“Sombong itu lebih buruk dari syirik sebab orang yang sombong tidak bersedia mengabdi kepada Allah, sementara orang musyrik masih mau mengabdi kepada Allah meskipun ia juga mengabdi kepada selain Allah.” (Al-Mustadrak A’la Majmu Fatawa oleh Ibnu Taimiyah 1/16)
2. Al-Fudhail ditanya tentang tawadhu, ia
mengatakan, “Tawadhu ialah Anda tunduk dan patuh kepada kebenaran. Jika Anda mendengarnya dari anak kecil, Anda menerimanya. Jika Anda mendengarnya dari orang yang dianggap paling bodoh sekali pun, Anda pun akan menerimanya.” (Al-Ihya 3/342).
3. Yusuf bin Asbat berkata, “Wara yang sedikit
lebih mencukupi dari pada amal yang banyak dan tawadhu yang sedikit lebih mencukupi dari pada ijtihad yang banyak.” (Al-Ihya 3/342)
4. Yahya bin Katsir berkata, “Tawadhu itu memiliki
tiga induk; (1) Anda rela tidak duduk di tempat kursi kehormatan dalam setiap forum; (2) Anda memulai mengucapkan salam kepada setiap orang yang anda jumpai; (3) Anda tidak menyukai pujian prestise dan riya dari kebajikan yang anda perbuat.” (at-Tawadhu wal-Khumul hal 154). 5. Ali bin al-Husain berkata, “Aku heran kepada orang yang sombong dan suka membanggakan diri, padahal kemarin ia hanyalah setetes sperma dan ia esok menjadi bangkai. Aku pun benar-benar heran terhadap orang yang ragu terhadap Allah, padahal ia sedang menyaksikan ciptaan-Nya. Aku juga heran seheran-herannya kepada orang yang mengingkari penciptaan dirinya yang pertama dan aku juga heran seheran-herannya kepada orang yang bekerja untuk dunia sementara dan mengabaikan akhirat yang kekal abadi.” (Shifah Shafwah 2/95).
6. Sebagian ahli hikmah berkata, “Merupakan
musibah besar manakala manusia merasa puas dengan dirinya sendiri dan merasa cukup dengan ilmu yang di miliki, ini adalah bencana yang telah melanda kebanyakan manusia.” (Shaidul Khatir hal 354)
7. Al-Hasan berkata, “Tahukah Anda apakah
tawadhu itu? Tawahdu adalah Anda keluar dari rumah Anda, lalu setiap kali Anda bertemu dengan orang muslim, maka setiap kali itu pula Anda merasa bahwa ia lebih baik dari Anda.” (at- Tawadhu wal Khumul hal 154)
8. Abdullah bin al-Mubarak ditanya tentang ujub
(bangga diri), ia mengatakan, “Anda melihat ada sesuatu yang anda miliki dan tidak dimiliki oleh orang lain.” (Tadzkiratul Hufad I/278) 9. Abu Ali al-Jauzani berkata, “Nafsu itu dilumuri dengan kesombongan, ketamakan dan kedengkian. Orang yang dikehendaki celaka oleh Allah adalah orang yang dihalangi dari sikap tawadhu, nasihat, dan qonaah (merasa puas dengan pemberian Allah). Sedangkan orang yang di kehendaki baik oleh Allah adalah orang-orang yang di mudahkan untuk mendapatkan hal-hal tersebut. Kemudian jika bara kesombongan menggelora di dalam dirinya, maka ia akan meredamnya dengan nasihat yang merupakan pertolongan Allah. Jika bara ketamakan menggelora di dalam dirinya maka ia akan meredamnya dengan qonaah yang merupakan pertolongan Allah.” (Al-Ihya 3/343). 10. Ibnu Haj berkata, “Barang siapa menghendaki derajat yang tinggi, maka hendaklah bertawadhu kepada Allah, karena ketinggian itu tidak terjadi kecil sebatas penurunannya. Bukankah ketika air turun ke pangkal pohon maka ia akan naik ke puncaknya? Sehingga seolah-olah ada penanya yang bertanya, apa yang membuatmu bisa naik ke sini (ujung pohon) padahal kamu berada di pangkalnya? Lalu seolah-olah fakta berbicara: barang siapa merendahkan diri kepada Allah maka Allah akan meninggikan derajatnya.” (Al-Madkhal Ibnu Haj 2/120)
11. Sufyan bin Uyainah berkata, “Barang siapa
kemaksiatannya dalam urusan syahwat maka berharaplah ia bisa bertaubat, karena nabi Adam pernah berbuat maksiat karena memperturutkan keinginan (syahwat) kemudian Allah mengampuninya, tetapi jika kemaksiatannya adalah sombong maka khawatirlah bahwa ia akan dikutuk, karena iblis pernah berbuat sombong maka Allah mengutuknya.” (Mukhtashor Minhajuul-Qoshidin hal 247)
12. Muthrif bin Abdullah berkata: “Setiap ada
orang yang memujiku maka aku merasa diriku semakin kecil.” (Shifatus Shofwah 3/233)
13. Ahmad bin al-Ward berkata: “Wali Allah itu
apabila bertambah pangkatnya maka bertambah pula kerendahan hatinya, apabila bertambah hartanya maka bertambah pula dermawannya, apabila bertambah umurnya maka bertambah pula kesungguhannya.” (Shifatus-Shafwa 2/395)
14. Yahya bin Mu’adz berkata, “Kecintaan Anda
terhadap orang-orang fakir adalah bagian dari akhlak para rosul, kecenderungan Anda untuk lebih suka duduk bersama mereka adalah bagian dari tanda-tanda orang yang solih keengganan anda untuk bergaul dengan mereka adalah bagian dari tanda-tanda orang munafik.” (Al-Ihya 4/198)
15. Sebagian ahli hikmah berkata, “Barang siapa
meresapi dan menghayati kerendahan hati niscaya ia akan membenci kesombongan dan hal-hal yang memicunya.” (At-Tawaddhu wal Khumul hal 12) 16. Al-Fudhail berkata, “Orang yang terobsesi dengan kekuasaan tidak akan penah beruntung.” (Al-Ihya 3/342)
17. Abu Abdillah berkata, “Aku memohon kepada
Allah semoga Dia menjadikan kita lebih baik dari apa yang mereka kira. Dan semoga Dia berkenan mengampuni dosa-dosa kita yang tidak mereka ketahui.” (al-Wara’ oleh Ahmad bin Hanbal hal 152)
18. Muhammad bin wasi’ berkata, “Seandainya
dosa-dosa itu berbau, pasti tidak ada yang mau bergaul denganku.” (Asy-syiar 120/6, Shifatus- Shafwa 3/268) 19. Ayyub As-Sakhtiyani berkata, “Apabila nama orang-orang yang soleh di sebut maka aku tidak termasuk di antara mereka.” (Tadzkiratul Huffadz 1/131)
20. Imam Syafi’i berkata, “Orang yang paling tinggi
nilainya ialah orang yang tidak melihat nilai dirinya, dan orang yang paling banyak kelebihannya ialah orang yang tidak melihat kelebihan dirinya.” (As-Syiar 10/99)
21. Muhammad bin Husain bin Ali berkata, “Setiap
kali hati seseorang dirasuki oleh sikap sombong maka akhlaknya akan berkurang sebanyak volume kesombongan yang masuk ke dalam hatinya, sedikit atau banyak.” (Al-Ihya’ 3/358) 22. Sebagian ahli hikmah berkata, “Orang yang berakal harus senantiasa menghindari tawadhu yang tercela dalam kondisi apapun, ia harus senantiasa melaksanakan tawadhu yang terpuji dalam segala asfek, adapun tawadhu yang tercela ialah; merendahkan diri di depan orang kaya dengan harapan mendapat sesuatu darinya, dan tawadhu yang terpuji ialah; tidak berbuat semena- mena atau memandang rendah terhadap sesama hamba Allah.” (Raudhatul Uqola’ hal 59)
23. Abdullah bin Mubarok berkata, “Jika seseorang
mengetahui nilai dirinya niscaya ia akan merasa lebih hina dari pada anjing.” (Hilyatul Auliya 8/168) 24. Sufyan berkata, “Jika anda mengetahui nilai diri anda niscaya anda tidak akan terpengaruh dengan ucapan orang.” (Az-Zuhd oleh Imam Ahmad hal 507)
25. Qotadah berkata, “Barang siapa diberikan
harta benda, kecintaan, pakaian atau ilmu pengetahuan, maka dia tidak bersikap rendah hati dalam masalah hal itu maka akan menjadi bencana baginya kelak di hari kiamat.” (At-Tawadhu’wal khumul hal 119)
26. Abu Hatim berkata, “Sikap rendah hati akan
mengangkat nilai seseorang, pembesar kehormatannya dan penambah kemuliaannya.” (Raudhatul uqola’ hal 60)
27. Imam Ahmad bin Hanbal berkata,
“Sesungguhnya (tawadhu) itu adalah makanan yang paling sederhana, pakaian yang paling sederhana dan hari-hari yang paling sederhana.” (Al-Adabus Syari’ah oleh Ibnu Muflih 2/239)
28. Sebagian ahli hikmah berkata, “Ada dua
perangai yang tidak aku suka; menyalahgunakan ni’mat Allah dan berputus asa sepanjang masa, jika anda kaya janganlah menyalahgunakannya, jika anda papa, tak berpunya tegarlah sepanjang masa.” (Al-Bidayah wan-Nihayah 1/164) 29. Sebagian ahli hikmah berkata, “Orang yang sombong adalah orang yang yang terbuai dengan kenikmatan yang ada dan mengabaikan takwa, padahal semua kenikmatan itu akan berubah menjadi bencana. Tetaplah bertakwa dalam segala situasi dan kondisi, maka anda akan merasa lapang di tengah kondisi yang sempit. Anda akan merasa bugar di kala sakit. Ini adalah imbalan takwa yang anda terima secara kontan di dunia. Dan di akhirat kelak balasannya sudah kita ketahui bersama.” (Shaidul Khotir hal 181)
30. Yahya bin Ma’in berkata, “Aku tidak pernah
melihat orang seperti Ahmad bin Hanbal. Kami berteman dengannya selama lima puluh tahun dan ia sama sekali tidak pernah membanggakan keshalihan dan kebaikan dirinya kepada kami.” (Manaqib Imam Ahmad hal 3340)
31. Umar bin Khattob berkata, “Sesungguhnya jika
seseorang bertawadhu kepada Allah maka Allah akan mengangkat hikmahnya dan berkata: bangkitlah, Allah telah mengangkat derajatmu. Jika ia sombong dan melampaui kedudukannya, maka Allah akan membenamkannya ke dalam bumi dan berkata: enyahlah, Allah telah menistakanmu. Sehingga di dalam dirinya ia merasa besar tapi hina di mata manusia, bahkan lebih hina dari pada babi.” (Al-Ihya 3/341) 32. Wahab bin Munabih berkata, “Tanda orang munafik ialah suka dipuji dan tidak suka dicela.” (Az-Zuhd hal 517)
33. Urwah bin Al-Ward berkata, “Rendah hati
adalah salah satu sikap yang bisa menjaring kemuliaan bagi pemiliknya, setiap karunia yang diterima manusia pasti ada yang dengki kepadanya, kecuali bila karunia itu berupa kerendahan hati.” (al-Ihya’ 3/343)
34. Abu Hatim berkata, “Orang yang paling mulia
adalah orang yang rendah hati di kala memiliki posisi tinggi, zuhud di kala mampu dan bersikap adil di kala kuat. Seseorang tidak akan menanggalkan kerendahan hati kecuali jika ia telah dirasuki oleh kesombongan. Seseorang tidak akan merasa sombong kecuali karena bangga terhadap diri sendiri. Sedangkan bangga diri adalah salah satu faktor pemadam ketajaman akalnya, saya tidak melihat orang yang sombong terhadap orang yang lebih lemah, kecuali Allah akan menimpakan ujian kepadanya melalui orang yang lebih kuat dari padanya.” (Roudhatul Uqola’ hal 62)
35. Sebagian ahli hikmah berkata, “Apabila anda
menerima anugerah maka janganlah anda membanggakan diri terhadap orang lain, takutlah anda akan kehancuran para tiran, karena anda mirip tembikar, dalam hal bahan ciptaan. Betapa tembikar itu mudah pecah selama anda di alam dunia.” (Syadzaratudh Dhahab 6/248) 36. Sebagian ahli hikmah berkata, “Jika derajat anda ingin ditambah semakin mulia dan semakin tinggi, bersikaplah lunak dan rendah hati jangan sombong dan berbangga hati.” (At-Tawadhu’ wal- Khumul hal 120)
37. Sa’id bin Amir berkata, “Sungguh aku pernah
menghitung seratus macam kebajikan dan ternyata tidak ada satu pun yang ada pada diriku.” (As-Syiyar 6/691)
38. Imam Malik berkata, “Jika seseorang sudah
mulai memuji diri sendiri maka hilanglah keelokannya.” (As-Syiar 8/109) 39. Al-Fudhail berkata, “Jika memungkinkan sebaiknya Anda tidak menjadi pembicara, pembaca atau penceramah. Sebab jika anda tampil dengan baik maka mereka akan berkomentar ‘luar biasa ceramahnya, sungguh merdu suaranya’ lalu anda akan merasa bangga. Tapi jika anda tampil buruk maka mereka akan berkomentar ‘ceramahnya tidak menarik, suaranya tidak bagus’ lalu anda akan merasa sedih dan dada serasa sesak, sehingga anda tergolong berbuat riya, namun jika anda duduk lalu berbicara dan anda tidak menghiraukan orang yang mencela atau memuji anda, maka silakan menjadi pembicara.” (As-Syiar 8/109)
40. Abu Mushir berkata, “Sesuatu yang membuat
diri anda termasuk orang-orang yang celaka adalah karena anda termasuk orang-orang terkenal.” (At-tawadhu wal Khumul hal 13)
41. Abdullah bin Mubarok berkata, “Jadilah orang
yang suka menyembunyikan diri karena tidak menyukai popularitas. Dan janganlah menampakkan diri sebagai orang yang suka menyembunyikan diri, karena justru akan membuat anda terjebak kepada tindakan mengangkat diri sendiri.” (Shifatus shafwah 4/137)
42. Ayyub berkata, “Tidaklah orang itu jujur
kepada Allah melainkan ia pasti gembira bila dirinya tidak dipublikasikan.” (At-Tawadhu wal Khumul hal 64) 43. Muhammad bin A’laa berkata, “Orang yang mencintai Allah pasti suka bila dirinya tidak dikenal orang.” (At-Tawadhu wal Khumul hal 64)
44. Sebagian ahli hikmah berkata, “Tidak ada
kemuliaan kecuali bagi orang yang menghinakan diri di hadapan Allah. Tidak ada keluhuran kecuali bagi orang yang merendahkan diri kepada Allah, tidak ada jaminan keamanan (dari siksa neraka) kecuali bagi orang yang takut kepada Allah, dan tidak ada keuntungan kecuali bagi orang yang menjual dirinya kepada Allah.” (Al-Ihya 3/343)
45. Bisyr bin Harits berkata, “Aku tidak melihat
orang yang gila popularitas kecuali agamanya akan hilang dan kekurangannya akan diketahui banyak orang.” (At-tawadhu wal khumul haal 95)
46. Bisyr bin Harits berkata, “Orang yang gila
popularitas tidak akan merasakan manisnya akhirat.” (At-Tawadhu wal Khumul hal 95)
47. Sebagian ahli hikmah berkata, “Manusia harus
rendah hati, karena ia pasti akan mati, makanan pokok adalah cukup, sebagai bekal dalam hidup, tidak semestinya manusia merasa resah dan gelisah memikirkan dirinya yang tidak dikenal orang, tindakan Robb kita amatlah baik dan indah, rizki- Nya tak penah henti mengalir kepada kita.” (Al- Bidayah wan Nihayah 8/12) 48. Malik bin Dinar berkata, “Jika hati tidak terisi kesedihan (karena takut kepada Allah) maka ia akan rusak karena tidak dihuni, hati orang yang baik akan bergelora dengan amal kebajikan, sedangkan orang yang jahat hatinya akan bergelora dengan kejahatan maka perhatikan apa yang menjadi kegelisahan anda semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepada anda.” (Roudhatul Uqola ‘ wa Nazhatul Fudhola hal 27)
49. Al-Hasan berkata, “Seorang anak Adam bangga
dengan kemudaannya, suka dengan kelebihan yang dimilikinya. Sepertinya Anda telah terkubur di dalam tanah, oleh karenanya obatilah hati Anda karena Allah hanya butuh hamba yang memperbaiki hatinya.” (Al-Ihya 3/359) 50. Sebagian ahli hikmah berkata, “Jangan bangga dengan penampilanmu lihatlah akhir perjalananmu menjadi bangkai yang berbau. Jika manusia mau berfikir tentang isi perutnya maka tak akan ada orang yang merasa sombong di kala muda maupun tua, kepala adalah bagian tubuh yang paling mulia tapi ia selalu dikotori dengan lima macam kotoran yaitu hidung yang mengalirkan ingus, telinga yang berbau tidak sedap, mata yang bertahi dan mulut yang berliur, oleh karena itu hentikanlah kesombonganmu.” (Adabud Dunya wad din hal 233)
51. Sebagian ahli hikmah berkata, “Orang kaya
benci melihat anda memakai pakaian yang jelek maka bencilah dia bila anda terlihat oleh orang miskin dalam pakaian yang mewah.” (Al-Ihya 3/342)
52. Ka’ab bin Malik berkata, “Tidaklah Allah
memberikan karunia-Nya kepada seseorang di dunia, kemudian ia bersyukur dan merendahkan diri kepada Allah maka Allah akan menjadikan karunia itu bermanfaat di dunia dan mengangkat derajatnya di akhirat. Namun tidaklah Allah memberikan karunianya kepada seseorang di dunia kemudian ia tidak bersyukur dan tidak merendahkan diri kepada Allah maka Allah akan menjadikan karunia itu tidak bermanfaat di dunia dan menyediakan baginya satu tempat di neraka, jika Allah menghendaki Dia akan menyiksanya atau mengampuninya.” (Al-Ihya 3/343) 53. Asy-Syatibi berkata, “Sesuatu yang paling terakhir hilang dari orang-orang yang sholih adalah keinginan untuk berkuasa dan keinginan untuk tampil.” (Al-I’tisham oleh asy-Syatibi)
(Al-Ilmu)
54. Umar bin Khattab berkata, “Sesungguhnya saya
benci kepada orang yang berjalan sia-sia yaitu tidak karena urusan dunia dan tidak pula akhirat.” (Al-Adabusy Syari’at IV / 303)
55. Ibnu Mas’ud berkata, “Sungguh saya benar-
benar membenci orang yang menganggur tidak beramal untuk dunia dan tidak pula untuk akhirat.” (Bayan Fadhli ‘Ilmis salaf hal, 38)
56. Ibnul Qoyyim berkata, “Demi Allah hari demi
hari berjalan hanya untuk tidurmu bangunlah agar kalian semua mendapatkan kesuksesan.” (Al- Fawaid hal, 48)
57. Yahya bin Hubairoh berkata, “Waktu akan
semakin berharga bila engkau jaga dengan sebaik- baiknya, aku lihat waktu itu sesuatu yang sering disia-siakan.” (Aina nahnu min Akhlaqis salaf hal, 131)
58. Hasan Al-Bashri berkata, “Wahai anak
keturunan anak Adam sesungguhnya kamu terdiri dari hari-hari, jika telah berlalu satu harimu maka berlalu pula sebagian dari dirimu.” (Muhktashor Minhajul Qosidin hal, 52)
59. Abu Hamid Al-Ghozali berkata, “Hendaknya
orang yang sedang menuntut ilmu meminimalisir keterkaitan terhadap urusan dunia dan menjauhkan diri dari keluarga dan kampung halamannya, karena keterkaitan itu dapat menyibukkan dan memalingkannya.” (Al-Jami’ fi Tholabil Ilmi syarif III/51)
60. Amir Asy-Sya’bi berkata, “Kamu adalah
pemuda terbaik bila kamu selalu jujur dalam setiap tutur kata.” (As-su’ur bil ‘ur hal, 120) 61. Hasan Al-Bashri berkata, “Ikhwan itu bagi kami lebih berharga dari keluarga, keluarga hanya akan mengingatkan kita kepada dunia sedangkan ikhwan akan mengingatkan kita kepada akhirat.” (Jahiroh Dho’fil iman hal, 15)
62. Ja’far bin Muhammad berkata, “Ikhwan yang
paling berat bagiku adalah yang membebaniku dan aku merasa waspada terhadap dirinya, sedangkan ikhwan yang paling ringan di dalam hatiku adalah jika aku bersamanya sama seperti waktu aku sendirian.” (Mukhtashor Minhajul Qoidin hal, 41)
63. Ibnu Mas’ud berkata, “Tiga hal yang apabila
terdapat dalam diri seseorang maka Allah akan memenuhi hatinya dengan keimanan, berteman dengan orang faqih (Alim), membaca Al-Qur’an dan berpuasa.” (Al-Adabis syari’ah III / 358)
64. Abu Abdillah Al-Khurosani berkata, “Siapa
yang meremehkan ulama, maka akan hilanglah akhiratnya. Siapa yang meremehkan saudara seiman maka akan sedikitlah orang yang menolongnya. Siapa yang meremehkan penguasa maka akan hilanglah dunianya.” (Al-Adabus syari’ah III/539)
65. Umar bin Khattab berkata, “Janganlah
berteman dengan pelaku dosa hingga engkau akan terbawa menjadi pelaku dosa.” (Syarhus Sunnnah oleh Al-Baghowi XII/191) 66. Hatim Al-Asam berkata, “Tergesa-gesa itu dari setan kecuali pada lima hal: (1) Menjamu tamu apabila ia telah datang; (2) Mengurus jenazah apabila telah meninggal; (3) Menikahkan seorang gadis apabila telah berumur; (4) Membayar hutang apabila telah menjadi kewajibannya; (5) Bertaubat dari dosa apabila telah berbuat dosa.” (Bariqoh Mahmudiyyah IV/136)
67. Abdur Rahman berkata, “Seseorang tidak akan
menjadi iman yang diikuti sampai ia mampu menahan diri dari sebagian berita yang ia dengar.” (Manhaj Ahlus – sunnah wal jama’ah fi naqdi wal hukmi ‘alal akhorin, Hisaym bin Ismail hal,22) 68. Syaikhul islam Ibnu Taymiyah berkata, “Pelajaran itu dengan kesempurnaan akhirnya bukan kekurangan awal.” (Minhajus sunnah VIII/412)
69. Ibnu Rojab al-Hanbali berkata, “Orang yang
obyektif dalam menilai orang lain adalah orang yang bisa memaafkan sedikit kesalahan yang diperbuat seseorang dalam kebenarannya yang banyak.” (Al-Qowaidul Fiqhiyyah Ibnu Rojab I/2)
70. Ibnu Daqiqil ‘Ied berkata, “Kehormatan
manusia adalah salah satu lubang neraka yang menjadi kubangan bagi orang yang menodainya dan para hakim.” (Manhaju Ahlis sunnah wal Jama’ah fin naqdi alal akhorin oleh Hisyam bin Ismail ash-Shini hal, 20)
71. Ibrohim An-Nakho’i berkata, “Banyak menoleh
bukanlah termasuk dari harga diri, harga diri adalah menjaga kehormatanmu, menghormati temanmu dan tidur di rumahmu.” (Al-Adabus Syari’ah II/335)
72. Hasan Al-Bashri berkata, “Sesungguhnya tanda
kemunafikan adalah bedanya lisan seseorang dengan hatinnya.” (Ihya’ Ulumuddin I/133)
73. Al-Auza’I berkata, “Orang beriman itu sedikit
bicara dan banyak beramal sedangkan orang munafik itu banyak bicara sedikit amal.” (Tanbihul Ghofilin hal, 102)
74. Umar bin Khattab berkata, “Barangsiapa yang
banyak omongnya banyak pula keburukannya, barangsiapa yang banyak keburukannya maka ia banyak dosanya, dan barangsiapa yang banyak dosanya maka neraka lebih layak baginya.” (Jami’ul ulum wa Hikam I /135)
75. Imam Hasan Al-Bashri berkata, “Kafaroh
ghibah adalah memintakan ampunan untuk orang yang engkau bicarakan.” (Majmu’ul fatawa oeh Ibnu taymiyah III/182) 76. Ibnu Aun berkata, “Membicarakan aib manusia adalah penyakit dan mengingat Allah adalah obatnya.” (Manhaj Ahlus sunnah wal jama’ah fin naqdi wal hukmi ‘alal akhorin oleh Hisyam bin Ismail as-shayan hal 73)
77. Fudhail bin ‘Iyyad berkata, “Barangsiapa yang
suka untuk disebut-sebut namanya maka ia tidak akan terkenal. Dan barangsiapa yang tidak suka untuk disebut-sebut namanya maka ia akan terkena.” (Siyar ‘alaminn nubala’ hal, 432)
78. ‘Aun bin Abdullah berkata, “Cukuplah
kesombongan itu menghilangkan kelebihan di hadapan orang-orang di bawahmu.” (Shofatus Shofwah III/201) 79. Imam Mujahid berkata, “Tiada mendapatkan ilmu orang yang berlaku sewenang-wenang orang yang sombong dan pemalu.” (Al-faqih wal mutafaqqih II/300)
80. Wahb bin Munabbih berkata, “Peganglah salah
satu pesan dariku: (1) Jauhilah olehmu dari mengikuti hawa nafsu. (2) Teman yang buruk. (3) Dan bangga seseorang terhadap dirinya.” (Siyar ‘alamin Nubala’ IV/541)
81. Qotadah dan Al-Hasan berkata, “Dholim itu
ada tiga; dholim yang tidak diampuni, dholim yang tidak ditinggalkan dan dholim yang diampuni. Adapun dholim yang tidak diampuni adalah menyekutukan Allah, sedangkan dholim yang tidak ditinggalkan adalah kedholiman manusia antara yang satu dengan yang lainnya, adapun yang diampuni adalah kedholiman seseorang hamba terhadap dirinnya sendiri untuk mendekatkan diri kepada Allah.” (Al-Mushonnaf oleh Abdur rozzaq hal, 20276)
82. Ibnul Qoyyim berkata, “Akar semua kesalahan
itu ada tiga hal: (1) Takabbur yang telah menjerumuskan iblis kepada kedudukan yang hina. (2) Tamak yang mengeluarkan Adam dari surga. (3) Dan hasad yang telah menyebabkan salah seorang anak Adam membunuh saudaranya.” (Al-Fawaid hal, 64) 83. Imam As-Syafi’i berkata, “Kalau engkau mengkhawatirkan sikap ujub atas amalmu maka ingat ridho siapa yang menjadi tujuanmu dalam kenikmatan mana engkau berharap dan dari siksa mana yang engkau hindarkan. Barangsiapa yang mengingat hal itu maka amal-amalnya akan nampak kecil baginya.” (Siyar ‘Alamin Nubala’ X/42)
84. Masruq berkata, “Cukuplah dikatakan
seseorang itu pandai jika dia merasa takut kepada Allah dan cukuplah seseorang itu dikatakan bodoh jika ia merasa sombong dengan dirinya sendiri.” (Tanbihul Ghofilin hal 229) 85. Ja’far bin Muhammad berkata, “Jauhilah oleh kalian berdebat, perdalam dalam urusan agama, karena ia menyibukkan hati dan menimbulkan kemunafikan.” (Siyar ‘Alaminnubala VI/264)
86. Imam Syafi’I berkata, “Berdebat dalam masalah
agama dapat mengeraskan hati dan menimbulkan kedengkian.” (Siyar ‘alamin nubala’ X/28)
87. Al-Barbahari berkata, “Majelis yang diadakan
untuk menyebarkan nasihat akan membuka pintu faedah, sementara majelis yang diadakan untuk berdebat akan menutup pintu faedah.” (Siyar ‘alamin nubala XV/19) 88. Hakim al-Ashom berkata, “Aku senang bila orang yang mendebatku ternyata dia benar, sebaliknya aku bersedih kalau orang yang mendebatku ternyata ia keliru.” (Siyar ‘Alaminnubala’ X/33)
89. Imam Syafi’i berkata, “Sifat orang yang
membangkang dan menentang ketika aku melakukan kebenaran maka hilanglah kepercayaanku kepadanya dan setiap kebenaran itu pasti aku segani dan benar-benar aku mencintainya.” (Siyar Alamun nubala’ X/33)
90. Imam Ahmad berkata, “Manusia sangat
membutuhkan ilmu melebihi kebutuhannya terhadap roti dan air, maka ilmu dibutuhkan oleh manusia dalam setiap saat sedangkan roti dan air dibutuhkan oleh manusia sekali atau dua kali dalam sehari.” (Al-Adabus Syari’ah II/111)
91. Ibnu Abbas berkata, “Ulama terus menerus
meninggal dan jejak-jejak kebenaran terus menghilang hingga banyaklah orang-orang bodoh, para ulama telah hilang sekarang merekapun beramal dengan kebodohan, beragama dengan tidak benar dan sesat dari jalan yang lurus.” (Khulukul muslim)
92. Maimun bin Mahron berkata, “Sesungguhnya
perumpamaan orang yang berilmu itu seperti perumpamaan mata air tawar di sebuah negeri.” (Jami’ul bayanil ilmi wa fadhlihi oleh ibnu abdil bar hal 93)
93. Ibnu Abbas berkata, “Para ulama lebih tinggi
dari kaum mukminin dengan tujuh ratus derajat jarak antara dua derajatnya seperti perjalanan lima ratus tahun.” (Minhajul Qoshidin hal 10)
94. Abu Hazim (Salamah bin Dinar) berkata,
“Sesungguhnya sebaik-baik pemimpin adalah yang mencintai para ulama’ dan sejelek-jelek ulama adalah yang mencintai pemimpin.” (Siyar ‘alamin Nubala’ VI/328)
95. Abu Hibban At-Taimni berkata, “Ulama itu ada
tiga macam: (1) ulama yang mengetahui Allah tetapi tidak mengetahui perintah Allah, (2) ulama yang mengetahui perintah Allah tetapi tidak mengetahui Allah, (3) ulama yang mengetahui Allah dan mengetahui perintah Allah. Ulama yang mengetahui Allah maksudnya adalah takut kepadanya sedangkan ulama yang mengetahui perintah Allah adalah yang mengetahui halal dan haram.” (Majmu’ fatawa oleh Ibnu Taimiyah II/207)
96. Abu Hurairoh berkata, “Tidak ada sesuatu yang
lebih berbahaya bagi ummat ini selain tiga hal: (1) Cinta kepada dunia dan dirham; (2) Cinta kedudukan; (3) Dan mendatangi pintu-pintu penguasa.” (Tanbihul Ghofilin hal 245) 97. Sufyan bin Uyainah berkata, “Orang yang menyimpang dari kalangan ulama bagaikan orang Yahudi sedangkan yang menyimpang dari kalangan ahli ibadah bagaikan orang Nashrani.” (Al-Fatawa al-Kubro II/142)
98. Muhammad bin Ka’ab al-Kurtubi berkata,
“Apabila Allah menghendaki seseorang hamba menjadi baik maka terdapat pada dirinya tiga sifat; (1) Faqih terhadap urusan dinnya; (2) zuhud terhadap dunia, (3) selalu melihat aib-aib dirinya.” (Shifatus shofwah II/132)
99. Hasan Al-Bashri berkata, “Andaikan tidak ada
ulama tentu manusia tidak beda dengan binatang.” (Minhajul qoshidin hal 15) 100. Mu’adz bin Jabal berkata, “Pelajarilah ilmu, karena mempelajari ilmu Allah itu mencerminkan ketakutan. Meraihnya merupakan ibadah, saling mengkajinya dengan orang lain merupakan tasbih. Mencarinnya merupakan jihad, mengajarkannya kepada orang lain yang tidak tahu merupakan sedekah. Dan mencurahkannya untuk anggota keluarga merupakan taqorrub. Ilmu adalah pendamping saat sendirian dan teman karib saat sepi.” (Minhajul qoshidin hal 15)
101. Ibnu Mas’ud berkata, “Kalian (para sahabat)
berada pada masa di mana beramal lebih baik dari pada berilmu. Akan datang suatu zaman di mana berilmu lebih baik dari pada beramal.” (Tanbihul Ghofilin hal 199)
102. Amru bin ‘Ash berkata, “Orang yang berakal
bukanlah orang yang sekedar mengetahui yang baik dari yang buruk tetapi yang berakal adalah orang yang mengetahui mana yang terbaik dari dua kebaikan.” (Siyar ‘Alamin nubala’ III/74)
103. Ibnu Mas’ud berkata, “Hendaklah kalian
berilmu sebelum ilmu dilenyapkan, lenyapnya ilmu dengan wafatnya orang yang mengajarkannya. Seseorang tidak mungkin dilahirkan dalam keadaan pandai, maka ilmu didapati dengan belajar.” (Tahdzib mau’idhotil mukminin hal 16) 104. Abdullah bin Mas’ud berkata, “Meninggalkan seorang ulama merupakan sebuah celah dalam Islam, dan tidak ada sesuatu yang bisa menambalnya selama malam dan siang tidak bisa bersatu.” (Syarhus sunnah I/244)
105. Muhammad bin Nadhor al-Haritsi berkata,
“Awal sebuah ilmu adalah (1) Diam. (2) Mendengarkan. (3) Mengamalkan. (4) Menghafalkan. (5) Menyebarkan.” (Makarimul akhlak wa ma ‘alihah oleh Al-Khuroiti II/12)
106. Yazid bin Mu’awiyyah berkata, “Tiga hal yang
apabila ada pada diri seseorang mengindikasikan kelemahan: (1) cepat memberi jawaban, (2) panjang angan-angan, (3) tenggelam dalam canda dan tawa.” (Al-Adabus Syari’ah I/180)
107. Abu Darda’ berkata, “Sesungguhnya sejelek-
jelek kedudukan manusia pada hari kiamat di sisi Allah adalah orang yang berilmu namun tidak mengamalkan ilmunya.” (Hayatus shohabah III/244)
108. Wahb bin Munabbih berkata, “Permisalan
seorang yang belajar tetapi ia tidak mengamalkan ilmunya seperti seorang dokter yang memiliki obat namun tidak berobat dengannya.” (Al-Bidayah wan Nihayah IX/225) 109. Ibnul Jauzi berkata, “Sifat ulama akhirat adalah jauh dari penguasa dan tidak suka berkumpul dengan mereka.” (Al-Adabus Syari’ah IV/174)
110. Abu Darda’ berkata, “Perumpaan ulama’ di
tengah-tengah manusia seperti bintang di langit yang menjadi petunjuk (bagi mereka).” (Siyar ‘alamin nubala’ oleh Adz-Dzahabi)111. Khatib Al- Baghdadi berkata, “Manusia yang paling dekat derajatnya dengan kenabian adalah ahlul ilmi dan ahlul jihad. Ahlul ilmi adalah orang-orang yang menunjuki manusia sesuai dengan apa yang datang dari para rasul, sedangkan ahlul jihad adalah orang-orang yang berjihad sesuai dengan apa yang datang dari para rasul.” (Al-Faqih wal Mutafaqqih I/35) 112. Imam Al-Auza’i berkata, “Ilmu itu adalah apa yang datang dari sahabat Muhammad sedangkan apa yang datang dari selain itu maka bukanlah termasuk ilmu.” (Fadhlu ilmis salaf ‘ala ilmil kholaf oleh Ibnu Rojab hal, 45)
113. Umar bin Abdul ‘Aziz berkata, “Jika engkau
mampu maka jadilah seorang ulama’, jika engkau tidak mampu maka jadilah seorang penuntut ilmu, jika engkau tidak mampu, maka cintailah mereka, jika engkau tidak mampu maka janganlah engkau membenci mereka.” (Jamiul’ bayanil ilmi wa fadhlihi hal, 143) 114. Yahya bin Abi Katsur berkata, “Ilmu tidak akan di dapat dengan bersantai-santai.” (Tadribur rawi II/141)
115. Imam Adz-Dzahabi berkata, “Amanah adalah
bagian dari agama. Hafalan yang kuat masuk dalam kategori cerdas maka yang dibutuhkan oleh seorang hafidz adalah hendaknya ia seorang yang bertaqwa, cerdas, ahli nahwu, ahli bahasa, bersih, pemalu, bermanhaj salaf, mampu menulis dengan tangannya 200 kitab, mampu mengambil intisari dari kitab-kitab yang ada sebanyak 500 jilid, tidak bosan dalam mencari ilmu sampai mati, dengan niat ikhlas dan tawadhu’, bila tidak demikian maka ia tidak akan mendapatkan ilmu.” (Siyar alamun nubala’ XIII/380) 116. Umar Bin Khottob berkata, “Bersikap tawadhulah terhadap guru kalian sebagaimana juga bertawadu’ terhadap murid kalian dan janganlah menjadi ulama’ yang angkuh.” (Al- Adabus syari’ah I/243)
117. Sa’id bin Abdul ‘Aziz berkata, “Tidak ada
kebaikan dalam kehidupan ini kecuali untuk dua orang, orang yang diam tetapi waspada dan orang yang berbicara dengan bijaksana.” (Siyar ‘Alamin nubala’ VIII/36)
118. Abu Yusuf berkata, “Mengetahui ilmu kalam
adalah kebodohan, dan tidak mengenal ilmu kalam adalah ilmu, apabila seseorang sudah menjadi gembong ilmu kalam ia dikenal sebagai orang yang zindik. (munafik).” (Tahdzibus syarhil aqidah Thohawiyyah hal, 396)
119. Iman Ahmad bin Hanbal berkata, “Tidak akan
beruntung selama-lamanya orang yang menekuni ilmu kalam dan para tokoh ilmu kalam sama dengan zindiq (munafik).” (Talbis Iblis hal 96)
120. Imam Syafi’I berkata, “Pendapatku, ahli kalam
itu hendaknya dipukul dengan pelepah kurmah dan sandal, lalu diarak keliling kampung dan suku-suku, lalu diteriaki; ‘Inilah balasan bagi orang yang meninggalkan Al-Qur’an dan As- Sunnah lalu berpaling kepada ilmu kalam’.” (Tahdzibus syahril aqidatit thohawiyyah hal 397) 121. Imam Syafi’i berkata, “Setiap ilmu selain al- Qur’an hanya menyibukkan, kecuali ilmu hadits dan mendalami ilmu agama. Ilmu itu adalah yang terdapat di dalamnya; haddatsana (telah menceritakan hadits kepada kami) selain dari itu hanya bisikan setan belaka).” (Tahdzib syarhil aqidatit thohawiyyah hal, 397)
122. Fudhail bin ‘Iyyadh berkata, “Lima tanda
menyebabkan kebinasaan; (1) Kerasnya hati. (2) Jalangnya pandangan. (3) Sedikitnya perasaan malu. (4) Ambisi terhadap dunia. (5) Dan panjang angan-angan.” (Tahdzib Madarijis Salikin II/261) 123. Ibnu Taimiyyah berkata, “Berhati-hatilah kalian dari dua golongan manusia; (1) Orang yang menuruti hawa nafsunya yang tertipu olehnya. (2) Dan ahlu dunia yang telah ditenggelamkan oleh dunianya.” (Iqtidhous Shirotul Mustaqim hal 5)
124. Wahb bin Munabbih berkata, “Isa putra
Maryam pernah berkata kepada pengikut setianya; ‘orang yang paling gelisah dengan musibah di antara kalian adalah yang paling cinta terhadap dunia’.” (Siyar alamin nubala’ IV/551)
125. Ibnu Mas’ud berkata, “Barangsiapa yang
menginginkan akhirat maka ia akan mengorbankan dunianya. Barangsiapa yang menginginkan dunia maka ia akan mengorbankan akhiratnya. Wahai kaumku, korbankanlah yang fana untuk akhirat nan abadi.” (Siyar alamin nubala’ I/496)
126. Umar bin Khottob berkata, “Bimbinglah para
wanita dalam berpakaian sesungguhnya salah seorang dari mereka apabila telah memiliki banyak pakaian dan perhiasan yang bagus maka akan membuat ia senang keluar rumah.” (Fathul qodir IV/347)
127. Sa’id bin Musayyab berkata, “Setiap kali setan
putus asa menghadapi manusia, ia pasti menggunakan godaan wanita. Dan tidak ada sesuatu yang lebih aku khawatirkan dari pada wanita.” (Shifatus shofwa II/80) 128. Mukhollad berkata, “Tidaklah Allah memerintahkan sesuatu kepada hamba-Nya, melainkan iblis menghambatnya dengan dua cara, dan dia tak peduli dengan yang mana dia akan berhasil mempengaruhinya, dengan sikap berlebihan atau dengan sifat meremehkan.” (Talbis iblis hal 42)
129. Hasan Shalih berkata, “Aku pernah
mendengar setan berkata kepada wanita; ‘Engkau adalah separuh pasukanku, engkau adalah anak panah yang aku luncurkan dan aku aku tak salah sasaran, engkau adalah penyimpanan rahasiaku, dan engkau adalah utusanku dalam urusanku.” (Talbis iblis hal 41) 130. Al-Hasan berkata, “Janganlah kalian duduk bersama ahli bid’ah, karena duduk dengan mereka bisa menumbuhkan penyakit dalam hati.” (Al- ‘Ithishom I/90)
131. Al-Hasan berkata, “Janganlah kalian duduk
dengan para pengikut hawa nafsu, jangan berdebat dengan mereka, dan jangan pula mendengarkan perkataan mereka.” (Al-lalika’I I/133, no 240)
132. Abdullah bin Ad-Dailami berkata,
“Sesungguhnya sebab pertama hilangnya agama ini adalah meninggalkan sunnah. Agama ini akan hilang dengan hilangnya sunnah demi sunnah sebagaimana lepasnya tali seutas demi seutas.” (Al- lalika’I I/93 no 127)
133. Ibnu Abbas berkata, “Tidak akan datang
kepada manusia suatu masa, kecuali manusia di dalamnya melakukan bid’ah dan mematikan sunnah, hingga bid’ah tersebar luas dan sunnah pun punah.” (Al-‘Ithishom I/46)
134. Imam Al-Baghowi berkata, “Tidak boleh
menyembunyikan nasihat bagi kaum muslimin baik yang baik maupun yang jahat dalam masalah agama, siapa yang menyembunyikannya berarti dia telah menipu kaum muslimin. Siapa yang telah menipu agama berarti dia telah berkhianat kepada Allah, rasul-Nya dan kaum muslimin.” (Syarhus Sunnah hal 79)
135. Ibnu Rojab berkata, “Perkataan para salaf itu
sedikit tetapi banyak faedah, sedangkan perkataan para kholaf itu banyak tetapi sedikit faedahnya.” (Syarhu ‘Aqidah Thohawiyyah oleh Sholikh alu sayik hal 124)
136. Hasan Al-Bashri berkata, “Orang-orang yang
sedang berdebat mereka itulah orang-orang yang telah bosan beribadah, orang-orang yang telah lemah akal dan sedikit sifat wara’nya.” (Kitab Az- Zuhd hal 272) 137. Ibnu Mas’ud berkata, “Sungguh celaka siapa yang tidak memiliki hati yang bisa digunakan untuk mengenal yang ma’ruf dan mencegah yang munkar.” (Ighotsatul Lahfan I/21)
138. Sebagian ahli hikmah berkata,
“Sesungguhnya di antara kelalaianmu adalah ketika kamu berpaling dari Allah, yaitu ketika engkau melihat sesuatu yang dapat membuatnya murka, namun engkau membiarkannya, tidak memerintahkan yang ma’ruf dan mencegah yang munkar karena takut kepada sesuatu yang tidak mampu mendatangkan bahaya dan manfaat.” (Aina nahnu min akhlakis salaf hal 67) 139. Ibnu Qoyyim berkata, “Barangsiapa meninggalkan amr ma’ruf dan nahi munkar karena takut kepada makhluk maka akan dicabut darinya rasa ketaatan.” (Al-jawabul kafi hal 129)
140. Ka’’ab berkata, “Barangsiapa banyak berdzikir
maka akan terlepas dari kemunafikan.” (al- Wabilus shayyib oleh Ibnul Qoyyim hal 109)
141. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata,
“Dzikir itu bagi hati bagaikan air bagi ikan, maka bagaimana jadinya bila ikan apabila terpisah dengan airnya.” (Al-Wabilus shayyib oleh Ibnul Qoyyim hal 110) 142. Luqman berkata, “Sesungguhnya perumpamaan ahli dzikir dan orang yang lalai adalah seperti cahaya dan kegelapan.” (Bidayah wan nihayah IX/226)
143. Muthorrif bin Abdullah berkata,
“Bersungguh-sungguhlah kalian dalam beramal. Jika yang terjadi sesuai dengan yang kita harapkan, itu karena rahmat dan ampunan Allah. Kita memiliki beberapa derajat di surga jika sesuatu yang terjadi adalah perkara yang berat seperti sesuatu yang kita takutkan dan khawatirkan. Kita tidak boleh berkata, ‘Ya Roob keluarkanlah kami niscaya kami akan mengerjakan amal shalih berlainan dengan yang telah kami kerjakan’. (QS Fathir 37) Namun kita katakana, ‘Sungguh kami telah beramal namun semua amal kami tidak berguna bagi kami’.” (Jami’ul ulm wal hikam hal 312)
144. Bakr Al-Mazni berkata, “Jika Engkau ingin
sholatmu bermanfaat bagi dirimu maka berkatalah, ‘Barangkali aku tidak bisa sholat lagi setelah ini’.” (jami’ul ulm wal hikam hal, 521)
145. Ibnu Mas’ud berkata, “Sungguh celaka yang
tidak memiliki hati yang bisa digunakan untuk mengenal yang ma’ruf dan mencegah yang munkar.” (Ighotsatul lahfan I/21)
146. Abu Abdur rahman berkata, “Sesungguhnya
di antara kelalaianmu adalah untuk kamu berpaling dari Allah, yaitu ketika engkau melihat sesuatu yang dapat membuatnya murka, namun engkau membiarkannya, tidak memerintahkan yang ma’ruf dan mencegah yang munkar karena takut kepada sesuatu yang tidak mampu mendatangkan bahaya dan manfaat.” (Aina nahnu min akhlakis salaf hal 67)
147. Ibnu Qoyyim berkata: “Barangsiapa
meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar karena takut kepada makhluk maka akan dicabut darinya rasa ketaatan.” (al-Jawabul kafi 19)
148. Abu Ali Ad-Diqaq berkata, “Orang yang diam
dari kebenaran, maka dialah setan yang bisu. Sedangkan orang yang berbicara dengan kebatilanmu dialah setan yang berbicara.” (Sittu Dzoror min ushuli akhi atsar hal 109)
149. Ka’ab berkata, “Barangsiapa yang banyak
berzikir kepada Allah maka akan terlepas dari kemunafikan.” (al-Wabilus Sayyib oleh Ibnu Qoyyim hal 109).
150. Syaikhhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata,
“Dzikir itu bagi hati bagaikan air bagi ikan maka bagaimana jadinya bila ikan terpisah dengan air.” (al-wabilus-shayih oleh Ibnu Qoyyim hal 110)
151. Luqman berkata, “Sesungguhnya
perumpamaan ahlu dzikir dan orang yang lalai adalah seperti cahaya dan kegelapan.” (Bidayah wa an-Nihayah oleh Ibnu Katsir IX /226).
152. Ibn ‘Aun berkata, “Mengingat manusia adalah
penyakit sedangkan mengingat Allah adalah obat.” (Manhaj Ahli Sunnah wal Jama’ah fin naqd wal hukum ‘ala akharim oleh Hisyam bin Ismail as- Shayani hal 73)
153. Sebagian ahli hikmah berkata, “Kalau
seandainya saya mengetahui bahwa saya terlepas dari kemunafikan, maka sungguh hal itu lebih saya cintai dari pada melihat terbitnya matahari.” (az- Zawajir Iqtirofil Kabair I/51) 154. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Karamah terbesar Allah konsisten dan istiqomah.” (Madarijus solihin II/176)
155. Abu Bakar As-Shidiq berkata ketika ditanya
tentang istiqomah, “Janganlah engkau menyekutukan Allah dengan sesuatu pun (yakni keistiqomahan dalam memurnikan tauhid).” (Bagyatul Qashidin 103)
156. Umar bin Khotob berkata, “Istiqomah ialah
anda konsisten dalam menjalankan perintah dan meninggalkan larangan serta jangan menyimpang seperti menyimpangnya kancil dan pelanduk.” (Baghyatul Qosidin, hlm. 103) 157. Utsman bin Affan berkata, “Istiqomalah yakni ikhlaskanlah setiap amalan hanya untuk Allah semata.” (Bagyatul qosidin 103)
158. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata,
“Mereka istiqomah dalam hal mencintai dan beribadah kepada-Nya. Dan mereka tidak berpaling dari-Nya baik dalam keadaan senang maupun susah.” (Madarijus sholihin II/104)
159. Umar bin Khotob berkata, “Amalan yang
paling utama adalah melaksanakan kewajiban dari Allah, menjauhkan diri dari apa yang di haramkan-Nya dan meluruskan niat untuk mendapatkan pahala di sisi-Nya.” (at-Tazkiyah Baina Ahli Sunnah ma Shufiyyah, hlm. 17) 160. Ibnu Mubarok berkata, “Banyak amalan kecil menjadi besar pahalanya karena niat dan banyak pula amalan besar menjadi kecil karena niat.” (Jami’ul ulum wal hikam, hlm. 20)
161. Ibnu Qoyyim berkata, “Amal yang dilakukan
tanpa keikhlasan dan keteladanan (dari sunah) bagaikan seorang musafir yang memenuhi kantongnya dengan pasir sehingga memberatkan tidak memberikan manfaat apa-apa baginya.” (al- Fawaid, hlm. 55)
162. Rabi’ bin Uhutaim berkata, “Segala sesuatu
yang dilakukan tidak untuk mencari ridho Allah pasti akan sia-sia.” (Shifatus shafwah III/61) 163. Umar bin Abdul ‘Aziz berkata, “Merenungkan nikmat-nikmat Allah adalah ibadah yang paling utama.” (Qaidah fil Mahabbah oleh Ibnu Taymiyah, hlm. 18)
164. Badil bin Maisarah berkata, “Barangsiapa
yang mengetahui Rabbnya maka ia akan mencintainya. Barangsiapa yang tahu tentang dunia ia akan berlaku zuhud.” (Qaidah fil Mahabbah oleh Ibnu Taimiyyah, hlm. 17)
165. Sebagian ahli hikmah berkata, “Pagi ini kami
diberi nikmat oleh Allah yang tidak terhingga padahal kami banyak berbuat maksiat kepada- Nya, kami tidak tahu terhadap nikmat yang mana kami bersyukur, terhadap kebaikan yang dimudahkan atau terhadap kejelekan (dosa-dosa) yang ditutupi.” (al-Adab ad-Dunya wad din, hlm. 110)
166. Fudhail bin ‘Iyad berkata, “Hendaknya kalian
selalu bersyukur atas segala nikmat.” (Ikhya ulumiddin IV/ 127)
167. Abul’Athiyyah berkata, “Janganlah engkau
merasa aman dari kematian walau sekejap atau sehembusan nafaspun, walau engkau halangi kedatangannya dengan pengawal dan penjaga. Sungguh ia pasti datang kepada siapa saja yang berbaju besi pun yang berperisai. Engkau berharap selamat tanpa menempuh jalannya, padahal tiada sampan yang berlayar di daratan.” (Adabud dunya waddin, hlm. 146)
168. Abul Qasim berkata, “Siapa yang takut
terhadap sesuatu ia akan lari darinya. Tetapi, siapa yang takut kepada Allah ia justru lari untuk mendekati-Nya.” (Ihya Ulmuddin IV /15)
169. Abdullah bin Amr bin Ash berkata,
“Menangislah! Jika tidak bisa usahakan untuk menangis. Demi Allah, jika salah seorang dari kalian benar-benar mengerti, pastilah ia akan berteriak sekeras-kerasnya hingga hilang suaranya dan akan shalat sampai patah tulangnya.” (Ihya’ Ulumuddin IV /163) 170. Abu Musa berkata, “Wahai manusia, menangislah! Jika tidak bisa, maka berusahalah untuk menangis. Sungguh penghuni neraka nanti akan menangis menghabiskan air mata, dan mereka pun menangis arah, hingga seandainya sampan dilepaskan, pasti akan berlayar di atas genangannya.” (Dzamul Hawa, hlm. 599)
171. Hasan al-Basri berkata, “Aku tidak
mendapatkan sedikt pun dari ibadah yang lebih berat dari pada sholat di tengah malam. Ada seseorang bertanya kepadanya, ‘Mengapa wajah orang-orang yang rajin shalat malam wajah mereka berseri-seri?’ Dia menjawab, ‘Karena mereka suka menyendiri dengan Dzat Yang Maha Pengasih, lalu dia memberinya sebagian dari cahaya-Nya.’” (Ihya Ulumudin I/55) 172. Sufyan Ats-Tsauri berkata, “Aku tidak bisa shalat malam selama lima bulan disebabkan oleh dosa yang telah kuperbaut.” (Tazkiyatun Nafs, hlm. 66)
173. Ibnul Mubarak berkata, “Kala malam telah
gelap gulita, mereka mengadukan hati kepada- Nya, malam berlalu, sedangkan mereka dalam kondisi rukuk. Rasa takut telah mengusir keinginan tidur mereka, sehingga mereka bangun untuk shalat sedangkan orang-orang yang merasa aman di dunia ini masih bermimpi.” (Minhajul Qosidin, hlm. 64) 174. Abu Sulaiman berkata, “Orang yang mendirikan shalat malam lebih merasa nikmat pada malam harinya dari pada orang yang bercanda, seandainya tidak ada waktu malam aku tidak ingin hidup di dunia ini.” (Minhajul Qosihin)
175. Ibnul Munkadir berkata, “Tidak tersiksa dari
kelezatan dunia ini kecuali dalam tiga hal yaitu; shalat malam, bertemu dengan ikhwan (saudara), dan shalat berjamaah.” (Tazkiatunnafs, hlm. 67)
176. Hudzaifah bin Yaman berkata, “Urusan din
(agama) kalian yang pertama kali hilang adalah kekhusyukan dan yang hilang terakhir dari din kalian adalah shalat. Banyak orang yang mengerjakan shalat namun tidak ada kebaikan di dalamnya, hampir-hampir bila engkau masuk masjid untuk berjamaah, maka engkau tidak melihat seorang pun di antara mereka yang khusyu.’” (Madarijus Salihin 1/521)
177. Hudzaifah bin Yaman berkata, “Jauhilah oleh
kalian khusyu’ nifak, Ada seorang yang bertanya; Apakah itu khusyu’ nifak? Ia menjawab; Engkau melihat jasadnya khusyu’ tetapi hatinya tidak khusyu’.” (33 Sabban khusyu’, hlm. 2)
178. Sahl bin Sa’ad berkata, “Barangsiapa yang
khusyu’ hatinya (dalam shalat) maka setan tidak akan mendekatinya.” (Tahdzib Madarijus Salihin) 179. Al-Hakim bin Uyainah berkata, “Barangsiapa yang memperhatikan orang yang ada di sebelah kanan dan kirinya pada waktu shalatnya maka tidak ada shalat baginya.” (Tanbihul Ghofilin)
180. Ibnu Abbas berkata, “Dua rakaat yang
dilakukan dengan konsentrasi adalah lebih baik dari pada shalat semalam suntuk, sedangkan hatinya lalai.” (Mu’minin, hlm. 31)
181. Bakr al-Mazni berkata, “Jika engkau ingin
shalatmu bermanfaat bagimu, maka berkatalah, ‘Barang kali aku tidak bisa shalat setelah ini.’” (Tahdzib mau’izhati muminin, hlm. 521) 182. Ibnu Mubarak berkata, “Aku melihat dosa- dosa itu mematikan hati, membiasakannya menyebabkannya kehinaan, meninggalkannya adalah kehidupan bagi hati, selalu menjauhinya adalah yang terbaik bagi mu.” (Tazkhiyatun nafs, hlm. 33)
183. Ibnu Mas’ud berkata, “Kefakiran dan
keyakinan merupakan dua tunggangan, dan aku tidak peduli mana yang akan aku jadikan tunggangan jika fakir mu ada kesabaran di dalam hatinya, dan jika kaya maka ada sedekah di dalamnya.” (Tahzib madarijus salihin 2/604)
184. Al-Hasan berkata, “Kesabaran itu salah satu
dari simpanan yang baik. Allah tidak akan memberikan kesabaran kecuali kepada hamba- hamba yang mulia di sisi-Nya.” (Minhajul Qasidin, hlm. 272)
185. Abdur Rahman bin ‘Auf berkata, “Kami diuji
dengan kesempitan dan kami pun bersabar. Namun ketika dengan kelapangan justru kami tak sabar.” (Minhajul Qasidin, hlm. 272)
186. Syaqiq Al-Balkhi berkata, “Barangsiapa
mengadukan suatu musibah kepada selain Allah, maka selamanya ia tak akan mendapatkan dalam hatinya manisnya ketaatan kepada Allah.” (Minhajul Qasidin, hlm. 276) 187. Zuhair bin Nu’aim berkata, “Sesungguhnya urusan din ini tidak akan sempurna melainkan dengan 2 hal: (1) Kesabaran dan (2) Keyakinan. Tidak akan sempurna keyakinan kalau tidak ada kesabaran. Dan tidak akan sempurna kesabaran tanpa keyakinan.” (Shifatus Shafwah, hlm. 418)
188. Abu Thalib bin Abdus Sami’ berkata, “Sabar
dalam kesusahan akan mendapat manfaat.” (Tahdzib Siyaru A’lamin Nubala’ IV \ 1363)
189. Qatadah berkata, “Sesungguhnya al-Qur’an
ini memberikan peetunjuk kepadamu tentang penyakitmu dan obat penangkalnya. Ada pun penyakitnya adalah dosa-dosamu, sedangkan obatnya adalah istighfar.” (Tazkiyatun Nafs, hlm. 51)
190. Fudhail bin ‘Iyadh berkata, “Istighfar yang
tidak disertai penghentian dari berbuat dosa merupakan taubatnya para pendusta.” (Tahdzibu Mau’izhatil Mu’minin, hlm. 74)
191. ‘Aisyah berkata, “Beruntunglah orang-orang
yang mendapati dalam catatan amal perbuatannya memuat istighfar yang banyak.” (Tazkiyatun Nafs, hlm. 51)
192. Ali bin Abi Thalib berkata, “Allah tidak akan
memberikan ilham kepada seorang hamba-Nya untuk beristighfar, sedangkan Dia hendak memberikan adzab kepadanya.” (Tazkiyatun Nafs, hlm. 52)
193. Al-Hasan berkata, “Dzikir itu ada dua macam,
yaitu dzikir kepada Allah antara dirimu dan Allah. Alangkah baiknya dan besar pula pahalanya, akan tetapi dzikir yang lebih utama dari itu adalah berdzikir kepada Allah kala menghadapi sesuatu yang diharamkan oleh-Nya.” (Tahdzibu Mau’izhatil Mu’minin, hlm. 69)
194. Fudhail bin ‘Iyadh berkata, “Sesungguhnya
rumah yang disebut nama Allah di dalamnya, maka dzikir itu akan menerangi pemilik rumah sebagaimana lampu yang menerangi rumah yang gelap. Sedangkan rumah yang tidak pernah disebut nama Allah di dalamnya akan menggelapkan pemiliknya.” (Tanbihul Ghafilin, hlm. 186)
195. Umar bin Al-Khathab berkata,
“Sesungguhnya kewajiban saya bukanlah mengabulkan doa, tetapi kewajiban saya adalah berdoa. Apabila saya dikaruniai untuk berdoa saya mengetahui bahwa terkabulnya doa akan menyertainya.” (Kitab Taisiril ‘Azizil Hamid, hlm. 179)
196. Muhammad bin Wasi’ berkata, “Jika seorang
hamba menghadapkan hatinya kepada Allah, maka Allah akan menghadapkan hati para hambanya kepada-Nya.” (Siyaru A’lamin Nubala’ VI/344)
197. Hafidz Hakami berkata, “Tanda cinta seorang
hamba kepada Rabbnya adalah mendahulukan cinta kepada-Nya meskipun hal itu bertentangan dengan hawa nafsunya, membenci apa yang dibenci Rabbnya meskipun nafsunya condong kepadanya. Loyal kepada orang yang loyal kepada Allah dan rasul-Nya loyal kepadanya, memusuhi orang yang memusuhi-Nya, mengikuti sunnah Rasul-Nya, menapaki atsarnya dan menerima petunjuknya.” (Ma’harijul Qabul II/424) 198. Anas bin Malik berkata, “Tanda-tanda cinta kepada Allah adalah senang berdzikir kepada Allah.” (Jami’ul Hadits XIV/224)
199. Fudhail bin ‘Iyadh berkata, “Berbahagialah
orang yang dibenci manusia sedangkan Allah menyayanginyaa.” (Jami’ul ‘Ulum wal Hakam I/38)
200. Ibnul Mubarak berkata, “Engkau bermaksiat
kepada Allah, tetapi katamu engkau mencintai- Nya. Sungguh ini adalah analogi keliru. Kalaulah benar benar cintamu kepada-Nya engkau pasti menaati-Nya, sebab pencinta itu pasti taat pada yang dicintainya.” (Ihya ‘Ulumuddin IV/331) 201. Ibnu Mas’ud berkata, “Cukuplah rasa takut kepada Allah itu sebagai ilmu dan cukuplah durhaka kepada Allah itu sebagai kebodohan.” (Al- Mawariduzh Zham’an, hlm. 143)
202. Fudhail bin ‘Iyadh berkata, “Barangsiapa yang
takut kepada Allah, tidak ada seorang pun yang membahayakannya. Barangsiapa yang takut kepada selain Allah, tiada seorang pun yang akan bermanfaat baginya.” (Siyaru A’lamin Nubala’ VII/634)
203. Fudhail bin ‘Iyadh berkata, “Ahlus sunnah itu
adalah orang yang tahu betul apa yang masuk ke perutnya adalah sesuatu yang halal.” (al-Wala’ wal Bara’, hlm. 110) 204. Ibnul Qoyyim berkata, “Barangsiapa yang menginginkan bersihnya hati hendaknya ia lebih mengutamakan Allah atas syahwatnya.” (Al- Fawaid, hlm. 98)
205. Ibnul Qoyyim berkata, “Azam adalah tekad
yang kuat di atas jalan yang ditempuh, dan menghindari segala rintangan dan sesuatu yang menghalangi, serta menempuh segala sesuatu yang menghantarkan kepadanya. Sejauh mana kesempurnaan perhatiannya dan kesadarannya tentang hal itu, maka sejauh itulah kekuatan azamnya. Dan sejauh mana kekuatan azamnya maka sejauh itulah persiapannya.” (Madarijus Salikin I/117) 206. Imam Malik menasihati Imam Syafi’i dengan mengatakan, “Sesungguhnya aku melihat Allah telah menganugerahkan dalam hatimu cahaya, maka janganlah engkau padamkan ia dengan beerbuat maksiat.” (Jawaabul Kafi, hlm. 140)
207. Imam Syafi’i berkata, “Aku mengadu kepada
Waki’ mengenai buruknya hafalanku, maka ia menunjukiku agar meninggalkan maksiat. Ketahuilah bahwa ilmu itu karunia, dan karunia Allah tidak akan diberikan kepada orang yang berbuat maksiat.” (Jawaabul Kafi, hlm. 140)
208. Ibnul Mubarak berkata, “Bukanlah perusak
din ini adalah para raja, sedangkan pendeta yang buruk adalah para rahibnya.” (Tahdzibu Syarhil ‘Aqidatith Thohawiyah, hlm. 326)
209. Ibnul Mubarak berkata, “Aku melihat dosa
mematikan hati, dan meninggalkan dosa dapat menghidupkan hati.” (Ad-Da’u wad Dawa’u, hlm. 79)
210. Hudzaifah bin Yaman berkata, “Jika seseorang
melakukan dosa, maka dalam hatinya (terdapat) titik hitam yang menyebabkan hatinya menjadi seperti kambing yang buta.” (Ad-Da’u wad Dawa’u, hlm. 7)
211. Ibnu ‘Abbas dan para salaf berkata,
“Permisalan mereka dalam kemunafikan seperti seseorang yang menyalakan api di malam yang gelap dengan ketakutan, kemudian terlihatlah cahaya di sekitarnya, dan ia tetap berhati-hati dari apa yang ia takuti, secara tiba-tiba, padamlah api itu. Tinggallah ia dalam kegelapan, ketakutan dan kebingungan. Seperti itulah orang-orang munafik. Mereka menampakkan keimanan mereka, demi keselamatan harta dan anak mereka, menikahi orang-orang yang beriman dan mendapat warisan dan ghanimah. Itulah cahaya mereka. Jika mereka mati, mereka kembali kepada kegelapan dan rasa takut.” (Ijma’u Juyusyil Islamiyah oleh Ibnu Qoyyim, hlm. 39)
212. Asy-Sya’bi berkata, “Dinamakan hawa nafsu
karena ia menjerumuskan (ahwa) pelakunya ke neraka.” (Tanbihul ghafilin, hlm. 261) 213. Mujahid berkata, “Aku tidak tahu nikmat mana yang lebih besar yang dianugerahkan Allah kepadaku, apakah Allah menunjuki Islam atau menyelamatkan aku dari hawa nafsu ini.” (Tanbihul ghafilin, hlm. 261)
214. Ibnul Qoyyim berkata, “Waspadalah kalian
dari dua tipe manusia, pengikut nafsu yang diperbudak oleh hawa nafsunya dan pemburu dunia yang telah dibutakan (hatinya) lantaran dunia (yang telah dicapainya).” (Ighatsatul lahfan oleh Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah II/586)
215. Ali bin Abi Thalib berkata, “Dunia adalah
negeri kebenaran bagi orang yang membenarkannya. Negeri Keberuntungan bagi orang yang memahaminya. Negeri kecukupan bagi orang yang berbekal darinya, tempat turunnya wahyu Allah. Tempat sholat para malaikat-Nya, Masjid para nabinya, dan tempat berdagang para wali-Nya. Di dalamnya mereka beruntung dengan mendapatkan rahmat dan bekerja di dalamnya, maka siapakah yang akan mencelanya.” (Tashiluth thariah oleh Ibnu Syinah, hlm. 70)
216. Imam Syafi’i berkata, “Nyanyian merupakan
permainan yang makruh yang menyerupai kebatilan dan kesia-siaan, barangsiapa melakukannya maka ia adalah orang bodoh yang tertolak kesaksiannya.” (Ihya Ulumiddin II/269) 217. Imam Ahmad berkata, “Nyanyian itu akan menimbulkan kemunafikan dalam hati.”
218. Ibnu Mas’ud berkata, “Nyanyian itu
menumbuhkan kemunafikan di dalam hati, seperti air yang menumbuhkan tanaman.” (Bariqah mahmudiah 14/477)
219. Muhammad bin Al-Hanafiyah berkata,
“Orang-orang yang santun dan menjaga kehormatan diri tidak akan berbuat bodoh dan jika mereka di perlakukan secara bodoh maka mereka mampu menahan marah.” (Madarijus Salihin, hlm. 340) 220. Al-Hasan berkata, “Belajar hadits di waktu kecil bagaikan mengukir di atas batu.” (Jami’ Bayan al-Ilmi wa fadhilihi, hlm. 99)
221. Umar bin Khattab berkata, “Pahamilah ilmu
agama ini sebelum tua.” (Disebutkan oleh al- Bukhori dengan sanad mu’allaq dalam kitabul ‘ilmi)
222. Ali bin Abi Thalib berkata, “Ilmu itu dipanggil
dengan mengamalkannya, bila dipanggil ia akan menjawab dan jika tidak ia akan pergi.” (al-Jami’ II/1321).
223. Ibnu Mas’ud berkata, “Dahulu salah seorang
dari kami jika telah mempelajari sepuluh ayat, ia tidak akan pindah dari ayat-ayat tersebut kecuali setelah mengetahui maknanya dan mengamalkannya.” (Tafsir Ibnu katsir I/2).
224. Bisyr Al-Hafi berkata, “Tunaikanlah zakat
hadits (caranya) amalkanlah dari setiap dua ratus hadits lima hadits.” (Adab al-Imla’ wa al-Istimla’, hlm. 10).
225. Adz-Dzhabi berkata, “Hari ini tidak tersisa
dari ilmu-ilmu yang sedikit ini kecuali sangat sedikit dan pada orang-orang tertentu saja. Begitu sedikitnya orang yang mengamalkan di antara mereka yang berilmu sedikit itu, cukuplah Allah bagi kami dan Dialah sebaik-baik penolong.” (Tadzkiratul Huffadz oleh Adz-Dzahabi II/1031). 226. Sebagian ulama salaf berkata, “Sikap menunda-nunda adalah termasuk tentara setan.” (Iqthidha’ Ilmi al-Amal oleh al-Khatib al-Bagthadi, hlm. 114).
227. Ibnul Qoyyim berkata, “Sesungguhnya
berangan-angan itu adalah senjata utama iblis (untuk menggoda manusia).” (Madarijus Salikin I/456-457)
228. Muhammad bin Samuroh berkata, “Wahai
saudaraku! Janganlah sifat menunda-nunda menguasai jiwamu dan tertanam dalam hatimu. Karena sifat menunda-nunda membuat lesu dan menyebabkan kerusakan hati. Sikap menunda- nunda memendekkan umur kita dan ajal pun segera tiba. Sesungguhnya apabila anda melakukan hal ini, anda benar-benar telah mengurangi semangatmu, melemahkan cita- citamu dan menjadikan dirimu kembali pada kebosanan yang telah pergi darimu. Ketika ia membuatmu bosan kembali, tubuhmu pun tidak akan berguna bagimu. Karena itu wahai, Saudaraku! Bersegeralah anda, sebelum didahului dan cepatlah sebelum terlambat, bersungguh- sungguhlah, karena permasalahan yang anda hadapi penuh dengan keseriusan, bangkitlah dari tidurmu dan sadarlah dari kelalaianmu! Ingatlah apa yang telah anda kerjakan, anda sepelekan, anda sia-siakan, anda hasilkan dan yang telah anda lakukan, sesungguhnya semua itu akan dicatat dan dihitung, sehingga seolah-olah anda terkejut dengannya dan sadar dengan apa yang anda lakukan, atau menyesali apa yang anda sia- siakan.” (Iqtidhoul ilmi wal amal oleh Al-Khotib, hlm. 114).
229. Al-Hasan Al-Bashri berkata, “Wahai, Anak
Adam! Sesungguhnya engkau adalah hari-hari yang telah anda lalui. Setiap berlalu satu hari maka hilanglah sebagian dari dirimu.” (Hilyatul Auliya’ II/148)
230. Al-Hasan Al-Bashri berkata, “Tak ada satu
haripun pada saat fajar terbit kecuali ia berseru, ‘Wahai, Anak Adam! Saya adalah makhluk yang baru dan anda menyaksikan apa yang anda amalkan, maka gunakanlah dirimu ini untuk mencari bekalmu. Karena apabila saya telah berlalu, saya tidak akan kembali lagi hingga hari kiamat.’” (Hilyatul Auliya’ II/147)
231. Al-Kholil bin Ahmad berkata, “Waktu itu ada
tiga bagian: untuk waktu yang telah berlalu darimu dan takkan kembali, waktu yang sedang engkau alami maka lihatlah bagaimana ia akan berlalu darimu, dan waktu yang engkau tunggu yang bisa jadi engkau takkan mendapatkannya.” (Thobaqot Al-Hanabilah 1/288)
232. Muhammad bin Abdul Baqi’ berkata, “Saya
tidak pernah menyia-nyiakan waktu yang telah berlalu dari umurku untuk bermain-main dan yang sia-sia.” (Siyar Alamin nubala’ XX/26) 233. Daud bin Hindun berkata, “Dahulu sewaktu masih kecil, saya berkeliling pasar, ketika pulang, saya usahakan diriku untuk berdzikir pada Allah hingga pada tempat tertentu, jika saya telah sampai pada tempat itu saya usahakan diriku untuk berdzikir kepada Allah hingga pada tempat selanjutnya, hingga di rumah.” (Siyar ‘Alamin nubala’ XX/378)
234. Ibnul Qoyyim berkata, “Berkumpul bersama
teman itu terbagi dua: salah satunya adalah berkumpul bersama mereka untuk saling bekerja sama dalam berusaha menuju keberhasilan hidup untuk saling menasihati tentang kebenaran dan kesabaran, hal ini termasuk perbuatan yang paling mulia dan bermanfaat, tapi dalam hal ini ada tiga bahaya: Saling berbasa-basi, berbicara, dan berkumpul dengan mereka lebih dari keperluan, hal itu akan menjadi sebuah kecenderungan hati dan suatu kabiasaan sehingga menghalanginya dari tujuan utamanya.” (Al-Fawaid, hlm. 51)
235. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata,
“Ummat ini telah menguasai berbagai bidang ilmu dengan baik. Orang yang hatinya diberi cahaya oleh Allah maka ia akan diberi petunjuk dengan apa yang telah ia kuasai dari ilmu tersebut. Dan orang yang dibutakan Allah, tidaklah buku-buku yang ia miliki kecuali menjadikan dirinya semakin bingung dan tersesat.” (Majmu’ah Ar-Rosail al- Kubaro 1/239) 236. Imam Adz-Dzahabi berkata, “Sesungguhnya ilmu bukanlah banyaknya riwayat, tapi Ilmu adalah cahaya yang di pancarkan oleh Allah ke dalam hati, dan syarat mendapatkannya ialah dengan ittiba’ (mengikuti sunnah Nabi) dan meninggalkan hawa nafsu dan bid’ah.” (Siyar ‘Alamin nubala’ XIII/323)
237. Sufyan berkata, “Barangsiapa yang menikah
sesungguhnya ia mengarungi lautan. Jika diberi anak maka dengan kehadiran anak tersebut pikiran telah terpecah.” (Tadzkiratu as-Sami’, hlm. 72) 238. Adz-Dzhabi berkata, “Apabila sebuah kota tidak terdapat ulama dalam satu tahun, pasti peradaban kota akan merosot.” (Syiar ‘alamin An- nubala’IX/504)
239. As-Sya’bi berkata, “Ilmu itu didapat dengan
tidak menggantungkan diri kepada orang lain, dan tetap berjalan di berbagai negeri. Sabar sebagaimana bersabarnya keledai dan bersegera mencarinya sebagaimana bersegeranya burung gagak (di pagi hari).” (Ar-rihlah Fittholub al- Hadits, hlm. 196).
240. Ahmad bin Sinan berkata dalam majelis
Abdurrahman bin Mahdi, “Tidak ada seorangpun yang berbicara, tak ada pena yang diraut, dan tidak ada seorangpun yang berdiri. Seolah-olah diatas mereka ada burung atau seolah-olah mereka sedang sholat.” (Tadzkiratul Huffadz I/331)
241. Ahmad bin Sinan berkata, “Tidak ada yang
berbicara dalam majelis Abdurrahman. Tak ada pula pena yang diraut, tak ada seorang pun yang tersenyum, tak ada yang berdiri, seolah-olah di atas kepala mereka terdapat burung atau seolah- olah mereka sedang shalat, jika ia melihat salah satu di antara mereka tersenyum atau berbicara ia memakai sandalnya dan keluar.” (Siyar’ alamin Nubala’IX/201-202).
242. Imam Nawawi berkata, “Saya telah mencatat
semua hal-hal yang berhubungan dengan pelajaran, berupa permasalahan-permasalahan rumit, keterangan jelas dan bahasa-bahasa yang tepat, sehingga Allah memberkahi waktuku.” (Tadzkirotul huffadz 1/1470).
243. Imam Mujahid berkata, “Tidak belajar ilmu
orang yang malu dan orang yang sombong.” (HR Bukhori dalam kitab Al-ilmi 1/26)
244. Imam Malik berkata, “Jika engkau berada di
sebuah kaum kemudian engkau bergaul dengan sesuatu yang tidak mereka ketahui maka merekapun akan memulainya dengan sesuatu yang tidak kamu sukai.” (Siyar Alamin Nubala’ XI/177) 245. Ahnaf bin Qois berkata, “Celaan itu lebih baik dari pada iri.” (Siyar Alamin Nubala’ IV/94)
246. Sebagian ahli hikmah berkata, “Ingat,
katakanlah kepada orang yang hasad kepadaku, Tahukah kamu kepada siapa kamu berbuat jelek, kamu berbuat jelek kepada Allah dengan apa yang diperbuat-Nya karena kamu tidak rela dengan apa yang telah diberikan kepadaku.” (Sbulus Salam IV/181)
247. Sebagian ahli hikmah berkata, “Apabila
seseorang memberikan kepadamu suatu pelajaran dari sebuah ilmu maka abadikanlah rasa terima kasihmu kepadanya dan katakanlah, ‘Semoga Allah membalas kebaikan kepadanya atas apa yang diberikan kepadaku’. Buanglah rasa hasad dan sombong.” (Dzail Thobaqot al-Hanabilah II/87)
248. Imam Nawawi berkata, “Di antara berkahnya
ilmu adalah menisbahkan keutamaan kepada ahlinya.” (Bustan Arifin, hlm. 28)
249. Sebagian ahli hikmah berkata, “Tidaklah
seorang itu bertakwa sehingga ia menjadikan dirinya lebih ia koreksi dari pada mengoreksi temannya, ia mengetahui dari Allah ia memperoleh pahalanya, makanan dan minumnya.” (Siyar Alamin Nubala’ V/74)
250. Ibnul Qoyyim berkata, “Ketika ingin tidur
hendaknya seseorang duduk sejenak untuk mengintrospeksi tentang hal-hal yang menguntungkan dan merugikan dirinya pada hari itu, lalu ia bertaubat dengan sebenarnya kepada Allah kemudian ia tidur dengan taubat itu, dan hendaknya hal ini dilakukan setiap malam.” (Ar- Ruh 1/345)
251. Sebagian ulama salaf berkata, “Seseorang itu
dapat mengetahui apa yang ada pada dirinya dalam tiga waktu, di antaranya adalah ketika dia berbaring di atas tidurnya.” (Al-Farj ba’da as- Sayyidah 1/308)
252. Sebagian ahli hikmah berkata, “Orang yang
berakal adalah orang yang mengenal dirinya dan tidak tertipu dengan pujian orang yang tidak mengenal hakikat dirinya.” (Dzail Thobaqot al Hanabilah 1/148)
253. Abdur Ar-Rohman Al-Muharibi berkata,
“Sebaiknya hadist ini disampaikan seorang pendidik sehingga mereka mendidik anak- anaknya di tempat para penulis.” (Sunan Ibnu Majah II/1363)
254. Sebagian ahli hikmah berkata, “Anak kecil itu
tumbuh dewasa berdasarkan pendidikan orang tuanya karena pohon itu tumbuh di atas akarnya.” (Adabud dunya wa ad-din, hlm. 334)
255. Ali berkata, “Ajarilah keluargamu tentang
kebaikan.” (At-Targhib wa At-Tartib 1/76) 256. Al-Bukhori berkata, “Agama ini bukanlah dengan perkataan seseorang tetapi dengan hadits dan riwayat.” (Syarah Ashabul hadits, hlm. 65)
257. Ibrohin an-Nakho’i berkata, “Dahulu mereka
memukul kami karena tidak jujur dalam persaksian dan tidak menempati janji padahal kami masih kecil.” (Taisir Aziz al-Hamid, hlm. 716, ketika menafsiri surat at-Tahrim: 6)
258. Salman berkata, “Orang yang melakukan
sholat isya lalu mengambil kesesatan dari kelalaian orang lain dan gelapnya malam dengan menundukkan kepalanya dalam melakukan sholat maka dia adalah orang yang mendapatkan kebaikan dan tidak mendapatkan keburukan, adapun orang yang tidur maka dialah yang tidak mendapatkan kebaikan dan tidak tertimpa keburukan.” (Ringkasan kitab qiyamull lail almarwazi, hlm. 12)
259. Umar berkata, “Melakukan sholat subuh
dengan berjama’ah lebih aku sukai dari pada melakukan sholat malam.” (Al-Muwattho’, kitab as-Sholah, hlm. 101)
260. Sulaiman At-Tamimi berkata, “Sesungguhnya
jika anda membiasakan mata untuk tidur maka ia akan terbiasa dengannya.” (Mukhtashor qiyamul lail oleh al-Marwazi, hlm. 55) 261. Zaid bin Aslam berkata, “Seseorang datang kepada Abu Dujanah ketika ia sedang sakit, sementara wajahnya berseri-seri kala itu. Dikatakan kepadanya: ‘Kenapa wajahmu berseri- seri?’ Ia menjawab, ‘Tidak ada satu amalpun yang lebih aku percaya di sisiku dari pada yang dua: Aku tidak pernah berbicara dengan sesuatu yang tidak bermanfaat bagiku, ada pun yang lainnya adalah hatiku selalu baik kepada orang-orang muslim.” (Siyar ‘alamin nubala’ 1/243)
262. Yahya berkata, “Tidaklah aku melihat sesuatu
kesalahanpun pada seseorang kecuali aku menutupinya. Senang sekali jika aku bisa membantu urusannya. Tidaklah aku melihat seseorang dengan kejelekan pada dirinya kecuali aku akan menjelaskannya, di mana hanya aku dan dirinya yang mengetahui, (Syukur) Jika ia bisa menerimanya. Jika tidak, maka aku meninggalkannya.” (Siyar ‘alamin Nubala’ XI/83)
263. Hasan bin Sahl berkata, “Telah diwajibkan
atasmu mengeluarkan zakat segala hal yang aku miliki dan zakat kedudukanku adalah memberikan pertolongan dan syafaat, jika kamu memiliki (sesuatu) maka bersikaplah dermawan jika tak sanggup maka berusahalah semampumu untuk memberikan manfaat.” (Hidayah al-arib al-amjad li ashab ar-riwayah an al imam ahmad, hlm. 163)
264. ‘Auf bin Nu’man berkata, “Di zaman jahiliyah
seseorang mati karena kehausan itu lebih baik dari pada harus melanggar janji.” (Tajrid asma’ as- shohabah oleh adzahabi hal, 429, adab alimlak wa alistimla’, hlm. 41)
265. Salman berkata, “Ketahuilah sesungguhnya
kebaikan bukan dengan banyaknya harta dan anak, tapi kebaikan itu dengan agungnya sifat penyantun yang kamu miliki, dengan kemanfaatan ilmumu dan sesungguhnya tanah yang disucikan sama sekali tidak melakukan sesuatu untuk seseorang. Maka beramallah seakan-akan kamu diawasi, dan persiapkanlah dirimu untuk menghadapi kematian.” (Siyar alamin nubala’ 1/548)
266. Seseorang berselisih dengan al-Ahnaf, dia
berkata, “Seandainya kamu mengatakan satu kata niscaya kamu akan mendengarkan sepuluh kata lalu Ahnaf berkata, ‘Tapi jika kamu mengatakan sepuluh kata maka kamu tidak akan mendengarkan satu kata pun.’” (Siyar alamin nubala’ IV/93)
267. Imam Syafi’i berkata, “Demi Allah seandainya
aku mengetahui sesungguhnya air yang dingin bisa memperburuk kehormatanku niscaya aku tidak akan meminumnya kecuali dalam keadaan panas.” (Manaqib as-syafi’iyyah oleh ar-Rozi, hlm. 85)
268. Imam Ibnu Hazm berkata, “Barangsiapa
diberi cobaan dengan sikap berbangga diri, maka pikirkanlah aib dirinya sendiri. Lalu jika dia berbangga dengan segala keutamaannya maka selidikilah akhlak jelek yang ada padanya. Kemudian jika semua aibnya tidak bisa ia lihat sehingga ia menyangka tidak memiliki aib, maka ketahuilah sesungguhnya musibah dirinya itu selamanya. Sesungguhnya ia adalah orang yang paling lengkap kekurangannya, paling besar kecacatannya dan paling lemah. Dia adalah orang yang paling lemah akal lagi bodoh, sementara tidak ada aib yang lebih besar dari pada hal ini. Karena sesungguhnya orang yang berakal adalah orang yang bisa mengetahui aib dirinya, sehingga ia bisa menundukkannya dan berusaha untuk menghancurkannya. Ada pun orang bodoh adalah orang yang tidak mengetahui aib dirinya. Bisa jadi karena kurang ilmunya, kurang kemampuan dalam membedakan sesuatu dan lemah kekuatan berpikirnya, atau karena dia memperkirakan bahwa aib-aibnya itu beragam.” (Al-akhlak wa as- siyar fi mudawah an-nufus, hlm. 66)
269. Ibnu Hazm berkata, “Ketahuilah
sesungguhnya orang yang mengukur bahwa dalam dirinya ada sesuatu yang menakjubkan atau dia mengira sesungguhnya ia memiliki keutamaan dari pada orang lain maka perhatikanlah kesabarannya ketika kegalauan datang padanya tiba-tiba. Pikirkan juga musibah, rasa sakit dan penyakit atau petaka (secara umum). Jika ia melihat bahwa dirinya kurang bersabar, maka ketahuilah sesungguhnya orang-orang yang ditimpa musibah dari kalangan orang-orang yang terkena penyakit kulit juga para penyabar. Orang lain lebih utama darinya, meski kedudukan mereka lebih terbelakang. Jika ia melihat bahwa dirinya penyabar, maka ketahuilah sesungguhnya ia bukan orang yang lebih dahulu dari pada orang yang telah kami sebutkan, melainkan orang yang datang terakhir, atau sama dengan mereka dan tidak mungkin lebih.” (Al-Akhlak wa as-siyar fi mudawah an-nufus, hlm. 66)
270. Haram bin Hayyan berkata, “Tidaklah
seseorang menghadap Allah dengan hatinya kecuali Allah akan mengalihkan hati manusia kepadanya, sehingga dia dikaruniai rasa kasih sayang dari mereka.” (Siyar ‘alamin nubala’ IV/49)
271. Sa’id Az-zubaidi berkata, “Aku tidak kagum
kepada para qori’ yang menebarkan tawa kepada orang lain sementara di depanku dia bermuka masam. Dia mengungkit-ungkit ibadahnya kepadaku, semoga Allah tidak memperbanyak qori’ semacam ini.” (Mukhtasor qiyam al-alil oleh almarwazi)
272. Imam Syafi’i berkata, “Terlalu tertutup kepada
orang lain bisa menimbulkan permusuhan terlalu terbuka kepada mereka bisa menarik teman-teman yang tidak baik. Maka jadilah engkau di antara orang yang terlalu tertutup dan terlalu terbuka.” (Siyar ‘Alamin Nubala X/89)
273. Sebagian ahli hikmah berkata, “Orang yang
banyak tertawa dan tersenyum hendaknya menguranginya dan menganggap diri jelek karenanya, agar tidak menjadikan orang lain muak. Hendaknya orang yang sering bermuka masam dan tertutup untuk membiasakan tersenyum, memperbaiki akhlaknya dan menjadikan dirinya benci terhadap perangai buruk. Sungguh segala penyimpangan dari sikap yang menengah adalah tercela hendaklah diri itu diarahkan dengan sungguh-sungguh dan bina.” (Siyar ‘Alamin Nubala X/140-141)
274. Muhammad bin Muzahim berkata,
“Keberkahan ilmu yang pertama adalah meminjamkan buku.” (Adab al-Imlak wa al- istimla’, hlm. 175) 275. Malik berkata, “Di antara kefaqihan seorang alim adalah bahwa dia berkata, ‘Aku tidak tahu, semoga kebaikan telah dipersiapkan baginya.’” (Al-Adabus Syari’ah II/64)
276. Al-Ghozali berkata, “Seandainya dia diam
terhadap apa yang tidak ia ketahui niscaya akan sedikit perbedaan pendapat. Barangsiapa pendek kemampuannya dan sempit pandangannya dari berbagai perkataan para ulama umat dan penela’ahnya maka ia sama sekali tidak berhak untuk berkata dalam hal yang tidak ia ketahui dan berkecimpung dalam hal yang tidak bermanfaat baginya. Orang yang seperti ini mestinya diam.” (Al-Hawi li alfatawa II/116) 277. Malik berkata, “Semestinya seseorang itu tidak berbicara kecuali dalam hal yang ia pahami.” (At-tarotib al-idariyyah 1/404)
278. Ibnu Mas’ud berkata, “Hendaknya seorang
penghafal Al-Qur’an mengetahui malamnya ketika orang lain sedang tidur, siangnya ketika orang lain sedang berbuka, waro’nya ketika orang lain bercampur baur, kerendahan hatinya ketika orang lain angkuh, kesedihannya ketika orang lain bersuka ria, tangisannya ketika orang lain tertawa dan diamnya ketika orang lain banya bicara.” (HR Al-Ajuri dalam akhlak ahlul Qur’an, hlm. 102)
279. Imam Ibnu Hazm berkata, “Orang yang
memujimu dengan sesuatu yang tidak ada padamu (pada hakikatnya) ia telah menyampaikan celaan dengan bagus karena ia mengingatkanmu akan kekuranganmu. Dan orang yang mencela apa yang tidak ada pada dirimu (pada hakikatnya) telah memujimu dengan baik.” (Al-Akhlak wa as-siyar oleh ibnu hazm, hlm. 38-39)
280. Ibnul Qoyyim berkata, “Sesungguhnya lisan
itu tidak akan mungkin diam saja, ia akan berdzikir, kalau tidak maka akan bicara sia-sia ia pasti akan mengerjakan di antara dua hal tersebut, begitu juga jiwa jika tidak engkau sibukkan dengan yang hak maka ia akan sibuk dengan yang batil. Hatipun demikian, jika ia tidak diisi dengan kecintaan kepada Allah maka ia akan diisi dengan kecintaan kepada makhluk dan itu pasti lisannya pun juga, jika tidak sibuk dengan berdzikir, maka akan sibuk dengan ucapan sia-sia yang demikian tadi pasti akan terjadi pada dirimu. Maka pilihlah untuk dirimu di antara dua kedudukan tersebut.” (Al-Wabil wa al-Shoyyib, hlm. 166-167)
281. Imam Ibnu Sa’di berkata, “Tidak akan
sempurna usaha untuk menyukai dan mencitai kebenaran kecuali dengan meninggalkan keinginan untuk menyukai kejelekan dan melawan hawa nafsu yang memerintahkan kepada kejelekan maka jika seorang hamba mampu menjaga diri dari tergelincir ke dalam fitnah- fitnah syubhat dan syahwat niscaya sempurnalah keimanan dan kuatlah keyakinan.” (At-Taudhih wa al-bayan oleh Ibnu as-Sa’di, hlm. 37) 282. Imam Ibnu Sa’di berkata, “Barangsiapa bersiap sedia untuk melakukan suatu amalan, niscaya akan dibukakanlah untuknya kunci-kunci perbendaharaan ilmu dan keimanan sesuai dengan kadar kebenaran dan keikhlasannya.” (At- Taudhih wa al-Bayan oleh Ibnu Sa’di, hlm. 36-37)
283. Imam Ibnu Sa’di berkata, “Orang mukmin
adalah orang yang dapat mengambil manfaat yang sangat besar dari peringatan dan dari majelis dzikir.” (At-Taudhih wa al-Bayan oleh Ibnu Sa’di, hlm. 37)
284. Ibnu Jauzi berkata, “Salah satu faedah
mengetahui kejahatan adalah agar tidak terperosok kepadanya.” (Talbis iblis, hlm. 4) 285. Imam al-Qodhi ‘Iyyadh berkata, “Meninggalkan karena manusia adalah riya’ dan beramal karena manusia adalah syirik sedangkan ikhlas adalah apabila Allah menyelamatkan engkau dari keduanya.” (Madarijus salikin oleh Ibnul Qoyyim 2/91)
286. Al-Fudhail bin ‘Iyyadh berkata,
“Sesungguhnya amalan itu apabila sudah ikhlas tetapi tidak benar, tidak akan diterima. Dan apabila sudah benar tetapi tidak ikhlas juga tidak akan diterima. Baru akan diterima bila dikerjakan dengan ikhlas dan benar. Ikhlas untuk Allah dan benar karena sesuai dengan as-Sunnah.” (Madarijus salikin oleh Ibnul qoyyim 2/89) 287. Imam Ibnu Qudama berkata, “Penyakit manusia itu ada tiga: (1) senang pada manisnya pujian dan sanjungan, (2) takut kepada celaan, (3) tamak terhadap apa yang dimiliki orang lain.” (Mukhtashor Minhajul Qosidin oleh Ibnu Qudama 221-222)
288. Sebagian ahli hikmah berkata, “Perangi
nafsumu untuk menjauhkan sebab-sebab riya’ dan semangatlah dalam berusaha agar manusia seolah-olah hewan ternak atau anak kecil dalam pandanganmu sehingga engkau tidak membeda- bedakan dalam ibadahmu, ibadah atau tidaknya mereka, dan tahu atau tidaknya mereka ibadah itu hendaknya engkau merasa cukup dengan ilmu Allah satu-satunya.” (Al-Ikhlas wa syirku asghor, hlm. 15)
289. Ibrahim at-Taimi berkata, “Setiap saya
menghadapkan ucapan saya kepada amalan saya, saya khawatir saya termasuk pendusta.” (Fathul Bari 1/110)
290. Al-Hasan berkata, “Tidak ada yang takut
kemunafikan melainkan seorang mukmin dan tidak ada yang merasa aman darinya melainkan munafik.” (HR al-Bukhori dengan al-Fath i/111)
291. Abu Darda’ berkata, “Sungguh seandainya
aku merasa yakin bahwa Allah menerima satu sholatku itu lebih aku sukai dari pada dunia dan seisinya.” (Tafsir Ibnu Katsir 2/41)
292. Imam Adz-Dzahabi berkata, “Untuk
selamanya seorang muslim tidak lebih bergabung dalam majelis-majelis ilmu kalam dan tidak pula ilmu yang mengajarkan perdebatan.” (Syarhul Hilyah oleh al-Utsaimin, hlm. 15)
293. Imam Marfu’ al-Kurkhi berkata, “Jika Allah
menghendaki pada seorang hamba kebaikan maka dia akan membukakan baginya pintu amalan dan Dia tutup darinya pintu jadal (Debat kusir), dan jika Allah menghendaki pada seorang hamba kejelekan Dia akan menutup darinya pintu amalan dan Dia bukakan baginya pintu jadal (Debat kusir).” (Hilyatul auliya’ oleh Ibnu Nu’aim VIII/361)
294. Sebagian ahli hikmah berkata, “Ilmu tidak
akan memberikan kepadamu sebagiannya hingga kamu memberikan dirimu seluruhnya kepadanya.” (Tadzkirotus Sami’ wal Mutakallimin oleh Ibnu Jama’ah)
295. Imam Ahmad bin Hanbal berkata, “Saya
sangat berkeinginan keluar di pagi hari (Fajar) untun mendengarkan hadits sedangkan ibu saya memegangi baju saya dan berkata: ‘Tunggu dulu hingga adzan subuh berkumandang’. Terkadang saya berangkat ke majelis Abu Bakar bin Iyyas di pagi buta.” (Manaqib imam Ahmad bin Hanbal oleh Ibnul Jauzi)
296. Ibnu ‘Uqail al-Hanbali berkata, “Saya
persingkat waktu makan saya sesingkat mungkin sehingga saya memilih kue basah dari pada roti tawar kering karena antara keduanya ada perbedaan waktu dalam mengunyahnya yang cukup untuk menela’ah dan menulis ilmu yang belum saya dapatkan.” (Kaifa tatahammas fi tolabil ilmi, hlm. 114)
297. Bisyir al-Harits berkata, “Apabila ingin
memahami dan menghafal ilmu maka tinggalkanlah maksiat.” (Al-Jami’ li akhlakir Rowi wa adabis sami’ oleh imam al-Khotib al-baghdadi II/258)
298. Syekh Musthofa as-Siba’i berkata, “Apabila
anda ingin bermaksiat maka ingatkan diri anda kepada pengawasan Allah, dan apabila tidak bisa maka ingatkanlah dengan kejelekan maksiat itu bila ia diketahui oleh orang lain, apabila juga tidak bisa maka ketahuilah pada saat itu anda telah berubah menjadi seekor binatang.” (Hakadza alllamatnil hayah oleh Musthofa as-Siba’i)
299. Imam Ibnul Qoyyim berkata, “Sesungguhnya
setiap orang yang lebih mengutamakan dunia dari pada ilmu dan lebih mencintainya, maka dia pasti akan berkata, ‘Semua firman Allah dan ketetapannya adalah tidak benar karena hukum- hukumnya bertentangan dengan keinginan kebanyakan manusia apalagi para penguasa dan para pengikut syahwat-syahwat. Sekali-kali keinginan mereka tidak akan pernah terpenuhi kecuali dengan melanggar yang hak dan menolaknya.’” (Kaifa tatahammas fi tholabil ilmi, hlm. 123)
300. Isa Bin Maryam berkata, “Wahai para qurro’
dan ulama’! Bagaimana mungkin kalian tersesat setelah kalian berilmu? Bagaimana mungkin kalian buta padahal kalian melihat? Hanya gara- gara dunia yang rendah dan syahwat yang hina? Maka kecelakaan yang besarlah bagi kalian.” (Alilmul jasim oleh al-Muhalhil) 301. Sebagian ahli hikmah berkata, “Seorang ulama’ adalah dokter agama dan dirham adalah penyakit agama, apabila seorang dokter sakit kapan dia mengobati orang lain.” (Tadzkirotul huffadz oleh imam Adz-Dzahabi 1/204)
302. Abdullah bin Mas’ud berkata, “Demi Allah
yang tidak ada ilah yang berhak untuk di ibadahi dengan hak kecuali Dia, Tidak ada di muka bumi ini sesuatu yang lebih berhak dikekang dibanding dengan lisan.” (Al-Fawaid oleh Ibnul Qoyyim)
303. Sebagian ahli hikmah berkata, “Setiap sesuatu
yang anda isi akan menjadi penuh kecuali hati semakin diisi semakin kosong.” (Kaifa tatahammas fi tholabil imi, hlm. 267)
304. Imam az-Zuhri berkata, “Sesungguhnya ada
seseorang yang menuntut ilmu sedang hatinya bagaikan bukit yang gersang (kemampuannya menghafal sangat sedikit dan sangat lemah) tetapi lama kelamaan dia akan menjadi lembah yang subur, (dikarenakan banyak muroja’ah) tidak ada satu ilmu yang sampai kepadanya melainkan dihafalnya dengan segera.” (Al-hatsu ‘ala tholabil ilmi oleh abu hilal al-Asykari)
305. Abu Hilal berkata, “Pada awalnya menghafal
merupakan sesuatu yang sangat bagi saya kemudian saya membiasakan diri (dengan mengulang-ngulang pelajaran berklali-kali) hingga saya bisa menghafal sya’ir ru’bah bin alajjaj dalam satu malam yang berjumlah sekitar 200 bait.” (Kaifa tatahammas fi tholabil ilmi, hlm. 267)
306. Imam Az-Zarnuji berkata, “Hendaknya
seorang penuntut ilmu menyiapkan dirinya dan meluangkan waktunya untuk mengulang-ngulang pelajaran karena ilmu tidak akan bisa menetap di dalam jiwanya sehingga dia melakukan yang demikian. Hendaknya dia mengulang-ngulang pelajaran hari ini satu kali (dalam sehari), yang dipelajari sehari sebelumnya empat kali dan yang sebelumnya tiga kali dan yang sebelumnya lagi dua kali dan yang sebelum-sebelumnya lagi sangat membantu dalam menghafal.” (Ta’limul muta’allim oleh az-Zarnuji) 307. Imam Ibnul Qoyyim berkata, “Seorang yang mukhlis (ikhlas) tidak akan pernah puas dengan amalnya. Dia tidak pernah puas dengan apa yang telah dilakukannya untuk Allah walau hanya sekejap mata. Dia malu bertemu Allah dengan amalnya, selalu berburuk sangka pada dirinya terhadap amal perbuatannya, senantiasa membenci dirinya dan selalu berusaha untuk tidak puas dengan amalnya.” (Kaifa tatahammas fi tholabil ilmi, hlm. 252)
308. Imam Malik bin Dinar berkata, “Apabila
disebutkan orang-orang sholih sedangkan saya tidak termasuk dalam golongan mereka maka celakalah saya.” (Kaifa tatahammas fi tholabil imi, hlm. 253)
309. Umar bin Khottob berkata, “Berhati-hatilah
dari banyak makan karena ia akan memberatkan di waktu hidup dan menjijikkan setelah mati.” (Tahfidzul kulub oleh Adz-Dzimari)
310. Lukman Al-Hakim berkata kepada putranya,
“Wahai anakku apabila engkau penuhi lambungmu maka ia akan menutup pikiranmu, pelajaran akan tertahan dan anggota badan akan lemas untuk beribadah.” (Tahfidzul kulub) 311. Imam Syafi’i berkata, “Saya tidak pernah kenyang selama enam belas tahun kecuali hanya sekali saja.” (Tahfidzul qulub)
312. Imam Hammad bin Salamah berkata,
“Barangsiapa yang belajar hadits untuk selain Allah maka ia telah ditipu.” (al-Jami’ li akhlakir rowi wa adabis sami’ juz 1 oleh al-Khotib al- Baghdadi)
