Anda di halaman 1dari 62

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Keberhasilan dalam dunia pendidikan merupakan salah satu faktor penentu
tercapainya tujuan pendidikan mencerdaskan kehidupan masyarakat, sehingga
pendidikan merupakan salah satu sarana untuk meningkatkan kualitas sumber
daya manusia. Hal ini diperlukan untuk menghadapi era globalisasi yang semakin
maju dan kompetitif. Oleh karena itu, pendidikan memegang peranan yang sangat
penting dalam mencapai kemajuan dan kesejahteraan hidup manusia. Pendidikan
tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia karena adanya hubungan guru-
siswa dalam pembelajaran.
Tujuan Pendidikan Nasional dalam UU No.2. mengembangkan potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, mandiri, berakal, dan
bertanggung jawab.Tanggung jawab guru dapat meningkatkan mutu pengajaran.
murid. Pendidikan juga merupakan sistem untuk mentransmisikan nilai-nilai
budaya dalam masyarakat, dan tentunya untuk membimbing manusia menjadi
lebih baik.
Manusia adalah makhluk sosial yang lahir untuk hidup berdampingan
dengan orang lain, dan tidak dapat hidup sendiri. Sebagai makhluk sosial, manusia
perlu berinteraksi dengan orang lain, bertukar pikiran, dan saling membantu
dengan memenuhi kebutuhannya. Hal-hal tersebut sering terlihat secara langsung
di masyarakat, seperti kegiatan sosial, pengabdian masyarakat, dan pemberian
bantuan berupa barang dan jasa kepada mereka yang paling membutuhkan.
Bantuan diberikan kepada orang lain tanpa mengharapkan imbalan apa pun.
Sebagai makhluk sosial, banyak hal yang harus dijalani setiap individu
dalam kehidupan bermasyarakat. Individu perlu berinteraksi satu sama lain,
bertukar pikiran, membutuhkan bantuan orang lain, bekerja sama dan saling
membantu. Kehidupan sehari-hari membutuhkan sikap yang mendukung. Sering
disebut sebagai perilaku menolong atau perilaku altruistik adalah kecenderungan
orang untuk saling membantu demi kesejahteraan orang yang ditolong.
Sebagaimana Allah SWT berfirman, sebagai berikut:
۟ ُ‫وا َعلَى ْٱلبر َوٱلتَّ ْق َو ٰى َواَل تَ َعا َون‬
‫وا َعلَى ٱِإْل ْثم َوٱتَّقُوا ٱهَّلل َ ِإ َّن ٱهَّلل َ َش ِدي ُد ْٱل ِعقَاب‬ ۟ ُ‫َوتَ َعا َون‬
ِ
Terjemahan:
“Tolong menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan takwa, dan
jangan tolong menolong dalam perbuatan yang dosa dan permusuhan.
Bertakwalah kepada Allah SWT. Sebenarnya siksaan Allah SWT sangatlah
pedih”. (Q.S. Al-Maidah:2)
Allah SWT memerintahkan hamba yang beriman untuk berpaling dari
ketaatan dan maksiat dan saling membantu. Bantuan merupakan salah satu pilar
penting dalam kehidupan bermasyarakat Al-Qur'an al-Karim, sehingga sangat
penting untuk mendukung berbuat kebaikan dan kebaikan, memberikan bantuan
dan mengeluarkan sadhaka.Sejalan dengan itu, Al-Qur'an mengajarkan bahwa
Agama-agama saling membantu satu sama lain dalam segala amal kebaikan yang
bermanfaat bagi manusia, baik secara pribadi maupun sosial, baik dalam urusan
agama maupun dunia, dan dalam segala amal saleh yang memungkinkan, yang
mewajibkan manusia untuk memenuhi kewajiban sosialnya. lindungi diri Anda
dari bahaya dan bahaya.
Sebuah kutipan dari Al-Qur'an surah Al-Maidah ayat 2 mengatakan bahwa
kita tidak boleh saling membantu dalam dosa dan permusuhan. Ayat ini berarti
semua dosa berat: perzinahan, riba, pencurian, meninggalkan kewajiban agama,
dan melakukan apa yang dilarang. Sebaliknya, permusuhan adalah penganiayaan
(tirani) dan penindasan terhadap orang lain dengan segala cara yang
memungkinkan. Ayat ini juga mengatakan bertakwalah kepada Allah dengan
2

menjalankan perintah-perintah-Nya yang dijelaskan kepada Anda dalam Kitab-


Nya, dalam aturan-aturan ciptaan Allah. Penderitaan-Nya terhadap orang-orang
yang tidak takut kepada-Nya, tidak mengikuti Syariat-Nya, dan tidak memelihara
sunnah dalam ciptaan-Nya. Tidak ada ampun dalam penderitaan-Nya. Karena dia
tidak memerintahkan apa pun kecuali bermanfaat untuk melakukannya dan tidak
merugikan mereka yang meninggalkannya. Dia juga tidak melarang sesuatu
kecuali itu merugikan mereka yang melakukannya dan bermanfaat bagi mereka
yang meninggalkannya. Penderitaan Allah SWT meliputi penderitaan dunia dan
akhirat.
Menurut Myres, altruisme adalah motivasi untuk secara tidak sadar
meningkatkan kesejahteraan orang lain demi keuntungan pribadinya sendiri. Di
sisi lain, menurut Robert, altruisme adalah perilaku fundamental individu yang
tunggal, tetapi dapat dialami bersama tanpa kehilangan karakter tunggalnya.dapat
disimpulkan sebagai tindakan yang dilakukan individu atau kelompok untuk
berbuat baik tanpa mengharapkan imbalan apa pun. Altruisme sendiri memiliki
beberapa contoh perilaku altruistik, seperti gotong royong dan membantu orang
yang pingsan dengan membantu mereka membawa barang-barangnya.
Perilaku tersebut juga dimiliki oleh para remaja baik SMP maupun SMA.
Sekolah menengah adalah masa remaja, dan masa remaja adalah masa ketika
seorang individu berusaha untuk menjadi dewasa secara fisik, emosional,
intelektual, mental, spiritual, dan sosial. Remaja mengalami perubahan emosi.
Menurut Puspasari, kecerdasan emosional adalah kemampuan mengendalikan
emosi diri sekaligus rasional dalam keadaan yang tepat. Remaja yang belum
mencapai kematangan emosi tidak terlalu menyadari lingkungan dan situasinya.
Siswa sendiri memilih untuk tidak peduli dengan orang lain, bahkan banyak siswa
yang tidak peduli dengan orang lain yang membutuhkan bantuan.
Menurut Gottman, siswa dengan kecerdasan emosional yang tinggi
memiliki kemampuan menenangkan diri, kemampuan memusatkan perhatian,
memiliki hubungan yang baik dengan orang lain, memahami orang lain, dan
memiliki persahabatan yang baik, serta mendapatkan nilai yang baik. Orang
dengan kecerdasan emosional tinggi belajar mengendalikan emosi mereka di
lingkungan dan kehidupan mereka. Pada dasarnya, siswa yang tidak memahami
dirinya sendiri dan tidak dapat mengontrol emosinya dapat mempengaruhi
interaksi sosial.
Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan yang dapat menangani pertanyaan
tentang makna dan nilai, dan itu berarti kecerdasan yang menempatkan tindakan
dan kehidupan seseorang dalam konteks makna yang lebih luas. Kecerdasan itu
sendiri adalah penilaian bahwa tindakan dan cara hidup seseorang lebih berarti
daripada orang lain. Menurut Rudiant, orang dengan kecerdasan spiritual tinggi
mengembalikan segala perbuatannya kepada Tuhan agar perbuatan dan
perbuatannya memiliki makna dalam hidupnya.
Orang dengan kecerdasan emosional dan spiritual yang tinggi tidak hanya
lebih baik secara pribadi, mereka juga lebih baik secara umum. Individu lebih
menyadari emosi dan nilai-nilai pribadinya, lebih percaya diri, lebih termotivasi
untuk berprestasi, dapat dipercaya, optimis, serta mampu memahami,
berkomunikasi, dan berkolaborasi dengan orang lain. Namun, guru juga harus
mampu berperan dalam membentuk karakter siswa dan membentuk kepribadian
yang lebih baik, seperti altruisme.
Salah satu aspek dari altruisme itu sendiri adalah empati. Ini adalah kemampuan
untuk merasakan, memahami, dan peduli pada orang lain. Namun, ada beberapa
fakta tentang anak muda saat ini yang bertindak kurang altruistik karena tidak
memiliki sisi altruistik. Sangat penting bagi remaja saat ini untuk memiliki sisi
altruistik. Altruisme menjadi salah satu tugas perkembangan remaja yang
dibimbing untuk mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab. Bahkan,
3

banyak remaja yang tidak terlalu peduli dengan pergaulan dan lingkungan
sekolahnya.
Mengenai pernyataan di atas sebagai bukti dari hasil penelitian Fina
Fakriya, Prima Auria yang berjudul “Hubungan Kecerdasan Emosional dengan
Altruisme pada Siswa SMA yang Mengikuti Kegiatan Ekstrakurikuler Pramuka”
Hal tersebut menunjukkan bahwa siswa yang mengikuti kegiatan ekstrakurikuler
pramuka cenderung berkelompok. Anggota sedang istirahat. Dalam sebuah
kejadian saat jam istirahat dimana seorang siswa dibully, siswa tersebut terdorong
ke tanah karena penampilannya yang berantakan. Siswa lain yang melihatnya
hanya tertawa bukannya membantu. Hasil wawancara menunjukkan bahwa
peneliti mendapatkan tanggapan rata-rata dari anggota Pramuka yang
menunjukkan bahwa perilaku yang membantu altruisme secara perlahan mulai
berkurang dan oleh karena itu perlu ditingkatkan.
Pelatihan kecerdasan emosional dalam Pramuka dikenal dengan istilah
Pengembangan Emosional Otak Kanan. Pramuka memfasilitasi pembentukan EQ
melalui pelatihan dan interaksi, komunikasi, kreativitas, dan afiliasi dengan
teman-teman lainnya. Menurut Gardner, altruisme diasosiasikan dengan
kecerdasan emosional karena terwujud dengan sendirinya saat kita merasa baik
dan memungkinkan kita memahami diri sendiri dan orang lain, salah satu aspek
kecerdasan emosional (empati). Oleh karena itu, hasil penelitian ini menunjukkan
koefisien korelasi r = 0,673, p = 0,000 (p < 0,01), menunjukkan adanya hubungan
yang signifikan antara kecerdasan emosional dan altruisme pada siswa SMA
peserta ekstrakurikuler pramuka. korelasi positif antara aktivitas.
Di sisi lain, kaitan antara altruisme dan kecerdasan spiritual diperkuat
dengan penelitian yang dilakukan oleh Indriyani Diyai, Hendro Bidjuni, dan
Frandly Onibala berjudul Hubungan Kecerdasan Spiritual dengan Perilaku
Altruistik pada Mahasiswa Keperawatan Universitas Sam Ratulangi, Manado
Terbukti, ungkap mahasiswa menjadi calon intelektual muda. Seseorang yang
sedang dalam proses belajar Seseorang yang bertanggung jawab atas perilaku
yang sesuai dengan norma sosial, yang sangat cerdas, dan yang dapat menjadi
panutan bagi masyarakat.altruisme. Seiring berjalannya waktu, minat siswa
terhadap orang lain dan lingkungan sekitarnya semakin menurun. Setelah peneliti
melakukan survei awal dengan beberapa mahasiswa tersebut, dapat dikatakan
bahwa mahasiswa lebih sering berkumpul dengan teman dekat dan sahabat. Selain
itu, siswa dapat membantu orang yang mereka kenal, tetapi sulit untuk membantu
orang yang tidak mereka kenal, dan mereka tidak dapat membantu orang yang
sibuk.
Menurut Widyastuti, ada beberapa faktor yang mempengaruhi
altruisme, salah satunya nilai agama dan moral. Menurut Dana Zohar, kecerdasan
spiritual adalah kecerdasan yang menghadapi dan memecahkan masalah makna
dan nilai. Artinya, kecerdasan yang menempatkan tindakan dan hidup kita ke
dalam konteks dan makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan yang menentukan
bahwa tindakan dan cara hidup kita lebih masuk akal daripada yang lain. Untuk
penelitian ini memiliki nilai signifikan p = 0,000 < (0,05) dan koefisien korelasi
(r) = 0,693, yaitu ada hubungan positif dan signifikan antara kecerdasan mental
siswa dan perilaku altruistik menunjukkan Tingkatan Perilaku Altruistik Pada
Mahasiswa Keperawatan Universitas Sam Ratulangi.
Penelitian awal yang dilakukan peneliti pada guru bimbingan konseling di
sekolah Madrasah Aliyah Mujahiddin Samarinda Seberang menemukan bahwa
sebagian siswa Madrasah Aliyah mengalami ketidakstabilan emosi, menahan
emosi saat marah, ternyata sebagian orang kurang memiliki kecerdasan emosional
seperti ketidakmampuan dalam melakukan sesuatu atau ketidakmampuan untuk
melacak situasi saat berinteraksi dengan orang lain. Akibatnya, terjadilah tawuran
dan kerusuhan. Selain itu, beberapa siswa mengalami depresi dan kesulitan
bersosialisasi karena membual kepada temannya dan merasa rendah diri. Sebagian
4

siswa masih menunda-nunda shalat, sehingga dapat dikatakan kecerdasan spiritual


siswa kurang baik. Mereka juga memiliki tanggung jawab akademik yang kurang,
begitu pula siswa yang masih malas mengerjakan PR. Ketika diberikan tugas
kelompok atau individu, siswa tersebut tidak dapat berkontribusi untuk
menyelesaikan tugas kelompok yang diberikan oleh guru. Namun, membuat siswa
merasa nyaman dan memotivasi serta mendorong mereka untuk bersekolah
dengan baik membutuhkan lingkungan dan bimbingan dari guru dan orang tua
yang membantu siswa mengatasi kekurangannya. Altruisme sendiri dikatakan
baik karena sebagian siswa masih dapat menciptakan suasana damai dan saling
membantu, namun sebagian siswa masih kurang dalam penerapan altruisme yang
masih wajar. Remaja tetap sulit diatur dan tidak stabil dalam berpikir. Tapi di
ekstrakurikuler pramuka, saya merasa kita bisa saling membantu, kompak, dan
saling membantu.
Oleh karena itu, berdasarkan penjelasan di atas, penelitian ini penting
dilakukan untuk mengkaji bagaimana hubungan kecerdasan emosional dan mental
dengan altruisme. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
yang berjudul 'Hubungan Kecerdasan Emosional dan Kecerdasan Spiritual dengan
Altruisme Remaja Pada Siswa Madrasah Pesantren Al-Mujahidin Samarinda
Seberang?

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini ialah :
1. Apakah ada hubungan yang signifikan antara kecerdasan emosional dengan
altruisme remaja pada siswa Madrasah Aliyah Pesantren Al-Mujahidin
Samarinda Seberang?
2. Apakah ada hubungan yang signifikan antara kecerdasan spiritual dengan
altruisme remaja pada siswa Madrasah Aliyah Pesantren Al-Mujahidin
Samarinda Seberang?
3. Bagaimana hubungan yang signifikan antara kecerdasan emosional dan
kecerdasan spiritual dengan altruisme pada siswa Madrasah Aliyah Pesantren
Al-Mujahidin Samarinda Seberang?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penelitiannya ialah :
1. Untuk mengetahui signifikansi hubungan antara kecerdasan emosional
dengan altruisme remaja pada siswa Madrasah Aliyah Pesantren Al-
Mujahidin Samarinda Seberang.
2. Untuk mengetahui signifikansi hubungan antara kecerdasan spiritual dengan
altruisme remaja pada siswa Madrasah Aliyah Pesantren Al-Mujahidin
Samarinda Seberang.
3. Untuk mengetahui signifikansi hubungan antara kecerdasan emosional dan
kecerdasan spiritual dengan altruisme pada siswa Madrasah Aliyah Pesantren
Al-Mujahidin Samarinda Seberang.
D. Kajian Pustaka
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menggali informasi dari penelitian
sebelumnya yang relevan dengan judul yang digunakan dalam proposal ini.
Tentang kekuatan atau kelemahan yang sudah ada. Di bawah ini adalah studi-studi
tersebut.
1. Kajian Fali Fajar Dita Sari “Hubungan antara tingkat kecerdasan mental (SQ)
dan kecerdasan emosional (EQ) terhadap sikap siswa untuk menghindari perilaku
menyimpang pada siswa kelas VIII MTsN 1 Kota Blitar”. Tujuan penelitian ini:
1) Untuk menjelaskan hubungan antara kecerdasan mental dengan sikap siswa
agar terhindar dari perilaku menyimpang di Kelas VIII MTsN 1 Kota Blitar. 2)
Kelas VIII MTsN 1 Mendeskripsikan hubungan kecerdasan emosional terhadap
sikap siswa agar terhindar dari perilaku menyimpang di kota Blitar. 3) Kelas VIII
5

MTsN 1 Menjelaskan hubungan antara kecerdasan mental dan emosional dengan


sikap siswa agar terhindar dari perilaku menyimpang di kota Blitar. Penelitian ini
menggunakan jenis penelitian korelasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
1) ada hubungan antara kecerdasan mental dengan sikap siswa untuk menghindari
perilaku menyimpang di Kelas VIII MTsN 1 Kota Blitar. 2) Kelas VIII MTsN 1
Di Kota Blitar tidak ada hubungan antara sikap siswa menghindari perilaku
menyimpang dengan kecerdasan emosional. 3) Kelas VIII MTsN 1 Di Kota Blitar
terdapat hubungan antara kecerdasan mental dan emosional terhadap sikap siswa
untuk menghindari perilaku menyimpang.
Kesamaan antara penelitian di atas dengan penelitian ini adalah bahwa
kedua penelitian tersebut menggunakan metode kuantitatif. Untuk perbedaannya,
penelitian di atas mengkaji hubungan antara tingkat kecerdasan mental (SQ) dan
kecerdasan emosional (EQ) terhadap sikap menghindari perilaku menyimpang
siswa kelas VIII MTsN 1 kota Blitar. Penelitian ini mengkaji hubungan antara
kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ) dengan altruisme
remaja pada santri Pesantren Mujahidin Samarinda Seberang.
1. Kajian Candhika Wiranda Anisya Suhanda, Hubungan Kecerdasan Emosional
dengan Altruisme di Poltekkes Kemenkes Riau, 2021. Tujuan penelitian ini
adalah untuk mengetahui hubungan antara kecerdasan emosional dengan perilaku
altruistik pada mahasiswa keperawatan Universitas Kesehatan dan Teknologi
Riau. Penelitian ini menggunakan penelitian kuantitatif. Hasil dari penelitian ini
adalah semakin tinggi kecerdasan emosional maka semakin tinggi perilaku
altruistik mahasiswa keperawatan di Portekes Dinas Kesehatan Riau.
Kesamaan antara penelitian di atas dengan penelitian ini adalah bahwa
kedua penelitian tersebut menggunakan metode kuantitatif. Untuk perbedaannya,
penelitian ini mengkaji hubungan antara kecerdasan emosional dengan perilaku
altruistik pada mahasiswa keperawatan di Poltekkes Departemen Riau. Penelitian
ini mengkaji hubungan antara kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan
spiritual (SQ) dengan altruisme remaja pada santri Pesantren Al-Mujahidin
Samarinda Seberang.
1. Kajian Igo Masaid Pamungkas dan Muslikah berjudul “Hubungan Empati dan
Kecerdasan Emosional dengan Altruisme pada Siswa Kelas XI MIPA SMA
Negeri 3 Demak”. Penelitian ini bertujuan untuk memperjelas hubungan antara
kecerdasan emosional dan empati terhadap altruisme pada siswa kelas XI MIPA
SMA N 3 Demak. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif. Hasil penelitian
ini adalah terdapat hubungan yang kuat antara kecerdasan emosional dengan
empati terhadap altruisme pada siswa kelas XI MIPA SMA Negeri 3 Demak. Jika
siswa memiliki kecerdasan emosional dan empati yang tinggi, mereka cenderung
altruistik. Sebaliknya, jika siswa memiliki kecerdasan emosional dan empati
terhadap altruisme, maka altruismenya rendah.
Kesamaan antara penelitian di atas dengan penelitian ini adalah bahwa kedua
penelitian tersebut menggunakan metode kuantitatif. Untuk perbedaannya,
penelitian di atas mengkaji hubungan antara kecerdasan emosional dan empati
terhadap altruisme pada siswa kelas XI MIPA SMA Negeri 3 Demak. Penelitian
ini mengkaji hubungan antara kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan
spiritual (SQ) dengan altruisme remaja pada santri Pesantren Al-Mujahidin
Samarinda Seberang.
TABEL 1
KAJIAN PUSTAKA

