Anda di halaman 1dari 31

PERENCANAAN PEMBANGUNAN

Pertemuan 3 & 4:
Teori Perencanaan Pembangunan

Khairun Nisa, S.IP., MA


Bahan Kajian/
Materi Pembelajaran:

Konsep Dasar Perencanaan


Capaian Pembelajaran Mengapa Perencanaan
Teori Perencanaan
Mahasiswa mampu
menjelaskan unsur utama,
ruang lingkup dan
bentuk/jenis/teori
perencanaan pembangunan.
1. Konsep Dasar Perencanaan
1.a Pengertian Perencanaan
Perencanaan menurut Abe (2022), adalah susunan (rumusan) sistematik mengenai
langkah-langkah (tindakan-tindakan) yang akan dilakukan di masa depan, dengan
didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan yang seksama atas potensi, faktor-
faktor eskternal dan pihak-pihak yang berkepentingan dalam rangka mencapai suatu
tujuan tertentu.
Bintoro Tjokroamidjojo (1985), mednefinisikan perencanaan sebagai suatu cara
bagaimana mencapai tujuan sebaik-baiknya (maksimum output) dengan sumber-
sumber yang ada supaya lebih efisien dan efektif.
Diana Conyers dan Hills (1984), dalam bukunya An Introduction to Development
Planning in the Thirld World, mendefinisikan perencanaan sebagai proses kontinu,
teridiri dari keputusan atau pilihan dari berbagai cara untuk menggunakan sumber
daya yang ada, dengan sasaran untuk mencapai tujuan tertentu di masa mendatang.
Perencanaan juga diartikan sebagai suatu proses pengambilan keputusan yang
berdasarkan fakta, megnenai kegiatan-kegiatan yang harus dilaksanakan demi
tercapainya tujuan yang diharapkan atau yang dikehendaki.
Dari pengertian-pengertian tersebut, setidaknya ada 3 kata kunci yang menjadi unsur
perencanaan:

Tindakan masa depan, Urutan pilihan, Sumber daya yang tersedia,


yang dituangkan ke dalam yang tercermin dalam Inti dari perencanaan adalah
berbagai kebijakan, skala prioritas, mengelola konflik antara
program dan kegiatan berdasarkan: tingkat kebutuhan yang tidak
yang dirumuskan kemendesakan, tingkat terbatas dengan sumber daya
berdasarkan data-data kepetningan, dan yang terbatas.
yang akurat dan relevan ketersediaan sumber daya.
yang diasumsikan akan
menyelesaikan berbagai
permasalahan yang
dihadapi.
2. Mengapa Perencanaan
Menurut Todaro (2009), perencanaan diperlukan karena adanya empat hal yaitu
kegagalan pasar, mobilisasi dan alokasi sumber daya, dampak psikologis dan dampak
terhadap sikap/pendirian, serta bantuan luar negeri. Untuk mengatasi kegagalan pasar,
maka diperlukan perencanaan yang mencakup adanya eksternalitas, penyediaan
barang publik murni, monopoli, dan lainnya. Liberalisasi perdagangan terbukti melahirkan
pasar yang tidak sehat dan mengancam ketidakadilan. Oleh karena itu, perencanaan
dibutuhkan untuk:

Menjamin mobilisasi dan Menjamin dukungan dari Mengantisipasi perubahan


alokasi sumber daya seluruh stakeholders sosial ekonomi yang
sebaik-baiknya sesuai terkait. diakibatkan oleh
dengan tujuannya. perubahan ekonomi
makro dan perubahan
sosial.
Menurut Griffin dalam Killick (1976), gagalnya perencanaan disebabkan dua hal:

Konflik antartujuan (goal Masalah pengukuran di Masalah desain dimana Ditentukan time lag;
conflicts) menyebabkan mana waktu antara kejadian kebijakan yang diambil; pertimbangan politik versus
timbulnya trade-off dan ketersediaan data yang respons masyarakat; dan ekonomi; dan adanya moral
antara kebijakan. tidak sesuai dapat teori yang digunakan dapat hazard.
Misalnya: inflasi dengan menyebabkan validitas menentukan apakah
pengangguran (stagflasi), peramalan serta model perencanaan tersebut gagal
atau pemerataan dengan makro serta asumsi yang atau tidak.
pertumbuhan. dipilih kurang tepat.
3.Teori Perencanaan
3.a. Perencanaan Rasional Komprehensif (Sinoptik)

