Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

JARAK IDEAL ANTAR KEHAMILAN

Dosen: Bd. Vitrilina Hutabarat, SST., M.keb

Kelompok 11:

 Anggun tri oktapiani


 Dermawati br. Tampubolon
 Evi tamala sinta tambunan
 Febiana dinda puspita
 Halimah tussa’diah
 Iftahul jannah
 Meilani syahfitri
 Nurmidah risdwiyana
 Suriana
 Tria aulia

INSTITUT KESEHATAN DELI HUSADA DELITUA


FAKULTAS KEBIDANAN
PRODI S1 KEBIDANAN
2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang sudah melimpahkan rahmat, taufik,
dan hidayah- Nya sehingga kami bisa menyusun makalah ini dengan baik serta tepat waktu.
Seperti yang sudah kita tahu“ Jarak Ideal Antar Kehamilan ” itu sangat penting dan sangat
diperlukan serta layak dijadikan sebagai modul pelajaran.

Tugas ini kami buat untuk memberikan ringkasan tentang Jarak Ideal Antar Kehamilan.
Mudah- mudahan makalah yang kami buat ini bisa menolong menaikkan pengetahuan kita jadi
lebih luas lagi. Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam menyusun makalah ini.

Oleh sebab itu, kritik serta anjuran yang sifatnya membangun sangat kami harapkan guna
kesempurnaan makalah ini. Kami mengucapkan terima kasih kepada Dosen Pengampu, dan
kepada pihak yang sudah menolong dalam penyelesaian makalah ini. Atas perhatian serta
waktunya, kami sampaikan banyak terima kasih.

Pekanbaru, 09 Maret 2022

Penulis
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ……………………………………………………….……..ii

Daftar Isi …………………………………………………………………….iii

BAB I PENDAHULUAN …………………………………………….….…1

1.1 Latar Belakang ………………………………………………………..…1

1.2 Rumusan Masalah …………………………………………………….…1

1.3 Tujuan Masalah ……………………………………………………....….1

BAB II PEMBAHASAN …………………………………….……….….….2

2.1 Konsep Jarak Kelahiran….…………………………………………..…..2

2.2 Konsep Sibling Rivalry……………………………………………….…5

2.3 Konsep Remaja.……………………………………………………….…9

BAB III PENUTUP …………………………………………………………14

3.1 Kesimpulan …………………………………………………………......14

3.2 Saran…………………………………………………………………….14

Daftar Pustaka ……………………………………………………….….….15


BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sejumlah pasangan memiliki kehendak yang berbeda-beda terkait jarak usia antar anak-anak
mereka. Beberapa menginginkan jarak yang lumayan dekat dengan alasan supaya anak-anak
lebih ‘nyambung’ ketika berkomunikasi nantinya. Selain itu, ada pula yang mengehendaki
punya anak kedua setelah menunggu lebih lama; misalnya saja lima tahun atau lebih, supaya
mereka dapat mencurahkan kasih sayang penuh kepada anak pertama. Mana yang lebih baik
tentu menjadi opini mutlak masing-masing pasangan.

Meskipun demikian, teori mempunyai patokan tersendiri tentang jarak kehamilan antara anak
pertama-kedua; kedua-ketiga, dan seterusnya. Jarak ideal, yang dihitung sejak ibu melahirkan
sampai hamil kembali, adalah dua hingga lima tahun. Hal ini berdasarkan pada perhitungan-
perhitungan secara medis dan psikologis.

Yang pertama, adalah dari segi medis. Waktu minimal dua tahun memungkinkan si ibu untuk
melakukan persiapan kehamilan secara lebih baik. Ibu perlu mendapatkan kembali kesehatannya
yang mungkin sempat menurun ketika hamil dan melahirkan serta merawat jabang bayi yang
baru dilahirkan. Pun melahirkan dalam jangka waktu dekat akan mempengaruhi kesehatan ibu
secara negatif.Di samping itu, waktu dua tahun merupakan waktu ideal bagi seorang bayi untuk
mendapatkan ASI (Air Susu Ibu). ASI dua tahun akan lebih memberikan dampak positif bagi
kecerdasan dan kesehatan sang anak. Jika ibu ternyata hamil kembali saat masih menyusui,
kemungkinan yang sering terjadi adalah kurangnya perhatian terhadap anak (pertama) dan
berkurangnya nutrisi dari ASI yang diberikan padanya, karena fokus juga harus diberikan kepada
bayi dalam kandungan. Dengan demikian, anak pertama tidak akan mendapatkan jumlah ideal
perhatian dan ASI dari ibunya, yang mungkin memengaruhi pertumbuhannya.

Yang kedua, dari segi psikologis anak. Umumnya, secara teori, anak bisa mulai mengerti atau
bisa menerima adanya adik ketika sudah berusia di atas dua tahun. Oleh karena itu, jika ibu
mereka hamil dan melahirkan lagi sebelum mereka mencapai usia itu, kemungkinan akan sulit
bagi mereka untuk menerima keberadaan ‘orang baru’ di tengah keluarganya

1.2 Rumusan Masalah

a) Bagaimana Konsep Jarak Kelahiran


b) Bagaimana Konsep Sibling Rivalry
c) Bagaimana Konsep Remaja

1.3 Tujuan
a) Untuk mengetahui konsep jarak kehamilan
b) Untuk mengetahui konsep sibling rivalry
c) Untuk mengetahui konsep remaja
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Konsep Jarak

Kelahiran Jarak kelahiran merupakan interval antara dua kelahiran yang berurutan dari seorang
wanita. Jarak kelahiran yang cenderung singkat dapat menimbulkan beberapa efek negatif baik
pada kesehatan wanita tersebut maupun kesehatan bayi yang dikandungnya.Setelah melahirkan,
wanita memerlukan waktu yang cukup untuk memulihkan dan mempersiapkan diri untuk
kehamilan serta persalinan selanjutnya (Sawitri dkk, dalam Rifdiani, 2017).