No Identitas Temuan Persamaan Perbedaan

1. Fali Fajar Dita Berikut adalah - Meneliti - Bedanya


6

Sari (2019) hasil penelitian kecerdasan penelitian ini


“Hubungan ini: 1) Kelas spiritual dan membahas
Tingkat VIII MTsN 1 Di kecerdasan tentang
Kecerdasan Kota Blitar emosional penghindaran
Spiritual (SQ) dan terdapat perilaku
Kecerdasan hubungan antara - Menggunaka menyimpang
Emosional (EQ) kecerdasan n kuantitatif pada siswa,
Terhadap Sikap mental dengan dengan sedangkan
Siswa Dalam sikap siswa metode penelitian yang
Menghindari untuk korelasional saya lakukan
Perilaku menghindari membahas
Menyimpang perilaku tentang altruisme
Pada Siswa Kelas menyimpang. 2) remaja pada
VIII MTsN 1 Kelas VIII siswa.
Kota Blitar”” MTsN 1 Di
Kota Blitar tidak - Penelitian ini
ada hubungan menggunakan
antara sikap teknik
siswa pengumpulan
menghindari data ala
perilaku kuesioner.
menyimpang
dengan
kecerdasan
emosional. 3)
Kelas VIII
MTsN 1 Di
Kota Blitar
terdapat
hubungan antara
kecerdasan
mental dan
emosional
terhadap sikap
siswa untuk
menghindari
perilaku
menyimpang.
Bukti dari uji
hipotesis yang
dilakukan

2. Chandika Hasil penelitian - Meneliti - Dalam


Wiranda Anisya yaitu data tentang penelitian ini ada
Suhanda (2021) dianalisis kecerdasan dua variabel yang
“Hubungan menggunakan emosional berhubungan
Antara korelasi rank antara kecerdasan
Kecerdasan spearman - Menggunaka emosional dan
n penelitian
7

Emosional dengan kuantitatif perilaku


dengan Perilaku koefisien altruistik,
Altruisme pada korelasi r = sedangkan
Mahasiswa 0,806 dengan p- penelitian yang
Keperawatan value 0,000 (p < saya lakukan
Poltekkes 0,05). Dapat melibatkan tiga
Kemenkes Riau” disimpulkan variabel:
bahwa semakin altruisme,
tinggi kecerdasan
kecerdasan emosional, dan
emosional maka kecerdasan
semakin tinggi mental.
pula perilaku
altruistik - Penelitian ini
mahasiswa menggunakan
Poltekkes korelasi rank
Departemen Spearman,
Riau. sedangkan
penelitian saya
menggunakan
korelasi product-
moment dan
korelasi
berganda.

- Metode
pengumpulan
data
menggunakan
skala gaya
angket,
sedangkan
penelitian yang
saya lakukan
menggunakan
skala
dokumentasi
dan skala
psikologis.

3. Igo Masaid Hasil penelitian - Menggunaka - Penelitian


Pamungkas dan ini adalah n penelitian meneliti tentang
Muslikah (2019) terdapat kuantitatif kecerdasan
“Hubungan hubungan yang emosi dengan
Antara kuat antara - Teknik empati dengan
Kecerdasan kecerdasan pengumpulan altruisme pada
Emosi dan emosional datanya siswa
Empati dengan dengan empati menggunaka sedangkan
Altruisme pada terhadap n skala penelitian yang
8

Siswa kelas XI altruisme pada psikologis sayang lakukan


MIPA SMA N 3 siswa kelas XI dan yaitu tentang
Demak. MIPA SMA dokumentasi kecerdasan
Negeri 3 emosional dan
Demak. Jika kecerdasan
siswa memiliki spiritual dengan
kecerdasan altruisme
emosional dan remaja pada
empati yang siswa
tinggi, mereka
cenderung
altruistik.
Sebaliknya, jika
siswa memiliki
kecerdasan
emosional dan
empati terhadap
altruisme maka
altruismenya
akan rendah..

E. Signifikan Manfaat Penelitian


1. Manfaat Teoritis
Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi atau
menginformasikan kepada mahasiswa dan mengembangkan ilmu pengetahuan
khususnya untuk dunia konseling khususnya program penelitian bimbingan dan
konseling Islam (BKI).
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Kepala Sekolah
Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk lebih menjadi acuan dalam
mengembangkan kualitas madrasah untuk meningkatkan kecerdasan emosional,
kecerdasan spiritual dan altruisme siswa yang lebih baik lagi.
b. Bagi Guru BK
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan informasi untuk lebih
menambah wawasan dan ilmu pengetahuan pada guru terhadap aspek-aspek
penting yang dapat meningkatkan kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual dan
altruismenya terhadap peserta didik dalam membentuk pribadi yang cerdas,
spiritual yang tinggi sehingga dapat menerapkan altruismenya dengan baik.
c. Bagi Guru Mata Pelajaran/Bidang Studi Pembelajaran
Hasil penelitian ini bisa memberikan informasi dan bahan masukan bagi
guru dalam membimbing siswa untuk meningkatkan kecerdasan emosional,
kecerdasan spiritual dan altruismenya dengan baik sehingga menjadi pribadi yang
lebih baik dan bermanfaat bagi orang lain.

d. Bagi Siswa
Penelitian ini dapat bermanfaat sebagai acuan untuk mengetahui dan
memanfaatkan aspek-aspek dari kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual dan
altruismenya agar bisa di terapkan dalam kehidupan sehari-hari.
9

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DAN

KECERDASAN SPIRITUAL DENGAN ALTRUISME REMAJA PADA


SISWA MADRASAH ALIYAH PESANTREN AL-MUJAHIDIN
SAMARINDA SEBERANG.

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
D. Manfaat Penelitian
E. Kajian Pustaka
F. Sistematika Penulisan
BAB II LANDASAN TEORI
A. Kecerdasan Emosional
1. Pengertian Kecerdasan Emosional
2. Aspek-Aspek Kecerdasan Emosional
3. Faktor-Faktor yang Memengaruhi kecerdasan Emosional
B. Kecerdasan Spiritual
1. Pengertian Kecerdasan Spiritual
2. Aspek-Aspek Kecerdasan Spiritual
3. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kecerdasan Spiritual
C. Altruisme
1. Pengertian Altruisme
2. Aspek-Aspek Altruisme
3. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Perilaku Altruisme
D. Kecerdasan Emosional, Kecerdasan Spiritual dan Altruisme
dalam Perspektif Islam
E. Hubungan Antara Kecerdasan Emosional dan Altruisme dalam
perspektif Islam
F. Hubungan Antara Kecerdasan Spiritual dan Altruisme dalam
Perspektif Islam
G. Hipotesis Penelitian
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
B. Populasi dan Sampel
C. Teknik Pengumpulan Data
D. Definisi Operasional
E. Variabel, Indikator dan Instrumen Pengumpulan Data
F. Keabsahan Data
G. Teknik Analisis Data
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
B. Deskripsi Hasil Penelitian
C. Pembahasan
BAB V PENUTUP
23

BAB II
LANDASAN TEORI

A. Kecerdasan Emosional
1. Pengertian kecerdasan Emosional (EQ)
Goleman mengatakan bahwa Kecerdasan emosi adalah salah satu
keberhasilan hidup, orang yang cerdas secara emosi sadar akan dirinya dan orang
lain, memiliki motivasi dan optimisme. Kecerdasan emosional juga berhubungan
dengan individu serta bagaimana individu mengelola emosi tersebut dan
memahami dampak bagi orang lain. Kemampuan yang dirasakan untuk
memahami dan mengatur emosi serta dapat mengatasi stres dan emosional yang
terjadi dalam kehidupan individu maupun orang lain. Dimana hal itu akan
mengacu pada pengalaman individu dan juga pada orang lain.
Menurut steven J. Stein, mengemukakan bahwa kecerdasan emosional
merupakan hubungan keterampilan yang memungkinkan membuka jalan yang
sulit, aspek pribadi, sosial dan menjaga dari seluruh kecerdasan emosional, akal
sehat yang penuh dengan misteri, serta kepekaan yang penting untuk berfungsi
efektif setiap harinya.
Kecerdasan emosional diketahui memiliki berbagai efek positif pada
fungsi manusia dan juga telah diakui sebagai faktor utama yang dapat
mempertahankan dan meningkatkan perilaku kesehatan positif manusia.
Menangani emosi yang baik merupakan faktor pendorong bagi sebagian besar
perilaku manusia, dengan kata lain kemampuan untuk memverifikasi berbagai
bentuk emosi dalam hubungan dengan proses berpikir, dan penggunaan
kemampuan ini untuk mengelola pertumbuhan pribadi.
Kecerdasan emosional merupakan istilah dalam dunia pendidikan yang
menggambarkan suatu aspek yang menunjukkan kemampuan manusia secara
emosional dan sosial. Kecerdasan emosional ini dapat membantu membentuk
karakter dalam diri seseorang sehingga mampu mengenali emosi diri, mampu
mengenali emosi orang lain, mampu memotivasi diri dan mampu mengadakan
hubungan sosial dengan orang lain. Berdasarkan hal tersebut, kecerdasan
emosional menyatakan pada kemampuan seseorang untuk mengenal arti dari
emosional dan hubungannya serta mencari alasan yang tepat untuk dapat
menyelesaikan masalahnya.
2. Aspek-Aspek Kecerdasan Emosional
Daniel Goleman mengklasifikasikan kecerdasan emosional terdiri dari
lima komponen penting yaitu:
a. Kemampuan Mengenali Emosi Diri
Kemampuan mengenali emosi diri merupakan kesadaran diri untuk lebih
mengenali perasaan dimana itu terjadi dari waktu ke waktu dalam kehidupan
individu. Menurut John Mayer kesadaran diri berarti lebih waspada pada suasana
hati maupun pemikiran kita tentang suasana hati.
Kesadaran diri ialah kemampuan untuk lebih mengenal dan mampu
membedakan perasaan individu, dapat memahami apa yang telah dirasakan,
mengapa hal tersebut bisa dirasakan, serta mengetahui penyebab munculnya
perasaan tersebut. Kesadaran diri ketika mengalami emosi adalah suatu permulaan
24

tempat dibangunnya dimana hampir semua bagian dari kesadaran emosional,


langkah awal untuk menjelajahi dan memahami diri kita dan untuk berubah.
b. Kemampuan Mengelola Emosi Diri
Kemampuan mengelola emosi diri ialah kemampuan untuk lebih
menangani perasaan agar perasaan tersebut dapat terungkap dengan pas,
kemampuan untuk menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan, kemurungan
atau ketersinggungan dan akibat-akibat yang timbul karena gagalnya suatu
keterampilan emosional dasar ini. Tujuannya untuk menyeimbangkan emosi
bukan untuk menekan emosi, setiap perasaan mempunyai nilai dan makna yang
akan dikehendaki. Jika emosi terlalu ditekan, terciptalah kebosanan dan jarak, bila
emosi tidak dapat dikendalikan secara terus menerus maka emosi akan menjadi
sumber penyakit seperti depresi, cemas yang berlebihan, amarah yang semakin
menjadi-jadi, serta gangguan emosional yang berlebihan.
c. Kemampuan Memotivasi Diri
Kemampuan memotivasi diri adalah kemampuan individu dalam
mengarahkan dan mendorong segala daya upaya dirinya bagi pencapaian tujuan
yang telah diharapkan. Dalam hal ini, peran motivasi positif yang terdiri dari
antusias dan keyakinan pada diri sendiri bahwa akan sangat produktif dan efektif
dalam segala aktivitasnya.
d. Kemampuan Mengenali Emosi Orang Lain
Kemampuan mengenali emosi orang lain dapat disebut dengan empati,
yaitu kemampuan memahami perasaan orang lain serta dapat mengkomunikasikan
pemahaman tersebut kepada orang yang bersangkutan. Kemampuan ini dibangun
atas dasar diri sendiri, yang dapat memahami bahwa orang lain juga mempunyai
kepentingan seperti halnya diri kita sendiri, sehingga sadar bahwa lingkungan
yang membentuk individu itu berbeda-beda dan menyadari tidak ada manusia itu
sama, serta perbedaan itu bukan suatu yang harus disikapi dengan suatu
perlawanan. Semakin seseorang terbuka pada diri sendiri, semakin mampu ia
mengenal dan mengikuti emosinya bahkan semakin mudah membaca perasaan
orang lain.
e. Kemampuan Membina Hubungan dengan Orang Lain
Kemampuan Membina Hubungan ialah kemampuan individu dalam
mengelola emosi orang lain. Kemampuan tersebut dapat membantu individu
untuk menjalin hubungan dengan orang secara terbuka sehingga disukai oleh
lingkungannya karena ia telah menyenangkan secara emosional.
Seni membina hubungan dengan orang lain merupakan keterampilan sosial
yang mendukung keberhasilan dalam pergaulan dengan orang lain, tanpa memiliki
dalam membina hubungan orang lain akan mengalami kesulitan dalam pergaulan
sosial. Dimana karena tidak memiliki keterampilan sosial yang akan
menyebabkan seseorang seringkali dianggap angkuh, mengganggu dan tidak
berperasaan.
3. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kecerdasan Emosional
Perkembangan manusia sangat dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor
internal dan faktor eksternal. Faktor internal sendiri merupakan faktor individu
yang memiliki potensi dan kemampuan untuk mengembangkan potensi yang
dimilikinya, terutama kecerdasan emosional.
25

Goleman mengatakan bahwa kecerdasan emosi juga pengaruhi oleh dua


faktor tersebut, diantaranya adalah faktor otak, keluarga, dan faktor lingkungan
sekolah. Berdasarkan uraian tersebut maka faktor-faktor yang mempengaruhi
terbentuknya kecerdasan emosional yaitu :
a. Faktor yang Bersifat Bawaan Genetik
Faktor yang bersifat bawaan misalnya temperamen. Ada empat
temperamen, yaitu penakut, pemberani, periang, pemurung, anak yang takut dan
pemurung mempunyai sirkuit yang lebih mudah dibangkitkan dibandingkan
dengan sirkuit emosi yang dimiliki anak pemberani dan periang. Temperamen
atau pola emosi bawaan lainnya dapat diubah sampai tingkat tertentu melalui
pengalaman, terutama pengalam pada masa kanak-kanak. Otak yang dapat
dibentuk melalui pengalaman untuk dapat belajar membiasakan diri secara tepat.
b. Faktor yang Berasal dari Lingkungan
Kehidupan keluarga sekolah pertama, yaitu Orang tua memegang peranan
penting terhadap pertumbuhan kecerdasan emosional anaknya. Jika orang tua
tidak mampu atau salah dalam mengenalkan emosinya, maka akan berdampak
sangat buruk bagi anak. Dalam hal ini sekolah faktor kedua setelah keluarganya.
Di lingkungan anak tersebut akan mendapatkan pendidikan lebih lama. Sehingga
guru memegang peranan yang penting dalam mengembangkan potensi anak
dengan melalui beberapa cara yaitu dengan melalui teknik, gaya kepemimpinan
dan metode mengajar, untuk mengembangkan kecerdasan emosionalnya secara
maksimal.

B. Kecerdasan Spiritual (SQ)


1. Pengertian Kecerdasan Spiritual
Secara konseptual Kecerdasan Spiritual (SQ) terdiri dari gabungan kata
kecerdasan dan spiritual. Kata spirit sendiri dapat diartikan berkaitan dengan spirit
atau roh. Psikis itu sendiri karenanya dapat diartikan berkaitan dengan
kemampuan membangkitkan semangat. Namun, ada yang berpendapat bahwa kata
spirit secara etimologis berasal dari bahasa Latin. Ini berarti, antara lain, roh, jiwa,
kesadaran diri, bentuk tak berwujud, nafas kehidupan, dan kehidupan.
Kecerdasan manusia tidak hanya ditentukan oleh kecerdasan intelektual
dan emosional, tetapi juga oleh kecerdasan mental. Dalam perkembangan ilmu
penelitian penemuan kecerdasan manusia, setelah penemuan kecerdasan
intelektual dan kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual ini menjadi kecerdasan
tertinggi.
Spiritualitas sendiri dapat diartikan murni dan sering disebut dengan jiwa
atau roh. Spiritualitas dapat dikatakan sebagai sesuatu yang berada di luar tubuh
manusia. Spiritual memiliki kebenaran abadi yang berhubungan dengan tujuan
hidup manusia. Salah satu aspek menjadi spiritual adalah arah dan tujuan hidup
Anda. Ini mengarah pada peningkatan berkelanjutan dalam kebijaksanaan dan
kemauan manusia, dan hubungan yang lebih dekat dengan Tuhan tercapai.
Dengan kata lain, spiritualitas memberikan jawaban tentang siapa seseorang dan
seperti apa mereka. Orang yang cerdas secara spiritual mampu memaknai hidup
mereka, suka berbuat baik, suka membantu orang lain, menemukan tujuan hidup,
26

dan memiliki misi yang lebih tinggi untuk diri mereka sendiri.Saya merasa Tuhan
memperhatikan saya.
Spiritual Quotient (SQ) dikenal sebagai Kecerdasan Spiritual. Menurut
Zohar dan Ian Marshall, kecerdasan spiritual tidak perlu dikaitkan dengan agama.
Namun, sementara beberapa menemukan cara untuk mengekspresikan kecerdasan
spiritual mereka melalui agama formal, agama tidak menjamin SQ yang tinggi.
Spiritualitas adalah seseorang yang menempatkan tindakan dan kehidupannya
dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya dengan menghadapi dan
memecahkan masalah serta menilai tindakannya lebih berarti daripada tindakan
orang lain.
Budi Yuwono mengatakan, “Spiritualitas berkaitan dengan kemampuan
untuk memahami kebenaran-kebenaran hakiki yang terkait dengan keimanan dan
ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, merupakan pengalaman nyata bagi
manusia untuk benar-benar merasakan dan mengalami dalam Kecerdasan
Spiritual itu sendiri diartikan sebagai spiritualisasi diri sendiri. Menurut Khalil
Khavari, kecerdasan spiritual adalah dimensi non-fisik dan kemampuan pikiran
manusia. Ini tidak diasah dan semua manusia memilikinya. Oleh karena itu, Anda
harus mengetahui apa itu, terus diasah dengan tekad yang besar, dan
menggunakannya untuk memperoleh kebahagiaan abadi.
Kecerdasan Spiritual (SQ) adalah kemampuan jiwa untuk melakukan
segala sesuatu berdasarkan aspek positifnya dan dapat memberikan makna
spiritual pada setiap tindakan. Kecerdasan spiritual seseorang memungkinkan
mereka untuk lebih menyadari diri dan lingkungannya serta berpikir dari sudut
pandang yang positif, sehingga orang dengan kecerdasan spiritual mampu
bertindak bijak dan memahami kehidupan. individu, dan melihat kegagalan,
pencobaan, dan penderitaan secara positif sehingga mereka melihat arti dari
semua yang terjadi pada mereka.
Kecerdasan spiritual merupakan fondasi kehidupan, termasuk nilai-nilai
yang perlu dikembangkan dan dipupuk di seluruh warga sekolah di lingkungan
rumah dan rumah. Karena sekolah dan rumah pintar dapat menyalurkan
kecerdasan spiritual ke dalam kehidupan remaja yang berjiwa ide. , Pengamatan,
Pemahaman, dan Perilaku Sehari-hari Remaja.
2. Aspek-Aspek Kecerdasan Spiritual
Zohar dan Marshall mengindikasikan tanda dari kecerdasan spiritual yang
telah berkembang baik mencakup hal berikut:
a. Kemampuan bersifat fleksibel (adaptif secara spontan dan aktif).
Bersifat fleksibel dapat diartikan juga sebagai toleransi. Yang artinya
mampu menghargai perbedaan dan keragaman orang lain dan situasi-situasi asing.
Perbedaan dan keberagaman adalah hal yang sangat wajar dalam hidup dan ini
menjadikan hidup yang lebih dinamis.
b. Tingkat kesadaran diri
Kesadaran diri adalah mengetahui apa yang diyakini dan mengetahui nilai
dan hal apa yang sungguh-sungguh memotivasi diri, Kesadaran akan tujuan hidup
kita yang paling dalam, dan berusaha untuk memperhatikan segala kejadian dan
peristiwa dengan berpedoman pada agama yang diyakininya sehingga ia banyak
tahu tentang dirinya sendiri.
27

c. Kemampuan Untuk Menghadapi dan Memanfaatkan Penderitaan.


