan bermotor

c. memberikan surat ijin mengemudi kendaraan bermotor

d. menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik

e. memberikan ijin oprasional dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak, dan

senjata tajam

Page 24 of 37
f. memberikan izin oprasional dan melakukan pengawasan terhadap badan usaha dibidang

jasa dan pengamanan

g. memberikan petunjuk, mendidik dan melatih apparat kepolisian khusus dan petugas

pengamanan swakarsa dalam bidang teknis kepolisian

h. melakukan kerja sama dengan kepolisisn negara lain dalam menyidik dan memberantas

kejahatan nasional

i. melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing yang berada diwilayah

Indonesia dengan koordinasiinstansi terkait

j. mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi kepolisian internasional

k. melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas kepolisian

Pasal 15 ayat (3). Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 hurf

a dan d diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah

Pasal 16 ayat 1. Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam

pasal 13 dan 14 dibidang proses pidana, Kepolisian Negara Indonesia berwenag untuk:

a. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitan

b. melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk

kepentigan penyidikan

c. membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan

d. menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menyatakan serta memeriksa tanda pengenal

diri

e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat

f. memenggil orang untuk didengar untuk diperiksa sebagai tersangka atau saksi

g. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemerikasan

perkara

h. mengadakan penghentian penyidikan

Page 25 of 37
i. menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum

j. mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasiyang berwenang ditempat

pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau

menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana

k. memberi pentunjuk dan memberi bantuan kenyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil

serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada

penuntut umum dan

l. mengadakan Tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

Pasal 16 ayat (2). Tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huruf i adalah tindakan

penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat sebagai berikut:

a. tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum

b. selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan

c. harus patut, masuk akal, dan termasuk dan termasuk dalam lingkungan kejahatan

d. pertimbanganyang layak berdasarkan keadaan yang memaksa dan

e. menghormati hak asasi manusia

Pada pasal 17. Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia menjadikan tugas dan

wewenangnya diseluruh wilayah negara Negara Republik Indonesia khususnya didaerah

hukum pejabat yang bersangkutan ditugaskan sesuai dengan peraturan perundang-undangan

Pada pasal 18 ayat (1). Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik

Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut

penilaiannya sendiri

Pasal 18 ayat (2). Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat

dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-

undangan serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Page 26 of 37
Pada pasal 19 ayat (1). Dalam rangka menjalankan tugas dan wewenangya, Kepolisian

Negara Republik Indonesia.senantiasa bertindak dengan norma hukum dan mengindahkkan

norma agama, kesopanan , kesusilaan serta menjunjungtinggi hak asasi manusia.

Pasal 19 ayat (2). Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana yang dimaksud

dalam ayat 1 Kepolisian Negara Republik Indonesia mengutamakan Tindakan pencegahan.

Jonlar Purba28menyatakan , polisis adalah gerbang dari system peradilan pidana.

Sebagaimana dikatan Donald Black, perannya sebagai penyelidik dan penyidik tindak pidana,

menempatkan polisi berhubungan dengan sebagian besartindak pidana umumatau biasa

(ordinary or commen crimes). Sebagian besar polisi bertindak reaktif dari pada proaktif

dengan sangat bergantung pada warga masyarakat untuk mengadu atau melaporatas dugaan

terjadinya tindak pidana29

Dalam kasus perkara pidana dan penyelesaiannya kepolisian terkadang mengambil tindakan

kebijakan yang dilakukan secara kompromi atau dengan cara perdamain melalui hukum adat

yang berlaku didaerah setempat. Tindakan ini diambil setelah polisi sebagai penyidik

melakukan tindakan-tindakan penyidikan dan diproses sebagaimana seharusnya. Tetapi

biasanya setelah melalui proses pemerikasaan dan pertimbangan dengan sekasama ternyata

lebih efektif, lebih bermanfaat, ditinjau dari segi prkaranya, juga pertimbanga semua pihak,

waktu, biaya proses maupun kepentingan masyarakat, maka perkara pidana yang ditangani

itu cukup diselasaikan di tingkat kepolisisan.

