Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH PAJAK PENGHASILAN

Disusun oleh :
Murzalin
(01044822326004)

Dosen Pengampu :
Dr. Mukharuddin, S.E, M.Si., Ak., CA

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2023
1. PAJAK DALAM LAPORAN KEUANGAN
a. Pajak Penghasilan

Pajak penghasilan terdapat dalam Laporan Laba Rugi, Laporan


PosisiKeuangan dan Laporan Arus Kas. Pengakuan pajak penghasilan tangguhan
memunculkan pos Aset Pajak Tangguhan atau Liabilitas Pajak Tangguhan yang
disajikan dalam Laporan Posisi Keuangan. Pos terkait pajak penghasilan dapat
dikatakan menjadi pos yang paling banyak tersebar dalam laporan keuangan. Bukan
hanya dalam Laporan Laba Rugi dan Penghasilan Komprehensif Lain, pos-pos terkait
pajak penghasilan juga terdapat dalam Laporan Posisi Keuangan dan Laporan Arus
Kas. Hasil perhitungan pajak penghasilan perusahaan di akhir tahun, disajikan dalam
Laporan Laba Rugi dan Penghasilan Komprehensif Lain pada pos Beban / Manfaat
Pajak Penghasilan Kini
Pajak penghasilan yang dipotong / dipungut oleh pihak lain (witholding taxes)
yang dapat dikreditkan dalam penghitungan pajak penghasilan perusahaan di akhir
tahun dan angsuran Pajak Penghasilan (PPh) 25 yang dibayar oleh perusahaan juga
akan disajikan sebagai asset dalam Laporan Posisi Keuangan pada pos Pajak
Penghasilan Dibayar Dimuka (prepaid tax). Bila perusahaan mengalami lebih bayar
pembayaran pajak dan berhak memperoleh restitusi, pos Piutang Restitusi pajak juga
akan disajikan sebagai aset dalam Laporan Posisi Keuangan. Sementara bila
perusahaan melakukan pemotongan pajak penghasilan atau mengalami kurang bayar
pajak yang belum dilunasi akan dilaporkan sebagai liabilitas dalam Laporan Posisi
Keuangan pada pos Utang Pajak Penghasilan (PPh 29).
Adapun nilai kas yang telah dikeluarkan perusahaan untuk membayar pajak
akan disajikan pada bagian arus kas keluar untuk aktivitas operasi dalam Laporan
Arus Kas. Banyaknya pos terkait pajak penghasilan dalam laporan keuangan tidak
lepas dari status perusahaan sebagai Wajib Pajak (WP) Badan. Sebagai WP Badan,
perusahaan memiliki kewajiban memotong pajak atas penghasilan yang diterima
pihak lain (misalnya PPh 21, PPh 23, PPh 26). Pajak-pajak yang dipotong oleh
perusahaan dengan cara seperti ini tidak dicatat sebagai beban pajak penghasilan pada
pos tersendiri, melainkan disajikan sebagai utang pajak dalam Laporan Posisi
Keuangan sampai dengan saat perusahaan melakukan pembayaranke kas negara.

Di sisi lain sebagai WP Badan, perusahaan juga dapat memiliki kredit pajak
dari pajak penghasilan yang dipotong/dipungut pihak lain (misalnya PPh 22 dan PPh
23) disamping perusahaan juga memiliki kewajiban untuk membayar langsung PPh
Badan-nya sendiri (misalnya PPh 25 dan PPh 29). Kredit pajak dan pajak penghasilan
yang telah dibayar sendiri oleh perusahaan tersebut disajikan sebagai prepaid tax
(aset) dalam Laporan Posisi Keuangan.

b. Pajak Lainnya
Perusahaan memiliki transaksi terkait PPN dan Pajak Daerah. Pemenuhan
kewajiban perusahaan untuk melunasi Pajak Daerah seperti Pajak Bumi dan
Bangunan akan dilaporkan sebagai beban (diluar pos beban pajak penghasilan) dalam
Laporan Laba Rugi dan Penghasilan Komprehensif Lain.
Perusahaan akan mencatat PPN Masukan yang dapat dikreditkan dari
perolehan BKP/JKP seolah sebagai prepaid tax terlebih dahulu. Disisi lain,
perusahaan mencatat PPN keluaran dari penyerahan BKP/JKP seolah sebagai utang
pajak terlebih dahulu. Pada akhir masa pajak, perusahaan akan menutup PPN
Keluaran pada PPN masukan dimaksud dan mencatat selisihnya sebagai Utang PPN
(bila kurang bayar) atau Piutang PPN (bila lebih bayar).
c. Jurnal Standar Akuntansi Pajak Penghasilan
Posisi perusahaan sebagai pemberi kerja, saat mengakui beban (membayar
penghasilan) maka perusahaan berkewajiban untuk memotong PPh atas transaksi
yang menjadi objek pajak. Contoh :
 Saat perusahan sebagai pemberi kerja mengakui beban (membayar
penghasilan)