Kemampuan seseorang untuk menyikapi suatu penderitaan, dengan
mengambil pelajaran dibaliknya sehingga menjadi pribadi yang lebih baik, dan
mampu memanfaatkan spontanitas mendalam, menanggapi secara jalur situasi dan
kondisi lingkungan yang sedang terjadi.
d. Kualitas Hidup yang Diilhami Oleh Visi dan Nilai.
Kualitas seseorang yang didasari dari tujuan hidup dan berpegan teguh
pada nilai yang membantunya untuk mencapai harapan yang mereka inginkan dan
mampu mencapai tujuan tersebut seperti prinsip, pegangan hidup dan berpijak
pada kebenaran.
e. Keengganan untuk menyebabkan kerugian yang tidak perlu
Seseorang akan selalu tahu dan memikirkan tindakan yang dilakukannya
agar tidak merugikan diri sendiri dan orang lain. Spontanitas yang mendalam
untuk menanggapi orang lain dan mengambil tanggung jawab atas perasaan dalam
beberapa hal.
f. Refleksi Diri
Kecenderungan untuk mencari jawaban yang mendasar, seseorang
melakukan untuk mengetahui keagungan Tuhan dan lebih mendekatkan dirinya
dengan Tuhan.
Sedangkan menurut Mahayana terdapat beberapa aspek kecerdasan
spiritual yaitu sebagai berikut:

1) Memiliki Prinsip dan Visi yang Kuat


Prinsip merupakan kebenaran yang dalam dan mendasar ia sebagai
pedoman perilaku yang mempunyai nilai yang langsung produktif. Prinsip
manusia secara jelas tidak akan berubah, yang berubah adalah cara kita mengerti
dan melihat prinsip tersebut. Semakin banyak kita tahu mengenai prinsip yang
benar semakin besar kebebasan pribadi kita untuk bertindak bijaksana.
2) Kesatuan dan Keragaman
Seseorang dengan spiritual yang tinggi mampu melihat ketunggalan dalam
keragaman. Kecerdasan spiritual meliputi melihat gambaran keseluruhan yang
mencakup usaha menjangkau sesuatu selain kepentingan pribadi demi
kepentingan masyarakat.
3) Memaknai
Makna bersifat substansial, berdimensi spiritual. Makna adalah penentu
identitas sesuatu signifikan. Seseorang yang memiliki SQ yang tinggi akan
mampu memaknai dan menemukan makna yang terdalam dari segala sisi
kehidupan, baik karena Tuhan yang berupa kenikmatan atau ujian dari-Nya.
4) Kesulitan dan Penderitaan
Pelajaran yang paling berarti dalam kehidupan manusia adalah pada waktu
sadar bahwa itu adalah bagian penting dari substansi yang akan mengisi dan
mendewasakan sehingga ia menjadi matang, kuat dan lebih menjalani kehidupan
yang penuh dengan rintangan dan penderitaan. Pelajaran tersebut akan
28

mengukuhkan pribadinya setelah ia dapat menjalani dan berhasil untuk


mendapatkan apa maksud dari pelajaran tadi.1
3. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kecerdasan Spiritual
Menurut penelitian yang diungkapkan Zohar dan Marshall ada beberapa
faktor yang memengaruhi kecerdasan spiritual seseorang, yaitu:
a. Sel Saraf Otak
Otak merupakan jembatan antara kehidupan batiniah dan lahiriah kita. Ia
mampu mengatur segalanya dalam kehidupan ini karena bersifat kompleks, luwes,
adaptif dan mampu mengorganisasikan diri.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Rodolfo Llinas dari penelitian
Singer pada tahun 1990-an dengan menggunakan MEG (Magneto-Enchepalo-
Graphy) menemukan dan membuktikan bahwa osilasi sel saraf otak manusia pada
rentang 40 Hz merupakan pendukung utama bagi kecerdasan spiritual.2
b. Titik Tuhan (God Spot)
Dalam penelitian neurolog V.S Ramachandran bersama timnya di
Universitas California pada tahun 1997, ia berhasil menemukan suatu titik dalam
otak, yaitu lobus temporal yang mengalami perubahan menjadi meningkat ketika
pengalaman religius atau spiritual berlangsung. Kemudian titik itu disebutnya
sebagai titik Tuhan atau God Spot.3
Titik tersebut menjalankan peran biologis yang menentukan dalam
pengalaman spiritual. Namun demikian, titik Tuhan bukanlah syarat mutlak
dalam kecerdasan spiritual. Masih perlu adanya integrasi seluruh bagian otak dan
seluruh aspek dari segi kehidupan. Dari sumber data tersebut, penulis setuju
dengan pendapat Zohar dan Marshall bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
kecerdasan spiritual adalah sel saraf otak dan titik Tuhan.
Untuk saat ini hanya ada dua faktor yang memengaruhi kecerdasan
spiritual, karena belum ada penelitian terbaru mengenai kecerdasan spiritual.
Sehingga saat ini, Zohar dan Marshall juga mengungkapkan beberapa faktor
eksternal maupun internal yang menghambat kecerdasan spiritual untuk
berkembang, diantaranya adalah:
Adanya ketidakseimbangan dalam id, ego, dan superego.
1) Sifat orang tua tidak cukup untuk menyayangi anaknya
2) Mengharapkan terlalu banyak akan suatu hal
3) Terdapat doktrin ajarannya menekan insting
4) Terdapat ketentuan moral yang menekan insting alamiah
5) Terdapat luka jiwa yang dihasilkan dari pengalaman menyangkut perasaan
terbelah, terasing, dan tidak berharga. Faktor-faktor tersebut memungkinkan
timbulnya beberapa perilaku yang dapat disimpulkan menjadi tiga sebab yang
membuat seseorang terdapat secara spiritual yaitu:
(a) Tidak mampu mengembangkan apa yang ada di dalam dirinya sama sekali

1
Fitra Hamdika, “Hubungan Antara Kecerdasan Spiritual Dengan Kepribadian Siswa Di
SMA Nurul Iman” (Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang, 2018).
2
Danah Zohar dan Ian Marshall, Kecerdasan..., h. 65
3
Danah Zohar dan Ian Marshall, Kecerdasan..., h. 81
29

(b) Mampu mengembangkan beberapa bagian dalam dirinya, namun tidak


proporsional, tidak seimbang atau dengan cara yang negatif.
(c) Buruknya hubungan-hubungan yang terjadi antar bagian-bagian.4
C. Altruisme
1. Pengertian Altruisme
Istilah altruisme kadang-kadang digunakan secara bergantian dengan
tingkah laku prososial. Menurut Myres altruisme adalah motif untuk
meningkatkan kesejahteraan orang lain tanpa sadar untuk kepentingan pribadi
seseorang. Altruisme adalah tindakan yang basisnya individual-singular, tetapi ia
dapat dialami dalam kebersamaan tanpa menghilangkan karakter singularitasnya.
Jadi dalam penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa altruisme adalah
tindakan yang dilakukan oleh individu atau sekumpulan orang untuk melakukan
kebaikan tanpa mengharap imbalan.5
Botson telah mendefinisikan bahwa altruisme merupakan perilaku untuk
membantu atau menghibur yang diarahkan pada individu yang membutuhkan,
kesakitan atau kesusahan. Hal tersebut dapat diasumsikan bahwa seseorang yang
berperilaku altruistik dapat membantu orang lain untuk memecahkan masalahnya
dan ketika berhasil membantu orang lain maka akan lahir kepuasan dari dalam
diri. Namun, keinginan ini bersifat murni yang ada pada diri masing-masing
individu sebagaimana umumnya seseorang memiliki rasa empati yang besar
terhadap orang lain.6 Sedangkan menurut Widyarini perilaku menolong atau
altruisme merupakan sifat yang dimiliki oleh seseorang untuk memberikan
pertolongan demi kesejahteraan orang yang ditolong. Orang yang memiliki sifat
demikian disebut altruis.7
Menurut Myres seseorang dapat memiliki kecenderungan altruisme bila
dalam dirinya mampu memberikan pertolongan kepada orang lain dengan
dimotivasi dengan rasa empati, sukarela yaitu tidak berkeinginan untuk mendapat
suatu imbalan. Tindakan tersebut dilakukan semata-mata untuk kepentingan orang
lain. Bahkan rela mengorbankan nilai-nilai kejujuran dan keadilan yang ada pada
dirinya dan adanya keinginan untuk memberikan bantuan kepada orang lain yang
lebih membutuhkan meskipun tidak ada yang mengetahui bantuan yang telah
diberikan, baik berupa materi dan waktu.8
Altruisme merupakan tindakan untuk memperlakukan seseorang dengan
baik semata-mata karena tujuan kebaikan orang lain tanpa mengharapkan suatu
imbalan apapun. Tindakan altruisme selalu bersifat konstruktif, membangun,
memperkembangkan dan menumbuhkan kehidupan sesama. Tindakan altruisme
tidak berhenti pada perbuatan itu sendiri. Menolong orang lain tidak sekedar
mengandung kemurahan hati atau belas kasihan, tetapi juga diresapi dan dijiwai

4
Danah Zohar dan Ian Marshall, Kecerdasan..., h. 143-144
5
David G. Myres, Psikologi Sosial, (Yogyakarta: PT Pustaka Belajar, 2012), h. 100
6
C. Daniel Batson, Altruism in Humans, (Amerika Serikat, PT Oxford University Press,
2011), h. 11
7
Inggita Laurenza Harjo, “Perbedaan Altruisme Berdasarkan Jenis Kelamin Pada
Relawan di Sanggar Alang-Alang Surabaya” Jurnal Penelitian Psikologi 05 (2018): 5.
8
David G. Myres, Psikologi..., h. 101
30

dalam melakukannya tanpa pamrih. Hal ini, seseorang dituntut untuk memiliki
tanggung jawab dan pengorbanan yang tinggi.9
Menurut Myres altruisme adalah salah satu tindakan prososial dengan
alasan kesejahteraan orang lain tanpa ada kesadaran akan timbal balik atau
mengharapkan suatu imbalan apapun. Ada tiga teori yang menjelaskan tentang
motivasi seseorang melakukan tingkah laku altruisme adalah sebagai berikut:
a. Social Exchange
Pada teori ini menjelaskan tindakan tolong menolong dapat dilakukan
dengan adanya pertukaran sosial atau timbal balik (imbalan). Altruisme
menjelaskan bahwa imbalan yang memotivasi adalah kesulitan. Misalnya
kepuasan untuk menolong satu keadaan yang menyulitkan (rasa bersalah) untuk
menolong.
b. Norma Sosial
Alasan seseorang untuk menolong orang lain didasari dengan adanya
“sesuatu” yang mengatakan pada diri sendiri untuk “harus” menolong “sesuatu”
tersebut adalah norma sosial. Pada altruisme, norma sosial tersebut dapat
dijelaskan dengan adanya social responsibility. Adanya tanggung jawab sosial
dapat menyebabkan seseorang melakukan tindakan menolong karena dibutuhkan
dan tanpa mengharapkan imbalan di masa yang akan datang.
c. Psikologi Evolusioner
Pada teori ini, dijelaskan bahwa pokok dari kehidupan adalah
mempertahankan keturunan. Tingkah laku altruisme dapat muncul (dengan
mudah) apabila “orang lain” yang akan disejahterakan merupakan orang yang
sama (satu karakteristik). Misalnya seseorang menolong orang lain yang sama
persis dengan dirinya, keluarga, tetangga, dan sebagainya. Sehingga dari
penjelasan disaat Myres menyimpulkan bahwa altruisme akan lebih mudah terjadi
dengan adanya
1) Social responsibility, seseorang merasa memiliki tanggung jawab sosial
dengan apa yang terjadi di sekitarnya
2) Distress-Inner reward, yaitu kepuasan pribadi tanpa adanya faktor eksternal.
3) Kin selection, yaitu adanya salah satu karakteristik dari korban yang hampir
sama.10
2. Aspek-Aspek Altruisme
Menurut Myres aspek-aspek altruisme terdiri dari 5 komponen yaitu:
a. Peduli Pada Orang Lain
Perilaku altruisme akan terjadi dengan adanya empati dalam diri
seseorang. Seseorang yang paling altruis merasa diri mereka paling bertanggung
jawab, bersifat sosial, selalu menyesuaikan diri, toleran, dapat mengontrol diri,
dan termotivasi untuk membuat kesan yang baik.
b. Meyakini Keadilan Dunia
Seseorang yang altruis akan yakin akan adanya keadilan dunia, yaitu
keyakinan bahwa dalam jangka panjang yang salah akan dihukum dan yang baik
akan mendapatkan hadiah. Orang yang memiliki keyakinan kuat terhadap
keadilan dunia akan termotivasi dengan mudah menunjukkan perilaku menolong.
9
David G. Myres, Psikologi..., h. 101-102
10
David G. Myres, Psikologi Sosial..., h. 102-103
31

c. Tanggung Jawab Sosial


Setiap orang yang bertanggung jawab terhadap apapun yang dilakukan
oleh orang lain, sehingga ketika ada orang lain yang membutuhkan pertolongan
orang tersebut akan menolongnya.
d. Kontrol Diri Secara Internal
Hal-hal yang dilakukan untuk memberikan motivasi kontrol terhadap diri
sendiri dalam dirinya, misalnya kepuasan diri.
e. Ego yang Rendah
Seseorang yang altruis memiliki keegoisan yang rendah. Sehingga dia
akan lebih mementingkan orang lain daripada dirinya sendiri.11
Mussen dkk mengklasifikan altruisme bahwa terdapat lima komponen
penting yaitu:
1) Cooperation (kerjasama), yaitu melakukan pekerjaan atau kegiatan secara
bersama-sama
2) Sharing (berbagi), yaitu kesediaan untuk ikut merasakan apa yang dirasakan
orang lain
3) Helping (menolong), yaitu membantu orang lain dengan cara meringankan
beban fisik atau psikologis orang tersebut.
4) Geneoricity (Berderma), yaitu kesediaan untuk memberikan barang miliknya
kepada orang lain yang membutuhkan secara sukarela.
5) Honestly (kejujuran), yaitu kesediaan melakukan sesuatu seperti apa adanya
dengan mengutamakan nilai kejujuran tanpa berbuat curang.12
3. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Altruisme
Wortman dkk membagi faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku
altruisme, yaitu:
a. Suasana Hati
Jika suasana hati sedang nyaman dengan seseorang akan tergolong untuk
memberikan pertolongan kepada orang yang membutuhkan bantuan. Merasakan
suasana yang baik akan cenderung ingin memperpanjang perilaku yang positif.
Akan tetapi seseorang akan lebih suka menolong orang lain ketika mendapatkan
imbalan, semakin nyata imbalan yang diberikan maka semakin ingin selalu
menolong orang lain. Namun, para pakar psikologi tidak meyakini bahwa peran
suasana hati yang negatif itu ada dalam altruisme.
b. Meyakini Keadilan Dunia
Adanya keyakinan dalam jangka panjang bahwa yang salah akan dihukum
dan yang baik akan mendapatkan pahala, hal ini akan mendorong seseorang untuk
melakukan kebaikan di dunia. Seseorang yang memiliki keyakinan kuat terhadap
keadilan dunia dan termotivasi untuk mencoba memperbaiki keadaan ketika
mereka melihat orang yang tidak bersalah menderita. Maka tanpa pikir panjang
mereka segera bertindak memberi pertolongan jika ada orang yang kemalangan.
c. Empati

11
David G. Myres, Psikologi Sosial..., h. 103-104
12
Pamungkas and Muslikah, “Hubungan Antara Kecerdasan Emosi DAN EMPATI
DENGAN ALTRUISME PADA SISWA KELAS XI MIPA SMA N 3 DEMAK.”, Jurnal
Bimbingan Konseling 5, no. 2 (Desember 31, 2019), 154, https://doi.org/10.22373/je.v5i2.5093.
32