Langkah kebijaksanaan yang diambil polisi sebagai penyidik tersebut diatas, biasanya sudah

dipahami dengan baik oleh komponen-komponen fungsi didalan system peradilan pidana,

terutama oleh jaksa sebagai penuntut umum. Langkah tersebut adalah langka dalam hal

mengunakan kebiljakan diskresi pada pendekatan keadilan restoratif.

28
. Jonlar Purba,2017, Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana, Bermotif Ringan Dengan Restorative Justice, hlm. 69.
Dr. Kurniawan Tri Wibowo dan Erri Gunrahti Yuni Utamininggrum, Ibid, hlm. 64.
29
. Ibid, hlm, 64.

Page 27 of 37
D. Pengertian dan Dasar Hukum Keadilan Restoratif

Prinsip Restoratie Justice atau Keadilan Restoratif saat ini sedang populer dan mulai

di adopsi dan diterapkan oleh Lembaga penegak hukum di Indonesia.

Cukup banyak definisi restorative yang telah dikembangkan. Oleh karena itu penulis

mencoba menyajikan beberapa definisi Restorative Justice dari beberapa sarjana sebagai

berikut:30

1. Eva Achjhani Zulfa Restorative Justice adalah sebuah konsep pemikiran yang merespon

pengembangan system system peradilan pidanadengan menitik beratkan pada kebutuhan

pelibatan masyarakat dan korban yang dirasa tersisihkan dengan mekanisme yang bekerja

pada system peradilan pidana yang ada pada saat ini.

2. Kurniawan Tri Wibowo menyatakan, pada perkembangannya dunia peradilanternyata

memahami permasalahan tersebut, sehingga munculah ide-ide lain penyelesaian masalah

yang memberdayakan para korban, pelaku, keluarga, dan masyarakat untuk memperbaiki

suatu perbuatan yang melawan hokum dengan menggunakan kesadaran dan keinsyafan

sebagai landasan untuk memperbaiki kehidupan bermasyarakat. Konsep keadilan pemulihan

yang lebih menitik beratkan pada adanya partisipasi atau ikut serta langsung dari pelaku,

korban, dan masyarakat dalam proses penyelesaian’

3. Devinisi yang dikemukan oleh Diknan sebagai berikut. Keadilan restorative nilai/prinsip

pendekatan terhadap kejahatan dan konflik, dengan focus keseimbangan pada orang yang

dirugikan, penyebab kerugian dan masyarakat yang terkena dampak.

4. Persatuan Bangsa-bangsa (PBB) medefinisikan keadilan restorative sebagai “a way of

respon-ding to criminal behavior by belancing the need of the community, the viktims and the

offender. (sebuah penyelesaian terhadap prilaku pidana dengan cara menyelaraskan Kembali

harmonisasi antara masyarakat, korban , dan pelaku)

30
. Dr. Kurniawan Tri Wibowo dan Erri Gunrahti Yuni Utamininggrum, Ibid, hlm. 33-34.

Page 28 of 37
5. Menurut kevin I. Minor dan J.T. Morrison dalam buku Ä Theorritical Study and Critique

Justice, restorative justice adalah suatu tanggapan kepada pelaku kejahatan untuk

memulihkan kerugian dan memudahkan perdamaian antara para pihak.31

Keadilan restorative adalah suatu metode yang secara filosofisnya dirancang untuk

menjadi suatu resolusi penyelesaian dari konflik yang sedang terjadi dengan cara

memperbaikai keadaan ataupun kerugian yang timbul dari konflim tersebut. Sedangkan

menurut laman resmi Mahkama Agung Prinsip restorative justice adalah salah satu prinsip

penegakan hukum dalam penyelesaian perkara yang dapat dijadikan instrument pemulihan.

