Pertemuan 3 & 4:
Teori Perencanaan Pembangunan
Konflik antartujuan (goal Masalah pengukuran di Masalah desain dimana Ditentukan time lag;
conflicts) menyebabkan mana waktu antara kejadian kebijakan yang diambil; pertimbangan politik versus
timbulnya trade-off dan ketersediaan data yang respons masyarakat; dan ekonomi; dan adanya moral
antara kebijakan. tidak sesuai dapat teori yang digunakan dapat hazard.
Misalnya: inflasi dengan menyebabkan validitas menentukan apakah
pengangguran (stagflasi), peramalan serta model perencanaan tersebut gagal
atau pemerataan dengan makro serta asumsi yang atau tidak.
pertumbuhan. dipilih kurang tepat.
3.Teori Perencanaan
3.a. Perencanaan Rasional Komprehensif (Sinoptik)
Model perencanaan rasional komperhensif muncul setelah Perang Dunia II, ketika Tugwell
bergabung dengan sebuah program baru dalam perencanaan Pendidikan dan Penelitian di
Universitas Chicago bersama rekan-rekannya antara lain Harvey Periff, Edward Banfield, dan Julius
Margolis (Stiftel, 2000).
Perioff, ahli ekonomi Keynesian, mendorong fakultasnya untuk mendefinisikan dan mengatur
wilayah utama tentang pengetahuan di bidang perencanaan yang dianggap sebuah kebutuhan
penting dalam praktik.
Menurut Hoogerwerf seperti yang dikutip dalam (Islamy, 1988:42), model analisis kebijakan rasional-
komperhensif (sinoptis) menyatakan bahwa proses perumusan kebijakan publik itu akan
membuahkan hasil atau dampak yang baik kalau didasarkan atas proses pemikiran yang rasional
yang didukung oleh data dan informasi yang lengkap (komperhensif).
Menurut Banfield, model perencanaan rasional mempunyai 5 langkah:
Affiliate
1. Mengidentifikasi Masalah
2. Mengidentifikasi Tujuan
3. Mengumpulkan Data
4. Mengidentifikasi Sarana
5. Mengidentifikasi Rencana Skenario Alternatif yang terdiri atas kebijakan dan
pedoman untuk mencapai tujuan
6. Menilai rencana skenario alternatif
7. Memilih alternatif yang tepat
8. Menerapkan rencana
9. Monitor, evaluasi dan revisi pelaksanaan, dan
10. Identifikasi masalah baru dan memulai lagi proses awal dan seterusnya.
Unsur-unsur dalam penyusunan kebijakan model Rasional Komperhensif (Wahab, 2002: 19;
Winarno, 2002: 75), yaitu sebagai berikut:
a. Pembuat keputusan dihadapkan pada suatu masalah tertentu yang dapat dibedakan
dari masalah-masalah lain, atau, setidaknya, nilai sebagai masalah-masalah yang dapat
diperbandingkan satu sama lain.
b. Tujuan-tujuan, nilai-nilai, atau saran yang memedomani keputusan amat jelas dan
dapat diterapkan rankingnya sesuai dengan urutan kepentingannya.
c. Teliti secara saksama berbagai alternatif untuk memecahkan masalah tersebut.
d. Teliti akibat-akibat (biaya dan manfaat) yang ditimbulkan oleh setiap alternatif yang
dipilih.
e. Setiap alternatif dan masing-masing akibat yang menyertainya dapat diperbandingkan
dengan alternatif lain yang ada.
f. Pembuat keputusan akan memilih alternatif dan akibat-akibat yang dapat
memaksimalkan tercapainya tujuan, nilai atau sasaran yang telah ditentukan.
INPUT
Semua data dan sumber yang dinilai tepat yang
diperlukan dalam proses perumusan kebijakan
Gambar Proses Perencanaan Rasional Komprehensif
Menghitung akibat/konsekuensi
OUTPUT
Kebijakan rasional komperhensif
3.b. Perencanaan Inkremental
Model inkremental pada hakikatnya memandang perubahan yang merupakan bagian proses
kebijakan publik sebagai kelanjutan dari kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan oleh
pemerintah di masa lampau, dengan hanya melakukan perubahan-perubahan seperlunya.
Model ini dikembangkan oleh ekonom, Charles E. Lindblom. Model ini biasa disebut dengan
“disjointed incrementalism” dan merupakan sebuah kritik terhadap model rasional komperhensif
dalam pembuatan kebijakan publik.