Beban (Gaji, Sewa, jasa) XXX


Utang PPh (Ps. 21, 23, 26) XXX
Kas/Utang Usaha XXX

 Saat perusahaan mengakui pendapatan (menerima penghasilan)

Kas XXX
PPh Dibayar Dimuka (Ps. 22,23) XXX
Pendapatan XXX

 Saat perusahaan membayar angsuran PPh 25

PPh Dibayar Dimuka (Ps. 25) XXX


Kas XXX
 Saat perhitungan PPh Badan akhir tahun

Piutang Restitusi PPh XXX


Beban Pajak Penghasilan XXX
PPh Dibayar Dimuka (Ps 22,23) XXX
PPh Dibayar Dimuka (Ps 25) XXX
Utang PPh 29 XXX

 Saat pengakuan Pajak Tangguhan

Beban Pajak Penghasilan - TANGGUHAN XXX


Aset Pajak Tangguhan XXX
Liabilitas Pajak Tangguhan XXX
Manfaat Pajak Penghasilan-TANGGUHAN XXX

d. Perbedaan Penghitungan Pajak Secara Komersial dan Fiskal


Penghitungan pajak penghasilan secara komersial (secara akuntansi) berbeda
dengan fiskal. Penghitungan pajak penghasilan secara komersial didasarkan pada
PSAK, sedangkan penghitungan pajak penghasilan secara fiskal didasarkan pada
Undang-Undang (UU) Pajak Penghasilan (UU No. 36 / 2008).

Pajak penghasilan secara akuntansi dihitung dari laba komersial sebelum pajak
(earnings before tax) yang merupakan penjumlahan dari seluruh pendapatan
(revenues) maupun keuntungan (gains) dikurangi dengan seluruh beban (expenses)
yang timbul dalam pelaksanaan aktivitas perusahaan maupun kerugian (losses) selama
satu tahun buku, tanpa terkecuali.

Sementara pajak penghasilan secara fiskal dihitung dari laba fiskal (laba kena
pajak) yang merupakan penjumlahan dari seluruh penghasilan yang menjadi objek
pajak (taxable income) dikurangi seluruh biaya yang dapat dikurangkan (deductible
expenses) atau dalam pengertian fiscal dikenal sebagai biaya untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan (biaya3M).
Bila merujuk pada UU Pajak Penghasilan yang berlaku di Indonesia, pada
asarnya terdapat empat sumber perbedaan yang membuat diperlukannya penyesuaian
atau koreksi fiskal.

Keempat sumber tersebut adalah:

1. Penghasilan objek PPh final;

2. Penghasilan yang bukan objek pajak;

3. Biaya yang tidak boleh dikurangkan (nondeductible expenses); dan

4. Penyesuaian atas perbedaan cara pengukuran secara komersial (akuntansi) dengan


fiskal.

Ketentuan mengenai objek PPh final diatur dalam Pasal 4 Ayat 2 UU Pajak
Penghasilan.

Penghasilan yang dikenai PPh final terdiri dari:

1. Bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara, dan
bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang
pribadi;
2. Hadiah undian;
3. Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang
diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan
penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan
modal ventura;
4. Penghasilan dari transaksi pengalihan tanah dan/atau bangunan; dan
5. Penghasilan dari usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah
dan/atau bangunan.

Ketentuan mengenai penghasilan yang bukan objek pajak diatur dalam Pasal 4
Ayat 4 UU Pajak Penghasilan.

