Anda di halaman 1dari 4

2 Nikmat Yang Manusia Sering Lupa

Allah berfirman:

Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya.
Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. 16:18)

Nikmat Sehat

Barangsiapa di antara kamu masuk pada waktu pagi dalam keadaan sehat badannya, aman pada keluarganya,
dia memiliki makanan pokoknya pada hari itu, maka seolah-olah seluruh dunia dikumpulkan untuknya. (HR.
Ibnu Majah, no: 4141; dan lain-lain; dihasankan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Shahih Al-Jami’ush
Shaghir, no: 5918)

Diriwayatkan bahwa seseorang mengadukan kemiskinannya dan menampakkan kesusahannya kepada


seorang ‘alim. Maka orang ‘alim itu berkata: “Apakah engkau senang menjadi buta dengan mendapatkan 10
ribu dirham?”, dia menjawab: “Tidak”. Orang ‘alim itu berkata lagi: “Apakah engkau senang menjadi bisu
dengan mendapatkan 10 ribu dirham?”, dia menjawab: “Tidak”. Orang ‘alim itu berkata lagi: “Apakah
engkau senang menjadi orang yang tidak punya kedua tangan dan kedua kaki dengan mendapatkan 20 ribu
dirham?”, dia menjawab: “Tidak”. Orang ‘alim itu berkata lagi: “Apakah engkau senang menjadi orang gila
dengan mendapatkan 10 ribu dirham?”, dia menjawab: “Tidak”. Orang ‘alim itu berkata: “Apakah engkau
tidak malu mengadukan Tuanmu (Allah k ) sedangkan Dia memiliki harta 50 ribu dinar padamu”. (Lihat:
Mukhtashar Minhajul Qashidin, hlm: 366)

Waktu luang atau kesempatan juga merupakan nikmat yang sering Allah berikan namun kita sering
mengabaikannya. Dan mungkin ketika Allah mulai jenuh dengan memberikan kita nikmat atu itu kita malah
memintanya. Ya dasar manusia.

Oleh karena itulah seorang hamba hendaklah selalu mengingat-ingat kenikmatan Allah yang berupa
kesehatan, kemudian bersyukur kepadaNya, dengan memanfaatkannya untuk ketaatan kepadaNya. Jangan
sampai menjadi orang yang rugi, sebagaimana hadits di bawah ini:
ُ ‫اس الصِّ َّحةُ َو ْالفَ َرا‬
)5933 ‫غ (خ‬ ٌ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم نِ ْع َمتَا ِن َم ْغب‬
ِ َّ‫ُون فِي ِه َما َكثِي ٌر ِم ْن الن‬ َ ‫ض َي هَّللا ُ َع ْنهُ َما قَا َل قَا َل النَّبِ ُّي‬ ٍ ‫ع َْن ا ْب ِن َعبَّا‬
ِ ‫س َر‬

Dari Ibnu Abbas, dia berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Dua kenikmatan, kebanyakan
manusia tertipu pada keduanya: kesehatan dan waktu luang”. (HR. Bukhari, no: 5933)

kebiasaannya manusia memang mudah melupakan nikmat2 yang ALLAH SWT sentiasa dan pernah
kurniakan pada mereka. bila diberi sukar disyukuri, namun bila ditarik kembali manusia mula merayu
meminta nikmat tersebut dikembalikan. betul gak? Ane juga kadang masih seperti itu :(

Masukkan telunjuk kita ke lautan lalu angkat, setiap tetesan air yang turun itu seperti nikmat yang kita
dapatkan dan bisa dilihat. Sedang luasnya lautan itu seperti nikmat yang selalu kita dapatkan akan tetapi
tidak bisa kita lihat. Mungkin seperti itulh perumpamaan Nikmat yang selalu kita dapatkan.

