Anda di halaman 1dari 28

EVALUASI PENERAPAN PSAK 101 PADA TIGA BPD YANG

TELAH KONVERSI MENJADI SYARI'AH

OLEH:
HABIB FAUZAN
NIM 2010102020

Dosen Pengampu :
Sulhani, S.E.I.,M.Ak, SAS

INSTITUT AGAMA ISLAM TAZKIA


PROGRAM STUDI AKUNTANSI SYARI’AH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS SYARIAH
BOGOR
2023 M/ 1444 H

1
KATA PENGANTAR

Bersyukur kita kepada Allah SWT yang maha pengasih lagi maha penyayang yang
telah memberikan rahmat dan hidayahnya kepada kita semua,sehingga kami dapat Menyusun
penelitian ini sampai selesai. Penelitian ini disusun untuk melengkapi syarat kelulusan pada
Mata Kuliah Research Methodology in Accounting. Sholawat serta salam selalu tercurahkan
kepada Nabi Muhammad SAW dan semoga kita semua mendapatkan syafa’atnya di hari
akhir. Tidak lupa pula kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
memberikan bantuan baik masukan maupun materi.

Kami selaku penulis sangat bersyukur atas tersusunnya penelitian ini yang berjudul
Evaluasi Penerapan PSAK 101 Pada Tiga BPD Yang Telah Konversi Menjadi
Syari'ah, dan kami berharap penelitian ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan bagi
pembaca.Terlepas dari semua itu,kami merasa masih banyak kekurangan dalam penyusunan
dalam makalah ini karena kami masih kurang dalam pengetahuan dan pengalaman.Oleh
karena itu kami sangat menerima kritik dan saran dari pembaca untuk memperbaiki
kesalahan demi kesempurnaan makalah ini.

Bogor, 15 Maret 2023

2
Penulis

DAFTAR ISI

COVER......................................................................................................................................1
KATA PENGANTAR...............................................................................................................2
DAFTAR ISI..............................................................................................................................3
BAB I.........................................................................................................................................4
PENDAHULUAN......................................................................................................................4
A.LATAR BELAKANG........................................................................................................4
B.RUMUSAN MASALAH....................................................................................................6
C.TUJUAN MASALAH........................................................................................................6
D.MANFAAT PENELITIAN................................................................................................6
BAB II........................................................................................................................................8
PEMBAHASAN........................................................................................................................8
A.LANDASAN TEORI.............................................................................................................8
Penyajian Laporan Keuangan pada Ketiga Bank BPD........................................................8
Kesesuaian Penyajian Laporan Keuangan Bank BPD dengan PSAK 101 tentang
"Penyajian Laporan Keuangan Syariah"..............................................................................9
Standar Akuntansi Syari’ah................................................................................................16

B. Prinsip Akad dalam Bank Syariah dan Dampaknya pada Pencatatan...................................6


1.Akad pada Bank Syariah...................................................................................................6
2. Implikasi dalam Pencatatan..............................................................................................6
Tantangan dalam Konversi Perbankan Konvensional menjadi Bank Syariah...........................6
BAB III.....................................................................................................................................11
Metode Penelitian.......................................................................................................................6
Jenis Penelitian.....................................................................................................................6
Jenis Data.............................................................................................................................6
Kriteria Responden...............................................................................................................6
Teknik Penelitian Studi Kasus.............................................................................................6
PENUTUP................................................................................................................................11
A.KESIMPULAN................................................................................................................11
B.SARAN.............................................................................................................................11

3
BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Fenomena konversi bank konvensioal menjadi bank syariah di awali dengan di
konversinya PT bank Aceh pada tahun 2016, PT. BPD Aceh resmi dikonversi menjadi PT.
Bank Aceh Syariah(Assofia, 2016), Konversi ini kemudian diikuti dengan Bank NTB tahun
2018 PT. BPD Nusa Tenggara Barat (NTB) secara resmi dikonversi menjadi PT. Bank NTB
Syariah(Fahdiansyah, 2021) Tren konversi BPD ini juga diikuti oleh PT. BPD Riau Kepri
yang telah resmi dikonversi menjadi PT. Bank Riau Kepri Syariah sejak Agustus
2022(Anggraini, 2022). Dengan berdirinya bank syariah yang jumlahnya meningkat pesat
kompetisi antar bank syariah menjadi sangat ketat, menimbulkan pertanyaan yang
fundamental mengenai cara memuaskan nasabah perbankan syariah(Cahyani, 2016)