313. Abu Yusuf berkata, “Wahai manusia!
Berharaplah dengan ilmumu keridhoan Allah, sesungguhnya saya tidak pernah duduk di sebuah majelis dengan niat agar dipuji sebaliknya ketika berdiri saya (sering) mendapatkan celaan.” (Abul Qo’qo’ kaifa tatahammas fi tholabil ilmi) 314. Ali bin Abi Tholib berkata, “Kebahagiaan (keberkahan) Ilmu terletak pada pengamalannya, jika pemiliknya mengamalkannya, tidak berarti ia telah melepaskan ilmu itu dari dirinya.” (Iqthidhoul ilmi wal amal oleh Khotib al-Baghdadi oleh Syekh Albani)
315. Ibnu Mas’ud berkata, “Wahai manusia
barangsiapa yang ditanya tentang ilmu yang ia ketahui maka jawablah, dan barangsiapa yang tidak mengetahui jawabannya maka hendaklah ia mengatakan Allahu ‘Alam (Allah lebih tahu) karena sesungguhnya termasuk ilmu adalah seseorang yang berkata apa yang tidak diketahuinya dengan Allahu ‘alam.” (Jami’ bayanil ilmi oleh Ibnu abdil barr II/52)
316. Abdullah bin Mas’ud berkata, “Termasuk
tanda kefaqihan seseorang adalah mengucapkan Allahu ‘alam terhadap sesuatu yang tidak ia ketahui.” (Jami’ bayanil ilmi II/52)
317. Abdullah bin Mas’ud berkata, “Sesungguhnya
yang berfatwa terhadap semua pertanyaan yang diajukan kepadanya maka sesungguhnya ia adalah orang gila.” (Jami’ bayanil ilmi wal amal II /52)
318. Ali bin Abi Tholib berkata, “Apabila kalian
ditanya tentang sesuatu yang tidak kalian ketahui maka larilah, maka mereka bertanya, ‘Wahai Amirul mukminin bagaimana cara larinya?’ Ia menjawab, ‘Engkau mengatakan Allahu ‘alam’.” (Dikeluarkan oleh Ad-Darimi)
319. Malik bin Anas berkata, “Tidaklah ada
seorangpun setelah nabi melainkan pendapatnya bisa diambil dan ditinggalkan.” (Irsayadus sholih II/227)
320. Imam Syafi’i berkata, “Ikutilah ia (sunnah
Rasulullah) dan janganlah engkau menoleh pada ucapan seorang pun.” (Dzammul kalam oleh al- harwaih III/47)
321. Imam Ibnu Hazm berkata, “Para ulama
bersepakat akan wajibnya memuliakan ahli qur’an, ahli islam dan nabi, demikian pula wajib hukumnya memuliakan para kholifah, pemilik keutamaan dan orang-orang yang berilmu.” (al- Adabus Syari’ah 1/408)
322. Imam Nawawi berkata, “Sudah selayaknya
seorang murid memperhatikan gurunya dengan sikap penuh hormat dan sudah selayaknya pula ia meyakini keahlian gurunya dibandingkan dengan lainnya, karena hal itu akan mengantarkan untuk mendapatkan manfaat yang banyak dari gurunya dan lebih membekas dalam hatinya terhadap apa yang ia dengar darinya.” (al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab 1/85) 323. Imam al-khothib al-Baghdadi berkata, “Wajib atas seorang murid untuk mengakui kelebihan gurunya dan hendaknya pula ia menyadari bahwa dirinya telah banyak mengambil manfaat darinya.” (Khotib al-Baghdadi al-Faqih wal Mutafaqqih 1/96)
324. Ibnul Jama’ah al-Kinani berkata, “Hendaknya
seorang murid mengenal hak-hak gurunya dan jangan melupakan jasa-jasanya.” (Tadzkirotus sami’, hlm. 90)
325. Imam Ibnul Jama’ah al-Kinani berkata,
“Hendaknya seorang penuntut ilmu mendoakan kebaikan untuk gurunya sepanjang masa, memperhatikan anak-anaknya, kerabatnya dan menunaikan hak-haknya apabila ia telah wafat.” (Tadzkirotus sami, hlm. 91)
326. Ibnul Jama’ah berkata, “Hendaknya seorang
murid mengetahui bahwa bersikap tawadhu’ kepada guru adalah kemuliaan dan tunduknya adalah kebanggaan.” (Tadzkirotus sami’, hlm. 88)
327. Ibnu Mu’taz berkata, “Orang yang
merendahkan dirinya dalam tholabul ilmi adalah orang yang paling banyak ilmunya sebagaimana bejana yang rendah adalah bejana yang paling banyak airnya.” (Adab at-talamudz, hlm. 32)
328. Ibnul Jama’ah al-Kinani berkata, “Hendaknya
seorang penuntut ilmu tidak mencukupkan diri dengan belajar guru-guru senior (terkenal) saja, karena hal itu dianggap oleh imam Al-ghozali termasuk kesombongan dan kebodohan. Ketahuilah bahwa hikmah bagaikan barang hilang yang dicari oleh seorang mukmin dia akan mengambilnya di mana pun dia mendapatkannya dan berterima kasih kepada orang yang memberikannya kepadanya. Demikian pula seorang penuntut ilmu akan berlari dari kebodohan sebagaimana ia berlari dari singa dan orang yang berlari dari singa tidak akan peduli kepada siapapun orang yang menunjukkan jalan keluar dan keselamatan kepadanya.” (Tadzkirotus sami, hlm. 87)
329. Sebagian ahli hikmah berkata, “Hendaknya
seorang penuntut ilmu meneladani akhlak, kepribadian, dan kebiasaan dan ibadah gurunya.” (Tadzkirotus sami’, hlm. 86)
330. Imam as-Syatibi berkata, “Hendaknya
seseorang tidak mengikuti kecuali ulama yang terpercaya (tsiqoh) selalu menegakkan hujjah dan paham terhadap hukum-hukum syar’i baik secara garis besar maupun terperinci. Perkara-perkara yang menyelisihi syari’at tidak boleh dijadikan hakim dan kesalahan-kesalahannya tidak boleh dicontoh dan ditiru.” (Al-‘itishom oleh Imam as- Syathibi 1/535)
331. Imam Nawawi berkata, “Janganlah kalian
mendatangi guru kalian ketika guru kalian dalam keadaan sibuk, sedih, lelah, atau lainnya karena hal itu akan menyebabkan dia kurang serius untuk menyampaikan pelajaran kepadamu.” (Al-Majmu’ Syarhul muhadzdzab 1/86)
332. Imam Ibnul Qoyyim berkata, “Barangsiapa
memiliki ilmu dia akan mengetahui dengan pasti bahwa orang yang mempunyai peran dan pengaruh dalam islam pada dasarnya ia sama seperti ahli islam yang lain. Kadangkala ia bisa tergelincir dan bersalah. Orang yang semacam ini diberi udzur bahkan bisa mendapatkan pahala karena ijtihadnya. Orang lain tidak boleh mengikuti ketergelincirannya dan tidak diperkenankan melecehkan kedudukannya di depan umum.” (‘Ilamul muwaqqi’in III/295) 333. Ibnul Jama’ah berkata, “Hendaknya seorang murid ketika berada dalam majelis ilmu mencurahkan perhatiannya, tidak menyibukkan diri dengan hal-hal lain selain tholabul ilmi, mengkonsentrasikan seluruh pikirannya, tidak mengantuk, marah, haus, lapar, dan lain sebagainya, yang demikian itu agar hatinya benar- benar siap menerima dan memahami ilmu yang disampaikan kepadanya.” (Tadzkirotus sami’, hlm. 96)
334. Imam Hasan al-Bashri berkata, “Apabila
engkau berada dalam majelis ilmu dengarkanlah dan jangan berbicara, belajarlah bagaimana mendengarkan dengan baik sebagaimana engkau belajar dengan baik dan jangan sekali-kali engkau memutus pembicaraan orang lain.” (Adab at- Talammudz, hlm. 43)
335. Syekh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin
berkata, “Duduklah dengan sopan dan jangan engkau luruskan kakimu di hadapannya karena ini termasuk yang tercela apalagi di majelis ilmu, lain halnya jika engkau duduk di tempat umum maka hal ini lebih ringan kesalahannya.” (At-ta’liq as- samin, hlm. 181)
336. Isa bin Maryam berkata, “Bertemanlah
dengan orang yang apabila anda melihatnya ia akan mengingatkan anda kepada Allah, dan apabila ia berbicara ia akan menambah pengetahuan anda serta mendorong anda untuk beramal meraih akhirat.” (Kaifa tatahammas Hi tholabil ilmi\182)
337. Ahmad bin Harb berkata, “Saya beribadah
kepada Allah selama 50 tahun tanpa pernah merasakan nikmatnya ibadah sehingga saya meninggalkan 3 tiga hal: (1) saya meninggalkan keridhoan manusia di saat saya berbicara tentang kebenaran, (2) saya tidak berkumpul dengan orang fasik sehingga saya bisa bergaul dengan orang- orang soleh, (3) saya meninggalkan kenikmatan dunia sehingga saya merasakan nikmatnya akhirat.” (Siyar’alamin nubala’ XI\32) 338. Sebagian ahli hikmah berkata, “Apabila anda berada di tengah manusia maka bertemanlah dengan orang yang terbaik di antara mereka, jangan bergaul dengan orang jahat karena anda akan menjadi jahat. Kepada seseorang jangan ditanya tentang ikhwal dirinya tapi bertanyalah kepada temannya, karena setiap teman akan mengikuti teman sepergaulannya.” (Kaifa tatahammas fi tholalabil ilmi hal 183)
339. Imam Auza’i berkata: “Ilmu yang bermanfaat
adalah ilmu yang dibawa oleh para sahabat, Muhammad, adapun yang selain itu maka bukanlah ilmu.” (Jami’ul bayanil ilmi wa hadhlihi oleh Ibnu Abdil Barr II/29) 340. Imam Hasan al-Bashri berkata: “Sesungguhnya yang disebut dengan faqih adalah orang yang tidak hasad kepada orang yang berada di atasnya tidak mencela orang yang berada di bawahnya, dan tidak mengambil upah atas ilmu yang diajarkan Allah kepadanya.” (Az-Zuhd hal 267)
341. Sebagian ahli hikmah berkata: “Barangasiapa
yang takut kepada Allah maka ketahuilah dia adalah seorang yang berilmu dan barangsiapa yang bermaksiat kepadanya maka ketahuilah dia adalah seorang yang jahil (bodoh).” (Al-Hilyah oleh Abu Nu’aim II/147) 342. Imam Hasan Al-Bashri berkata: “Sesungguhnya yang disebut faqih adalah orang yang zuhud di dunia dan cinta terhadap akhirat, mengetahui agamanya dan selalu menekuni ibadah terhadap Roobnya.” (Az-zuhd 267)
343. ‘Ali bin Abi Tholib berkata: “Tidaklah orang
yang mulia itu seperti orang yang hina dan tidak pula orang yang cerdik itu semacam orang yang bodoh. Nilai seseorang itu setiap kali dia bisa menguasai sesuatu dengan baik.” (Thoriq Baghdad ketika menyebut biografi Ahmad bin abdul jalil)
344. Sebagian ahli hikmah berkata: “Menuntut
ilmu dengan baik ini tidak akan bisa dicapai oleh orang yang banyak keluarga serta berkedudukan tinggi, hanya orang yang sedang sendirian yang mampu mencapainya. (Syarah kitab hilyah tholabil ilmi hal, 108 oleh Syekh Muhammad bin Sholih al- Utsaimin)
345. Sebagian ahli hikmah berkata: “Jika engkau
tidak mampu melakukan sesuatu maka tinggalkanlah. Dan lanjutkan pada yang engkau mampu melakukannya.” (Syarah kitab hilyah tholabil ilmi hal, 143, oleh Syekh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin)
346. Umar bin Khotthob berkata: “Belajarlah
kalian sebelum menjadi pemimpin karena seseorang kalau sudah menjadi pemimpin maka akan banyak urusannya, lalu pikirannya pun banyak bercabang, sehingga konsentrasinya pun buyar. Saat dia ingin mengerjakan sesuatu tiba- tiba ada keperluan lain yang jauh lebih mendesak dari yang akan dia kerjakan sebelumnya maka dia pun harus mengurungkan niatnya. Oleh karena itu bersungguh-sungguhlah engkau dalam belajar mumpung engkau masih punya waktu longgar, tela’ah, belajar dan bahaslah serta jadikan lembaran-lembaran kitab itu sesuatu yang menjadi rutinitas pandangan matamu. Ketahuilah bahwasanya kalau engkau terbiasa dengan sungguh dalam belajar maka ini akan akan menjadi kebiasaanmu, yang mana bila suatu saat engkau merasa malas saat sedang rekreasi misalnya, maka engkau akan mengingkari dirimu sendiri dan engkau akan menemukan sesuatu yang kosong pada dirimu.” (Syarah kitah Hilyah tholabil ilmi hal, 143)
347. Imam Mujahid bin Jabr berkata: “Orang yang
faqih adalah orang yang takut kepada Allah meskipun ilmunya sedikit. Dan orang yang bodoh adalah orang yang berbuat durhaka kepada Allah meskipun ilmunya banyak.” (Al-Bidayah wan nihayah V/237)
348. Imam Hasan Al-Bashri berkata: “Orang yang
faqih adalah orang yang zuhud terhadap dunia, sangat mengharapkan kehidupan akhirat, mengetahui agamanya dan rajin dalam beribadah, ia tidak iri terhadap orang yang berada di atasnya, tidak sombong terhadap orang yang berada di bawahnya, dan tidak mengambil imbalan dari ilmu yang telah Allah ajarkan kepadanya.” (Sunan ad- Darimi 1/89)
349. Sebagian ahli hikmah berkata: “Orang alim
adalah yang tidak mengaku-ngaku memiliki ilmu dan tidak berbangga dengannya terhadap seorangpun ia tidak menisbatkan kebodohan kepada seorangpun, kecuali seseorang yang jelas- jelas menyalahi sunnah dan ahlus sunnah. Ia marah kepadanya karena Allah ta’ala semata bukan karena kepribadiannya, tidak pula bermaksud meninggikan kedudukan dirinya sendiri di atas seorang pun.” (Fadhlu Ilmi as-Salaf ‘alal Kholaf hal 55-57) 350. Yahya bin Ammar berkata: Ilmu itu ada lima: (1) Ilmu yang merupakan kehidupan bagi agama yaitu ilmu tauhid. (2) Ilmu yang merupakan santapan agama yaitu ilmu tentang mempelajari makna-makna al-Qur’an dan hadits. (3) Ilmu yang merupakan obat agama yaitu ilmu fatwa. Apabila suatu musibah (malapetaka) datang kepada seorang hamba, ia membutuhkan orang yang mampu menyembuhkannya dari musibah itu. (4) Ilmu yang merupakan penyakit agama yaitu ilmu kalam dan bid’ah. (5) Ilmu yang merupakan kebinasaan bagi agama yaitu ilmu sihir dan yang sejenisnya.” (Majmu’ fatawa oleh Syaikhul islam Ibnu Taimiyyah X/145-146 dan siyar ‘alamin nubala’ XVII/482) 351. Imam Ahmad berkatam, “Pokok ilmu adalah rasa takut kepada Allah.” (Fadhlul ilmis salaf ‘alal kholaf, hlm. 52)
352. ‘Ali bin Abi Tholib berkata, “Orang yang
berilmu lebih besar ganjaran pahalanya dari pada orang yang berpuasa, sholat dan berjihad di jalan Allah.” (Al-Ilmu fadhluhu wa syarofuhu, hlm. 133)
353. Abu Hurairoh berkata, “Sungguh aku
mengetahui satu bab ilmi tentang perintah dan larangan lebih aku sukai dari pada tujuh puluh kali melakukan jihad di jalan Allah.” (Al-faqih wa mutafaqqih 1/102, No. 52) 354. Imam Hasan al-Bashri berkata, “Orang yang berilmu lebih baik dari pada orang yang zuhud terhadap dunia dan orang-orang yang bersungguh-sungguh dalam beribadah.” (Jami’ bayanil ilmi wa fadhlihi 1/120, No. 113)
355. Imam Sufyan ats-Tsauri berkata, “Aku tidak
mengetahui satu ibadah pun yang lebih baik dari pada mengajarkan ilmu kepada manusia.” (Jami’bayanilmi wa fadzlihi 1/211, No. 227)
356. Imam Muhammad bin Idris as-Syafi’i berkata,
“Tidak ada sesuatu pun yang lebih baik setelah berbagai kewajiban syari’at dari pada menuntut ilmu syar’i.” (Al-Ilmu fadhluhu wa syarofuhu, hlm. 135) 357. Imam Sufyan ats-Tsauri berkata, “Kebaikan di dunia adalah rizki yang baik dan ilmu sedangkan kebaikan di akhirat adalah surga.” (Jami’ Bayanil ilmi wa fadhlihi 1/230, No. 254)
358. Al-Imam Ibnul Qoyyim berkata, “Jihad
melawan hawa nafsu memiliki empat tingkatan: (1) berjihad untuk mempelajari ilmu yang bermanfaat dan agama yang benar, seseorang tidak akan mencapai kesuksesan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat kecuali dengannya, (2) berjihad untuk mengamalkan ilmu setelah mengetahuinya, (3) berjihad untuk mendakwahkan ilmu dan mengajarkannya kepada orang yang belum mengetahuinya, (4) berjihad untuk bersabar dalam mendakwahkan ilmu dan dari gangguan manusia. Dia menanggung kesulitan-kesulitan dakwah itu semata-mata karena Allah.
Apabila empat tingkatan ini terpenuhi pada
dirinya maka ia termasuk orang-orang yang Robbani.” (Zadul ma’ad Fi hadyi khairil ‘ibad III/10).
359. Abu Darda berkata, “Barangsiapa
berpendapat bahwa pergi mencari ilmu tidak termasuk jihad, sungguh ia kurang akalnya.” (Al- Ilmu wa fadhluhu wa syarafuhu, hlm. 145) 360. Ibnul Qoyyim berkata, “Jihad dengan hujjah (dalil) dan keterangan didahulukan atas jihad dengan pedang dan tombak.” (Al-Kaafiyah asy- Syaafiyah fil inntishari lil firqatin najiyah, hlm. 35 oleh Ibnul Qoyyim tahqiq Syaikh Ali bin Hasan Al- Halabi Al-Atsari Hafidhullah)
361. Sebagian ahli hikmah berkata, “Barangsiapa
yang mencari ilmu maka berarti ia telah berusaha mencari sesuatu yang membawa kebaikan bagi hamba-hamba Allah yang lain. Oleh karena itu dia dicintai para malaikat dan dihormati mereka sehingga mereka meletakkan sayap-sayapnya karena ridho, cinta dan hormat.” (Al-Ilmu fadhuluhu wa syarafatuhu, hlm. 58—60) 362. Sebagian ahli hikmah berkata, “Ilmu bagi hati adalah seperti air bagi ikan jika ikan tidak mendapat air, ia mati. Ilmu bagi hati juga seperti cahaya bagi mata dan pendengaran manusia terhadap suara manusia. Jika mata tidak mendapatkan cahaya, ia buta dan jika telinga tidak mendapatkan suara, ia tuli.” (Al-Ilmu Fadhuluhu wa Syarafuhu, hlm. 116—120)
363. Imam Ahmad bin Hanbal berkata, “Manusia
amat membutuhkan ilmu dari pada kebutuhan mereka kepada makanan dan minuman, karena makanan dan minuman hanya dibutuhkan dalam sehari satu atau dua kali, sedang ilmu dibutuhkan setiap saat.” (Thabaqhot Al-Hanabilah 1/146). 364. Sebagian ahli hikmah berkata, “Kebodohan adalah akar dan sumber dari segala kerusakan.” (Al-Ilmu fadhluhu wa syarafuhu, hlm. 101).
365. Israil Bin Yunus berkata, “Barangsiapa
menuntut ilmu karena Allah maka ia mulia dan bahagia di dunia, dan barang siapa menuntut ilmu bukan karena Allah maka ia merugi di dunia dan akhirat.” (Al-jami’ li akhlaakil rawi wa adaabis saami’ 1/83 no. 15)
366. Al-Khotib Al-Baghdadi berkata, “Wahai
penuntut ilmu! Luruskanlah niat dalam menuntut ilmu dan bersungguh-sungguhlah dalam mengamalkannya. Karena ilmu syar’i ibarat pohon dan amal itu merupakan buahnya, dan seseorang tidak dianggap sebagai orang yang berilmu selama ia belum mengamalkan ilmunya.” (Iqtidhaa’ Al- ilmi al-amal, hlm. 14)
367. Imam Ibnu Jama’ah berkata, “Niat yang baik
dalam menuntut ilmu adalah hendaklah ditunjukkan hanya untuk mengharap wajah Allah, beramal dengannya, menghidupkan syari’at, menerangi hatinya, menghiasi batinnya, dan mengharapkan kedekatan dengan Allah pada hari kiamat, serta mencari segala apa yang Allah sediakan untuk ahlinya (ahli ilmu) berupa keridhoan-Nya dan karunia-Nya yang besar.” (Tadzkiratus Sami wal mutakallim, hlm. 112— 113) 368. Imam Ibnul Jama’ah berkata, “Dalam menuntut ilmu janganlah bertujuan untuk memperoleh keuntungan duniawi, seperti kepemimpinan, jabatan, kehormatan, dan harta, berbangga di hadapan teman-temannya, diagungkan manusia, menjadi pemimpin di majelis dan hal-hal yang semisalnya.” (Tadzkiratus Sami, hlm. 113)
369. Imam Syafi’i berkata, “Saudaraku, engkau
tidak akan mendapat ilmu melainkan dengan enam perkara: (1) kecerdasan, (2) kemauan keras, (3) bersungguh-sungguh, (4) bekal yang cukup, (5) bimbingan guru, dan (6) waktu yang cukup lama.” (Diwaan Imam Syafi’i, hlm. 378) 370. Yahya bin Abi Katsir berkata, “Ilmu tidak akan diperoleh dengan tubuh yang dimanjakan (dengan santai).” (Jami’ Bayaanil ‘ilmi wa fadhlihi 1/385 no. 554)
371. Imam Ibnul Qoyyim berkata, “Di antara hal
yang sangat mengherankan bahwa ada seseorang yang mudah menjaga dirinya dan berhati-hati dari makanan-makanan yang haram, berbuat dzolim, berzina, mencuri, minum khomr, melihat kepada sesuatu yang haram, dan selainnya. Namun ia sangat sulit untuk menahan gerak lisannya hingga anda dapat melihat seseorang yang dianggap faham agama, zuhud dan banyak beribadah. Ia berbicara dengan kata-kata yang tanpa sadar dapat mendatangkan murka Allah ta’ala. Yang dengan satu kalimat darinya ia dimasukkan ke dalam neraka yang dalamnya lebih jauh dari pada jarak antara timur dan barat.” (Ad-da’ wa dawa’, hlm. 244)
372. Imam Malik berkata kepada Imam Syafi’i,
“Sesungguhnya aku melihat bahwa Allah telah memberikan cahaya kepada hatimu, maka janganlah engkau padamkan cahaya itu dengan kegelapan maksiat.” (Ad da’ wa dawa’, hlm. 124)
373. Imam Ibnul Mubarak berkata, “Sungguh aku
melihat dosa-dosa telah mematikan hati. Dan terus melakukan dosa akan mewariskan kehinaan, meninggalkan dosa adalah kehidupan bagi hati sangat baik bagi dirimu untuk meninggalkannya. Tidak ada yang merusak agama melainkan raja- raja, ulama-ulama suu’ (jelek) dan para ahli ibadah (yang tidak berilmu).” (Ad da’ wa dawa’, hlm. 95)
374. Imam Mujahid berkata, “Tidak akan
mendapatkan ilmu orang yang malu dan orang yang sombong.” (Al-Jami’ oleh Ibnu Abdil Baar 1/534-535 no. 879)
375. Imam Adh-Dhahak bin Muzahim berkata,
“Pintu pertama dari ilmu adalah diam, keduanya adalah mendengarkannya, ketiganya adalah mengamalkannya, dan keempat adalah menyebarkan dan mengajarkannya.” (Al-Jami’ Liakhlahir rawi wa adabis-sami’ 1/ 194) 376. Muhammad bin Abdul Wahhab Al-kufi berkata, “Diam itu mengumpulkan dua perkara bagi seseorang, selamat dalam agama dan pemahaman yang benar bagi pelakunya.” (Kitabus shamit wa adabulisan hal 69 no. 55 karya ibnu Abi Dunya)
377. Imam Nawawi berkata, “Seorang penuntut
ilmu tidak boleh mengangkat suara tanpa keperluan, tidak boleh tertawa, tidak boleh banyak berbicara tanpa kebutuhan, tanpa ada keperluan yang sangat, bahkan ia harus menghadapkan wajahnya ke arah gurunya ketika di dalam majelis ilmu.” (Syarah Muqoddimah al-Majmu’, hlm. 143 oleh Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin) 378. Sebagian ahli hikmah berkata, “Ilmu memanggil-manggil amal jika menyahutnya maka ia akan mendekat dan jika tidak maka ia pun pergi.” (Iqtidha’ al-ilmi al-amal no. 40-41)
379. Anas bin Malik berkata, “Wahai anakku
ikatlah ilmu dengan tulisan.” (Jami’ bayanil ilmi wa fadhlihi 1/ 316 no. 410)
380. Abu Abdillah Malik bin Anas berkata,
“Hendaklah engkau bertaqwa kepada Allah dalam keadaan sembunyi maupun terang-terangan, menasihati setiap muslim, dan mencatat ilmu dari ahlinya.” (Jami’ bayanil ilmi wa fadhlihi 1/245 no. 275) 381. Sebagian ahli hikmah berkata, “Menuntut ilmu syar’i bukanlah tujuan akhir tetapi sebagai pengantar kepada tujuan yang agung, yaitu adanya rasa takut kepada Allah, merasa diawasi oleh-Nya, taqwa kepada-Nya, dan mengamalkan tuntutan dari ilmu tersebut. Dengan demikian, maka siapa saja yang menuntut ilmu bukan untuk diamalkan niscaya ia diharamkan dari keberkahan ilmu, kemuliaannya, dan ganjaran pahalanya yang besar.” (Kaifa tatahammas li thalabil ilmi syar’I, hlm. 74)
382. Dahulu para salaf berkata, “Kami biasa
memohon bantuan dalam menghafalkan ilmu dengan cara mengamalkannya.” (Miftah darissa’adah 1/344) 383. Ibnu Mas’ud berkata, “Belajarlah kalian! Belajarlah kalian! Apabila kalian telah mengetahuinya maka amalkanlah.” (Iqtidha’ al- ilmi wa al-amal, hlm. 22-23 no. 10)
384. Al-Fudhail bin Iyadh berkata, “Manusia harus
belajar, jika sudah mengetahui mereka harus mengamalkannya.” (Iqtidha ilmi wa al-amal, hlm. 37)
385. Imam Ibnul Qoyyim berkata, “Ilmu memiliki
enam tingkatan: (1) baik dalam bertanya, (2) diam dan mendengarkan dengan baik, (3) memahami dengan baik, (4) menghafalkannya, (5) mengajarkannya, (6) mengamalkannya dan memperhatikan batasan-batasannya.” (Miftah daris sa’adah 1/ 511 oleh Ibnul Qoyyim)
386. Imam Waki’ bin al-Jarrah berkata, “Dahulu
kami biasa meminta bantuan dalam menghafal hadits dengan cara mengamalkannya. Dan kami biasa meminta bantuan dalam mencarinya dengan berpuasa.” (Jami’bayanil ilmi wafadhlihi 1/709 no. 1286)
387. Imam Ibnu Jauzi berkata, “Orang miskin yang
paling miskin adalah orang yang menghabiskan umurnya untuk mencari ilmu yang tidak ia amalkan sehingga ia kehilangan kelezatan dunia dan kebaikan akhirat. Ia akan datang pada hari kiamat dalam keadaan bangkrut bersama kuatnya hujjah (tuntutan) atasnya.” (Shaidul khatir, hlm. 140)
388. Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin
berkata, “Amal pada hakikatnya adalah buah dari ilmu. Barang siapa beramal tanpa ilmu, ia telah menyerupai orang nashrani. Dan barang siapa mengetahui ilmu namun tidak mengamalkannya, ia telah menyerupai orang yahudi.” (Syiarah al- Utsul Tsalatsah, hlm. 22)
389. Imam Ad-Dhohak berkata, “Tidaklah
seseorang mempelajari al-Qur’an kemudian ia lupa melainkan disebabkan dosa.” (Ma’alim fi thoriqi tholabil ilmi, hlm. 200) 390. Imam Bukhori adalah orang yang kuat hafalannya beliau pernah ditanya, “Apakah obat lupa itu?” Beliau menjawab, “Senantiasa melihat ke kitab, yaitu selalu membaca dan mengulangnya.” (Jami’ bayanil ilmi wa fadhlihi II / 1227 no. 2414)
391. Imam Ibnu Jama’ah berkata, “Waktu yang
paling baik untuk menghafal adalah waktu sahur, untuk membahas di pagi hari, untuk menulis di siang hari, dan untuk muthala’ah dan berdiskusi (mudzakarah) di malam hari.” (Tadzkiratus sami’ wa Mutakallim fi adabil ‘alim wa muta’alim, hlm. 118 oleh ibnul Jama’ah)
392. Imam Ibnu Jama’ah berkata, “Waktu yang
paling baik untuk menghafal adalah di waktu sahur kemudian pertengahan hari, dan selanjutnya di pagi hari. Menghafal di malam hari lebih mendatangkan manfa’at dari pada menghafal di siang hari dan ketika lapar (yang tidak sangat) lebih bermanfa’at dari pada ketika kenyang.” (Tadzkiratus sami’, hlm. 119)
393. Imam Ibnul Jama’ah berkata, “Tempat yang
paling baik untuk menghafal adalah kamar dan setiap tempat yang jauh dari hal-hal yang membuat lalai. Tidak baik apabila menghafal di tempat yang terdapat tumbuhan, di sekitar pohon- pohon yang menghijau, di tepi sungai, di tengah jalan, dan tempat yang bising, karena hal itu (umumnya) dapat mencegah kosongnya hati (untuk menghafal).” (Tadzkiratus sami’, hlm. 119) 394. Imam Sufyan Ats-Tsauri berkata, “Tidak ada sesuatu pun yang lebih berat untuk aku obati dari pada niatku.” (Tadzkirotus sami’, hlm. 112)
395. Imam Hasan Al-Bashri berkata, “Siapa yang
mencari ilmu karena mengharap negeri akhirat ia akan mendapatkannya. Dan siapa yang mencari ilmu karena mengharap kehidupan dunia maka kehidupan dunia itulah bagian dari ilmunya.” (Iqthidha’ al-Ilmu al-Amal, hlm. 66 no. 103)
396. Imam Malik bin Dinar berkata, “Barangsiapa
mencari ilmu bukan karena Allah Ta’ala maka ilmu itu akan menolaknya hingga ia dicari hanya untuk Allah Ta’ala.” (Jami’ bayanil ‘ilmi wa fadhlihi 1/748 no. 1376)
397. Abu Abdillah Ar-Rudzabari berkata, “Ilmu
tergantung amal, amal tergantung keikhlasan, dan keikhlasan mewariskan pemahaman tentang Allah.” (Iqtidha’ al-ilmi al-amal, hlm. 32 no. 30)
398. Imam Ibrohim An-Nakhai berkata,
“Barangsiapa mencari sesuatu berupa ilmu yang ia niatkan karena mengharap wajah Allah maka Allah akan memberikan kecukupan padanya.” (Sunan Ad-Darini 1/82)
399. Muhammad bin Samurah berkata, “Wahai
saudaraku, janganlah sifat menunda-nunda menguasai jiwamu dan tertanam dalam hatimu karena ia membuat lesu dan merusak hati, ia memendekkan umur kita, sedangkan ajal segera tiba, bangkitlah dari tidurmu dan sadarlah dari kelalaianmu! Ingatlah apa yang telah engkau kerjakan, engkau sepelekan engkau sia-siakan, engkau hasilkan, dan apa yang engkau lakukan, sungguh semua itu akan dicatat dan dihisab sehingga seolah-olah engkau terkejut dengannya dan engkau sadar dengan apa yang telah engkau lakukan, atau menyesali apa yang telah engkau sia-siakan.” (Iqhtidha’ al-ilmi al-amal, hlm. 114 no. 201)
400. Imam Malik bin Anas berkata, “Tidak boleh
menuntut ilmu dari empat orang: (1) orang bodoh yang menampakkan bodohnya meskipun banyak meriwayatkan hadits, (2) ahlu bid’ah yang mengajak kepada hawa nafsunya, (3) orang yang berdusta saat berbicara dengan orang lain meskipun ia tidak berdusta dalam meriwayatkan hadits, (4) orang sholih ahli ibadah namun tidak memahami apa yang ia katakana. (Siyar ‘Alamin Nubala’ VI/61)
401. Imam Abdullah Ibnul Mubarok berkata, “Aku
mempelajari adab selama 30 tahun kemudian aku menuntut ilmu selama 20 tahun, mereka mempelajari adab sebelum belajar ilmu.” (Minhadyis salaf fitholabil ilmi, hlm. 23)
402. Imam Abdullah Ibnul Mubarok berkata,
“Kami lebih sangat membutuhkan adab dari pada banyaknya hadits.” (Minhadyis salaf fit tholabil ilmi 1/80)
403. Imam Ibnul Mubarok berkata, “Adab itu dua
pertiga ilmu.” (Minhadyis salaf fit tholabil ilmi, hlm. 23)
404. Imam Sufyan ats-Tsauri berkata, “Dahulu
para salaf mereka tidak menyuruh atau mengirimkan anak-anak mereka untuk menuntut ilmu sehingga mereka mempelajari adab dan beribadah selama dua puluh tahun.” (Hilyatul auliya’ VI/361)
405. Al-Khotib al-Baghdadi berkata, “Hendaknya
seorang penuntut ilmu dan hadits berbeda dalam semua urusannya (amal dan akhlaknya) dari cara dan perbuatan orang-orang awam.” (Al-Jami’ li akhlakir Rowi wa adabis sami’ 1/142)
406. Sahl bin Abdullah ats-Tsauri berkata, “Hati
yang di dalamnya terdapat sesuatu yang dibenci Allah ta’ala maka akan terhalang menerima cahaya ilmu.” (Tadzkirotu sami’, hlm. 111)
407. Imam Adz-Dzahabi berkata, “Amanah bagian
dari agama ketelitian termasuk bagian kepandaian, adapun orang-orang yang hafidz hendaknya ia adalah orang-orang yang bertaqwa, pandai, menguasai ilmu nahwu, bahasa arab, bersih hatinya, pemalu dan seorang salafi (mengikuti manhaj salaf).” (Siyar ‘alamin nubala’ XIII/380) 408. Syekh Bahr Abu Zaid berkata, “Hiasilah dirimu dengan etika-etika jiwa berupa menjaga kehormatan diri, santun, sabar, rendah hati dalam menerima kebenaran, berperilaku tenang dalam bersikap dan berwibawa, teguh serta tawadhu’ juga mampu menanggung beban berat kehinaan selama belajar demi memperoleh kemuliaan ilmu serta bersedia tunduk kepada kebenaran.” (Hilyah tholabil ilmi, hlm. 14)
409. Imam Al-Khotib berkata, “Penuntut ilmu
hadits wajib menghindar dari suka bermain, berbuat sia-sia dan bersikap rendahan dalam majelis ilmu seperti, tertawa terbahak-bahak, banyak membuat lelucon, dan selalu bersenda- gurau. Senda gurau itu hanya diperbolehkan jika dilakukan kadang-kadang saja asal tidak melanggar adab dan sopan santun dalam menuntut ilmu. Adapun jika dilakukan terus- menerus, mengucapkan ucapan kotor, jorok serta yang bisa menyakitkan, semua itu adalah perbuatan tercela. Sebab, banyak senda gurau dan tertawa akan menghilangkan harga diri.” (Al-jami’ li akhlaqir rowi wa adabis sami’ 1/156 oleh Al- khotib al-baghdadi)
410. Imam Al-Ahnaf bin Qais berkata, “Jauhkanlah
majelis kita dari menyebut-nyebut wanita dan makan, aku benci kepada seorang laki-laki yang suka membicarakan kemaluan dan perutnya.” (Siyar ‘alamin nubala’ IV/94) 411. Imam Ibnu Majah berkata, “Siapa yang tidak sabar terhadap kehinaan dalam belajar maka sisa umurnya ada pada kebutaan dan kebodohan dan siapa yang sabar terhadap hal itu maka urusannya akan menjangkau kemuliaan dunia dan akhirat.” (Tadzkirotus sami’ 140)
412. Imam Syafi’i berkata, “Bersabarlah atas
pahitnya perilaku kasar sang guru karena melekatnya ilmu dengan menyertainya. Siapa yang belum merasakan kehinaan belajar sesaat, ia akan mereguk hinanya kebodohan sepanjang hayat, siapa yang tidak belajar di masa mudanya bertakbirlah empat kali atas kematiannya, hidupnya seorang pemuda-Demi Allah-adalah dengan ilmu dan ketakwaan, sebab, jika keduanya tidak ada padanya maka tiada lagi jati dirinya.” (Diwan as-Syafi’I, hlm. 164-165)
413. Imam Ibnu Jama’ah berkata, “Hendaklah
seorang penuntut ilmu datang lebih awal ke tempat belajar dari pada gurunya tidak terlambat sehingga gurunya dan para jama’ah yang hadir telah duduk. Hendaklah beradab ketika menghadiri pelajaran, yaitu menghadirinya dengan penampilan yang paling baik dan bersih dan hendaklah ia menahan diri dari tidur, mengantuk, tertawa dan selainnya.” (Tadzkirotus sami’, hlm. 300) 414. Imam Nawawi berkata, “Hendaknya seorang penuntut ilmu berkemauan keras untuk belajar ilmu syar’i, ia selalu dan senantiasa menggunakan seluruh waktunya untuk menuntut ilmu, baik malam maupun siang, di saat mukim atau safar. Ia tidak mau sedikitpun waktunya hilang sia-sia dengan tidak memperoleh ilmu, kecuali sekedar keperluan makan, tidur, dan hal-hal yang mesti ia lakukan dan juga untuk istirahat sebentar, untuk menghilangkan kebosanan (kejenuhan) dan hal- hal yang penting lainnya. Dan tidak termasuk orang yang berakal (seorang penuntut ilmu) yang sudah ditempatkan sederajat dengan pewaris para nabi kemudian ia menyia-nyiakan waktu untuk menuntut ilmu.” (Syarah Muqoddimah al-majmu’, hlm. 145 oleh Syekh Muhammad bin Sholih) 415. Imam Ibnul Qoyyim berkata, “Berkumpul bersama-sama teman itu terbagi dua: salah satunya adalah berkumpul untuk kesenangan dan menghabiskan waktu, maka hal ini bahayanya lebih besar dari manfaatnya, minimal hal ini akan merusak hati dan menyia-nyiakan waktu. Dan yang kedua berkumpul bersama mereka untuk saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran. Hal ini termasuk perbuatan yang paling mulia dan bermanfaat, namun menimbulkan 3 bahaya: (1) Saling berbasa-basi. (2) Banyak bicara. (3) Dan berkumpul lebih dari kebutuhan hal ini kan menjadi kecenderungan hati dan kebiasaan sehingga menghalangi tujuan utamanya.” (Al- Fawaid, hlm. 630) 416. Imam Syafi’i berkata, “Carilah ilmu seperti ibarat seorang ibu yang sedang mencari anaknya yang hilang dan ia tidak memiliki anak kecuali anak tersebut.” (Ma’alim fi thoriqi tholibil ilmi, hlm. 41)
417. Ibnu Jama’ah berkata, “Hendaknya seorang
penuntut ilmu bersegera memanfaatkan masa mudanya dan seluruh waktu dari umurnya untuk memperoleh ilmu. Janganlah ia tergoyahkan dengan tipuan angan-angan kosong dan menunda-nunda, karena setiap jam dari umurnya akan berlalu, tidak akan pernah kembali dan tidak dapat diganti.” (Tadzkirotus sami’, hlm. 114) 418. Ibnul Jama’ah berkata, “Penuntut ilmu hendaknya membagi waktu malam dan siangnya, dan memanfaatkan umur yang tersisa padanya karena umur yang tersisa tidak ada bandingannya.” (Tadzkirotus sami’, hlm. 117)
419. Ibnul Jama’ah berkata, “Penuntut ilmu
hendaknya meninggalkan berlebih-lebihan dalam bergaul, keluar ke jalan-jalan, ke pasar atau ke tempat lainnya untuk melakukan hal-hal yang tidak penting dan tidak bermanfaat.” (Tadzkirotus sami’, hlm. 118)
420. Ibnul Jama’ah berkata, “Penuntut ilmu
hendaknya menyedikitkan tidur selama tidak mendatangkan kemadhorotan pada badan dan otaknya. Janganlah menambah waktu tidurnya melebihi delapan jam yaitu sepertiga waktunya (dari 24 jam). Jika keadaannya memungkinkan untuk tidur kurang dari waktu tersebut maka lakukanlah. Dan hendaknya ia meninggalkan berlebih-lebihan dalam makan, minum, jima’ (bersetubuh) serta menjauhi banyak gurau dan tawa.” (Tadzkirotus sami’, hlm. 124-125)
421. Imam Ibnul Qoyim berkata, “Ada empat hal
yang dapat membuat hati menjadi keras, yaitu berlebihan dalam berbicara, berlebihan dalam makan, berlebihan dalam tidur dan berlebihan dalam bergaul.” (Fawaidul fawaid, hlm. 2620) 422. Sulaiman At-Taimi berkata: “Jika engkau membiasakan diri untuk tidur maka ia akan terbiasa dengannya, dan jika engkau membiasakan untuk bergadang maka ia akan terbiasa dengannya.” (Mukhtasor qiyamul lail, hlm. 55)
423. Syekh Bahr Abu zaid berkata,
“Kelancanganmu adalah kesombongan, keangkuhanmu kepada orang yang telah mengajarkan ilmu kepadamu hanya karena umurnya lebih muda dari pada engkau adalah ke sombong, engkau sembrono tidak mengamalkan ilmumu adalah lumpur kesombongan dan tanda diharamkannya ilmu itu darimu.” (Hilyah Tholibil ilmi, hlm. 15) 424. Imam Ibnu Rojab berkata, “Ilmu yang bermanfaat akan menuntut kepada dua perkara: (1) Mengenal Allah dan segala apa yang menjadi haknya berupa nama-nama yang indah, sifat-sifat yang tinggi dan perbuatan-perbuatan yang agung. Hal ini mengharuskan adanya pengagungan, rasa takut, rasa cinta, harap, dan tawakkal kepada Allah serta ridho terhadap takdir dan sabar terhadap segala musibah yang Allah ta’ala berikan. (2) Mengetahui segala apa yang diridhoi dan dicintai Allah dan menjauhi segala apa yang dibenci dan dimurkai-Nya berupa kehinaan, perbuatan yang lahir dan batin. Hal ini mengharuskan orang yang mengetahuinya untuk bersegera melakukan segala apa yang dicintai dan diridhoi Allah dan menjauhi segala apa yang dibenci dan dimurkai-Nya, apalagi ilmu itu menghasilkan hal ini bagi pemiliknya maka inilah ilmu yang bermanfaat. Kapan saja ilmu itu bermanfaat dan menancap di dalam hati maka sungguh hati itu akan merasa khusyuk, takut, tunduk, mencintai dan mengagungkan Allah, maka jiwa merasa cukup dan puas dengan sedikit yang halal dari dunia dan merasa kenyang dengannya sehingga hal itu menjadikannya qona’ah dan zuhud di dunia.” (Fadlu ilmis ‘alal kholaf, hlm. 47)
425. Syakhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Ilmu
adalah apa yang dibangun di atas dalil dan ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang dibawa oleh Rasulullah. Terkadang ada ilmu yang tidak berasal dari Rasulullah, namun dalam urusan duniawi, seperti ilmu kedokteran, ilmu hitung, ilmu pertanian dan ilmu perdagangan.” (Majmu’ fatawa VI/383, XIII/136)
426. Sebagian ahli hikmah berkata,