‫ي ال َّش ُكو ُر‬


َ ‫َوقَلِي ٌل ِّم ْن ِعبَا ِد‬

“Dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang berterima kasih. ” (QS. 34:13)

Kesungguhan para Ulama dalam Mencari Ilmu

Imam Asy Syafi’i berkata, “saya seorang yatim yang tinggal bersama ibu saya. Ia menyerahkan saya ke kuttab
(sekolah yang ada di masjid). Dia tidak memiliki sesuatu yang bisa diberikan kepada sang pengajar sebagai upahnya
mengajari saya. Saya mendengar hadits atau pelajaran dari sang pengajar, kemudian saya menghafalnya. Ibu saya
tidak memiliki sesuatu untuk membeli kertas. Maka setiap saya menemukan sebuah tulang putih, saya
mengambilnya dan menulis di atasnya. Apabila sudah penuh tulisannya, saya menaruhnya di dalam botol yang sudah
tua” (Jami’u Bayanil Ilmi wa Fadhilihi, Ibnu ‘Abdil Barr, 1/98).

Salim Ar Razy menceritakan bahwa Syaikh Hamid Al Isfirayaini pada awalnya adalah seorang penjaga (satpam) di
sebuah rumah. Beliau belajar ilmu dengan cahaya lampu di tempat jaganya karena terlalu fakir dan tidak mampu
membeli minyak tanah untuk lampunya. Beliau makan dari gajinya sebagai penjaga (Thabaqatus Syafi’iyah Al Kubra,
Tajuddin As Subki, 4/61).

Ibnu Asakir ketika menyebutkan biografi seorang hamba yang shalih, Abu Manshur Muhammad bin Husain An
Naisaburi, beliau berkata, “beliau (Abu Manshur) adalah orang yang selalu giat dan semangat dalam belajar. Meski
dalam keadaan faqir dan tidak punya. Sampai-sampai beliau menulis pelajarannya dan mengulangi membacanya di
bawah cahaya rembulan. Karena tidak punya sesuatu untuk membeli minyak tanah. Walaupun beliau dalam keadaan
faqir, namun beliau selalu hidup wara’ dan tidak mengambil harta yang syubhat sedikitpun” (Tabyiin Kidzbil Muftari,
Ibnu Asakir Ad Dimasyqi).

Adab Menuntut Ilmu

1. Iklas
2. Menghormati Guru. Bersabarlah terhadap kerasnya sikap seorang guru,Sesungguhnya gagalnya mempelajari
ilmu karena memusuhinya
3. Bersabar. PEsan Imam Syafi’iy: Barangsiapa belum merasakan pahitnya belajar walau sebentar,Ia akan
merasakan hinanya kebodohan sepanjang hidupnya.
4. Mencatat. Berkata Imam Asy-Sya'bi, "Apabila engkau mendengar sesuatu, maka catatlah meskipun
di dinding." (Diriwayatkan oleh Khaitsamah).
5. Tawadhu’: Semakin Berilmu, maka semakin menyadari kebodohannya
6. Makan Sedikit
7. Tidur Sedikit
8. Menjaga Lisan. Ilmu itu adalah cahaya, jika kita banyak bermaksiat, maka maksiat akan menghalangi cahaya
ilmu menyinari hati kita.

Penjelasan tentang keempat faktor tersebut adalah sebagai berikut:

Faktor pertama: maka kita benar-benar harus memilih sumber rujukan ilmu yang terjamin kebaikannya.

Karena tujuan kita mempelajari ilmu agama tentu saja bukan hanya untuk sekedar menambah wawasan atau
sekedar teori yang hanya berupa hafalan yang kuat atau kemampuan yang mengagumkan dalam berceramah, tapi
tujuan kita adalah agar ilmu tersebut memberikan manfaat dalam membimbing kita untuk meningkatkan keimanan
dan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala. Sehingga sumber ilmu yang kita jadikan rujukan benar-benar harus terbukti
bisa mewujudkan tujuan tersebut.

Oleh karena itulah, Al Qur-an dan hadits-hadits yang shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah
sumber ilmu bermanfaat yang paling utama karena keduanya adalah wahyu dari Allah Ta’ala yang memiliki sifat-sifat
yang maha sempurna. Demikian pula kitab-kitab yang ditulis oleh para ulama salaf dan para ulama yang mengikuti
petunjuk mereka, karena kitab-kitab ditulis oleh orang-orang yang benar-benar memiliki keikhlasan, ilmu dan
ketakwaan, sehingga manfaatnya dalam mentransfer kebaikan dan ketakwaan kepada orang yang mengkajinya jelas
lebih besar dari pada kitab-kitab yang ditulis oleh orang-orang yang tidak memiliki sifat-sifat tersebut.

