Anda di halaman 1dari 69

Pagar Sepiring Nasi

Oleh Bahtiar HS Kuliah Ahad Shubuh, di masjid kampung saya, topiknya berat: Pola Konsumsi Muslim, menukil pendapat Dr. Yusuf Qaradhawi. Tetapi, yang ingin saya sampaikan kali ini bukan materi berat itu, melainkan sebuah humor, yang jadi selingan ustadz pengisi siraman rohani pagi itu. Bukan karena lucu, melainkan justru karena sangat bermakna. Dialog ini diambilnya dari lawakan Srimulat, entah kapan. Saya sendiri rasanya belum pernah mendengarnya. Ustadz itu kemudian bercerita -- dengan tokoh yang saya reka sendiri: Asmuni bertanya pada teman-temannya, Ada yang tahu nggak, apa yang paling aman bisa menjaga rumah kita dari gangguan orang? Sejenak kemudian, Tarsan yang tinggi besar menjawab, dengan gaya sangat meyakinkan, Yang paling aman adalah buat pagar yang sangat tinggi, biar orang lain tidak bisa memasuki atau melompat ke dalam halaman rumah kita. Asmuni tertawa. Ha ha ha! Syalahh!! Timbul menimpali jawab. Pelihara aja anjing herder yang paling gedhe dan galak! Ya, kan Asminu? Eh, Asmuni? Asmuni tertawa lagi. Ha ha ha! Sudah ngawur, salah pula!! Bisa ditebak, akhirnya tidak ada yang bisa memberi jawaban yang menurut Asmuni benar. Semua menyerah. Apa dong jawabnya? tanya mereka. Ha ha! Nyerah? tanya Asmuni meledek sambil mesam-mesem. Jawabnya gampang! Yang paling aman menjaga rumah kita adalah sepiring nasi! Sepiring nasi? ulang Timbul linglung. Ah, ojo guyon? Ini betul, Pak Timbul! Gimana mungkin sepiring nasi bisa menjadi penjaga paling aman rumah kita? Lho, coba saja. Berilah tetangga kita sepiring nasi, merata, dan yang sering-sering aja, kata Asmuni serius. Bahkan rumah kita tak dikasih pagar sekalipun tidak akan ada yang nyolong. Ya, nggak? Semua melongo, kemudian mengangguk-angguk. Yang kemudian akan saya ceritakan ini bukan lawakan, melainkan kenyataan yang saya alami dan lihat dengan mata kepala sendiri. Sebuah pengalaman nyata. Pertengahan Januari 2005 yang lalu, selepas tsunami melanda Aceh dan sekitarnya, saya berkesempatan mengunjungi Tuan Haji Ismail bin Haji Ahmad, pemilik perusahaan HPA Sdn. Bhn. di Negara Bagian Perlis, Malaysia. Kebetulan istri saya sedang belajar ilmu pengobatan herba di Kolej Perubatan Jawi (KPJ) di bawah pembinaan beliau selama satu setengah bulan. Ada dua hal yang sangat berkesan di hati saya ketika itu. Pertama, ketika pertama kali datang di areal KPJ, saya disambut Tuan Haji Ismail dan dipeluknya bagai saudara dekat yang datang dari perjalanan jauh -dan memang sangat jauh mengingat Perlis terletak di perbatasan Malaysia dengan Thailand Selatan. Dan yang kedua, dipersilakannya saya bersama istri dan anak saya yang masih menyusu untuk menginap di rumah beliau, di bilangan Jejawi, sekitar 10 km dari Kangar, ibukota Perlis. Anggap rumah sendiri, Pak Bahtiar, kata tuan rumah yang ramah ini. Rumah itu berbentuk sebagaimana rumah di Jawa. Terbuat dari pasangan batu bata dan semen, dengan atap dari seng atau genteng. Langit-langitnya ditutup asbes dan lantainya dipasangi keramik apa adanya. Di sebelahnya ada rumah panggung dari kayu, bentuk khas rumah penduduk di sana yang kiranya tetap dipertahankan. Dindingnya terbuat dari anyaman bambu (Jawa: gedheg) yang berlubang-lubang sehingga ketika tidur bisa mengintip bintang di langit. Di sebelahnya lagi sebuah surau sederhana, tempat keluarga Tuan Haji dan masyarakat sekitarnya salat berjamaah.

Meskipun ada pagar berbatasan dengan jalan, tetapi jalan masuk ke lingkungan rumah ini tidak berpintu. Juga antara rumah satu dengan tetangga lainnya yang berdekatan tidak ada pagar pembatas. Kami ditempatkan beliau di rumah batu-bata; di sebuah kamar, yang biasa dipakai putra-putri beliau jika sedang di rumah -pada saat itu, semua anaknya (kecuali yang baru lahir) sedang berada di pondok pesantren Tahfidhul quran. Di lingkungan ini berkumpul satu komunitas masyarakat -semacam dusun di Indonesia - yang terdiri atas beberapa puluh rumah. Dusun ini dikelilingi oleh hamparan sawah yang luas dan terbuka dengan latar belakang bukit yang menjulang di kejauhan. Sungguh pemandangan pedesaan yang modern tetapi asri. Mengapa saya bilang modern, karena fasilitas jalan yang tersedia sangat lebar, mulus, tertib, lengkap dengan rambu-rambu yang bagus dan terawat. Juga terdapat banyak pabrik beraneka rupa yang memproduksi berbagai jenis barang komoditi. Singkat kata, Jejawi bukan serupa pedesaan di Jawa, melainkan sungguh-sungguh sebuah kota yang ramai. Ada satu hal yang paling berkesan tinggal di rumah Tuan Haji Ismail ini. Rumah beliau yang kami tempati tersebut tidak pernah dikunci! Ya, tidak pernah dikunci! Di malam hari sekalipun. Bahkan mobil beliau -dua atau tiga, saya tak tahu pasti jumlahnya- hanya diparkir di samping rumah, tanpa pagar, dengan kunci yang hanya diletakkan di teras. Setiap orang dengan sangat mudah menemukannya jika mau. Jika kami masuk rumah, tinggal mencopot sepatu di luar pintu, membuka pintu sebagaimana adanya dan menutupnya sedemikian rupa. Itu saja. Di dalam rumah pun demikian juga. Kami dengan mudahnya bisa masuk ke ruang tamu beliau, perpustakaan, ruang makan, dapur. Selama lima hari tinggal di rumah itu kebetulan beliau juga sedang ke Aceh, membantu korban tsunami tak ada pertanyaan yang menarik untuk dicari jawabnya kecuali mengapa rumah ini tidak pernah dikunci. Apakah pemilik rumah ini tak takut kehilangan benda berharga di dalamnya ? Apakah Tuan Haji tidak pernah kemalingan ? Jawabnya ternyata tidak jauh dari lawakan di atas. Ya, sepiring nasi. Maksud saya, Tuan Haji terkenal sebagai orang yang dermawan, suka memberi pada tetangganya, pada orang lain yang membutuhkan. Ia sangat memperhatikan zakat dan infaqnya. Ia pun sangat sederhana. Bahwa baju yang dimilikinya hanya cukup dipakai bergantian selama seminggu alias tujuh hari barangkali sudah cukup menggambarkan betapa ia hidup bersahaja dan tidak bermewahan. Padahal beliau adalah pemilik perusahaan HPA yang produknya sudah merambah tidak hanya Malaysia, tetapi juga seluruh pelosok Indonesia, Thailand, bahkan Timur Tengah. Ia seorang muslim yang konglomerat kalau boleh saya bilang. Bagaimana jika harta di rumah Tuan Haji dibawa maling? Seseorang pernah bertanya demikian. Itu saya anggap Allah sedang membersihkan harta saya yang mungkin kotor, jawab herbalis itu. Namun, apakah Tuan Haji pernah kemalingan? Pernah juga, jawabnya kalem. Tetapi sekalinya pencuri itu mengambil barang-barang di rumah saya, tak berapa lama kemudian ianya kembali ke rumah dan mengembalikan barang-barang yang diambilnya semula. Yah, kalau begitu sih, tak usah dikunci juga tak apa-apa. Pencuri saja akan mengembalikan hasil curiannya dari rumah Tuan Haji. Jadi, apatah gunanya dikunci-kunci pula? Sudah lima hari saya di Malaysia dan menginap di rumah itu. Saya sudah waktunya pulang ke Indonesia. Istri dan beberapa teman peserta KPJ serta karyawan Tuan Haji Ismail mengajak saya berkeliling Perlis. Ke Gua Kelam, Wang Kelian di perbatasan Malaysia dengan Thailand, Masjid Kangar, dan sebagainya. Karena saya akan pergi seharian dan kebetulan saya membawa tas berisi laptop milik perusahaan tempat saya bekerja, maka secara refleks saya memasang kunci kamar dari dalam. Toh tinggal pencet. Dalam batin saya, takutnya kalau laptop mahal itu hilang dicuri orang. Ketika pintu saya tutup dari luar dan kemudian klik! terkunci, barulah saya menyadari bahwa saya betul-betul tidak tahu di mana anak kuncinya berada. Akhirnya saya lalui kunjungan ke beberapa tempat tersebut dengan hati yang tak jenak. Gara-gara suudzon pada rumah Tuan Haji yang tak berkunci, justru saya terlibat kesulitan karena telah mengunci kamar tanpa tahu di mana anak kuncinya berada. Mana tuan rumah juga 2

sedang tidak di tempat. Maka setelah kunjungan selesai, kami berkeliling mencari tukang kunci di Kangar. Untung masih ada satu toko yang buka -itupun setelah orangnya ditelpon ke rumah. Jadilah kami membongkar kunci kamar Tuan Haji hanya karena kelalaian kecil; hingga karenanya saya harus membayar RM 70 pada tukang kunci necis itu bawaannya mobil keren. Uang itu setara dengan Rp 175.000,- hanya untuk kerjaan ketrampilan tangan Mac Giver mengkutak-katik lubang kunci dengan sejengkal kawat. Mungkin untuk bisa seperti Tuan Haji Ismail yang tanpa beban membiarkan pintu rumahnya tak berkunci, saya harus membuang jauh-jauh prasangka jelek (su'udzon) pada orang lain, di samping tentu berbagi sepiring nasi. Wallahu alam.

Sandal Pak Ustadz


Ketika masih di bangku kelas 6 sekolah dasar, saya dan beberapa teman belajar mengaji di rumah seorang ustadz di Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Seperti kebanyakan pengajian anak-anak di kampung pada saat itu, seorang ustadz sudah dianggap sebagai Ayah sendiri, isterinya pun sudah seperti ibu bagi anak-anak yang belajar, bahkan rumah ustadz yang dipakai untuk tempat belajar mengaji dianggap rumah sendiri sehingga sudah lazim setiap sebelum mulai pengajian ada anak-anak yang bergantian tugas membersihkan rumah. Pernah suatu hari, saya tak mengerjakan kewajiban saya membersihkan lantai dan lebih memilih bermain di halaman depan seraya membiarkan anak lain yang membersihkan. Saat pengajian dimulai, pak Ustadz memanggil saya. Sebagai hukumannya, saya diminta berdiri di sudut ruangan. Saya kesal, marah, dan merasa harus berbuat sesuatu untuk membalasnya. Akhirnya, sepulang mengaji, saya sengaja menyembunyikan sandal jepit pak Ustadz. Saya tahu, sandal itu yang selalu dipakainya saat mengantarkan anak-anak pulang sampai ke pintu gerbang. Sandal itu juga yang sering dipakainya pagi hari untuk jalan-jalan sekitar kampung. Hingga kini saya tak pernah lagi tahu apakah pak Ustadz merasa kelimpungan malam itu, atau paginya, mencari-cari sandal jepitnya. Karena ketika keesokan sorenya saya kembali untuk mengaji, sepasang sandal jepit baru milik ustadz di samping pintu rumah. Hingga hari ini, saya tak pernah bisa menghilangkan ingatan saya akan peristiwa hampir 20 tahun silam. Seperti halnya saya tak pernah bisa lupa akan wajah teduh dan sabar pak Ustadz mendidik puluhan anak yang sebagian besar justeru bertipikal seperti saya, susah diatur dan nakal. Namun yang terus menerus membuat saya lelah adalah betapa saya senantiasa dihantui rasa bersalah karena menyembunyikan sandal jepit pak Ustadz. Sungguh, sampai hari ini saya masih mampu dengan jelas mengingat warna dan bentuk sandal jepitnya dan dimana saya menyembunyikannya. Itu cuma soal sandal jepit. Bagaimana dengan dosa dan kesalahan saya yang lain? Lelah, sungguh saya teramat lelah karena mata ini bagaikan sebuah rekaman yang terus menerus diputar ulang untuk mengingat-ingat semua kesalahan yang pernah saya lakukan. Kalau lah soal sandal jepit pak Ustadz saja sudah sedemikian membuat saya lelah karena terus menerus merasa dihantui perasaan bersalah dan juga ketakutan seandainya pak Ustadz tidak pernah ridha terhadap anak yang menyembunyikannya, bagaimana dengan ratusan, bahkan ribuan orang lain yang juga pernah bersinggungan dengan saya, pernah merasa sakit hati oleh lidah saya, pernah terhina oleh tatapan saya, pernah terpukul oleh sikap saya ? Tuhan, bantu hamba-Mu agar senantiasa kuat dan menjadikan semua rekaman peristiwa masa lalu itu sebagai pelajaran berharga. Agar diri yang lemah ini tak terus menerus berbuat salah, padahal mengingat yang sudah berlalu pun sungguh teramat melelahkan. Semoga saja pak Ustadz ridha dan memaafkan saya, meski mungkin ia tak pernah tahu persis anak yang menyembunyikan sandal jepitnya.

Wanita di mata Lelaki


Kamu tau kenapa saya suka wanita itu pakai jilbab? Jawabannya sederhana, karena mata saya susah diajak kompromi. Bisa dibayangkan bagaimana saya harus mengontrol mata saya ini mulai dari keluar pintu rumah sampai kembali masuk rumah lagi. Dan kamu tau? Di kampus tempat saya seharian disana, kemana arah mata memandang selalu saja membuat mata 3

saya terbelalak. Hanya dua arah yang bisa membuat saya tenang, mendongak ke atas langit atau menunduk ke bawah tanah. Melihat kedepan ada perempuan berlenggok dengan seutas "Tank Top", noleh ke kiri pemandangan "Pinggul terbuka", menghindar kekanan ada sajian "Celana ketat plus You Can See", balik ke belakang dihadang oleh "Dada menantang!" Astaghfirullahal 'Adhim, Astaghfirullohal 'Adhim... kemana , ke mana lagi mata ini harus memandang ? Kalau saya berbicara nafsu, ow jelas sekali saya suka. Kurang merangsang itu mah! Tapi sayang, saya tak ingin hidup ini dibaluti oleh nafsu. Saya juga butuh hidup dengan pemandangan yang membuat saya tenang. Saya ingin melihat wanita bukan sebagai objek pemuas mata. Tapi mereka adalah sosok yang anggun mempesona, kalau dipandang bikin sejuk di mata. Bukan paras yang membikin mata panas, membuat iman lepas ditarik oleh pikiran "forno" dan hatipun menjadi keras. Andai wanita itu mengerti apa yang sedang dipikirkan oleh laki-laki ketika melihat mereka berpakaian seksi, saya yakin mereka tak mau tampil seperti itu lagi. Kecuali bagi mereka yang memang berniat untuk menarik lelaki agar memakai aset berharga yang mereka punya. Istilah seksi kalau boleh saya definisikan berdasar kata dasarnya adalah penuh daya tarik seks. Kalau ada wanita yang dibilang seksi oleh para lelaki, janganlah berbangga hati dulu. Sebagai seorang manusia yang punya fitrah dihormati dan dihargai semestinya anda malu, karena penampilan seksi itu sudah membuat mata lelaki menelanjangi anda, membayangkan anda adalah objek syahwat dalam alam pikirannya. Berharap anda melakukan lebih seksi, lebih... dan lebih lagi. Dan anda tau apa kesimpulan yang ada dalam benak sang lelaki ? Yaitunya: anda bisa diajak untuk begini dan begitu alias gampangan ! Mau tidak mau, sengaja ataupun tidak, anda sudah membuat diri anda tidak dihargai dan dihormati oleh penampilan anda sendiri yang anda sajikan pada lelaki. Jika sesuatu yang buruk terjadi pada diri anda, baik dengan kata-kata yang nyeleneh, pelecehan seksual atau mungkin sampai pada perkosaan. Siapa yang semestinya disalahkan? Saya yakin anda menjawabnya lelaki bukan? Oh betapa tersiksanya menjadi seorang lelaki dijaman sekarang. Kalau boleh saya ibaratkan, tak ada pembeli kalau tidak ada yang jual. Simpel saja, orang pasti akan beli kalau ada yang nawarin. Apalagi barang bagus itu gratis, wah pasti semua orang akan berebut untuk menerima. Nah apa bedanya dengan anda menawarkan penampilan seksi anda pada khalaik ramai, saya yakin siapa yang melihat ingin mencicipinya. Begitulah seharian tadi saya harus menahan penyiksaan pada mata ini. Bukan pada hari ini saja, rata-rata setiap harinya. Saya ingin protes, tapi mau protes ke mana? Apakah saya harus menikmatinya? tapi saya sungguh takut dengan Dzat yang memberi mata ini. Bagaimana nanti saya mempertanggungjawabkan nanti? Sungguh saya miris dengan iman saya. Allah Taala telah berfirman: "Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya", yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Katakanlah kepada wanita beriman "Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya." (QS. An-Nuur : 30-31 ). Jadi tak salah bukan kalau saya sering berdiam di ruangan kecil ini, duduk di depan komputer menyerap sekian juta elektron yang terpancar dari monitor, saya hanya ingin menahan pandangan mata ini. Biarlah mata saya ini rusak oleh radiasi monitor, daripada saya tak bisa pertanggung jawabkan nantinya. Jadi tak salah juga bukan ? kalau saya paling malas diajak ke mall, kafe, dan semacam tempat yang selalu menyajikan keseksian. Saya yakin, banyak laki-laki yang punya dilema seperti saya ini. Mungkin ada yang menikmati, tetapi sebagian besar ada yang takut dan bingung harus berbuat apa. Bagi anda para wanita apakah akan selalu bahkan semakin menyiksa kami sampai kami tak mampu lagi memikirkan mana yang baik dan mana yang buruk. Kemudian terpaksa mengambil kesimpulan menikmati pemadangan yang anda tayangkan ? So, berjilbablah ... karena itu sungguh nyaman, tentram, anggun, cantik, mempersona dan tentunya sejuk di hati dan menyejukkan mata.

Tetaplah Engkau Seperti Yang Dulu, Pak !


Oleh Azimah Rahayu Laki-laki itu. Tak satu pun pedagang dan peminta sumbangan yang melewatkan mejanya. Karena jika mereka menghampirinya, pasti akan ada sesuatu yang mereka terima. Tak pernah mereka pergi dengan tangan kosong. Seorang gadis kecil berjilbab, kulihat sering berkunjung dan keluar dari ruangannya menggenggam amplop. Laki-laki itu. Adalah biasa baginya makan rujak dari bungkus yang sama dengan anak buahnya. Tak pernah menjadi masalah baginya bertanya,Ada yang bawa kue/oleh-oleh, ya? dan kemudian mencomotnya. Sebagaimana tak masalah pula ketika para staf meminta dibelikan rujak atau makanan. Lembaran rupiah pun dengan ringan melayang. Laki-laki itu. Ruang kerjanya terbuka untuk siapa saja. Tak ada istilah ruangannya adalah tempat istimewa yang tak boleh dijamah siapa pun. Tak ada kesan kebirokratisan sehingga anak buah dan rekan kerja menjadi sungkan. Hingga semua fasilitas di sana dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin oleh anak buah: komputer, telepon, internet, bahkan bangku tamu pun dapat dijadikan tempat rapat, atau sekedar istirahat. Laki-laki itu. Berbincang dan bercanda adalah salah satu kebiasaannya. Bahkan saling ledek dengan staf pun sesuatu yang biasa. Baginya tak ada bos dan bawahan. Karena semua adalah tim kerja, jabatan hanyalah sarana untuk mencapai tujuan lembaga. Maka dirinya menjadi dekat dengan siapa saja -dari pejabat hingga office boy- tanpa harus kehilangan wibawa. Laki-laki itu. Adalah kebetulan aku sedikit mengenal keluarganya. Dan karenanya aku tahu bagaimana rumahnya menjadi tempat berlabuh bagi banyak orang. Dan karenanya aku tahu, bahwa ia adalah seorang yang ringan tangan, ringan hati dan dermawan terhadap sesama. Pertama kali aku mengunjungi tempat tinggalnya, aku sempat terpana: rumah itu terlalu sederhana untuk seorang ia. Namun toh, rumah itu telah pernah menjadi tempat singgah begitu banyak jiwa. Laki-laki itu. Berbincang dari hati ke hati dengannya bukan sekali dua kali saja kulakukan. Sejak pertama kali aku mengenalnya sekitar 6 tahun yang lalu, saat ia menjadi pejabat level paling bawah di kantorku, ia sudah menjadi seseorang yang cukup dekat denganku, termasuk dengan staf-staf lain tentunya. Kedekatan dan keakraban itu bahkan hingga taraf konsultasi kehidupan pribadi. Bahkan pernah ada saat-saat ia membuatku menangis dengan menanyakan hal-hal yang terkait dengan kehidupan pribadi. Dan sejak itu, ia terus menjadi salah satu bagian hidupku di dunia kantor. Laki-laki itu. Postur tubuhnya ideal. Gerak geriknya gesit. Usianya belum lagi 40 tahun meski rambutnya nyaris telah memutih semua, (mungkin) karena banyak berpikir keras. Dalam 6 tahun itu, karirnya terus menanjak, sedang banyak orang lainnya masih tetap sama seperti sebelumnya, termasuk diriku. Dalam enam tahun itu, ia terus berkembang, dipercaya oleh banyak pihak dan kemudian menjadi seseorang yang terpercaya. Nduk! Piye kabarmu sak wise kawin? Laki-laki itu dengan to the point menyampaikan pertanyaan itu begitu aku duduk di depan mejanya. Beberapa saat sebelumnya, ia melambaikan tangan memanggilku ketika aku lewat, meski aku bukan lagi anak buahnya. Panjang lebar, aku becerita tentang kondisi terakhirku setelah sebulan menikah. Dan dari lisannya kemudian mengalir nasehat-nasehat panjang tentang pernak-pernik pernikahan yang kudengar baik-baik meski sekali-kali kami timpali dengan canda. Itulah saat terakhir aku berbincang cukup banyak dengannya. Kemarin, ia dilantik menjadi kepala di biro tempatku bekerja, hanya setingkat lebih rendah dari orang nomor satu di instansi kami. Syukur dan selamat tak lupa terlantun dari bibir ini. Namun dalam benak, terlintas tanya: Masihkah nanti ia akan melambaikan tangan menyuruhku masuk ke ruangannya dan berbincang panjang lebar tentang pekerjaan hingga permasalahan pribadi? Masihkah ia akan dengan santai makan kue bersama kami? Masihkah ia bercanda ceplas-ceplos bersama para anak buahnya? Dan tulisan ini menjadi perantara pesan itu: tetaplah Engkau seperti yang dulu, Pak! Aku masih ingin melihatmu menerima gadis kecil itu. Aku masih ingin makan rujak bersamamu dari bungkus yang sama. Aku masih ingin engkau memanggilku dan bertanya: Piye kabarmu,

Nduk? Aku masih ingin mendengar cerita tentang jagoan kecilmu yang makin pintar. Aku masih ingin....Engkau seperti yang dulu! Kami membutuhkan pemimpinmu, pak.

Sebuah parade ukhuwwah


Sebuah kisah nyata seperti yang di utarakan oleh Drs. Umar Ali Yahya dan Syarifuddin. Ukhuwah intinya 'MEMBERI'. Memberi tanpa mengharapkan kata terima kasih dan tidak mengharap balasan, artinya mengharap balasan hanya dari Allah SWT. Ukhuwah dan keimanan seperti dua sisi mata uang yang tak terpisahkan, maka dari itu jika salah satu tidak ada maka yang lainnya pun sirna. Tingkat ukhuwah terendah ialah bersih hati dan berbaik sangka pada saudaranya sedangkan tingkat ukhuwah tertinggi ialah mendahulukan saudaranya daripada dirinya [Drs. Umar Ali Yahya]. Alkisah, disebuah Madrasah Tsanawiyah di daerah Bangka Jakarta Selatan, berkumpul sekelompok anak-anak sekolah yang sedang istirahat mengerumuni abang penjual rujak, rupanya siang itu anak-anak sedang membeli rujak. Diantara sekumpulan anak-anak tersebut terdapatlah seorang anak bernama Ubaidurrahman (Ubay) yang saat itu ingin sekali membeli rujak namun uangnya ketinggalan di kelas. Keinginan Ubay itu ditangkap oleh temannya Hamad tanpa terlewat sedikitpun. Saat itu Hamad pun sebetulnya ingin membeli rujak juga, namun uangnya tinggal seribu rupiah saja, dan itupun untuk ongkos pulang. 'Pake uangku saja dulu Ubay,' seru Hamad pada Ubay yang terlihat sangat ingin sekali membeli rujak. 'Terima kasih, nanti aku ganti uangnya di kelas ya,' jawab Ubay riang. Begitulah, Hamad meminjamkan uangnya yang hanya tinggal seribu itu pada Ubay untuk membeli rujak dengan harapan nanti akan dibayar di kelas. Ketika sampai di kelas ternyata Ubay tidak membayar hutangnya karena ternyata uangnya sudah terpakai untuk yang lain. 'Masya Allah, Hamad aku lupa, uangnya tadi sudah dipakai, besok saja ya...' Hamad menatap Ubay sejenak dan kemudian mengangguk dengan senyum khasnya. Dalam keadaan tidak ada uang sepersen pun, bahkan untuk ongkos pulang sekalipun, Hamad masih tersenyum dan menjalani sisa harinya dengan kegembiraan. Bel sekolah telah berbunyi, menandakan waktunya untuk pulang. Tidak terkecuali dengan Hamad, ia pun pulang meskipun tidak seperti hari-hari sebelumnya. Kali ini dia terlihat berjalan kaki, ya.. berjalan kaki dari sekolahnya di Bangka-JakSel sampai rumahnya di Jatibening-Bekasi, yang biasa memerlukan waktu 1 jam jika ditempuh dengan kendaraan.*** 'Hamad kok belum pulang ya Bu? Aku mulai khawatir, coba telepon teman-temannya barangkali memang sedang ada acara di sekolahnya,' pinta Ust. Zufar pada istrinya.Ust. Zufar merupakan ayah dari Hamad. Beliau ialah sosok yang ramah, nama lengkapnya ialah Ust. Zufar Bawazier, Lc, dosen LIPIA dan juga pengurus sebuah Partai Islam di Indonesia. Saya sempat mengenalnya ketika beliau mengisi sebuah seminar di Bandung dimana saya terlibat sebagai panitia. Saat itu, beliau kami sediakan tiket pulang dengan Kereta Api untuk jadwal kepergian jam 13.00. Betapa kagetnya saya ketika teman saya memberitahukan bahwa Ust. Zufar sedang berdiri menunggu angkutan umum yang saya yakin beliau tidak hafal rutenya, untuk menuju stasiun. Lebih parah lagi waktu telah menunjukan pukul 12.50, yang artinya hanya 10 menit lagi kereta akan segera pergi. Saya segera mengambil motor untuk mengantarnya menuju stasiun, saya tidak habis fikir mengapa Ust. Zufar tidak memberi tahu panitia kalau keadaannya seperti ini, atau memang panitianya yang tidak memperhatikan, pikirku. Aku susuri jalanan kota Bandung dengan kecepatan tinggi, bahkan sempat melanggar beberapa rambu lalu lintas, aku tak peduli, saat itu fikiranku hanya mengantar Ust. Zufar agar tidak ketinggalan kereta menuju Jakarta. Dan memang akhirnya Ust. Zufar bisa mendapatkan keretanya, walaupun harus dengan berlari setelah sebelumnya masih sempat menyalamiku sambil tersenyum dan mengucapkan terima kasih padaku. Itulah kenangan terakhir dan satu-satunya pertemuanku dengan Ust. Zufar. 'Kriiing...' telepon di rumah Pak Umar berdering. Telepon itu ternyata dari Ust. Zufar yang kemudian memberitahukan kepada Pak Umar selaku kepala sekolah madrasah, bahwa anaknya saat itu pulang malam sekali. Lalu Ust. Zufar pun menjelaskan penyebab anaknya pulang terlambat.

Esok harinya, Pak Umar memanggil Hamad dan Ubay ke Kantor. Tidak ditemukan wajah kesal atau kecut dari Hamad, suatu pancaran ketenangan jiwa dari seorang anak yang masih bersih hatinya. Lalu Pak Umar berkata pada Ubay, 'Lihatlah, sepatu temanmu rusak karena kamu menyia-nyiakan kebaikannya...' Pak Umar terkenal akan kebijaksanaannya, beliau digelari 'Pembina Sejati' oleh teman saya di Bandung yang pernah merasakan sentuhannya pula. Saya beruntung pernah menjadi binaanya selama setahun. Waktu yang cukup singkat untuk sebuah pembinaan yang bertajuk Ta'lim Rutin Kader Activis. Namun waktu yang singkat itu telah cukup baginya untuk meniup kuncup dalam diri ini sehingga mekar menjadi bunga. Sepatu tua Hamad terlihat rusak, yang memang sebelumnya sudah lusuh. Ubay menangkap semua itu tanpa terlewat sedikitpun. 'Maafkan aku ya Hamad, ini pakai saja sepatuku, aku punya dua sepatu kok di rumah.' Begitulah kisah mereka berdua, parade ukhuwah mereka begitu mempesona setiap orang yang melihatnya.

Sepatu Baru untuk si Pemetik Daun Singkong


Usianya baru 12 tahun, duduk di bangku kelas 6 Madrasah Ibtidaiyah setingkat SD-, namun posturnya yang tinggi membuat orang mengira ia siswa kelas 3 SMP. Januar Rizky, atau biasa dipanggil Kiki, tak kenal lelah mengumpulkan ikat demi ikat daun singkong yang berhasil dikumpulkannya setiap pulang sekolah. Kulit hitam dan merah di rambutnya adalah bukti kerasnya hidup yang dijalani bocah dari keluarga tak mampu ini. Namun, semua dilakukannya demi satu cita-cita, Saya ingin membahagiakan ibu, ujarnya malu-malu. Setiap hari sepulang sekolah, Kiki dijemput bosnya dengan sepeda motor dan diajak ke ladang singkong. Bersama belasan anak sebayanya yang lain, Kiki berpacu dengan waktu memetik pucuk daun singkong yang oleh bosnya nanti dijual ke pasar. Jika Anda biasa makan lalap daun singkong di rumah makan Padang, boleh jadi itu adalah hasil petikan tangan Kiki. Untuk satu ikat kecil daun singkong yang dipetiknya, Kiki mendapat upah Rp 20,-, jumlah yang teramat kecil untuk simbah-peluhnya. Namun dasar Kiki adalah pekerja keras yang tak kenal lelah, sejak siang hingga senja tak kurang 150 ikat berhasil dikumpulkannya. Kiki pun tersenyum puas menghitung uang hasil jerih payahnya. Menjelang maghrib, ia segera pulang. 1.500 buat ibu, buat masak. Sisanya saya simpan buat bayar sekolah dan uang jajan Rini, ujar Kiki yang teramat sayang terhadap Rini, adiknya yang baru kelas 3 SD. Tak heran, setiap bulannya, orangtuanya tak perlu repot mengeluarkan uang bayaran sekolah karena Kiki sudah bisa membayar sendiri uang sekolahnya. Untungnya, ada BOS (Bantuan Operasional Sekolah) sehingga biaya sekolah lebih murah. Bahkan untuk membeli buku pelajaran pun, Kiki tak mau meminta. Kiki sadar, orangtuanya bukan orang yang mampu, sehingga ia tak mau merepotkan. Sudah satu pekan ini Kiki tak mau bersekolah. Pasalnya, ia malu setiap hari harus ditegur guru dan kepala sekolahnya lantaran ia tak bersepatu. Setiap hari, Kiki hanya bersandal jepit ke sekolahnya. Selama ini, teguran dari gurunya ia simpan dalam hati. Tak ingin ia mengadukan perihal tersebut kepada Ayahnya. Ayah Kiki, hanya seorang pembuat miniatur menara dari bambu. Penghasilannya tak tentu, tergantung pesanan. Pesanan pun baru bisa dipenuhi sang Ayah jika ada modal untuk membeli bahan baku. Sementara ibunya, hanya seorang ibu rumah tangga yang menderita stroke, butuh biaya besar untuk mengobati penyakitnya. Alhasil, Kiki pun tahu diri untuk menuntut dibelikan sepatu. Tak hanya Kiki, Rini sang adik pun sekolah tanpa sepatu. Bukan cuma soal sepatu, baju seragam Kiki pun bukan hasil beli di toko, melainkan pemberian dari teman-temannya atau kakak kelasnya yang sudah lulus. Wajarlah bila seragam Kiki terlihat lebih jelek dari siswa lainnya, maklum bukan barang baru. Pernah satu hari Kiki harus mendobeli celana seragamnya dengan celana mainnya, karena celana seragam pemberian dari temannya lebih besar dari ukuran tubuhnya. Usahanya untuk tetap berseragam malah mendapat teguran dari seorang guru, karena celana mainnya yang lebih panjang itu menyembul dari celana hijau seragamnya. Lucu ? Tentu tidak, ini menyedihkan buat Kiki. Menjelang ujian bulan April 2006 nanti, Kiki semakin resah. Kepala sekolah sudah mengancam tak mengizinkan Kiki mengikuti ujian jika Kiki tetap bersandal ke dalam kelas. Kiki pun mengeluhkan hal ini kepada Ayahnya. Namun apa daya, sang Ayah pun hanya bisa pasrah dan mengucap janji, Insya Allah. 7

Pucuk daun singkong yang setiap hari dipetiknya semakin lama semakin habis. Ladang yang biasa menjadi tempatnya mencucurkan peluh itu, hanya menyisakan batang-batang singkong tak berdaun. Kiki dan teman-temannya pun diboyong pindah ke ladang lainnya yang lebih jauh. Hingga tak jarang, Kiki harus pulang selepas Isya. Bila tak ada lagi ladang singkong yang harus dipetik pucuknya, Kiki pun beralih profesi sebagai pemanjat pohon pepaya. Rupanya, bisnis si bos bukan hanya menjual daun singkong, tetapi juga menjual pepaya di pasar. Kiki dan seorang temannya lah yang diandalkan sebagai pemanjat. Meski jarang, tetapi hasil memetik buah pepaya ini lebih besar, yakni Rp 5.000,- perhari. Kiki harus membayar mahal untuk kegiatannya sehari-hari itu, baik memetik pucuk daun singkong maupun pepaya. Bukan hanya warna kulitnya yang makin legam tersengat matahari, tapi prestasi di sekolahnya pun menurun. Dulu sebelum ia menjalani semua ini, ia masih mampu bersaing dengan teman-temannya dan meraih peringkat dua atau tiga di kelas. Kini, peringkatnya jauh menurun. Anak sekecil itu terlalu lelah membanting tulang untuk tiga ribu rupiah perhari. Esok, semoga Kiki mau bersekolah lagi. Ada sedikit rezeki untuk membeli sepatu baru buat Kiki. Senyum ceria si pemetik pucuk daun itulah yang dinanti di hari depan, bukan karena ia berhasil mengumpulkan seribu ikat daun singkong perhari. Melainkan senyum atas prestasi tertinggi yang diraihnya di sekolah.***

Silaturahmi itu....
Oleh Azimah Rahayu Hujan di bulan Januari benar-benar telah menjadi hujan sehari-hari. Seperti hari itu, sebuah ahad dengan langit yang pekat. Mendung menggantung di setiap ujung langit, menghias segala lintas cakrawala. Sepanjang waktu ia menumpahkan bebannya. Beberapa saat merintik, kemudian menderas dan kadang mengguyur. Namun laki-laki itu tetap tak jeri. Tenang dan mantap dia mengendarai motornya, dengan kecepatan rata-rata, meski sesekali digebernya juga. Sesosok perempuan yang menggelendot di punggungnya tak sekalipun membuatnya mengeluh pegal dan sejenisnya. Istrinya. Ini adalah perjalanan berikutnya, setelah sebelumnya mereka menyusuri jalanan Jakarta nyaris 1,5 jam lamanya. Ini adalah perjalanan ke tujuan selanjutnya, setelah sebelumnya bercengkerama selama hampir dua jam bersama sebuah keluarga salah satu kerabatnya. Hujan di bulan Januari sungguh memang berarti hujan sehari-hari. Seperti siang itu, sebuah siang dengan mendung gelap. Genangan air meriak di sepanjang jalan. Angin basah berkesiur, menebarkan hawa dingin menggigilkan. Suasana yang membuat nyaris semua orang enggan meninggalkan rumah. Namun laki-laki itu tak merasa perlu untuk membatalkan perjalanan selanjutnya. Sejak matahari belum lagi sepenggalah, mereka telah meninggalkan rumah. Di rumah keluarga pertama, mereka telah sekalian beristirahat sejenak sambil mengeringkan badan serta shalat dzuhur dan makan siang. Maka kini tiba saatnya mereka menuju tempat berikutnya, 45 menit lamanya naik motor dengan kecepatan rata-rata. Perempuan di boncengan motor itu termenung. Betapa adil Allah yang mempertemukan dirinya dengan laki-laki ini. Di masa lajangnya, ia amat jarang bertandang ke kaum kerabatnya. Bukan, bukan karena ia tak punya kerabat di Jakarta, namun aktifitasnya yang sangat padat telah membuatnya nyaris tak punya waktu untuk bersilaturahmi, bahkan untuk dirinya sendiri. Kapan terakhir kali kau berkunjung ke rumah bude-mu (sepupu ibunya) di Tebet? pernah suaminya bertanya. Hmm, mungkin dua atau tiga tahun lalu, jawab perempuan itu ragu. Kalau begitu, bude-mu mendapat jatah giliran silaturahmi pertama, oke? saran sang suami. Air kembali tumpah saat mereka tiba di sebuah komplek perumahan yang cukup elit. Sepasang anak kembar berceloteh riang menyambut mereka, bahkan kemudian menantang sang suami bermain catur. Seluruh keluarga berkumpul di ruang tamu, bercengkerama dan bercanda gembira. Kadang-kadang, cengkerama itu diselingi diskusi seru tentang pekerjaan dan kondisi Indonesia kontemporer. Selesai shalat asar, mereka kembali memacu kendaraan ke tujuan ketiga. Lagi-lagi, rintik hujan kembali menghalangi pandangan mata. Kali ini, tak sampai tiga puluh menit mereka telah sampai di tujuan. Sayang, sang tuan rumah sedang jalan-jalan ke mall. Kita tunggu saja, paling sebentar lagi pulang! demikian simpul si laki-laki. Sang istri tak terkejut. Ini bukan yang pertama kali. Beberapa pekan sebelumnya mereka pernah mengunjungi seorang kerabat di Pasar Rebo yang jauhnya lebih dari dua puluh kilo meter dari rumah mereka. 8

Sayang sekali, rumah yang mereka kunjungi tak berpenghuni. Mereka kembali pulang dalam gerimis, setelah menitip pesan ke tetangga. Pekan depannya, laki-laki itu kembali mengajak sang istri untuk mengunjungi keluarga itu. Kemarin kan kita belum ketemu mereka? demikian alasannya. Meski merasa aneh, sang istri hanya mengangguk saja. Ini adalah pelajaran untuk sebuah ketulusan, demikian batinnya. Air bagai dicurahkan dari langit ketika keluarga yang dikunjungi tiba di rumah. Sesosok balita laki-laki menghambur ke pelukan istri pria itu dan berceloteh riang, Tante, tadi aku ke Ramayana! Hingga setelah shalat magrib dan hujan tak lagi mengguyur, mereka kembali menyusuri jalanan, menempuh jarak nyaris 40 km. Pulang. Namun belum jauh mereka meninggalkan rumah yang dikunjungi, laki-laki itu membelokkan motornya ke jalan yang berlawanan arah dengan jalan menuju rumah. Kita mampir sebentar ke kost-an temenku. Sudah lama dia tak berkabar dan belum juga memenuhi janjinya berkunjung ke rumah kita, tanpa ditanya, dia menjelaskan kepada istrinya. Malam telah cukup jauh beranjak saat mereka tiba kembali di istana mungil mereka. Masih dengan kostum lengkap, sang istri langsung merebahkan diri di pembaringan. Aku meluruskan badan sebentar, ya. Punggungku pegal sekali dan pantatku panas, seringainya lucu. Dia bertanya-tanya jika ia yang hanya membonceng di belakang saja secapek itu, seperti apa lelah suaminya yang menyetir di depan dengan beban dirinya di punggung, plus terpaan angin dan hujan dari depan? Tapi laki-laki itu hanya tersenyum, mengusap keningnya dan berkata,Pekan depan kita ke rumah Bulik Nur di Tambun, yuk, Dek? Dalam deraan penat dan dengan mata tertutup, perempuan itu mengangguk mantap. Di benaknya terbayang sambutan hangat kaum kerabat dan sahabat-sahabat suaminya saat ia dan suaminya mengunjungi mereka. Di telinganya terngiang kembali komentar beberapa kerabat lain,Suamimu itu dari dulu terkenal kenceng silaturahminya, makanya dia disayang oleh saudara-saudaranya. Dia membuka mata saat sang suami menyentuh lengannya. Kita sudah seminggu lebih nggak main ke rumah Mbak Nik, ya Dek? tanya suaminya retoris. Besok malam, insya' Allah, jawabnya pendek. Padatnya pekerjaan telah melewatkan jadwal mingguan mereka berkunjung ke salah satu kerabat yang rumahnya hanya terpisah jarak dua gang dari rumah mereka itu. Perempuan itu kembali mengatupkan kelopak matanya. Di benaknya kini terlintas kata bijak para ulama, silaturahmi itu memanjangkan umur dan melapangkan rizki. Di benaknya kini terlintas sabda rasul agar setiap anak menjaga silaturahmi dengan kerabat dan sahabat orang tuanya.