“Sesungguhnya Allah memudahkan memasuki surga bagi orang yang menuntut ilmu yang tujuannya untuk mencari wajah Allah, untuk mendapatkan ilmu, mengambil manfaat dari ilmu syar’i dan mengamalkan konsekuensinya.” (Jami’ul ulmu wal hikam II/297)
427. Imam Syafi’i berkata, “Menuntut ilmu lebih
utama dari sholat Sunnah.” Dia juga berkata, “Barangsiapa yang mendambakan dunia haruslah ia berilmu. Barangsiapa yang mendambakan akhirat ia harus berilmu.” (Tahdzbul asma wallughot oleh an-Nawawi 1/74)
428. Imam Syafi’i berkata, “Tidak ada jalan yang
lebih utama untuk mendekatkan diri kita kepada Allah setelah sholat fardhu, kecuali menuntut ilmu.” (Tahdzbul asma wal lughot oleh an-nawawi 1/74)
429. Yahya bin Ma’in berkata, “Ada 4 golongan
yang tidak bisa diambil kebaikan dan mafa’at dari mereka: Penjaga pintu gerbang, asisten qodhi, anak muhaddits (ahli hadits), dan seorang yang belajar di negerinya dan tidak keluar mencari hadits.” (Ma’rifatul hadits oleh al-Hakim, hlm. 9) 430. Imam al-Manawi berkata, “Ilmu yang bermanfaat adalah yang akan menambah rasa takutmu kepada Allah serta menambah ilmu dan keyakinanmu akan aib-aib dirimu, kesalahan amalmu, dan menambah zuhudmu terhadap kehidupan dunia. Apabila hatimu terdorong untuk menuntut ilmu yang tidak seperti ini ketahuilah bahwa setan telah memasukkan ke dalam hatimu suatu penyakit yang berbahaya, yaitu kecintaan akan harta dan kedudukan maka hati-hatilah jangan sampai kamu terpedaya hingga kamu jadi bahan tertawaan, sementara kamu akan binasa dan ia akan mengolok-ngolokmu.” (Faidul qodir)
431. Imam Syafi’i berkata, “Tidak layak orang yang
menuntut ilmu, kecuali bagi orang yang siap miskin.” (Al-Jami’ oleh al-khotib 1/39) 432. Imam Syafi’i berkata, “Tidak mungkin menuntut ilmu orang yang pembosan dan sering berubah pikiran serta merasa puas dengan apa yang ada pada dirinya. Akan tetapi, menuntut ilmu dengan menahan diri, kesempitan hidup, dan berkhidmat untuk ilmu tersebut maka ia akan beruntung.” (Tadribur rowi oleh as-Suyuthi, hlm. 345)
433. Imam al-Manawi berkata, “Orang yang
mengamalkan ilmu berhak untuk dihormati dan dimuliakan karena mereka adalah orang-orang pilihan, cahaya yang menerangi bumi, pilar-pilar agama, dan pejuang-pejuang yang akan menghadapi musuh Allah. Mereka adalah wali Allah dan pengganti para nabi.” (Faidul Qodir2/93)
434. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata,
“Barangsiapa yang diinginkan oleh Allah untuknya suatu kebaikan, Allah akan jadikan ia faham dalam urusan agama. Orang yang tidak faham agama berarti Allah tidak menginginkan untuknya kebaikan.” (Majmu’ al-Fatawa 28/80)
435. Abu Nu’aim berkata, “Orang yang tidak
faham agama berarti Allah tidak peduli padanya.” (Faidul Qodir 1/258)
436. Abu Ya’la berkata, “Barangsiapa yang
diberikan oleh Allah kepahaman dalam agama jelaslah kebenaran padanya dan Allah menginginkan kebaikan yang besar untuknya, sebagaimana dijauhkannya ia dari kesulitan.” (Faidul Qodir 1/258)
437. Lukman Al-Hakim berkata kepada anaknya,
“Wahai anakku duduklah dengan ulama’ dan rapatkanlah kedua lututmu kepada mereka karena sesungguhnya Allah akan menghidupkan hati dengan cahaya hikmah sebagaimana Allah menghidupkan tanah yang mati dengan curahan hujan.” (al-Muwatho’, no. 1821)
438. As-Syafi’i berkata, “Tidak akan beruntung
orang yang menuntut ilmu kecuali orang yang menuntutnya dengan keadaan serba kekurangan. Aku dahulu untuk mencari sehelai kertas pun sangat sulit.” (Tahdzib al-asma wal lughot 1/75)
439. As-Syafi’i berkata, “Tidak mungkin seorang
menuntut ilmu dengan keadaan serba ada dan harga diri yang tinggi akan beruntung. Akan tetapi, orang yang menuntut ilmu dengan tunduk, kesempitan hidup, berkhidmah kepada ilmu dan merendah diri, maka ia akan beruntung.” (Tahdzib al-Asma wal lughot 1/75)
440. As-Syafi’i berkata, “Pahamilah ilmu sebelum
kamu menjadi pemimpin. Jika telah memimpin tidak ada jalan lagi untuk mendalami ilmu.” (Tahdzib al-Asma’ wal lughot 1/75) 441. As-Syafi’i berkata, “Barangsiapa yang menuntut ilmu haruslah mendalam agar hal-hal terkecil dari ilmu tersebut tidak hilang darinya.” (Tahdzib al-asma’ wal lughot 1/75)
442. As-Syafi’i berkata, “Siapa yang tidak
mencintai ilmu, tidak ada kebaikan padanya. Maka, janganlah kamu berteman atau berkenalan dengannya.” (Tahdzib al-asma’ wal lughot 1/75)
443. Al-Qodhi berkata, “Seorang yang alim apabila
ditanya tentang sebuah makna dan pendapat, kemudian dia melihat pada penanya yang memiliki kemampuan dan kecerdasan yang siap untuk memahami, seharusnya ia mengajarinya dan tidak menolaknya.” (Faidul Qodir) 444. Abdullah bin Mubarok berkata, “Hamdun bin Ahmad pernah ditanya, ‘Kenapa perkataan kaum salaf lebih berarti dari perkataan kita?’ Dia menjawab, “Karena mereka berbicara untuk kemuliaan Islam, menyelamatkan jiwa dan mencari ridho Allah, sedangkan kita berbicara untuk mengangkat diri, mencari dunia dan mencari keridhoan makhluk.” (Shifatus shofwah 4/122)
445. Imam al-Manawi berkata, “Perumpamaan
seseorang yang mempelajari ilmu dan tidak menyampaikannya seperti orang yang menumpuk harta dan enggan untuk berinfak. Keduanya sama- sama akan menyebabkan petaka pada dirinya dengan diadzab pada hari kiamat. Maka, sudah menjadi kewajiban bagi setiap orang yang berilmu mencurahkan ilmunya pada orang-orang yang berada di sekitarnya. Akan tetapi hendaklah ia melihat keutamaan yang ada karena telah menyiapkan hati dalam rangka mendekatkan hati kepada Allah. Hati sebagai lahan yang akan disemai benih-benih ilmu, seumpama orang yang menyiapkan lahan subur untuk menanam sesuatu yang bermanfaat untuk dirinya. Kalaulah tidak karena para pelajar, seorang guru takkan berarti.” (Faidul Qodir 5/509)
446. Ibnu Mas’ud berkata, “Bagaimana jika kalian
tertimpa fitnah, ketika anak kecil menjadi besar dan orang tua menjadi renta, bila kalian menjalankan suatu sunnah lalu pada suatu hari berubah dan dikatakan sebagai satu kemunkaran. Seseorang bertanya: “Kapankah hal itu terjadi?” Dia berkata, “Apabila telah sedikit orang yang bisa percaya dan banyaknya para penguasa, sedikitnya orang yang berilmu dan banyaknya Qori’ belajar bukan untuk agama dan mencari dunia dengan amalan akhirat.” (Diriwayatkan ole Abdur rozzaq dalam Mushannaf 11/352)
447. Abdullah bin Mu’taz berkata, “Ilmu bila tidak
diamalkan bagaikan pohon yang tidak berbuah.” (Iqthidho’ al-ilmi al-amal, hlm. 37)
448. Mithrof bin As-Syahir berkata, “Wahai
saudaraku, bersungguh-sungguhlah dalam beramal. Jika seandainnya kelak kita mendapatkan seperti apa yang kita harapkan dari rahmat dan ampunan Allah, kita akan mendapatkan kedudukan yang tinggi di surga. Jika keadaan sebaliknya sebagaimana yang kita cemaskan, setidaknya kita tidak akan berkata, ‘Ya Allah, kembalikanlah kami agar kami melakukan sesuatu yang berbeda dengan apa yang pernah kami perbuat.’ Kita hanya berkata, ‘Kami telah beramal, akan tetapi tidak bermanfaat bagi kami.’” (Iqtidho’ alilm al-amal, hlm. 95)
449. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata,
“Sesungguhnya ilmu itu wajib disampaikan. Barangsiapa yang ditanya tentang ilmu yang telah diketahuinya dan ia menyembunyikannya, maka Allah akan membelenggunya dengan belenggu dari neraka pada hari kiamat. Ilmu itu tidak akan bertambah bila diajarkan dan tidak akan berkurang seperti harta bila diinfakkan. Ini tak ubahnya bagaikan pelita.” (Majmu’ al-Fatawa 1/185)
450. Hasan berkata, “Sesungguhnya seseorang
yang mengetahui satu bab dari bidang ilmu kemudian diamalkan lebih baik baginya dari dunia dan segala isinya.” (Jami’ bayanil ilmi wa fadhlih, hlm. 52)
451. Abdullah bin Yahya bin Abu katsir berkata,
“Ilmu tidak akan pernah didapat dengan bersenang-senang.” (Shohih Muslim, no. 612) 452. Imam Abu Sa’ad as-Sham’ani berkata, “Bila anda menyaksikan seorang pemuda yang telah beranjak dewasa tidak membawa tempat tinta dan kertas dan anda tidak melihat mereka bersama para ulama di halaqohnya, mereka tidak akan memperoleh berita-berita yang baik, anggaplah mereka tidak ada. Ketahuilah mereka itu lemah, mereka telah menukar cita-cita yang tinggi dengan kebodohan.” (Shofahat min shobril ulama’, hlm. 45-47 dan 138-139)
453. Az-zamakhsari berkata, “Ilmu tidak akan
diperoleh dengan ibadah, ketakwaan, berjihad, dan olahraga. Akan tetapi, hanyalah dengan memahami sesuai dengan dasar, hati yang lapang, dan pikiran yang jernih.” (Faidul Qodir 2/569) 454. Sebagian ahli hikmah berkata, “Yang menjadi imam adalah yang paling berilmu, setelah itu baru yang paling baik bacaannya.” (Minhajul Hajah Syarhu Sunan Ibnu Majah 1/20)
455. Yunus bin Maisaroh bin Halbas berkata,
“Kebaikan itu adalah kebiasaan. Karena, jiwa seseorang selalu ingin mengulanginya dan bersikeras atasnya adalah berasal dari fitroh. Adapun keburukan dikatakan keras kepala karena adanya penyimpangan dan kesempitan jiwa serta kesusahan.” (Faidul Qodir)
456. Sebagian ahli hikmah berkata, “Orang yang
menuntut ilmu karena dunia bukanlah termasuk ulama’ yang mewariskan ilmu para nabi.” (Syarhu Sunan Ibnu Majah, 1/20)
457. Ibrohim al-Ajuri berkata, “Siapa yang
menuntut ilmu dengan keadaan prihatin ia akan memperoleh pemahaman.” (Shofahat min shobril ulama’, hlm. 146)
458. Abu Darda’ berkata, “Saya ingin menuntut
ilmu dan saya khawatir tertinggal. Dia berkata, Ketahuilah engkau bergelimang dengan ilmu lebih baik dari pada bergelimang dengan kebodohan.” (Al-Fariq, Lisanul ‘Arob 4/59)
459. Utsman bin Abu Sayibah berkata, “Tidak lama
lagi akan datang masa di mana para ahli hadist datang mengetuk pintu rumah orang dan berkata, ‘Apakah kalian ingin seorang ahli hadist menyampai hadis kepada kalian?’ Mereka akan berkata, ‘Tidak.’” (Al jami’ Li akhlaqir rawi hal 200)
460. Ibnu Abdil Bar berkata, “Kesibukan mencari
dunia akan menghalangi menuntut ilmu. Setiap orang yang terus belajar akan merasakan bodoh dan kurang ilmu serta akan merasakan Allah-lah yang lebih mengetahui.” (At-tahmid 3/202)
(Al-Qur’an)
461. Ibnu Hubairoh berkata, “Di antara tipu daya
setan adalah menjauhkan hamba-hamba Allah dari tadabur al-Qur’an, sebab ia tahu bahwa hidayah itu ada ketika tadabur al-Qur’an, setan akan berkata, ‘Ini sangat berbahaya’ sehingga manusia akan berkata: ‘saya tidak akan berbicara tentang al-Qur’an.’” (Dzail Thabaqaat al- Hanabilah oleh Ibnu Rajab III/273)
462. Ibnul Qoyyim berkata, “Barangsiapa yang
berkata, ‘Sesungguhnya al-Qur’an memiliki takwilan yang tidak kita pahami dan tidak kita ketahui, kita hanya membaca lafadz-lafadznya sebagai bentuk beribadah saja maka sungguh dalam hatinya terdapat penyimpangan.’” (at- Tibyan fi as-Samil Qur’an, hlm. 144)
463. Abu Ubaid berkata, “Janganlah seorang
hamba bertanya kepada dirinya kecuali tentang al- Qur’an, maka apabila ia mencintainya berarti ia mencintai Allah dan Rosul-Nya.” (Mushannaf Ibnu Abi Syaibah X/485)
464. Ibnu Taimiyyah berkata, “Barangsiapa yang
tadabbur al-Qur’an untuk mendapatkan petunjuk darinya maka jalan kebenaran akan menjadi jelas baginya.” (al-Aqidah al-Wasithiyah, hlm. 103)
465. Sebagian ahli hikmah berkata, “Barangsiapa
yang membaca al-Qur’an dengan niat ingin mendapatkan ilmu maka Allah akan mengaruniakan ilmu kepadanya, dan barangsiapa yang membaca ilmu karena ingin mendapatkan pahala saja maka Allah akan memberikan pahala kepadanya.” (Mafatih Tadabbur al-Qur’an, hlm. 64 oleh Dr. Khalid Abdul Karim)
466. Al-Qurtubi berkata, “Apabila seorang hamba
mendengarkan ayat-ayat kitabullah dan sunnah nabi dengan niat yang benar sesuai yang dicintai Allah, maka Allah akan memahamkannya sebagaimana lazimnya dan menjadikan dalam hatinya cahaya.” (Tafsir al-Qurthubi XI/176)
467. Sebagian ahli hikmah berkata, “Barangsiapa
membaca al-Qur’an karena ingin mendapatkan kesuksesan maka Allah akan mempermudah kesuksesan baginya.” (Mafatih Tadabbur, hlm. 65) 468. Ibnu Mas’ud berkata, “Apabila anda menginginkan ilmu maka bukalah al-Qur’an karena di dalamnya terkandung ilmu ummat terdahulu dan yang akan datang.” (Syu’abul Iman oleh al-Baihaqi V/231)
469. Al-Hasan bin Ali berkata, “Orang-orang
sebelum kalian memandang bahwa al-Qur’an adalah surat-surat dari Robb mereka. Sehingga mereka mentadabburinya di waktu malam dan mencarinya di waktu siang hari.” (at-Tibyan oleh Imam an-Nawawi).
470. Masruq bin al-Ajda berkata, “Tidaklah kami
bertanya kepada para sahabat Muhammad tentang sesuatu melainkan ilmunya telah terdapat dalam al-Qur’an namun ilmu kita tentang al-Qur’an terlalu minim.” (Syu’abul Iman al-Baihaqi)
471. Al-Hasan Al-Bashri berkata, “Tidaklah Allah
menurunkan sebuah ayat melainkan Dia sangat menyukai untuk diketahui berkaitan dengan apa ayat tersebut diturunkan dan apa maksud dari ayat tersebut.” (Tafsir al-Qurtubi 1/26)
472. Abdullah bin Umar berkata, “Pegang teguhlah
al-Qur’an, pelajarilah ia dan ajarkan kepada anak- anak kalian karena sesungguhnya kalian akan ditanya tentangnya dan akan diberi pahala karenanya dan cukuplah al-Qur’an sebagai nasihat bagi orang yang berakal.” (Kanzul Ummal, hlm. 23) 473. Al-Hasan Al-Bashri berkata, “Membaca Al- Qur’an terbagi menjadi tiga golongan: (1) Menjadikan al-Qur’an sebagai mata pencaharian mereka, satu golongan lagi membaca huruf- hurufnya namun mengabaikan batasan- batasannya. (2) Membanggakan atas penduduk negerinya. (3) Menggunakannya untuk menarik penguasa. Golongan ini jumlahnya sangat banyak di kalangan para pembawa Al-Qur’an, semoga Allah tidak memperbanyak jumlah mereka, dan satu golongan lagi mengambil obat dari Al-Qur’an untuk menyembuhkan penyakit hati mereka, dengannya mereka merasa tenang ketika dalam peperangan, dengannya menyayangi pemimpin mereka, merasa khawatir dan menggigil kulit mereka (ketika mendengarnya) merekalah golongan yang menjadi sebab diturunkannya hujan dan dimenangkan atas musuh-musuh mereka. Demi Allah golongan inilah yang lebih mulia dari pada al-kibrit al-ahmar (emas murni).” (Ibnul Jauzi fii al-‘Ilal 1/110)
474. Ahmad bin Abi Hawari berkata, “Sungguh
ketika aku membaca Al-Qur’an dan menyimak sebuah ayat, maka kacaulah pikiranku aku sangat heran kepada para penghafal Al-Qur’an, kenapa mereka dapat tidur dengan tenang dan leluasa sibuk dengan urusan dunia sedangkan selalu membaca kalamullah? Seandainya mereka memahami apa yang mereka baca dan mengetahui dengan sebenar-benarnya, menikmatinya dan merasakan manisnya munajat, niscaya kantuk mereka akan hilang karena kegembiraan yang telah dikaruniakan kepada mereka.” (Lataaifu al- Ma’arif, hlm. 203)
475. Ibnu Mas’ud berkata, “Cukuplah dengan
takut kepada Allah dianggap sebagai ilmu, dan cukuplah dengan melalaikan Allah sebagai bentuk kebodohan.” (Miftah Darus Sa’adah 1/51)
476. Malik bin Dinar berkata, “Al-Qur’an adalah
musim seminya seseorang muslim, ibarat hujan adalah musim seminya tanah.” (Ihya’ Ulumuddin 1/285)
477. Ibnul Qoyyim berkata, “Kesucian manusia
dan perbaikannya memiliki dua sisi: (1) Ilmu dan pengajaran, pikiran, akal, penjelasan, keyakinan dan lain sebagainya. Berupa istilah yang semakna lainnya. (2) Amal, pendidikan, latihan, perangai dan istilah-istilah semakna lainnya. Dan al-Qur’an itu adalah kitab pendidikan dan pengajaran yang tidak membutuhkan yang lain.” (Miftah Daarus sa’adah)
478. Ali bin Abi Tholib berkata, “Wahai pembawa
al-Qur’an atau wahai pembawa ilmu! Ketahuilah, bahwa seorang alim (ahli ilmu) adalah orang yang mengamalkan apa yang telah ia ketahui, dan amalannya sesuai dengan ilmu-ilmu, akan ada sekelompok kaum yang memiliki ilmu namun tidak melebihi kerongkongan mereka, amalan mereka bertentangan dengan ilmu mereka, dan yang tersembunyi berlainan dengan yang nampak, mereka duduk melingkar saling membanggakan diri satu sama lain, hingga seseorang akan marah kepada temannya apabila duduk dengan selainnya dan ia akan meninggalkannya. Merekalah orang- orang yang amalannya di dalam majelis tersebut tidak pernah naik sampai kepada Allah.” (at- Tibyan fii Hamalatil Qur’an 1/20)
479. Al-Hasan al-Bashri berkata, “Manusia
diperintahkan mengamalkan al-Qur’an maka jadikanlah bacaannya itu sebagai pengamalan.” (Tafsir as-Sam’ani IV/119)
480. Al-Hasan bin Ali berkata, “Bacalah Al-Qur’an
sehingga mencegahmu (melakukan dosa), bila belum demikian maka pada hakikatnya anda belum membaca.” (Kanzul Ummal 1/2776) 481. Al-Hasan Al-Bashri berkata, “Manusia yang paling berhak atas Al-Qur’an adalah orang yang mengikutinya walaupun belum membacanya.” (Qoidah fii Fadhoilil Qur’an oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, hlm. 59)
482. Imam Al-Ajuri berkata, “Hendaklah seseorang
membuka lembaran-lembaran Al-Qur’an agar jiwa dan tujuannya terasah. Kapan saya bisa bertakwa? Kapan saya khusyu’? Kapan saya termasuk orang yang sabar? Kapan saya mampu berzuhud di dunia ini? Kapan saya mengekang hawa nafsu?.” (Akhlaq Hamalatul Qur’an, hlm. 40) 483. Al-Hasan Al-Bashri berkata, “Sesungguhnya Al-Qur’an ini telah dibaca oleh para hamba sahaya dan anak-anak yang tidak memiliki ilmu tentang takwilannya, padahal sebenarnya tadabbur ayat- ayat Al-Qur’an itu hanya dengan mengikutinya. Tadabbur Al-Qur’an bukan dengan menghafalkan huruf-hurufnya namun dibalik itu mengabaikan batasan-batasannya, hingga salah seorang dari mereka mengatakan, ‘Saya telah membaca Al- Qur’an seluruhnya dan saya tidak pernah meninggalkan satu huruf pun. Namun demi Allah, pada hakikatnya ia telah meninggalkan seluruh huruf-hurufnya karena ia tidak mewujudkan Al- Qur’an dalam akhlak dan amalannya.’ Bahkan salah seorang dari mereka mengatakan, ‘Saya mampu membaca satu surat dalam satu tarikan nafas.’ Demi Allah mereka bukanlah seorang pembaca Al-Qur’an, bukan ulama, bukan ahli hikmah, dan bukan seorang yang memiliki kewibawaan. Sampai kapan para pembaca Al- Qur’an berbuat seperti ini? Semoga Allah tidak menambah jumlah orang-orang yang seperti mereka.” (Syu’abul iman oleh al-Baihaqi II/541)
484. Abu Darda’ berkata, “Sesungguhnya orang
yang menghafal Al-Qur’an adalah orang yang mendengarnya dan melaksanakannya.” (Qoidah fii Fadhoilil Qur’an oleh Ibnu Taimiyyah, hlm. 59)
485. Hudzaifah berkata, “Wahai para pembaca al-
Qur’an, berjalan luruslah kalian. Sungguh sangat jauh kalian telah mendahului. Apabila kalian mengambil jalan ke kanan dan kekiri (menyimpang dari petunjuk al-Qur’an) maka sungguh kalian telah tersesat sangat jauh.” (Shohih Bukhori 7282)
mulut kalian adalah jalur dari jalan-jalan Allah, maka bersihkanlah sebersih mungkin. Ia berkata, ‘Saya tidak pernah makan bawang semenjak saya membaca Al-Qur’an.’” (Fadhoil Al-Qur’an oleh Abu Ubaid, hlm. 55) 488. Ibnul Qoyyim berkata, “Apabila engkau hendak mengambil manfaat dari al-Qur’an, maka kumpulkanlah hatimu ketika sedang membaca dan mendengarkan Al-Qur’an, julurkan pendengaranmu dan hadirkan hatimu seakan engkaulah objek yang diajak bicara oleh Allah, Sesungguhnya Dia mengajakmu bicara dengan perantara lisan rasul-Nya.” (Al-Fawaid, hlm. 1)
489. Ibnu Abbas berkata, “Seandainya para
pembawa Al-Qur’an memenuhi haknya dan apa- apa yang sewajarnya dilakukan untuknya niscaya Allah akan mencintai mereka. Namun sayang mereka mencari dunia sehingga Allah murka kepada mereka dan menjadikan mereka hina di hadapan manusia.” (Tafsir Al-Qurthubi 1/20) 490. Ibnu Mas’ud berkata, “Sesungguhnya Al- Qur’an ini adalah perjamuan Allah maka ambillah ia semampu kalian. Sesungguhnya saya tidak tahu suatu kehebatan yang lebih kosong dari rumah yang di dalamnya tidak terdapat sedikitpun Al- Qur’an. Sesungguhnya hati yang tidak ada sedikit pun al-Qur’an padanya adalah hati yang rusak, seperti rusaknya rumah yang tidak berpenghuni.” (Sunan Ad-Daarimi, no. 3173)
491. Ibnu Mas’ud berkata, “Sesungguhnya hati ini
ibarat wadah maka isilah dengan Al-Qur’an dan jangan kalian isi dengan selainnya.” (Musnad Ahmad bin Hanbal II/6655, hlm. 177) 492. Abu Huroiroh berkata, “Rumah yang dibacakan Al-Qur’an di dalamnya akan melimpah kebaikannya, para malaikat akan masuk dan setan-setan akan keluar darinya, sedangkan rumah yang tidak dibacakan Al-Qur’an di dalamnya maka akan terasa sempit bagi penghuninya, setan-setan akan masuk dan para malaikat akan keluar darinya.” (Az-zuhd oleh Ibnul Mubarok 1/790, hlm. 273)
493. Sebagian salaf berkata, “Al-Qur’an adalah
obat bagi hati dari berbagai penyakit syahwat dan syubhat serta bisikan-bisikan dengan berbagai bentuknya, baik yang memaksa maupun yang tidak. Dan al-Qur’an juga obat bagi tubuh dari berbagai penyakit. Setiap kali seorang hamba menghadirkan tujuan ini maka ia akan mendapatkan dua obat: Obat ilmu maknawi yaitu rohani dan obat materi yaitu tubuh bi idznillah (dengan izin Allah).” (Mafatih Tadabbur al-Qur’an wan Najah fii Hayah, hlm. 105)
494. Al-Jabir berkata, “Penyembuhan dengan Al-
Qur’an dapat diperoleh melalui dua hal: (1) Membacanya ketika sholat, terutama di waktu malam yang akhir dengan menghadirkan niat berobat. (2) Ruqyah dengan menggunakan Al- Qur’an.” (Kaset Asbab Mansiyyah yang di sampaikan oleh Dr. Al-jabir)
495. Al-Hasan bin Ali berkata, “Sesungguhnya
orang-orang sebelum kalian memandang bahwa Al-Qur’an adalah surat-surat dari Robb mereka, sehingga mereka bertadabbur di malam hari dan mencarinya di siang hari.” (At-Tibyan fii Adab Hamalatil Qur’an 1/29)
496. Ibnu Umar berkata, “Ibadah yang pertama
kali terkikis adalah tahajjud di malam hari dan mengeraskan bacaan Al-Qur’an di waktu malam.” (Khuliwah Af’al al-Ibaad 1/ hal III)
497. Ibnu Hajar berkata, “Membaca Al-Qur’an di
waktu sepertiga malam sangat memungkinkan untuk memahami bacaan dan mendalaminya karena jika membaca Al-Qur’an di waktu siang maka pada saat itu penuh dengan kesibukan- kesibukan dunia sehingga terdapat banyak halangan-halangan untuk tidak dapat memahami dan mendalami bacaan.” (Fathul Baari IX, hlm. 45)
498. Syaikh Asy-Syinqithi berkata, “Al-Qur’an
tidak akan menetap dalam hati, dipermudah untuk menghafal dan memahaminya kecuali dengan menggunakannya unuk shalat di keheningan malam.” (Muqoddimah Adwa’ul Bayan 4)
499. Ibnu Abbas berkata, “Waktu yang paling tepat
untuk mendalami Al-Qur’an adalah di waktu malam.” (Fathul Baari IX/hal 45)
500. As-Sari As-Saqati berkata, “Saya melihat
berbagai manfaat ada di kegelapan malam.” (Rahban al-Lail oleh Al-Fani 1/526.) 501. An-Nawawi berkata, “Hendaklah seseorang perhatiannya terhadap bacaan Al-Qur’an di waktu malam dan ketika shalat malam lebih banyak karena mampu memusatkan hati, menjauhkan dari kesibukan-kesibukan dan berlebih-lebihan dari kebutuhan. Ibadah di waktu malam lebih menjaga dari perbuatan riya, dan perbuatan- perbuatan lainnya yang bisa merusak ibadah. Di sisi lain, syari’at telah mendatangkan kebaikan di malam hari. Sesungguhnya peristiwa isra’ Rasulullah terjadi di malam hari.” (At-Tibyan fii Adabi Humalatil Qur’an 1/34)
502. Abu Dawud Al-Jafari berkata, “Saya pernah
menemui Kurz bin Wabarrah di rumahnya. Ketika itu ia sedang menangis, maka saya bertanya, ‘Apa yang membuatmu menangis?’ Ia menjawab, ‘Tadi malam pintuku tertutup, celanaku musbil (maksudnya tidak beribadah malam) dan saya terhalang membaca satu hizb dari Al-Qur’an tidak lain hal itu karena kesalahan yang aku perbuat.’” (Hilyatul Auliya V 179)
503. Sebagian salaf berkata, “Perumpamaan
membaca Al-Qur’an bagi hati adalah seperti menyirami tanaman, menyiram tanaman bukan di waktu terik matahari. Sebab hal itu akan melemahkan pengaruhnya terutama bila kadar airnya sangat sedikit karena ia akan segera menguap, demikian halnya, membaca Al-Qur’an apabila dalam kadar yang sedikit dan di waktu siang hari, yakni waktu hiruk pikuk dan penuh dengan kesibukan, maka makanan-makanan yang masuk kedalam hati akan menguap dan tidak berpengaruh.” (Mafatih Tadabbur Al-Qur’an, hlm. 123)
504. Abdullah bin Mas’ud berkata, “Janganlah
menghatamkan Al-Qur’an kurang dari tiga hari, namun hatamkanlah Al-Qur’an dalam tujuh hari dan hendaklah seseorang konsisten dengan hizbnya.” (Majmu Az-Zuwaid II/269)
505. Al-‘Amasy berkata, “Orang yang menghafal
Al-Qur’an kemudian lupa adalah ibarat orang yang disodorkan makanan kemudian ia mengambilnya satu suap demi satu suap namun kemudian melemparnya ke belakang dan tidak memasukannya ke dalam tenggorokannya.” (Akhlakur rawi wa Adab sami’ oleh al-Baghdadi)
506. Ibnu Mas’ud berkata, “Janganlah kalian baca
Al-Qur’an ini dengan cepat dan janganlah kalian tebarkan ia ibarat kalian menebarkan kurma yang jelek (tanpa dipahami) berhentilah pada setiap yang menakjubkan yang ada di dalamnya dan getarkanlah hati kalian dengannya. Dan janganlah salah seorang dari kalian obsesinya hanya akhir surat saja.” (Syu’abul oleh Imam Al-Baihaqi 1/344)
507. Ibnu Qudamah berkata, “Hendaklah para
pembaca Al-Qur’an mengetahuai bahwa apa yang sedang mereka baca bukanlah ucapan manusia, dan hendaklah mereka selalu menghadirkan keagungan yang berbicara dan mentadabburi kalam-Nya. Sesungguhnya tadabbur adalah tujuan dari membaca. Seandainya tadabbur tersebut tidak dapat di peroleh kecuali dengan mengulang-ulang maka hendaklah mereka mengulang-ulangnya.” (Muhtashar Minhajul Qosidin, hlm. 68)
508. Ibnu Mas’ud berkata kepada Al-Qomah yang
membaca Al-Qur’an dengan cepat, “Ayah dan ibuku sebagai tebusannya, bacalah dengan tartil karena sesungguhnya ia adalah hiasan Al-Qur’an.” (Mushannaf Ibnu Abi Syaibah VI /8724)
509. Ibnu Muflih berkata, “Tartil yang paling
minim adalah meninggalkan ketergesa-gesaan ketika membaca Al-Qur’an untuk mendapatkan kejelasan. Dan tartil yang paling sempurna adalah perlahan-lahan dalam membaca dan berhenti dalam setiap bacaan.” (Al-Adabus Syari’ah XIII/ 297)
510. Ibnu Hajar berkata, “Sesungguhnya membaca
dengan tartil dan mencermatinya ibarat orang yang bershadaqoh dengan suatu permata yang sangat berharga. Sedangkan orang yang membaca dengan cepat ibarat bershadaqoh dengan beberapa permata namun nilainya sama dengan suatu permata. Boleh jadi satu nilai lebih banyak dari pada beberapa nilai atau sebaliknya.” (Fathul Baari III/89) 511. Ibnu Abbas berkata, “Jika ingin melakukan membaca Al-Qur’an dengan cepat maka bacalah dengan bacaan yang dapat didengar oleh telingamu dan dirasakan oleh hatimu.” (Fathul Baari IX/89)
512. Ibnu Abi Laila berkata, “Jika engkau membaca
Al-Qur’an maka hendaklah kedua telingamu mendengar, sebab hati berada di tengah-tengah antara lisan dan telinga.” (Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 1/3670, hlm. 321)
513. Abu Hurairah berkata: “Sesungguhnya rumah
yang sering dibacakan Al-Qur’an di dalamnya maka akan berlimpah kebaikannya, para malaikat akan hadir di dalamnya dan para setan akan keluar darinya. Sedangkan rumah yang tidak pernah di bacakan kitabullah di dalamnya, maka akan mempersempit bagi penghuninya, kebaikannya akan berkurang setan pun akan masuk ke dalamnya dan para malaikat akan keluar.” (Az- Zuhd oleh Ibnu Mubarrok 1/790, hlm. 273)
514. Sebagian ahli hikmah berkata,
“Sesungguhnya membaca Al-Qur’an dengan mengeraskan suara yang dapat didengar oleh hati lebih membantu untuk konsentrasi dan perhatian oleh karenanya engkau mendapati seseorang memaksa dirinya untuk mengeraskan suara ketika bertumpuknya masalah dan sulit untuk berfikir.” (Mafatih Tadabburil Al-Qur’an, hlm. 163) 515. Sebagian ahli hikmah berkata, “Bacaan dengan suara keras memiliki beberapa tingkatan, yang paling rendah yaitu telinga bisa mendengar dan lisan serta bibir juga bergerak. Dan yang paling tinggi adalah orang yang di dekatnya dapat mendengarnya. Kurang dari itu bukan di namakan jahr (mengeraskan suara) dan lebih dari ukuran tersebut akan menghilangkan tadabbur membebani si pembaca dan mengganggu yang mendengarkannya.” (Mafatih Tadabbur Al- Qur’an, hlm. 163)
516. Sebagian salaf berkata, “Sesungguhnya
membaca Al-Qur’an dengan mengeraskan suara dapat memperdengarkan kepada para malaikat yang ditugaskan untuk mendengarkan dzikir, larinya setan dari si pembaca dan dari tempat yang digunakan untuk membaca Al-Qur’an tersebut, dan untuk membersihkan serta mengharumkan rumah, menjadikannya sebagai lingkungan yang kondusif untuk pendidikan dan pengajaran.” (Mafatih Tadabburil Al-Qur’an, hlm. 164)
517. Imam Syafi’i berkata, “Begadangku untuk
mengoreksi ilmu lebih nikmat bagiku dari pada berhubungan dengan wanita penyanyi dan enaknya berpelukan. Suara penaku menulis di atas kertas-kertas ku lebih manis dari pada wanita penghibur dan orang yang kasmaran. Dan lebih nikmat dari pada pukulan seorang gadis pada rebananya. Dan pukulanku untuk menghilangkan pasir yang melekat pada kertas-kertasku (lebih nikmat bagiku), lenggak-lenggokku karena bingung menyelesaikan masalah yang rumit di dalam pelajaran lebih menyenangkan dari pada mabuk memandang betis. Aku bermalam dengan begadang dalam kegelapan sedangkan kamu bermalam dengan tidur, kemudian setelah itu kamu mengharapkan bisa menyusulku?” (Diwan Asy-syafi’I, hlm. 63)
518. Ibnu Umar berkata, “Seorang yang utama dari
sahabat Rosulullah di dalam generasi pertama umat ini tidak menghafal Al-Qur’an kecuali satu surat dan semisalnya. Mereka mendapatkan rizki dengan mengamalkan Al-Qur’an sedangkan pengikut akhir dari umat ini membaca Al-Qur’an, di antara mereka ada anak kecil dan seorang buta, akan tetapi mereka tidak mendapatkan rizki mengamalkan Al-Qur’an.” (Tanmiyah Al-Qudrah ‘ala Tadabbur Al-Qur’an, hlm. 15 oleh Muhammad Ad-duwaisy)
519. Ibnu Mas’ud berkata, “Kami merasakan sulit
untuk menghafal lafadz Al-Qur’an dan mudah bagi kami untuk mengamalkannya. Sesungguhnya orang-orang setelah kami akan mudah bagi mereka untuk menghafal Al-Qur’an akan tetapi sulit bagi mereka untuk mengamalkannya.” (Tanmiyah Al-Qudroh ‘ala Tadabbur, hlm. 15)
520. Imam Al-Khottabi berkata, “Seseorang harus
menjaga apa yang telah dihafalnya, dan membaca seluruh hafalannya setiap berlalu beberapa waktu lamanya. Jangan sampai ia melalaikan hal ini. Dahulu, sebagian ulama jika mengajari seseorang suatu permasalahan dalam suatu bidang ilmu, ia menanyakannya kembali setelah berlalu beberapa waktu lamanya, jika ternyata orang itu telah menghafalkannya maka ia menambahnya, jika tidak maka ia akan berpaling darinya.” (Al-Hatsu ‘ala Hifdzil hadits oleh Al-Khattabi hlm. 202)
521. Imam Al-Khattabi berkata, “Menjaga hafalan
itu lebih diutamakan.” (Al-Hatsu ‘ala Hifdzil hadits, hlm. 201)
522. Sebagian ahli hikmah berkata, “Berpaling dari
membaca Al-Qur’an, sengaja melupakannya, dan tidak memperdulikannya, semuanya merupakan sikap yang sangat mengacuh dan meremehkan Al- Qur’an. Kita berlindung kepada Allah dari hal buruk ini.” (Fadhail Al-Qur’an, hlm. 116)
523. Sebagian ahli hikmah berkata, “Melupakan
Al-Qur’an merupakan musibah yang paling besar.” (Fadhail Al-Qur’an, hlm. 116)
524. Ali berkata, “Ada tiga ciri orang yang
mempunyai sifat-Nya: (1) Malas jika sendirian. (2) Semangat jika ada orang lain. (3) Amalannya bertambah jika mendapat pujian.” (Ihya Ulumiddin III/396)
525. Sebagian ahli hikmah berkata, “Siapa saja
yang memiliki keinginan untuk menghafal Al- Qur’an dan semangat yang tinggi,niscaya dia dapat menghafalnya jika ia menetapkan suatu target di hadapannya. Yakni, target bahwa ia harus mampu menghafalnya.” (Kaifa Tahfadzul Al-Qur’an hal 58 oleh Yahya bin Abdur-Razzaq Al-Ghotsani)
526. Imam al-Khattabi al-Baghdadi berkata,
“Ketahuilah ada waktu-waktu tertuntun untuk menghafal yang hendaknya diperhatikan oleh orang yang hendak menghafal sesuatu. Waktu yang paling tepat untuk itu adalah waktu sahur.” (Al-Faqih wal Mutafaqqih, karya Imam Al-Khatib Al-Baghadadi II/103)
527. Imam Ibnu Jama’ah berkata, “Waktu yang
paling baik untuk menghafal adalah waktu sahur. Waktu yang paling baik untuk membahas adalah pagi hari. Waktu yang paling baik untuk menulis adalah tengah hari. Dan waktu untuk menelaah serta berdiskusi adalah malam hari.” (Tazkiratus Sami’ hal 72)
528. Ismail bin Abu Umais berkata, “Apabila
engkau ingin menghafalkan sesuatu maka tidurlah terlebih dahulu, kemudian bangunlah pada waktu sahur. Nyalakanlah lampu dan mulai membacanya. Sungguh engkau tidak akan melupakannya setelah itu, insyaAllah.” (Al-Jaami’ Fil Hatstsi ‘ala Hifzh al-ilmi, hlm. 177)
529. Hammad bin Zaid pernah ditanya, “Faktor
apakah yang paling banyak membantu dalam menghafal?” Ia menjawab, “Sedikitnya kegelisahan.” (Al-Jaami’ Fil Hatstsi ‘ala hifzh al- ‘ilmi, hlm. 177)
530. Imam al-Khatib al-Baghdadi berkata,
“Ketahuilah, ada tempat-tempat khusus untuk menghafal. Seorang penghafal hendaknya banyak tinggal di tempat-tempat ini. Tempat yang paling bagus adalah di kamar atas (loteng) bukan kamar bawah, dan setiap tempat yang jauh dari segala hal yang melalaikan, serta tempat yang bisa mengosongkan hati dari segala hal yang mengagetkan sehingga menyibukkan hati atau mengalihkan perhatiannya, lalu menghalangi aktivitas menghafalnya, tidak baik menghafal di hadapan tumbuh-tumbuhan dan tanaman- tanaman hijau, di tepi-tepi sungai, di tengah jalan. Sebab biasanya di tempat-tempat ini tidak luput dari hal-hal yang menghalangi kekosongan hati (ketenangan) dan kejernihan pikiran.” (Kitab al- Faqih wal Mutafaqqih II/103)
531. Imam Ibnul Jauzi berkata, “Tidak sepatutnya
memilih tempat menghafal di tepi sungai. Tidak pula di hadapan tanaman hijau, agar hati tidak terganggu olehnya.” (Al-Hatsu ‘ala Hifdzil Ilmi, hlm. 255)
532. Imam Ibnu Jabir menuturkan bahwasanya ia
menyempurnakan hafalan Al-Qur’an di atas pelana hewan tunggangannya di gurun Mesir, tepat di sisi sebuah mata air tawar.” (Rihlah Ibnu Jubair, hlm. 43) 533. Az-Zubair bin Bakr berkata, “Jika engkau ingin menghafal, maka lihatlah dan bacalah dengan keras sehingga apa yang disampaikan melalui pandangan dan pendengaran akan masuk ke dalam hatimu.” (Al-Jami’ ffil hatsi ‘ala hifdzil ilmi, hlm. 174)
534. Abu Hilal al-Askari berkata, “Seseorang yang
sedang belajar hendaknya mengeraskan suaranya ketika belajar sehingga ia dapat mendengar suaranya sendiri. Sebab apa yang terdengar telinga tersimpan dalam hati. Oleh karena itu seorang lebih kuat menghafal apa yang didengarnya dari pada hanya melihat apa yang dibacanya. Jika pelajaran yang sedang ditekuni termasuk pelajaran yang membantu kefasihan membaca, maka dengan mengeraskan suarannya seseorang yang sedang belajar dapat menambah kefasihan bicaranya.” (al-Hatsu ‘ala Tholabil Ilmi wa Ijtihad fi Jam’ihi karya Abu Hilal al-Askari, hlm. 73)
Nabi sebagai ucapan lisanmu dan masuk dalam hatimu, niscaya kamu dapat menghafalnya.” (Al- Jama’i fiil hatsi ‘ala hifdzil ilmi, hlm. 160)
536. Sebagian ahli hikmah berkata, “Jadikanlah Al-
Qur’an sebagai ucapan lisanmu dan masuk dalam hatimu, niscaya kamu dapat memantapkan hafalannya.” (Kaifa Tahfadzul Qur’an oleh Yahya bin Abdur Rozzaq al-Ghotsani, hlm. 74) 537. Al-‘Izz bin Abdus Salam berkata: “Tidaklah aku tidur di malam hari melainkan aku mengulang kembali bab-bab fiqih (yang sudah aku pelajari) di dalam hatiku sebelum tidur.” (Thobaqotus Syafi’iyyah karya as-Subki VIII/203)
538. Al-Hasan bin Abu Bakar an-Naisaburi
berkata, “Aku tidak dapat menghafal sesuatu sehingga dibaca berulang-ulang. Sebanyak 50 kali.” (Kaifa tahfdzul qur’anoleh yahya bin abdu rozzak al-ghotsani, hlm. 74)
539. Abu Ishaq asy-Syairozi mengulangi pelajaran