Dalam mengupayakan dialog dan mediasi pada keadilan restorative akan melibatkan

beberapa pihak yakni pelaku, korban, keluarga pelaku, keluarga korban, dan pihak-pihak

lainnya yang terkait dalam proses diadog dan mediasi untuk bersama-sama menciptakan

kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang adil dan seimbang demi tercapainya suatu

keadilan restorative. Secara umum, tujuan dari penyelesaian permasalahan hukum tersebut

demi menciptakan kesepakatan antara pelaku dan korban untuk membangun system peradilan

pidana yang peka terhadap masalah korban, dan mengembalikan pola hubungan baik dalam

masyarakat. Restorative justice penting dikaitkan dengan korban kejahatan, karena

pendekatan ini merupakan bentuk kritik terhadap system peradilan pidana di Indonesia saat

ini karena cenderung mengarah pada tujuan retributive, yaitu menekankan keadilan pada

pembalasan, dan mengabaikan peran korban untuk turut serta menentukan perkaranya.

Prinsip keadilan restorative atau restorative justice merupakan alternatif penyelesaian perkara

tindak pidana yang dalam mekanisme (tata cara pengdilan pidana) focus pidana diubah

menjadi proses dialok dan mediasi. Maka dari itu sebagaima telah disebutkan diatas tadi

bahwah, keadilan restorative adalah suatu metode atau yang secara filosofis dirangcang untuk

menjadi suatu resolusi penyelesaian konflik yang sedang terjadi dengan cara memperbaiki

31
.https://nasional.kompas.com/read/2022/02/15/12443411/restorative-justice-pengertian-dan-penerapannya-dalam-hukum-
di-indonesia

Page 29 of 37
keadaan ataupun memberikan ganti kerugian yang ditimbulkan dari konflim tersebut. Akam

tetapi penerapan terkait asas Restorative Justice ini di peruntukan dalam kasus pidana delik

ringan.32 “KUHPidana, pasal. 352”.

Tujuan utama Restorative Justice adalah pencapaian keadilan yang seadil-adilnya teru

tama bagi semua pihak yang terlibat di dalamnya, dan tidak sekedar mengedepankan penghuk

uman. Keadilan yang saat ini dianut oleh kaum Abolisionis disebut sebagai keadilan retributif

yang berbeda dengan keadilan restoratif. Dimana menurut keadilan retributif kejahatan dirum

uskan sebagai pelanggaran terhadap negara, sedangkan menurut keadilan restoratif kejahatan

dipandang sebagai pelanggaran seseorang terhadap orang lain. Dilihat dari sisi penerapannya,

keadilan retributif lebih cenderung menerapkan penderitaan penjeraan dan pencegahan bagi p

elaku tindak pidana, sedangkan keadilan restoratif lebih berfokus pada upaya penerapan restit

usi sebagai sarana perbaikan para pihak, rekonsiliasi, dan restorasi sebagai tujuan utama.33

Berkaitan erat dengan Restorative Justice tersebut, Muladi mengungkapkan secara rinci tenta

ng ciri-ciri Restorative Justice sebagai berikut:34

a. Kejahatan dirumuskan sebagai pelanggaran seseorang terhadap orang lain dan dipandang s

ebagai konflik;

b. Fokus perhatian ialah pada pemecahan masalah, pertanggungjawaban dan kewajiban untuk

masa mendatang;

c. Sifat normatif dibangun atas dasar dialog dan negosiasi;

d. Restitusi sebagai sarana para pihak, rekonsiliasi dan restorasi merupakan tujuan utama;

e. Keadilan dirumuskan sebagai hubungan antar hak, dinilai atas dasar hasil;

f. Fokus perhatian terarah pada perbaikan luka sosial akibat kejahatan;

g. Masyarakat merupakan fasilitator di dalam proses restoratif;

32
. Andi Hamzah, 2009, Terminologi Hukum Pidana, Jakarta Sinar Grafika, hlm.5.
33
. Muladi, 1995 Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang, : B. P. Universitas Diponegoro, hlm. 15.
34
. Dr. Kurniawan Tri Wibowo dan Erri Gunrahti Yuni Utamininggrum, lok. cit, hlm. 35-36.

Page 30 of 37
h. Peran korban dan pelaku diakui, baik dalam penentuan masalah maupun penyelesaian hak-

hak dan kebutuhan korban. Perlu didorong untuk bertanggung jawab;

i. Pertanggungjawaban pelaku dirumuskan sebagai dampak pemahaman atas perbuatannya da

n diarahkan untuk ikut memutuskan yang terbaik;

j. Tindak pidana dipahami dalam konteks menyeluruh, moral, sosial dan ekonomis; dan

k. Stigma dapat dihapus melalui restoratif.