Penghasilan yang dikecualikan dari objek pajak terdiri dari:

1. Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat
ataulembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang
diterima oleh penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang
sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh
lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang
diterima oleh penerima sumbangan yang berhak;
2. Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus
satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan,
koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, sepanjang
tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di
antara pihak‐pihak yang bersangkutan;
3. Warisan;
4. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham
atau sebagai pengganti penyertaan modal;
5. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima
atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan, kecuali yang diberikan
oleh bukan WP, WP yang dikenakan pajak secara final atau WP yang
menggunakan norma penghitungan khusus (deemed profit);
6. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan
asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan
asuransi beasiswa;
7. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai
WP dalam negeri, koperasi, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), atau Badan
Usaha MilikDaerah (BUMD), dari penyertaan modal pada badan usaha yang
didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat dividen berasal
dari cadangan laba yang ditahan dan bagi perseroan terbatas, BUMN dan BUMD
yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan
dividen paling rendah 25% dari jumlah modal yang disetor;
8. Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan
Menteri Keuangan (Menkeu);
9. Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun;
10. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang
modalnya tidak terbagi atas saham‐saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan
kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif;
11. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa
bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau
kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut merupakan
perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam
sektor‐sektor usaha yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan (PMK) dan sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia;
12. Beasiswa;
13. Sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak
dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang
telah terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali
dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan
pengembangan, dalam jangka waktu paling lama empat tahun sejak diperolehnya
sisa lebih tersebut; dan \
14. Bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial (BPJS).

Ketentuan mengenai biaya yang tidak boleh dikurangkan diatur dalam Pasal 9
Ayat 1 UU Pajak Penghasilan. Biaya yang tidak boleh dikurangkan oleh WP Badan
terdiri dari:

1. Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen, termasuk
dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan
pembagian sisa hasil usaha koperasi;
2. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang
saham, sekutu, atau anggota;
3. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali cadangan piutang tak
tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang, menyalurkan kredit, sewa
guna usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan, konsumen, dan perusahaan
anjak piutang, cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial
yang dibentuk oleh BPJS, cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin
Simpanan LPS, cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan, cadangan
biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan, dan cadangan biaya penutupan
dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah industri untuk usaha pengolahan
limbah industri;
4. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan
dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman
bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan
kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan;
5. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau
kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan
dengan pekerjaan yang dilakukan;
6. Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan;
7. Pajak penghasilan;
8. Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan
komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham; dan
9. Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa
denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang
perpajakan.

Dari keempat sumber perbedaan yang membuat diperlukannya koreksi fiskal,


tiga sumber yaitu penghasilan objek PPh final, penghasilan yang bukan objek pajak,
dan biaya yang tidak boleh dikurangkan, merupakan sumber perbedaan permanen
karena hanya diakui sebagai pendapatan atau beban secara komersial (akuntansi)
namun tidak diperhitungkan sebagai penghasilan atau biaya secara fiskal dalam
penghitungan pajak penghasilan pada akhir tahun. Hanya penyesuaian atas perbedaan
cara pengukuran secara komersial dengan fiskal yang merupakan sumber perbedaan
temporer.

Dengan kata lain, pencatatan akuntansi untuk pajak tangguhan yang berasal
dari beda Temporer hanya akan timbul bila akuntansi maupun fiskal (pajak) sama-
sama mengakui suatu pendapatan dan beban, namun dengan cara yang berbeda.
Sedangkan bila suatu pendapatan dan beban hanya diakui secara akuntansi namun
tidak secara pajak, atau sebaliknya, maka perbedaan tersebut merupakan beda
permanen yang tidak menimbulkan pencatatan akuntansi tambahan. Contoh beda
temporer adalah depresiasi dan amortisasi serta biaya yang diestimasi, seperti
penyisihan piutang, penyisihan persediaan, dan manfaat pensiun.