Belajar empati
Sore itu disebuah subway di kota New York, suasana cukup sepi.Kereta api bawah tanah itu cukup padat oleh orang-orang yang baru pulang kerja. Tiba-tiba, suara hening terganggu oleh ulah dua orang bocah kecil berumur sekitar 3 dan 5 tahun yang berlarian kesana kemari. Mereka berdua mulai mengganggu penumpang lain. Yang kecil mulai menarik-narik koran yang sedang dibaca oleh seorang penumpang, kadang merebut pena ataupun buku penumpang yang lain. Si kakak sengaja berlari dan menabrak kaki beberapa penumpang yang berdiri menggantung karena penuhnya gerbong itu. Beberapa penumpang mulai terganggu oleh ulah kedua bocah nakal itu, dan beberapa orang mulai menegur bapak dari kedua anak tersebut. "Pak, tolong dong anaknya dijaga!" pinta salah seorang penumpang. Bapak kedua anak itu memanggil dan menenangkannya. Suasana kembali hening, dan kedua anak itu duduk diam. Tak lama kemudian, keduanya mulai bertingkah seperti semula, bahkan semakin nakal. Apabila sekali diusilin masih diam saja, kedua anak itu makin berani. Bahkan ada yang korannya sedang dibaca, langsung saja ditarik dan dibawa lari. Bila si-empunya koran tidak bereaksi, koran itu mulai dirobek-robek dan diinjak-injak. Beberapa penumpang mulai menegur sang ayah lagi dengan nada mulai kesal. Mereka benar-benar merasa terganggu, apalagi suasana pulang kerja, mereka masih sangat lelah. Sang ayah memanggil kembali kedua anaknya, dan keduanya mulai diam lagi. Tapi hal itu tidak berlangsung lama. Si anak mulai membuat ulah yang semakin membuat para penumpang di gerbong bawah tanah itu mulai marah. Beberapa penumpang mulai memarahi sang ayah dan membentak. 9

"Pak, bisa mendidik anak tidak sich!" kata seorang penumpang dengan geram. "Dari tadi anaknya mengganggu semua orang disini, tapi bapak koq diam saja". Sang ayah bangkit dari duduknya, menghampiri kedua anaknya yang masih mungil, menenangkannya,dan dengan sangat sopan berdiri dan berkata kepada para penumpang yang ada di gerbong itu. "Bapak-bapak dan ibu-ibu semua, mohon maaf atas kelakuan kedua anak saya ini. Tidak biasanya mereka berdua bertingkah nakal seperti saat ini. Tadi pagi, kedua anak saya ini baru saja di tinggal oleh ibu mereka yang sangat mereka cintai. Ibu kedua anak saya ini meninggal karena penyakit LEUKEMIA yang dideritanya". Bapak itu diam sejenak, dan sambil mengelus kepala kedua anaknya meneruskan ceritanya. "Mungkin karena kejadian yang menimpa ibu mereka berdua itu begitu mendadak, membuat kedua anak saya ini belum bisa menerima kenyataan dan agak sedikit shock karenanya. Sekali lagi saya mohon maaf". Seluruh orang didalam gerbong kereta api bawah tanah itu seketika terdiam. Mereka dengan tiba-tiba berubah total, dari memandang dengan perasaan kesal karena kenakalannya, berubah menjadi perasaan iba dan sayang. Kedua anak itu masih tetap nakal, mengganggu seluruh penumpang yang ditemuinya. Tetapi, orang yang diganggu malah kelihatan tambah menampakkan kasih sayangnya. Ada yang memberinya coklat, bahkan ada yang menemaninya bermain. Perhatikan kondisi subway itu !!! Penumpangnya masih sama !!! Kedua anak itu masih nakal-nakal !!! tetapi terjadi perubahan yang sangat mencolok. Suasana didalam subway itu berubah 180 derajat. Kenapa? Karena sebuah informasi. Begitu pentingnya sebuah INFORMASI. KECIL... bisa merubah semua 'ATMOSPHERE' lingkungan kita. Seringkali kita salah paham dengan teman/sahabat kita, karena kita tidak mengetahui sebuah INFORMASI KECIL tsb... dan hal tersebut akan membuat 'ATMOSPHERE' yang buruk dengan teman kita, mungkin kita pernah berprasangka buruk pada teman kita...karena kita tidak mengetahui INFORMASI YANG SEBENARNYA!! That's is the POINT !!!

Surat untuk ayah


Oleh : Anisa Kuffa Pedih, seolah ada pisau yang menyayat di hati. Aku merasakannya ketika untuk kedua kalinya aku membaca tulisan salah seorang teman. Kali ini tulisan bercerita tentang kisah nyata seorang anak jalanan yang sering mengamen di lampu merah kawasan Pasar Minggu. Banyak hal yang kudapat dari tulisan ini. Sedemikian banyak sehingga sulit diungkap satu demi satu. Bukan hanya pelajaran tentang kehidupan anak jalanan di Jakarta. Melainkan lebih pada kerinduannya pada sang ayah. Ya, pada seorang lelaki yang telah menitipkan benih kepada ibunya sehingga menyebabkan dia ada. Dalam tulisan tersebut, si anak jalanan -sebut saja namanya Ari- merindukan kehadiran ayahnya yang belum pernah dijumpai sejak dia lahir sampai berumur 6 tahun. Saking besar keinginannya untuk menemukan ayah tersebut, Ari meninggalkan ibunya seorang diri dan pergi untuk mencari ayahnya. Kenyataan ini semakin membuat hatiku pedih, menorehkan luka yang teramat dalam sehingga menimbulkan genangan kecil air yang kemudian mengalir perlahan di kedua pipiku. Kubayangkan Ari, seorang anak berumur 6 tahun, berjalan sendirian di jalan, tanpa orang tua, tanpa teman. Hanya karena kerinduannya untuk menemukan sang ayah. Sampai suatu ketika Ari menuliskan surat kepada ayahnya, ketika temanku memberi pelatihan menulis kepada anak-anak jalanan tersebut. "Ayah, di manakah kau berada saat ini, tidakkah ayah merindukan ari. Ayah, Ari kangen, ingin bertemu ayah. Ari ingin minta mainan mobil-mobilan dan bisa sekolah seperti teman-teman. Ari mau jalan-jalan dengan ayah ke mall dan makan di restoran kentucky.." Duhai, betapa pedihnya untaian kalimat yang dituliskan oleh Ari yang merupakan cerminan kerinduannya pada kehadiran sang ayah. Sampai dia melukiskan dalam bentuk surat yang ditulis tidak hanya sekali, melainkan berulang kali. Semuanya bertema sama, tentang kerinduannya pada seorang sosok bernama ayah. Refleks aku mengambil foto di dompetku. Sebuah foto yang tidak tergantikan kedudukannya sejak Oktober 2003 yang lalu. Sebuah foto bertiga, aku, ibu dan bapak. Sambil 10

memandangi foto tersebut aku merasakan betapa beruntungnya aku dibanding dengan Ari. Aku memiliki seorang ayah dan ibu yang selalu ada untukku. Walaupun rambut putih sudah mulai menemani rambut hitam yang mereka punya, namun mereka masih selalu dan selalu bisa nyambung ketika berbincang denganku. Walaupun sudah 28 tahun umurku, namun mereka masih selalu mengkhawatirkan aku seperti halnya ketika aku kecil. Bahkan seringkali, ketika aku pulang ke rumah. Ibuku akan menemani aku di kamar sampai aku tertidur, dan barulah beliau akan beranjak keluar dari kamarku setelah terlebih dahulu membenarkan letak selimutku dan mematikan lampu kamarku. Dan kerinduanku pada kedua orang tuaku menyeruak hadir tanpa kusadari ketika aku membaca kisah perjalanan seorang Ari. Jika saja Jakarta-Kudus merupakan jarak yang bisa ditempuh dalam hitungan menit, tentu aku sudah bergegas untuk pulang untuk menemui mereka. Aku mengobati kerinduanku dengan dua hal. Pertama, aku meraih Hp di meja belajarku dan mulai mengirimkan sms ke bapakku. Sebuah kegiatan yang setiap hari kulakukan, aku memang setiap hari sms ke orang tuaku, untuk menanyakan kabar mereka dan menceritakan kabarku disini. Kedua, aku berdoa kepada Allah supaya mengampuni dan menyayangi mereka serta membuat mereka berbahagia dunia akhirat. Setelah melakukan dua hal tersebut, ada kelegaan yang hadir walau tidak sepenuhnya karena aku tidak bisa melihat mereka secara langsung dan memeluk mereka. Rasa syukur mengaliri rongga dada manakala aku selesai membaca tulisan tersebut. Walaupun terpisah oleh jarak, tapi aku mempunyai orangtua dan keluarga yang selalu mendukungku. Aku kemudian berpikir, bagaimana halnya dengan seorang Ari? Adakah menulis surat yang ditujukan kepada orang yang (seolah-olah) dianggapnya ayah tersebut sudah cukup melegakannya? Tak dapat kubayangkan kepedihan yang melanda hati Ari. Jangankan bertemu dengan ayahnya, gambaran wajahnya saja dia tidak punya. Tidak ada nama, tidak ada alamat, tidak ada foto, lalu bagaimana Ari bisa menemukan ayahnya dan mengobati kerinduannya? Wajar saja jika kemudian seorang teman saya tersebut berempati dengan penderitaan Ari. Karena pada hakekatnya semua manusia mempunya hati. Namun apa yang bisa kita lakukan untuk membantu Ari-ari yang ada di jalanan? Untuk meringankan kerinduannya pada sang ayah?

Sa'id bin Haris tak ingin kembali


Belum pernah Hisyam bin Yahya menemukan seseorang seperti Said bin Harits. Said adalah satu dari sekian banyak orang yang ikut berjihad ke negeri Rumpada tahun 88 H. Pemuda itu kuat beribadah: puasa tiap hari, dan malamnya bangun salat malam. Jika sedang berjalan-jalan, ia membaca Alquran, dan bila sedang berdiam diri di kemah, ia membaca dzikir. Tepat tengah malam, ketika rombongan itu sangat khawatir dari serangan musuh, Hisyam dan Said sama-sama berjaga. Malam itu memang giliran mereka. Pada waktu itu, benteng musuh telah terkurung. Ketika semalaman dilihatnya Said bin Harits beribadah, maka Hisyam pun menasihatinya, Engkau harus mengistirahatkan badanmu. Sebab itu hak badanmu. Mendengar kata-kata itu, Said malah menangis. Ia menjawab, Ini hanya beberapa nafas yang dapat dihitung dan umur yang akan habis serta hari akan segera berlalu. Sedang aku hanya menantikan maut dan berlomba menghadapi keluarnya ruh. Sungguh, Hisyam bin Yahya merasa sangat pilu. Ia tahu benar pemuda di hadapannya ini tak pernah berhenti melakukan hal-hal kebaikan. Bagi diri dan umatnya. Maka dengan hati yang pilu, ia berkata lagi, Aku bersumpah dengan nama Allah. Masuklah engkau ke dalam kemah untuk istirahat. Maka Said pun masuk dan tidur. Sedang Hisyam duduk di luar kemah. Tiba-tiba Hisyam mendengar suara dalam kemah. Padahal selain Said, tiada orang lagi. Ketika Hisyam melihat ke dalam kemah, Said berkata, Aku tidak suka kembali. Ia mengulurkan tangan kanannya. Dan ia melompat bangun dari tidurnya. Hisyam tidak bisa menyembunyikan keheranannya. Ia segera mendekap pemuda itu sambil mendekapnya. Ada apakah? Kenapa kau berkata begitu? tanya Hisyam. 11

Aku tidak akan memberitahukannya padamu, jawab Said. Hisyam bersumpah dengan nama Allah supaya Said memberitahukan hal itu padaanya. Said malah balik bertanya, Apakah engkau berjanji tidak akan membuka rahasia itu selama hidupku? Baiklah. Said menarik nafas. Sejurus kemudian, ia berkata, Aku bermimpi, seolah telah tiba hari kiamat. Semua orang telah keluar menunggu panggilan Allah. Dalam keadaan itu tiba-tiba ada dua orang menghampiriku. Tiada orang yang sebagus kedua orang itu. Mereka menyalamiku dan mereka berkata kepadaku: Terimalah kabar baik. Allah telah mengampuni dosamu dan memuji usahamu. Allah menerima amal baik dan doamu. Karena itu, marilah pergi untuk kami perlihatkan kepadamu nikmat yang tersedia untukmu. Lalu, keduanya membawaku keluar dari tempat itu. Mereka menyediakan kuda yang tidak serupa dengan kuda-kuda yang ada di dunia, sebab larinya bagaikan kilat atau angin yang kencang. Dan akupun mengendarainya, sehingga sampai di gedung yang tinggi dan besar. Gedung itu tidak dapat dijangkau oleh penglihatan mata, seakan-akan terbuat dari perak yang berkilatan. Ketika aku sampai di muka pintu, tiba-tiba pintu terbuka sebelum diketuk, lalu aku masuk dan melihat segala sesuatu yang tidak dapat disifatkan dan terdetik dalam hati. Dan bidadari-bidadari serta pelayan-pelayan sebanyak bintang di langit. Dan ketika mereka melihat aku, mereka bernyanyi-nyanyi dengan berbagai nyanyian. Seorang dari mereka berkata, Itu kekasih Allah telah tiba, ucapkanlah selamat datang kepadanya. Sampai di situ, Said menghentikan ceritanya sejenak. Hisyam mendengarkan dengan saksama. Said pun melanjutkan, Lalu aku berjalan hingga sampailah di ruangan tidur terbuat dari emas bertaburan permata, diliputi dengan kursi emas. Tiap-tiap kursi ada gadis yang tidak dapat disifatkan oleh manusia kecantikannya, dan di tengah-tengah mereka ada yang tinggi dan tercantik. Kedua orang yang membawaku berkata, Itu keluargamu dan ini tempatmu. Kemudian mereka meninggalkannku. Lalu gadis-gadis itu datang kepadaku memberi sambutan dan mereka mendudukkan aku di tengah, di samping gadis yang cantik sambil berkata, Itu istrimu. Aku bertanya kepadanya, "Dimanakah aku ketika itu?" Dan ia menjawab, "Engkau di Jannatul Mawa". Lalu aku bertanya "siapa dia?" Ternyata ia adalah istriku yang kekal. Lalu aku ulurkan tanganku kepadanya, tetapi ditolak dengan halus sambil berkata, Kini kamu harus kembali ke dunia dan tinggal tiga hari. Nah, aku tidak suka itu. Hingga aku berkata, Aku tidak suka kembali, Said mengakhiri ceritanya. Mendengar cerita itu, Hisyam tidak dapat menahan air mata. Beruntung kau Said. Allah telah memperlihatkan pahala amal baikmu. Said malah bertanya, Apakah ada orang lain yang melihat kejadian ini? Tidak. Lalu ia berkata, Tutuplah hal ini selama hidupku. Said berwudhu dan berminyak harum. Ia lalu mengambil senjatanya dan menuju ke medan perang sambil berpuasa. Hisyam tak hentinya mengagumi pemuda itu. Orang-orang banyak menceritakan kehebatan perjuangannya, belum pernah mereka melihat perjuangan sedemikian. Ia meletakkan dirinya dalam serangan musuh, dan mengatasinya. Pada hari kedua, ia bertempur lebih hebat. Pada waktu malam, Said tetap melaksanakan salat dan bangun pagi untuk kembali maju ke medan perang. Pemuda itu tak hentinya menerapkan apa yang ia kerjakan malam dan siang hari. Sepanjang hari itu ia bertempur terus-menerus. Hingga tepat matahari terbenam, tibalah sebuah panah mengenai lehernya. Jatuhlah ia sebagai syahid. Hisyam tetap memperhatikannya, sedang orang-orang mengangkatnya. Bahagialah engkau, berbuka malam ini. Sekiranya aku bersamamu, ujar Hisyam. Said mengginggit bibirnya sambil tersenyum, Alhamdulillaahilladzi sadaqana wadahu, kemudian dia mengingal dunia. Saat itu, Hisyam berkata kepada orang-orang. Hai sekalian orang, seperti inilah kita harus berlomba-lomba. Orang-orang pun semakin tahu bahwa Said telah mengorbankan waktu dan hidupnya untuk dakwah. Untuk sebuah perjuangan. Tidak ada istilah rugi untuknya. Ia berjuang untuk Allah. Walaupun harus berdarah-darah. Setiap malam, ia khusyuk bermunajat kepada Allah terus mendekatkan diri, meningkatkan kemampuan dan kekuatan dirinya. Siang, ia bertempur menghadapi musuh. 12

Rindu Rosul
Dan tidaklah kami mengutus engkau Muhammad, kecuali menjadi rahmat bagi seluruh alam." (Q.S. Al-Anbiya: 107) Tulisan di bawah ini hanyalah sebuah petikan kecil dari buku berjudul Rindu Rasul" yang ditulis oleh bpk Jalaludin Rahmat (semoga beliau mendapat berkah atas tulisannya, amin). Sebagian sari dari buku itu cukup membuat hati saya terenyuh. Rasulullah bersabda: Ada 3 hal yang bila semuanya ada pada diri seseorang, ia akan merasakan manisnya iman: pertama, Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dari apapun selain keduanya; kedua, ia mencintai orang semata-mata karena Allah; dan ketiga, ia benci untuk kembali kepada kekafiran setelah Allah menyelamatkannya seperti ia benci untuk dilemparkan kedalam api neraka." (Shahih al-Bukhari) Adapun bagi para pencinta Rasulullah saw, Allah akan menganugerahkan: 1. Digabungkan bersamanya Secara ruhaniyah di dunia dan secara hakiki di akhirat. Prinsipnya sama seperti bila kita mencintai sesuatu, yaitu: akan ada pembenaran atas apa yang diajarkan oleh yang kita cintai, perilaku, pikiran, perasaan dan tindakan juga sangat dipengaruhi oleh siapa yang kita cintai. "Dan barangsiapa yang menta'ati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni'mat Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang shaleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya"(Q.S: An-Nisa 69) 2. Kelezatan iman Lezatnya iman mungkin bisa digambarkan dari kisah sebagai berikut. Terkisah segera setelah Rasulullah wafat, Bilal tidak mau lagi menyampaikan azan. Beberapa hari angkasa Madinah tidak mendengar suara Bilal. Atas desakan Fatimah, putri Nabi saw, Bilal mengumandangkan azan Subuh. Seluruh Madinah terguncang. Bilal mulai dengan Allahu Akbar, lalu kalimah syahadat yang pertama. Begitu ia ingin menyebutkan kalimat syahadat kedua, suaranya tersekat dalam tenggorokan. Ia berhenti pada "Muhammad" dan setelah itu tangisannya meledak, diikuti oleh tangisan Fatimah dan seluruh penduduk Madinah al-Munawarrah. Ikrar iman dalam ucapan syahadat membuat rasa rindu semakin terasa lezat. 3. Kecintaan Allah swt Karena Nabi adalah mahluk yang paling dicintai Allah Taala. Siapapun yang mencintai Nabi, menyayangi, merindui kekasih Allah, tentu akan mendapat pula kecintaan dari Allah swt. 4. Balasan cinta Rasulullah saw Tidak ada pencinta Nabi saw yang bertepuk sebelah tangan. Dalam riwayat yang telah diceritakan sebelumnya, betapa Rasulullah merindukan pertemuan dengan umat yang mencintainya. Terkisah pula pada detik-detik Nabi menjelang wafat, sahabat Ali mendekatkan telinganya ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan. "Ummatii, ummatii, ummatiii?" "Umatku, umatku, umatku?" Betapa cintanya beliau pada umatnya. Akankah kita membalas cintanya dengan menyebut nama beliau disisi Allah Taala menjelang ajal kita ? 5. Mendapatkan syafaat (pembelaan)-nya yang agung. Yaitu bantuan Nabi dengan izin Allah untuk meringankan dan bahkan menghapuskan hukuman bagi para pendosa, bukannya tidak mungkin seseorang bisa masuk surga tanpa dihisab bila pembelaan Rasulullah saw diterima oleh sang Khalik. Mungkin kita masih ingat akan kejadian-kejadian masa lalu ketika tabloid Monitor menulis tentang orang di dunia yang paling dikagumi sementara Nabi Muhammad saw ditulis di urutan ke-sebelas. Bukankah semestinya kita menempatkannya di urutan pertama di hati kita? 13

Apa yang bisa kita petik dari kejadian ini? Masuk golongan mana kita? golongan yang menyalahkan media tersebut? atau golongan yang justru menyalahkan diri sendiri telah melupakan Nabi saw selama ini? Atau ketika Salman Rushdie mencemooh Nabi saw sebagai sumber permainan dengan berlindung atas nama dunia seni kesastraan. Apa hati kita terusik? apa kita merasa kalau Salman Rushdie sudah meludah aqidah kita? Atau kita merasa bahwa hal itu biasa saja? Atau mungkin kita merasa biar saja karena kita jauh dari tempat kejadian dan saat ini Nabi pun sudah tidak ada? Astaghfirullahal 'Adhim. Semoga petikan ayat Al-Quran surat Al-Anbiya 107 di awal tulisan ini bisa membuka hati kita semua, betapa pentingnya kita mencintai dan bersuka cita atas Nabi saw. Bila kita kaji lagi apa yang bisa kita peroleh jika kita menempatkan Nabi saw pada urutan pertama di hati, maka kita akan mendapatkan "iman yang begitu indah mempesona". Walaupun Nabi saw sudah tiada, mungkin justru karena itulah kita perlu bersyukur akan keberadaan kita sekarang dengan beriman kepadanya dan menjalankan sunnah-sunnah yang telah beliau contohkan. Sebuah tantangan, perjuangan berat, teramat berat, insya Allah kita termasuk insan yang dinanti dan dijemput sendiri oleh baginda Nabi saw kelak di akhirat, insya Allah keluarga kita akan dimohonkan syafaat oleh baginda Nabi saw, insya Allah kita mendapat tempat spesial di mata Allah swt, tempat yang indah tanpa dihisab, amin. Sebagai sebuah renungan, mungkin kita sering mengucapkan dan mendengar arti shalawat yang diperuntukkan bagi baginda Nabi saw dan keluarganya. Nah! kalau kita termasuk orang yang beriman pada Rasulullah saw padahal kita sendiri tidak pernah berjumpa beliau, bukankah kita telah menjadi saudara Nabiyallah ?? Keluarga Rasulullah juga ?? Saya pribadi berfikir bukannya tak mungkin kalau ucapan shalawat itu juga mengandung makna ucapan shalawat bagi kita-kita yang beriman padanya. Sebuah berita gembira bila kita akhirnya bisa juga bersanding dengan nama Muhammad , kekasih Allah Ta'ala. Allahumma sholli wa baarik ala sayyidina Muhammad wa ala aali wa shohbihi wasallam. (Ucapkanlah sesering mungkin bila kita mendengar nama beliau disebut) Ya Allah yang Maha Besar, tanamkan aqidah iman sedalam-dalamnya pada diriku untuk senantiasa mencintai-Mu dan Nabi Muhammad saw, lebih dari apapun di alam semesta ini, amin ya rabbal alamiin.

Belajar dari kegigihan semut


Oleh Taufik Pukul 22.30 WIB, huh ... lelahnya. Seharian menyelesaikan pekerjaan kantor yang tak habis-habisnya. Kurebahkan tubuh di lantai depan televisi. Kubiarkan TV menyala untuk tetap menjaga agar aku tidak terlelap. Suhu yang sedikit panas memaksaku membuka kemeja dan membiarkan kulitku bersentuhan dengan sejuknya lantai. "Aaauww ... brengsek!" gumamku tiba-tiba. Segera kutepis sesuatu yang menggigit lenganku hingga tampak titik hitam terjatuh ke lantai. Ternyata seekor semut hitam. "Kurang ajar! Apa ia tidak mengerti kepalaku begitu penat dan tubuhku ini seperti mau hancur? Apa dia juga tidak tahu kalau aku sedang beristirahat?" pikirku seraya kembali merebahkan tubuhku. Tapi, belum sampai seluruh tubuh ini jatuh menempel lantai, "Addduuhhh!" Lagi-lagi semut kecil itu menggigitku. Kali ini punggungku yang digigitnya dan gigitannyapun lebih sakit.Heeeh, berani sekali makhluk kecil ini," gerutuku kesal. Ingin rasanya kulayangkan tapak tangan ini untuk membuatnya mati tak berkutik 'mejret' di lantai. Namun sebelum tanganku melayang, ia justru sudah mengacung-acungkan kepalan tangannya seperti menantangku bertinju. Kuturunkan kembali tanganku yang sudah berancang-ancang dengan jurus 'tepokan maut', kuurungkan niatku untuk menghajarnya karena kulihat mulutnya yang komat-kamit seolah mengatakan sesuatu kepadaku. Awalnya aku tidak mengerti apa yang diucapkannya, tapi lama kelamaan aku seperti memahami apa yang diucapkannya. "Hey makhluk besar, anda menghalangi jalan saya! Apa anda tidak lihat saya sedang membawa makanan ini untuk keluarga saya di rumah ..." Rupanya ia begitu marah karena aku 14

menghambat perjalanannya, lebih-lebih sewaktu punggungku menindihnya sehingga ia harus terpaksa menggigitku. Akhirnya kupersilahkan ia melanjutkan perjalanannya setelah sebelumnya aku meminta maaf kepadanya. Susah payah ia membawa sisa-sisa roti bekas sarapanku pagi tadi yang belum sempat kubersihkan dari meja makan. Kadang oleng ke kanan kadang ke kiri, sesekali ia berhenti meletakkan barang bawaannya sekedar mengumpulkan tenaganya sembari membasuh peluhnya yang mulai membasahi tubuh hitamnya. Kuikuti terus kemana ia pergi. Ingin tahu aku di pojok mana ia tinggal dari bagian rumahku ini. Ingin kutawarkan bantuan untuk membantunya membawakan makanan itu ke rumahnya, tapi aku yakin ia pasti menolaknya. Berhentilah ia di sebuah sudut di samping lemari es sebelah dapur. Di depan sebuah lubang kecil yang menganga, ia letakkan bawaannya itu dan kulihat seolah ia sedang memanggilmanggil semut-semut di dalam lubang itu. Satu, dua, tiga .... empat dan .... lima semut-semut yang tubuhnya lebih kecil dari semut yang membawa makanan itu berlarian keluar rumah menyambut dengan sukaria makanan yang dibawa semut pertama itu. Dan, eh ... satu lagi semut yang besarnya sama dengan pembawa roti keluar dari lubang. Dengan senyumnya yang manis ia mendekati si pembawa roti, menciumnya, memeluknya dan membasuh keringat yang sudah membasahi seluruh tubuh semut pembawa makanan itu. Hmmm ... menurutku, si pembawa roti itu adalah kepala keluarga dari semut-semut yang berada di dalam lubang tersebut. Kelima semut-semut yang lebih kecil adalah anak anaknya sementara satu semut lagi adalah istri si pembawa roti, itu terlihat dari perutnya yang agak buncit. "Mungkin ia sedang mengandung anak ke enamnya" pikirku. Semut suami yang sabar, ikhlas berjuang, gigih mencari nafkah dan penuh kasih sayang. Semut istri tawadhu' dan qonaah menerima apa adanya dengan penuh senyum setiap rizki yang dibawa oleh sang suami, juga ibu yang selalu memberikan pengertian dan mengajarkan anak-anak mereka dalam mensyukuri nikmat Tuhannya. Dan, anak-anak semut itu, subhanallah ... mereka begitu pandai berterima kasih dan menghargai pemberian ayah mereka meski sedikit. Sungguh suami yang dibanggakan, sungguh istri yang membanggakan dan sungguh anak-anak yang membuat ayah ibunya bangga. Astaghfirullah ..., tiba-tiba tubuhku menggigil, lemas seperti tiada daya dan brukkk .... aku tersungkur. Kuciumi jalan-jalan yang pernah dilalui semut-semut itu hingga menetes beberapa titik air mataku. Teringat semua di mataku ribuan wajah semut-semut yang pernah aku hajar 'mejret' hingga mati berkalang lantai ketika mereka mencuri makananku. Padahal, mereka hanya mengambil sisa-sisa makanan, padahal yang mereka ambil juga merupakan hak mereka atas rizki yang aku terima. Air mataku makin deras mengalir membasahi pipi, semakin terbayang tangisantangisan anakanak dan istri semut-semut itu yang tengah menanti ayah dan suami mereka, namun yang mereka dapatkan bukan makanan melainkan justru seonggok jenazah. Ya, Allah ... keluarga semut itu telah mengajarkan kepadaku tentang perjuangan hidup, tentang kesabaran, tentang harga diri yang harus dipertahankan ketika terusik, tentang bagaimana mencintai keluarga dan dicintai mereka. Mereka ajari aku caranya mensyukuri nikmat Tuhan, tentang bagaimana perlunya ikhlas, sabar, tawadhu' dan qonaah dalam hidup. Hari-hari selanjutnya, ketika hendak merebahkan tubuh di lantai di bagian manapun rumahku aku selalu memperhatikan apakah aku menghambat dan menghalangi langkah atau jalan makhluk lainnya untuk mendapatkan rizki. Ingin rasanya aku hantarkan sepotong makanan setiap tiga kali sehari ke lubang-lubang tempat tinggal semut-semut itu. Tapi kupikir, lebih baik aku memberinya jalan atau bahkan mempermudahnya agar ia dapat memperoleh dengan keringatnya sendiri rizki tersebut, karena itu jauh lebih baik bagi mereka.

Menumbuhkan empati anak


Oleh Kurnia Wahyudi Ada sebuah fenomena yang sering terjadi, yaitu orang tua yang begitu mengekang kebebasan anak, walaupun memang di mata kita, para orang tua, adalah baik maksudnya. Tapi 15

apakah anak-anak dapat menangkap pesan atau maksud baik tersebut? Bisa jadi mereka masih teramat kecil untuk dapat mengerti. Contoh sederhana, kita sering mendapati anak berlari ke sana ke mari hingga kurang memerdulikan keselamatan mereka sendiri. Kita sebagai orang tua akan merasa "ngeri" kalaukalau terjadi hal yang tidak diinginkan, seperti jatuh, menabrak benda keras, dan lain sebagainya, yang dapat membahayakan keselamatan sang anak. Melihat kondisi anak seperti itu (suka berlari-lari), biasanya kita sebagai orang tua akan langsung menasehatinya, atau melarangnya, bahkan memarahinya. Andaikan akhirnya anak Anda yang sedang berlari-lari tersebut jatuh, padahal sebelumnya sudah berbusa mulut Anda menasehatinya agar jangan berlari-larian, apa yang akan Anda lakukan? Menurut pengalaman saya pribadi ada dua perlakuan yang umum dilakukan oleh para orang tua. Pertama, respon refleks umumnya orang tua adalah langsung memarahi anak akibat tidak mau mendengar perkataan mereka. Kalau pun tidak memarahinya, mereka melakukannya dengan cara lain yakni mengingatkannya dengan nada tinggi. Mungkin kira-kira begini, "Tuh kan apa Ibu/Ayah bilang! Jangan lari-lari...jadi jatuh, kan! Anak bandel, tidak mau mendengar kata-kata orang tua! Huh!" Kondisi yang lebih ekstrem yang lain adalah berkata atau membentak dan terkadang dibarengi dengan kekerasan tangan (memukulnya), hingga anak pun menangis karenanya. Kemungkinan besar sang anak menangis bukan akibat dari jatuhnya, melainkan karena bentakan atau pukulan orang tua. Kedua, berusaha untuk tampil empati tapi tetap memarahi atau membentaknya. Misalnya dengan perkataan sebagai berikut, "Aduh adik jatuh, ya! Sakit? Makanya apa Mama/Papa bilang. Nggak mau dengar sih perkataan Mama/Papa. Jadi begini akibatnya! Makanya lain kali dengar kata-kata Mama, ya!" dengan suara yang cenderung datar tanpa intonasi tinggi. Ungkapan kondisi pertama adalah bentuk contoh "judgement" (penghukuman). Artinya, anak langsung diberi hukuman akan tindakan pelanggaran yang dilakukannya (karena tidak mendengar perkataan orang tuanya). Sedangkan, ungkapan kondisi kedua adalah bentuk contoh "semi judgement dan empati". Kondisi ini agak lebih baik, tapi tetap dapat meninggalkan kesan kejadian berulang pada anak. Maksudnya adalah anak kemungkinan besar akan melakukan perlakuan yang sama yang dilakukan oleh orang tua kepada dirinya, terhadap situasi serupa yang dihadapinya dengan orang lain. Sekarang coba Anda bayangkan (dari hasil perlakuan kondisi pertama dan kedua di atas) bila sang anak memiliki seorang adik, dan ternyata adiknya melakukan tindakan yang persis dilakukannya, yakni berlari-larian. Sang anak akan mengingatkan si adik untuk jangan berlari-larian, dengan cara persis seperti yang dilakukan orang tua terhadap dirinya. Kira-kira berdasarkan pengalaman sebelumnya, perlakuan apa yang akan dilakukan sang kakak terhadap adiknya? Seorang anak adalah perekam yang sangat kuat. Anak memiliki kemampuan photo-memory yang sangat tinggi. Bila kita mengharapkan seorang anak yang memiliki sifat dan sikap empati yang tinggi, maka seyogyanya dilatih sejak dini. Jadi, bila kita berharap sang anak bersikap empati apabila melihat adiknya terjatuh, maka kita diharapkan untuk bertindak serupa terhadap dirinya. Kisah di atas akan lain ceritanya bila sang ayah atau ibu bersikap empati terlebih dahulu ketika mendapati anaknya terjatuh, bukan langsung melakukan "judgement" terhadap dirinya. Contohnya adalah dengan mengatakan, "Aduh ... adik jatuh ya! Sakit? Mana yang sakit? Sini ayah/ibu obati," sambil memberikan perhatian terhadap lukanya, jikalau perlu mengobatinya. Baru kemudian setelah selesai mengobati kita dapat menasehatinya, "Makanya, lain kali lebih hati-hati ya! Tolong dengarkan apa kata ayah/ibu ... Adik mau janji?"

16

Manusia yang Tidak Pernah Mati


Oleh Chandra Kurniawan Salah satu kesenangan saya adalah membaca buku-buku sejarah. Dari sejarah, saya memperoleh banyak pelajaran, yang dengannya membuat saya berhati-hati dalam melangkah. Saya semakin menyadari akan satu hal, bahwa jalan di dunia ini tidak selamanya mulus dan indah. Ada kalanya berlubang, bergelombang, penuh onak dan duri. Dari sanalah saya mengetahui mengapa seseorang dapat sukses, dan mengapa yang lain tidak. Saya mengagumi ulama-ulama besar seperti Imam al-Ghazali, Imam Ibnu al-Jauzy, Imam Ibnu Taimiyah dan Imam Hasan al-Banna karena ilmu yang mereka miliki, ketekunan mereka dalam beribadah, keluhuran akhlak mereka dan penghargaan mereka terhadap waktu. Imam Hasan al-Banna pernah mengatakan, kewajiban yang ada lebih banyak daripada waktu yang tersedia. Pernyataan ini bukan pernyataan yang main-main, melainkan sebuah pernyataan yang keluar dari mulut seorang insan yang bergelut dengan waktunya dan sadar akan pentingnya waktu. Cabang-cabang ilmu pengetahuan mulai dari fikih, ushul fikih, tafsir, hadits, tarikh, tasawuf, filsafat, sastra Arab, hingga ilmu kedokteran, mereka kuasai dengan baik. Bahkan mereka ahli pada semua bidang itu. Tak heran jika seorang Roger Garaudy sangat mengagumi ilmu yang dimiliki para ulama Islam, yang sangat banyak itu, yang tidak dimiliki ilmuwanilmuwan Barat. Kekagumannya itu membuatnya masuk Islam. Ya, ini sungguh luar biasa. Siapapun orangnya, yang tentu saja masih berakal sehat, pasti akan menyadari hal ini. Bagaimana mereka menguasai banyak ilmu pengetahuan dalam usia mereka yang tergolong pendek? Inilah pertanyaan yang mesti di jawab di sini. Saya berpikir, semua itu terjadi karena mereka sangat menghargai waktu. Sedetik pun waktu tidak pernah mereka sia-siakan. Kalaupun ada waktu yang terbuang percuma, mereka akan menyesal dan berusaha dikemudian hari hal itu tidak terulang lagi. Setiap hari, mereka melakukan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat untuk jiwa, raga, dan pikiran mereka. Ada seorang ulama yang menunggu kedatangan gurunya dalam sebuah majelis, lantas kemudian ia isi waktu luang itu dengan shalat sunah. Imam Ibnu al-Jauzy pernah kedatangan tamu yang membicarakan hal-hal yang tak berguna. Dia meladeni mereka sembari menyerut pensil untuk menulis buku. Siang dan malam beliau tidak henti-hentinya berpikir, menulis, mengajar dan membaca. Imam Ibnu al-Jauzy pernah berkata, Dari tanganku lahir dua ribu jilid buku dan di tanganku juga telah bertaubat seratus ribu orang, dua puluh ribu orang di antaranya masuk Islam. Di antara karya-karyanya, Durratul Ikliil 4 jilid, Fadhail al-Arab, al-Amstaal, al-Manfaat fi Madzahib al-Arbaah 2 jilid, al-Mukhtar min al-Asyar 10 jilid, at-Tabshirah 3 jilid, Ruus al-Qawariir 2 jilid, Shaidul Khathir, Kitab al-Luqat (ilmu kedokteran) 2 jilid, dan sebagainya. Imam Ibnu Taimiyah adalah seorang ulama yang waktunya tidak pernah luput dari berbuat kebaikan. Hingga dipenjara sekalipun, ia tetap berusaha menulis, berceramah kepada para napi, dan lain sebagainya. Beliau pernah berkata, Apakah yang akan diperbuat musuhmusuh terhadapku? Jika aku dipenjara, penjaraku adalah khalwah. Jika aku diasingkan, pengasinganku adalah tamasya. Dan jika aku dibunuh, kematianku adalah syahadah. Sekalipun pena-penanya disingkirkan oleh pemerintah tirani, dia tetap saja menulis walaupun dengan arang. Jika diberi umur yang panjang, niscaya mereka akan terus menuntut ilmu sebanyakbanyaknya. Namun kenyataan tidaklah terjadi demikian. Karena ilmu di dunia ini sangatlah banyak dan tak mungkin umur manusia yang pendek, dapat menguasai semuanya, para ulama akhirnya membuat pengurutan ilmu-ilmu apa saja yang wajib dikuasai oleh kaum muslimin. Imam Ibnu Qudamah dalam bukunya berjudul Mukhtashar Minhajul Qashidin mengomentari hadits yang berbunyi, Mencari ilmu itu wajib atas setiap orang muslim, dengan mengatakan bahwa yang dimaksud ilmu wajib di sini adalah ilmu muamalah hamba terhadap Tuhannya. Muamalah yang dibebankan di sini meliputi tiga macam: Keyakinan, perbuatan dan apa yang harus ditinggalkan.