Laporan Tahunan PT. Bank Aceh Syariah tahun 2021 mengungkapkan pencapaian
yang signifikan dengan mencatat total aset sebesar Rp 28,170 miliar. Sementara itu, Laporan
Tahunan PT. Bank NTB Syariah untuk tahun yang sama mengungkapkan total aset yang
mencapai Rp 11,215 miliar. Namun, PT. Bank Riau Kepri Syariah berhasil mencatatkan
prestasi yang luar biasa dengan total aset sebesar Rp 30,779 miliar dalam Laporan Keuangan
Badan Usaha Milik Daerah/Perusahaan Daerah. Dengan memiliki basis aset yang lebih besar,
PT. Bank Riau Kepri Syariah menjadi kekuatan yang kokoh dalam memperkuat pertumbuhan
sektor ekonomi dan keuangan syariah.

Proses transformasi dari bank konvensional menjadi bank syariah merupakan


perjalanan yang rumit yang membutuhkan upaya besar dan penyesuaian yang teliti. Kedua
model perbankan ini beroperasi dengan prinsip yang berbeda. Sementara bank konvensional
menggunakan kerangka kerja berbasis bunga dalam alokasi kreditnya, bank syariah
mengikuti prinsip bagi hasil. Perbedaan mendasar ini tercermin dalam praktik akuntansi
mereka. Bank syariah tidak diizinkan mengakui bunga sebagai pendapatan, sementara bank
konvensional mengandalkan bunga sebagai sumber utama pendapatan.

Menurut(Cahyani, 2016), bunga mengacu pada jumlah tambahan atau pembayaran


yang melebihi modal yang awalnya diinvestasikan, dihitung sebagai persentase terhadap

4
modal awal dan dalam jangka waktu tertentu. Sebaliknya, bagi hasil merupakan bentuk
pengembalian atau pembagian keuntungan berdasarkan perjanjian kontrak, di mana nilainya
berfluktuasi tergantung pada hasil usaha yang sebenarnya(Assofia, 2016). Perbedaan ini
semakin menekankan kontras industri antara kedua sistem perbankan tersebut

Seiring dengan perkembangan industri perbankan syariah di Indonesia, penerapan


standar akuntansi syariah (SAS) menjadi semakin penting dalam menjamin transparansi dan
akuntabilitas dalam pelaporan keuangan bank syariah(Batubara, 2019). Salah satu standar
akuntansi syariah yang harus diterapkan oleh bank syariah di Indonesia adalah PSAK 101,
yang merupakan standar akuntansi syariah yang mengatur tentang akuntansi murabahah,
musyarakah, mudharabah, dan istishna(Rahman, 2017).

Untuk memastikan kelancaran proses konversi dan menjaga konsistensi dalam


menerapkan prinsip syariah, penting adanya bagian yang bertanggung jawab dalam
melakukan evaluasi penerapan PSAK 101. Evaluasi penerapan PSAK 101 ini memiliki peran
krusial dalam mengawasi kegiatan operasional bank syariah, dengan tujuan utama untuk
memastikan bahwa tidak terjadi pelanggaran terhadap prinsip-prinsip syariah. Evaluasi ini
juga bertujuan untuk memastikan kesesuaian antara akad-akad yang telah diterapkan
sebelumnya dengan prinsip-prinsip syariah yang berlaku. Dalam konteks ini, evaluasi
penerapan PSAK 101 juga berperan penting dalam menangani perlakuan bunga (interest)
yang sebelumnya diakui sebagai pendapatan dalam bank konvensional, namun harus
diperlakukan secara berbeda setelah bank tersebut berhasil dikonversi menjadi bank syariah.

Oleh karena itu, evaluasi penerapan PSAK 101 pada PT. Bank Aceh Syariah, PT.
Bank NTB Syariah, dan PT. Bank Riau Kepri Syariah menjadi penting dilakukan untuk
mengetahui sejauh mana penerapan standar akuntansi syariah tersebut dilakukan dengan
benar dan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Selain itu, evaluasi tersebut juga
dapat memberikan rekomendasi dan saran untuk meningkatkan kualitas pelaporan keuangan
pada ketiga bank syariah tersebut.