Kemampuan seseorang untuk merasakan perasaan dan pengalaman orang


lain, seseorang yang mampu berempati, mampu mendorong orang lain dalam
memberikan rasa kepedulian dan rasa menolong.
d. Faktor Situasional
Kondisi dan situasi yang muncul pada saat seseorang membutuhkan
pertolongan juga mempengaruhi orang lain untuk memberikan pertolongan seperti
saat anak muda membantu orang tua kesulitan ketika menyeberang jalan.
e. Faktor Sosiobiologis
Perilaku menolong orang lain dipengaruhi oleh jenis hubungan dengan
orang lain, individu lebih suka menolong orang yang sudah dikenal atau teman
dekat daripada orang asing. Perilaku ini muncul karena adanya proses adaptasi
dengan lingkungan terdekat.13
D. Kecerdasan Emosional, Kecerdasan Spiritual dan Altruisme Dalam
Perspektif Islam
1. Kecerdasan Emosional
Menurut Mayer dan Salovey ialah merupakan suatu jenis intelligensi sosial
yang melibatkan kemampuan untuk memonitor emosi diri sendiri dan orang lain,
membedakannya dan menggunakan informasi tersebut sebagai pegangan pikiran
dan tindakan seseorang. Kecerdasan emosional merupakan gabungan antara
kecerdasan intrapersonal dan antarpersonal. Seseorang yang memiliki kecerdasan
emosional mampu mengelola emosinya, sehingga selalu mendapatkan manfaat
dari semua kejadian yang dihadapinya. Hadis yang menyatakan hal ini sebagai
karakter orang mukmin sebagai berikut:
Terjemahan:
“Begitu mengagumkan yang terjadi pada orang mukmin. Sesungguhnya
semua perkara orang mukmin adalah baik, hal itu tidak akan dimiliki siapapun
kecuali oleh seorang mukmin. Jika dia ditimpa kesenangan, maka dia bersyukur,
maka hal itu adalah baik baginya. Dan jika ia ditimpa kemudharatan, maka dia
bersabar, maka hal itu juga baik baginya.” (HR Muslim dan Ahmad)

Kecerdasan emosional tidak hanya mencakup kepada kemampuan untuk


mengontrol emosinya, namun juga mengelola emosinya terhadap orang lain.
Pemahaman terhadap emosi orang lain dapat dipergunakan untuk memengaruhi
emosi orang lain. Al-Qur’an menceritakan bagaimana usaha saudara-saudara Nabi
Yusuf a.s. memengaruhi emosi ayahnya Nabi Yakub a.s., tetapi Nabi Yakub a.s,
tidak mempercayai mereka.
ُ ِ‫وا ٰيََٓأبَانَٓا ِإنَّا َذهَ ْبنَا نَ ْستَب‬
َ ٰ ‫ق َوتَ َر ْكنَا يُوسُفَ ِعن َد َم ٰتَ ِعنَا فََأ َكلَهُ ٱلذِّْئبُ َو َما لَّنا َولَوْ ُكنَّا‬
‫ص ِدقِينَ َأنتَ بِ ُمْؤ ِمن‬ ۟ ُ‫ال‬
Terjemahan:
“Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya
ke dalam sumur (lalu mereka masukkan dia)... kemudian mereka datang
kepada ayah mereka di sore hari sambil menangis, mereka berkata:
“Wahai ayah kami, sesungguhnya kami pergi berlomba-lomba dan kami
tinggalkan Yusuf di dekat barang-barang kami, lalu dia dimakan serigala;
dan kamu sekali-kali tidak akan percaya kepada kami, sekalipun kami
adalah orang-orang yang benar.” (QS. Yusuf [12]: 16)
13
David G. Myres, Psikologi..., h.105-106
33

Dari kisah tersebut dapat dilihat bahwa kecerdasan emosional Nabi Yakub
a.s. lebih tinggi daripada kecerdasan emosional saudara-saudara Nabi Yusuf a.s.
Kecerdasan emosional lebih dipengaruhi oleh lingkungan daripada herediter.
Dengan demikian, kecerdasan emosional dapat ditingkatkan dengan memperkaya
lingkungan, baik lingkungan luar rumah maupun lingkungan rumah. Anak dapat
meningkatkan kecerdasan emosionalnya dengan mempelajari berbagai tanggapan
emosional, baik verbal maupun non verbal.14
2. Kecerdasan Spiritual
Selain berpikir serial dan berpikir assosiatif, para pakar psikolog kemudian
menemukan bentuk proses berpikir lain yang disebut proses berpikir integratif.
Proses ini terjadi ketika otak mencari arti, melakukan pengindraan dan memahami
segala hal yang dialaminya. Otak memiliki wilayah yang berbeda warnanya
dengan bagian lain, yang di sebut Michael Persinger dan VS Ramachandran
sebagai titik ke-Tuhanan (God Spot), ketika pada saat yang sama terjadi getaran
khusus 40 megahertz pada seluruh bagian otak. Gejala ini merupakan dasar
fisiologis untuk menyatakan adanya kecerdasan spiritual.
Al-qur’an telah menggambarkan adanya getaran tertentu pada seseorang
ketika ia mencari makna dan menemukan spiritualitas ke-Tuhanan.
‫يَ ْخ َشوْ نَ ِك ٰتَبًا ُّمتَ ٰ َشبِهًا َّمثَانِ َى تَ ْق َش ِعرُّ ِم ْنهُ جُ لُو ُد ٱلَّ ِذينَ ٱهَّلل نَ َّز َل َأحْ َسنَ ْٱل َح ِديث‬
‫ك هُدَى ٱهَّلل يَ ْه ِدى بِ ِه َمن‬
َ ِ‫َربَّهُ ْم ثُ َّم تَلِينُ ُجلُو ُدهُ ْم َوقُلُوبُهُ ْم ِإلَ ٰى ِذ ْك ِر ٱهَّلل ِ ل‬
‫يَ َشا ء َو َمن يُضْ لِل ٱهَّلل فَ َما لَهُ ِم ْن هَاد‬
Terjemahan:
“Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al-
qur’an yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar
karenanya kulit orang-orang yang takut kepada tuhannya, kemudian
menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah
petunjuk Allah, dengan kitab itu dia menunjuki siapa yang dikehendaki-
Nya, dan barang siapa disesatkan Allah, maka tidak ada seorang pun
pemberi petunjuk baginya. (Q.S Al-Zumar [39]: 23)

Getaran tersebut terjadi ketika seseorang mencari petunjuk dengan membaca Al-
qur’an dan menemukan jalan yang mereka cari setelah membacanya.
Penelitian tentang proses berpikir integratif merupakan hal yang mendasari
pengukuran kecerdasan spiritual (spiritual quotient/SQ). Kecerdasan spiritual
adalah kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan masalah makna,
pandangan dan nilai untuk menempatkan perilaku dan hidup manusia dalam
konteks makna yang lebih luas dan kaya; menilai bahwa tindakan atau jalan hidup
seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain. Kecerdasan spiritual,
yang mulai dikembangkan oleh Ian Marshall dan Danah Zohar, tidak harus
berkaitan dengan agama. Kecerdasan spiritual lebih merupakan kebutuhan untuk
14
Aliah B. Purwakania Hasan, Psikologi Perkembangan Islami, (Jakarta, PT Rajagrafindo
Persada, 2006), h. 154-157
34

menemukan makna dari pengalaman dan mencari jalan untuk mencapai integritas
kehidupan. Namun, kecerdasan spiritual merupakan kekuatan yang mendasari
keberadaan agama, merupakan kecerdasan jiwa dan kecerdasan diri yang paling
mendalam. Merupakan kecerdasan transformatif yang mengarahkan orang untuk
membuat pertanyaan yang fundamental dan melihat keadaan sekitarnya yang lebih
luas dari dirinya sendiri.
Mereka yang memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi memiliki
karakteristik. Mereka fleksibel, memiliki tingkat kesadaran diri tinggi, mampu
menghadapi dan memanfaatkan penderitaan dan rasa sakit, memiliki visi misi,
memiliki kemampuan untuk melihat hal yang berbeda-beda dengan pandangan
holistik. Selain itu mereka juga memiliki keinginan dan kemampuan untuk
mengurangi kerugian sampai sekecil mungkin, kecenderungan untuk mencari dan
mempertanyakan hal yang mendasar, dan kemampuan untuk bekerja sesuai
dengan idealismenya yang mungkin bertentangan dengan pendapat umum.
Kecerdasan spiritual dapat berubah sesuai dengan keinginan untuk
memahami dan memaknai pengalaman yang telah dimiliki seseorang. Viktor
Frankl menggambarkan bagaimana penderitaan manusia dapat mendorong
spiritualitas seseorang. Penderitaan dapat mendorongnya menjadi the saint (orang
suci) atau the slain (seekor babi). Melalui berbagai pengalaman, terutama yang
bersifat ekstrim, orang dapat menjadi lebih baik atau lebih buruk. Kejadian ini
digambarkan dalam al-qur’an surah Al-Balad ayat 10-11 sebagai berikut:
‫ك َما ْٱل َعقَبَة‬
َ ‫ُ فَاَل ٱ ْقتَ َحم ْٱل َعقَبَة َ َو َمٓا َأ ْد َر ٰى‬
Terjemahan:
“Dan kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan. Tetapi dia
tidak menempuh jalan yang mendaki lagi sukar”. (QS Al-Balad [90]: 10-
11).
ْ
‫س ع َِن ٱلهَ َو ٰى‬َ ‫َو َءاثَ َر ْٱل َحيَ ٰوة ٱل ُّد ْنيَا َ فَِإ َّن ْٱل َج ِحيم ِه َى ْٱل َمْأ َو ٰى َ َوَأ َّما َم ْن َخافَ َمقَا َم َربِّه َونَهَى ٱلنَّ ْف‬
Terjemahan:
“Adapun bagi orang-orang yang melampaui batas, dan lebih
mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat
tinggal(nya). Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran
Tuhannya, serta menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka
sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya). (QS Al-Naziat [79]: 37-41.

Mereka yang memiliki kecerdasan spiritual dapat mengambil jalan yang


sukar dan berbeda daripada jalan yang diambil orang lain. Mereka lebih memilih
nilai-nilai spiritualitasnya daripada nilai-nilai kehidupan duniawi.15
3. Altruisme
Agama yang paling sempurna yang diturunkan oleh Allah dimuka bumi ini
adalah islam. Islam menghendaki pemeluknya untuk meyakini, memahami,
menghayati dan mengamalkan ajaran agama secara kaffah (komprehensif) dan

15
Aliah B. Purwakania Hasan, Psikologi Perkembangan Islami, (Jakarta, PT Rajagrafindo
Persada, 2006), h. 158-159
35

optimal, termasuk di dalamnya sifat yang sangat dianjurkan didalam islam yaitu
tolong menolong sesama manusia.16
Menurut ajaran islam altruisme merupakan tindakan untuk menolong
orang lain secara ikhlas karena islam menilai kebaikan dan perbuatan seseorang
berdasarkan keikhlasan untuk mengharapkan ridho Allah SWT, sehingga setiap
amal yang dilakukan hanya semata-mata karena Allah SWT, menafkahkan harta
yang ditetapkan sebagai perbuatan baik, dan berpahala besar karena ini sangat
bermanfaat untuk orang banyak, tindakan yang dilakukan seperti ini merupakan
manifestasi dari bentuk kesalehan sosial.
Setiap muslim harus berusaha memberikan kontribusi dan peran nyata
yang bermanfaat sehingga menjadikan kehidupan di dalam masyarakat sebagai
kesempatan untuk mengaktualisasikan diri, Rasulullah saw bersabda bahwa.
Artinya:
“sebaik-baiknya manusia adalah yang lebih bermanfaat bagi manusia
yang lain" (H.R Thabrani).
Altruisme merupakan bentuk tindakan menolong atau memberikan
bantuan kepada orang lain serta mengutamakan kepentingan orang lain yang
didasari dengan perasaan ikhlas tanpa mengharapkan imbalan dari orang yang
ditolongnya walaupun mereka dalam kesusahan. Perilaku altruisme ini merupakan
perintah dalam ajaran islam dimana umat islam dianjurkan untuk saling tolong-
menolong satu sama lainnya.17
Sifat altruisme dapat ditunjukkan dalam personalitas individu yang
memiliki sifat rendah hati, sabar, simpati kepada sesama manusia, hal ini
dijelaskan dalam (QS. Al-Hasyr:9)
۟ ¬ُ‫ص ¬دُور ِه ْم َحا َج¬ ةً ِّم َّمٓا ُأوت‬
‫¬وا‬ ُ ‫َوٱلَّ ِذين تَبَ ¬ َّو ُءو ٱل ¬ َّدا َر َوٱِإْل ي ٰ َمن ِمن قَ ْبلِ ِه ْم ي ُِحبُّونَ َم ْن هَ¬¬ا َج َر ِإلَ ْي ِه ْم َواَل يَ ِج¬ ُدونَ فى‬
ْ َٓ ٰ ۟ ‫ِ ُ ْ ِ َُأ‬
ْ
َ‫ك هُ ُم ٱل ُمفلِحُون‬ َ ‫اصةٌ ۚ َو َمن يُو‬
َ ‫ق ش َّح نَف ِس ِه ف ولِئ‬ َ ‫ص‬ َ ‫َويُْؤ ثِرُونَ َعلَ ٰ ٓى َأنفُ ِس ِه ْم َولَوْ َكانَ بِ ِه ْم َخ‬
Terjemahan:
“Dan mereka (Anshar) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka
terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin): dan mereka
mengutamakan (orang-orang muhajirin), atas diri mereka sendiri,
sekalipun mereka dalam kesusahan”. (QS. Al-Hasyr:9)
Dari uraian diatas dapat kita simpulkan bahwa altruisme dalam perspektif
islam yaitu tindakan untuk menolong orang lain secara ikhlas atau tidak
mengharapkan imbalan kecuali mengharap ridha Allah SWT yang dapat
ditunjukkan melalui sifat rendah hati, sabar, serta simpati terhadap sesamanya.18
E. Hubungan Kecerdasan Emosional dan Altruisme dalam perspektif Islam
Islam memandang kecerdasan emosional sebagai hal yang menekankan
pada pendidikan jiwa yang melahirkan perilaku terpuji. Secara didasari atau tidak
bahwa manusia bukan hanya semata-mata memiliki struktur akal saja, melainkan
juga memiliki qalbu (hati) yang berperan untuk mengasah aspek efektif, seperti
kehidupan emosional dan moral.19
16
Sekar Ayu Aryani, Psikologi Islami, (Yogyakarta, PT Suka-press, 2018), h.88
17
Nashori Fuad, Psikologi Sosial Islami, (Jakarta, PT Refika Aditama, 2008), h. 75
18
Nashori Fuad, Psikologi Sosial Islami, (Jakarta, PT Refika Aditama, 2008), h.76
19
Yunico et al., “Hubungan Antara Kecerdasan Emosi Dengan Perilaku Altruistik Pada
Mahasiswa Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Islam Jurusan D III Perbankan Syariah Angkatan 2013
36

Allah SWT, berfirman di dalam Q.S. Asy-syam ayat 8-10;


َ ‫) َوقَ ْد خ‬9( ‫) قَ ْد َأ ْفلَ َح َمن زَ َّك ٰىهَا‬8( ‫ُورهَا َوتَ ْق َو ٰىهَا‬
)10( ‫َاب َمن َدس َّٰىهَا‬ َ ‫فََأ ْلهَ َمهَا فُج‬
Terjemahan:
(8) maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan
ketakwaannya. (9) Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan
jiwa itu. (10) dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.
(Q.S.Asy-syam ayat 8-10)
Ayat yang di atas menjelaskan mengenai hakikat yang sangat besar
tentang jiwa manusia dan tabiatnya yang berkaitan dengan alam semesta, dan
fenomena-fenomenanya.
Allah SWT, juga menjelaskan bentuk emosional yang lainnya dalam
surah Al-Baqarah: 76 berikut;
‫ْض قَالُ ٓو ۟ا َأتُ َح ِّدثُونَهُم بِ َم¬¬ا فَتَ َح ٱهَّلل ُ َعلَ ْي ُك ْم لِيُ َح¬ ٓاجُّ و ُكم بِِۦه‬ ُ ‫وا قَالُ ٓو ۟ا َءا َمنَّا َوِإ َذا خَ اَل بَ ْع‬
ٍ ‫ضهُ ْم ِإلَ ٰى بَع‬
۟ ُ‫وا ٱلَّ ِذينَ َءامن‬
َ
۟ ُ‫و َذا لَق‬
‫ِإ‬
ُ ‫َأ‬
َ‫ِعن َد َربِّ ُك ْم ۚ فَاَل تَ ْعقِلون‬
Terjemahan:
Dan apabila mereka bertemu dengan orang-orang yang beriman, mereka
berkata: “kami pun telah beriman”; tetapi apabila mereka berada sesama
mereka saja, lalu mereka berkata: “Apakah kamu menceritakan kepada
mereka (orang-orang mukmin) apa yang telah diterangkan Allah
kepadamu, supaya dengan demikian mereka dapat mengalahkan hujjahmu
di hadapan Tuhanmu; tidakkah kamu mengerti,” (Q.S. Al-Baqarah:76)

Ayat tersebut diakhiri dengan kata “Afala ta’qilun” memberikan dorongan


agar memiliki kecerdasan emosional. Artinya yaitu untuk mengendalikan dan
mengelola emosi ketika berhadapan dengan orang-orang. Al-qur’an juga
menjelaskan surat Al-Hasyr ayat 2 bermakna agar manusia memiliki kecerdasan
dan pengelolaan emosi, rasa takut, takut dari siksa Allah SWT. Al-Qur’an
memberikan rasa takut (indzar) kepada orang-orang yang durhaka, bahwa mereka
mendapat murka dan siksaan Allah, Al-qur’an juga memberikan kabar gembira
atau rasa senang (tabsyir) kepada orang-orang yang bertakwa kepada Allah SWT.
Dengan adanya rasa takut dan gembira dalam diri manusia maka ada
keseimbangan emosional dalam diri manusia.
Sedangkan Altruisme dalam islam disebut dengan ta’awun adalah sifat
tolong-menolong diantara sesama manusia dalam hal kebaikan dan takwa. Dalam
ajaran islam sifat ta’awun ini sangat diperhatikan, hanya dalam kebaikan dan
takwa, dan tidak ada tolong-menolong dalam hal dosa dan permusuhan. Oleh
karena itu, sifat ta’awun atau tolong-menolong termasuk akhlak terpuji dalam
agama islam.20
Al-Qur’an yang membahas tentang tolong-menolong (altruisme) terdapat
dalam Al-Qur’an surah Al-Maidah ayat 2, sebagai berikut:
۟ ُ‫¬اون‬
‫وا‬ َ ¬‫وا َعلَى ْٱلبِ¬ ِّر َوٱلتَّ ْق¬ َو ٰى َواَل تَ َع‬۟ ُ‫¬اون‬ ۟ ‫ص ُّدو ُك ْم َعن ْٱلمس ِْجد ْٱل َح َرام َأن تَ ْعتَد‬
َ ¬‫ُوا ۘ َوتَ َع‬ َ ‫َواَل يَجْ ِر َمنَّ ُك ْم َشنَـَٔانُ قَوْ ٍم َأن‬
َ ِ
‫ب‬ َ ْ ُ َ ‫هَّلل‬ َّ ‫هَّلل‬ ُ َّ ٰ ْ ْ
ِ ‫َعلى ٱِإْل ث ِم َوٱل ُعد َون َوٱتقوا ٱ َ ِإن ٱ َ ش ِدي ¬د ٱل ِعقا‬ ْ َ
Terjemahan:

UIN Raden Fatah Palembang.” Jurnal Psikologi Islam 2, no. 2 (2016).


