Anda di halaman 1dari 492

1000 Nasihat Emas Orang-orang Bijak

––∞—–

Tawadhu’ (Kerendahan hati)

1. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata,


“Sombong itu lebih buruk dari syirik sebab orang
yang sombong tidak bersedia mengabdi kepada
Allah, sementara orang musyrik masih mau
mengabdi kepada Allah meskipun ia juga
mengabdi kepada selain Allah.” (Al-Mustadrak A’la
Majmu Fatawa oleh Ibnu Taimiyah 1/16)

2. Al-Fudhail ditanya tentang tawadhu, ia


mengatakan, “Tawadhu ialah Anda tunduk dan
patuh kepada kebenaran. Jika Anda mendengarnya
dari anak kecil, Anda menerimanya. Jika Anda
mendengarnya dari orang yang dianggap paling
bodoh sekali pun, Anda pun akan menerimanya.”
(Al-Ihya 3/342).

3. Yusuf bin Asbat berkata, “Wara yang sedikit


lebih mencukupi dari pada amal yang banyak dan
tawadhu yang sedikit lebih mencukupi dari pada
ijtihad yang banyak.” (Al-Ihya 3/342)

4. Yahya bin Katsir berkata, “Tawadhu itu memiliki


tiga induk; (1) Anda rela tidak duduk di tempat
kursi kehormatan dalam setiap forum; (2) Anda
memulai mengucapkan salam kepada setiap orang
yang anda jumpai; (3) Anda tidak menyukai pujian
prestise dan riya dari kebajikan yang anda
perbuat.” (at-Tawadhu wal-Khumul hal 154).
5. Ali bin al-Husain berkata, “Aku heran kepada
orang yang sombong dan suka membanggakan
diri, padahal kemarin ia hanyalah setetes sperma
dan ia esok menjadi bangkai. Aku pun benar-benar
heran terhadap orang yang ragu terhadap Allah,
padahal ia sedang menyaksikan ciptaan-Nya. Aku
juga heran seheran-herannya kepada orang yang
mengingkari penciptaan dirinya yang pertama dan
aku juga heran seheran-herannya kepada orang
yang bekerja untuk dunia sementara dan
mengabaikan akhirat yang kekal abadi.” (Shifah
Shafwah 2/95).

6. Sebagian ahli hikmah berkata, “Merupakan


musibah besar manakala manusia merasa puas
dengan dirinya sendiri dan merasa cukup dengan
ilmu yang di miliki, ini adalah bencana yang telah
melanda kebanyakan manusia.” (Shaidul Khatir hal
354)

7. Al-Hasan berkata, “Tahukah Anda apakah


tawadhu itu? Tawahdu adalah Anda keluar dari
rumah Anda, lalu setiap kali Anda bertemu dengan
orang muslim, maka setiap kali itu pula Anda
merasa bahwa ia lebih baik dari Anda.” (at-
Tawadhu wal Khumul hal 154)

8. Abdullah bin al-Mubarak ditanya tentang ujub


(bangga diri), ia mengatakan, “Anda melihat ada
sesuatu yang anda miliki dan tidak dimiliki oleh
orang lain.” (Tadzkiratul Hufad I/278)
9. Abu Ali al-Jauzani berkata, “Nafsu itu dilumuri
dengan kesombongan, ketamakan dan kedengkian.
Orang yang dikehendaki celaka oleh Allah adalah
orang yang dihalangi dari sikap tawadhu, nasihat,
dan qonaah (merasa puas dengan pemberian
Allah). Sedangkan orang yang di kehendaki baik
oleh Allah adalah orang-orang yang di mudahkan
untuk mendapatkan hal-hal tersebut. Kemudian
jika bara kesombongan menggelora di dalam
dirinya, maka ia akan meredamnya dengan nasihat
yang merupakan pertolongan Allah. Jika bara
ketamakan menggelora di dalam dirinya maka ia
akan meredamnya dengan qonaah yang
merupakan pertolongan Allah.” (Al-Ihya 3/343).
10. Ibnu Haj berkata, “Barang siapa menghendaki
derajat yang tinggi, maka hendaklah bertawadhu
kepada Allah, karena ketinggian itu tidak terjadi
kecil sebatas penurunannya. Bukankah ketika air
turun ke pangkal pohon maka ia akan naik ke
puncaknya? Sehingga seolah-olah ada penanya
yang bertanya, apa yang membuatmu bisa naik ke
sini (ujung pohon) padahal kamu berada di
pangkalnya? Lalu seolah-olah fakta berbicara:
barang siapa merendahkan diri kepada Allah maka
Allah akan meninggikan derajatnya.” (Al-Madkhal
Ibnu Haj 2/120)

11. Sufyan bin Uyainah berkata, “Barang siapa


kemaksiatannya dalam urusan syahwat maka
berharaplah ia bisa bertaubat, karena nabi Adam
pernah berbuat maksiat karena memperturutkan
keinginan (syahwat) kemudian Allah
mengampuninya, tetapi jika kemaksiatannya
adalah sombong maka khawatirlah bahwa ia akan
dikutuk, karena iblis pernah berbuat sombong
maka Allah mengutuknya.” (Mukhtashor
Minhajuul-Qoshidin hal 247)

12. Muthrif bin Abdullah berkata: “Setiap ada


orang yang memujiku maka aku merasa diriku
semakin kecil.” (Shifatus Shofwah 3/233)

13. Ahmad bin al-Ward berkata: “Wali Allah itu


apabila bertambah pangkatnya maka bertambah
pula kerendahan hatinya, apabila bertambah
hartanya maka bertambah pula dermawannya,
apabila bertambah umurnya maka bertambah pula
kesungguhannya.” (Shifatus-Shafwa 2/395)

14. Yahya bin Mu’adz berkata, “Kecintaan Anda


terhadap orang-orang fakir adalah bagian dari
akhlak para rosul, kecenderungan Anda untuk
lebih suka duduk bersama mereka adalah bagian
dari tanda-tanda orang yang solih keengganan
anda untuk bergaul dengan mereka adalah bagian
dari tanda-tanda orang munafik.” (Al-Ihya 4/198)

15. Sebagian ahli hikmah berkata, “Barang siapa


meresapi dan menghayati kerendahan hati niscaya
ia akan membenci kesombongan dan hal-hal yang
memicunya.” (At-Tawaddhu wal Khumul hal 12)
16. Al-Fudhail berkata, “Orang yang terobsesi
dengan kekuasaan tidak akan penah beruntung.”
(Al-Ihya 3/342)

17. Abu Abdillah berkata, “Aku memohon kepada


Allah semoga Dia menjadikan kita lebih baik dari
apa yang mereka kira. Dan semoga Dia berkenan
mengampuni dosa-dosa kita yang tidak mereka
ketahui.” (al-Wara’ oleh Ahmad bin Hanbal hal
152)

18. Muhammad bin wasi’ berkata, “Seandainya


dosa-dosa itu berbau, pasti tidak ada yang mau
bergaul denganku.” (Asy-syiar 120/6, Shifatus-
Shafwa 3/268)
19. Ayyub As-Sakhtiyani berkata, “Apabila nama
orang-orang yang soleh di sebut maka aku tidak
termasuk di antara mereka.” (Tadzkiratul Huffadz
1/131)

20. Imam Syafi’i berkata, “Orang yang paling tinggi


nilainya ialah orang yang tidak melihat nilai
dirinya, dan orang yang paling banyak
kelebihannya ialah orang yang tidak melihat
kelebihan dirinya.” (As-Syiar 10/99)

21. Muhammad bin Husain bin Ali berkata, “Setiap


kali hati seseorang dirasuki oleh sikap sombong
maka akhlaknya akan berkurang sebanyak volume
kesombongan yang masuk ke dalam hatinya,
sedikit atau banyak.” (Al-Ihya’ 3/358)
22. Sebagian ahli hikmah berkata, “Orang yang
berakal harus senantiasa menghindari tawadhu
yang tercela dalam kondisi apapun, ia harus
senantiasa melaksanakan tawadhu yang terpuji
dalam segala asfek, adapun tawadhu yang tercela
ialah; merendahkan diri di depan orang kaya
dengan harapan mendapat sesuatu darinya, dan
tawadhu yang terpuji ialah; tidak berbuat semena-
mena atau memandang rendah terhadap sesama
hamba Allah.” (Raudhatul Uqola’ hal 59)

23. Abdullah bin Mubarok berkata, “Jika seseorang


mengetahui nilai dirinya niscaya ia akan merasa
lebih hina dari pada anjing.” (Hilyatul Auliya
8/168)
24. Sufyan berkata, “Jika anda mengetahui nilai
diri anda niscaya anda tidak akan terpengaruh
dengan ucapan orang.” (Az-Zuhd oleh Imam
Ahmad hal 507)

25. Qotadah berkata, “Barang siapa diberikan


harta benda, kecintaan, pakaian atau ilmu
pengetahuan, maka dia tidak bersikap rendah hati
dalam masalah hal itu maka akan menjadi bencana
baginya kelak di hari kiamat.” (At-Tawadhu’wal
khumul hal 119)

26. Abu Hatim berkata, “Sikap rendah hati akan


mengangkat nilai seseorang, pembesar
kehormatannya dan penambah kemuliaannya.”
(Raudhatul uqola’ hal 60)

27. Imam Ahmad bin Hanbal berkata,


“Sesungguhnya (tawadhu) itu adalah makanan
yang paling sederhana, pakaian yang paling
sederhana dan hari-hari yang paling sederhana.”
(Al-Adabus Syari’ah oleh Ibnu Muflih 2/239)

28. Sebagian ahli hikmah berkata, “Ada dua


perangai yang tidak aku suka; menyalahgunakan
ni’mat Allah dan berputus asa sepanjang masa, jika
anda kaya janganlah menyalahgunakannya, jika
anda papa, tak berpunya tegarlah sepanjang masa.”
(Al-Bidayah wan-Nihayah 1/164)
29. Sebagian ahli hikmah berkata, “Orang yang
sombong adalah orang yang yang terbuai dengan
kenikmatan yang ada dan mengabaikan takwa,
padahal semua kenikmatan itu akan berubah
menjadi bencana. Tetaplah bertakwa dalam segala
situasi dan kondisi, maka anda akan merasa lapang
di tengah kondisi yang sempit. Anda akan merasa
bugar di kala sakit. Ini adalah imbalan takwa yang
anda terima secara kontan di dunia. Dan di akhirat
kelak balasannya sudah kita ketahui bersama.”
(Shaidul Khotir hal 181)

30. Yahya bin Ma’in berkata, “Aku tidak pernah


melihat orang seperti Ahmad bin Hanbal. Kami
berteman dengannya selama lima puluh tahun dan
ia sama sekali tidak pernah membanggakan
keshalihan dan kebaikan dirinya kepada kami.”
(Manaqib Imam Ahmad hal 3340)

31. Umar bin Khattob berkata, “Sesungguhnya jika


seseorang bertawadhu kepada Allah maka Allah
akan mengangkat hikmahnya dan berkata:
bangkitlah, Allah telah mengangkat derajatmu.
Jika ia sombong dan melampaui kedudukannya,
maka Allah akan membenamkannya ke dalam
bumi dan berkata: enyahlah, Allah telah
menistakanmu. Sehingga di dalam dirinya ia
merasa besar tapi hina di mata manusia, bahkan
lebih hina dari pada babi.” (Al-Ihya 3/341)
32. Wahab bin Munabih berkata, “Tanda orang
munafik ialah suka dipuji dan tidak suka dicela.”
(Az-Zuhd hal 517)

33. Urwah bin Al-Ward berkata, “Rendah hati


adalah salah satu sikap yang bisa menjaring
kemuliaan bagi pemiliknya, setiap karunia yang
diterima manusia pasti ada yang dengki
kepadanya, kecuali bila karunia itu berupa
kerendahan hati.” (al-Ihya’ 3/343)

34. Abu Hatim berkata, “Orang yang paling mulia


adalah orang yang rendah hati di kala memiliki
posisi tinggi, zuhud di kala mampu dan bersikap
adil di kala kuat. Seseorang tidak akan
menanggalkan kerendahan hati kecuali jika ia
telah dirasuki oleh kesombongan. Seseorang tidak
akan merasa sombong kecuali karena bangga
terhadap diri sendiri. Sedangkan bangga diri
adalah salah satu faktor pemadam ketajaman
akalnya, saya tidak melihat orang yang sombong
terhadap orang yang lebih lemah, kecuali Allah
akan menimpakan ujian kepadanya melalui orang
yang lebih kuat dari padanya.” (Roudhatul Uqola’
hal 62)

35. Sebagian ahli hikmah berkata, “Apabila anda


menerima anugerah maka janganlah anda
membanggakan diri terhadap orang lain, takutlah
anda akan kehancuran para tiran, karena anda
mirip tembikar, dalam hal bahan ciptaan. Betapa
tembikar itu mudah pecah selama anda di alam
dunia.” (Syadzaratudh Dhahab 6/248)
36. Sebagian ahli hikmah berkata, “Jika derajat
anda ingin ditambah semakin mulia dan semakin
tinggi, bersikaplah lunak dan rendah hati jangan
sombong dan berbangga hati.” (At-Tawadhu’ wal-
Khumul hal 120)

37. Sa’id bin Amir berkata, “Sungguh aku pernah


menghitung seratus macam kebajikan dan
ternyata tidak ada satu pun yang ada pada diriku.”
(As-Syiyar 6/691)

38. Imam Malik berkata, “Jika seseorang sudah


mulai memuji diri sendiri maka hilanglah
keelokannya.” (As-Syiar 8/109)
39. Al-Fudhail berkata, “Jika memungkinkan
sebaiknya Anda tidak menjadi pembicara,
pembaca atau penceramah. Sebab jika anda tampil
dengan baik maka mereka akan berkomentar ‘luar
biasa ceramahnya, sungguh merdu suaranya’ lalu
anda akan merasa bangga. Tapi jika anda tampil
buruk maka mereka akan berkomentar
‘ceramahnya tidak menarik, suaranya tidak bagus’
lalu anda akan merasa sedih dan dada serasa sesak,
sehingga anda tergolong berbuat riya, namun jika
anda duduk lalu berbicara dan anda tidak
menghiraukan orang yang mencela atau memuji
anda, maka silakan menjadi pembicara.” (As-Syiar
8/109)

40. Abu Mushir berkata, “Sesuatu yang membuat


diri anda termasuk orang-orang yang celaka
adalah karena anda termasuk orang-orang
terkenal.” (At-tawadhu wal Khumul hal 13)

41. Abdullah bin Mubarok berkata, “Jadilah orang


yang suka menyembunyikan diri karena tidak
menyukai popularitas. Dan janganlah
menampakkan diri sebagai orang yang suka
menyembunyikan diri, karena justru akan
membuat anda terjebak kepada tindakan
mengangkat diri sendiri.” (Shifatus shafwah 4/137)

42. Ayyub berkata, “Tidaklah orang itu jujur


kepada Allah melainkan ia pasti gembira bila
dirinya tidak dipublikasikan.” (At-Tawadhu wal
Khumul hal 64)
43. Muhammad bin A’laa berkata, “Orang yang
mencintai Allah pasti suka bila dirinya tidak
dikenal orang.” (At-Tawadhu wal Khumul hal 64)

44. Sebagian ahli hikmah berkata, “Tidak ada


kemuliaan kecuali bagi orang yang menghinakan
diri di hadapan Allah. Tidak ada keluhuran kecuali
bagi orang yang merendahkan diri kepada Allah,
tidak ada jaminan keamanan (dari siksa neraka)
kecuali bagi orang yang takut kepada Allah, dan
tidak ada keuntungan kecuali bagi orang yang
menjual dirinya kepada Allah.” (Al-Ihya 3/343)

45. Bisyr bin Harits berkata, “Aku tidak melihat


orang yang gila popularitas kecuali agamanya
akan hilang dan kekurangannya akan diketahui
banyak orang.” (At-tawadhu wal khumul haal 95)

46. Bisyr bin Harits berkata, “Orang yang gila


popularitas tidak akan merasakan manisnya
akhirat.” (At-Tawadhu wal Khumul hal 95)

47. Sebagian ahli hikmah berkata, “Manusia harus


rendah hati, karena ia pasti akan mati, makanan
pokok adalah cukup, sebagai bekal dalam hidup,
tidak semestinya manusia merasa resah dan gelisah
memikirkan dirinya yang tidak dikenal orang,
tindakan Robb kita amatlah baik dan indah, rizki-
Nya tak penah henti mengalir kepada kita.” (Al-
Bidayah wan Nihayah 8/12)
48. Malik bin Dinar berkata, “Jika hati tidak terisi
kesedihan (karena takut kepada Allah) maka ia
akan rusak karena tidak dihuni, hati orang yang
baik akan bergelora dengan amal kebajikan,
sedangkan orang yang jahat hatinya akan
bergelora dengan kejahatan maka perhatikan apa
yang menjadi kegelisahan anda semoga Allah
memberikan rahmat-Nya kepada anda.”
(Roudhatul Uqola ‘ wa Nazhatul Fudhola hal 27)

49. Al-Hasan berkata, “Seorang anak Adam bangga


dengan kemudaannya, suka dengan kelebihan
yang dimilikinya. Sepertinya Anda telah terkubur
di dalam tanah, oleh karenanya obatilah hati Anda
karena Allah hanya butuh hamba yang
memperbaiki hatinya.” (Al-Ihya 3/359)
50. Sebagian ahli hikmah berkata, “Jangan bangga
dengan penampilanmu lihatlah akhir
perjalananmu menjadi bangkai yang berbau. Jika
manusia mau berfikir tentang isi perutnya maka
tak akan ada orang yang merasa sombong di kala
muda maupun tua, kepala adalah bagian tubuh
yang paling mulia tapi ia selalu dikotori dengan
lima macam kotoran yaitu hidung yang
mengalirkan ingus, telinga yang berbau tidak
sedap, mata yang bertahi dan mulut yang berliur,
oleh karena itu hentikanlah kesombonganmu.”
(Adabud Dunya wad din hal 233)

51. Sebagian ahli hikmah berkata, “Orang kaya


benci melihat anda memakai pakaian yang jelek
maka bencilah dia bila anda terlihat oleh orang
miskin dalam pakaian yang mewah.” (Al-Ihya
3/342)

52. Ka’ab bin Malik berkata, “Tidaklah Allah


memberikan karunia-Nya kepada seseorang di
dunia, kemudian ia bersyukur dan merendahkan
diri kepada Allah maka Allah akan menjadikan
karunia itu bermanfaat di dunia dan mengangkat
derajatnya di akhirat. Namun tidaklah Allah
memberikan karunianya kepada seseorang di
dunia kemudian ia tidak bersyukur dan tidak
merendahkan diri kepada Allah maka Allah akan
menjadikan karunia itu tidak bermanfaat di dunia
dan menyediakan baginya satu tempat di neraka,
jika Allah menghendaki Dia akan menyiksanya
atau mengampuninya.” (Al-Ihya 3/343)
53. Asy-Syatibi berkata, “Sesuatu yang paling
terakhir hilang dari orang-orang yang sholih
adalah keinginan untuk berkuasa dan keinginan
untuk tampil.” (Al-I’tisham oleh asy-Syatibi)

(Al-Ilmu)

54. Umar bin Khattab berkata, “Sesungguhnya saya


benci kepada orang yang berjalan sia-sia yaitu
tidak karena urusan dunia dan tidak pula akhirat.”
(Al-Adabusy Syari’at IV / 303)

55. Ibnu Mas’ud berkata, “Sungguh saya benar-


benar membenci orang yang menganggur tidak
beramal untuk dunia dan tidak pula untuk
akhirat.” (Bayan Fadhli ‘Ilmis salaf hal, 38)

56. Ibnul Qoyyim berkata, “Demi Allah hari demi


hari berjalan hanya untuk tidurmu bangunlah
agar kalian semua mendapatkan kesuksesan.” (Al-
Fawaid hal, 48)

57. Yahya bin Hubairoh berkata, “Waktu akan


semakin berharga bila engkau jaga dengan sebaik-
baiknya, aku lihat waktu itu sesuatu yang sering
disia-siakan.” (Aina nahnu min Akhlaqis salaf hal,
131)

58. Hasan Al-Bashri berkata, “Wahai anak


keturunan anak Adam sesungguhnya kamu terdiri
dari hari-hari, jika telah berlalu satu harimu maka
berlalu pula sebagian dari dirimu.” (Muhktashor
Minhajul Qosidin hal, 52)

59. Abu Hamid Al-Ghozali berkata, “Hendaknya


orang yang sedang menuntut ilmu meminimalisir
keterkaitan terhadap urusan dunia dan
menjauhkan diri dari keluarga dan kampung
halamannya, karena keterkaitan itu dapat
menyibukkan dan memalingkannya.” (Al-Jami’ fi
Tholabil Ilmi syarif III/51)

60. Amir Asy-Sya’bi berkata, “Kamu adalah


pemuda terbaik bila kamu selalu jujur dalam setiap
tutur kata.” (As-su’ur bil ‘ur hal, 120)
61. Hasan Al-Bashri berkata, “Ikhwan itu bagi
kami lebih berharga dari keluarga, keluarga hanya
akan mengingatkan kita kepada dunia sedangkan
ikhwan akan mengingatkan kita kepada akhirat.”
(Jahiroh Dho’fil iman hal, 15)

62. Ja’far bin Muhammad berkata, “Ikhwan yang


paling berat bagiku adalah yang membebaniku
dan aku merasa waspada terhadap dirinya,
sedangkan ikhwan yang paling ringan di dalam
hatiku adalah jika aku bersamanya sama seperti
waktu aku sendirian.” (Mukhtashor Minhajul
Qoidin hal, 41)

63. Ibnu Mas’ud berkata, “Tiga hal yang apabila


terdapat dalam diri seseorang maka Allah akan
memenuhi hatinya dengan keimanan, berteman
dengan orang faqih (Alim), membaca Al-Qur’an
dan berpuasa.” (Al-Adabis syari’ah III / 358)

64. Abu Abdillah Al-Khurosani berkata, “Siapa


yang meremehkan ulama, maka akan hilanglah
akhiratnya. Siapa yang meremehkan saudara
seiman maka akan sedikitlah orang yang
menolongnya. Siapa yang meremehkan penguasa
maka akan hilanglah dunianya.” (Al-Adabus
syari’ah III/539)

65. Umar bin Khattab berkata, “Janganlah


berteman dengan pelaku dosa hingga engkau akan
terbawa menjadi pelaku dosa.” (Syarhus Sunnnah
oleh Al-Baghowi XII/191)
66. Hatim Al-Asam berkata, “Tergesa-gesa itu dari
setan kecuali pada lima hal: (1) Menjamu tamu
apabila ia telah datang; (2) Mengurus jenazah
apabila telah meninggal; (3) Menikahkan seorang
gadis apabila telah berumur; (4) Membayar
hutang apabila telah menjadi kewajibannya; (5)
Bertaubat dari dosa apabila telah berbuat dosa.”
(Bariqoh Mahmudiyyah IV/136)

67. Abdur Rahman berkata, “Seseorang tidak akan


menjadi iman yang diikuti sampai ia mampu
menahan diri dari sebagian berita yang ia dengar.”
(Manhaj Ahlus – sunnah wal jama’ah fi naqdi wal
hukmi ‘alal akhorin, Hisaym bin Ismail hal,22)
68. Syaikhul islam Ibnu Taymiyah berkata,
“Pelajaran itu dengan kesempurnaan akhirnya
bukan kekurangan awal.” (Minhajus sunnah
VIII/412)

69. Ibnu Rojab al-Hanbali berkata, “Orang yang


obyektif dalam menilai orang lain adalah orang
yang bisa memaafkan sedikit kesalahan yang
diperbuat seseorang dalam kebenarannya yang
banyak.” (Al-Qowaidul Fiqhiyyah Ibnu Rojab I/2)

70. Ibnu Daqiqil ‘Ied berkata, “Kehormatan


manusia adalah salah satu lubang neraka yang
menjadi kubangan bagi orang yang menodainya
dan para hakim.” (Manhaju Ahlis sunnah wal
Jama’ah fin naqdi alal akhorin oleh Hisyam bin
Ismail ash-Shini hal, 20)

71. Ibrohim An-Nakho’i berkata, “Banyak menoleh


bukanlah termasuk dari harga diri, harga diri
adalah menjaga kehormatanmu, menghormati
temanmu dan tidur di rumahmu.” (Al-Adabus
Syari’ah II/335)

72. Hasan Al-Bashri berkata, “Sesungguhnya tanda


kemunafikan adalah bedanya lisan seseorang
dengan hatinnya.” (Ihya’ Ulumuddin I/133)

73. Al-Auza’I berkata, “Orang beriman itu sedikit


bicara dan banyak beramal sedangkan orang
munafik itu banyak bicara sedikit amal.” (Tanbihul
Ghofilin hal, 102)

74. Umar bin Khattab berkata, “Barangsiapa yang


banyak omongnya banyak pula keburukannya,
barangsiapa yang banyak keburukannya maka ia
banyak dosanya, dan barangsiapa yang banyak
dosanya maka neraka lebih layak baginya.”
(Jami’ul ulum wa Hikam I /135)

75. Imam Hasan Al-Bashri berkata, “Kafaroh


ghibah adalah memintakan ampunan untuk orang
yang engkau bicarakan.” (Majmu’ul fatawa oeh
Ibnu taymiyah III/182)
76. Ibnu Aun berkata, “Membicarakan aib manusia
adalah penyakit dan mengingat Allah adalah
obatnya.” (Manhaj Ahlus sunnah wal jama’ah fin
naqdi wal hukmi ‘alal akhorin oleh Hisyam bin
Ismail as-shayan hal 73)

77. Fudhail bin ‘Iyyad berkata, “Barangsiapa yang


suka untuk disebut-sebut namanya maka ia tidak
akan terkenal. Dan barangsiapa yang tidak suka
untuk disebut-sebut namanya maka ia akan
terkena.” (Siyar ‘alaminn nubala’ hal, 432)

78. ‘Aun bin Abdullah berkata, “Cukuplah


kesombongan itu menghilangkan kelebihan di
hadapan orang-orang di bawahmu.” (Shofatus
Shofwah III/201)
79. Imam Mujahid berkata, “Tiada mendapatkan
ilmu orang yang berlaku sewenang-wenang orang
yang sombong dan pemalu.” (Al-faqih wal
mutafaqqih II/300)

80. Wahb bin Munabbih berkata, “Peganglah salah


satu pesan dariku: (1) Jauhilah olehmu dari
mengikuti hawa nafsu. (2) Teman yang buruk. (3)
Dan bangga seseorang terhadap dirinya.” (Siyar
‘alamin Nubala’ IV/541)

81. Qotadah dan Al-Hasan berkata, “Dholim itu


ada tiga; dholim yang tidak diampuni, dholim yang
tidak ditinggalkan dan dholim yang diampuni.
Adapun dholim yang tidak diampuni adalah
menyekutukan Allah, sedangkan dholim yang
tidak ditinggalkan adalah kedholiman manusia
antara yang satu dengan yang lainnya, adapun
yang diampuni adalah kedholiman seseorang
hamba terhadap dirinnya sendiri untuk
mendekatkan diri kepada Allah.” (Al-Mushonnaf
oleh Abdur rozzaq hal, 20276)

82. Ibnul Qoyyim berkata, “Akar semua kesalahan


itu ada tiga hal: (1) Takabbur yang telah
menjerumuskan iblis kepada kedudukan yang
hina. (2) Tamak yang mengeluarkan Adam dari
surga. (3) Dan hasad yang telah menyebabkan
salah seorang anak Adam membunuh saudaranya.”
(Al-Fawaid hal, 64)
83. Imam As-Syafi’i berkata, “Kalau engkau
mengkhawatirkan sikap ujub atas amalmu maka
ingat ridho siapa yang menjadi tujuanmu dalam
kenikmatan mana engkau berharap dan dari siksa
mana yang engkau hindarkan. Barangsiapa yang
mengingat hal itu maka amal-amalnya akan
nampak kecil baginya.” (Siyar ‘Alamin Nubala’
X/42)

84. Masruq berkata, “Cukuplah dikatakan


seseorang itu pandai jika dia merasa takut kepada
Allah dan cukuplah seseorang itu dikatakan bodoh
jika ia merasa sombong dengan dirinya sendiri.”
(Tanbihul Ghofilin hal 229)
85. Ja’far bin Muhammad berkata, “Jauhilah oleh
kalian berdebat, perdalam dalam urusan agama,
karena ia menyibukkan hati dan menimbulkan
kemunafikan.” (Siyar ‘Alaminnubala VI/264)

86. Imam Syafi’I berkata, “Berdebat dalam masalah


agama dapat mengeraskan hati dan menimbulkan
kedengkian.” (Siyar ‘alamin nubala’ X/28)

87. Al-Barbahari berkata, “Majelis yang diadakan


untuk menyebarkan nasihat akan membuka pintu
faedah, sementara majelis yang diadakan untuk
berdebat akan menutup pintu faedah.” (Siyar
‘alamin nubala XV/19)
88. Hakim al-Ashom berkata, “Aku senang bila
orang yang mendebatku ternyata dia benar,
sebaliknya aku bersedih kalau orang yang
mendebatku ternyata ia keliru.” (Siyar
‘Alaminnubala’ X/33)

89. Imam Syafi’i berkata, “Sifat orang yang


membangkang dan menentang ketika aku
melakukan kebenaran maka hilanglah
kepercayaanku kepadanya dan setiap kebenaran
itu pasti aku segani dan benar-benar aku
mencintainya.” (Siyar Alamun nubala’ X/33)

90. Imam Ahmad berkata, “Manusia sangat


membutuhkan ilmu melebihi kebutuhannya
terhadap roti dan air, maka ilmu dibutuhkan oleh
manusia dalam setiap saat sedangkan roti dan air
dibutuhkan oleh manusia sekali atau dua kali
dalam sehari.” (Al-Adabus Syari’ah II/111)

91. Ibnu Abbas berkata, “Ulama terus menerus


meninggal dan jejak-jejak kebenaran terus
menghilang hingga banyaklah orang-orang
bodoh, para ulama telah hilang sekarang
merekapun beramal dengan kebodohan, beragama
dengan tidak benar dan sesat dari jalan yang
lurus.” (Khulukul muslim)

92. Maimun bin Mahron berkata, “Sesungguhnya


perumpamaan orang yang berilmu itu seperti
perumpamaan mata air tawar di sebuah negeri.”
(Jami’ul bayanil ilmi wa fadhlihi oleh ibnu abdil
bar hal 93)

93. Ibnu Abbas berkata, “Para ulama lebih tinggi


dari kaum mukminin dengan tujuh ratus derajat
jarak antara dua derajatnya seperti perjalanan
lima ratus tahun.” (Minhajul Qoshidin hal 10)

94. Abu Hazim (Salamah bin Dinar) berkata,


“Sesungguhnya sebaik-baik pemimpin adalah
yang mencintai para ulama’ dan sejelek-jelek
ulama adalah yang mencintai pemimpin.” (Siyar
‘alamin Nubala’ VI/328)

95. Abu Hibban At-Taimni berkata, “Ulama itu ada


tiga macam: (1) ulama yang mengetahui Allah
tetapi tidak mengetahui perintah Allah, (2) ulama
yang mengetahui perintah Allah tetapi tidak
mengetahui Allah, (3) ulama yang mengetahui
Allah dan mengetahui perintah Allah. Ulama yang
mengetahui Allah maksudnya adalah takut
kepadanya sedangkan ulama yang mengetahui
perintah Allah adalah yang mengetahui halal dan
haram.” (Majmu’ fatawa oleh Ibnu Taimiyah
II/207)

96. Abu Hurairoh berkata, “Tidak ada sesuatu yang


lebih berbahaya bagi ummat ini selain tiga hal: (1)
Cinta kepada dunia dan dirham; (2) Cinta
kedudukan; (3) Dan mendatangi pintu-pintu
penguasa.” (Tanbihul Ghofilin hal 245)
97. Sufyan bin Uyainah berkata, “Orang yang
menyimpang dari kalangan ulama bagaikan orang
Yahudi sedangkan yang menyimpang dari
kalangan ahli ibadah bagaikan orang Nashrani.”
(Al-Fatawa al-Kubro II/142)

98. Muhammad bin Ka’ab al-Kurtubi berkata,


“Apabila Allah menghendaki seseorang hamba
menjadi baik maka terdapat pada dirinya tiga sifat;
(1) Faqih terhadap urusan dinnya; (2) zuhud
terhadap dunia, (3) selalu melihat aib-aib dirinya.”
(Shifatus shofwah II/132)

99. Hasan Al-Bashri berkata, “Andaikan tidak ada


ulama tentu manusia tidak beda dengan binatang.”
(Minhajul qoshidin hal 15)
100. Mu’adz bin Jabal berkata, “Pelajarilah ilmu,
karena mempelajari ilmu Allah itu mencerminkan
ketakutan. Meraihnya merupakan ibadah, saling
mengkajinya dengan orang lain merupakan tasbih.
Mencarinnya merupakan jihad, mengajarkannya
kepada orang lain yang tidak tahu merupakan
sedekah. Dan mencurahkannya untuk anggota
keluarga merupakan taqorrub. Ilmu adalah
pendamping saat sendirian dan teman karib saat
sepi.” (Minhajul qoshidin hal 15)

101. Ibnu Mas’ud berkata, “Kalian (para sahabat)


berada pada masa di mana beramal lebih baik dari
pada berilmu. Akan datang suatu zaman di mana
berilmu lebih baik dari pada beramal.” (Tanbihul
Ghofilin hal 199)

102. Amru bin ‘Ash berkata, “Orang yang berakal


bukanlah orang yang sekedar mengetahui yang
baik dari yang buruk tetapi yang berakal adalah
orang yang mengetahui mana yang terbaik dari
dua kebaikan.” (Siyar ‘Alamin nubala’ III/74)

103. Ibnu Mas’ud berkata, “Hendaklah kalian


berilmu sebelum ilmu dilenyapkan, lenyapnya
ilmu dengan wafatnya orang yang
mengajarkannya. Seseorang tidak mungkin
dilahirkan dalam keadaan pandai, maka ilmu
didapati dengan belajar.” (Tahdzib mau’idhotil
mukminin hal 16)
104. Abdullah bin Mas’ud berkata, “Meninggalkan
seorang ulama merupakan sebuah celah dalam
Islam, dan tidak ada sesuatu yang bisa
menambalnya selama malam dan siang tidak bisa
bersatu.” (Syarhus sunnah I/244)

105. Muhammad bin Nadhor al-Haritsi berkata,


“Awal sebuah ilmu adalah (1) Diam. (2)
Mendengarkan. (3) Mengamalkan. (4)
Menghafalkan. (5) Menyebarkan.” (Makarimul
akhlak wa ma ‘alihah oleh Al-Khuroiti II/12)

106. Yazid bin Mu’awiyyah berkata, “Tiga hal yang


apabila ada pada diri seseorang mengindikasikan
kelemahan: (1) cepat memberi jawaban, (2)
panjang angan-angan, (3) tenggelam dalam canda
dan tawa.” (Al-Adabus Syari’ah I/180)

107. Abu Darda’ berkata, “Sesungguhnya sejelek-


jelek kedudukan manusia pada hari kiamat di sisi
Allah adalah orang yang berilmu namun tidak
mengamalkan ilmunya.” (Hayatus shohabah
III/244)

108. Wahb bin Munabbih berkata, “Permisalan


seorang yang belajar tetapi ia tidak mengamalkan
ilmunya seperti seorang dokter yang memiliki obat
namun tidak berobat dengannya.” (Al-Bidayah
wan Nihayah IX/225)
109. Ibnul Jauzi berkata, “Sifat ulama akhirat
adalah jauh dari penguasa dan tidak suka
berkumpul dengan mereka.” (Al-Adabus Syari’ah
IV/174)

110. Abu Darda’ berkata, “Perumpaan ulama’ di


tengah-tengah manusia seperti bintang di langit
yang menjadi petunjuk (bagi mereka).” (Siyar
‘alamin nubala’ oleh Adz-Dzahabi)111. Khatib Al-
Baghdadi berkata, “Manusia yang paling dekat
derajatnya dengan kenabian adalah ahlul ilmi dan
ahlul jihad. Ahlul ilmi adalah orang-orang yang
menunjuki manusia sesuai dengan apa yang
datang dari para rasul, sedangkan ahlul jihad
adalah orang-orang yang berjihad sesuai dengan
apa yang datang dari para rasul.” (Al-Faqih wal
Mutafaqqih I/35)
112. Imam Al-Auza’i berkata, “Ilmu itu adalah apa
yang datang dari sahabat Muhammad sedangkan
apa yang datang dari selain itu maka bukanlah
termasuk ilmu.” (Fadhlu ilmis salaf ‘ala ilmil kholaf
oleh Ibnu Rojab hal, 45)

113. Umar bin Abdul ‘Aziz berkata, “Jika engkau


mampu maka jadilah seorang ulama’, jika engkau
tidak mampu maka jadilah seorang penuntut ilmu,
jika engkau tidak mampu, maka cintailah mereka,
jika engkau tidak mampu maka janganlah engkau
membenci mereka.” (Jamiul’ bayanil ilmi wa
fadhlihi hal, 143)
114. Yahya bin Abi Katsur berkata, “Ilmu tidak
akan di dapat dengan bersantai-santai.” (Tadribur
rawi II/141)

115. Imam Adz-Dzahabi berkata, “Amanah adalah


bagian dari agama. Hafalan yang kuat masuk
dalam kategori cerdas maka yang dibutuhkan oleh
seorang hafidz adalah hendaknya ia seorang yang
bertaqwa, cerdas, ahli nahwu, ahli bahasa, bersih,
pemalu, bermanhaj salaf, mampu menulis dengan
tangannya 200 kitab, mampu mengambil intisari
dari kitab-kitab yang ada sebanyak 500 jilid, tidak
bosan dalam mencari ilmu sampai mati, dengan
niat ikhlas dan tawadhu’, bila tidak demikian maka
ia tidak akan mendapatkan ilmu.” (Siyar alamun
nubala’ XIII/380)
116. Umar Bin Khottob berkata, “Bersikap
tawadhulah terhadap guru kalian sebagaimana
juga bertawadu’ terhadap murid kalian dan
janganlah menjadi ulama’ yang angkuh.” (Al-
Adabus syari’ah I/243)

117. Sa’id bin Abdul ‘Aziz berkata, “Tidak ada


kebaikan dalam kehidupan ini kecuali untuk dua
orang, orang yang diam tetapi waspada dan orang
yang berbicara dengan bijaksana.” (Siyar ‘Alamin
nubala’ VIII/36)

118. Abu Yusuf berkata, “Mengetahui ilmu kalam


adalah kebodohan, dan tidak mengenal ilmu kalam
adalah ilmu, apabila seseorang sudah menjadi
gembong ilmu kalam ia dikenal sebagai orang
yang zindik. (munafik).” (Tahdzibus syarhil aqidah
Thohawiyyah hal, 396)

119. Iman Ahmad bin Hanbal berkata, “Tidak akan


beruntung selama-lamanya orang yang menekuni
ilmu kalam dan para tokoh ilmu kalam sama
dengan zindiq (munafik).” (Talbis Iblis hal 96)

120. Imam Syafi’I berkata, “Pendapatku, ahli kalam


itu hendaknya dipukul dengan pelepah kurmah
dan sandal, lalu diarak keliling kampung dan
suku-suku, lalu diteriaki; ‘Inilah balasan bagi
orang yang meninggalkan Al-Qur’an dan As-
Sunnah lalu berpaling kepada ilmu kalam’.”
(Tahdzibus syahril aqidatit thohawiyyah hal 397)
121. Imam Syafi’i berkata, “Setiap ilmu selain al-
Qur’an hanya menyibukkan, kecuali ilmu hadits
dan mendalami ilmu agama. Ilmu itu adalah yang
terdapat di dalamnya; haddatsana (telah
menceritakan hadits kepada kami) selain dari itu
hanya bisikan setan belaka).” (Tahdzib syarhil
aqidatit thohawiyyah hal, 397)

122. Fudhail bin ‘Iyyadh berkata, “Lima tanda


menyebabkan kebinasaan; (1) Kerasnya hati. (2)
Jalangnya pandangan. (3) Sedikitnya perasaan
malu. (4) Ambisi terhadap dunia. (5) Dan panjang
angan-angan.” (Tahdzib Madarijis Salikin II/261)
123. Ibnu Taimiyyah berkata, “Berhati-hatilah
kalian dari dua golongan manusia; (1) Orang yang
menuruti hawa nafsunya yang tertipu olehnya. (2)
Dan ahlu dunia yang telah ditenggelamkan oleh
dunianya.” (Iqtidhous Shirotul Mustaqim hal 5)

124. Wahb bin Munabbih berkata, “Isa putra


Maryam pernah berkata kepada pengikut setianya;
‘orang yang paling gelisah dengan musibah di
antara kalian adalah yang paling cinta terhadap
dunia’.” (Siyar alamin nubala’ IV/551)

125. Ibnu Mas’ud berkata, “Barangsiapa yang


menginginkan akhirat maka ia akan
mengorbankan dunianya. Barangsiapa yang
menginginkan dunia maka ia akan mengorbankan
akhiratnya. Wahai kaumku, korbankanlah yang
fana untuk akhirat nan abadi.” (Siyar alamin
nubala’ I/496)

126. Umar bin Khottob berkata, “Bimbinglah para


wanita dalam berpakaian sesungguhnya salah
seorang dari mereka apabila telah memiliki banyak
pakaian dan perhiasan yang bagus maka akan
membuat ia senang keluar rumah.” (Fathul qodir
IV/347)

127. Sa’id bin Musayyab berkata, “Setiap kali setan


putus asa menghadapi manusia, ia pasti
menggunakan godaan wanita. Dan tidak ada
sesuatu yang lebih aku khawatirkan dari pada
wanita.” (Shifatus shofwa II/80)
128. Mukhollad berkata, “Tidaklah Allah
memerintahkan sesuatu kepada hamba-Nya,
melainkan iblis menghambatnya dengan dua cara,
dan dia tak peduli dengan yang mana dia akan
berhasil mempengaruhinya, dengan sikap
berlebihan atau dengan sifat meremehkan.” (Talbis
iblis hal 42)

129. Hasan Shalih berkata, “Aku pernah


mendengar setan berkata kepada wanita; ‘Engkau
adalah separuh pasukanku, engkau adalah anak
panah yang aku luncurkan dan aku aku tak salah
sasaran, engkau adalah penyimpanan rahasiaku,
dan engkau adalah utusanku dalam urusanku.”
(Talbis iblis hal 41)
130. Al-Hasan berkata, “Janganlah kalian duduk
bersama ahli bid’ah, karena duduk dengan mereka
bisa menumbuhkan penyakit dalam hati.” (Al-
‘Ithishom I/90)

131. Al-Hasan berkata, “Janganlah kalian duduk


dengan para pengikut hawa nafsu, jangan
berdebat dengan mereka, dan jangan pula
mendengarkan perkataan mereka.” (Al-lalika’I
I/133, no 240)

132. Abdullah bin Ad-Dailami berkata,


“Sesungguhnya sebab pertama hilangnya agama
ini adalah meninggalkan sunnah. Agama ini akan
hilang dengan hilangnya sunnah demi sunnah
sebagaimana lepasnya tali seutas demi seutas.” (Al-
lalika’I I/93 no 127)

133. Ibnu Abbas berkata, “Tidak akan datang


kepada manusia suatu masa, kecuali manusia di
dalamnya melakukan bid’ah dan mematikan
sunnah, hingga bid’ah tersebar luas dan sunnah
pun punah.” (Al-‘Ithishom I/46)

134. Imam Al-Baghowi berkata, “Tidak boleh


menyembunyikan nasihat bagi kaum muslimin
baik yang baik maupun yang jahat dalam masalah
agama, siapa yang menyembunyikannya berarti
dia telah menipu kaum muslimin. Siapa yang telah
menipu agama berarti dia telah berkhianat kepada
Allah, rasul-Nya dan kaum muslimin.” (Syarhus
Sunnah hal 79)

135. Ibnu Rojab berkata, “Perkataan para salaf itu


sedikit tetapi banyak faedah, sedangkan perkataan
para kholaf itu banyak tetapi sedikit faedahnya.”
(Syarhu ‘Aqidah Thohawiyyah oleh Sholikh alu
sayik hal 124)

136. Hasan Al-Bashri berkata, “Orang-orang yang


sedang berdebat mereka itulah orang-orang yang
telah bosan beribadah, orang-orang yang telah
lemah akal dan sedikit sifat wara’nya.” (Kitab Az-
Zuhd hal 272)
137. Ibnu Mas’ud berkata, “Sungguh celaka siapa
yang tidak memiliki hati yang bisa digunakan
untuk mengenal yang ma’ruf dan mencegah yang
munkar.” (Ighotsatul Lahfan I/21)

138. Sebagian ahli hikmah berkata,


“Sesungguhnya di antara kelalaianmu adalah
ketika kamu berpaling dari Allah, yaitu ketika
engkau melihat sesuatu yang dapat membuatnya
murka, namun engkau membiarkannya, tidak
memerintahkan yang ma’ruf dan mencegah yang
munkar karena takut kepada sesuatu yang tidak
mampu mendatangkan bahaya dan manfaat.”
(Aina nahnu min akhlakis salaf hal 67)
139. Ibnu Qoyyim berkata, “Barangsiapa
meninggalkan amr ma’ruf dan nahi munkar
karena takut kepada makhluk maka akan dicabut
darinya rasa ketaatan.” (Al-jawabul kafi hal 129)

140. Ka’’ab berkata, “Barangsiapa banyak berdzikir


maka akan terlepas dari kemunafikan.” (al-
Wabilus shayyib oleh Ibnul Qoyyim hal 109)

141. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata,


“Dzikir itu bagi hati bagaikan air bagi ikan, maka
bagaimana jadinya bila ikan apabila terpisah
dengan airnya.” (Al-Wabilus shayyib oleh Ibnul
Qoyyim hal 110)
142. Luqman berkata, “Sesungguhnya
perumpamaan ahli dzikir dan orang yang lalai
adalah seperti cahaya dan kegelapan.” (Bidayah
wan nihayah IX/226)

143. Muthorrif bin Abdullah berkata,


“Bersungguh-sungguhlah kalian dalam beramal.
Jika yang terjadi sesuai dengan yang kita harapkan,
itu karena rahmat dan ampunan Allah. Kita
memiliki beberapa derajat di surga jika sesuatu
yang terjadi adalah perkara yang berat seperti
sesuatu yang kita takutkan dan khawatirkan. Kita
tidak boleh berkata, ‘Ya Roob keluarkanlah kami
niscaya kami akan mengerjakan amal shalih
berlainan dengan yang telah kami kerjakan’. (QS
Fathir 37) Namun kita katakana, ‘Sungguh kami
telah beramal namun semua amal kami tidak
berguna bagi kami’.” (Jami’ul ulm wal hikam hal
312)

144. Bakr Al-Mazni berkata, “Jika Engkau ingin


sholatmu bermanfaat bagi dirimu maka
berkatalah, ‘Barangkali aku tidak bisa sholat lagi
setelah ini’.” (jami’ul ulm wal hikam hal, 521)

145. Ibnu Mas’ud berkata, “Sungguh celaka yang


tidak memiliki hati yang bisa digunakan untuk
mengenal yang ma’ruf dan mencegah yang
munkar.” (Ighotsatul lahfan I/21)

146. Abu Abdur rahman berkata, “Sesungguhnya


di antara kelalaianmu adalah untuk kamu
berpaling dari Allah, yaitu ketika engkau melihat
sesuatu yang dapat membuatnya murka, namun
engkau membiarkannya, tidak memerintahkan
yang ma’ruf dan mencegah yang munkar karena
takut kepada sesuatu yang tidak mampu
mendatangkan bahaya dan manfaat.” (Aina nahnu
min akhlakis salaf hal 67)

147. Ibnu Qoyyim berkata: “Barangsiapa


meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar karena
takut kepada makhluk maka akan dicabut darinya
rasa ketaatan.” (al-Jawabul kafi 19)

148. Abu Ali Ad-Diqaq berkata, “Orang yang diam


dari kebenaran, maka dialah setan yang bisu.
Sedangkan orang yang berbicara dengan
kebatilanmu dialah setan yang berbicara.” (Sittu
Dzoror min ushuli akhi atsar hal 109)

149. Ka’ab berkata, “Barangsiapa yang banyak


berzikir kepada Allah maka akan terlepas dari
kemunafikan.” (al-Wabilus Sayyib oleh Ibnu
Qoyyim hal 109).

150. Syaikhhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata,


“Dzikir itu bagi hati bagaikan air bagi ikan maka
bagaimana jadinya bila ikan terpisah dengan air.”
(al-wabilus-shayih oleh Ibnu Qoyyim hal 110)

151. Luqman berkata, “Sesungguhnya


perumpamaan ahlu dzikir dan orang yang lalai
adalah seperti cahaya dan kegelapan.” (Bidayah wa
an-Nihayah oleh Ibnu Katsir IX /226).

152. Ibn ‘Aun berkata, “Mengingat manusia adalah


penyakit sedangkan mengingat Allah adalah obat.”
(Manhaj Ahli Sunnah wal Jama’ah fin naqd wal
hukum ‘ala akharim oleh Hisyam bin Ismail as-
Shayani hal 73)

153. Sebagian ahli hikmah berkata, “Kalau


seandainya saya mengetahui bahwa saya terlepas
dari kemunafikan, maka sungguh hal itu lebih saya
cintai dari pada melihat terbitnya matahari.” (az-
Zawajir Iqtirofil Kabair I/51)
154. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata,
“Karamah terbesar Allah konsisten dan istiqomah.”
(Madarijus solihin II/176)

155. Abu Bakar As-Shidiq berkata ketika ditanya


tentang istiqomah, “Janganlah engkau
menyekutukan Allah dengan sesuatu pun (yakni
keistiqomahan dalam memurnikan tauhid).”
(Bagyatul Qashidin 103)

156. Umar bin Khotob berkata, “Istiqomah ialah


anda konsisten dalam menjalankan perintah dan
meninggalkan larangan serta jangan menyimpang
seperti menyimpangnya kancil dan pelanduk.”
(Baghyatul Qosidin, hlm. 103)
157. Utsman bin Affan berkata, “Istiqomalah yakni
ikhlaskanlah setiap amalan hanya untuk Allah
semata.” (Bagyatul qosidin 103)

158. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata,


“Mereka istiqomah dalam hal mencintai dan
beribadah kepada-Nya. Dan mereka tidak
berpaling dari-Nya baik dalam keadaan senang
maupun susah.” (Madarijus sholihin II/104)

159. Umar bin Khotob berkata, “Amalan yang


paling utama adalah melaksanakan kewajiban dari
Allah, menjauhkan diri dari apa yang di
haramkan-Nya dan meluruskan niat untuk
mendapatkan pahala di sisi-Nya.” (at-Tazkiyah
Baina Ahli Sunnah ma Shufiyyah, hlm. 17)
160. Ibnu Mubarok berkata, “Banyak amalan kecil
menjadi besar pahalanya karena niat dan banyak
pula amalan besar menjadi kecil karena niat.”
(Jami’ul ulum wal hikam, hlm. 20)

161. Ibnu Qoyyim berkata, “Amal yang dilakukan


tanpa keikhlasan dan keteladanan (dari sunah)
bagaikan seorang musafir yang memenuhi
kantongnya dengan pasir sehingga memberatkan
tidak memberikan manfaat apa-apa baginya.” (al-
Fawaid, hlm. 55)

162. Rabi’ bin Uhutaim berkata, “Segala sesuatu


yang dilakukan tidak untuk mencari ridho Allah
pasti akan sia-sia.” (Shifatus shafwah III/61)
163. Umar bin Abdul ‘Aziz berkata, “Merenungkan
nikmat-nikmat Allah adalah ibadah yang paling
utama.” (Qaidah fil Mahabbah oleh Ibnu
Taymiyah, hlm. 18)

164. Badil bin Maisarah berkata, “Barangsiapa


yang mengetahui Rabbnya maka ia akan
mencintainya. Barangsiapa yang tahu tentang
dunia ia akan berlaku zuhud.” (Qaidah fil
Mahabbah oleh Ibnu Taimiyyah, hlm. 17)

165. Sebagian ahli hikmah berkata, “Pagi ini kami


diberi nikmat oleh Allah yang tidak terhingga
padahal kami banyak berbuat maksiat kepada-
Nya, kami tidak tahu terhadap nikmat yang mana
kami bersyukur, terhadap kebaikan yang
dimudahkan atau terhadap kejelekan (dosa-dosa)
yang ditutupi.” (al-Adab ad-Dunya wad din, hlm.
110)

166. Fudhail bin ‘Iyad berkata, “Hendaknya kalian


selalu bersyukur atas segala nikmat.” (Ikhya
ulumiddin IV/ 127)

167. Abul’Athiyyah berkata, “Janganlah engkau


merasa aman dari kematian walau sekejap atau
sehembusan nafaspun, walau engkau halangi
kedatangannya dengan pengawal dan penjaga.
Sungguh ia pasti datang kepada siapa saja yang
berbaju besi pun yang berperisai. Engkau berharap
selamat tanpa menempuh jalannya, padahal tiada
sampan yang berlayar di daratan.” (Adabud dunya
waddin, hlm. 146)

168. Abul Qasim berkata, “Siapa yang takut


terhadap sesuatu ia akan lari darinya. Tetapi, siapa
yang takut kepada Allah ia justru lari untuk
mendekati-Nya.” (Ihya Ulmuddin IV /15)

169. Abdullah bin Amr bin Ash berkata,


“Menangislah! Jika tidak bisa usahakan untuk
menangis. Demi Allah, jika salah seorang dari
kalian benar-benar mengerti, pastilah ia akan
berteriak sekeras-kerasnya hingga hilang
suaranya dan akan shalat sampai patah tulangnya.”
(Ihya’ Ulumuddin IV /163)
170. Abu Musa berkata, “Wahai manusia,
menangislah! Jika tidak bisa, maka berusahalah
untuk menangis. Sungguh penghuni neraka nanti
akan menangis menghabiskan air mata, dan
mereka pun menangis arah, hingga seandainya
sampan dilepaskan, pasti akan berlayar di atas
genangannya.” (Dzamul Hawa, hlm. 599)

171. Hasan al-Basri berkata, “Aku tidak


mendapatkan sedikt pun dari ibadah yang lebih
berat dari pada sholat di tengah malam. Ada
seseorang bertanya kepadanya, ‘Mengapa wajah
orang-orang yang rajin shalat malam wajah
mereka berseri-seri?’ Dia menjawab, ‘Karena
mereka suka menyendiri dengan Dzat Yang Maha
Pengasih, lalu dia memberinya sebagian dari
cahaya-Nya.’” (Ihya Ulumudin I/55)
172. Sufyan Ats-Tsauri berkata, “Aku tidak bisa
shalat malam selama lima bulan disebabkan oleh
dosa yang telah kuperbaut.” (Tazkiyatun Nafs, hlm.
66)

173. Ibnul Mubarak berkata, “Kala malam telah


gelap gulita, mereka mengadukan hati kepada-
Nya, malam berlalu, sedangkan mereka dalam
kondisi rukuk. Rasa takut telah mengusir
keinginan tidur mereka, sehingga mereka bangun
untuk shalat sedangkan orang-orang yang merasa
aman di dunia ini masih bermimpi.” (Minhajul
Qosidin, hlm. 64)
174. Abu Sulaiman berkata, “Orang yang
mendirikan shalat malam lebih merasa nikmat
pada malam harinya dari pada orang yang
bercanda, seandainya tidak ada waktu malam aku
tidak ingin hidup di dunia ini.” (Minhajul Qosihin)

175. Ibnul Munkadir berkata, “Tidak tersiksa dari


kelezatan dunia ini kecuali dalam tiga hal yaitu;
shalat malam, bertemu dengan ikhwan (saudara),
dan shalat berjamaah.” (Tazkiatunnafs, hlm. 67)

176. Hudzaifah bin Yaman berkata, “Urusan din


(agama) kalian yang pertama kali hilang adalah
kekhusyukan dan yang hilang terakhir dari din
kalian adalah shalat. Banyak orang yang
mengerjakan shalat namun tidak ada kebaikan di
dalamnya, hampir-hampir bila engkau masuk
masjid untuk berjamaah, maka engkau tidak
melihat seorang pun di antara mereka yang
khusyu.’” (Madarijus Salihin 1/521)

177. Hudzaifah bin Yaman berkata, “Jauhilah oleh


kalian khusyu’ nifak, Ada seorang yang bertanya;
Apakah itu khusyu’ nifak? Ia menjawab; Engkau
melihat jasadnya khusyu’ tetapi hatinya tidak
khusyu’.” (33 Sabban khusyu’, hlm. 2)

178. Sahl bin Sa’ad berkata, “Barangsiapa yang


khusyu’ hatinya (dalam shalat) maka setan tidak
akan mendekatinya.” (Tahdzib Madarijus Salihin)
179. Al-Hakim bin Uyainah berkata, “Barangsiapa
yang memperhatikan orang yang ada di sebelah
kanan dan kirinya pada waktu shalatnya maka
tidak ada shalat baginya.” (Tanbihul Ghofilin)

180. Ibnu Abbas berkata, “Dua rakaat yang


dilakukan dengan konsentrasi adalah lebih baik
dari pada shalat semalam suntuk, sedangkan
hatinya lalai.” (Mu’minin, hlm. 31)

181. Bakr al-Mazni berkata, “Jika engkau ingin


shalatmu bermanfaat bagimu, maka berkatalah,
‘Barang kali aku tidak bisa shalat setelah ini.’”
(Tahdzib mau’izhati muminin, hlm. 521)
182. Ibnu Mubarak berkata, “Aku melihat dosa-
dosa itu mematikan hati, membiasakannya
menyebabkannya kehinaan, meninggalkannya
adalah kehidupan bagi hati, selalu menjauhinya
adalah yang terbaik bagi mu.” (Tazkhiyatun nafs,
hlm. 33)

183. Ibnu Mas’ud berkata, “Kefakiran dan


keyakinan merupakan dua tunggangan, dan aku
tidak peduli mana yang akan aku jadikan
tunggangan jika fakir mu ada kesabaran di dalam
hatinya, dan jika kaya maka ada sedekah di
dalamnya.” (Tahzib madarijus salihin 2/604)

184. Al-Hasan berkata, “Kesabaran itu salah satu


dari simpanan yang baik. Allah tidak akan
memberikan kesabaran kecuali kepada hamba-
hamba yang mulia di sisi-Nya.” (Minhajul Qasidin,
hlm. 272)

185. Abdur Rahman bin ‘Auf berkata, “Kami diuji


dengan kesempitan dan kami pun bersabar.
Namun ketika dengan kelapangan justru kami tak
sabar.” (Minhajul Qasidin, hlm. 272)

186. Syaqiq Al-Balkhi berkata, “Barangsiapa


mengadukan suatu musibah kepada selain Allah,
maka selamanya ia tak akan mendapatkan dalam
hatinya manisnya ketaatan kepada Allah.”
(Minhajul Qasidin, hlm. 276)
187. Zuhair bin Nu’aim berkata, “Sesungguhnya
urusan din ini tidak akan sempurna melainkan
dengan 2 hal: (1) Kesabaran dan (2) Keyakinan.
Tidak akan sempurna keyakinan kalau tidak ada
kesabaran. Dan tidak akan sempurna kesabaran
tanpa keyakinan.” (Shifatus Shafwah, hlm. 418)

188. Abu Thalib bin Abdus Sami’ berkata, “Sabar


dalam kesusahan akan mendapat manfaat.”
(Tahdzib Siyaru A’lamin Nubala’ IV \ 1363)

189. Qatadah berkata, “Sesungguhnya al-Qur’an


ini memberikan peetunjuk kepadamu tentang
penyakitmu dan obat penangkalnya. Ada pun
penyakitnya adalah dosa-dosamu, sedangkan
obatnya adalah istighfar.” (Tazkiyatun Nafs, hlm.
51)

190. Fudhail bin ‘Iyadh berkata, “Istighfar yang


tidak disertai penghentian dari berbuat dosa
merupakan taubatnya para pendusta.” (Tahdzibu
Mau’izhatil Mu’minin, hlm. 74)

191. ‘Aisyah berkata, “Beruntunglah orang-orang


yang mendapati dalam catatan amal perbuatannya
memuat istighfar yang banyak.” (Tazkiyatun Nafs,
hlm. 51)

192. Ali bin Abi Thalib berkata, “Allah tidak akan


memberikan ilham kepada seorang hamba-Nya
untuk beristighfar, sedangkan Dia hendak
memberikan adzab kepadanya.” (Tazkiyatun Nafs,
hlm. 52)

193. Al-Hasan berkata, “Dzikir itu ada dua macam,


yaitu dzikir kepada Allah antara dirimu dan Allah.
Alangkah baiknya dan besar pula pahalanya, akan
tetapi dzikir yang lebih utama dari itu adalah
berdzikir kepada Allah kala menghadapi sesuatu
yang diharamkan oleh-Nya.” (Tahdzibu
Mau’izhatil Mu’minin, hlm. 69)

194. Fudhail bin ‘Iyadh berkata, “Sesungguhnya


rumah yang disebut nama Allah di dalamnya,
maka dzikir itu akan menerangi pemilik rumah
sebagaimana lampu yang menerangi rumah yang
gelap. Sedangkan rumah yang tidak pernah
disebut nama Allah di dalamnya akan
menggelapkan pemiliknya.” (Tanbihul Ghafilin,
hlm. 186)

195. Umar bin Al-Khathab berkata,


“Sesungguhnya kewajiban saya bukanlah
mengabulkan doa, tetapi kewajiban saya adalah
berdoa. Apabila saya dikaruniai untuk berdoa saya
mengetahui bahwa terkabulnya doa akan
menyertainya.” (Kitab Taisiril ‘Azizil Hamid, hlm.
179)

196. Muhammad bin Wasi’ berkata, “Jika seorang


hamba menghadapkan hatinya kepada Allah,
maka Allah akan menghadapkan hati para
hambanya kepada-Nya.” (Siyaru A’lamin Nubala’
VI/344)

197. Hafidz Hakami berkata, “Tanda cinta seorang


hamba kepada Rabbnya adalah mendahulukan
cinta kepada-Nya meskipun hal itu bertentangan
dengan hawa nafsunya, membenci apa yang
dibenci Rabbnya meskipun nafsunya condong
kepadanya. Loyal kepada orang yang loyal kepada
Allah dan rasul-Nya loyal kepadanya, memusuhi
orang yang memusuhi-Nya, mengikuti sunnah
Rasul-Nya, menapaki atsarnya dan menerima
petunjuknya.” (Ma’harijul Qabul II/424)
198. Anas bin Malik berkata, “Tanda-tanda cinta
kepada Allah adalah senang berdzikir kepada
Allah.” (Jami’ul Hadits XIV/224)

199. Fudhail bin ‘Iyadh berkata, “Berbahagialah


orang yang dibenci manusia sedangkan Allah
menyayanginyaa.” (Jami’ul ‘Ulum wal Hakam I/38)

200. Ibnul Mubarak berkata, “Engkau bermaksiat


kepada Allah, tetapi katamu engkau mencintai-
Nya. Sungguh ini adalah analogi keliru. Kalaulah
benar benar cintamu kepada-Nya engkau pasti
menaati-Nya, sebab pencinta itu pasti taat pada
yang dicintainya.” (Ihya ‘Ulumuddin IV/331)
201. Ibnu Mas’ud berkata, “Cukuplah rasa takut
kepada Allah itu sebagai ilmu dan cukuplah
durhaka kepada Allah itu sebagai kebodohan.” (Al-
Mawariduzh Zham’an, hlm. 143)

202. Fudhail bin ‘Iyadh berkata, “Barangsiapa yang


takut kepada Allah, tidak ada seorang pun yang
membahayakannya. Barangsiapa yang takut
kepada selain Allah, tiada seorang pun yang akan
bermanfaat baginya.” (Siyaru A’lamin Nubala’
VII/634)

203. Fudhail bin ‘Iyadh berkata, “Ahlus sunnah itu


adalah orang yang tahu betul apa yang masuk ke
perutnya adalah sesuatu yang halal.” (al-Wala’ wal
Bara’, hlm. 110)
204. Ibnul Qoyyim berkata, “Barangsiapa yang
menginginkan bersihnya hati hendaknya ia lebih
mengutamakan Allah atas syahwatnya.” (Al-
Fawaid, hlm. 98)

205. Ibnul Qoyyim berkata, “Azam adalah tekad


yang kuat di atas jalan yang ditempuh, dan
menghindari segala rintangan dan sesuatu yang
menghalangi, serta menempuh segala sesuatu yang
menghantarkan kepadanya. Sejauh mana
kesempurnaan perhatiannya dan kesadarannya
tentang hal itu, maka sejauh itulah kekuatan
azamnya. Dan sejauh mana kekuatan azamnya
maka sejauh itulah persiapannya.” (Madarijus
Salikin I/117)
206. Imam Malik menasihati Imam Syafi’i dengan
mengatakan, “Sesungguhnya aku melihat Allah
telah menganugerahkan dalam hatimu cahaya,
maka janganlah engkau padamkan ia dengan
beerbuat maksiat.” (Jawaabul Kafi, hlm. 140)

207. Imam Syafi’i berkata, “Aku mengadu kepada


Waki’ mengenai buruknya hafalanku, maka ia
menunjukiku agar meninggalkan maksiat.
Ketahuilah bahwa ilmu itu karunia, dan karunia
Allah tidak akan diberikan kepada orang yang
berbuat maksiat.” (Jawaabul Kafi, hlm. 140)

208. Ibnul Mubarak berkata, “Bukanlah perusak


din ini adalah para raja, sedangkan pendeta yang
buruk adalah para rahibnya.” (Tahdzibu Syarhil
‘Aqidatith Thohawiyah, hlm. 326)

209. Ibnul Mubarak berkata, “Aku melihat dosa


mematikan hati, dan meninggalkan dosa dapat
menghidupkan hati.” (Ad-Da’u wad Dawa’u, hlm.
79)

210. Hudzaifah bin Yaman berkata, “Jika seseorang


melakukan dosa, maka dalam hatinya (terdapat)
titik hitam yang menyebabkan hatinya menjadi
seperti kambing yang buta.” (Ad-Da’u wad
Dawa’u, hlm. 7)

211. Ibnu ‘Abbas dan para salaf berkata,


“Permisalan mereka dalam kemunafikan seperti
seseorang yang menyalakan api di malam yang
gelap dengan ketakutan, kemudian terlihatlah
cahaya di sekitarnya, dan ia tetap berhati-hati dari
apa yang ia takuti, secara tiba-tiba, padamlah api
itu. Tinggallah ia dalam kegelapan, ketakutan dan
kebingungan. Seperti itulah orang-orang munafik.
Mereka menampakkan keimanan mereka, demi
keselamatan harta dan anak mereka, menikahi
orang-orang yang beriman dan mendapat warisan
dan ghanimah. Itulah cahaya mereka. Jika mereka
mati, mereka kembali kepada kegelapan dan rasa
takut.” (Ijma’u Juyusyil Islamiyah oleh Ibnu
Qoyyim, hlm. 39)

212. Asy-Sya’bi berkata, “Dinamakan hawa nafsu


karena ia menjerumuskan (ahwa) pelakunya ke
neraka.” (Tanbihul ghafilin, hlm. 261)
213. Mujahid berkata, “Aku tidak tahu nikmat
mana yang lebih besar yang dianugerahkan Allah
kepadaku, apakah Allah menunjuki Islam atau
menyelamatkan aku dari hawa nafsu ini.”
(Tanbihul ghafilin, hlm. 261)

214. Ibnul Qoyyim berkata, “Waspadalah kalian


dari dua tipe manusia, pengikut nafsu yang
diperbudak oleh hawa nafsunya dan pemburu
dunia yang telah dibutakan (hatinya) lantaran
dunia (yang telah dicapainya).” (Ighatsatul lahfan
oleh Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah II/586)

215. Ali bin Abi Thalib berkata, “Dunia adalah


negeri kebenaran bagi orang yang
membenarkannya. Negeri Keberuntungan bagi
orang yang memahaminya. Negeri kecukupan bagi
orang yang berbekal darinya, tempat turunnya
wahyu Allah. Tempat sholat para malaikat-Nya,
Masjid para nabinya, dan tempat berdagang para
wali-Nya. Di dalamnya mereka beruntung dengan
mendapatkan rahmat dan bekerja di dalamnya,
maka siapakah yang akan mencelanya.” (Tashiluth
thariah oleh Ibnu Syinah, hlm. 70)

216. Imam Syafi’i berkata, “Nyanyian merupakan


permainan yang makruh yang menyerupai
kebatilan dan kesia-siaan, barangsiapa
melakukannya maka ia adalah orang bodoh yang
tertolak kesaksiannya.” (Ihya Ulumiddin II/269)
217. Imam Ahmad berkata, “Nyanyian itu akan
menimbulkan kemunafikan dalam hati.”

218. Ibnu Mas’ud berkata, “Nyanyian itu


menumbuhkan kemunafikan di dalam hati, seperti
air yang menumbuhkan tanaman.” (Bariqah
mahmudiah 14/477)

219. Muhammad bin Al-Hanafiyah berkata,


“Orang-orang yang santun dan menjaga
kehormatan diri tidak akan berbuat bodoh dan jika
mereka di perlakukan secara bodoh maka mereka
mampu menahan marah.” (Madarijus Salihin, hlm.
340)
220. Al-Hasan berkata, “Belajar hadits di waktu
kecil bagaikan mengukir di atas batu.” (Jami’ Bayan
al-Ilmi wa fadhilihi, hlm. 99)

221. Umar bin Khattab berkata, “Pahamilah ilmu


agama ini sebelum tua.” (Disebutkan oleh al-
Bukhori dengan sanad mu’allaq dalam kitabul
‘ilmi)

222. Ali bin Abi Thalib berkata, “Ilmu itu dipanggil


dengan mengamalkannya, bila dipanggil ia akan
menjawab dan jika tidak ia akan pergi.” (al-Jami’
II/1321).

223. Ibnu Mas’ud berkata, “Dahulu salah seorang


dari kami jika telah mempelajari sepuluh ayat, ia
tidak akan pindah dari ayat-ayat tersebut kecuali
setelah mengetahui maknanya dan
mengamalkannya.” (Tafsir Ibnu katsir I/2).

224. Bisyr Al-Hafi berkata, “Tunaikanlah zakat


hadits (caranya) amalkanlah dari setiap dua ratus
hadits lima hadits.” (Adab al-Imla’ wa al-Istimla’,
hlm. 10).

225. Adz-Dzhabi berkata, “Hari ini tidak tersisa


dari ilmu-ilmu yang sedikit ini kecuali sangat
sedikit dan pada orang-orang tertentu saja. Begitu
sedikitnya orang yang mengamalkan di antara
mereka yang berilmu sedikit itu, cukuplah Allah
bagi kami dan Dialah sebaik-baik penolong.”
(Tadzkiratul Huffadz oleh Adz-Dzahabi II/1031).
226. Sebagian ulama salaf berkata, “Sikap
menunda-nunda adalah termasuk tentara setan.”
(Iqthidha’ Ilmi al-Amal oleh al-Khatib al-Bagthadi,
hlm. 114).

227. Ibnul Qoyyim berkata, “Sesungguhnya


berangan-angan itu adalah senjata utama iblis
(untuk menggoda manusia).” (Madarijus Salikin
I/456-457)

228. Muhammad bin Samuroh berkata, “Wahai


saudaraku! Janganlah sifat menunda-nunda
menguasai jiwamu dan tertanam dalam hatimu.
Karena sifat menunda-nunda membuat lesu dan
menyebabkan kerusakan hati. Sikap menunda-
nunda memendekkan umur kita dan ajal pun
segera tiba. Sesungguhnya apabila anda
melakukan hal ini, anda benar-benar telah
mengurangi semangatmu, melemahkan cita-
citamu dan menjadikan dirimu kembali pada
kebosanan yang telah pergi darimu. Ketika ia
membuatmu bosan kembali, tubuhmu pun tidak
akan berguna bagimu. Karena itu wahai,
Saudaraku! Bersegeralah anda, sebelum didahului
dan cepatlah sebelum terlambat, bersungguh-
sungguhlah, karena permasalahan yang anda
hadapi penuh dengan keseriusan, bangkitlah dari
tidurmu dan sadarlah dari kelalaianmu! Ingatlah
apa yang telah anda kerjakan, anda sepelekan,
anda sia-siakan, anda hasilkan dan yang telah
anda lakukan, sesungguhnya semua itu akan
dicatat dan dihitung, sehingga seolah-olah anda
terkejut dengannya dan sadar dengan apa yang
anda lakukan, atau menyesali apa yang anda sia-
siakan.” (Iqtidhoul ilmi wal amal oleh Al-Khotib,
hlm. 114).

229. Al-Hasan Al-Bashri berkata, “Wahai, Anak


Adam! Sesungguhnya engkau adalah hari-hari
yang telah anda lalui. Setiap berlalu satu hari maka
hilanglah sebagian dari dirimu.” (Hilyatul Auliya’
II/148)

230. Al-Hasan Al-Bashri berkata, “Tak ada satu


haripun pada saat fajar terbit kecuali ia berseru,
‘Wahai, Anak Adam! Saya adalah makhluk yang
baru dan anda menyaksikan apa yang anda
amalkan, maka gunakanlah dirimu ini untuk
mencari bekalmu. Karena apabila saya telah
berlalu, saya tidak akan kembali lagi hingga hari
kiamat.’” (Hilyatul Auliya’ II/147)

231. Al-Kholil bin Ahmad berkata, “Waktu itu ada


tiga bagian: untuk waktu yang telah berlalu
darimu dan takkan kembali, waktu yang sedang
engkau alami maka lihatlah bagaimana ia akan
berlalu darimu, dan waktu yang engkau tunggu
yang bisa jadi engkau takkan mendapatkannya.”
(Thobaqot Al-Hanabilah 1/288)

232. Muhammad bin Abdul Baqi’ berkata, “Saya


tidak pernah menyia-nyiakan waktu yang telah
berlalu dari umurku untuk bermain-main dan
yang sia-sia.” (Siyar Alamin nubala’ XX/26)
233. Daud bin Hindun berkata, “Dahulu sewaktu
masih kecil, saya berkeliling pasar, ketika pulang,
saya usahakan diriku untuk berdzikir pada Allah
hingga pada tempat tertentu, jika saya telah sampai
pada tempat itu saya usahakan diriku untuk
berdzikir kepada Allah hingga pada tempat
selanjutnya, hingga di rumah.” (Siyar ‘Alamin
nubala’ XX/378)

234. Ibnul Qoyyim berkata, “Berkumpul bersama


teman itu terbagi dua: salah satunya adalah
berkumpul bersama mereka untuk saling bekerja
sama dalam berusaha menuju keberhasilan hidup
untuk saling menasihati tentang kebenaran dan
kesabaran, hal ini termasuk perbuatan yang paling
mulia dan bermanfaat, tapi dalam hal ini ada tiga
bahaya: Saling berbasa-basi, berbicara, dan
berkumpul dengan mereka lebih dari keperluan,
hal itu akan menjadi sebuah kecenderungan hati
dan suatu kabiasaan sehingga menghalanginya
dari tujuan utamanya.” (Al-Fawaid, hlm. 51)

235. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata,


“Ummat ini telah menguasai berbagai bidang ilmu
dengan baik. Orang yang hatinya diberi cahaya
oleh Allah maka ia akan diberi petunjuk dengan
apa yang telah ia kuasai dari ilmu tersebut. Dan
orang yang dibutakan Allah, tidaklah buku-buku
yang ia miliki kecuali menjadikan dirinya semakin
bingung dan tersesat.” (Majmu’ah Ar-Rosail al-
Kubaro 1/239)
236. Imam Adz-Dzahabi berkata, “Sesungguhnya
ilmu bukanlah banyaknya riwayat, tapi Ilmu
adalah cahaya yang di pancarkan oleh Allah ke
dalam hati, dan syarat mendapatkannya ialah
dengan ittiba’ (mengikuti sunnah Nabi) dan
meninggalkan hawa nafsu dan bid’ah.” (Siyar
‘Alamin nubala’ XIII/323)

237. Sufyan berkata, “Barangsiapa yang menikah


sesungguhnya ia mengarungi lautan. Jika diberi
anak maka dengan kehadiran anak tersebut
pikiran telah terpecah.” (Tadzkiratu as-Sami’, hlm.
72)
238. Adz-Dzhabi berkata, “Apabila sebuah kota
tidak terdapat ulama dalam satu tahun, pasti
peradaban kota akan merosot.” (Syiar ‘alamin An-
nubala’IX/504)

239. As-Sya’bi berkata, “Ilmu itu didapat dengan


tidak menggantungkan diri kepada orang lain, dan
tetap berjalan di berbagai negeri. Sabar
sebagaimana bersabarnya keledai dan bersegera
mencarinya sebagaimana bersegeranya burung
gagak (di pagi hari).” (Ar-rihlah Fittholub al-
Hadits, hlm. 196).

240. Ahmad bin Sinan berkata dalam majelis


Abdurrahman bin Mahdi, “Tidak ada seorangpun
yang berbicara, tak ada pena yang diraut, dan tidak
ada seorangpun yang berdiri. Seolah-olah diatas
mereka ada burung atau seolah-olah mereka
sedang sholat.” (Tadzkiratul Huffadz I/331)

241. Ahmad bin Sinan berkata, “Tidak ada yang


berbicara dalam majelis Abdurrahman. Tak ada
pula pena yang diraut, tak ada seorang pun yang
tersenyum, tak ada yang berdiri, seolah-olah di
atas kepala mereka terdapat burung atau seolah-
olah mereka sedang shalat, jika ia melihat salah
satu di antara mereka tersenyum atau berbicara ia
memakai sandalnya dan keluar.” (Siyar’ alamin
Nubala’IX/201-202).

242. Imam Nawawi berkata, “Saya telah mencatat


semua hal-hal yang berhubungan dengan
pelajaran, berupa permasalahan-permasalahan
rumit, keterangan jelas dan bahasa-bahasa yang
tepat, sehingga Allah memberkahi waktuku.”
(Tadzkirotul huffadz 1/1470).

243. Imam Mujahid berkata, “Tidak belajar ilmu


orang yang malu dan orang yang sombong.” (HR
Bukhori dalam kitab Al-ilmi 1/26)

244. Imam Malik berkata, “Jika engkau berada di


sebuah kaum kemudian engkau bergaul dengan
sesuatu yang tidak mereka ketahui maka
merekapun akan memulainya dengan sesuatu
yang tidak kamu sukai.” (Siyar Alamin Nubala’
XI/177)
245. Ahnaf bin Qois berkata, “Celaan itu lebih baik
dari pada iri.” (Siyar Alamin Nubala’ IV/94)

246. Sebagian ahli hikmah berkata, “Ingat,


katakanlah kepada orang yang hasad kepadaku,
Tahukah kamu kepada siapa kamu berbuat jelek,
kamu berbuat jelek kepada Allah dengan apa yang
diperbuat-Nya karena kamu tidak rela dengan apa
yang telah diberikan kepadaku.” (Sbulus Salam
IV/181)

247. Sebagian ahli hikmah berkata, “Apabila


seseorang memberikan kepadamu suatu pelajaran
dari sebuah ilmu maka abadikanlah rasa terima
kasihmu kepadanya dan katakanlah, ‘Semoga
Allah membalas kebaikan kepadanya atas apa yang
diberikan kepadaku’. Buanglah rasa hasad dan
sombong.” (Dzail Thobaqot al-Hanabilah II/87)

248. Imam Nawawi berkata, “Di antara berkahnya


ilmu adalah menisbahkan keutamaan kepada
ahlinya.” (Bustan Arifin, hlm. 28)

249. Sebagian ahli hikmah berkata, “Tidaklah


seorang itu bertakwa sehingga ia menjadikan
dirinya lebih ia koreksi dari pada mengoreksi
temannya, ia mengetahui dari Allah ia
memperoleh pahalanya, makanan dan
minumnya.” (Siyar Alamin Nubala’ V/74)

250. Ibnul Qoyyim berkata, “Ketika ingin tidur


hendaknya seseorang duduk sejenak untuk
mengintrospeksi tentang hal-hal yang
menguntungkan dan merugikan dirinya pada hari
itu, lalu ia bertaubat dengan sebenarnya kepada
Allah kemudian ia tidur dengan taubat itu, dan
hendaknya hal ini dilakukan setiap malam.” (Ar-
Ruh 1/345)

251. Sebagian ulama salaf berkata, “Seseorang itu


dapat mengetahui apa yang ada pada dirinya
dalam tiga waktu, di antaranya adalah ketika dia
berbaring di atas tidurnya.” (Al-Farj ba’da as-
Sayyidah 1/308)

252. Sebagian ahli hikmah berkata, “Orang yang


berakal adalah orang yang mengenal dirinya dan
tidak tertipu dengan pujian orang yang tidak
mengenal hakikat dirinya.” (Dzail Thobaqot al
Hanabilah 1/148)

253. Abdur Ar-Rohman Al-Muharibi berkata,


“Sebaiknya hadist ini disampaikan seorang
pendidik sehingga mereka mendidik anak-
anaknya di tempat para penulis.” (Sunan Ibnu
Majah II/1363)

254. Sebagian ahli hikmah berkata, “Anak kecil itu


tumbuh dewasa berdasarkan pendidikan orang
tuanya karena pohon itu tumbuh di atas akarnya.”
(Adabud dunya wa ad-din, hlm. 334)

255. Ali berkata, “Ajarilah keluargamu tentang


kebaikan.” (At-Targhib wa At-Tartib 1/76)
256. Al-Bukhori berkata, “Agama ini bukanlah
dengan perkataan seseorang tetapi dengan hadits
dan riwayat.” (Syarah Ashabul hadits, hlm. 65)

257. Ibrohin an-Nakho’i berkata, “Dahulu mereka


memukul kami karena tidak jujur dalam
persaksian dan tidak menempati janji padahal
kami masih kecil.” (Taisir Aziz al-Hamid, hlm. 716,
ketika menafsiri surat at-Tahrim: 6)

258. Salman berkata, “Orang yang melakukan


sholat isya lalu mengambil kesesatan dari kelalaian
orang lain dan gelapnya malam dengan
menundukkan kepalanya dalam melakukan sholat
maka dia adalah orang yang mendapatkan
kebaikan dan tidak mendapatkan keburukan,
adapun orang yang tidur maka dialah yang tidak
mendapatkan kebaikan dan tidak tertimpa
keburukan.” (Ringkasan kitab qiyamull lail
almarwazi, hlm. 12)

259. Umar berkata, “Melakukan sholat subuh


dengan berjama’ah lebih aku sukai dari pada
melakukan sholat malam.” (Al-Muwattho’, kitab
as-Sholah, hlm. 101)

260. Sulaiman At-Tamimi berkata, “Sesungguhnya


jika anda membiasakan mata untuk tidur maka ia
akan terbiasa dengannya.” (Mukhtashor qiyamul
lail oleh al-Marwazi, hlm. 55)
261. Zaid bin Aslam berkata, “Seseorang datang
kepada Abu Dujanah ketika ia sedang sakit,
sementara wajahnya berseri-seri kala itu.
Dikatakan kepadanya: ‘Kenapa wajahmu berseri-
seri?’ Ia menjawab, ‘Tidak ada satu amalpun yang
lebih aku percaya di sisiku dari pada yang dua: Aku
tidak pernah berbicara dengan sesuatu yang tidak
bermanfaat bagiku, ada pun yang lainnya adalah
hatiku selalu baik kepada orang-orang muslim.”
(Siyar ‘alamin nubala’ 1/243)

262. Yahya berkata, “Tidaklah aku melihat sesuatu


kesalahanpun pada seseorang kecuali aku
menutupinya. Senang sekali jika aku bisa
membantu urusannya. Tidaklah aku melihat
seseorang dengan kejelekan pada dirinya kecuali
aku akan menjelaskannya, di mana hanya aku dan
dirinya yang mengetahui, (Syukur) Jika ia bisa
menerimanya. Jika tidak, maka aku
meninggalkannya.” (Siyar ‘alamin Nubala’ XI/83)

263. Hasan bin Sahl berkata, “Telah diwajibkan


atasmu mengeluarkan zakat segala hal yang aku
miliki dan zakat kedudukanku adalah memberikan
pertolongan dan syafaat, jika kamu memiliki
(sesuatu) maka bersikaplah dermawan jika tak
sanggup maka berusahalah semampumu untuk
memberikan manfaat.” (Hidayah al-arib al-amjad
li ashab ar-riwayah an al imam ahmad, hlm. 163)

264. ‘Auf bin Nu’man berkata, “Di zaman jahiliyah


seseorang mati karena kehausan itu lebih baik dari
pada harus melanggar janji.” (Tajrid asma’ as-
shohabah oleh adzahabi hal, 429, adab alimlak wa
alistimla’, hlm. 41)

265. Salman berkata, “Ketahuilah sesungguhnya


kebaikan bukan dengan banyaknya harta dan
anak, tapi kebaikan itu dengan agungnya sifat
penyantun yang kamu miliki, dengan kemanfaatan
ilmumu dan sesungguhnya tanah yang disucikan
sama sekali tidak melakukan sesuatu untuk
seseorang. Maka beramallah seakan-akan kamu
diawasi, dan persiapkanlah dirimu untuk
menghadapi kematian.” (Siyar alamin nubala’
1/548)

266. Seseorang berselisih dengan al-Ahnaf, dia


berkata, “Seandainya kamu mengatakan satu kata
niscaya kamu akan mendengarkan sepuluh kata
lalu Ahnaf berkata, ‘Tapi jika kamu mengatakan
sepuluh kata maka kamu tidak akan
mendengarkan satu kata pun.’” (Siyar alamin
nubala’ IV/93)

267. Imam Syafi’i berkata, “Demi Allah seandainya


aku mengetahui sesungguhnya air yang dingin
bisa memperburuk kehormatanku niscaya aku
tidak akan meminumnya kecuali dalam keadaan
panas.” (Manaqib as-syafi’iyyah oleh ar-Rozi, hlm.
85)

268. Imam Ibnu Hazm berkata, “Barangsiapa


diberi cobaan dengan sikap berbangga diri, maka
pikirkanlah aib dirinya sendiri. Lalu jika dia
berbangga dengan segala keutamaannya maka
selidikilah akhlak jelek yang ada padanya.
Kemudian jika semua aibnya tidak bisa ia lihat
sehingga ia menyangka tidak memiliki aib, maka
ketahuilah sesungguhnya musibah dirinya itu
selamanya. Sesungguhnya ia adalah orang yang
paling lengkap kekurangannya, paling besar
kecacatannya dan paling lemah. Dia adalah orang
yang paling lemah akal lagi bodoh, sementara tidak
ada aib yang lebih besar dari pada hal ini. Karena
sesungguhnya orang yang berakal adalah orang
yang bisa mengetahui aib dirinya, sehingga ia bisa
menundukkannya dan berusaha untuk
menghancurkannya. Ada pun orang bodoh adalah
orang yang tidak mengetahui aib dirinya. Bisa jadi
karena kurang ilmunya, kurang kemampuan
dalam membedakan sesuatu dan lemah kekuatan
berpikirnya, atau karena dia memperkirakan
bahwa aib-aibnya itu beragam.” (Al-akhlak wa as-
siyar fi mudawah an-nufus, hlm. 66)

269. Ibnu Hazm berkata, “Ketahuilah


sesungguhnya orang yang mengukur bahwa
dalam dirinya ada sesuatu yang menakjubkan atau
dia mengira sesungguhnya ia memiliki keutamaan
dari pada orang lain maka perhatikanlah
kesabarannya ketika kegalauan datang padanya
tiba-tiba. Pikirkan juga musibah, rasa sakit dan
penyakit atau petaka (secara umum). Jika ia
melihat bahwa dirinya kurang bersabar, maka
ketahuilah sesungguhnya orang-orang yang
ditimpa musibah dari kalangan orang-orang yang
terkena penyakit kulit juga para penyabar. Orang
lain lebih utama darinya, meski kedudukan
mereka lebih terbelakang. Jika ia melihat bahwa
dirinya penyabar, maka ketahuilah sesungguhnya
ia bukan orang yang lebih dahulu dari pada orang
yang telah kami sebutkan, melainkan orang yang
datang terakhir, atau sama dengan mereka dan
tidak mungkin lebih.” (Al-Akhlak wa as-siyar fi
mudawah an-nufus, hlm. 66)

270. Haram bin Hayyan berkata, “Tidaklah


seseorang menghadap Allah dengan hatinya
kecuali Allah akan mengalihkan hati manusia
kepadanya, sehingga dia dikaruniai rasa kasih
sayang dari mereka.” (Siyar ‘alamin nubala’ IV/49)

271. Sa’id Az-zubaidi berkata, “Aku tidak kagum


kepada para qori’ yang menebarkan tawa kepada
orang lain sementara di depanku dia bermuka
masam. Dia mengungkit-ungkit ibadahnya
kepadaku, semoga Allah tidak memperbanyak
qori’ semacam ini.” (Mukhtasor qiyam al-alil oleh
almarwazi)

272. Imam Syafi’i berkata, “Terlalu tertutup kepada


orang lain bisa menimbulkan permusuhan terlalu
terbuka kepada mereka bisa menarik teman-teman
yang tidak baik. Maka jadilah engkau di antara
orang yang terlalu tertutup dan terlalu terbuka.”
(Siyar ‘Alamin Nubala X/89)

273. Sebagian ahli hikmah berkata, “Orang yang


banyak tertawa dan tersenyum hendaknya
menguranginya dan menganggap diri jelek
karenanya, agar tidak menjadikan orang lain
muak. Hendaknya orang yang sering bermuka
masam dan tertutup untuk membiasakan
tersenyum, memperbaiki akhlaknya dan
menjadikan dirinya benci terhadap perangai
buruk. Sungguh segala penyimpangan dari sikap
yang menengah adalah tercela hendaklah diri itu
diarahkan dengan sungguh-sungguh dan bina.”
(Siyar ‘Alamin Nubala X/140-141)

274. Muhammad bin Muzahim berkata,


“Keberkahan ilmu yang pertama adalah
meminjamkan buku.” (Adab al-Imlak wa al-
istimla’, hlm. 175)
275. Malik berkata, “Di antara kefaqihan seorang
alim adalah bahwa dia berkata, ‘Aku tidak tahu,
semoga kebaikan telah dipersiapkan baginya.’”
(Al-Adabus Syari’ah II/64)

276. Al-Ghozali berkata, “Seandainya dia diam


terhadap apa yang tidak ia ketahui niscaya akan
sedikit perbedaan pendapat. Barangsiapa pendek
kemampuannya dan sempit pandangannya dari
berbagai perkataan para ulama umat dan
penela’ahnya maka ia sama sekali tidak berhak
untuk berkata dalam hal yang tidak ia ketahui dan
berkecimpung dalam hal yang tidak bermanfaat
baginya. Orang yang seperti ini mestinya diam.”
(Al-Hawi li alfatawa II/116)
277. Malik berkata, “Semestinya seseorang itu
tidak berbicara kecuali dalam hal yang ia pahami.”
(At-tarotib al-idariyyah 1/404)

278. Ibnu Mas’ud berkata, “Hendaknya seorang


penghafal Al-Qur’an mengetahui malamnya
ketika orang lain sedang tidur, siangnya ketika
orang lain sedang berbuka, waro’nya ketika orang
lain bercampur baur, kerendahan hatinya ketika
orang lain angkuh, kesedihannya ketika orang lain
bersuka ria, tangisannya ketika orang lain tertawa
dan diamnya ketika orang lain banya bicara.” (HR
Al-Ajuri dalam akhlak ahlul Qur’an, hlm. 102)

279. Imam Ibnu Hazm berkata, “Orang yang


memujimu dengan sesuatu yang tidak ada padamu
(pada hakikatnya) ia telah menyampaikan celaan
dengan bagus karena ia mengingatkanmu akan
kekuranganmu. Dan orang yang mencela apa yang
tidak ada pada dirimu (pada hakikatnya) telah
memujimu dengan baik.” (Al-Akhlak wa as-siyar
oleh ibnu hazm, hlm. 38-39)

280. Ibnul Qoyyim berkata, “Sesungguhnya lisan


itu tidak akan mungkin diam saja, ia akan
berdzikir, kalau tidak maka akan bicara sia-sia ia
pasti akan mengerjakan di antara dua hal tersebut,
begitu juga jiwa jika tidak engkau sibukkan
dengan yang hak maka ia akan sibuk dengan yang
batil. Hatipun demikian, jika ia tidak diisi dengan
kecintaan kepada Allah maka ia akan diisi dengan
kecintaan kepada makhluk dan itu pasti lisannya
pun juga, jika tidak sibuk dengan berdzikir, maka
akan sibuk dengan ucapan sia-sia yang demikian
tadi pasti akan terjadi pada dirimu. Maka pilihlah
untuk dirimu di antara dua kedudukan tersebut.”
(Al-Wabil wa al-Shoyyib, hlm. 166-167)

281. Imam Ibnu Sa’di berkata, “Tidak akan


sempurna usaha untuk menyukai dan mencitai
kebenaran kecuali dengan meninggalkan
keinginan untuk menyukai kejelekan dan
melawan hawa nafsu yang memerintahkan kepada
kejelekan maka jika seorang hamba mampu
menjaga diri dari tergelincir ke dalam fitnah-
fitnah syubhat dan syahwat niscaya sempurnalah
keimanan dan kuatlah keyakinan.” (At-Taudhih
wa al-bayan oleh Ibnu as-Sa’di, hlm. 37)
282. Imam Ibnu Sa’di berkata, “Barangsiapa
bersiap sedia untuk melakukan suatu amalan,
niscaya akan dibukakanlah untuknya kunci-kunci
perbendaharaan ilmu dan keimanan sesuai
dengan kadar kebenaran dan keikhlasannya.” (At-
Taudhih wa al-Bayan oleh Ibnu Sa’di, hlm. 36-37)