Model perencanaan rasional komperhensif muncul setelah Perang Dunia II, ketika Tugwell
bergabung dengan sebuah program baru dalam perencanaan Pendidikan dan Penelitian di
Universitas Chicago bersama rekan-rekannya antara lain Harvey Periff, Edward Banfield, dan Julius
Margolis (Stiftel, 2000).

Perioff, ahli ekonomi Keynesian, mendorong fakultasnya untuk mendefinisikan dan mengatur
wilayah utama tentang pengetahuan di bidang perencanaan yang dianggap sebuah kebutuhan
penting dalam praktik.

Menurut Hoogerwerf seperti yang dikutip dalam (Islamy, 1988:42), model analisis kebijakan rasional-
komperhensif (sinoptis) menyatakan bahwa proses perumusan kebijakan publik itu akan
membuahkan hasil atau dampak yang baik kalau didasarkan atas proses pemikiran yang rasional
yang didukung oleh data dan informasi yang lengkap (komperhensif).
Menurut Banfield, model perencanaan rasional mempunyai 5 langkah:

Affiliate

Merumuskan dan Menetapkan program Membandingkan hasil evaluasi


mengelaborasi tujuan dan tindakan aksi terhadap konsekuensi

Memilih alternatif Penerapan alternatif


yang dipilih
Selanjutnya beberapa referensi lainnya menyebut langkah-langkah dalam proses perencanaan yang
lebih lengkap:

1. Mengidentifikasi Masalah
2. Mengidentifikasi Tujuan
3. Mengumpulkan Data
4. Mengidentifikasi Sarana
5. Mengidentifikasi Rencana Skenario Alternatif yang terdiri atas kebijakan dan
pedoman untuk mencapai tujuan
6. Menilai rencana skenario alternatif
7. Memilih alternatif yang tepat
8. Menerapkan rencana
9. Monitor, evaluasi dan revisi pelaksanaan, dan
10. Identifikasi masalah baru dan memulai lagi proses awal dan seterusnya.
Unsur-unsur dalam penyusunan kebijakan model Rasional Komperhensif (Wahab, 2002: 19;
Winarno, 2002: 75), yaitu sebagai berikut:

a. Pembuat keputusan dihadapkan pada suatu masalah tertentu yang dapat dibedakan
dari masalah-masalah lain, atau, setidaknya, nilai sebagai masalah-masalah yang dapat
diperbandingkan satu sama lain.
b. Tujuan-tujuan, nilai-nilai, atau saran yang memedomani keputusan amat jelas dan
dapat diterapkan rankingnya sesuai dengan urutan kepentingannya.
c. Teliti secara saksama berbagai alternatif untuk memecahkan masalah tersebut.
d. Teliti akibat-akibat (biaya dan manfaat) yang ditimbulkan oleh setiap alternatif yang
dipilih.
e. Setiap alternatif dan masing-masing akibat yang menyertainya dapat diperbandingkan
dengan alternatif lain yang ada.
f. Pembuat keputusan akan memilih alternatif dan akibat-akibat yang dapat
memaksimalkan tercapainya tujuan, nilai atau sasaran yang telah ditentukan.
INPUT
Semua data dan sumber yang dinilai tepat yang
diperlukan dalam proses perumusan kebijakan
Gambar Proses Perencanaan Rasional Komprehensif

Penilai dan penyusun Menyiapkan berbagai Menyusun


tujuan operasional alternatif kebijakan inventarisasi nilai

Menyiapkan serangkaian kemungkinan


terhadap biaya atau keuntungan

Menghitung akibat/konsekuensi

Membandingkan akibat/konsekuensi setiap alternatif


atau kriteria efisien dan memilih alternatif kebijakan
yang mempunyai alternatif positif tinggi

OUTPUT
Kebijakan rasional komperhensif
3.b. Perencanaan Inkremental

Model inkremental pada hakikatnya memandang perubahan yang merupakan bagian proses
kebijakan publik sebagai kelanjutan dari kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan oleh
pemerintah di masa lampau, dengan hanya melakukan perubahan-perubahan seperlunya.