2.1.1 Jarak Kelahiran Ideal

Indonesia memiliki median jarak antar kelahiran selama 60,2 bulan dan hal ini dikatakan
meningkat dibanding survei demografi pada tahun 2007. Jarak kelahiran yang dikatakan aman
adalah 36-59 bulan. didapatkan data sebesar 75% ibu melahirkan dengan rentang ini. Sedangkan
10% pada rentang kurang dari 24 bulan (SDKI, 2012). Pengaturan jarak kelahiran ini dinilai
penting untuk setiap pasangan agar dapat lebih siap untuk memiliki anak lagi dan menghindari
terjadinya keadaan darurat pada ibu dan bayi (Fajarningtiyas, 2012).

Rutstein (2011, dalam Fajarningtyas 2012) menyebutkan bahwa besarnya resiko kehamilan dan
kelahiran adalah karena jarak kelahiran yang tidak ideal. Dalam hal ini adalah kelahiran yang
kurang dari 24 bulan atau lebih dari 59 bulan. Selain itu Woolfson (2004, dalam Triwijayanti &
Sari) yang mengatakan bahwa adanya perubahan perilaku pada anak yang terjadi akibat dekatnya
jarak kelahiran antara kelahiran pertama dan kelahiran selanjutnya. Hal ini disebabkan orang tua
menjadi terlalu fokus pada anak kedua sehingga proses tumbuh kembang pada anak pertama
sedikit terabaikan. Dampak yang terjadi adalah adanya kemunduran perilaku pada anak
dikarenkan oleh keinginan anak untuk merebut perhatian orang tua dari adiknya.

Terdapat beberapa alasan perlunya jarak kelahiran menurut Ummah (2015), diantaranya adalah
sebagai berikut:

1. Belum pulihnya kondisi rahim ibu setelah kehamilan sebelumnya.

2. Dapat timbulnya beberapa resiko dalam kehamilan, salah satunya adalah anemia.

3. Resiko terjadinya pendarahan pasca persalinan.

4. Waktu yang disediakan ibu untuk menyusui dan merawat bayi kurang karena harus terbagi.

2.1.2 Dampak Jarak Kelahiran yang Terlalu Dekat

Ruswandiani dan Mainase (2015, dalam Monita, et.al, 2016) mengatakan bahwa jarak kelahiran
yang ideal adalah lebih dari dua tahun, karena tubuh memerlukan kesempatan untuk
memperbaiki persediaan, selain itu pertumbuhan dan perkembangan janin juga akan terhambat
jika organ-organ reproduksi terganggu. Dari permasalahan tersebut juga akan muncul beberapa
resiko, misalnya kematian janin saat dilahirkan, BBLR, dan Kematian di usia bayi.

Selain itu, resiko lain juga dapat terjadi seperti ketuban pecah dini dan prematur karena
kesehatan fisik dan rahim ibu masih memerlukan waktu untuk beristirahat. Dalam waktu atau
jarak kehamilan yang cukup dekat juga memungkingkan ibu untuk masih menyusui, hal tersebut
yang menyebabkan terlepasnya hormon oktisosin yang memicu terjadinya kontraksi (Ummah,
2015).

Resiko yang ditimbulkan oleh jarak kehamilan yang terlalu dekat bukan hanya terjadi pada ibu
saja, hal ini juga bisa terjadi pada anak. Alasannya adalah ketika ibu seharusnya masih menyusui
dan memberikan perhatian kepada anaknya harus tergantikan dengan perhatiaanya terhadap
kehamilan barunya. Dengan situasi tersebut, bisa saja terjadi pegabaian pada anak pertamanya
baik secara fisik maupun psikis. Hal tersebut menjadi alasan mengapa anak menjadi iri atau
cemburu kepada saudara kandungnya, dibuktikan dengan tidak gembiranya kakak terhadap
kehadiran adiknya atau bahkan menganggapnya musuh (Ummah, 2015).

2.1.3 Tahap Perkembangan dan Penerimaan Saudara Kandung

1. Masa usia bayi dan usia dini

Tumbuh kembang anak dimulai ketika anak terlahir, yaitu dimulai ketika anak berusia 0 hari.
Selanjutnya tumbuh kembang anak berlanjut pada masa usia bayi atau usia 0-12/15 bulan. Pada
masa ini terdiri dari masa neonatal (0-28 hari) dan masa pascaneonatal (29 hari- 12/15 bulan).
Ketika anak berada pada masa ini, anak masih sangat bergantung kepada orang tua dan
pengasuh, selain itu mereka juga akan senang terhadap orang-orang yang sudah dikenal. Rasa
malu dan cemas terhadap orang yang tidak dikenal juga mulai timbul pada usia ini (Soetjiningsih
& Ranuh, 2016).

Santrock (2011) juga menyebutkan bahwa pada usia bayi anak sudah mulai mengalami emosi
yang sederhana, emosi ini merupakan emosi primer seperti perasaan marah, sedih, takut, terkejut,
dan perasaan jijik. Selanjutnya, ketika anak berada pada usia dini (1-2 tahun) mulai timbul emosi
yang disadari, emosi ini meliputi perasaan bingung, empati, cemburu, rasa bersalah,malu, dan
bangga. Pada usia ini, anak juga akan cenderung merasakan kecemasan berpisah dengan
pengasuh (ibu). Maka dari itu, pada usia ini anak masih belum bisa menerima kehadiran saudara
kandung atau anggota keluarga baru. Hal ini dikarenkan anak masih membutuhkan dampingan
dari orang tua atau pengasuh. Selain itu, anak juga baru saja dapat merasakan perasaan cemburu
yang membuat meningkatnya rasa tidak nyaman jika adanya kehadiran anggota keluarga baru
karena akan terjadinya pengabaian fisik ataupun psikis pada anak atas kehadiran anggota
keluarga baru tersebut (CondeAgudelo, et.al, 2012). Jika perasaan cemburu terhadap kehadiran
anggota keluarga baru atau yang biasa disebut sibling rivalry terjadi pada usia ini namun tidak
diatasi dengan baik, maka kejadian sibling rivalry tersebut akan berlangsung secara terusmenerus
dan berulang hingga dewasa (Bank & Michael, 1999 dalam Chaulagain, et.al, 2016).