Lalu, dalam proses pelaksanaan Restorative Justice pada tindak pidana sendiri juga m

emiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1) Adanya proses identifikasi sebagai acuan untuk mengambil langkah dengan tujuan mempe

rbaiki kerugian yang diciptakan;

2) Melibatkan seluruh para pihak yang terkait; dan

3) Adanya upaya untuk melakukan transformasi hubungan yang ada selama ini antara masyar

akat dengan pemerintah dalam merespons tindak pidana.

Selama ini pelaksanaan Restorative Justice di Indonesia didasarkan pada diskresi dan

diversi yang merupakan upaya pengalihan dari proses peradilan pidana secara formal untuk di

selesaikan melalui musyawarah. Pada dasarnya penyelesaian masalah dan sengketa melalui ja

lan musyawarah bukan merupakan hal asing bagi masyarakat Indonesia. Bahkan sebelum Bel

anda datang ke Indonesia hukum adat yang merupakan hukum asli Indonesia sudah menggun

akan jalan musyawarah untuk menyelesaikan segala macam sengketa, baik perdata maupun p

idana dengan tujuan untuk mengembalikan keseimbangan atau memulihkan keadaan. Dimana

pada dasarnya sistem ini telah sesuai dengan tujuan dari sistem peradilan pidana itu sendiri ya

ng dirumuskan oleh Madjono sebagai berikut:35

a) Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan;

35
. Romli Atmasasmita, 1996, Sistem Peradilan Pidana-Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, Bandung: Bina Cipt
a, hlm.15.

Page 31 of 37
b) Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan tela

h ditegakkan dan yang bersalah dipidana; dan

c) Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejah

atannya.

Lalu dalam hal mekanisme pelaksanaan Restorative Justice tersebut dapat dilakukan dalam b

eberapa mekanisme tergantung situasi dan kondisi yang ada, bahkan ada yang mengintegrasik

an satu mekanisme dengan mekanisme lainnya. Adapun beberapa mekanisme yang umum dit

erapkan dalam Restorative Justice adalah sebagai berikut:

(1) Victim offender mediation (mediasi antara korban dan pelaku);

(2) Conferencing (pertemuan atau diskusi);

(3) Circles (bernegosiasi);

(4) Victim assistance (pendamping korban);

(5) Ex-offender assistance (pendamping mantan pelaku);

(6) Restitution (ganti rugi); dan

(7) Community service (layanan masyarakat).36

Selain itu, menurut Adrianus Meliala, model pendekatan Restorative Justice ini diperkenalka

n karena sistem peradilan pidana dan pemidanaan yang berlaku saat ini sering menimbulkan

masalah. Dalam sistem kepenjaraan saat ini bertujuan memberikan hukuman sebagai upaya p

enjeraan, pembalasan dendam, dan pemberian derita sebagai konsekuensi perbuatan pelaku ti

ndak pidana. Dimana yang menjadi indikator penghukuman diukur dari sejauh mana narapida

na tunduk pada peraturan penjara. Oleh karena itu, tujuan pendekatannya lebih berfokus kepa

da keamanan sedangkan pada model Restorative Justice lebih berfokus pada proses pemuliha

n. Penerapan model Restorative Justice tidak mudah karena jika ingin terlaksana dengan baik

tentu harus diterapkan dari awal perkara masuk ke kepolisian, saat pertama kali disidik. Selan

36

Page 32 of 37
jutnya di kejaksaan dan di pengadilan, bahkan hakim juga harus mengupayakan hal demikian

jika ingin penerapan upaya hukum Restorative Justice berjalan maksimal

E. Dasar Hukum keadilan Resstoratif

Penerapan keadilan restoratif bermula pada tahun 1970-an di Ontario Kanada yakni program

penyelesaian di luar peradilan yang oleh masyarakat, yang disebut victim offender

mediation37 (VOM).