Menurut (Siti Safaroh, 2022) Kendala yang sering ditemukan dalam penerapan PSAK
101 adalah terkait dengan kurangnya pemahaman dan kesadaran tentang standar akuntansi
syariah, kurangnya tenaga ahli akuntansi syariah, dan perbedaan pandangan antara regulator
dan praktisi akuntansi syariah. Ketiga faktor ini dapat berdampak pada kualitas pelaporan
keuangan bank syariah yang kurang baik, sehingga perlu dilakukan evaluasi penerapan PSAK
101.

5
Dalam melakukan evaluasi penerapan PSAK 101, pihak regulator dan auditor
independen akan memastikan bahwa ketiga bank syariah tersebut telah menerapkan semua
ketentuan yang terkait dengan standar akuntansi syariah dalam pengukuran, pengakuan, dan
pengungkapan informasi keuangan dalam laporan keuangan. Menurut (Fitria, 2013)
memastikan bahwa untuk menghasilkan informasi keuangan sangat dibutuhkan dalam
pembuatan keputusan manajemen dan pimpinan perusahaan dan dapat memudahkan
pengelolaan perusahaan.

Diharapkan, evaluasi penerapan PSAK 101 pada PT. Bank Aceh Syariah, PT. Bank
NTB Syariah, dan PT. Bank Riau Kepri Syariah dapat memberikan rekomendasi dan saran
untuk meningkatkan kualitas pelaporan keuangan pada ketiga bank syariah tersebut. Hal ini
diharapkan dapat memperbaiki transparansi dan akuntabilitas dalam pelaporan keuangan
bank syariah, serta meningkatkan kepercayaan masyarakat dan investor terhadap bank-bank
syariah di Indonesia secara keseluruhan.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana evaluasi penerapan PSAK 101 (Penyajian Laporan Keuangan) pada tiga
BPD (Bank Pembangunan Daerah) yang telah melakukan konversi menjadi syari'ah?

2. Bagaimana perkembangan kinerja keuangan PT Bank Aceh Syariah, PT Bank NTB


Syariah, dan PT Bank Riau Kepri Syariah setelah Konversi?

3. Bagaimana perbedaan penerapan PSAK 101 sebelum dan setelah konversi menjadi
syari'ah pada tiga BPD yang bersangkutan?

4. Bagiaman Kinerja Pelaporan Keuangan mengacu pada Psak 101 PT Bank Aceh
Syariah, PT Bank NTB Syari’ah dan PT Bank Riau Kepri Syariah.

C. Tujuan Masalah
Tujuan dari evaluasi penerapan PSAK 101 pada ketiga bank syariah tersebut adalah
untuk menganalisis sejauh mana penerapan standar akuntansi syariah tersebut dilakukan
dengan benar dan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Selain itu, evaluasi tersebut
juga dapat memberikan rekomendasi dan saran untuk meningkatkan kualitas pelaporan
keuangan pada ketiga bank syariah tersebut.

6
D. Manfaat Masalah
Evaluasi penerapan PSAK 101 pada PT. Bank Aceh Syariah, PT. Bank NTB Syariah, dan
PT. Bank Riau Kepri Syariah memiliki beberapa manfaat, antara lain:

1. Memberikan informasi dan pemahaman yang lebih baik tentang penerapan standar
akuntansi syariah, terutama pada ketiga bank syariah yang baru melakukan konversi
menjadi bank syariah.

2. Memperbaiki kualitas pelaporan keuangan pada ketiga bank syariah, yang pada
gilirannya dapat meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pelaporan
keuangan bank syariah secara keseluruhan.

3. Meningkatkan kepercayaan masyarakat dan investor terhadap bank-bank syariah di


Indonesia, karena pelaporan keuangan yang lebih transparan dan akuntabel dapat
memperlihatkan kinerja bank yang sebenarnya dan menunjukkan kepatuhan bank
terhadap standar akuntansi syariah yang telah ditetapkan.

4. Memberikan rekomendasi dan saran yang dapat digunakan oleh bank-bank syariah
lain dalam menerapkan standar akuntansi syariah, sehingga dapat meningkatkan
kualitas pelaporan keuangan bank syariah secara keseluruhan.