2. Masa kanak-kanak awal

Menurut Santrock (2011) mengatakan bahwa masa kanak-kanak awal dimulai ketika anak usia 2-
7 tahun dimana sebagian besar anak-anak pada usia ini akan mengalami konflik yang cukup
sering dengan saudara kandung. Rata-rata terjadi ketika anak berusia 2-4 tahun dan mulai
menurun ketika usia 5-7 tahun. Reaksi yang biasa diberikan orang tua adalah sama sekali tidak
melakukan apa-apa. Orang tua akan berfikir bahwa hal ini merupakan peristiwa yang umum dan
wajar terjadi pada anak-anak mereka (Santrock, 2011). Soetjiningsih & Ranuh (2016)
menyebutkan bahwa masa yang termasuk dalam usia prasekolah (3-6) tahun ini merupakan masa
dimana anak sudah memulai hidup mandirinya, dimana anak sudah mulai terbuka dengan orang
lain dan mulai tidak bergantung kepada orang tua atau pengasuh. Namun anak juga akan
memulai sifat agresifnya secara verbal dan fisik untuk mengungkapkan kepemilikan dan
keinginannya.

3. Masa kanak-kanak mengengah-akhir

Pada masa kanak-kanak menengah-akhir atau biasa disebut sebagai masa usia praremaja ini anak
akan mulai disibukkan dengan perkenalan dan kedekatan mereka terhadap teman sebaya. Teman
sebaya akan menjadi sangat penting dalam maasa ini. Waktu kedekatan mereka dengan orang tua
dan anggota keluarga akan menjadi semakin berkurang jika dibandingkan ketika mereka berada
pada masa kanak-kanak awal. Hal ini menyebabkan minimnya interaksi yang terjadi antara anak
dan anggota keluarga pada masa ini (Santrock, 2011).

4. Masa remaja

Masa remaja merupakan masa dimana terjadinya konflik emosional yang sangat memanas,
dimana anak akan mengancam, menghina, atau bahkan melakukan hal lain yang diperlukan agar
mendapatkan kontrol. Pada masa ini mereka akan memiliki hubungan yang lebih dekat dengan
teman sebaya jika dibanding ketika mereka menginjak masa kanak-kanak menengah-akhir.
Kedekatan mereka dengan teman sebaya membuat mereka semakin menjauhi peraturan yang
dibuat oleh orang tua mereka. Hal inilah yang membuat tingkat konflik antara orang tua dan
remaja semakin meningkat. Selain itu jika orang tua mulai frustasi dikarenakan perubahan sikap
yang terjadi pada anak, mereka akan mulai membandingkan dan hanya memihak pada salah satu
anak saja (Santrock, 2011).

Sikap orang tua yang hanya memihak satu anak saja ini disebut dominasi dan favoritisme. Hal ini
terjadi pada salah satu anak saja yang dianggap sebagai anak yang mudah diatur. Secara tidak
langsung, sikap ini akan menimbulkan dampak negatif pada kedua anak sekaligus. Anak yang
menerima sikap dominasi dan favoritisme akan merasa bahwa dirinya menerima perlindungan
dan kasih sayang lebih dari orang tua, selain itu anak juga akan menunjukkan sikap baik kepada
orang tua namun akan menunjukkan sikap yang sebaliknya kepada saudaranya. Sedangkan
dampak negatif anak yang tidak mendapatkan sikap ini dari orang tua akan merasa semakin
terabaikan. Selain itu anak akan merasa semakin tidak mendapatkan pengawasan dari orang tua.
Sehingga membuat anak melakukan hal negatif baik di dalam maupun diluar lingkungan rumah,
dimana hal negative yang terjadi di dalam rumah akan menyebabkan terjadinya pertengkaran
antar saudara (Hurlock, 2014).

2.1.4 Hubungan Tumbuh Kembang Remaja dengan Jarak Kelahiran

Jarak kelahiran yang terlalu dekat akan menimbulkan terjadinya konflik antar saudara. Hal ini
timbul karena jarak yang dekat menyebabkan perkembangan antara saudara menjadi sama,
termasuk perkembangan emosional. Dalam perkembangan yang sama ini menyebabkan kakak
atau adik menjadi sulit mengalah (Niken, 2016). Konflik yang terjadi diantara saudara ini akan
sangat berbahaya jika timbul diusia remaja. Perkembangan emosional remaja yang masih belum
matang akan menimbulkan konflik yang lebih besar. Hal ini dikarenakan konflik dialami oleh
sesama remaja dimana perkembangan emosional mereka sama-sama belum stabil. Selain itu,
pertumbuhan fisik yang lebih kuat juga akan menyebabkan terjadinya dampak konflik yang lebih
besar pula (Santrock, 2011).

Teori lain yang juga disebutkan oleh Santrock (2011) bahwa remaja memiliki pertumbuhan otak
(bagian korteks prefrontal) yang lambat, sehingga membuat remaja belum mampu
mengendalikan emosinya dengan baik. Selain itu pertumbuhan otak bagian amigdala yang
berfungsi sebagai pusat emosi atau amarah justru berkembang lebih cepat. Hal inilah yang
membuat konflik sangat mudah dialami ketika masa remaja.