17

Saya kemudian merenung tentang diri saya sendiri dan kebanyakan orang pada umumnya, betapa banyak waktu yang telah kita buang percuma. Mungkin satu atau dua jam waktu luang yang terbuang dalam sehari tidak akan kita rasakan dampak negatifnya. Namun jika dikumpulkan dalam setahun atau bahkan dalam seumur hidup, akan sangat terasa, betapa kita telah melalui banyak momen dengan hal yang tidak berguna. Waktu-waktu itu begitu cepat berlalu dan tak dapat kembali lagi. Sedetikpun ia tak mau. Pada akhirnya semua itu membuahkan penyesalan yang berkepanjangan. Kita hanya membawa amal yang sedikit kehadapan-Nya. Seorang ulama shalih bernama Taubah bin ash-Shimmah biasa mengintrospeksi dirinya sendiri. Suatu hari dia menghitung-hitung, selagi sudah berumur enam puluh tahun. Dia menghitung-hitung hari-hari yang pernah dilewatinya, yaitu sebanyak sebelas ribu hari lebih lima ratus hari. Tiba-tiba saja dia tersentak dan berkata, Aduhai celaka aku! Apakah aku harus bertemu Allah dengan membawa sebelas ribu limaratus dosa? Setelah itu dia langsung pingsan dan seketika itu pula dia meninggal dunia. Pada saat itu orang-orang mendengar suara, Dia sedang meniti ke surga Firdaus. (Lihat Kitab Mukhtashar Minhajul Qashidin) Sebagian orang terlalu banyak berharap dengan amal yang sedikit, mudah-mudahan dapat masuk surga. Mereka mengacu pada hadits qudsi yang berbunyi, Aku berada dalam sangkaan hamba-Ku terhadap-Ku. Karena itu hendaklah dia menyangka terhadap-Ku menurut kehendaknya. Mengomentari hadits ini, Imam Ibnu al-Qayyim dalam kitabnya, ad-Daa wadDawaa, mengemukakan, memang Allah akan melaksanakan sangkaan hambanya. Namun tidak dapat diragukan bahwa baik sangka hanya terjadi jika ada kebaikan. Orang yang berbuat kebaikan adalah orang yang berbaik sangka kepada Allah, bahwa Dia akan membalas kebaikannya dan tidak akan mengingkari janji-Nya serta akan menerima taubatnya. Adapun kezhaliman, kedurhakaan dan hal-hal haram yang dilakukan orang yang buruk dan intens dalam melakukan dosa-dosa besar, menghalanginya untuk berbaik sangka terhadap Allah. Yang demikian dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari. Seorang budak yang melarikan diri dan tidak lagi taat kepada tuannya, tentu tidak berbaik sangka kepadanya. Dia tidak bisa memadukan tindakan yang tidak baik dengan baik sangka. Orang yang buruk tentu merasa tidak respek, tergantung dari keburukannya. Maka orang yang paling berbaik sangka terhadap Allah ialah yang paling taat. Imam Hasan al-Bashri pernah berkata, Sesungguhnya orang mukmin adalah orang yang berbaik sangka terhadap Tuhannya dan yang baik amalnya. Sedangkan orang keji ialah yang berburuk sangka terhadap Tuhannya dan buruk pula amalnya. Bagi mereka yang menyadari sangat dekatnya kematian, niscaya akan sangat menghargai waktu. Waktu kita yang berlalu dengan sia-sia, hendaklah menjadi cambuk, agar kelak, dikemudian hari, tidak melakukan hal yang serupa. Kita bertekad kuat untuk mengisi hari-hari dengan amal yang berkualitas guna memperoleh pahala dan ganjaran yang abadi. Bagi seorang yang kaya harta, maka ia akan berusaha untuk mewakafkan kekayaannya dan mendarmabaktikan dirinya untuk dakwah dan jihad fi sabilillah. Sedangkan bagi seorang penulis, ia akan menulis buku yang bisa dibaca oleh setiap orang setelahnya dan senantiasa beramal dengan pelbagai kebaikan. Dari karya-karyanya, banyak orang yang dapat mengikuti jejak amalnya. Itulah manusia yang tidak pernah mati. Betapa banyaknya manusia yang mati, namun pada hakikatnya mereka selalu hidup.

Akhirnya, ia mati seperti keledai


Kisah ini terjadi di Universitas 'Ain Syams, fakultas pertanian di Mesir. Sebuah kisah yang amat masyhur dan dieksposs oleh berbagai media massa setempat dan sudah menjadi buah bibir orang-orang di sana. Pada tahun 50-an masehi, di sebuah halaman salah satu fakultas di negara Arab (Mesir-red.,), berdiri seorang mahasiswa sembari memegang jamnya dan membelalakkan mata ke arahnya, lalu berteriak lantang, "Jika memang Allah ada, maka silahkan Dia mencabut nyawa saya satu jam dari sekarang!." Ini merupakan kejadian yang langka dan disaksikan oleh mayoritas mahasiswa dan dosen di kampus tersebut. Menit demi menitpun berjalan dengan cepat hingga tibalah menit keenampuluh alias satu jam dari ucapan sang mahasiswa tersebut. Mengetahui belum ada gejala apa-apa dari ucapannya, sang mahasiswa ini berkacak pinggang, penuh dengan kesombongan 18

dan tantangan sembari berkata kepada rekan-rekannya, "Bagaimana pendapat kalian, bukankah jika memang Allah ada, sudah pasti Dia mencabut nyawa saya?." Para mahasiswapun pulang ke rumah masing-masing. Diantara mereka ada yang tergoda bisikan syaithan sehingga beranggapan, "Sesunguhnya Allah hanya menundanya karena hikmah-Nya di balik itu." Akan tetapi ada pula diantara mereka yang menggeleng-gelengkan kepala dan mengejeknya. Sementara si mahasiswa yang lancang tadi, pulang ke rumahnya dengan penuh keceriaan, berjalan dengan angkuh seakan dia telah membuktikan dengan dalil 'aqly yang belum pernah dilakukan oleh siapapun sebelumnya bahwa Allah benar tidak ada dan bahwa manusia diciptakan secara serampangan; tidak mengenal Rabb, tidak ada hari kebangkitan dan hari Hisab. Dia masuk rumah dan rupanya sang ibu sudah menyiapkan makan siang untuknya sedangkan sang ayah sudah menunggu sembari duduk di hadapan hidangan. Karenanya, sang anak ini bergegas sebentar ke 'Wastapel' di dapur. Dia berdiri di situ sembari mencuci muka dan tangannya, kemudian mengelapnya dengan tissue. Tatkala sedang dalam kondisi demikian, tibatiba dia terjatuh dan tersungkur di situ, lalu tidak bergerak-gerak lagi untuk selama-lamanya. Yahdia benar-benar sudah tidak bernyawa lagi. Ternyata, dari hasil pemeriksaan dokter diketahui bahwa sebab kematiannya hanyalah karena ada air yang masuk ke telinganya!!. Mengenai hal ini, Dr.'Abdur Razzaq Nawfal -rahimahullah- berkata, "Allah hanya menghendaki dia mati seperti keledai!." Sebagaimana diketahui berdasarkan penelitian ilmiah bahwa bila air masuk ke telinga keledai atau kuda, maka seketika ia akan mati ?!!!. Sumber: Majalah "al-Majallah", volume bulan Shafar 1423 H. Di nukil oleh Ibrahim bin 'Abdullah al-Hzimiy dalam bukunya "Nihyah azh-Zhlimn", Seri ke-9, h.73-74)

Pantaskah berharap Jannah


Sholat dhuha cuma dua rakaat, qiyamullail (tahajjud) juga hanya dua rakaat, itu pun sambil terkantuk-kantuk. Sholat lima waktu? Sudahlah jarang di masjid, milih ayatnya yang pendek-pendek saja agar lekas selesai. Tanpa doa, dan segala macam puji untuk Allah, terlipatlah sajadah yang belum lama tergelar itu. Lupa pula dengan sholat rawatib sebelum maupun sesudah shalat wajib. Satu lagi, semua di atas itu belum termasuk catatan: "Kalau tidak terlambat" atau "Asal nggak bangun kesiangan". Dengan sholat model begini, apa pantas mengaku ahli ibadah ? Padahal Rasulullah dan para sahabat senantiasa mengisi malam-malamnya dengan derai tangis memohon ampunan kepada Allah. Tak jarang kaki-kaki mereka bengkak oleh karena terlalu lama berdiri dalam khusyuknya. Kalimat-kalimat pujian dan pinta tersusun indah seraya berharap Allah Yang Maha Mendengar mau mendengarkan keluh mereka. Ketika adzan berkumandang, segera para sahabat meninggalkan semua aktivitas menuju sumber panggilan, kemudian waktu demi waktu mereka habiskan untuk bersimpuh di atas sajadah-sajadah penuh tetesan air mata. Baca Qur'an sesempatnya, itu pun tanpa memahami arti dan maknanya, apalagi meresapi hikmah yang terkandung di dalamnya. Ayat-ayat yang mengalir dari lidah ini tak sedikit pun membuat dada ini bergetar, padahal tanda-tanda orang beriman itu adalah ketika dibacakan ayat-ayat Allah maka tergetarlah hatinya. Hanya satu dua lembar ayat yang sempat dibaca sehari, itu pun tidak rutin. Kadang lupa, kadang sibuk, kadang malas. Yang begini ngaku beriman ? Tidak sedikit dari sahabat Rasulullah yang menahan nafas mereka untuk meredam getar yang menderu saat membaca ayat-ayat Allah. Sesekali mereka terhenti, tak melanjutkan bacaannya ketika mencoba menggali makna terdalam dari sebaris kalimat Allah yang baru saja dibacanya. Tak jarang mereka hiasi mushaf di tangan mereka dengan tetes air mata. Setiap tetes yang akan menjadi saksi di hadapan Allah bahwa mereka jatuh karena lidah-lidah indah yang melafazkan ayat-ayat Allah dengan pemahaman dan pengamalan tertinggi. Bersedekah jarang, begitu juga infak. Kalau pun ada, dipilih mata uang terkecil yang ada di dompet. Syukur-syukur kalau ada receh. Berbuat baik terhadap sesama juga jarang, paling-paling kalau sedang ada kegiatan bakti sosial, yah hitung-hitung ikut meramaikan. Sudah 19

lah jarang beramal, amal yang paling mudah pun masih pelit, senyum. Apa sih susahnya senyum? Kalau sudah seperti ini, apa pantas berharap Kebaikan dan Kasih Allah ? Rasulullah adalah manusia yang paling dirindui, senyum indahnya, tutur lembutnya, belai kasih dan perhatiannya, juga pembelaannya bukan semata milik Khadijah, Aisyah, dan istri-istri beliau yang lain. Juga bukan semata teruntuk Fatimah dan anak-anak Rasulullah lainnya. Ia senantiasa penuh kasih dan tulus terhadap semua yang dijumpainya, bahkan kepada musuhnya sekali pun. Ia juga mengajarkan para sahabat untuk berlomba beramal shaleh, berbuat kebaikan sebanyak-banyaknya dan sebaik-baiknya. Setiap hari ribut dengan tetangga. Kalau bukan sebelah kanan, ya tetangga sebelah kiri. Seringkali masalahnya cuma soal sepele dan remeh temeh, tapi permusuhan bisa berlangsung berhari-hari, kalau perlu ditambah sumpah tujuh turunan. Waktu demi waktu dihabiskan untuk menggunjingkan aib dan kejelekan saudara sendiri. Detik demi detik dada ini terus jengkel setiap kali melihat keberhasilan orang dan berharap orang lain celaka atau mendapatkan bencana. Sudah sedemikian pekatkah hati yang tertanam dalam dada ini? Adakah pantas hati yang seperti ini bertemu dengan Allah dan Rasulullah kelak ? Wajah indah Allah dijanjikan akan diperlihatkan hanya kepada orang-orang beriman yang masuk ke dalam surga Allah kelak. Tentu saja mereka yang berkesempatan hanyalah para pemilik wajah indah pula. Tak inginkah kita menjadi bagian kelompok yang dicintai Allah itu ? Lalu kenapa masih terus bermuka masam terhadap saudara sendiri ? Dengan adik tidak akur, kepada kakak tidak hormat. Terhadap orang tua kurang ajar, sering membantah, sering membuat kesal hati mereka, apalah lagi mendoakan mereka, mungkin tidak pernah. Padahal mereka tak butuh apa pun selain sikap ramah penuh kasih dari anak-anak yang telah mereka besarkan dengan segenap cinta. Cinta yang berhias peluh, air mata, juga darah. Orang-orang seperti kita ini, apa pantas berharap surga Allah ? Dari ridha orang tua lah, ridha Allah diraih. Kaki mulia ibu lah yang disebut-sebut tempat kita merengkuh surga. Bukankah Rasulullah yang sejak kecil tak beribu memerintahkan untuk berbakti kepada ibu, bahkan tiga kali beliau menyebut nama ibu sebelum kemudian nama Ayah? Bukankah seharusnya kita lebih bersyukur saat masih bisa mendapati tangan lembut untuk dikecup, kaki mulia tempat bersimpuh, dan wajah teduh yang teramat hangat dan menyejukkan? Karena begitu banyak orang-orang yang tak lagi mendapatkan kesempatan itu. Ataukah harus menunggu Allah memanggil orang-orang terkasih itu hingga kita baru merasa benar-benar membutuhkan kehadiran mereka? Jangan tunggu penyesalan. Astaghfirullaah ... Astaghfirullaah ...Allohummaghfir

Nikmat...begitu banyak yang telah terlewatkan tanpa mensyukurinya Oleh Bunda Shafiya Saat itu kami; aku, bapak dan Shafiya sedang berada dalam perjalanan pulang ke rumah. Kami baru saja pulang dari menikmati semangkuk Soto Lamongan Cak Har *slruup* yang terkenal itu. Tepat di traffic light menuju ke arah Margorejo, mobil berhenti karena traffic light menunjukkan warna merah. Aku melayangkan pandangan ke seberang jalan. Nampak olehku sosok ibu pengemis dan anaknya yang sedang mesra bersenda gurau. Si anak rupanya haus dan alhamdulillah saat itu sang ibu ada rezeki untuk membelikan sekantung plastik es teh bagi si anak. Dengan penuh rasa kasih sayang kantung plastik es teh itu dibuka dari ikatannya dan diminumkan ke si anak dengan menggunakan sedotan. Tampak si anak sangat menikmatinya, kehausan barangkali. Setelah si anak puas, ibu itu pun mencicipi es teh itu sedikit dan ternyata walaupun es teh itu hanya bersisa sangat sedikit, mungkin hanya satu tegukan lagi sisanya, sang ibu itu tetap menyimpan sisa itu dengan hati-hati dengan mengikat kembali kantung plastik es teh itu.. Subhanallah! Betapa orang seperti mereka sangat menghargai dan mensyukuri nikmat Allah yang diberikan kepada mereka serta menjaganya dengan sangat hati-hati. Dadaku terasa sesak, bersamaan dengan itu air mata mulai menetes.. Teringat akan percakapanku dengan Shafiya di depot soto itu, "Nak, udah deh, ice tea-nya nggak usah dihabiskan. Ayo.. cepetan, Bapak sudah menunggu di mobil." Betapa bodohnya aku yang malah 20

mengajarkan anakku untuk berbuat suatu hal yang mubazir yang mencerminkan rasa tidak bersyukur padaNya. Astagfirullah. Bagi orang lain, peristiwa ini mungkin bukan sesuatu yang menarik untuk diceritakan. Tapi saya memaknainya lain. Alhamdulillah.Allah memberi saya petunjuk untuk selalu mensyukuri nikmatNya dalam ketaatan kepadaNya. Syukur Alhamdulillah. Ibu pengemis itu telah mengajarkan kepada saya cara untuk menghargai nikmatNya. Fabiayyi aalaa rabbikumaa tukadzdzibaan? Maka nikmat Tuhan kamu manakah yang engkau dustakan? Pertanyaan retoris ini membuat saya tertunduk malu tiap kali mendengarnya. Betapa tidak! saya sering kali iri dengan nikmat yang ada pada orang lain. Saya memang tidak pernah sampai dalam tahap merasa dengki dan menginginkan agar nikmat orang lain itu hilang. Naudzubillah min Dzalik.. Tapi rasa iri saya membawa saya menjadi orang yang kufur nikmat. Padahal Allah selalu baik kepada saya. Dalam studi dan karir insya Allah saya selalu lancar. Ketika saya berdoa agar mendapat pendamping hidup yang sholeh, Allah dengan cepat mengabulkan permintaan saya. Ketika saya berdoa agar dikarunai anak yang menyejukkan pandangan orang tuanya, Allah dengan berbaik hati mengabulkan permohonan saya itu.. Namun.dari banyak nikmat yang ada, sedikit sekali saya mampu menyentuhkan dahi bersujud pada Allah untuk menyampaikan rasa terima kasih saya. Nikmat.. begitu banyak yang saya lewatkan tanpa mensyukurinya. Ya Allah.. janganlah golongkan saya menjadi orang-orang yang merugi karena kufur terhadap nikmatMu... (Tuhan) yang Maha Pemurah, yang telah mengajarkan Al-Quran. Dia menciptakan manusia, mengajarnya pandai berbicara. Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan. Dan tumbuhtumbuhan dan pohon-pohonan keduanya tunduk kepadaNya. Dan Allah meninggikan langit dan Dia melektakkan neraca keadilan. Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan jangan kamu mengurangi neraca itu. Dan Allah telah meratakan bumi untuk makhluknya, di bumi itu ada buah-buahan dan pohon kurma yang mempunyai kelopak mayang.Dan biji-bijian yang berkulit dan bunga-bungaan yang harum baunya. Maka nikmat Tuhan kamu manakah yang kamu dustakan ? (Surat Ar Rahman: 1-13)

Nabi Ayub pun Tersenyum


Oleh Bayu Gawtama Allah mencintai hamba-hamba-Nya dengan cara yang unik dan berbeda-beda. Semakin tinggi ketakwaan seorang hamba, semakin unik cara Dia mencintainya. Salah satunya adalah Nabi Ayub. Lelaki yang diamanahkan Allah untuk mengemban misi ketuhanannya itu dicintai Allah dengan penyakit yang sangat parah. Tak tanggung-tanggung, karena penyakitnya itu, Ayub alaihi salam dijauhi sahabat dan kerabatnya. Mereka tak tahan berdekatan lantaran aroma tak sedap dan takut tertular. Maha suci Allah yang telah menciptakan manusia semulia Ayub. Ia tak pernah membenci Allah dengan takdirnya, tak pula ia merasa bahwa Tuhan yang dicintainya itu tak adil terhadapnya. Semakin berat sakit yang dirasa, semakin cinta Ayub kepada Allah. Dan mulianya Ayub, semakin parah penyakitnya semakin ia tersenyum. Allah dan para malaikat pun kan tersenyum oleh kesabaran lelaki mengagumkan itu. Memang takkan sebanding jika sekarang saya mengajukan sebuah nama untuk menyandingkannya dengan Nabi Allah itu. Namun teramat banyak saya harus belajar tentang arti kesabaran dan cinta kepada Allah dari sahabat yang satu ini. Hesti, alias Titi yang lima belas tahun menderita radang sendi sehingga ia kini hanya bisa tergolek tak berdaya di kamar tidurnya. Namun ia tetap terlihat ceria dan bersemangat menjalani hidupnya. "Saya ingin terlihat tetap bersyukur, dan saya ingin tersenyum saat harus menghadap-Nya," ujar gadis itu. Kemarin saat bertelepon dengannya, saya bertanya satu hal yang paling tidak ingin saya tanyakan kepadanya karena khawatir menyinggung perasaannya. "Mbak, tak inginkah mbak Titi sembuh?"

21

Saya tak pernah menyangka jawabannya. "Tidak, sebaiknya saya tetap seperti ini sambil Allah memberikan kehendaknya." Titi pun menjawab penasaran saya yang seolah bertanya, "kenapa." Menurutnya, ia amat bersyukur Allah menimpakan penyakit ini kepadanya, meski sudah sangat lama ia menjalani hari-harinya di kamar tidur. Hidup dengan bantuan orang lain, bahkan untuk ke kamar kecil sekali pun. Radang sendi yang dideritanya membuat seluruh persendiannya sakit tak berdaya. Ia membutuhkan bantuan orang lain untuk seluruh aktivitasnya. Tapi Titi tetap tersenyum. "Kalau saya sembuh, saya tidak yakin akan tetap sedekat ini dengan Allah. Saya tak pernah yakin akan tetap khusuk beribadah, akan menangis di setiap sujud panjang saya jika saya bisa berdiri dan sehat. Boleh jadi saya akan menjauh dari-Nya, hidup dalam kesenangan yang membuat saya lupa akan kematian," tuturnya. "Jadi, mbak tidak ingin sembuh?" tambah saya yang semakin termangu oleh kata-kata ajaibnya. "Biarlah saya tetap seperti ini. Saya yakin Allah sedang mencintai saya dengan takdirnya. Jujur, saya tak ingin sembuh karena saya takut Allah tak lagi mencintai saya." Duh, Titi rasanya tak ada alasan Allah tak mencintaimu. Sungguh saya iri kepada Titi, karena saya yakin Nabi Ayub akan pun tersenyum melihat Titi. Subhanalloh.

Multilevel Kebaikan
Oleh : Bayu Gautama Ada teman yang pernah bertanya, "apa sih yang membuat kamu senang membantu orang lain?" Saya berikan dia dua jawaban, pertama, karena Allah senang dengan orang-orang yang suka membantu saudaranya. Allah akan memberikan kemudahan bagi orang yang memudahkan orang lain. Kedua, saya berjanji kepada seseorang untuk terus berbuat baik membantu orang lain. "Seseorang ...?" teman saya makin bingung. Baiklah, saya akan perjelas. Beberapa tahun lalu saya pernah berada dalam kesulitan keuangan. Kuliah saya terancam berantakan karena saya tak mampu mengumpulkan uang kuliah dari sisa-sisa gaji saya yang memang kecil. Saya nyaris putus asa dan berpikir akan mengakhiri kuliah saya dan berhenti di tingkat dua saja. Biarlah tinggal mimpi, pikir saya. Disaat kebingungan dan putus asa melanda itulah, ada seorang sahabat yang datang menanyakan kabar saya dan juga studi saya. Karena kami biasa berterus terang tentang segala hal, saya katakan kondisi saya baik-baik saja. Tapi kuliah saya yang terancam gagal. Mendengar pengakuan saya, sahabat tersebut kemudian menawarkan bantuan sejumlah uang untuk membayar uang kuliah saya yang tertunggak. Tanpa basa-basi, saya langsung menerima tawaran tersebut tanpa berpikir terlebih dulu bagaimana nanti menggantinya. Di akhir semester empat, saya sempat bertanya kepadanya perihal bantuan yang diberikan kepada saya. Ada yang membuat saya heran dengan jawabannya, "Saya hanya berjanji kepada seseorang untuk senantiasa berbuat baik membantu orang lain" Kemudian ia memperjelas, Ia pernah mendapati ibunya yang sakit keras dan harus segera dibawa ke rumah sakit. Namun tak sepeser pun uang yang ia dan anggota keluarga lainnya miliki saat itu. demi kesembuhan ibunya, ia nekat menghubungi satu persatu orang yang dikenalnya yang mungkin bisa membantu biaya pengobatan. Hingga akhirnya, ada seorang sahabat lamanya yang dengan cuma-cuma membiayai seluruh biaya yang dibutuhkan untuk kesembuhan sang ibu. Terheran sahabat itu bertanya, "Kenapa kamu mau membantu saya?" Jawabnya, "Karena saya telah berjanji kepada seseorang untuk senantiasa berbuat baik membantu orang lain" Menurut cerita sahabat saya, sahabat lamanya itu pernah pula mendapati kesulitan dalam hidupnya. Ia hampir tak tahu kemana lagi meminta bantuan hingga ia bertemu dengan seseorang yang tak dikenal sebelumnya. Setelah berterus terang, orang tak dikenal itu pun memberikan apa yang dibutuhkan sahabat lama itu. kepada orang itu ia bertanya, "Anda sebelumnya tidak mengenal saya, kenapa Anda mau membantu saya?" 22

Anda sudah bisa menduga jawabnya bukan? Tapi ada pertanyaan kedua dari sahabat lama sahabat saya itu, "Bagaimana saya mengganti kebaikan Anda ini?" Orang tak dikenal itu menjawab, "Berjanjilah untuk melakukan banyak hal untuk membantu kesulitan orang lain. Itu lebih baik nilainya daripada mengganti apa yang telah saya berikan" Begitulah seterusnya hingga saya tak pernah tahu siapa yang pertama kali menyulam jaringan amal kebaikan ini. Sungguh, saya tak pernah tahu. Hanya saja yang pasti akan saya lakukan setiap kali memberikan bantuan kepada orang lain, saya akan berkata, "Berjanjilah untuk melakukan kebaikan yang sama terhadap orang lain yang membutuhkan".

Mereka yang Telah Memberi Inspirasi


Oleh Rubina Qurratu'ain Zalfa' Belakangan ini, saya banyak merenungkan seberapa banyak waktu yang telah saya siasiakan hanya untuk melakukan aktivitas yang sifatnya duniawi dan mengesampingkan aktivitas yang bisa menjadi bekal saya di akherat nanti. Salah satunya, belajar ilmu agama, yang sejak lahir saya anut hingga saat ini ketika usia saya sudah melewati kepala tiga. Dari hasil perenungan itu, saya tersadar betapa minimnya pengetahuan agama saya, meski selama ini saya selalu melaksanakan kewajiban sholat lima waktu dan ibadah wajib lainnya, dan sesekali beramal dengan sedikit harta yang saya punya. Tapi entah kenapa, selama itu pula saya tidak pernah merasa tergerak untuk memperdalam ilmu agama. Saya lebih getol mengejar belajar ilmu umum yang saya minati, saya lebih tertarik membaca novel atau buku lainnya yang tidak bernafaskan agama. Untuk mengaji pun malas sekali. Tidak ada waktu dan lelah bekerja sepanjang hari, kerap menjadi alasan saya. Meski Muslim sejak lahir, saya berfikir menjalankan ibadah yang wajib saja sudah cukup dan belajar agama, termasuk didalamnya belajar atau membaca Al-Quran, tidak terlalu penting. "Yang penting kenal huruf dan bisa baca sedikit-sedikit," kataku waktu itu. Tetapi pemikiran saya itu berubah total setelah hampir dua tahun ini saya mulai mengikuti pengajian-pengajian. Ternyata, belajar membaca Al-Quran dengan benar itu sangat menyenangkan, belum lagi mengkaji kandungan-kandungannya. Ternyata, dari ceramahceramah para ustadz dan ustadzah di pengajian yang saya ikuti, saya mendapati bahwa belajar agama Islam itu mengasyikkan karena meliputi semua aspek kehidupan. Dan sekarang, situasinya pun jadi berbalik. Saya mulai banyak membeli buku-buku keagamaan, mulai betah mendengarkan ceramah agama di televisi atau radio, dan rasa keingintahuan saya tentang Islam seolah tak pernah habis. Perubahan itu tidak datang begitu saja. Perubahan itu terjadi karena saya menjumpai beberapa orang yang telah memberi inspirasi dan motivasi bagi saya untuk belajar dan menggali pengetahuan lebih banyak tentang agama saya. Seorang mualaf, sebut saja namanya Lia, yang sekarang menjadi sahabat karib saya, adalah satu inspirasi besar bagi perubahan itu. Ketika mengenalnya, saya sudah kagum dengan semangatnya belajar membaca Al-Quran dan menggali ilmu agama Islam dengan banyak bertanya dan membaca buku. Saya sempat malu hati, ketika tahu bahwa Lia yang baru dua tahun menjadi mualaf, sudah banyak memahami tentang Islam, bahkan isi Al-Quran. Sementara saya, yang Muslim sejak kecil, sampai saat itu malah belum paham benar apa sebenarnya rukun Islam dan rukun iman-meski saya hapal urutannya-apa keutamaan sholat tahajud, bagaimana berwudhu yang benar, sampai hal-hal kecil yang jika saya tahu ilmunya, bisa menjadi tambahan amaliyah saya di dunia. Ketika itu saya hanya membatin,"Duh betapa meruginya saya." Suatu saat, saya berkesempatan berkunjung ke tempat kos Lia. Di pintu lemari pakaiannya, saya melihat secara kerta yang ditempel berisi daftar surat-surat dalam Juz Amma. Beberapa surat mulai dari Al-Fatihah, terlihat ditandai dengan contrengan kecil. Aku bertanya, "Ini apa Li, koq dikasih tanda?" "Oh, itu daftar surat yang sudah aku hapal," katanya sambil tersenyum. 23

Hapal ? tanyaku dalam hati. Aku hitung surat-surat yang sudah ditandai, jumlahnya 18 surat. Lagi-lagi aku malu hati. Lia yang baru mengenal Islam, sudah hapal 18 surat. Sementara saya, selama puluhan menjadi Muslim cuma hapal kurang dari lima surat dan tidak pernah punya keinginan untuk berusaha menghapal surat-surat Al-Quran yang lain. Malu rasanya......... Sejak itu, diam-diam aku memperhatikan aktivitas Lia sehari-hari. Sampai aku tahu bahwa ia selalu menyempatkan diri membaca Al-Quran setiap hari meski cuma beberapa menit saja, termasuk menjalankan sholat dan puasa sunnah. Ah, Lia, selama ini ternyata aku sudah jauh tertinggal..... Sejak itu, saya mulai mencontoh kebiasaan Lia. Pelan-pelan aku mulai menambah hapalan surat-surat Al-Quran, mulai belajar menjalankan ibadah sholat dan puasa sunnah, mulai membaca Al-Quran dengan rutin. Berat memang, kadang rasa malas amat menggoda. Setelah Lia, aku banyak sekali bertemu dengan orang-orang yang memacu semangatku untuk mendalami Islam. Salah satunya adalah tetanggaku sendiri, aku biasa memanggilnya Kak Lili. Dia juga mualaf, ketika hendak menikah beberapa puluh tahu silam. Meski ketiga anakanaknya sudah besar-besar dan usianya tidak lagi muda, ia selalu bersemangat mengikuti pengajian di mana-mana. Mencatat apa yang ia dapat di pengajian dalam buku khusus. Pengetahuannya tentang Islam dan sejarah Islam, sempat membuatku terperangah. Lagi-lagi saya malu hati. Saya tidak ada apa-apanya dibanding Kak Lili. Selanjutnya, suatu kali dalam perjalanan menuju kantor, di bis yang aku tumpangi. Aku melihat bapak tua yang sedang membaca Juz Amma. Dari gerak-geriknya aku tahu ia sedang berusaha menghapal salah satu suratnya. Sayapun tersentuh melihat si Bapak tua tadi. Semangat belajarku terpompa kembali, "Saya belum terlambat untuk mulai belajar," gumamku dalam hati. Kadang, saya merasa seperti seorang mualaf, karena banyak sekali hal yang belum saya ketahui dan harus saya pelajari. Namun saya bersyukur, karena Allah swt memberikan lingkungan dan teman-teman yang senantiasa menjadi penyemangat saya dalam belajar. Benarlah apa kata pepatah, tidak kenal maka tidak sayang. Makin banyak saya mengenal Islam, makin bertambah cinta saya pada Islam. Belakangan, saya benar-benar merasakan kebahagiaan karena terlahir sebagai Muslim. Semoga Allah swt selalu memberikan keteguhan iman dan kekuatan bagi kita untuk tetap istiqomah di jalanNya.

Mencintai Rasulullah
Oleh Rubina Qurratu'ain Satu, satu, aku sayang Alloh Dua, dua, sayang Rasulullah Tiga, tiga, sayang Umi, Abi Satu dua tiga sayang semuanya...... Lagu itu dinyanyikan dengan riang oleh dua anak, yang aku pikir masih usia TK. Dua anak bersama ibunya itu duduk persis di bangku sebelahku, di bis Patas AC yang aku tumpangi. Keduanya nampak menikmati perjalanan sambil terus mengulang-ulang lagu yang dulu biasa saya nyanyikan dengan syair; satu-satu aku sayang ibu, dua-dua aku sayang ayah..... Aku tersenyum mendengar syair lagu yang diganti dengan kata aku sayang Alloh dan sayang Rasulullah. "Kreatif juga orang yang mengubah syair lagu itu. Maksudnya mungkin untuk menanamkan rasa cinta pada Alloh dan Rasulullah sejak dini. Ah, aku juga ingin mengajarkan lagu ini nanti pada ponakan-ponakanku di rumah," kataku dalam hati, supaya tertanama rasa sayang dan cinta pada Alloh Swt dan Rasulullah sejak mereka kecil. Mendengar lagu itu, tiba-tiba saja aku jadi teringat peristiwa yang belakangan membuat heboh seluruh dunia. Umat Islam seolah dibangunkan dari tidurnya, akibat pembuatan dan publikasi kartun Nabi Muhammad Saw. Mereka berunjuk rasa, memprotes, bahkan melakukan boikot atas kartun-kartun yang menghinakan Nabi Muhammad Saw. Meski patut disayangkan, sejumlah aksi unjuk rasa berakhir anarkis, bahkan sampai menelan korban jiwa.

24

Ujung-ujungnya, mereka yang membenci Islam, semakin memojokkan Islam dan umat Islam sebagai umat yang menyenangi kekerasan. Kemarahan mereka memang bisa dipahami, karena gambar-gambar kartun itu sungguh melukai hati umat Islam. Betapa tidak, Nabi Muhammad Saw yang dikenal sebagai sosok yang penuh kasih sayang dan lembut hati, digambarkan seperti seorang teroris yang kejam dengan lilitan bom yang siap meledak di kepalanya. Sungguh sebuah penghinaan yang menyakitkan. Sekarang, aksi-aksi protes itu memang sudah mereda. Tapi, apakah peristiwa ini meninggalkan bekas di hati kita, untuk lebih mencintai Rasulullah dan menghayati ajaranajarannya? Selama ini, kita mengenal sosok Rasulullah dari kisah-kisah seputar dirinya, sebagai sosok manusia istimewa, pemimpin umat, suami, ayah, kakek, bahkan pengusaha yang sungguh berakhlak mulia. Tetapi, sudahkah kita berusaha mengamalkan dan mencontoh sikap-sikapnya yang sangat terpuji, sehingga cinta kita pada Rasulullah bukan sekedar cinta buta, tapi cinta yang melahirkan ketaatan pada Allah Swt dan sikap mulia dalam kehidupan kita sehari-hari? Mengingat ini, aku jadi malu sendiri. Selama ini aku merasa sudah sangat mencintai Rasulullah. Salam dan sholawat selalu aku panjatkan untuknya. Bahkan hatiku terasa teriris dan meneteskan air mata, ketika aku melihat gambar-gambar kartun itu. Namun semuanya itu, tibatiba menyentak kesadaranku, bahwa kecintaanku padanya selama ini belum banyak yang aku wujudkan dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Aku merenung, pantaskah aku mengatakan mencintai Rasulullah kalau dalam keseharianku, aku sering melanggar nasehat-nasehatnya ? Kadang karena pekerjaan yang menumpuk, aku sengaja mengulur-ulur waktu sholat, kadang aku malas banyak membaca AlQuran dan sholat malam seperti yang dianjurkannya, malas diajak bersilatuhrahmi, malas berpuasa sunnah seperti yang diamalkannya, belum lagi sifatnya yang welas asih bahkan terhadap musuhnya, sabar, pemaaf, sederhana, jujur, amanah, adil dan gemar bersedekah meski dalam keadaan sulit sekalipun dan masih banyak hal-hal yang kelihatannya sepele tapi sebenarnya merefleksikan sejauh mana aku mengenal dan mencintai Rasulullah. Aku kembali teringat sebuah buku yang pernah aku baca tentang keagungan Rasulullah. Dalam buku itu disebutkan bahwa kecintaan pada Rasulullah adalah cerminan kecintaan pada Alloh. Dan Alloh memperkuatnya dalam firman-firmannya; "Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah... "(al-Hasyr: 7) "Barang siapa yang menaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menaati Allah. Dan barang siapa yang berpaling dari ketaatan itu, maka kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka." (an-Nisaa: 80) "Sesungguhnya pada Rasulullah terdapat suri teladan yang baik bagimu, bagi orangorang yang mengharapkan pertemuan dengan Allah dan hari akhirnya, serta mengingat Allah sebanyak-banyaknya." (al-Ahzab: 21) Ah... ternyata kecintaanku pada Rasulullah selama ini cuma di permukaannya saja, tapi aku masih belum mampu memahami makna cinta itu. Aku belum bisa mengamalkan dan mencontoh perilakunya yang sangat mulia dalam kehidupan keseharianku. Ya... Alloh, ampunilah hambamu yang lemah dan hina ini. Beri hamba hidayah dan kemudahan untuk menjadi umatmu yang berakhlak mulia, semulia manusia pilihamu Muhammad Saw. Bis patas AC yang aku tumpangi terus melaju di jalan tol yang licin. Gerimis kecil membasahi kaca jendela dan aku merasakan udara semakin dingin. Namun hatiku bersenandung kecil..... ungkapan cinta penyair Taufik Ismail terhadap Rasulullah Muhammad Saw; Rindu kami padamu ya Rasul Rindu tiada terperi, Berabad jarak darimu ya Rasul Serasa engkau di sini Cinta ikhlasmu pada manusia Bagai cahaya suarga Dapatkah hamba membalas cintamu Secara bersahaja.....

25

Mengapa Kita Tak Pandai Bersyukur?