Model ini dikembangkan oleh ekonom, Charles E. Lindblom. Model ini biasa disebut dengan
“disjointed incrementalism” dan merupakan sebuah kritik terhadap model rasional komperhensif
dalam pembuatan kebijakan publik.

Adapun tujuan dari Perencanaan Inkremental adalah:


1. Analisis strategis yaitu setiap upaya untuk menyederhanakan masalah kebijakan yang kompleks.
2. Incrementalism terputus-putus, yakni analisis dilakukan tanpa penetapan tujuan, dengan
beberapa aternatif dipertimbangkan, dan menyederhanakan data yang kompleks.
3. Incrementalism sederhana dimana alternatif yang dipilih hanya sedikit berbeda dari status quo.
3.c. Perencanaan Advokasi

Istilah advokasi merujuk kepada dua pengertian, yaitu pertama, pekerjaan atau profesi dari seorang
advokat. Dan kedua, perbuatan atau tindakan pembelaan untuk atau secara aktif mendukung suatu
maksud. Setidaknya ada beberapa pengertian mengenai definisi advokasi:
Advokasi adalah usaha-usaha terorganisir untuk membawa perubahan-perubahan secara
sistematis dalam menyikapi suatu kebijkan, regulasi atau pelaksanaannya (Meuthia Ganier).
Advokasi merupakan segenap aktivitas pengerahan sumber daya yang ada untuk membela,
memajukan, bahkan mengubah tatanan untuk mencapai tujuan yang lebih baik sesuai keadaan
yang diharapkan. Advokasi dapat berupa upaya hukum formal (litigasi) maupun di luar jalur
hukum formal (nonlitigasi).
Advokasi adalah usaha sistematis dan terorganisir untuk memengaruhi dan mendesakkan
terjadinya perubahan dalam kebijakan publik secara bertahap-maju (incremental) (Mansour
Faqih).
Advokasi berkaitan dengan rakyat, terutama mereka yang terpinggirkan (Vallerie Miller).
Advokasi adalah membangun organisasi-organisasi demokratis yang kuat untuk membuat para
penguasa bertanggung jawab dan berkaitan dengan peningkatan kapasitas dan pengertian
rakyat tentang bagaimana kekuasaan bekerja (Jane Covey).
Perencanaan advokasi muncul setelah perencanaan rasional komprehensif menghadapi tantangan
dalam menangani masalah tertentu. Pengikut aliran advokasi membebaskan tujuan dan pandangan
nonpolitik yang terkandung dalam perencanaan rasional. Perencana ibarat sebagai pengacara, mereka
mengadvokasi dan membela kepentingan nasabah atau kelompok teretentu (yaitu kelompok yang secara
ekonomi tidak beruntung dan/atau secara politik tidak terorganisasi atau tidak terwakili) (Hurley, Clare G,
1999).

Terdapat tiga pendapat yang berkaitan dengan perencannaan advokasi dalam Hurley (1999):
Paul Davidoff adalah pencetus utama perencanaan advokasi. Dia berpendapat bahwa tidak ada satu
kepentingan publik yang dilayani oleh perencana dan dengan demikian bahwa perencana tidak
mempunyai pilihan tetapi menjadi advokasi nonobjektif bagi kelompok kepentingan.
Saul Allinsky mengembangkan sebuah visi perencanaan yang ada dalam sebuah organisasi.
Organisasi-organsiasi tersebut menyewa perencana untuk mengidentifikasi masalah, membangun
kesadaran akan masalah yang dihadapi dalam menciptakan aksi/tindakan.
Alan Altshuler juga berpendapat bahwa ada kebebasan tujuan, pandangan nonpolitik perencanaan.
Dia merasa bahwa kebebasan tujuan menjadi efektif, maka sesungguhnya perencana harus secara
aktif terlibat dalam proses politik.
Efek dari perencanaan advokasi:

Menggeser formulasi kebijakan sosial dari


negosiasi tersembunyi ke arah yang terbuka.