20
Yunico et al. Jurnal Psikologi Islam 2, no. 2 (2016).
37

“...Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada suatu kaum karena


mereka menghalang-halangi kamu dari masjidilharam, mendorongmu
berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam
berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah,
sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (Q.S. Al-Maidah[12]: 2)

F. Hubungan Kecerdasan Spiritual dengan Altruisme dalam perspektif


islam
Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan qalbu yang berhubungan dengan
kualitas hati seseorang. Kecerdasan ini mengarahkan seseorang untuk berbuat
lebih manusiawi, sehingga dapat menjangkau nilai-nilai luhur yang mungkin
belum tersentuh oleh akal pikiran manusia. Untuk menguji tingkat kecerdasan
spiritual, salah-satunya adalah dari sudut pandang relasi sosial keagamaan, yaitu
dimana konsekuensi psikologi spiritual keagamaan terhadap sikap sosial yang
menekankan segi kebersamaan dan kesejahteraan sosial. Kecerdasan spiritual
akan tercermin pada ikatan kekeluargaan antar sesama, peka terhadap
kesejahteraan orang lain dan makhluk hidup lain, bersikap dermawan.21
Lebih jauh dijelaskan bahwa manusia merupakan makhluk sosial penghuni
bumi yang tidak dapat hidup sendiri, bukan hanya memiliki dorongan sosial untuk
hidup bersama, tetapi memang tidak ada pilihan lain selain harus menjalani dan
menjalankan hidup dan kehidupan bersama dalam kebersamaan dimuka bumi
yang sama, tanpa memiliki alternatif lain. Menurut Shihab islam menghendaki
pemeluknya untuk meyakini, memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran
agama secara kaffah (komprehensif) dan optimal, termasuk didalamnya sifat yang
sangat dianjurkan didalam islam yaitu tolong menolong sesama manusia.
Altruisme merupakan tindakan sukarela yang dilakukan oleh seseorang
ataupun kelompok orang untuk menolong orang lain tanpa mengharapkan imbalan
apapun, kecuali mungkin perasaan telah melakukan perbuatan baik. Beberapa ahli
mengatakan bahwa altruisme merupakan bagian dari “sifat manusia” yang
ditentukan secara genetika, karena keputusan untuk memberikan pertolongan
melibatkan proses kognisi sosial komplek dalam mengambil keputusan yang
rasional.
Sears dkk mengatakan ada beberapa faktor yang mempengaruhi altruisme,
salah satunya adalah nilai-nilai agama dan moral, maksudnya seseorang yang
menolong sangat tergantung dari penghayatan terhadap nilai-nilai agama dan
moral yang mendorong seseorang dalam melakukan pertolongan. Menurut ajaran
islam altruisme merupakan tindakan untuk menolong orang lain secara ikhlas
karena islam menilai kebaikan dan perbuatan seseorang berdasarkan keikhlasan
untuk mengharapkan ridho Allah SWT, sehingga setiap amal yang dilakukan
hanya semata-mata karena Allah SWT menafkahkan harta ditetapkan sebagai
perbuatan baik, dan berpahala besar sebab sangat bermanfaat untuk orang banyak,
tindakan yang dilakukan seperti ini merupakan manifestasi bentuk kesalehan
sosial.
21
Jaudi, “Kecerdasan Intelektual, Kecerdasan Emosional dan Kecerdasan Spiritual
(IESQ) Dalam Perspektif Al-Qur’an.” Jurnal Pendidikan Islam 07, no 01, 2017.
38

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kecerdasan spiritual memiliki


hubungan kuat dengan perilaku menolong di dalam kehidupan sehari-hari dan
juga kehidupan bermasyarakat, dimana sikap menolong tersebut dapat
ditingkatkan dengan cara meningkatkan kecerdasan spiritual karena kesadaran
tersebut memiliki kekuatan yang hebat untuk mendorong supaya seseorang dapat
berbuat dan beramal shaleh serta mengamalkan ajaran agama yang telah diajarkan
dan bertanggung jawab terhadap khaliknya.22
G. Hipotesis Penelitian
Hipotesis merupakan jawaban yang bersifat sementara terhadap
permasalahan penelitian, sampai terbukti melalui data yang terkumpul. Adapun
hipotesis dalam penelitian ini yaitu:
Ha : Terdapat signifikansi hubungan antara kecerdasan emosional dengan
altruisme remaja pada siswa Madrasah Aliyah Pesantren Al-Mujahidin
Samarinda Seberang
Ho : Tidak terdapat signifikansi hubungan antara kecerdasan emosional
dengan altruisme remaja pada siswa Madrasah Aliyah Pesantren Al-
Mujahidin Samarinda Seberang
Ha : Terdapat signifikansi hubungan antara kecerdasan spiritual dengan
altruisme remaja pada siswa Madrasah Aliyah Pesantren Al-Mujahidin
Samarinda Seberang
Ho : tidak terdapat signifikansi hubungan antara kecerdasan spiritual dengan
altruisme remaja pada siswa Madrasah Aliyah Pesantren Al-Mujahidin
Samarinda Seberang
Ha : Terdapat signifikansi hubungan antara kecerdasan emosional dan
kecerdasan spiritual dengan altruisme remaja pada siswa Madrasah
Aliyah Pesantren Al-mujahidin Samarinda Seberang?
Ho : Tidak terdapat signifikansi hubungan antara kecerdasan emosional dan
kecerdasan spiritual dengan altruisme remaja pada siswa Madrasah
Aliyah Pesantren Al-mujahidin Samarinda Seberang?

22
Rahmatullah, “Kecerdasan Ruhaniah dengan Altruisme.” Jurnal Media Intelektual
Muslim dan Bimbingan Rohani 5, no. 2, 2019.
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini ialah pendekatan
kuantitatif dengan metode korelasional. Dimana dalam metode ini bertujuan untuk
mengetahui hubungan suatu variabel dengan variabel lainnya. Hubungan antara
satu dengan beberapa variabel lain dinyatakan dengan besarnya koefisien korelasi
dan signifikan dengan statistik.23 Penelitian kuantitatif adalah penelitian yang
menggunakan data dalam bentuk angka-angka yang bersifat kuantitatif, untuk
bisa mengamati kondisi dari populasi, atau kecenderungan masa mendatang.
Penelitian kuantitatif memungkinkan adanya generalisasi untuk hasilnya dihitung
dengan analisis statistik.24
B. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi ialah keseluruhan dari subjek atau objek yang akan menjadi
sasaran penelitian. Subjek penelitian ini merupakan tempat atau lokasi dan data
variabel yang akan digunakan. Sehingga populasi tersebut adalah wilayah
generalisasi yang terdiri dari subjek atau objek yang mempunyai kualitas dan
karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian

23
Helmina Andriyani Haldani et al., Metode Penelitian Kualitatif & Kuantitatif
(Yogyakarta, PT, CV. Pustaka Ilmu Group, 2020), h. 23
24
Abd. Mukhid, Metodologi Penelitian Pendekatan Kuantitatif (Surabaya: CV. Jakad
Media Publishing, 2019). h. 149
ditarik kesimpulannya.25 Populasi dalam penelitian adalah seluruh siswa Madrasah
Aliyah Pesantren Al-Mujahidin Samarinda Seberang yang berjumlah 130 siswa
pada tahun ajaran 2022-2023.
TABEL II
JUMLAH SISWA MADRASAH ALIYAH

2. Sampel
Sampel adalah bagian dari populasi yang dipilih dengan menggunakan
prosedur tertentu untuk dapat mewakili populasi. Untuk itu, Sampel yang baik
merupakan sampel yang memiliki populasi atau yang dapat menggambarkan suatu
karakteristik yang ada pada populasinya. Oleh karena itu, sebelum pengambilan
sampel, peneliti harus mempelajari populasinya sebagai dasar untuk menentukan
sampel penelitiannya.26 Adapun teknik dalam pengambilan sampel yaitu
menggunakan teknik random sampling. Random Sampling merupakan teknik
pengambilan sampel dari populasi yang dilakukan secara acak.27 Adapun sampel
dalam penelitian ini adalah perwakilan siswa Madrasah Aliyah Pesantren Al-
mujahidin Samarinda Seberang.
Menurut Suharsimi Arikunto, bahwa dalam pengambilan sampel jika
subjeknya kurang dari 100 maka lebih baik diambil semua sehingga penelitian
merupakan penelitian populasi. Jika subjeknya lebih dari 100 maka dapat diambil
10-15% atau 20-25% atau lebih. Dalam menentukan sampel pada penelitian ini
menggunakan rumus slovin, yaitu sebagai berikut:

Keterangan :

25
Slamet Riyanto and Aglis Andhita Harmawan, Metode Riset Penelitian Kuantitatif
Penelitian Di Bidang Manajemen, Teknik, Pendidikan Dan Eksperimen (Yogyakarta: CV Budi
Utama, 2020). h. 11
26
Eddy Roflin, Iche Andriyani Liberty, and Pariyana, Populasi, Sampel, Variabel Dalam
Penelitian Kedokteran (Pekalongan: PT. Nasya Expanding Management, 2021). h. 12.
27
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R&D..., h. 82
56

TABEL III
JUMLAH RESPONDEN BERDASARKAN KELAS

Berdasarkan hasil tersebut, maka sampel dalam penelitian ini ialah 55


siswa.28

C. Definisi Operasional
Definisi Operasional ini bertujuan untuk memperoleh gambaran yang jelas
dan untuk menghindari kesalahpahaman dan kekeliruan dalam penafsiran istilah.
28
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik (Jakarta: Rineka
Cipta, 2013). h. 134
57

Maka, istilah-istilah yang dapat dioperasionalkan dalam penelitian ini adalah


sebagai berikut:
1. Kecerdasan Emosional
Kecerdasan emosi merupakan ikatan kemampuan yang memungkinkan
kita untuk melapangkan jalan di dunia yang rumit sebagai aspek pribadi, sosial
dan pertahanan dari seluruh kecerdasan, akal sehat yang penuh dengan misteri dan
kepekaan yang penting untuk berfungsi secara efektif setiap hari. Ada 5 ciri-ciri
kecerdasan emosional yaitu mengenali emosi diri sendiri, kemampuan mengelola
diri sendiri, memotivasi diri, mengenali emosi orang lain dan kemampuan
membina hubungan dengan orang lain, agar hubungan dapat menjadi lebih baik.

2. Kecerdasan Spiritual
Kecerdasan Spiritual merupakan kecerdasan untuk menghadapi dan
memecahkan masalah persoalan makna dan nilai, yaitu kecerdasan yang
menempatkan suatu perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas
dan kaya, kecerdasan sendiri yaitu untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup
seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain. Adapun kecerdasan
spiritual yaitu kemampuan bersifat fleksibel, tingkat kesadaran diri, kemampuan
untuk menghadapi dan memanfaatkan penderitaan, kualitas hidup yang diilhami
oleh visi dan nilai, keengganan untuk menyebabkan kegiatan yang tidak perlu, dan
refleksi diri.
3. Altruisme
Altruisme merupakan perilaku menolong yang dilakukan oleh individu
atau kelompok untuk menolong orang lain tanpa mengharapkan imbalan apapun
dan dilakukan secara sadar dan sukarela. Altruisme juga merupakan suatu
tindakan yang dilakukan seseorang dalam menolong orang lain dengan tidak
mengharapkan apapun kecuali perasaan yang didapatkan setelah menolong.
Adapun aspek-aspek altruisme terdiri dari lima komponen yaitu cooperation
(kerjasama), sharing (berbagi), helping (menolong), genereocity (berderma), dan
honesty (kejujuran).
D. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan teknik atau cara-cara yang dapat
digunakan oleh peneliti untuk mengumpulkan data. Teknik pengumpulan data
adalah suatu proses atau pengadaan untuk keperluan penelitian dimana data yang
terkumpul untuk menguji hipotesis atau menjawab pertanyaan pada rumusan
masalah dan kemudian akan dijadikan sebagai data dalam pengambilan atau
keputusan.29 Adapun dalam penelitian ini metode pengumpulan data yang
digunakan adalah sebagai berikut :
1. Skala Psikologis
Skala psikologis merupakan teknik pengumpulan data berupa pernyataan
yang dibuat dalam bentuk favourable (kalimat positif dan bersifat mendukung dan
memihak pada objek sikap maupun perilaku) sedangkan unfavourable (kalimat
negatif dan sifatnya tidak memihak pada objek sikap). Pernyataan unfavourable

29
Ajat Rukajat, Pendekatan Penelitian Kuantitatif Quantitative Research Approach
(Yogyakarta: CV Budi Utama, 2018). h. 6.
58

berfungsi untuk menguji keakuratan instrumen.30 Adapun skala yang digunakan


adalah skala likert merupakan skala yang digunakan untuk mengukur sikap,
pendapat, dan persepsi seseorang terhadap suatu objek.31

TABEL IV
PERHITUNGAN SKOR

2. Dokumentasi
Dokumentasi adalah metode yang digunakan untuk mencari dan
mengumpulkan data serta informasi yang berhubungan dengan permasalahan
penelitian. Dokumentasi ini dilakukan di tempat kajian peneliti yaitu Madrasah
Aliyah Pesantren Al-Mujahidin Samarinda Seberang. Dokumentasi dalam
penelitian ini adalah data diri siswa.32
E. Instrumen Pengumpulan Data
Instrumen penelitian merupakan alat yang digunakan untuk
mengumpulkan data penelitian yang lebih spesifik agar data lebih mudah diolah
sehingga menghasilkan penelitian yang berkualitas.33 Alat yang digunakan untuk
mengumpulkan data adalah alat ukur psikologis. Skala psikologis adalah alat yang
mengukur atribut non-kognitif, khususnya disajikan dalam bentuk format
tertulis.34 Adapun bentuk skala dalam penelitian ini menggunakan skala likert
yang berisi pernyataan yang menunjukkan respon sikap individu kepada soal
pertanyaan di dalam skala tersebut.35 Adapun kisi-kisinya dapat dilihat pada tabel
2, 3, 4 dan 5 sebagai berikut:
1. Skala Kecerdasan Emosional
Indikator untuk kecerdasan emosional disusun berdasarkan karakteristik
pada kecerdasan emosional. Instrumen ini dijabarkan beberapa pertanyaan
dengan kisi-kisi yang dapat dilihat pada tabel 2, sebagai berikut :
30
Saifuddin Azwar, Penyusunan Skala Psikologis (PustakaBelajar, 2021). h. 27
31
Mardiah Kalsum Nasution, “Penggunaan Metode Pembelajaran dalam Peningkatan
Hasil Belajar Siswa” 11, no. 1 (2017): 8.
32
Sandu Siyoto and Ali Sodik, Dasar Metodologi Penelitian (Yogyakarta: Literasi Media
Publishing, 2015). h. 69
33
Sugiyono, Metode..., h. 102
34
Saifuddin Azwar, Penyusunan Skala Psikologis (Pustaka Belajar, 2021), h. 7
35
Sugiyono, Metode..., h. 102
59

TABEL V
KISI-KISI SKALA KECERDASAN EMOSIONAL

2. Skala Kecerdasan Spiritual


Indikator untuk kecerdasan spiritual disusun berdasarkan karakteristik
pada kecerdasan spiritual. Instrumen ini dijabarkan beberapa pertanyaan dengan
kisi-kisi yang dapat dilihat pada tabel ke 3, sebagai berikut:
TABEL VI
KISI KISI SKALA KECERDASAN SPIRITUAL

No Aspek Indikator Aitem Jumlah Alat Ukur


Mampu berkomunikasi Skala
Bersifat
1. dan beradaptasi dengan 2,9 2 Psikologis
Fleksibel
baik Kecerdasan
Spiritual
Mampu menerima diri
Tingkat dengan apa adanya dan
2. 11,15 2
Kesadaran Diri menyadari atas
kesalahannya

3. Kemampuan Mampu menghadapi 10,18 2


menghadapi permasalahan hidup dan
dan mencari hal positif apa
memanfaatkan
60

penderitaan yang telah dialaminya

Kualitas hidup
Mampu saling memaafkan
yang dihiasi
4. dan mempunyai tujuan 16,22 2
oleh visi dan
hidup
nilai

Keengganan
untuk Mampu mengikuti aturan
5. menyebabkan dan tidak terlibat dalam 17,19 2
kerugian yang perkelahian
tidak perlu

Mau bertanya dan mencari


6. Refleksi Diri tau hal yang membuat 12,23,30 3
pertanyaan itu muncul

3. Skala Altruisme
Indikator untuk altruisme disusun berdasarkan karakteristik pada
altruisme. Instrumen ini dijabarkan beberapa pertanyaan dengan kisi-kisi yang
dapat dilihat pada tabel ke 4, sebagai berikut:
TABEL VII
KISI-KISI SKALA ALTRUISME

No Aspek Indikator Aitem Jumlah Alat Ukur


Dapat melakukan Skala
1. Kerjasama pekerjaan secara 21,28 2 Altruisme
bersama-sama

Dapat merasakan
2. Berbagi perasaan orang lain serta 25,33 2
peka terhadap orang lain

Dapat memberikan
3. Menolong sesuatu yang dibutuhkan 27,29 2
orang lain

4. Berderma Mampu membantu orang 24,31 2


lain dengan sukarela
tanpa mengharapkan
imbalan apapun
61

Melakukan sesuatu
5. Kejujuran 26,32 2
dengan kejujuran

F. Keabsahan Data
1. Uji Validitas
Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkatan-tingkatan
kevalidan suatu instrumen yang valid mempunyai validitas yang tinggi.,
sebaliknya instrumen yang kurang valid memiliki validitas yang rendah. 36 Dalam
penelitian ini uji validitas yaitu untuk menguji tiap-tiap variabel yang dipakai
dalam penelitian ini, yang mana terdapat 33 pernyataan yang terdiri dari `10
pernyataan untuk variabel kecerdasan emosional, 13 pernyataan untuk variabel
kecerdasan spiritual dan 10 pernyataan untuk variabel altruisme.
Dalam penelitian ini dilakukan uji coba sebanyak 30 siswa dari kelas XII
Madrasah Aliyah (MA) Darul Ihsan Samarinda. Perhitungan uji validitas ini
dilihat darir hitung kemudian dibandingkan dengan r tabel dengan tingkat signifikansi
25% atau 0,05 dengan n = 30. Jika dilihat dari r product moment, r tabel = 0,367.
Jika r hitung > r tabel maka item tersebut dinyatakan valid, dan jika r hitung < r tabel maka
item tersebut dinyatakan tidak valid. Berdasarkan rekapitulasi hasil pengujian
instrumen validitas, maka item-item yang tidak valid tidak dipakai karena sudah
terwakili oleh item yang lainnya dalam indikator yang sama. Adapun hasil uji
validitas disajikan dalam tabel dibawah ini:

TABEL VIII
HASIL REKAPITULASI VALIDITAS VARIABEL KECERDASAN
EMOSIONAL

36
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik (Jakarta: Rineka
Cipta, 2013). h. 168
62

Berdasarkan tabel diatas bahwasanya sebanyak 10 pernyataan yang


dipakai untuk menilai valid variabel kecerdasan emosional dalam penelitian ini
memiliki korelasi lebih dari r tabel = 0,367 atau n = 30. Oleh karena itu, dapat
dinyatakan bahwa semua pernyataan pada variabel kecerdasan emosional
dinyatakan valid.

TABEL IX
HASIL REKAPITULASI VALIDITAS VARIABEL KECERDASAN
SPIRITUAL
63

Hasil uji coba instrumen penelitian variabel kecerdasan spiritual diperoleh


dengan kesimpulan bahwa dari 13 item pernyataan skala psikologis yang diuji
coba, memiliki korelasi lebih dari r tabel = 0,367 atau n = 30. Oleh karena itu, dapat
dinyatakan bahwa valid sebanyak 12 aitem daan yang dinyatakan tidak valid
terdapat satu aitem.