Istilah advokasi merujuk kepada dua pengertian, yaitu pertama, pekerjaan atau profesi dari seorang
advokat. Dan kedua, perbuatan atau tindakan pembelaan untuk atau secara aktif mendukung suatu
maksud. Setidaknya ada beberapa pengertian mengenai definisi advokasi:
Advokasi adalah usaha-usaha terorganisir untuk membawa perubahan-perubahan secara
sistematis dalam menyikapi suatu kebijkan, regulasi atau pelaksanaannya (Meuthia Ganier).
Advokasi merupakan segenap aktivitas pengerahan sumber daya yang ada untuk membela,
memajukan, bahkan mengubah tatanan untuk mencapai tujuan yang lebih baik sesuai keadaan
yang diharapkan. Advokasi dapat berupa upaya hukum formal (litigasi) maupun di luar jalur
hukum formal (nonlitigasi).
Advokasi adalah usaha sistematis dan terorganisir untuk memengaruhi dan mendesakkan
terjadinya perubahan dalam kebijakan publik secara bertahap-maju (incremental) (Mansour
Faqih).
Advokasi berkaitan dengan rakyat, terutama mereka yang terpinggirkan (Vallerie Miller).
Advokasi adalah membangun organisasi-organisasi demokratis yang kuat untuk membuat para
penguasa bertanggung jawab dan berkaitan dengan peningkatan kapasitas dan pengertian
rakyat tentang bagaimana kekuasaan bekerja (Jane Covey).
Perencanaan advokasi muncul setelah perencanaan rasional komprehensif menghadapi tantangan
dalam menangani masalah tertentu. Pengikut aliran advokasi membebaskan tujuan dan pandangan
nonpolitik yang terkandung dalam perencanaan rasional. Perencana ibarat sebagai pengacara, mereka
mengadvokasi dan membela kepentingan nasabah atau kelompok teretentu (yaitu kelompok yang secara
ekonomi tidak beruntung dan/atau secara politik tidak terorganisasi atau tidak terwakili) (Hurley, Clare G,
1999).
Terdapat tiga pendapat yang berkaitan dengan perencannaan advokasi dalam Hurley (1999):
Paul Davidoff adalah pencetus utama perencanaan advokasi. Dia berpendapat bahwa tidak ada satu
kepentingan publik yang dilayani oleh perencana dan dengan demikian bahwa perencana tidak
mempunyai pilihan tetapi menjadi advokasi nonobjektif bagi kelompok kepentingan.
Saul Allinsky mengembangkan sebuah visi perencanaan yang ada dalam sebuah organisasi.
Organisasi-organsiasi tersebut menyewa perencana untuk mengidentifikasi masalah, membangun
kesadaran akan masalah yang dihadapi dalam menciptakan aksi/tindakan.
Alan Altshuler juga berpendapat bahwa ada kebebasan tujuan, pandangan nonpolitik perencanaan.
Dia merasa bahwa kebebasan tujuan menjadi efektif, maka sesungguhnya perencana harus secara
aktif terlibat dalam proses politik.
Efek dari perencanaan advokasi:
Paradigma perencanaan dikenal sebagai Radical Planning. Pengertian radikal berarti kembali ke akar
masalah dengan lebih memerhatikan dasar atau akar masalah perencanaan itu sendiri. Paradigma
perencanaan ini bersifat emansipatory, pluralistik, dan kontemporer.
a. Pemikiran Radikal adalah sebuah pemikiran yang bersifat fundamental terhadap akar
permaslaahan yang dihadapi, biasanya bertentangan dengan pemikiran tradisional atau
konvensional karena dianggap membelenggu kebebasan untuk mengembangkan
pemikiran secara kontekstual.
b. Karakteristik Radikal. Radikal terfokus pada akar permasalahan yang dihadapi atau
roots of the problems. Dalam kajian permasalahan, pemikiran radikal mengedepankan
pemikiran yang amat kontekstual dengan akar permaslaahan yang dihadapi, biasanya
mengabaikan pemikiran-pemikiran terdahulu yang telah menjadi konvensi (kompromis)
dan mentradisi. Pemikiran terdahulu dianggap oleh para pemikir radikal sebagai sesuatu
yang membelenggu.
Perencanaan radikal memiliki dua tren utama.
Yang pertama adalah pendekatan yang diilhami oleh anarkisme yang menekankan kontrol dan
eksperimen yang didesentralisasi dengan organisasi sosial alternatif. Contoh kelompok pertama
dari teori perencanaan radikal seperti gerakan lingkungan.