hingga 100 kali. (Al-Hatsu ‘ala hifdzil ilmi, hlm. 254) 540. Al-Hasan berkata, “Ada seorang ahli fikih mengulang-ngulang pelajaran di rumahnya dengan jumlah pengulangan yang banyak. Demi Allah, sungguh saya sudah menghafal pelajaran ini! Ahli fikih itu berkata, ‘Kalau begitu sebutkanlah lagi maka wanita tua itupun menyebutkannya.’ Setelah beberapa hari berlalu, ahli fiqih itu berkata kepada wanita tua tersebut, ‘Wahai nenek, sebutkanlah pelajaran yang kemarin itu.’ Wanita tua itu menjawab, ‘Saya tidak hafal lagi.’ Ahli fiqih itu berkata, ‘Oleh karena itulah saya mengulang-ngulangnya lagi seperti mengulangi hafalan agar aku tidak lupa seperti yang engkau alami.’” (al-Hatsu ‘ala hifdzil ilmi hal 254) 541. Az-Zuhri berkata, “Sungguh, apabila seseorang terus belajar (ilmu atau menghafal), maka hatinya itu menjadi laksana sebuah parit. Lama-kelamaan, hati itu akan menjadi seperti lembah yang mampu menampung dan menyerap segala sesuatu yang diletakkan di dalamnya.” (Al- Hatsu ‘ala tholabil ilmi wa ijtihad fil jami’i kar, abu hilal al-askari, hlm. 36)
542. Ibnul Jauzi berkata, “Hendaknya seseorang
mengistirahatkan dirinya dari aktivitas menghafal, satu dua hari dalam seminggu. Seperti halnya bangunan baru yang dibiarkan beberapa saat agar bangunan itu semakin kokoh.” (Al-hatsu ‘ala hifdzil ilmi wa ad-Dzikr kibaril huffadz kar, Ibnul Jauzi, hlm. 255) 543. Imam al-Khottib al-Baghdadi berkata, “Sebaiknya orang yang hendak menghafal Al- Qur’an ia menetapkan target (hafalan) tertentu bagi dirinya. Setiap kali mencapai target tersebut, ia berhenti beberapa hari tanpa menambah pelajaran. Hal yang seperti ini sama dengan mendirikan bangunan. Tidaklah anda melihat jika ada seseorang yang ingin mendirikan bangunan dengan baik, niscaya ia akan mendirikannya dengan bertahap? Ia membiarkannya beberapa waktu agar bangunan itu bertambah kuat kemudian ia melanjutkan kembali dengan membuat bangunan lagi di atasnya. Seandainya ia menyelesaikan seluruh bangunan itu di hari yang sama maka tidak dapat dikatakan kalau ia telah membangunnya dengan baik. Kemungkinan besar bangunan tersebut akan dapat runtuh. Demikianlah seorang penghafal ia harus menetapkan target tertentu bagi dirinya, setelah mencapai target tersebut, hendaknya ia berhenti sejenak hingga hafalan tersebut terpancang kuat di dalam hatinya. Setelah muncul gairah untuk menghafal lagi, barulah ia memulainya kembali, jika keinginannya tersebut tidak disertai gairah tinggi maka jangan memulainya.” (Al-Faqih wal Mutafaqqih II/100)
544. Sebagian ahli hikmah berkata, “Jangan
menghafal ketika sedang merasa jenuh dan bosan. Jika anda sedang dalam kondisi demikian, sebaiknya anda meninggalkan aktivitas menghafal dan melakukan aktivitas lain yang dapat anda lakukan, beristirahatlah sejenak dan bersenang- senanglah dengan sesuatu yang dibolehkan, atau dengan membaca buku-buku cerita, kisah-kisah langka, atau sya’ir-sya’ir. Sebab, hal ini mengandung faedah dan hikmah. Barangkali dengan cara demikian kejenuhan itu akan segera sirna dari dalam diri.” (Al-Faqih II/100)
545. Sebagian ahli hikmah berkata, “Seorang guru
dapat mengisi jiwa yang hama dengan kehidupan, membangunkan akal yang sedang tertidur lelap dan mengasah perasaan yang tumpul menjadi tajam, seorang guru seolah menyalakan lampu yang telah lama dipadamkan, menerangi jalan yang gelap gulita, menumbuhkan tanah yang gersang dan membuat pohon yang tidak berbuah kembali bersemi.” (Ruuhut tarbiyyah wat ta’lim kar, Muhammad ‘Athiyyah al-Abrasyi, hlm. 165) 546. Al-Qobisi berkata, “Sudah menjadi suatu kebiasaan kaum muslimin untuk mengajarkan al- Qur’an kepada anak-anak mereka dan mengantarkan mereka kepada para pengajar al- Qur’an, mereka sangat bersungguh-sungguh dalam hal ini.” (ar-Risalah Mufasholah li Ahwalil Mu’allimin, hlm. 287)
547. Al-Hakim berkata, “Janganlah engkau
tergesa-gesa dalam membuntuti (mendatangi) para imam. Menetaplah dahulu selama dua bulan untuk mengamati dan memilih guru. Sebab jika engkau datang kepada seorang alim, lalu engkau langsung mengambil pelajaran darinya, kemungkinan pelajaran yang diberikannya tidak akan memberikan kesan yang baik bagimu. Kemudian engkau pun meninggalkannya dan beralih ke guru yang lain. Sehingga, tidak ada berkah yang dapat engkau terima dalam belajar. Oleh karena itu, pertimbangkanlah dahulu selama dua bulan untuk memilih seorang guru.” (Ta’liimul muta’allim Thuruqut ta’lim, hlm. 43)
548. Ibnul Jama’ah berkata, “Hendaklah seorang
penuntut ilmu memperhatikan terlebih dahulu, lalu ia beristikhoroh kepada Allah tentang guru yang hendak ia ambil ilmunya, dan yang akan ia contoh kebaikan akhlak serta adab-adabnya.” (Tadzkirotus sami’ wal mutakallimin fii adabil alim wal muta’allim karya Ibnu Jama’ah, hlm. 85) 549. Ibnul Jama’ah berkata, “Jika dimungkinkan, hendaknya ia adalah orang yang mempunyai kredibilitas yang sempurna, sifat kasih sayangnya terbukti, kebaikan perilakunya tampak, kesucian dirinya dikenal, dalam hal menjaga dirinya tersohor, serta piawai dalam mengajar dan dalam memberikan pemahaman.” (Tadzkirotus sami’ wal Mutakallim fii adabil aalim wal muta’allim kar,Ibnu Jama’ah, hlm. 85)
550. Ahmad bin al-Furot berkata, “Kami senantiasa
mendengar guru-guru kami memberikan pengarahan dalam menghafal, mereka sepakat bahwa tidak ada yang lebih besar manfaatnya selain dengan banyak memandang.” (Al-Jami’ fii hatsi ‘ala hidzil ilmi, hlm. 177) 551. Ismail bin Uwais berkata, “Apabila engkau ingin menghafal sesuatu, maka tidurlah terlebih dahulu, kemudian bangunlah di waktu sahur, nyalakanlah lampu, dan lihatlah kepadanya (maksudnya; Lihatlah sesuatu yang ingin dihafal) Sungguh engkau tidak akan melupakannya setelah itu-insya Allah-.” (Al-Jami’ fi hatsi ‘ala hifdzil ilmi, hlm. 177)
552. Abdullah bin Mas’ud berkata, “Sesungguhnya
aku berpendapat bahwa seorang yang melupakan ilmu yang dahulu telah ia ketahui itu disebabkan oleh kesalahan yang ia perbuat.” (Fiihi Akhbar li hifdzil Qur’an, hlm. 229) 553. Imam Malik berkata, “Jika ada sesuatu yang harus dilakukan terhadap hafalan maka sesuatu itu adalah meninggalkan maksiat.” (Juz fiihi akhbar li hifdzil qur’an, hlm. 229)
554. Ali bin Khasyram berkata kepada Waki’ bin
al-Jarroh, “Sesungguhnya aku termasuk orang yang sangat lamban dalam memahami pelajaran, dan sulit bagiku untuk bisa menghafal. Maka beritahukanlah kepadaku obat agar bisa menghafal. Waki’ berkata, ‘Demi Allah wahai anakku, tidak pernah mencoba obat agar bisa menghafal semujarrab meninggalkan ma’siat.’” (Juz fiihil akhbar li hifdzil qur’an 228) 555. Imam al-Ghozali berkata, “Seandainya engkau menuntut ilmu hingga 100 tahun lamanya dan telah mengumpulkan seribu kitab niscaya engkau belum bisa dikatakan siap untuk menerima rahmat Allah, kecuali setelah mengamalkannya.” (Ayyuhal walad oleh Al-Ghozali, hlm. 99)
556. Imam Ja’far ash-Shiddiq berkata, “Hati
bagaikan tanah, ilmu bagaikan tanamannya, dan mudzakaroh (belajar) adalah airnya, apabila aliran air untuk menyirami tanah terhenti maka tanaman akan segera kering.” (al-Jami’ li Akhlaqir rowi wa Adabis sami’ Imam al-Khotib al-Baghdadi II/334)
557. Imam Al-Khotib Al-Baghdadi berkata, “Saat
lapar lebih baik untuk menghafal dari pada saat- saat kenyang. Hendaknya seorang penghafal memeriksa dirinya sendiri dari pada waktu laparnya, sebab, sebagian orang ada yang apabila merasa lapar dan kelaparan, mereka justru tidak dapat menghafal. Jika demikian keadaannya maka hendaknya ia meredam rasa laparnya dengan makanan ringan seperti mengkonsumsi buah delima atau yang semisalnya, dan jangan banyak makan.” (al-Hatsu ‘ala hifdzil hadits hlm. 148)
558. Imam Ibnul Jama’ah berkata, “Banyak makan
membuat seseorang banyak minum, banyak minum membuatnya banyak tidur, bebal, lemah pikiran, dan pancaindra, serta membuat malas anggota badan. Sifat-sifat inilah yang tidak diinginkan syari’at.” (Tadzkirotus sami’, hlm. 74) 559. Imam Ibnu Jama’ah berkata, “Menamatkan bacaan al-Qur’an setiap tujuh hari merupakan kebiasaan orang yang baik.” (Tadzkirotus sami’ wal mutakallim oleh Imam Ibnu Jama’ah, hlm. 22)
560. Sebagian ahli hikmah berkata, “Siapa saja
yang rutin membaca lima juz setiap harinya, niscaya ia tidak akan lupa.”
561. Ustman bin Affan berkata, “Seandainya hati
kalian bersih maka sungguh kalian tidak akan puas dengan membaca kalam Robb.” (Arba’una darsan liman adroka romadhon, hlm. 54) 562. Al-Hasan berkata, “Wahai Ibnu Adam, demi Allah jika engkau membaca Al-Qur’an kemudian kalian membenarkan maka sungguh akan berkepanjangan kesedihanmu dan kuat rasa takutmu dan banyak menangis di dunia.” (Arbauna darsan liman adroka romadhon, hlm. 54)
563. Aus bin abdillah berkata, “Memindahkan batu
itu lebih ringan bagi orang munafiq dari pada membaca Al-Qur’an.” (Arba’una darsan liman adroka romadhon, hlm. 54)
564. Sebagian ahli hikmah berkata,
“Sesungguhnya membaca Al-Qur’an itu lebih utama dari pada bertakbir dan bertahlil.” (At- Tibyan fii aadabi hamalatil Qur’an, hlm. 45) 565. Ayyub ash-Shikhtiyani berkata, “Hendaknya orang yang berilmu meletakkan tanah di atas kepalanya agar tawadhu’ pada Allah.” (At-Tibyan fii aadabi hamalatil qur’an, hlm. 57)
566. Sebagian ahli hikmah berkata, “Hati
dikatakan baik karena ilmu, sebagaimana tanah dikatakan baik karena menyuburkan tanaman.” (At-Tibyan fii aadabi hamalatil qur’an, hlm. 60)
567. Sebagian ahli hikmah berkata, “Barangsiapa
yang tidak bersabar dalam kesederhanaan belajar maka sungguh sisa umurnya adalah kebodohan, dan barangsiapa yang bersabar maka ia meraih kemuliaan di dunia dan di akhirat.” (at-Tibyan fii aadabi hamalatil qur’an, hlm. 63)
(Dunia)
568. Sebagian ahli hikmah berkata, “Jauhi olehmu
penghasilan yang haram karena kami mampu bersabar atas rasa lapar, tapi kami tidak mampu bersabar atas mereka.” (Mukhtasar Minhajul Qosidin)
569. Ayub As-Shikhtiyani berkata, “Abu Kilabah
pernah berujar kapadaku, ‘Wahai Ayyub, tetaplah berada di pasarmu, sebab di dalamnya terdapat rasa cukup dari orang lain dan terdapat kebaikan untuk agamamu.’” 570. Umar berkata, “Janganlah ibadah kalian ini membuat meninggalkan perdagangan, sebab perdagangan termasuk sepertiga kepemimpian.” (Tarikh Umar, hlm. 241)
571. Abu Sulaiman Ad-Darani berkata, “Ibadah
bukanlah saat kedua kakimu berada dalam shaf sholat. Sementara orang lain yang menanggung kebutuhanmu, akan tetapi, mulailah mencukupi dirimu dengan sepotong roti lantas beribadah.” (Al-Ilhya’ II/172)
572. Said bin Musayyab berkata, “Tidak ada
kebaikan pada diri seseorang yang tidak berkehendak mengumpulkan harta yang halal. Lalu ia dapat memberi, menuntut haknya yang sesuai, serta menutup celah untuk meminta kepada orang lain.” (As-Syiar IV/238)
573. Sufyan berkata, “Harta pada masa kita ini
ibarat pedang bagi orang-orang beriman.” (Ringkasan Minhajul Qosidin hlm. 214)
574. Abu Ishaq As-Subai’i berkata, “Orang-orang
shalih memandang bahwa kelapangan hidup bisa mensupport mereka mengaplikasikan ajaran agama.” (Ringkasan Minhajul Qosidin, hlm. 214)
575. Yahya bin Mu’adz berkata, “Dirham itu ibarat
kalajengking, bila engkau tak mampu untuk mengobatinya, maka jangan engkau ambil. Sebab bila ia menyengatmu, racunnya akan membuatmu mati.” (Ringkasan Minahajul Qosidin 213)
576. Yahya bin Mu’adz berkata, “Ada dua musibah
yang akan menimpa seorang hamba disebabkan hartanya saat detik-detik akhir hayatnya yang makhluk lainnya tidak mendengar seperti itu. Ada yang bertanya, ‘Apa dua musibah itu?’ Ia menjawab, ‘Seluruh hartanya diambil,dan seluruh pula akan ditanyakan kepadanya.’” (Ringkasan minhajul qosidin, hlm. 213)
577. Muhammad ibn Munkadar berkata dalam
sebuah ungkapan indah tentang harta, “Sebaik- baik penompang untuk bertakwa kepada Allah adalah kekayaan.” (Hilayatul Auliya’ II/149) 578. Sebagian ahli hikmah berkata, “Barangsiapa yang memiliki sifat qona’ah maka jangan kau harap ada yang bisa menggantikannya, di dalamnya ada kenikmatan dan istirahatnya badan, perhatikanlah siapa pun yang memiliki banyak harta dunia, apakah ia bisa beristirahat sejenak tanpa kapas dan kain kapan?” (At-Tadzkirah, hlm. 102)
579. Sebagian ahli hikmah berkata, “Siapa pun
yang mengerti bahwa dunia laksana salju yang mencair sedangkan akhirat laksana batu mutiara yang abadi, maka akan bertekad kuat untuk menggadaikan dunia ini dengan mutiara abadi.” (Minhajul Qosidin, hlm. 355) 580. Muzani berkata, “Aku tidak pernah memerintahkan kalian untuk tidak mengkonsumsi makanan enak, maka carilah makanan enak itu lalu makanlah.” (As-Siyar VII/277)
581. Ali bin Fudhail berkata, “Aku mendengar
ayahku berkata kepada Ibnu Mubarok, ‘Engkau memerintahkan kami supaya bersikap zuhud, hidup sederhana dan ala kadarnya, namun kami melihat anda membawa barang-barang dagangan dari negeri Khurosan menuju tanah haram, bagaimana ini?’ Ibnul Mubarok menjawab, ‘Wahai Abu ‘Ali, aku berbuat demikian untuk tujuan menjaga wajahku, memuliakan kehormatanku dan mensupport diriku untuk taat kepada Robbku.’” (Tarikh Baghdadi X/160)
582. Sebagian ahli hikmah berkata, “Demi Allah
sungguh Allah benar pemberi jalan keluar kepada kita. Meskipun kita tidak sampai pada derajat ketakwaan. Tetapi Dia tetap melimpahkan rizki kepada kita walau kita belum bertakwa kepada- Nya. Kita pun memohon permintaan yang ke tiga, yakni siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan menghapus kesalahannya dan akan melipatgandakan pahala baginya.” (Hilyatul ‘Auliya’ IV/248)
583. Hasan bin Shalih berkata, “Bisa saja saat pagi
hari aku tidak memiliki uang satu dirham pun, namun dunia seakan-akan telah aku peroleh seluruhnya.” (Tadzkirotul huffadz I/217)
584. Sebagian ahli hikmah berkata, “Tunduklah
kepada Allah jangan tunduk kepada manusia, puaslah dengan membuang rasa, sebab yang demikian adalah bentuk kewibawaan, jangan meminta kebutuhan kepada kerabat dan keluarga, karena orang kaya adalah yang tidak membutuhkan orang lain.” (Mukasyafatul Qulub, hlm. 181)
585. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata,
“Kemudian hendaknya manusia mengambil hartanya dengan suka cita supaya ia diberkahi lantaran hartanya tanpa ada rasa berat dalam hatinya. Hendaknya ia tetap berusaha mendapatkan harta, layaknya ia berusaha merenovasi kamar mandinya.” (Mukasyafatul Qulub, hlm. 181)
586. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata,
“Harta yang dipergunakan untuk mencukupi kebutuhannya ibarat keledai yang ditungganginya, seperti karpet yang ia duduki bahkan layaknya kamar mandi yang ia gunakan untuk buang hajat, tanpa menjadikan dirinya budak bagi hartanya hingga bersikap selalu mengeluh, apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir.” 587. Sebagian ahli hikmah berkata, “Jika pintu tertutup darimu tanpa keperluan, biarkan untuk orang lain. Toh nantinya ia akan terbuka untukmu, sungguh bila isi perut telah penuh, niscaya sudah cukup untukmu. Cukuplah hal-hal jelek itu kau jauhi, jangan pernah kau gadaikan kehormatanmu, menjauhlah, menunggangi kemaksiatan berarti membalikkannya untuk menjauh darimu.” (Al-Ihya III/254)
588. Yahya bin Muadz berkata, “Malangnya anak
adam itu, sekiranya ia takut kepada neraka sebagaimana ia takut kepada kefakiran, niscaya ia masuk surga.” (Tarikh baghdad XIV/ 254) 589. Sufiyan Ats-Tsauri berkata, “Perhatikanlah dirhammu (uangmu) dari mana asalnya. Dan anda sholat di shaf terakhir.” (Hilayatul Auliya’ VII/68)
590. Sebagian ahli hikmah berkata, “Kita
menambal dunia kita dengan mencabik-cabik agama kita, maka tidak tersisa lagi agama kita dan apa yang kita tambal.” (Ar-Rizaku oleh Abdul Malik Al-Qosim, hlm. 46)
591. Muhammad bin Sirin berkata, “Konon pernah
ada yang mengatakan, pelajar muslim itu selalu membawa dirham.” (Az-zuhd karangan Baihaqi, hlm. 362) 592. Sahl rohimahullah berkata, “Engkau tak akan merasa takut hingga engkau menyantap makanan yang halal.” (Al-Ihya’ 40/170)
593. Atha ibn Yasas berkata, “Mesjid adalah pasar
akherat, maka bila engkau hendak melakukan transaksi jual beli, keluarlah menuju pasar dunia.” (Al-Wara’ karangan Imam Ahmad bin Hanbal, hlm. 51)
594. Hudzaifah Al-Mura’syi berkata, “Selayaknya
mereka berkompetisi untuk bisa memakan roti yang halal lebih dahulu dan tidak berkompetisi mendapatkan shaf awal.” (Az-zuhd karangan Baihaqi, hlm. 253) 595. Yusuf ibn Asbath berkata, “Jika seorang pemuda sedang beribadah, iblis berkata; ‘Perhatikanlah berasal dari mana makanannya?’ Bila makanannya tidak halal, ia mengatakan; ‘Biarkanlah dirinya, jangan menyibukkan diri untuk menggagunya. Biarkanlah dirinya berpayah-payah, cukuplah kepayahannya buat kalian.” (Az-zuhd, karangan Baihaqi, hlm. 359)
596. Syu’aid bin Harb berkata, “Jangan kau
remehkan sepeser pun dalam rangka taat kepada Allah. Sebab bukan uang yang dicari, tetapi ketaatanlah orientasinya. Bisa jadi engkau membeli sayur dengan uang tersebut, lantas ia tidak berada dalam lambungmu, hingga kamu diampuni.” (Shifatus Shafwa III/10) 597. Sebagian uluma salaf berkata, “Sungguh meninggalkan satu dinar yang dibenci Allah lebih aku sukai dari pada haji lima ratus kali.” (Al- Wara’karangan ibnu Abid Dunya)
598. Hasan Al-Bashri berkata, “Aku menyaksikan
tujuh puluh Ashabul Badar mereka lebih zuhud terhadap apa yang dihalalkan oleh Allah dari pada zuhudnya kalian terhadap apa yang diharamkan Allah kepada kalian.” (Hilayatul Auliya’ IV/255)
599. Maimun ibn Mahran berkata, “Seseorang
belum pantas dikatakan bertakwa hingga ia lebih jelimet dalam bermuhasabah diri melebihi seorang yang berserikat dengan rekan serikatnya serta dirinya mesti tahu benar dari mana asal pakaiannya, makanan dan minumannya.” (As- Syiar V/14)
600. Al-Mu’afa bin Imran berkata, “Dulu ada
sepuluh orang alim yang memandang perkara halal dengan pandangan serius. Tidak ada sesuatu yang mereka telan melainkan mereka tahu betul kehalalannya. Bila tidak, mereka lebih baik menelan tanah. Sepuluh orang yang di maksud beliau adalah: Bisyr, Ibrahim bin Adham, Sulaiman Al-khawwash, Ali bin Fudhail, Abu Muawiyah Al- Aswad, Yusuf bin Asbath, Wahaib bin Warad, Huzaifah seorang syekh dari Haran dan Daud Ath- Thai. Beliau memandang sepuluh orang tersebut tidak memasukkan ke dalam perut mereka melainkan mereka tahu pasti akan kehalalannya. Bila tidak mereka lebih baik menelan tanah.” (Al- Wara karangan Imam Ahmad, hlm. 10)
601. Bisyr mengatakan, “Semestinya seorang
memperhatikan rohnya dari mana ia berasal, begitu pula tempat tinggalnya, bahan bangunan berasal darimana? baru setelah itu, ia boleh bicara.” (Al-wara karangan Imam Ahmad, hlm. 10)
602. Ibnul Mubarak berkata, “Menolak satu
dirham syubhat lebih aku sukai dari pada aku bersedekah sebanyak 100.000 dirham ditambah 100.000 lagi hingga 600.000.” (Al-Ihya II/103)
603. Bisyr bin Harist berkata, “Tidak pantas bila
seseorang kenyang dari makanan halal pada hari itu. Pasalnya, bila ia telah kenyang dari makanan halal, jiwanya akan mengajak kepada yang haram. Lantas dengan kelalaian itu, bagaimana dengan kemudahan yang ada pada hari itu?.” (Al-Wara karangan Imam Ahmad, hlm. 7)
604. Sebagian ahli hikmah berkata, “Siapa saja
yang memuja dunia untuk tujuan hidup yang menyenangkan, aku bersumpah ia pasti mencela yang sedikit, jika dunia telah membelakangi seseorang, ia akan sedih, namun bila dunia mendatangi, niscaya akan banyak menimbulkan kesusahan.” (Al-Ihya’ III/ 221)
605. Abu Darda juga pernah berkata, “Baiknya
ma’isya ermasuk bagian dari baiknya agama. Dan baiknya agama termasuk bagian dari baiknya akal.” (Ar-Rizak – oleh Abdul Malik Al-Qasyim, hlm. 60)
606. Abu Darda berkata, “Bukan termasuk rasa
cintamu kepada dunia saat engkau mengambil sesuatu yang dapat membuat engkau baik darinya.” (Jami Bayanil Ilmi wa Fadhluhu II/ 15)
607. Sebagian ahli hikmah berkata, “Tidaklah
seorang hamba mengambil sesuatu yang diharamkan baginya kecuali dalam dua perkara. (1) Buruk sangka dirinya kepada Robbnya. Sekiranya ia mentaati-Nya dan mengedepankan- Nya, Dia tidak akan memberikan yang lebih baik dari yang halal. (2) Dirinya paham betul tentang hal itu, bahwa siapa pun yang meninggalkan sesuatu, Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik. Namun syahwatnya mengalahkan kesabarannya dan lebih mengedepankan hawa nafsunya dari pada akalnya. Jadi yang pertama karena lemah ilmunya, sedang yang kedua karena lemah akal dan kejeliannya.”
608. Yahya bin Muadz berkata, “Siapa saja yang
Allah himpun hatinya saat berdoa. Niscaya dia tak akan menolak doa yang dipanjatkannya.”
609. Yahya bin Muadz berkata, “Bila hatinya
terfokus atas kurang sempurna dirinya benar- benar mendesak dan rasa harapnya menghujam kaut, maka hampir pasti doanya dikabulkan.” (Al- Fawaid, hlm. 62)
610. Hasan al-Bashri berkata, “Demi Allah,
tidaklah seseorang yang Allah hamparkan rezeki baginya di dunia lantas tidak takut bila Allah membuat tipu daya terhadap dirinya, melainkan pasti berkurang amalan dan melemah pikirannya. Dan tidaklah Allah menahan dunia diri seseorang hamba, lantas ia menyangka bahwa itu lebih baik baginya melainkan pasti berkurang amalan dan melemah pikirannya.” (Al-Jami’li Ahkamil Qur’an VI/274)
611. Malik bin Dinar berkata, “Jadikanlah ketaatan
kepada Allah sebagai sebuah perniagaan, niscaya hal ini akan mendatangkan keuntungan untukmu tanpa harus ada barang yang dijual.” (Raudathul ‘uqala wa Nuzhatul Fudhala’, hlm. 27)
612. Sebagian ahli hikmah berkata, “Dunia telah
mempromosikan dirinya, sekiranya di alam ini ada yang mau menyikmaknya, berapa banyak orang yang yakin dengan umumnya telah dikuburkannya, dan orang yang menghimpun, diobrak-abrik apa yang telah dihimpunnya.” (Tarik Baqdad IV/66)
613. Said bin Mas’ud berkata, “Bila engkau melihat
seseorang pasti dunianya lebih banyak dari akhiratnya, sedang ia merasa puas dengan hal itu, maka itulah orang yang tertipu. Wajahnya sedang dipermainkan sedangkan ia tidak merasa.” (Al- Ihya’ III/223)
614. Ibnu Samak bertutur, “Wahai anak Adam, saat
dirimu keluar pada pagi hari untuk mendapat income, maka anggaplah dirimu dengan sesuatu yang telah engkau usahakan. Seakan-akan engkau tidak pernah meraih seperti itu.” (Shifatus Shafwa III/174)
615. Sebagian ahli hikmah berkata, “Siapa saja
yang jarang berderma saat mengumpulkan hartanya, lantas khawatir terjatuh dalam kefakiran, maka sesungguhnya saat itu ia bertindak sebagai orang yang fakir.” (Miftah Daris Sa;adah 1/100) 616. Ali bin Husain berkata, “Siapa saja yang bersikap qonaah dengan apa yang telah Allah bagikan untuknya, maka ia termasuk orang yang terkaya.” (Hilayatul Auliya’ III/135)
617. Sebagian ahli hikmah berkata, “Dirham
(uang) itu ada empat jenis: (1) Uang yang didapat dengan taat kepada Allah, lalu dibelanjakan untuk memenuhi hak Allah dan ini adalah sebaik-baik uang. (2) Uang yang didapat dengan maksiat kepada Allah, lalu dibelanjakan pula untuk bermaksiat kepada-Nya ini adalah seburuk- buruknya uang. (3) Uang yang di dapat dengan menyakiti saudara muslim, lalu dibelanjakan pula untuk menyakiti saudara muslim. Ini pun seburuk- buruknya uang. (4) Uang yang didapat dengan cara halal, lalu dibelanjakan untuk memenuhi keinginan yang mubah, yang ini tidak mendapatkan pahala ataupun dosa.” (Ar- Rizqu,Abdul Malik Al-Qosim, hlm. 81)
618. Sebagian ahli hijmah berkata, “Ada tiga yang
menjadi titik perhatian uang, darinya bisa mengakar lagi: (1) Ada uang yang didapat dengan cara benar, lalu dibelanjakan dalam kebhatilan. (2) Ada uang yang didapat dengan cara yang batil, lalu dibelanjakan dalam kebenaran, maka uang yang dibelanjakannya tadi menjadi penghapus dosanya. (3) Ada uang yang didapat dengan cara syubhat (tidak jelas halal haramnya), maka uang tersebut menjadi penghapus dosanya manakala dibelanjakan di dalam ketaatan.” (Al-Fawaid, hlm. 222)
619. Maimun bin Mihran berkata, “Seseorang
tidak akan selamat pada yang halal sampai ia menjadikan antara dirinya dan sesuatu yang haram bagian dari yang halal.” (Al-Wara’ karangan Ahmad bin Hanbal, hlm. 44)
620. Zubair bin Hadist berkata, “Seribu kotoran
lebih aku sukai daripada seribu dinar.” (As-Siyar V/296) 621. Abu Darda’ berkata, “Pemilik harta itu makan, kita pun makan, mereka meneguk minuman, kita juga minum, mereka mengenakan pakaian kita juga demikian, mereka berkendaraan, kita pun demikian mereka memiliki kelebihan harta yang mereka pelototi, kita pun bisa memelototi harta itu bersama mereka, dan mereka akan di hisab karenanya, sedangkan kita tidak.” (As-syiar II- 350)
622. Sebagian ahli hikmah berkata, “Bila engkau
telah diberi kekayaan seisi bumi, selayaknya engkau pun takut dua lembah negeri yang telah engkau kuasai, lalu apa pertanda semua itu? Bukankan esok muaramu adalah tanah? Lalu tanah itu dan ini ditaburkan.” (Ar-rizku, Abdul malik al-Qasim, hlm. 87) 623. Hasan Al-Bashri berkata, “Bila Allah hendak menjadikan kebaikan bagi seorang hamba, dia akan melimpahkan rezeki di dunia itu, lantas dia menahannya. Dan bila hadis, maka dia akan kembali melimpahkan untuknya. Dan bila seorang hamba rendah di sisinya, maka dia akan menghamparkan baginya dunia yang seluas- luasnya.” (Ar-rizqu Abdul Malik al-Qosim, hlm. 87)
624. Abu Hazim Salamah bin Dinar berkata, “Bila
kita terjaga dari keburukan apa yang telah ditimpakan kepada kita, niscaya kita tidak menemukan apa yang hilang dari kita.” (Syifatus- shafwah II/158) 625. Yahya bin Mu’adz berkata, “Aku heran terhadap orang yang sedih lantaran berkurangnya harta dirinya. Bagaimana dirinya tidak bersedih lantaran berkurangnya umurnya?” (Shifatus shafwah IV/95)
626. Sebagian ahli hikmah berkata, “Tinggalkanlah
kemewahan dunia beserta segala perhiasannya. Janganlah terpesona untuk memperbanyak dan bersikap serakah. Hendaklah engkau bersikap qonaah dan ridho dengan apa yang telah Allah bagi. Sesungguhnya qanaah itu harta yang tidak habis. Singkirkanlah gaya hidup mewah, sekalipun semua itu terpenuhi, niscaya tidak akan mendatangkan manfaat.” (Muksyafatul Qulub, hlm. 285)
627. Syumaith binAjlan berkata, “Wahai anak
Adam! Sesungguhnya perutmu hanya sejengkal dalam sejengkal, lalu kenapa bisa memasukkanmu ke dalam neraka.” (Al Ihya’III /254)
628. Sebagian ahli hikmah berkata, “Harimu
tidaklah melupakan dirimu, dan rezekimu lari meninggalkan durimu. Siapa saja yang patuh kepada manusia, niscaya akan menjadikan manusia itu raja. Hendaklah engkau menjadikan usahamu hanya untuk Allah, karena Allah akan mencukupi dirimu.” (Thabaqatul Hanabila, hlm. 419) 629. Sebagian ahli hikmah berkata, “Bersikap Qanaahlah dengan apa yang telah diberikan untukmu dan gunakanlah perasaan ridho. Sesungguhnya engkau tak tahu apakah esok atau sore harinya engkau masih hidup.” (At-Tadskirah, hlm. 55)
630. Hasan Al Bashri berkata, “Alangkah jeleknya
dua teman dekat ini, yakni dinar dan dirham. Keduanya tak mampu mendatangkan manfaat hingga keduanya meninggalkanmu.” (As Syir IV- 576)
631. Malik bin Dinar berkata, “Aku berharap Allah
menjadikan rezekiku kepada lubang yang aku hisab, agar aku tidak sibuk mencari yang selainnya hingga ajalku tiba.” (Hilyatul Auliya II/370)
632. Muhammad bin Sauqah berkata, “Ada dua
perkara sekiranya kita tidak disiksa melainkan hanya karena dua perkara tadi, niscaya kita memang pantas buat disiksa. Salah seorang di antara kita ditambah rezeki dunia lantas ia merasa gembira, padahal ia tidak pernah gembira sedikit pun saat perkara agamanya ditambah. Dan sebaliknya, saat rezeki dunia kita dikurangi dia akan merasa sangat sedih, padahal dia tidak pernah sedih itu apabila perkara agamanya yang berkurang.” (Syifatus Shafwah III/117) 633. Syafil berkata, “Diriku sama sekali tidak merasa takut akan kekafiran. Memburu kelezatan dunia adalah hukuman, yang Allah hukum para ahli tauhid dengannya.” (Ass-siyar X/97)
634. Sebagian ahli hikmah berkata, “Aku heran
kepada orang yang begitu khawatir menjadi fakir, dan merasa aman dengan kematian yang pasti terjadi. Apakah engkau juga merasa aman dengan apa yang akan terjadi dengan tidak ada keraguan sedikit pun. Dan merasa takut dengan apa yang dibenarkan oleh prasangka?” (Junnatur Ridho I/63)
635. Abu Shalih Hamidun bin Ahnan berkata,
“Cukupnya dirimu akan didatangkan kepadamu tanpa engkau harus meminta lebih dan payah. Sesungguhnya yang meletihkan hanyalah untuk berlebih.” (Syifatu Shafwah IV/122)
636. Sebagian ahli hikmah berkata, “Orang fakir
tidak tahu kapan dirinya akan menjadi kaya dan orang kaya pun tidak tahu kapan dirinya jatuh miskin.” (As-Siyar VII/424)
637. Sebagian ahli hikmah berkata, “Sematkanlah
sikap Qanaah pada duniamu dan ridholah dengannya. Sekiranya dirimu tak memiliki sesuatu selain sehatnya tubuh.” (Mawaruduzh Zham’ah III/493) 638. Sebagian ahli himkah berkata, “Harta benda kita yang selama ini kita kumpulkan untuk ahli waris, rumah rumah kita yang selama ini kita bangun untuk kerobohan zaman, jiwa memikul beban dunia, padahal dia tahu sesungguhnya keselamatan itu meninggalkan apa yang ada di dunia. Singgah dan menetap di dunia tidak akan menyelamatkan jiwa dari kehancuran. Dan melarikan diri dari kejadian juga tidak akan menyelamatkan. Setip jiwa memiliki kepalsuan saat pagi harinya.” (Tadzkiratul Huffazh I/109)
639. Sufyan Ats-Tsauri berkata, “Hidup itu tidak
lain hanyalah waktu-waktu yang berlalu, dan obrolan hari-hari yang diulang. Bersikap qanaahlah dalam hidupmu, dan bersuka citalah dengannya.Tanggalkan hawa nafsumu, niscaya engkau akan hidup bebas. Mungkin saja kematian itu tiba meski diiringi emas, yakut dan mutiara.” (Al-Ihya III/25)
640. Sufyan Ats Tsauri berkata, “Orang alim itu
dokternya agama, sedangkan dirham adalah penyakit agama. Bila dokternya sendiri terserang penyakit kapan dia bisa mengobati orang lain?” (Tadzkirotul Huffaz I/204)
641. Sebagian ahli hikmah berkata, “Berilah kabar
gembira bagi harta yang bakhil, untuk bersiap diri kedatangan musibah atau orang yang akan menggantikannya.” (Mukassyafatul Qulub, hlm. 124) 642. Sebagian ahli hikmah berkata, “Manusia mengumpulkan, sementara waktu itu memisah- misahkannya. Ia tetap menambahnya sedang bencana itu mencabik-cabiknya.” (Ar-Ridzku, hlm. 97)
643. Sebagian ahli hikmah berkata, “Ada mata-
mata bergadang, ada pula mata-mata terlelap tidur. Entah karena perkara yang mungkin terjadi ataupun tidak. Maka enyahlah rasa gundah gulana semampu dirimu. Sebab sangat tidak normal bila dirimu memikul rasa gundah gulana.” (Ar-Rizku, hlm. 98)
644. Dari Ibnu Abbas berkata, “Tatkala dinar dan
dirham diedarkan, iblis mengambil dan menaruhnya di depan kedua matanya lantas berucap; Kamu adalah buah hatiku dan penyejuk mataku, denganmulah aku bisa melampaui batas dan jadi kufur serta denganmulah aku bisa menyeret manusia ke dalam manusia ke dalam neraka. Aku puas dengan anak Adam, saat mereka menyembah diriku dengan cinta dunia.” (Shifatus Shafwah 1/757)
645. Sebagian ahli hikmah berkata, “Sebaik-baik
harta benda adalah yang kau ambil dari yang halal lalu engkau distribusikan dalam rangka memberi orang lain. Sedangkan sejelek-jeleknya harta benda adalah yang kau ambil dari yang haram lalu engkau distribusikan dalam perkara dosa.” (Adabud Dunya Wad Din, hlm. 214) 646. Hasan bin Abu Sinan berkata, “Sekiranya bukan orang-orang miskin, niscaya aku tidak mau bisnis dagang.” (Hilyatul Auliya’ III/116)
647. Yunus bin ‘Ubaid berkata, “Sesungguhnya
dirham itu hanya ada dua macam. Pertama, dirham yang kau tahan hingga dia diminta darimu lalu kau ambil kembali. Dan yang kedua, dirham yang wajib atas Allah Ta’ala atas kamu, yang padanya ada hak yang mesti kau tunaikan.” (Hilyatul Auliya III/17)
648. Bisyr bin Harists berkata, “Amal ketaatan itu
demi Allah lebih manis dari keduanya, dinar dan dirham.” (Tarikh Baghdad XIV/421) 649. Khalaf bin Husyab berkata, “Mengingat kematian telah menjadi dinding pemisah antara diriku dan terlalu sering berdagang. Sekiranya mengingat kematian itu hilang dalam hatiku walau hanya sesaat aku sangat khawatir kalau hatiku akan merusak diriku, dan kalau bukan karena aku mengingkari isi hatiku, daerah jaballah akan menjadi tempat tinggalku hingga aku mati.” (ShifatushShafwah III/109)
650. Abu Darda berkata, “Beribadahlah kepada
Allah seolah-olah kalian melihat-Nya. Anggaplah diri kalian masuk dalam barisan orang-orang mati. Ketahuilah bahwa sedikit tapi cukup bagi kalian itu lebih baik daripada banyak tapi melalaikan kalian. Ketahuilah bahwa kebaikan itu tidak akan sirna dan dosa itu tidak akan terlupakan.” (Ar- Rizku, hlm. 103)
651. Fudhoil bin Iyadh pernah mengatakan, “Hal
terbaik bagi diriku yakni saat diriku menjadi lebih fakir. Sungguh aku benar-benar bermaksiat kepada Allah, aku mengetahuinya dari perilaku keledai dan pelayanku.” (Shifatush Shafwah II/282)
652. Abu Ali Ats-Tsaqafi berkata, “Wahai orang
yang menjual segala sesuatu tanpa sesuatu pun dan wahai orang membeli tanpa sesuatu dengan segala sesuatu.” (As-Siyar XV/282) 653. Abu Ali Ats-Tsaqafi berkata, “Celakalah kesibukan duniawi bila telah datang. Dan celakalah karena kerugiannya saat ia telah membelakangi.” (As-Siyar XV/282)
654. Kemahiran, keutamaan dan warisan. Niscaya
dirimu mendapatkan kasta tertinggi. Namun, limpahan rezeki itu sudah merupakan jatah dan bagian. Dengan karunia Dzat Yang Maha Memiliki, bukan lantaran makar orang yang memburu. (Ar-Rizku 104)
655. Malik bin Dinar berkata, “Pasar itu bisa
memperbanyak perbendaharaan tapi bisa menghilangkan agama.” (Hilyatul Auliya II/385) 656. Abu Hazim Salamah bin Dinar berkata, “Dunia yang dipandang remeh ternyata bisa melalaikan orang dari banyaknya urusan akhirat.” (Shifatush shafwah II/166)
657. Ibnu Mas’ud berkata, “Sesungguhnya seorang
hamba benar-benar akan dibuat gundah dengan urusan dagang dan kepemimpinan, hingga dirinya dimudahkan dalam hal itu. Lantas Allah memperhatikan hamba tersebut seraya berkata kepada malaikat, ‘Enyahlah ia darinya! Sebab manakala Aku memudahkannya, Aku pasti akan memasukkan dirinya ke dalam neraka.’ Maka Allah pun memalingkannya, hingga hamba itu terus menerus ditimpa kesialan seraya mengatakan, ‘Fulan mencemoohkan diriku Fulan merendahkan diriku’ Padahal hal itu tidak lain karena bentuk karunia Allah.’” (Jam’ul Ulum wal Hikam, hlm. 228)
658. Abu Hasim Salamah bin Dinar berkata,
“Sesungguhnya perbendaharaan akhirat itu stagnan, maka perbanyaklah ia di tempat- tempatnya. Sebab sekiranya tiba waktu mengeluarkannya engkau tak akan sampai pada yang sedikit atau pun banyak.” (Shifatus Shafwah II/163)
659. Abdurrahman bin Mahdi berkata, “Demi
Allah engkau tak akan kehilangan sesuatu lantaran meninggalkannya demi menggapai ridha Allah. Dulu aku dan saudaraku adalah serikat dagang, saat itu kami ditimpa kerugian yang besar. Maka hatiku pun menjadi tak karuan, lantas aku tanggalkan perasaan itu dan aku keluar darinya. Tidaklah aku memutuskan keluar dari urusan dunia, melainkan Allah kembalikan harta tadi kepadaku. Mayoritas harta itu kembali kepadaku dan anakku. Saudaraku menikahkan tiga putrinya dengan putraku, aku pun menikahkan putriku dengan putranya. Sedang beberapa waktu saudaraku meninggal dan ayahku mendapatkan harta gono-gininya. Akhirnya harta itu kembali kepadaku dan anakku di dunia.” (Shifatush Shafwah IV/6)
660. Sebagian ahli hikmah berkata, “Bebaskan
dirimu dari jeratan dunia. Sebab engkau lahir di dunia dengan tidak memiliki apa-apa.” (Wafayatul A’yan V/54) 661. Hasan Al-Bashri berkata, “Sesungguhnya malang nasib anak Adam, ia ridho tinggal di negeri yang halalnya dihisab dan haramnya akan diadzab. Bila ia mengambil dunia dari yang halal, ia akan dihisab dan bila ia mengambil dari yang haram, Ia akan diadzab. Anak Adam cenderung selalu merasa kurang dengan harta dunianya, tapi tidak merasa kalau sedikit amalannya. Ia senang dengan musibah yang menimpa agamanya dan tidak ridho dengan musibah yang menimpa dunianya.” (Al-Ihya III/224)
662. Sebagian ahli hikmah berkata, “Harta benda
yang kita kumpulkan akan diperuntukkan ahli waris kita. Rumah yang kita bangun untuk merobohkan waktu. itulah rumah-rumah kosong di berbagai arah. Ia akan roboh dan kematian menghimpit orang yang membangunnya.”