Hubungan yang kuat antara ahli-ahli sosial dan


proses hukum dalam pembuatan kebijakan.
3.d. Perencanaan Radikal

Paradigma perencanaan dikenal sebagai Radical Planning. Pengertian radikal berarti kembali ke akar
masalah dengan lebih memerhatikan dasar atau akar masalah perencanaan itu sendiri. Paradigma
perencanaan ini bersifat emansipatory, pluralistik, dan kontemporer.

a. Pemikiran Radikal adalah sebuah pemikiran yang bersifat fundamental terhadap akar
permaslaahan yang dihadapi, biasanya bertentangan dengan pemikiran tradisional atau
konvensional karena dianggap membelenggu kebebasan untuk mengembangkan
pemikiran secara kontekstual.

b. Karakteristik Radikal. Radikal terfokus pada akar permasalahan yang dihadapi atau
roots of the problems. Dalam kajian permasalahan, pemikiran radikal mengedepankan
pemikiran yang amat kontekstual dengan akar permaslaahan yang dihadapi, biasanya
mengabaikan pemikiran-pemikiran terdahulu yang telah menjadi konvensi (kompromis)
dan mentradisi. Pemikiran terdahulu dianggap oleh para pemikir radikal sebagai sesuatu
yang membelenggu.
Perencanaan radikal memiliki dua tren utama.
Yang pertama adalah pendekatan yang diilhami oleh anarkisme yang menekankan kontrol dan
eksperimen yang didesentralisasi dengan organisasi sosial alternatif. Contoh kelompok pertama
dari teori perencanaan radikal seperti gerakan lingkungan.
Yang kedua adalah perencanaan radikal lebih berorientasi struktural. Dibutuhkan arahan Marxis
yang berfokus pada dampak sistem ekonomi pada kondisi kelas sosial dan peran perencanaan
dalam perjuangan kelas sosial. Versi radikal Marxis mengusulkan kontrol pemerintah terhadap
alat-alat produksi dan produksi itu, alih-alih diatur oleh motif laba, harus diarahkan untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat seperti yang didefinisikan melalui proses politik.

Teori perencanaan radikal berpendapat bahwa perencana harus menggunakan sistem rasionalitas
yang mirip dengan rasionalitas instrumental, meskipun untuk tujuan radikal.
Beberapa Bentuk Perencanaan Radikal:

1. Emancipatory Planning atau Radical Planning Emancipatory: Perencanaan Radikal yang


mengedepankan kesamaan setiap elemen di dalam proses perencanaan. Setiap elemen dalam
masyarakat memiliki akar atau dasarnya sendiri sehingga memiliki kesamaan untuk
dikedepankan dengan pendekatan dan paradgimanya sendiri. dalam Radical Planning
mengutamakan atau mengedepankan konsep kesamaan hak untuk semua pihak atau sektor yang
terpinggirkan karena adanya pemikiran konvensional, dan kesamaan posisi setiap pemikiran
lokal, untuk dipertimbangkan dalam proses perencanaan.

Adapun ciri perencanaan Emancipatory Planning:


Kesempatan diberikan sama pada setipa stakeholders di dalam proses perencanaan.
Meskipun memiliki kesempatan yang sama, hasil yang diperoleh untuk masing-masing
stakeholders harus dipandang berbeda, karena masing-masing memiliki posisi dan peran yang
berbeda-beda.
Perencanaan harus membuka kesempatan terlibat yang sama, tetapi tetap menempatkan setiap
stakeholders pada posisi, peran dan fungsinya masing-masing dalam sistem proses
pembangunan.
2. Radical Planning-Pluralistic: Perencanaan radikal yang mengedepankan setiap topik, kasus, dan
tema permasalahan dalam posisi untuk mendapatkan perhatian yang sama dan seimbang. Adapun
ciri dari perencanaan pluralis adalah:
Kekuasaan dikelompok-kelompokkan (fragmented) dan didesentralisasikan di dalam masyarakat.
Pengembangan akses tidak sama terhadap setiap kelompok, disesuaikan dengan fungsi dan
peran masing-masing.
Penyebaran kekuasaan ke dalam masyarakat sesuai dengan kebutuhan dan keinginan (desirable).
Penyebaran kekuasaan disesuaikan dengan kebijakan sektoral untuk menyesuaikan kondisi
dengan hasil yang diharapkan dari masing-masing sektor.
Penerapan penyebaran pluralis kekuasaan politis melalui pemilihan umum dan perwakilan di
lembaga-lembaga parlemen.
Dunia pluralis yang ideal adalah terjadinya interaksi antarkepentingan yang menghasilkan
kompetensi ide dan legitimasi untuk mengeluarkan hasil yang sesuai.
Stakeholders di dalam dunia perencanaan bersistem pluralis dibatasi oleh proses perencanaan
dalam ketidakpastian dan proses tawar-menawar di dalam interaksi kepentingan tersebut.
2. Contemporary Planning atau Radical Planning Contemporary:

Pada tahun 1987 John Friedmann memberikan gagasannya melalui Planning in the Public
Domain: From Knowledge to Action, mempromosikan model perencanaan radikal berdasarkan
"dekolonisasi", "demokratisasi", "pemberdayaan diri" dan "menjangkau masyarakat".
3.e. Perencanaan Epistemologis/Humanis

Teori perencanaan humanis atau fenomenologis menekankan mengenai keunikan setiap


kelompok yang memiliki pengetahuan yang berbeda, dan kesulitan dalam mengidentifikasi
pengetahuan dari kelompok manakah yang dapat diterjemahkan untuk kelompok lain mengingat
keragaman pengalaman dan perspektif manusia.
The phenomenology of the professional episode,” Richard Bolan (1980) menantang manfaat
dari model rasional komprehensif, dengan menunjukkan bahwa cara yang berbeda dalam
memahami masalah dan hal hal yang merusak rasionalitas. Perencana keliru, ia berpendapat,
dengan mengasumsikan bahwa pengetahuan profesional mereka dapat dengan mudah
ditransfer dari konteks ke konteks sebagai pembenaran universal untuk intervensi.
Donald Schön (1983), mengungkapkan manfaat dari "praktisi reflektif" yang penuh dengan
kekhasan konteksnya dan menghindari model yang dapat ditiru.
Ernest Alexander mengkritik teori humanis sebagai "pengabaian" dari paradigma rasional,
sehingga "tidak ada yang bisa ditawarkan kepada pengajar perencanaan kota guna mendidik
para profesional masa depan dengan konsep, model, atau keterampilan yang tepat" (1984);
kritik-kritik semacam itu telah meninggalkan teori perencanaan humanis yang belum digali
selama bertahun-tahun.
3.f. Perencanaan Transaktif