Yang kedua adalah perencanaan radikal lebih berorientasi struktural. Dibutuhkan arahan Marxis
yang berfokus pada dampak sistem ekonomi pada kondisi kelas sosial dan peran perencanaan
dalam perjuangan kelas sosial. Versi radikal Marxis mengusulkan kontrol pemerintah terhadap
alat-alat produksi dan produksi itu, alih-alih diatur oleh motif laba, harus diarahkan untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat seperti yang didefinisikan melalui proses politik.
Teori perencanaan radikal berpendapat bahwa perencana harus menggunakan sistem rasionalitas
yang mirip dengan rasionalitas instrumental, meskipun untuk tujuan radikal.
Beberapa Bentuk Perencanaan Radikal:
Pada tahun 1987 John Friedmann memberikan gagasannya melalui Planning in the Public
Domain: From Knowledge to Action, mempromosikan model perencanaan radikal berdasarkan
"dekolonisasi", "demokratisasi", "pemberdayaan diri" dan "menjangkau masyarakat".
3.e. Perencanaan Epistemologis/Humanis
Masyarakat dan perencana sangat sering memiliki pemahaman masalah, perumusan, tujuan dan
ide-ide pemecahan praktis yang berbeda akibat menganganya jurang pengetahuan dan
komunikasi antara perencana dengan masyarakat.
Pendekatan yang bertentangan ini membutuhkan aktualisasi relasi baru, yang mampu
mengintegrasikan proses saling belajar (mutual learning) dari kedua belah pihak melalui proses
perencanaan yang disebut sebagai transactive planning (perencanaan transaktif).
Menurut friedmann dalam burke, bahwa perencanaan transaktif merupakan tanggapan terhadap
kesenjangan komunikasi antara perencana teknis dan para klien. untuk menutup kesenjangan
tersebut, suatu rangkaian transaksi pribadi yang terus menerus dan terutama transaksi secara
verbal antara perencana dan klien, sangat dibutuhkan.
Mriedmann juga menunjukkan bahwa tumbuhnya kaum teknokrat dari masyarakat kita menuntut
adanya metode pengambilan keputusan yang didasarkan pada proses belajar secara bersama-
sama.
Friedmann menjelaskan bahwa dibutuhkan suatu penggabungan sains dan teknologi dengan
pengetahuan pribadi pada tahap-tahap kritis intervensi sosial guna menghindari agar
pengambilan keputusan tidak berada di tangan pihak teknokrat secara eksklusif.
Perencanaan transaktif memungkinkan perencana belajar pengetahuan eksperimental dari klien,
sedangkan klien belajar pengetahuan teknis dari perencana. melalui proses ini pula, kedua
macam pengetahuan tersebut masing-masing akan berubah dengan sendirinya, dan kemudian
kedua macam pengetahuan ini akan melebur menjadi satu.
Pada saat pengetahuan kedua belah pihak melebur, maka persepsi dan imaji dari pihak satu
terhadap pihak yang lain akan berubah, dan selanjutnya perilaku keduanya pun akan berubah.
Ide awal dari perencana untuk “mengajari masyarakat” akan merubah menjadi “pelajar” (the
learners) akan bertransformasi menjadi aksi masyarakat (community action) artinya ”dialog
saling belajar” telah merubah perilaku kolektif masyarakat dan mendorong masyarakat secara
lebih aktif menolong diri mereka sendiri dan sekaligus membangun komunitas bersama seperti
yang diharapkan.
Masyarakat belajar (learning society) yang aktif melakukan aksi ini dengan sendirinya akan
terbangun kapasitasnya karena learning society secara inheren akan mengembangkan kapasitas
komunitas (community capacity building).
Secara empirik banyak studi menunjukkan bahwa masyarakat yang sudah memasuki fase
learning society akan lebih berpotensi untuk mewujudkan sebuah pembangunan yang lebih
berkelanjutan, karena mereka sudah lebih mandiri dalam berbagai hal mulai dari
mengidentifikasi, menilai dan menformulasikan masalah baik fisik, sosial, kultural maupun
ekonomi, membangun visi dan aspirasi, memprioritaskan intervensi, merencana, mengelola,
memonitor dan bahkan memilih teknologi yang tepat.
Masyarakat aktif (active society) semacam ini juga menghasilkan kerelaan masyarakat yang lebih
untuk memberi kontribusi kerja dan biaya pembangunan, operasi dan perawatan sedemikian
sehingga pendekatan mampu mengembalikan biaya investasi publik (cost - recovery) yang pada
gilirannya akan menjadi lebih berkemungkinan terjadinya pengulangan (self - replicability).
3.g. Perencanaan Komunikatif (Putra, 2020)