663. Abu Darda berkata, “Segala puji hanya milik
Allah yang telah menjadikan orang-orang kaya berandai-andai seperti kita saat menjelang ajalnya tiba dan pada saat yang bersamaan menjadikan diri kita berandai-andai seperti mereka. Kita tidak bisa berbuat adil kepada saudara-saudara kita yang kaya, mereka begitu kasihan terhadap kita karena masalah agama, tapi memusuhi kita karena masalah dunia.” (As-Siyar II/350)
664. Sebagian ahli hikmah berkata, “Obat penawar
harta itu adalah dengan mengambil secukupnya saja, lalu mendistribusikan sisanya di jalan kebaikan. Bila selain hal itu, hanyalah racun dan malapetaka.” (Mukhtashar Minhajul Qashidin IV/2)
665. Sebagian ahli hikmah berkata, “Seseorang
berhasrat memberi kepada kematiannya. Namun Allah enggan, melainkan apa yang diinginkan, orang itu berkata, ‘Wahai aset dan harta kakayaanku!’. Padahal taqwa kepada Allah itu adalah asset paling berharga.” (Thabaqatusy Syafi’iyah II/184)
666. Abu Darda berkata, “Pemilik dua dirham itu
lebih lama terkurung, lebih lama hisabnya daripada pemilik satu dirham.(Al-Ihya’ IV/210) Mu’amalah (Bergaul)
667. Abu Hurairoh berkata, “Tidaklah ada
kebaikan dalam pembicaraan yang tidak bermanfaat.” (Bahjatul Majalis wa unsual-majelis oleh Ibnu Abdil Barr 1\61)
668. Ibnu Abbas berkata, “Janganlah berbicara
hal-hal yang tidak berguna bagimu, karena hal itu adalah suatu yang berlebihan. Sedangkan aku tidak akan menjamin anda tidak akan terjerumus suatu dosa, dan tinggalkanlah pembicaraan dalam banyak hal yang tidak berguna bagimu. Betapa banyak orang yang berbicara tidak pada tempatnya lalu hal itu membebani dirinya sendiri.” (Al-uzlah olehj al khattabi, hlm. 134) 669. Atho’ bin Abi Robah berkata, “Dahulu para salaf membenci pembicaraan yang tidak karuan.” (Bahjatul Majalis oleh Ibnu Abdil Barr 1\61)
670. Atho bin Abi Robah berkata, “Dengan
meninggalkan pembicaraan yang tidak bermanfaat, akal pun menjadi sempurna.” (Bahjatul Majalis oleh oleh Ibnu AbdilBbarr 1\61)
671. Atho bin Abi Robah berkata, “Diam itu
menjaga lisan dan menutupi kegagapan.” (Bahjatul Majalis oleh Ibnu Abdil Barr 1\61) 672. Imam Syafi’i berkata, “Tidaklah terdapat kebaikan pada pembicaraan yang berlebihan kecuali jika engkau mendapat petunjuk kepada sumber-sumbernya, dan diam merupakan sifat yang baik bagi pemuda dari pada logika yang tidak tepat waktunya.” (Diwan As-syafi’I, hlm. 136 dengan tahqiq Dr. Muhammad Abdul Mun’im Khofaji)
673. Ismail al-Khatib berkata, “Sebaik-baik
pembicaraan adalah yang sedikit dari pada yang banyak tapi tidak ada petunjuk dan gagap mengandung makna yang ringkas yang dihimpun oleh kata-kata yang panjang.” (Bahjatul majalis 1\61). 674. Imam Nawawi berkata, “Ketahuilah bahwa setiap mukallaf (orang yang sudah diberi tanggung jawab melakukan kewajiban dan menjauhi larangan dalam agama islam) harus menjaga lisannya dari segala perkataan, kecuali perkataan yang jelas yang memiliki kemaslahatan, dan ketika perkataan yang diperbolehkan (mubah) bisa dilakukan dan ditinggalkan pada satu kemaslahatan, maka sunnahnya adalah mencegah untuk tidak berbicara karena perkataan yang mubah terkadang mendorong kepada yang haram atau makruh dan hal itu sering terjadi pada adat kebiasaan, sedangkan keselamatan lisan tidak tertandingi oleh apapun.” (Riyadus Solihin oleh Imam Nawawi, hlm. 391) 675. Al-Qosami berkata, “Jauhilah perkataan yang tidak bermanfaat, karena itu memperlihatkan aib- aib kamu yang telah kamu sembunyikan dan menggerakan musuh kamu yang sudah diam. Perkataan orang menjelaskan keutamaannya dan menggambarkan akalnya maka buatlah perkataan dengan baik dan ringkas. (Jami’ul Adab fi Akhlaqil Anjab oleh al-Qosami, hlm. 6)
676. Ali bin Abdurrahman bin Hudzail berkata,
“Wajib bagi orang yang lepas dari adab atau etika dan jauh dari pengetahuan dan pemahaman serta tidak berilmu untuk diam dan mengingat dirinya dengannya karena hal itu merupakan bagian yang besar dari adab dan bagian yang luas dari petunjuk, karena dengan demikian ia aman dari kesalahan dan terjaga dari faktor-faktor kealfaan maka adab adalah pangkal dari segala hikmah dan diam adalah kumpulan hikmah.” (Ainal adab was siasah wazain Al-hasabi wa ar-riyasah oleh Ali bin Abdurrahman bin Hudzail, hlm. 128)
677. Syekh Abdurrahman bin Sa’di berkata,
“Jauhilah olehmu mencari peluang dalam majelis- majelismu bersama orang banyak untuk memimpin mereka padahal anda bukanlah seorang pemimpin, dan banyak bicara yang selalu mengemukakan setiap perkataan. Dan bisa jadi dengan kebodohan dan ketololanmu, kamu dapat menguasai majelis untuk duduk, lalu engkau menjadi penceramah dan pembicara tanpa ada orang lain yang mendapat kesempatan bicara.” (Lihat Ar-Riyadh an-Nashirah dhimna al- Majmu’ah Al-kamilah oleh Ibnu Sa’di V/549) 678. Ibnu al-Mukhafa berkata, “Apabila anda merasa dalam diri terdapat keutamaanmu merasalah tidak nyaman untuk menyebutkannya, dan ketahuilah bahwa hal itu nampak pada diri anda dengan bentuk seperti itu akan terkesan pada hati orang banyak sebagai suatu aib yang lebih kuat dari pada keutamaan itu sendiri. Ketahuilah bahwa jika anda sabar dan tidak terburu-buru maka gambaran tentang diri anda akan tampak lebih baik. Di mata orang banyak, janganlah sekali-kali anda merasa tidak jelas bahwa perhatian lebih dari seseorang untuk menampakkan apa yang ada padanya dan kurang wibawanya dalam hal itu termasuk bab kekikiran dan keburukan, dan sebaik-baik pertolongan untuk hal itu ialah kedermawanan dan kemurahan hati. Jika anda ingin memakai pakaian kewibawaan dan keindahan dan memiliki sifat kasih sayang terhadap khalayak, dan menapaki jalan yang mulus yang tidak terdapat lubang di tengahnya atau batu sandungan, maka jadilah orang yang mengerti tapi seperti orang bodoh, dan orang pandai berbicara tapi seperti orang gagap, adapun ilmu ia akan menghiasi diri dan menunjuki anda, adapun kurangnya pengakuan akan hal itu akan menghilangkan sifat hasad. Adapun logika, jika anda menggugatnya maka ia akan menyampaikan kebutuhan kepada anda, dan adapun sifat diam maka ia akan memakaikan pakaian kecintaan dan kewibawaan kepada Anda.” (Lihat al-Adabus Shogir wa al-Adabul Kabir oleh Ibnul Muqaffa’, hlm. 135 dan syarah wa dirasah oleh Dr. Mufid Qomihah) 679. Ali berkata, “Lidah adalah standar yang direndahkan oleh kebodohan dan ditinggikan oleh akal.” (al-Adab ad-Dunya wa ad-Din oleh al- Mawardi, hlm. 275)
680. Sebagian ahli balaghoh berkata, “Biasakanlah
diam, karena dapat memberimu kebeningan cinta dan menjagamu dari akibat yang jelek, memakaikanmu pakaian kewibawaan dan mencukupkan bagimu bahan untuk beralasan.” (al-Adab ad-Dunya wa ad-Din oleh al-Mawardi, hlm. 275)
681. Sebagian ahli balaghoh berkata, “Ikatlah
lidahmu kecuali untuk suatu kebenaran yang ingin kau jelaskan, atau kebatilan yang ingin kau tolak atau kenikmatan yang ingin kau sebutkan.” (Adab ad-Dunya wa ad-Din oleh al-Mawardi, hlm. 275)
682. Ibnul Muqoffa’ berkata, “Ketahuilah bahwa
lidah anda adalah alat yang tidak bersarung, sedangkan akal, kemarahan, dan nafsu anda dapat bertanya dengannya, maka siapa yang menang ia akan menikmati lidah itu dan mengarahkannya kepada apa yang disenanginya, bila akalmu dapat memenangkannya maka lidah itu menjadi milikmu, tapi jika terkalahkan maka ia menjadi milik musuhmu. Bila engkau dapat memelihara dan menjaganya maka ia tidak lain kecuali milikmu. Musuhmu tidak akan menguasainya atau musuhmu ikut bersamamu untuk menguasainya karena itu lakukanlah.” (Al-Adabus Shoghir wa Al- adabul Kabir oleh Ibnul Muqaffa’, hlm. 139)
683. Az Zamakhsyari berkata, “Sebaik-baik lidah
adalah yang terjaga dan sebaik-baik adalah yang setimbang, maka berkatalah jika engkau ingin berkata dengan lebih baik dari pada diam dan hiasilah perkataanmu dengan kewibawaan dengan cara yang baik. Sesungguhnya gegabah dalam berbicara adalah tanda kurangnya akal, dan tidaklah kelembutan itu masuk pada sesuatu kecuali menghiasinya dan tidak ada sesuatu yang menghiasi seorang pembicara kecuali kewibawaan.” (Aqwaalun Ma’tsuratuh wa Kalimah Jamilah oleh Dr.Muhammad bin Luthfi Al-Shibagh hal.148 dan Athwaiq Adz-Dzahabi oleh Az- Zamakhsyari, hlm. 89) 684. Ibnu Al-Muqaffa’ berkata, “Apabila Anda berada dalam satu kumpulan orang, janganlah sekali-kali menggeneralisasi suatu generasi dari manusia, atau suatu bangsa dari bangsa-bangsa dengan celaan dan cercaan. Karena anda tidak tahu kalau-kalau ucapanmu mengenai sebagian cela dari orang yang duduk bersamamu dengan salah sehingga anda tidak mendapat penghargaan mereka, atau dengan sengaja sehingga anda dianggap bodoh. Meski demikian janganlah engkau menjelek-jelekkan suatu nama baik laki- laki maupun perempuan, dengan mengatakan nama ini termasuk nama yang jelek karena anda tidak mengerti kalau-kalau itu tidak sesuai dengan sebagian orang yang hadir, dan bisa saja nama yang anda anggap jelek itu terdapat pada keluarga atau istri-istri mereka. Janganlah engkau meremehkan hal ini, karena semua itu dapat melukai hati, padahal luka yang disebabkan oleh tangan.” (Al-adab al-Kabir wa al-Adab al-Shagir, hlm. 162)
685. Umar bin Abdul ‘Aziz berkata, “Dua sifat yang
tidak dapat menghilangkanmu dari orang yang bodoh, banyak menoleh dan tergesa-gesa dalam menjawab.” (Uyunul akbar II\39)
686. Ibnu al-Muqhoffa’ berkata, “Apabila penanya
dalam pertanyaannya tidak bermaksud ditujukan kepada orang tertentu, tapi untuk semua orang yang ada di sisinya maka janganlah sekali-kali menjawab berusaha mendahului yang lain, dan janganlah tergesa-gesa untuk memulai bicara karena hal itu menunjukkan aib yang dibuat-buat dan suatu kebodohan. Karena jika anda mendahului suatu kaum untuk berbicara maka mereka akan menjadi lawan bagi perkataanmu dan mengomentari perkataanmu setelah itu dengan keaiban dan tuduhan yang tidak pantas. Jika anda tidak terburu-buru dalam menjawab dan memberikan kesempatan untuk kaum itu maka anda akan dapat memahami berbagai dimensi dari perkataan mereka lalu anda pun dapat mencermati dan memikirkan apa yang ada pada anda, kemudian anda dapat mempersiapkan jawaban yang memuaskan berdasarkan pemikiran dan kebaikan yang anda dengar, dengan jawaban anda itu mengulang ke belakang berbagai perkataan mereka, ketika pendengaran mereka sedang mendengarkan anda, dan dengan demikian lawan-lawan bicaramu pun menjadi teman. Jika anda tuntas berbicara dengan orang selain anda, atau perkataan itu terputus sebelum itu hal itu tidak menjadi aib bagimu, dan tidak juga merupakan suatu kesalahan dalam dirimu kehilangan kesempatan untuk menjawab karena terpeliharanya perkataan itu lebih baik dari kejelekan dalam penempatannya, dan bahwa satu kata yang benar yang diucapkan pada tempatnya itu lebih baik dari pada seratus kata yang anda katakan pada satu kesempatan, dan tempat yang salah. Padahal perkataan yang terburu-buru dan banyak tidak akan terlepas dari sesuatu keterpelesetan dan penghargaan yang jelek, meskipun memiliki kata-kata itu menyangka bahwa ia telah berbuat dengan benar dan profesional. Ketahuilah bahwa berbagai masalah ini tidak akan anda gapai dan tidak juga anda miliki kecuali dengan keluasan ilmu saat diungkapkan maupun tidak diungkapkan, dan sedikitnya pengagungan terhadap akhlak yang baik yang telah tampak maupun yang belum. Kedermawanan jiwa terhadap banyaknya kebenaran adalah ketakutan dalam perselisihan, ketergesaan, kedengkian dan perdebatan.” (Al- Adabus shoghir wa Al-Adabul kabir, hlm. 122- 123)
687. Salah seorang ahli hikmah berkata, “Tidak
terdapat kebaikan sama sekali pada pendapat yang tidak mapan dan tidak juga pada untaian kata-kata yang terburu-buru.” (Zahrul al-Adab oleh Al- Hashri Al-Qoiruwani 1/154) 688. Salah seorang ahli hikmah berkata, “Kesalahan adalah bekal orang-orang yang terburu-buru.” (Majma’ Al-Amtsal oleh Al- Maidani 1/431)
689. Salah seorang ahli hikmah berkata, “Untuk
memulai suatu perkataan harus memiliki daya tarik yang memikat dan bagian yang mempesona maka jika watak menjadi rendah dan pengamatan menjadi seimbang serta jiwa menjadi bersih maka seseorang mesti mempelajari lagi dan dalam hal ini agar kesenangannya terhadap kebaikan perkataannya itu sama dengan kegelisahannya terhadap kejelekan perkataannya.” (Zahrul Adab 1/154) 690. Ibnu Hibban berkata, “Seorang sahabat hampir tidak bisa didahului, adapun orang yang tergesa-gesa hampir tidak bisa menyusul. Seperti halnya orang yang diam ia hampir tidak menyesal, juga orang yang berbicara hampir tidak selamat (dari kesalahan). Orang yang tergesa-gesa berbicara sebelum mengerti dan menjawab sebelum memahami (pertanyaan), dan memuji sebelum mencoba dan mencela setelah di puji, ia juga bertekad sebelum berfikir dan bergegas sebelum bertekad. Orang yang tergesa-gesa selalu diikuti penyesalan dan dijauhi keselamatan, dan orang Arab menamakan ketergesaan sebagai induk dari berbagai penyesalan.” (Raudha al-‘Uqola, hlm. 216) 691. Ibnu Abbas berkata, “Janganlah engkau bertengkar mulut dengan orang yang sabar dan juga dengan orang yang bodoh, karena orang yang sabar akan membencimu dan orang bodoh akan menyakitimu.” (Al-Uzlah oleh al-Khattabi, hlm. 134-135)
692. Ibnu al-Muqaffa berkata, “Ketahuilah bahwa
anda akan diuji oleh sekelompok orang dengan kebodohannya yang akan memperlihatkan kedengkian hati mereka kepadamu. Apabila anda melawan atau membalasnya dengan kebodohan mu, anda seakan-akan rela dengan apa yang ia kerjakan, dan anda suka untuk menjadi seperti dirinya. Jika hal itu menurutmu adalah perbuatan tercela maka wujudkan celaanmu kepadanya dengan tidak melawannya, jika anda mencelanya dan mengambil jalan sepertinya maka hal itu bukanlah perbuatan yang tepat.” (al-Abadus Shagir wa al-Adab al-Kabir, hlm. 155)
693. Sebagian ahli hikmah berkata, “Perkataan
yang muncul dari seseorang akan menunjukkan kepada hakikat akal dan tabi’at akhlak.” (Lihat Khuluq al-Muslim, hlm. 77)
694. Ibnu al-Muqaffa berkata, “Janganlah anda
duduk bersama seseorang tanpa mengetahui caranya, karena jika anda ingin menjumpai orang yang bodoh dengan menggunakan ilmu, dan orang yang kasar dengan fiqih dan orang yang gagap dengan ilmu bayan, tidak akan menambah apa- apa kecuali anda telah menyia-nyiakan ilmu dan menyakiti teman duduk anda dengan membebaninya dengan sesuatu yang tidak ia ketahui, juga kesedihan anda terhadapnya seperti kesedihan yang dirasakan seorang yang fasih berbicara saat bergaul dengan orang orang yang asing yang tidak mengerti. Ketahuilah bukan merupakan sebuah ilmu saat anda menyebutkannya di hadapan orang yang bukan ahlinya kecuali mereka bakal mencelanya, mengangkatnya dan membatalkannya, dan mereka sangat berkeinginan untuk menjadikannya sebagai suatu kebodohan, hingga banyak hiburan dan permainan yang merupakan sesuatu yang paling sepele menurut pandangan orang-orang pasti akan dihadiri orang yang tidak mengetahuinya, lalu membebaninya dan bersedih karenanya.” (al-Abadus Shagir wa al-Abadul Kabir, hlm. 158)
695. Syekh Abdurrahman berkata, “Di antara adab
yang baik ialah berbicara kepada setiap orang sesuai dengan situasi dan kondisinya kepada ulama dengan belajar dan mengambil faedah serta menghormatinya, kepada para raja dan presiden dengan menghormati dan perkataan yang lembut yang sesuai dengan kedudukannya, dan kepada teman-teman dan lawan-lawan bicara dengan perkataan yang lembut sambil menyampaikan hadits-hadits tentang agama dan dunia dan memaparkan yang enak di hati yang dapat menghilangkan kerisauan dan dapat menghiasi majelis dengan keindahannya. baik juga untuk dilakukan sesekali yaitu bersenda-gurau jika memang itu benar, dan bakal tercapai tujuannya. Berbicara kepada mereka yang suka mengambil manfaat seperti para mahasiswa dan lainnya dengan mengemukakan sesuatu yang bermanfaat kepada orang-orang yang bodoh menyampaikan berbagai hikayat dan tema yang cocok bagi mereka yang dapat memberikan kemudahan kepada mereka yang membuatnya kerasan, kepada istri dan anak-anak dengan mengajarkan pendidikan untuk kepentingan agama dan dunia, juga pendidikan rumah serta mengarahkan mereka kepada perbuatan-perbuatan yang berguna bagi mereka dengan cara sederhana dan sedikit humor karena mereka orang yang paling berhak mengecap kebajikanmu dan di antara kebajikan yang paling agung ialah pergaulan yang baik kepada orang yang fakir dan miskin bersikap sederhana, tidak sombong dan tidak merasa tinggi hati dan takabur terhadap mereka. Betapa sering terjadi dengan menggunakan cara di atas menghasilkan banyak kebaikan dan keberkahan. Sebaliknya betapa sering terjadi dengan tidak menghiraukannya menghasilkan banyak kejelekan dan sirnanya kebaikan. Berbicara dengan orang yang yang anda kenal menyukai permusuhan, kemarahan dan kedengkian dengan cara yang sopan dan menjauhi cara-cara kekerasan, dan jika anda dapat mencapai kepada kedudukan yang tinggi maka hal itu sesuai dengan firman Allah:
“Tolaknya (kejahatan itu) dengan cara yang lebih
baik, maka tiba-tiba orang yang di antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah menjadi teman yang sangat setia. (Qs Fusilat:34). Alangkah sempurnanya kedudukan yang tidak diberikan kepadanya kecuali kepada orang yang memiliki nasib yang agung.” (Al-Riyadh al-Nadhira, hlm. 548-549 dalam kumpulan Ibnu Sa’di)
696. Salah seorang ahli hikmah berkata, “Di antara
adab kesopanan ialah mengarahkan pendengaran kepada orang yang berbicara dengannya karena hal itu menunjukkan kesenangan padanya dan ketertiban terhadap perkataannya.” (Rosail al- Ishlah 1\212)
697. Salah seorang ahli hikmah berkata,
“Pembicara yang baik adalah pendengar yang baik pula, oleh karena itu berbaguslah dalam mendengar. Janganlah anda memotong orang yang berbicara denganmu tetapi doronglah ia untuk berbicara dengan kebaikan sikap diammu agar ia membalasmu secara sama. Kebaikan mendengar adalah dengan telinga, kedipan mata, dan kehadiran hati serta kecemerlangan wajah.” (Kaifa Tuhawiru Dr. Thariq al-habib, hlm. 21)
698. Ibnu Abbas berkata, “Tiga hal untuk orang
yang duduk bersamaku, aku menyambutnya dengan dua sisiku jika ia datang menghadapku, aku meluaskan tempatnya jika ia duduk, dan aku memberikan perhatian kepadanya jika ia berkata.” (‘Uyun al-Akhbar 1\306) 699. Amr bin Ash berkata tiga hal, “(1) Aku tidak merasa bosan terhadap mereka orang yang duduk bersamaku yang belum paham apa yang aku katakana. (2) Pakaianku yang menutup badanku. (3) Dan kendaraan (onta) ku yang membawa kedua kakiku.” (‘Uyunul Akhbar 1\306)
700. Said bin Al-Ash berkata, “Tiga hal untuk
orang yang duduk bersamaku: (1) Jika ia datang menghadapku akan luas tempat untuknya. (2) Jika duduk maka aku akan menghadapnya. (3) Dan jika aku akan mendengarkannya.” (Al-Muntaqha min Makari Al-akhlak intiqo’Abi Thohir al-salafi, Al- kharaithi, hlm. 54) 701. Al-Hasan berkata, “Jika anda duduk pada suatu majelis maka jadilah anda lebih perhatian untuk mendengar daripada berbicara, belajarlah jadi pendengar yang baik sebagaimana anda belajar berbicara yang baik dan janganlah memotong perkataan orang lain.” (Zahrotul adab I/95)
702. Abu ‘Ubbad berkata, “Yang harus dilakukan
oleh seorang pembicara terhadap orang yang duduk bersamanya ialah mengumpulkan semua pikirannya, mendengarkan dengan seksama perkataannya, menjaga rahasianya dan meringankan udzurnya.” (Zahratul adab I/95) 703. Ibnu Sa’di berkata, “Termasuk adab yang baik ialah jika seorang berkata kepadamu tentang urusan agama atau dunia maka janganlah anda menentangnya jika anda telah mengetahui hal itu sebelumnya tetapi dengarkanlah ia dengan seksama seperti orang yang tidak mengetahui apa- apa, dan tidak pernah melewatinya, dan perlihatkanlah kepadanya bahwa anda telah mengambil faedah darinya sebagaimana orang- orang yang bijaksana melakukannya dalam hal ini terdapat beberapa pelajaran di antaranya memberi semangat kepada pembicaraan memasukan kebahagiaan ke dalam hatinya, selamat dari perasaan ujub (bangga diri) terhadap diri sendiri, dan selamat dari adab yang jelek karena berselisih dengan pembicara dan perkataannya adalah termasuk dari adab yang jelek.” (Ar-Riyadh An- Nadriah, hlm. 548)
704. Ibnu al-Muqaffa berkata, “Jika anda melihat
seseorang sedang berbicara dengannya dan janganlah memberikan komentar terhadapnya karena ingin agar orang mengetahui bahwa anda telah mengetahuinya karena hal ini merupakan kebodohan, adab yang jelek dan kelemahan akal.” (Al-Adabul Kabir wal Al-Adabus Shogir, hlm. 162)
705. Ibnu Abdil Bar berkata, “Termasuk adab yang
jelek di dalam majelis adalah memotong pembicaraan orang yang duduk bersamamu atau anda mendahuluinya untuk menyempurnakan perkataan yang baru ia mulai baik apakah itu kabar ataupun syair yang anda sempurnakan anda memperlihatkan kepadanya bahwa anda lebih hafal darinya. Ini adalah cara bermajelis sangat jelek yang harus anda lakukan ialah mendengarkan seolah-olah belum mendengarkannya sama sekali kecuali darinya.” (Bahjatul Majalis I/ 46
706. Ibnu Juraj menceritakan dari Atha, “Seorang
laki-laki berbicara kepadaku tentang suatu topik, maka aku mendengarkannya padahal aku telah mendengar topik itu sebelum ia dilahirkan.” (Siar ‘Alamin an-Nubada 7/86 dan Tadzkiratus Sami’ wa al-Mukallimin, hlm. 157) 707. Abu Mujliz berkata, “Jika ada seseorang yang datang dan berniat untuk duduk bersamamu janganlah meninggalkannya sampai engkau meminta izinnya terlebih dulu.” (Al-Muntaqa min Maharimi al-Akhlak, hlm. 153)
708. Asma bin Khorijah berkata, “Tidaklah
seseorang duduk bersamamu kecuali aku melihatnya memiliki keutamaan atas ku sampai meninggalkanku.” (Al-Muntaqa min Makarimi al- Akhlak, hlm. 153)
709. Sebagian ahli hikmah berkata, “Bisa jadi
orang yang memiliki kesopanan itu terpaksa untuk menolak kejelekan lawannya yang tidak suka menyebutkan sesuatupun tentang kebobrokan mereka, tetapi kesopanan enggan untuk membuat- buat keaiban yang akan di lemparkan kepada mereka karena memberi tahukan selain yang terjadi akan menghancurkan bangunan kesopanan dan tidak menyisakan baginya suatu esensi maupun bekasnya.” (Rasail al-Islah I/211- 212)
710. Sebagian ahli hikmah berkata, “Tidaklah bagi
pembohong suatu adab kesopanan pun dan tiada pula bagi yang mudah bosan suatu kepemimpinan.” (Al-Mahasin wa al-Masawi, hlm. 443)
711. Sebagian ahli hikmah berkata, “Perkataan
yang baik terhadap musuh akan dapat memadamkan api permusuhan, memotong ketajaman permusuhan atau paling tidak menghentikan perkembangan keburukan dan penyebaran kekejian.” (Khuluq al-Muslim, hlm. 80 dan ad-Da’wah ila al-Islah oleh Muhammad al- Khidr Husein, hlm. 54)
712. Ibnu Hibban berkata, “Barangsiapa yang tidak
bergaul dengan orang yang mempunyai tenggang rasa dari kesalahan yang mereka perbuat dan meninggalkan persangkaan terhadap hal-hal yang disenangi yang mereka datangkan maka ia lebih dekat kepada kehidupannya yang keruh dari pada kejernihannya, dan suatu saat akan mendorong kepada permusuhan dan pertentangan dari pada mendapat kecintaan dari mereka yang meninggalkan permusuhan.” (Roudotul ‘uqola, hlm. 72)
713. Ar-Rafii’ berkata, “Bila terjadi perbedaan
pendapat antara dua orang sedang niat mereka benar-benar ikhlas, perbedaan mereka hanyalah disebabkan bermacam-macamnya pendapat dan akhirnya mereka sepakat menerima pendapat yang kuat tidak jalan lain yang harus demikian.” (Wahyu al-Qolam oleh ar-Rofi: II/ 351)
714. Ahmad bin Khalid al-Khalal berkata, “Saya
mendengar Muhammad bin Idris as-Syafii’ mengatakan, ‘Saya menginginkan dia salah.’” (Sifat al-Sofwah oleh Ibnul Jauzi II/167) 715. Al-Husain al-Karabsi berkata, “Saya mendengar as-Syafi’i berkata, ‘Saya tidak pernah berdiskusi dengan seseorang sama sekali selain saya mengharapkan dia mendapat taufik, benar, mendapat pertolongan, bimbingan dan lindungan dari Allah. setiap kali saya berdebat dengan seseorang saya tidak peduli apakah Allah akan menjelaskan kebenaran dengan lisan saya atau dengan lisan dia.” (Sifat al-Sofwah oleh Ibnul Jauzi II/167)
716. Ibnu Hazm berkata, “Barangsiapa yang mau
bersikap adil, bayangkanlah dirinya sebagai lawan, karena akan nampak baginya wajah ketidakadilannya.” (al-Akhlak wa Syiar, hlm. 80) 717. Salah seorang ahli himmah berkata, “Menyia- nyiakan hasil pemikiran yang sudah tetap dan tidak membahas apa yang seharusnya dibahas adalah induk kebatilan.” (al-Akhlak wa as-Syiar, hlm. 57)
718. Al-Aqqad berkata, “Sikap keras kepala dan
keteguhan berpendapat itu dua hal yang berlawanan; keras kepala adalah mempertahankan pendapat tanpa alasan atau dengan sebab yang sudah jelas kesalahannya; keteguhan adalah mempertahankan pendapat yang diyakini selama belum ada sebab yang mendorong untuk berpindah darinya.” (Aqwal Ma’tsurah, hlm. 200) 719. Ar-robi’ bin Sulaim berkata, “Saya mendengar Imam Syafi’i berkata, ‘Setiap kali saya menyampaikan kebenaran dan hujjah kepada seseorang lalu dia menerima pasti aku beri kepadanya hadiah dan saya anggap sebagai rasa sayangnya padaku, dan setiap kali orang bersikap sombong kepadaku dalam masalah kebenaran dan mempertahankan hujjahnya pasti dia orang rendah menurut pandanganku.’” (Sifatu as-Sofwah II/167)
720. Sebagian ahli hikmah berkata, “Semakin baik
dia memaparkan pengetahuan dan memperkuat pemikirannya semakin menarik dan semakin besar pula responnya.” (Fii ushul al-Hiwar hal 33-34 dan Da’wah ila al-Islah, hlm. 54-55) 721. Tidak seyogyanya mengadakan dialog dengan orang yang berwibawa besar dan sangat dihormati orang, agar kewibawaan dan kebesarannya tidak membuat lawannya menjadi heran dan takut mengajukan argumentasi sebagaimana mestinya. (Adab al-Bahtsi wa al-Munazharah II/ 76)
722. Imam Nawawi berkata, “Saya tidak melihat
sesuatu yang dapat lebih menghilangkan agama, mengurangi kesopanan, menyia-nyiakan kenikmatan dan memberatkan hati selain dari pertengkaran.” (Al-adzkar, hlm. 330)
723. Imam Nawawi berkata, “Pertengkaran itu
melukai hati dan membangkitkan kemarahan, bila kemarahan bangkit maka timbullah kedengkian di antara mereka berdua sehingga masing-masing merasa senang bila bisa menjelekkan yang lain dan membuatnya salah, lalu dia menuruti kehendaknya sendiri semaunya. Barangsiapa bertengkar, maka kemungkinan dia akan terkena penyakit ini, minimal sibuk hatinya, sehingga mewarnai hubungannya dan hatinya terus berkaitan dengan debat dan pertengkaran dan keadaannya tidak pernah dapat bersikap lurus, pertengkaran itu pangkal dari kejahatan, demikian juga debat dan perselisihan, maka sebaiknya orang tidak membuka pintu pertengkaran kecuali dalam keadaan terpaksa yang tidak dapat dihindarkan pada kondisi seperti itu dia harus menjaga lisan dan hatinya dari penyakit pertengkaran.” (Al- adzkar hal 330-331 Ihya ‘Ulumuddin oleh Al- Ghozali II/ 116-120)
724. Ibnu Abbas berkata, “Cukuplah anda
dianggap berbuat zhalim bila kamu selalu bertengkar dan cukuplah anda berdosa bila kamu tetap berdebat.” (Bahjat al-Majalis II/429)
725. Ibnu Abi Zanad berkata, “Apa yang dibangun
dengan perdebatan itu akan dihancurkan oleh perdepatan serupa.” (Bahjat al-Majalis II /429)
726. Al-Auza’i berkata, “Jika Allah menghendaki
kejehatan pada suatu kaum maka Dia memaksakan perdebatan pada mereka dan mencegah mereka beramal.” (Bahjatul Majelis II/430)
727. Al-Ashum’i berkata, “Saya mendengar
seorang Arab badui berkata, ‘Barang siapa mengompori dan bertengkar dengan orang lain, berkuranglah kehormatannya, dan barangsiapa yang sering melakukan sesuatu maka dia akan terkenal.’” (Bahjat al-Majalis II / 430)
728. Al-Ajuri meriwayatkan hadits dari Muslim
bin Yasar berkata, “Hindarilah pertengkaran karena hal itu adalah saat kebodohan bagi orang lain dan dengan cara itulah setan mencari kesalahannya.” (As-Syari’ah oleh Al-Ajuri, hlm. 56, lihat juga Al-Ashfahani: Al-Hujjah fii Bayan al- Mahajjah 1/280).