283. Imam Ibnu Sa’di berkata, “Orang mukmin


adalah orang yang dapat mengambil manfaat yang
sangat besar dari peringatan dan dari majelis
dzikir.” (At-Taudhih wa al-Bayan oleh Ibnu Sa’di,
hlm. 37)

284. Ibnu Jauzi berkata, “Salah satu faedah


mengetahui kejahatan adalah agar tidak
terperosok kepadanya.” (Talbis iblis, hlm. 4)
285. Imam al-Qodhi ‘Iyyadh berkata,
“Meninggalkan karena manusia adalah riya’ dan
beramal karena manusia adalah syirik sedangkan
ikhlas adalah apabila Allah menyelamatkan
engkau dari keduanya.” (Madarijus salikin oleh
Ibnul Qoyyim 2/91)

286. Al-Fudhail bin ‘Iyyadh berkata,


“Sesungguhnya amalan itu apabila sudah ikhlas
tetapi tidak benar, tidak akan diterima. Dan apabila
sudah benar tetapi tidak ikhlas juga tidak akan
diterima. Baru akan diterima bila dikerjakan
dengan ikhlas dan benar. Ikhlas untuk Allah dan
benar karena sesuai dengan as-Sunnah.”
(Madarijus salikin oleh Ibnul qoyyim 2/89)
287. Imam Ibnu Qudama berkata, “Penyakit
manusia itu ada tiga: (1) senang pada manisnya
pujian dan sanjungan, (2) takut kepada celaan, (3)
tamak terhadap apa yang dimiliki orang lain.”
(Mukhtashor Minhajul Qosidin oleh Ibnu Qudama
221-222)

288. Sebagian ahli hikmah berkata, “Perangi


nafsumu untuk menjauhkan sebab-sebab riya’ dan
semangatlah dalam berusaha agar manusia
seolah-olah hewan ternak atau anak kecil dalam
pandanganmu sehingga engkau tidak membeda-
bedakan dalam ibadahmu, ibadah atau tidaknya
mereka, dan tahu atau tidaknya mereka ibadah itu
hendaknya engkau merasa cukup dengan ilmu
Allah satu-satunya.” (Al-Ikhlas wa syirku asghor,
hlm. 15)

289. Ibrahim at-Taimi berkata, “Setiap saya


menghadapkan ucapan saya kepada amalan saya,
saya khawatir saya termasuk pendusta.” (Fathul
Bari 1/110)

290. Al-Hasan berkata, “Tidak ada yang takut


kemunafikan melainkan seorang mukmin dan
tidak ada yang merasa aman darinya melainkan
munafik.” (HR al-Bukhori dengan al-Fath i/111)

291. Abu Darda’ berkata, “Sungguh seandainya


aku merasa yakin bahwa Allah menerima satu
sholatku itu lebih aku sukai dari pada dunia dan
seisinya.” (Tafsir Ibnu Katsir 2/41)

292. Imam Adz-Dzahabi berkata, “Untuk


selamanya seorang muslim tidak lebih bergabung
dalam majelis-majelis ilmu kalam dan tidak pula
ilmu yang mengajarkan perdebatan.” (Syarhul
Hilyah oleh al-Utsaimin, hlm. 15)

293. Imam Marfu’ al-Kurkhi berkata, “Jika Allah


menghendaki pada seorang hamba kebaikan maka
dia akan membukakan baginya pintu amalan dan
Dia tutup darinya pintu jadal (Debat kusir), dan
jika Allah menghendaki pada seorang hamba
kejelekan Dia akan menutup darinya pintu amalan
dan Dia bukakan baginya pintu jadal (Debat
kusir).” (Hilyatul auliya’ oleh Ibnu Nu’aim
VIII/361)

294. Sebagian ahli hikmah berkata, “Ilmu tidak


akan memberikan kepadamu sebagiannya hingga
kamu memberikan dirimu seluruhnya kepadanya.”
(Tadzkirotus Sami’ wal Mutakallimin oleh Ibnu
Jama’ah)

295. Imam Ahmad bin Hanbal berkata, “Saya


sangat berkeinginan keluar di pagi hari (Fajar)
untun mendengarkan hadits sedangkan ibu saya
memegangi baju saya dan berkata: ‘Tunggu dulu
hingga adzan subuh berkumandang’. Terkadang
saya berangkat ke majelis Abu Bakar bin Iyyas di
pagi buta.” (Manaqib imam Ahmad bin Hanbal
oleh Ibnul Jauzi)

296. Ibnu ‘Uqail al-Hanbali berkata, “Saya


persingkat waktu makan saya sesingkat mungkin
sehingga saya memilih kue basah dari pada roti
tawar kering karena antara keduanya ada
perbedaan waktu dalam mengunyahnya yang
cukup untuk menela’ah dan menulis ilmu yang
belum saya dapatkan.” (Kaifa tatahammas fi tolabil
ilmi, hlm. 114)

297. Bisyir al-Harits berkata, “Apabila ingin


memahami dan menghafal ilmu maka
tinggalkanlah maksiat.” (Al-Jami’ li akhlakir Rowi
wa adabis sami’ oleh imam al-Khotib al-baghdadi
II/258)

298. Syekh Musthofa as-Siba’i berkata, “Apabila


anda ingin bermaksiat maka ingatkan diri anda
kepada pengawasan Allah, dan apabila tidak bisa
maka ingatkanlah dengan kejelekan maksiat itu
bila ia diketahui oleh orang lain, apabila juga tidak
bisa maka ketahuilah pada saat itu anda telah
berubah menjadi seekor binatang.” (Hakadza
alllamatnil hayah oleh Musthofa as-Siba’i)

299. Imam Ibnul Qoyyim berkata, “Sesungguhnya


setiap orang yang lebih mengutamakan dunia dari
pada ilmu dan lebih mencintainya, maka dia pasti
akan berkata, ‘Semua firman Allah dan
ketetapannya adalah tidak benar karena hukum-
hukumnya bertentangan dengan keinginan
kebanyakan manusia apalagi para penguasa dan
para pengikut syahwat-syahwat. Sekali-kali
keinginan mereka tidak akan pernah terpenuhi
kecuali dengan melanggar yang hak dan
menolaknya.’” (Kaifa tatahammas fi tholabil ilmi,
hlm. 123)

300. Isa Bin Maryam berkata, “Wahai para qurro’


dan ulama’! Bagaimana mungkin kalian tersesat
setelah kalian berilmu? Bagaimana mungkin
kalian buta padahal kalian melihat? Hanya gara-
gara dunia yang rendah dan syahwat yang hina?
Maka kecelakaan yang besarlah bagi kalian.”
(Alilmul jasim oleh al-Muhalhil)
301. Sebagian ahli hikmah berkata, “Seorang
ulama’ adalah dokter agama dan dirham adalah
penyakit agama, apabila seorang dokter sakit
kapan dia mengobati orang lain.” (Tadzkirotul
huffadz oleh imam Adz-Dzahabi 1/204)

302. Abdullah bin Mas’ud berkata, “Demi Allah


yang tidak ada ilah yang berhak untuk di ibadahi
dengan hak kecuali Dia, Tidak ada di muka bumi
ini sesuatu yang lebih berhak dikekang dibanding
dengan lisan.” (Al-Fawaid oleh Ibnul Qoyyim)

303. Sebagian ahli hikmah berkata, “Setiap sesuatu


yang anda isi akan menjadi penuh kecuali hati
semakin diisi semakin kosong.” (Kaifa tatahammas
fi tholabil imi, hlm. 267)

304. Imam az-Zuhri berkata, “Sesungguhnya ada


seseorang yang menuntut ilmu sedang hatinya
bagaikan bukit yang gersang (kemampuannya
menghafal sangat sedikit dan sangat lemah) tetapi
lama kelamaan dia akan menjadi lembah yang
subur, (dikarenakan banyak muroja’ah) tidak ada
satu ilmu yang sampai kepadanya melainkan
dihafalnya dengan segera.” (Al-hatsu ‘ala tholabil
ilmi oleh abu hilal al-Asykari)

305. Abu Hilal berkata, “Pada awalnya menghafal


merupakan sesuatu yang sangat bagi saya
kemudian saya membiasakan diri (dengan
mengulang-ngulang pelajaran berklali-kali)
hingga saya bisa menghafal sya’ir ru’bah bin alajjaj
dalam satu malam yang berjumlah sekitar 200
bait.” (Kaifa tatahammas fi tholabil ilmi, hlm. 267)

306. Imam Az-Zarnuji berkata, “Hendaknya


seorang penuntut ilmu menyiapkan dirinya dan
meluangkan waktunya untuk mengulang-ngulang
pelajaran karena ilmu tidak akan bisa menetap di
dalam jiwanya sehingga dia melakukan yang
demikian. Hendaknya dia mengulang-ngulang
pelajaran hari ini satu kali (dalam sehari), yang
dipelajari sehari sebelumnya empat kali dan yang
sebelumnya tiga kali dan yang sebelumnya lagi dua
kali dan yang sebelum-sebelumnya lagi sangat
membantu dalam menghafal.” (Ta’limul
muta’allim oleh az-Zarnuji)
307. Imam Ibnul Qoyyim berkata, “Seorang yang
mukhlis (ikhlas) tidak akan pernah puas dengan
amalnya. Dia tidak pernah puas dengan apa yang
telah dilakukannya untuk Allah walau hanya
sekejap mata. Dia malu bertemu Allah dengan
amalnya, selalu berburuk sangka pada dirinya
terhadap amal perbuatannya, senantiasa
membenci dirinya dan selalu berusaha untuk tidak
puas dengan amalnya.” (Kaifa tatahammas fi
tholabil ilmi, hlm. 252)

308. Imam Malik bin Dinar berkata, “Apabila


disebutkan orang-orang sholih sedangkan saya
tidak termasuk dalam golongan mereka maka
celakalah saya.” (Kaifa tatahammas fi tholabil imi,
hlm. 253)

309. Umar bin Khottob berkata, “Berhati-hatilah


dari banyak makan karena ia akan memberatkan
di waktu hidup dan menjijikkan setelah mati.”
(Tahfidzul kulub oleh Adz-Dzimari)

310. Lukman Al-Hakim berkata kepada putranya,


“Wahai anakku apabila engkau penuhi
lambungmu maka ia akan menutup pikiranmu,
pelajaran akan tertahan dan anggota badan akan
lemas untuk beribadah.” (Tahfidzul kulub)
311. Imam Syafi’i berkata, “Saya tidak pernah
kenyang selama enam belas tahun kecuali hanya
sekali saja.” (Tahfidzul qulub)

312. Imam Hammad bin Salamah berkata,


“Barangsiapa yang belajar hadits untuk selain
Allah maka ia telah ditipu.” (al-Jami’ li akhlakir
rowi wa adabis sami’ juz 1 oleh al-Khotib al-
Baghdadi)

313. Abu Yusuf berkata, “Wahai manusia!


Berharaplah dengan ilmumu keridhoan Allah,
sesungguhnya saya tidak pernah duduk di sebuah
majelis dengan niat agar dipuji sebaliknya ketika
berdiri saya (sering) mendapatkan celaan.” (Abul
Qo’qo’ kaifa tatahammas fi tholabil ilmi)
314. Ali bin Abi Tholib berkata, “Kebahagiaan
(keberkahan) Ilmu terletak pada pengamalannya,
jika pemiliknya mengamalkannya, tidak berarti ia
telah melepaskan ilmu itu dari dirinya.”
(Iqthidhoul ilmi wal amal oleh Khotib al-Baghdadi
oleh Syekh Albani)

315. Ibnu Mas’ud berkata, “Wahai manusia


barangsiapa yang ditanya tentang ilmu yang ia
ketahui maka jawablah, dan barangsiapa yang
tidak mengetahui jawabannya maka hendaklah ia
mengatakan Allahu ‘Alam (Allah lebih tahu)
karena sesungguhnya termasuk ilmu adalah
seseorang yang berkata apa yang tidak
diketahuinya dengan Allahu ‘alam.” (Jami’ bayanil
ilmi oleh Ibnu abdil barr II/52)

316. Abdullah bin Mas’ud berkata, “Termasuk


tanda kefaqihan seseorang adalah mengucapkan
Allahu ‘alam terhadap sesuatu yang tidak ia
ketahui.” (Jami’ bayanil ilmi II/52)

317. Abdullah bin Mas’ud berkata, “Sesungguhnya


yang berfatwa terhadap semua pertanyaan yang
diajukan kepadanya maka sesungguhnya ia adalah
orang gila.” (Jami’ bayanil ilmi wal amal II /52)

318. Ali bin Abi Tholib berkata, “Apabila kalian


ditanya tentang sesuatu yang tidak kalian ketahui
maka larilah, maka mereka bertanya, ‘Wahai
Amirul mukminin bagaimana cara larinya?’ Ia
menjawab, ‘Engkau mengatakan Allahu ‘alam’.”
(Dikeluarkan oleh Ad-Darimi)

319. Malik bin Anas berkata, “Tidaklah ada


seorangpun setelah nabi melainkan pendapatnya
bisa diambil dan ditinggalkan.” (Irsayadus sholih
II/227)

320. Imam Syafi’i berkata, “Ikutilah ia (sunnah


Rasulullah) dan janganlah engkau menoleh pada
ucapan seorang pun.” (Dzammul kalam oleh al-
harwaih III/47)

321. Imam Ibnu Hazm berkata, “Para ulama


bersepakat akan wajibnya memuliakan ahli
qur’an, ahli islam dan nabi, demikian pula wajib
hukumnya memuliakan para kholifah, pemilik
keutamaan dan orang-orang yang berilmu.” (al-
Adabus Syari’ah 1/408)

322. Imam Nawawi berkata, “Sudah selayaknya


seorang murid memperhatikan gurunya dengan
sikap penuh hormat dan sudah selayaknya pula ia
meyakini keahlian gurunya dibandingkan dengan
lainnya, karena hal itu akan mengantarkan untuk
mendapatkan manfaat yang banyak dari gurunya
dan lebih membekas dalam hatinya terhadap apa
yang ia dengar darinya.” (al-Majmu’ Syarhul
Muhadzdzab 1/85)
323. Imam al-khothib al-Baghdadi berkata, “Wajib
atas seorang murid untuk mengakui kelebihan
gurunya dan hendaknya pula ia menyadari bahwa
dirinya telah banyak mengambil manfaat darinya.”
(Khotib al-Baghdadi al-Faqih wal Mutafaqqih
1/96)

324. Ibnul Jama’ah al-Kinani berkata, “Hendaknya


seorang murid mengenal hak-hak gurunya dan
jangan melupakan jasa-jasanya.” (Tadzkirotus
sami’, hlm. 90)

325. Imam Ibnul Jama’ah al-Kinani berkata,


“Hendaknya seorang penuntut ilmu mendoakan
kebaikan untuk gurunya sepanjang masa,
memperhatikan anak-anaknya, kerabatnya dan
menunaikan hak-haknya apabila ia telah wafat.”
(Tadzkirotus sami, hlm. 91)

326. Ibnul Jama’ah berkata, “Hendaknya seorang


murid mengetahui bahwa bersikap tawadhu’
kepada guru adalah kemuliaan dan tunduknya
adalah kebanggaan.” (Tadzkirotus sami’, hlm. 88)

327. Ibnu Mu’taz berkata, “Orang yang


merendahkan dirinya dalam tholabul ilmi adalah
orang yang paling banyak ilmunya sebagaimana
bejana yang rendah adalah bejana yang paling
banyak airnya.” (Adab at-talamudz, hlm. 32)

328. Ibnul Jama’ah al-Kinani berkata, “Hendaknya


seorang penuntut ilmu tidak mencukupkan diri
dengan belajar guru-guru senior (terkenal) saja,
karena hal itu dianggap oleh imam Al-ghozali
termasuk kesombongan dan kebodohan.
Ketahuilah bahwa hikmah bagaikan barang hilang
yang dicari oleh seorang mukmin dia akan
mengambilnya di mana pun dia mendapatkannya
dan berterima kasih kepada orang yang
memberikannya kepadanya. Demikian pula
seorang penuntut ilmu akan berlari dari
kebodohan sebagaimana ia berlari dari singa dan
orang yang berlari dari singa tidak akan peduli
kepada siapapun orang yang menunjukkan jalan
keluar dan keselamatan kepadanya.” (Tadzkirotus
sami, hlm. 87)

329. Sebagian ahli hikmah berkata, “Hendaknya


seorang penuntut ilmu meneladani akhlak,
kepribadian, dan kebiasaan dan ibadah gurunya.”
(Tadzkirotus sami’, hlm. 86)

330. Imam as-Syatibi berkata, “Hendaknya


seseorang tidak mengikuti kecuali ulama yang
terpercaya (tsiqoh) selalu menegakkan hujjah dan
paham terhadap hukum-hukum syar’i baik secara
garis besar maupun terperinci. Perkara-perkara
yang menyelisihi syari’at tidak boleh dijadikan
hakim dan kesalahan-kesalahannya tidak boleh
dicontoh dan ditiru.” (Al-‘itishom oleh Imam as-
Syathibi 1/535)

331. Imam Nawawi berkata, “Janganlah kalian


mendatangi guru kalian ketika guru kalian dalam
keadaan sibuk, sedih, lelah, atau lainnya karena hal
itu akan menyebabkan dia kurang serius untuk
menyampaikan pelajaran kepadamu.” (Al-Majmu’
Syarhul muhadzdzab 1/86)

332. Imam Ibnul Qoyyim berkata, “Barangsiapa


memiliki ilmu dia akan mengetahui dengan pasti
bahwa orang yang mempunyai peran dan
pengaruh dalam islam pada dasarnya ia sama
seperti ahli islam yang lain. Kadangkala ia bisa
tergelincir dan bersalah. Orang yang semacam ini
diberi udzur bahkan bisa mendapatkan pahala
karena ijtihadnya. Orang lain tidak boleh
mengikuti ketergelincirannya dan tidak
diperkenankan melecehkan kedudukannya di
depan umum.” (‘Ilamul muwaqqi’in III/295)
333. Ibnul Jama’ah berkata, “Hendaknya seorang
murid ketika berada dalam majelis ilmu
mencurahkan perhatiannya, tidak menyibukkan
diri dengan hal-hal lain selain tholabul ilmi,
mengkonsentrasikan seluruh pikirannya, tidak
mengantuk, marah, haus, lapar, dan lain
sebagainya, yang demikian itu agar hatinya benar-
benar siap menerima dan memahami ilmu yang
disampaikan kepadanya.” (Tadzkirotus sami’, hlm.
96)

334. Imam Hasan al-Bashri berkata, “Apabila


engkau berada dalam majelis ilmu dengarkanlah
dan jangan berbicara, belajarlah bagaimana
mendengarkan dengan baik sebagaimana engkau
belajar dengan baik dan jangan sekali-kali engkau
memutus pembicaraan orang lain.” (Adab at-
Talammudz, hlm. 43)

335. Syekh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin


berkata, “Duduklah dengan sopan dan jangan
engkau luruskan kakimu di hadapannya karena ini
termasuk yang tercela apalagi di majelis ilmu, lain
halnya jika engkau duduk di tempat umum maka
hal ini lebih ringan kesalahannya.” (At-ta’liq as-
samin, hlm. 181)

336. Isa bin Maryam berkata, “Bertemanlah


dengan orang yang apabila anda melihatnya ia
akan mengingatkan anda kepada Allah, dan
apabila ia berbicara ia akan menambah
pengetahuan anda serta mendorong anda untuk
beramal meraih akhirat.” (Kaifa tatahammas Hi
tholabil ilmi\182)

337. Ahmad bin Harb berkata, “Saya beribadah


kepada Allah selama 50 tahun tanpa pernah
merasakan nikmatnya ibadah sehingga saya
meninggalkan 3 tiga hal: (1) saya meninggalkan
keridhoan manusia di saat saya berbicara tentang
kebenaran, (2) saya tidak berkumpul dengan orang
fasik sehingga saya bisa bergaul dengan orang-
orang soleh, (3) saya meninggalkan kenikmatan
dunia sehingga saya merasakan nikmatnya
akhirat.” (Siyar’alamin nubala’ XI\32)
338. Sebagian ahli hikmah berkata, “Apabila anda
berada di tengah manusia maka bertemanlah
dengan orang yang terbaik di antara mereka,
jangan bergaul dengan orang jahat karena anda
akan menjadi jahat. Kepada seseorang jangan
ditanya tentang ikhwal dirinya tapi bertanyalah
kepada temannya, karena setiap teman akan
mengikuti teman sepergaulannya.” (Kaifa
tatahammas fi tholalabil ilmi hal 183)

339. Imam Auza’i berkata: “Ilmu yang bermanfaat


adalah ilmu yang dibawa oleh para sahabat,
Muhammad, adapun yang selain itu maka
bukanlah ilmu.” (Jami’ul bayanil ilmi wa hadhlihi
oleh Ibnu Abdil Barr II/29)
340. Imam Hasan al-Bashri berkata:
“Sesungguhnya yang disebut dengan faqih adalah
orang yang tidak hasad kepada orang yang berada
di atasnya tidak mencela orang yang berada di
bawahnya, dan tidak mengambil upah atas ilmu
yang diajarkan Allah kepadanya.” (Az-Zuhd hal
267)

341. Sebagian ahli hikmah berkata: “Barangasiapa


yang takut kepada Allah maka ketahuilah dia
adalah seorang yang berilmu dan barangsiapa
yang bermaksiat kepadanya maka ketahuilah dia
adalah seorang yang jahil (bodoh).” (Al-Hilyah
oleh Abu Nu’aim II/147)
342. Imam Hasan Al-Bashri berkata:
“Sesungguhnya yang disebut faqih adalah orang
yang zuhud di dunia dan cinta terhadap akhirat,
mengetahui agamanya dan selalu menekuni
ibadah terhadap Roobnya.” (Az-zuhd 267)

343. ‘Ali bin Abi Tholib berkata: “Tidaklah orang


yang mulia itu seperti orang yang hina dan tidak
pula orang yang cerdik itu semacam orang yang
bodoh. Nilai seseorang itu setiap kali dia bisa
menguasai sesuatu dengan baik.” (Thoriq Baghdad
ketika menyebut biografi Ahmad bin abdul jalil)

344. Sebagian ahli hikmah berkata: “Menuntut


ilmu dengan baik ini tidak akan bisa dicapai oleh
orang yang banyak keluarga serta berkedudukan
tinggi, hanya orang yang sedang sendirian yang
mampu mencapainya. (Syarah kitab hilyah tholabil
ilmi hal, 108 oleh Syekh Muhammad bin Sholih al-
Utsaimin)

345. Sebagian ahli hikmah berkata: “Jika engkau


tidak mampu melakukan sesuatu maka
tinggalkanlah. Dan lanjutkan pada yang engkau
mampu melakukannya.” (Syarah kitab hilyah
tholabil ilmi hal, 143, oleh Syekh Muhammad bin
Sholih al-Utsaimin)

346. Umar bin Khotthob berkata: “Belajarlah


kalian sebelum menjadi pemimpin karena
seseorang kalau sudah menjadi pemimpin maka
akan banyak urusannya, lalu pikirannya pun
banyak bercabang, sehingga konsentrasinya pun
buyar. Saat dia ingin mengerjakan sesuatu tiba-
tiba ada keperluan lain yang jauh lebih mendesak
dari yang akan dia kerjakan sebelumnya maka dia
pun harus mengurungkan niatnya. Oleh karena itu
bersungguh-sungguhlah engkau dalam belajar
mumpung engkau masih punya waktu longgar,
tela’ah, belajar dan bahaslah serta jadikan
lembaran-lembaran kitab itu sesuatu yang
menjadi rutinitas pandangan matamu. Ketahuilah
bahwasanya kalau engkau terbiasa dengan
sungguh dalam belajar maka ini akan akan
menjadi kebiasaanmu, yang mana bila suatu saat
engkau merasa malas saat sedang rekreasi
misalnya, maka engkau akan mengingkari dirimu
sendiri dan engkau akan menemukan sesuatu yang
kosong pada dirimu.” (Syarah kitah Hilyah tholabil
ilmi hal, 143)

347. Imam Mujahid bin Jabr berkata: “Orang yang


faqih adalah orang yang takut kepada Allah
meskipun ilmunya sedikit. Dan orang yang bodoh
adalah orang yang berbuat durhaka kepada Allah
meskipun ilmunya banyak.” (Al-Bidayah wan
nihayah V/237)

348. Imam Hasan Al-Bashri berkata: “Orang yang


faqih adalah orang yang zuhud terhadap dunia,
sangat mengharapkan kehidupan akhirat,
mengetahui agamanya dan rajin dalam beribadah,
ia tidak iri terhadap orang yang berada di atasnya,
tidak sombong terhadap orang yang berada di
bawahnya, dan tidak mengambil imbalan dari ilmu
yang telah Allah ajarkan kepadanya.” (Sunan ad-
Darimi 1/89)

349. Sebagian ahli hikmah berkata: “Orang alim


adalah yang tidak mengaku-ngaku memiliki ilmu
dan tidak berbangga dengannya terhadap
seorangpun ia tidak menisbatkan kebodohan
kepada seorangpun, kecuali seseorang yang jelas-
jelas menyalahi sunnah dan ahlus sunnah. Ia
marah kepadanya karena Allah ta’ala semata
bukan karena kepribadiannya, tidak pula
bermaksud meninggikan kedudukan dirinya
sendiri di atas seorang pun.” (Fadhlu Ilmi as-Salaf
‘alal Kholaf hal 55-57)
350. Yahya bin Ammar berkata: Ilmu itu ada lima:
(1) Ilmu yang merupakan kehidupan bagi agama
yaitu ilmu tauhid. (2) Ilmu yang merupakan
santapan agama yaitu ilmu tentang mempelajari
makna-makna al-Qur’an dan hadits. (3) Ilmu yang
merupakan obat agama yaitu ilmu fatwa. Apabila
suatu musibah (malapetaka) datang kepada
seorang hamba, ia membutuhkan orang yang
mampu menyembuhkannya dari musibah itu. (4)
Ilmu yang merupakan penyakit agama yaitu ilmu
kalam dan bid’ah. (5) Ilmu yang merupakan
kebinasaan bagi agama yaitu ilmu sihir dan yang
sejenisnya.” (Majmu’ fatawa oleh Syaikhul islam
Ibnu Taimiyyah X/145-146 dan siyar ‘alamin
nubala’ XVII/482)
351. Imam Ahmad berkatam, “Pokok ilmu adalah
rasa takut kepada Allah.” (Fadhlul ilmis salaf ‘alal
kholaf, hlm. 52)

352. ‘Ali bin Abi Tholib berkata, “Orang yang


berilmu lebih besar ganjaran pahalanya dari pada
orang yang berpuasa, sholat dan berjihad di jalan
Allah.” (Al-Ilmu fadhluhu wa syarofuhu, hlm. 133)

353. Abu Hurairoh berkata, “Sungguh aku


mengetahui satu bab ilmi tentang perintah dan
larangan lebih aku sukai dari pada tujuh puluh
kali melakukan jihad di jalan Allah.” (Al-faqih wa
mutafaqqih 1/102, No. 52)
354. Imam Hasan al-Bashri berkata, “Orang yang
berilmu lebih baik dari pada orang yang zuhud
terhadap dunia dan orang-orang yang
bersungguh-sungguh dalam beribadah.” (Jami’
bayanil ilmi wa fadhlihi 1/120, No. 113)

355. Imam Sufyan ats-Tsauri berkata, “Aku tidak


mengetahui satu ibadah pun yang lebih baik dari
pada mengajarkan ilmu kepada manusia.”
(Jami’bayanilmi wa fadzlihi 1/211, No. 227)

356. Imam Muhammad bin Idris as-Syafi’i berkata,


“Tidak ada sesuatu pun yang lebih baik setelah
berbagai kewajiban syari’at dari pada menuntut
ilmu syar’i.” (Al-Ilmu fadhluhu wa syarofuhu, hlm.
135)
357. Imam Sufyan ats-Tsauri berkata, “Kebaikan di
dunia adalah rizki yang baik dan ilmu sedangkan
kebaikan di akhirat adalah surga.” (Jami’ Bayanil
ilmi wa fadhlihi 1/230, No. 254)

358. Al-Imam Ibnul Qoyyim berkata, “Jihad


melawan hawa nafsu memiliki empat tingkatan:
(1) berjihad untuk mempelajari ilmu yang
bermanfaat dan agama yang benar, seseorang
tidak akan mencapai kesuksesan dan kebahagiaan
di dunia dan akhirat kecuali dengannya, (2)
berjihad untuk mengamalkan ilmu setelah
mengetahuinya, (3) berjihad untuk
mendakwahkan ilmu dan mengajarkannya kepada
orang yang belum mengetahuinya, (4) berjihad
untuk bersabar dalam mendakwahkan ilmu dan
dari gangguan manusia. Dia menanggung
kesulitan-kesulitan dakwah itu semata-mata
karena Allah.

Apabila empat tingkatan ini terpenuhi pada


dirinya maka ia termasuk orang-orang yang
Robbani.” (Zadul ma’ad Fi hadyi khairil ‘ibad
III/10).

359. Abu Darda berkata, “Barangsiapa


berpendapat bahwa pergi mencari ilmu tidak
termasuk jihad, sungguh ia kurang akalnya.” (Al-
Ilmu wa fadhluhu wa syarafuhu, hlm. 145)
360. Ibnul Qoyyim berkata, “Jihad dengan hujjah
(dalil) dan keterangan didahulukan atas jihad
dengan pedang dan tombak.” (Al-Kaafiyah asy-
Syaafiyah fil inntishari lil firqatin najiyah, hlm. 35
oleh Ibnul Qoyyim tahqiq Syaikh Ali bin Hasan Al-
Halabi Al-Atsari Hafidhullah)

361. Sebagian ahli hikmah berkata, “Barangsiapa


yang mencari ilmu maka berarti ia telah berusaha
mencari sesuatu yang membawa kebaikan bagi
hamba-hamba Allah yang lain. Oleh karena itu dia
dicintai para malaikat dan dihormati mereka
sehingga mereka meletakkan sayap-sayapnya
karena ridho, cinta dan hormat.” (Al-Ilmu
fadhuluhu wa syarafatuhu, hlm. 58—60)
362. Sebagian ahli hikmah berkata, “Ilmu bagi hati
adalah seperti air bagi ikan jika ikan tidak
mendapat air, ia mati. Ilmu bagi hati juga seperti
cahaya bagi mata dan pendengaran manusia
terhadap suara manusia. Jika mata tidak
mendapatkan cahaya, ia buta dan jika telinga tidak
mendapatkan suara, ia tuli.” (Al-Ilmu Fadhuluhu
wa Syarafuhu, hlm. 116—120)

363. Imam Ahmad bin Hanbal berkata, “Manusia


amat membutuhkan ilmu dari pada kebutuhan
mereka kepada makanan dan minuman, karena
makanan dan minuman hanya dibutuhkan dalam
sehari satu atau dua kali, sedang ilmu dibutuhkan
setiap saat.” (Thabaqhot Al-Hanabilah 1/146).
364. Sebagian ahli hikmah berkata, “Kebodohan
adalah akar dan sumber dari segala kerusakan.”
(Al-Ilmu fadhluhu wa syarafuhu, hlm. 101).

365. Israil Bin Yunus berkata, “Barangsiapa


menuntut ilmu karena Allah maka ia mulia dan
bahagia di dunia, dan barang siapa menuntut ilmu
bukan karena Allah maka ia merugi di dunia dan
akhirat.” (Al-jami’ li akhlaakil rawi wa adaabis
saami’ 1/83 no. 15)

366. Al-Khotib Al-Baghdadi berkata, “Wahai


penuntut ilmu! Luruskanlah niat dalam menuntut
ilmu dan bersungguh-sungguhlah dalam
mengamalkannya. Karena ilmu syar’i ibarat pohon
dan amal itu merupakan buahnya, dan seseorang
tidak dianggap sebagai orang yang berilmu selama
ia belum mengamalkan ilmunya.” (Iqtidhaa’ Al-
ilmi al-amal, hlm. 14)

367. Imam Ibnu Jama’ah berkata, “Niat yang baik


dalam menuntut ilmu adalah hendaklah
ditunjukkan hanya untuk mengharap wajah Allah,
beramal dengannya, menghidupkan syari’at,
menerangi hatinya, menghiasi batinnya, dan
mengharapkan kedekatan dengan Allah pada hari
kiamat, serta mencari segala apa yang Allah
sediakan untuk ahlinya (ahli ilmu) berupa
keridhoan-Nya dan karunia-Nya yang besar.”
(Tadzkiratus Sami wal mutakallim, hlm. 112—
113)
368. Imam Ibnul Jama’ah berkata, “Dalam
menuntut ilmu janganlah bertujuan untuk
memperoleh keuntungan duniawi, seperti
kepemimpinan, jabatan, kehormatan, dan harta,
berbangga di hadapan teman-temannya,
diagungkan manusia, menjadi pemimpin di
majelis dan hal-hal yang semisalnya.” (Tadzkiratus
Sami, hlm. 113)

369. Imam Syafi’i berkata, “Saudaraku, engkau


tidak akan mendapat ilmu melainkan dengan
enam perkara: (1) kecerdasan, (2) kemauan keras,
(3) bersungguh-sungguh, (4) bekal yang cukup,
(5) bimbingan guru, dan (6) waktu yang cukup
lama.” (Diwaan Imam Syafi’i, hlm. 378)
370. Yahya bin Abi Katsir berkata, “Ilmu tidak akan
diperoleh dengan tubuh yang dimanjakan (dengan
santai).” (Jami’ Bayaanil ‘ilmi wa fadhlihi 1/385 no.
554)

371. Imam Ibnul Qoyyim berkata, “Di antara hal


yang sangat mengherankan bahwa ada seseorang
yang mudah menjaga dirinya dan berhati-hati dari
makanan-makanan yang haram, berbuat dzolim,
berzina, mencuri, minum khomr, melihat kepada
sesuatu yang haram, dan selainnya. Namun ia
sangat sulit untuk menahan gerak lisannya hingga
anda dapat melihat seseorang yang dianggap
faham agama, zuhud dan banyak beribadah. Ia
berbicara dengan kata-kata yang tanpa sadar
dapat mendatangkan murka Allah ta’ala. Yang
dengan satu kalimat darinya ia dimasukkan ke
dalam neraka yang dalamnya lebih jauh dari pada
jarak antara timur dan barat.” (Ad-da’ wa dawa’,
hlm. 244)

372. Imam Malik berkata kepada Imam Syafi’i,


“Sesungguhnya aku melihat bahwa Allah telah
memberikan cahaya kepada hatimu, maka
janganlah engkau padamkan cahaya itu dengan
kegelapan maksiat.” (Ad da’ wa dawa’, hlm. 124)

373. Imam Ibnul Mubarak berkata, “Sungguh aku


melihat dosa-dosa telah mematikan hati. Dan terus
melakukan dosa akan mewariskan kehinaan,
meninggalkan dosa adalah kehidupan bagi hati
sangat baik bagi dirimu untuk meninggalkannya.
Tidak ada yang merusak agama melainkan raja-
raja, ulama-ulama suu’ (jelek) dan para ahli
ibadah (yang tidak berilmu).” (Ad da’ wa dawa’,
hlm. 95)

374. Imam Mujahid berkata, “Tidak akan


mendapatkan ilmu orang yang malu dan orang
yang sombong.” (Al-Jami’ oleh Ibnu Abdil Baar
1/534-535 no. 879)

375. Imam Adh-Dhahak bin Muzahim berkata,


“Pintu pertama dari ilmu adalah diam, keduanya
adalah mendengarkannya, ketiganya adalah
mengamalkannya, dan keempat adalah
menyebarkan dan mengajarkannya.” (Al-Jami’
Liakhlahir rawi wa adabis-sami’ 1/ 194)
376. Muhammad bin Abdul Wahhab Al-kufi
berkata, “Diam itu mengumpulkan dua perkara
bagi seseorang, selamat dalam agama dan
pemahaman yang benar bagi pelakunya.” (Kitabus
shamit wa adabulisan hal 69 no. 55 karya ibnu Abi
Dunya)

377. Imam Nawawi berkata, “Seorang penuntut


ilmu tidak boleh mengangkat suara tanpa
keperluan, tidak boleh tertawa, tidak boleh banyak
berbicara tanpa kebutuhan, tanpa ada keperluan
yang sangat, bahkan ia harus menghadapkan
wajahnya ke arah gurunya ketika di dalam majelis
ilmu.” (Syarah Muqoddimah al-Majmu’, hlm. 143
oleh Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin)
378. Sebagian ahli hikmah berkata, “Ilmu
memanggil-manggil amal jika menyahutnya maka
ia akan mendekat dan jika tidak maka ia pun
pergi.” (Iqtidha’ al-ilmi al-amal no. 40-41)

379. Anas bin Malik berkata, “Wahai anakku


ikatlah ilmu dengan tulisan.” (Jami’ bayanil ilmi wa
fadhlihi 1/ 316 no. 410)

380. Abu Abdillah Malik bin Anas berkata,


“Hendaklah engkau bertaqwa kepada Allah dalam
keadaan sembunyi maupun terang-terangan,
menasihati setiap muslim, dan mencatat ilmu dari
ahlinya.” (Jami’ bayanil ilmi wa fadhlihi 1/245 no.
275)
381. Sebagian ahli hikmah berkata, “Menuntut
ilmu syar’i bukanlah tujuan akhir tetapi sebagai
pengantar kepada tujuan yang agung, yaitu
adanya rasa takut kepada Allah, merasa diawasi
oleh-Nya, taqwa kepada-Nya, dan mengamalkan
tuntutan dari ilmu tersebut. Dengan demikian,
maka siapa saja yang menuntut ilmu bukan untuk
diamalkan niscaya ia diharamkan dari keberkahan
ilmu, kemuliaannya, dan ganjaran pahalanya yang
besar.” (Kaifa tatahammas li thalabil ilmi syar’I,
hlm. 74)

382. Dahulu para salaf berkata, “Kami biasa


memohon bantuan dalam menghafalkan ilmu
dengan cara mengamalkannya.” (Miftah
darissa’adah 1/344)
383. Ibnu Mas’ud berkata, “Belajarlah kalian!
Belajarlah kalian! Apabila kalian telah
mengetahuinya maka amalkanlah.” (Iqtidha’ al-
ilmi wa al-amal, hlm. 22-23 no. 10)

384. Al-Fudhail bin Iyadh berkata, “Manusia harus


belajar, jika sudah mengetahui mereka harus
mengamalkannya.” (Iqtidha ilmi wa al-amal, hlm.
37)

385. Imam Ibnul Qoyyim berkata, “Ilmu memiliki


enam tingkatan: (1) baik dalam bertanya, (2) diam
dan mendengarkan dengan baik, (3) memahami
dengan baik, (4) menghafalkannya, (5)
mengajarkannya, (6) mengamalkannya dan
memperhatikan batasan-batasannya.” (Miftah
daris sa’adah 1/ 511 oleh Ibnul Qoyyim)

386. Imam Waki’ bin al-Jarrah berkata, “Dahulu


kami biasa meminta bantuan dalam menghafal
hadits dengan cara mengamalkannya. Dan kami
biasa meminta bantuan dalam mencarinya dengan
berpuasa.” (Jami’bayanil ilmi wafadhlihi 1/709 no.
1286)

387. Imam Ibnu Jauzi berkata, “Orang miskin yang


paling miskin adalah orang yang menghabiskan
umurnya untuk mencari ilmu yang tidak ia
amalkan sehingga ia kehilangan kelezatan dunia
dan kebaikan akhirat. Ia akan datang pada hari
kiamat dalam keadaan bangkrut bersama kuatnya
hujjah (tuntutan) atasnya.” (Shaidul khatir, hlm.
140)

388. Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin


berkata, “Amal pada hakikatnya adalah buah dari
ilmu. Barang siapa beramal tanpa ilmu, ia telah
menyerupai orang nashrani. Dan barang siapa
mengetahui ilmu namun tidak mengamalkannya,
ia telah menyerupai orang yahudi.” (Syiarah al-
Utsul Tsalatsah, hlm. 22)

389. Imam Ad-Dhohak berkata, “Tidaklah


seseorang mempelajari al-Qur’an kemudian ia
lupa melainkan disebabkan dosa.” (Ma’alim fi
thoriqi tholabil ilmi, hlm. 200)
390. Imam Bukhori adalah orang yang kuat
hafalannya beliau pernah ditanya, “Apakah obat
lupa itu?” Beliau menjawab, “Senantiasa melihat ke
kitab, yaitu selalu membaca dan mengulangnya.”
(Jami’ bayanil ilmi wa fadhlihi II / 1227 no. 2414)

391. Imam Ibnu Jama’ah berkata, “Waktu yang


paling baik untuk menghafal adalah waktu sahur,
untuk membahas di pagi hari, untuk menulis di
siang hari, dan untuk muthala’ah dan berdiskusi
(mudzakarah) di malam hari.” (Tadzkiratus sami’
wa Mutakallim fi adabil ‘alim wa muta’alim, hlm.
118 oleh ibnul Jama’ah)

392. Imam Ibnu Jama’ah berkata, “Waktu yang


paling baik untuk menghafal adalah di waktu
sahur kemudian pertengahan hari, dan
selanjutnya di pagi hari. Menghafal di malam hari
lebih mendatangkan manfa’at dari pada
menghafal di siang hari dan ketika lapar (yang
tidak sangat) lebih bermanfa’at dari pada ketika
kenyang.” (Tadzkiratus sami’, hlm. 119)

393. Imam Ibnul Jama’ah berkata, “Tempat yang


paling baik untuk menghafal adalah kamar dan
setiap tempat yang jauh dari hal-hal yang
membuat lalai. Tidak baik apabila menghafal di
tempat yang terdapat tumbuhan, di sekitar pohon-
pohon yang menghijau, di tepi sungai, di tengah
jalan, dan tempat yang bising, karena hal itu
(umumnya) dapat mencegah kosongnya hati
(untuk menghafal).” (Tadzkiratus sami’, hlm. 119)
394. Imam Sufyan Ats-Tsauri berkata, “Tidak ada
sesuatu pun yang lebih berat untuk aku obati dari
pada niatku.” (Tadzkirotus sami’, hlm. 112)

395. Imam Hasan Al-Bashri berkata, “Siapa yang


mencari ilmu karena mengharap negeri akhirat ia
akan mendapatkannya. Dan siapa yang mencari
ilmu karena mengharap kehidupan dunia maka
kehidupan dunia itulah bagian dari ilmunya.”
(Iqthidha’ al-Ilmu al-Amal, hlm. 66 no. 103)

396. Imam Malik bin Dinar berkata, “Barangsiapa


mencari ilmu bukan karena Allah Ta’ala maka
ilmu itu akan menolaknya hingga ia dicari hanya
untuk Allah Ta’ala.” (Jami’ bayanil ‘ilmi wa fadhlihi
1/748 no. 1376)

397. Abu Abdillah Ar-Rudzabari berkata, “Ilmu


tergantung amal, amal tergantung keikhlasan, dan
keikhlasan mewariskan pemahaman tentang
Allah.” (Iqtidha’ al-ilmi al-amal, hlm. 32 no. 30)

398. Imam Ibrohim An-Nakhai berkata,


“Barangsiapa mencari sesuatu berupa ilmu yang ia
niatkan karena mengharap wajah Allah maka
Allah akan memberikan kecukupan padanya.”
(Sunan Ad-Darini 1/82)

399. Muhammad bin Samurah berkata, “Wahai


saudaraku, janganlah sifat menunda-nunda
menguasai jiwamu dan tertanam dalam hatimu
karena ia membuat lesu dan merusak hati, ia
memendekkan umur kita, sedangkan ajal segera
tiba, bangkitlah dari tidurmu dan sadarlah dari
kelalaianmu! Ingatlah apa yang telah engkau
kerjakan, engkau sepelekan engkau sia-siakan,
engkau hasilkan, dan apa yang engkau lakukan,
sungguh semua itu akan dicatat dan dihisab
sehingga seolah-olah engkau terkejut dengannya
dan engkau sadar dengan apa yang telah engkau
lakukan, atau menyesali apa yang telah engkau
sia-siakan.” (Iqhtidha’ al-ilmi al-amal, hlm. 114
no. 201)

400. Imam Malik bin Anas berkata, “Tidak boleh


menuntut ilmu dari empat orang: (1) orang bodoh
yang menampakkan bodohnya meskipun banyak
meriwayatkan hadits, (2) ahlu bid’ah yang
mengajak kepada hawa nafsunya, (3) orang yang
berdusta saat berbicara dengan orang lain
meskipun ia tidak berdusta dalam meriwayatkan
hadits, (4) orang sholih ahli ibadah namun tidak
memahami apa yang ia katakana. (Siyar ‘Alamin
Nubala’ VI/61)

401. Imam Abdullah Ibnul Mubarok berkata, “Aku


mempelajari adab selama 30 tahun kemudian aku
menuntut ilmu selama 20 tahun, mereka
mempelajari adab sebelum belajar ilmu.”
(Minhadyis salaf fitholabil ilmi, hlm. 23)

402. Imam Abdullah Ibnul Mubarok berkata,


“Kami lebih sangat membutuhkan adab dari pada
banyaknya hadits.” (Minhadyis salaf fit tholabil
ilmi 1/80)

403. Imam Ibnul Mubarok berkata, “Adab itu dua


pertiga ilmu.” (Minhadyis salaf fit tholabil ilmi,
hlm. 23)

404. Imam Sufyan ats-Tsauri berkata, “Dahulu


para salaf mereka tidak menyuruh atau
mengirimkan anak-anak mereka untuk menuntut
ilmu sehingga mereka mempelajari adab dan
beribadah selama dua puluh tahun.” (Hilyatul
auliya’ VI/361)

405. Al-Khotib al-Baghdadi berkata, “Hendaknya


seorang penuntut ilmu dan hadits berbeda dalam
semua urusannya (amal dan akhlaknya) dari cara
dan perbuatan orang-orang awam.” (Al-Jami’ li
akhlakir Rowi wa adabis sami’ 1/142)

406. Sahl bin Abdullah ats-Tsauri berkata, “Hati


yang di dalamnya terdapat sesuatu yang dibenci
Allah ta’ala maka akan terhalang menerima
cahaya ilmu.” (Tadzkirotu sami’, hlm. 111)

407. Imam Adz-Dzahabi berkata, “Amanah bagian


dari agama ketelitian termasuk bagian kepandaian,
adapun orang-orang yang hafidz hendaknya ia
adalah orang-orang yang bertaqwa, pandai,
menguasai ilmu nahwu, bahasa arab, bersih
hatinya, pemalu dan seorang salafi (mengikuti
manhaj salaf).” (Siyar ‘alamin nubala’ XIII/380)
408. Syekh Bahr Abu Zaid berkata, “Hiasilah
dirimu dengan etika-etika jiwa berupa menjaga
kehormatan diri, santun, sabar, rendah hati dalam
menerima kebenaran, berperilaku tenang dalam
bersikap dan berwibawa, teguh serta tawadhu’
juga mampu menanggung beban berat kehinaan
selama belajar demi memperoleh kemuliaan ilmu
serta bersedia tunduk kepada kebenaran.” (Hilyah
tholabil ilmi, hlm. 14)