Program itu mulanya dilaksanakan sebagai tindakan alternatif dalam menghukum pelaku

kriminal anak, dimana sebelum dilaksanakan hukuman pelaku dan korban diizinkan bertemu

untuk menyusun usulan hukum yang menjadi salah satu pertimbangan dari sekian banyak

pertimbangan hakim. Di Indonesia dikenal juga dengan sebututan diversi pada anak. .

Salah satu landasan penerapan restorative justice oleh Mahkamah Agung dibuktikan dengan

pemberlakuan kebijakan melalui Peraturan Mahkamah Agung dan Surat Edaran Mahkamah

Agung. Panduan restorative justice dalam lingkungan peradilan umum diatur dalam Surat

Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum yang terbit pada 22 Desember 2020.

Tujuan panduan restorative justice oleh MA adalah mendorong peningkatan penerapan

konsep itu dan terpenuhinya asas-asas peradilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan

dengan keadilan yang seimbang. Menurut MA, konsep restorative justice bisa diterapkan

dalam kasus-kasus tindak pidana ringan dengan hukuman pidana penjara paling lama tiga

bulan dan denda Rp 2.500.000 (Pasal 364, 373, 379, 384, 407, dan 482). Selain itu, prinsip

restorative justice juga digunakan terhadap anak atau perempuan yang berhadapan dengan

hukum, anak yang menjadi korban atau saksi tindak pidana, hingga pecandu atau

penyalahguna narkotika.38

Kejaksaan Agung juga menerbitkan kebijakan mengenai keadilan restoratif melalui Peraturan

Jaksa Agung dapat menerapkan Restorative Justice berdasarkan Peraturan Kejaksaan


37
. Dr. Kurniawan Tri Wibowo dan Erri Gunrahti Yuni Utamininggrum, lok. cit, hlm, 28
38
. Dr. Kurniawan Tri Wibowo dan Erri Gunrahti Yuni Utamininggrum, lok. cit, hlm, 137.

Page 33 of 37
Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Tentang Penghentian Penuntutan

Berdasarkan Keadilan Restoratif.39 Berdasarkan pada Pasal 2 Perja Nomor 15 tahun 2020,

pertimbangan untuk melaksanakan konsep keadilan restorative dilaksanakan berdasarkan asas

keadilan, kepentingan umum, proporsionalitas, pidana sebagai jalan terakhir, dan asas cepat,

sederhana, dan biaya ringan. Penuntut Umum berwenang menutup perkara demi kepentingan

hukum salah satunya karena alasan telah ada penyelesaian perkara di luar

pengadilan/afdoening buiten process, hal ini diatur dalam Pasal 3 ayat (2) huruf e Perja

Nomor 15 Tahun 2020. Di dalam Peraturan Jaksa Agung tersebut pada Pasal 3 ayat (3)

terdapat ketentuan apabila ingin menyelesaikan perkara di luar pengadilan untuk tindak

pidana tertentu dengan maksimum denda dibayar sukarela atau telah ada pemulihan keadaan

semula melalui restorative justice.

Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 tahun 2021 Tentang Penanganan

Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif. Berdasarkan peraturan ini Keadilan

restorative dilakukan terhadap kasus tertentu, yaitu kasus yang tidak menimbulkan keresahan

dan atau penolakan dari masyarakat, tidak berdampak konflik sosial, tidak berpotensi

memecah belah bangsa, tidak bersifat radikalisme dan separatism, bukan berlaku

pengulangan tindak pidana perdasarkan putusan pengadilan; dan bukan tindak pidana

terorisme, tindak pidana terhadap keamanan negara, tindak pidana korupsi dan tindak pidana

terhadap nyawa orang. Penerapan peraturan kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8

tahun 2021 Tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif juga

diwajibkan adanya kesepakatan dan pemulihan hak dengan mengembakikan barang,

mengganti kerugian, menganti biaya yang ditimbulkan dari akibat tindak pidana; dan/atau

mengganti kerusakan yang ditimbulkan akibat tindak pidana. 40 Kapolri Jenderal Polisi Listyo