729. Umar bin Abdul ‘Aziz berkata, “Barangsiapa
menjadikan agamanya tujuan untuk pertengkaran maka dia sering berpindah-pindah.” (As-Syari’ah, hlm. 56)
730. Abdullah bin Husain bin Ali berkata,
“Pertengkaran itu adalah pelopor kemarahanmu, Allah menghina akal yang mendatangkan kemarahan kepadamu.” (Bahjat al-Majalis Ii/429)
731. Muhammad bin Ali bin Husain berkata,
“Pertengkaran itu menghancurkan agama dan menimbulkan kedengkian dalam hati orang.” (Bahjat al-Majalis II/429)
732. Abdullah bin Hasan bin Husain berkata,
“Pertengkaran itu merusak persahabatan yang sudah lama terjalin dan mengendorkan ikatan yang kuat minimal pertengkaran itu menjadi sasaran bagi pernyataan yang berlebih-lebihan sedang berlebih-lebihan itu adalah penyebab terkuat bagi pemutusan hubungan.” (Bahjat al- Majalis II/429)
733. Ja’far bin Muhammad berkata, “Hindarilah
pertengkaran karena pertengkaran itu akan menyibukkan hati.” (Syarah Ushul I’tiqad Ahli Sunnah wal Jama’ah Al-Lalika’i I / 128-129) 734. Tsabit bin Qurrah berkata, “Hindarilah pertengkaran karena pertengkaran itu akan membatalkan amal baik.” (Syarah Ushul I’tiqad Ahli Sunnah wal Jama”ah Al-Lalika’i I / 128-129)
735. Ibnu Hazm berkata, “Jauhilah berbeda
pendapat dengan kawan duduk dan menentang orang-orang pada masamu dalam hal yang tidak merugikan agama dan akhiratmu walaupun hanya sedikit karena dengan demikian kamu akan mendapatkan kerugian, dijauhi orang dan permusuhan, kemungkinan hal itu akan mengakibatkan dituntut dan kerugian yang besar dan tidak berguna sama sekali.” (al-Akhlak wa as- Siyar, hlm. 61) 736. Abu Sulaiman al-Khattabi berkata, “Barangsiapa yang bertengkar maka seharusnya kamu menjauhinya, jangan mendekatinya, karena kerelaan dan tujuannya tidak mungkin dapat dicapai.” (al-‘Uzlah, oleh Al-Khottobi, hlm. 166)
737. Sebagian Ahli Hikmah berkata, “Lidah yang
kotor dan perkataan yang jahat termasuk kelakuan yang buruk dan tanda kelancangan dan kekurangajaran, termasuk kesopanan seorang muslim dalam berkata-kata adalah membersihkan lisannya dari perkataan yang buruk dan keji dan tidak menyebut hal yang memalukan, karena termasuk tidak sopan bila orang terlanjur mengeluarkan kata-kata yang buruk tanpa mengindahkan tempat dan akidahnya.” (Lihat Khuluq al-Muslim, hlm. 81)
738. Sebagian ahli hikmah berkata, “Kesopanan itu
dapat menjaga lidah orang dari kata-kata porno dan bodoh. Berhati-hatilah terhadap ucapan yang menodai kehormatanmu, sesungguhnya kata kotor itu menjatuhkan orang yang punya kesopanan.” (Rasai al-Ishlah I/211)
739. Sebagian ahli hikmah berkata, “Orang-orang
besar berpegang teguh dalam semua situasi agar tidak pernah mengucapkan kata-kata keji dan menghindarkan hal itu di depan semua orang agar tidak dianggap sebagai orang bodoh atau lancang.” (Khulukul Muslim, hlm. 81) 740. Al-Qosami berkata, “Hindarilah kata-kata yang buruk, karena menjauhkan orang-orang mulia dari dirimu dan mendekatkan orang-orang jahat kepadamu.” (Jawami’ Al-Adab, hlm. 6)
741. Al-Mawardi berkata, “Hal yang termasuk
kata-kata keji yang harus dihindari dan dijauhi adalah kata-kata yang buruk artinya, tidak disukai kedengarannya, walaupun benar setelah direnungkan dan dikaji perlahan-lahan.” (Adabud-Dunya wa Ad-Din, hlm. 284)
742. Al-Ghozali berkata, “Tidak termasuk hal
tercela adalah menggunakan kata-kata yang indah dalam khutbah dan nasihat tanpa berlebihan dan aneh didengar karena tujuannya adalah menggerakkan hati, merindukan, menahan dan melapangkannya, maka kata-kata yang elok mempunyai pengaruh tersendiri dan itu adalah hal yang pantas sekali baginya. Adapun dialog yang diadakan untuk bermaksud tertentu maka tidak cocok disampaikan dengan cara bersajak dan deklamasi, melakukan hal itu termasuk dalam kategori memaksakan diri yang tercela, tak ada pendorongnya selain pamer, memperlihatkan kepandaian berbahasa, menunjukkan kemahiran yang semuanya tercela dan makruh serta dilarang dalam syariat Islam.” (Ihya’ Ulumud Din oleh Al- Ghozali II / 121)
743. Sebagian ahli hikmah berkata, “Semakin lebih
jelas kata-kata yang diucapkan maka semakin terpuji.” (Al-Bayan Wat Tabyin oleh Al-Jahizah I /11)
744. Ibrohim bin Al-Mahdi berkata, “Janganlah
kamu sering mengulang kata yang asing bagi pendengar, dengan harapan mencapai balaghoh tinggi, karena hal itu adalah penyakit terbesar, gunakanlah bahasa yang mudah dan hindarilah kata-kata yang rendah.” (Al-Umdah oleh Ibnu Rosyid II / 266)
745. Abu Hilal Al-Asy’ari berkata, “Sebaik-baik
perhatian adalah yang jelas dan mudah, tidak tertutup artinya dan tidak samar tujuannya, tidak sulit dan tidak dibenci, tidak kasar dan tidak mendalam dan bebas dari kejelekan dan tidak kasar. Jika kata-kata dari kalimat itu jelek dan ditampilkan dengan kasar maka akan ditolak walaupun mengandung arti yang agung, bagus, tinggi dan utama.” (Kitab ash-Shina’atain oleh Abu Hilal al-Ashari, hlm. 67)
746. Al-‘Allamah Muhammad al-Khidri Husain
berkata, “Jika Anda melihat suatu kaum menceritakan setiap saat, pagi dan petang, tentang hal hal yang mulia, tetapi tidak pernah anda lihat mereka berusaha melakukannya dan tidak pernah melangkah ke sana selangkah pun, maka ketahuilah tekad belum menyentuh hati mereka itu mungkin sebenarnya jauh dari tujuan yang mulia itu atau mereka sesat jalan dan tidak mendapat petunjuk.” (‘Uyun al-Akhbar I /306) 747. Ahnaf bin Qois berkata, “Hindarkan majelis kita dari menyebut-nyebut perempuan dan makanan, sesungguhnya saya benci lelaki yang suka menceritakan kemaluan dan perutnya.” (Siyar A’alamin Nubala, IV/94)
748. Sebagian ahli hikmah berkata, “Tertutup
terhadap orang lain itu akan mengakibatkan permusuhan dan terlalu terbuka akan menguntungkan kawan-kawan jahat.” (al-Atsal oleh Abu Ubaid, hlm. 220)
749. Sebagian ahli hikmah berkata, “Senda gurau
itu memakan wibawa sebagaimana api memakan kayu bakar.” (Adab ad-Dunya wa ad-Din, hlm. 310)
750. Sebagian ahli hikmah berkata, “Barangsiapa
banyak senda gurau maka hilanglah kewibawaanya.” (Adab ad-Dunya wa ad-Din, hlm. 310)
751. Imam Ibnu Abdil Bar berkata, “Sekelompok
ulama membenci tenggelam dalam senda gurau, karena akibatnya tercela seperti menodai kehormatan, mengundang dengki, dan merusak persahabatan.” (Bahjat al-Majalis II/569)
752. Maimun bin Mahran berkata, “Jika senda
gurau itu pada awal perkataan maka akan diakhiri dengan makian dan tamparan.” (al-Adabus Syari’ah oleh Ibnu Muflih II/ 223)
753. Abu Haffan berkata, “Berguraulah dengan
kawanmu, selama dia suka bergurau tetapi kendalikan guraumu dengannya, karena seringkali gurauan seorang kawan itu menjadi pintu pembuka bagi permusuhan.” (Bahjat al- majalis II /570)
754. Ibnu Waki berkata, “Jangan sekali-kali kamu
bergurau jika kamu bergurau maka jangan bergurau ditambah dengan etika yang buruk, hindarilah gurauan yang akan mengundang permusuhan karena gurauan itu pendahuluan dari kemarahan.” (Bahjat al-Majlis II /570) 755. Muhammad al-Khidir Husain berkata, “Sopan santun mengajak kawannya agar majelis pertemuannya didominir oleh kesungguhan dan kebijaksanaan dan jarang bergurau kecuali sebagai hiburan. Dengan alasan bahwa orang yang banyak bergurau sering jatuh pada pembicaraan yang tidak bermanfaat dan sering mengucapkan kata-kata yang menyakitkan kawan duduknya perikemanusiaan yang sempurna tidak dapat dapat bertemu dengan perkataan yang tidak bermanfaat atau menyakiti saudara-saudaranya dan majelis pertemuan.” (Rosail al-Ishlah II /212)
756. Sebagian ahli hikmah berkata,
“Manfaatkanlah istirahat untuk pekerjaanmu yang memayahkan karena kesungguhan yang banyak, dan pergunakanlah sedikit gurau, tetapi jika kau lakukan gurauan, hendaklah kau memberi garam pada masakan.” (Adab ad-Dunya wa ad-Din, hlm. 331)
757. Bakar as-Shirin berkata, “Saya berteman
dengan Ibnu ‘Aun cukup lama, tetapi saya tidak pernah mendengar dia bersumpah baik yang jujur maupun palsu.” (Siyar’alam an-Nubala VI/336)
758. Sebagian ahli hikmah berkata, “Sebagian dari
kesempurnaan menerima tamu adalah wajah yang cerah pada pandangan pertama banyak berbicara ketika menjamu makan.” (al-Bayan wat Tabyin oleh al-Jahizah I/10) 759. Ibnu ‘Abbas berkata, “Orang paling mulia bagimu adalah teman dudukmu yang melangkahi orang-orang untuk datang kepadamu. Demi Allah seandainya ada lalat yang jatuh kepadanya, terasa amat berat bagiku.” (Bahjat al-Majalis I/45)
760. Al-Jauzi berkata, “Cara menghormati tamu
adalah dengan wajah berseri-seri dan kata-kata yang baik.” (Raudhotul ‘Uqola’ 161-162)
761. Ibnu ‘Abbas berkata, “Orang yang paling
mulia bagiku adalah teman duduk ku sampai dia berpisah dariku.” (Bahjat Majalis I/46) 762. Seandainya saya duduk bersama seratus orang pasti saya ingin mendapatkan kerelaan dari mereka masing-masing. (Bahjat al-Majalis I/45)
763. Ibnu Hibban berkata, “Termasuk
menghormati tamu adalah berkata dengan baik, berwajah ceria dan melayaninya sendiri, karena tidak hina orang yang melayani tamunya, sebagaimana tidak mulia orang yang minta dilayani tamunya atau meminta upah atas penyambutan tamu.” (Raudhohotul Uqola’, hlm. 261)
764. Al-Muqonna’ al-Hindi berkata,
“Sesungguhnya aku adalah hamba sang tamu selama berada di rumah mu dan aku tidak punya sifat selain itu yang menyerupai seorang hamba.” (Bahjat al-Majalis II /785)
765. Sebagian ahli hikmah berkata, “Di antara
yang dapat menjaga sopan santun adalah menghindarkan diri dari membebani tamu melakukan pekerjaan walaupun pekerjaan yang ringan, seperti menyuruhnya mengambilkan buku yang ada di dekat sang tamu, atau menyuruh menyalakan tombol listrik di dekatnya untuk menyinari rumah.” (Rosail al-Ishlah I /221)
766. Luqman berkata, “Jika anda duduk bersama
orang besar maka ambillah jarak satu kursi darinya karena ada kemungkinan akan datang seseorang yang lebih diutamakan olehnya dari pada dirimu, sehingga dia terpaksa menjauhkan mu dari tempat itu yang akan mengurangi harga dirimu.” (Bahjat al-Majalis I/48)
767. Al-Ahnaf berkata, “Andaikata aku dipanggil
dari tempat yang jauh hal itu lebih saya sukai dari pada aku dijauhkan dari tempat yang dekat.” (Bahjat al-Majalis I/47)
768. Al-Ahnaf berkata, “Aku tidak pernah duduk
sama sekali di tempat yang saya khawatir diusir darinya untuk ditempati oleh orang lain.” (Aqwal Ma’tusah, hlm. 153)
769. Ibnul Muqoffa’ berkata, “Kamu bisa
memposisikan dirimu di bawah tujuanmu dalam setiap majelis pertemuan, kedudukan, perkataan, pendapat, dan perbuatan, maka lakukanlah karena usaha orang mengangkat dirimu ke tempat yang melebihi kedudukannya yang sebenarnya, dan usahanya mendekatkan dirimu ke majelis yang jauh darimu dan usahanya menghormati dirimu yang sebenarnya biasa dan menghiasi perkataan, pendapat, dan perbuatanmu, yang sebenarnya kamu tidak pernah menghiasinya, itu adalah keindahan.” (al-Adab as-Shaghir wal Adab al- Kabir, hlm. 151)
770. Sebagian ahli hikmah berkata, “Ada dua orang
dzolim yang mengambil sesuatu bukan haknya, yaitu, (1) Seorang yang diberi tempat dalam majelis yang sempit tetap dia duduk bersila dan membuka kaki selebar lebarnya. (2) Dan seorang yang diberi nasihat tetapi dianggapnya sebagai kesalahan.” (Bahjat al-Majalis I/47)
771. Umar bin al-Khattab berkata, “Di antara hal-
hal yang akan menambah kasih sayang saudaramu terhadap dirimu adalah mendahuluinya dengan salam apabila kamu bertemu dengannya dan kamu memanggilnya dengan nama yang paling disukainya serta kamu melapangkan tempat untuknya dan majelis pertemuan.” (Adab al- Mujalasah, hlm. 31)
772. Umar bin ‘Abdul ‘Aziz berkata kepada
Muhammad bin Ka’ab al-Quradhi, “Apa perilaku seseorang yang yang paling hina?” Dia menjawab, “Banyak bicara, menyebarkan rahasia dan percaya kepada setiap orang.” (al-Uzlah oleh al-Khattab I, hlm. 169)
773. Fudhail bin Iyyadh berkata, “Jika kamu ingin
berteman dengan seseorang maka buatlah agar ia marah, jika kamu lihat keadaannya sesuai dengan syariatmu bertemanlah dengannya.” (al-Abad asy- Syari’ah IV/ 296)
774. Abu Bakar as-Shiddiq berkata, “Kepandaian
yang paling utama ialah ketakwaan, dan kebohohan yang paling hina adalah perbuatan dosa.” (At-Thobaqotul Qubra oleh Ibnu Sa’ad III/9)
775. Abu Bakar as-Shiddiq berkata,
“Sesungguhnya orang yang paling sengsara di dunia dan akhirat adalah para penguasa, dan orang-orang yang faqir di dunia adalah orang- orang yang terhormat.” (Al-Bayan wat Tabyin II/43)
776. Abu Bakar As-Shiddiq berkata, “Hindarilah
kemewahan niscaya dia akan mengikutimu dan kejarlah kematian niscaya kehidupan dunia menjadi milikmu.” (Al-Aqdul Farid 1/334)
777. Abu Bakar As-Shiddiq berkata, “Cinta dan
benci akan saling mewarisi.” (Al-Aqdul Farid II/157) 778. Abu Bakar As-Shiddiq berkata, “Sesungguhnya cobaan itu berawal dari ucapan.” (Al-Aqdul Farid III/21)
779. Abu Bakar As-Shiddiq berkata, “Janganlah
seseorang menghina orang lain sesama muslim, karena seorang muslim yang paling kecil di mata Allah sangat besar nilai dan kedudukannya.” (Ihya ‘Ulumuddin IV/137)
780. Abu Bakar As-shiddiq berkata, “Barangsiapa
yang ingin mendapatkan perlindungan Allah dari panasnya api neraka jahanam pada hari kiamat, hendaklah ia menyayangi orang-orang mukmin, inilah kelembutan hati.” (Tanbihul Muqhtarin asy- Sya’rani, hlm. 48) 781. Abu Bakar As-shiddiq berkata, “Barangsiapa yang bisa menangis maka menangislah. Dan barangsiapa yang tidak bisa maka hendaklah ia pura-pura menangis.” (Tanbihul Mughtarin, hlm. 178)
782. Abu Bakar As-Shiddiq berkata, “Tidak ada
kebaikan selain pada kejujuran dalam ucapan. Barang siapa yang berdusta maka ia telah berbuat dosa dan barangsiapa yang berbuat dosa maka ia akan hancur.” (Al-Aqdul Farid IV/57)
783. Abu bakar As-shiddiq berkata, “Kami
mendapati kemuliaan itu ada pada ketakwaan dan kekayaan ada pada keyakinan serta kehormatan ada pada sikap tawadhu.’” (Hilayatul Auliya’ I/36)
784. Abu Bakar as-Shiddiq berkata, “Dien-mu
adalah untuk tempat kembalimu (akhirat) dan dirham mu adalah untuk tempat kehidupan mu (dunia) dan tidak ada gunanya seseorang tanpa dirham.” (Kanzul Ummah III/732)
785. Abu Bakar As-Shiddiq berkata, “Barangsiapa
yang membenci hawa nafsunya karena Allah maka ia akan menyelamatkannya dari kemurkaan-Nya.” (Kanzul Ummah III/785)
786. Abu Bakar As-Shiddiq berkata, “Janganlah
kalian bangga diri, apa yang bisa dibanggakan dari makhluk yang tercipta dari tanah dan akan kembali ke tanah juga. Sekarang ia hidup dan esok ia mati.” (Al-Aqdhul Farid IV/57)
787. Abu bakar As-shiddiq berkata, “Tahanlah
tanganmu dari menumpahkan darah kaum muslim dan perutmu dari memakan harta mereka serta lisanmu dari mencela kehormatan mereka.” (Risalatul Murtasyidin oleh Al-Musibiy, hlm. 46)
788. Umar bin Khattab berkata, “Barangsiapa yang
bertakwa kepada Allah maka Allah akan menjaganya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada-nya, maka Allah akan mencukupinya. Barangsiapa yang bersyukur pada-Nya maka Allah akan menambah apa yang diberikan-Nya. Serta barangsiapa yang meminjamkan kepada-Nya maka Allah akan membalas-Nya. Jadikanlah ketakwaan itu pelita hatimu dan perangilah pandanganmu. Sesungguhnya tidak ada amalan bagi yang tidak punya niat. Dan tidak ada kebaikan bagi yang tidak punya takut, serta tidak ada yang baru jika tidak diciptakan.” (Al-Aqdul Farid III.114)
789. Umar bin Khattab berkata, “Jagalah nikmat
yang Allah berikan padamu itu, melebihi engkau menjaga dirimu dari musibah. Janganlah engkau tertipu dan terpedaya olehnya, yang nantinya akan menjadikanmu berada dalam kebinaan.” (Al- Aqdul Farid III/111) 790. Umar bin khattab berkata, “Sesungguhnya di dalam ‘uzlah itu terdapat manfaat untuk menghindari pergaulan orang-orang yang jelek dan menghindar dari akhlak yang jelek.” (Az- Zuhdul oleh al-Baihaqi no. 118)
791. Umar bin Khattab berkata, “Saat kami diuji
dengan kesusahan, kami bisa bersabar, tapi saat kami diuji dengan kesenangan kami tidak bisa bersabar.” (Itasyiyah Risalatul Mustaryidin, hlm. 52)
792. Umar bin khattab berkata, “Tidak ada
kebaikan pada suatu kaum yang tidak saling menasihati di antara mereka dan tidak ada kebaikan pada suatu kaum yang tidak menyukai orang yang memberi nasihat.” (Risalatul Murtasyidin, hlm. 71)
793. Umar bin Khattab berkata, “Kembalikanlah
kebodohan itu kepada Sunnah.” (Al-Istiqomah 1/5)
794. Umar bin Khattab berkata, “Hisablah dirimu
sebelum datang hisab yang berat. Sesungguhnya barangsiapa yang menghisab dirinya pada waktu senang (longgar) sebelum hari hisab yang berat, maka tempat kembalinya adalah keridhaan dan kebaikan. Dan barangsiapa yang terlena oleh kehidupannya, dan sibuk menuruti hawa nafsunya maka tempat kembalinya adalah penyesalan dan kerugian.” (az-Zuhdul Kabir oleh al-Baihaqi no. 426) 795. Umar bin khattab berkata, “Setiap sesuatu itu memiliki inti dan inti dari kebaikan adalah menyegerakannya.” (Al-Bayan wat Tabyin III/289)
796. Umar bin Khattab berkata, “Orang itu ada tiga
macam, (1) Orang yang mengkaji suatu urusan sebelum terjadinya, lalu ia mencari sumber permasalahannya. (2) Orang yang bertawakkal, ia tidak mengkaji takkala ia menghadapi suatu permasalahan, ia bermusyawarah dengan orang- orang pandai dan menerima pendapat mereka. (3) Dan orang yang bingung tidak mengerti apa, tidak memusyawarahkannya dengan orang pandai (yang mengetahui urusan itu) dan tidak pula menaati mereka.” (al-Bayan wat Tabyin III/299) 797. Umar bin khattab berkata, “Wanita itu ada tiga macam, (1) Wanita yang lemah lembut, menjaga kehormatan dan muslimah. Ia menolong keluarganya dalam kehidupan, dan tidak membebankan kehidupan kepada keluarganya. (2) Wanita pembuat anak. (3) Dan wanita bejat. Dan Allah akan mengikatnya pada leher orang-orang yang dikehendaki dari hamba-Nya.” (Al-aqdul Farid VI/120)
798. Umar bin khattab berkata, “Sesungguhnya
jalan cepat itu lebih cepat dalam memenuhi kebutuhan dan lebih jauh dari kesombongan.” (Ar- Risalah Al-Qusyariyah, hlm. 146) 799. Umar bin Khattab berkata, “Sesungguhnya kebaikan itu semuanya berada dalam keridhaan, jika engkau mampu untuk ridha, maka lakukanlah dan jika engkau tidak bisa maka bersabarlah.” (Ar- Risalah al-Qusahairiyah, hlm. 196)
800. Umar bin Khattab berkata, “Barangsiapa yang
takut kepada Allah, maka ia tidak akan pernah merasa aman dari kemurkaan-Nya. Dan barangsiapa yang bertakwa kepada-Nya, maka ia tidak akan berbuat sesukanya. Dan kalau bukan karena (takut) hari kiamat, maka pandangan kalian pasti akan lain.” (Ar-Risalah Al-Murtasyidin oleh Al-Muhasibi, hlm. 50) 801. Umar bin Khattab berkata, “Aku tidak peduli dengan keadaanku, apakah aku dalam hal yang aku senangi, atau yang aku benci. Itu karena aku tidak tahu apapun kebaikan itu terdapat dalam hal yang aku senangi atau dalam hal yang aku benci.” (Tanbihul Ghafilin oleh as-Samarqandi, hlm. 364)
802. Umar bin khattab berkata, “Perintahkanlah
orang-orang yang punya kerabat banyak agar mereka saling mengunjungi, bukan hidup saling berdampingan (bertetangga).” (Al-Aqdul Farid II 164)
803. Umar bin khattab berkata, “Nilai seseorang itu
terletak pada hartanya. Kemuliaannya terletak pada diennya dan harga dirinya terletak pada akhlaknya.” (Al-Aqdul Farid II/326)
804. Umar bin khattab berkata, “Barangsiapa yang
mendatangi penguasa, maka ia akan kembali darinya dalam keadaan murka kepada Allah.” (Al- Aqdul Farid III/159)
805. Umar bin Khattab berkata, “Janganlah kalian
enggan mencari rezeki dan hanya berkata, ‘Yaa Allah … berikanlah aku rezeki’, padahal ia tahu bahwa langit tidak akan mungkin menurunkan hujan emas ataupun perak. Sesungguhnya Allah memberi rezeki manusia melalui perantara manusia yang lain.” (Al-Aqdul Farid II/325) 806. Umar bin Khattab berkata, “Sesungguhnya kebenaran ini sangat berat namun menyenangkan pada akhirnya, sedang kebatilan itu sangat ringan namun menyisakan kesusahan nantinya. Dan meninggalkan perbuatan jelek itu lebih baik dari pada mengobatinya dengan bertaubat (setelah melakukan kesalahan atau dosa). Sudah berapa banyak pandangan yang menanamkan syahwat. Dan sudah berapa banyak syahwat sesat yang menyisakan kesedihan (penyesalan) yang panjang.” (Al-Bayan wat Tabyin III/138)
807. Umar bin Khattab berkata, “Santai (istirahat)
itu adalah penghalang (untuk rajin). Dan janganlah memelihara rasa kenyang, karena ia adalah penghalang (untuk giat beribadah kepada Allah).” (Al-Bayan wat Tabyin III/23)
808. Umar bin Khattab berkata, “Jika engkau
punya dien, maka engkau punya nilai. Dan jika engkau berakal, maka engkau punya kekuatan. Jika engkau berakhlak mulia, maka engkau sopan santun. Jika tidak, maka engkau lebih buruk dari pada keledai.” (Al-Aqdul Farid II/102)
809. Umar bin Khattab berkata, “Hal yang paling
aku takutkan menimpa kalian adalah bakhil yang dipelihara, hawa nafsu yang dituruti, dan ujub (bangga) terhadap diri sendri. (Jami’ Bayanil almi wa fadhlihi I/173) 810. Umar bin Khattab berkata, “Jika engkau mendengar suatu perkataan yang menyakitkan hatimu, maka tundukkanlah kepalamu kepadanya sehingga ia menginjak-nginjakmu.” (Al-Aqdul Farid II/130)
811. Umar bin Khattab berkata, “Barangsiapa yang
banyak tertawanya, akan sedikit kewibawaannya. Barangsiapa yang bergurau, ia akan dilecehkan. Barangsiapa yang banyak dalam suatu hal, maka ia akan dikenal dengannya. Dan Barangsiapa yang banyak bicaranya, banyak pula kesalahannya. Barangiapa yang banyak kesalahannya, maka sedikitlah rasa malunya. Barangsiapa yang sedikit rasa malunya, maka sedikit pula sikap wa’ranya (kehati-hatiannya). Dan barangsiapa yang sedikit sikap wa’ranya, maka matilah hatinya.” (Shifatus shafwa 1/149)
812. Umar bin Khattab berkata, “Janganlah engkau
memperdulikan orang-orang kaya, jangan pula engkau takut celaan orang-orang yang mencela saat engkau melaksanakan hukum Allah. Jauhilah mementingkan diri sendiri dan sikap pilih kasih dalam kekuasaan yang Allah karuniakan kepadamu.” (Al-Bayan wat Tabyin II/ 46)
813. Umar bin Khattab berkata, “Barangsiapa yang
ikhlas niatnya, maka Allah akan mencukupkan kebutuhannya. Dan berbuat demi manusia dengan apa yang tidak diajarkan oleh Allah dalam hatinya, maka Allah akan menghinakannya.” (Hilyatul Auliya’ I/50)
814. Umar bin Khattab berkata, “Kami mendapati
yang terbaik dari kehidupan kami adalah bersabar.” (Az-Zuhd, hlm. 146)
815. Al-Hasan berkata, “Umar pernah melewati
tempat sampah dan berhenti di sampingnya seolah-olah ia tertimpa sesuatu darinya yang ia menjadi risih karenanya lalu ia berkata; ‘Inilah dunia kalian yang kalian berebut untuk mendapatkannya.’” (Az-Zudh, hlm. 147)
816. Abu Hatim berkata, “Tidak wajib bagi
seseorang untuk sering menolong saudaranya yang sehingga nantinya bosan karena sesungguhnya penyusu apabila sering dikempeng maka boleh jadi langsung marah dan diletakkannya bayi tersebut.” (Roudhotul ‘Uqola wa Nazhatul Fudhola, hlm. 61)
817. Umar bin Khattab berkata, “Bermajelislah
bersama orang-orang yang bertaubat, karena mereka mempunyai hati yang paling peka (lembut).” (Tahdzibu Hilyatil Auliya’ 1/71)
818. Umar bin Khattab berkata, “Jadilah ladang-
ladang kitab, sumber-sumber ilmu, dan mintalah rezeki kepada Allah hari demi hari, niscaya tidak akan ada bahayanya rezeki yang sedikit bagi kalian.” (Az-Zudh, hlm. 149) 819. Umar bin Khattab berkata, “Janganlah berbicara yang tidak ada gunanya bagimu dan kenalilah musuhmu, dan hati-hatilah terhadap temanmu kecuali yang dapat dipercaya, dan tidak ada yang dipercaya kecuali orang takut kepada Allah. Janganlah bergaul dengan orang yang banyak berbuat dosa, sehingga ia mengajarimu berbuat dosa. Dan janganlah ungkapkan rahasiamu kepadanya. Dan janganlah engkau memusyawarahkan urusanmu kecuali dengan orang-orang yang takut kepada Allah.” (Shifatus Shafwa 1/149)
820. Umar bin Khattab berkata, “Manusia itu
terbagi menjadi dua golongan; (1) Golongan yang mencari dunia, maka hindarilah ia. Sesungguhnya bisa jadi ia mendapatkan apa yang ia inginkan namun justru ia hancur karena yang ia dapatkan. Dan bisa jadi ia kehilangan apa yang dia cari, dan ia hancur karena kehilangan itu. (2) Dan golongan yang mencari akhirat. Jika engkau menemui salah satu dari mereka, maka berlomba-lombalah dengannya.” (Al-Bayan wat Tabyin III/138)
821. Umar bin Khattab berkata, “Tidak seorang
pun manusia yang mampu melukai dirimu, karena sesungguhnya apa yang ditakdirkan untukmu itu akan tetap menimpamu walaupun tanpa mereka. Janganlah engkau sia-siakan waktu siangmu, sesungguhnya segala yang engkau lakukan itu tercatat (diawasi). Jika engkau melakukan kejelekan maka ikutilah dengan perbuatan baik, sungguh tidak ada satu pun yang lebih besar tuntutannya, dan lebih cepat pendapatannya dari pada amalan baik yang baru setelah melakukan dosa yang telah lalu.”(al-Bayan wat Tabyin III/143)
822. Umar bin Khottob berkata, “Sesungguhnya
urusan ummat ini tidak akan pernah baik kecuali dengan kelemahlembutan, tanpa kelemahan dan dengan ketegasan tanpa penindasan.” (Al-Bayan wat Tabyin III/255)
823. Umar bin Khottob berkata, “Aku memandang
kehidupan dunia ini dan jika aku menginginkan dunia maka aku akan kehilangan akhirat dan aku menginginkan akhirat maka aku akan kehilangan dunia, jika demikian keadaannya maka tinggalkanlah yang fana.” (Az-Zuhd, hlm. 155)
824. Umar bin Khottob berkata, “Orang yang
paling aku sukai adalah orang yang mengungkapkan padaku aib-aibku.” (Thobaqot Ibnu Sa’ad III/156)
825. Umar bin Khottob berkata, “Hal yang paling
aku takutkan menimpa umat ini adalah adanya orang yang hanya pintar bicara namun tidak mengenal hatinya.” (Tanbihul Mughtarin as- Sya’roni, hlm. 16)
826. Umar bin Khottob berkata, “Jika kalian
melihat orang alim yang mencintai dunia maka jangan hiraukan diennya. Sesungguhnya setiap yang mencintai sesuatu maka ia akan tenggelam di dalamnya.” (Tanbihul Mughtarin 16)
827. Umar bin Khottob berkata, “Wahai manusia,
tuntutlah ilmu! Sesungguhnya Allah mengikatnya ilmu dengan rasa cinta-Nya. Barangsiapa yang membuka salah satu pintu ilmu maka Allah akan mengikatkan ikatan ilmu itu padanya. Jika ia melakukan salah satu dosa, Ia mengampuninya. Jika ia melakukan satu dosa lagi Ia mengampuninya dan jika ia melakukan satu dosa lagi Ia mengampuninya. Agar ikatan-Nya itu adalah lepas darinya, meskipun dosa itu ia lakukan sehingga ajal menjemputnya.” (Jami’ Bayanil ilmi wa Fadhlihi oleh Ibnu Abdil Barr I/70) 828. Umar bin Khottob berkata, “Ketahuilah sesungguhnya ketamakan itu adalah kefakiran, dan kedermawanan itu adalah kekayaan. Sesungguhnya ketika seseorang mendermakan sesuatu ia tidak membutuhkan sesuatu itu.” (Az- Zuhd, hlm. 146)
829. Umar bin Khottob berkata, “Barangsiapa yang
masih bisa mendapat sesuatu untuk dimakan setiap malam maka ia bukan orang fakir. Sesungguhnya orang fakir itu adalah yang tidak mendapatkan apa-apa sama sekali.” (Tanbihul Mughtarin oleh as-Sya’rani, hlm. 83) 830. Umar bin Khottob berkata, “Sesungguhnya jika seseorang itu mempunyai 9 akhlak yang baik dan hanya memiliki satu sifat saja yang buruk, maka yang satu itu akan mengalahkan yang 9. Maka hindarilah lisan yang tergelincir.” (Tanbihul Mughtarin, hlm. 135)
831. Umar bin Khottob berkata, “Carilah
kebahagiaan dengan ber’uzlah (menyendiri).” (Tanbihul Mughtarin, hlm. 154)
832. Umar bin Khottob berkata, “Barangsiapa yang
kaumnya menghormatinya karena kefakihannya itu lebih baik baginya. Dan barangsiapa yang dimuliakan oleh kaumnya bukan karena kefaqihannya, maka itu adalah awal kehancuran baginya dan orang-orang yang mengikutinya.” (Jami’ Bayanil Ilmi wa Fadhlihi I/74, 103)
833. Umar bin Khottob berkata, “Berlambat-
lambat dalam berbagai hal itu baik kecuali dalam urusan akhirat.” (Az-Zuhd 148)
834. Umar bin Khottob berkata, “Sesungguhnya
tanda kebenaran taubatmu terletak pada pengakuanmu pada Allah atas dosa-dosamu. Dan bentuk keikhlasan amalmu terletak pada pengabaianmu terhadap sikap ‘ujub. Dan tanda jujur rasa syukurmu adalah engkau mengakui penyia-nyianmu terhadap nikmat yang telah Allah berikan padamu.” (Tanbihul Mughtarin, hlm. 165) 835. Umar bin Khottob berkata, “Pelajarilah ilmu dan pelajarilah kelemahlembutan dan ketenangan dari ilmu itu, bersikaplah tawadhu terhadap orang yang kalian ajari, dan hendaklah orang yang kalian ajari bersikap tawadhu juga padamu. Dan janganlah engkau menjadi ulama yang kejam sehingga ilmu yang ada pada kalian tidak pernah menyingkirkan kebodohan kalian.” (Az-Zuhd 149)
836. Umar bin Khottob berkata, “Pelajarilah ilmu
dan ajarkanlah kepada orang lain, pelajarilah kebijakan dan ketenangan ilmu itu bersikaplah tawadhu terhadap orang yang engkau belajar darinya, dan kepada orang yang engkau ajari. Dan janganlah menjadi ulama’ yang kejam, sungguh kebodohanmu tidak akan pernah hilang dengan adanya ilmu.” (Jami’ Bayanil Ilmi wa Fadhlihi I/163)
837. Umar bin Khottob berkata, “Janganlah kalian
masuk ke rumah dan perkumpulan golongan yang mengumpulkan dunia dan tidak menginfakkannya di jalan Allah, karena hal itu menyebabkan kemurkaan pada Robb. Bisa jadi salah seorang di antara kalian meremehkan nikmat yang telah Allah karuniakan padamu, hanya karena melihat banyaknya kemewahan mereka.” (Tanbihul Mughtarin, hlm. 194)
838. Umar bin Khottob berkata, “Sesungguhnya
jika seorang hamba bersikap tawadhu’ karena Allah maka Allah akan memuliakannya dengan hikmah-Nya. Seraya dikatakan kepadanya, ‘Bangkitlah, Allah meninggikanmu.’ Dalam dirinya ia menganggap bahwa dirinya hina sedangkan di mata manusia dia mulia.” (Jami’ bayanil ilmi wa Fadhlihi I/153)
839. Umar bin Khottob berkata, “Sesungguhnya
dien itu bukanlah menampakkan ibadah di akhir malam akan tetapi dien itu sikap wara.’” (az-Zuhd, hlm. 155)
840. Umar bin Khottob berkata, “Janganlah engkau
melihat pada puasa atau sholat seseorang, tapi lihatlah pada kejujurannya jika ia berbicara, sikap amanahnya jika ia dipercaya, dan sikap waro’nya jika ia mendapatkan dunia.” (az-Zuhdul kabir no. 867)
841. Umar bin Khottob berkata, “Barangsiapa yang
merasa cukup dengan Allah maka ia itu sudah cukup, dan barangsiapa yang berpaling dari Allah maka ia buta, barangsiapa yang tidak pernah puas dengan bagian sedikit dari dunia maka tidak akan pernah ada gunanya sebanyak apa pun yang ia kumpulkan baginya maka cukuplah dengan yang sedikit dan jagalah kehormatanmu, serta hindarilah ghulul (mengambil harta rampasan perang yang belum dibagi) karena hisabnya nanti sangat panjang.” (Az-Zuhdul kabir no. 103) 842. Umar bin Khottob berkata, “Barangsiapa yang beramal di antara kalian maka kami akan memujinya. Dan barangsiapa yang tidak beramal maka kami akan mencela.” (Hilyatul Auliya’ VII/71)
843. Umar bin Khottob berkata, “Sesungguhnya
engkau tidak akan pernah mencapai amalan akhirat dengan sesuatu pun selain dengan zuhud terhadap dunia, dan janganlah mencampur aduk antara yang baik dan yang jelek, akhlak yang baik dan akhlak yang tercela.” (Az-zuhud, hlm. 152)
844. Umar bin Khottob berkata, “Sikap tawadhu
adalah hendaklah engkau memberi salam kepada Siapa saja yang engkau jumpai dari kaum muslimin ridho dalam yang lain, dalam majelis, dan engkau benci jika disebut-sebut dengan kebaikan dan ketakwaanmu.” (Tanbihul-Ghafilin oleh as-Samarqandi, hlm. 140)
845. Umar bin khottob berkata, “Tidaklah Allah
menimpakan bala (musibah) kepadaku kecuali di dalamnya terdapat empat nikmat (1) Karena ia tidak menimpa dien ku. (2) Karena tidak lebih besar dari itu. (3) Karena aku tidak pernah tidak rela terhadapnya. (4) Dan karena aku mengharapkan pahala atasnya.” (Ihya ‘Ulumuddin IV/394)
846. Umar bin Khottob berkata, “Aku tidak peduli
apakah aku jadi orang kaya atau orang miskin, karena aku tidak tahu mana di antara keduanya yang terbaik untukku.” (Ihya ‘Ulumudin 5/148)
847. Umar bin Khottob berkata, “Pakailah pakaian
yang sederhana dan jangan memakai pakaian ‘ajam; kisra dan kaisar.” (Ihya ‘Ulumuddin 5/103)
848. Umar bin Khottob berkata, “Sebaik-baik amal
adalah melaksanakan segala yang diwajibkan Allah, dan wara’ terhadap segala yang dikhawatirkan oleh Allah ta’ala, serta niat yang tulus hanya untuk Allah semata dalam beramal.” (Ihya ‘Ulumudien 5/267)
849. Umar bin Khottob berkata, “Barangsiapa yang
tidak paham dengan dien, maka jangan berjualan di pasar-pasar kami.” (Tanbihul Ghafilin, hlm. 358)
850. Umar bin Khottob berkata, “Sesungguhnya di
antara bukti benarnya taubatmu adalah engkau mengetahui dosamu. Dan di antara tanda benarnya amalmu adalah engkau tidak membanggakan dirimu serta bukti benarnya rasa syukurmu adalah engkau tidak meremehkan.” (Tanbihul Ghafilin, hlm. 380)
851. Umar bin Khottob berkata, “Hindarilah segala
sesuatu yang menyakitimu dan carilah sahabat yang shalih, dan hanya sedikit yang engkau dapatkan, serta musyawarahkanlah masalahmu dengan orang-orang yang patuh pada Allah.” (Kanzul Ummal 16/157 no. 44196)
852. Umar bin Khottob berkata, “Laki-laki ada tiga
macam: (1) Laki-laki yang lemah lembut dan penuh kasih sayang, yang terampil dan cakap, jika ada suatu masalah yang dihadapi dan ia mampu menyelesaikannya, maka ia akan menempatkan masalah tersebut pada jalan keluarnya, (2) Laki- laki yang tidak berakal, jika ia menghadapi suatu masalah maka ia akan mendatangi orang yang cakap dan pandai, lalu ia menyelesaikannya berdasarkan saran orang tersebut. (3) Laki-laki bingung yang sengsara yang tidak mendapatkan saran petunjuk dan tidak menta’ati orang yang memberi saran petunjuk.” (Kanzul-Ummah 16/263 no. 44373) 853. Umar bin Khottob berkata, “Kemuliaan seorang laki-laki terdapat pada ketakwaan dien dan kemampuannya. Dan harga dirinya adalah akhlak dan keberaniannya, dan kepengecutannya adalah tabiat seorang laki-laki, seorang pemberani akan berani memerangi siapa saja yang ia ketahui maupun tidak, sedang seorang pengecut akan lari meski dari ayah dan ibunya sendiri, kemampuan seseorang terletak pada harta miliknya, sedang kemuliaan terletak pada ketaqwaannya, Engkau tidaklah lebih baik dari orang Persia Nabathia ataupun orang non-Arab lainnya kecuali dengan taqwa.” (Kanzul-Ummah 16/264 no. 44377) 854. Umar bin Khottob berkata, “Sesungguhnya hikmah itu tidak berasal dari tuanya usia, akan tetapi ia adalah pemberian yang diberikan oleh Allah kepada siapa saja yang ia kehendaki.” (Kanzul-Ummah 16/256 no. 44381)
855. Umar bin Khottob berkata, “Sesungguhnya
apa yang engkau dapatkan dari bermaksiat kepada Allah-Demi Allah-tidak sama dengan balasan yang Dia berikan dari ketaatanmu kepada-Nya.” (Al-Bayan wa Tabyin 1/261)
856. Umar bin Khottob berkata, “Perbanyaklah
menangis dengan banyak berdzikir(mengingat akhirat).” (Al-Bayan wa Tabyin 1/397) 857. Umar bin Khottob berkata, “Orang yang berani adalah orang yang tidak mengharapkan balasannya, orang yang paling lembut (hatinya) adalah orang yang memaafkan padahal ia mampu untuk marah. Orang yang paling pelit adalah orang yang pelit dalam memberikan salam, dan orang yang paling lemah adalah orang yang tidak mampu berdoa kepada Allah.” (Kanzul-Ummah 16/266 no. 44384)
858. Utsman bin Affan berkata, “Wahai manusia
bertaqwalah kalian kepada Allah karena sesungguhnya taqwa kepada Allah adalah keberuntungan. Dan sesungguhnya orang yang paling cerdas adalah orang yang menghisab dirinya sendiri dan beramal untuk sesuatu setelah ia mati dan mencari cahaya Allah untuk menghadapi kegelapan alam kubur. Hendaknya seorang hamba itu takut jika Allah menjadikan buta setelah dirinya dijadikan bisa melihat. Dan ketahuilah bahwa barangsiapa yang tidak takut kepada Allah saat senang, lalu kepada siapa ia berharap setelah ia ditimpa kesulitan.” (Al-Bidayah wan-Nihayah 7/234)
859. Utsman berkata, “Wahai anak Adam,
ketahuilah bahwa malaikat maut yang diberi tugas untuk mencabut nyawamu masih berada di belakangmu dan berkeliling kepada selainmu sejak engkau berada di dunia dan seperti yang ia mulai menghampirimu setelah yang lain ia berniat mencabut nyawamu, maka berhati-hatilah persiapkanlah dirimu untuk menghadapinya dan jangan sampai lalai, karena ia tidak pernah lalai terhadapmu. Dan ketahuilah wahai anak Adam, jika engkau lengah terhadap dirimu dan engkau tidak bersiap untuknya maka tidak ada yang mempersiapkan diri untuk selainmu padahal engkau pasti bertemu dengan Allah, maka uruslah dirimu dan jangan membebani orang lain.” (Al- Bidayah wan-Nihayah 7/234)
860. Utsman bin Affan berkata, “Sesungguhnya
(tujuan) Allah memberi kalian bagian dari dunia adalah agar kalian memanfaatkannya untuk mencari akhirat, dan Allah tidak memberi kalian dunia agar kalian sibuk mengurusinya, sesungguhnya dunia itu fana dan akhirat itu kekal, jangan sampai yang fana itu membuat kalian mengesampingkan akhirat dan jangan pula menyibukkan diri kalian dengan yang kekal, dahulukanlah yang kekal dari pada yang fana, sesungguhnya dunia itu akan berakhir dan tempat kembalinya kepada Allah, bertaqwalah kepada Allah sesungguhnya bertaqwa kepada-Nya adalah perisai dari adzab-Nya dan jalan untuk dekat dengan-Nya.” (Al-Bidayah wan-Nihayah 7/234)
861. Utsman bin Affan berkata, “Sesungguhnya
dunia itu ada, telah diserahkan kepada manusia, dan sebagian besar mereka tertarik kepadanya, janganlah kalian bersandar kepadanya, karena sesungguhnya ia tidak kekal. Dan ketahuilah sesungguhnya ia tidak akan lepas kecuali bagi orang yang melepaskannya (meninggalkannya).” (Al-Bayan wat-tabyin 4/422) 862. Utsman bin Affan berkata, “Setiap ummat itu ada musibahnya dan dalam setiap nikmat itu ada penyakitnya. Bencana ummat ini adalah orang- orang yang suka mencela dan mencemarkan kehormatan orang lain, yang selalu menampakkan apa yang kalian sukai dan menyembunyikan segala yang kalian benci, sekumpulan orang bodoh yang dianggap sebagai orang-orang terhormat yang mengikuti teriakkan pertama.” (Al-Bayan wat-Tabyin 1/377)
863. Utsman bin Affan berkata, “Barangsiapa yang
hari demi hari tidak bertambah kebaikannya maka ia adalah orang yang menjerumuskan dirinya ke dalam api neraka dengan sengaja.” (Kanzul- Ummah 16/223 no. 44250) 864. Utsman bin Affan berkata, “Seorang pezina itu ingin seandainya ia bisa berzina dengan semua wanita.” (Al-Istiqomah 2/257)
865. Utsman bin Affan berkata, “Tidaklah terbetik
dalam hati seseorang suatu niat terkecuali Allah akan menampakkannya melalui raut wajah dan gerakan lidahnya.” (Al-Istiqomah 1/355)
866. Utsman bin Affan berkata, “Seandainya hati
kalian itu bersih, maka kalian tidak akan pernah puas dengan firman Allah, dan aku tidak menyukai melalui satu hari pun kecuali aku bisa melihat firman Allah.” (Hilyatul-Auliya 7/300) 867. Utsman bin Affan berkata, “Serulah yang ma’ruf dan cegahlah yang munkar, sebelum orang-orang buruk kalian menguasai kalian, sehingga saat orang-orang baik kalian menyeru maka tidak digubris lagi.” (Kanzul-Ummah 3/682 no. 6451)
868. Ali bin Abi Tholib berkata, “Beruntunglah
orang yang menyembunyikan ibadahnya ia mengenali manusia dan tidak dikenali oleh manusia.” (Tahdzib Hilyatul Auliya 1/83)
869. Ali bin Abi Tholib berkata, “Sesungguhnya
perumpamaan seorang alim (orang yang berilmu) adalah sebagaimana pohon kurma yang sedang berbuah, yang tetap akan menjatuhkan sesuatu kepadamu.” (Jami’ Bayanil ilmi wa fadhilihi 1/176)
870. Ali bin Abi Tholib berkata, “Dunia ini tidak
lain adalah suatu tempat yang awalnya adalah kesusahan dan akhirnya adalah kehancuran, yang halal darinya akan dihisab dan yang haram darinya akan dihukum, yang kaya di dalamnya terkena fitnah dan yang fakir di dalamnya bersedih.” (Al-Aqdul Farid 3/130)
871. Ali bin Abi Tholib berkata, “Sesungguhnya hal
yang paling aku takutkan menimpa kalian adalah mengikuti hawa nafsu dan panjang angan-angan.” (Al-Bayan wat-Tabyin 2/52) 872. Ali bin Abi Thalib berkata, “Ibadah yang paling utama adalah diam dan menunggu jalan keluar.” (Al-Bayan wa Tabyin 2/165)
873. Ali bin Abi Thalib berkata, “Pendapat orang
yang lebih tua lebih aku sukai dari pada kekuatan anak muda.” (Al-Aqdul Farid 2/96).