TABEL X
HASIL REKAPITULASI VALIDITAS VARIABEL ALTRUISME
64

Hasil uji coba instrumen penelitian variabel altruisme diperoleh dengan


kesimpulan bahwa dari 10 item pernyataan skala psikologis yang diuji coba,
memiliki korelasi lebih dari r tabel = 0,367 atau n = 30. Oleh karena itu, dapat
dinyatakan bahwa semua pernyataan pada variabel altruisme dinyatakan valid..
2. Uji Reliabilitas
Reliabilitas adalah untuk mengetahui sejauh mana hasil pengukuran tetap
konsisten, apabila dilakukan pengukuran dua kali atau lebih terhadap gejala yang
sama, menggunakan alat ukur yang sama pula.37 Dalam penelitian ini untuk
menguji reliabilitas instrumen menggunakan rumus Alpha Cronbach sebagai
berikut :

Keterangan :
M = Jumlah butir pertanyaan
Vx = Variasi butir-butir
Vy = Variasi Total
Dalam metode pengujian reliabilitas, standar yang digunakan dalam
menentukan reliabel dan tidaknya suatu instrumental adalah nilai Alpha Cronbach
0,60 hingga 0,70 adalah nilai terendah yang dapat diterima. Maka dapat
disimpulkan bahwa instrumen tersebut tidak reliabel.

37
Syofian Siregar, Metode Penelitian Kuantitatif, (Jakarta, PT Prenamedia Group, 2013),
h.47
65

Dalam pengujian reliabilitas instrumen skala ini digunakan dengan


menggunakan bantuan program SPSS for windows versi 25 untuk mencari nilai
Alpha Cronbach. Adapun hasil uji reliabilitas dalam penelitian ini dapat dilihat
dalam tabel sebagai berikut :
TABEL XI
HASIL REKAPITULASI PERHITUNGAN RELIABILITAS VARIABEL
KECERDASAN EMOSIONAL (X1)

Reliability Statistic

Hasil yang diperoleh pada Cronbach’s Alpha sebesar 0,657. Maka


instrumen penelitian ini dalam variabel X1 dinyatakan reliabel dan dapat diterima
sebagai alat pengumpulan data, karena instrumen tersebut memenuhi kriteria
untuk dijadikan sebagai alat ukur dalam penelitian.
TABEL XII
HASIL REKAPITULASI PERHITUNGAN RELIABILITAS VARIABEL
KECERDASAN SPIRITUAL (X2)
66

Hasil yang diperoleh pada Cronbach’s Alpha sebesar 0,683. Maka


instrumen penelitian ini dalam variabel X2 dinyatakan reliabel dan dapat diterima
sebagai alat pengumpulan data, karena instrumen tersebut memenuhi kriteria
untuk dijadikan sebagai alat ukur dalam penelitian.

TABEL XIII
HASIL REKAPITULASI PERHITUNGAN RELIABILITAS VARIABEL
ALTRUISME

Hasil yang diperoleh pada Cronbach’s Alpha sebesar 0,730. Maka


instrumen penelitian ini dalam variabel Y dinyatakan reliabel dan dapat diterima
67

sebagai alat pengumpulan data, karena instrumen tersebut memenuhi kriteria


untuk dijadikan sebagai alat ukur dalam penelitian.
G. Teknik Analisis Data
Analisis data adalah proses pengolahan dan menyusun secara sistematis
data yang sudah diperoleh dari hasil lapangan untuk memiliki tujuan agar data
dapat disajikan mempunyai arti. Sehingga di peneliti mudah mengetahui hasil dari
penelitian.38 Analisis data dapat ditentukan dengan melihat validitas dan
reliabilitasnya dari alat ukur yang digunakan peneliti. 39 Data mentah yang
diperoleh kemudian dianalisis dengan beberapa tahapan, yaitu dengan cara
mengetahui mean dan standar deviasi. Rumusan mean adalah sebagai berikut :
M=

ΣX N

Keterangan :
M = Mean
ΣX = Jumlah nilai
N = Jumlah subjek
Rumus standar deviasi adalah sebagai berikut :

SD = Σfx2 - (Σfx)2
N- 1

Keterangan :
SD = Standar
Deviasi X = SkorX
N = Subyek
Dalam penelitian ini hasil nilai dikategorikan menjadi tiga, yaitu; tinggi,
sedang dan rendah. Adapun norma yang dipakai adalah sebagai berikut :

TABEL XIV
NORMA PENGGOLONGAN DAN BATASAN NILAI

38
Sugiyono, Metode..., h. 244
39
Pitri Ari Lestari, “Korelasi Antara Motivasi Belajar dan Sikap Tanggung Jawab dengan
Hasil Belajar IPA,” Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pendidikan 2, no. 2 (August 3, 2018):
176, https://doi.org/10.23887/jppp.v2i2.15400.
68

Untuk menentukan persentase hasil yang didapat adalah menggunakan


rumus sebagai berikut :
P :F_x 100

Keterangan :
F = Frekuensi
N = Jumlah subjek40

Maka peneliti menggunakan analisis regresi linier berganda alasannya


karena dalam penelitian ini terdapat dua variabel independen dan satu variabel
dependen, yang kemudian akan diuji menggunakan uji F (uji korelasi parsial).
Menurut Sugiyono dirumuskan sebagai berikut:
2
R /k
F= 2
(1−R )/( n−k−1)

Keterangan :
2
R = Koefisien Determinasi
K = Jumlah Variabel Independen
n = Jumlah Anggota Data atau Kasus
F hasil perhitungan ini dibandingkan dengan F tabel yang diperoleh
dengan menggunakan tingkat resiko atau signifikansi level 5% atau dengan degree
freedom = k (n-k-1) dengan kriteria sebagai berikut:41
H o ditolak jika F hitung> F tabel atau nilai sig < α
H o diterima jika F hitung< F tabel atau nilai sig > α
Variabel bebas dalam penelitian ini ialah untuk mengetahui variabel
independen kecerdasan emosional (X1) dan kecerdasan spiritual (X2) mempunyai
40
Muhammad, Nisfiannoor, Pendekatan Statistika Modern untuk Ilmu Sosial (Jakarta:
Salemba Humanika, 2009). H. 359
41
Sugiyono, Metode..., h. 257
69

hubungan yang signifikan terhadap variabel dependen (Y), dengan dibantu


program SPSS 25.0 for windows untuk menguji hubungan antara kecerdasan
emosional dan kecerdasan spiritual dengan altruisme pada subjek penelitian.

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Lokasi Penelitian


Penelitian ini dilangsungkan di Madrasah Aliyah Pesantren Al-Mujahidin
Samarinda Seberang yang terletak di jalan KH. Harun Nafsi Gg. Darma RT. 19
Kelurahan Rapak Dalam, Kecamatan Loa janan Ilir, Kota Samarinda, Provinsi
Kalimantan Timur.
1. Visi dan Misi Madrasah Aliyah
a. Visi Madrasah
Di dalam UU No. 22 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
dinyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mencapai tujuan
tersebut Madrasah Aliyah Al-Mujahidin sebagai salah satu tujuan lembaga
pendidikan formal yang islami, ikut berpartisipasi mewujudkan tujuan tersebut
serta berusaha membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Allah SWT serta berakhlak mulia.
74

Berdasarkan tujuan diatas, Madrasah Aliyah Al-Mujahidin Samarinda


berusaha mewujudkan cita-cita bangsa yang terangkum dalam Visi Madrasah
Aliyah Al-Mujahidin Samarinda sebagai berikut:
“Terwujudnya peserta didik yang unggul dalam bidang akademik dan non
akademik, yang berakhlakul karimah, berwawasan kebangsaan dan
keislaman.
b. Misi Madrasah
Untuk mewujudkan Visi tersebut, madrasah menentukan langkah-langkah
strategis yang dinyatakan dalam Misi Madrasah Aliyah Al-Mujahidin Samarinda
sebagai berikut:
1) Melaksanakan pembelajaran bermutu yang berbasiskan Sains, Teknologi dan
Keterampilan.
2) Menjadikan sarana dan prasarana laboratorium sebagai wadah penelitian tepat
guna.
3) Menyelenggarakan pendidikan keterampilan sebagai bekal peserta didik
dalam kehidupan bermasyarakat.
4) Menjalin kerjasama kelembagaan dalam bidang Sains, Teknologi dan
keterampilan.
B. Pelaksanaan Penelitian
1. Pengumpulan Data Penelitian
Pengumpulan data penelitian yang dilaksanakan pada tanggal 03
November 2022. Atas saran dan pertimbangan dari pihak sekolah maka pengisian
skala ini dilakukan secara langsung pada saat jam istirahat. Untuk mengantisipasi
agar skala tidak diisi oleh orang lain, peneliti memberikan penjelasan sebelum
memberikan skala dengan dibantu oleh guru BK. Skala penelitian disebar
sebanyak 55 eksemplar. Selanjutnya data ini akan dilakukan uji coba terpakai,
butir-butir aitem yang sahih dipergunakan sebagai data penelitian.
2. Pelaksanaan Skoring
Setelah data terkumpul maka langkah selanjutnya yaitu melakukan skoring
untuk keperluan analisis data. Skor untuk masing-masing skala bergerak 1-4
dengan memperhatikan sifat aitem favourable dan unfavourable. Skor dari aitem
favourable adalah 4 untuk pilihan jawaban sangat sesuai (SS), 3 untuk pilihan
jawaban sesuai (S), 2 untuk pilihan jawaban kurang sesuai (KS), dan 1 untuk
pilihan jawaban tidak sesuai (TS). Sedangkan untuk aitem unfavourable adalah 1
untuk pilihan jawaban sangat sesuai (SS), 2 untuk pilihan jawaban sesuai (S), 3
untuk pilihan jawaban kurang sesuai (KS), dan 4 untuk pilihan jawaban tidak
sesuai (TS). Kemudian skor yang diperoleh dari subjek penelitian dijumlahkan
untuk masing-masing skala. Total skor dalam penelitian ini dipakai dalam analisis
data.
C. Hasil Analisis Data Penelitian
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis regresi linier
berganda. Perhitungan analisis data yang dilakukan setelah uji asumsi klasik yang
meliputi uji normalitas, linearitas hubungan, uji autokorelasi, uji
heteroskedastisitas, dan uji multikolinieritas. Perhitungan dalam analisis ini
dilakukan dengan menggunakan program statistik SPSS for MS Windows versi
25.0.
75

TABEL XV
INTERPRETASI KOEFISIEN KORELASI

1. Uji Asumsi Klasik


a. Uji Normalitas
Uji normalitas bertujuan untuk mengetahui distribusi data dalam variabel
yang akan digunakan dalam penelitian. Data yang baik dan layak digunakan
dalam penelitian ini adalah data yang memiliki distribusi normal. Uji normalitas
ini menggunakan teknik one sample Kolmogorov Smirnov data yang dinyatakan
berdistribusi normal jika tingkat signifikansinya lebih besar 0,05.
TABEL XVI
HASIL UJI NORMALITAS
ONE-SAMPLE KOLMOGOROV-SMIRNOV TEST

Berdasarkan hasil uji normalitas diketahui nilai signifikansi 0,200 > 0,05
Maka dapat disimpulkan bahwa data pada variabel kecerdasan emosional,
kecerdasan spiritual dan altruisme berdistribusi normal dan sampel dalam
penelitian ini dapat mewakili populasi.
b. Uji Linearitas
76

Uji linearitas bertujuan untuk mengetahui apakah variabel independen dan


variabel dependent mempunyai hubungan yang linier atau tidak secara signifikan.
Pengujian dengan SPSS menggunakan test for linearity pada taraf signifikansi
0,05. Dua variabel dikatakan mempunyai hubungan yang linier apabila
signifikansi (liniarity) kurang dari 0,05.
TABEL XVII
HASIL UJI LINEARITAS KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN
ALTRUISME

Berdasarkan uji linearitas diketahui nilai signifikansi pada linearity untuk


variabel kecerdasan emosional dengan altruisme sebesar 0,034. Dari hasil tersebut
dapat disimpulkan bahwa signifikansi antara variabel independen (X1) dengan
variabel dependen (Y) terdapat hubungan yang linier.

TABEL XVIII
HASIL UJI LINEARITAS KECERDASAN SPIRITUAL DENGAN
ALTRUISME

Berdasarkan uji linearitas diketahui nilai signifikansi pada linearity untuk


variabel kecerdasan spiritual dengan altruisme 0,000. Dari hasil tersebut dapat
disimpulkan bahwa signifikansi variabel independen (X2) dengan variabel
dependen (Y) terdapat hubungan yang linier.
c. Uji Multikolinearitas
77

Uji multikolinearitas diperlukan untuk menguji apakah model regresi


ditemukan adanya korelasi antar variabel bebas. Model regresi yang baik
seharusnya tidak terjadi korelasi diantara variabel bebasnya. Deteksi
multikolinearitas dapat dilihat dari nilai Variance Inflation Faktor (VIF) tidak
lebih dari 0,10 dan nilai tolerance tidak kurang dari 0,1. Hasil perhitungan dapat
dilihat sebagai berikut.

TABEL XIX
HASIL UJI MULTIKOLINEARITAS

Berdasarkan hasil uji multikolinearitas melalui VIF pada hasil output


SPSS tabel coefficients diperoleh pada tiap-tiap variabel bebas, yaitu kecerdasan
emosional dan kecerdasan spiritual memiliki VIF sebesar 1,203 dengan nilai
tolerance 0,831. Maka dapat dilihat bahwa masing-masing variabel bebas
memiliki nilai VIF tidak lebih dari 10 serta nilai tolerance tidak kurang dari 0,1.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa antar variabel bebas tidak terjadi
multikolinearitas.
d. Autokorelasi
Pengujian autokorelasi dalam suatu model bertujuan untuk menguji apakah
suatu model regresi linier ada korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode
t dengan kesalahan pada periode t-1. Persyarat yang akan terpenuhi adalah tidak
adanya autokorelasi dalam model regresi. Metode pengujian yang sering
digunakan adalah uji Durbin-Watson (uji DW). Penentuan letak tersebut dibantu
dengan tabel dl dan du, dibantu dengan nilai k (jumlah variabel bebas).
Selanjutnya penelitian dikatakan bebas dari autokorelasi apabila nilai DW berada
diantara nilai du dan 4-du. Pengujian autokorelasi dilakukan dengan alat bantu Uji
SPSS 25 for windows.
TABEL XX
78

HASIL UJI AUTOKORELASI

Berdasarkan hasil analisis output SPSS menunjukkan nilai DW (Durbin-


Watson) sebesar 2,039 yang kemudian nilai akan dibandingkan dengan nilai tabel
menggunakan signifikansi 5%, dimana jumlah sampel (n) sebesar 55 dan jumlah
variabel independen (k) = 2. Nilai Durbin Watson (DW) sebesar 2,039 terletak
diantara batas atas (dU) 1,641 dan nilai (4-dU) sebesar 2,539 (4-2,039). Dengan
hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa tidak dapat autokorelasi.
e. Uji Heteroskedastisitas
Heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji terjadinya perbedaan varians
residual suatu periode pengamatan dengan periode pengamatan lainnya. Model
regresi yang baik tidak mengalami heteroskedastisitas. Cara memprediksi ada
tidaknya heteroskedastisitas dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

TABEL XXI
HASIL UJI HETEROSKEDASTISITAS

Berdasarkan hasil uji heteroskedastisitas menunjukkan bahwa nilai


signifikansi variabel kecerdasan emosional (X1) sebesar 0,193 > 0,05 sehingga
data disimpulkan tidak terjadi heteroskedastisitas. Sama halnya dengan variabel
(XI) maka variabel kecerdasan spiritual (X2) sebesar 0,110 > 0,05 sehingga dapat
79

disimpulkan pula tidak terjadi heteroskedastisitas. Dari hasil analisis pada tabel
diatas bahwa model regresi bebas dari asumsi klasik heteroskedastisitas.
2. Uji Hipotesis
Setelah dilakukan uji asumsi klasik, langkah selanjutnya adalah
melakukan perhitungan untuk menguji hipotesis digunakan teknik analisis regresi
berganda.
a. Uji Signifikansi Simultan (Uji Statistik F)
Uji ini yaitu untuk mengetahui apakah variabel independen (kecerdasan
emosional dan kecerdasan spiritual) secara bersama-sama berpengaruh secara
signifikan terhadap variabel dependen (altruisme). Hasil F-test menunjukkan
bahwa pengaruh signifikansi bila p-value dari level of significant yang ditentukan
(0,05), atau F hitung lebih besar dari F tabel. Untuk lebih rinci bisa dilihat pada tabel
dibawah ini.
TABEL XXII
UJI STATISTIK F

Dari perhitungan ANOVA, didapatkan nilai F hitung sebesar 9,809 dengan


tingkat signifikansinya atau probabilitas sebesar p = 0,000 (p < 0,05) yang berarti
signifikan. Hal ini dapat disimpulkan bahwa model regresi dapat dipakai untuk
memprediksi variabel Y, yang artinya variabel independen dan variabel dependen
mempunyai signifikan.
b. Uji Korelasi (Parsial)
Hasil perhitungan analisis hipotesis kedua dan ketiga diperoleh besarnya
korelasi antar variabel yakni untuk menguji keeratannya (kekuatan) hubungan
antar dua variabel. Keeratan hubungan dinyatakan dalam bentuk koefisien
korelasi. Berdasarkan hasil analisis, uji hipotesis kedua diperoleh hasil sebagai
berikut:
1. Nilai koefisien korelasi antara variabel kecerdasan emosional dengan
altruisme sebesar r = 0,038 dengan p = 0,038 (p>0,05) yang berarti hubungan
diantara variabel tersebut mempunyai signifikansi sangat rendah. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa tingkat signifikansi antara variabel X1 dan Y
dikatakan sangat rendah. Untuk lebih rinci bisa dilihat pada tabel dibawah ini:
TABEL XXIII
UJI KORELASI PARSIAL VARIABEL X1 DAN Y
80

2. Nilai koefisien korelasi antara variabel kecerdasan spiritual dengan altruisme


menunjukkan nilai koefisien sebesar 0,000 dengan p < 0,01 yang berarti ada
hubungan yang signifikan antara kecerdasan spiritual dengan altruisme. Maka
dapat disimpulkan bahwa terdapat signifikan yang sangat kuat antara variabel
X2 dan Y. Semakin tinggi kecerdasan spiritual maka semakin tinggi pula
altruismenya. Untuk lebih rinci bisa dilihat pada tabel dibawah ini.
TABEL XXIV
UJI KORELASI PARSIAL VARIABEL X2 DAN Y

3. Sumbangan Efektif
Melalui metode Multiple Regression diperoleh koefisien determinasi yang
menunjukkan nilai R2 (R square) sebesar 0,274. Yaitu kecerdasan emosional dan
kecerdasan spiritual memberikan sumbangan sebanyak 27,4% terhadap altruisme.
Hal ini berarti masih banyak faktor lain yang mempengaruhi altruisme remaja
pada siswa.
TABEL XXV
SUMBANGAN EFEKTIF
81

4. Analisis Deskriptif
Dari skor skala kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual dan altruisme
diperoleh hasil statistik deskriptif subjek penelitian. Statistik deskriptif
menggambarkan tentang ringkasan data penelitian. Hasil statistik deskriptif dapat
dilihat pada tabel dibawah ini.
TABEL XXVI
STATISTIC DESKRIPTIF