409. Imam Al-Khotib berkata, “Penuntut ilmu


hadits wajib menghindar dari suka bermain,
berbuat sia-sia dan bersikap rendahan dalam
majelis ilmu seperti, tertawa terbahak-bahak,
banyak membuat lelucon, dan selalu bersenda-
gurau. Senda gurau itu hanya diperbolehkan jika
dilakukan kadang-kadang saja asal tidak
melanggar adab dan sopan santun dalam
menuntut ilmu. Adapun jika dilakukan terus-
menerus, mengucapkan ucapan kotor, jorok serta
yang bisa menyakitkan, semua itu adalah
perbuatan tercela. Sebab, banyak senda gurau dan
tertawa akan menghilangkan harga diri.” (Al-jami’
li akhlaqir rowi wa adabis sami’ 1/156 oleh Al-
khotib al-baghdadi)

410. Imam Al-Ahnaf bin Qais berkata, “Jauhkanlah


majelis kita dari menyebut-nyebut wanita dan
makan, aku benci kepada seorang laki-laki yang
suka membicarakan kemaluan dan perutnya.”
(Siyar ‘alamin nubala’ IV/94)
411. Imam Ibnu Majah berkata, “Siapa yang tidak
sabar terhadap kehinaan dalam belajar maka sisa
umurnya ada pada kebutaan dan kebodohan dan
siapa yang sabar terhadap hal itu maka urusannya
akan menjangkau kemuliaan dunia dan akhirat.”
(Tadzkirotus sami’ 140)

412. Imam Syafi’i berkata, “Bersabarlah atas


pahitnya perilaku kasar sang guru karena
melekatnya ilmu dengan menyertainya. Siapa yang
belum merasakan kehinaan belajar sesaat, ia akan
mereguk hinanya kebodohan sepanjang hayat,
siapa yang tidak belajar di masa mudanya
bertakbirlah empat kali atas kematiannya,
hidupnya seorang pemuda-Demi Allah-adalah
dengan ilmu dan ketakwaan, sebab, jika keduanya
tidak ada padanya maka tiada lagi jati dirinya.”
(Diwan as-Syafi’I, hlm. 164-165)

413. Imam Ibnu Jama’ah berkata, “Hendaklah


seorang penuntut ilmu datang lebih awal ke
tempat belajar dari pada gurunya tidak terlambat
sehingga gurunya dan para jama’ah yang hadir
telah duduk. Hendaklah beradab ketika
menghadiri pelajaran, yaitu menghadirinya
dengan penampilan yang paling baik dan bersih
dan hendaklah ia menahan diri dari tidur,
mengantuk, tertawa dan selainnya.” (Tadzkirotus
sami’, hlm. 300)
414. Imam Nawawi berkata, “Hendaknya seorang
penuntut ilmu berkemauan keras untuk belajar
ilmu syar’i, ia selalu dan senantiasa menggunakan
seluruh waktunya untuk menuntut ilmu, baik
malam maupun siang, di saat mukim atau safar. Ia
tidak mau sedikitpun waktunya hilang sia-sia
dengan tidak memperoleh ilmu, kecuali sekedar
keperluan makan, tidur, dan hal-hal yang mesti ia
lakukan dan juga untuk istirahat sebentar, untuk
menghilangkan kebosanan (kejenuhan) dan hal-
hal yang penting lainnya. Dan tidak termasuk
orang yang berakal (seorang penuntut ilmu) yang
sudah ditempatkan sederajat dengan pewaris para
nabi kemudian ia menyia-nyiakan waktu untuk
menuntut ilmu.” (Syarah Muqoddimah al-majmu’,
hlm. 145 oleh Syekh Muhammad bin Sholih)
415. Imam Ibnul Qoyyim berkata, “Berkumpul
bersama-sama teman itu terbagi dua: salah
satunya adalah berkumpul untuk kesenangan dan
menghabiskan waktu, maka hal ini bahayanya
lebih besar dari manfaatnya, minimal hal ini akan
merusak hati dan menyia-nyiakan waktu. Dan
yang kedua berkumpul bersama mereka untuk
saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran.
Hal ini termasuk perbuatan yang paling mulia dan
bermanfaat, namun menimbulkan 3 bahaya: (1)
Saling berbasa-basi. (2) Banyak bicara. (3) Dan
berkumpul lebih dari kebutuhan hal ini kan
menjadi kecenderungan hati dan kebiasaan
sehingga menghalangi tujuan utamanya.” (Al-
Fawaid, hlm. 630)
416. Imam Syafi’i berkata, “Carilah ilmu seperti
ibarat seorang ibu yang sedang mencari anaknya
yang hilang dan ia tidak memiliki anak kecuali
anak tersebut.” (Ma’alim fi thoriqi tholibil ilmi,
hlm. 41)

417. Ibnu Jama’ah berkata, “Hendaknya seorang


penuntut ilmu bersegera memanfaatkan masa
mudanya dan seluruh waktu dari umurnya untuk
memperoleh ilmu. Janganlah ia tergoyahkan
dengan tipuan angan-angan kosong dan
menunda-nunda, karena setiap jam dari umurnya
akan berlalu, tidak akan pernah kembali dan tidak
dapat diganti.” (Tadzkirotus sami’, hlm. 114)
418. Ibnul Jama’ah berkata, “Penuntut ilmu
hendaknya membagi waktu malam dan siangnya,
dan memanfaatkan umur yang tersisa padanya
karena umur yang tersisa tidak ada
bandingannya.” (Tadzkirotus sami’, hlm. 117)

419. Ibnul Jama’ah berkata, “Penuntut ilmu


hendaknya meninggalkan berlebih-lebihan dalam
bergaul, keluar ke jalan-jalan, ke pasar atau ke
tempat lainnya untuk melakukan hal-hal yang
tidak penting dan tidak bermanfaat.” (Tadzkirotus
sami’, hlm. 118)

420. Ibnul Jama’ah berkata, “Penuntut ilmu


hendaknya menyedikitkan tidur selama tidak
mendatangkan kemadhorotan pada badan dan
otaknya. Janganlah menambah waktu tidurnya
melebihi delapan jam yaitu sepertiga waktunya
(dari 24 jam). Jika keadaannya memungkinkan
untuk tidur kurang dari waktu tersebut maka
lakukanlah. Dan hendaknya ia meninggalkan
berlebih-lebihan dalam makan, minum, jima’
(bersetubuh) serta menjauhi banyak gurau dan
tawa.” (Tadzkirotus sami’, hlm. 124-125)

421. Imam Ibnul Qoyim berkata, “Ada empat hal


yang dapat membuat hati menjadi keras, yaitu
berlebihan dalam berbicara, berlebihan dalam
makan, berlebihan dalam tidur dan berlebihan
dalam bergaul.” (Fawaidul fawaid, hlm. 2620)
422. Sulaiman At-Taimi berkata: “Jika engkau
membiasakan diri untuk tidur maka ia akan
terbiasa dengannya, dan jika engkau membiasakan
untuk bergadang maka ia akan terbiasa
dengannya.” (Mukhtasor qiyamul lail, hlm. 55)

423. Syekh Bahr Abu zaid berkata,


“Kelancanganmu adalah kesombongan,
keangkuhanmu kepada orang yang telah
mengajarkan ilmu kepadamu hanya karena
umurnya lebih muda dari pada engkau adalah ke
sombong, engkau sembrono tidak mengamalkan
ilmumu adalah lumpur kesombongan dan tanda
diharamkannya ilmu itu darimu.” (Hilyah Tholibil
ilmi, hlm. 15)
424. Imam Ibnu Rojab berkata, “Ilmu yang
bermanfaat akan menuntut kepada dua perkara:
(1) Mengenal Allah dan segala apa yang menjadi
haknya berupa nama-nama yang indah, sifat-sifat
yang tinggi dan perbuatan-perbuatan yang agung.
Hal ini mengharuskan adanya pengagungan, rasa
takut, rasa cinta, harap, dan tawakkal kepada Allah
serta ridho terhadap takdir dan sabar terhadap
segala musibah yang Allah ta’ala berikan. (2)
Mengetahui segala apa yang diridhoi dan dicintai
Allah dan menjauhi segala apa yang dibenci dan
dimurkai-Nya berupa kehinaan, perbuatan yang
lahir dan batin. Hal ini mengharuskan orang yang
mengetahuinya untuk bersegera melakukan segala
apa yang dicintai dan diridhoi Allah dan menjauhi
segala apa yang dibenci dan dimurkai-Nya,
apalagi ilmu itu menghasilkan hal ini bagi
pemiliknya maka inilah ilmu yang bermanfaat.
Kapan saja ilmu itu bermanfaat dan menancap di
dalam hati maka sungguh hati itu akan merasa
khusyuk, takut, tunduk, mencintai dan
mengagungkan Allah, maka jiwa merasa cukup
dan puas dengan sedikit yang halal dari dunia dan
merasa kenyang dengannya sehingga hal itu
menjadikannya qona’ah dan zuhud di dunia.”
(Fadlu ilmis ‘alal kholaf, hlm. 47)

425. Syakhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Ilmu


adalah apa yang dibangun di atas dalil dan ilmu
yang bermanfaat adalah ilmu yang dibawa oleh
Rasulullah. Terkadang ada ilmu yang tidak berasal
dari Rasulullah, namun dalam urusan duniawi,
seperti ilmu kedokteran, ilmu hitung, ilmu
pertanian dan ilmu perdagangan.” (Majmu’ fatawa
VI/383, XIII/136)

426. Sebagian ahli hikmah berkata,


“Sesungguhnya Allah memudahkan memasuki
surga bagi orang yang menuntut ilmu yang
tujuannya untuk mencari wajah Allah, untuk
mendapatkan ilmu, mengambil manfaat dari ilmu
syar’i dan mengamalkan konsekuensinya.” (Jami’ul
ulmu wal hikam II/297)

427. Imam Syafi’i berkata, “Menuntut ilmu lebih


utama dari sholat Sunnah.” Dia juga berkata,
“Barangsiapa yang mendambakan dunia haruslah
ia berilmu. Barangsiapa yang mendambakan
akhirat ia harus berilmu.” (Tahdzbul asma
wallughot oleh an-Nawawi 1/74)

428. Imam Syafi’i berkata, “Tidak ada jalan yang


lebih utama untuk mendekatkan diri kita kepada
Allah setelah sholat fardhu, kecuali menuntut
ilmu.” (Tahdzbul asma wal lughot oleh an-nawawi
1/74)

429. Yahya bin Ma’in berkata, “Ada 4 golongan


yang tidak bisa diambil kebaikan dan mafa’at dari
mereka: Penjaga pintu gerbang, asisten qodhi, anak
muhaddits (ahli hadits), dan seorang yang belajar
di negerinya dan tidak keluar mencari hadits.”
(Ma’rifatul hadits oleh al-Hakim, hlm. 9)
430. Imam al-Manawi berkata, “Ilmu yang
bermanfaat adalah yang akan menambah rasa
takutmu kepada Allah serta menambah ilmu dan
keyakinanmu akan aib-aib dirimu, kesalahan
amalmu, dan menambah zuhudmu terhadap
kehidupan dunia. Apabila hatimu terdorong untuk
menuntut ilmu yang tidak seperti ini ketahuilah
bahwa setan telah memasukkan ke dalam hatimu
suatu penyakit yang berbahaya, yaitu kecintaan
akan harta dan kedudukan maka hati-hatilah
jangan sampai kamu terpedaya hingga kamu jadi
bahan tertawaan, sementara kamu akan binasa
dan ia akan mengolok-ngolokmu.” (Faidul qodir)

431. Imam Syafi’i berkata, “Tidak layak orang yang


menuntut ilmu, kecuali bagi orang yang siap
miskin.” (Al-Jami’ oleh al-khotib 1/39)
432. Imam Syafi’i berkata, “Tidak mungkin
menuntut ilmu orang yang pembosan dan sering
berubah pikiran serta merasa puas dengan apa
yang ada pada dirinya. Akan tetapi, menuntut ilmu
dengan menahan diri, kesempitan hidup, dan
berkhidmat untuk ilmu tersebut maka ia akan
beruntung.” (Tadribur rowi oleh as-Suyuthi, hlm.
345)

433. Imam al-Manawi berkata, “Orang yang


mengamalkan ilmu berhak untuk dihormati dan
dimuliakan karena mereka adalah orang-orang
pilihan, cahaya yang menerangi bumi, pilar-pilar
agama, dan pejuang-pejuang yang akan
menghadapi musuh Allah. Mereka adalah wali
Allah dan pengganti para nabi.” (Faidul Qodir2/93)

434. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata,


“Barangsiapa yang diinginkan oleh Allah untuknya
suatu kebaikan, Allah akan jadikan ia faham dalam
urusan agama. Orang yang tidak faham agama
berarti Allah tidak menginginkan untuknya
kebaikan.” (Majmu’ al-Fatawa 28/80)

435. Abu Nu’aim berkata, “Orang yang tidak


faham agama berarti Allah tidak peduli padanya.”
(Faidul Qodir 1/258)

436. Abu Ya’la berkata, “Barangsiapa yang


diberikan oleh Allah kepahaman dalam agama
jelaslah kebenaran padanya dan Allah
menginginkan kebaikan yang besar untuknya,
sebagaimana dijauhkannya ia dari kesulitan.”
(Faidul Qodir 1/258)

437. Lukman Al-Hakim berkata kepada anaknya,


“Wahai anakku duduklah dengan ulama’ dan
rapatkanlah kedua lututmu kepada mereka karena
sesungguhnya Allah akan menghidupkan hati
dengan cahaya hikmah sebagaimana Allah
menghidupkan tanah yang mati dengan curahan
hujan.” (al-Muwatho’, no. 1821)

438. As-Syafi’i berkata, “Tidak akan beruntung


orang yang menuntut ilmu kecuali orang yang
menuntutnya dengan keadaan serba kekurangan.
Aku dahulu untuk mencari sehelai kertas pun
sangat sulit.” (Tahdzib al-asma wal lughot 1/75)

439. As-Syafi’i berkata, “Tidak mungkin seorang


menuntut ilmu dengan keadaan serba ada dan
harga diri yang tinggi akan beruntung. Akan
tetapi, orang yang menuntut ilmu dengan tunduk,
kesempitan hidup, berkhidmah kepada ilmu dan
merendah diri, maka ia akan beruntung.” (Tahdzib
al-Asma wal lughot 1/75)

440. As-Syafi’i berkata, “Pahamilah ilmu sebelum


kamu menjadi pemimpin. Jika telah memimpin
tidak ada jalan lagi untuk mendalami ilmu.”
(Tahdzib al-Asma’ wal lughot 1/75)
441. As-Syafi’i berkata, “Barangsiapa yang
menuntut ilmu haruslah mendalam agar hal-hal
terkecil dari ilmu tersebut tidak hilang darinya.”
(Tahdzib al-asma’ wal lughot 1/75)

442. As-Syafi’i berkata, “Siapa yang tidak


mencintai ilmu, tidak ada kebaikan padanya.
Maka, janganlah kamu berteman atau berkenalan
dengannya.” (Tahdzib al-asma’ wal lughot 1/75)

443. Al-Qodhi berkata, “Seorang yang alim apabila


ditanya tentang sebuah makna dan pendapat,
kemudian dia melihat pada penanya yang memiliki
kemampuan dan kecerdasan yang siap untuk
memahami, seharusnya ia mengajarinya dan tidak
menolaknya.” (Faidul Qodir)
444. Abdullah bin Mubarok berkata, “Hamdun bin
Ahmad pernah ditanya, ‘Kenapa perkataan kaum
salaf lebih berarti dari perkataan kita?’ Dia
menjawab, “Karena mereka berbicara untuk
kemuliaan Islam, menyelamatkan jiwa dan
mencari ridho Allah, sedangkan kita berbicara
untuk mengangkat diri, mencari dunia dan
mencari keridhoan makhluk.” (Shifatus shofwah
4/122)

445. Imam al-Manawi berkata, “Perumpamaan


seseorang yang mempelajari ilmu dan tidak
menyampaikannya seperti orang yang menumpuk
harta dan enggan untuk berinfak. Keduanya sama-
sama akan menyebabkan petaka pada dirinya
dengan diadzab pada hari kiamat. Maka, sudah
menjadi kewajiban bagi setiap orang yang berilmu
mencurahkan ilmunya pada orang-orang yang
berada di sekitarnya. Akan tetapi hendaklah ia
melihat keutamaan yang ada karena telah
menyiapkan hati dalam rangka mendekatkan hati
kepada Allah. Hati sebagai lahan yang akan
disemai benih-benih ilmu, seumpama orang yang
menyiapkan lahan subur untuk menanam sesuatu
yang bermanfaat untuk dirinya. Kalaulah tidak
karena para pelajar, seorang guru takkan berarti.”
(Faidul Qodir 5/509)

446. Ibnu Mas’ud berkata, “Bagaimana jika kalian


tertimpa fitnah, ketika anak kecil menjadi besar
dan orang tua menjadi renta, bila kalian
menjalankan suatu sunnah lalu pada suatu hari
berubah dan dikatakan sebagai satu kemunkaran.
Seseorang bertanya: “Kapankah hal itu terjadi?”
Dia berkata, “Apabila telah sedikit orang yang bisa
percaya dan banyaknya para penguasa, sedikitnya
orang yang berilmu dan banyaknya Qori’ belajar
bukan untuk agama dan mencari dunia dengan
amalan akhirat.” (Diriwayatkan ole Abdur rozzaq
dalam Mushannaf 11/352)

447. Abdullah bin Mu’taz berkata, “Ilmu bila tidak


diamalkan bagaikan pohon yang tidak berbuah.”
(Iqthidho’ al-ilmi al-amal, hlm. 37)

448. Mithrof bin As-Syahir berkata, “Wahai


saudaraku, bersungguh-sungguhlah dalam
beramal. Jika seandainnya kelak kita mendapatkan
seperti apa yang kita harapkan dari rahmat dan
ampunan Allah, kita akan mendapatkan
kedudukan yang tinggi di surga. Jika keadaan
sebaliknya sebagaimana yang kita cemaskan,
setidaknya kita tidak akan berkata, ‘Ya Allah,
kembalikanlah kami agar kami melakukan sesuatu
yang berbeda dengan apa yang pernah kami
perbuat.’ Kita hanya berkata, ‘Kami telah beramal,
akan tetapi tidak bermanfaat bagi kami.’” (Iqtidho’
alilm al-amal, hlm. 95)

449. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata,


“Sesungguhnya ilmu itu wajib disampaikan.
Barangsiapa yang ditanya tentang ilmu yang telah
diketahuinya dan ia menyembunyikannya, maka
Allah akan membelenggunya dengan belenggu
dari neraka pada hari kiamat. Ilmu itu tidak akan
bertambah bila diajarkan dan tidak akan
berkurang seperti harta bila diinfakkan. Ini tak
ubahnya bagaikan pelita.” (Majmu’ al-Fatawa
1/185)

450. Hasan berkata, “Sesungguhnya seseorang


yang mengetahui satu bab dari bidang ilmu
kemudian diamalkan lebih baik baginya dari dunia
dan segala isinya.” (Jami’ bayanil ilmi wa fadhlih,
hlm. 52)

451. Abdullah bin Yahya bin Abu katsir berkata,


“Ilmu tidak akan pernah didapat dengan
bersenang-senang.” (Shohih Muslim, no. 612)
452. Imam Abu Sa’ad as-Sham’ani berkata, “Bila
anda menyaksikan seorang pemuda yang telah
beranjak dewasa tidak membawa tempat tinta dan
kertas dan anda tidak melihat mereka bersama
para ulama di halaqohnya, mereka tidak akan
memperoleh berita-berita yang baik, anggaplah
mereka tidak ada. Ketahuilah mereka itu lemah,
mereka telah menukar cita-cita yang tinggi
dengan kebodohan.” (Shofahat min shobril ulama’,
hlm. 45-47 dan 138-139)

453. Az-zamakhsari berkata, “Ilmu tidak akan


diperoleh dengan ibadah, ketakwaan, berjihad, dan
olahraga. Akan tetapi, hanyalah dengan
memahami sesuai dengan dasar, hati yang lapang,
dan pikiran yang jernih.” (Faidul Qodir 2/569)
454. Sebagian ahli hikmah berkata, “Yang menjadi
imam adalah yang paling berilmu, setelah itu baru
yang paling baik bacaannya.” (Minhajul Hajah
Syarhu Sunan Ibnu Majah 1/20)

455. Yunus bin Maisaroh bin Halbas berkata,


“Kebaikan itu adalah kebiasaan. Karena, jiwa
seseorang selalu ingin mengulanginya dan
bersikeras atasnya adalah berasal dari fitroh.
Adapun keburukan dikatakan keras kepala karena
adanya penyimpangan dan kesempitan jiwa serta
kesusahan.” (Faidul Qodir)

456. Sebagian ahli hikmah berkata, “Orang yang


menuntut ilmu karena dunia bukanlah termasuk
ulama’ yang mewariskan ilmu para nabi.” (Syarhu
Sunan Ibnu Majah, 1/20)

457. Ibrohim al-Ajuri berkata, “Siapa yang


menuntut ilmu dengan keadaan prihatin ia akan
memperoleh pemahaman.” (Shofahat min shobril
ulama’, hlm. 146)

458. Abu Darda’ berkata, “Saya ingin menuntut


ilmu dan saya khawatir tertinggal. Dia berkata,
Ketahuilah engkau bergelimang dengan ilmu lebih
baik dari pada bergelimang dengan kebodohan.”
(Al-Fariq, Lisanul ‘Arob 4/59)

459. Utsman bin Abu Sayibah berkata, “Tidak lama


lagi akan datang masa di mana para ahli hadist
datang mengetuk pintu rumah orang dan berkata,
‘Apakah kalian ingin seorang ahli hadist
menyampai hadis kepada kalian?’ Mereka akan
berkata, ‘Tidak.’” (Al jami’ Li akhlaqir rawi hal 200)

460. Ibnu Abdil Bar berkata, “Kesibukan mencari


dunia akan menghalangi menuntut ilmu. Setiap
orang yang terus belajar akan merasakan bodoh
dan kurang ilmu serta akan merasakan Allah-lah
yang lebih mengetahui.” (At-tahmid 3/202)

(Al-Qur’an)

461. Ibnu Hubairoh berkata, “Di antara tipu daya


setan adalah menjauhkan hamba-hamba Allah
dari tadabur al-Qur’an, sebab ia tahu bahwa
hidayah itu ada ketika tadabur al-Qur’an, setan
akan berkata, ‘Ini sangat berbahaya’ sehingga
manusia akan berkata: ‘saya tidak akan berbicara
tentang al-Qur’an.’” (Dzail Thabaqaat al-
Hanabilah oleh Ibnu Rajab III/273)

462. Ibnul Qoyyim berkata, “Barangsiapa yang


berkata, ‘Sesungguhnya al-Qur’an memiliki
takwilan yang tidak kita pahami dan tidak kita
ketahui, kita hanya membaca lafadz-lafadznya
sebagai bentuk beribadah saja maka sungguh
dalam hatinya terdapat penyimpangan.’” (at-
Tibyan fi as-Samil Qur’an, hlm. 144)

463. Abu Ubaid berkata, “Janganlah seorang


hamba bertanya kepada dirinya kecuali tentang al-
Qur’an, maka apabila ia mencintainya berarti ia
mencintai Allah dan Rosul-Nya.” (Mushannaf Ibnu
Abi Syaibah X/485)

464. Ibnu Taimiyyah berkata, “Barangsiapa yang


tadabbur al-Qur’an untuk mendapatkan petunjuk
darinya maka jalan kebenaran akan menjadi jelas
baginya.” (al-Aqidah al-Wasithiyah, hlm. 103)

465. Sebagian ahli hikmah berkata, “Barangsiapa


yang membaca al-Qur’an dengan niat ingin
mendapatkan ilmu maka Allah akan
mengaruniakan ilmu kepadanya, dan barangsiapa
yang membaca ilmu karena ingin mendapatkan
pahala saja maka Allah akan memberikan pahala
kepadanya.” (Mafatih Tadabbur al-Qur’an, hlm. 64
oleh Dr. Khalid Abdul Karim)

466. Al-Qurtubi berkata, “Apabila seorang hamba


mendengarkan ayat-ayat kitabullah dan sunnah
nabi dengan niat yang benar sesuai yang dicintai
Allah, maka Allah akan memahamkannya
sebagaimana lazimnya dan menjadikan dalam
hatinya cahaya.” (Tafsir al-Qurthubi XI/176)

467. Sebagian ahli hikmah berkata, “Barangsiapa


membaca al-Qur’an karena ingin mendapatkan
kesuksesan maka Allah akan mempermudah
kesuksesan baginya.” (Mafatih Tadabbur, hlm. 65)
468. Ibnu Mas’ud berkata, “Apabila anda
menginginkan ilmu maka bukalah al-Qur’an
karena di dalamnya terkandung ilmu ummat
terdahulu dan yang akan datang.” (Syu’abul Iman
oleh al-Baihaqi V/231)

469. Al-Hasan bin Ali berkata, “Orang-orang


sebelum kalian memandang bahwa al-Qur’an
adalah surat-surat dari Robb mereka. Sehingga
mereka mentadabburinya di waktu malam dan
mencarinya di waktu siang hari.” (at-Tibyan oleh
Imam an-Nawawi).

470. Masruq bin al-Ajda berkata, “Tidaklah kami


bertanya kepada para sahabat Muhammad tentang
sesuatu melainkan ilmunya telah terdapat dalam
al-Qur’an namun ilmu kita tentang al-Qur’an
terlalu minim.” (Syu’abul Iman al-Baihaqi)

471. Al-Hasan Al-Bashri berkata, “Tidaklah Allah


menurunkan sebuah ayat melainkan Dia sangat
menyukai untuk diketahui berkaitan dengan apa
ayat tersebut diturunkan dan apa maksud dari ayat
tersebut.” (Tafsir al-Qurtubi 1/26)

472. Abdullah bin Umar berkata, “Pegang teguhlah


al-Qur’an, pelajarilah ia dan ajarkan kepada anak-
anak kalian karena sesungguhnya kalian akan
ditanya tentangnya dan akan diberi pahala
karenanya dan cukuplah al-Qur’an sebagai
nasihat bagi orang yang berakal.” (Kanzul Ummal,
hlm. 23)
473. Al-Hasan Al-Bashri berkata, “Membaca Al-
Qur’an terbagi menjadi tiga golongan: (1)
Menjadikan al-Qur’an sebagai mata pencaharian
mereka, satu golongan lagi membaca huruf-
hurufnya namun mengabaikan batasan-
batasannya. (2) Membanggakan atas penduduk
negerinya. (3) Menggunakannya untuk menarik
penguasa. Golongan ini jumlahnya sangat banyak
di kalangan para pembawa Al-Qur’an, semoga
Allah tidak memperbanyak jumlah mereka, dan
satu golongan lagi mengambil obat dari Al-Qur’an
untuk menyembuhkan penyakit hati mereka,
dengannya mereka merasa tenang ketika dalam
peperangan, dengannya menyayangi pemimpin
mereka, merasa khawatir dan menggigil kulit
mereka (ketika mendengarnya) merekalah
golongan yang menjadi sebab diturunkannya
hujan dan dimenangkan atas musuh-musuh
mereka. Demi Allah golongan inilah yang lebih
mulia dari pada al-kibrit al-ahmar (emas murni).”
(Ibnul Jauzi fii al-‘Ilal 1/110)

474. Ahmad bin Abi Hawari berkata, “Sungguh


ketika aku membaca Al-Qur’an dan menyimak
sebuah ayat, maka kacaulah pikiranku aku sangat
heran kepada para penghafal Al-Qur’an, kenapa
mereka dapat tidur dengan tenang dan leluasa
sibuk dengan urusan dunia sedangkan selalu
membaca kalamullah? Seandainya mereka
memahami apa yang mereka baca dan mengetahui
dengan sebenar-benarnya, menikmatinya dan
merasakan manisnya munajat, niscaya kantuk
mereka akan hilang karena kegembiraan yang
telah dikaruniakan kepada mereka.” (Lataaifu al-
Ma’arif, hlm. 203)

475. Ibnu Mas’ud berkata, “Cukuplah dengan


takut kepada Allah dianggap sebagai ilmu, dan
cukuplah dengan melalaikan Allah sebagai bentuk
kebodohan.” (Miftah Darus Sa’adah 1/51)

476. Malik bin Dinar berkata, “Al-Qur’an adalah


musim seminya seseorang muslim, ibarat hujan
adalah musim seminya tanah.” (Ihya’ Ulumuddin
1/285)

477. Ibnul Qoyyim berkata, “Kesucian manusia


dan perbaikannya memiliki dua sisi: (1) Ilmu dan
pengajaran, pikiran, akal, penjelasan, keyakinan
dan lain sebagainya. Berupa istilah yang semakna
lainnya. (2) Amal, pendidikan, latihan, perangai
dan istilah-istilah semakna lainnya. Dan al-Qur’an
itu adalah kitab pendidikan dan pengajaran yang
tidak membutuhkan yang lain.” (Miftah Daarus
sa’adah)

478. Ali bin Abi Tholib berkata, “Wahai pembawa


al-Qur’an atau wahai pembawa ilmu! Ketahuilah,
bahwa seorang alim (ahli ilmu) adalah orang yang
mengamalkan apa yang telah ia ketahui, dan
amalannya sesuai dengan ilmu-ilmu, akan ada
sekelompok kaum yang memiliki ilmu namun
tidak melebihi kerongkongan mereka, amalan
mereka bertentangan dengan ilmu mereka, dan
yang tersembunyi berlainan dengan yang nampak,
mereka duduk melingkar saling membanggakan
diri satu sama lain, hingga seseorang akan marah
kepada temannya apabila duduk dengan selainnya
dan ia akan meninggalkannya. Merekalah orang-
orang yang amalannya di dalam majelis tersebut
tidak pernah naik sampai kepada Allah.” (at-
Tibyan fii Hamalatil Qur’an 1/20)

479. Al-Hasan al-Bashri berkata, “Manusia


diperintahkan mengamalkan al-Qur’an maka
jadikanlah bacaannya itu sebagai pengamalan.”
(Tafsir as-Sam’ani IV/119)

480. Al-Hasan bin Ali berkata, “Bacalah Al-Qur’an


sehingga mencegahmu (melakukan dosa), bila
belum demikian maka pada hakikatnya anda
belum membaca.” (Kanzul Ummal 1/2776)
481. Al-Hasan Al-Bashri berkata, “Manusia yang
paling berhak atas Al-Qur’an adalah orang yang
mengikutinya walaupun belum membacanya.”
(Qoidah fii Fadhoilil Qur’an oleh Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah, hlm. 59)

482. Imam Al-Ajuri berkata, “Hendaklah seseorang


membuka lembaran-lembaran Al-Qur’an agar
jiwa dan tujuannya terasah. Kapan saya bisa
bertakwa? Kapan saya khusyu’? Kapan saya
termasuk orang yang sabar? Kapan saya mampu
berzuhud di dunia ini? Kapan saya mengekang
hawa nafsu?.” (Akhlaq Hamalatul Qur’an, hlm. 40)
483. Al-Hasan Al-Bashri berkata, “Sesungguhnya
Al-Qur’an ini telah dibaca oleh para hamba sahaya
dan anak-anak yang tidak memiliki ilmu tentang
takwilannya, padahal sebenarnya tadabbur ayat-
ayat Al-Qur’an itu hanya dengan mengikutinya.
Tadabbur Al-Qur’an bukan dengan menghafalkan
huruf-hurufnya namun dibalik itu mengabaikan
batasan-batasannya, hingga salah seorang dari
mereka mengatakan, ‘Saya telah membaca Al-
Qur’an seluruhnya dan saya tidak pernah
meninggalkan satu huruf pun. Namun demi Allah,
pada hakikatnya ia telah meninggalkan seluruh
huruf-hurufnya karena ia tidak mewujudkan Al-
Qur’an dalam akhlak dan amalannya.’ Bahkan
salah seorang dari mereka mengatakan, ‘Saya
mampu membaca satu surat dalam satu tarikan
nafas.’ Demi Allah mereka bukanlah seorang
pembaca Al-Qur’an, bukan ulama, bukan ahli
hikmah, dan bukan seorang yang memiliki
kewibawaan. Sampai kapan para pembaca Al-
Qur’an berbuat seperti ini? Semoga Allah tidak
menambah jumlah orang-orang yang seperti
mereka.” (Syu’abul iman oleh al-Baihaqi II/541)

484. Abu Darda’ berkata, “Sesungguhnya orang


yang menghafal Al-Qur’an adalah orang yang
mendengarnya dan melaksanakannya.” (Qoidah fii
Fadhoilil Qur’an oleh Ibnu Taimiyyah, hlm. 59)

485. Hudzaifah berkata, “Wahai para pembaca al-


Qur’an, berjalan luruslah kalian. Sungguh sangat
jauh kalian telah mendahului. Apabila kalian
mengambil jalan ke kanan dan kekiri
(menyimpang dari petunjuk al-Qur’an) maka
sungguh kalian telah tersesat sangat jauh.” (Shohih
Bukhori 7282)

486. Qotadah berkata, “Tidaklah saya makan


bawang semenjak saya membaca Al-Qur’an.”
(Fadhoil Abu Ubaid, hlm. 55, At-Tidzkar 108)

487. Abu Malik berkata, “Sesungguhnya mulut-


mulut kalian adalah jalur dari jalan-jalan Allah,
maka bersihkanlah sebersih mungkin. Ia berkata,
‘Saya tidak pernah makan bawang semenjak saya
membaca Al-Qur’an.’” (Fadhoil Al-Qur’an oleh
Abu Ubaid, hlm. 55)
488. Ibnul Qoyyim berkata, “Apabila engkau
hendak mengambil manfaat dari al-Qur’an, maka
kumpulkanlah hatimu ketika sedang membaca
dan mendengarkan Al-Qur’an, julurkan
pendengaranmu dan hadirkan hatimu seakan
engkaulah objek yang diajak bicara oleh Allah,
Sesungguhnya Dia mengajakmu bicara dengan
perantara lisan rasul-Nya.” (Al-Fawaid, hlm. 1)

489. Ibnu Abbas berkata, “Seandainya para


pembawa Al-Qur’an memenuhi haknya dan apa-
apa yang sewajarnya dilakukan untuknya niscaya
Allah akan mencintai mereka. Namun sayang
mereka mencari dunia sehingga Allah murka
kepada mereka dan menjadikan mereka hina di
hadapan manusia.” (Tafsir Al-Qurthubi 1/20)
490. Ibnu Mas’ud berkata, “Sesungguhnya Al-
Qur’an ini adalah perjamuan Allah maka ambillah
ia semampu kalian. Sesungguhnya saya tidak tahu
suatu kehebatan yang lebih kosong dari rumah
yang di dalamnya tidak terdapat sedikitpun Al-
Qur’an. Sesungguhnya hati yang tidak ada sedikit
pun al-Qur’an padanya adalah hati yang rusak,
seperti rusaknya rumah yang tidak berpenghuni.”
(Sunan Ad-Daarimi, no. 3173)

491. Ibnu Mas’ud berkata, “Sesungguhnya hati ini


ibarat wadah maka isilah dengan Al-Qur’an dan
jangan kalian isi dengan selainnya.” (Musnad
Ahmad bin Hanbal II/6655, hlm. 177)
492. Abu Huroiroh berkata, “Rumah yang
dibacakan Al-Qur’an di dalamnya akan melimpah
kebaikannya, para malaikat akan masuk dan
setan-setan akan keluar darinya, sedangkan
rumah yang tidak dibacakan Al-Qur’an di
dalamnya maka akan terasa sempit bagi
penghuninya, setan-setan akan masuk dan para
malaikat akan keluar darinya.” (Az-zuhd oleh
Ibnul Mubarok 1/790, hlm. 273)

493. Sebagian salaf berkata, “Al-Qur’an adalah


obat bagi hati dari berbagai penyakit syahwat dan
syubhat serta bisikan-bisikan dengan berbagai
bentuknya, baik yang memaksa maupun yang
tidak. Dan al-Qur’an juga obat bagi tubuh dari
berbagai penyakit. Setiap kali seorang hamba
menghadirkan tujuan ini maka ia akan
mendapatkan dua obat: Obat ilmu maknawi yaitu
rohani dan obat materi yaitu tubuh bi idznillah
(dengan izin Allah).” (Mafatih Tadabbur al-Qur’an
wan Najah fii Hayah, hlm. 105)

494. Al-Jabir berkata, “Penyembuhan dengan Al-


Qur’an dapat diperoleh melalui dua hal: (1)
Membacanya ketika sholat, terutama di waktu
malam yang akhir dengan menghadirkan niat
berobat. (2) Ruqyah dengan menggunakan Al-
Qur’an.” (Kaset Asbab Mansiyyah yang di
sampaikan oleh Dr. Al-jabir)

495. Al-Hasan bin Ali berkata, “Sesungguhnya


orang-orang sebelum kalian memandang bahwa
Al-Qur’an adalah surat-surat dari Robb mereka,
sehingga mereka bertadabbur di malam hari dan
mencarinya di siang hari.” (At-Tibyan fii Adab
Hamalatil Qur’an 1/29)

496. Ibnu Umar berkata, “Ibadah yang pertama


kali terkikis adalah tahajjud di malam hari dan
mengeraskan bacaan Al-Qur’an di waktu malam.”
(Khuliwah Af’al al-Ibaad 1/ hal III)

497. Ibnu Hajar berkata, “Membaca Al-Qur’an di


waktu sepertiga malam sangat memungkinkan
untuk memahami bacaan dan mendalaminya
karena jika membaca Al-Qur’an di waktu siang
maka pada saat itu penuh dengan kesibukan-
kesibukan dunia sehingga terdapat banyak
halangan-halangan untuk tidak dapat memahami
dan mendalami bacaan.” (Fathul Baari IX, hlm. 45)

498. Syaikh Asy-Syinqithi berkata, “Al-Qur’an


tidak akan menetap dalam hati, dipermudah untuk
menghafal dan memahaminya kecuali dengan
menggunakannya unuk shalat di keheningan
malam.” (Muqoddimah Adwa’ul Bayan 4)

499. Ibnu Abbas berkata, “Waktu yang paling tepat


untuk mendalami Al-Qur’an adalah di waktu
malam.” (Fathul Baari IX/hal 45)

500. As-Sari As-Saqati berkata, “Saya melihat


berbagai manfaat ada di kegelapan malam.”
(Rahban al-Lail oleh Al-Fani 1/526.)
501. An-Nawawi berkata, “Hendaklah seseorang
perhatiannya terhadap bacaan Al-Qur’an di waktu
malam dan ketika shalat malam lebih banyak
karena mampu memusatkan hati, menjauhkan
dari kesibukan-kesibukan dan berlebih-lebihan
dari kebutuhan. Ibadah di waktu malam lebih
menjaga dari perbuatan riya, dan perbuatan-
perbuatan lainnya yang bisa merusak ibadah. Di
sisi lain, syari’at telah mendatangkan kebaikan di
malam hari. Sesungguhnya peristiwa isra’
Rasulullah terjadi di malam hari.” (At-Tibyan fii
Adabi Humalatil Qur’an 1/34)

502. Abu Dawud Al-Jafari berkata, “Saya pernah


menemui Kurz bin Wabarrah di rumahnya. Ketika
itu ia sedang menangis, maka saya bertanya, ‘Apa
yang membuatmu menangis?’ Ia menjawab, ‘Tadi
malam pintuku tertutup, celanaku musbil
(maksudnya tidak beribadah malam) dan saya
terhalang membaca satu hizb dari Al-Qur’an tidak
lain hal itu karena kesalahan yang aku perbuat.’”
(Hilyatul Auliya V 179)

503. Sebagian salaf berkata, “Perumpamaan


membaca Al-Qur’an bagi hati adalah seperti
menyirami tanaman, menyiram tanaman bukan di
waktu terik matahari. Sebab hal itu akan
melemahkan pengaruhnya terutama bila kadar
airnya sangat sedikit karena ia akan segera
menguap, demikian halnya, membaca Al-Qur’an
apabila dalam kadar yang sedikit dan di waktu
siang hari, yakni waktu hiruk pikuk dan penuh
dengan kesibukan, maka makanan-makanan yang
masuk kedalam hati akan menguap dan tidak
berpengaruh.” (Mafatih Tadabbur Al-Qur’an, hlm.
123)

504. Abdullah bin Mas’ud berkata, “Janganlah


menghatamkan Al-Qur’an kurang dari tiga hari,
namun hatamkanlah Al-Qur’an dalam tujuh hari
dan hendaklah seseorang konsisten dengan
hizbnya.” (Majmu Az-Zuwaid II/269)

505. Al-‘Amasy berkata, “Orang yang menghafal


Al-Qur’an kemudian lupa adalah ibarat orang
yang disodorkan makanan kemudian ia
mengambilnya satu suap demi satu suap namun
kemudian melemparnya ke belakang dan tidak
memasukannya ke dalam tenggorokannya.”
(Akhlakur rawi wa Adab sami’ oleh al-Baghdadi)

506. Ibnu Mas’ud berkata, “Janganlah kalian baca


Al-Qur’an ini dengan cepat dan janganlah kalian
tebarkan ia ibarat kalian menebarkan kurma yang
jelek (tanpa dipahami) berhentilah pada setiap
yang menakjubkan yang ada di dalamnya dan
getarkanlah hati kalian dengannya. Dan janganlah
salah seorang dari kalian obsesinya hanya akhir
surat saja.” (Syu’abul oleh Imam Al-Baihaqi 1/344)

507. Ibnu Qudamah berkata, “Hendaklah para


pembaca Al-Qur’an mengetahuai bahwa apa yang
sedang mereka baca bukanlah ucapan manusia,
dan hendaklah mereka selalu menghadirkan
keagungan yang berbicara dan mentadabburi
kalam-Nya. Sesungguhnya tadabbur adalah tujuan
dari membaca. Seandainya tadabbur tersebut tidak
dapat di peroleh kecuali dengan mengulang-ulang
maka hendaklah mereka mengulang-ulangnya.”
(Muhtashar Minhajul Qosidin, hlm. 68)

508. Ibnu Mas’ud berkata kepada Al-Qomah yang


membaca Al-Qur’an dengan cepat, “Ayah dan
ibuku sebagai tebusannya, bacalah dengan tartil
karena sesungguhnya ia adalah hiasan Al-Qur’an.”
(Mushannaf Ibnu Abi Syaibah VI /8724)

509. Ibnu Muflih berkata, “Tartil yang paling


minim adalah meninggalkan ketergesa-gesaan
ketika membaca Al-Qur’an untuk mendapatkan
kejelasan. Dan tartil yang paling sempurna adalah
perlahan-lahan dalam membaca dan berhenti
dalam setiap bacaan.” (Al-Adabus Syari’ah XIII/
297)

510. Ibnu Hajar berkata, “Sesungguhnya membaca


dengan tartil dan mencermatinya ibarat orang
yang bershadaqoh dengan suatu permata yang
sangat berharga. Sedangkan orang yang membaca
dengan cepat ibarat bershadaqoh dengan beberapa
permata namun nilainya sama dengan suatu
permata. Boleh jadi satu nilai lebih banyak dari
pada beberapa nilai atau sebaliknya.” (Fathul Baari
III/89)
511. Ibnu Abbas berkata, “Jika ingin melakukan
membaca Al-Qur’an dengan cepat maka bacalah
dengan bacaan yang dapat didengar oleh
telingamu dan dirasakan oleh hatimu.” (Fathul
Baari IX/89)

512. Ibnu Abi Laila berkata, “Jika engkau membaca


Al-Qur’an maka hendaklah kedua telingamu
mendengar, sebab hati berada di tengah-tengah
antara lisan dan telinga.” (Mushannaf Ibnu Abi
Syaibah 1/3670, hlm. 321)

513. Abu Hurairah berkata: “Sesungguhnya rumah


yang sering dibacakan Al-Qur’an di dalamnya
maka akan berlimpah kebaikannya, para malaikat
akan hadir di dalamnya dan para setan akan keluar
darinya. Sedangkan rumah yang tidak pernah di
bacakan kitabullah di dalamnya, maka akan
mempersempit bagi penghuninya, kebaikannya
akan berkurang setan pun akan masuk ke
dalamnya dan para malaikat akan keluar.” (Az-
Zuhd oleh Ibnu Mubarrok 1/790, hlm. 273)

514. Sebagian ahli hikmah berkata,


“Sesungguhnya membaca Al-Qur’an dengan
mengeraskan suara yang dapat didengar oleh hati
lebih membantu untuk konsentrasi dan perhatian
oleh karenanya engkau mendapati seseorang
memaksa dirinya untuk mengeraskan suara ketika
bertumpuknya masalah dan sulit untuk berfikir.”
(Mafatih Tadabburil Al-Qur’an, hlm. 163)
515. Sebagian ahli hikmah berkata, “Bacaan
dengan suara keras memiliki beberapa tingkatan,
yang paling rendah yaitu telinga bisa mendengar
dan lisan serta bibir juga bergerak. Dan yang
paling tinggi adalah orang yang di dekatnya dapat
mendengarnya. Kurang dari itu bukan di namakan
jahr (mengeraskan suara) dan lebih dari ukuran
tersebut akan menghilangkan tadabbur
membebani si pembaca dan mengganggu yang
mendengarkannya.” (Mafatih Tadabbur Al-
Qur’an, hlm. 163)

516. Sebagian salaf berkata, “Sesungguhnya


membaca Al-Qur’an dengan mengeraskan suara
dapat memperdengarkan kepada para malaikat
yang ditugaskan untuk mendengarkan dzikir,
larinya setan dari si pembaca dan dari tempat yang
digunakan untuk membaca Al-Qur’an tersebut,
dan untuk membersihkan serta mengharumkan
rumah, menjadikannya sebagai lingkungan yang
kondusif untuk pendidikan dan pengajaran.”
(Mafatih Tadabburil Al-Qur’an, hlm. 164)

517. Imam Syafi’i berkata, “Begadangku untuk


mengoreksi ilmu lebih nikmat bagiku dari pada
berhubungan dengan wanita penyanyi dan
enaknya berpelukan. Suara penaku menulis di atas
kertas-kertas ku lebih manis dari pada wanita
penghibur dan orang yang kasmaran. Dan lebih
nikmat dari pada pukulan seorang gadis pada
rebananya. Dan pukulanku untuk menghilangkan
pasir yang melekat pada kertas-kertasku (lebih
nikmat bagiku), lenggak-lenggokku karena
bingung menyelesaikan masalah yang rumit di
dalam pelajaran lebih menyenangkan dari pada
mabuk memandang betis. Aku bermalam dengan
begadang dalam kegelapan sedangkan kamu
bermalam dengan tidur, kemudian setelah itu
kamu mengharapkan bisa menyusulku?” (Diwan
Asy-syafi’I, hlm. 63)

518. Ibnu Umar berkata, “Seorang yang utama dari


sahabat Rosulullah di dalam generasi pertama
umat ini tidak menghafal Al-Qur’an kecuali satu
surat dan semisalnya. Mereka mendapatkan rizki
dengan mengamalkan Al-Qur’an sedangkan
pengikut akhir dari umat ini membaca Al-Qur’an,
di antara mereka ada anak kecil dan seorang buta,
akan tetapi mereka tidak mendapatkan rizki
mengamalkan Al-Qur’an.” (Tanmiyah Al-Qudrah
‘ala Tadabbur Al-Qur’an, hlm. 15 oleh
Muhammad Ad-duwaisy)