Masyarakat dan perencana sangat sering memiliki pemahaman masalah, perumusan, tujuan dan
ide-ide pemecahan praktis yang berbeda akibat menganganya jurang pengetahuan dan
komunikasi antara perencana dengan masyarakat.
Pendekatan yang bertentangan ini membutuhkan aktualisasi relasi baru, yang mampu
mengintegrasikan proses saling belajar (mutual learning) dari kedua belah pihak melalui proses
perencanaan yang disebut sebagai transactive planning (perencanaan transaktif).
Menurut friedmann dalam burke, bahwa perencanaan transaktif merupakan tanggapan terhadap
kesenjangan komunikasi antara perencana teknis dan para klien. untuk menutup kesenjangan
tersebut, suatu rangkaian transaksi pribadi yang terus menerus dan terutama transaksi secara
verbal antara perencana dan klien, sangat dibutuhkan.
Mriedmann juga menunjukkan bahwa tumbuhnya kaum teknokrat dari masyarakat kita menuntut
adanya metode pengambilan keputusan yang didasarkan pada proses belajar secara bersama-
sama.
Friedmann menjelaskan bahwa dibutuhkan suatu penggabungan sains dan teknologi dengan
pengetahuan pribadi pada tahap-tahap kritis intervensi sosial guna menghindari agar
pengambilan keputusan tidak berada di tangan pihak teknokrat secara eksklusif.
Perencanaan transaktif memungkinkan perencana belajar pengetahuan eksperimental dari klien,
sedangkan klien belajar pengetahuan teknis dari perencana. melalui proses ini pula, kedua
macam pengetahuan tersebut masing-masing akan berubah dengan sendirinya, dan kemudian
kedua macam pengetahuan ini akan melebur menjadi satu.
Pada saat pengetahuan kedua belah pihak melebur, maka persepsi dan imaji dari pihak satu
terhadap pihak yang lain akan berubah, dan selanjutnya perilaku keduanya pun akan berubah.
Ide awal dari perencana untuk “mengajari masyarakat” akan merubah menjadi “pelajar” (the
learners) akan bertransformasi menjadi aksi masyarakat (community action) artinya ”dialog
saling belajar” telah merubah perilaku kolektif masyarakat dan mendorong masyarakat secara
lebih aktif menolong diri mereka sendiri dan sekaligus membangun komunitas bersama seperti
yang diharapkan.
Masyarakat belajar (learning society) yang aktif melakukan aksi ini dengan sendirinya akan
terbangun kapasitasnya karena learning society secara inheren akan mengembangkan kapasitas
komunitas (community capacity building).
Secara empirik banyak studi menunjukkan bahwa masyarakat yang sudah memasuki fase
learning society akan lebih berpotensi untuk mewujudkan sebuah pembangunan yang lebih
berkelanjutan, karena mereka sudah lebih mandiri dalam berbagai hal mulai dari
mengidentifikasi, menilai dan menformulasikan masalah baik fisik, sosial, kultural maupun
ekonomi, membangun visi dan aspirasi, memprioritaskan intervensi, merencana, mengelola,
memonitor dan bahkan memilih teknologi yang tepat.
Masyarakat aktif (active society) semacam ini juga menghasilkan kerelaan masyarakat yang lebih
untuk memberi kontribusi kerja dan biaya pembangunan, operasi dan perawatan sedemikian
sehingga pendekatan mampu mengembalikan biaya investasi publik (cost - recovery) yang pada
gilirannya akan menjadi lebih berkemungkinan terjadinya pengulangan (self - replicability).
3.g. Perencanaan Komunikatif (Putra, 2020)

Perencanaan komunikatif adalah pendekatan perencanaan kota yang mengumpulkan para