Pagi hari, seperti biasa aku mengawali kegiatan dengan bebenah rumah. Cuci piring, menyapu lantai, cuci pakaian dan setumpuk pekerjaan rutin lainnya. Untuk menemaniku bekerja, kuambil sekeping kaset nasyid anak-anak, kumasukkan ke dalam tape recorder yang sudah butut, dan... klik: Ajarilah, aku ya Allah Mengenali, karunia-Mu Begitu banyak yang, Kau beri Begitu sedikit yang, kusadari Ajarilah, aku ya Allah Berterima kasih, pada-Mu Supaya aku dapat slalu Mensyukuri nikmat-Mu Sayup-sayup kudengar alunan sebuah lagu, mengalun merdu dari bibir-bibir mungil anak-anak yang kira-kira masih berusia balita. Hatikupun bergetar, air mata menetes membasahi pipi, menyadari betapa pelitnya diri ini mengucap syukur atas segala karunia yang telah dilimpahkan oleh-Nya. Serta-merta, bibir ini berucap, "astaghfirullahal 'adziim" seraya menghapus air mata. Sejurus kemudian hati ini berbicara, mencoba mengurai satu-persatu nikmat yang telah terkecap. Di pagi yang cerah, ketika sinar mentari menghangati tubuh, sungguh ada sebuah nikmat yang begitu indah terasa. Lalu, ketika kupandangi tubuh ini satu demi satu masih tetap utuh seperti sedia kala, mata yang mampu melihat dengan sempurna, tangan yang mampu memegang dan mengerjakan berbagai aktivitas, kaki yang bisa melangkah, kulit yang mampu merasakan sentuhan angin yang lembut, dan hidung yang mampu menghirup udara segar. Sungguh, inipun merupakan nikmat yang begitu besar. Semakin lama kucoba mengurainya, semakin banyak nikmat yang kurasa. Demikian banyak, dan teramat banyak hingga aku tak mampu menghitung satu persatu, karena memang tak terhingga jumlahnya. Persis seperti yang Allah kabarkan dalam firman-Nya: "Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dari segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat lalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah) (QS. Ibrahim:31)". Astaghfirullahal 'adziim, lidahkupun menjadi kelu, tak sanggup lebih banyak berucap. Segalanya Allah anugerahkan kepada diri ini dengan cuma-cuma. Tak serupiahpun Allah menetapkan tarifnya, tak secuilpun Allah mengharap imbalannya. Namun mengapakah aku tak pandai bersyukur? Padahal Allah SWT berjanji : "...la in syakartum la aziidannakum, wala in kafartum inna 'adzaabi lasyadiid (Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih)". Dan janji Allah selalu benar adanya, tak pernah salah dan tak pernah lupa.*** Akupun mencoba merenung, apakah gerangan yang membuat diri ini tak pandai bersyukur? Dalam pandangan masyarakat umum yang kufahami selama ini, segala sesuatu dianggap sebuah nikmat adalah ketika kita memperoleh sesuatu yang menyenangkan. Harta yang banyak, rumah yang indah, teman yang selalu setuju dan menyokong pendapat kita, sehingga kita dapat memenuhi segala keinginan yang ada dengan segala fasilitas yang mudah didapat tanpa harus bersusah payah bekerja. Seringkali pula kita tidak menyadari bahwa, mata yang mampu melihat secara sempurna ini adalah nikmat, tangan yang mampu memegang dan melakukan segala aktivitas adalah nikmat, kaki yang mampu melangkah adalah nikmat, kesehatan kita adalah nikmat, oksigen yang melimpah ruah dan bebas kita hirup adalah nikmat, hidayah Islam yang mengalir dalam diri kita ini adalah nikmat yang teramat mahal harganya, kasih sayang orang tua yang mampu mengalahkan segalanya demi membimbing dan membesarkan kita adalah nikmat, dan entah berapa banyak kenikmatan yang lain yang tidak kita sadari. Padahal, kenikmatan yang Allah karuniakan kepada kita tak terhingga banyaknya. Masya Allah, astaghfirullahal 'adziim, 26

semoga Allah berkenan mengampuni kita dan membimbing kita menjadi hamba-hamba yang pandai bersyukur. Berikutnya, seringkali kita merasa iri dengan kesenangan/kenikmatan yang dimiliki oleh orang lain. Ketika kita melihat orang lain bahagia, bukannya kita ikut bersyukur atas kebahagiaannya. Sebaliknya, kita justru mencibirkan bibir dan menuduh yang tidak-tidak. Membuat berbagai analisa, darimanakah gerangan mereka memperoleh kesenangan. Berprasangka buruk dan menyebarkan bermacam berita, sehingga perilaku tersebut. Menjauhkan diri kita dari rasa syukur kepada Allah. Astaghfirullah wa na'udzubillahi min dzaalik. Tak jarang pula, dalam diri kita terjangkit penyakit "wahn (terlalu cinta dunia, dan takut mati)", hanya kesenangan dan kesenangan yang ingin kita raih, tak sedikitpun ingin merasakan sebuah penderitaan. Sehingga ketika Allah berkenan memberikan sebuah cobaan, diri kita tak sanggup menanggung. Merasa diri menjadi orang yang paling sengsara di dunia, dan bahkan ada yang sampai berani menghujat dan menghakimi Allah sebagai penguasa yang tidak adil. Na'udzubillaahi min dzaalik, astaghfirullahal'adziim. Disisi lain, Allah jua yang berkenan menciptakan kita sebagai makhluk yang senang berkeluh kesah. "Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir. (QS. Al Maariij: 19-21). Bila sifat ini tidak kita kelola dengan baik, maka tidak menutup kemungkinan bila pada akhirnya diri ini tumbuh menjadi makhluk yang tak pernah mampu bersyukur.*** Karenanya, amat baiklah sekiranya kita mampu melatih diri, mensyukuri apa saja yang ada pada diri kita. Apapun yang Allah berikan kepada kita, haruslah kita yakini bahwa itulah pilihan terbaik yang Allah kehendaki. Tak perlu iri dan dengki terhadap nikmat orang lain, hingga kita mampu menjadi seorang mu'min seperti yang digambarkan oleh Rasulullah Muhammad SAW: "Amat mengherankan terhadap urusan mu'min, seandainya baik hal itu tidak terdapat kecuali pada orang mu'min. Bila ditimpa musibah ia bersabar, dan bila diberi nikmat ia bersyukur" (HR. Muslim). Terakhir, marilah senantiasa mengamalkan do'a Nabi Sulaiman as. dalam kehidupan kita. Agar kita senantiasa terbimbing, memperoleh ilham dari Allah SWT, sehingga kita menjadi makhluk yang pandai bersyukur pada-Nya. "Robbi awzi'nii an asykuroo ni'matakallatii an'amta 'alayya wa'alaa waalidayya wa an a'mala shoolihan tardhoohu wa ad khilnaa birohmatika fii 'ibaadikashshoolihiin". Ya Robb kami, berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku, dan kepada dua orang ibu bapakku, dan untuk mengerjakan amal shaleh yang Engkau ridhoi; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang shaleh. (QS. An Naml : 19). Aamiin.

Ketika empati mati


eramuslim - Seorang anak penyapu gerbong berusia tak lebih dari sembilan tahun sempat membuat dua mahasiswi berteriak hingga mengalihkan perhatian hampir seluruh penumpang di gerbong tersebut. Mahasiswi itu merasa kaget karena anak itu manarik-narik bagian bawah celana jeans-nya untuk meminta uang. Serta merta seorang pria dewasa berbadan kekar yang tak jauh dari dua mahasiswi itu melayangkan punggung tangannya tepat di bagian belakang kepala anak itu. Tidak hanya sekali, tapi beberapa kali. "Keluar kamu, kurang ajar!" tangannya terus melayang hinggap di kepala anak tersebut. Tidak cukup di situ, ditambah tendangan keras ke bagian tubuh anak yang tubuhnya hanya sebesar paha si penendang. Saya yang melihat kejadian itu langsung berteriak dan meminta pria itu menghentikan aksi kekerasannya. "Dia ini kurang ajar pak, dari gerbong sebelah sudah kurang ajar." Ia membenarkan aksinya. "Tapi dia juga kan manusia, apa pantas diperlakukan seperti itu?" tanya saya. "Dan apa tindakan bapak itu sebanding dengan kesalahannya? Tak perlu berlebihan seperti itu lah..." Episode berakhir dengan turunnya anak tersebut di stasiun selanjutnya. Sementara pria berbadan 27

tegap itu berdiri dekat pintu gerbong sambil berbincang dengan beberapa penumpang lainnya, lagi-lagi mencoba membenarkan tindakannya. Tiga tahun lalu di Stasiun Kalibata, Jakarta, seorang pria setengah baya babak belur dihajar massa hingga koma. Kondisinya mengenaskan, wajahnya hancur, satu tangannya patah. Di sisa-sisa nafasnya yang tersengal satu persatu, saya menangkap rintihannya, "Saya bukan copet..." Pria tersebut dijadikan tersangka pencopetan ketika seorang mahasiswi secara refleks berteriak "copet" saat tasnya tersenggol pria yang sudah nyaris mati tersebut. Secara serempak, dibarengi emosi yang tinggi puluhan pria langsung menggerebek dan mendaratkan kepalan tangan, juga ayunan kakinya berpuluh-puluh kali kepada pria tersebut. Padahal di belakang kerumunan tersebut, mahasiswi yang tadi refleks berteriak itu meminta orang-orang yang sudah terlanjur beringas itu menghentikan aksinya, karena ternyata, ia tak kehilangan satu apa pun dari dalam tasnya. Tak satu kata pun bisa keluar dari mulut saya menyaksikan peristiwa itu. Bagaimana dengan mereka yang telah terlanjur memukul ? Orang bersalah memang harus dihukum, tapi terlalu sering seseorang mendapatkan hukuman yang tak setimpal. Kasus copet-copet yang dibakar misalnya, sebagian orang mudah saja berkata "Bakar saja, atau lempar dari kereta yang melaju cepat, biar jadi pelajaran bagi copet yang lain..." Satu pertanyaan saja, bagaimana jika copet itu adik, kakak atau saudara Anda? Kalimat itu juga kah yang akan keluar dari mulut Anda? Atau bahkan bila copet itu Anda sendiri? Anda pasti meminta orang-orang menghukum Anda sewajarnya bukan? Anda bisa begitu mudah bertindak berlebihan menghukum atau memberikan balasan atas kesalahan orang lain. Bagaimana jika Anda yang berada pada posisi si bersalah? Relakah jika orang lain memperlakukan Anda secara tidak adil? Ya, begitu pula dengan orang-orang itu. Saya setuju mereka diberi hukuman atas kesalahannya, tapi memberikan hukuman lebih dari tingkat kesalahannya, jelas saya tidak setuju. Seperti kejadian di kereta itu, saya harus berdebat dengan pria berbadan tegap itu dengan mengatakan bahwa tindakan kasarnya -menempeleng dan menendang- sangat tidak sebanding dengan kesalahan yang dilakukan anak itu. Saya juga tak mengerti kenapa nyaris semua orang di gerbong itu terdiam menyaksikan ketidakadilan berlaku di depan mata mereka? Sebagian besar orang yang ada di depan gerbong itu para karyawan, mahasiswa, orang-orang berpendidikan, tapi mengapa mereka hanya menutup mata? Bahkan seorang bapak di samping saya sempat berkata, "Anak itu juga seharusnya jangan kurang ajar..." Saya katakan, cara anak itu meminta uang kepada penumpang (mungkin) memang salah. Tapi itu hanya tindakan kecil yang tak pantas dibalas dengan tempelengan dan tendangan keras berkali-kali ke tubuhnya. Kepada mereka yang terdiam dan tak berusaha melarang pria tegap itu melakukan aksi kekerasan, akankah Anda diam jika anak itu adalah anak, adik, keponakan, atau bahkan diri Anda sendiri ? Contoh sederhana, kita sering berharap orang lain memberikan tempat duduknya untuk isteri kita yang tengah mengandung atau menggendong si kecil. Tapi nyaris setiap hari kita tak pernah tergerak untuk berdiri dan merelakan tempat duduk kita untuk mereka yang lebih berhak, kemudian berpura-pura tidur. Adilkah ? Mungkin empati sudah mati.***

Kekerdilan yang bermakna


Ketakutan memberi arti lain pada suasana jiwa. Menawarkan pilihan yang dilematis. Memilih dalam cengkraman rasa seperti ini bukanlah sesuatu yang mudah. Dilema inilah yang dialami Abdullah, wiraswasta dan kontraktor yang tinggal di Perumahan Ajun, Aceh Besar. Ketika gelombang Tsunami menghantam, ia tengah bersama orang-orang yang dicintainya, istri dan lima anaknya. Anaknya yang masih kecil berusaha dinaikkan ke atas kap mobil, menyusul yang lainnya. Namun malang bagi Kiki, ketika sang ayah berusaha menariknya ke atas mobil, sebatang kayu yang hanyut terbawa arus menghempas dan menjepitnya. Kiki meronta menahan sakit di antara pintu mobil dan kayu. Melihat kedaan anaknya, nuraninya sebagai seorang ayah tersentak di tengah kepanikan dan derasnya gelombang yang mengamuk. Namun apa daya, genggamannya pada 28

Kiki tiba-tiba terlepas. Sementara kakaknya masih terpegang oleh Abdullah. Kiki terdengar menjerit, "Ayah, kenapa saya dilepas?" Perihnya terasa dalam di lubuk hati sang ayah. Ia berupaya keras menarik Kiki, namun tiba-tiba air bah yang lebih kuat menghantamnya, memaksanya bercerai-berai dengan semua anaknya. Pusaran air menyeret, menenggelamkan mereka satu-per satu. Di benak Abdullah hanya terlintas kecemasan, apakah istri dan semua anaknya tidak mampu bertahan. Semuanya hilang bersama derasnya air bercampur lumpur. Begitu tersadar, perasaan Abdullah terus berkecamuk. Sedih dan marah menjadi satu. "Saya serasa mau bunuh diri, karena tidak ada harapan, semuanya hilang." Namun begitulah Allah yang punya sifat Rahman atas hamba-Nya. "Kalau saya bunuh diri siapa yang akan mendo'akan mereka," kesadaran ini menguatkan Abdullah. Hingga akhirnya ia berhasil meraih sepotong kayu sepanjang empat meter. Berpegangan di kayu, ia terhantam air yang tiba-tiba menderas lagi. Badannya terseret hingga ke pagar mesjid, yang jaraknya sekitar 300 meter dari rumahnya. Ia hanya bisa pasrah. Tidak lama di pagar, karena beban yang menekan terlalu banyak, pagar ini pun jebol. Kayu yang menahan tubuh Abdullah ikut roboh dan terhempas bersamaan dengan tubuhnya. "Saya mencoba melongokkan kepala, yang teringat hanya istri dan anak saya." Perasaan ingin mati pun menyeruak kembali. Jika anak dan istrinya sudah tewas, untuk apa lagi ia hidup. "Tapi, lagi-lagi terpikir, siapa lagi yang akan mendo'akan mereka, agar amal mereka diterima dan dosadosanya terampuni. Dengan itu semangat hidup saya kembali lagi," ujar Abdullah terbata-bata. Dengan sisa tenaga yang ada, dikumpulkannya kayu kecil yang berserakan di kiri-kanannya, dijadikan pelampung. Hingga setelah beberapa jauh, ia pindah ke sebuah kusen besar dan kuat yang terombang-ambing. Sejurus kemudian, tiba-tiba seorang ibu menjerit di dekatnya, "Nak, tolong Nak, bagi kayunya satu, kami akan tenggelam," sambil berenang ibu ini berusaha menangkap kaki Abdullah. Perempuan yang lain juga meraih kakinya. Karena tidak tega, kayu yang sebenarnya menjadi harapannya ia berikan pada mereka. Dengan tenaga yang ada Abdullah berusaha menepi dan meraih tembok. Di luar dugaannya, ia bisa memanjat tembok itu. Ia sedikit merasa lega. Namun setelah dilihat dari atas ternyata yang memegangnya tadi bukan hanya dua orang. Mereka berlima. Di kanan kiri sudah tidak ada lagi kayu. Ketika itu, sekali lagi Allah memperlihatkan kuasa-Nya. Secara tidak sengaja selang air lima meter terjulur mengambang dari sebuah rumah. Dengan selang air ini Abdullah menolong ketiga orang itu, seorang bapak bersama tiga anak gadisnya. Setelah air berangsur surut, Abdullah turun dari tembok. Meski air masih sebatas badan, ia bergerak berusaha mencari mobil, dengan harapan bisa mencari istri, anak dan tetangganya. Paling tidak kalau pun mereka semuanya sudah meninggal, ia berharap bisa menemukan jasad mereka. Sambil berjalan, air matanya tek henti jatuh. "Mengapa saya bisa menyelamatkan orang lain, tapi tak bisa menyelamatkan keluarga," pikiran ini mengganggunya. "Saya marah pada diri saya, sama Tuhan. Ya Allah, maafkan saya." Abdullah terus berjalan. Mobil sedan yang ditumpangi keluarga dan tetangganya ternyata sudah tidak ada. Yang ditemuinya justru seseorang yang juga sedang mencari keluarganya. "Saya habis Pak, keluarga saya lima orang meninggal di dalam mobil," katanya menangis pada Abdullah. Mendengar ini, pikirannya kembali menerawang. Terbayang wajah istrinya yang begitu panik ketakutan. Wajah kecil anaknya yang menangis minta jangan dilepas. Kiki yang terjepit meronta untuk diselamatkan. Setelah berputar-putar selama satu jam, Abdullah menemukan mobilnya yang terlempar sampai beranda mesjid. Ketika ia membuka pintunya, matanya mesti menyaksikan pemandangan memilukan, istri dan anaknya berpelukan, kaku tanpa nyawa. Abdullah menarik dan meletakkan orang-orang yang dicintainya ini di atas rakit seadanya, yang dibuatnya dari drum. Jenazah-jenazah ini dibawanya ke mesjid. Melihat mayat yang kebanyakan anak-anak, pikirannya menerawang kembali pada wajah polos anaknya. Sambil ikut mengevakuasi mayat-mayat ke mesjid, ia terus mencari dua anaknya yang hilang. Ia kembali ke jalan-jalan, mencari di antara tumpukan jasad. Kakinya letih, seletih hatinya yang menangis tanpa suara. Ia terus mencari, semua sudut jalan dan gang tidak terlewatkan. Jika pun anaknya sudah tewas, ia ingin menyatukannya dengan jasad istrinya. Di tengah kegalauan, wajah istri dan anaknya yang sudah kaku memaksanya kembali ke mesjid. Barang kali orang lain sudah menemukan anaknya. Sesampai di mesjid, mayat-mayat makin banyak menumpuk, bahkan mayat istri dan anaknya yang ia 29

tinggalkan tidak ia temukan. Yang ada hanya kabar terakhir, istri dan anaknya beserta mayatmayat yang lain sudah di bawa ke Lambaro, Namun begitu dicari dan ditanyakan, semuanya menjawab, "Tidak ada. Semuanya akan dikuburkan di kuburan massal." Sambil terus berharap, Abdullah bersama penduduk tidur di mesjid, ditemani mayatmayat yang terus bertambah hingga beberapa hari. Hingga akhirnya ia ingat, lantai atas rumahnya tidak terkena banjir. Hari itu juga ia putuskan untuk kembali ke rumah. Ketika naik, kakinya tertahan. Dilihatnya halaman yang berubah menjadi bubur lumpur bercampur onggokan sampah. Di halaman itulah terlukis beribu kisah tentang anak dan istri tercintanya. "Saya hanya bisa menangis menelan ludah membasahi kerongkongan," lirih Abdullah. Ia naik ke atas. Gagang pintu serasa ringan dan kosong saat dibuka. Di dalam rumah tak urung hatinya meratap. Semuanya sepi, hanya tampak baju anak-anaknya yang masih tergantung rapi di sisi pintu. "Saya tak tahan, saya seperti orang gila, keluar masuk kamar sambil berpura-pura cerita kepada istri saya," kenangnya. Begitu juga saat melongok lewat jendela, anak-anaknya seolah-olah berhamburan, lari minta digendong. "Wajah mereka terbayang terus, mata saya tak bisa dipejamkan, apalagi gempa datang terus," ujarnya. Malam pertama di rumah bisunya diisi dengan sholat tahajud dan dzikir. Berharap mukjizat, berharap anaknya bisa ditemukan esok atau lusa. Mengembalikan semuanya kepada Allah, hanya itu bisa dilakukan sebagai penawar hati. Ketakutan yang menderanya saat dihempas gelombang, membuka hati Abdullah tentang kekerdilan seorang manusia. Sia-sialah manusia jika bersombong diri. Segala kesuksesan sebagai pengusaha ternyata menjadi tidak bernilai apa-apa. Kesadaran amat tinggi berdiam hatinya, mengakui kekerdilan di hadapan Allah yang maha Segalanya. "Saya betul-betul sadar sekarang, tak perlu ada yang disombongkan. Ketika segalanya telah ditakdirkan maka tak ada yang bisa mengelak. Kapan saja, di mana saja. Kita tak ada artinya sama sekali, jangan sampai lagi kita bersombong diri." Manusia hanya mampu mengulang perkataan saat musibah menimpa, "(yaitu) orangorang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji'uun (sesungguhnya dari Allah kita datang, kepada-Nyalah kita kembali)" (QS. Al Baqarah : 156). Kata-kata itu sesungguhnya adalah obat. Penawar bagi kegalauan jiwa yang kehilangan belahannya. Maka, kembalikanlah semuanya kepada Yang Memilikinya. Majalah Tarbawi, Edisi 100 Th. 6/Dzulhijjah 1425 H/ 20 Januari 2005 M

Kalimat Romantis
Oleh Sus Woyo Setelah berbulan-bulan tak ada kabar yang jelas. Setelah sekian waktu jadwal kepulangan saya ke tanah air belum bisa dipastikan, maka suatu malam saya dipanggil sang majikan untuk berbicara empat mata. Saat pertemuan itu ada kalimat terindah yang pernah saya dengar dari mulutnya. Kalimat itu adalah, "Akhir bulan ini kamu pulang ke Indonesia." Saya terdiam. Tapi saya tidak bisa menyembunyikan rasa bahagia yang bergejolak di dada ini. Pulang! Sebuah kata yang sangat indah di telinga saya. Setelah dua tahun lebih saya meninggalkan orang-orang yang saya cintai: isteri, anak, keluarga yang lain, teman dan siapa saja orang-orang yang dekat dengan saya sebelum berangkat merantau ke negeri seberang. Terlintas dalam pikiran saya, tentang masa lalu. Tentang sepenggal dari episode kehidupan saya pada masa duduk di sekolah menengah. Waktu di mana saya harus meninggalkan kampung halaman yang amat sangat saya cintai. Selepas tamat sekolah dasar, orang tua saya mengirim saya untuk meneruskan pendidikan di kota. Karena kampung saya jauh dari kota, maka saya harus kost. Itu saya jalani dari SMP sampai tamat SMA. Dan saya selalu teringat saat yang paling indah, saat yang paling menyenangkan, yaitu saat datang hari Sabtu. Sebab di akhir pekan itu saya pulang kampung. Saking gembiranya kalau datang hari Sabtu, saya sering menyebutnya "Pulang ke pinggir sorga." Sebab akan bertemu dengan orang tua. Dan biasanya ibu saya sudah menyediakan makanan-makanan kesukaan saya. Yang tentunya sangat jarang saya temui di rumah kost.

30

Nah, saat mendengar kalimat dari majikan saya itu, hati saya sama persis seperti ketika mau pulang kampung di masa-masa menempuh pendidikan di kota saya, beberapa tahun yang lalu. Sejak itu, hari-hari saya diliputi kegembiraan. Walaupun pekerjan yang saya tangani sebenarnya sangat banyak. Ocehan-ocehan dari majikan yang bersifat memarahipun tak begitu saya pedulikan. Artinya, apa yang ia omongkan hanya saya masukan telinga kanan dan saya keluarkan lewat telinga kiri. Bahkan terkadang, hati dan pikiran saya seolah sudah di kampung sendiri, padahal jasad saya masih bermandi keringat di negeri orang. Suatu hari seorang teman menangkap perangai saya. Dan teman saya itu berkomentar. "Duh, gembiranya mau pulang kampung, ya...." Saya senyum-senyum saja mendengar itu. Memang itulah adanya. Namun, di siang bolong yang terik mataharinya mencapai titik kulminasi, saat saya merebahkan badan untuk melepas lelah, tiba-tiba saya berpikir keras. Sambil melihat langitlangit kamar, saya bergumam sendiri. "Apakah kegembiraan ini bisa bertahan lama, atau setidaknya sampai ke Indonesia nanti?' Saya tak bisa menjawab pertanyaan saya sendiri itu. Bahkan tiba-tiba pikiran saya melayang terlalu jauh ke depan. "Mampukah saya segembira ini jika nanti Allah juga memberikan kalimat itu kepada saya?" Ya, setelah merantau, pasti saya akan pulang. Sama juga setelah saya diberi kesempatan hidup di dunia, pasti juga akan dipanggil pulang. Dan kepulangan yang terahir ini jelas tidak mungkin bisa ditawar-tawar lagi. Cepat atau lambat, Allah akan menyapa juga dengan kalimat yang tak beda jauh dengan kalimat majikan saya, walau dengan nuansa yang berbeda, tentunya. Kalau pertemuan saya dengan semua keluarga nanti di tanah air mampu memberikan kegembiraan yang luar biasa pada saya, mampukah saya juga berperasaan yang sama tatkala saya nanti akan berjumpa dengan Sang Pencipta? Saya tertunduk lama. Lama sekali. Bahkan tak terasa air mata ini memberontak ingin keluar. Seolah memerintahkan saya untuk cepat-cepat berintrospeksi diri, tentang apa yang telah saya perbuat di "rantau" ini. Bekal saya belum seberapa. Entah dalam tingkatan yang mana derajat keimanan saya. Komitmen saya terhadap aturanNya belum bisa saya jadikan barometer untuk menjadikan saya tersenyum di hadapanNya. Apalagi merasa gembira. Namun, walaupun demikian, mudah-mudahan kepulangan saya ke tanah air tercinta akan menjadi pelajaran besar untuk menyongsong kepulangan saya yang sebenarnya, yaitu pulang ke pangkuanNya. Sehingga ketika kalimat terindah dari Allah, yang dibawa malaikat penyabut nyawa,datang menyapa saya, mudah-mudahan saya bisa menyambutnya dengan senyum kegembiraan. Seperti senyumnya para kekasih Allah ketika dipanggil pulang menuju kampung abadi, kampung akhirat.

Duhai Istriku, Aku bangga kepadamu


Zakat penghasilan bulan ini sudah dikeluarkan, bang. Pasti belum dikeluarkan sama Abang kan? Sebuah pesan pendek masuk ke telepon selular saya pagi ini. Biasa, isteri yang senantiasa mengingatkan urusan zakat penghasilan. Sejak menikah, saya yang tak pernah menutup-nutupi jumlah penghasilan sempat dibuat jengkel gara-gara isteri kerap menanyakan adakah penghasilan lain selain yang didapat setiap akhir bulan. Awalnya saya menganggap dia tak percaya dan curiga saya tak memberitahu penghasilan saya yang lain, padahal penghasilan saya memang cuma segitu-gitunya. Setelah ia jelaskan maksudnya, barulah diri ini tersenyum sekaligus malu. Ia teramat perhatian untuk mengeluarkan zakat yang duasetengah persen dari setiap penghasilan yang kami terima, baik itu penghasilan bulanan maupun penghasilan dari hasil lainnya. Beruntunglah saya karena ada yang rajin mengingatkan.

31

Diberikan ke siapa zakat kita dik, tanya saya sekembalinya dari mengantar anak saya ke sekolah. Baru separuhnya ke tukang sampah langganan, separuhnya lagi terserah Abang besok deh mau diberikan kemana, jelasnya. Cerita pun mengalir, tukang sampah langganan yang setiap 2 x sepekan mengangkut sampah di lingkungan tempat kami tinggal usai mengangkut sampah dari depan rumah. Isteri saya pun memanggilnya dan menawarkan dua buah sepeda bekas anak-anak saya yang mereka sudah enggan memakainya karena sudah ada yang baru. Tentu saja ia tak menampik tawaran isteri saya dan diangkutlah dua sepeda kecil itu. Dijual harganya nggak seberapa, lebih baik diberikan kepada yang membutuhkan. Semoga lebih ada nilainya, timbang isteri saya. Belum beranjak tukang sampah itu dari rumah, isteri saya pun teringat bahwa kami belum mengeluarkan zakat penghasilan bulan ini. Maka ia pun memberikan sebagian dari yang seharusnya kami keluarkan kepada tukang sampah itu. Haru dan nyaris tak sanggup membendung bulir air yang siap tumpah dari pelupuk mata ketika isteri saya mendengar ungkapannya saat menerima uang buat sebagian orang itu tak seberapa nilainya, Alhamdulillah, makan anak dan isteri dua jumat ke depan terjamin nih bu, terima kasih. Tak hanya isteri, saya yang tak mendengar langsung dari mulutnya pun merasakan getaran yang mengharukan. Betapa kecilnya uang yang kami berikan bisa membuat ia merasa ada jaminan makan selama dua jumat ke depan, lalu bagaimana dengan hari-hari sebelumnya ? Dan bagaimana dengan pekan-pekan yang akan dating ? Jumat yang berkah buat saya, semoga hari ini keberkahan juga tercurahkan atas ibu sekeluarga, tak lupa ia meninggalkan doa untuk keluarga kami. Lega lah sudah, sebagian rezeki yang Allah titipkan sudah diberikan kepada yang berhak. Diam-diam isteri saya mengamini doa bapak tukang sampah, agar Sang Pemberi rezeki pun memberkahi setiap pemasukan dan pengeluaran kami. ** Sore harinya saya pergi ke Anjungan Tunai Mandiri (ATM) untuk mengambil sedikit dari tabungan kami guna keperluan belanja. Maha Suci Allah, puji syukur saya yang tiada bandingannya, ketika melihat saldo tabungan saya bertambah hampir enam kali dari yang pagi tadi dikeluarkan isteri saya. Rupanya Jumat hari ini tidak hanya berkah bagi bapak tukang sampah itu, tapi juga bagi kami. Mungkinkah Allah menjawab doa tukang sampah itu untuk kami? Hanya Allah yang tahu. Ketika saya menceritakan perihal ini kepada isteri, tak cukup kalimat syukur yang keluar dari mulutnya, tapi saya sudah bisa menebak apa yang ada di kepalanya. Saya yakin ia tengah menghitung lagi dua setengah persen yang harus dikeluarkan. Aih

CINTA NABI
Setiap pohon yang tidak berbuah, seperti pohon pinus dan pohon cemara, tumbuh tinggi dan lurus, mengangkat kepalanya ke atas, dan semua cabangnya mengarah ke atas. Sedangkan semua pohonnya yang berbuah menundukkan kepala mereka, dan cabang-cabang mereka mengembang ke samping. Rasulullah adalah orang yang paling rendah hati, meskipun dia memiliki segala kebajikan dan keutamaan orang-orang dahulu kala dan orang-orang sekarang, dia seperti sebuah pohon yang berbuah. Menurut sebuah riwayat, beliau bersabda, Aku diperintahkan untuk menunjukkan perhatian kepada semua manusia, untuk bersikap baik hati kepada mereka. Tidak ada Nabi yang sedemikian diperlakukan dengan sewenang-wenang oleh manusia selain aku. Kita tahu bahwa beliau dilukai kepalanya, ditanggalkan giginya, lututnya berdarah karena lemparan batu, tubuhnya dilumuri kotoran, rumahnya dilempari kotoran ternak. Beliau di hina, dan di siksa dengan keji. Saat beliau berdakwah di Thaif, tak ada yang didapatkannya kecuali hinaan dan pengusiran yang keji. Ketika Rasulullah menyadari usaha dakwahnya itu tidak berhasil, beliau memutuskan untuk meninggalkan Thaif. Tetapi penduduk Thaif tidak membiarkan beliau keluar dengan aman, mereka terus mengganggunya dengan melempari batu dan kata-kata penuh ejekan. Lemparan batu yang mengenai Nabi demikian hebat, sehingga tubuh beliau berlumuran darah. 32

Dalam perjalanan pulang, Rasulullah Saw. menjumpai suatu tempat yang dirasa aman dari gangguan orang-orang jahat tersebut. Di sana beliau berdoa begitu mengharukan dan menyayat hati. Demikian sedihnya doa yang dipanjatkan Nabi, sehingga Allah mengutus malaikat Jibril untuk menemuinya. Setibanya di hadapan Nabi, Jibril memberi salam seraya berkata, Allah mengetahui apa yang telah terjadi padamu dan orang-orang ini. Allah telah memerintahkan malaikat di gunung-gunung untuk menaati perintahmu. Sambil berkata demikian, Jibril memperlihatkan para malaikat itu kepada Rasulullah Saw. Kata malaikat itu, Wahai Rasulullah, kami siap untuk menjalankan perintah tuan. Jika tuan mau, kami sanggup menjadikan gunung di sekitar kota itu berbenturan, sehingga penduduk yang ada di kedua belah gunung ini akan mati tertindih. Atau apa saja hukuman yang engkau inginkan, kami siap melaksanakannya. Mendengar tawaran malaikat, Rasulullah Saw. Dengan penuh kasih sayang berkata, Walaupun mereka menolak ajaran Islam, saya berharap dengan kehendak Allah, keturunan mereka pada suatu saat nanti akan menyembah Allah dan beribadah kepadaNya. Ketika Makkah berhasil ditaklukkan, beliau berkata kepada orang-orang yang pernah menyiksanya, Bagaimanakah menurut kalian, apakah yang akan kulakukan terhadapmu? Mereka menangis dan berkata, Engkau adalah saudara yang mulia, putra saudara yang mulia. Nabi Saw. bersabda, Pergilah kalian! Kalian adalah orang-orang yang dibebaskan. Semoga Allah mengampuni kalian. (HR. Thabari, Baihaqi, Ibnu Hibban, dan Syafii). Abu Sufyan bin Harits, sepupu beliau, lari dengan membawa semua anak-anaknya karena pernah menyakiti Rasul Saw., maka Ali bin Abi Thalib Ra. bertanya kepadanya, Hai Abu Sufyan, hendak pergi kemanakah kamu? Ia menjawab, Aku akan keluar ke padang sahara. Biarlah aku dan anak-anakku mati karena lapar, haus, dan tidak berpakaian. Ali bertanya, Mengapa kamu lakukan itu? Ia menjawab, Jika Muhammad menangkapku, niscaya dia akan mencincangku dengan pedang menjadi potongan-potongan kecil. Ali berkata, Kembalilah kamu kepadanya dan ucapkan salam kepadanya dengan mengakui kenabiannya dan katakanlah kepadanya sebagaimana yang pernah dikatakan oleh saudara-saudara Yusuf kepada Yusuf, .Demi Allah, sesungguhnya Allah telah melebihkan kamu atas kami dan sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah (berdosa). (QS. Yusuf [12]: 91). Abu Sufyan pun kembali kepada Nabi Saw. dan berdiri di dekat kepalanya, lalu mengucapkan salam kepada beliau seraya berkata, Wahai Rasulullah, demi Allah, sesungguhnya Allah telah melebihkan engkau atas kami dan sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah (berdosa). (QS. Yusuf [12]: 91). Rasulullah Saw. pun menengadahkan pandangannya, sedang air matanya membasahi pipinya yang indah hingga membasahi jenggotnya. Rasulullah menjawab dengan menyitir firman-Nya, Pada hari ini tidak ada cercaan terhadap kamu. Mudah-mudahan Allah mengampuni (kamu) dan Dia adalah Maha Penyayang di antara para penyayang. (QS. Yusuf [12]: 92). Imam Bukhari meriwayatkan hadits dari Abdullah bin Masud bahwa Rasulullah Saw. bersabda kepadanya, Bacakan al-Quran kepadaku. Ibnu Masud berkata, Bagaimana aku membacakannya kepada Engkau, sementara al-Quran itu sendiri diturunkan kepada Engkau? Aku ingin mendengarnya dari orang lain, jawab beliau. Lalu Ibnu Masud membaca surat an-Nisa hingga firman-Nya, Maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti) apabila Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu). (QS. anNis [4]: 41). Begitu bacaan tiba pada ayat ini, beliau bersabda, Cukup. Ibnu Masud melihat ke arah beliau, dan terlihatlah olehnya bahwa beliau sedang menangis. Dalam kisah ini kita memperoleh pelajaran berharga, bahwa Rasulullah Saw. sangat mencintai umat manusia. Beliau sangat mengharapkan agar orang-orang kafir itu beriman. Karena balasan kekafiran adalah neraka yang menyala-nyala. Rasulullah sendiri pernah melihat neraka. Dia melihat sungguh mengerikan neraka itu. Hingga ketika menyadari hal itu, mengalirlah airmatanya dengan deras. Abu Dzar Ra. meriwayatkan dari Nabi Saw., bahwa beliau mendirikan shalat malam, sambil menangis dengan membaca satu ayat yang diulang-ulangi, yaitu, Jika Engkau menyiksa 33

mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba Engkau juga. (QS. al-Maidah [5]: 118). Dan diriwayatkan saat hari kiamat tiba, beliaulah orang yang pertama kali dibangkitkan. Yang diucapkannya pertama kali adalah, Mana umatku? Mana umatku? Mana umatku? Beliau ingin masuk surga bersama-sama umatnya. Beliau kucurkan syafaat kepada umatnya sebagai tanda kecintaan beliau terhadap mereka. Beliau juga sering berdoa, Allahumma salimna ummati. Ya Allah selamatkan umatku. Keadaan diri Nabi Muhammad Saw. digambarkan Allah Swt. dalam firman-Nya, Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. (QS. at-Taubah [9]: 129). Alangkah buruknya akhlak kita bila tak mencintai Nabi, sebagaimana Nabi mencintai kita, berkorban untuk kita, dan meneteskan airmatanya untuk kita. Di sini, apakah kita hanya berdiam diri saat Nabi dihina, seolah kita bukan lagi umatnya. Apakah kita rela Nabi berdakwah seorang diri dan kemudian dilempari batu hingga berdarah-darah, sementara umatnya yang begitu banyak hanya bisa berdiam diri? Tangisan sang Nabi hendaknya menjadi pengingat kita, untuk lebih mencintainya, membelanya, bahkan berkorban nyawa untuknya, sebagaimana ia telah berkorban nyawa untuk kita agar kita selamat dari siksa neraka.