Berdasarkan tabel statistik diatas, dapat diketahui skor rata-rata kecerdasan


emosional subjek penelitian adalah 31,15, skor rata-rata kecerdasan spiritual 38,80
dan skor rata-rata altruisme 27,85. Nilai minimum yang diperoleh dari subjek
penelitian kecerdasan emosional adalah 21, kecerdasan spiritual adalah 30, dan
untuk altruisme 21. Nilai maksimum yang diperoleh dari subjek penelitian
kecerdasan emosional adalah 77, kecerdasan spiritual adalah 48 dan untuk
altruismenya adalah 36.
Kemudian dapat dilakukan kategorisasi subjek normatif guna memberikan
interpretasi terhadap skor skala. Kategorisasi yang digunakan adalah kategorisasi
jenjang yang berdasarkan model distribusi normal. Tujuan kategorisasi adalah
untuk menempatkan subjek ke dalam kelompok-kelompok yang terpisah secara
berjenjang menurut suatu kontinum berdasarkan atribut yang diukur. Kontinum
jenjang ini dibagi menjadi tiga kategori yaitu tinggi, sedang dan rendah.
TABEL XXVII
NORMA KATEGORI SKOR SUBJEK

Keterangan :
82

X : raw score skala


μ : mean atau nilai rata-rata
σ : standar deviasi
a. Skala Kecerdasan Emosional
Skala kecerdasan emosional dikategorikan untuk mengetahui tinggi
rendahnya nilai subjek. Skor minimal yang diperoleh 10 x 1 = 10 dan skor
maksimalnya 10 x 4 = 40, maka jarak sebarannya 40 – 10 = 30 dan setiap satuan
deviasi standarnya bernilai 30 : 6 = 5 sedangkan rerata hipotetiknya adalah (10 +
40) : 2 = 25. Apabila subjek digolongkan dalam tiga kategori, maka dapat
dikategorikan serta distribusi skor subjek seperti pada tabel berikut:
TABEL XXVIII
KATEGORISASI SUBJEK BERDASARKAN SKOR SKALA
KECERDASAN EMOSIONAL

Pada kategorisasi skala kecerdasan emosional diatas, dapat dilihat bahwa


rerata empirik subjek sebesar 31,15 termasuk kategori sedang, sehingga dapat
disimpulkan secara umum bahwa subjek memiliki tingkat kecerdasan emosional
yang sedang.
b. Skala Kecerdasan Spiritual
Skala kecerdasan spiritual dikategorikan untuk mengetahui tinggi
rendahnya nilai subjek. Skor minimal yang diperoleh 12 x 1 = 12 dan skor
maksimalnya 12 x 4 = 36, maka jarak sebarannya 36 – 12 = 24 dan setiap satuan
deviasi standarnya bernilai 24 : 6 = 4 sedangkan rerata hipotetiknya adalah (12 +
36) : 2 = 24. Apabila subjek digolongkan dalam tiga kategori, maka dapat
dikategorikan serta distribusi skor subjek pada tabel berikut:

TABEL XXIX
KATEGORISASI SUBJEK BERDASARKAN SKOR SKALA
KECERDASAN SPIRITUAL
83

Pada kategorisasi skala kecerdasan spiritual diatas, dapat dilihat bahwa


rerata empirik subjek sebesar 38,80 termasuk kategori sedang, sehingga dapat
disimpulkan secara umum bahwa subjek memiliki tingkat kecerdasan emosional
yang sedang.
c. Skala Altruisme
Skala altruisme dikategorikan untuk mengetahui tinggi rendahnya nilai
subjek. Skor minimal yang diperoleh 10 x 1 = 10, skor maksimalnya 10 x 4 = 40,
maka jarak sebarannya 40 – 10 = 30 dan setiap satuan deviasi standarnya bernilai
30 : 6 = 5, sedangkan rerata hipotetiknya adalah (10 + 40) : 2 = 25. Apabila subjek
digolongkan dalam tiga kategori, maka dapat dikategorikan serta distribusi skor
subjek pada tabel berikut:

TABEL XXX
KATEGORISASI SUBJEK BERDASARKAN SKOR SKALA ALTRUISME
84

Pada kategorisasi skala altruisme diatas, dapat dilihat bahwa rerata empirik
subjek sebesar 27,85 termasuk kategori sedang, sehingga dapat disimpulkan
secara umum bahwa subjek memiliki tingkat altruisme yang sedang.
D. Pembahasan
1. Tingkat Kecerdasan Emosional Siswa Pesantren Al-Mujahidin
Samarinda Seberang
Goleman mengatakan bahwa empati yang merupakan kemampuan untuk
ikut merasakan perasaan atau pengalaman orang lain, mengenali emosi sendiri,
mengendalikan emosi pada diri sendiri, serta mampu memahami orang lain dan
menggunakannya agar tindakan lebih produktif.42
Berdasarkan penelitian terdahulu dilakukan oleh Dabora Basaria diperoleh
tingkat kecerdasan emosi pada remaja pada kategori rendah sebanyak 273
responden atau 26,9%, kategori sedang sebanyak 467 responden atau 46,1%, dan
kategori tinggi sebanyak 273 responden atau 26,9%.43 Sedangkan penelitian yang
dilakukan oleh Muhammad Hendrik Vidyanto diperoleh tingkat kecerdasan emosi
pada kategori rendah sebesar 0 responden atau 0%, kategori sedang sebesar 42
responden atau 67,75%, sedangkan kategori tinggi sebesar 16 responden atau
6,45%.44
Berdasarkan hasil analisa peneliti dapat diketahui bahwasanya tingkat
kecerdasan emosional siswa Madrasah Aliyah Pesantren Al-Mujahidin Samarinda
Seberang berbeda-beda, hasil analisa ditunjukkan dengan tingkat kecerdasan
emosional yang terbagi menjadi tiga kategori. Kategori kecerdasan emosional
yang rendah memiliki persentase sebanyak 4% atau 2 responden, kecerdasan
emosional yang sedang memiliki persentase sebanyak 92% atau 51 responden,
kecerdasan emosional yang tinggi memiliki persentase sebanyak 4% atau 2
responden. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tingkat kecerdasan emosional
siswa Madrasah Aliyah pesantren Al-Mujahidin Samarinda seberang berada pada
kategori sedang.

42
Daniel Goleman, Emotional..., h. 47
43
Dabora Basaria, “Gambaran Emosi Pada Remaja”,Jurnal Psikologi Pendidikan, Vol.
12, No. 1, 2019
44
Muhammad Hendrik Vidyanto, “Hubungan Antara Kecerdasan Emosi dengan Perilaku
Altruis Pada Remaja”, Skripsi, Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2017.
85

Goleman mengemukakan mengenai sejumlah ciri utama pikiran emosional


sebagai bukti bahwa emosi memiliki peranan penting dalam pola berpikir maupun
tingkah laku individu.45 Hal tersebut sejalan dengan canon yang mengatakan
bahwa gejala kejasmanian, termasuk tingkah laku merupakan akibat dari emosi
yang dialami oleh individu, jadi dapat dikatakan bahwa emosi dapat menimbulkan
tingkah laku.46 Menurut Brouzos dkk mengatakan bahwa perkembangan emosi
diperlukan individu dalam interaksi terhadap lingkungan sosialnya. Sejak usia
kanak-kanak kecerdasan emosi sudah diperlukan untuk mengembangkan
kemampuan dalam menyesuaikan emosinya. Pada usia remaja, kecerdasan
emosional memiliki peran penting dalam kemampuan beradaptasi secara
psikologis.47
Seorang remaja yang matang dalam emosinya, akan meledakkan emosinya
pada saat yang tepat dan waktu yang tepat pula. Apabila seorang remaja yang
memiliki emosi yang stabil, maka ia akan mampu mengadakan kompromi atau
menyesuaikan diri terhadap sesuatu yang diinginkan dengan fakta yang ada
sehingga dapat menghadapi suatu permasalahan sehingga membangkitkan
emosinya dan tidak dapat mengendalikannya, maka remaja tersebut dikatakan
belum memiliki emosi yang matang. Hal tersebut sejalan dengan apa yang
dikemukakan oleh Chaplin bahwa kematangan emosi adalah suatu keadaan atau
kondisi mencapai tingkat kedewasaan dari perkembangan emosional dan karena
itu pribadi yang bersangkutan tidak lagi menampilkan pola emosionalnya yang
pantas tidak pantas bagi anak-anak.48 Kematangan emosi adalah diman
kepribadian secara terus-menerus berusaha mencapai keadaan emosi yang sehat,
baik secara intrafisik dan intrapersonal.

2. Tingkat Kecerdasan Spiritual Siswa Pesantren Al-Mujahidin Samarinda


Seberang
Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan untuk menghadapi dan
memecahkan persoalan makna dan nilai, yaitu kecerdasan yang menempatkan
perilaku dalam hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya,
kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih
bermakna dibandingkan dengan yang lain. Kecerdasan spiritual adalah landasan
yang diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif, bahkan
kecerdasan spiritual adalah kecerdasan tertinggi manusia.
Hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Indriyani Diyai dkk,
diperoleh tingkat kecerdasan spiritual pada Mahasiswa Keperawatan Universitas
Sam Ratulangi Manado pada kategori rendah yaitu sebanyak 6 mahasiswa atau
8,7%, kategori sedang sebanyak 49 mahasiswa atau 71%, dan kategori Tinggi
sebanyak 14 mahasiswa atau 20,3%. 49 penelitian yang dilakukan oleh Kurniawati
dkk diperoleh tingkat kecerdasan spiritual pasien pro operasi ditinjau Pada
45
Daniel Goleman, Emotional..., h. 85
46
Asrori Muhammad & ali Muhammad, “Psikologi Remaja Perkembangan Peserta
Didik”, (Jakarta, PT Gelora Aksara, 2008), h 44-46
47
Dabora Basaria, “Gambaran Emosi Pada Remaja”,Jurnal Psikologi Pendidikan, Vol.
12, No. 1, 2019
48
Chaplin, “Kamus Lengkap Psikologi”, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2011), h 55.
86

kategori rendah sebanyak 7 responden atau 25%, kategori sedang sebanyak 3


responden atau 11,1%. kategori tinggi sebanyak 2 responden atau 7,4%.50
Berdasarkan hasil analisa peneliti dapat diketahui bahwasanya tingkat
kecerdasan spiritual siswa Madrasah Aliyah Pesantren Al-Mujahidin Samarinda
Seberang berbeda-beda, hasil analisa ditunjukkan dengan tingkat kecerdasan
spiritual yang terbagi menjadi tiga kategori. Kategori kecerdasan spiritual yang
rendah memiliki persentase 11% atau 6 responden, kecerdasan spiritual sedang
69% atau 38 responden, dan kecerdasan spiritual yang tinggi 20% atau 11
responden. Jadi, dapat disimpulkan bahwa tingkat kecerdasan spiritual siswa
Madrasah Aliyah pesantren Al-Mujahidin Samarinda seberang berada pada
kategori sedang.
Menurut Robert A. Emmos ada beberapa ciri orang yang memiliki
kecerdasan spiritual, salah satunya adalah memiliki kemampuan untuk berbuat
baik. Seseorang dengan spiritual yang tinggi mempu melihat ketunggalan dalam
keragaman. Ia adalah prinsip yang mendasari SQ. Reich dkk mengemukakan
bahwa spiritualitas remaja dapat dilihat dari hidup mereka lebih baik dan cara-
cara baru dalam kehidupan mereka, kesediaan mereka untuk mengambil nilai
tertinggi untuk menjadi trasendental dan bersikeras diri pada pembuatan
hubungan dengan orang lain, dengan cara beralih dari perhatian perhatian nyata. 51
Spiritualitas adalah membangun melibatkan kepentingan pribadi dan perhatian
kepada orang lain.
Menurut hasan spiritualitas, dalam pengertian yang luas, merupakan hal
yang berhubungan dengan tujuan hidup manusia, sering dibandingkan dengan
sesuatu yang bersifat duniawi dan sementara. 52 Menurut japar Individu yang
cerdas secara spiritual melihat kehidupan ini lebih agung dan sakral, menjalaninya
sebagai sebuah panggilan untuk melakukan sesuatu yang unka, menemukan
ekstase-ekstase kehidupannya dari pelayanan atau gagasan yang bukan pemuasan
diri sendiri, melainkan pada tujuan luhur dan agung, yang bahkan menjadi lebih
sebagai instrumen ketimbang tujuan akhir.53
Zohar dan Marshall juga menerangkan bahwa kecerdasan spiritual
memungkinkan manusia menjadi kreatif, kecerdasan spiritual memungkinkan kita
untuk bermain dengan batasan, memainkan “permainan tak terbatas”. Kecerdasan
spiritual memberikan kemampuan kepada kita untuk membedakan, memberikan
rasa moral, kemampuan menyesuaikan aturan yang kaku dibarengi dengan
pemahaman cinta serta kemampuan setara untuk melihat kapan cinta dan
pemahaman sampai pada batasnya. Kecerdasan spiritual digunakan untuk bergulat

49
Indriyani Diyai, “Hubungan Kecerdasan Spiritual dengan Altruistik Pada Mahasiswa
Keperawatan Universitas Sam Ratulangi Manado”, Jurnal Keperawatan 7 (1), 2019.
50
Kurniawati, Utomo Heri, “Hubungan Tingkat Kecerdasan Spiritual dengan Tingkat
Kecemasan Pasien Pre operasi”, Jurnal Edu Health, 1 (1), 2010
51
Julia Aridhona. “ Hubungan Antara Kecerdasan Spiritual dan Kematangan Emosi
dengan Penyesuaian Diri Remaja”, Jurnal Psikologi Ilmiah, 9 (3), 2017.
52
Julia Aridhona. “ Hubungan Antara Kecerdasan Spiritual dan Kematangan Emosi
dengan Penyesuaian Diri Remaja”, Jurnal Psikologi Ilmiah, 9 (3), 2017
53
M. Japar, “Religiousity, Spirituality and Adolescents Self-Adjustment.Internasional
Education Studies, 7 (10), h. 66
87

dengan ihwal baik dan jahat, serta untuk membayangkan kemungkinan yang
terwujud untuk bermimpi, bercita-cita dan mengangkat diri dari kerendahan.54
3. Tingkat Altruisme Siswa Madrasah Aliyah Pesantren Al-Mujahidin
Samarinda Seberang
Altruisme adalah tindakan sukarela yang dilakukan oleh seseorang
ataupun kelompok orang untuk menolong orang lain tanpa mengharapkan suatu
imbalan apapun. Menurut sarwono altruisme sebagai hasrat untuk menolong
orang lain tanpa memikirkan kepentingan sendiri.55
Hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Nia Yuniar dkk diperoleh
tingkat altruisme pada peserta didik SMP Negeri 2 Berbah pada kategori rendah
yaitu nol siswa atau 0%. Kategori sedang yaitu sebanyak 108 siswa atau 42,2%,
dan kategori tinggi 147 atau 57,6%.56 Sedangkan penelitian terdahulu yang
dilakukan oleh Zaujatul Amna yang diperoleh tingkat altruismenya ialah dalam
kategori rendah sebesar 114 responden, kategori sedang sebesar 0 responden atau
0%, dan pada kategori tinggi sebesar 6 responden atau 5,2%.57 Berdasarkan hasil
analisa peneliti dapat diketahui bahwasanya tingkat altruisme siswa Madrasah
Aliyah pesantren Al-Mujahidin Samarinda Seberang berbeda-beda, hasil analisa
ditunjukkan dengan tingkat altruisme rendah yaitu sebanyak 5 siswa atau 9%,
kategori sedang sebanyak 38 atau 69% responden, dan kategori tinggi sebanyak
12 siswa atau 22%. Jadi, dapat disimpulkan bahwa tingkat altruisme pada siswa
Madrasah Aliyah pesantren Al-Mujahidin Samarinda Seberang berada pada
kategori sedang.
Tinggi rendahnya tingkat altruisme pada siswa Madrasah Aliyah pesantren
Al-Mujahidin Samarinda Seberang merupakan hal yang wajar terjadi, hal itu tidak
lepas apakah individu itu berada pada lingkungan yang mengharuskan untuk
berperilaku altruistik maupun tidak, karena menurut sarwono altruisme
dipengaruhi oleh beberapa faktor, adanya (1) pengaruh situasi, yaitu kehadiran
orang lain, menolong jika orang lain menolong, desakan waktu, kemampuan yang
dimiliki, (2) pengaruh dari dalam diri sendiri, yaitu perasaan, faktor sifat, agama,
tahapan moral, orientasi seksual, dan jenis kelamin, dan (3) jenis kelamin,
kesamaan, tanggung jawab korban, dan menarik. 58 Selain itu juga suasana hati,
empati, meyakini keadilan dunia, faktor sosiobiologi, dan faktor sosial.
Sarwono mengemukakan bahwa perasaan kasihan ataupun perasaan
antipati dapat berpengaruh terhadap motivasi remaja dalam menolong.
Adakalanya remaja termotivasi untuk menolong karena adanya perasaan kasihan
pada orang tersebut. Adapun orang yang memiliki sensitifitas dan berempati
tinggi dengan sendirinya akan lebih memikirkan orang lain sehingga mereka suka

54
Danah Zohar dan Ian Marshall, Kecerdasan..., h. 13
55
Sarlito W. Sarwono, Psikologi Remaja, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2012), h.
76
56
Nia Yuniar, “Hubungan Antara Altruisme dan Kecerdasan Emosi Terhadap Interaksi
Sosial Teman Sebaya”, Jurnal Ilmu Pendidikan 3, 432-435, 2019.
57
Zaujatul Amna, Ruhul Aflah, “Stereotip Pride Kriet Terhadap Perilaku Altruisme”,
Jurnal Psikologi, 05 (02), 2020
58
Sarlito W. Sarwono, Psikologi Remaja, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2012 h.
200
88

menolong. Begitu juga dengan orang yang mempunyai pemantauan diri yang
tinggi akan cenderung menolong, karena dengan menolong ia mendapatkan
penghargaan sosial yang tinggi.59 Lebih lanjut sarlito berpendapat bahwa agama
juga mempengaruhi terbentuknya perilaku menolong (altruisme). Pada diri
individu, altruistik merupakan salah satu dari inti agama.60
4. Hubungan Antara Kecerdasan Emosional dengan Altruisme Remaja
Siswa Madrasah Aliyah Pesantren Al-Mujahidin Samarinda Seberang
Pada hipotesis ini menunjukkan bahwa nilai koefisien korelasi antara
kecerdasan emosional dengan altruisme menyatakan adanya hubungan ¿) sebesar
0,034 dan p < 0,05. Berdasarkan pedoman interpretasi koefisien korelasi menurut
sugiyono bahwa nilai koefisien korelasi 0,00 – 0,199 termasuk sangat rendah, hal
ini menunjukkan bahwa hubungan antara kecerdasan emosional dengan altruisme
memiliki hubungan yang rendah. Arah hubungan kedua variabel tersebut positif
karena nilai r positif. Jadi, hasil hipotesis yang menyatakan terdapat hubungan
positif antara kecerdasan emosional dengan altruisme dapat diterima. Hal ini
sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Chandika Wiranda Anisya Suhanda
bahwa ada hubungan antara kecerdasan emosional dengan perilaku altruisme pada
mahasiswa Keperawatan Poltekkes Kemenkes Riau. Berdasarkan nilai koefisien
korelasi r sebesar 0,806 dengan nilai p sebesar 0,000 (p , 0,05). Sehingga dapat
disimpulkan bahwa semakin tinggi kecerdasan emosional maka semakin tinggi
pula altruisme yang dimiliki seseorang. Begitupun sebaliknya jika semakin rendah
kecerdasan emosional maka semakin rendah juga altruismenya.61
Sedangkan penelitian yang dilakukan Finna Fakhriyah bahwa ada
hubungan yang sangat signifikan antara kecerdasan emosional dengan altruisme
pada siswa Sekolah Menengah Atas yang mengikuti ekstrakurikuler pramuka.
Berdasarkan nilai koefisien korelasi sebesar r = 0,673, p = 0,000 (p < 0,01), yaitu
semakin tinggi kecerdasan emosionalnya maka semakin tinggi pula altruismenya.
Begitupun sebaliknya semakin rendah kecerdasan emosionalnya maka semakin
rendah pula altruismenya62. Penelitian yang dilakukan oleh Ahmad Arif yaitu ada
hubungan yang signifikan antara kecerdasan emosi dengan intensi altruisme pada
siswa SMA N 1 Tahunan Jepara. Berdasarkan nilai koefisien diperoleh nilai r
sebesar 0,502 dengan p = 0,01 yang artinya semakin tinggi kecerdasan
emosionalnya maka semakin tinggi pula altruismenya.63
Aspek dari kecerdasan emosional membuat pengaruh terhadap altruisme.
Goleman mengatakan bahwa aspek dalam kecerdasan emosional ialah salah
satunya adalah empati yang sangat berhubungan dengan altruisme sebagai