Konflik yang dialami remaja dengan saudara kandung adalah konflik yang terjadi sejak kecil.
Konflik yang lebih sering dialami oleh anak pertama atau anak yang lebih besar dikarenakan
oleh beban tanggung jawab yang diberikan oleh orang tua terutama jika jarak usia anak terlalu
kecil (Woolfson, 2004, dalam Triwijayanti & Sari, 2014). Hal ini akan mempengaruhi
pembentukan karakter, pola pikir, dan kepribadian pada anak dimana anak tidak senang dengan
kehadiran saudaranya yang menjadi beban untuk dirinya. Pola yang seperti inilah yang akan
berlangsung hingga anak memasuki usia remaja dan membuat remaja memiliki konflik dengan
saudara secara terus menerus (McHale, et.al, 2012).

2.2 Konsep Sibling Rivalry

2.2.1 Pengertian Sibling Rivalry

Sibling atau yang sering disebut dengan saudara kandung adalah anak-anak dengan orang tua
yang sama, baik saudara laki-laki maupun saudara perempuan. Sedangkan rivalry adalah
kompetisi antara saudara kandung untuk mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari kedua
orang tuanya. Maka, sibling rivalry dapat diartikan sebagai rasa kecemburuan, persaingan dan
pertengkaran yang terjadi antara saudara yang menimbulkan kompetisi untuk mendapatkan
perhatian dari orang tua. Persaingan di antara saudara kandung ini terjadi ketika keluarga
memiliki lebih dari satu anak. Pada kejadian sibling rivalry ini anak memiliki kecenderungan
sikap yang lebih nakal dikarenakan perasaan cemburu dan tersaingi atas kehadiran adik barunya
(Iswarati & Rahmadewi, 2003, dalam Thiaraciwi, et.al, 2015).

Sibling Rivalry cenderung dialami oleh anak pertama yang merasakan hilangnya perhatian orang
tua yang sebelumnya hanya diberikan kepada dirinya (Wong, et.al, 2009). Hal ini banyak terjadi
ketika anak menginjak usia 1-5 tahun dan bisa saja kembali ketika anak usia 8-12 tahun.
(Millman & Schaifer, 2007, dalam Maghfroh, 2012). Namun, pendapat lain juga mengatakan
bahwa anak-anak dapat mengalami gejala tersebut hingga usia dewasa. Kemungkinan tersebut
dapat terjadi antara 20-30% dari 30-60% kejadian sibling rivalry di dunia (Bank & Michael,
1999, dalam Chaulagain, et.al, 2016).

2.2.2 Penyebab Sibling Rivalry

Hanum dan Hidayat (2015) menyebutkan bahwa terdapat beberapa faktor dominan yang dapat
menyebabkan terjadinya Sibling Rivalry, diantaranya adalah faktor internal dan eksternal. Faktor
internal meliputi perbedaan jenis kelamin, perbedaan usia/ jarak kelahiran, urutan kelahiran, dan
jumlah saudara kandung. Sedangkan faktor eksternal adalah jenis pola asuh/sikap orang tua.

1. Faktor Internal

a. Perbedaan jenis kelamin

Hal ini terjadi karena perbedaan reaksi yang timbul antara saudara laki-laki dan perempuan.
Kombinasi antara perempuan dan perempuan akan memiliki lebih banyak rasa kecemburuan jika
dibanding kombinasi laki-laki dengan laki-laki atau laki-laki dengan perempuan. Kakak
perempuan akan lebih banyak bicara dan mengatur kepada adik perempuannya jika
dibandingkan kepada adik laki-lakinya. Sedangkan kakak laki-laki akan lebih banyak bertengkar
dengan adik laki-laki daripada adik perempuannya (Bee & Boy, 2004, dalam Hanum & Hidayat,
2015).

b. Perbedaan usia / jarak kelahiran

Jarak kelahiran yang terlalu dekat dapat mempengaruhi timbulnya kejadian sibling rivalry karena
jika jarak semakin dekat maka anak akan merasa bahwa saudaranya akan merebut perhatian dan
kasih sayang dari orang tuanya, namun jika perbedaan usia cukup besar maka anak-anak akan
lebih siap untuk berbagi dan saling menyayangi satu sama lainnya (Chomaria, 2013, dalam
Nugraheny, et.al, 2014). Pendapat yang sama diungkapkan oleh Woolfson (2004, dalam
Triwijayanti & Sari, 2014) menyebutkan bahwa jika jarak kelahiran atau perbedaan usia anak
jauh, akan terjadi tahap perkembangan yang jauh sehingga rasa persaingan dan kecemburuan
sangat minim terjadi. Kerugiannya adalah jarak yang begitu jauh membuat anak sulit menjalin
persahabatan. Jika perbedaan usia kecil, mungkin mereka akan menjadi sahabat yang sangat
dekat, namun karena mereka ada pada proses tumbuh kembang yang hampir sama, maka akan
timbul rasa bersaing, membenci dan perasaan tidak nyaman oleh anak pertama karena merasa
selalu diharuskan untuk bertanggung jawab terhadap adikknya.

Jarak kelahiran atau perbedaan usia yang dapat memicu timbulnya sibling rivalry adalah usia 0-5
tahun (Egbert & Jacob, 200, dalam Chaulagain, et.al, 2016). Triwijayanti & Sari (2014) juga
menyebutkan bahwa usia dibawah 5 tahun merupakan usia yang paling banyak terjadi rekasi
terhadap sibling atau saudara. Hal ini dikarenakan kepribadian anak akan terbentuk ketika 5
tahun pertama. Pada usia 2-4 tahun, anak akan merasa bahwa dirinya merupakan pusat perhatian,
anak akan merasa marah ketika dirinya telah tidak menjadi pusat perhatian, konsep diri juga
belum terbentuk secara matang. Oleh sebab itu, perbedaan usia 2-4 tahun merupakan suatu
ancaman bagi anak untuk menerima kehadirn saudara atau anggota keluarga baru. Hal ini sejalan
dengan pendapat Santrock (2011) bahwa usia sebelum 5 tahun merupakan usia terjadinya puncak
konflik dengan saudara kandung dan akan berkurang ketika anak berusia 5-7 tahun.