Curhat
Suatu saat, ketika saya bersilaturahmi dengan guru ngaji saya, nun jauh di kampung, beliau berpesan. Dan pesan beliau adalah, "Jika kamu sedang punya masalah, janganlah kau diamkan sendiri. Curahkanlah perasaan hatimu dengan orang yang paling dekat denganmu. Mungkin orang tuamu, kawanmu, saudaramu atau siapa saja. Jika semua itu meragukanmu atau kau kurang berani mengatakan sejujurnya, dengan guru ngajimu pun tidak apa-apa. Sebab dengan 'curhat', tidak jarang akan menemukan jalan keluar. Dan tentu saja itu akan melegakan kamu." Pesan guru ngaji saya itu sering saya praktekan. Karena terus terang saja, sebagai manusia biasa, saya ini sering sekali mengalami kesukaran-kesukaran dalam menghadapi sesuatu hal atau masalah. Maka beberapa waktu lalu, ketika himpitan masalah bertubi-tubi datang kepada saya, pada saat saya sedang merenda hari-hari di negeri orang, saya pun tak ragu-ragu untuk mencurahkan perasaan saya kepada sahabat-sahabat saya. Saya mencoba menuliskan permasalahan saya, dan saya kirimkan ke sebuah redaksi situs Islam. Dan beberapa hari kemudian redaksi situs tersebut memuatnya. Sejak itu, banyak nasehat, petuah, doa, saran, berdatangan di mailbox saya. Ada yang mendoakan semoga saya tabah. Dan apa yang sedang menimpa saya menjadi jalan untuk mengugurkan dosa-dosa saya. Ada juga yang mendoakan, walaupun banyak masalah tapi istiqamah-lah dalam menjalankan syariat-Nya. Ada juga yang mengingatkan agar saya banyak-banyak mengingat Allah. Ada juga yang memberi saran, agar saya pulang saja ke Indonesia, walau bagaimanapun Indoneia masih menjajikan untuk para pencari rezeki. Dan ada seorang yang sedang punya nasib sama dengan saya, yaitu seorang pekerja di Hongkong, memberi nasehat panjang lebar kepada saya dengan cara menuliskan perjalanan hidupnya. Perempuan muda asal Blitar, Jawa Timur itu menulis: Saya memang sangat menikmati pekerjaan di Hongkong ini, Mas. Majikan saya sangat baik. Kalau pekerjaan saya sudah selesai, saya bisa melakanakan kegiatan apa saja. Bisa baca buku, browsing internet di rumah dan juga diberi keleluasaan beribadah, walaupun majikan saya sendiri tidak beragama. Tapi, tahukah kamu dengan perjalanan hidup saya? Saya akan mencoba menceritakan padamu. Saya asal Blitar, Jawa Timur. Bapak saya seorang buruh nelayan, yang tidak punya perahu sendiri. Ketika SD, guru-guru saya memuji bahwa saya adalah anak pandai di sekolah. Saya selalu menduduki ranking atas. Sehingga saya punya obsesi untuk melanjutkan sekolah setelah 34

tamat SD. Tapi rupanya obsesi saya tidak seimbang dengan kemampuan orang tua saya. Saya baru merasa bahwa sekolah butuh biaya banyak. Sambil bekerja di sebuah peternakan saya masuk SMP. Namun hanya bertahan setahun, karena kekurangan biaya. Memasuki kelas dua, saya keluar. Umur saya waktu itu empat belas tahun. Keluar dari sekolah, saya mencoba merantau ke Singapura. Sayang, di sana saya menemui majikan yang sangat tidak baik. Jangankan berhubungan dengan kawan, menerima surat dari Indonesia pun saya tidak boleh. Walaupun begitu, saya kuatkan sampai habis kontrak, yaitu selama dua tahun. Setelah merantau ke Singapura, sebenarnya saya tidak ingin merantau ke luar negeri lagi. Kapok rasanya kerja di luar negeri. Tapi apa hendak dikata, saya tidak tahan melihat keadaan orang tua. Ahirnya saya memutuskan untuk merantau lagi. Kal ini saya mencoba merantau ke Hongkong. Alhamdulillah proses ke sana agak mudah. Dan saya menemui majikan yang lain dengan yang di Singapura. Tahun pertama saya bisa membantu menyekolahkan adik saya sambil mondok di Jember. Dan saya juga bisa membelikan perahu sendiri untuk ayah. Alhamdulillah agak ada sedikit peningkatan dalam kehidupan keluarga saya. Namun kesenangan saya tidak berumur lama. Tiba-tiba sebuah kejadian menimpa saya lagi. Awalnya saya menolong seorang teman yang sama-sama kerja di Hongkong. Dia butuh uang banyak. Karena saya tidak mempunyai uang sebanyak yang ia minta, ahirnya saya relakan dokumen paspor saya untuk meminjam uang di bank. Namun baru dua kali angsuran, dia dipulangkan dari Hongkong. Terpaksa sayalah yang harus mengangsur utang kawan saya tersebut. Padahal waktu itu saya sedang membantu orang tua saya dalam usaha pertanian. Akhirnya usaha tersebut menjadi kocar-kacir. Cobaan dari Allah tidak hanya sampai di situ. Tiba-tiba di saat kekalutan belum pulih, orang tua saya mengabarkan bahwa, Blitar dilanda banjir besar. Rumah orang tua saya ikut terkena musibah itu. Sekarang hanya tinggal rumah kosong dan seonggok sampah yang dibawa banjir. Kesedihan saya terus bertambah. Namun saya akan meneruskan bekerja di Hongkong. Bagaimanapun juga saya harus melanjutkan usaha ini. Mas, sekarang saya sudah memasuki kontrak yang ke empat. Saya diam sejenak membaca kisah sahabat saya ini. Saya mencoba mengulas perjalanan hidup saya sendiri. Dan mencoba membandingkannya dengan dia. Akhirnya tak terasa terlontar rintihan dari dalam diri saya. Ternyata saya tidak sendiri dalam menghadapi kesulitan hidup ini. Kisah sahabat saya mengajari agar saya lebih banyak untuk menunduk. Menunduk dalam arti banyak-banyak memandang ke bawah. Ternyata pada saat kami mengalami masalah berat, ada kawan atau sahabat kita yang sedang mengalami yang lebih berat dari kami. Jadi, sebagai hamba Allah, memang tidak ada alasan apapun bagi kita untuk tidak bersyukur padaNya. Sebab nikmat Allah tidak harus seonggok rupiah, masih diberi kesempatan untuk hidup pun adalah nikmat terbesar yang Dia berikan pada kami. Mungkin saya tidak akan menemui 'mutiara kehidupan' ini, seandainya saya tidak mencurahkan isi hati saya kepada orang lain. Mungkin saya akan selalu dalam kedaan beku pikiran dan larut dalam gelombang kesedihan. Dan benarlah kata guru ngaji saya, bahwa 'curhat' bisa menjembatani kami untuk mendobrak berbagai macam permasalahan.

DAHSYATNYA energi IBADAH


oleh Sus Woyo "Om min dotter skulle ha dott, skulle jag nog inte be som han gjorde, tankte jag" (Saya fikir, jika anak saya harus meninggal, mungkin saya tidak akan beribadah sebagaimana ibadah yang dia lakukan) eramuslim - Rabu malam tanggal 18 Nopember lalu, masyarakat Swedia dikejutkan dengan berita kematian atlit kebanggaan mereka, Mikael Ljungberg. Mikael Ljungberg, pegulat berusia 34 tahun, peraih mendali emas di Olimpiade dunia di Sydney tahun 2000 yang lalu telah 35

mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri di rumah sakit Molndal (di luar kota Gothenburg) tempat dia menjalani terapi depresi. Tidak begitu jelas hal apa yang mendorongnya melakukan bunuh diri. Berbagai peristiwa sedih memang mendera sang jagoan olimpiade ini termasuk kematian ibunya dan perceraian dengan istrinya. Sungguh disayangkan, Mikael Ljungberg, pria yang pernah dijuluki manusia terkuat di dunia (karena telah berkali-kali meraih berbagai mendali pada olah raga gulat pada berbagai kejuaraan tingkat dunia), pria yang pernah menaklukkan seluruh pegulat-pegulat terbaik di dunia, ternyata tidak mampu menaklukkan dirinya sendiri. Begitulah episode akhir dari jagon olimpiade yang telah kehilangan energi kehidupan. Sebagaimana yang ditulis Anawati beberapa waktu yang lalu di eramuslim tentang Energi Ambang, semua yang hidup, segala sesuatu yang bergerak, memerlukan energi. Bila energi terus menipis dan kemudian habis, benda yang tadinya bergerak, perlahan berhenti hingga akhirnya stop sama sekali. Energi yang paling hakiki bagi seorang manusia adalah motivasi hidupnya. Bila motivasi hilang, maka hilanglah pegangan hidup, lenyaplah energi dan berhentilah kehidupan itu sendiri. Motivasi hidup seorang manusia adalah untuk beribadah kepada Allah. Ibadah inilah yang menjadi sumber energi bagi kehidupan, demikian hal yang pernah diungkap di salah satu edisi Majalah Tarbawi. Karena itulah kehidupan yang ditopang semata-mata oleh teori humanisme belaka, seperti laiknya masyarakat barat, hanya melahirkan sosok-sosok yang rentan dan labil, yang tidak mampu menahan badai kehidupan. Jadi jangan heran, orang-orang barat yang tubuhnya segar bugar, prianya tampan-tampan dan wanitanya cantik-cantik, ternyata kebanyakan mereka tidak ubahnya sosok-sosok lemah tanpa daya yang begitu mudah mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Misalnya di Swedia, manurut harian pagi terkemuka Goteborgs Posten, diantara jumlah penduduk Swedia yang hanya 9 juta orang itu, setiap enam jam ada satu orang yang mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Bahkan bunuh diri adalah penyebab kematian terbesar bagi golongan usia 15-44 tahun, usia muda dimana seseorang seharusnya mempunyai energi yang prima untuk berkarya. Ibadah kepada Allah, adalah sumber energi kehidupan yang utama dan pertama. Energi sangat diperlukan, terlebih-lebih pada saat-saat krisis. Bahwa kehidupan di dunia tidaklah selalu diwarnai dengan bunga, pujian dan sanjungan. Bahwa onak dan duri kerap ditemukan dalam jalan kehidupan yang panjang ini. Bahwa badai, ombak dan gelombang bisa saja datang secara tiba-tiba, yang bila kita tidak mempunyai persediaan energi yang prima untuk berenang ke tepian, bisa saja gelombang tadi menyeret dan menenggelamkan kita ke dasar lautan, ke lembah neraka jahanam karena kita mengakhiri hidup dengan bunuh diri. "Sesunggunya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir. Kecuali orang-orang yang mengerjakan sholat, yang mereka itu tetap mengerjakan sholatnya" (Qur'an, surah AlMa'aarij:19-23). Di sinilah sholat, sebagai salah satu bentuk ibadah kepada Allah, mampu membentuk pribadi-pribadi tangguh, yang selalu mempunyai energi kehidupan sehingga tidak berkeluh kesah apalagi menyerah terhadap berbagai kesusahan dan kesedihan. Apalagi Allah telah menjanjikan bahwa sholat yang benar akan mampu mencegah manusia dari perbuatan keji dan mungkan termasuk bunuh diri. Saya jadi teringat kisah Fredrik Dahlberg, pemuda asli Swedia kelahiran tahun 1974, yang kemudian menjadi muslim di tahun 1996. Istrinya, gadis asal Perancis, juga menjadi muslim pada tahun yang sama. Allahu Akbar. Sebelum mereka menjadi muslim, mereka pernah berkunjung ke Yaman. Suatu ketika mereka tidak menemukan hotel untuk bermalam hingga akhirnya datang seorang Yaman menawari mereka bermalam di tempat tinggalnya. Selain Fredrik dan istrinya, ada juga tiga orang Yaman lainnya, yang ketika itu tidak mempunyai tempat bermalam, juga ditawari bermalam di tempat tinggal orang tadi. Lelaki Yaman tadi begitu ramah dan positif, tidak tampak raut kesedihan sama sekali, padahal anak gadis tercintanya yang berumur 1 tahun baru saja meninggal dunia sebulan yang lalu. Namun lelaki Yaman ini tetap memuliakan para tamunya (termasuk Fredrik dan istrinya) sebagaimana yang diperintahkan dalam Islam. Setelah semuanya selesai, malam itu laki-laki Yaman tadi bersama tiga orang Yaman lainya menunaikan sholat berjamaah. Menyaksikan laki36

laki Yaman tadi begitu khusyuk dalam sholatnya (padahal anaknya baru saja meninggal dunia), Fredrik menulis dalam buku memoarnya, "Om min dotter skulle ha dott, skulle jag nog inte be som han gjorde, tankte jag" artinya "Saya fikir, jika anak saya harus meninggal, mungkin saya tidak akan beribadah sebagaimana ibadah yang dia (laki-laki Yaman itu) lakukan". Lebih lanjut Fredrik menulis mengomentari pria Yaman tadi "Att vara positif, och be till Gud..." "Selalu bersikap positif dan beribadah pada Allah..." Sikap pria tadi yang begitu tegar dalam menghadapi musibah dan senantiasa berprasangka positif kepada Allah, memberikan kesan yang begitu kuat dan mendalam bagi Fredrik dan istrinya. Peristiwa ini adalah satu dari beberapa peristiwa lainnya, yang membuat Fredrik dan istrinya sangat kagum terhadap muslim hingga akhirnya mereka tertarik mempelajari Islam dan kemudian menjadi muslim. Pria Yaman tadi adalah orang yang sangat sederhana, bukan orang ternama seperti Mikael Ljungberg. Pria Yaman ini juga bukanlah orang seperkasa Mikael Ljungberg yang mampu mengalahkan pegulat-pegulat kelas dunia. Namun Pria Yaman ini memiliki energi kehidupan yang tidak pernah habis, sebuah energi yang tidak dimiliki oleh Mikael Ljungberg. Mungkin inilah rahasia mengapa ibadah kepada Allah harus terus dilakukan dimana dan kapan saja serta dalam keadaan bagaimana pun juga, karena melalui ibadahlah kita mendapatkan energi kehidupan. Bila ibadah terhenti, energi menjadi lenyap, tubuh menjadi kaku maka di sinilah terminal kehidupan dunia kita berakhir ( menuju kehidupan akhirat yang kekal abadi ).

Entrepeneur Langit
Apakah Anda Sungguh Ingin Menjadi Pengusaha dan Kaya Raya? Ada jerih payah untuk mendapatkan kekayaan, ribuan kehati-hatian untuk mempertahankannya, dan ribuan kesedihan jika kehilangan - Thomas Draxe Sebuah sub judul pada halaman awal sebuah buku pegangan bagi calon pengusaha sukses di tanganku. "Mmm ... pengusaha dan kaya raya, sebuah dua sisi mata uang, selalu berhubungan," pikirku. Sejak kecil impian untuk menjadi seorang pengusaha selalu terngiang. Aku masih teringat sewaktu di sekolah dasar di era 80-an, seringkali aku membawa sebuah kartu nama ayahku yang tertulis sebagai President Director di salah satu perusahaan. Sering kubawa kartu nama itu, sesekali kupamerkan kepada rekan-rekanku di sekolah. Dulu, aku begitu bangga dengan kartu nama tersebut. Atau kadangkala aku buat sendiri sebuah kartu nama dari guntingan kertas karton yang kuberi logo dan warna sesuka hatiku, dan tak lupa menuliskan jabatan president director di bawah namaku dengan spidolku. Ehm ... senang hatiku melihatnya, dan sering pula kutunjukan pada kedua orang tuaku, atau siapa pun yang ingin aku pamerkan. Kartu itu kerap menghiasi dompet mungilku, dan aku berharap mudah-mudahan dewasa kelak bisa menjadi pengusaha sungguhan. Mimpiku. Itu masa kecilku ... Ya, pengusaha. Yang dibayangkan oleh kebanyakan orang, menjadi pengusaha tentulah selalu dikelilingi oleh berbagai kekayaan dan kesenangan. Mudah untuk meraup uang, kepuasan materil tercukupi, dikelilingi kemewahan dan kenyamanan. Menjadi pengusaha yang kaya menjadi impian banyak orang. Kekayaan selalu menjadi tujuan utamanya. Ya, sekali lagi, kaya telah menjadi sesembahan baru di zaman ini. Sungguh mengagetkan pendapat Robert T. Kiyosaki dalam menanggapi definisi "bagaimana mencapai level kaya". Dia mengatakan bahwa alasan kenapa banyak orang tidak bisa kaya adalah karena mereka tidak cukup atau kurang memberi kepada sesamanya. Atau dengan kalimat yang lebih sederhana adalah seseorang yang mempunyai manfaat atau nilai tambah bagi orang banyak, maka orang tersebut akan menjadi kaya raya. Aku pikir itu adalah prinsip yang sungguh Islami. Aku teringat sebuah dialog dengan rekan seorang pengusaha yang sungguh menarik sekaligus memperkuat penjelasan di atas. Pada saat kutanya bagaimana caranya membangun bisnisnya, beliau mengatakan, "Yang terpenting dalam targetku adalah aku berbuat bisnis seperti ini bukan karena ingin memupuk kekayaan, sungguh sekali-kali tidak! Yang kuingin adalah aku punya sekumpulan pegawai laiknya kumpulan umat di bawah wilayah perusahaanku. Aku berharap dengan di bawah kepemimpinanku, tidak ada teriakan kata lapar lagi dari para pegawai maupun anak-anak mereka. Aku ingin menjadikan kantorku sebagai tempat perlindungan 37

sekumpulan umat kecilku itu, aku sayang mereka, dan semakin sayang kepada mereka, dan juga kepada anak-anak mereka. Tidak pernah terpikir olehku berapa besar biaya yang akan dikeluarkan untuk merealisasikan hal ini. Aku bina perusahaan tersebut dengan landasan cinta dan kasih sayang laiknya seorang ayah. Aku berusaha keras sekuat tenagaku untuk menahkodai kapal bisnis ini untuk sampai di pantai kebahagiaan kelak secara bersama-sama. Dan selalu kulibatkan kehadiran Allah dalam setiap langkah kami. Kuingin suasana perjuangan selalu hadir, agar hati kami selalu hidup dan umatku merasa bahagia, dan aku berkeyakinan hal itu akan menjadi persembahan kami dalam meraih keberkahan dan akan menjadi bekal di akhirat kelak ...! Kami yakin pasti Allah akan selalu menolong kami." Tak terasa mataku berkaca kaca dan keharuanku mengalir bersama dengan uraiannya. Lain lagi Bob Galvin, bercerita tentang ayahnya, pendiri Motorola. Sewaktu dia mengamati deretan pekerja wanita dan dia termenung, "Mereka semua mirip dengan ibuku, mereka semua punya anak yang harus dicukupkan, rumah yang harus dirawat, dan orang-orang yang masih memerlukan mereka yang berada dibawah tanggungan mereka." Hal itulah, ujar Galvin, yang membuat ayahnya selalu termotivasi untuk bekerja lebih keras lagi agar tercipta kehidupan yang lebih baik bagi mereka karena ayahnya melihat sosok ibunya dalam diri semua pekerja itu. "Begitulah bisnis kami semuanya dimulai dengan rasa hormat yang mendalam," katanya. Bahkan salah satu sosok kaum beriman, Umar bin Abdul Azis, karena rasa belas kasih dan rasa cintanya, dia selalu memberikan upah kepada pegawainya lebih besar dari apa yang ia terima. "Allahu akbar," gumamku, dan aku yakin bila hal ini kusampaikan kepada para pegawaiku, mereka semua akan tersenyum lebar dan berharap hal itu menjadi kenyataan setelah membaca ini. Abdurrahman bin Auf, salah seorang sahabat nabi juga telah mempraktekkan tentang bagaimana menggunakan kekayaanya. Dia seorang pengusaha yang sukses. Tetapi dia memandang kekayaannya hanyalah sebagai fasilitas untuk beramal saleh. Dia mencontohkan dalam kisahnya yang telah mensedekahkan separuh harta miliknya sebanyak 40.000 dinar pada Rasulullah saw, kemudian dia mensedekahkan lagi hartanya sebanyak 40.000 dinar, dan kembali bersedekah sebanyak 40.000 dinar. Semuanya itu berlangsung dalam jangka waktu yang berdekatan. Lalu dia menanggung 500 kuda untuk kepentingan fi sabillillah, dan setelah itu kembali menanggung 1.500 unta untuk kepentingan fi sabilillah. Sebagian besar harta milik Abdurrahman tersebut adalah yang dia peroleh murni dari hasil berbisnis. Mereka melakukan semua itu, tidak lain karena mereka tidak menjadikan kekayaan sebagai hasil akhir yang ingin dicapai, melainkan mereka menggunakan kekayaan yang dimilikinya untuk meraih janji Tuhannya dengan mendapatkan ganjaran yang luar biasa yaitu surga-Nya. Sesungguhnya Allah membeli dari orang orang mukmin, baik diri maupun harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka, maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan demikian itulah kemenangan yang agung." (At Taubah:111) Said Nursi, ulama dari Turki, mengomentari ayat tersebut dan berkata, "Seandainya saya memiliki seribu nyawa, dengan senang hati saya akan mengorbankan semuanya demi kejayaan Islam. Bagaimana tidak? Karena sesungguhnya saya kini sedang menunggu di alam Barzakh (alam antara kematian dan kebangkitan), kereta yang akan membawa saya ke akhirat. Saya sudah ikhlas dan siap melakukan perjalanan ke dunia lain untuk bergabung bersama di tiang gantungan. Saya ingin sekali dan sudah tidak sabar untuk melihat akhirat. Cobalah Anda bayangkan keadaan pikiran seorang anak kampung dari sebuah dusun yang seumur hidupnya belum pernah melihat sebuah kota besar dengan berbagai kesenangan, kemewahan dan kemegahan. Maka anda akan tahu bagaimana ketidaksabaran saya untuk mencapai hari akhir itu." Akhirnya, sudah siapkah kita menjadi enterpreuner langit seperti itu ?

Berawal Dari Mimpi


Kenyataan hari ini adalah impian hari kemarin (Imam Asy Syahid Hasan Al Banna)

38

Sahabatku Jika engkau mau membaca sejarah biografi tokoh-tokoh ternama. Maka engkau akan temukan bahwa apa yang telah mereka ciptakan berawal dari mimpi. Ketika aku mencari nama orang yang bisa mengenali dan menghidupkan impiannya, saya berpikir tentang visioner dan pioner mobil Henry Ford. Dia menyatakan, Semua rahasia hidup yang berhasil adalah menemukan apa yang ditentukan nasib pada kita, dan kemudian melakukannya. Orang-orang lainnya berani bermimpi dan mereka sukses. Beethoven menyadarkan dunia akan kemampuan hebatnya dalam musik ketika dia membuat sejumlah simfoni, dan ini terjadi setelah dia kehilangan pendengarannya. Charles Dickens dulunya bermimpi untuk menjadi seorang penulis dan akhirnya dia menjadi novelis yang bukunya paling banyak dibaca orang di Inggris pada zaman Victoria - meskipun dia dilahirkan di keluarga miskin. Thomas Edison melamunkan sebuah lampu yang bisa dihidupkan dengan listrik, memulai dari tempat ia berdiri untuk mengubah impiannya menjadi tindakan. Dan walaupun dia menemui lebih dari sepuluh ribu kegagalan, dia tetap memegang teguh impiannya sampai dia menjadikannya sebuah kenyataan fisik. Pemimpi praktis pantang menyerah! Wright bersaudara memimpikan sebuah mesin yang bisa terbang di udara. Sekarang setiap orang bisa melihat bukti di seluruh dunia bahwa impian mereka menjadi kenyataan. Marconi memimpikan satu sistem untuk mengendalikan kekuatan ether yang tidak kelihatan. Bukti bahwa impiannya tidak sia-sia bisa ditemukan pada setiap pesawat radio dan televisi di seluruh dunia. Mungkin Anda tertarik untuk mengetahui bahwa teman-teman Marconi menyuruh agar dia di kurung dan di periksa di sebuah rumah sakit jiwa ketika ia mengumumkan bahwa dia telah menemukan prinsip yang bisa digunakan untuk mengirim berita melalui udara tanpa bantuan kabel atau sarana fisik komunikasi langsung lainnya. Menurut Jhon C. Maxwell sebuah impian bisa melakukan banyak hal kepada kita: Pertama, impian menunjukkan arah kepada kita. Ia bisa berperan sebagai kompas, memberitahu kita arah mana yang harus ditempuh. Hingga kita mengenali arah yang benar itu, kita tidak akan pernah mengetahui apakah langkah kita benar-benar merupakan kemajuan. Langkah kita mungkin membawa kita ke belakang dan bukan ke depan. Jika engkau bergerak ke sembarang arah selain menuju impianmu, engkau akan kehilangan kesempatan-kesempatan yang diperlukan untuk mencapai kesuksesan. Kedua, impian meningkatkan kekuatan kita. Tanpa impian, kita mungkin harus berjuang keras untuk melihat kekuatan yang ada dalam diri kita karena kita tidak bisa melihat situasi di luar keadaan kita saat ini. Akan tetapi dengan impian, kita mulai memandang diri kita dalam cahaya baru, karena mempunyai kekuatan yang lebih besar dan mampu merentangkan dan berkembang untuk mencapainya. Setiap kesempatan yang kita temui, setiap sumber yang kita dapatkan, setiap talenta yang kita kembangkan, menjadi bagian kekuatan kita untuk tumbuh ke arah impian itu. Semakin besar impian, semakin besar pula kekuatannya. Ketiga, impian membantu kita menentukan prioritas. Impian memberi kita harapan untuk masa depan, dan ia juga memberi kita kekuasaan di saat ini. Impian membuat kita memprioritaskan segala sesuatu yang kita lakukan. Seseorang yang memiliki impian mengetahui apa yang akan atau harus dikorbankannya agar bisa maju. Dia mampu mengukur segala sesuatu yang dikerjakannya apakah membantu atau menghambat impian itu, memusatkan perhatiannya pada hal-hal yang membawanya lebih dekat pada impian itu dan memberi sedikit perhatian pada halhal sebaliknya. Keempat, impian menambah nilai pada pekerjaan kita. impian menempatkan segala yang kita lakukan ke dalam perspektif. Bahkan tugas-tugas yang tidak menyenangkan menambah nilai saat kita mengetahui hal itu memberi kontribusi pada pemenuhan impian. Setiap aktivitas menjadi bagian penting di dalam gambar yang lebih besar itu. Kelima, impian meramal masa depan kita. ketika kita mempunyai impian, kita bukan hanya penonton yang duduk di belakang dan mengharapkan segala sesuatu berubah membaik. Kita harus aktif ikut serta dalam membentuk tujuan dan arti hidup kita. Angin perubahan tidak begitu saja meniup ke sini dan ke sana. Impian kita, ketika dilanjutkan, mungkin sekali merupakan peramal masa depan kita.

39

Sahabatku Ada perbedaan antara mengangankan suatu benda dan siap menerimanya. Tidak ada seorang pun siap untuk sesuatu sampai dia yakin akan memperolehnya. Keadaan pikiran harus penuh keyakinan bukan hanya berharap atau mengangankan. Keadaan pikiran yang terbuka sangat penting untuk keyakinan. Pikiran yang tertutup tidak mengilhamkan keyakinan keberanian, atau kepercayaan.

Berat Langkah Si Tukang Siomay


Oleh Bayu Gawtama Kepulangan ke rumah harus tertunda, ketika pimpinan kantor meminta seluruh tim rapat mendadak. Berbagai bencana yang terjadi di negeri ini, juga gejolak yang tengah bergemuruh di Palestina meski disikapi secara cepat. Sebagai sebuah lembaga kemanusiaan yang memseriusi programnya dalam penanganan bencana, menjadi keharusan tersendiri untuk merespon secara cepat setiap bencana yang terjadi. Namun bukan pentingnya rapat ini yang ingin saya ceritakan, bukan pula isi dan serunya rapat yang memakan waktu cukup lama hingga larut. Adalah sepuluh menit menjelang rapat dimulai, saat saya memesan sepiring siomay kepada tukang siomay langganan di depan kantor. Sesaat menjelang rapat, perut ini terasa berdendang minta diisi. Makanan ringan itulah yang menjadi pilihan, satu porsi pun terpesan. Panggilan pun datang, rapat dimulai. Rapat dilanjutkan usai sholat Maghrib, dan terus berlangsung. Ada yang resah di bawah, ada yang bolak-balik masuk ruang kantor. Ianya hanya menemukan piring kosong di bawah meja saya. Setiap lima menit kembali balik ke dalam kantor berharap orang yang tadi memesan siomaynya sudah ada di tempat. Ternyata yang ditunggu masih di atas, terlupa oleh riuh rendah suasana rapat yang bersemangat. Waktu terus bertambah, hingga seorang teman yang baru saja dari lantai dasar berbisik, "Sudah bayar siomay belum?" astaghfirullah... Tak menunggu rapat selesai, acung tangan langsung bergegas ke bawah. Terhenti nafas ini tak mendapatkan orang yang dicari; si tukang siomay. Melirik sedikit ke bawah meja, piring kosongnya sudah tak ada. Mungkin ia pulang, tapi saya tak bisa berkata apa-apa sambil terus menggenggam empat lembar ribuan di tangan. Cuma empat ribu memang. Tapi ia sebegitu pentingnya untuk bolak-balik ke dalam kantor berharap saya akan membayarnya. Terbayang saya betapa berat langkah si tukang siomay mendorong gerobaknya. Berpikir ia tentang uang belanja yang dinanti sang isteri, resah hatinya tak membawa mainan yang dipesan anak tercintanya. Mungkin semua karena empat ribu yang belum saya bayarkan. Dan boleh jadi, empat ribu itulah keuntungan hasil jualannya setelah disisihkan untuk setoran. Berat langkah si tukang siomay. Itu terus tergambar dalam benak saya, sambil terus menggenggam empat lembar ribuan dan sesekali melirik ke bawah meja tempat piring bekas makan. Terbayang sedihnya sang isteri lantaran suaminya tak membawa uang belanja untuk esok, Mau makan apa besok, pak? Terlintas tangisan si anak yang mendapati bapaknya tak membawa serta mobil mainan plastik yang dipesannya. Bagaimana jika besok ia tak bisa berdagang karena uang setorannya kurang malam itu? Tuhan, berdosa lah hamba Tak lebih dari setengah jam, seseorang masuk ke dalam kantor. Senyumnya yang khas menyapa lembut. Saya tahu yang dinantinya. Sudah semalam ini, duh ternyata betapa pentingnya empat lembar ribuan itu baginya. Maafkan saya mas, nyaris bibir ini tak mampu berucap apa pun.

Belajar Menjadi "Bapak"


Oleh Sus Woyo Saya sedang mengalami 'episode' kehidupan yang cukup menarik. Paling tidak menarik bagi diri saya sendiri. Dan saya percaya belum tentu menarik bagi orang lain. Sebuah 40

kisah yang runtut, dengan alur cerita yang tidak meloncaat-loncat. Dan alhamdulillah diahiri juga dengan 'ending' yang tak kalah menariknya. Saya ingin sekali menceritakannya kepada orang lain. Atau lebih tepatnya ingin berbagi cerita dengan siapa saja seperti saudara-saudara saya, handai taulan, sahabat, tetangga dan lain sebagainya. Tak ada maksud apapun, kecuali berangkat dari sebuah keyakinan, bahwa setiap jejak langkah manusia, baik yang mengandung tangis atau tawa, manis atau getir, selalu menyimpan hikmah. Walaupun hikmah itu hanya sebesar biji sawi. Awalnya, beberapa hari menjelang lebaran 1426 H, seorang sahabat di Jakarta, mengirim artikel pendek kepada saya. Artikel itu mengisahkan tentang salah satu cara Rasulullah berlebaran. Ditulis oleh Bayu Gawtama, sorang penulis yang tulisannya sering saya baca di sebuah situs Islam. Dalam artikel itu ada dialog yang sangat menyentuh antara seorang anak gadis dengan Rasulullah . "Apakah gerangan yang membuatmu menangis, anakku?" Tanya Nabi. Rasulullah mendekap anak gadis itu. Ternyata ia menangis karena tidak ada yang membelikan baju baru untuk berlebaran. "Ayahku mati syahid dalam peperangan bersama Rasulullah." katanya. "Maukah kamu jika Rasulullah menjadi bapakmu, Aisyah menjadi ibumu, Fatimah sebagai bibimu, Ali menjadi pamanmu serta Hasan dan Husain menjadi saudaramu?" Ujar Rasulullah . Anak gadis itu mendongak. Dan ia baru tahu bahwa yang mendekapnya ternyata adalah Rasulullah , bapaknya anak yatim. Setelah membaca dialog itu saya jadi berpikir. Seandainya yang menemukan anak gadis itu adalah saya, sanggupkah saya dengan serta-merta dan spontanitas bertindak seperti Rasulullah ? Yang menawarkan diri untuk menjadi bapaknya? Berhari-hari saya berpikir tentang itu semua. Masih ada kemiripan dengan cerita tadi, tapi dalam nuansa yang berbeda. Beberapa hari setelah lebaran, ketika saya mau berangkat tidur, tiba-tiba seorang kawan memanggilmanggil saya. Katanya, ada sinetron bagus produksi Indonesia yang ditayangkan TV Brunei. Saya bergegas untuk ikut menontonnya. Ternyata, cerita sinetron itu diambil dari novel 'PadaMu Aku Bersimpuh' karya Gola Gong. Penulis yang pernah melahirkan novel berseri 'Ballada Si Roy' yang populer di tahun 90-an. Dalam tayangan sinetron yang diproduksi tahun 2001 itu, ada juga sesuatu yang membuat saya sempat tidak bisa melupakannya. Yaitu tentang komentar H . Budiman, tokoh dalam cerita itu, terhadap anak pungutnya yang bernama Ana. Kata H. Budiman, "Ini adalah anugrah yang di kirim Allah kepada saya. Saya harus menjalankan amanah ini baikbaik." Saya terus mengikuti sinetron yang ditayangkan setiap malam Jum'at itu. Dan saya menangkap dengan gamblang, bahwa H. Budiman telah membuktikan kata-katanya. Ia telah bertanggung jawab betul-betul kepada anak pungutnya itu. Mendidik, mengarahkan dan juga memberi fasilitas ke jalan lurus berdasarkan syariat-Nya. Dan ia tak pernah membedakan antara anak pungut dengan anak yang dilahirkannya sendiri. Masih dalam bulan Syawal, juga masih berkisah tentang seorang bapak, tepatnya pada tanggal 17, saya selalu ingat acara rutin tahunan yang selalu diselenggarakan oleh pesantren tempat dulu saya 'numpang tidur' beberapa lama. Acara tahunan itu berlabel 'tasyakur lil ikhtitam'. Sebuah acara syukuran atas berhasilnya para santri menempuh pelajaran dalam waktu satu tahun. Biasanya kami berkumpul bersama. Baik yang masih menempuh pelajaran di pesanten itu, maupun yang sudah jadi alumni. Saya, biasanya menyempatkan diri untuk datang dalam acara tersebut, kecuali saat ini, sebab saya sedang merantau di luar negri. Bertemu kembali dengan guru, ustaz sekaligus kyai saya, Bapak Abil Abbas. Sosok agamawan yang maih muda. Yang tak pernah mau disebut guru, ustadz maupun kyai. Beliau hanya mau disebut Bapak. Tak lebih dari itu. Sehingga kami para santri, tak pernah satu kalipun memanggil beliau dengan sebutan Kyai. Ini memang tak lazim. Sebab di pesantren-pesantren tradisional lainnya, guru mereka pasti di panggil Kyai, atau bahkan Romo Kyai. sebuah sebutan yang sudah tidak asing lagi dalam komunitas Islam tradisional di pulau Jawa.

41

Pada awalnya saya juga heran, kepada guru kami itu. Namun pada masa berikutnya saya menemukan jawaban. Bahwa, katanya, hubungan antara bapak dan anak itu, sepanjang masa, bahkan sampai akhirat. Sedang hubungan antara guru dan murid atau santri, pada suatu saat bisa saja terputus ketika kita sudah tidak belajar lagi di tempat yang bersangkutan. Dan ini tercermin pada sikap pak Abil Abbas kepada kami para santrinya. Beliau menganggap kami sebagai anak. Maka kamipun menganggap beliau sebagai bapak kami. Hubungan itupun ahirnya sangat mesra dan erat. Dan suatu malam, setelah menyaksikan tayangan "Pada-Mu Aku Bersimpuh" di TV Brunei itu, saya menjadi ingat Sang Bapak, di pesantren Al-Hikmah, Baturraden, Purwokerto. Sebuah kenangan yang telah menjadi 'prasasti' di kalbu saya.*** * * * *** Di ahir bulan Syawal, istri saya di kampung memberi kabar kepada saya. Bahwa ia baru saja menyaksikan seorang bayi laki-laki yang baru lahir dari sepasang keluarga muda. Istri saya sangat iba karena si ibu bayi itu nampak sangat kerepotan dalam mengurusnya, karena kakak bayi itu belum genap satu tahun dan suaminya bekerja sebagai buruh pabrik di Jakarta. Lagi pula bayi itu memang tidak dikehendaki lahir oleh orang tuanya, namun Allah bertindak lain. Kata ibu si bayi, program KB yang ia ikuti tidak berhasil, sehingga terjadi hamil lagi. Dan lahirlah bayi itu. Ahirnya suatu hari istri saya memberi tawaran, "Bagaimana jika anak itu kita ambil dan kita jadikan anak kami untuk menemani Damar?" Katanya kepada saya lewat SMS-nya. Saya tertegun sejenak membaca pesan singkat istri saya itu. Tapi berbekal referensi dari Rasulullah yang diceritakan dalam tulisan Bayu Gawtama, dan keseriusan Haji Budiman, yang dikisahkan dalam novel Gola Gong, serta pengalaman hidup dengan 'bapak' saya di pesantren Al-Hikmah, dengan mantap saya menyetujui usul istri saya. Maka mulai hari itu, saya bertekad untuk belajar menjadi seorang 'bapak'. Bapak dalam arti sangat luas. Yang tidak hanya memberi pendidikan, arahan dan fasilitas bagi anak yang lahir secara 'genetical' dari rahim istri saya saja, tapi bagi anak siapa saja yang karena sesuatu hal tidak bisa dipelihara langsung oleh kedua orang tuanya, atau malah memang tidak dikehendaki lahir oleh ibu bapaknya. Dan ternyata sekarang ini tidak sedikit anak-anak yang bernasib seperti itu di sekeliling kita. Yang amat sangat membutuhkan uluran tangan serius dari sosok seorang 'bapak'. Apalagi jika kita mau meluangkan waktu untuk berlama-lama di stasiun, terminal atau tempattempat kumuh di kota kita masing-masing. Maka kita akan banyak bertemu dengan anak-anak yang bernasib kurang beruntung. Yang tentunya menunggu sentuhan mesra seorang 'bapak'.**** # Terima kasih kepada Mbak Azimah Rahayu, Mas Bayu Gawtama, Mas Gola Gong dan Sang 'Bapak' di pesantren Al-Hikmah, Baturraden, Purwokerto.#

Belajar dari Jogja


Oleh Ummu Nabilah Alhamdulillah Nduk, Ibu tidak apa-apa, Cuma genting-genting rumah kita saja ada beberapa yang berjatuhan, begitu jawab Ibu ketika saya menanyakan kabar beliau. Pagi itu saya langsung menelepon ke kampung halaman ketika dikagetkan dengan kabar bahwa gempa dengan kekuatan 5,9 skala Richter baru saja terjadi di Yogyakarta dan wilayah sekitarnya di Jawa Tengah. Tapi berkali-kali saya telepon, tak juga ada yang mengangkat. Di antara perasaan cemas, alhamdulillah saya bisa mendapatkan kabar dari tetangga bahwa warga kampung itu semua selamat. Akhirnya selepas Ashar,saya bisa menghubungi Ibu, setelah menunggu kira-kira 9 jam. Rupanya Ibu tak berani masuk rumah karena khawatir akan terjadi gempa susulan. Saya sempat mengkhawatirkan keselamatan Ibu yang tinggal sebatang kara di rumah itu. Apalagi tayangan di televisi memberitakan bahwa Kabupaten Klaten adalah salah satu daerah yang mengalami kerusakan parah dan banyak korban jiwa berjatuhan. Belakangan saya mengetahui bahwa di seluruh kecamatan tempat Ibu tinggal -yang letaknya di wilayah utara 42

Kabupaten Klaten dan berbatasan dengan Kabupaten Boyolali- relatif tidak terjadi kerusakan parah dan tidak terdapat korban jiwa. Melihat berbagai peristiwa di muka bumi yang menyayat-nyayat hati, seolah-olah saya kembali diingatkan oleh Sang Maha Kuasa akan ketidakberdayaan kita di hadapan-Nya. Sekaya apapun, sepintar apapun, sesehat apapun, dan sekuat apapun, kita tak akan kuasa menandingiNya. Sungguh, ketika Allah menghendaki segala sesuatu tinggal berkata, kun fayakuun maka terjadilah apa yang dikehendaki Sang Pemilik Jagad Raya. Kehendak-Nya tak bisa ditunda. Kehendak-Nya bisa membuat manusia tertawa riang atau menangis pilu. Namun yang pasti, kita harus bersikap positip terhadap segala kejadian itu. Rasulullah SAW bersabda, Aku mengagumi seorang mukmin. Bila memperoleh kebaikan ia memuji Allah dan bersyukur. bila ditimba musibah, ia memuji Allah dan bersabar (HR Imam Ahmad). Semua peristiwa ada hikmahnya. Dengannya, Allah mengingatkan manusia agar tak bersikap ujub dan takabur. Dengannya, Allah mengingatkan manusia untuk senantiasa bersiapsiap menanti ajalnya. Dengannya pula, Allah mengingatkan manusia untuk senantiasa menyiapkan bekal yang harus dibawa menghadap-Nya. Wallaahu 'a'lam bishshowaab.