519. Ibnu Mas’ud berkata, “Kami merasakan sulit


untuk menghafal lafadz Al-Qur’an dan mudah
bagi kami untuk mengamalkannya. Sesungguhnya
orang-orang setelah kami akan mudah bagi
mereka untuk menghafal Al-Qur’an akan tetapi
sulit bagi mereka untuk mengamalkannya.”
(Tanmiyah Al-Qudroh ‘ala Tadabbur, hlm. 15)

520. Imam Al-Khottabi berkata, “Seseorang harus


menjaga apa yang telah dihafalnya, dan membaca
seluruh hafalannya setiap berlalu beberapa waktu
lamanya. Jangan sampai ia melalaikan hal ini.
Dahulu, sebagian ulama jika mengajari seseorang
suatu permasalahan dalam suatu bidang ilmu, ia
menanyakannya kembali setelah berlalu beberapa
waktu lamanya, jika ternyata orang itu telah
menghafalkannya maka ia menambahnya, jika
tidak maka ia akan berpaling darinya.” (Al-Hatsu
‘ala Hifdzil hadits oleh Al-Khattabi hlm. 202)

521. Imam Al-Khattabi berkata, “Menjaga hafalan


itu lebih diutamakan.” (Al-Hatsu ‘ala Hifdzil hadits,
hlm. 201)

522. Sebagian ahli hikmah berkata, “Berpaling dari


membaca Al-Qur’an, sengaja melupakannya, dan
tidak memperdulikannya, semuanya merupakan
sikap yang sangat mengacuh dan meremehkan Al-
Qur’an. Kita berlindung kepada Allah dari hal
buruk ini.” (Fadhail Al-Qur’an, hlm. 116)

523. Sebagian ahli hikmah berkata, “Melupakan


Al-Qur’an merupakan musibah yang paling
besar.” (Fadhail Al-Qur’an, hlm. 116)

524. Ali berkata, “Ada tiga ciri orang yang


mempunyai sifat-Nya: (1) Malas jika sendirian. (2)
Semangat jika ada orang lain. (3) Amalannya
bertambah jika mendapat pujian.” (Ihya Ulumiddin
III/396)

525. Sebagian ahli hikmah berkata, “Siapa saja


yang memiliki keinginan untuk menghafal Al-
Qur’an dan semangat yang tinggi,niscaya dia dapat
menghafalnya jika ia menetapkan suatu target di
hadapannya. Yakni, target bahwa ia harus mampu
menghafalnya.” (Kaifa Tahfadzul Al-Qur’an hal 58
oleh Yahya bin Abdur-Razzaq Al-Ghotsani)

526. Imam al-Khattabi al-Baghdadi berkata,


“Ketahuilah ada waktu-waktu tertuntun untuk
menghafal yang hendaknya diperhatikan oleh
orang yang hendak menghafal sesuatu. Waktu
yang paling tepat untuk itu adalah waktu sahur.”
(Al-Faqih wal Mutafaqqih, karya Imam Al-Khatib
Al-Baghadadi II/103)

527. Imam Ibnu Jama’ah berkata, “Waktu yang


paling baik untuk menghafal adalah waktu sahur.
Waktu yang paling baik untuk membahas adalah
pagi hari. Waktu yang paling baik untuk menulis
adalah tengah hari. Dan waktu untuk menelaah
serta berdiskusi adalah malam hari.” (Tazkiratus
Sami’ hal 72)

528. Ismail bin Abu Umais berkata, “Apabila


engkau ingin menghafalkan sesuatu maka tidurlah
terlebih dahulu, kemudian bangunlah pada waktu
sahur. Nyalakanlah lampu dan mulai
membacanya. Sungguh engkau tidak akan
melupakannya setelah itu, insyaAllah.” (Al-Jaami’
Fil Hatstsi ‘ala Hifzh al-ilmi, hlm. 177)

529. Hammad bin Zaid pernah ditanya, “Faktor


apakah yang paling banyak membantu dalam
menghafal?” Ia menjawab, “Sedikitnya
kegelisahan.” (Al-Jaami’ Fil Hatstsi ‘ala hifzh al-
‘ilmi, hlm. 177)

530. Imam al-Khatib al-Baghdadi berkata,


“Ketahuilah, ada tempat-tempat khusus untuk
menghafal. Seorang penghafal hendaknya banyak
tinggal di tempat-tempat ini. Tempat yang paling
bagus adalah di kamar atas (loteng) bukan kamar
bawah, dan setiap tempat yang jauh dari segala hal
yang melalaikan, serta tempat yang bisa
mengosongkan hati dari segala hal yang
mengagetkan sehingga menyibukkan hati atau
mengalihkan perhatiannya, lalu menghalangi
aktivitas menghafalnya, tidak baik menghafal di
hadapan tumbuh-tumbuhan dan tanaman-
tanaman hijau, di tepi-tepi sungai, di tengah jalan.
Sebab biasanya di tempat-tempat ini tidak luput
dari hal-hal yang menghalangi kekosongan hati
(ketenangan) dan kejernihan pikiran.” (Kitab al-
Faqih wal Mutafaqqih II/103)

531. Imam Ibnul Jauzi berkata, “Tidak sepatutnya


memilih tempat menghafal di tepi sungai. Tidak
pula di hadapan tanaman hijau, agar hati tidak
terganggu olehnya.” (Al-Hatsu ‘ala Hifdzil Ilmi,
hlm. 255)

532. Imam Ibnu Jabir menuturkan bahwasanya ia


menyempurnakan hafalan Al-Qur’an di atas
pelana hewan tunggangannya di gurun Mesir,
tepat di sisi sebuah mata air tawar.” (Rihlah Ibnu
Jubair, hlm. 43)
533. Az-Zubair bin Bakr berkata, “Jika engkau
ingin menghafal, maka lihatlah dan bacalah
dengan keras sehingga apa yang disampaikan
melalui pandangan dan pendengaran akan masuk
ke dalam hatimu.” (Al-Jami’ ffil hatsi ‘ala hifdzil
ilmi, hlm. 174)

534. Abu Hilal al-Askari berkata, “Seseorang yang


sedang belajar hendaknya mengeraskan suaranya
ketika belajar sehingga ia dapat mendengar
suaranya sendiri. Sebab apa yang terdengar telinga
tersimpan dalam hati. Oleh karena itu seorang
lebih kuat menghafal apa yang didengarnya dari
pada hanya melihat apa yang dibacanya. Jika
pelajaran yang sedang ditekuni termasuk
pelajaran yang membantu kefasihan membaca,
maka dengan mengeraskan suarannya seseorang
yang sedang belajar dapat menambah kefasihan
bicaranya.” (al-Hatsu ‘ala Tholabil Ilmi wa Ijtihad
fi Jam’ihi karya Abu Hilal al-Askari, hlm. 73)

535. Sufyan Ats-Tsauri berkata, “Jadikanlah hadits


Nabi sebagai ucapan lisanmu dan masuk dalam
hatimu, niscaya kamu dapat menghafalnya.” (Al-
Jama’i fiil hatsi ‘ala hifdzil ilmi, hlm. 160)

536. Sebagian ahli hikmah berkata, “Jadikanlah Al-


Qur’an sebagai ucapan lisanmu dan masuk dalam
hatimu, niscaya kamu dapat memantapkan
hafalannya.” (Kaifa Tahfadzul Qur’an oleh Yahya
bin Abdur Rozzaq al-Ghotsani, hlm. 74)
537. Al-‘Izz bin Abdus Salam berkata: “Tidaklah
aku tidur di malam hari melainkan aku mengulang
kembali bab-bab fiqih (yang sudah aku pelajari) di
dalam hatiku sebelum tidur.” (Thobaqotus
Syafi’iyyah karya as-Subki VIII/203)

538. Al-Hasan bin Abu Bakar an-Naisaburi


berkata, “Aku tidak dapat menghafal sesuatu
sehingga dibaca berulang-ulang. Sebanyak 50
kali.” (Kaifa tahfdzul qur’anoleh yahya bin abdu
rozzak al-ghotsani, hlm. 74)

539. Abu Ishaq asy-Syairozi mengulangi pelajaran


hingga 100 kali. (Al-Hatsu ‘ala hifdzil ilmi, hlm.
254)
540. Al-Hasan berkata, “Ada seorang ahli fikih
mengulang-ngulang pelajaran di rumahnya
dengan jumlah pengulangan yang banyak. Demi
Allah, sungguh saya sudah menghafal pelajaran
ini! Ahli fikih itu berkata, ‘Kalau begitu
sebutkanlah lagi maka wanita tua itupun
menyebutkannya.’ Setelah beberapa hari berlalu,
ahli fiqih itu berkata kepada wanita tua tersebut,
‘Wahai nenek, sebutkanlah pelajaran yang
kemarin itu.’ Wanita tua itu menjawab, ‘Saya tidak
hafal lagi.’ Ahli fiqih itu berkata, ‘Oleh karena
itulah saya mengulang-ngulangnya lagi seperti
mengulangi hafalan agar aku tidak lupa seperti
yang engkau alami.’” (al-Hatsu ‘ala hifdzil ilmi hal
254)
541. Az-Zuhri berkata, “Sungguh, apabila
seseorang terus belajar (ilmu atau menghafal),
maka hatinya itu menjadi laksana sebuah parit.
Lama-kelamaan, hati itu akan menjadi seperti
lembah yang mampu menampung dan menyerap
segala sesuatu yang diletakkan di dalamnya.” (Al-
Hatsu ‘ala tholabil ilmi wa ijtihad fil jami’i kar, abu
hilal al-askari, hlm. 36)

542. Ibnul Jauzi berkata, “Hendaknya seseorang


mengistirahatkan dirinya dari aktivitas menghafal,
satu dua hari dalam seminggu. Seperti halnya
bangunan baru yang dibiarkan beberapa saat agar
bangunan itu semakin kokoh.” (Al-hatsu ‘ala
hifdzil ilmi wa ad-Dzikr kibaril huffadz kar, Ibnul
Jauzi, hlm. 255)
543. Imam al-Khottib al-Baghdadi berkata,
“Sebaiknya orang yang hendak menghafal Al-
Qur’an ia menetapkan target (hafalan) tertentu
bagi dirinya. Setiap kali mencapai target tersebut,
ia berhenti beberapa hari tanpa menambah
pelajaran. Hal yang seperti ini sama dengan
mendirikan bangunan. Tidaklah anda melihat jika
ada seseorang yang ingin mendirikan bangunan
dengan baik, niscaya ia akan mendirikannya
dengan bertahap? Ia membiarkannya beberapa
waktu agar bangunan itu bertambah kuat
kemudian ia melanjutkan kembali dengan
membuat bangunan lagi di atasnya. Seandainya ia
menyelesaikan seluruh bangunan itu di hari yang
sama maka tidak dapat dikatakan kalau ia telah
membangunnya dengan baik. Kemungkinan besar
bangunan tersebut akan dapat runtuh.
Demikianlah seorang penghafal ia harus
menetapkan target tertentu bagi dirinya, setelah
mencapai target tersebut, hendaknya ia berhenti
sejenak hingga hafalan tersebut terpancang kuat di
dalam hatinya. Setelah muncul gairah untuk
menghafal lagi, barulah ia memulainya kembali,
jika keinginannya tersebut tidak disertai gairah
tinggi maka jangan memulainya.” (Al-Faqih wal
Mutafaqqih II/100)

544. Sebagian ahli hikmah berkata, “Jangan


menghafal ketika sedang merasa jenuh dan bosan.
Jika anda sedang dalam kondisi demikian,
sebaiknya anda meninggalkan aktivitas menghafal
dan melakukan aktivitas lain yang dapat anda
lakukan, beristirahatlah sejenak dan bersenang-
senanglah dengan sesuatu yang dibolehkan, atau
dengan membaca buku-buku cerita, kisah-kisah
langka, atau sya’ir-sya’ir. Sebab, hal ini
mengandung faedah dan hikmah. Barangkali
dengan cara demikian kejenuhan itu akan segera
sirna dari dalam diri.” (Al-Faqih II/100)

545. Sebagian ahli hikmah berkata, “Seorang guru


dapat mengisi jiwa yang hama dengan kehidupan,
membangunkan akal yang sedang tertidur lelap
dan mengasah perasaan yang tumpul menjadi
tajam, seorang guru seolah menyalakan lampu
yang telah lama dipadamkan, menerangi jalan
yang gelap gulita, menumbuhkan tanah yang
gersang dan membuat pohon yang tidak berbuah
kembali bersemi.” (Ruuhut tarbiyyah wat ta’lim
kar, Muhammad ‘Athiyyah al-Abrasyi, hlm. 165)
546. Al-Qobisi berkata, “Sudah menjadi suatu
kebiasaan kaum muslimin untuk mengajarkan al-
Qur’an kepada anak-anak mereka dan
mengantarkan mereka kepada para pengajar al-
Qur’an, mereka sangat bersungguh-sungguh
dalam hal ini.” (ar-Risalah Mufasholah li Ahwalil
Mu’allimin, hlm. 287)

547. Al-Hakim berkata, “Janganlah engkau


tergesa-gesa dalam membuntuti (mendatangi)
para imam. Menetaplah dahulu selama dua bulan
untuk mengamati dan memilih guru. Sebab jika
engkau datang kepada seorang alim, lalu engkau
langsung mengambil pelajaran darinya,
kemungkinan pelajaran yang diberikannya tidak
akan memberikan kesan yang baik bagimu.
Kemudian engkau pun meninggalkannya dan
beralih ke guru yang lain. Sehingga, tidak ada
berkah yang dapat engkau terima dalam belajar.
Oleh karena itu, pertimbangkanlah dahulu selama
dua bulan untuk memilih seorang guru.” (Ta’liimul
muta’allim Thuruqut ta’lim, hlm. 43)

548. Ibnul Jama’ah berkata, “Hendaklah seorang


penuntut ilmu memperhatikan terlebih dahulu,
lalu ia beristikhoroh kepada Allah tentang guru
yang hendak ia ambil ilmunya, dan yang akan ia
contoh kebaikan akhlak serta adab-adabnya.”
(Tadzkirotus sami’ wal mutakallimin fii adabil alim
wal muta’allim karya Ibnu Jama’ah, hlm. 85)
549. Ibnul Jama’ah berkata, “Jika dimungkinkan,
hendaknya ia adalah orang yang mempunyai
kredibilitas yang sempurna, sifat kasih sayangnya
terbukti, kebaikan perilakunya tampak, kesucian
dirinya dikenal, dalam hal menjaga dirinya
tersohor, serta piawai dalam mengajar dan dalam
memberikan pemahaman.” (Tadzkirotus sami’ wal
Mutakallim fii adabil aalim wal muta’allim
kar,Ibnu Jama’ah, hlm. 85)

550. Ahmad bin al-Furot berkata, “Kami senantiasa


mendengar guru-guru kami memberikan
pengarahan dalam menghafal, mereka sepakat
bahwa tidak ada yang lebih besar manfaatnya
selain dengan banyak memandang.” (Al-Jami’ fii
hatsi ‘ala hidzil ilmi, hlm. 177)
551. Ismail bin Uwais berkata, “Apabila engkau
ingin menghafal sesuatu, maka tidurlah terlebih
dahulu, kemudian bangunlah di waktu sahur,
nyalakanlah lampu, dan lihatlah kepadanya
(maksudnya; Lihatlah sesuatu yang ingin dihafal)
Sungguh engkau tidak akan melupakannya setelah
itu-insya Allah-.” (Al-Jami’ fi hatsi ‘ala hifdzil ilmi,
hlm. 177)

552. Abdullah bin Mas’ud berkata, “Sesungguhnya


aku berpendapat bahwa seorang yang melupakan
ilmu yang dahulu telah ia ketahui itu disebabkan
oleh kesalahan yang ia perbuat.” (Fiihi Akhbar li
hifdzil Qur’an, hlm. 229)
553. Imam Malik berkata, “Jika ada sesuatu yang
harus dilakukan terhadap hafalan maka sesuatu
itu adalah meninggalkan maksiat.” (Juz fiihi
akhbar li hifdzil qur’an, hlm. 229)

554. Ali bin Khasyram berkata kepada Waki’ bin


al-Jarroh, “Sesungguhnya aku termasuk orang
yang sangat lamban dalam memahami pelajaran,
dan sulit bagiku untuk bisa menghafal. Maka
beritahukanlah kepadaku obat agar bisa
menghafal. Waki’ berkata, ‘Demi Allah wahai
anakku, tidak pernah mencoba obat agar bisa
menghafal semujarrab meninggalkan ma’siat.’”
(Juz fiihil akhbar li hifdzil qur’an 228)
555. Imam al-Ghozali berkata, “Seandainya
engkau menuntut ilmu hingga 100 tahun lamanya
dan telah mengumpulkan seribu kitab niscaya
engkau belum bisa dikatakan siap untuk menerima
rahmat Allah, kecuali setelah mengamalkannya.”
(Ayyuhal walad oleh Al-Ghozali, hlm. 99)

556. Imam Ja’far ash-Shiddiq berkata, “Hati


bagaikan tanah, ilmu bagaikan tanamannya, dan
mudzakaroh (belajar) adalah airnya, apabila aliran
air untuk menyirami tanah terhenti maka tanaman
akan segera kering.” (al-Jami’ li Akhlaqir rowi wa
Adabis sami’ Imam al-Khotib al-Baghdadi II/334)

557. Imam Al-Khotib Al-Baghdadi berkata, “Saat


lapar lebih baik untuk menghafal dari pada saat-
saat kenyang. Hendaknya seorang penghafal
memeriksa dirinya sendiri dari pada waktu
laparnya, sebab, sebagian orang ada yang apabila
merasa lapar dan kelaparan, mereka justru tidak
dapat menghafal. Jika demikian keadaannya maka
hendaknya ia meredam rasa laparnya dengan
makanan ringan seperti mengkonsumsi buah
delima atau yang semisalnya, dan jangan banyak
makan.” (al-Hatsu ‘ala hifdzil hadits hlm. 148)

558. Imam Ibnul Jama’ah berkata, “Banyak makan


membuat seseorang banyak minum, banyak
minum membuatnya banyak tidur, bebal, lemah
pikiran, dan pancaindra, serta membuat malas
anggota badan. Sifat-sifat inilah yang tidak
diinginkan syari’at.” (Tadzkirotus sami’, hlm. 74)
559. Imam Ibnu Jama’ah berkata, “Menamatkan
bacaan al-Qur’an setiap tujuh hari merupakan
kebiasaan orang yang baik.” (Tadzkirotus sami’ wal
mutakallim oleh Imam Ibnu Jama’ah, hlm. 22)

560. Sebagian ahli hikmah berkata, “Siapa saja


yang rutin membaca lima juz setiap harinya,
niscaya ia tidak akan lupa.”

561. Ustman bin Affan berkata, “Seandainya hati


kalian bersih maka sungguh kalian tidak akan puas
dengan membaca kalam Robb.” (Arba’una darsan
liman adroka romadhon, hlm. 54)
562. Al-Hasan berkata, “Wahai Ibnu Adam, demi
Allah jika engkau membaca Al-Qur’an kemudian
kalian membenarkan maka sungguh akan
berkepanjangan kesedihanmu dan kuat rasa
takutmu dan banyak menangis di dunia.” (Arbauna
darsan liman adroka romadhon, hlm. 54)

563. Aus bin abdillah berkata, “Memindahkan batu


itu lebih ringan bagi orang munafiq dari pada
membaca Al-Qur’an.” (Arba’una darsan liman
adroka romadhon, hlm. 54)

564. Sebagian ahli hikmah berkata,


“Sesungguhnya membaca Al-Qur’an itu lebih
utama dari pada bertakbir dan bertahlil.” (At-
Tibyan fii aadabi hamalatil Qur’an, hlm. 45)
565. Ayyub ash-Shikhtiyani berkata, “Hendaknya
orang yang berilmu meletakkan tanah di atas
kepalanya agar tawadhu’ pada Allah.” (At-Tibyan
fii aadabi hamalatil qur’an, hlm. 57)

566. Sebagian ahli hikmah berkata, “Hati


dikatakan baik karena ilmu, sebagaimana tanah
dikatakan baik karena menyuburkan tanaman.”
(At-Tibyan fii aadabi hamalatil qur’an, hlm. 60)

567. Sebagian ahli hikmah berkata, “Barangsiapa


yang tidak bersabar dalam kesederhanaan belajar
maka sungguh sisa umurnya adalah kebodohan,
dan barangsiapa yang bersabar maka ia meraih
kemuliaan di dunia dan di akhirat.” (at-Tibyan fii
aadabi hamalatil qur’an, hlm. 63)

(Dunia)

568. Sebagian ahli hikmah berkata, “Jauhi olehmu


penghasilan yang haram karena kami mampu
bersabar atas rasa lapar, tapi kami tidak mampu
bersabar atas mereka.” (Mukhtasar Minhajul
Qosidin)

569. Ayub As-Shikhtiyani berkata, “Abu Kilabah


pernah berujar kapadaku, ‘Wahai Ayyub, tetaplah
berada di pasarmu, sebab di dalamnya terdapat
rasa cukup dari orang lain dan terdapat kebaikan
untuk agamamu.’”
570. Umar berkata, “Janganlah ibadah kalian ini
membuat meninggalkan perdagangan, sebab
perdagangan termasuk sepertiga kepemimpian.”
(Tarikh Umar, hlm. 241)

571. Abu Sulaiman Ad-Darani berkata, “Ibadah


bukanlah saat kedua kakimu berada dalam shaf
sholat. Sementara orang lain yang menanggung
kebutuhanmu, akan tetapi, mulailah mencukupi
dirimu dengan sepotong roti lantas beribadah.”
(Al-Ilhya’ II/172)

572. Said bin Musayyab berkata, “Tidak ada


kebaikan pada diri seseorang yang tidak
berkehendak mengumpulkan harta yang halal.
Lalu ia dapat memberi, menuntut haknya yang
sesuai, serta menutup celah untuk meminta kepada
orang lain.” (As-Syiar IV/238)

573. Sufyan berkata, “Harta pada masa kita ini


ibarat pedang bagi orang-orang beriman.”
(Ringkasan Minhajul Qosidin hlm. 214)

574. Abu Ishaq As-Subai’i berkata, “Orang-orang


shalih memandang bahwa kelapangan hidup bisa
mensupport mereka mengaplikasikan ajaran
agama.” (Ringkasan Minhajul Qosidin, hlm. 214)

575. Yahya bin Mu’adz berkata, “Dirham itu ibarat


kalajengking, bila engkau tak mampu untuk
mengobatinya, maka jangan engkau ambil. Sebab
bila ia menyengatmu, racunnya akan membuatmu
mati.” (Ringkasan Minahajul Qosidin 213)

576. Yahya bin Mu’adz berkata, “Ada dua musibah


yang akan menimpa seorang hamba disebabkan
hartanya saat detik-detik akhir hayatnya yang
makhluk lainnya tidak mendengar seperti itu. Ada
yang bertanya, ‘Apa dua musibah itu?’ Ia
menjawab, ‘Seluruh hartanya diambil,dan seluruh
pula akan ditanyakan kepadanya.’” (Ringkasan
minhajul qosidin, hlm. 213)

577. Muhammad ibn Munkadar berkata dalam


sebuah ungkapan indah tentang harta, “Sebaik-
baik penompang untuk bertakwa kepada Allah
adalah kekayaan.” (Hilayatul Auliya’ II/149)
578. Sebagian ahli hikmah berkata, “Barangsiapa
yang memiliki sifat qona’ah maka jangan kau
harap ada yang bisa menggantikannya, di
dalamnya ada kenikmatan dan istirahatnya badan,
perhatikanlah siapa pun yang memiliki banyak
harta dunia, apakah ia bisa beristirahat sejenak
tanpa kapas dan kain kapan?” (At-Tadzkirah, hlm.
102)

579. Sebagian ahli hikmah berkata, “Siapa pun


yang mengerti bahwa dunia laksana salju yang
mencair sedangkan akhirat laksana batu mutiara
yang abadi, maka akan bertekad kuat untuk
menggadaikan dunia ini dengan mutiara abadi.”
(Minhajul Qosidin, hlm. 355)
580. Muzani berkata, “Aku tidak pernah
memerintahkan kalian untuk tidak mengkonsumsi
makanan enak, maka carilah makanan enak itu
lalu makanlah.” (As-Siyar VII/277)

581. Ali bin Fudhail berkata, “Aku mendengar


ayahku berkata kepada Ibnu Mubarok, ‘Engkau
memerintahkan kami supaya bersikap zuhud,
hidup sederhana dan ala kadarnya, namun kami
melihat anda membawa barang-barang dagangan
dari negeri Khurosan menuju tanah haram,
bagaimana ini?’ Ibnul Mubarok menjawab, ‘Wahai
Abu ‘Ali, aku berbuat demikian untuk tujuan
menjaga wajahku, memuliakan kehormatanku dan
mensupport diriku untuk taat kepada Robbku.’”
(Tarikh Baghdadi X/160)

582. Sebagian ahli hikmah berkata, “Demi Allah


sungguh Allah benar pemberi jalan keluar kepada
kita. Meskipun kita tidak sampai pada derajat
ketakwaan. Tetapi Dia tetap melimpahkan rizki
kepada kita walau kita belum bertakwa kepada-
Nya. Kita pun memohon permintaan yang ke tiga,
yakni siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya
Dia akan menghapus kesalahannya dan akan
melipatgandakan pahala baginya.” (Hilyatul
‘Auliya’ IV/248)

583. Hasan bin Shalih berkata, “Bisa saja saat pagi


hari aku tidak memiliki uang satu dirham pun,
namun dunia seakan-akan telah aku peroleh
seluruhnya.” (Tadzkirotul huffadz I/217)

584. Sebagian ahli hikmah berkata, “Tunduklah


kepada Allah jangan tunduk kepada manusia,
puaslah dengan membuang rasa, sebab yang
demikian adalah bentuk kewibawaan, jangan
meminta kebutuhan kepada kerabat dan keluarga,
karena orang kaya adalah yang tidak
membutuhkan orang lain.” (Mukasyafatul Qulub,
hlm. 181)

585. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata,


“Kemudian hendaknya manusia mengambil
hartanya dengan suka cita supaya ia diberkahi
lantaran hartanya tanpa ada rasa berat dalam
hatinya. Hendaknya ia tetap berusaha
mendapatkan harta, layaknya ia berusaha
merenovasi kamar mandinya.” (Mukasyafatul
Qulub, hlm. 181)

586. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata,


“Harta yang dipergunakan untuk mencukupi
kebutuhannya ibarat keledai yang ditungganginya,
seperti karpet yang ia duduki bahkan layaknya
kamar mandi yang ia gunakan untuk buang hajat,
tanpa menjadikan dirinya budak bagi hartanya
hingga bersikap selalu mengeluh, apabila ia
ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila
ia mendapat kebaikan ia amat kikir.”
587. Sebagian ahli hikmah berkata, “Jika pintu
tertutup darimu tanpa keperluan, biarkan untuk
orang lain. Toh nantinya ia akan terbuka untukmu,
sungguh bila isi perut telah penuh, niscaya sudah
cukup untukmu. Cukuplah hal-hal jelek itu kau
jauhi, jangan pernah kau gadaikan
kehormatanmu, menjauhlah, menunggangi
kemaksiatan berarti membalikkannya untuk
menjauh darimu.” (Al-Ihya III/254)

588. Yahya bin Muadz berkata, “Malangnya anak


adam itu, sekiranya ia takut kepada neraka
sebagaimana ia takut kepada kefakiran, niscaya ia
masuk surga.” (Tarikh baghdad XIV/ 254)
589. Sufiyan Ats-Tsauri berkata, “Perhatikanlah
dirhammu (uangmu) dari mana asalnya. Dan anda
sholat di shaf terakhir.” (Hilayatul Auliya’ VII/68)

590. Sebagian ahli hikmah berkata, “Kita


menambal dunia kita dengan mencabik-cabik
agama kita, maka tidak tersisa lagi agama kita dan
apa yang kita tambal.” (Ar-Rizaku oleh Abdul
Malik Al-Qosim, hlm. 46)

591. Muhammad bin Sirin berkata, “Konon pernah


ada yang mengatakan, pelajar muslim itu selalu
membawa dirham.” (Az-zuhd karangan Baihaqi,
hlm. 362)
592. Sahl rohimahullah berkata, “Engkau tak akan
merasa takut hingga engkau menyantap makanan
yang halal.” (Al-Ihya’ 40/170)

593. Atha ibn Yasas berkata, “Mesjid adalah pasar


akherat, maka bila engkau hendak melakukan
transaksi jual beli, keluarlah menuju pasar dunia.”
(Al-Wara’ karangan Imam Ahmad bin Hanbal,
hlm. 51)

594. Hudzaifah Al-Mura’syi berkata, “Selayaknya


mereka berkompetisi untuk bisa memakan roti
yang halal lebih dahulu dan tidak berkompetisi
mendapatkan shaf awal.” (Az-zuhd karangan
Baihaqi, hlm. 253)
595. Yusuf ibn Asbath berkata, “Jika seorang
pemuda sedang beribadah, iblis berkata;
‘Perhatikanlah berasal dari mana makanannya?’
Bila makanannya tidak halal, ia mengatakan;
‘Biarkanlah dirinya, jangan menyibukkan diri
untuk menggagunya. Biarkanlah dirinya
berpayah-payah, cukuplah kepayahannya buat
kalian.” (Az-zuhd, karangan Baihaqi, hlm. 359)

596. Syu’aid bin Harb berkata, “Jangan kau


remehkan sepeser pun dalam rangka taat kepada
Allah. Sebab bukan uang yang dicari, tetapi
ketaatanlah orientasinya. Bisa jadi engkau membeli
sayur dengan uang tersebut, lantas ia tidak berada
dalam lambungmu, hingga kamu diampuni.”
(Shifatus Shafwa III/10)
597. Sebagian uluma salaf berkata, “Sungguh
meninggalkan satu dinar yang dibenci Allah lebih
aku sukai dari pada haji lima ratus kali.” (Al-
Wara’karangan ibnu Abid Dunya)

598. Hasan Al-Bashri berkata, “Aku menyaksikan


tujuh puluh Ashabul Badar mereka lebih zuhud
terhadap apa yang dihalalkan oleh Allah dari pada
zuhudnya kalian terhadap apa yang diharamkan
Allah kepada kalian.” (Hilayatul Auliya’ IV/255)

599. Maimun ibn Mahran berkata, “Seseorang


belum pantas dikatakan bertakwa hingga ia lebih
jelimet dalam bermuhasabah diri melebihi seorang
yang berserikat dengan rekan serikatnya serta
dirinya mesti tahu benar dari mana asal
pakaiannya, makanan dan minumannya.” (As-
Syiar V/14)

600. Al-Mu’afa bin Imran berkata, “Dulu ada


sepuluh orang alim yang memandang perkara
halal dengan pandangan serius. Tidak ada sesuatu
yang mereka telan melainkan mereka tahu betul
kehalalannya. Bila tidak, mereka lebih baik
menelan tanah. Sepuluh orang yang di maksud
beliau adalah: Bisyr, Ibrahim bin Adham, Sulaiman
Al-khawwash, Ali bin Fudhail, Abu Muawiyah Al-
Aswad, Yusuf bin Asbath, Wahaib bin Warad,
Huzaifah seorang syekh dari Haran dan Daud Ath-
Thai. Beliau memandang sepuluh orang tersebut
tidak memasukkan ke dalam perut mereka
melainkan mereka tahu pasti akan kehalalannya.
Bila tidak mereka lebih baik menelan tanah.” (Al-
Wara karangan Imam Ahmad, hlm. 10)

601. Bisyr mengatakan, “Semestinya seorang


memperhatikan rohnya dari mana ia berasal,
begitu pula tempat tinggalnya, bahan bangunan
berasal darimana? baru setelah itu, ia boleh
bicara.” (Al-wara karangan Imam Ahmad, hlm. 10)

602. Ibnul Mubarak berkata, “Menolak satu


dirham syubhat lebih aku sukai dari pada aku
bersedekah sebanyak 100.000 dirham ditambah
100.000 lagi hingga 600.000.” (Al-Ihya II/103)

603. Bisyr bin Harist berkata, “Tidak pantas bila


seseorang kenyang dari makanan halal pada hari
itu. Pasalnya, bila ia telah kenyang dari makanan
halal, jiwanya akan mengajak kepada yang haram.
Lantas dengan kelalaian itu, bagaimana dengan
kemudahan yang ada pada hari itu?.” (Al-Wara
karangan Imam Ahmad, hlm. 7)

604. Sebagian ahli hikmah berkata, “Siapa saja


yang memuja dunia untuk tujuan hidup yang
menyenangkan, aku bersumpah ia pasti mencela
yang sedikit, jika dunia telah membelakangi
seseorang, ia akan sedih, namun bila dunia
mendatangi, niscaya akan banyak menimbulkan
kesusahan.” (Al-Ihya’ III/ 221)

605. Abu Darda juga pernah berkata, “Baiknya


ma’isya ermasuk bagian dari baiknya agama. Dan
baiknya agama termasuk bagian dari baiknya
akal.” (Ar-Rizak – oleh Abdul Malik Al-Qasyim,
hlm. 60)

606. Abu Darda berkata, “Bukan termasuk rasa


cintamu kepada dunia saat engkau mengambil
sesuatu yang dapat membuat engkau baik
darinya.” (Jami Bayanil Ilmi wa Fadhluhu II/ 15)

607. Sebagian ahli hikmah berkata, “Tidaklah


seorang hamba mengambil sesuatu yang
diharamkan baginya kecuali dalam dua perkara.
(1) Buruk sangka dirinya kepada Robbnya.
Sekiranya ia mentaati-Nya dan mengedepankan-
Nya, Dia tidak akan memberikan yang lebih baik
dari yang halal. (2) Dirinya paham betul tentang
hal itu, bahwa siapa pun yang meninggalkan
sesuatu, Allah akan menggantinya dengan yang
lebih baik. Namun syahwatnya mengalahkan
kesabarannya dan lebih mengedepankan hawa
nafsunya dari pada akalnya. Jadi yang pertama
karena lemah ilmunya, sedang yang kedua karena
lemah akal dan kejeliannya.”

608. Yahya bin Muadz berkata, “Siapa saja yang


Allah himpun hatinya saat berdoa. Niscaya dia tak
akan menolak doa yang dipanjatkannya.”

609. Yahya bin Muadz berkata, “Bila hatinya


terfokus atas kurang sempurna dirinya benar-
benar mendesak dan rasa harapnya menghujam
kaut, maka hampir pasti doanya dikabulkan.” (Al-
Fawaid, hlm. 62)

610. Hasan al-Bashri berkata, “Demi Allah,


tidaklah seseorang yang Allah hamparkan rezeki
baginya di dunia lantas tidak takut bila Allah
membuat tipu daya terhadap dirinya, melainkan
pasti berkurang amalan dan melemah pikirannya.
Dan tidaklah Allah menahan dunia diri seseorang
hamba, lantas ia menyangka bahwa itu lebih baik
baginya melainkan pasti berkurang amalan dan
melemah pikirannya.” (Al-Jami’li Ahkamil Qur’an
VI/274)

611. Malik bin Dinar berkata, “Jadikanlah ketaatan


kepada Allah sebagai sebuah perniagaan, niscaya
hal ini akan mendatangkan keuntungan untukmu
tanpa harus ada barang yang dijual.” (Raudathul
‘uqala wa Nuzhatul Fudhala’, hlm. 27)

612. Sebagian ahli hikmah berkata, “Dunia telah


mempromosikan dirinya, sekiranya di alam ini ada
yang mau menyikmaknya, berapa banyak orang
yang yakin dengan umumnya telah
dikuburkannya, dan orang yang menghimpun,
diobrak-abrik apa yang telah dihimpunnya.”
(Tarik Baqdad IV/66)

613. Said bin Mas’ud berkata, “Bila engkau melihat


seseorang pasti dunianya lebih banyak dari
akhiratnya, sedang ia merasa puas dengan hal itu,
maka itulah orang yang tertipu. Wajahnya sedang
dipermainkan sedangkan ia tidak merasa.” (Al-
Ihya’ III/223)

614. Ibnu Samak bertutur, “Wahai anak Adam, saat


dirimu keluar pada pagi hari untuk mendapat
income, maka anggaplah dirimu dengan sesuatu
yang telah engkau usahakan. Seakan-akan engkau
tidak pernah meraih seperti itu.” (Shifatus Shafwa
III/174)

615. Sebagian ahli hikmah berkata, “Siapa saja


yang jarang berderma saat mengumpulkan
hartanya, lantas khawatir terjatuh dalam
kefakiran, maka sesungguhnya saat itu ia
bertindak sebagai orang yang fakir.” (Miftah Daris
Sa;adah 1/100)
616. Ali bin Husain berkata, “Siapa saja yang
bersikap qonaah dengan apa yang telah Allah
bagikan untuknya, maka ia termasuk orang yang
terkaya.” (Hilayatul Auliya’ III/135)

617. Sebagian ahli hikmah berkata, “Dirham


(uang) itu ada empat jenis: (1) Uang yang didapat
dengan taat kepada Allah, lalu dibelanjakan untuk
memenuhi hak Allah dan ini adalah sebaik-baik
uang. (2) Uang yang didapat dengan maksiat
kepada Allah, lalu dibelanjakan pula untuk
bermaksiat kepada-Nya ini adalah seburuk-
buruknya uang. (3) Uang yang di dapat dengan
menyakiti saudara muslim, lalu dibelanjakan pula
untuk menyakiti saudara muslim. Ini pun seburuk-
buruknya uang. (4) Uang yang didapat dengan
cara halal, lalu dibelanjakan untuk memenuhi
keinginan yang mubah, yang ini tidak
mendapatkan pahala ataupun dosa.” (Ar-
Rizqu,Abdul Malik Al-Qosim, hlm. 81)

618. Sebagian ahli hijmah berkata, “Ada tiga yang


menjadi titik perhatian uang, darinya bisa
mengakar lagi: (1) Ada uang yang didapat dengan
cara benar, lalu dibelanjakan dalam kebhatilan. (2)
Ada uang yang didapat dengan cara yang batil, lalu
dibelanjakan dalam kebenaran, maka uang yang
dibelanjakannya tadi menjadi penghapus dosanya.
(3) Ada uang yang didapat dengan cara syubhat
(tidak jelas halal haramnya), maka uang tersebut
menjadi penghapus dosanya manakala
dibelanjakan di dalam ketaatan.” (Al-Fawaid, hlm.
222)

619. Maimun bin Mihran berkata, “Seseorang


tidak akan selamat pada yang halal sampai ia
menjadikan antara dirinya dan sesuatu yang
haram bagian dari yang halal.” (Al-Wara’
karangan Ahmad bin Hanbal, hlm. 44)

620. Zubair bin Hadist berkata, “Seribu kotoran


lebih aku sukai daripada seribu dinar.” (As-Siyar
V/296)
621. Abu Darda’ berkata, “Pemilik harta itu makan,
kita pun makan, mereka meneguk minuman, kita
juga minum, mereka mengenakan pakaian kita
juga demikian, mereka berkendaraan, kita pun
demikian mereka memiliki kelebihan harta yang
mereka pelototi, kita pun bisa memelototi harta itu
bersama mereka, dan mereka akan di hisab
karenanya, sedangkan kita tidak.” (As-syiar II-
350)

622. Sebagian ahli hikmah berkata, “Bila engkau


telah diberi kekayaan seisi bumi, selayaknya
engkau pun takut dua lembah negeri yang telah
engkau kuasai, lalu apa pertanda semua itu?
Bukankan esok muaramu adalah tanah? Lalu
tanah itu dan ini ditaburkan.” (Ar-rizku, Abdul
malik al-Qasim, hlm. 87)
623. Hasan Al-Bashri berkata, “Bila Allah hendak
menjadikan kebaikan bagi seorang hamba, dia
akan melimpahkan rezeki di dunia itu, lantas dia
menahannya. Dan bila hadis, maka dia akan
kembali melimpahkan untuknya. Dan bila seorang
hamba rendah di sisinya, maka dia akan
menghamparkan baginya dunia yang seluas-
luasnya.” (Ar-rizqu Abdul Malik al-Qosim, hlm.
87)

624. Abu Hazim Salamah bin Dinar berkata, “Bila


kita terjaga dari keburukan apa yang telah
ditimpakan kepada kita, niscaya kita tidak
menemukan apa yang hilang dari kita.” (Syifatus-
shafwah II/158)
625. Yahya bin Mu’adz berkata, “Aku heran
terhadap orang yang sedih lantaran berkurangnya
harta dirinya. Bagaimana dirinya tidak bersedih
lantaran berkurangnya umurnya?” (Shifatus
shafwah IV/95)

626. Sebagian ahli hikmah berkata, “Tinggalkanlah


kemewahan dunia beserta segala perhiasannya.
Janganlah terpesona untuk memperbanyak dan
bersikap serakah. Hendaklah engkau bersikap
qonaah dan ridho dengan apa yang telah Allah
bagi. Sesungguhnya qanaah itu harta yang tidak
habis. Singkirkanlah gaya hidup mewah, sekalipun
semua itu terpenuhi, niscaya tidak akan
mendatangkan manfaat.” (Muksyafatul Qulub,
hlm. 285)

627. Syumaith binAjlan berkata, “Wahai anak


Adam! Sesungguhnya perutmu hanya sejengkal
dalam sejengkal, lalu kenapa bisa memasukkanmu
ke dalam neraka.” (Al Ihya’III /254)

628. Sebagian ahli hikmah berkata, “Harimu


tidaklah melupakan dirimu, dan rezekimu lari
meninggalkan durimu. Siapa saja yang patuh
kepada manusia, niscaya akan menjadikan
manusia itu raja. Hendaklah engkau menjadikan
usahamu hanya untuk Allah, karena Allah akan
mencukupi dirimu.” (Thabaqatul Hanabila, hlm.
419)
629. Sebagian ahli hikmah berkata, “Bersikap
Qanaahlah dengan apa yang telah diberikan
untukmu dan gunakanlah perasaan ridho.
Sesungguhnya engkau tak tahu apakah esok atau
sore harinya engkau masih hidup.” (At-Tadskirah,
hlm. 55)

630. Hasan Al Bashri berkata, “Alangkah jeleknya


dua teman dekat ini, yakni dinar dan dirham.
Keduanya tak mampu mendatangkan manfaat
hingga keduanya meninggalkanmu.” (As Syir IV-
576)

631. Malik bin Dinar berkata, “Aku berharap Allah


menjadikan rezekiku kepada lubang yang aku
hisab, agar aku tidak sibuk mencari yang selainnya
hingga ajalku tiba.” (Hilyatul Auliya II/370)

632. Muhammad bin Sauqah berkata, “Ada dua


perkara sekiranya kita tidak disiksa melainkan
hanya karena dua perkara tadi, niscaya kita
memang pantas buat disiksa. Salah seorang di
antara kita ditambah rezeki dunia lantas ia merasa
gembira, padahal ia tidak pernah gembira sedikit
pun saat perkara agamanya ditambah. Dan
sebaliknya, saat rezeki dunia kita dikurangi dia
akan merasa sangat sedih, padahal dia tidak
pernah sedih itu apabila perkara agamanya yang
berkurang.” (Syifatus Shafwah III/117)
633. Syafil berkata, “Diriku sama sekali tidak
merasa takut akan kekafiran. Memburu kelezatan
dunia adalah hukuman, yang Allah hukum para
ahli tauhid dengannya.” (Ass-siyar X/97)

634. Sebagian ahli hikmah berkata, “Aku heran


kepada orang yang begitu khawatir menjadi fakir,
dan merasa aman dengan kematian yang pasti
terjadi. Apakah engkau juga merasa aman dengan
apa yang akan terjadi dengan tidak ada keraguan
sedikit pun. Dan merasa takut dengan apa yang
dibenarkan oleh prasangka?” (Junnatur Ridho
I/63)

635. Abu Shalih Hamidun bin Ahnan berkata,


“Cukupnya dirimu akan didatangkan kepadamu
tanpa engkau harus meminta lebih dan payah.
Sesungguhnya yang meletihkan hanyalah untuk
berlebih.” (Syifatu Shafwah IV/122)

636. Sebagian ahli hikmah berkata, “Orang fakir


tidak tahu kapan dirinya akan menjadi kaya dan
orang kaya pun tidak tahu kapan dirinya jatuh
miskin.” (As-Siyar VII/424)

637. Sebagian ahli hikmah berkata, “Sematkanlah


sikap Qanaah pada duniamu dan ridholah
dengannya. Sekiranya dirimu tak memiliki sesuatu
selain sehatnya tubuh.” (Mawaruduzh Zham’ah
III/493)
638. Sebagian ahli himkah berkata, “Harta benda
kita yang selama ini kita kumpulkan untuk ahli
waris, rumah rumah kita yang selama ini kita
bangun untuk kerobohan zaman, jiwa memikul
beban dunia, padahal dia tahu sesungguhnya
keselamatan itu meninggalkan apa yang ada di
dunia. Singgah dan menetap di dunia tidak akan
menyelamatkan jiwa dari kehancuran. Dan
melarikan diri dari kejadian juga tidak akan
menyelamatkan. Setip jiwa memiliki kepalsuan
saat pagi harinya.” (Tadzkiratul Huffazh I/109)

639. Sufyan Ats-Tsauri berkata, “Hidup itu tidak


lain hanyalah waktu-waktu yang berlalu, dan
obrolan hari-hari yang diulang. Bersikap
qanaahlah dalam hidupmu, dan bersuka citalah
dengannya.Tanggalkan hawa nafsumu, niscaya
engkau akan hidup bebas. Mungkin saja kematian
itu tiba meski diiringi emas, yakut dan mutiara.”
(Al-Ihya III/25)

640. Sufyan Ats Tsauri berkata, “Orang alim itu


dokternya agama, sedangkan dirham adalah
penyakit agama. Bila dokternya sendiri terserang
penyakit kapan dia bisa mengobati orang lain?”
(Tadzkirotul Huffaz I/204)

641. Sebagian ahli hikmah berkata, “Berilah kabar


gembira bagi harta yang bakhil, untuk bersiap diri
kedatangan musibah atau orang yang akan
menggantikannya.” (Mukassyafatul Qulub, hlm.
124)
642. Sebagian ahli hikmah berkata, “Manusia
mengumpulkan, sementara waktu itu memisah-
misahkannya. Ia tetap menambahnya sedang
bencana itu mencabik-cabiknya.” (Ar-Ridzku, hlm.
97)

643. Sebagian ahli hikmah berkata, “Ada mata-


mata bergadang, ada pula mata-mata terlelap
tidur. Entah karena perkara yang mungkin terjadi
ataupun tidak. Maka enyahlah rasa gundah gulana
semampu dirimu. Sebab sangat tidak normal bila
dirimu memikul rasa gundah gulana.” (Ar-Rizku,
hlm. 98)