Imam Ibnul Jauzi dalam kitab beliau “Shifatush shafwah” (4/122)([7]) menukil ucapan Hamdun bin Ahmad Al
Qashshar([8]) ketika beliau ditanya, “Apa sebabnya ucapan para ulama salaf lebih besar manfaatnya dibandingkan
ucapan kita?” Beliau menjawab, “Karena mereka berbicara (dengan niat) untuk kemuliaan Islam, keselamatan diri
(dari azab Allah Ta’ala), dan mencari ridha Allah Ta’ala, adapun kita berbicara (dengan niat untuk) kemuliaan diri
(mencari popularitas), kepentingan dunia (materi), dan mencari keridhaan manusia”.
Demikian pula termasuk dalam posisi sebagai sumber pengaruh dalam hal ini adalah seorang da’i dan ustadz yang
menyampaikan ceramah atau kajian ilmu agama. Oleh karena itu, memilih pendidik ilmu agama yang baik dalam
ilmu dan ketakwaannya adalah kewajiban yang selalu ditekankan oleh para ulama ahlus sunnah bagi para penuntut
ilmu. Karena kalau seorang da’i atau ustadz tidak memiliki ketakwaan dalam dirinya, maka bagaimana mungkin dia
bisa menjadikan muridnya memiliki ketakwaan sedangkan dia sendiri tidak memilikinya?

Dalam sebuah ucapannya yang terkenal Imam Muhammad bin Sirin berkata, “Sesungguhnya ilmu (yang kamu
pelajari) adalah agamamu (yang akan membimbingmu mencapai ketakwaan), maka telitilah dari siapa kamu
mengambil (ilmu) agamamu”([10]).

Faktor penting inilah yang merupakan salah satu sebab utama yang menjadikan para sahabat Nabi r menjadi
generasi terbaik umat ini dalam pemahaman dan pengamalan agama mereka. Bagaimana tidak? Da’i dan pendidik
mereka adalah Nabi yang terbaik dan manusia yang paling mulia di sisi Allah Ta’ala, yaitu Nabi kita Muhammad bin
Abdillah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Makna inilah yang diisyaratkan oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya,

“Bagaimana mungkin (tidak mungkin) kalian (wahai para sahabat Nabi), (sampai) menjadi kafir, karena ayat-ayat
Allah dibacakan kepada kalian, dan Rasul-Nya pun berada di tengah-tengah kalian (sebagai pembimbing)” (QS Ali
‘Imraan:101).

Oleh karena itulah, ketika seorang penceramah mengadu kepada Imam Muhammad bin Waasi’([15]) tentang
sedikitnya pengaruh ceramah yang disampaikannya dalam merubah akhlak orang-orang yang diceramahinya, maka
Muhammad bin Waasi’ berkata, “Wahai Fulan, menurut pandanganku, mereka ditimpa keadaan demikian (tidak
terpengaruh dengan ceramah yang kamu sampaikan) tidak lain sebabnya adalah dari dirimu sendiri, sesungguhnya
peringatan (nasehat) itu jika keluarnya (ikhlas) dari dalam hati maka (akan mudah) masuk ke dalam hati (orang
yang mendengarnya)” ([16]).

Faktor keduaArtinya, kalau kita ingin mendapatkan pengaruh yang baik dan manfaat dari ilmu yang kita pelajari,
maka kita benar-benar harus membersihkan dan menyiapkan hati kita, karena ilmu yang bermanfaat tidak akan
masuk dan menetap ke dalam hati yang kotor dan dipenuhi noda syahwat atau syubhat.

“Al Qur-an itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang memberi penerangan, supaya dia (Muhammad) memberi
peringatan kepada orang-orang yang hidup (hatinya)” (QS Yaasiin: 69-70)([17]).