59
Sarlito W. Sarwono, Psikologi...,h. 171
60
Sarlito W. Sarwono, Psikologi..., h. 121
61
Candika Wiranda Anisya Suhanda, “Hubungan Antara Kecerdasan Emosional dengan
Perilaku Altruisme pada Mahasiswa Keperawatan Kemenkes Riau”, Skripsi, 2021
62
Finna Fakhriyah, Prima Aulia, “Hubungan Antara Kecerdasan Emosional dengan
Altruisme Siswa SMA yang Mengikuti Kegiatan Ekstrakurikuler Pramuka”, Jurnal Riset
Psikologi,(3), 2019.
63
Ahmad Arif, “Hubungan Antara Kecerdasan Emosi dengan Intensi Altruisme pada
Siswa SMA N 1 Tahunan Jepara” Skripsi, Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2010
89

perilaku dalam tolong menolong.64 Menurut Zeidner bahwa kecerdasan emosional


merupakan salah satu faktor yang dapat mediasi terjadinya perilaku altruisme. 65
Permasalahan pribadi seseorang menempatkan fokus pada dirinya sendiri, dan
ketika kita dapat membiasakan diri terhadap orang disekitar kita maka kita dapat
merasakan seseorang ketika membutuhkan bantuan dan jika kita menghargai
mereka maka otak kita akan menghargai dengan tindakan dan perasaan. Sehingga
penelitian yang telah dilakukan mengenai hubungan antara kecerdasan emosional
dan altruisme menyatakan bahwa ada hubungan antara kecerdasan emosional
dengan altruisme yang juga mendukung dalam penelitian ini. Hasil dari penelitian
ini diketahui bahwa terdapat korelasi antara kecerdasan emosional dengan
altruisme dengan tingkat hubungan yang sangat rendah, hal tersebut dapat
diartikan bahwa kurangnya kepedulian terhadap siswa karena jika tinggi
altruismenya maka kemungkinan besar akan menunjang keberhasilan oleh siswa.
Oleh karena itu siswa Madrasah Aliyah pesantren Al-Mujahidin dapat
ditingkatkan salah satunya yaitu untuk meningkatkan kecerdasan emosionalnya
yang telah terbukti terdapat korelasi terhadap altruisme dan mungkin faktor
penunjang perilaku altruisme lainnya.
5. Hubungan Antara Kecerdasan Spiritual dengan Altruisme Remaja
Siswa Madrasah Aliyah Pesantren Al-Mujahidin Samarinda Seberang
Hasil analisis hipotesis ini menunjukkan hasil yang koefisien korelasi
antara variabel kecerdasan spiritual dengan altruisme ¿) menyatakan adanya
hubungan sebesar 0,000 dan p < 0,01. Berdasarkan pedoman interpretasi koefisien
korelasi menurut sugiyono bahwa nilai korelasi 0,80 – 0,1000 termasuk sangat
kuat. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan antara kecerdasan spiritual dengan
altruisme memiliki hubungan yang sangat kuat. Arah kedua variabel tersebut
bernilai positif. Jadi hipotesis ketiga yang menyatakan bahwa terdapat hubungan
yang positif antara kecerdasan spiritual dengan altruisme dapat diterima. Hal ini
sesuai penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Sulfi Alam bahwa ada
hubungan antara kecerdasan spiritual dengan altruisme pada mahasiswa psikologi
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim. Berdasarkan nilai koefisien dari
korelasi sebesar 0,876. Hal ini menunjukan bahwa hipotesis yang diajukan dalam
penelitian ini diterima dengan adanya hubungan yang positif antara kecerdasan
spiritual dengan altruisme. Semakin tinggi kecerdasan spiritual maka semakin
tinggi pula altruisme yang dimiliki seseorang. Sama halnya dengan semakin
rendah kecerdasan spiritual maka semakin rendah pula tingkat altruisme
seseorang.66
Penelitian yang dilakukan oleh Veronica Wulandari Hubungan antara
kecerdasan spiritual dengan altruisme pada anggota komunitas sant’ egidio
Yogyakarta. Berdasarkan nilai koefisien r = 0,324, p = 0,01 ; p < 0,05 yang
artinya bahwa ada hubungan positif antara kecerdasan spiritual dengan altruisme

64
Daniel Goleman, Emotional..., h. 140
65
Nadhim, M.S, “Hubungan Antara Kecerdasan Emosional dengan Perilaku Altruistik
pada Siswa Anggota Pramuka”, (surakarta, Universitas Muhammadiyah Surakarta)
66
Muhammad Sufi ALam, “Hubungan Antara Kecerdasan Spiritual dengan Altruisme
Pada Mahasiswa Psikologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang”, Skripsi,
2014.
90

pada anggota komunitas sant’ egidio Yogyakarta. Semakin tinggi kecerdasan


spiritualnya maka semakin tinggi pula altruismenya.67 Sedangkan penelitian yang
dilakukan Ikhwani Mufidah yaitu hubungan antara kecerdasan spiritual dengan
perilaku altruistik pada relawan komunitas joli jolan Surakarta. Berdasarkan hasil
koefisiensi menunjukkan r = 0,608 dengan taraf signifikan 0,000 (p<0,05). Hal ini
menunjukkan bahwa Ha diterima dan Ho ditolak, yang artinya terdapat hubungan
antara kecerdasan spiritual dengan perilaku altruistik pada relawan di komunitas.
Semakin tinggi kecerdasan spiritual seseorang maka semakin tinggi perilaku
altruistiknya, begitupun sebaliknya semakin rendah kecerdasan spiritualnya mkaa
semakin rendah perilaku altruistiknya.68
Seseorang yang memiliki kecerdasan spiritual akan memiliki kesadaran
yang tinggi, prinsip, visi dan nilai, serta penyesuaian diri secara aktif dan spontan.
Selain itu, individu tersebut menjadi pribadi yang lebih dewasa, mampu berpikir
dewasa, mampu berpikir dan memahami makna atau nilai dari sesuatu hal, mampu
melakukan refleksi diri, serta mampu melihat ketertarikan antar berbagai hal. Hal
ini menjadikan individu yang memiliki kecerdasan spiritual akan mampu
melakukan penilaian kognitif dan mengambil keputusan. Penilaian kognitif dan
pengambilan keputusan meliputi beberapa tahap pada situasi darurat, mengambil
situasi yang darurat sedang terjadi, merasa bertanggung jawab untuk memberikan
pertolongan dan mengetahui apa yang harus dilakukannya. Hal ini seperti yang
dikemukakan oleh Zohar Marshall yang mendefinisikan bahwa kecerdasan
spiritual sebagai kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna dan value, yaitu
makna yang menempatkan perilaku atau hidup seseorang dalam konteks makna
yang lebih luas dan kaya, yaitu kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan dan
jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain.69
Remaja yang memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi yang menjadikan
individu tersebut mampu untuk mencari makna dalam hidupnya, mampu
memberikan pertolongan kepada orang lain, lebih mudah untuk menolong teman
dan orang sekitarnya yang akan menjadi kebiasaan menolong orang yang lagi
kesusahan. Hal ini sejalan dengan pendapat Zohar dan Marshall yakni seseorang
yang memiliki kecerdasan spiritual mampu mengintegrasi kekuatan otak dan hati
manusia dalam membangun karakter dan kepribadian yang tangguh berdasarkan
nilai-nilai keagamaan.70 Kecerdasan spiritual merupakan salah satu unsur
kecenderungan dasar dari perkembangan pribadi seseorang. Kecenderungan ini
akan berproses dengan lingkungan sehingga menghasilkan adaptasi karakteristik,
seperti peran sosial, minat, sikap, keterampilan, aktivitas, kebiasaan, dan
kepercayaan, hal ini dapat diartikan bahwa siswa Madrasah Aliyah dengan
kecerdasan spiritual yang dimilikinya dapat beradaptasi dengan lingkungan
masyarakat sosial atau terhadap orang disekitarnya berupa tolong-menolong antar
sesama yang sedang membutuhkan.
67
Veronica Wulandari, “Hubungan Antara Kecerdasan Spiritual dengan Altruisme pada
Anggota Komunitas Sant’ Egidio Yogyakarta”, Skripsi, 2011.
68
Ikhwani Mufidah, “Hubungan Antara Kecerdasan Spiritual dengan Perilaku Altruistik
pada Relawan di Komunitas Joli Jolan Surakarta”, Skripsi, 2020
69
Danah Zohar dan Ian Marshall, Kecerdasan..., h. 5
70
Danah Zohar dan Ian Marshall, Kecerdasan..., h. 15
91

Hasil analisis menunjukkan bahwa kecerdasan spiritual remaja dapat


mempengaruhi altruismenya, sedangkan pengaruh kecerdasan spiritual pada
altruisme termasuk kategori sedang. Arah hubungan yang positif menunjukkan
bahwa semakin tinggi kecerdasan spiritual siswa maka semakin tinggi pula
altruismenya. Sebaliknya semakin rendah kecerdasan spiritual siswa maka
semakin rendah pula altruismenya. Hal ini sesuai dengan hasil analisis deskriptif
untuk kecerdasan spiritualnya sendiri termasuk kategori sedang dan untuk
altruismenya termasuk kategori sedang.
6. Hubungan Antara Kecerdasan Emosional dan Kecerdasan Spiritual
dengan Altruisme Remaja Siswa Madrasah Aliyah Pesantren Al-
Mujahidin Samarinda Seberang
Hasil yang diperoleh dari uji hipotesis menunjukkan bahwa terdapat
hubungan yang signifikan antara kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual dan
altruisme. Berdasarkan hasil analisis menggunakan teknik analisis regresi
berganda terhadap data kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual dengan
altruisme, diperoleh F hitung 9,809 dan p-value 0,000 < 0,05 serta R sebesar 0,523.
Hal ini berarti kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual secara bersama-
sama dapat digunakan sebagai predikator untuk memprediksi altruisme.
Berdasarkan hasil perhitungan analisis regresi tersebut maka hipotesis pertama
yang diajukan dalam penelitian ini dapat diterima yaitu terdapat hubungan antara
kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual dengan altruisme. Hasil analisis
tersebut menunjukkan bahwa kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual
dengan altruisme memiliki hubungan yang signifikan dengan altruisme.
Pada analisis tersebut juga diketahui dari hubungan antara kecerdasan
emosional dan kecerdasan spiritual dengan altruisme. Pada variabel kecerdasan
emosional signifikansi sebesar 0,034 > 0,05, maka ada hubungan antara
kecerdasan emosional dengan altruisme. Sedangkan variabel kecerdasan spiritual
signifikansi sebesar 0,000 < 0,01 yang artinya ada hubungan antara kecerdasan
spiritual dengan altruisme.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Iqbal Nur Huda diketahui
bahwa ada pengaruh signifikan antara kecerdasan emosional dan kecerdasan
spiritual dengan altruisme pada mahasiswa Psikologi UIN Malang memiliki nilai
R Square 0,720 dengan signifikan (F = 107,875, p = 0,000 < 0,05). Sehingga
hubungan kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual dengan altruisme pada
Mahasiswa Psikologi UIN Malang sebesar 72%, artinya semakin tinggi
kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual maka akan semakin tinggi
altruismenya.71 Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Linda Tri Sulawati
diketahui bahwa tingkat kecerdasan emosi dan kecerdasan spiritual berpengaruh
terhadap perilaku altruis relawan AbdA. Berdasarkan hasil analisis regresi
berganda terhadap data kecerdasan emosi dan kecerdasan spiritual terhadap
perilaku altruistik diperoleh F hitung 47,285 dan p-value 0,000 < 0,05 serta R
sebesar 0,747. Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa kecerdasan emosional

71
Iqbal Nur Huda, “Pengaruh Kecerdasan Emosional dan Kecerdasan Spiritual Terhadap
Altruistik Pada Mahasiswa Psikologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang”,
Skripsi, 2020.
92

dan kecerdasan spiritual bersama-sama memiliki pengaruh yang signifikan dengan


perilaku altruis.72
Menurut Danah Zohar terdapat hubungan yang signifikan antara
kecerdasan spiritual dengan altruisme .73 Seseorang yang memiliki kecerdasan
spiritual yang tinggi yang menjadikan individu tersebut mampu untuk mencari
makna dalam hidupnya, mempu memberikan pertolongan kepada orang lain, lebih
mudah untuk menolong orang yang lagi kesusahan. Sedangkan Myres
mengemukakan bahwa seseorang yang dapat memiliki kecenderungan altruisme
bila dirinya mampu memberikan pertolongan terhadap orang dengan memotivasi
dan rasa empati, sukarela yaitu tidak mengharapkan imbalan apapun dari orang
yang ditolong. 74
Kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual memberikan sumbangan
sebanyak 27,4% terhadap altruisme. Hal ini berarti masih terdapat 72,6% faktor
lain yang mempengaruhi altruisme pada remaja siswa selain kecerdasan
emosional dan kecerdasan spiritual. Faktor yang dapat mempengaruhi altruisme
dapat berupa faktor situasional. Faktor situasional yang mempengaruhi altruisme
meliputi hubungan interpersonal, pengalaman dan memberikan pertolongan dan
suasana hati, tanggung jawab dan norma timbal balik dan salah satu di dalamnya
adalah karakteristik kepribadian. Oleh karena itu, selain faktor kecerdasan
emosional, kecerdasan spiritual dan altruisme pada siswa remaja dapat
dipengaruhi oleh faktor situasional. Penelitian ini masih perlu adanya penelitian
lanjutan yang berusaha mencari faktor-faktor lain yang belum diketahui yang
mampu mempengaruhi altruisme.
Hasil analisis deskriptif siswa remaja untuk variabel kecerdasan emosional
termasuk kategori sedang dengan jumlah persentase 92 %. Variabel kecerdasan
spiritual termasuk kategori sedang dengan jumlah persentase 69 %. Variabel
altruisme termasuk kategori sedang dengan jumlah persentase 69 %. Secara umum
hasil penelitian ini menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara
kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual dengan altruisme remaja siswa
Madrasah Aliyah Al-Mujahidin Samarinda Seberang.

72
Linda Tri Sulawati, “Perilaku Altruis Relawan Organisasi (AbdA) Ditinjau dari Tingkat
Kecerdasan Emosi dan Tingkat Kecerdasan Spiritual”, Skripsi, 2016.
73
Danah Zohar dan Ian Marshall, Kecerdasan..., h. 6
74
David G. Myres, Psikologi..., 67
BAB V
SARAN DAN KESIMPULAN

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan yang telah diuraikan
sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa :
1. Ada hubungan positif yang signifikan antara kecerdasan emosional dengan
altruisme remaja pada siswa Madrasah Aliyah pesantren Al-Mujahidin
Samarinda Seberang. Semakin tinggi kecerdasan emosionalnya maka
semakin tinggi pula altruisme pada siswa. Maka semakin ringan kecerdasan
emosionalnya maka semakin rendah pula altruisme pada siswa. Kekuatan
hubungan antara kecerdasan emosional dengan altruisme termasuk kategori
sangat rendah.
2. Ada hubungan positif yang signifikan antara kecerdasan spiritual dengan
altruisme remaja pada siswa Madrasah Aliyah pesantren Al-Mujahidin
Samarinda Seberang. Semakin tinggi kecerdasan spiritualnya maka semakin
tinggi pula altruisme pada siswa. Begitupun sebaliknya, semakin rendah
kecerdasan spiritualnya maka semakin rendah pula altruisme pada siswa.
Kekuatan hubungan antara kecerdasan spiritual dengan altruisme termasuk
dalam kategori sedang.
3. Ada hubungan positif yang signifikan antara kecerdasan emosional dan
kecerdasan spiritual dengan altruisme remaja pada siswa Madrasah Aliyah
pesantren Al-Mujahidin Samarinda Seberang. Hal ini berarti secara simultan
105

kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual berkontribusi sebesar 27,4 %


terhadap altruisme.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan yang telah dikemukakan di atas, maka dapat
diajukan beberapa saran yaitu:
1. Bagi kepala sekolah diharapkan mampu melatih siswa untuk lebih
meningkatkan kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual dan altruismenya
dengan cara menciptakan lingkungan sekolah yang mendukung untuk
mengembangkan kemampuan dan keterampilan siswa seperti menyediakan
berbagai sarana dan prasarana yang menunjang proses perkembangan dalam
bidang akademis maupun non akademis .
2. Bagi guru BK diharapkan mampu memberikan layanan klasik pribadi
maupun sosial guna menjaga agar kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual
dan altruisme siswa Madrasah Aliyah pesantren Al-Mujahidin Samarinda
Seberang untuk lebih menjaga kestabilannya terhadap kecerdasan emosional,
kecerdasan spiritual yang akan menunjang altruisme siswa.
3. Bagi guru mata pelajaran / bidang studi pembelajaran diharapkan dapat
memantau dan juga mendorong siswa-siswinya untuk lebih mengasah
kemampuan kecerdasan emosionalnya, kecerdasan spiritualnya dan
altruismenya melalui kegiatan-kegiatan yang lebih positif bail di dalam
lingkungan sekolah maupun diluar lingkungan sekolah misalnya penugasan
dalam berkelompok.
4. Bagi siswa yang kecerdasan emosional, kecerdasan spiritualnya dan
altruismenya dalam kategori yang sedang atau tinggi diharapkan dapat
mempertahankan kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual dan
altruismenya agar dapat meningkatkan kemampuan yang ada. Salah satunya
ialah dengan cara mengikuti pelatihan-pelatihan yang bersifat akademis
maupun non akademis yang ada di sekolah seperti mengikuti ekstrakurikuler
sesuai dengan bakatnya sehingga dapat membantu mempertahankan
kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual dan altruismenya.

Anda mungkin juga menyukai