c. Urutan kelahiran Anak yang dilahirkan dalam keluarga yang sama belum tentu mendapatkan
pengalaman yang sama dalam keluarganya. Hal inilah yang mempengaruhi kepribadian dan
tingkah laku mereka. Selain itu, urutan kelahiran juga menentukan bagaimana cara mereka
berkomunikasi dengan saudara, orang tua, atau bahkan lingkungan sekitarnya (Hartanto, 2008,
dalam Hanum & Hidayat, 2015).

d. Jumlah saudara kandung

Jumlah saudara kandung yang kecil justru akan menimbulkan terjadinya perselisihan antara
mereka. Alasan yang mendasari hal tersebut adalah jika dalam satu keluarga hanya terdapat dua
anak, kedua anak tersebut akan lebih banyak menghabiskan waktu bersama, maka perselisihan
juga akan semakin sering terjadi. Orang tua juga akan cenderung membela sang adik dan
mengharapkan anak pertamanya untuk mengalah (Hurlock, 2002, dalam Hanum & Hidayat.,
2015).

2. Faktor eksternal

a. Jenis pola asuh/ sikap orang tua

Salah satu hal yang mendasari terjadinya sibling rivalry adalah tidak adilnya orang tua dalam
memperlakukan anak-anaknya. Anak-anak yang masih dalam tahap tumbuh kembang akan
merasa tersisihkan dengan perbedaan perlakuan tersebut (Maghfuroh, 2012). Terdapat beberapa
sikap yang khas dimiliki orang tua menurut Hurlock (2003, dalam Tawainella, 2015),
diantaranya melindungi secara berlebihan, permisivitas (membiarkan anak bersikap sesuka hati),
memanjakan, penolakan, penerimaan, dominasi, tunduk pada anak, favoritisme, dan ambisius.
Sikap orang tua yang cenderung negatif ini akan saling berpengaruh dengan penyebab internal
(perbedaan jenis kelamin, perbedaan usia, urutan kelahiran, dan jumlah saudara kandung). Hal
ini dikarenakan sikap orang tua akan mempengaruhi pembentukan karakteristik pada anak.
2.2.3 Reaksi Sibling Rivalry

Reaksi atau juga biasa disebut sebagai tanda tanda terjadinya sibling rivalry terbagi menjadi dua
reaksi, yakni reaksi secara langsung dan tidak langsung. Reaksi langsung adalah reaksi yang
sudah dilakukan menggunakan kekerasan fisik, misalnya saja memukul, mencubit, atau
menendang. Hal ini didasari oleh rasa persaingan terhadap saudaranya. Sedangkan reaksi secara
tidak langsung adalah reaksi yang muncul akibat rasa kecemburuan terhadap saudaranya, dalam
hal ini meliputi membuat kenakalan, berpura-pura sakit, menangis tanpa sebab, dan melakukan
hal yang sudah lama atau tidak pernah dilakukan sebelumnya. Hal ini dilakukan sematamata
untuk mencari perhatian orang tua yang dirasa telah direbut oleh saudaranya (Sulistyawati, 2009,
dalam Nugraheny, et.al, 2014)

2.2.4 Reaksi Sibling Rivalry pada Remaja

Reaksi sibling rivalry yang terjadi pada remaja terbagi menjadi psikis dan juga fisik. Reaksi
psikis pada remaja merupakan reaksi tidak langsung yang meliputi perasaan cemburu, sebal, dan
marah. Reaksi psikis ini disebabkan oleh beberapa hal diantaranya adalah merasa diperlakukan
tidak adil oleh orang tua, merasa bahwa saudaranya memiliki kemampuan yang lebih dan merasa
tidak suka ketika saudara mencapai keberhasilan (Anchroni, 2012). Sedangkan reaksi fisik
merupakan reaksi langsung berupa memukul, mencubit, menjambak, meninju tembok, dan
mendorong. Reaksi ini akan muncul secara berbeda pada masing-masing individu karena
dipengaruhi oleh karakter dan kepribadian remaja (Herdian & Wulandari, 2014). Apple, et.al
(2016) menyebutkan hal yang sejalan dengan reaksi sibling rivalry dimana memiliki dampak
yang terjadi baik pada psikis dan fisik remaja. Dampak ini bukan hanya menyebabkan cidera
pada anak, namun juga bahkan kematian pada anak. Hal ini sejalan dengan Straus, et,al. (2006,
dalam Apple, 2016) yang mengatakan 74% saudara kandung mengekspresikan kekerasan fisik
dengan memukul dan mendorong sedangkan 84% mengekspresikan dengan kekerasan verbal.

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (2018) memiliki klasifikasi atau tingkatan terhadap tindak
kekerasan fisik dimana kekerasan fisik digolongkan menjadi tiga tingkatan yaitu ringan, sedang,
dan berat. Kekerasan ringan merupakan kekerasan yang tidak menimbulkan penyakit atau tidak
menimbulkan halangan untuk menjalankan suatu pekerjaan. Kekerasan sedang adalah kekerasan
yang yang menimbulkan rasa sakit dan perawatan namun tidak mengakibatkan kecacatan.
Sedangkan kekerasan berat merupakan kekerasan yang dapat menimbulkan kecacatan fisik.

Berikut merupakan bentuk reaksi fisik yang disesuaikan dengan penggolongan KUHP (Kitab
Undang-undang Hukum Pidana) :

1. Ringan : mendorong (tidak sampai terjatuh) / mencubit/ menjambak

2. Sedang : memukul (tangan/kaki)/ menendang (tangan/kaki)

3. Berat : melemparkan benda tajam/menonjok (kepala/dada/perut)/ mendorong hingga terjatuh


2.2.5 Segi positif Sibling Rivalry

Sibling rivalry tidak sepenuhnya menjadi hal yang negatif saja, namun juga bisa menjadi hal
yang positif karena secara tidak langsung sibling rivalry dapat mendorong anak untuk mengatasi
perbedaan karena mereka akan lebih terampil untuk menghargai nilai dan pandangan orang lain.
Selain itu dengan sibling rivalry anak juga akan belajar untuk berkompromi dan bernegosiasi
serta mengontrol sifat agresif. Segi positif ini akan terbentuk jika orang tua menangani sibling
rivalry dengan baik (Wulandari & Handayani, 2011).