Amal Pembayar
Ketika permasalahan hidup membelit dan kebingungan serta kegalauan mendera rasa hati. Ketika gelisah jiwa menghempas-hempas. Ketika semua pintu solusi terlihat buntu. Dan kepala serasa hendak meledak: tak mengerti apalagi yang mesti dilakukan. Tak tahu lagi jalan mana yang harus ditempuh. Hingga dunia terasa begitu sempit dan menyesakkan. Ketika kepedihan merujit-rujit hati. Ketika kabut kesedihan meruyak, menelusup ke dalam sanubari. Atas musibah-musibah yang beruntun mendera diri. Apalagi yang dapat dilakukan untuk meringankan beban perasaan? Apalagi yang dapat dikerjakan untuk melepas kekecewaan? Ketika kesalahan tak sengaja dilakukan. Ketika beban dosa terasa menghimpit badan. Ketika rasa bersalah mengalir ke seluruh pembuluh darah. Ketika penyesalan menenggelamkan diri dalam airmata kesedihan. Apa yang dapat dilakukan untuk meringankan beban jiwa ini? Allah berfirman, "Barangsiapa bertakwa kepada-Nya, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar." Rasulullah bersabda, "Ikutilah kesalahan dengan amal baik, niscaya ia akan menghapus dosa-dosamu." Seperti Ibnul Jauzi bilang, "aku pernah dihimpit permasalahan yang membuatku gelisah dan galau berlarut-larut. Kupikirkan dan kucari solusi dengan segala cara dan usaha. Tapi aku tidak menemukan satu jalan pun untuk keluar darinya, hingga kutemukan ayat itu. Maka kusadari, bahwa jalan satu-satunya keluar dari segala kegalauan adalah ketakwaan. Dan ketika jalan ketakwaan itu kutempuh, tiba-tiba Allah sudah lebih dulu menurunkan penyelesaian. Maha suci Allah".** Dengan keyakinan, ku coba jalankan titahNya. Tertatih, kucoba mengikuti sunnah Sang Nabi. Saat diri berhadapan dengan permasalahan yang memepatkan rasa, hingga tak terlihat jalan keluarnya, kucoba lebihkan amal-amal dari yang biasa. Berinfaq lebih banyak. Tersenyum lebih banyak. Memaafkan lebih banyak. Menolong orang lebih banyak. Menambah ibadah harian lebih banyak. Dengan semua itu akan memberikan energi positif bagi kondisi fisik dan psikologis, hingga ketenangan pun tercipta dan pikiran jernih pun terasa. Pada gilirannya, jalan keluar mulai tampak ujungnya. Dan Allah menurunkan kemantapan hati dalam memilih langkah penyelesaian. Saat kesedihan menyelimuti dan rasa bersalah menyesaki, kucoba ikuti sunnah nabi dengan disertai doa: Semoga Allah mengampunkan segala dosa. Silaturahmi. Ya, silaturahmi lah yang saya lakukan. Sebuah tindakan paling realistis yang saya temukan saat itu. Saya mengunjungi semua kerabat, kawan dan handai taulan, saudara-saudara, orang-orang saleh, para guru, tetangga sekitar dan lain-lain yang selama ini saya terlupakan oleh kesibukan. Dan ketenangan pun sedikit demi sedikit tercipta. Meredakan gelisah jiwa. Membersihkan noda-noda dalam dada. Sesudahnya, kutemukan jalan menuju taubat dan kutemukan kafarat pembayar dosa dan duka. 43

ALLAH TIDAK TIDUR


Malam telah larut saat saya meninggalkan kantor. Telah lewat pukul 11 malam. Pekerjaan yang menumpuk, membuat saya harus pulang selarut ini. Ah, hari yang menjemukan saat itu. Terlebih, setelah beberapa saat berjalan, warna langit tampak memerah. Rintik hujan mulai turun. Lengkap sudah, badan yang lelah ditambah dengan "acara" kehujanan. Setengah berlari saya mencari tempat berlindung. Untunglah, penjual nasi goreng yang mangkal di pojok jalan, mempunyai tenda sederhana. Lumayan, pikir saya. Segera saya berteduh, menjumpai bapak penjual yang sendirian ditemani rokok dan lampu petromak yang masih menyala. Dia menyilahkan saya duduk. "Disini saja dik, daripada kehujanan...," begitu katanya saat saya meminta ijin berteduh. Benar saja, hujan mulai deras, dan kami makin terlihat dalam kesunyian yang pekat. Karena merasa tak nyaman atas kebaikan bapak penjual dan tendanya, saya berkata, "tolong bikin mie goreng pak, di makan disini saja. Sang Bapak tersenyum, dan mulai menyiapkan tungku apinya. Dia tampak sibuk. Bumbu dan penggorengan pun telah siap untuk di racik. Tampaklah pertunjukkan sebuah pengalaman yang tak dapat diraih dalam waktu sebentar. Tangannya cekatan sekali meraih botol kecap dan segenap bumbu. Segera saja, mie goreng yang mengepul telah terhidang. Keadaan yang semula canggung mulai hilang. Basa-basi saya bertanya, "Wah hujannya tambah deras nih, orang-orang makin jarang yang keluar ya Pak?" Bapak itu menoleh kearah saya, dan berkata, "Iya dik, jadi sepi nih dagangan saya.." katanya sambil menghisap rokok dalam-dalam. "Kalau hujan begini, jadi sedikit yang beli ya Pak?" kata saya, "Wah, rezekinya jadi berkurang dong ya?" Duh. Pertanyaan yang bodoh. Tentu saja tak banyak yang membeli kalau hujan begini. Tentu, pertanyaan itu hanya akan membuat Bapak itu tambah sedih. Namun, agaknya saya keliru... "Gusti Allah, ora sare dik, (Allah itu tidak pernah istirahat), begitu katanya. "Rezeki saya ada dimana-mana. Saya malah senang kalau hujan begini. Istri sama anak saya di kampung pasti dapat air buat sawah. Yah, walaupun nggak lebar, tapi lumayan lah tanahnya." Bapak itu melanjutkan, "Anak saya yang disini pasti bisa ngojek payung kalau besok masih hujan.....". Degh. Dduh, hati saya tergetar. Bapak itu benar, "Gusti Allah ora sare". Allah Memang Maha Kuasa, yang tak pernah istirahat buat hamba-hamba-Nya. Saya rupanya telah keliru memaknai hidup. Filsafat hidup yang saya punya, tampak tak ada artinya di depan perkataan sederhana itu. Makna nya terlampau dalam, membuat saya banyak berpikir dan menyadari kekerdilan saya di hadapan Tuhan. Saya selalu berpikiran, bahwa hujan adalah bencana, adalah petaka bagi banyak hal. Saya selalu berpendapat, bahwa rezeki itu selalu berupa materi, dan hal nyata yang bisa digenggam dan dirasakan. Dan saya juga berpendapat, bahwa saat ada ujian yang menimpa, maka itu artinya saya cuma harus bersabar. Namun saya keliru. Hujan, memang bisa menjadi bencana, namun rintiknya bisa menjadi anugerah bagi setiap petani. Derasnya juga adalah berkah bagi sawah-sawah yang perlu diairi. Derai hujan mungkin bisa menjadi petaka, namun derai itu pula yang menjadi harapan bagi sebagian orang yang mengojek payung, atau mendorong mobil yang mogok. Hmm...saya makin bergegas untuk menyelesaikan mie goreng itu. Beribu pikiran tampak seperti lintasan-lintasan cahaya yang bergerak di benak saya. "Ya Allah, Engkau Memang Tak Pernah Beristirahat" Untunglah, hujan telah reda, dan sayapun telah selesai makan. Dalam perjalanan pulang, hanya kata itu yang teringat, Gusti Allah Ora Sare..... Gusti Allah Ora Sare... Begitulah, saya sering takjub pada hal-hal kecil yang ada di depan saya. Allah memang selalu punya banyak rahasia, dan mengingatkan kita dengan cara yang tak terduga. Selalu saja, 44

Dia memberikan Cinta kepada saya lewat hal-hal yang sederhana. Dan hal-hal itu, kerap membuat saya menjadi semakin banyak belajar. Dulu, saya berharap, bisa melewati tahun ini dengan hal-hal besar, dengan sesuatu yang istimewa. Saya sering berharap, saat saya bertambah usia, harus ada hal besar yang saya lampaui. Seperti tahun sebelumnya, saya ingin ada hal yang menakjubkan saya lakukan. Namun, rupanya tahun ini Allah punya rencana lain buat saya. Dalam setiap doa saya, sering terucap agar saya selalu dapat belajar dan memaknai hikmah kehidupan. Dan kali ini Allah pun tetap memberikan saya yang terbaik. Saya tetap belajar, dan terus belajar, walaupun bukan dengan hal-hal besar dan istimewa.

Air Mata Rasulullah


Tiba-tiba dari luar pintu terdengar seorang yang berseru mengucapkan salam. "Bolehkah saya masuk?" tanyanya. Tapi Fatimah tidak mengizinkannya masuk, "Maafkanlah, ayahku sedang demam," kata Fatimah yang membalikkan badan dan menutup pintu. Kemudian ia kembali menemani ayahnya yang ternyata sudah membuka mata dan bertanya pada Fatimah, "Siapakah itu wahai anakku?" "Tak tahulah ayahku, orang sepertinya baru sekali ini aku melihatnya," tutur Fatimah lembut. lalu, Rasulullah menatap puterinya itu dengan pandangan yang menggetarkan. Seolaholah bahagian demi bahagian wajah anaknya itu hendak dikenang. "Ketahuilah, dialah yang menghapuskan kenikmatan sementara, dialah yang memisahkan pertemuan di dunia. Dialah malaikatul maut," kata Rasulullah, Fatimah pun menahan ledakkan tangisnya. Malaikat maut datang menghampiri, tapi Rasulullah menanyakan kenapa Jibril tidak ikut sama menyertainya. Kemudian dipanggilah Jibril yang sebelumnya sudah bersiap di atas langit dunia menyambut ruh kekasih Allah dan penghulu dunia ini. "Jibril, jelaskan apa hakku nanti di hadapan Allah?" Tanya Rasululllah dengan suara yang amat lemah. "Pintu-pintu langit telah terbuka, para malaikat telah menanti ruhmu. Semua syurga terbuka lebar menanti kedatanganmu," kata Jibril. Tapi itu ternyata tidak membuatkan Rasulullah lega, matanya masih penuh kecemasan. "Engkau tidak senang mendengar khabar ini?" Tanya Jibril lagi. "Khabarkan kepadaku bagaimana nasib umatku kelak?" "Jangan khawatir, wahai Rasul Allah, aku pernah mendengar Allah berfirman kepadaku: 'Kuharamkan syurga bagi siapa saja, kecuali umat Muhammad telah berada di dalamnya," kata Jibril. Detik-detik semakin dekat, saatnya Izrail melakukan tugas. Perlahan ruh Rasulullah ditarik. Nampak seluruh tubuh Rasulullah bersimbah peluh, urat-urat lehernya menegang. "Jibril, betapa sakit sakaratul maut ini." Perlahan Rasulullah mengaduh. Fatimah terpejam, Ali yang di sampingnya menunduk semakin dalam dan Jibril memalingkan muka. "Jijikkah kau melihatku, hingga kau palingkan wajahmu Jibril?" Tanya Rasulullah pada Malaikat pengantar wahyu itu. "Siapakah yang sanggup, melihat kekasih Allah direnggut ajal," kata Jibril. Sebentar kemudian terdengar Rasulullah mengaduh, karena sakit yang tidak tertahankan lagi. "Ya Allah, dahsyat nian maut ini, timpakan saja semua siksa maut ini kepadaku, jangan pada umatku. "Badan Rasulullah mulai dingin, kaki dan dadanya sudah tidak bergerak lagi. Bibirnya bergetar seakan hendak membisikkan sesuatu, Ali segera mendekatkan telinganya. "Uushiikum bis shalati, wa maa malakat aimanukum -peliharalah shalat dan peliharalah orang-orang lemah di antaramu." Diluar pintu tangis mulai terdengar bersahutan, sahabat saling berpelukan. Fatimah menutupkan tangan di wajahnya, dan Ali kembali mendekatkan telinganya ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan. "Ummatii, ummatii, ummatiii?"-"Umatku, umatku, umatku" Dan, berakhirlah hidup manusia mulia yang memberi sinaran itu. Kini, mampukah kita mencintai sepertinya? Allahumma sholli 'ala Muhammad wa baarik alaaa wa salim 'alaihi Betapa cintanya Rasulullah kepada kita. NB: Kirimkan kepada sahabat-sahabat muslim lainnya agar timbul kesadaran untuk mencintai Allah dan RasulNya, seperti Allah dan Rasulnya mencintai kita. 45

Karena sesungguhnya selain daripada itu hanyalah fana belaka. Amin... Usah gelisah apabila dibenci manusia karena masih banyak yang menyayangimu di dunia tapi gelisahlah apabila dibenci Allah karena tiada lagi yang mengasihmu diakhirat.

AKU INGIN SEPERTIMU SOBAT


Di tempat ku tinggal aku mempunyai sahabat yang bernama Rahmad, ia sangat supel dan rahun dalam membantu tetangga di kampung kami, ia juga yang mengurus Masjid di kampung ini. Setiap pagi ia membantu orang tuanya ke pasar untuk berbelanja kebutuhan sehariharinya dan kebutuhan warung milik ibunya yang terletak di depan rumahnya. Aktifitas cowok berusia 24 tahun ini banyak sekali, ia termasuk kategori orang yang tak bisa diam, selalu bekerja dan beraktifitas, siang hari ia berkumpul di organisasi rohis kampusnya dulu, meskipun ia telah menyelesaikan kuliahnya 2 bulan yang lalu, tapi Rahmad masih saja aktif dalam kegiatan Rohis kampusnya. Sore hari ia berada di Masjid untuk mengajar ngaji, Rahmad dipercaya menjadi Kepala Sekolah anak TPA Al-Quran di kampung kami. Saya memang iri dengan rahmad karena ia sejak pertama kuliah tidak pernah meminta uang untuk membiayai kuliahnya bahkan untuk uang belanjapun ia tidak meminta ke ortunya, ia mendapat beasiswa dari walikota sebagai mahasiswa berprestasi bukan beasiswa mahasiswa tak mampu. Dengan uang itulah ia membayar uang kuliahnya, sedangkan untuk belanja sehariharinya ia dapatkan dari bekerja membayarkan rekening listrik dan air warga di kampung ini, ada sekitar 50 rumah yang mendaftar ke Rahmad untuk di bayarkan rekening listrik dan airnya, dari setiap rumah Rahmad mendapat imbalan 2000 rupiah, jadi warga dikampung ini tidak perlu lagi antri membayar rekening listrik dan air karena sudah ada Rahmad yang membayarkannya. Dengan uang 100 Ribu dan ditambah gaji mengajar ngaji anak-anak dikampung ini sebesar 25 Ribu perbulannya ia mencukupi kebutuhan sehari-harinya, bahkan sering saya melihat setiap ia mendapat uang hasil membayarkan rekening listrik dan air warga ia infaqkan ke Masjid setengahnya, Subhanallah sungguh terpuji Sifatmu teman. Rahmad dulu sering tidur di kostku, hampir setiap malam ia tidur di kostku karena letaknya tidak jauh dari rumahnya hanya berjarak 50 M dari rumahnya, tapi kini semenjak aku pindah dan mengontrak rumah sederhana bersama istriku Rahmad tidak pernah lagi menginap, ia malu, katanya entar mengganggu pengantin baru saja. Saya sedih melihat Rahmad karena susah sekali mendapatkan pekerjaan, semenjak ia lulus ia sudah banyak melamar di kantor dan perusahaan tapi belum ada yang menerimanya, saya mencoba membantu mencarikan pekerjaan di Bontang lewat Ayah saya tapi di daerah Bontang lapangan pekerjaan untuknya tidak ada, Bontang merupakan kota industri minyak bumu dan Pupuk sedangkan ia lulusan Sarjana Perikanan. Minggu lalu ia memasukkan lamaran di sebuah Perusahaan asing sebut saja namanya Total Bangun Persada, setelah menjalani tes dan interview ia menunggu jawaban, seminggu kemudian ada surat tiba, dengan hati-hati Rahmad membuka surat itu dan membaca isinya yang kurang lebih isinya Maaf untuk sementara anda belum dapat kami terima untuk menduduki pekerjaan yang kami butuhkan tampak rasa kecewa di wajahnya. Ia menghela nafas panjang Aku stressss., mengapa susah sekali mencari pekerjaan, nggak kaya kamu enak bisa kerja di kantoran ucapnya padaku. Dimana ya pohon cabe yang tinggi, aku ingin gantung diri saja, hehehe ia tertawa untuk menghilangkan kesedihannya, aku turut tertawa mendengat leluconnya, mana ada orang gantung diri di pohon cabe yang lemah, yang ada orang gantung diri di pohon duren atau kelapa. Mad, kamu sabar aja mungkin Allah belum memberi pekerjaan baru karena belum ada yang mampu menggantikan tugasmu di kampung ini, siapa yang mengajar anak-anak ngaji,

46

waktumu akan tersita banyak. Rahmad tersenyum kecil, bekerja kan hanya sampai jam 4 atau setengah lima, setelah itu aku tetap bisa mengajar ngaji anak-anak. Aku tak menyahut, begitu mulia dan kerasnya pendirian sobatku ini. Aku hanya bisa berdoa semoga ia diberikan pekerjaan yang terbaik oleh ALLAH, semua ini adalah RahasiaNya, pasti ada hikma dibalik semua ini. Aku masih terdiam dan berfikir Banyaknya tabungan yang kupunya tidak sebanding dengan tabungan akhirat yang kau miliki aku ingin seperti mu teman.

Ajaibnya Kata-Kata
Oleh Yon's Revolta Saat saya masih duduk di bangku SMU, guru kimia saya pernah berkata Kamu nggak bakalan keterima UMPTN. Kata-kata itu diucapkannya setelah saya gagal mengerjakan soal kimia di depan kelas. Tentu saja, saya malu pada teman-teman waktu itu. Saya menyadari, saya memang tidak terlalu pintar dalam pelajaran kimia, tapi ketika mendengar guru berkata begitu, tetap saja membuat sakit hati, saya merasa dilecehkan. Setelah pulang sekolah, kata-kata itu terus terngiang-ngiang dalam pikiran. Saya lempar tas ransel dan langsung merebahkan tubuh ke tempat tidur. Ingin istirahat tapi mata tak mau terpejam. Hanya menerawang di langit-langit kamar. Saya tarik nafas panjang-panjang, kemudian dalam hati saya bertekad Saya harus bisa buktikan nanti lulus UMPTN dan masuk perguruan tinggi negeri. Dan, perjuangan itu dimulai... Kata-kata guru saya seolah menjadi cambuk penyemangat dalam belajar. Setiap hari berkutat dengan soal-soal UMPTN yang rumit itu. Kadang sering putus asa juga ketika tidak bisa menyelesaikan soal-soal di hadapan saya. Tapi, bagaimanapun juga, kendala-kendala itu harus bisa teratasi, berjuang terus untuk bisa menjawab soal, biasanya saya berlatih dengan bahan soal tahun-tahun sebelumnya. Kalau memang sudah mentok, melirik kunci jawaban menjadi alternatif terakhir. Begitulah saya melewati hari-hari melelahkan itu.... Berawal dari kata-kata yang menyakitkan itu, saya bangkit dan berjuang. Saya percaya bahwa ketika berbuat maksimal, hasil yang akan diperolah pasti akan sebanding dengan usaha tadi. Dan, benar juga, pada akhirnya saya bisa mewujudkan salah satu impian saya, bisa masuk perguruan tinggi negeri dengan mengambil jurusan yang lumayan favorit, Ilmu Komunikasi. Kata-kata..ya, berawal dari kata-kata... Kata-kata memang ajaib. Dia bisa melemahkan dan juga bisa menguatkan, tergantung dari cara kita mensikapinya. Andai saja saya mensikapi kata-kata guru kimia saya itu dengan negatif, tentu saja hanya menyakitkan dan membuat kesal. Tapi ketika bisa merenungi dan mengubahnya menjadi energi positif. alhamdulillah, ternyata bisa menjadi spirit, penggugah dan penyemangat belajar sehingga pada akhirnya bisa menikmati kuliah di kampus negeri. Kadang kita kerap masih ingat dengan kata-kata teman atau siapapun yang begitu menyakitkan kita. Bahkan sampai bertahun-tahun lamanya kata-kata itu tidak bisa lepas dari ingatan. Untuk itulah, kita harus mesti berhati-hati dengan kata-kata yang kita keluarkan, baik secara lisan maupun tulisan. Hanya ada dua pilihan, kata-kata yang baik atau yang buruk. Saya sendiri pernah mendapat kata-kata yang cukup bagus dari seorang teman kuliah, dia pernah menulis di buku harian saya, bunyinya begini; Sobat..., Dunia ini hanya digerakkan oleh gagasan beberapa orang saja dan aku berharap, kamu adalah salah satunya Dari kata-kata itu, kemudian bisa menginspirasi saya terjun serius ke dunia kepenulisan dan perbukuan. Kata-kata itu memang singkat dan sederhana, tapi maknanya begitu dalam bagi saya. Bisa menjadi penyemangat untuk berkarya dan berkarya lagi. Untuk itulah, berhati-hati dengan kata-kata itu perlu karena dia begitu ajaib, bisa menyenangkan dan menyakitkan. Kalau dihadapkan pada pilihan sadar, tentu kita akan 47

menggunakan kata-kata itu untuk memberikan semangat orang, memberikan pencerahan bahkan bisa menjadikannya semakin dekat dengan Tuhan. Semoga saja begitu, pertanyaannya sekarang, sudahkah kita melakukannya...?

Bersihkan Mushola Berhadiah Gratis Sekolah


Jangan kaget atau heran, kalau suatu hari Anda melihat seorang gadis belia tengah membersihkan mushola di kawasan Depok, Jawa Barat. Anda hanya perlu mendekat dan tanyakan kepadanya perihal yang dikerjakannya. "Saya membersihkan mushola agar bisa gratis sekolah," ujar Rani tanpa malu-malu. Ya, Rani memang tak pernah malu untuk mengerjakan hal itu. Baginya, membersihkan mushola adalah pekerjaan mulia. Selain, Insya Allah, mendapatkan pahala, Rani juga mendapatkan apa yang selama ini menjadi rintangan terbesar dirinya untuk mengenyam pendidikan. Dengan pekerjaan itulah Rani mendapatkan imbalan yang membuatnya sering bersyukur, ia dibebaskan dari kewajiban membayar uang sekolah. Karena mushola tersebut adalah mushola milik sekolah tempat ia belajar. Rani, 16 tahun, gadis kecil yang mampu menyingkirkan rasa malunya dari temanteman sekolahnya lantaran menjadi pembersih mushola sekolah. Berbeda dengan temantemannya yang masih mendapat sokongan dari orangtuanya baik uang sekolah maupun uang saku untuk jajan, Rani tak pernah mencicipinya. Rani sadar betul, orangtuanya tergolong tak mampu, maka untuk tetap bersekolah, ia harus melakukan sesuatu. Awalnya Rani tak tahu, sampai akhirnya pihak sekolah menawarkan satu pekerjaan dengan imbalan gratis biaya sekolah. Jadilah Rani sang pembersih mushola. Dan ia senang melakukannya. Jangan pernah tanya berapa uang saku Rani untuk jajan di sekolah. Karena untuk ongkos pulang pergi ke sekolah yang berjarak 5 km dari rumahnya pun Rani tak punya. Ia harus berangkat lebih awal agar tak terlambat berjalan kaki ke sekolahnya. Alhasil, tidak jarang pakaian seragamnya basah oleh peluh setibanya di sekolah. Pulang ke rumah pun demikian. Setelah membersihkan mushola, ia kembali ke rumah tetap dengan berjalan kaki. Rani tak pernah bersedih, apalagi menyesali nasibnya. Ia merasa harus tetap berjuang. Mungkin Rani tak pernah tahu, bahwa jalan yang tengah ditempuhnya kini adalah jalan yang pernah dilalui orang-orang sukses terdahulu. Tak pernah ada orang sukses tanpa mengarungi derasnya ombak kehidupan, dan tak satupun orang meraih sukses tanpa peluh. Kelak, jika Rani menuai kesuksesannya. Pastilah sulit baginya melupakan terminalterminal perjalanan hidupnya. Mushola dan sepanjang jalan menuju sekolahnya, juga baju seragam yang sering bersimbah peluh itu, akan senantiasa menjadi kenangan terindah yang tak mungkin terhapus.***

Belajar dari Mujahidah Senja


Oleh Miftahul Jannah Jika gelap datang tiba-tiba Ketika kita telah begitu terbiasa dengan cahaya terangbenderang Sebijak apakah kita menyikapinya? Saya sebenarnya tidak terlalu mengenalnya dengan baik, ya... tidak sebelum dia benarbenar menginspirasi saya. Dia adalah kakak angkatan saya. Tidak banyak aktivitas bersama yang pernah kami kerjakan. Sekedar bahwa kami sama-sama kuliah di satu universitas, satu fakultas, satu jurusan, dan melibatkan diri di sebuah komunitas muslim fakultas, namun juga di bidang yang berbeda. Sampai suatu hari saya dikejutkan dengan berita bahwa beliau mengalami sakit yang berefek terhadap penglihatannya. Di hari yang sama ketika saya mendengar berita seorang adik angkatan meninggal dunia, juga teman seangkatan saya yang mengalami kecelakaan yang menyebabkan patah tulang kaki dan tangannya. Ya Allah, saya patut bersyukur dengan kecelakaan kecil yang saya alami sore harinya karena emosi saya benar-benar teraduk-aduk dengan berita-berita duka yang saya dengar sepanjang pagi hingga siang hari itu.

48

Sayangnya, itupun tidak membuat saya menyegerakan diri silaturrahim ke kediamannya untuk menjenguk atau sekedar menghiburnya. Yah, terlalu banyak alasan-alasan tak bermutu untuk diungkapkan jika ditanya mengapa. Hingga suatu hari saya melihat keramaian di taman fakultas, ada seseorang yang sedang dikelilingi di sana. Saya mendekat, ingin tahu siapa orang yang dikelilingi. ternyata beliau, kakak angkatan saya itu. Subhanallah, ia tandai saya dengan suara tawa saya. Ketika itu saya berjanji untuk membacakannya sesuatu, karena dibacakan sesuatu (buku, majalah, atau buletin) telah menjadi aktivitas barunya pasca tidak lagi bisa melihat. Namun lagi-lagi saya belum bisa menepati janji, hingga dua hari lalu saya berkesempatan melewati sore yang berbalur hujan dengannya. Saya bersyukur sore itu mengurungkan niat untuk kembali ke kos dan memilih mendekam sementara di sekretariat SKI. Ketika saya masuk ke sekretariat ternyata ada beliau di sana, duduk di sudut sekretariat. Posisi yang aman baginya. Canda-canda ringan tak lepas dari bibir beliau. Kepada seorang rekan beliau minta dibacakan edisi terbaru buletin mingguan SKI kami yang terbit hari itu. Saya tak pernah melewatkan Embun, katanya pada saya. Setelah rekan saya selesai membacakan Embun, saya minta izin membacakan dua buah tulisan untuknya, teringat janji yang belum saya tepati. Tulisan yang saya baca bukan hanya sekedar didengar, beliau senantiasa melontarkan sekedar komentar bahkan menganalisis jika pernyataan tulisan yang saya bacakan menarik begi beliau untuk dianalisis. Tepat ketika saya selesai membacakan tulisan kedua, azan Ashar berkumandang. Saya mengajaknya berangkat shalat. Perjuangan beliau berjalan dari posisi duduknya menuju musholla, memakai sendal, mengambil wudhu, memperbaiki jilbabnya, memakai peralatan shalat, memosisikan diri untuk shalat, melipat kembali alat shalatnya setelah selesai shalat, berjalan kembali ke sekretarian SKI, sungguh menjadi pelajaran tersendiri bagi saya. Tak ada keluhan, bahkan beberapa kali beliau menolak untuk saya tuntun, sebisa mungkin beliau usahakan untuk mengerjakannya sendiri. Misalnya ketika saya hendak membantunya memperbaiki jilbab sehabis wudhu, awalnya ia menolak, meski kemudian ia izinkan saya membantunya karena baginya jilbabnya terasa tetap belum rapi. Di rumah kalau pakai jilbab dipakaikan siapa, Mbak? tanya saya. Pakai sendiri dong jawabnya tetap dengan senyum. Begitupun ketika saya berusaha menuntunnya berjalan, ia menolak. Nggak usah dipegangin, sendiri bisa kok Ia lepaskan tangannya dari tangan saya dan berjalan sendirian, meski harus menyeret tapak kakinya untuk meraba undakan, bahkan tersandung sapu berkalikali. Selepas Ashar saya tak kuasa menepis keinginan untuk bertanya padanya, keinginan yang sejak lama saya urungkan karena khawatir pertanyaan saya akan menyakiti hatinya. Pertanyaan klise, pasti sudah banyak yang menanyakan, dan saya tak berani memastikan ia mau bercerita. Bisa jadi ia sudah bosan dengan pertanyaan itu-itu saja. Namun betapa stabilnya keadaannya dalam pandangan saya, membuat saya benar-benar ingin mengambil hikmah darinya. Siapakah yang siap mengalami kebutaan setelah hidup lebih dari dua puluh tahun dengan penglihatan normal? Saya juga manusia, sejak pagi sampai siang saya menangis. Wajar kan? Itulah jawabannya ketika saya tanya reaksi pertamanya begitu mengetahui bahwa ia telah benarbenar tidak bisa melihat. Waktu itu saya baru bangun. Saya tanya ibu kenapa gelap semua. Beberapa waktu sebelumnya pernah terjadi hal yang sama, ternyata lampu kamar memang dimatikan. Tapi kini karena mata saya benar-benar tidak bisa melihat lagi. Tapi kemudian saya saya sadar, tidak ada yang sia-sia dari semua ini, Allah ambil penglihatan saya karena Allah ingin menutup satu pintu zina untuk saya. Subhanallah, itulah dia. Jawaban itu adalah kunci utama bagi reaksi-reaksinya yang menyusul kemudian atas apa yang ia alami. Saya memang kehilangan satu, tapi saya dapat lebih banyak. Memori saya jadi lebih kuat, pendengaran saya jadi lebih tajam, hati saya jadi lebih peka. Sungguh benar, bukan apanya dari ujian yang dialaminya yang menjadi pemikiran tapi bagaimana ia menyikapi ujian itu yang memesona saya. Optimis, kata itulah yang saat ini ia patrikan dalam dirinya. Jika ALLAH mencintai seorang hamba, Dia mengujinya. Jika ia bersabar, maka ALLAH memilihnya, dan jika ia rela, maka ALLAH mengutamakannya di sisi-Nya. (Al-Hadits) 49

Ketabahan seorang Ibu


Oleh Miftahul Jannah Satu hal yang paling bisa membuat saya menangis hari ini masa di mana saya sudah beranjak dewasa dan harus berpisah dengan keluarga adalah saat saya teringat ibu. Ingat akan wajah lembutnya, senyum manisnya, kelembutan tuturnya, dan segenap nasihatnya selalu mampu menjadi penentu setiap keputusan saya. Seolah ada reminder ajaib dari ibu. Sehingga setiap saya ingin berbuat sesuatu, selalu ibu yang terbayang lebih dahulu. Apakah yang akan saya lakukan disukai ibu atau apakah ini akan membuat ibu senang selalu menjadi pertimbangan bagi saya. Di lain kesempatan, jika saya memperoleh sesuatu yang menyenangkan, maka saya akan berkata Ini saya persembahkan untuk ibu. Saya meyakini perasaan ini tidak hanya saya yang merasakannya. Setiap anak tentu tidak akan memungkiri betapa peran ibu mempunyai porsi terbesar dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Bagaimana tidak? Ruh seorang anak dititipkan Allah melalui rahim ibu. Sembilan bulan sepuluh hari ia berbagi makanan, cairan, dan suplemen tubuh lainnya dengan ibu. Bahkan setiap apa yang dikonsumsi ibu saat hamil bisa dipastikan adalah untuk janin di rahimnya. Pada masa itu banyak penderitaan yang dialami ibu. Sulit makan di awal-awal kehamilan, membenci sesuatu yang paling disukai saat tidak hamil, sulit bergerak, belum lagi maturational crisis (krisis pada masa hamil ) yang harus dialami. Saat melahirkan sang bayi, ibu bahkan harus mempertaruhkan nyawanya. Tidak sedikit ibu yang meninggal saat melahirkan. Kemudian dimulailah masa-masa radikal dalam kehidupan anak. Saat anak hanya mampu berkomunikasi dengan tangisan, ocehan-ocehan yang mungkin hanya ibu yang memahaminya, gerakan tangan, tendangan kaki, dan genggaman jari. Begitu lambatnya pertumbuhan kita namun begitu sabarnya ibu mengurus kita. Makan melalui mulut, berbicara, berjalan, semuanya harus dipelajari. Bukankah ibu yang mempunyai peran terbesar dalam tahapan itu? Kita tumbuh menjadi anak-anak yang lincah dan cenderung nakal. Aktif dan selalu ingin bermain. Ibu dengan sabarnya menemani kita kendati harus letih mengejar kita, melompat, dan memanjat bersama kita. Ia dampingi tahapan-tahapan penting dalam pertumbuhan kita dengan senyum dan harapan indah akan masa depan cerah kita. Ibu tanamkan aqidah dan akhlaq. Apa yang saat dewasa kita anggap benar, laik dan sesuai norma, bukankan kebanyakan merupakan apa yang ibu tanamkan ketika kecil? Ketika kita sakit, ibu adalah orang yang paling panik. Ketika kita nakal, ibu adalah orang yang paling sedih. Ketika kita berhasil, ibu adalah orang yang paling bahagia. Yakinilah itu ! Saat kita beranjak remaja, masa yang penuh dengan kelabilan dan gejolak itu menjadi aman dengan ibu di sisi kita. Ibu mampu menjadi teman cerita yang begitu setia. Ibu bisa menjadi solusi dari persolan rumit akibat keegoan dunia remaja kita. Seorang ibu tidak akan pernah menuntut balas semua pemberiannya kepada anakanaknya. Hanya saja, apakah kemudian anak-anak juga tidak menyadari peranan ibu tersebut ? Setelah dewasa anak-anak mulai sibuk dengan dirinya sendiri. Berjuang sekuat tenaga untuk mengembangkan karir dan mengukir kesuksesan. Sementara itu, ada ibu yang beranjak tua dan mulai lemah. Wahai kita, para anak. Laikkah jika kemudian ibu kita tempatkan di panti wreda ? Menghabiskan sisa-sisa kehidupannya dan menanti mautnya dalam kesendirian ? Membiarkan mimpi-mimpi untuk melihat anaknya berhasil, menyaksikan dan membersamainya, pupus dan harus terkikis habis di panti jompo lantaran anak-anak sibuk dan tidak sempat mengurusnya. Setelah begitu panjang dan beratnya perjuangan ibu mengurus kita saat kecil dulu ? Padahal, diriwayatkan seorang laki-laki datang kepada Nabi saw seraya bertanya tentang orang yang paling laik ditemani. Rasulullah menjawab, Ibumu. Laki-laki itu bertanya lagi, Lalu siapa lagi? Ibumu, jawab Nabi. Kemudian siapa lagi? tanya lelaki itu. Ibumu, jawab Nabi. Kemudian siapa lagi? Rasul menjawab, Kemudian ayahmu. Sungguh... Ibu pun butuh cinta dari kita, anak-anaknya. Wallahualam. Untuk para nenek di panti Wreda Pakem, semoga senantiasa dalam perlindungan ALLAH. 50

Kasih sayang Ibu


Oleh Miftahul Khair Siang itu, aku berada dalam bis ekonomi jurusan Bekasi-Bogor yang sesak oleh penumpang. Bau keringat menusuk hidung, bercampur cuaca panas dan kepulan asap rokok disana-sini. Meski aku berdiri dekat ventilasi udara, tetap saja tak bisa mengurangi rasa gerah. Panas sekali. Namun di ujung sana, di atas kap mesin bis yang kutumpangi, seorang ibu menarik perhatianku. Sepertinya ia tidak memedulikan panas ruangan di sekitarnya. Dengan tenang digendongnya sang anak yang masih balita. Sambil menyusui anaknya lewat botol susu, sesekali ia mengajak sang anak bergurau dan bercanda. Walaupun mungkin anak seusianya belum mampu merespon senda-gurau itu. Melihat pemandangan itu, sejenak pikiran ini menerawang jauh, Subhanallah, begitu dahsyatnya kasih sayang orang tua kepada anaknya. Terutama kasih sayang seorang ibu. *** Setiap kita tak akan bisa menghitung, berapa banyak kesusahan yang telah kita timpakan kepada orang tua dari mulai kita berada dalam kandungan sampai saat ini. Sembilan bulan kita berada dalam rahim ibu, dibawa, dirawatnya janin kita yang tak berdaya itu dimanapun ia berada. Tak ada kata istirahat buat Ibu. Saat tidurnyapun kita ini masih begitu menyusahkan. Jangankan tengkurap, tidur telentang saja dirasakan ibu begitu berat.Ketika detik-detik kelahiran kian dekat, perjuangan Ibupun semakin berat, dihadapkan pada dua pilihan antara hidup atau mati. Bersimbah peluh, berlumur darah untuk melahirkan anak kesayangan yang telah lama dinanti-nantikan. Setelah kita lahir, kesusahan yang kita timpakan kepada duanya semakin bertambah pula. Kita minum air susunya kapanpun kita mau. Ditengah kerewelan kita, segala macam kebutuhan dan keinginan kita dengan sabar dilayaninya. Waktu istirahat Ibupun sering kita "rampas." Siang hari kita enak tidur, namun malam hari, saat Ibu atau Bapak membutuhkan istirahat, tangisan kita malah santer membuat mereka terjaga dan sulit terlelap kembali. Lalu apakah kesusahan yang kita timpakan kepada ibu selesai sampai di situ? Tentu tidak. Justru semakin bertambah usia kita semakin bertambah pula kesulitan yang ditanggungkan Ibu. Saat sekolah, misalnya, tak jarang kita yang menjalani ujian, namun justru ibu kita yang lebih banyak berdoa dan lebih khawatir. Takut tidak bisa-lah, takut tidak lulus-lah, dan kecemasan lain, yang kita sendiri kurang peduli. Setelah kita bekerja atau berkeluarga, berkurangkah kasih sayang mereka? Tidak sama sekali. Biarpun diri kita telah dianggap mandiri, tetap saja Ibu mengkhawatirkan keadaan kita. Seperti saat kita sakit misalnya. Setelah kita berkeluarga, kasih sayang Ibu tetap tak berujung. Walaupun secara kasat tampaknya lebih banyak dicurahkan kepada sang cucu, Toh, tetap saja itu termasuk salah satu wujud kasih sayangnya kepada kita. Maka, jika keduanya masih ada, bersikap santunlah kepada ibu dan bapak. Berbuatlah yang terbaik bagi mereka. Simak Firman Allah SWT dalam Al Qur'an surat Al 'Isra, ayat 23 : "Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia. Dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan perkataan "ah", dan janganlah kamu membentak mereka. Dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia." Andaikan orang tua kita telah dipanggil Allah SWT, doakanlah mereka. Karena beliau begitu merindukan doa-doa kita. Semoga saja kita tergolong sebagi anak-anak yang shaleh.Aamiin.