644. Dari Ibnu Abbas berkata, “Tatkala dinar dan


dirham diedarkan, iblis mengambil dan
menaruhnya di depan kedua matanya lantas
berucap; Kamu adalah buah hatiku dan penyejuk
mataku, denganmulah aku bisa melampaui batas
dan jadi kufur serta denganmulah aku bisa
menyeret manusia ke dalam manusia ke dalam
neraka. Aku puas dengan anak Adam, saat mereka
menyembah diriku dengan cinta dunia.” (Shifatus
Shafwah 1/757)

645. Sebagian ahli hikmah berkata, “Sebaik-baik


harta benda adalah yang kau ambil dari yang halal
lalu engkau distribusikan dalam rangka memberi
orang lain. Sedangkan sejelek-jeleknya harta
benda adalah yang kau ambil dari yang haram lalu
engkau distribusikan dalam perkara dosa.”
(Adabud Dunya Wad Din, hlm. 214)
646. Hasan bin Abu Sinan berkata, “Sekiranya
bukan orang-orang miskin, niscaya aku tidak mau
bisnis dagang.” (Hilyatul Auliya’ III/116)

647. Yunus bin ‘Ubaid berkata, “Sesungguhnya


dirham itu hanya ada dua macam. Pertama,
dirham yang kau tahan hingga dia diminta darimu
lalu kau ambil kembali. Dan yang kedua, dirham
yang wajib atas Allah Ta’ala atas kamu, yang
padanya ada hak yang mesti kau tunaikan.”
(Hilyatul Auliya III/17)

648. Bisyr bin Harists berkata, “Amal ketaatan itu


demi Allah lebih manis dari keduanya, dinar dan
dirham.” (Tarikh Baghdad XIV/421)
649. Khalaf bin Husyab berkata, “Mengingat
kematian telah menjadi dinding pemisah antara
diriku dan terlalu sering berdagang. Sekiranya
mengingat kematian itu hilang dalam hatiku
walau hanya sesaat aku sangat khawatir kalau
hatiku akan merusak diriku, dan kalau bukan
karena aku mengingkari isi hatiku, daerah jaballah
akan menjadi tempat tinggalku hingga aku mati.”
(ShifatushShafwah III/109)

650. Abu Darda berkata, “Beribadahlah kepada


Allah seolah-olah kalian melihat-Nya. Anggaplah
diri kalian masuk dalam barisan orang-orang mati.
Ketahuilah bahwa sedikit tapi cukup bagi kalian
itu lebih baik daripada banyak tapi melalaikan
kalian. Ketahuilah bahwa kebaikan itu tidak akan
sirna dan dosa itu tidak akan terlupakan.” (Ar-
Rizku, hlm. 103)

651. Fudhoil bin Iyadh pernah mengatakan, “Hal


terbaik bagi diriku yakni saat diriku menjadi lebih
fakir. Sungguh aku benar-benar bermaksiat
kepada Allah, aku mengetahuinya dari perilaku
keledai dan pelayanku.” (Shifatush Shafwah
II/282)

652. Abu Ali Ats-Tsaqafi berkata, “Wahai orang


yang menjual segala sesuatu tanpa sesuatu pun
dan wahai orang membeli tanpa sesuatu dengan
segala sesuatu.” (As-Siyar XV/282)
653. Abu Ali Ats-Tsaqafi berkata, “Celakalah
kesibukan duniawi bila telah datang. Dan
celakalah karena kerugiannya saat ia telah
membelakangi.” (As-Siyar XV/282)

654. Kemahiran, keutamaan dan warisan. Niscaya


dirimu mendapatkan kasta tertinggi. Namun,
limpahan rezeki itu sudah merupakan jatah dan
bagian. Dengan karunia Dzat Yang Maha
Memiliki, bukan lantaran makar orang yang
memburu. (Ar-Rizku 104)

655. Malik bin Dinar berkata, “Pasar itu bisa


memperbanyak perbendaharaan tapi bisa
menghilangkan agama.” (Hilyatul Auliya II/385)
656. Abu Hazim Salamah bin Dinar berkata,
“Dunia yang dipandang remeh ternyata bisa
melalaikan orang dari banyaknya urusan akhirat.”
(Shifatush shafwah II/166)

657. Ibnu Mas’ud berkata, “Sesungguhnya seorang


hamba benar-benar akan dibuat gundah dengan
urusan dagang dan kepemimpinan, hingga dirinya
dimudahkan dalam hal itu. Lantas Allah
memperhatikan hamba tersebut seraya berkata
kepada malaikat, ‘Enyahlah ia darinya! Sebab
manakala Aku memudahkannya, Aku pasti akan
memasukkan dirinya ke dalam neraka.’ Maka
Allah pun memalingkannya, hingga hamba itu
terus menerus ditimpa kesialan seraya
mengatakan, ‘Fulan mencemoohkan diriku Fulan
merendahkan diriku’ Padahal hal itu tidak lain
karena bentuk karunia Allah.’” (Jam’ul Ulum wal
Hikam, hlm. 228)

658. Abu Hasim Salamah bin Dinar berkata,


“Sesungguhnya perbendaharaan akhirat itu
stagnan, maka perbanyaklah ia di tempat-
tempatnya. Sebab sekiranya tiba waktu
mengeluarkannya engkau tak akan sampai pada
yang sedikit atau pun banyak.” (Shifatus Shafwah
II/163)

659. Abdurrahman bin Mahdi berkata, “Demi


Allah engkau tak akan kehilangan sesuatu lantaran
meninggalkannya demi menggapai ridha Allah.
Dulu aku dan saudaraku adalah serikat dagang,
saat itu kami ditimpa kerugian yang besar. Maka
hatiku pun menjadi tak karuan, lantas aku
tanggalkan perasaan itu dan aku keluar darinya.
Tidaklah aku memutuskan keluar dari urusan
dunia, melainkan Allah kembalikan harta tadi
kepadaku. Mayoritas harta itu kembali kepadaku
dan anakku. Saudaraku menikahkan tiga putrinya
dengan putraku, aku pun menikahkan putriku
dengan putranya. Sedang beberapa waktu
saudaraku meninggal dan ayahku mendapatkan
harta gono-gininya. Akhirnya harta itu kembali
kepadaku dan anakku di dunia.” (Shifatush
Shafwah IV/6)

660. Sebagian ahli hikmah berkata, “Bebaskan


dirimu dari jeratan dunia. Sebab engkau lahir di
dunia dengan tidak memiliki apa-apa.” (Wafayatul
A’yan V/54)
661. Hasan Al-Bashri berkata, “Sesungguhnya
malang nasib anak Adam, ia ridho tinggal di negeri
yang halalnya dihisab dan haramnya akan
diadzab. Bila ia mengambil dunia dari yang halal,
ia akan dihisab dan bila ia mengambil dari yang
haram, Ia akan diadzab. Anak Adam cenderung
selalu merasa kurang dengan harta dunianya, tapi
tidak merasa kalau sedikit amalannya. Ia senang
dengan musibah yang menimpa agamanya dan
tidak ridho dengan musibah yang menimpa
dunianya.” (Al-Ihya III/224)

662. Sebagian ahli hikmah berkata, “Harta benda


yang kita kumpulkan akan diperuntukkan ahli
waris kita. Rumah yang kita bangun untuk
merobohkan waktu. itulah rumah-rumah kosong
di berbagai arah. Ia akan roboh dan kematian
menghimpit orang yang membangunnya.”

663. Abu Darda berkata, “Segala puji hanya milik


Allah yang telah menjadikan orang-orang kaya
berandai-andai seperti kita saat menjelang ajalnya
tiba dan pada saat yang bersamaan menjadikan
diri kita berandai-andai seperti mereka. Kita tidak
bisa berbuat adil kepada saudara-saudara kita
yang kaya, mereka begitu kasihan terhadap kita
karena masalah agama, tapi memusuhi kita karena
masalah dunia.” (As-Siyar II/350)

664. Sebagian ahli hikmah berkata, “Obat penawar


harta itu adalah dengan mengambil secukupnya
saja, lalu mendistribusikan sisanya di jalan
kebaikan. Bila selain hal itu, hanyalah racun dan
malapetaka.” (Mukhtashar Minhajul Qashidin
IV/2)

665. Sebagian ahli hikmah berkata, “Seseorang


berhasrat memberi kepada kematiannya. Namun
Allah enggan, melainkan apa yang diinginkan,
orang itu berkata, ‘Wahai aset dan harta
kakayaanku!’. Padahal taqwa kepada Allah itu
adalah asset paling berharga.” (Thabaqatusy
Syafi’iyah II/184)

666. Abu Darda berkata, “Pemilik dua dirham itu


lebih lama terkurung, lebih lama hisabnya
daripada pemilik satu dirham.(Al-Ihya’ IV/210)
Mu’amalah (Bergaul)

667. Abu Hurairoh berkata, “Tidaklah ada


kebaikan dalam pembicaraan yang tidak
bermanfaat.” (Bahjatul Majalis wa unsual-majelis
oleh Ibnu Abdil Barr 1\61)

668. Ibnu Abbas berkata, “Janganlah berbicara


hal-hal yang tidak berguna bagimu, karena hal itu
adalah suatu yang berlebihan. Sedangkan aku
tidak akan menjamin anda tidak akan terjerumus
suatu dosa, dan tinggalkanlah pembicaraan dalam
banyak hal yang tidak berguna bagimu. Betapa
banyak orang yang berbicara tidak pada
tempatnya lalu hal itu membebani dirinya sendiri.”
(Al-uzlah olehj al khattabi, hlm. 134)
669. Atho’ bin Abi Robah berkata, “Dahulu para
salaf membenci pembicaraan yang tidak karuan.”
(Bahjatul Majalis oleh Ibnu Abdil Barr 1\61)

670. Atho bin Abi Robah berkata, “Dengan


meninggalkan pembicaraan yang tidak
bermanfaat, akal pun menjadi sempurna.”
(Bahjatul Majalis oleh oleh Ibnu AbdilBbarr 1\61)

671. Atho bin Abi Robah berkata, “Diam itu


menjaga lisan dan menutupi kegagapan.” (Bahjatul
Majalis oleh Ibnu Abdil Barr 1\61)
672. Imam Syafi’i berkata, “Tidaklah terdapat
kebaikan pada pembicaraan yang berlebihan
kecuali jika engkau mendapat petunjuk kepada
sumber-sumbernya, dan diam merupakan sifat
yang baik bagi pemuda dari pada logika yang tidak
tepat waktunya.” (Diwan As-syafi’I, hlm. 136
dengan tahqiq Dr. Muhammad Abdul Mun’im
Khofaji)

673. Ismail al-Khatib berkata, “Sebaik-baik


pembicaraan adalah yang sedikit dari pada yang
banyak tapi tidak ada petunjuk dan gagap
mengandung makna yang ringkas yang dihimpun
oleh kata-kata yang panjang.” (Bahjatul majalis
1\61).
674. Imam Nawawi berkata, “Ketahuilah bahwa
setiap mukallaf (orang yang sudah diberi tanggung
jawab melakukan kewajiban dan menjauhi
larangan dalam agama islam) harus menjaga
lisannya dari segala perkataan, kecuali perkataan
yang jelas yang memiliki kemaslahatan, dan ketika
perkataan yang diperbolehkan (mubah) bisa
dilakukan dan ditinggalkan pada satu
kemaslahatan, maka sunnahnya adalah mencegah
untuk tidak berbicara karena perkataan yang
mubah terkadang mendorong kepada yang haram
atau makruh dan hal itu sering terjadi pada adat
kebiasaan, sedangkan keselamatan lisan tidak
tertandingi oleh apapun.” (Riyadus Solihin oleh
Imam Nawawi, hlm. 391)
675. Al-Qosami berkata, “Jauhilah perkataan yang
tidak bermanfaat, karena itu memperlihatkan aib-
aib kamu yang telah kamu sembunyikan dan
menggerakan musuh kamu yang sudah diam.
Perkataan orang menjelaskan keutamaannya dan
menggambarkan akalnya maka buatlah perkataan
dengan baik dan ringkas. (Jami’ul Adab fi Akhlaqil
Anjab oleh al-Qosami, hlm. 6)

676. Ali bin Abdurrahman bin Hudzail berkata,


“Wajib bagi orang yang lepas dari adab atau etika
dan jauh dari pengetahuan dan pemahaman serta
tidak berilmu untuk diam dan mengingat dirinya
dengannya karena hal itu merupakan bagian yang
besar dari adab dan bagian yang luas dari
petunjuk, karena dengan demikian ia aman dari
kesalahan dan terjaga dari faktor-faktor kealfaan
maka adab adalah pangkal dari segala hikmah dan
diam adalah kumpulan hikmah.” (Ainal adab was
siasah wazain Al-hasabi wa ar-riyasah oleh Ali bin
Abdurrahman bin Hudzail, hlm. 128)

677. Syekh Abdurrahman bin Sa’di berkata,


“Jauhilah olehmu mencari peluang dalam majelis-
majelismu bersama orang banyak untuk
memimpin mereka padahal anda bukanlah
seorang pemimpin, dan banyak bicara yang selalu
mengemukakan setiap perkataan. Dan bisa jadi
dengan kebodohan dan ketololanmu, kamu dapat
menguasai majelis untuk duduk, lalu engkau
menjadi penceramah dan pembicara tanpa ada
orang lain yang mendapat kesempatan bicara.”
(Lihat Ar-Riyadh an-Nashirah dhimna al-
Majmu’ah Al-kamilah oleh Ibnu Sa’di V/549)
678. Ibnu al-Mukhafa berkata, “Apabila anda
merasa dalam diri terdapat keutamaanmu
merasalah tidak nyaman untuk menyebutkannya,
dan ketahuilah bahwa hal itu nampak pada diri
anda dengan bentuk seperti itu akan terkesan pada
hati orang banyak sebagai suatu aib yang lebih
kuat dari pada keutamaan itu sendiri. Ketahuilah
bahwa jika anda sabar dan tidak terburu-buru
maka gambaran tentang diri anda akan tampak
lebih baik. Di mata orang banyak, janganlah
sekali-kali anda merasa tidak jelas bahwa
perhatian lebih dari seseorang untuk
menampakkan apa yang ada padanya dan kurang
wibawanya dalam hal itu termasuk bab kekikiran
dan keburukan, dan sebaik-baik pertolongan
untuk hal itu ialah kedermawanan dan kemurahan
hati. Jika anda ingin memakai pakaian
kewibawaan dan keindahan dan memiliki sifat
kasih sayang terhadap khalayak, dan menapaki
jalan yang mulus yang tidak terdapat lubang di
tengahnya atau batu sandungan, maka jadilah
orang yang mengerti tapi seperti orang bodoh, dan
orang pandai berbicara tapi seperti orang gagap,
adapun ilmu ia akan menghiasi diri dan
menunjuki anda, adapun kurangnya pengakuan
akan hal itu akan menghilangkan sifat hasad.
Adapun logika, jika anda menggugatnya maka ia
akan menyampaikan kebutuhan kepada anda, dan
adapun sifat diam maka ia akan memakaikan
pakaian kecintaan dan kewibawaan kepada Anda.”
(Lihat al-Adabus Shogir wa al-Adabul Kabir oleh
Ibnul Muqaffa’, hlm. 135 dan syarah wa dirasah
oleh Dr. Mufid Qomihah)
679. Ali berkata, “Lidah adalah standar yang
direndahkan oleh kebodohan dan ditinggikan oleh
akal.” (al-Adab ad-Dunya wa ad-Din oleh al-
Mawardi, hlm. 275)

680. Sebagian ahli balaghoh berkata, “Biasakanlah


diam, karena dapat memberimu kebeningan cinta
dan menjagamu dari akibat yang jelek,
memakaikanmu pakaian kewibawaan dan
mencukupkan bagimu bahan untuk beralasan.”
(al-Adab ad-Dunya wa ad-Din oleh al-Mawardi,
hlm. 275)

681. Sebagian ahli balaghoh berkata, “Ikatlah


lidahmu kecuali untuk suatu kebenaran yang ingin
kau jelaskan, atau kebatilan yang ingin kau tolak
atau kenikmatan yang ingin kau sebutkan.” (Adab
ad-Dunya wa ad-Din oleh al-Mawardi, hlm. 275)

682. Ibnul Muqoffa’ berkata, “Ketahuilah bahwa


lidah anda adalah alat yang tidak bersarung,
sedangkan akal, kemarahan, dan nafsu anda dapat
bertanya dengannya, maka siapa yang menang ia
akan menikmati lidah itu dan mengarahkannya
kepada apa yang disenanginya, bila akalmu dapat
memenangkannya maka lidah itu menjadi
milikmu, tapi jika terkalahkan maka ia menjadi
milik musuhmu. Bila engkau dapat memelihara
dan menjaganya maka ia tidak lain kecuali
milikmu. Musuhmu tidak akan menguasainya atau
musuhmu ikut bersamamu untuk menguasainya
karena itu lakukanlah.” (Al-Adabus Shoghir wa Al-
adabul Kabir oleh Ibnul Muqaffa’, hlm. 139)

683. Az Zamakhsyari berkata, “Sebaik-baik lidah


adalah yang terjaga dan sebaik-baik adalah yang
setimbang, maka berkatalah jika engkau ingin
berkata dengan lebih baik dari pada diam dan
hiasilah perkataanmu dengan kewibawaan
dengan cara yang baik. Sesungguhnya gegabah
dalam berbicara adalah tanda kurangnya akal, dan
tidaklah kelembutan itu masuk pada sesuatu
kecuali menghiasinya dan tidak ada sesuatu yang
menghiasi seorang pembicara kecuali
kewibawaan.” (Aqwaalun Ma’tsuratuh wa Kalimah
Jamilah oleh Dr.Muhammad bin Luthfi Al-Shibagh
hal.148 dan Athwaiq Adz-Dzahabi oleh Az-
Zamakhsyari, hlm. 89)
684. Ibnu Al-Muqaffa’ berkata, “Apabila Anda
berada dalam satu kumpulan orang, janganlah
sekali-kali menggeneralisasi suatu generasi dari
manusia, atau suatu bangsa dari bangsa-bangsa
dengan celaan dan cercaan. Karena anda tidak
tahu kalau-kalau ucapanmu mengenai sebagian
cela dari orang yang duduk bersamamu dengan
salah sehingga anda tidak mendapat penghargaan
mereka, atau dengan sengaja sehingga anda
dianggap bodoh. Meski demikian janganlah
engkau menjelek-jelekkan suatu nama baik laki-
laki maupun perempuan, dengan mengatakan
nama ini termasuk nama yang jelek karena anda
tidak mengerti kalau-kalau itu tidak sesuai dengan
sebagian orang yang hadir, dan bisa saja nama
yang anda anggap jelek itu terdapat pada keluarga
atau istri-istri mereka. Janganlah engkau
meremehkan hal ini, karena semua itu dapat
melukai hati, padahal luka yang disebabkan oleh
tangan.” (Al-adab al-Kabir wa al-Adab al-Shagir,
hlm. 162)

685. Umar bin Abdul ‘Aziz berkata, “Dua sifat yang


tidak dapat menghilangkanmu dari orang yang
bodoh, banyak menoleh dan tergesa-gesa dalam
menjawab.” (Uyunul akbar II\39)

686. Ibnu al-Muqhoffa’ berkata, “Apabila penanya


dalam pertanyaannya tidak bermaksud ditujukan
kepada orang tertentu, tapi untuk semua orang
yang ada di sisinya maka janganlah sekali-kali
menjawab berusaha mendahului yang lain, dan
janganlah tergesa-gesa untuk memulai bicara
karena hal itu menunjukkan aib yang dibuat-buat
dan suatu kebodohan. Karena jika anda
mendahului suatu kaum untuk berbicara maka
mereka akan menjadi lawan bagi perkataanmu
dan mengomentari perkataanmu setelah itu
dengan keaiban dan tuduhan yang tidak pantas.
Jika anda tidak terburu-buru dalam menjawab dan
memberikan kesempatan untuk kaum itu maka
anda akan dapat memahami berbagai dimensi dari
perkataan mereka lalu anda pun dapat mencermati
dan memikirkan apa yang ada pada anda,
kemudian anda dapat mempersiapkan jawaban
yang memuaskan berdasarkan pemikiran dan
kebaikan yang anda dengar, dengan jawaban anda
itu mengulang ke belakang berbagai perkataan
mereka, ketika pendengaran mereka sedang
mendengarkan anda, dan dengan demikian
lawan-lawan bicaramu pun menjadi teman. Jika
anda tuntas berbicara dengan orang selain anda,
atau perkataan itu terputus sebelum itu hal itu
tidak menjadi aib bagimu, dan tidak juga
merupakan suatu kesalahan dalam dirimu
kehilangan kesempatan untuk menjawab karena
terpeliharanya perkataan itu lebih baik dari
kejelekan dalam penempatannya, dan bahwa satu
kata yang benar yang diucapkan pada tempatnya
itu lebih baik dari pada seratus kata yang anda
katakan pada satu kesempatan, dan tempat yang
salah. Padahal perkataan yang terburu-buru dan
banyak tidak akan terlepas dari sesuatu
keterpelesetan dan penghargaan yang jelek,
meskipun memiliki kata-kata itu menyangka
bahwa ia telah berbuat dengan benar dan
profesional. Ketahuilah bahwa berbagai masalah
ini tidak akan anda gapai dan tidak juga anda
miliki kecuali dengan keluasan ilmu saat
diungkapkan maupun tidak diungkapkan, dan
sedikitnya pengagungan terhadap akhlak yang
baik yang telah tampak maupun yang belum.
Kedermawanan jiwa terhadap banyaknya
kebenaran adalah ketakutan dalam perselisihan,
ketergesaan, kedengkian dan perdebatan.” (Al-
Adabus shoghir wa Al-Adabul kabir, hlm. 122-
123)

687. Salah seorang ahli hikmah berkata, “Tidak


terdapat kebaikan sama sekali pada pendapat yang
tidak mapan dan tidak juga pada untaian kata-kata
yang terburu-buru.” (Zahrul al-Adab oleh Al-
Hashri Al-Qoiruwani 1/154)
688. Salah seorang ahli hikmah berkata,
“Kesalahan adalah bekal orang-orang yang
terburu-buru.” (Majma’ Al-Amtsal oleh Al-
Maidani 1/431)

689. Salah seorang ahli hikmah berkata, “Untuk


memulai suatu perkataan harus memiliki daya
tarik yang memikat dan bagian yang mempesona
maka jika watak menjadi rendah dan pengamatan
menjadi seimbang serta jiwa menjadi bersih maka
seseorang mesti mempelajari lagi dan dalam hal ini
agar kesenangannya terhadap kebaikan
perkataannya itu sama dengan kegelisahannya
terhadap kejelekan perkataannya.” (Zahrul Adab
1/154)
690. Ibnu Hibban berkata, “Seorang sahabat
hampir tidak bisa didahului, adapun orang yang
tergesa-gesa hampir tidak bisa menyusul. Seperti
halnya orang yang diam ia hampir tidak menyesal,
juga orang yang berbicara hampir tidak selamat
(dari kesalahan). Orang yang tergesa-gesa
berbicara sebelum mengerti dan menjawab
sebelum memahami (pertanyaan), dan memuji
sebelum mencoba dan mencela setelah di puji, ia
juga bertekad sebelum berfikir dan bergegas
sebelum bertekad. Orang yang tergesa-gesa selalu
diikuti penyesalan dan dijauhi keselamatan, dan
orang Arab menamakan ketergesaan sebagai induk
dari berbagai penyesalan.” (Raudha al-‘Uqola, hlm.
216)
691. Ibnu Abbas berkata, “Janganlah engkau
bertengkar mulut dengan orang yang sabar dan
juga dengan orang yang bodoh, karena orang yang
sabar akan membencimu dan orang bodoh akan
menyakitimu.” (Al-Uzlah oleh al-Khattabi, hlm.
134-135)

692. Ibnu al-Muqaffa berkata, “Ketahuilah bahwa


anda akan diuji oleh sekelompok orang dengan
kebodohannya yang akan memperlihatkan
kedengkian hati mereka kepadamu. Apabila anda
melawan atau membalasnya dengan kebodohan
mu, anda seakan-akan rela dengan apa yang ia
kerjakan, dan anda suka untuk menjadi seperti
dirinya. Jika hal itu menurutmu adalah perbuatan
tercela maka wujudkan celaanmu kepadanya
dengan tidak melawannya, jika anda mencelanya
dan mengambil jalan sepertinya maka hal itu
bukanlah perbuatan yang tepat.” (al-Abadus
Shagir wa al-Adab al-Kabir, hlm. 155)

693. Sebagian ahli hikmah berkata, “Perkataan


yang muncul dari seseorang akan menunjukkan
kepada hakikat akal dan tabi’at akhlak.” (Lihat
Khuluq al-Muslim, hlm. 77)

694. Ibnu al-Muqaffa berkata, “Janganlah anda


duduk bersama seseorang tanpa mengetahui
caranya, karena jika anda ingin menjumpai orang
yang bodoh dengan menggunakan ilmu, dan orang
yang kasar dengan fiqih dan orang yang gagap
dengan ilmu bayan, tidak akan menambah apa-
apa kecuali anda telah menyia-nyiakan ilmu dan
menyakiti teman duduk anda dengan
membebaninya dengan sesuatu yang tidak ia
ketahui, juga kesedihan anda terhadapnya seperti
kesedihan yang dirasakan seorang yang fasih
berbicara saat bergaul dengan orang orang yang
asing yang tidak mengerti. Ketahuilah bukan
merupakan sebuah ilmu saat anda
menyebutkannya di hadapan orang yang bukan
ahlinya kecuali mereka bakal mencelanya,
mengangkatnya dan membatalkannya, dan
mereka sangat berkeinginan untuk menjadikannya
sebagai suatu kebodohan, hingga banyak hiburan
dan permainan yang merupakan sesuatu yang
paling sepele menurut pandangan orang-orang
pasti akan dihadiri orang yang tidak
mengetahuinya, lalu membebaninya dan bersedih
karenanya.” (al-Abadus Shagir wa al-Abadul
Kabir, hlm. 158)

695. Syekh Abdurrahman berkata, “Di antara adab


yang baik ialah berbicara kepada setiap orang
sesuai dengan situasi dan kondisinya kepada
ulama dengan belajar dan mengambil faedah serta
menghormatinya, kepada para raja dan presiden
dengan menghormati dan perkataan yang lembut
yang sesuai dengan kedudukannya, dan kepada
teman-teman dan lawan-lawan bicara dengan
perkataan yang lembut sambil menyampaikan
hadits-hadits tentang agama dan dunia dan
memaparkan yang enak di hati yang dapat
menghilangkan kerisauan dan dapat menghiasi
majelis dengan keindahannya. baik juga untuk
dilakukan sesekali yaitu bersenda-gurau jika
memang itu benar, dan bakal tercapai tujuannya.
Berbicara kepada mereka yang suka mengambil
manfaat seperti para mahasiswa dan lainnya
dengan mengemukakan sesuatu yang bermanfaat
kepada orang-orang yang bodoh menyampaikan
berbagai hikayat dan tema yang cocok bagi mereka
yang dapat memberikan kemudahan kepada
mereka yang membuatnya kerasan, kepada istri
dan anak-anak dengan mengajarkan pendidikan
untuk kepentingan agama dan dunia, juga
pendidikan rumah serta mengarahkan mereka
kepada perbuatan-perbuatan yang berguna bagi
mereka dengan cara sederhana dan sedikit humor
karena mereka orang yang paling berhak
mengecap kebajikanmu dan di antara kebajikan
yang paling agung ialah pergaulan yang baik
kepada orang yang fakir dan miskin bersikap
sederhana, tidak sombong dan tidak merasa tinggi
hati dan takabur terhadap mereka. Betapa sering
terjadi dengan menggunakan cara di atas
menghasilkan banyak kebaikan dan keberkahan.
Sebaliknya betapa sering terjadi dengan tidak
menghiraukannya menghasilkan banyak
kejelekan dan sirnanya kebaikan. Berbicara
dengan orang yang yang anda kenal menyukai
permusuhan, kemarahan dan kedengkian dengan
cara yang sopan dan menjauhi cara-cara
kekerasan, dan jika anda dapat mencapai kepada
kedudukan yang tinggi maka hal itu sesuai dengan
firman Allah:

“Tolaknya (kejahatan itu) dengan cara yang lebih


baik, maka tiba-tiba orang yang di antaramu dan
antara dia ada permusuhan seolah-olah menjadi
teman yang sangat setia. (Qs Fusilat:34). Alangkah
sempurnanya kedudukan yang tidak diberikan
kepadanya kecuali kepada orang yang memiliki
nasib yang agung.” (Al-Riyadh al-Nadhira, hlm.
548-549 dalam kumpulan Ibnu Sa’di)

696. Salah seorang ahli hikmah berkata, “Di antara


adab kesopanan ialah mengarahkan pendengaran
kepada orang yang berbicara dengannya karena
hal itu menunjukkan kesenangan padanya dan
ketertiban terhadap perkataannya.” (Rosail al-
Ishlah 1\212)

697. Salah seorang ahli hikmah berkata,


“Pembicara yang baik adalah pendengar yang baik
pula, oleh karena itu berbaguslah dalam
mendengar. Janganlah anda memotong orang
yang berbicara denganmu tetapi doronglah ia
untuk berbicara dengan kebaikan sikap diammu
agar ia membalasmu secara sama. Kebaikan
mendengar adalah dengan telinga, kedipan mata,
dan kehadiran hati serta kecemerlangan wajah.”
(Kaifa Tuhawiru Dr. Thariq al-habib, hlm. 21)

698. Ibnu Abbas berkata, “Tiga hal untuk orang


yang duduk bersamaku, aku menyambutnya
dengan dua sisiku jika ia datang menghadapku,
aku meluaskan tempatnya jika ia duduk, dan aku
memberikan perhatian kepadanya jika ia berkata.”
(‘Uyun al-Akhbar 1\306)
699. Amr bin Ash berkata tiga hal, “(1) Aku tidak
merasa bosan terhadap mereka orang yang duduk
bersamaku yang belum paham apa yang aku
katakana. (2) Pakaianku yang menutup badanku.
(3) Dan kendaraan (onta) ku yang membawa
kedua kakiku.” (‘Uyunul Akhbar 1\306)

700. Said bin Al-Ash berkata, “Tiga hal untuk


orang yang duduk bersamaku: (1) Jika ia datang
menghadapku akan luas tempat untuknya. (2) Jika
duduk maka aku akan menghadapnya. (3) Dan jika
aku akan mendengarkannya.” (Al-Muntaqha min
Makari Al-akhlak intiqo’Abi Thohir al-salafi, Al-
kharaithi, hlm. 54)
701. Al-Hasan berkata, “Jika anda duduk pada
suatu majelis maka jadilah anda lebih perhatian
untuk mendengar daripada berbicara, belajarlah
jadi pendengar yang baik sebagaimana anda
belajar berbicara yang baik dan janganlah
memotong perkataan orang lain.” (Zahrotul adab
I/95)

702. Abu ‘Ubbad berkata, “Yang harus dilakukan


oleh seorang pembicara terhadap orang yang
duduk bersamanya ialah mengumpulkan semua
pikirannya, mendengarkan dengan seksama
perkataannya, menjaga rahasianya dan
meringankan udzurnya.” (Zahratul adab I/95)
703. Ibnu Sa’di berkata, “Termasuk adab yang baik
ialah jika seorang berkata kepadamu tentang
urusan agama atau dunia maka janganlah anda
menentangnya jika anda telah mengetahui hal itu
sebelumnya tetapi dengarkanlah ia dengan
seksama seperti orang yang tidak mengetahui apa-
apa, dan tidak pernah melewatinya, dan
perlihatkanlah kepadanya bahwa anda telah
mengambil faedah darinya sebagaimana orang-
orang yang bijaksana melakukannya dalam hal ini
terdapat beberapa pelajaran di antaranya memberi
semangat kepada pembicaraan memasukan
kebahagiaan ke dalam hatinya, selamat dari
perasaan ujub (bangga diri) terhadap diri sendiri,
dan selamat dari adab yang jelek karena berselisih
dengan pembicara dan perkataannya adalah
termasuk dari adab yang jelek.” (Ar-Riyadh An-
Nadriah, hlm. 548)

704. Ibnu al-Muqaffa berkata, “Jika anda melihat


seseorang sedang berbicara dengannya dan
janganlah memberikan komentar terhadapnya
karena ingin agar orang mengetahui bahwa anda
telah mengetahuinya karena hal ini merupakan
kebodohan, adab yang jelek dan kelemahan akal.”
(Al-Adabul Kabir wal Al-Adabus Shogir, hlm. 162)

705. Ibnu Abdil Bar berkata, “Termasuk adab yang


jelek di dalam majelis adalah memotong
pembicaraan orang yang duduk bersamamu atau
anda mendahuluinya untuk menyempurnakan
perkataan yang baru ia mulai baik apakah itu
kabar ataupun syair yang anda sempurnakan anda
memperlihatkan kepadanya bahwa anda lebih
hafal darinya. Ini adalah cara bermajelis sangat
jelek yang harus anda lakukan ialah
mendengarkan seolah-olah belum
mendengarkannya sama sekali kecuali darinya.”
(Bahjatul Majalis I/ 46

706. Ibnu Juraj menceritakan dari Atha, “Seorang


laki-laki berbicara kepadaku tentang suatu topik,
maka aku mendengarkannya padahal aku telah
mendengar topik itu sebelum ia dilahirkan.” (Siar
‘Alamin an-Nubada 7/86 dan Tadzkiratus Sami’
wa al-Mukallimin, hlm. 157)
707. Abu Mujliz berkata, “Jika ada seseorang yang
datang dan berniat untuk duduk bersamamu
janganlah meninggalkannya sampai engkau
meminta izinnya terlebih dulu.” (Al-Muntaqa min
Maharimi al-Akhlak, hlm. 153)

708. Asma bin Khorijah berkata, “Tidaklah


seseorang duduk bersamamu kecuali aku
melihatnya memiliki keutamaan atas ku sampai
meninggalkanku.” (Al-Muntaqa min Makarimi al-
Akhlak, hlm. 153)

709. Sebagian ahli hikmah berkata, “Bisa jadi


orang yang memiliki kesopanan itu terpaksa untuk
menolak kejelekan lawannya yang tidak suka
menyebutkan sesuatupun tentang kebobrokan
mereka, tetapi kesopanan enggan untuk membuat-
buat keaiban yang akan di lemparkan kepada
mereka karena memberi tahukan selain yang
terjadi akan menghancurkan bangunan
kesopanan dan tidak menyisakan baginya suatu
esensi maupun bekasnya.” (Rasail al-Islah I/211-
212)

710. Sebagian ahli hikmah berkata, “Tidaklah bagi


pembohong suatu adab kesopanan pun dan tiada
pula bagi yang mudah bosan suatu
kepemimpinan.” (Al-Mahasin wa al-Masawi, hlm.
443)

711. Sebagian ahli hikmah berkata, “Perkataan


yang baik terhadap musuh akan dapat
memadamkan api permusuhan, memotong
ketajaman permusuhan atau paling tidak
menghentikan perkembangan keburukan dan
penyebaran kekejian.” (Khuluq al-Muslim, hlm. 80
dan ad-Da’wah ila al-Islah oleh Muhammad al-
Khidr Husein, hlm. 54)

712. Ibnu Hibban berkata, “Barangsiapa yang tidak


bergaul dengan orang yang mempunyai tenggang
rasa dari kesalahan yang mereka perbuat dan
meninggalkan persangkaan terhadap hal-hal yang
disenangi yang mereka datangkan maka ia lebih
dekat kepada kehidupannya yang keruh dari pada
kejernihannya, dan suatu saat akan mendorong
kepada permusuhan dan pertentangan dari pada
mendapat kecintaan dari mereka yang
meninggalkan permusuhan.” (Roudotul ‘uqola,
hlm. 72)

713. Ar-Rafii’ berkata, “Bila terjadi perbedaan


pendapat antara dua orang sedang niat mereka
benar-benar ikhlas, perbedaan mereka hanyalah
disebabkan bermacam-macamnya pendapat dan
akhirnya mereka sepakat menerima pendapat
yang kuat tidak jalan lain yang harus demikian.”
(Wahyu al-Qolam oleh ar-Rofi: II/ 351)

714. Ahmad bin Khalid al-Khalal berkata, “Saya


mendengar Muhammad bin Idris as-Syafii’
mengatakan, ‘Saya menginginkan dia salah.’” (Sifat
al-Sofwah oleh Ibnul Jauzi II/167)
715. Al-Husain al-Karabsi berkata, “Saya
mendengar as-Syafi’i berkata, ‘Saya tidak pernah
berdiskusi dengan seseorang sama sekali selain
saya mengharapkan dia mendapat taufik, benar,
mendapat pertolongan, bimbingan dan lindungan
dari Allah. setiap kali saya berdebat dengan
seseorang saya tidak peduli apakah Allah akan
menjelaskan kebenaran dengan lisan saya atau
dengan lisan dia.” (Sifat al-Sofwah oleh Ibnul Jauzi
II/167)

716. Ibnu Hazm berkata, “Barangsiapa yang mau


bersikap adil, bayangkanlah dirinya sebagai lawan,
karena akan nampak baginya wajah
ketidakadilannya.” (al-Akhlak wa Syiar, hlm. 80)
717. Salah seorang ahli himmah berkata, “Menyia-
nyiakan hasil pemikiran yang sudah tetap dan
tidak membahas apa yang seharusnya dibahas
adalah induk kebatilan.” (al-Akhlak wa as-Syiar,
hlm. 57)

718. Al-Aqqad berkata, “Sikap keras kepala dan


keteguhan berpendapat itu dua hal yang
berlawanan; keras kepala adalah
mempertahankan pendapat tanpa alasan atau
dengan sebab yang sudah jelas kesalahannya;
keteguhan adalah mempertahankan pendapat
yang diyakini selama belum ada sebab yang
mendorong untuk berpindah darinya.” (Aqwal
Ma’tsurah, hlm. 200)
719. Ar-robi’ bin Sulaim berkata, “Saya mendengar
Imam Syafi’i berkata, ‘Setiap kali saya
menyampaikan kebenaran dan hujjah kepada
seseorang lalu dia menerima pasti aku beri
kepadanya hadiah dan saya anggap sebagai rasa
sayangnya padaku, dan setiap kali orang bersikap
sombong kepadaku dalam masalah kebenaran dan
mempertahankan hujjahnya pasti dia orang
rendah menurut pandanganku.’” (Sifatu as-Sofwah
II/167)

720. Sebagian ahli hikmah berkata, “Semakin baik


dia memaparkan pengetahuan dan memperkuat
pemikirannya semakin menarik dan semakin besar
pula responnya.” (Fii ushul al-Hiwar hal 33-34
dan Da’wah ila al-Islah, hlm. 54-55)
721. Tidak seyogyanya mengadakan dialog dengan
orang yang berwibawa besar dan sangat dihormati
orang, agar kewibawaan dan kebesarannya tidak
membuat lawannya menjadi heran dan takut
mengajukan argumentasi sebagaimana mestinya.
(Adab al-Bahtsi wa al-Munazharah II/ 76)

722. Imam Nawawi berkata, “Saya tidak melihat


sesuatu yang dapat lebih menghilangkan agama,
mengurangi kesopanan, menyia-nyiakan
kenikmatan dan memberatkan hati selain dari
pertengkaran.” (Al-adzkar, hlm. 330)

723. Imam Nawawi berkata, “Pertengkaran itu


melukai hati dan membangkitkan kemarahan, bila
kemarahan bangkit maka timbullah kedengkian di
antara mereka berdua sehingga masing-masing
merasa senang bila bisa menjelekkan yang lain dan
membuatnya salah, lalu dia menuruti
kehendaknya sendiri semaunya. Barangsiapa
bertengkar, maka kemungkinan dia akan terkena
penyakit ini, minimal sibuk hatinya, sehingga
mewarnai hubungannya dan hatinya terus
berkaitan dengan debat dan pertengkaran dan
keadaannya tidak pernah dapat bersikap lurus,
pertengkaran itu pangkal dari kejahatan, demikian
juga debat dan perselisihan, maka sebaiknya orang
tidak membuka pintu pertengkaran kecuali dalam
keadaan terpaksa yang tidak dapat dihindarkan
pada kondisi seperti itu dia harus menjaga lisan
dan hatinya dari penyakit pertengkaran.” (Al-
adzkar hal 330-331 Ihya ‘Ulumuddin oleh Al-
Ghozali II/ 116-120)

724. Ibnu Abbas berkata, “Cukuplah anda


dianggap berbuat zhalim bila kamu selalu
bertengkar dan cukuplah anda berdosa bila kamu
tetap berdebat.” (Bahjat al-Majalis II/429)

725. Ibnu Abi Zanad berkata, “Apa yang dibangun


dengan perdebatan itu akan dihancurkan oleh
perdepatan serupa.” (Bahjat al-Majalis II /429)

726. Al-Auza’i berkata, “Jika Allah menghendaki


kejehatan pada suatu kaum maka Dia
memaksakan perdebatan pada mereka dan
mencegah mereka beramal.” (Bahjatul Majelis
II/430)

727. Al-Ashum’i berkata, “Saya mendengar


seorang Arab badui berkata, ‘Barang siapa
mengompori dan bertengkar dengan orang lain,
berkuranglah kehormatannya, dan barangsiapa
yang sering melakukan sesuatu maka dia akan
terkenal.’” (Bahjat al-Majalis II / 430)

728. Al-Ajuri meriwayatkan hadits dari Muslim


bin Yasar berkata, “Hindarilah pertengkaran
karena hal itu adalah saat kebodohan bagi orang
lain dan dengan cara itulah setan mencari
kesalahannya.” (As-Syari’ah oleh Al-Ajuri, hlm. 56,
lihat juga Al-Ashfahani: Al-Hujjah fii Bayan al-
Mahajjah 1/280).