pemangku kepentingan dan melibatkan mereka dalam suatu proses untuk membuat keputusan
bersama dengan cara yang menghormati posisi semua pihak yang terlibat. Perencanaan
komunikatif sering disebut sebagai perencanaan kolaboratif di antara praktisi perencanaan atau
model perencanaan kolaboratif.
Sejak tahun 1970-an, teori perencanaan komunikatif telah terbentuk berdasarkan beberapa
pemahaman kunci. Poin-poin utama ini mencakup pengertian bahwa komunikasi dan penalaran
datang dalam bentuk yang beragam, pengetahuan dibangun secara sosial, dan beragam minat
dan preferensi masyarakat dibentuk dari konteks sosial.
Teori perencanaan komunikatif mengakui bahwa tindakan, kata-kata, pengalaman hidup
perencana, dan gaya komunikasi perencana memiliki efek pada proses perencanaan yang
difasilitasi oleh perencana.
Teori perencanaan komunikatif mengemukakan gagasan bahwa perencanaan terjadi dalam
praktik sehari-hari dan hubungan sosial, dan pembangunan konsensus dapat digunakan untuk
mengatur pikiran orang dan bergerak melewati cara tradisional untuk mengetahui dan membuat
keputusan.
Pada 1990-an, sejumlah tokoh perencanaan mulai menulis tentang orientasi baru ke teori
perencanaan kota yang bergerak menjauh dari pendekatan rasional yang lazim ke perencanaan.
Judith Innes dikreditkan dengan menciptakan istilah "perencanaan komunikatif“.
Innes mencoba menjembatani kesenjangan antara teori perencanaan dan perencanaan dalam
praktik, dan menawarkan pembangunan konsensus sebagai alat bagi para perencana kota untuk
menciptakan lingkungan perencanaan yang kolaboratif dan menarik yang memungkinkan para
pemangku kepentingan yang berbeda untuk berpartisipasi.
Sekitar waktu yang sama dengan artikel ini diterbitkan, Patsy Healey juga menerbitkan sejumlah
teks teori perencanaan yang mengeksplorasi perencanaan komunikatif dan kolaboratif.
Mengacu pada teori Jürgen Habermas, tulisan Healey berfokus pada dampak tindakan
komunikatif (yang dapat dalam bentuk lisan atau tertulis) pada proses perencanaan.
Healey juga memperluas karya perencana kota John F. Forester dan ahli geografi ekonomi Bent
Flyvbjerg, yang keduanya meneliti komunikasi Habermasian dan struktur kekuasaan dalam
pekerjaan perencanaan mereka.
Dalam proses perencanaan komunikatif, praktisi perencanaan lebih banyak memainkan peran
fasilitatif. Mereka sering bertindak sebagai 'mediator pengetahuan' untuk membantu
membingkai ulang masalah untuk mempromosikan pemikiran yang lebih kreatif tentang
alternatif solusi. Selama proses ini, informasi harus dihasilkan secara kolektif oleh seluruh
pemangku kepentingan yang mungkin terpengaruh oleh hasil proses.
Secara khusus, semua pemangku kepentingan harus dilibatkan dalam menegosiasikan definisi
masalah dan solusinya bersama-sama. Dalam melakukannya, solusi untuk konflik di antara para
pemangku kepentingan dapat dibingkai ulang sebagai 'win-win', sebagai lawan dari pola pikir
'zero sum' yang terjadi ketika para pemangku kepentingan melakukan tawar-menawar
berdasarkan kepentingan tetap mereka sendiri.
Pembangunan konsensus adalah bagian penting dari proses pembuatan makna kolektif ini,
karena informasi dibahas dan divalidasi dalam kelompok pemangku kepentingan, sehingga
menghasilkan informasi yang lebih penting bagi kelompok.
Untuk membantu upaya membangun konsensus, kekuasaan harus didistribusikan di antara para
pemangku kepentingan sedemikian rupa sehingga mereka setara dalam proses tersebut.
Keterbukaan dan kepercayaan juga penting untuk membangun konsensus.
Tujuan, asumsi, dan posisi para pemangku kepentingan ini harus dipertimbangkan bersama
dengan ketidakpastian tentang kondisi masa depan, seperti pertumbuhan populasi, dan
keputusan yang terkait dengan keputusan lain. Penting untuk membuat para pemangku
kepentingan mengidentifikasi informasi ini untuk diri mereka sendiri, karena hal itu akan
membantu mengurangi bias yang ada dalam kedua analisis yang didorong oleh hanya satu
diskusi berbasis posisi di masa depan, serta membawa ke depan setiap konflik antara nilai-nilai
yang mendasari pemangku kepentingan.
Dengan mempertimbangkan berbagai informasi ini, kesamaan di antara berbagai pemangku
kepentingan dapat diidentifikasi, yang dapat membantu membangun konsensus. Namun, ini
tidak dapat menjamin konsensus, karena posisi mungkin sebenarnya terlalu berbeda. Untuk
menghadapi tantangan yang timbul dari posisi yang sangat berbeda dan meningkatnya
kompleksitas analisis yang diperlukan, model kolaborasi baru diperlukan yang dibangun di atas
berbagai prinsip manajemen konflik, termasuk terlibat sejak awal dan sering terlibat.
Referensi:
1. Abe Alexander, Perencanaan Daerah Partisipatif (Solo: Pondok Edukasi, 2002).
2. Putra ,Rama Permana. 2020. Teori Perencanaan Prosedural. pptPRODI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET (UNS)

Anda mungkin juga menyukai