Maafkan ibu, bidadari kecilku


51

Malam belum seberapa tua, mata anak sulungku belum juga bisa dipejamkan. Beberapa buku telah habis kubacakan hingga aku merasa semakin lelah. "Kamu tidur donk Dila, Ibu capek nih baca buku terus, kamunya nggak tidur-tidur," pintaku. Ditatapnya dalam wajahku, lalu kedua tangannya yang lembut membelai pipiku. Dan, oh Subhanallah, kehangatan terasa merasuki tubuhku ketika tanpa berkata-kata diciumnya kedua pipiku. Tak lama, ia minta diantarkan pipis dan gosok gigi. Ia tertidur kemudian, sebelumnya diucapkannya salam dan maafnya untukku. "Maafin kakak ya Bu. Selamat tidur," ujarnya lembut. Kebiasaan itulah yang berlaku dikeluarga kami sebelum tidur. Aku menghela nafas panjang sambil kuperhatikan si sulung yang kini telah beranjak sembilan tahun. Itu artinya telah sepuluh tahun usia pernikahan kami. Dentang waktu didinding telah beranjak menuju tengah malam. Setengah duabelas lewat lima ketika terdengar dua ketukan di pintu. Itu ciri khas suamiku. Seperti katanya barusan ditelepon, bahwa ia pulang terlambat karena ada urusan penting yang tak bisa ditunda besok. Suamiku terkasih sudah dimuka pintu. Cepat kubukakan pintu setelah sebelumnya menjawab salam. "Anak-anak sudah tidur?" Pertanyaan itu yang terlontar setelah ia bersihbersih dan menghirup air hangat yang aku suguhkan. "Sudah," jawabku singkat. "Kamu capek sekali kelihatannya. Dila baik-baik saja?" Aku menggangguk. "Aku memang capek. Tapi aku bahagia sekali, bahkan aku pingin seperti ini seterusnya." Lelaki berusia tiga puluh lima tahun itu menatapku dengan sedikit bingung. "Akan selalu ada do'a untukmu, karena keikhlasanmu mengurus anak-anak dan suami tentunya. Dan aku akan minta pada Allah untuk memberimu pahala yang banyak," hiburnya kemudian. Aku tahu betapa ia penasaran ingin tahu apa yang hendak aku katakan, tapi ia tak mau memaksaku untuk bercerita. Tak sanggup aku menahan gejolak perasaan dalam dada yang sepertinya hendak meledak. Kurangkul erat tubuhnya. "Maafkan aku mas," bisikku dalam hati. Pagi ini udara begitu cerah. Dila, sulungku yang semalam tidur paling akhir menjadi anak yang lebih dulu bangun pagi. Bahkan ia membangunkan kami untuk sholat subuh bersama. Mandi pagipun tanpa dikomandoi lagi. Dibantunya sang adik, Helmi, memakai celana. Dila memang telah trampil membantuku mengurus adiknya. Tak hanya itu, menyapu halamanpun ia lakukan. Tapi itu dengan catatan, kalau ia sedang benar-benar ingin melakukannya. Kalau "angot" nya datang, wah, wah, wah. Inilah yang ingin aku ceritakan. Dila kerap marah berlebihan tanpa sebab yang jelas, sampai membanting benda-benda didekatnya, menggulingkan badan dilantai dan memaki dengan kata-kata kotor. Memang aku pernah melakukan suatu kesalahan saat aku kesal menghadapi ulahnya. Saking tak tertahannya kesalku, aku membanting pintu dan itu dilihatnya. Wajar saja kalau akhirnya Dila meniru perbuatanku itu. Penuh rasa sesal saat itu, aku berjanji untuk tidak melakukan hal itu kembali. Kuberikan penjelasan pada Dila bahwa aku salah dan hal itu tak boleh ia lakukan. Entah ia mengerti atau tidak. Hari itu Dila bangun agak siang karena kebetulan hari Minggu, pakaiannya basah kena ompol. Padahal ia tak biasanya begitu. Segera saja kusuruhnya mandi. Tapi Dila menolak, dengan alasan mau minum susu. "Boleh, tapi setelah minum susu, kakak segera mandi ya karena baju kakak basah kena ompol" Dila menyetujui perjanjian itu. Tapi belum lagi lima menit setelah habis susu segelas, ia berhambur keluar karena didengarnya teman-temannya sedang main. Mandipun urung dikerjakan. Aku masih mentolelir. Tapi tak lama berselang "Kak Dila. mandi dulu," aku setengah berteriak memanggilnya karena ia sudah berada diantara kerumunan anak yang sedang main lompat tali. "Sebentar lagi Bu. Kakak mau lihat Nisa dulu," begitu jawabnya. Aku masih belum bereaksi. Kutinggal ia sebentar karena Helmi merengek minta susu. Setelah membuatkan susu untuknya, aku keluar rumah lagi. Kali ini menghampiri Dila. "Waktumu sudah habis, sekarang kamu mandi", bisikku pelan ditelinganya. Dila bereaksi menamparku keras, "Nanti dulu!" aku tersentak, mendadak emosiku membludak. Aku balas menampar Dila hingga meninggalkan bekas merah di pipi kanannya. Tanpa berkata-kata lagi, kuseret tangannya sekuat tenaga. Dila terus meronta. Kakiku digigitnya. Aku dengan balas mencubit. Laiknya sebuah pertarungan besar kami saling memukul dan meninggikan suara. Setibanya dikamar mandi Dila kuguyur berulang-ulang, kugosok badanya dengan keras, kuberi sabun dan kuguyur lagi hingga ia tampak gelagapan. Aku benar-benar kalap. Selang beberapa 52

menit kemudian, kukurung Dila dikamar mandi dalam keadaan masih tidak berpakaian. Ia menggedor-gedor pintu minta dibukakan. Berulang kali ia memaki dan mengatakan akan mengadukan kepada ayah. Tak berapa lama kemudian suara Dila melemah, hanya terdengar isak tangisnya. Aku membukakan pintu dengan mengomel. "Makanya, kalau disuruh mandi jangan menolak, Ibu sampe capek, dari tadi kamu menolak mandi terus. Awas ya kalau seperti ini lagi. Ibu akan kunci kamu lebih lama lagi. Paham!", entah ia mengerti atau tidak. Dila hanya menangis meski tidak lagi meraung. Setelah rapih berpakaian, menyisir rambut dan makan. Dila seolah melupakan kejadian itu. Iapun asyik kembali main dengan teman-temannya. Peristiwa itu tidak hanya satu dua kali terjadi. Tidak hanya pada saya ibunya tapi juga pada ayahnya. Tapi, cara suamiku memperlakukan Dila sangat berbeda. Barangkali memang dasarnya aku yang tidak sabar menghadapi anak rewel. Tiap kali itu terjadi, cara itulah yang aku lakukan untuk mengatasinya. Bahkan mungkin ada yang lebih keras lagi dari itu. Tapi apa yang dilakukan Dila pada saya, Subhanalloh, Dila tak pernah menceritakan perlakuanku terhadapnya kepada siapapun. Seolah ia pendam sendiri dan tak ingin diketahui orang lain. Akupun tak pernah menceritakan kepada suami, khawatir kalau ia marah. Padahal Dila itu anak kandungku, anak yang keluar dari rahimku sendiri. Aku kadang membencinya, tidak memperlakukan dia laiknya aku memperlakukan Helmi adiknya. Dila anak yang cerdas. Selalu ceria, gemar menghibur teman-temannya dengan membacakan mereka buku yang tersedia dirumah. Bahkan teman-temannya merasa kehilangan ketika Dila menginap di rumah neneknya diluar kota, yang cuma dua malam. Belaian lembut tangan suamiku menyadarkan aku. Kulepas pelukanku perlahan. Tak sadar air mata menyelinap keluar membasahi pipi. "Sudahlah, malam semakin larut. Ayo kita tidur," ajaknya lembut. Aku berusaha menenangkan gemuruh dibatinku. Astaghfirullah, aku beristighfar berulang kali. "Aku mau tidur dekat Dila ya?" pintaku. Lagi-lagi kearifan suamiku membuatku semakin merasa bersalah. Kuhampiri Dila yang tampak pulas memeluk guling kesayangannya. Siswi kelas tiga SD itu begitu baik hati. Aku malu menjadi ibunya yang kerap memukul, berkata-kata dengan suara keras dan...oh Dila maafkan Ibu. Disisi Dila bidadari kecilku, aku bersujud di tengah malam. "Ya Allah, melalui Dila, Engkau didik hambamu ini untuk menjadi ibu yang baik. Aku bermohon ampunan kepada-Mu atas apa yang telah kulakukan pada keluargaku, pada Dila. Beri hamba kesempatan memperbaiki kesalahan dan ingatkan hamba untuk tidak mengulanginya lagi. Dila, maafkan Ibu nak, kamu banyak memberi pelajaran buat Ibu." Sebuah renungan untuk para ibu (termasuk saya didalamnya). Semoga kita semakin menyayangi anak-anak dan memperlakukan mereka dengan baik. Sebagaimana diingatkan dalam sebuah hadits Nabi SAW agar manusia menyayangi anak-anaknya. Ketika Aqra' bin Habis At Tamimi mengatakan bahwa ia memiliki sepuluh anak tapi tak pernah mencium salah seorang diantara mereka, Rasululloh SAW bersabda "barangsiapa yang tidak menyayangi maka dia tidak disayangi" (HR. Bukhari dan Tirmizi)

Penjaja Kuepun Berumroh, Subhanalloh


Satu kenangan spesial yang tidak pernah dilupakan oleh salah seorang rekan saya asal Trenggalek, ketika berkunjung ke tempat saya beberapa tahun lalu, adalah suara seorang penjaja kue. Dua hari selama tamu saya ada di rumah, dua kali itu pula dia mendengarnya: "Jajaaannnn Jajaaaannnnnn" Entah berapa tahun sudah suara pedagang ini 'berkumandang', berkeliling setiap hari di perkampungan kami. Khas sekali suaranya. Perempuan itu dikenal masyarakat sebagai penjual jajan keliling. Satu keranjang kecil, ditaruh di atas kepalanya, piawai sekali. Mengenakan pakaian khas Jawa sederhana dengan kepala dililit kerudung, tiada sore terlewatkan tanpa kehadiran suara pedagang ini. Hujan pun bukan penghalang baginya. Pisang goreng misalnya, salah satu jajanan yang ditawarkan, menjadi favorit kami. Sesekali, secara bergantian tangan kanan dan kirinya menahan keranjangnya, agar tidak jatuh. Menyusuri lorong-lorong perkampungan kecil, menghampiri rumah demi rumah 53

pelanggan yang biasa membutuhkan snack sore, menemani minuman teh mereka. Aroma aneka jajanan yang ditawarkan, membuat orang tidak pernah melewatkan. Lepas sholat ashar, tanpa diundang, kue-kue hangat ini ibarat free delivery. Sang pedagang sepertinya sudah memiliki jadwal paten siapa gilirannya dan jam berapa mendapatkannya. "Mbak Tin penjual kue", begitu kami memanggilnya. Dia telusuri hari-harinya, bersaing dengan pedagang-pedagang keliling lainnya. Ada yang menjajakan bakso, nasi goreng, rujak, bakpao, pangsit mie, soto ayam, dan pedagang lain yang menarik gerobak. Berbeda dengan Mbak Tin, pedagang-pedagang keliling ini rata-rata berasal dari luar perkampungan kami. Mbak Tin tinggal di gubug reyot di pojokan kampung kami. Saya yakin, kalaupun pemerintah kota mengetahuinya di pinggir jalan, gubug ini jadi salah satu prioritas penggusuran karena 'mengganggu' pemandangan. Mbak Tin tinggal bersama seorang anak laki-lakinya. Adalah di luar pengetahuan saya tentang kapan dia ditinggal pergi oleh sang suami. Sejak tinggal di gubug tersebut, hanya mereka berdua yang kelihatan. Alhamdulillah dagangannya selalu laris. Sebelum adzan maghrib tiba, ia sudah kembali ke rumahnya. "Mbak Tin...!" teriakku sore itu sekitar jam empat tiga puluh. Dia pun menoleh, mencari tahu dari mana arah suara tadi. "Masih ada pisang gorengnya, Mbak?" tanyaku, kepada orang yang usia sebenarnya tidak terpaut jauh dengan Ibuku. Tapi karena orang-orang semua memanggilnya Mbak Tin; jangankan saya, anak-anak TK saja memanggilnya dengan sebutan 'Mbak'. "Maaf Mas, sudah habis. Singkong gorengnya masih!" tawarnya. "Iya deh!" jawabku. Mbak Tin terkenal ramah. Orang-orang senang sekali kepadanya. Terkadang kualitas sebuah produk menjadi prioritas kedua seorang customer. Sebaliknya, pelayanan yang baik dan ramah menduduki posisi satu tingkat di atasnya. Itu semua diajarkan dalam Islam. Bahwa bukankah ucapan salam dan senyuman juga ibadah yang membawa berkah? Itulah rumus yang diaplikasikan oleh Mak Tin, seorang ibu sederhana penjual jajan yang tidak pernah melupakan salam dan hamdalah dalam keseharian bisnis kecilnya. Sebenarnya, bukan karena keramahan dan kesupelannya saja yang mendorong orangorang di kampung kami untuk membeli dagangannya. Kelebihan lain yang dimiliki ibu satu anak ini adalah keterampilan mengajari Al-Qur'an. Dibandingkan dengan kami, orang-orang kebanyakan, Mbak Tin beruntung dalam masalah ini. Makanya orang-orang di kampung mempercayakan anak-anak mereka untuk diajar membaca Al-Qur'an oleh Mbak Tin. Setiap sore, lepas maghrib, Mbak Tin mengajari anak-anak membaca ayat-ayat suci Al-Qur'an. Kadang di surau, tidak jarang di rumahnya sendiri. Dengan fasilitas bentangan tikar yang sudah kusam, anak-anak duduk di lantai, mendengarkan: Alif, ba, ta, tsa begitulah seterusnya. Proses belajar mengajar di 'forum' yang jauh dari sentuhan konsep para ahli pendidikan maupun sarana teknologi canggih ini berlangsung terus-menerus. Buahnya, kita tidak pernah menyangka, bahwa perubahan moral kerohanian yang dihasilkan dari sumbangsih perempuan penjual jajan ini bisa saja lebih besar ketimbang itu semua. Anak-anak kampung yang kini sudah besar dan 'bertebaran' di bumi Allah, secara tidak langsung telah menikmati dan mengamalkan sebagian 'ajarannya'. Karena jasa Mbak Tin mereka pandai membaca Al-Qur'an, sekalipun kini ada yang duduk di IAIN. Sementara banyak anak didiknya yang tinggal di rumah-rumah yang laik, guru 'madarasah' kecil ini tetap istiqomah di gubug yang sudah hampir ambruk. Selama bertahun-tahun, Mbak Tin telah memanfaatkan 'madarasah' ala kadarnya guna melestarikan 'Kalam Ilahi' dalam benak calon-calon generasi mendatang. Selama itu pula, sayangnya, orang-orang di perkampungan kami tidak ada yang tergerak untuk memberikan uluran tangannya guna memperbaiki 'madarasah' nya. Hingga suatu hari, atas inisiatifnya sendiri, Mbak Tin berkunjung ke rumah Pak Ahmad, seorang pedagang barang-barang bangunan di sudut jalan yang dikenal sebagai satu-satunya orang pemelihara masjid di lingkungan kami. "Pak Haji!" katanya. "Ini saya serahkan uang tabungan saya bertahun-tahun, sepuluh juta rupiah, saya minta bantuan Bapak untuk menggunakan uang ini buat memperbaiki rumah saya yang sudah reyot!" Mendengar permohonannya, Pak Haji Ahmad baru tersentuh. Sadar bahwa selama ini beliau merasa kurang perhatian terhadap kebutuhan Guru Mengaji ini. 54

"Baiklah!" jawab Pak Ahmad. Hari itu juga, Pak Ahmad memulai kalkulasi bahanbahan bangunan yang dibutuhkan. Permintaan Mbak Tin yang semula hanya memperbaiki bagian rumah yang rusak, oleh Pak Haji bangunan dirobohkan secara keseluruhan. Kemudian dibangunnya rumah baru. Kelebihan dana yang dikeluarkan untuk mendirikan bangunan baru tersebut seluruhnya dipikul oleh Pak Haji. Subhanallah. Rumah Mbak Tin yang semula terjelek di perkampungan itu, kini nampak cantik sekali. Bahkan paling baik kondisinya dibandingkan rumah-rumah di sebelahnya. "Mbak Tin tidak usah memikirkan berapa sisa yang dibutuhkan untuk menyelesaikan bangunan ini. Saya ikhlas!" Kata Pak Ahmad suatu hari ketika Mbak Tin menanyakan jumlah uang yang dikeluarkan untuk memperbaiki rumahnya. Mbak Tin sadar, bahwa uang yang diserahkan Pak Ahmad, jauh dari cukup untuk merampungkannya. Tidak haya sampai di situ kebahagiaan yang dialami Mbak Tin. Selama bertahun-tahun mengajar anak-anak mengaji, ternyata ada pula seseorang yang memperhatikan dari 'jauh'. Seorang dermawan yag ingin agar ustadzah ini berkesempatan melihat Baitullah dari dekat. Rumah Allah. Tempat ibadah yang didambakan semua umat Islam. Betapa bersyukurnya Mbak Tin mendengar berita ini. Mungkin ia berpikir, mana mungkin seorang penjual jajan pasar mampu membiayai perjalanan ke Masjidil Haram. Seumur hidup pun kalau dia mau menabung, di jaman sekarang ini, tidak bakal tertutupi biayanya. Apalagi kebutuhan terhadap kondisi rumahnya juga membutuhkan penanganan segera. Namun di tengah segala kesulitan yang dialaminya, rupanya Allah SWT memberikan kemudahan. Tidak ada orang yang akan pernah menyangka bahwa Mbak Tin bakal berkunjung ke Mekah. Melaksanakan ibadah umroh. Hari ini, tanggal dua puluh enam April, tahun dua ribu lima, Guru Mengaji di kampung kami, Mbak Tin, berkemas-kemas menuju bandara. Puluhan orang, termasuk bekas anak-anak didiknya, memadati rumahnya. Sebagian besar mereka meneteskan air mata, terharu mengingat besarnya jasa perempuan penjaja pisang goreng itu selama ini. Mengingat betapa Allah Mahabijaksana, memberangkatkan kaum papa seperti dia. Bertahun-tahun sudah dia baktikan hidupnya untuk sebuah kepentingan yang jarang dilirik orang sebagai suatu prestasi. Apalagi sebuah karir ! Hari ini, Allah SWT telah melengkapi kebahagianya. Selamat menempuh perjalanan ke Baitullah Mbak Tin !

Perempuan-perempuan Teguh
Oleh Adi Junjunan Mustafa Kebanyakan kita tidak hidup di suasana perang, seperti pada generasi kakek-nenek kita yang melalui masa-masa perang kemerdekaan, seperti masa-masa perjuangan di Afghanistan, seperti suasana di Palestina hingga saat ini, dan seperti suasana di masa Rasulullah saw dan para sahabatnya hidup. Dalam satu buku sirah yang memenangkan satu lomba penulisan Sirah Nabi Muhammad saw yang diadakan Rabithah 'Alam Islamiy, dipaparkan bahwa dalam kurang lebih 10 tahun masa kehidupan Nabi di Madinah, tidak kurang terjadi 83 kali peperangan dan ekspedisi pasukan. Artinya setiap tahun rata-rata terjadi delapan kali peperangan atau ekspedisi atau setiap satu setengah bulan sekali. Bayangkan bagaimana kekuatan jiwa para shahabiyyah dalam menghadapi suasana seperti itu. Setiap kali melepaskan suami atau anak laki-laki mereka, para istri dan para ibu itu siap untuk menerima kepergian orang yang dicintainya untuk selamanya. Setidaknya begitulah kesiapan yang mereka miliki dalam dimensi kehidupan dunia. Begitu jiwa-jiwa para perempuan Palestina begitu teguh melepaskan suami dan anak-anak mereka berjuang merebut kemerdekaan negerinya. Allah swt. telah melebihkan mereka dengan momentum waktu yang membuat jiwa mereka teguh. Cita-cita mendapatkan suami atau anak-anak yang pejuang dan menjadi syuhada, pahlawan yang gugur di jalan Allah adalah cita-cita yang nyata bagi mereka. Cinta mereka kepada suami dan anak-anak tidaklah dibatasi pada sentuhan fisik semata. Mereka telah melambungkan cintanya ke kehidupan yang lain, yang kekal abadi. Mereka telah membingkai cintanya dalam fikrah yang tinggi, ideologi yang menghantarkannya pada puncak kemanusiaan. 55

Fikrah yang diserap dari taujih Rabbani, pengajaran dan pengarahan dari Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Bijaksana Pada medan perjuangan bangsa Afghan saat mengusir agresor Rusia, seorang istri pejuang pernah ditanya wartawan, "Apakah Ibu tidak takut, jika suami Ibu meninggal. Bagaimana Ibu akan hidup dan menghidupi anak-anak kelak?" Si Ibu hanya tersenyum. Tapi dari sorot matanya terpancar keyakinan yang dalam. Ia menjawab, "Suami saya hanyalah seorang pemakan rizki dan bukan Pemberi Rizki!" Dalam buku "Ghirah", Buya Hamka pernah berkisah. Salah satu perkampungan di Tanah Minang diserbu Belanda. Pasukan mendapatkan seorang perempuan sedang menumbuk padi di depan sebuah rumah gadang. Seorang tentara Belanda menghardiknya dan menanyakan apakah di rumah ada orang laki-laki. Dengan tegas si perempuan menjawab,"Tidak ada!" Toh pasukan memeriksa rumah itu dan ternyata didapati ada seorang lelaki bersembunyi di dalam rumah. Perempuan itu pun dihardik lagi oleh tentara Belanda, "Kamu sudah berdusta ya... Tadi kamu bilang tidak ada orang laki-laki, ternyata ada!" Perempuan itu tidak menunjukkan wajah gentar sedikitpun. Dia malah menjawab lantang, "Yang kalian temukan itu bukan lelaki, sebab para lelaki adalah mereka yang berjuang di hutan-hutan. Bukan pengecut yang bersembunyi di rumah!" Bapak saya bercerita, bagaimana kondisi desanya di Kuningan sana saat dikabari akan ada serangan dari Belanda [entah berapa kali Bapak menceritakan kisah ini]. Suara letusan dan desing peluru mulai terdengar, pertanda tengah terjadi pertarungan seru antara para pejuang melawan penjajah Belanda tidak jauh dari desa. Tapi kekuatan pasukan pejuang tak mampu menahan serbuan, hingga beberapa utusan pejuang datang ke desa dan memerintahkan para perempuan dan anak-anak untuk meninggalkan desa. Saat itu terlihat bagaimana Enin [panggilan saya untuk nenek yang tak pernah saya jumpai, karena wafat saat Bapak masih remaja] begitu tenang dan teguh mengurus anak-anaknya yang masih kecil-kecil untuk pergi mengungsi. Bapak saya adalah anak terbesar. Usianya baru sekitar 13-14 tahunan. Ia mesti membantu Enin dengan sekuat tenaga. Di mana Engki, kakek saya? Saat itu ia tak ada di tengah keluarga, karena tengah bergerilya di hutan-hutan. Enin telah berusaha mempersiapkan segalanya. Tak ada waktu santai. Semua persiapan mesti dilakukan serba cepat. Serempak bersama anak-anaknya, termasuk Bapak saya, Enin berjalan dan berlari meninggalkan desa. Ketika telah beberapa kilometer meninggalkan desa, Enin tiba-tiba berteriak, "AstagfirulLaah... Ujang, si Otong tertinggal!" Bapak saya, si Ujang yang dipanggil Enin, segera diperintahkan Enin untuk kembali ke desa, mengambil si Otong, yang tak lain adik bungsunya. Paman saya Harits alias si Otong, alhamdulilLah, bisa temukan dan diselamatkan. Meskipun Bapak menceritakan dengan sedih, bahwa seorang bapak di kampung yang menemaninya saat hendak keluar desa lagi, di tengah jalan tertembak peluru Belanda yang meninggal. Bapak melihat langsung kejadian ini. Saya tidak bisa membayangkan betapa teguhnya perempuan-perempuan segenerasi Enin. Dalam kondisi berat ditinggal suaminya yang lebih banyak bergerilya, ia tak pernah terlihat mengeluh kepada Engki. Gambaran khidmat-nya pada suami digambarkan Bapak saya dalam kalimat, "Engki itu tak pernah makan ikan, kecuali duri-durinya sudah Enin pisahkan..." Saya membayangkan, jika perempuan-perempuan teguh seperti para shahabiyyah, seperti isteri para pejuang di Palestina atau Afghanistan, seperti perempuan penumbuk padi di Tanah Minang, seperti generasi Enin hadir di masa ini, maka mereka akan menjadi penyejuk dan penyemangat para suami yang tengah berjuang. Medan perjuangan saat ini memang bukan di tengah desingan peluru. Ada desingandesingan lain yang tak kalah dashyatnya, yaitu desingan peluru yang meluluhlantahkan moralitas. Peluru dusta dan peluru penghianatan kepada kebenaran dan kepada orang banyak. Peluru yang membuat orang rakus dan lupa kepada mereka yang papa. Tantangan yang dihadapi saat ini, bukanlah medan perang gerilya di hutan-hutan. Medan perjuangan saat ini ada di dunia birokrasi, ada di dunia bisnis dan ada di tengah-tengah masyarakat. Atau bahkan medan perjuangan itu ada dalam diri sendiri; Melawan segala nafsu jahat yang setiap saat terus dihasut syaitan. Pada medan juang yang berbeda ini tetap dibutuhkan perempuan-perempuan teguh. Mereka pandai memaknai medan juang kontemporer, sehingga jiwanya disiapkan untuk berjuang. Mereka tak akan rela suaminya hanya menjadi pecundang peradaban materialisme. Mereka akan dukung perjuangan suaminya, meskipun kehidupan yang dihadapi menjadi berat. Mereka akan besarkan anak-anaknya untuk menghadapi tantangan zaman. Mereka harus cerdas, sekaligus sabar dan memiliki jiwa kasih sayang yang besar. *** 56

Dipersembahkan secara khusus untuk para istri yang mesti terpisah jauh dari suami mereka yang tengah merantau untuk satu misi mulia, bersabarlah. Semoga Allah mencatat kondisi ini sebagai kondisi perjuangan.

Ibunda Perkasa dari Tanah Duka


Oleh Miftahul Jannah Di antara puing-puing luka dan penderitaan para korban gempa di Yogyakarta dan Jawa Tengah, ada banyak keperihan yang tersingkap, ada banyak duka yang terkuak, namun ada pula kekaguman yang tersibak. Kekaguman yang semakin menguatkan keyakinan pada diri saya, bahwa seorang ibu memanglah sosok yang amat mulia. Namanya ibu Tuminem. Saya bertemu dengannya dihari ke-enam gempa yang menimpa Yogya dan Jawa Tengah. Ibu bertubuh kecil itu datang ke posko Masjid Mardliyyah -tempat saya berkativitas sebagai relawan- dengan menggendong bayinya. Wajahnya sendu dan tampak amat letih. Ia terduduk di tangga masjid, menangis sambil tak putus mengucap istighfar. Rekan saya sesama relawan mendekati beliau, mengusap punggungnya dan membiarkan hingga tangisnya reda. Saya menyusul mendekati dan menghibur bayinya yang juga mulai menangis. Bagaimana, Bu? Pertanyaan itu seolah telah terekam dan selalu menjadi pertanyaan pertama bagi kami tim psikologis untuk bisa mendapatkan aliran cerita dari para korban demi mereka bisa mengungkapkan apapun yang mereka rasakan. Ibu Tuminem menghapus air matanya dan sekali lagi melafalkan istighfar. Saya mencari anak saya, Mbak. Sudah enam hari saya tidak bertemu dengan anak saya. Saya sudah tiga hari mencarinya ke semua rumah sakit, tapi nggak ketemu-ketemu ujarnya tersendat-sendat karena dibarengi tangisan. Keluarga yang lain bagaimana, Ibu? tanya saya lagi. Suami saya meninggal... kalimatnya terputus dan ia mulai menangis lagi, lalu kembali menghapus air matanya dan melafalkan istighfar. Saya ngurusin jenazah suami saya sampai dimakamkan dulu baru mencari anak saya tambahnya. Waktu kejadian bagaimana, Ibu? Waktu gempa saya udah keluar rumah, belanja ke warung. Ibu mertua saya cuci piring, suami dan anak saya yang kedua masih tidur. Anak saya yang pertama udah main ke luar. Suami dan anak saya yang kedua ketimpa reruntuhan. Tapi anak saya yang pertama nggak tahu entah kemana ujarnya tetap berurai air mata. Innalillaahi, sungguh Allah berkuasa atas segala sesuatu. Cerita bu Tuminem ibarat sinetron bagi saya, kehilangan suami dan terpisah dari darah daging sendiri. Saya harus ketemu anak saya, Mbak. Kasihan dia, sudah enam hari tidak bertemu ibunya. Saya tidak tahu harus mencari kemana lagi. Saya cuma berharap dia diantar ke Magelang tambahnya. Ia mulai menangis lagi. Putera yang kedua bagaimana, Bu? Ada, Mbak. Dirawat di Panti Rapih, tangannya patah. Di sana ada yang jagain? Ada budenya. Dia lagi ulang tahun, merengek-rengek terus minta dibelikan kue ulang tahun. Saya nggak tahan, saya nggak punya apa-apa lagi. Waktu gempa itu saya cuma ngantongin uang dua puluh lima ribu, itupun udah terlanjur saya belanjakan sayur. Sisanya habis untuk ongkos nyari-nyari anak saya. Makanya saya kesini, sambil nyari anak sulung saya ke Sarjito. Saya menjanjikan kue ulang tahun pada anak saya... bu Tuminem mulai menangis lagi. Masya Allah... seorang anak tetaplah seorang anak, ia ingin hari ulang tahunnya lebih berarti dengan kue ulang tahun. Tak peduli kakaknya entah di mana, ayahnya telah tiada, dan ibunya telah menjadi papa. Sedang ibu tetaplah ibu, tak kan kuasa seorang ibu memupus harapan anaknya, walau tak tahu dengan apa dia mendapatkan kue ulang tahun itu, tetap saja ia janjikan pada anaknya.Putera yang ulang tahun namanya siapa, Bu? tanya saya Sena, Mbak Ini ulang tahun yang ke berapa ? Tujuh tahun, kenapa Mbak? bu Tuminem bertanya balik. Nggak apa-apa, Bu. Sekarang ibu makan dulu saja, kalau ibu nggak makan 57

kasihan anak-anak. Apalagi yang bungsu masih menyusu. Kalau ibu sakit kan lebih repot dengan sedikit memaksa kami meminta bu Tuminem untuk makan, sudah sehari lebih beliau tak makan. Sedang bungsunya kami berikan susu, karena sudah berhari-hari pula dotnya hanya berisi air teh dingin. Saya dan dua rekan relawan memutuskan untuk mewarnai ulang tahun Sena dengan sebuah kue ulang tahun. Selepas membeli kue ulang tahun kami mengantar bu Tuminem ke Panti Rapih dengan motor. Subhanallah, sesampainya di rumah sakit kami tak bisa menemukan Sena, karena lokasi tempat ia dirawat pagi harinya telah bersih dari korban gempa yang dirawat. Bu Tuminem mulai panik lagi. Kok nggak ada ya, Mbak? Tadi pagi masih di sana pakai tenda tunjuknya pada taman di barat rumah sakit. Mungkin udah dipindah, Bu. Kita tanya saja saya mencoba menenangkannya. Pasien-pasien di RS Sarjito tempat saya beraktivitas sudah sejak dua hari yang lalu dipindah ke areal parkir rumah sakit, pasti di rumah sakit ini demikian juga, batin saya. Lantas kami menemui petugas keamanan. Oleh beliau kami ditunjukkan beberapa tempat yang mungkin menjadi lokasi baru perawatan putera bu Tuminem. Ternyata di tempattempat itu tidak ada pasien dengan nama Sena Ramadhani, nama putera bu Tuminem. Entah bagaimana kemudian terbersit pikiran bahwa putera bu Tuminem telah dibawa pulang keluarga ke Magelang. Selepas dhuhur bu Tuminem memang berencana melanjutkan pencarian putera sulungnya ke Magelang, ke tempat orang tuanya. Pikiran itu diperkuat dengan pernyataan tetangga bu Tuminem yang kebetulan berpapasan di rumah sakit dan baru datang dari Magelang. Bahkan kata beliau putera sulungnya juga ada di sana. Bu Tuminem langsung berhamdalah, bahkan hampir menyungkurkan dirinya ke lantai untuk bersujud. Namun saya dan rekan-rekan merasa tetap memerlukan data bahwa putera kedua beliau memang telah dibawa pulang. Ternyata benar, di data pasien pulang ada nama yang dikenali bu Tuminem, yaitu ibu Dariyem. Pantas saja kami tidak menemukan nama Sena, karena nama yang dicantumkan di data adalah nama budenya. Rasanya ibu seperti disiram air dingin, Nak kata bu Tuminem pada puteri bungsu di gendongannya. Alhamdulillah, ya Bu kami turut berbahagia dengan kebahagiaannya. Kami hanya bisa mengantarnya hingga ke terminal menuju Magelang seraya berharap ia bisa berkumpul lagi dengan anak-anaknya di sana. Subhanallah, pasti ada banyak bu Tuminem lain selepas gempa tektonik lalu. Saya berdoa semoga beliau mampu menjalani hidupnya ke depan dengan teguh sebagaimana keteguhannya mencari putera sulungnya, dan semoga Allah senantiasa melimpahkan kasih sayang padanya sebagaimana kasih sayang-Nya mengumpulkan kembali si ibu dengan anakanaknya.

Mandikan aku, mom


Rani, sebut saja begitu namanya. Kawan kuliah ini berotak cemerlang dan memiliki idealisme tinggi. Sejak masuk kampus, sikap dan konsep dirinya sudah jelas: meraih yang terbaik, di bidang akademis maupun profesi yang akan digelutinya. ''Why not the best,'' katanya selalu, mengutip seorang mantan presiden Amerika. Ketika Universitas mengirim mahasiswa untuk studi Hukum Internasional di Universiteit Utrecht, Belanda, Rani termasuk salah satunya. Saya lebih memilih menuntaskan pendidikan kedokteran. Berikutnya, Rani mendapat pendamping yang ''selevel''; sama-sama berprestasi, meski berbeda profesi. Alifya, buah cinta mereka, lahir ketika Rani diangkat sebagai staf diplomat, bertepatan dengan tuntasnya suami dia meraih PhD. Lengkaplah kebahagiaan mereka. Konon, nama putera mereka itu diambil dari huruf pertama hijaiyah ''alif'' dan huruf terakhir ''ya'', jadilah nama yang enak didengar: Alifya. Saya tak sempat mengira, apa mereka bermaksud menjadikannya sebagai anak yang pertama dan terakhir. Ketika Alif, panggilan puteranya itu, berusia 6 bulan, kesibukan Rani semakin menggila. Bak garuda, nyaris tiap hari ia terbang dari satu kota ke kota lain, dan dari satu negara ke negara lain. Setulusnya saya pernah bertanya, ''Tidakkah si Alif terlalu kecil untuk ditinggaltinggal?'' Dengan sigap Rani menjawab, ''Oh, saya sudah mengantisipasi segala sesuatunya. Everything is OK!'' 58

Ucapannya itu betul-betul ia buktikan. Perawatan dan perhatian anaknya, ditangani secara profesional oleh baby sitter mahal. Rani tinggal mengontrol jadual Alif lewat telepon. Alif tumbuh menjadi anak yang tampak lincah, cerdas dan gampang mengerti. Kakek-neneknya selalu memompakan kebanggaan kepada cucu semata wayang itu, tentang kehebatan ibubapaknya. Tentang gelar dan nama besar, tentang naik pesawat terbang, dan uang yang banyak. ''Contohlah ayah-bunda Alif, kalau Alif besar nanti.'' Begitu selalu nenek Alif, ibunya Rani, berpesan di akhir dongeng menjelang tidurnya. Ketika Alif berusia 3 tahun, Rani bercerita kalau dia minta adik. Terkejut dengan permintaan tak terduga itu, Rani dan suaminya kembali menagih pengertian anaknya. Kesibukan mereka belum memungkinkan untuk menghadirkan seorang adik buat Alif. Lagi-lagi bocah kecil ini ''memahami'' orang tuanya. Buktinya, kata Rani, ia tak lagi merengek minta adik. Alif, tampaknya mewarisi karakter ibunya yang bukan perengek. Meski kedua orangtuanya kerap pulang larut, ia jarang sekali ngambek. Bahkan, tutur Rani, Alif selalu menyambut kedatangannya dengan penuh ceria. Maka, Rani menyapanya ''malaikat kecilku''. Sungguh keluarga yang bahagia, pikir saya. Meski kedua orangtuanya super sibuk, Alif tetap tumbuh penuh cinta. Diam-diam, saya iri pada keluarga ini. Suatu hari, menjelang Rani berangkat ke kantor, entah mengapa Alif menolak dimandikan baby sitter. ''Alif ingin Bunda mandikan,'' ujarnya penuh harap. Karuan saja Rani, yang detik ke detik waktunya sangat diperhitungkan, gusar. Ia menampik permintaan Alif sambil tetap gesit berdandan dan mempersiapkan keperluan kantornya. Suaminya pun turut membujuk Alif agar mau mandi dengan Tante Mien, baby sitter-nya. Lagi-lagi, Alif dengan pengertian menurut, meski wajahnya cemberut. Peristiwa ini berulang sampai hampir sepekan. ''Bunda, mandikan aku !'' kian lama suara Alif penuh tekanan. Toh, Rani dan suaminya berpikir, mungkin itu karena Alif sedang dalam masa pra-sekolah, jadinya agak lebih minta perhatian. Setelah dibujuk-bujuk, akhirnya Alif bisa ditinggal juga. Sampai suatu sore, saya dikejutkan telponnya Mien, sang baby sitter. ''Bu dokter, Alif demam dan kejang-kejang. Sekarang di Emergency.'' Setengah terbang, saya ngebut ke UGD. But it was too late. Allah swt sudah punya rencana lain. Alif, si malaikat kecil, keburu dipanggil pulang oleh-Nya. Rani, ketika diberi tahu soal Alif, sedang meresmikan kantor barunya. Ia shock berat. Setibanya di rumah, satu-satunya keinginan dia adalah memandikan putranya. Setelah pekan lalu Alif mulai menuntut, Rani memang menyimpan komitmen untuk suatu saat memandikan anaknya sendiri. Dan siang itu, janji Rani terwujud, meski setelah; tubuh si kecil terbaring kaku. ''Ini Bunda Lif, Bunda mandikan Alif,'' ucapnya lirih, di tengah jamaah yang sunyi. Satu persatu rekan Rani menyingkir dari sampingnya, berusaha menyembunyikan tangis. Ketika tanah merah telah mengubur jasad si kecil, kami masih berdiri mematung di sisi pusara. Berkali-kali Rani, sahabatku yang tegar itu, berkata, ''Ini sudah takdir, ya kan. Sama saja, aku di sebelahnya ataupun di seberang lautan, kalau sudah saatnya, ya dia pergi juga kan?'' Saya diam saja. Rasanya Rani memang tak perlu hiburan dari orang lain. Suaminya mematung seperti tak bernyawa. Wajahnya pias, tatapannya kosong. ''Ini konsekuensi sebuah pilihan,'' lanjut Rani, tetap mencoba tegar dan kuat. Hening sejenak. Angin senja meniupkan aroma bunga kamboja. Tiba-tiba Rani berlutut. ''Aku ibunyaaa!'' serunya histeris, lantas tergugu hebat. Rasanya baru kali ini saya menyaksikan Rani menangis, lebih-lebih tangisan yang meledak. ''Bangunlah Lif, Bunda mau mandikan Alif. Beri kesempatan Bunda sekali saja Lif. Sekali saja, Aliiif..'' Rani merintih mengiba-iba. Detik berikutnya, ia menubruk pusara dan tertelungkup di atasnya. Air matanya membanjiri tanah merah yang menaungi jasad Alif. Senja pun makin tua. Nasi sudah menjadi bubur, sesal tidak lagi menolong. Hal yang nampaknya sepele sering kali menimbulkan sesal dan kehilangan yang amat sangat. Sering kali orang sibuk 'di luaran', asik dengan dunianya dan ambisinya sendiri tidak mengabaikan orang2 di dekatnya yang disayanginya. Akan masih ada waktu 'nanti' buat mereka jadi abaikan saja dulu. Sering kali orang takabur dan merasa yakin bahwa pengertian dan kasih sayang yang diterimanya tidak akan hilang. Merasa mereka akan mengerti karena mereka menyayanginya dan tetap akan ada.