2.2.6 Segi Negatif Sibling

Rivalry Dampak sibling rivalryakan dirasakan secara berbeda oleh masing-masing anak,
tergantung pada karater dan polah asuh yang diberikan orang tua kepada anak. Lingkungan juga
sangat mempengaruhi pada dampak yang terjadi terhadap anak (Putri, 2013). Sedangkan
menurut Noviani (2007, dalam Magfuroh, 2012), dampak negatif sibling rivalry adalah anak
menjadi egois, minder, dan merasa tidak dihargai. Hanuka (2008, dalam Magfuroh, 2012) juga
menyebutkan bahwa selain kenakalan anak dirumah yang dilakukan terhadap adiknya, sibling
rivalry juga dapat berpengaruh pada hubungan anak tersebut dengan teman-temannya di sekolah,
bila terjadi ketidakadilan di rumah yang membuat anak menjadi stress, bisa membuat anak
menjadi lebih tempramen dan agresif dalam kelakuannya di lingkungan luar dan sekolah.

Sulistyawati (2009, dalam Nugraheny, et.al, 2014) juga menyebutkan bahwa jika reaksi sibling
rivalry terjadi secara terus-menerus dan tidak diantisipasi sejak dini, maka anak akan bertingkah
laku regresi (tingkah laku pada proses tumbuh kembangnya yang terdahulu), memiliki self
efficacy yang rendah, bertindak untuk membahayakan saudaranya, dan bersifat dendam atau
dengki terhadap saudaranya.

2.2.7 Cara Mengatasi

Sibling rivalry bukanlah sesuatu yang sangatlah berbahaya, namun jika cara mengatasi anak-
anak yang mengalami sibling rivalry tidak tepat maka hal ini bisa jadi sangat berbahaya karena
tindakan fisik yang berlebihan dapat menyakiti atau bahkan menghilangkan nyawa anggota
keluarga. Selain itu sibling rivalry yang terjadi hingga usia dewasa juga akan mempengaruhi
kepribadian seseorang. Berikut ini adalah cara mengatasi sibling rivalry :

1. Pengetahuan ibu adalah hal penting yang harus diperhatikan dalam terjadinya sibling rivalry.
Ibu harus mengatahui bagaimana memperlakukan anak-anak mereka secara adil. Salah satu
caranya adalah dengan tidak memihak salah satu anak atau memberikan kebebasan pada semua
anak mereka secara sama. Ibu atau orang tua juga bisa mengajarkan cara-cara yang positif untuk
mendapatkan perhatian orang tua. Hal lain yang juga bisa dilakukan orang tua adalah dengan
membuat kegiatan bersama keluarga untuk mengajarkan anakanaknya bekerja sama satu sama
lain (Chaulagain, et.al, 2016).

2. Ketika terjadi perseteruan atau pertengkaran orang tua tidak memihak atau menyalahkan salah
satu diantara mereka. Hanya saja orang tua tetap harus mengarahkan bahwa tindakan tersebut
adalah tindakan yang tidak baik dan tidak semestinya dilakukan sehingga anak tidak akan
mengulanginya kembali. (Wulandari & Handayani, 2011).

3. Memberikan anak kesempatan untuk mengatakan atau mengungkapkan perasaan mereka


tentang apa yang dirasakan tentang saudara kandungnya (Wulandari & Handayani, 2011).

2.3 Konsep Remaja

2.3.1 Pengertian Remaja

Remaja adalah masa peralihan dalam rentang kehidupan manusia yang menghubungkan antara
usia kanak-kanak dengan usia dewasa. Masa remaja juga merupakan masa dimana cara berfikir
menjadi lebih abstrak dan idealistic (Santrock, 2011). Pendapat lain mengatakan bahwa remaja
berarti tumbuh dewasa. Klasifikasi remaja menurut Santrock (2011) adalah remaja awal dengan
rentang usia 10-12 tahun, remaja menengah dengan rentang usia 13-17 tahun, dan remaja akhir
dengan rentang usia 18-22 tahun.

2.3.2 Perkembangan Kognitif Remaja Poltekes Depkes Jakarta 1 (2010) menyebutkan bahwa
terdapat beberapa perbedaan perkembangan kognitif yang terjadi pada tahapan remaja,
diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Remaja tahap awal Remaja pada tahapan ini telah berfokus terhadap pengambilan keputusan,
dalam hal ini adalah keputusan yang ada di dalam rumah ataupun sekolah. Cara berpikir yang
logis juga mulai ditunjukkan oleh remaja pada tahap ini, sehingga seringkali timbulnya
pertanyaan mengenai kewenangan dan standar yang ada di masyarakat atau di sekolah.

2. Remaja tahap menengah Remaja mulai mengalami peningkatan pada interaksi dengan
kelompok pada tahap ini. Remaja juga mulai mengajukan pertanyaan, menganalisis dengan lebih
menyeluruh, dan mulai berfikir mengenai siapa diri mereka atau mulai mencari identias diri.
Dalam proses pencarian jati diri, remaja akan cenderung melakukan kesalahan sehingga masa
remaja tahap menengah ini membutuhkan pendampingan yang cukup intens.