2. DASAR PENGENAAN PAJAK


DPP secara fiskal adalah total jumlah yang akan dikalikan dengan tarif pajak
terkait untuk memperoleh nilai pajak terutang. Sedangkan pengertian DPP secara
akuntansi komersial adalah jumlah nilai buku fiskal dari suatu aset atau liabilitas yang
dapat berbeda dengan jumlah tercatat atau nilai buku komersial dari aset atau liabilitas
tersebut.
Pemahaman terhadap DPP secara akuntansi komersial ini sangat penting
dalam akuntansi pajak penghasilan berdasarkan PSAK 46. Dalam penghitungan pajak
tangguhan, PSAK 46 membandingkan nilai DPP (fiscal book value) dengan jumlah
tercatat (accounting book value) untuk menghitung nilai beda temporer yang
mengakibatkan timbulnya pajak tangguhan.
a. Aset dan Liabilitas Pajak Tangguhan
Pajak tangguhan pada saat awal pengakuan aset dapat muncul ketika asset diperoleh
dari transaksi kombinasi bisnis, namun konsep ini perlu disesuaikan untuk pengakuan
awal goodwill. PSAK 46 mengatur bila pengakuan awal goodwill menimbulkan:
1. Perbedaan temporer, maka pengakuan pajak tangguhan hanya dilakukan untuk
aset pajak tangguhan atau bila pengakuan awal goodwill menimbulkan perbedaan
temporer dapat dikurangkan.
2. Bila pengakuan awal goodwill menimbulkan perbedaan temporer kena pajak,
maka tidak dilakukan pengakuan untuk liabilitas pajak tangguhan yang muncul.
b. Aset Pajak Tangguhan Dari Kompensasi Kerugian
Aset Pajak Tangguhan berasal dari kompensasi kerugian. Peraturan pajak di
Indonesia membolehkan perusahaan sebagai wajib pajak badan yang mengalami rugi
fiskal pada tahun berjalan untuk melakukan kompensasi atas kerugian tersebut
terhadap laba komersial hingga 5 - 10 tahun ke depan bila memenuhi kriteria pajak
tertentu. Dengan demikian sampai dengan nilai kerugian pada tahun berjalan habis
dikompensasikan dalam jangka waktu tertentu dimasa depan maka perusahaan tidak
perlu membayar PPh Badan.
PSAK 46 mengatur pada setiap akhir periode pelaporan, entitas menilai
kembali Aset Pajak Tangguhan yang berasal dari kompensasi kerugian. Perusahaan
mengakui Aset Pajak Tangguhan tidak diakui sebelumnya apabila kemungkinan besar
laba kena pajak masa depan akan tersedia untuk dipulihkan.
c. Pajak Tangguhan Untuk Aset Yang Dinilai Pada Nilai Wajar
Penilaian aset pada nilai wajar khususnya aset non-keuangan dilakukan
melalui proses revaluasi.
1. Bila revaluasi aset dilakukan tanpa menyesuaikan DPP sehingga tidak
memengaruhi laba kena pajak, maka akan terdapat perbedaan temporer yang
menimbulkan liabilitas / aset pajak tangguhan.
2. Bila revaluasi aset dilakukan dengan menyesuaikan DPP sehingga tidak
memengaruhi laba kena pajak, maka tidak ada perbedaan temporer dan pajak
tangguhan yang akan diakui.

d. Perubahan Dalam Status Pajak Entitas Atau Para Pemegang Sahamnya


Perubahan dalam status pajak entitas atau para pemegang sahamnya dapat
mengakibatkan baik peningkatan maupun penurunan aset atau liabilitas pajak
tangguhan. Hal ini mungkin terjadi pada saat pendaftaran instrumen ekuitas entitas di
bursa, restrukturisasi ekuitas entitas, atau bila pemegang saham pengendali pindah ke
negara asing. Sebagai contoh, sebuah perusahaan di Indonesia dapat mengalami
penurunan tarif PPh Badan dari 25% menjadi 20% bila minimal 40% instrumen
ekuitasnya diperdagangkan di bursa. Dengan demikian, sebuah perusahaan di
Indonesia yang melakukan penjualan sahamnya kepada publik hingga minimal
mencapai 40% dapat menyebabkan penurunan pada aset atau liabilitas pajak
tangguhannya. ISAK 20 mengatur bagaimana entitas mencatat konsekuensi pajak atas
perubahan dalam status pajaknya atau status pajak para pemegang sahamnya. Setelah
dihitung peningkatan atau penurunan pajak kini dan pajak tangguhannya, konsekuensi
perubahan status pajak entitas atau para pemegang saham sahamnya dikreditkan
langsung atau dibebankan sesuai dengan posnya, dimana konsekuensi pajak yang
terkait dengan Laporan Laba Rugi dikreditkan langsung dalam Laporan Laba Rugi,
konsekuensi pajak yang terkait dengan ekuitas dikreditkan langsung ke ekuitas, dan
konsekuensi pajak yang terkait dengan penghasilan komprehensif lain juga
dikreditkan langsung ke penghasilan komprehensif lainnya.

Dengan kata lain, jumlah konsekuensi perubahan status pajak entitas atau para
pemegang sahamnya tidak boleh digabung pencatatannya dalam satu line atau bagian.
Jumlah konsekuensi perubahan status pajak entitas atau para pemegang sahamnya
harus dicatat terpisah sesuai dengan bagiannya masing-masing (laba rugi, ekuitas,
atau penghasilan komprehensif lain).
DAFTAR PUSTAKA

http://iaiglobal.or.id/v03/files/modul/pk_19/files/basic-html/page362.html. Diakses 13 Maret


2023
MODUL CA - Pelaporan Korporat 2021 (iaiglobal.or.id) diakses pada tanggal 29 Maret Jam
10.20

Anda mungkin juga menyukai