729. Umar bin Abdul ‘Aziz berkata, “Barangsiapa


menjadikan agamanya tujuan untuk pertengkaran
maka dia sering berpindah-pindah.” (As-Syari’ah,
hlm. 56)

730. Abdullah bin Husain bin Ali berkata,


“Pertengkaran itu adalah pelopor kemarahanmu,
Allah menghina akal yang mendatangkan
kemarahan kepadamu.” (Bahjat al-Majalis Ii/429)

731. Muhammad bin Ali bin Husain berkata,


“Pertengkaran itu menghancurkan agama dan
menimbulkan kedengkian dalam hati orang.”
(Bahjat al-Majalis II/429)

732. Abdullah bin Hasan bin Husain berkata,


“Pertengkaran itu merusak persahabatan yang
sudah lama terjalin dan mengendorkan ikatan
yang kuat minimal pertengkaran itu menjadi
sasaran bagi pernyataan yang berlebih-lebihan
sedang berlebih-lebihan itu adalah penyebab
terkuat bagi pemutusan hubungan.” (Bahjat al-
Majalis II/429)

733. Ja’far bin Muhammad berkata, “Hindarilah


pertengkaran karena pertengkaran itu akan
menyibukkan hati.” (Syarah Ushul I’tiqad Ahli
Sunnah wal Jama’ah Al-Lalika’i I / 128-129)
734. Tsabit bin Qurrah berkata, “Hindarilah
pertengkaran karena pertengkaran itu akan
membatalkan amal baik.” (Syarah Ushul I’tiqad
Ahli Sunnah wal Jama”ah Al-Lalika’i I / 128-129)

735. Ibnu Hazm berkata, “Jauhilah berbeda


pendapat dengan kawan duduk dan menentang
orang-orang pada masamu dalam hal yang tidak
merugikan agama dan akhiratmu walaupun hanya
sedikit karena dengan demikian kamu akan
mendapatkan kerugian, dijauhi orang dan
permusuhan, kemungkinan hal itu akan
mengakibatkan dituntut dan kerugian yang besar
dan tidak berguna sama sekali.” (al-Akhlak wa as-
Siyar, hlm. 61)
736. Abu Sulaiman al-Khattabi berkata,
“Barangsiapa yang bertengkar maka seharusnya
kamu menjauhinya, jangan mendekatinya, karena
kerelaan dan tujuannya tidak mungkin dapat
dicapai.” (al-‘Uzlah, oleh Al-Khottobi, hlm. 166)

737. Sebagian Ahli Hikmah berkata, “Lidah yang


kotor dan perkataan yang jahat termasuk kelakuan
yang buruk dan tanda kelancangan dan
kekurangajaran, termasuk kesopanan seorang
muslim dalam berkata-kata adalah membersihkan
lisannya dari perkataan yang buruk dan keji dan
tidak menyebut hal yang memalukan, karena
termasuk tidak sopan bila orang terlanjur
mengeluarkan kata-kata yang buruk tanpa
mengindahkan tempat dan akidahnya.” (Lihat
Khuluq al-Muslim, hlm. 81)

738. Sebagian ahli hikmah berkata, “Kesopanan itu


dapat menjaga lidah orang dari kata-kata porno
dan bodoh. Berhati-hatilah terhadap ucapan yang
menodai kehormatanmu, sesungguhnya kata kotor
itu menjatuhkan orang yang punya kesopanan.”
(Rasai al-Ishlah I/211)

739. Sebagian ahli hikmah berkata, “Orang-orang


besar berpegang teguh dalam semua situasi agar
tidak pernah mengucapkan kata-kata keji dan
menghindarkan hal itu di depan semua orang agar
tidak dianggap sebagai orang bodoh atau lancang.”
(Khulukul Muslim, hlm. 81)
740. Al-Qosami berkata, “Hindarilah kata-kata
yang buruk, karena menjauhkan orang-orang
mulia dari dirimu dan mendekatkan orang-orang
jahat kepadamu.” (Jawami’ Al-Adab, hlm. 6)

741. Al-Mawardi berkata, “Hal yang termasuk


kata-kata keji yang harus dihindari dan dijauhi
adalah kata-kata yang buruk artinya, tidak disukai
kedengarannya, walaupun benar setelah
direnungkan dan dikaji perlahan-lahan.”
(Adabud-Dunya wa Ad-Din, hlm. 284)

742. Al-Ghozali berkata, “Tidak termasuk hal


tercela adalah menggunakan kata-kata yang indah
dalam khutbah dan nasihat tanpa berlebihan dan
aneh didengar karena tujuannya adalah
menggerakkan hati, merindukan, menahan dan
melapangkannya, maka kata-kata yang elok
mempunyai pengaruh tersendiri dan itu adalah hal
yang pantas sekali baginya. Adapun dialog yang
diadakan untuk bermaksud tertentu maka tidak
cocok disampaikan dengan cara bersajak dan
deklamasi, melakukan hal itu termasuk dalam
kategori memaksakan diri yang tercela, tak ada
pendorongnya selain pamer, memperlihatkan
kepandaian berbahasa, menunjukkan kemahiran
yang semuanya tercela dan makruh serta dilarang
dalam syariat Islam.” (Ihya’ Ulumud Din oleh Al-
Ghozali II / 121)

743. Sebagian ahli hikmah berkata, “Semakin lebih


jelas kata-kata yang diucapkan maka semakin
terpuji.” (Al-Bayan Wat Tabyin oleh Al-Jahizah I
/11)

744. Ibrohim bin Al-Mahdi berkata, “Janganlah


kamu sering mengulang kata yang asing bagi
pendengar, dengan harapan mencapai balaghoh
tinggi, karena hal itu adalah penyakit terbesar,
gunakanlah bahasa yang mudah dan hindarilah
kata-kata yang rendah.” (Al-Umdah oleh Ibnu
Rosyid II / 266)

745. Abu Hilal Al-Asy’ari berkata, “Sebaik-baik


perhatian adalah yang jelas dan mudah, tidak
tertutup artinya dan tidak samar tujuannya, tidak
sulit dan tidak dibenci, tidak kasar dan tidak
mendalam dan bebas dari kejelekan dan tidak
kasar. Jika kata-kata dari kalimat itu jelek dan
ditampilkan dengan kasar maka akan ditolak
walaupun mengandung arti yang agung, bagus,
tinggi dan utama.” (Kitab ash-Shina’atain oleh Abu
Hilal al-Ashari, hlm. 67)

746. Al-‘Allamah Muhammad al-Khidri Husain


berkata, “Jika Anda melihat suatu kaum
menceritakan setiap saat, pagi dan petang, tentang
hal hal yang mulia, tetapi tidak pernah anda lihat
mereka berusaha melakukannya dan tidak pernah
melangkah ke sana selangkah pun, maka
ketahuilah tekad belum menyentuh hati mereka itu
mungkin sebenarnya jauh dari tujuan yang mulia
itu atau mereka sesat jalan dan tidak mendapat
petunjuk.” (‘Uyun al-Akhbar I /306)
747. Ahnaf bin Qois berkata, “Hindarkan majelis
kita dari menyebut-nyebut perempuan dan
makanan, sesungguhnya saya benci lelaki yang
suka menceritakan kemaluan dan perutnya.” (Siyar
A’alamin Nubala, IV/94)

748. Sebagian ahli hikmah berkata, “Tertutup


terhadap orang lain itu akan mengakibatkan
permusuhan dan terlalu terbuka akan
menguntungkan kawan-kawan jahat.” (al-Atsal
oleh Abu Ubaid, hlm. 220)

749. Sebagian ahli hikmah berkata, “Senda gurau


itu memakan wibawa sebagaimana api memakan
kayu bakar.” (Adab ad-Dunya wa ad-Din, hlm.
310)

750. Sebagian ahli hikmah berkata, “Barangsiapa


banyak senda gurau maka hilanglah
kewibawaanya.” (Adab ad-Dunya wa ad-Din, hlm.
310)

751. Imam Ibnu Abdil Bar berkata, “Sekelompok


ulama membenci tenggelam dalam senda gurau,
karena akibatnya tercela seperti menodai
kehormatan, mengundang dengki, dan merusak
persahabatan.” (Bahjat al-Majalis II/569)

752. Maimun bin Mahran berkata, “Jika senda


gurau itu pada awal perkataan maka akan diakhiri
dengan makian dan tamparan.” (al-Adabus
Syari’ah oleh Ibnu Muflih II/ 223)

753. Abu Haffan berkata, “Berguraulah dengan


kawanmu, selama dia suka bergurau tetapi
kendalikan guraumu dengannya, karena
seringkali gurauan seorang kawan itu menjadi
pintu pembuka bagi permusuhan.” (Bahjat al-
majalis II /570)

754. Ibnu Waki berkata, “Jangan sekali-kali kamu


bergurau jika kamu bergurau maka jangan
bergurau ditambah dengan etika yang buruk,
hindarilah gurauan yang akan mengundang
permusuhan karena gurauan itu pendahuluan
dari kemarahan.” (Bahjat al-Majlis II /570)
755. Muhammad al-Khidir Husain berkata, “Sopan
santun mengajak kawannya agar majelis
pertemuannya didominir oleh kesungguhan dan
kebijaksanaan dan jarang bergurau kecuali
sebagai hiburan. Dengan alasan bahwa orang yang
banyak bergurau sering jatuh pada pembicaraan
yang tidak bermanfaat dan sering mengucapkan
kata-kata yang menyakitkan kawan duduknya
perikemanusiaan yang sempurna tidak dapat
dapat bertemu dengan perkataan yang tidak
bermanfaat atau menyakiti saudara-saudaranya
dan majelis pertemuan.” (Rosail al-Ishlah II /212)

756. Sebagian ahli hikmah berkata,


“Manfaatkanlah istirahat untuk pekerjaanmu yang
memayahkan karena kesungguhan yang banyak,
dan pergunakanlah sedikit gurau, tetapi jika kau
lakukan gurauan, hendaklah kau memberi garam
pada masakan.” (Adab ad-Dunya wa ad-Din, hlm.
331)

757. Bakar as-Shirin berkata, “Saya berteman


dengan Ibnu ‘Aun cukup lama, tetapi saya tidak
pernah mendengar dia bersumpah baik yang jujur
maupun palsu.” (Siyar’alam an-Nubala VI/336)

758. Sebagian ahli hikmah berkata, “Sebagian dari


kesempurnaan menerima tamu adalah wajah yang
cerah pada pandangan pertama banyak berbicara
ketika menjamu makan.” (al-Bayan wat Tabyin
oleh al-Jahizah I/10)
759. Ibnu ‘Abbas berkata, “Orang paling mulia
bagimu adalah teman dudukmu yang melangkahi
orang-orang untuk datang kepadamu. Demi Allah
seandainya ada lalat yang jatuh kepadanya, terasa
amat berat bagiku.” (Bahjat al-Majalis I/45)

760. Al-Jauzi berkata, “Cara menghormati tamu


adalah dengan wajah berseri-seri dan kata-kata
yang baik.” (Raudhotul ‘Uqola’ 161-162)

761. Ibnu ‘Abbas berkata, “Orang yang paling


mulia bagiku adalah teman duduk ku sampai dia
berpisah dariku.” (Bahjat Majalis I/46)
762. Seandainya saya duduk bersama seratus
orang pasti saya ingin mendapatkan kerelaan dari
mereka masing-masing. (Bahjat al-Majalis I/45)

763. Ibnu Hibban berkata, “Termasuk


menghormati tamu adalah berkata dengan baik,
berwajah ceria dan melayaninya sendiri, karena
tidak hina orang yang melayani tamunya,
sebagaimana tidak mulia orang yang minta
dilayani tamunya atau meminta upah atas
penyambutan tamu.” (Raudhohotul Uqola’, hlm.
261)

764. Al-Muqonna’ al-Hindi berkata,


“Sesungguhnya aku adalah hamba sang tamu
selama berada di rumah mu dan aku tidak punya
sifat selain itu yang menyerupai seorang hamba.”
(Bahjat al-Majalis II /785)

765. Sebagian ahli hikmah berkata, “Di antara


yang dapat menjaga sopan santun adalah
menghindarkan diri dari membebani tamu
melakukan pekerjaan walaupun pekerjaan yang
ringan, seperti menyuruhnya mengambilkan buku
yang ada di dekat sang tamu, atau menyuruh
menyalakan tombol listrik di dekatnya untuk
menyinari rumah.” (Rosail al-Ishlah I /221)

766. Luqman berkata, “Jika anda duduk bersama


orang besar maka ambillah jarak satu kursi
darinya karena ada kemungkinan akan datang
seseorang yang lebih diutamakan olehnya dari
pada dirimu, sehingga dia terpaksa menjauhkan
mu dari tempat itu yang akan mengurangi harga
dirimu.” (Bahjat al-Majalis I/48)

767. Al-Ahnaf berkata, “Andaikata aku dipanggil


dari tempat yang jauh hal itu lebih saya sukai dari
pada aku dijauhkan dari tempat yang dekat.”
(Bahjat al-Majalis I/47)

768. Al-Ahnaf berkata, “Aku tidak pernah duduk


sama sekali di tempat yang saya khawatir diusir
darinya untuk ditempati oleh orang lain.” (Aqwal
Ma’tusah, hlm. 153)

769. Ibnul Muqoffa’ berkata, “Kamu bisa


memposisikan dirimu di bawah tujuanmu dalam
setiap majelis pertemuan, kedudukan, perkataan,
pendapat, dan perbuatan, maka lakukanlah karena
usaha orang mengangkat dirimu ke tempat yang
melebihi kedudukannya yang sebenarnya, dan
usahanya mendekatkan dirimu ke majelis yang
jauh darimu dan usahanya menghormati dirimu
yang sebenarnya biasa dan menghiasi perkataan,
pendapat, dan perbuatanmu, yang sebenarnya
kamu tidak pernah menghiasinya, itu adalah
keindahan.” (al-Adab as-Shaghir wal Adab al-
Kabir, hlm. 151)

770. Sebagian ahli hikmah berkata, “Ada dua orang


dzolim yang mengambil sesuatu bukan haknya,
yaitu, (1) Seorang yang diberi tempat dalam majelis
yang sempit tetap dia duduk bersila dan membuka
kaki selebar lebarnya. (2) Dan seorang yang diberi
nasihat tetapi dianggapnya sebagai kesalahan.”
(Bahjat al-Majalis I/47)

771. Umar bin al-Khattab berkata, “Di antara hal-


hal yang akan menambah kasih sayang saudaramu
terhadap dirimu adalah mendahuluinya dengan
salam apabila kamu bertemu dengannya dan kamu
memanggilnya dengan nama yang paling
disukainya serta kamu melapangkan tempat
untuknya dan majelis pertemuan.” (Adab al-
Mujalasah, hlm. 31)

772. Umar bin ‘Abdul ‘Aziz berkata kepada


Muhammad bin Ka’ab al-Quradhi, “Apa perilaku
seseorang yang yang paling hina?” Dia menjawab,
“Banyak bicara, menyebarkan rahasia dan percaya
kepada setiap orang.” (al-Uzlah oleh al-Khattab I,
hlm. 169)

773. Fudhail bin Iyyadh berkata, “Jika kamu ingin


berteman dengan seseorang maka buatlah agar ia
marah, jika kamu lihat keadaannya sesuai dengan
syariatmu bertemanlah dengannya.” (al-Abad asy-
Syari’ah IV/ 296)

774. Abu Bakar as-Shiddiq berkata, “Kepandaian


yang paling utama ialah ketakwaan, dan
kebohohan yang paling hina adalah perbuatan
dosa.” (At-Thobaqotul Qubra oleh Ibnu Sa’ad III/9)

775. Abu Bakar as-Shiddiq berkata,


“Sesungguhnya orang yang paling sengsara di
dunia dan akhirat adalah para penguasa, dan
orang-orang yang faqir di dunia adalah orang-
orang yang terhormat.” (Al-Bayan wat Tabyin
II/43)

776. Abu Bakar As-Shiddiq berkata, “Hindarilah


kemewahan niscaya dia akan mengikutimu dan
kejarlah kematian niscaya kehidupan dunia
menjadi milikmu.” (Al-Aqdul Farid 1/334)

777. Abu Bakar As-Shiddiq berkata, “Cinta dan


benci akan saling mewarisi.” (Al-Aqdul Farid
II/157)
778. Abu Bakar As-Shiddiq berkata,
“Sesungguhnya cobaan itu berawal dari ucapan.”
(Al-Aqdul Farid III/21)

779. Abu Bakar As-Shiddiq berkata, “Janganlah


seseorang menghina orang lain sesama muslim,
karena seorang muslim yang paling kecil di mata
Allah sangat besar nilai dan kedudukannya.” (Ihya
‘Ulumuddin IV/137)

780. Abu Bakar As-shiddiq berkata, “Barangsiapa


yang ingin mendapatkan perlindungan Allah dari
panasnya api neraka jahanam pada hari kiamat,
hendaklah ia menyayangi orang-orang mukmin,
inilah kelembutan hati.” (Tanbihul Muqhtarin asy-
Sya’rani, hlm. 48)
781. Abu Bakar As-shiddiq berkata, “Barangsiapa
yang bisa menangis maka menangislah. Dan
barangsiapa yang tidak bisa maka hendaklah ia
pura-pura menangis.” (Tanbihul Mughtarin, hlm.
178)

782. Abu Bakar As-Shiddiq berkata, “Tidak ada


kebaikan selain pada kejujuran dalam ucapan.
Barang siapa yang berdusta maka ia telah berbuat
dosa dan barangsiapa yang berbuat dosa maka ia
akan hancur.” (Al-Aqdul Farid IV/57)

783. Abu bakar As-shiddiq berkata, “Kami


mendapati kemuliaan itu ada pada ketakwaan dan
kekayaan ada pada keyakinan serta kehormatan
ada pada sikap tawadhu.’” (Hilayatul Auliya’ I/36)

784. Abu Bakar as-Shiddiq berkata, “Dien-mu


adalah untuk tempat kembalimu (akhirat) dan
dirham mu adalah untuk tempat kehidupan mu
(dunia) dan tidak ada gunanya seseorang tanpa
dirham.” (Kanzul Ummah III/732)

785. Abu Bakar As-Shiddiq berkata, “Barangsiapa


yang membenci hawa nafsunya karena Allah maka
ia akan menyelamatkannya dari kemurkaan-Nya.”
(Kanzul Ummah III/785)

786. Abu Bakar As-Shiddiq berkata, “Janganlah


kalian bangga diri, apa yang bisa dibanggakan dari
makhluk yang tercipta dari tanah dan akan
kembali ke tanah juga. Sekarang ia hidup dan esok
ia mati.” (Al-Aqdhul Farid IV/57)

787. Abu bakar As-shiddiq berkata, “Tahanlah


tanganmu dari menumpahkan darah kaum
muslim dan perutmu dari memakan harta mereka
serta lisanmu dari mencela kehormatan mereka.”
(Risalatul Murtasyidin oleh Al-Musibiy, hlm. 46)

788. Umar bin Khattab berkata, “Barangsiapa yang


bertakwa kepada Allah maka Allah akan
menjaganya. Dan barangsiapa yang bertawakkal
kepada-nya, maka Allah akan mencukupinya.
Barangsiapa yang bersyukur pada-Nya maka Allah
akan menambah apa yang diberikan-Nya. Serta
barangsiapa yang meminjamkan kepada-Nya
maka Allah akan membalas-Nya. Jadikanlah
ketakwaan itu pelita hatimu dan perangilah
pandanganmu. Sesungguhnya tidak ada amalan
bagi yang tidak punya niat. Dan tidak ada kebaikan
bagi yang tidak punya takut, serta tidak ada yang
baru jika tidak diciptakan.” (Al-Aqdul Farid
III.114)

789. Umar bin Khattab berkata, “Jagalah nikmat


yang Allah berikan padamu itu, melebihi engkau
menjaga dirimu dari musibah. Janganlah engkau
tertipu dan terpedaya olehnya, yang nantinya akan
menjadikanmu berada dalam kebinaan.” (Al-
Aqdul Farid III/111)
790. Umar bin khattab berkata, “Sesungguhnya di
dalam ‘uzlah itu terdapat manfaat untuk
menghindari pergaulan orang-orang yang jelek
dan menghindar dari akhlak yang jelek.” (Az-
Zuhdul oleh al-Baihaqi no. 118)

791. Umar bin Khattab berkata, “Saat kami diuji


dengan kesusahan, kami bisa bersabar, tapi saat
kami diuji dengan kesenangan kami tidak bisa
bersabar.” (Itasyiyah Risalatul Mustaryidin, hlm.
52)

792. Umar bin khattab berkata, “Tidak ada


kebaikan pada suatu kaum yang tidak saling
menasihati di antara mereka dan tidak ada
kebaikan pada suatu kaum yang tidak menyukai
orang yang memberi nasihat.” (Risalatul
Murtasyidin, hlm. 71)

793. Umar bin Khattab berkata, “Kembalikanlah


kebodohan itu kepada Sunnah.” (Al-Istiqomah 1/5)

794. Umar bin Khattab berkata, “Hisablah dirimu


sebelum datang hisab yang berat. Sesungguhnya
barangsiapa yang menghisab dirinya pada waktu
senang (longgar) sebelum hari hisab yang berat,
maka tempat kembalinya adalah keridhaan dan
kebaikan. Dan barangsiapa yang terlena oleh
kehidupannya, dan sibuk menuruti hawa nafsunya
maka tempat kembalinya adalah penyesalan dan
kerugian.” (az-Zuhdul Kabir oleh al-Baihaqi no.
426)
795. Umar bin khattab berkata, “Setiap sesuatu itu
memiliki inti dan inti dari kebaikan adalah
menyegerakannya.” (Al-Bayan wat Tabyin III/289)

796. Umar bin Khattab berkata, “Orang itu ada tiga


macam, (1) Orang yang mengkaji suatu urusan
sebelum terjadinya, lalu ia mencari sumber
permasalahannya. (2) Orang yang bertawakkal, ia
tidak mengkaji takkala ia menghadapi suatu
permasalahan, ia bermusyawarah dengan orang-
orang pandai dan menerima pendapat mereka. (3)
Dan orang yang bingung tidak mengerti apa, tidak
memusyawarahkannya dengan orang pandai
(yang mengetahui urusan itu) dan tidak pula
menaati mereka.” (al-Bayan wat Tabyin III/299)
797. Umar bin khattab berkata, “Wanita itu ada
tiga macam, (1) Wanita yang lemah lembut,
menjaga kehormatan dan muslimah. Ia menolong
keluarganya dalam kehidupan, dan tidak
membebankan kehidupan kepada keluarganya. (2)
Wanita pembuat anak. (3) Dan wanita bejat. Dan
Allah akan mengikatnya pada leher orang-orang
yang dikehendaki dari hamba-Nya.” (Al-aqdul
Farid VI/120)

798. Umar bin khattab berkata, “Sesungguhnya


jalan cepat itu lebih cepat dalam memenuhi
kebutuhan dan lebih jauh dari kesombongan.” (Ar-
Risalah Al-Qusyariyah, hlm. 146)
799. Umar bin Khattab berkata, “Sesungguhnya
kebaikan itu semuanya berada dalam keridhaan,
jika engkau mampu untuk ridha, maka lakukanlah
dan jika engkau tidak bisa maka bersabarlah.” (Ar-
Risalah al-Qusahairiyah, hlm. 196)

800. Umar bin Khattab berkata, “Barangsiapa yang


takut kepada Allah, maka ia tidak akan pernah
merasa aman dari kemurkaan-Nya. Dan
barangsiapa yang bertakwa kepada-Nya, maka ia
tidak akan berbuat sesukanya. Dan kalau bukan
karena (takut) hari kiamat, maka pandangan
kalian pasti akan lain.” (Ar-Risalah Al-Murtasyidin
oleh Al-Muhasibi, hlm. 50)
801. Umar bin Khattab berkata, “Aku tidak peduli
dengan keadaanku, apakah aku dalam hal yang
aku senangi, atau yang aku benci. Itu karena aku
tidak tahu apapun kebaikan itu terdapat dalam hal
yang aku senangi atau dalam hal yang aku benci.”
(Tanbihul Ghafilin oleh as-Samarqandi, hlm. 364)

802. Umar bin khattab berkata, “Perintahkanlah


orang-orang yang punya kerabat banyak agar
mereka saling mengunjungi, bukan hidup saling
berdampingan (bertetangga).” (Al-Aqdul Farid II
164)

803. Umar bin khattab berkata, “Nilai seseorang itu


terletak pada hartanya. Kemuliaannya terletak
pada diennya dan harga dirinya terletak pada
akhlaknya.” (Al-Aqdul Farid II/326)

804. Umar bin khattab berkata, “Barangsiapa yang


mendatangi penguasa, maka ia akan kembali
darinya dalam keadaan murka kepada Allah.” (Al-
Aqdul Farid III/159)

805. Umar bin Khattab berkata, “Janganlah kalian


enggan mencari rezeki dan hanya berkata, ‘Yaa
Allah … berikanlah aku rezeki’, padahal ia tahu
bahwa langit tidak akan mungkin menurunkan
hujan emas ataupun perak. Sesungguhnya Allah
memberi rezeki manusia melalui perantara
manusia yang lain.” (Al-Aqdul Farid II/325)
806. Umar bin Khattab berkata, “Sesungguhnya
kebenaran ini sangat berat namun menyenangkan
pada akhirnya, sedang kebatilan itu sangat ringan
namun menyisakan kesusahan nantinya. Dan
meninggalkan perbuatan jelek itu lebih baik dari
pada mengobatinya dengan bertaubat (setelah
melakukan kesalahan atau dosa). Sudah berapa
banyak pandangan yang menanamkan syahwat.
Dan sudah berapa banyak syahwat sesat yang
menyisakan kesedihan (penyesalan) yang
panjang.” (Al-Bayan wat Tabyin III/138)

807. Umar bin Khattab berkata, “Santai (istirahat)


itu adalah penghalang (untuk rajin). Dan
janganlah memelihara rasa kenyang, karena ia
adalah penghalang (untuk giat beribadah kepada
Allah).” (Al-Bayan wat Tabyin III/23)

808. Umar bin Khattab berkata, “Jika engkau


punya dien, maka engkau punya nilai. Dan jika
engkau berakal, maka engkau punya kekuatan.
Jika engkau berakhlak mulia, maka engkau sopan
santun. Jika tidak, maka engkau lebih buruk dari
pada keledai.” (Al-Aqdul Farid II/102)

809. Umar bin Khattab berkata, “Hal yang paling


aku takutkan menimpa kalian adalah bakhil yang
dipelihara, hawa nafsu yang dituruti, dan ujub
(bangga) terhadap diri sendri. (Jami’ Bayanil almi
wa fadhlihi I/173)
810. Umar bin Khattab berkata, “Jika engkau
mendengar suatu perkataan yang menyakitkan
hatimu, maka tundukkanlah kepalamu kepadanya
sehingga ia menginjak-nginjakmu.” (Al-Aqdul
Farid II/130)

811. Umar bin Khattab berkata, “Barangsiapa yang


banyak tertawanya, akan sedikit kewibawaannya.
Barangsiapa yang bergurau, ia akan dilecehkan.
Barangsiapa yang banyak dalam suatu hal, maka ia
akan dikenal dengannya. Dan Barangsiapa yang
banyak bicaranya, banyak pula kesalahannya.
Barangiapa yang banyak kesalahannya, maka
sedikitlah rasa malunya. Barangsiapa yang sedikit
rasa malunya, maka sedikit pula sikap wa’ranya
(kehati-hatiannya). Dan barangsiapa yang sedikit
sikap wa’ranya, maka matilah hatinya.” (Shifatus
shafwa 1/149)

812. Umar bin Khattab berkata, “Janganlah engkau


memperdulikan orang-orang kaya, jangan pula
engkau takut celaan orang-orang yang mencela
saat engkau melaksanakan hukum Allah. Jauhilah
mementingkan diri sendiri dan sikap pilih kasih
dalam kekuasaan yang Allah karuniakan
kepadamu.” (Al-Bayan wat Tabyin II/ 46)

813. Umar bin Khattab berkata, “Barangsiapa yang


ikhlas niatnya, maka Allah akan mencukupkan
kebutuhannya. Dan berbuat demi manusia dengan
apa yang tidak diajarkan oleh Allah dalam hatinya,
maka Allah akan menghinakannya.” (Hilyatul
Auliya’ I/50)

814. Umar bin Khattab berkata, “Kami mendapati


yang terbaik dari kehidupan kami adalah
bersabar.” (Az-Zuhd, hlm. 146)

815. Al-Hasan berkata, “Umar pernah melewati


tempat sampah dan berhenti di sampingnya
seolah-olah ia tertimpa sesuatu darinya yang ia
menjadi risih karenanya lalu ia berkata; ‘Inilah
dunia kalian yang kalian berebut untuk
mendapatkannya.’” (Az-Zudh, hlm. 147)

816. Abu Hatim berkata, “Tidak wajib bagi


seseorang untuk sering menolong saudaranya
yang sehingga nantinya bosan karena
sesungguhnya penyusu apabila sering dikempeng
maka boleh jadi langsung marah dan
diletakkannya bayi tersebut.” (Roudhotul ‘Uqola
wa Nazhatul Fudhola, hlm. 61)

817. Umar bin Khattab berkata, “Bermajelislah


bersama orang-orang yang bertaubat, karena
mereka mempunyai hati yang paling peka
(lembut).” (Tahdzibu Hilyatil Auliya’ 1/71)

818. Umar bin Khattab berkata, “Jadilah ladang-


ladang kitab, sumber-sumber ilmu, dan mintalah
rezeki kepada Allah hari demi hari, niscaya tidak
akan ada bahayanya rezeki yang sedikit bagi
kalian.” (Az-Zudh, hlm. 149)
819. Umar bin Khattab berkata, “Janganlah
berbicara yang tidak ada gunanya bagimu dan
kenalilah musuhmu, dan hati-hatilah terhadap
temanmu kecuali yang dapat dipercaya, dan tidak
ada yang dipercaya kecuali orang takut kepada
Allah. Janganlah bergaul dengan orang yang
banyak berbuat dosa, sehingga ia mengajarimu
berbuat dosa. Dan janganlah ungkapkan
rahasiamu kepadanya. Dan janganlah engkau
memusyawarahkan urusanmu kecuali dengan
orang-orang yang takut kepada Allah.” (Shifatus
Shafwa 1/149)

820. Umar bin Khattab berkata, “Manusia itu


terbagi menjadi dua golongan; (1) Golongan yang
mencari dunia, maka hindarilah ia. Sesungguhnya
bisa jadi ia mendapatkan apa yang ia inginkan
namun justru ia hancur karena yang ia dapatkan.
Dan bisa jadi ia kehilangan apa yang dia cari, dan
ia hancur karena kehilangan itu. (2) Dan golongan
yang mencari akhirat. Jika engkau menemui salah
satu dari mereka, maka berlomba-lombalah
dengannya.” (Al-Bayan wat Tabyin III/138)

821. Umar bin Khattab berkata, “Tidak seorang


pun manusia yang mampu melukai dirimu, karena
sesungguhnya apa yang ditakdirkan untukmu itu
akan tetap menimpamu walaupun tanpa mereka.
Janganlah engkau sia-siakan waktu siangmu,
sesungguhnya segala yang engkau lakukan itu
tercatat (diawasi). Jika engkau melakukan
kejelekan maka ikutilah dengan perbuatan baik,
sungguh tidak ada satu pun yang lebih besar
tuntutannya, dan lebih cepat pendapatannya dari
pada amalan baik yang baru setelah melakukan
dosa yang telah lalu.”(al-Bayan wat Tabyin III/143)

822. Umar bin Khottob berkata, “Sesungguhnya


urusan ummat ini tidak akan pernah baik kecuali
dengan kelemahlembutan, tanpa kelemahan dan
dengan ketegasan tanpa penindasan.” (Al-Bayan
wat Tabyin III/255)

823. Umar bin Khottob berkata, “Aku memandang


kehidupan dunia ini dan jika aku menginginkan
dunia maka aku akan kehilangan akhirat dan aku
menginginkan akhirat maka aku akan kehilangan
dunia, jika demikian keadaannya maka
tinggalkanlah yang fana.” (Az-Zuhd, hlm. 155)

824. Umar bin Khottob berkata, “Orang yang


paling aku sukai adalah orang yang
mengungkapkan padaku aib-aibku.” (Thobaqot
Ibnu Sa’ad III/156)

825. Umar bin Khottob berkata, “Hal yang paling


aku takutkan menimpa umat ini adalah adanya
orang yang hanya pintar bicara namun tidak
mengenal hatinya.” (Tanbihul Mughtarin as-
Sya’roni, hlm. 16)

826. Umar bin Khottob berkata, “Jika kalian


melihat orang alim yang mencintai dunia maka
jangan hiraukan diennya. Sesungguhnya setiap
yang mencintai sesuatu maka ia akan tenggelam di
dalamnya.” (Tanbihul Mughtarin 16)

827. Umar bin Khottob berkata, “Wahai manusia,


tuntutlah ilmu! Sesungguhnya Allah mengikatnya
ilmu dengan rasa cinta-Nya. Barangsiapa yang
membuka salah satu pintu ilmu maka Allah akan
mengikatkan ikatan ilmu itu padanya. Jika ia
melakukan salah satu dosa, Ia mengampuninya.
Jika ia melakukan satu dosa lagi Ia
mengampuninya dan jika ia melakukan satu dosa
lagi Ia mengampuninya. Agar ikatan-Nya itu
adalah lepas darinya, meskipun dosa itu ia lakukan
sehingga ajal menjemputnya.” (Jami’ Bayanil ilmi
wa Fadhlihi oleh Ibnu Abdil Barr I/70)
828. Umar bin Khottob berkata, “Ketahuilah
sesungguhnya ketamakan itu adalah kefakiran,
dan kedermawanan itu adalah kekayaan.
Sesungguhnya ketika seseorang mendermakan
sesuatu ia tidak membutuhkan sesuatu itu.” (Az-
Zuhd, hlm. 146)

829. Umar bin Khottob berkata, “Barangsiapa yang


masih bisa mendapat sesuatu untuk dimakan
setiap malam maka ia bukan orang fakir.
Sesungguhnya orang fakir itu adalah yang tidak
mendapatkan apa-apa sama sekali.” (Tanbihul
Mughtarin oleh as-Sya’rani, hlm. 83)
830. Umar bin Khottob berkata, “Sesungguhnya
jika seseorang itu mempunyai 9 akhlak yang baik
dan hanya memiliki satu sifat saja yang buruk,
maka yang satu itu akan mengalahkan yang 9.
Maka hindarilah lisan yang tergelincir.” (Tanbihul
Mughtarin, hlm. 135)

831. Umar bin Khottob berkata, “Carilah


kebahagiaan dengan ber’uzlah (menyendiri).”
(Tanbihul Mughtarin, hlm. 154)

832. Umar bin Khottob berkata, “Barangsiapa yang


kaumnya menghormatinya karena kefakihannya
itu lebih baik baginya. Dan barangsiapa yang
dimuliakan oleh kaumnya bukan karena
kefaqihannya, maka itu adalah awal kehancuran
baginya dan orang-orang yang mengikutinya.”
(Jami’ Bayanil Ilmi wa Fadhlihi I/74, 103)

833. Umar bin Khottob berkata, “Berlambat-


lambat dalam berbagai hal itu baik kecuali dalam
urusan akhirat.” (Az-Zuhd 148)

834. Umar bin Khottob berkata, “Sesungguhnya


tanda kebenaran taubatmu terletak pada
pengakuanmu pada Allah atas dosa-dosamu. Dan
bentuk keikhlasan amalmu terletak pada
pengabaianmu terhadap sikap ‘ujub. Dan tanda
jujur rasa syukurmu adalah engkau mengakui
penyia-nyianmu terhadap nikmat yang telah Allah
berikan padamu.” (Tanbihul Mughtarin, hlm. 165)
835. Umar bin Khottob berkata, “Pelajarilah ilmu
dan pelajarilah kelemahlembutan dan ketenangan
dari ilmu itu, bersikaplah tawadhu terhadap orang
yang kalian ajari, dan hendaklah orang yang
kalian ajari bersikap tawadhu juga padamu. Dan
janganlah engkau menjadi ulama yang kejam
sehingga ilmu yang ada pada kalian tidak pernah
menyingkirkan kebodohan kalian.” (Az-Zuhd 149)

836. Umar bin Khottob berkata, “Pelajarilah ilmu


dan ajarkanlah kepada orang lain, pelajarilah
kebijakan dan ketenangan ilmu itu bersikaplah
tawadhu terhadap orang yang engkau belajar
darinya, dan kepada orang yang engkau ajari. Dan
janganlah menjadi ulama’ yang kejam, sungguh
kebodohanmu tidak akan pernah hilang dengan
adanya ilmu.” (Jami’ Bayanil Ilmi wa Fadhlihi
I/163)

837. Umar bin Khottob berkata, “Janganlah kalian


masuk ke rumah dan perkumpulan golongan yang
mengumpulkan dunia dan tidak menginfakkannya
di jalan Allah, karena hal itu menyebabkan
kemurkaan pada Robb. Bisa jadi salah seorang di
antara kalian meremehkan nikmat yang telah
Allah karuniakan padamu, hanya karena melihat
banyaknya kemewahan mereka.” (Tanbihul
Mughtarin, hlm. 194)

838. Umar bin Khottob berkata, “Sesungguhnya


jika seorang hamba bersikap tawadhu’ karena
Allah maka Allah akan memuliakannya dengan
hikmah-Nya. Seraya dikatakan kepadanya,
‘Bangkitlah, Allah meninggikanmu.’ Dalam dirinya
ia menganggap bahwa dirinya hina sedangkan di
mata manusia dia mulia.” (Jami’ bayanil ilmi wa
Fadhlihi I/153)

839. Umar bin Khottob berkata, “Sesungguhnya


dien itu bukanlah menampakkan ibadah di akhir
malam akan tetapi dien itu sikap wara.’” (az-Zuhd,
hlm. 155)

840. Umar bin Khottob berkata, “Janganlah engkau


melihat pada puasa atau sholat seseorang, tapi
lihatlah pada kejujurannya jika ia berbicara, sikap
amanahnya jika ia dipercaya, dan sikap waro’nya
jika ia mendapatkan dunia.” (az-Zuhdul kabir no.
867)

841. Umar bin Khottob berkata, “Barangsiapa yang


merasa cukup dengan Allah maka ia itu sudah
cukup, dan barangsiapa yang berpaling dari Allah
maka ia buta, barangsiapa yang tidak pernah puas
dengan bagian sedikit dari dunia maka tidak akan
pernah ada gunanya sebanyak apa pun yang ia
kumpulkan baginya maka cukuplah dengan yang
sedikit dan jagalah kehormatanmu, serta
hindarilah ghulul (mengambil harta rampasan
perang yang belum dibagi) karena hisabnya nanti
sangat panjang.” (Az-Zuhdul kabir no. 103)
842. Umar bin Khottob berkata, “Barangsiapa yang
beramal di antara kalian maka kami akan
memujinya. Dan barangsiapa yang tidak beramal
maka kami akan mencela.” (Hilyatul Auliya’
VII/71)

843. Umar bin Khottob berkata, “Sesungguhnya


engkau tidak akan pernah mencapai amalan
akhirat dengan sesuatu pun selain dengan zuhud
terhadap dunia, dan janganlah mencampur aduk
antara yang baik dan yang jelek, akhlak yang baik
dan akhlak yang tercela.” (Az-zuhud, hlm. 152)

844. Umar bin Khottob berkata, “Sikap tawadhu


adalah hendaklah engkau memberi salam kepada
Siapa saja yang engkau jumpai dari kaum
muslimin ridho dalam yang lain, dalam majelis,
dan engkau benci jika disebut-sebut dengan
kebaikan dan ketakwaanmu.” (Tanbihul-Ghafilin
oleh as-Samarqandi, hlm. 140)

845. Umar bin khottob berkata, “Tidaklah Allah


menimpakan bala (musibah) kepadaku kecuali di
dalamnya terdapat empat nikmat (1) Karena ia
tidak menimpa dien ku. (2) Karena tidak lebih
besar dari itu. (3) Karena aku tidak pernah tidak
rela terhadapnya. (4) Dan karena aku
mengharapkan pahala atasnya.” (Ihya ‘Ulumuddin
IV/394)

846. Umar bin Khottob berkata, “Aku tidak peduli


apakah aku jadi orang kaya atau orang miskin,
karena aku tidak tahu mana di antara keduanya
yang terbaik untukku.” (Ihya ‘Ulumudin 5/148)

847. Umar bin Khottob berkata, “Pakailah pakaian


yang sederhana dan jangan memakai pakaian
‘ajam; kisra dan kaisar.” (Ihya ‘Ulumuddin 5/103)

848. Umar bin Khottob berkata, “Sebaik-baik amal


adalah melaksanakan segala yang diwajibkan
Allah, dan wara’ terhadap segala yang
dikhawatirkan oleh Allah ta’ala, serta niat yang
tulus hanya untuk Allah semata dalam beramal.”
(Ihya ‘Ulumudien 5/267)

849. Umar bin Khottob berkata, “Barangsiapa yang


tidak paham dengan dien, maka jangan berjualan
di pasar-pasar kami.” (Tanbihul Ghafilin, hlm.
358)

850. Umar bin Khottob berkata, “Sesungguhnya di


antara bukti benarnya taubatmu adalah engkau
mengetahui dosamu. Dan di antara tanda
benarnya amalmu adalah engkau tidak
membanggakan dirimu serta bukti benarnya rasa
syukurmu adalah engkau tidak meremehkan.”
(Tanbihul Ghafilin, hlm. 380)

851. Umar bin Khottob berkata, “Hindarilah segala


sesuatu yang menyakitimu dan carilah sahabat
yang shalih, dan hanya sedikit yang engkau
dapatkan, serta musyawarahkanlah masalahmu
dengan orang-orang yang patuh pada Allah.”
(Kanzul Ummal 16/157 no. 44196)

852. Umar bin Khottob berkata, “Laki-laki ada tiga


macam: (1) Laki-laki yang lemah lembut dan
penuh kasih sayang, yang terampil dan cakap, jika
ada suatu masalah yang dihadapi dan ia mampu
menyelesaikannya, maka ia akan menempatkan
masalah tersebut pada jalan keluarnya, (2) Laki-
laki yang tidak berakal, jika ia menghadapi suatu
masalah maka ia akan mendatangi orang yang
cakap dan pandai, lalu ia menyelesaikannya
berdasarkan saran orang tersebut. (3) Laki-laki
bingung yang sengsara yang tidak mendapatkan
saran petunjuk dan tidak menta’ati orang yang
memberi saran petunjuk.” (Kanzul-Ummah
16/263 no. 44373)
853. Umar bin Khottob berkata, “Kemuliaan
seorang laki-laki terdapat pada ketakwaan dien
dan kemampuannya. Dan harga dirinya adalah
akhlak dan keberaniannya, dan kepengecutannya
adalah tabiat seorang laki-laki, seorang pemberani
akan berani memerangi siapa saja yang ia ketahui
maupun tidak, sedang seorang pengecut akan lari
meski dari ayah dan ibunya sendiri, kemampuan
seseorang terletak pada harta miliknya, sedang
kemuliaan terletak pada ketaqwaannya, Engkau
tidaklah lebih baik dari orang Persia Nabathia
ataupun orang non-Arab lainnya kecuali dengan
taqwa.” (Kanzul-Ummah 16/264 no. 44377)
854. Umar bin Khottob berkata, “Sesungguhnya
hikmah itu tidak berasal dari tuanya usia, akan
tetapi ia adalah pemberian yang diberikan oleh
Allah kepada siapa saja yang ia kehendaki.”
(Kanzul-Ummah 16/256 no. 44381)

855. Umar bin Khottob berkata, “Sesungguhnya


apa yang engkau dapatkan dari bermaksiat kepada
Allah-Demi Allah-tidak sama dengan balasan
yang Dia berikan dari ketaatanmu kepada-Nya.”
(Al-Bayan wa Tabyin 1/261)

856. Umar bin Khottob berkata, “Perbanyaklah


menangis dengan banyak berdzikir(mengingat
akhirat).” (Al-Bayan wa Tabyin 1/397)
857. Umar bin Khottob berkata, “Orang yang
berani adalah orang yang tidak mengharapkan
balasannya, orang yang paling lembut (hatinya)
adalah orang yang memaafkan padahal ia mampu
untuk marah. Orang yang paling pelit adalah
orang yang pelit dalam memberikan salam, dan
orang yang paling lemah adalah orang yang tidak
mampu berdoa kepada Allah.” (Kanzul-Ummah
16/266 no. 44384)

858. Utsman bin Affan berkata, “Wahai manusia


bertaqwalah kalian kepada Allah karena
sesungguhnya taqwa kepada Allah adalah
keberuntungan. Dan sesungguhnya orang yang
paling cerdas adalah orang yang menghisab
dirinya sendiri dan beramal untuk sesuatu setelah
ia mati dan mencari cahaya Allah untuk
menghadapi kegelapan alam kubur. Hendaknya
seorang hamba itu takut jika Allah menjadikan
buta setelah dirinya dijadikan bisa melihat. Dan
ketahuilah bahwa barangsiapa yang tidak takut
kepada Allah saat senang, lalu kepada siapa ia
berharap setelah ia ditimpa kesulitan.” (Al-Bidayah
wan-Nihayah 7/234)

859. Utsman berkata, “Wahai anak Adam,


ketahuilah bahwa malaikat maut yang diberi tugas
untuk mencabut nyawamu masih berada di
belakangmu dan berkeliling kepada selainmu sejak
engkau berada di dunia dan seperti yang ia mulai
menghampirimu setelah yang lain ia berniat
mencabut nyawamu, maka berhati-hatilah
persiapkanlah dirimu untuk menghadapinya dan
jangan sampai lalai, karena ia tidak pernah lalai
terhadapmu. Dan ketahuilah wahai anak Adam,
jika engkau lengah terhadap dirimu dan engkau
tidak bersiap untuknya maka tidak ada yang
mempersiapkan diri untuk selainmu padahal
engkau pasti bertemu dengan Allah, maka uruslah
dirimu dan jangan membebani orang lain.” (Al-
Bidayah wan-Nihayah 7/234)

860. Utsman bin Affan berkata, “Sesungguhnya


(tujuan) Allah memberi kalian bagian dari dunia
adalah agar kalian memanfaatkannya untuk
mencari akhirat, dan Allah tidak memberi kalian
dunia agar kalian sibuk mengurusinya,
sesungguhnya dunia itu fana dan akhirat itu kekal,
jangan sampai yang fana itu membuat kalian
mengesampingkan akhirat dan jangan pula
menyibukkan diri kalian dengan yang kekal,
dahulukanlah yang kekal dari pada yang fana,
sesungguhnya dunia itu akan berakhir dan tempat
kembalinya kepada Allah, bertaqwalah kepada
Allah sesungguhnya bertaqwa kepada-Nya adalah
perisai dari adzab-Nya dan jalan untuk dekat
dengan-Nya.” (Al-Bidayah wan-Nihayah 7/234)

861. Utsman bin Affan berkata, “Sesungguhnya


dunia itu ada, telah diserahkan kepada manusia,
dan sebagian besar mereka tertarik kepadanya,
janganlah kalian bersandar kepadanya, karena
sesungguhnya ia tidak kekal. Dan ketahuilah
sesungguhnya ia tidak akan lepas kecuali bagi
orang yang melepaskannya (meninggalkannya).”
(Al-Bayan wat-tabyin 4/422)
862. Utsman bin Affan berkata, “Setiap ummat itu
ada musibahnya dan dalam setiap nikmat itu ada
penyakitnya. Bencana ummat ini adalah orang-
orang yang suka mencela dan mencemarkan
kehormatan orang lain, yang selalu menampakkan
apa yang kalian sukai dan menyembunyikan
segala yang kalian benci, sekumpulan orang bodoh
yang dianggap sebagai orang-orang terhormat
yang mengikuti teriakkan pertama.” (Al-Bayan
wat-Tabyin 1/377)

863. Utsman bin Affan berkata, “Barangsiapa yang


hari demi hari tidak bertambah kebaikannya maka
ia adalah orang yang menjerumuskan dirinya ke
dalam api neraka dengan sengaja.” (Kanzul-
Ummah 16/223 no. 44250)
864. Utsman bin Affan berkata, “Seorang pezina itu
ingin seandainya ia bisa berzina dengan semua
wanita.” (Al-Istiqomah 2/257)

865. Utsman bin Affan berkata, “Tidaklah terbetik


dalam hati seseorang suatu niat terkecuali Allah
akan menampakkannya melalui raut wajah dan
gerakan lidahnya.” (Al-Istiqomah 1/355)

866. Utsman bin Affan berkata, “Seandainya hati


kalian itu bersih, maka kalian tidak akan pernah
puas dengan firman Allah, dan aku tidak menyukai
melalui satu hari pun kecuali aku bisa melihat
firman Allah.” (Hilyatul-Auliya 7/300)
867. Utsman bin Affan berkata, “Serulah yang
ma’ruf dan cegahlah yang munkar, sebelum
orang-orang buruk kalian menguasai kalian,
sehingga saat orang-orang baik kalian menyeru
maka tidak digubris lagi.” (Kanzul-Ummah 3/682
no. 6451)

868. Ali bin Abi Tholib berkata, “Beruntunglah


orang yang menyembunyikan ibadahnya ia
mengenali manusia dan tidak dikenali oleh
manusia.” (Tahdzib Hilyatul Auliya 1/83)

869. Ali bin Abi Tholib berkata, “Sesungguhnya


perumpamaan seorang alim (orang yang berilmu)
adalah sebagaimana pohon kurma yang sedang
berbuah, yang tetap akan menjatuhkan sesuatu
kepadamu.” (Jami’ Bayanil ilmi wa fadhilihi 1/176)

870. Ali bin Abi Tholib berkata, “Dunia ini tidak


lain adalah suatu tempat yang awalnya adalah
kesusahan dan akhirnya adalah kehancuran, yang
halal darinya akan dihisab dan yang haram
darinya akan dihukum, yang kaya di dalamnya
terkena fitnah dan yang fakir di dalamnya
bersedih.” (Al-Aqdul Farid 3/130)

871. Ali bin Abi Tholib berkata, “Sesungguhnya hal


yang paling aku takutkan menimpa kalian adalah
mengikuti hawa nafsu dan panjang angan-angan.”
(Al-Bayan wat-Tabyin 2/52)
872. Ali bin Abi Thalib berkata, “Ibadah yang
paling utama adalah diam dan menunggu jalan
keluar.” (Al-Bayan wa Tabyin 2/165)

873. Ali bin Abi Thalib berkata, “Pendapat orang


yang lebih tua lebih aku sukai dari pada kekuatan
anak muda.” (Al-Aqdul Farid 2/96).