59

Janda Tua di Gubuk Tak Berjendela


Jika di antara Anda ada yang sulit menangis, tak bisa menitikkan air mata, dan sudah terlalu lama kelopak mata Anda kering tak terbasahi air mata sendiri, datanglah ke Kampung Pugur, Desa Lengkong Kulon, Kecamatan Pagedangan, Kabupaten Tangerang. Carilah rumah Ibu Laeni, janda berusia 64 tahun yang tinggal di sebuah gubuk berdinding bilik seluas 5x7 meter. Bangunan beralas tanah tak berpenerangan itu memiliki jendela, namun tak ada penutup jendela sehingga angin maupun cipratan air hujan leluasa masuk ke dalamnya. Di dalam gubuk tersebut, tinggallah Ibu Laeni, seorang janda tua yang ditemani dua anak gadisnya, Neneng dan Jumriah. Neneng, sang kakak berusia 26 tahun, belum menikah dan tak bekerja. Neneng menderita gizi buruk sejak kecil, sedangkan Jumriah sang adik menjanda justru setelah memiliki 2 (dua) putra. Jadi, terdapat 2 janda dan seorang pesakitan di rumah tersebut, ditambah 2 anak kecil yang belum mengerti apa-apa. Sehari-hari, Ibu Laeni, Neneng, dan Jumriah beserta 2 anaknya hanya berharap belas kasihan para tetangganya untuk bisa mendapatkan makan. Bila malam tiba, kadang mereka harus menjalani sepanjang malam tak berpenerangan, beruntung bila ada tetangga yang datang membawa setitik lilin yang hanya mampu bertahan tak lebih dari satu jam. Selebihnya, seisi gubuk pun kembali gulita. Neneng yang menderita gizi buruk sering sakit-sakitan. Untuk wanita seusianya, seharusnya berperawakan besar dan tinggi, namun ia lebih mirip remaja baru tumbuh yang terhambat pertumbuhannya. Kemiskinan yang dialami keluarganya, membuat Neneng semakin menderita. Ternyata, tak hanya balita yang menderita gizi buruk, bahkan wanita dewasa seperti Neneng pun mengalaminya. Sang adik, Jumriah tak kalah menderita. Entah apa kesalahan yang dibuatnya sehingga sang suami tega meninggalkan ia bersama dua buah hatinya. Padahal, dua anak hasil pernikahannya itu sangat membutuhkan kasih sayang, perhatian dan perlindungan seorang Ayah. Sang suami yang diharapkan menjadi tulang punggung menghilang tanpa jejak. Jumriah pun tak pernah sanggup menjawab pertanyaan dua anaknya, "Mana bapak, bu...?" Laeni tak pernah berharap hidup semenderita saat ini, ia pun tak pernah meminta diberikan umur panjang jika harus terus menjadi beban orang lain. Tapi ia masih punya iman untuk tak mengakhiri hidupnya dengan jalannya sendiri, selain itu wanita tua itu tak pernah tega meninggalkan dua anak dan dua cucunya yang tak kalah menderitanya. Baginya, anak-anak dan cucunya adalah harta berharga yang masih dimilikinya. Gubuk berdinding yang sebagian atapnya rusak itu, di musim hujan air leluasa masuk, disaat terik matahari bebas menerobos. Tak ada barang berharga di dalamnya, hanya kompor dekil yang sering tak terpakai lantaran tak ada bahan makanan yang dimasak. Mereka menyebutnya rumah, tapi siapapun yang pernah melihatnya, menyebut gubuk pun masih jauh dari pantas. Tetapi di dalamnya, ada dua janda, satu pesakitan, dan dua anak kecil yang terus menerus menunggu belas kasihan.

Gratis Banget
Pada suatu sore, seorang anak menghampiri Ibunya di dapur, yang sedang menyiapkan makan malam, dan ia menyerahkan selembar kertas yang selesai ditulisinya. Setelah ibunya mengeringkan tangannya dengan celemek, ia membacanya dan inilah tulisan si anak: - Untuk memotong rumput minggu ini - Untuk membersihkan kamar minggu ini - Untuk pergi ke toko menggantikan mama - Untuk menjaga adik waktu mama belanja - Untuk membuang sampah setiap hari 60 Rp. 7.500,00 Rp. 5.000,00 Rp. 10.000,00 Rp. 15.000,00 Rp. 5.000,00

- Untuk rapor yang bagus - Untuk membersihkan dan menyapu halaman Jumlah utang

Rp. 25.000,00 Rp. 12.500,00 Rp. 80.000,00

Si ibu memandang anaknya yang berdiri di situ dengan penuh harap, dan berbagai kenangan terlintas dalam pikiran ibu itu. Kemudian ia mengambil bolpen, membalikkan kertasnya, dan menulis: Untuk sembilan bulan ketika mama mengandung kamu selama kamu tumbuh dalam perut mama, GRATIS. Untuk semua malam ketika mama menemani kamu, mengobati kamu, dan mendoakan kamu, GRATIS. Untuk semua saat susah, dan semua air mata yang kamu sebabkan selama ini, GRATIS. Untuk semua malam yang dipenuhi rasa takut dan untuk rasa cemas di waktu yang akan datang, GRATIS. Untuk mainan, makanan, baju, dan juga menyeka hidungmu, GRATIS, Anakku. Dan kalau kamu menjumlahkan semuanya, harga cinta sejati mama adalah GRATIS. Setelah selesai membaca apa yang ditulis ibunya, ia menatap wajah ibunya dan berkata: 'Ma, aku sayang sekali pada Mama'. Dan kemudian ia mengambil bolpen dan menulis dengan huruf besar-besar: "LUNAS". --oo0oo-Apakah menurutmu ini cerita yang indah ? jika ya biarkan semua orang membaca juga cerita ini dan mereka dapat lebih menghargai orang-orang yang telah berjasa pada mereka...

Perempuan Dengan Hati Seluas Samudera


Oleh Hayati Rahmah Perempuan itu sama sekali tidak berbeda dari perempuan lain. Ia hanya seorang anak bungsu dari keluarga yang sederhana. Sejak kecil, seringkali ia harus bekerja keras dan terkadang mendapat perlakuan tidak enak dari saudara-saudaranya. Pendidikannya pun tidak terlalu tinggi. Meski sempat mengecap bangku SMA, tapi ia tidak sampai menamatkannya. Seorang laki-laki baik melamarnya ketika usianya 22 tahun. Ia pun setuju ketika harus pindah dan meninggalkan kota kelahirannya mengikuti suami yang bekerja di kota lain. Perjalanan waktu mengajarkannya untuk bisa menjalankan peran sosial dengan sangat baik. Jika di awal-awal pernikahan ia sering menangis karena jauh dari keluarganya, pada tahun-tahun berikutnya ia sudah terampil merawat rumah, berbelanja ke pasar, mengasuh anak, dan lain sebagainya. Meski ia cuma seorang istri dan ibu rumah tangga, tapi perempuan ini bisa menjalankan perannya dengan sempurna. Semua kebutuhan suami selalu ia penuhi. Ia seorang istri yang serba bisa. Suaminya tak pernah pergi ke tukang cukur, karena dialah yang selalu menggunting rambut suaminya. Selalu ada makanan cemilan di rumah, karena ia pintar membuat kue. Ia pandai mengirit uang belanja dan seringkali ia menggunakan keterampilannya menjahit untuk membuat gorden, sarung bantal, seprei dari hasil jahitannya. Semua anakanaknya pun pernah merasakan pakaian yang dijahit oleh tangannya. Perempuan itu melahirkan lima orang anak dari rahimnya. Buah hati yang selalu membuatnya bersemangat melakukan semua kegiatan rumah tangga dengan penuh rasa cinta. 61

Mulai dari bangun pagi, mempersiapkan sarapan, mencuci, menyeterika, dan membereskan rumah. Semua dikerjakan sendiri karena kondisi hidup yang pas-pasan. Ketika usianya 30 tahun, saat ketiga anak laki-lakinya masih kecil, suaminya mengajaknya untuk bertemu lebih dekat dengan sang Khaliq, menuju Baitullah Makkah. Sepulang dari haji, pakaian muslimah membalut tubuhnya. Perempuan itu semakin matang menapaki kehidupan. Semakin tahun, kondisi ekonomi keluarganya semakin membaik. Perempuan itu punya kebiasaan baru. Ia rajin sekali bersedekah. Menjelang bulan Ramadhan, ia akan memborong sarung, membeli bahan kain berpuluh-puluh meter. Semuanya ia jahit dengan tangan dibantu mesin jahit tuanya. Ia mulai menjahit kain itu menjadi mukena. Setelah semua selesai, ia akan mendatangi rumah kerabat, tetangga, dan saudara untuk membagikan mukena hasil jahitannya. Biarlah mereka memakai mukena buatanku, mudah-mudahan menjadi pahala Uang belanja yang berlebih selalu ia simpan rapi. Jika ada kesempatan, ia akan membeli barang-barang dalam jumlah banyak. Mulai dari sarung, bahan baju, mangkok, gelas, sapu, baskom, seprei, dan lain-lain. Semua ia kumpulkan dengan baik. Tapi barang-barang itu tidak pernah bertahan lama di rumah. Setiap kali ada saudara berkunjung, tetangga datang, sahabat bersilaturahmi, mereka tak pernah pulang dengan tangan kosong. Selalu saja ada yang disedekahkan perempuan itu. Bahkan jika tidak ada sesuatu yang bisa diberi, ia akan menguras dapurnya. Ada-ada saja yang ia beri. Kerupuk, jeruk nipis, pisang, ubi, kelapa atau apa saja yang saat itu ada di rumah. Setiap kali ia membuat kue atau memasak sesuatu, ia akan menyuruh anaknya untuk mengantar semangkuk makanan ke rumah tetangganya. Bahkan jika ada orang yang memberinya sesuatu, ia seringkali memberikannya untuk orang lain tanpa sempat ia sisakan untuk keluarganya. Jika tiba saat pulang kampung, ia menjadi perempuan yang paling sibuk. Ia akan berbelanja segala macam sayuran seperti buncis, cabe, atau wortel, buah-buahan seperti apel, jeruk, dan salak. Tak lupa juga ia sempatkan membuat rendang (ia paling jago membuat makanan yang satu ini). Semuanya ia bagikan kepada keluarga di kampung, baik keluarganya maupun keluarga suaminya. Bahkan tak jarang beberapa lembar uang ia selipkan untuk kerabatnya. Ia begitu rajin bersilaturahim, baik terhadap keluarga, tetangga, atau sahabatnya. Percayalah, setiap kali berkunjung, selalu saja ada yang dibawanya. Entah itu gulai ikan, kue, kelapa, pisang, atau cuma sebungkus kerupuk. Tangannya tak pernah kosong dan selalu memberi. Di sisi lain, ia selalu mempertahankan ibadahnya. Ia hampir tak pernah meninggalkan shalat dhuha dan tahajud setiap harinya. Terkadang jika hatinya sedang tidak enak, ia bisa begitu lama duduk di atas sajadahnya sambil menangis. Mulutnya pun tak pernah berhenti berdzikir. Dalam tasnya selalu ada tasbih, yang selalu ia pegang ketika berdzikir dalam perjalanan. Ia selalu salat berjamaah bersama suaminya. Seringkali ia rela menunggu suaminya pulang kantor karena hanya ingin mendapat pahala berjamaah. Selesai salat berjamaah, ia bergegas menyiapkan makanan untuk suaminya. Perempuan ini juga begitu rajin mengunjungi orang sakit. Setiap kali mendengar ada orang yang sakit, ia akan bergegas mengunjunginya, bahkan mengunjungi orang yang sama berkali-kali. Satu yang khas dari dirinya, selalu saja ada yang dibawanya ketika mengunjungi orang lain. Kadang ia mengaji di samping orang yang sakit dan menangis. Sudah beberapa tahun ini, perempuan itu jarang sekali membeli baju baru, atau perhiasan baru. Semua uangnya disisihkan untuk bersedekah atau menambah uang jajan bagi anaknya. Ia begitu sederhana dan apa adanya. Perempuan itu selalu membuat saya menangis bila mengingat kebaikannya. Sungguh, saya begitu mencintainya. Perempuan itu adalah ibu saya, seseorang dengan hati seluas samudera. ***

Mereka yang Telah Memberi Inspirasi


62

Oleh Rubina Qurratu'ain Zalfa'


Belakangan ini, saya banyak merenungkan seberapa banyak waktu yang telah saya sia-siakan hanya untuk melakukan aktivitas yang sifatnya duniawi dan mengesampingkan aktivitas yang bisa menjadi bekal saya di akherat nanti. Salah satunya, belajar ilmu agama, yang sejak lahir saya anut hingga saat ini ketika usia saya sudah melewati kepala tiga. Dari hasil perenungan itu, saya tersadar betapa minimnya pengetahuan agama saya, meski selama ini saya selalu melaksanakan kewajiban sholat lima waktu dan ibadah wajib lainnya, dan sesekali beramal dengan sedikit harta yang saya punya. Tapi entah kenapa, selama itu pula saya tidak pernah merasa tergerak untuk memperdalam ilmu agama. Saya lebih getol mengejar belajar ilmu umum yang saya minati, saya lebih tertarik membaca novel atau buku lainnya yang tidak bernafaskan agama. Untuk mengaji pun malas sekali. Tidak ada waktu dan lelah bekerja sepanjang hari, kerap menjadi alasan saya. Meski Muslim sejak lahir, saya berfikir menjalankan ibadah yang wajib saja sudah cukup dan belajar agama, termasuk didalamnya belajar atau membaca Al-Quran, tidak terlalu penting. "Yang penting kenal huruf dan bisa baca sedikit-sedikit," kataku waktu itu. Tetapi pemikiran saya itu berubah total setelah hampir dua tahun ini saya mulai mengikuti pengajian-pengajian. Ternyata, belajar membaca Al-Quran dengan benar itu sangat menyenangkan, belum lagi mengkaji kandungan-kandungannya. Ternyata, dari ceramahceramah para ustadz dan ustadzah di pengajian yang saya ikuti, saya mendapati bahwa belajar agama Islam itu mengasyikkan karena meliputi semua aspek kehidupan. Dan sekarang, situasinya pun jadi berbalik. Saya mulai banyak membeli buku-buku keagamaan, mulai betah mendengarkan ceramah agama di televisi atau radio, dan rasa keingintahuan saya tentang Islam seolah tak pernah habis. Perubahan itu tidak datang begitu saja. Perubahan itu terjadi karena saya menjumpai beberapa orang yang telah memberi inspirasi dan motivasi bagi saya untuk belajar dan menggali pengetahuan lebih banyak tentang agama saya. Seorang mualaf, sebut saja namanya Lia, yang sekarang menjadi sahabat karib saya, adalah satu inspirasi besar bagi perubahan itu. Ketika mengenalnya, saya sudah kagum dengan semangatnya belajar membaca Al-Quran dan menggali ilmu agama Islam dengan banyak bertanya dan membaca buku. Saya sempat malu hati, ketika tahu bahwa Lia yang baru dua tahun menjadi mualaf, sudah banyak memahami tentang Islam, bahkan isi Al-Quran. Sementara saya, yang Muslim sejak kecil, sampai saat itu malah belum paham benar apa sebenarnya rukun Islam dan rukun iman-meski saya hapal urutannya-apa keutamaan sholat tahajud, bagaimana berwudhu yang benar, sampai hal-hal kecil yang jika saya tahu ilmunya, bisa menjadi tambahan amaliyah saya di dunia. Ketika itu saya hanya membatin,"Duh betapa meruginya saya." Suatu saat, saya berkesempatan berkunjung ke tempat kos Lia. Di pintu lemari pakaiannya, saya melihat secara kerta yang ditempel berisi daftar surat-surat dalam Juz Amma. Beberapa surat mulai dari Al-Fatihah, terlihat ditandai dengan contrengan kecil. Aku bertanya, "Ini apa Li, koq dikasih tanda?" "Oh, itu daftar surat yang sudah aku hapal," katanya sambil tersenyum. Hapal? tanyaku dalam hati. Aku hitung surat-surat yang sudah ditandai, jumlahnya 18 surat. Lagi-lagi aku malu hati. Lia yang baru mengenal Islam, sudah hapal 18 surat. Sementara saya, selama puluhan menjadi Muslim cuma hapal kurang dari lima surat dan tidak pernah punya keinginan untuk berusaha menghapal surat-surat Al-Quran yang lain. Malu rasanya......... Sejak itu, diam-diam aku memperhatikan aktivitas Lia sehari-hari. Sampai aku tahu bahwa ia selalu menyempatkan diri membaca Al-Quran setiap hari meski cuma beberapa menit saja, 63

termasuk menjalankan sholat dan puasa sunnah. Ah, Lia, selama ini ternyata aku sudah jauh tertinggal..... Sejak itu, saya mulai mencontoh kebiasaan Lia. Pelan-pelan aku mulai menambah hapalan surat-surat Al-Quran, mulai belajar menjalankan ibadah sholat dan puasa sunnah, mulai membaca Al-Quran dengan rutin. Berat memang, kadang rasa malas amat menggoda. Setelah Lia, aku banyak sekali bertemu dengan orang-orang yang memacu semangatku untuk mendalami Islam. Salah satunya adalah tetanggaku sendiri, aku biasa memanggilnya Kak Lili. Dia juga mualaf, ketika hendak menikah beberapa puluh tahu silam. Meski ketiga anakanaknya sudah besar-besar dan usianya tidak lagi muda, ia selalu bersemangat mengikuti pengajian di mana-mana. Mencatat apa yang ia dapat di pengajian dalam buku khusus. Pengetahuannya tentang Islam dan sejarah Islam, sempat membuatku terperangah. Lagi-lagi saya malu hati. Saya tidak ada apa-apanya dibanding Kak Lili. Selanjutnya, suatu kali dalam perjalanan menuju kantor, di bis yang aku tumpangi. Aku melihat bapak tua yang sedang membaca Juz Amma. Dari gerak-geriknya aku tahu ia sedang berusaha menghapal salah satu suratnya. Sayapun tersentuh melihat si Bapak tua tadi. Semangat belajarku terpompa kembali, "Saya belum terlambat untuk mulai belajar," gumamku dalam hati. Kadang, saya merasa seperti seorang mualaf, karena banyak sekali hal yang belum saya ketahui dan harus saya pelajari. Namun saya bersyukur, karena Allah swt memberikan lingkungan dan teman-teman yang senantiasa menjadi penyemangat saya dalam belajar. Benarlah apa kata pepatah, tidak kenal maka tidak sayang. Makin banyak saya mengenal Islam, makin bertambah cinta saya pada Islam. Belakangan, saya benar-benar merasakan kebahagiaan karena terlahir sebagai Muslim. Semoga Allah swt selalu memberikan keteguhan iman dan kekuatan bagi kita untuk tetap istiqomah di jalanNya. (Sebuah catatan kecil untuk orang-orang yang telah memberi inspirasi)

Bersedekah di Kala Lapang dan Sempit


Oleh Rubina Qurratu 'ain Zalfa Hati saya bergetar melihat ribuan manusia memenuhi jalan utama di ibukota. Puluhan ribu umat Islam di Jakarta dan sekitarnya melakukan aksi damai dan penggalangan dana untuk warga Palestina yang terancam kelaparan, diisolasi dan dihentikannya bantuan internasional oleh Eropa dan AS. Subhanallah... cuma kata-kata itu yang terucap dalam hati saya melihat perhatian yang besar Muslim di Indonesia terhadap penderitaan saudara-saudara mereka yang didzolimi di Palestina. Apa yang membuat hati saya tersentuh adalah, saat ini, kondisi rakyat Indonesia sebenarnya juga dalam keadaan yang sangat sulit. Krisis ekonomi masih melilit kehidupan sebagian rakyat Indonesia yang mayoritas Muslim, sehingga masih banyak di antara mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan. Tak heran kalau banyak juga orang yang mencibir aksi penggalangan dana untuk rakyat Palestina itu. Mereka menganggap aksi sosial ini tidak realistis, buat apa membantu orang yang sedang kesusahan di negeri yang beribu-ribu mil jauhnya dari Indonesia, sementara di negeri sendiri banyak orang yang kelaparan. Alasan seperti ini memang tidak salah, tapi tidak sepenuhnya benar. Apalagi saudara-saudara Muslim kita di Palestina menderita karena perlakuan tidak adil negara-negara kuat, negara-negara yang selama ini mengaku menjunjung tinggi demokrasi dan hak asasi manusia. Sungguh, melihat aksi damai kemarin hati saya tergugah bahwa dalam kondisi yang sulit seperti sekarang ini, Muslim Indonesia tidak melupakan saudara-saudara mereka yang menderita di negeri lain. mereka tidak kehilangan semangat untuk memberikan sedikit harta yang mereka punya. Bukankah Islam mengajarkan kita untuk tetap bersedekah di waktu lapang maupun di 64

waktu sempit? Seperti firman Allah swt. dalam Surat Ali-Imran: 133-136. "Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. (Yaitu) orang-orang yag menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun di waktu sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang, Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik... Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Tuhan mereka dan surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya, dan itulah sebaik-baik pahala orang yang beramal ." Anjuran mulai dari Allah swt ini bermakna, bahwa dalam kondisi sesulit apapun, manusia masih bisa memberikan sesuatu di jalan Allah. Meski cuma sedikit, yang terpenting adalah pemberian itu diberikan dengan keikhlasan dan hanya mengharap ridho ilahi. Namun terkadang, kita sangat sulit memberikan sedikit apa yang kita punya dalam kondisi lapang, apalagi dalam kondisi sempit dengan berbagai pertimbangan. Pernahkah kita mengalami pada suatu saat dimintai sumbangan untuk keperluan umat, dan pada saat itu kita hanya memberikan uang ala kadarnya, yang penting sudah nyumbang. Padahal uang yang dikeluarkan untuk sedekah itu tidak seberapa jumlahnya dibandingkan uang yang kita keluarkan untuk hura-hura, kumpul dengan teman makan di restoran, beli baju mewah di mall ekslusif, beli sepatu bermerk dari luar negeri, beli parfum dengan harga ratusan ribu rupiah. Pernahkan kita merenungkan hal ini? Betapa beratnya kita mengeluarkan uang banyak untuk bersedekah dan betapa ringannya kita menghambur-hamburkan uang hanya untuk hal-hal yang sifatnya komsumtif dan duniawi. Padahal anjuran dan perintah Allah swt berinfaq pada waktu lapang tujuannya untuk menghilangkan perasaan sombong, serakah dan cinta yang berlebihan terhadap harta. Sedangkan bersedekah di waktu sulit dianjurkan agar sifat manusia yang lebih suka diberi dari pada memberi bisa berubah menjadi suka memberi daripada diberi. Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Rasulullah saw pun mengingatkan kita untuk jangan segan bersedekah, meski hanya dengan sebutir kurma. "Jauhkanlah dirimu dari api neraka walaupun dengan (bersedekah) sebutir kurma." (HR Muttafaq alaih). Semoga kita menjadi umat yang senantiasa selalu ingat bersedekah baik dalam kondisi lapang maupun sulit. Jikapun kita sudah tidak memiliki apapun untuk diberikan, bersedekahlah dengan doa. Sesungguhnya Allah swt senantiasa memberi kemudahan bagi kita untuk beramal shalih dengan keikhalasan dan hanya berharap ridho darinya. Rubina Qurratu 'ain Zalfa' rubina_zalfa@yahoo.com

Maafkan Ibu, Bidadari Kecilku Gesang Utari Malam belum seberapa tua, mata anak sulungku belum juga bisa dipejamkan. Beberapa buku telah habis kubacakan hingga aku merasa semakin lelah. "Kamu tidur donk Dila, Ibu capek nih baca buku terus, kamunya nggak tidur-tidur," pintaku. Ditatapnya dalam wajahku, lalu kedua tangannya yang lembut membelai pipiku. Dan, oh Subhanallah, kehangatan terasa merasuki tubuhku ketika tanpa berkata-kata diciumnya kedua pipiku. Tak lama, ia minta diantarkan pipis dan gosok gigi. Ia tertidur kemudian, sebelumnya diucapkannya salam dan maafnya untukku. "Maafin kakak ya Bu. Selamat tidur," ujarnya lembut. Kebiasaan itulah yang berlaku dikeluarga kami sebelum tidur. Aku menghela nafas panjang sambil kuperhatikan si sulung yang kini telah beranjak sembilan tahun. Itu artinya telah sepuluh tahun usia pernikahan kami. 65

Dentang waktu didinding telah beranjak menuju tengah malam. Setengah duabelas lewat lima ketika terdengar dua ketukan di pintu. Itu ciri khas suamiku. Seperti katanya barusan ditelepon, bahwa ia pulang terlambat karena ada urusan penting yang tak bisa ditunda besok. Suamiku terkasih sudah dimuka pintu. Cepat kubukakan pintu setelah sebelumnya menjawab salam. "Anak-anak sudah tidur?" Pertanyaan itu yang terlontar setelah ia bersih-bersih dan menghirup air hangat yang aku suguhkan. "Sudah," jawabku singkat. "Kamu capek sekali kelihatannya. Dila baik-baik saja?" Aku menggangguk. "Aku memang capek. Tapi aku bahagia sekali, bahkan aku pingin seperti ini seterusnya." Lelaki berusia tiga puluh lima tahun itu menatapku dengan sedikit bingung. "Akan selalu ada do'a untukmu, karena keikhlasanmu mengurus anak-anak dan suami tentunya. Dan aku akan minta pada Allah untuk memberimu pahala yang banyak," hiburnya kemudian. Aku tahu betapa ia penasaran ingin tahu apa yang hendak aku katakan, tapi ia tak mau memaksaku untuk bercerita. Tak sanggup aku menahan gejolak perasaan dalam dada yang sepertinya hendak meledak. Kurangkul erat tubuhnya. "Maafkan aku mas," bisikku dalam hati. Pagi ini udara begitu cerah. Dila, sulungku yang semalam tidur paling akhir menjadi anak yang lebih dulu bangun pagi. Bahkan ia membangunkan kami untuk sholat subuh bersama. Mandi pagipun tanpa dikomandoi lagi. Dibantunya sang adik, Helmi, memakai celana. Dila memang telah trampil membantuku mengurus adiknya. Tak hanya itu, menyapu halamanpun ia lakukan. Tapi itu dengan catatan, kalau ia sedang benar-benar ingin melakukannya. Kalau "angot" nya datang, wah, wah, wah. Inilah yang ingin aku ceritakan. Dila kerap marah berlebihan tanpa sebab yang jelas, sampai membanting benda-benda didekatnya, menggulingkan badan dilantai dan memaki dengan katakata kotor. Memang aku pernah melakukan suatu kesalahan saat aku kesal menghadapi ulahnya. Saking tak tertahannya kesalku, aku membanting pintu dan itu dilihatnya. Wajar saja kalau akhirnya Dila meniru perbuatanku itu. Penuh rasa sesal saat itu, aku berjanji untuk tidak melakukan hal itu kembali. Kuberikan penjelasan pada Dila bahwa aku salah dan hal itu tak boleh ia lakukan. Entah ia mengerti atau tidak. Hari itu Dila bangun agak siang karena kebetulan hari Minggu, pakaiannya basah kena ompol. Padahal ia tak biasanya begitu. Segera saja kusuruhnya mandi. Tapi Dila menolak, dengan alasan mau minum susu. "Boleh, tapi setelah minum susu, kakak segera mandi ya karena baju kakak basah kena ompol" Dila menyetujui perjanjian itu. Tapi belum lagi lima menit setelah habis susu segelas, ia berhambur keluar karena didengarnya teman-temannya sedang main. Mandipun urung dikerjakan. Aku masih mentolelir. Tapi tak lama berselang "Kak Dila. mandi dulu," aku setengah berteriak memanggilnya karena ia sudah berada diantara kerumunan anak yang sedang main lompat tali. "Sebentar lagi Bu. Kakak mau lihat Nisa dulu," begitu jawabnya. Aku masih belum bereaksi. Kutinggal ia sebentar karena Helmi merengek minta susu. Setelah membuatkan susu untuknya, aku keluar rumah lagi. Kali ini menghampiri Dila. "Waktumu sudah habis, sekarang kamu mandi", bisikku pelan ditelinganya. Dila bereaksi menamparku keras, "Nanti dulu!" aku tersentak, mendadak emosiku membludak. Aku balas menampar Dila hingga meninggalkan bekas merah di pipi kanannya. Tanpa berkata-kata lagi, kuseret tangannya sekuat tenaga. Dila terus meronta. Kakiku digigitnya. Aku dengan balas mencubit. Layaknya sebuah pertarungan besar kami saling memukul dan meninggikan suara. Setibanya dikamar mandi Dila kuguyur berulang-ulang, kugosok badanya dengan keras, kuberi sabun dan kuguyur lagi hingga ia tampak gelagapan. Aku benar-benar kalap. Selang beberapa menit kemudian, kukurung Dila dikamar mandi dalam keadaan masih tidak berpakaian. Ia menggedor-gedor pintu minta dibukakan. Berulang kali ia memaki dan mengatakan akan mengadukan kepada ayah. Tak berapa lama kemudian suara Dila melemah, hanya terdengar isak tangisnya. Aku membukakan pintu dengan mengomel. "Makanya, kalau disuruh mandi jangan menolak, Ibu sampe capek, dari tadi kamu menolak mandi terus. Awas ya kalau seperti ini lagi. Ibu akan 66

kunci kamu lebih lama lagi. Paham!", entah ia mengerti atau tidak. Dila hanya menangis meski tidak lagi meraung. Setelah rapih berpakaian, menyisir rambut dan makan. Dila seolah melupakan kejadian itu. Iapun asyik kembali main dengan teman-temannya. Peristiwa itu tidak hanya satu dua kali terjadi. Tidak hanya pada saya ibunya tapi juga pada ayahnya. Tapi, cara suamiku memperlakukan Dila sangat berbeda. Barangkali memang dasarnya aku yang tidak sabar menghadapi anak rewel. Tiap kali itu terjadi, cara itulah yang aku lakukan untuk mengatasinya. Bahkan mungkin ada yang lebih keras lagi dari itu. Tapi apa yang dilakukan Dila pada saya, Subhanallah, Dila tak pernah menceritakan perlakuanku terhadapnya kepada siapapun. Seolah ia pendam sendiri dan tak ingin diketahui orang lain. Akupun tak pernah menceritakan kepada suami, khawatir kalau ia marah. Padahal Dila itu anak kandungku, anak yang keluar dari rahimku sendiri. Aku kadang membencinya, tidak memperlakukan dia layaknya aku memperlakukan Helmi adiknya. Dila anak yang cerdas. Selalu ceria, gemar menghibur teman-temannya dengan membacakan mereka buku yang tersedia dirumah. Bahkan teman-temannya merasa kehilangan ketika Dila menginap di rumah neneknya diluar kota, yang cuma dua malam. Belaian lembut tangan suamiku menyadarkan aku. Kulepas pelukanku perlahan. Tak sadar air mata menyelinap keluar membasahi pipi. "Sudahlah, malam semakin larut. Ayo kita tidur," ajaknya lembut. Aku berusaha menenangkan gemuruh dibatinku. Astaghfirullah, aku beristighfar berulang kali. "Aku mau tidur dekat Dila ya?" pintaku. Lagi-lagi kearifan suamiku membuatku semakin merasa bersalah. Kuhampiri Dila yang tampak pulas memeluk guling kesayangannya. Siswi kelas tiga SD itu begitu baik hati. Aku malu menjadi ibunya yang kerap memukul, berkata-kata dengan suara keras dan...oh Dila maafkan Ibu. Disisi Dila bidadari kecilku, aku bersujud di tengah malam. "Ya Allah, melalui Dila, Engkau didik hambamu ini untuk menjadi ibu yang baik. Aku bermohon ampunan kepada-Mu atas apa yang telah kulakukan pada keluargaku, pada Dila. Beri hamba kesempatan memperbaiki kesalahan dan ingatkan hamba untuk tidak mengulanginya lagi. Dila, maafkan Ibu nak, kamu banyak memberi pelajaran buat Ibu." Sebuah renungan untuk para ibu (termasuk saya didalamnya). Semoga kita semakin menyayangi anak-anak dan memperlakukan mereka dengan baik. Sebagaimana diingatkan dalam sebuah hadits Nabi SAW agar manusia menyayangi anak-anaknya. Ketika Aqra' bin Habis At Tamimi mengatakan bahwa ia memiliki sepuluh anak tapi tak pernah mencium salah seorang diantara mereka, Rasululloh SAW bersabda "barangsiapa yang tidak menyayangi maka dia tidak disayangi" (HR. Bukhari dan Tirmizi).

Ibu, Ujang sayang Ibu


Kafemuslimah.com - Setiap liburan SD aku sering menghabiskannya di kampung kalijati. Kalijati itu sebuah desa yang dekat dengan subang, jawa barat. Liburan pertama kali di sana, aku sering menangis karena jarang jauh dari orang tua. Namun, liburan yang ke dua kali aku mulai kerasan di sana. Soalnya asyik banget kalau ke desa itu. Penduduknya ramah, bahasanya halus, dan masih kelihatan gotong royongnya. Nggak kayak di jakarta yang loe loe gue gue. Aku kalau liburan menginap di rumah bibiku. Di sana aku berkenalan dengan sebuah keluarga yang terdiri dari seorang ibu dan lima anak. Ke lima anaknya laki-laki semua dan ke lima-limanya menjadi tentara. Kalau rambutku sudah panjang, sering anak sulung ibu itu tanpa segan mencukur rambutku. Aku sering main ke sana karena dulu ku punya cita-cita jadi tentara. Setiap ke sana aku selalu memandangi lambang divisi siliwangi. Sering ku elus-elus lambang itu, seakan ada getaran semangat mengalir di dadaku. Tapi sayang ku tak berhasil mencapai citacita itu. Tak apa. Mungkin ada rencana Allah yang lain untukku. 67

Dari berkenalan dengan tetangga bibiku, aku sering bertanya mengenai perihal tetangga itu. Gimana sih kok kulihat ke lima anaknya rukun sekali dan sayang pada ibunya itu. Lalu bibiku menceritakan perihal tetangganya. Begini ceritanya Saat ke lima anak itu masih kecil, ayah mereka telah di panggil Allah SWT. Si ibu itu akhirnya menjadi janda dalam usia muda. Seperti halnya janda muda lainnya, banyak lelaki iseng yang mengajukan lamaran padanya. Ibu itu selalu menampik semua lamaran karena takut lelaki itu hanya cinta pada dirinya bukan pada anaknya. Ada pula yang meneror ibu itu tiap malam dengan mengetuk pintu. Ibu itu meminta bantuan bibiku dan pamanku untuk melindunginya dari teror lelaki hidung belang. Untuk biaya hidup keluarganya, ibu itu menjual kebun yang ia punya kepada bibiku. Dari menjual kebun itu, ia gunakan sebagai modal berdagang makanan kecil. Dari hasil usahanya berjualan ia pergunakan untuk membiayai sekolah anak-anaknya. Ke lima anaknya pun sangat sayang pada ibunya. Mereka selalu membantu ibunya membuat makanan kecil dan jika pulang sekolah mereka ikut menemani ibunya berjualan. Si anak sulung sering berkata pada ibunya kala beristirahat di malam hari, "Ibuibuku sayangkalau ujang nanti sudah besar, ujang akan bekerja. Ibu di rumah saja yah biar ujang yang urus ibu dan adik-adik. Ibu nggak perlu jualan lagi. Ujang juga akan jaga ibu dari lelaki hidung belang" Ibu itu tersenyum mendengar perkataan anaknya. Sambil membelai rambut anaknya dengan sayang, ibu itu berkata, "Selama ibu masih kuat, ibu akan bekerja jang, buat biayai sekolah kalian. Kalau kamu sudah besar dan menjadi orang, ibu hanya berharap kamu bisa membantu adik-adikmu. Jangan pikirkan ibu. Ibu sudah senang kalau melihat kamu sudah bisa mandiri". Si ujang mendengarkan perkataan ibunya sambil menangis terisak-isak. "Tapi ujang akan bantu ibu kalau sudah bekerja !" "Iya jangiya !" jawab ibunya sambil tersenyum, "Sudah sana tidur.Besok bisa terlambat sekolah kalau tak tidur sekarang." Singkat cerita, ujang lulus sma. Lalu ia mengikuti ujian masuk sekolah tentara, SMU Taruna. Alhamdulillah ia lulus dan mengikuti pendidikan di sekolah itu. Suatu ketika ada latihan terjun payung. Sebagai peserta didik di sekolah itu, ujang pun mengikuti latihan itu. Dari pesawat yang terbang tinggi, satu persatu peserta melakukan terjun payung. Tiba giliran si ujang. Loncat Ketika sedang melayang di udara, tiba-tiba di matanya ia seperti melihat ibunya sedang memasak di dapur yang atapnya masih rusak dan sering bocor kala hujan. Air mata menetes tanpa sadar dan ujang terlupa untuk menarik tali pembuka parasut. Baru tinggal beberapa meter dari tanah, ujang menarik tali itu. Ujang terjatuh ke tanah. Segera teman-temannya membawa ujang ke rumah sakit militer. Alhamdulillah berkat lindungan Allah dan doa ibu, ujang hanya cedera ringan saja dan hanya di rawat beberapa hari saja di sana. Teman-temannya saat menemani ujang menjenguk ibunya menceritakan pada hal itu padanya. "Aduh ibuujang tiap malam selalu mengigau. Kami sering mendengar ia sering berteriak dapur ibukudapur ibuku" cerita salah seorang teman ujang pada ibu ujang. " Aihaih ujangujang. Ku naon mikirkeun kitu...", ibu ujang berkata sambil linangan air matanya membasahi pipinya,"bagja ujang dunia akhiratsemoga ujang jadi anak sholeh" Ujang akhirnya lulus sekolah tentara dan menjalankan dinasnya di divisi Siliwangi bandung. Dari gajinya, ia bisa melaksanakan cita- citanya membantu ibunya menyekolahkan adik-adiknya dan memperbaiki dapur ibunya. Ke empat adiknya pun mengikuti jejak kakaknya menjadi tentara. 68

Setiap lebaran, ke lima anaknya selalu menjenguk ibunya. Ujang sering membuat malu ibunya di depan tetangga yang berkunjung. Ketika datang, ia peluk ibunya erat-erat, ia ciumi, sambil terus berkata di telinga ibunya, "Ujang sayang ibuujang sayang ibuujang sayang ibuJanganlah ibu menangis, ujang ingin selalu melihat ibu tersenyum". Pelukannya tak ia lepas-lepas sampai si ujang merasa puas menyampaikan rasa sayang dan rindunya pada sang ibu. Ke empat adiknya pun lalu larut dalam suasana itu. Saling mengerubungi ibunya yang sudah mulai tua. Berisak-isaklah ibu bersama lima anaknya. Para tetangga hanya bisa melihat sambil berlinang air mata. Mungkin di hati mereka juga berharap, anakku suatu ketika bisa seperti mereka, yang selalu sayang pada ibunya. Selalu rukun sebagai saudara Ujang selalu sayang ibu. Nrnberg, 23.12.2004 Rinduku pada ibu dan adikku di sana Kunaon mikirkeun kitu : kenapa memikirkan hal itu Bagja ujang dunia akhirat : sejahtera ujang dunia akhirat

69

Anda mungkin juga menyukai