3. Remaja tahap akhir Pada tahap remaja akhir, mulai timbul cara berfikir yang kompleks, hal ini
digunakan untuk memfokuskan diri dari masalah-masalah idealism, toleransi, dan keputusan
untuk pekerjaan, serta peran orang dewasa yang terdapat di masyarakat. Pada tahap ini remaja
sudah cukup mahir untuk menempatkan diri di lingkungan sekitar. Cara berfikir yang lebih
realistis membuat remaja pada tahap ini cenderung tidak bermasalah meskipun ada beberapa
remaja yang belum cukup baik ketika memasuki masa ini.

2.3.3 Perkembangan Emosional dan Kepribadian Remaja

Dalam Santrock (2011) dikataakan bahwa ada tiga hal penting dalam perkembangan emosional
dan kepribadian yang terjadi pada remaja, diantaranya adalaah harga diri, identitas, dan
perkembangan emosional.

1. Harga diri

Harga diri adalah cara seseorang untuk mengevaluasi diri secara keseluruhan. Harga diri ini
cenderung tinggi pada masa anak-anak tetapi secara signifikan menurun ketika masa remaja.
Perbedaan gender juga turut mewarnai turunnya harga diri pada masa remaja, hal ini dibuktikan
dengan lebih banyaknya penurunan harga diri yang terjadi pada remaja perempuan dibanding
dengan remaja laki-laki. Penurunan harga diri yang terjadi pada remaja awal tersebut lebih
difokuskan pada citra tubuh negatif ketika datangnya masa pubertas yang lebih banyak terjadi
pada remaja perempuan jika dibanding dengan remaja laki-laki.

2. Identitas

Identitas merupakan gambaran diri seseorang yang terdiri atas banyak bagian, diantaranya
adalah identitas karier, identitas politik, identitas agama, identitas hubungan, identitas pretasi
atau intelektual, identitas seksual, identitas etnis, identitas minat, kepribadian dan fisik.
Moratorium psikososial telah membantu remaja untuk menentukan identitas diri mereka.Maka
dari itu, pada masa ini masyarakat memberikan kebebasan untuk mencoba identitas yang
berbeda. Remaja yang mencoba beberapa peran dari suatu identitas adalah untuk mencari tahu
kecocokan mereka dan pada akhirnya mereka akan meninggalkan peran yang tidak mereka
sukai. Remaja yang berhasil menyelesaikan konflik identitas diri mereka, maka mereka akan
muncul dengan kesadaran diri mereka yang baru. Sedangkan remaja yang tidak dapat
menyelesaikan konflik identitas diri mereka, maka mereka akan mengalami hal yang telah
disebut Erikson dengan kebingungan identitas.

3. Perkembangan emosional

Pada masa remaja awal akan terjadi fluktuatif atau naik turunnya emosi. Remaja yang usianya
lebih muda mungkin saja lebih mudah untuk merajuk, hal ini disebabkan oleh belum tahunya
remaja mengekspresikan perasaan yang dimilikinya dengan baik.Pada masa ini seseorang juga
memiliki sifat yang moody dan berubahubah. Maka dari itu orang dewasa sangat perlu
memahami bahwa hal tersebut adalah hal yang normal dan umum terjadi pada usia remaja.
Perubahan emosional pada remaja disebabkan oleh variabilitas dalam hormon yang terjadi pada
saat terjadinya perubahan hormone yang sangat signifikan ketika remaja mengalami
perkembangan fisik.Beberapa peneliti juga menyebutkan bahwa perubahan fisik pada remaja
dapat menyebabkan meningkat peningkatan emosi yang negatif.

2.3.4 Pertumbuhan fisik pada remaja

1. Perubahan bentuk tubuh

Pada masa remaja, seseorang akan mengalami perubahan pada beberapa bagian tubuhnya.
Remaja laki-laki akan mengalami perubahan bentuk dada yang membesar dan membidang, serta
jakun akan lebih menonjol. Sedangkan pada remaja perempuan akan mengalami perubahan pada
pinggul dan payudara yang semakin membesar serta putting susu yang lebih menonjol (Depkes,
2010).

2. Otak

Sejalan dengan bagian tubuh yang lain, otak juga mengalami perubahan selama masa remaja,
hanya saja perkembangan otak pada masa remaja masih pada tahap awal saja. Otak belum
sepenuhnya berkembang sehingga menjadikan remja belum bisa mengontol emosinya dengan
stabil (Depkes, 2010). Namun, penemuan terbaru oleh para ilmuan yang terdapat pada Santrock
(2011) adalah terdapat perubahan yang signifikan pada struktural otak remaja, diantaranya :

a. Korpus kalosum

Korpus kalosum adalah serat saraf yang menghubungan dua belahaan otak. Bagian ini menjadi
lebih tebal pada usia remaja sehingga terjadi peningkatan kemampuan untuk memproses
informasi. Pada bagian ini yang menyebabkan remaja menjadi sangat ingin tahu dan mudah
menyerap informasi baik informasi baik ataupun buruk.

b. Korteks prefrontal

Bagian ini adalah bagian untuk mengurangi emosi yang intens. Namun, pada masa remaja bagian
ini belum cukup berkembang seolah olah otak remaja belum mampu mengendalikan emosi yang
sangat kuat. Hal ini tidak seimbang dengan beban emosi yang diterima oleh remaja yang sudah
cukup berat, meliputi emosi yang datang dari lingkungan rumah, lingkungan masyarakat, dan
lingkungan sekolah.

c. Amigdala

Amigdala adalah pusat emosi (marah). Area ini berkembang lebih cepat jika dibanding dengan
korteks prefrontal. Pada bagian inilah yang menyebabkan remaja lebih mudah marah ketika
menghadapi tekanan atau emosi yang cukup kuat. (Santrock, 2011)

2.3.5 Karakteristik Masa Remaja


Masa remaja memiliki karakteristik atau ciri-ciri.Hal inilah yang membedakan masa remaja
dengan masa sebelum atau sesudahnya (Hurlock, 1999, dalam Unayah & Sabarisman, 2015)
mengatakan bahwa karakteristik tersebut adalah sebagai berikut :

1. Masa remaja sebagai masa peralihan.

Masa remaja sebagai masa peralihan adalah pada masa ini terdapat perubahan sifat dan perilaku.
Perubahan tersebut terjadi karena anak sedang menyesuaikan dan mempersiapkan diri untuk
menjadi dewasa. Hal ini dikarenakan pada masa remaja anakakan melewati dua masa, yaitu masa
anak-anak akhir dan juga masa dewasa awal. Pada masa ini anak masih sulit untuk meninggalkan
sifat kanak-kanak namun juga merasa selalu ingin tahu mengenai kebiasaan yang dilakukan oleh
orang dewasa.