874. Ali bin Abi Thalib berkata, “Jadilah orang yang
bersikap tengah-tengah di antara manusia namun berjalanlah di bagian pinggir mereka.” (Al-Bayan wa Tabyin 1/256)
875. Ali bin Abi Thalib berkata kepada anaknya,
“Wahai anakku janganlah engkau menyisakan di belakang mu sesuatu pun dari dunia, karena engkau akan mewariskannya kepada salah satu dari dua macam orang, entah orang yang menggunakannya ketaatan kepada Allah, sehingga ia bergembira dengan apa yang engkau sisakan untuknya, atau orang yang menggunakannya dalam bermaksiat kepada Allah sehingga engkau menjadi penolong baginya dalam bermaksiat, dan tidak seorang pun dari keduanya yang berhak engkau dahulukan atas dirimu sendiri.” (Kanzul Ummal III/721 no. 8572)
876. Ali bin Abi Thalib berkata, “Dunia itu adalah
bangkai. Barangsiapa yang menginginkannya, maka hendaklah ia bersabar untuk berebut dengan anjing-anjing.” (Kanzul Ummal III/719 no. 8564) 877. Ali bin Abi Thalib berkata, “Dunia itu yang halal akan dihisab, dan yang haram akan diadzab, maka tinggalkanlah yang halal untuk menghindari hisab yang lama, dan tinggalkanlah yang haram untuk menghindari adzab yang tidak sebentar.” (Kanzul Ummal III/719 no. 8566)
878. Ali bin Abi Thalib berkata, “Sesungguhnya
lemah lembut itu adalah perhiasan, menepati janji adalah sifat yang baik, tergesa-gesa adalah kebodohan, banyak bersafar akan mendatangkan kelemahan, bergaul dengan orang-orang yang suka berbuat keji adalah sebuah celaan, dan berkawan dengan orang yang suka berbuat dosa besar akan menimbulkan keraguan.” (Kanzul Ummal XVI 269 no. 44400) 879. Ali bin Abi Thalib berkata, “Sesungguhnya inti dari agama adalah bersahabat dengan orang yang bertakwa, dan kesempurnaan ikhlas itu terdapat pada menjauhi pada yang diharamkan, perkataan yang baik itu adalah dibuktikan oleh amal perbuatannya, terimalah orang yang mengadukan udzur kepadamu, terimalah permintaan maaf orang lain, berbuat baiklah terhadap saudaramu walaupun ia jahat padamu, dan sambunglah hubunganmu dengannya walaupun ia memutuskannya.” (Kanzul Ummal XVI/269 no. 44399)
880. Ali bin Abi Thalib berkata, “Saudara yang
dekat adalah yang dekat di atas dasar kasih sayang walaupun nasabnya jauh, dan saudara jauh adalah yang jauh karena permusuhan, walaupun nasabnya dekat, ketahuilah tidak ada yang lebih dekat dengan tangan kecuali badan, dan jika tangan itu rusak, maka ia akan dipotong, dan jika dipotong maka ia akan cacat.” (Kanzul Ummal XVI/268 no. 44392)
881. Ali bin Abi Thalib berkata, “Segala sesuatu
mempunyai musibah, musibah ilmu adalah kelupaan, musibah ibadah adalah riya, musibah hati adalah ujub, musibah otak yang cerdas adalah kesombongan, musibah keadaan adalah pujian pada diri sendiri, musibah kedermawanan adalah sikap boros, musibah rasa malu adalah kelemahan, musibah sikap yang kasar adalah perbuatan keji.” (Kanzul Ummal XVI/204 no. 44226) 882. Ali bin Abi Thalib berkata: “Barangsiapa yang pura-pura miskin maka ia akan miskin, dan barangsiapa yang memegang satu urusan, maka ia akan diuji, dan barangsiapa yang tidak siap menghadapi ujian saat itu ia tertimpa musibah, maka ia tidak akan bersabar, barangsiapa memiliki sesuatu maka ia akan dikenal dengannya, dan barangsiapa yang tidak meminta petunjuk, maka ia akan menyesal.” (Kanzul Ummal XVI/197)
883. Ali bin Abi Thalib berkata, “Sesungguhnya
kekayaan yang paling berharga adalah akal, kemiskinan yang paling parah adalah kebodohan, hal yang paling hina adalah ujub, dan kemuliaan yang paling mulia adalah akhlak yang baik.” (Kanzul Ummal XVI/226 no. 44388)
884. Al-Hasan berkata, “Janganlah engkau
berteman dengan orang yang bodoh sesungguhnya ia ingin berbuat baik padamu tapi justru ia mencelakaimu, jangan berteman dengan pembohong, sesungguhnya ia menjadikanmu mendekati yang jauh dan menjauhi yang dekat, janganlah berteman dengan orang pelit, sesungguhnya ia menjauhkanmu dari hal yang paling engkau butuhkan, dan janganlah berteman dengan orang yang suka bermaksiat, sesungguhnya ia menjual dirimu dengan sesuatu yang tidak ada nilainya sama sekali.” (Kanzul Ummal XVI/266 no. 44388) 885. Ali bin Abi Thalib berkata, “Sesungguhnya orang-orang zuhud didunia menjadikan bumi itu hanya sebagai alas dan tanahnya sebagai tempat tidur, serta air sebagai penunjang kehidupan. Ketahuilah barang siapa yang rindu dengan akhirat, maka ia akan meninggalkan syahwatnya. Dan barangsiapa yang enggan terhadap mereka, maka ia akan menjauhi hal-hal yang diharamkan. Barangsiapa yang mengharapkan syurga, maka ia akan berlomba-lomba dalam ketaatan, serta barangsiapa yang zuhud di dunia, maka musibah akan terasa ringan baginya.” (Al-Bidayah wan- Nihayah VIII/7) 886. Ali bin Abi Tholib berkata, “Seorang pedagang jika faqih (punya ilmu dalam berdagang yang sesuai dengan syar’i) maka ia akan terjerumus ke dalam jurang riba. Terus dan terus akan tenggelam di dalamnya.” (Tanbihul-Ghafilin, hlm. 357)
887. Ali bin Abi Tholib berkata, “Amal yang paling
utama adalah amar ma’ruf (mengajak kepada kebaikan), mencegah yang munkar dan menghindar, dan menghindari orang fasik, barangsiapa yang beramar ma’ruf maka ia telah menguatkan punggung orang mu’min, dan barangsiapa yang mengingkari kemunkaran, maka ia telah memerahkan hidung orang munafik (menghalangi dari berbuat kefasikan).” (Tanbihul- Ghafilin, hlm. 65) 888. Ali bin Abi Tholib berkata, “Orang yang berakal pasti membagi waktu siangnya menjadi empat bagian: (1) Waktu yang pertama ia khususkan untuk mendekatkan diri kepada Robbnya. (2) Waktu yang kedua untuk mengintrospeksi dirinya sendiri. (3) Waktu yang ketiga untuk mendatangi ulama yang membimbingnya dalam permasalahan agama dan dunianya serta menasihatinya. (4) Waktu yang keempat untuk menyendiri dan merenung.” (Tanbihul Ghafilin, hlm. 164)
889. Ali bin abi Thalib berkata, “Demi Allah, orang
yang dermawan itu tidak akan terkurangi haknya sama sekali.” (Ihya ‘Ulumuddin IV/34) 890. Ali bin abi Tholib berkata, “Jangan melihat siapa yang berbicara tapi lihatlah apa yang dikatakannya.” (Kanzul Ummah 16/269 no. 44397)
891. Ali bin Abi Tholib berkata, “Setiap
persahabatan pasti akan terputus kecuali persahabatan yang tidak dibangun atas dasar ketamakan.” (Kanzul Ummah 16/259 no. 44398)
892. Ali bin Abi Tholib berkata, “Sungguh
mengherankan orang yang memburu dunia, padahal kematian tengah mengejarnya, sungguh mengherankan orang yang lalai padahal Allah tidak lalai kepadanya.” (Ihya’Ulumuddin 3/380) 893. Ali bin Abi Tholib berkata, “Barangsiapa yang rindu pada surga, maka ia akan mengacuhkan syahwatnya selama di dunia.” (Ihya ‘Ulumuddin 3/194)
894. Ali bin Abi Tholib berkata, “Sesungguhnya hal
yang paling aku takutkan adalah mengikuti hawa nafsu dan panjang angan-angan, sesungguhnya mengikuti hawa nafsu itu menghalangi kebenaran dan panjang angan-angan itu membuat lupa terhadap akhirat.” (Al-Bidayah wan Nihayah 8/8)
895. Ali bin abi Tholib berkata, “Tidak akan
berkurang kemuliaan seseorang hanya lantaran ia memanggul makanan yang dibutuhkan oleh keluarganya.” (Ihya’Ulumuddin 4/158)
896. Ali bin Abi Tholib berkata, “Orang-orang
yang riya mempunyai tiga ciri; Ia malas jika sendirian dan rajin jika berada di antara manusia, serta ia akan menambah amalnya jika dipuji dan menguranginya jika dicela.” (Ihya’Ulumuddin 4/84)
897. Ali bin Abi Tholib berkata, “Barangsiapa yang
berhasil mengumpulkan enam hal, maka ia pasti masuk surga dan bebas dari neraka: (1) Barangsiapa yang tahu tentang Allah lalu ia mentaatinya. (2) Barangsiapa yang tahu tentang setan lalu ia mendurhakainya. (3) Barangsiapa yang tahu tentang kebenaran lalu ia mengikutinya. (4) Barangsiapa yang tahu tentang kebatilan lalu ia menjaga diri darinya. (5) Barangsiapa yang tahu tentang dunia lalu ia menolaknya. (6) Dan barangsiapa yang tahu tentang akhirat lalu ia memburunya.” (Tanbihul Ghofilin, hlm. 183)
898. Ali bin Abi Tholib berkata, “Ladang itu ada
dua: ladang dunia berupa harta dan taqwa dan ladang akhirat berupa amal sholih. Keduanya telah Allah persiapkan untuk suatu kaum.” (Al-Bidayah wan Nihayah 8/9)
899. Ali bin Abi Tholib berkata, “Sesungguhnya
alasan yang mendorong masyarakat untuk malas menuntut ilmu adalah karena melihat betapa sedikitnya ulama yang mengamalkan ilmunya.” (Jami’ Bayanil ilmi wa Fadhilihi 1/197)
900. Ali bin Abi Tholib berkata, “Wahai orang-
orang yang berilmu amalkanlah ilmu kalian, sesungguhnya yang disebut ulama adalah orang yang mempunyai ilmu dan mengamalkannya, dan ilmunya sesuai dengan amalnya. Akan datang suatu kaum yang mengusung ilmu namun ilmu tidak melewati kerongkongannya (ilmu tidak masuk ke dalam lubuk hatinya dan hanya sebatas di lisan semata) hati mereka bertentangan dengan amalan lahiriah mereka, mereka duduk dalam lingkaran-lingkaran pengajian, satu sama lain saling membanggakan dirinya, sehingga seorang ulama di antara mereka akan marah apabila murid pengajiannya mengaji kepada ulama yang lain, mereka adalah ulama yang ilmu dan amalnya tidak akan naik ke hadirat Allah.” (Jami’ bayanil ilmi wa fadhilihi 2/9)
901. Ali bin Abi Tholib berkata, “Pelajarilah ilmu!
Dan jika engkau sedang mempelajarinya, maka bersikaplah serius, jangan engkau seling dengan senda gurau, juga main-main sehingga hatimu akan lepas, sesungguhnya jika seorang yang alim bersenda-gurau sekali saja, maka ia akan kehilangan satu bagian dari ilmunya.” (Jami’ Bayanil Ilmi wa Fadhilihi 1/197)
902. Ali bin Abi Tholib berkata, “Pelajarilah ilmu
dan hiasilah dirimu bersamanya dengan kebajikan dan kelemahlembutan, bersikaplah rendah hati terhadap orang yang engkau ajari, dan janganlah kalian menjadi ulama yang bengis dan sok berkuasa, karena kejelekan amal kalian tersebut akan melenyapkan kebenaran ilmu kalian.” (Jami’ Bayanil ilmi wa Fadhilihi 1/170)
903. Ali bin Abi Tholib berkata, “Berbuatlah
kebajikan walau kepada orang yang mengingkarinya, sesungguhnya pahalanya ditimbang lebih berat dari pada berbuat kebaikan kepada orang yang mau berterima kasih kepadamu.” (Tanbihul Mughtarin, hlm. 140)
904. Ali bin Abi Tholib berkata, “Muslim yang
terbaik adalah yang paling membantu dan paling bermanfaat.” (Tanbihul Mughtarin, hlm. 140) 905. Ali bin Abi Tholib berkata, “Termasuk kebahagiaan seseorang ada lima hal: istri cocok dengannya, anaknya adalah orang-orang baik, saudaranya adalah orang yang bertaqwa, para tetangganya adalah orang yang sholih, dan rizqinya ia dapat di negerinya.” (Tanbihul Mughtarin, hlm. 44)
906. Ali bin Abi Tholib berkata, “Ketahuilah bahwa
manusia yang ada saat ini adalah generasi orang- orang baik, dan nilai seseorang itu sesuai dengan kebaikannya, maka bicarakanlah masalah ilmu di antara kalian sehingga akan terlihat nilai kalian.” (Jami’ Bayanil ilmi wa Fadhilihi 1/119) 907. Ali bin Abi Tholib berkata, “Ilmu itu lebih baik dari pada harta, karena harta itu engkaulah penjaganya, sedangkan ilmu ialah yang menjagamu, harta itu akan berkurang dengan diinfakkan, sedangkan ilmu akan lebih berkah dengan diinfakkan, ilmu itu pengatur sedangkan harta adalah yang diatur, para penimbun harta telah mati walaupun mereka masih hidup, sedangkan para ulama tetap dikenang selama waktu masih berputar, fisik mereka tiada, tapi bekasnya masih tersisa dalam hati manusia.” (Jami’ Bayanil ilmi wa Fadhilihi 1/68)
908. Ali bin Abi Tholib berkata, “Hendaklah kalian
bersabar, karena kesabaran adalah sikap orang- orang yang tegar dan tempat kembali orang yang berkeluh kesah.” (Al-Bayan wat Tabyin 3/285) 909. Ali bin Abi Tholib berkata, “Manusia itu ada tiga macam: (1) Orang alim robbani. (2) Orang yang belajar di jalan keselamatan. (3) Dan sisanya para gembel yang mengikuti setiap seruan kemana angin bertiup.” (Tanbihul Ghafilin As-Samarqandi, hlm. 338)
910. Ali bin Abi Tholib berkata, “Ketakutan itu
didampingi oleh kegagalan dan malu itu didampingi oleh tangan hampa.” (Jami’ Bayanil ilmi wa Fadhilihi 1/109)
911. Ali bin Abi Tholib berkata, “Pelajarilah ilmu
maka engkau akan dikenal dengannya, dan amalkanlah maka engkau akan menjadi pemiliknya, sesungguhnya akan datang setelah kalian suatu zaman di mana kebenaran diingkari sembilan dari sepuluh yang ada, tidak ada yang selamat darinya, kecuali mereka yang tidak dikenal oleh manusia, mereka adalah para imam hidayah dan lentera-lentera ilmu.” (Az-Zuhd, hlm. 162)
912. Ali bin Abi Tholib berkata, “Barangsiapa yang
lemah lembut perkataannya maka ia akan dicintai.” (al-Aqdul Farid 2/127)
913. Ali bin Abi Tholib berkata, “Hal yang pertama
kali akan dirasakan oleh orang yang bijak atas kebijaksanaannya adalah bahwa orang-orang akan menjadi penolongnya dari bodoh dan dzolim.” (al-Aqdul Farid 2/129)
914. Ali bin Abi Tholib berkata, “Janganlah engkau
memutuskan tali persaudaraan dengan saudaramu atas dasar keraguan, dan jangan engkau mengasingkan diri tanpa sebab.” (al-Aqdul Farid 2/152)
915. Ali bin Abi Tholib berkata, “Tidak ada istirahat
bagi orang yang dengki, tidak ada yang mau bersaudara dengan pemalas, dan tidak ada orang yang suka dengan orang yang buruk akhlaknya.” (al-Aqdul Farid 2/158) 916. Ali bin Abi Tholib berkata, “Tidak ada orang yang enggan meraih kemuliaan kecuali seekor keledai.” (al-Aqdul Farid 2/249)
917. Ali bin Abi Tholib berkata, “Tutuplah aib
saudaramu, rahasiakanlah segala kesalahannya. Bersabarlah terhadap tipuan sesuatu yang tidak bernilai. Bersabarlah beberapa waktu atas segala urusan. Terimalah jawaban (atas segala permasalahanmu) dengan lapang dada, dan serahkanlah kedzaliman pada yang akan menghisabnya.” (al-Aqdul Farid 2/243)
918. Ali bin Abi Tholib berkata, “Barangsiapa yang
punya kasih sayang pasti ia terhormat, dan barangsiapa yang terhormat pasti ia bermanfaat. Barangsiapa yang malu pasti ia terjaga, dan barangsiapa yang takut maka ia akan celaka, barangsiapa yang menginginkan kedudukan maka ia akan bersabar dalam pemerintahan, barangsiapa yang melihat aib dirinya sendiri, maka ia tidak akan melihat aib orang lain, barangsiapa yang menghunuskan pedang pembangkang maka ia akan terbunuh dengannya, dan barangsiapa yang menggali lobang untuk saudaranya maka suatu saat ia akan terjerumus di dalamnya. Barangsiapa yang lupa terhadap kesalahannya sendiri, maka akan tampak besar kesalahan orang lain di matanya, barangsiapa yang menyikap rahasia orang lain, maka rahasianya pun akan tersingkap, barangsiapa yang sombong dalam setiap urusan maka ia akan hancur, barangsiapa yang menerjang badai ombak yang besar maka ia akan tenggelam, barangsiapa yang kagum dengan pendapatnya sendiri, maka ia akan sesat, dan barangsiapa yang merasa cukup dengan akalnya maka ia salah, barangsiapa yang memaksa orang lain maka ia hina, barangsiapa yang memperdalam suatu pekerjaan maka ia akan condong kepadanya, barangsiapa yang berteman dengan orang bejat maka ia akan dihina, dan barangsiapa yang bermajelis bersama ulama maka akan dihormati, barangsiapa yang bagus akhlaknya maka akan mudah jalannya, barangsiapa yang manis perkataannya maka apa yang ia senangi ada di hadapannya.” (al-Aqdul Farid 2/243)
919. Ali bin Abi Tholib berkata, “Yang tebaik dari
umat ini disini adalah golongan tengah, orang- orang di sekitarnya merujuk kepadanya, dan orang-orang setelah mereka mengikutinya.” (Al- aqdul Farid 3 199)
920. Ali bin Abi Tholib berkata, “Orang yang
terhemat tidak akan binasa, dan orang yang zuhud tidak akan jatuh miskin.” (al-Aqdul Farid 1/115)
921. Ali bin Abi Tholib berkata, “Janganlah engkau
bersandar kepada lamunan-lamunan kosong, karena ia adalah dagangan orang-orang yang tolol, dan melemahkan jiwa dari meraih kebaikan dunia dan akhirat, di antara kekayaan dunia yang paling baik adalah kawan dekat yang sholih. Bergaullah dengan orang-orang yang sholeh, niscaya engkau akan termasuk golongan mereka, dan jauhilah orang-orang yang bermoral bejat, niscaya engkau tidak akan termasuk golongan mereka, janganlah sekali-kali buruk sangka menguasai dirimu, karena ia tidak akan membiarkan adanya perdamaian dirimu dengan kawan-kawan dekatmu.” (al-Aqdul Farid 1/115)
922. Ali bin Abi Tholib berkata, “Orang yang mulia
di dunia adalah para dermawan, dan orang yang mulia di akhirat adalah orang-orang yang bertaqwa.” (ar-Risalah al-quraisyiyah, hlm. 108)
923. Ali bin Abi Tholib berkata, “Hiburlah hatimu
ini dan sentuhlah dangan sentuhan-sentuhan hikmah, sesungguhnya ia bisa bosan sebagaimana tubuh bisa bosan. Dan jiwa itu senang kepada hawa nafsu melakukan yang hina, condong kepada main-main, menyuruh kepada kejelekan, penuh kelemahan, minta santai, dan tidak menyukai amal, jika kamu memaksanya untuk beramal, niscaya ia akan kelelahan, namun jika engkau membiarkannya maka ia akan semakin rusak.” (al-Aqdul Farid 6/393)
924. Ali bin Abi Tholib berkata, “Wahai anak
Adam! Janganlah engkau gembira dengan kekayaan, dan jangan berputus asa dengan kefakiran, jangan bersedih dengan musibah, dan jangan bersuka-cita dengan kesenangan, sesungguhnya emas itu dilebur dengan api, sedang hamba yang sholih itu dilebur dosanya dengan musibah, sesungguhnya engkau tidak akan mendapatkan apa yang engkau inginkan kecuali dengan meninggalkan kesenanganmu, dan engkau tidak akan mendapatkan apa yang engkau angankan kecuali dengan bersabar atas apa yang tidak engkau sukai.” (Risalatul Mustarsyidin, hlm. 51)
925. Ali bin Abi Tholib berkata, “Kesabaran itu
adalah hewan tunggangan yang tidak pernah tergelincir.” (ar-Risalah al-Quraisyiyah, hlm. 1850)
926. Ali bin Abi Tholib berkata, “Jadilah sumber-
sumber ilmu dan lentera-lentera di malam hari, yang selalu baru hatinya meskipun pakaiannya telah usang, kalian akan dikenal di langit dan akan diingat di dunia.” (Tahdzib Hilyatil Auliya 1/83) 927. Ali bin Abi Tholib berkata, “Tidak ada harta yang lebih berguna dari pada akal, dan tidak ada kemiskinan yang lebih berbahaya dari pada kebodohan.” (al-Aqdul Farid 2/106)
928. Ali bin Abi Tholib berkata, “Sesungguhnya
orang yang hidup dari tangan orang lain seperti orang yang menanam pohon di tanah orang lain.” (Hilyatul Auliya 1/71)
929. Ali bin Abi Tholib berkata, “Ilmu itu
menjadikan orang alim taat dalam hidupnya dan meninggalkan kesan yang baik setelah matinya. Orang yang menimbun harta itu telah mati walaupun mereka masih hidup,sedang ulama itu akan tetap ada selama waktu masih berputar meskipun diri mereka telah tiada, tapi contoh yang mereka berikan teap membekas dalam hati.” (Shifatis Shafwa 1/172)
930. Ali bin Abi Tholib berkata, “Kedudukan sabar
dari iman sebagaimana kedudukan kepala bagi jasad, tidak ada gunanya jasad tanpa kepala dan tidak ada gunanya keimanan tanpa kesabaran.” (Al-Bayan wat Tabyin 3/211)
931. Ali bin Abi Tholib berkata, “Curahkanlah
perhatian kalian pada diterimanya amalan melebihi dari pada perhatian kalian untuk beramal, sesungguhnya amalan yang dikerjakan dengan takwa tidaklah bernilai sedikit, bagaimana dinilai sedikit sebuah amalan yang diterima?.” (Tahdzib Hilyatul auliya 1/181)
932. Ali bin Abi Tholib berkata, “Manfaatkanlah
waktu-waktu ini, sesungguhnya ia berlalu sebagaimana awan berlalu, dan tidak meninggalkan bekas apapun setelah lewat.” (al- Aqdul Farid 2/85)
933. Ali bin Abi Tholib berkata, “Bukanlah suatu
kebaikan banyaknya hartamu dan anakmu, tapi kebaikan itu adalah bertambahnya amalanmu dan bertambah besarnya kasih sayangmu serta engkau bersegera dalam beribadah kepada Robbmu, jika engkau melakukan kebaikan maka bertahmidlah dan jika engkau melakukan perbuatan jelek maka beristighfarlah. Dan tidak ada kebaikan di dunia ini kecuali bagi salah satu dari dua orang: 1 orang yang melakukan sebuah dosa lalu ia menebusnya dengan bertaubat, atau orang yang bersegera dalam melakukan kebaikan.” (Az-Zuhdul Kabir no. 708 dan al-Hilyah 1/75)
934. Ali bin Abi Tholib berkata, “Sesungguhnya
seseorang itu merasa sedih jika kehilangan sesuatu yang tidak bisa ia dapatkan, dan merasa gembira mendapatkan apa yang ia ingin dapatkan, maka jadikanlah kegembiraanmu itu dengan apa yang berhasil engkau raih dari urusan akhiratmu dan jadikanlah kesedihanmu jika engkau kehilangan salah satu dari urusan akhirat, janganlah engkau terlalu gembira dengan apa yang kamu dapatkan dari perkara dunia, dan jangan terlalu bersedih dengan perkara dunia yang hilang dari tanganmu, dan jadikanlah niatmu itu untuk sesuatu setelah kematian.” (Shifatus Shafwa 1/171)
935. Ali bin Abi Tholib berkata, “Sesungguhnya hal
yang paling aku takutkan menimpa kalian adalah panjang angan-angan dan mengikuti hawa nafsu, karena panjang angan-angan itu membuat kita lupa pada akhirat, sedang mengikuti hawa nafsu itu menghalangi kita dari kebenaran, ketahuilah sesungguhnya dunia itu terus berjalan menjauh, sedangkan akhirat datang mendekat, setiap keduanya memiliki anak-anak, maka jadilah kalian anak-anak akhirat jangan jadi anak-anak dunia, sesungguhnya hari ini adalah saat beramal tanpa hisab, dan esok di akhirat adalah hisab tanpa ada waktu beramal lagi.” (az-Zuhdul Kabir no. 463)
936. Ali bin Abi Tholib berkata, “Pergaulilah
manusia dengan lisan dan tubuh kalian, dan jauhilah mereka dengan hati dan perbuatan kalian, sesungguhnya seseorang itu akan mendapatkan ganjaran dari apa yang ia kerjakan, dan pada hari kiamat nanti ia akan dikumpulkan bersama orang yang ia cintai.” (az-Zuhdul Kabir no. 189)
937. Ali bin Abi Tholib berkata, “Beruntunglah
orang yang mengingat akhirat dan mempersiapkan diri untuk hari perhitungan, serta merasa cukup dengan rizki yang sedikit.” (al- Bayan wat-Tabyin 3/148) 938. Imam Ibnul Qoyyim berkata, “Barangsiapa mencintai dunia maka hendaklah ia berfikir untuk menerima musibahnya. Orang yang cinta dunia tidak lepas dari tiga perkara: kesedihan yang harus diterima, keletihan yang terus menerus, dan kerugian yang tidak pernah selesai.” (Ighotsatul lahfan oleh Ibnul Qoyyim 1/37)
939. Ibnu Mas’ud berkata, “Dunia adalah tempat
orang yang tidak punya tempat tinggal, harta orang yang tidak punya harta dan orang yang mengumpulkannya adalah orang yang tidak punya ilmu.” (Al-Minhaj fi Syu’abil iman 3/388) 940. Waki’ berkata, “Tidaklah seseorang meninggalkan sesuatu di dunia karena Allah kecuali pemberian Allah (untuknya) di akhirat akan lebih baik.” (al-Hilyah 4/312)
941. Malik bin Dinar berkata, “Seberapa besar
engkau bersedih terhadap dunia maka sebesar itu pula keinginan akhirat akan keluar dari dirimu. Dan seberapa besar engkau bersedih terhadap akhirat maka sebesar itu pula keinginan dunia akan keluar dari dirimu.” (az-Zuhd, hlm. 387)
942. Bilal bin Sa’ad berkata, “Wahai orang yang
bertaqwa, kalian tidak diciptakan untuk dunia yang fana, kalian hanya akan berpindah dari satu negri ke negri yang lain, sebagaimana kalian berpindah dari tulang rusuk ke alam rahim, dari alam rahim ke dunia, dari dunia ke alam kubur, dari alam kubur ke padang mahsyar, dan dari padang mahsyar menuju tempat abadi yaitu surga atau neraka.” (Syiar Alamin nubala’ 5/91)
943. Abdullah bin Mas’ud berkata, “Tidak boleh
berdusta baik sekedar main-main atau sungguh- sungguh, dan tidak boleh seorang di antara kalian menjanjikan sesuatu pada anak kecil kemudian dia tidak menunaikannya.” (Ash-Shomt, hlm. 543)
944. Muhammad bin Ka’ab berkata, “Tidaklah
orang berdusta kecuali hal itu sebagai bentuk penghinaan terhadap dirinya sendiri.” (Makarimul akhlak, hlm. 135) 945. Abu Qilabah berkata, “Jika sampai kepadamu berita jelek tentang saudaramu maka carilah udzur umtuknya, jika engkau tidak menjumpainya maka katakanlah, ‘Barangkali dia punya udzur yang tidak aku ketahui.’” (Raudhatul Uqola’, hlm.184)
946. Sahl bin Abdullah at-Tastari berkata,
“Seandainya seorang hamba diberikan pemahaman setiap huruf dari Al-Qur’an, dengan seribu pemahaman, niscaya ia tidak akan pernah sampai pada (makna) akhir ayat yang tersimpan dalam kitab-Nya, sebab ia adalah kalamullah, sedangkan kalam-Nya adalah sifat bagi-Nya, sebagaimana Allah tidak berakhir, maka demikian halnya tidak ada batas akhir untuk memahami kalam-Nya, namun setiap orang memahami menurut ukuran apa yang telah Allah buka bagi hatinya, kalamullah bukanlah makhluk dan pemahaman makhluk tidak akan mencapai akhir dari pemahaman kalam-Nya.” (Muqoddimah tafsir al-Basith oleh al-wahidi, hlm. 301)
947. Ibrohim At-Taimi berkata, “Barangsiapa yang
telah diberi ilmu, namun tidak menjadikannya menangis kepada al-Khaliq maka hakikatnya ia tidak diberi ilmu.” (Hilyatul auliya V/88,Az-Zuhd oleh Ibnul Mubarok, hlm. 47)
948. Abu Hazim mengatakan, “Bersyukur dengan
seluruh anggota tubuh adalah menahannya dari maksiat dan selalu menggunakannya dalam ketaatan.” (Jamiul Ulum wal Hikam, 295)
949. Ar Rabi’ bin Anas, “Tanda cinta kepada Allah
adalah banyak mengingat (menyebut)-Nya, karena tidaklah engkau menyukai sesuatu kecuali engkau akan banyak mengingatnya.” (Jami’al Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab)
950. Ibnu Rajab Al-Hanbaliy rahimahullah
berkata, “Sesungguhnya seorang mukmin tidak sepantasnya untuk menjadikan dunia sebagai tempat tinggalnya dan merasa tenang di dalamnya, akan tetapi sepatutnya dia di dalam dunia ini bagaikan orang yang sedang melakukan perjalanan.” (Jami’ul Ulum wal Hikam, hlm. 379) 951. Imam Ahmad berkata, “Jika engkau ingin Allah melancarkan untukmu sesuatu yang engkau cintai, maka teruslah mengerjakan sesuatu yang Dia cintai.” (Al-Bidayah wa An-Nihayah 10/330)
952. Wahhab bin Munabbih berkata, “Jika
seseorang memujimu dengan apa-apa yang tidak ada padamu, maka janganlah kamu merasa aman darinya untuk mencelamu dengan apa-apa yang tidak ada padamu.”(Shifat Ash-Shofwah 2/295)
953. Hasan Al-Bashri berkata, “Jika kamu melihat
seseorang melebihimu dalam urusan dunia maka saingilah dia dalam urusan akhirat.” (Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, jilid 7/188) 954. “Semenjak kenal manusia, aku tidak senang pujian mereka, dan juga tidak benci celaan mereka.” Ada yang bertanya, “Kenapa bisa demikian?” beliau menjawab, “Karena mereka yang memuji itu berlebih-lebihan dan mereka yang mencela itu terlalu meremehkan.”-Malik bin Dinar-(Shifatus Shafwah: III/276)
955. “Seandainya aku melakukan kebenaran
sembilan puluh sembilan kali dan melakukan kesalahan sekali, sungguh manusia akan menghitung-hitung satu kesalahan tersebut.” (perkataan Asy Sya’bi rohimahulloh dalam Tahdzib Siyar A’lam An Nubala, 1/392). 956. “Jangan sekali-kali kamu tertipu dalam menilai kepahlawanan seorang laki-laki dari perilakunya dan apa yang kamu lihat dari amal ibadahnya. Sesungguhnya, seorang pria yang disebut pahlawan adalah yang senantiasa menjaga dua perkara, yakni yang menjaga aturan-aturan Allah dan senantiasa ikhlas dalam beramal.” (Ibnul Jauzi dalam Saaidul Khatiir)
957. Fudail bin Iyadh berkata: “Barangsiapa yang
suka untuk disebut-sebut namanya maka ia tidak akan terkenal, dan barang siapa yang tidak suka untuk disebut-sebut namanya, maka ia akan terkenal.” (Siyarul A’lam: 432) 958. “Demi Allah, sesungguhnya berteman dengan suatu kaum yang menakut-nakutimu hingga akhirnya kamu menemukan rasa aman itu lebih baik daripada kamu berteman dengan sekelompok orang yang membuatmu merasa aman, namun akhirnya kamu dikejar-kejar oleh perkara- perkara yang menakutkan.” (Imam Ahmad الله ّ رحمه dalam Kitab Az Zuhd)
959. Al-Munaawi rahimahullah berkata, “Tidak
setiap orang yang amanah menjaga harta juga amanah menjaga rahasia. Menjaga diri dari harta lebih mudah dari pada menjaga diri untuk tidak menyebarkan rahasia.” (Faidhul Qodiir 1/493, syarh hadits no. 985) 960. Ar-Rooghib berkata, “Menyebarkan rahasia muncul dari sedikitnya kesabaran dan sempitnya dada, dan ini merupakan sifat para lelaki yang lemah, para wanita, dan anak-anak.” (Lihat Faidhul Qodiir 1/493)
961. Ibnu Mas’ud berkata, “Tidak ada anggota
tubuh yang lebih perlu untuk dikekang dalam waktu lama, selain dari lisanku.” (Minhajul Qosidin)
Al-Mahabbah (cinta)
962. Asy-Sya’bi berkata, “Orang yang
membebaskan hawa nafsu akan diajak pada kenikmatan yang ada, tanpa memikirkan akibatnya di kemudian hari, menganjurkan kepada syahwat sekalipun menjadi sebab penderitaan yang berat baik di dunia maupun di akhirat.” (Roudhotul Muhibbin wan Nuzhah al- Musytaqqin, hlm. 437 oleh Ibnul Qoyyim)
963. Ibnul Qoyyim berkata, “Orang yang mampu
mengalahkan hawa nafsunya lebih kuat dari pada orang yang mampu sebuah kota sendirian.” (Roudhoul Muhibbin, hlm. 445)
964. Mu’awiyah berkata, “Sifat kesatria ialah
meninggalkan syahwat dan menentang hawa nafsu, mengikuti hawa nafsu berarti mengurangi sifat kesatria.” (Roudhotul Muhibbin, hlm. 445) 965. Abu Darda’ berkata, “Jika pada diri seseorang berkumpul nafsu dan amal, lalu amalnya mengikuti nafsunya, maka hari yang dilaluinya adalah hari yang buruk. Jika nafsunya mengikuti amalnya maka hari yang dilaluinya adalah hari yang baik.” (Rodhotul Muhibbin, hlm. 445)
966. Sebagian ahli hikmah berkata, “Jika ada
masalah yang rumit engkau pecahkan, engkau tidak tahu mana yang benar, maka tinggalkanlah yang lebih dekat dengan nafsu, karena sesuatu yang lebih dekat dengan kesalahan ialah yang mengikuti hawa nafsu.” (Roudhotul Muhibbin, hlm. 445) 967. Sebagian ahli hikmah berkata, “Jika engkau mau akan ku beritahukan apa penyakitmu, dan jika engkau mau akan ku beritahukan apa obatnya. Penyakitmu adalah nafsumu dan penawarnya adalah meninggalkan nafsu dan menentangnya.” (Roudhotul Muhibbin, hlm. 446)
968. Bisyr Al-Hafi berkata, “Semua bencana
terletak pada nafsumu, dan obat penawarnya adalah penentanganmu terhadap nafsu.” (Roudhotul Muhibbin, hlm. 446)
969. Ibnul Qoyyim berkata, “Nafsu itu merupakan
keguncangan dan kebingungan, sedangkan memerangi nafsu merupakan pertahanan diri.” (Roudhotul Muhibbin, hlm. 446) 970. Ibnul Qoyyim berkata, “Memerangi nafsu itu lebih hebat dan besar dari pada menerangi orang- orang kafir.” (Roudhotul Muhibbin, hlm. 446)
971. Al-Fudail bin ‘Iyyadh berkata, “Barangsiapa
yang mengikuti nafsu dan mengikuti syahwat, maka terputuslah tali taufiq darinya.” (Roudhotul Muhibbin, hlm. 447)
972. Sebagian ahli hikmah berkata, “Kufur itu ada
empat perkara: Kemarahan, syahwat, kebencian dan kesenangan. Pernah kulihat dua dari empat perkara itu, yaitu seseorang marah lalu membunuh ibunya dan orang yang jatuh cinta lalu dia masuk agama nashoro.” (Roudhotul Muhibbin, hlm. 447)
973. Ibnul Qoyyim berkata, “Barangsiapa yang
memanjakan nafsunya maka dia merusak akal dan pikirannya. Sebab dia telah mengkhianati Allah dalam masalah penggunaan akalnya, sehingga Allah merusak akal itu.” (Roudhotul Muhibbin, hlm. 447)
974. Ibnul Qoyyim berkata, “Mengikuti nafsu bisa
mengendorkan semangat dan menantang nafsu bisa menguatkan semangat. Semangat merupakan tunggang hamba yang membawanya kepada Allah dan hari akhirat. Jika tunggang lemah dan tidak berdaya, saat itu pula perjalanan menjadi terhenti.” (Rodhotul Muhibbin, hlm. 448)
975. Sebagian ahli hikmah berkata, “Tunggangan
yang paling cepat ke surga ialah zuhud di dunia dan tunggangan yang paling cepat ke neraka ialah mencintai syahwat, siapa yang tetap berada di atas tunggangan hawa nafsunya maka dia akan dihela pada kerusakan.” (Roudhotul Muhibbin, hlm. 449)
976. Sebagian ahli hikmah berkata, “Ulama yang
paling mulia ialah yang lari dari dunia, sambil membawa agamanya dan tidak kesulitan mengekang nafsunya.” (Roudhotul Muhibbin, hlm. 449) 977. Ibnul Qoyyim berkata, “Menentang nafsu bisa melenyapkan penyakit hati dan badan ikuti nafsu bisa mendatangkan penayoritas berasal dari penyakit hati dan badan. Semua penyakit hati berasal dari mengikuti nafsu, jika engkau menyelidiki mendapatkan bahwa berbagai penyakit badan, tentu engkau akan mendapatkan bahwa mayoritas berasal dari mementingkan nafsu ketimbang meninggalkannya.” (Raudhatul muhibbin, hlm. 450)
978. Ibnul Qoyyim berkata, “Dasar permusuhan,
kejahatan dan kedengkian yang muncul di kalangan manusia ialah karena mengikuti nafsu, siapa yang menantang nafsunya berarti dia membuat hati dan badannya menjadi tenteram dan sehat.” (Raudhatul Muhibbin, hlm. 450) 979. Abu Bakar al-Warroq berkata, “Jika nafsu yang menang maka hati menjadi gelap, maka dada terasa sesak, jika dada menjadi sesak, maka akhlak menjadi buruk, jika akhlak menjadi buruk maka dia membenci orang lain, dan orang lain pun membencinya. Maka perhatikanlah apa yang diakibatkan nafsu seperti kebencian, kejahatan, permusuhan, mengabaikan hak orang lain dan lain sebagainya.” (Roudhotul Muhibbin, hlm. 450)
980. Abu ‘Ali ats-Tsaqofi berkata, “Barangsiapa
yang nafsunya lebih dominan, maka akalnya akan menyingkir, lihatlah akibat orang yang akalnya dikalahnya rivalnya.” (Roudhotul Muhibbin, hlm. 450) 981. Ali bin Sahl berkata, “Akal dan nafsu saling bermusuhan, taufiq merupakan kesudahan akal dan penyesalan merupakan kesudahan nafsu. Jiwa berada di antara keduanya. Mana yang tampil sebagai pemenang maka jiwa akan mengikutinya.” (Roudhotul Muhibbin 450)
982. Ibnul Qoyyim berkata, “Musuh terbesar bagi
seseorang adalah setan dan hawa nafsunya, sedangkan rekan yang paling dipercaya adalah akalnya, dan kekuasaan yang memberikan nasihat kepadanya. Jika dia mengikuti nafsunya maka tangannya diserahkan kepada musuhnya, lalu dia ditawan. Inilah yang disebut bencana, penderitaan, ketetapan yang buruk dan kemenangan musuh.” (Roudhotul Muhibbin, hlm. 450)
983. Ibnul Qoyyim berkata, “Setiap manusia
memiliki permulaan dan kesudahan, barangsiapa permulaannya ditandai dengan mengikuti nafsu maka kesudahannya adalah kehinaan, kemorosotan dan bencana, tergantung seberapa jauh dia menuruti nafsunya dan bahkan puncak kesudahannya adalah siksaan yang dia rasakan di dalam hatinya.” (Roudhotul Muhibbin, hlm. 451)
984. Abu ‘Ali Daqqaq berkata, “Barangsiapa dapat
menguasai syahwat pada masa mudanya niscaya Allah akan memuliakannya pada masa tuannya.” (Roudhotul Muhibbin, hlm. 451) 985. Ibnul Qoyyim berkata, “Menentang nafsu pasti mendatangkan kemuliaan di dunia dan kemuliaan di akhirat, keperkasaan lahir dan batin. Sedangkan mengikuti nafsu akan menghinakan manusia di dunia dan di akhirat lahir dan batin.” (Roudhotul Muhibbin, hlm. 452)
986. Sebagian ahli hikmah berkata, “Cinta bagi ruh
sama dengan kedudukan makanan bagi badan. Jika engkau meninggalkannya tentu akan membahayakan dirimu, dan jika engkau terlalu banyak menyantapnya, tentu ia akan membinasakanmu.” (Roudhotul Muhibbin, hlm. 147) 987. Seorang ‘Arobi berkata, “Cinta adalah pendamping jiwa dan teman bicara akal, membuat perasaan berbunga-bunga dan mampu menguasai anggota badan.” (Roudhotul Muhibbin, hlm. 147)
988. Abdullah bin Thohir berkata, “Bercintalah
agar kalian merasakan keindahan dan jagalah kehormatan agar kalian terpandang.” (Roudhotul Muhibbin, hlm. 147)
989. Sebagian ahli hikmah berkata, “Cinta itu
mendorong penakut menjadi pemberani, orang kikir menjadi dermawan, mencuci pikiran orang yang dungu, memfasihkan lidah orang yang gagal, membangkitkan keinginan orang yang lemah, merendahkan kehormatan para raja, menampakkan kehebatan para pemberani, merupakan pintu pertama yang membelah pikiran dan kecerdikan, karenanya ada tipu daya yang halus, gejolak menjadi tenang, akhlak dan kepribadian menjadi tertata, ada kegembiraan yang menari-nari di dalam jiwa dan kesenangan yang bersemayam di dalam hati.” (Roudhotul Muhibbin, hlm. 147)
990. Al-Abbas bin Al-Ahnaf berkata, “Tiada
manusia yang tidak memiliki cinta, tiada kebaikan bagi orang yang tiada cinta.” (Roudhotul Muhibbin, hlm. 148)
991. Sebagian ahli hikmah berkata, “Tiada
keindahan dan kenikmatan dunia jika engkau menyendiri tanpa perasaan cinta.” (Roudhotul Muhibbin, hlm. 148)
992. Ali bin Abdah berkata, “Tak mungkin
seseorang bisa menghindar dari cinta kecuali orang yang kasar perangainya, kurang waras, atau tidak mempunyai gairah.” (Roudhotul Muhibbin hal 148)
993. Sebagian ahli hikmah berkata, “Seseorang
tidak akan menjadi sempurna kecuali jika dia mencintai orang-orang yang memiliki kesempurnaan atau setidak-tidaknya menyerupai mereka. Orang yang pandai bisa mencapai tingkat kepandaiannya tergantung pada cintanya terhadap ilmu. Begitu pula setiap orang yang menekuni suatu profesi, orang yang jatuh cinta harus memperhatikan akhlak dan tindakan yang terhormat agar tabiatnya terangkat di hadapan orang yang dicintainya. (Roudhotul Muhibbin, hlm. 149)
994. Al-Khoroiti berkata, “Permulaan cinta
menawan hati akhirnya kematian laksana perdamaian ia bermula dari pandangan dan canda. Menyala di hati laksana bara api, seperti api yang bermula dari percikan jika membesar ia kan membakar semua kayu.” (Raudhotul Muhibbin, hlm. 154)
995. Al-Abbas bin Al-Ahnaf berkata, “Derita jiwa
bagi mereka yang jatuh cinta sekalipun seperti yang kami alami mereka menuang cinta dalam kehidupan ini tapi mereka tiada mendapatkan dunia dan agama.” (Raudhotul Muhibbin, hlm. 156)
996. Wahab bin munabbih berkata, “Syetan paling
merasa kesulitan jika menghadapi orang mukmin yang berakal, dia bisa menggiring seratus orang bodoh, menuntun mereka dan bahkan menunggang di atas bahu mereka, membawa mereka kemana pun yang dia kehendaki, dia benar-benar merasa kesulitan berhadapan dengan orang mukmin yang berakal dan membujuknya, sekalipun untk mendapatkan sedikit apa yang di butuhkan darinya.” (Raudhatul Muhibbin, hlm. XIII) 997. Mu’ad bin Jabal Radiallahuanhu berkata, “Andaikata orang yang berakal itu mempunyai dosa pada pagi hari sebanyak bilangan pasir, maka akhirnya ia cenderung masih bisa selamat dari dosa-dosa itu. Andaikata orang bodoh itu mempunyai kebaikan dan kebajikan pada pagi dan sore hari sebanyak bilangan pasir, maka ia akhirnya cenderung tidak bisa mempertahankannya sekalipun hanya seberat biji sawi.” (Raudhatul Muhibbin, hlm. XIII)
998. Al-Hasan berkata, “Agama seseorang tidak
menjadi sempurna kecuali dengan kesempurnaan akalnya, Allah tidak memberikan akal kepada seseorang melainkan suatu hari dia akan menyelamatkan dengan akal itu.” (Raudhotul muhibbin, hlm. XIV)
999. Sebagian ahli hikmah berkata, “Barangsiapa
yang akalnya bukan merupakan sesuatu yang paling dominan maka dia akan mati dan binasa karena sesuatu yang paling dicintainya.” (Raudhatul Muhibbin, hlm. XIV)
1000. Yusuf bin Asbath berkata, “Akal adalah pelita
yang tidak tampak, perhiasan yang tampak, pengatur badan dan pemantau urusan hamba, kehidupan tidak akan membalik tanpa akal dan urusan tidak akan berjalan normal kecuali berdasarkan akal.” (Raudhatul Muhibbin, hlm XIV)