Oleh karena itu, upaya untuk melakukan tazkiyatun nufus (pembersihan hati dan pensucian jiwa) adalah hal yang
wajib dan harus mendapat perhatian besar bagi para penuntut ilmu yang menginginkan manfaat yang baik dari ilmu
yang dipelajarinya.

Faktor ketiga: upaya untuk mendapatkan pengaruh baik dan manfaat dari ilmu, yaitu dengan cara
mengkonsentrasikan pendengaran kita terhadap nasehat dan peringatan yang disampaikan di hadapan kita. Ini yang
diisyaratkan dalam potongan ayat di atas, (“Atau orang yang mengkonsentrasikan pendengarannya”).

Maksud dari faktor yang ketiga ini adalah, setelah kita mengupayakan sumber pengaruh ilmu yang baik, demikian
pula media untuk menerima pengaruh baik tersebut, maka mestinya pengaruh baik dan manfaat dari ilmu tetap
tidak akan didapat tanpa ada penghubung yang menghubungkan antara sumber dan media tersebut. Maka dalam
hal ini, banyak membaca Al Qur-an dengan berusaha mengahayati kandungan maknanya, menghadiri majelis ilmu
yang bermanfaat, mendengarkan ceramah dan menelaah buku-buku sumber ilmu yang bermanfaat adalah upaya
yang harus kita lakukan dan terus ditingkatkan agar manfaat dan pengaruh baik dari ilmu makin maksimal kita
dapatkan.

Faktor keempat: Ini berarti bahwa kelalaian dan berpalingnya hati dari memahami dan menghayati kandungan ilmu
ketika ketika kita membaca Al Qur-an, menhadiri majelis ilmu, atau mendengarkan ceramah, ini adalah penghambat
utama yang mengahalangi sampainya pengaruh dan manfaat dari ilmu yang sedang kita baca atau dengarkan.
ْ ُ‫اخل‬
‫ف لِي َخ ْيرًا ِم ْنهَا‬ ِ ‫ُون اللهُ َّم ْأجُرْ نِي فِي ُم‬
ْ ‫ َو‬،‫صيبَتِي‬ ِ ‫ِإنَّا هَّلِل ِ َوِإنَّا ِإلَ ْي ِه َر‬
َ ‫اجع‬
“Kita milik Allah semata dan sesungguhnya hanya kepada-Nya semata kita kembali. (QS. Al-Baqarah [2]:
156). Ya Allah berilah aku pahala dalam musibah yang menimpaku, dan berilah aku ganti yang lebih baik
daripada musibah yang telah menimpa.” (HR. Ahmad dan Ya’qub bin Sufyan Al-Fasawi)

َ ‫از ْينَهُ َما َوَأ ْع ِظ ْم بِ ِه ُأج‬


‫ُورهُ َما‬ ِ ‫اَللّهُ َّم اجْ َع ْلهُ فَ َرطًا لِ َوالِ َد ْي ِه َو ُذ ْخرًا َو َشفِيعًا ُم َجابًا اَللّهُ َّم ثَقِّلْ ِبهَا َم َو‬
‫اب َجهَنَّ َم‬َ ‫ك َع َذ‬ ِ ُ‫ين َواجْ َع ْله‬
َ ِ‫في َكفَالَ ِة ِإب َْرا ِه ْي َم َوقِ ِه بِ َرحْ َمت‬ َ ِ‫ف ْال ُمْؤ ِمن‬ ِ َ‫ح َسل‬ ِ ِ‫صال‬ َ ِ‫َوَأ ْل ِح ْقهُ ب‬

“Ya Allah, jadikan dia mendahului (yang menunggu) kedua orang tuanya, simpanan dan pemberi syafaat
yang dikabulkan. Ya Allah, beratkanlah timbangan pahala keduanya dengan (kematian)nya dan
besarkanlah pahala keduanya dengan (kematian)nya. ikutkan dia dengan orang shalih generasi terdahulu
orang-orang yang beriman. Jadikanlah dia dalam jaminan Ibrahim. Peliharalah dia dengan rahmat-Mu
dari siksa Jahanam.”

Anda mungkin juga menyukai