2. Masa remaja sebagai masa perubahan.

Masa remaja disebut juga sebagai periode perubahan, hal ini dikarenakan adanya lima perubahan
yang bersifat universal, yaitu perubahan emosi, pola perilaku, minat, tubuh, dan perubahan nilai.
Pada masa remaja ini, seseorang akan cenderung terus mencari apa yang mereka inginkan dan
apa yang membuat diri remaja tersebut nyaman. Namun terkadang remaja belum siap dan belum
dapat mengontrol perubahan ini secara baik. Maka dari itu, dibutuhkan orang tua atau orang
terdekat yang cukup banyak pada masa remaja untuk mengontrol perubahan yang terjadi pada
remaja.

3. Masa remaja sebagai usia bermasalah.

Alasan mengapa remaja dianggap sebagai usia yang bermasalah adalah karena pada saat usia
anak-anak mereka terbiasa didampingi oleh orang tua mereka, sehingga masalah yang timbul
juga akan diselesaikan oleh orang tua. Namun, pada saat remaja orang tua akan menganggap
bahwa remaja sudah dapat menyelesaikan masalah mereka sendiri, sedangkan remaja masih
menganggap bahwa orang tua akan tetap menyelesaikan permasalahan yang mereka hadapi.

4. Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan.

Masa remaja adalah masa yang menimbulkan ketakutan. Hal ini dikarenakan adanya anggapan
bahwa remaja adalah seseorang yang tidak rapih, masyarakat juga menganggap bahwa remaja
tidak dapat dipercaya bahkan cenderung merusak. Selain itu masa remaja dianggap sebagai masa
yang sulit mengikuti peraturan baik di dalam rumah atau di lingkungan masyarakat.

5. Masa remaja sebagai masa pencarian identitas.

Pada masa remaja seseorang akan memiliki keinginan untuk menunjukkan siapa dirinya kepada
masyarakat. Hal ini dapat berdampak baik dan sekaligus buruk bagi remaja. Dampak baik akan
timbul jika dalam pencarian identitas atau jati diri remaja mengarah pada hal positif dan
didampingi serta diarahkan oleh orang terdekat remaja. Sedangkan dampak buruk akan timbul
jika dalam proses pencarian jati diri remaja luput dari perhatian orang tua dan orang terdekat
remaja.

6. Masa remaja sebagai masa yang tidak realistis.

Pada masa ini seseorang akan melihat dirinya bukan sebagaimana adanya, tetapi mereka melihat
diri mereka atau bahkan melihat orang lain sesuai dengan apa yang mereka inginkan saja. Hal ini
akan membuat remaja akan terlalu berambisi dengan keinginannya namun mengabaikan
kenyataan yang ada.

7. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa.

Masa remaja sebagai ambang masa dewasa. Hal ini dikarenakan pada masa remaja seseorang
tidah memusatkan diri pada perilaku anak-anak lagi, namun mereka akan memusatkan diri pada
apa yang dilakukan oleh orang dewasa. Namun, terkadang pada masa ini remaja akan salah
menempatkan diri dimana remaja melakukan sesuatu yang seharusnya belum dilakukan pada
usia tersebut.

2.3.6 Kenakalan Remaja

Kenakalan remaja adalah kejahatan yang dilakukan oleh anak muda, kejahatan ini adalah salah
satu bentuk penyakit sosial yang menyebakan adanya pengabaian sosial sehingga remaja tersebut
mengembangkan tingkah laku yang menyimpang. Mayoritas terjadinya kenakalan remaja adalah
usia 15 – 19 tahun, meingkat pada usia 21 tahun dan mulai menurun setelah usia 22 tahun. Sosial
dan kultural memiliki peran besar terhadap pembentukan tingkah laku kriminal atau kenakalan
pada remaja. Selain itu, terdapat beberapa faktor penyebab terjadi kenakalan remaja, diantaranya
sebagai berikut :

1. Faktor internal adalah faktor yang berasal dari diri remaja itu sendiri, hal ini meliputi krisis
identitas, dan kontrol diri yang lemah.

2. Faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar diri remaja itu sendiri, diantaranya adalah
permasalahan remaja termasuk perceraian orang tua, adanya teman sebaya yang kurang baik, dan
komunitas atau lingkungan yang juga kurang baik (Unayah & Sabarisman, 2015).

Studi terbaru juga mengatakan bahwa saudara kandung memiliki andil yang cukup kuat atas
terjadinya kenakalan remaja.Tingginya tingkat hubungan permusuhan antara saudara kandung
dan kenakalan saudara kandung yang lebih tua dikaitkan dengan kenakalan saudara kandung
yang lebih muda, baik saudara laki-laki maupun perempuan (Santrock, 2011).
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Menurut BKKBN, jarak kehamilan yang paling tepat adalah 2 tahun atau lebih. Jarak
kehamilan yang pendek akan mengakibatkan belum pulihnya kondisi tubuh ibu setelah
melahirkan.

3.2 Saran

Jarak ideal antara kelahiran dan kehamilan berikutnya adalah sekitar 2 – 4 tahun. Hal ini
dikarenakan jarak kelahiran yang terlalu dekat sangat berisiko bagi kesehatan ibu dan janin
dalam kandungan.

Anda mungkin juga menyukai