874. Ali bin Abi Thalib berkata, “Jadilah orang yang


bersikap tengah-tengah di antara manusia namun
berjalanlah di bagian pinggir mereka.” (Al-Bayan
wa Tabyin 1/256)

875. Ali bin Abi Thalib berkata kepada anaknya,


“Wahai anakku janganlah engkau menyisakan di
belakang mu sesuatu pun dari dunia, karena
engkau akan mewariskannya kepada salah satu
dari dua macam orang, entah orang yang
menggunakannya ketaatan kepada Allah, sehingga
ia bergembira dengan apa yang engkau sisakan
untuknya, atau orang yang menggunakannya
dalam bermaksiat kepada Allah sehingga engkau
menjadi penolong baginya dalam bermaksiat, dan
tidak seorang pun dari keduanya yang berhak
engkau dahulukan atas dirimu sendiri.” (Kanzul
Ummal III/721 no. 8572)

876. Ali bin Abi Thalib berkata, “Dunia itu adalah


bangkai. Barangsiapa yang menginginkannya,
maka hendaklah ia bersabar untuk berebut dengan
anjing-anjing.” (Kanzul Ummal III/719 no. 8564)
877. Ali bin Abi Thalib berkata, “Dunia itu yang
halal akan dihisab, dan yang haram akan diadzab,
maka tinggalkanlah yang halal untuk menghindari
hisab yang lama, dan tinggalkanlah yang haram
untuk menghindari adzab yang tidak sebentar.”
(Kanzul Ummal III/719 no. 8566)

878. Ali bin Abi Thalib berkata, “Sesungguhnya


lemah lembut itu adalah perhiasan, menepati janji
adalah sifat yang baik, tergesa-gesa adalah
kebodohan, banyak bersafar akan mendatangkan
kelemahan, bergaul dengan orang-orang yang
suka berbuat keji adalah sebuah celaan, dan
berkawan dengan orang yang suka berbuat dosa
besar akan menimbulkan keraguan.” (Kanzul
Ummal XVI 269 no. 44400)
879. Ali bin Abi Thalib berkata, “Sesungguhnya inti
dari agama adalah bersahabat dengan orang yang
bertakwa, dan kesempurnaan ikhlas itu terdapat
pada menjauhi pada yang diharamkan, perkataan
yang baik itu adalah dibuktikan oleh amal
perbuatannya, terimalah orang yang mengadukan
udzur kepadamu, terimalah permintaan maaf
orang lain, berbuat baiklah terhadap saudaramu
walaupun ia jahat padamu, dan sambunglah
hubunganmu dengannya walaupun ia
memutuskannya.” (Kanzul Ummal XVI/269 no.
44399)

880. Ali bin Abi Thalib berkata, “Saudara yang


dekat adalah yang dekat di atas dasar kasih sayang
walaupun nasabnya jauh, dan saudara jauh adalah
yang jauh karena permusuhan, walaupun
nasabnya dekat, ketahuilah tidak ada yang lebih
dekat dengan tangan kecuali badan, dan jika
tangan itu rusak, maka ia akan dipotong, dan jika
dipotong maka ia akan cacat.” (Kanzul Ummal
XVI/268 no. 44392)

881. Ali bin Abi Thalib berkata, “Segala sesuatu


mempunyai musibah, musibah ilmu adalah
kelupaan, musibah ibadah adalah riya, musibah
hati adalah ujub, musibah otak yang cerdas adalah
kesombongan, musibah keadaan adalah pujian
pada diri sendiri, musibah kedermawanan adalah
sikap boros, musibah rasa malu adalah kelemahan,
musibah sikap yang kasar adalah perbuatan keji.”
(Kanzul Ummal XVI/204 no. 44226)
882. Ali bin Abi Thalib berkata: “Barangsiapa yang
pura-pura miskin maka ia akan miskin, dan
barangsiapa yang memegang satu urusan, maka ia
akan diuji, dan barangsiapa yang tidak siap
menghadapi ujian saat itu ia tertimpa musibah,
maka ia tidak akan bersabar, barangsiapa memiliki
sesuatu maka ia akan dikenal dengannya, dan
barangsiapa yang tidak meminta petunjuk, maka ia
akan menyesal.” (Kanzul Ummal XVI/197)

883. Ali bin Abi Thalib berkata, “Sesungguhnya


kekayaan yang paling berharga adalah akal,
kemiskinan yang paling parah adalah kebodohan,
hal yang paling hina adalah ujub, dan kemuliaan
yang paling mulia adalah akhlak yang baik.”
(Kanzul Ummal XVI/226 no. 44388)

884. Al-Hasan berkata, “Janganlah engkau


berteman dengan orang yang bodoh
sesungguhnya ia ingin berbuat baik padamu tapi
justru ia mencelakaimu, jangan berteman dengan
pembohong, sesungguhnya ia menjadikanmu
mendekati yang jauh dan menjauhi yang dekat,
janganlah berteman dengan orang pelit,
sesungguhnya ia menjauhkanmu dari hal yang
paling engkau butuhkan, dan janganlah berteman
dengan orang yang suka bermaksiat,
sesungguhnya ia menjual dirimu dengan sesuatu
yang tidak ada nilainya sama sekali.” (Kanzul
Ummal XVI/266 no. 44388)
885. Ali bin Abi Thalib berkata, “Sesungguhnya
orang-orang zuhud didunia menjadikan bumi itu
hanya sebagai alas dan tanahnya sebagai tempat
tidur, serta air sebagai penunjang kehidupan.
Ketahuilah barang siapa yang rindu dengan
akhirat, maka ia akan meninggalkan syahwatnya.
Dan barangsiapa yang enggan terhadap mereka,
maka ia akan menjauhi hal-hal yang diharamkan.
Barangsiapa yang mengharapkan syurga, maka ia
akan berlomba-lomba dalam ketaatan, serta
barangsiapa yang zuhud di dunia, maka musibah
akan terasa ringan baginya.” (Al-Bidayah wan-
Nihayah VIII/7)
886. Ali bin Abi Tholib berkata, “Seorang pedagang
jika faqih (punya ilmu dalam berdagang yang
sesuai dengan syar’i) maka ia akan terjerumus ke
dalam jurang riba. Terus dan terus akan tenggelam
di dalamnya.” (Tanbihul-Ghafilin, hlm. 357)

887. Ali bin Abi Tholib berkata, “Amal yang paling


utama adalah amar ma’ruf (mengajak kepada
kebaikan), mencegah yang munkar dan
menghindar, dan menghindari orang fasik,
barangsiapa yang beramar ma’ruf maka ia telah
menguatkan punggung orang mu’min, dan
barangsiapa yang mengingkari kemunkaran, maka
ia telah memerahkan hidung orang munafik
(menghalangi dari berbuat kefasikan).” (Tanbihul-
Ghafilin, hlm. 65)
888. Ali bin Abi Tholib berkata, “Orang yang
berakal pasti membagi waktu siangnya menjadi
empat bagian: (1) Waktu yang pertama ia
khususkan untuk mendekatkan diri kepada
Robbnya. (2) Waktu yang kedua untuk
mengintrospeksi dirinya sendiri. (3) Waktu yang
ketiga untuk mendatangi ulama yang
membimbingnya dalam permasalahan agama dan
dunianya serta menasihatinya. (4) Waktu yang
keempat untuk menyendiri dan merenung.”
(Tanbihul Ghafilin, hlm. 164)

889. Ali bin abi Thalib berkata, “Demi Allah, orang


yang dermawan itu tidak akan terkurangi haknya
sama sekali.” (Ihya ‘Ulumuddin IV/34)
890. Ali bin abi Tholib berkata, “Jangan melihat
siapa yang berbicara tapi lihatlah apa yang
dikatakannya.” (Kanzul Ummah 16/269 no.
44397)

891. Ali bin Abi Tholib berkata, “Setiap


persahabatan pasti akan terputus kecuali
persahabatan yang tidak dibangun atas dasar
ketamakan.” (Kanzul Ummah 16/259 no. 44398)

892. Ali bin Abi Tholib berkata, “Sungguh


mengherankan orang yang memburu dunia,
padahal kematian tengah mengejarnya, sungguh
mengherankan orang yang lalai padahal Allah
tidak lalai kepadanya.” (Ihya’Ulumuddin 3/380)
893. Ali bin Abi Tholib berkata, “Barangsiapa yang
rindu pada surga, maka ia akan mengacuhkan
syahwatnya selama di dunia.” (Ihya ‘Ulumuddin
3/194)

894. Ali bin Abi Tholib berkata, “Sesungguhnya hal


yang paling aku takutkan adalah mengikuti hawa
nafsu dan panjang angan-angan, sesungguhnya
mengikuti hawa nafsu itu menghalangi kebenaran
dan panjang angan-angan itu membuat lupa
terhadap akhirat.” (Al-Bidayah wan Nihayah 8/8)

895. Ali bin abi Tholib berkata, “Tidak akan


berkurang kemuliaan seseorang hanya lantaran ia
memanggul makanan yang dibutuhkan oleh
keluarganya.” (Ihya’Ulumuddin 4/158)

896. Ali bin Abi Tholib berkata, “Orang-orang


yang riya mempunyai tiga ciri; Ia malas jika
sendirian dan rajin jika berada di antara manusia,
serta ia akan menambah amalnya jika dipuji dan
menguranginya jika dicela.” (Ihya’Ulumuddin
4/84)

897. Ali bin Abi Tholib berkata, “Barangsiapa yang


berhasil mengumpulkan enam hal, maka ia pasti
masuk surga dan bebas dari neraka: (1)
Barangsiapa yang tahu tentang Allah lalu ia
mentaatinya. (2) Barangsiapa yang tahu tentang
setan lalu ia mendurhakainya. (3) Barangsiapa
yang tahu tentang kebenaran lalu ia mengikutinya.
(4) Barangsiapa yang tahu tentang kebatilan lalu ia
menjaga diri darinya. (5) Barangsiapa yang tahu
tentang dunia lalu ia menolaknya. (6) Dan
barangsiapa yang tahu tentang akhirat lalu ia
memburunya.” (Tanbihul Ghofilin, hlm. 183)

898. Ali bin Abi Tholib berkata, “Ladang itu ada


dua: ladang dunia berupa harta dan taqwa dan
ladang akhirat berupa amal sholih. Keduanya telah
Allah persiapkan untuk suatu kaum.” (Al-Bidayah
wan Nihayah 8/9)

899. Ali bin Abi Tholib berkata, “Sesungguhnya


alasan yang mendorong masyarakat untuk malas
menuntut ilmu adalah karena melihat betapa
sedikitnya ulama yang mengamalkan ilmunya.”
(Jami’ Bayanil ilmi wa Fadhilihi 1/197)

900. Ali bin Abi Tholib berkata, “Wahai orang-


orang yang berilmu amalkanlah ilmu kalian,
sesungguhnya yang disebut ulama adalah orang
yang mempunyai ilmu dan mengamalkannya, dan
ilmunya sesuai dengan amalnya. Akan datang
suatu kaum yang mengusung ilmu namun ilmu
tidak melewati kerongkongannya (ilmu tidak
masuk ke dalam lubuk hatinya dan hanya sebatas
di lisan semata) hati mereka bertentangan dengan
amalan lahiriah mereka, mereka duduk dalam
lingkaran-lingkaran pengajian, satu sama lain
saling membanggakan dirinya, sehingga seorang
ulama di antara mereka akan marah apabila murid
pengajiannya mengaji kepada ulama yang lain,
mereka adalah ulama yang ilmu dan amalnya tidak
akan naik ke hadirat Allah.” (Jami’ bayanil ilmi wa
fadhilihi 2/9)

901. Ali bin Abi Tholib berkata, “Pelajarilah ilmu!


Dan jika engkau sedang mempelajarinya, maka
bersikaplah serius, jangan engkau seling dengan
senda gurau, juga main-main sehingga hatimu
akan lepas, sesungguhnya jika seorang yang alim
bersenda-gurau sekali saja, maka ia akan
kehilangan satu bagian dari ilmunya.” (Jami’
Bayanil Ilmi wa Fadhilihi 1/197)

902. Ali bin Abi Tholib berkata, “Pelajarilah ilmu


dan hiasilah dirimu bersamanya dengan kebajikan
dan kelemahlembutan, bersikaplah rendah hati
terhadap orang yang engkau ajari, dan janganlah
kalian menjadi ulama yang bengis dan sok
berkuasa, karena kejelekan amal kalian tersebut
akan melenyapkan kebenaran ilmu kalian.” (Jami’
Bayanil ilmi wa Fadhilihi 1/170)

903. Ali bin Abi Tholib berkata, “Berbuatlah


kebajikan walau kepada orang yang
mengingkarinya, sesungguhnya pahalanya
ditimbang lebih berat dari pada berbuat kebaikan
kepada orang yang mau berterima kasih
kepadamu.” (Tanbihul Mughtarin, hlm. 140)

904. Ali bin Abi Tholib berkata, “Muslim yang


terbaik adalah yang paling membantu dan paling
bermanfaat.” (Tanbihul Mughtarin, hlm. 140)
905. Ali bin Abi Tholib berkata, “Termasuk
kebahagiaan seseorang ada lima hal: istri cocok
dengannya, anaknya adalah orang-orang baik,
saudaranya adalah orang yang bertaqwa, para
tetangganya adalah orang yang sholih, dan
rizqinya ia dapat di negerinya.” (Tanbihul
Mughtarin, hlm. 44)

906. Ali bin Abi Tholib berkata, “Ketahuilah bahwa


manusia yang ada saat ini adalah generasi orang-
orang baik, dan nilai seseorang itu sesuai dengan
kebaikannya, maka bicarakanlah masalah ilmu di
antara kalian sehingga akan terlihat nilai kalian.”
(Jami’ Bayanil ilmi wa Fadhilihi 1/119)
907. Ali bin Abi Tholib berkata, “Ilmu itu lebih baik
dari pada harta, karena harta itu engkaulah
penjaganya, sedangkan ilmu ialah yang
menjagamu, harta itu akan berkurang dengan
diinfakkan, sedangkan ilmu akan lebih berkah
dengan diinfakkan, ilmu itu pengatur sedangkan
harta adalah yang diatur, para penimbun harta
telah mati walaupun mereka masih hidup,
sedangkan para ulama tetap dikenang selama
waktu masih berputar, fisik mereka tiada, tapi
bekasnya masih tersisa dalam hati manusia.” (Jami’
Bayanil ilmi wa Fadhilihi 1/68)

908. Ali bin Abi Tholib berkata, “Hendaklah kalian


bersabar, karena kesabaran adalah sikap orang-
orang yang tegar dan tempat kembali orang yang
berkeluh kesah.” (Al-Bayan wat Tabyin 3/285)
909. Ali bin Abi Tholib berkata, “Manusia itu ada
tiga macam: (1) Orang alim robbani. (2) Orang
yang belajar di jalan keselamatan. (3) Dan sisanya
para gembel yang mengikuti setiap seruan kemana
angin bertiup.” (Tanbihul Ghafilin As-Samarqandi,
hlm. 338)

910. Ali bin Abi Tholib berkata, “Ketakutan itu


didampingi oleh kegagalan dan malu itu
didampingi oleh tangan hampa.” (Jami’ Bayanil
ilmi wa Fadhilihi 1/109)

911. Ali bin Abi Tholib berkata, “Pelajarilah ilmu


maka engkau akan dikenal dengannya, dan
amalkanlah maka engkau akan menjadi
pemiliknya, sesungguhnya akan datang setelah
kalian suatu zaman di mana kebenaran diingkari
sembilan dari sepuluh yang ada, tidak ada yang
selamat darinya, kecuali mereka yang tidak dikenal
oleh manusia, mereka adalah para imam hidayah
dan lentera-lentera ilmu.” (Az-Zuhd, hlm. 162)

912. Ali bin Abi Tholib berkata, “Barangsiapa yang


lemah lembut perkataannya maka ia akan
dicintai.” (al-Aqdul Farid 2/127)

913. Ali bin Abi Tholib berkata, “Hal yang pertama


kali akan dirasakan oleh orang yang bijak atas
kebijaksanaannya adalah bahwa orang-orang
akan menjadi penolongnya dari bodoh dan
dzolim.” (al-Aqdul Farid 2/129)

914. Ali bin Abi Tholib berkata, “Janganlah engkau


memutuskan tali persaudaraan dengan saudaramu
atas dasar keraguan, dan jangan engkau
mengasingkan diri tanpa sebab.” (al-Aqdul Farid
2/152)

915. Ali bin Abi Tholib berkata, “Tidak ada istirahat


bagi orang yang dengki, tidak ada yang mau
bersaudara dengan pemalas, dan tidak ada orang
yang suka dengan orang yang buruk akhlaknya.”
(al-Aqdul Farid 2/158)
916. Ali bin Abi Tholib berkata, “Tidak ada orang
yang enggan meraih kemuliaan kecuali seekor
keledai.” (al-Aqdul Farid 2/249)

917. Ali bin Abi Tholib berkata, “Tutuplah aib


saudaramu, rahasiakanlah segala kesalahannya.
Bersabarlah terhadap tipuan sesuatu yang tidak
bernilai. Bersabarlah beberapa waktu atas segala
urusan. Terimalah jawaban (atas segala
permasalahanmu) dengan lapang dada, dan
serahkanlah kedzaliman pada yang akan
menghisabnya.” (al-Aqdul Farid 2/243)

918. Ali bin Abi Tholib berkata, “Barangsiapa yang


punya kasih sayang pasti ia terhormat, dan
barangsiapa yang terhormat pasti ia bermanfaat.
Barangsiapa yang malu pasti ia terjaga, dan
barangsiapa yang takut maka ia akan celaka,
barangsiapa yang menginginkan kedudukan maka
ia akan bersabar dalam pemerintahan,
barangsiapa yang melihat aib dirinya sendiri, maka
ia tidak akan melihat aib orang lain, barangsiapa
yang menghunuskan pedang pembangkang maka
ia akan terbunuh dengannya, dan barangsiapa
yang menggali lobang untuk saudaranya maka
suatu saat ia akan terjerumus di dalamnya.
Barangsiapa yang lupa terhadap kesalahannya
sendiri, maka akan tampak besar kesalahan orang
lain di matanya, barangsiapa yang menyikap
rahasia orang lain, maka rahasianya pun akan
tersingkap, barangsiapa yang sombong dalam
setiap urusan maka ia akan hancur, barangsiapa
yang menerjang badai ombak yang besar maka ia
akan tenggelam, barangsiapa yang kagum dengan
pendapatnya sendiri, maka ia akan sesat, dan
barangsiapa yang merasa cukup dengan akalnya
maka ia salah, barangsiapa yang memaksa orang
lain maka ia hina, barangsiapa yang memperdalam
suatu pekerjaan maka ia akan condong kepadanya,
barangsiapa yang berteman dengan orang bejat
maka ia akan dihina, dan barangsiapa yang
bermajelis bersama ulama maka akan dihormati,
barangsiapa yang bagus akhlaknya maka akan
mudah jalannya, barangsiapa yang manis
perkataannya maka apa yang ia senangi ada di
hadapannya.” (al-Aqdul Farid 2/243)

919. Ali bin Abi Tholib berkata, “Yang tebaik dari


umat ini disini adalah golongan tengah, orang-
orang di sekitarnya merujuk kepadanya, dan
orang-orang setelah mereka mengikutinya.” (Al-
aqdul Farid 3 199)

920. Ali bin Abi Tholib berkata, “Orang yang


terhemat tidak akan binasa, dan orang yang zuhud
tidak akan jatuh miskin.” (al-Aqdul Farid 1/115)

921. Ali bin Abi Tholib berkata, “Janganlah engkau


bersandar kepada lamunan-lamunan kosong,
karena ia adalah dagangan orang-orang yang
tolol, dan melemahkan jiwa dari meraih kebaikan
dunia dan akhirat, di antara kekayaan dunia yang
paling baik adalah kawan dekat yang sholih.
Bergaullah dengan orang-orang yang sholeh,
niscaya engkau akan termasuk golongan mereka,
dan jauhilah orang-orang yang bermoral bejat,
niscaya engkau tidak akan termasuk golongan
mereka, janganlah sekali-kali buruk sangka
menguasai dirimu, karena ia tidak akan
membiarkan adanya perdamaian dirimu dengan
kawan-kawan dekatmu.” (al-Aqdul Farid 1/115)

922. Ali bin Abi Tholib berkata, “Orang yang mulia


di dunia adalah para dermawan, dan orang yang
mulia di akhirat adalah orang-orang yang
bertaqwa.” (ar-Risalah al-quraisyiyah, hlm. 108)

923. Ali bin Abi Tholib berkata, “Hiburlah hatimu


ini dan sentuhlah dangan sentuhan-sentuhan
hikmah, sesungguhnya ia bisa bosan sebagaimana
tubuh bisa bosan. Dan jiwa itu senang kepada
hawa nafsu melakukan yang hina, condong
kepada main-main, menyuruh kepada kejelekan,
penuh kelemahan, minta santai, dan tidak
menyukai amal, jika kamu memaksanya untuk
beramal, niscaya ia akan kelelahan, namun jika
engkau membiarkannya maka ia akan semakin
rusak.” (al-Aqdul Farid 6/393)

924. Ali bin Abi Tholib berkata, “Wahai anak


Adam! Janganlah engkau gembira dengan
kekayaan, dan jangan berputus asa dengan
kefakiran, jangan bersedih dengan musibah, dan
jangan bersuka-cita dengan kesenangan,
sesungguhnya emas itu dilebur dengan api, sedang
hamba yang sholih itu dilebur dosanya dengan
musibah, sesungguhnya engkau tidak akan
mendapatkan apa yang engkau inginkan kecuali
dengan meninggalkan kesenanganmu, dan engkau
tidak akan mendapatkan apa yang engkau
angankan kecuali dengan bersabar atas apa yang
tidak engkau sukai.” (Risalatul Mustarsyidin, hlm.
51)

925. Ali bin Abi Tholib berkata, “Kesabaran itu


adalah hewan tunggangan yang tidak pernah
tergelincir.” (ar-Risalah al-Quraisyiyah, hlm.
1850)

926. Ali bin Abi Tholib berkata, “Jadilah sumber-


sumber ilmu dan lentera-lentera di malam hari,
yang selalu baru hatinya meskipun pakaiannya
telah usang, kalian akan dikenal di langit dan akan
diingat di dunia.” (Tahdzib Hilyatil Auliya 1/83)
927. Ali bin Abi Tholib berkata, “Tidak ada harta
yang lebih berguna dari pada akal, dan tidak ada
kemiskinan yang lebih berbahaya dari pada
kebodohan.” (al-Aqdul Farid 2/106)

928. Ali bin Abi Tholib berkata, “Sesungguhnya


orang yang hidup dari tangan orang lain seperti
orang yang menanam pohon di tanah orang lain.”
(Hilyatul Auliya 1/71)

929. Ali bin Abi Tholib berkata, “Ilmu itu


menjadikan orang alim taat dalam hidupnya dan
meninggalkan kesan yang baik setelah matinya.
Orang yang menimbun harta itu telah mati
walaupun mereka masih hidup,sedang ulama itu
akan tetap ada selama waktu masih berputar
meskipun diri mereka telah tiada, tapi contoh yang
mereka berikan teap membekas dalam hati.”
(Shifatis Shafwa 1/172)

930. Ali bin Abi Tholib berkata, “Kedudukan sabar


dari iman sebagaimana kedudukan kepala bagi
jasad, tidak ada gunanya jasad tanpa kepala dan
tidak ada gunanya keimanan tanpa kesabaran.”
(Al-Bayan wat Tabyin 3/211)

931. Ali bin Abi Tholib berkata, “Curahkanlah


perhatian kalian pada diterimanya amalan
melebihi dari pada perhatian kalian untuk
beramal, sesungguhnya amalan yang dikerjakan
dengan takwa tidaklah bernilai sedikit, bagaimana
dinilai sedikit sebuah amalan yang diterima?.”
(Tahdzib Hilyatul auliya 1/181)

932. Ali bin Abi Tholib berkata, “Manfaatkanlah


waktu-waktu ini, sesungguhnya ia berlalu
sebagaimana awan berlalu, dan tidak
meninggalkan bekas apapun setelah lewat.” (al-
Aqdul Farid 2/85)

933. Ali bin Abi Tholib berkata, “Bukanlah suatu


kebaikan banyaknya hartamu dan anakmu, tapi
kebaikan itu adalah bertambahnya amalanmu dan
bertambah besarnya kasih sayangmu serta engkau
bersegera dalam beribadah kepada Robbmu, jika
engkau melakukan kebaikan maka bertahmidlah
dan jika engkau melakukan perbuatan jelek maka
beristighfarlah. Dan tidak ada kebaikan di dunia
ini kecuali bagi salah satu dari dua orang: 1 orang
yang melakukan sebuah dosa lalu ia menebusnya
dengan bertaubat, atau orang yang bersegera
dalam melakukan kebaikan.” (Az-Zuhdul Kabir no.
708 dan al-Hilyah 1/75)

934. Ali bin Abi Tholib berkata, “Sesungguhnya


seseorang itu merasa sedih jika kehilangan sesuatu
yang tidak bisa ia dapatkan, dan merasa gembira
mendapatkan apa yang ia ingin dapatkan, maka
jadikanlah kegembiraanmu itu dengan apa yang
berhasil engkau raih dari urusan akhiratmu dan
jadikanlah kesedihanmu jika engkau kehilangan
salah satu dari urusan akhirat, janganlah engkau
terlalu gembira dengan apa yang kamu dapatkan
dari perkara dunia, dan jangan terlalu bersedih
dengan perkara dunia yang hilang dari tanganmu,
dan jadikanlah niatmu itu untuk sesuatu setelah
kematian.” (Shifatus Shafwa 1/171)

935. Ali bin Abi Tholib berkata, “Sesungguhnya hal


yang paling aku takutkan menimpa kalian adalah
panjang angan-angan dan mengikuti hawa nafsu,
karena panjang angan-angan itu membuat kita
lupa pada akhirat, sedang mengikuti hawa nafsu
itu menghalangi kita dari kebenaran, ketahuilah
sesungguhnya dunia itu terus berjalan menjauh,
sedangkan akhirat datang mendekat, setiap
keduanya memiliki anak-anak, maka jadilah
kalian anak-anak akhirat jangan jadi anak-anak
dunia, sesungguhnya hari ini adalah saat beramal
tanpa hisab, dan esok di akhirat adalah hisab tanpa
ada waktu beramal lagi.” (az-Zuhdul Kabir no.
463)

936. Ali bin Abi Tholib berkata, “Pergaulilah


manusia dengan lisan dan tubuh kalian, dan
jauhilah mereka dengan hati dan perbuatan kalian,
sesungguhnya seseorang itu akan mendapatkan
ganjaran dari apa yang ia kerjakan, dan pada hari
kiamat nanti ia akan dikumpulkan bersama orang
yang ia cintai.” (az-Zuhdul Kabir no. 189)

937. Ali bin Abi Tholib berkata, “Beruntunglah


orang yang mengingat akhirat dan
mempersiapkan diri untuk hari perhitungan, serta
merasa cukup dengan rizki yang sedikit.” (al-
Bayan wat-Tabyin 3/148)
938. Imam Ibnul Qoyyim berkata, “Barangsiapa
mencintai dunia maka hendaklah ia berfikir untuk
menerima musibahnya. Orang yang cinta dunia
tidak lepas dari tiga perkara: kesedihan yang harus
diterima, keletihan yang terus menerus, dan
kerugian yang tidak pernah selesai.” (Ighotsatul
lahfan oleh Ibnul Qoyyim 1/37)

939. Ibnu Mas’ud berkata, “Dunia adalah tempat


orang yang tidak punya tempat tinggal, harta
orang yang tidak punya harta dan orang yang
mengumpulkannya adalah orang yang tidak
punya ilmu.” (Al-Minhaj fi Syu’abil iman 3/388)
940. Waki’ berkata, “Tidaklah seseorang
meninggalkan sesuatu di dunia karena Allah
kecuali pemberian Allah (untuknya) di akhirat
akan lebih baik.” (al-Hilyah 4/312)

941. Malik bin Dinar berkata, “Seberapa besar


engkau bersedih terhadap dunia maka sebesar itu
pula keinginan akhirat akan keluar dari dirimu.
Dan seberapa besar engkau bersedih terhadap
akhirat maka sebesar itu pula keinginan dunia
akan keluar dari dirimu.” (az-Zuhd, hlm. 387)

942. Bilal bin Sa’ad berkata, “Wahai orang yang


bertaqwa, kalian tidak diciptakan untuk dunia
yang fana, kalian hanya akan berpindah dari satu
negri ke negri yang lain, sebagaimana kalian
berpindah dari tulang rusuk ke alam rahim, dari
alam rahim ke dunia, dari dunia ke alam kubur,
dari alam kubur ke padang mahsyar, dan dari
padang mahsyar menuju tempat abadi yaitu surga
atau neraka.” (Syiar Alamin nubala’ 5/91)

943. Abdullah bin Mas’ud berkata, “Tidak boleh


berdusta baik sekedar main-main atau sungguh-
sungguh, dan tidak boleh seorang di antara kalian
menjanjikan sesuatu pada anak kecil kemudian dia
tidak menunaikannya.” (Ash-Shomt, hlm. 543)

944. Muhammad bin Ka’ab berkata, “Tidaklah


orang berdusta kecuali hal itu sebagai bentuk
penghinaan terhadap dirinya sendiri.” (Makarimul
akhlak, hlm. 135)
945. Abu Qilabah berkata, “Jika sampai kepadamu
berita jelek tentang saudaramu maka carilah udzur
umtuknya, jika engkau tidak menjumpainya maka
katakanlah, ‘Barangkali dia punya udzur yang
tidak aku ketahui.’” (Raudhatul Uqola’, hlm.184)

946. Sahl bin Abdullah at-Tastari berkata,


“Seandainya seorang hamba diberikan
pemahaman setiap huruf dari Al-Qur’an, dengan
seribu pemahaman, niscaya ia tidak akan pernah
sampai pada (makna) akhir ayat yang tersimpan
dalam kitab-Nya, sebab ia adalah kalamullah,
sedangkan kalam-Nya adalah sifat bagi-Nya,
sebagaimana Allah tidak berakhir, maka demikian
halnya tidak ada batas akhir untuk memahami
kalam-Nya, namun setiap orang memahami
menurut ukuran apa yang telah Allah buka bagi
hatinya, kalamullah bukanlah makhluk dan
pemahaman makhluk tidak akan mencapai akhir
dari pemahaman kalam-Nya.” (Muqoddimah tafsir
al-Basith oleh al-wahidi, hlm. 301)

947. Ibrohim At-Taimi berkata, “Barangsiapa yang


telah diberi ilmu, namun tidak menjadikannya
menangis kepada al-Khaliq maka hakikatnya ia
tidak diberi ilmu.” (Hilyatul auliya V/88,Az-Zuhd
oleh Ibnul Mubarok, hlm. 47)

948. Abu Hazim mengatakan, “Bersyukur dengan


seluruh anggota tubuh adalah menahannya dari
maksiat dan selalu menggunakannya dalam
ketaatan.” (Jamiul Ulum wal Hikam, 295)

949. Ar Rabi’ bin Anas, “Tanda cinta kepada Allah


adalah banyak mengingat (menyebut)-Nya, karena
tidaklah engkau menyukai sesuatu kecuali engkau
akan banyak mengingatnya.” (Jami’al Ulum wal
Hikam, Ibnu Rajab)

950. Ibnu Rajab Al-Hanbaliy rahimahullah


berkata, “Sesungguhnya seorang mukmin tidak
sepantasnya untuk menjadikan dunia sebagai
tempat tinggalnya dan merasa tenang di dalamnya,
akan tetapi sepatutnya dia di dalam dunia ini
bagaikan orang yang sedang melakukan
perjalanan.” (Jami’ul Ulum wal Hikam, hlm. 379)
951. Imam Ahmad berkata, “Jika engkau ingin
Allah melancarkan untukmu sesuatu yang engkau
cintai, maka teruslah mengerjakan sesuatu yang
Dia cintai.” (Al-Bidayah wa An-Nihayah 10/330)

952. Wahhab bin Munabbih berkata, “Jika


seseorang memujimu dengan apa-apa yang tidak
ada padamu, maka janganlah kamu merasa aman
darinya untuk mencelamu dengan apa-apa yang
tidak ada padamu.”(Shifat Ash-Shofwah 2/295)

953. Hasan Al-Bashri berkata, “Jika kamu melihat


seseorang melebihimu dalam urusan dunia maka
saingilah dia dalam urusan akhirat.” (Mushannaf
Ibnu Abi Syaibah, jilid 7/188)
954. “Semenjak kenal manusia, aku tidak senang
pujian mereka, dan juga tidak benci celaan
mereka.” Ada yang bertanya, “Kenapa bisa
demikian?” beliau menjawab, “Karena mereka
yang memuji itu berlebih-lebihan dan mereka
yang mencela itu terlalu meremehkan.”-Malik bin
Dinar-(Shifatus Shafwah: III/276)

955. “Seandainya aku melakukan kebenaran


sembilan puluh sembilan kali dan melakukan
kesalahan sekali, sungguh manusia akan
menghitung-hitung satu kesalahan tersebut.”
(perkataan Asy Sya’bi rohimahulloh dalam
Tahdzib Siyar A’lam An Nubala, 1/392).
956. “Jangan sekali-kali kamu tertipu dalam
menilai kepahlawanan seorang laki-laki dari
perilakunya dan apa yang kamu lihat dari amal
ibadahnya. Sesungguhnya, seorang pria yang
disebut pahlawan adalah yang senantiasa menjaga
dua perkara, yakni yang menjaga aturan-aturan
Allah dan senantiasa ikhlas dalam beramal.” (Ibnul
Jauzi dalam Saaidul Khatiir)

957. Fudail bin Iyadh berkata: “Barangsiapa yang


suka untuk disebut-sebut namanya maka ia tidak
akan terkenal, dan barang siapa yang tidak suka
untuk disebut-sebut namanya, maka ia akan
terkenal.” (Siyarul A’lam: 432)
958. “Demi Allah, sesungguhnya berteman dengan
suatu kaum yang menakut-nakutimu hingga
akhirnya kamu menemukan rasa aman itu lebih
baik daripada kamu berteman dengan sekelompok
orang yang membuatmu merasa aman, namun
akhirnya kamu dikejar-kejar oleh perkara-
perkara yang menakutkan.” (Imam Ahmad ‫الله‬
ّ ‫رحمه‬
dalam Kitab Az Zuhd)

959. Al-Munaawi rahimahullah berkata, “Tidak


setiap orang yang amanah menjaga harta juga
amanah menjaga rahasia. Menjaga diri dari harta
lebih mudah dari pada menjaga diri untuk tidak
menyebarkan rahasia.” (Faidhul Qodiir 1/493,
syarh hadits no. 985)
960. Ar-Rooghib berkata, “Menyebarkan rahasia
muncul dari sedikitnya kesabaran dan sempitnya
dada, dan ini merupakan sifat para lelaki yang
lemah, para wanita, dan anak-anak.” (Lihat Faidhul
Qodiir 1/493)

961. Ibnu Mas’ud berkata, “Tidak ada anggota


tubuh yang lebih perlu untuk dikekang dalam
waktu lama, selain dari lisanku.” (Minhajul
Qosidin)

Al-Mahabbah (cinta)

962. Asy-Sya’bi berkata, “Orang yang


membebaskan hawa nafsu akan diajak pada
kenikmatan yang ada, tanpa memikirkan
akibatnya di kemudian hari, menganjurkan
kepada syahwat sekalipun menjadi sebab
penderitaan yang berat baik di dunia maupun di
akhirat.” (Roudhotul Muhibbin wan Nuzhah al-
Musytaqqin, hlm. 437 oleh Ibnul Qoyyim)

963. Ibnul Qoyyim berkata, “Orang yang mampu


mengalahkan hawa nafsunya lebih kuat dari pada
orang yang mampu sebuah kota sendirian.”
(Roudhoul Muhibbin, hlm. 445)

964. Mu’awiyah berkata, “Sifat kesatria ialah


meninggalkan syahwat dan menentang hawa
nafsu, mengikuti hawa nafsu berarti mengurangi
sifat kesatria.” (Roudhotul Muhibbin, hlm. 445)
965. Abu Darda’ berkata, “Jika pada diri seseorang
berkumpul nafsu dan amal, lalu amalnya
mengikuti nafsunya, maka hari yang dilaluinya
adalah hari yang buruk. Jika nafsunya mengikuti
amalnya maka hari yang dilaluinya adalah hari
yang baik.” (Rodhotul Muhibbin, hlm. 445)

966. Sebagian ahli hikmah berkata, “Jika ada


masalah yang rumit engkau pecahkan, engkau
tidak tahu mana yang benar, maka tinggalkanlah
yang lebih dekat dengan nafsu, karena sesuatu
yang lebih dekat dengan kesalahan ialah yang
mengikuti hawa nafsu.” (Roudhotul Muhibbin,
hlm. 445)
967. Sebagian ahli hikmah berkata, “Jika engkau
mau akan ku beritahukan apa penyakitmu, dan
jika engkau mau akan ku beritahukan apa obatnya.
Penyakitmu adalah nafsumu dan penawarnya
adalah meninggalkan nafsu dan menentangnya.”
(Roudhotul Muhibbin, hlm. 446)

968. Bisyr Al-Hafi berkata, “Semua bencana


terletak pada nafsumu, dan obat penawarnya
adalah penentanganmu terhadap nafsu.”
(Roudhotul Muhibbin, hlm. 446)

969. Ibnul Qoyyim berkata, “Nafsu itu merupakan


keguncangan dan kebingungan, sedangkan
memerangi nafsu merupakan pertahanan diri.”
(Roudhotul Muhibbin, hlm. 446)
970. Ibnul Qoyyim berkata, “Memerangi nafsu itu
lebih hebat dan besar dari pada menerangi orang-
orang kafir.” (Roudhotul Muhibbin, hlm. 446)

971. Al-Fudail bin ‘Iyyadh berkata, “Barangsiapa


yang mengikuti nafsu dan mengikuti syahwat,
maka terputuslah tali taufiq darinya.” (Roudhotul
Muhibbin, hlm. 447)

972. Sebagian ahli hikmah berkata, “Kufur itu ada


empat perkara: Kemarahan, syahwat, kebencian
dan kesenangan. Pernah kulihat dua dari empat
perkara itu, yaitu seseorang marah lalu
membunuh ibunya dan orang yang jatuh cinta lalu
dia masuk agama nashoro.” (Roudhotul Muhibbin,
hlm. 447)

973. Ibnul Qoyyim berkata, “Barangsiapa yang


memanjakan nafsunya maka dia merusak akal dan
pikirannya. Sebab dia telah mengkhianati Allah
dalam masalah penggunaan akalnya, sehingga
Allah merusak akal itu.” (Roudhotul Muhibbin,
hlm. 447)

974. Ibnul Qoyyim berkata, “Mengikuti nafsu bisa


mengendorkan semangat dan menantang nafsu
bisa menguatkan semangat. Semangat merupakan
tunggang hamba yang membawanya kepada Allah
dan hari akhirat. Jika tunggang lemah dan tidak
berdaya, saat itu pula perjalanan menjadi terhenti.”
(Rodhotul Muhibbin, hlm. 448)

975. Sebagian ahli hikmah berkata, “Tunggangan


yang paling cepat ke surga ialah zuhud di dunia
dan tunggangan yang paling cepat ke neraka ialah
mencintai syahwat, siapa yang tetap berada di atas
tunggangan hawa nafsunya maka dia akan dihela
pada kerusakan.” (Roudhotul Muhibbin, hlm. 449)

976. Sebagian ahli hikmah berkata, “Ulama yang


paling mulia ialah yang lari dari dunia, sambil
membawa agamanya dan tidak kesulitan
mengekang nafsunya.” (Roudhotul Muhibbin, hlm.
449)
977. Ibnul Qoyyim berkata, “Menentang nafsu bisa
melenyapkan penyakit hati dan badan ikuti nafsu
bisa mendatangkan penayoritas berasal dari
penyakit hati dan badan. Semua penyakit hati
berasal dari mengikuti nafsu, jika engkau
menyelidiki mendapatkan bahwa berbagai
penyakit badan, tentu engkau akan mendapatkan
bahwa mayoritas berasal dari mementingkan
nafsu ketimbang meninggalkannya.” (Raudhatul
muhibbin, hlm. 450)

978. Ibnul Qoyyim berkata, “Dasar permusuhan,


kejahatan dan kedengkian yang muncul di
kalangan manusia ialah karena mengikuti nafsu,
siapa yang menantang nafsunya berarti dia
membuat hati dan badannya menjadi tenteram dan
sehat.” (Raudhatul Muhibbin, hlm. 450)
979. Abu Bakar al-Warroq berkata, “Jika nafsu
yang menang maka hati menjadi gelap, maka dada
terasa sesak, jika dada menjadi sesak, maka akhlak
menjadi buruk, jika akhlak menjadi buruk maka
dia membenci orang lain, dan orang lain pun
membencinya. Maka perhatikanlah apa yang
diakibatkan nafsu seperti kebencian, kejahatan,
permusuhan, mengabaikan hak orang lain dan lain
sebagainya.” (Roudhotul Muhibbin, hlm. 450)

980. Abu ‘Ali ats-Tsaqofi berkata, “Barangsiapa


yang nafsunya lebih dominan, maka akalnya akan
menyingkir, lihatlah akibat orang yang akalnya
dikalahnya rivalnya.” (Roudhotul Muhibbin, hlm.
450)
981. Ali bin Sahl berkata, “Akal dan nafsu saling
bermusuhan, taufiq merupakan kesudahan akal
dan penyesalan merupakan kesudahan nafsu. Jiwa
berada di antara keduanya. Mana yang tampil
sebagai pemenang maka jiwa akan mengikutinya.”
(Roudhotul Muhibbin 450)

982. Ibnul Qoyyim berkata, “Musuh terbesar bagi


seseorang adalah setan dan hawa nafsunya,
sedangkan rekan yang paling dipercaya adalah
akalnya, dan kekuasaan yang memberikan nasihat
kepadanya. Jika dia mengikuti nafsunya maka
tangannya diserahkan kepada musuhnya, lalu dia
ditawan. Inilah yang disebut bencana, penderitaan,
ketetapan yang buruk dan kemenangan musuh.”
(Roudhotul Muhibbin, hlm. 450)

983. Ibnul Qoyyim berkata, “Setiap manusia


memiliki permulaan dan kesudahan, barangsiapa
permulaannya ditandai dengan mengikuti nafsu
maka kesudahannya adalah kehinaan,
kemorosotan dan bencana, tergantung seberapa
jauh dia menuruti nafsunya dan bahkan puncak
kesudahannya adalah siksaan yang dia rasakan di
dalam hatinya.” (Roudhotul Muhibbin, hlm. 451)

984. Abu ‘Ali Daqqaq berkata, “Barangsiapa dapat


menguasai syahwat pada masa mudanya niscaya
Allah akan memuliakannya pada masa tuannya.”
(Roudhotul Muhibbin, hlm. 451)
985. Ibnul Qoyyim berkata, “Menentang nafsu
pasti mendatangkan kemuliaan di dunia dan
kemuliaan di akhirat, keperkasaan lahir dan batin.
Sedangkan mengikuti nafsu akan menghinakan
manusia di dunia dan di akhirat lahir dan batin.”
(Roudhotul Muhibbin, hlm. 452)

986. Sebagian ahli hikmah berkata, “Cinta bagi ruh


sama dengan kedudukan makanan bagi badan.
Jika engkau meninggalkannya tentu akan
membahayakan dirimu, dan jika engkau terlalu
banyak menyantapnya, tentu ia akan
membinasakanmu.” (Roudhotul Muhibbin, hlm.
147)
987. Seorang ‘Arobi berkata, “Cinta adalah
pendamping jiwa dan teman bicara akal, membuat
perasaan berbunga-bunga dan mampu menguasai
anggota badan.” (Roudhotul Muhibbin, hlm. 147)

988. Abdullah bin Thohir berkata, “Bercintalah


agar kalian merasakan keindahan dan jagalah
kehormatan agar kalian terpandang.” (Roudhotul
Muhibbin, hlm. 147)

989. Sebagian ahli hikmah berkata, “Cinta itu


mendorong penakut menjadi pemberani, orang
kikir menjadi dermawan, mencuci pikiran orang
yang dungu, memfasihkan lidah orang yang gagal,
membangkitkan keinginan orang yang lemah,
merendahkan kehormatan para raja,
menampakkan kehebatan para pemberani,
merupakan pintu pertama yang membelah pikiran
dan kecerdikan, karenanya ada tipu daya yang
halus, gejolak menjadi tenang, akhlak dan
kepribadian menjadi tertata, ada kegembiraan
yang menari-nari di dalam jiwa dan kesenangan
yang bersemayam di dalam hati.” (Roudhotul
Muhibbin, hlm. 147)

990. Al-Abbas bin Al-Ahnaf berkata, “Tiada


manusia yang tidak memiliki cinta, tiada kebaikan
bagi orang yang tiada cinta.” (Roudhotul
Muhibbin, hlm. 148)

991. Sebagian ahli hikmah berkata, “Tiada


keindahan dan kenikmatan dunia jika engkau
menyendiri tanpa perasaan cinta.” (Roudhotul
Muhibbin, hlm. 148)

992. Ali bin Abdah berkata, “Tak mungkin


seseorang bisa menghindar dari cinta kecuali
orang yang kasar perangainya, kurang waras, atau
tidak mempunyai gairah.” (Roudhotul Muhibbin
hal 148)

993. Sebagian ahli hikmah berkata, “Seseorang


tidak akan menjadi sempurna kecuali jika dia
mencintai orang-orang yang memiliki
kesempurnaan atau setidak-tidaknya menyerupai
mereka. Orang yang pandai bisa mencapai tingkat
kepandaiannya tergantung pada cintanya
terhadap ilmu. Begitu pula setiap orang yang
menekuni suatu profesi, orang yang jatuh cinta
harus memperhatikan akhlak dan tindakan yang
terhormat agar tabiatnya terangkat di hadapan
orang yang dicintainya. (Roudhotul Muhibbin,
hlm. 149)

994. Al-Khoroiti berkata, “Permulaan cinta


menawan hati akhirnya kematian laksana
perdamaian ia bermula dari pandangan dan
canda. Menyala di hati laksana bara api, seperti api
yang bermula dari percikan jika membesar ia kan
membakar semua kayu.” (Raudhotul Muhibbin,
hlm. 154)

995. Al-Abbas bin Al-Ahnaf berkata, “Derita jiwa


bagi mereka yang jatuh cinta sekalipun seperti
yang kami alami mereka menuang cinta dalam
kehidupan ini tapi mereka tiada mendapatkan
dunia dan agama.” (Raudhotul Muhibbin, hlm.
156)

996. Wahab bin munabbih berkata, “Syetan paling


merasa kesulitan jika menghadapi orang mukmin
yang berakal, dia bisa menggiring seratus orang
bodoh, menuntun mereka dan bahkan
menunggang di atas bahu mereka, membawa
mereka kemana pun yang dia kehendaki, dia
benar-benar merasa kesulitan berhadapan dengan
orang mukmin yang berakal dan membujuknya,
sekalipun untk mendapatkan sedikit apa yang di
butuhkan darinya.” (Raudhatul Muhibbin, hlm.
XIII)
997. Mu’ad bin Jabal Radiallahuanhu berkata,
“Andaikata orang yang berakal itu mempunyai
dosa pada pagi hari sebanyak bilangan pasir, maka
akhirnya ia cenderung masih bisa selamat dari
dosa-dosa itu. Andaikata orang bodoh itu
mempunyai kebaikan dan kebajikan pada pagi dan
sore hari sebanyak bilangan pasir, maka ia
akhirnya cenderung tidak bisa
mempertahankannya sekalipun hanya seberat biji
sawi.” (Raudhatul Muhibbin, hlm. XIII)

998. Al-Hasan berkata, “Agama seseorang tidak


menjadi sempurna kecuali dengan kesempurnaan
akalnya, Allah tidak memberikan akal kepada
seseorang melainkan suatu hari dia akan
menyelamatkan dengan akal itu.” (Raudhotul
muhibbin, hlm. XIV)

999. Sebagian ahli hikmah berkata, “Barangsiapa


yang akalnya bukan merupakan sesuatu yang
paling dominan maka dia akan mati dan binasa
karena sesuatu yang paling dicintainya.”
(Raudhatul Muhibbin, hlm. XIV)

1000. Yusuf bin Asbath berkata, “Akal adalah pelita


yang tidak tampak, perhiasan yang tampak,
pengatur badan dan pemantau urusan hamba,
kehidupan tidak akan membalik tanpa akal dan
urusan tidak akan berjalan normal kecuali
berdasarkan akal.” (Raudhatul Muhibbin, hlm XIV)

Anda mungkin juga menyukai