39
. Dr. Kurniawan Tri Wibowo dan Erri Gunrahti Yuni Utamininggrum, lok. cit, hlm, 136.
40
. Dr. Kurniawan Tri Wibowo dan Erri Gunrahti Yuni Utamininggrum, lok. cit, hlm, 136

Page 34 of 37
Sigit Prabowo juga menerbitkan surat edaran pada 19 Februari 2021 yang salah satu isinya

meminta penyidik memiliki prinsip bahwa hukum pidana merupakan upaya terakhir dalam

penegakan hukum (ultimum remedium) dan mengedepankan keadilan restoratif (restorative

justice) dalam penyelesaian perkara. Yang menjadi fokus utama Sigit dalam penerapan

prinsip restorative justice adalah dalam penanganan perkara UU Informasi dan Transaksi

Elektronik (ITE) Nomor 19 Tahun 2016. Sementara itu, Listyo menyatakan tindak pidana

yang mengandung unsur SARA, kebencian terhadap golongan atau agama dan diskriminasi

ras dan etnis, serta penyebaran berita bohong yang menimbulkan keonaran tidak dapat

diselesaikan dengan restorative justice. Pelaksanaan prinsip keadilan restoratif juga sudah

dilakukan sejak terbitnya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan

Pidana Anak (UU SPPA).

BAB III

DAFTAR PUSTAKA

Satjipto Rahardjo., 2012, ILMU HUKUM, Cet. 7, Bandung

H. Riduan Syahrani., 2013, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Ed.

Revisi. Cet. 6, Bandung

Sudarsono., 1991, PENGANTAR ILMU HUKUM, Jakarta

Soerjono Soekanto,PengantarpenelitianHukum, UI Pers, Jakarta

Page 35 of 37
Mukti Fajar Nur Dewata dan Yuliato Ahamad, 2017., Dualisme Penelitian

Hukum Normatif dan Empiris, Yogyakarta

Dr. Dyah Ochtorina Susanti, S.H.,M.Hum. dan Aan Efendi, S.H., M.H. 2014.,

PENELITIAN HUKUM (LEGAL RESEARCH) –Cet. 1.—Jakarta

Ronny Hanitijo Soemitro, 1990, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri,

Jakarta

Adami Chazawi., 2012, PELAJARAN HUKUM PIDANA 1, Stelsel Pidana,

Tindak pidana, Teori-Teori Pemidanaan Dan Batas Berlakunya Hukum

Pidana, Cet. 7, Jakarta

Teguh Prasetyo, 2011, Hukum Pidana Ed. Revisi, Jakarta

Andi Hamza., 2004 ASAS-ASAS HUKUM PIDANA, Ed Revisi, Cet. 2,

Jakarta

H. Salim HS., S.H., M.S. 2012, PERKEMBANGAN TEORI DALAM ILMU

HUKUM, Cet.2, Raja Grafindo Persada, Jakarta

R. Soenarto Soerodibroto. 2017, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Dan

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (DilengkapiYurisprudensi,

Mahkama Agung, dan Hoge Raad), --Ed 2, --Cet. 17, Raja Grafindo

Persada, Jakarta

Page 36 of 37
R. Sugandi, 1980, KUHP dan Penjelasannya, Usaha Nasional, Surabaya

Djisman Samosir dan Timbul Andes Samosir, 2021, Tindak Pidana Tertentu Di

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Edisi Revisi, Cet 2,

Jakarta

Dr. Kurniawan Tri Wibowo dan Erri Gunrahti Yuni Utamininggrum, 2022

Implimentasi Keadilan Restoratif Dalam Sistim Peradilan Pidana Di

Indonesia,Jakarta

Andi Hamzah, 2009, Terminologi Hukum Pidana, Jakarta Sinar Grafika,

hlm.5.Muladi, 1995 Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang

Romli Atmasasmita, 1996, Sistem Peradilan Pidana-Perspektif

Eksistensialisme dan Abolisionisme, Bandung

https://nasional.kompas.com/read/2022/02/15/12443411/restorative-justice-
pengertian-dan-penerapannya-dalam-hukum-di-indonesia

Page 37 of 37

Anda mungkin juga menyukai