7
BAB II. PEMBAHASAN
A. Landasan Teori

1. Penyajian Laporan Keuangan pada Ketiga Bank BPD

Dalam rangka memenuhi tanggung jawabnya kepada para pemegang saham untuk
tujuan pengambilan keputusan, manajemen PT. Bank Aceh Syariah, PT. Bank NTB Syariah,
dan PT. Bank Riau Kepri Syariah menyusun laporan keuangan yang disajikan pada akhir
setiap periode. Namun, untuk memantau perkembangan kinerja keuangan secara lebih
terperinci, laporan keuangan juga disusun dalam jangka waktu triwulan.

Dalam penyusunan laporan keuangan, PT. Bank Aceh Syariah, PT. Bank NTB
Syariah, dan PT. Bank Riau Kepri Syariah mengacu pada Pernyataan Standar Akuntansi
Keuangan (PSAK) yang dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia. Beberapa PSAK yang
diikuti antara lain

PSAK 101 tentang "Penyajian Laporan Keuangan Syariah",


PSAK 102 tentang "Akuntansi Murabahah",
PSAK 104 tentang "Akuntansi Istishna",
PSAK 105 tentang "Akuntansi Mudharabah",
PSAK 106 tentang "Akuntansi Musyarakah", dan
PSAK 107 tentang "Akuntansi Ijarah".

Selain itu, prinsip-prinsip yang berlaku umum yang ditetapkan oleh Ikatan Akuntan
Indonesia dan Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia (PAPSI) yang diterbitkan
oleh Ikatan Akuntan Indonesia bekerja sama dengan Bank Indonesia juga diikuti. Laporan
keuangan juga memperhatikan praktek-praktek perbankan yang berlaku umum serta pedoman
pelaporan yang ditetapkan oleh otoritas perbankan di Indonesia.

PT. Bank Aceh Syariah, PT. Bank NTB Syariah, dan PT. Bank Riau Kepri Syariah
menyusun laporan keuangan menggunakan konsep akrual (accrual basis) dan dasar harga
perolehan. Dalam hal penyusunan Laporan Arus Kas, mereka menggunakan konsep
penerimaan dan pengeluaran kas dan setara kas (cash basis) yang diklasifikasikan ke dalam
aktivitas operasi, investasi, dan pendanaan menggunakan metode langsung.

8
Laporan keuangan yang disusun oleh PT. Bank Aceh Syariah, PT. Bank NTB
Syariah, dan PT. Bank Riau Kepri Syariah mengacu pada PSAK 101 tentang "Penyajian
Laporan Keuangan Syariah". Sesuai dengan PSAK 101, terdapat sembilan komponen laporan
keuangan yang lengkap bagi bank syariah, yaitu

1. Neraca,
2. Laporan Laba Rugi,
3. Laporan Arus Kas,
4. Laporan Perubahan Ekuitas,
5. Laporan Dana Investasi Terikat,
6. Laporan Rekonsiliasi Pendapatan dan Bagi Hasil,
7. Laporan Sumber dan Penggunaan Dana Zakat, Infaq, dan Shadaqah,
8. Laporan Sumber dan Penggunaan Dana Qardhul Hasan, serta
9. Catatan atas Laporan Keuangan.

2. Kesesuaian Penyajian Laporan Keuangan Bank BPD dengan


PSAK 101 tentang "Penyajian Laporan Keuangan Syariah"

Entitas, terutama yang terlibat dalam kegiatan akuntansi, memerlukan standar untuk
mengatur praktik dan menyusun laporan keuangan. Salah satu standar yang digunakan
sebagai pedoman dalam penyusunan laporan keuangan entitas syariah adalah Pernyataan
Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 101 tentang "Penyajian Laporan Keuangan
Syariah".

Dalam konteks ini, PT. Bank Aceh Syariah, PT. Bank NTB Syariah, dan PT. Bank Riau
Kepri Syariah telah menerapkan PSAK No. 101 dalam menyusun laporan keuangan mereka.
Hal ini dapat dilihat dari opini yang diberikan oleh auditor (Anggraini, 2022) & Rekan, yang
memberikan opini "Wajar Tanpa Pengecualian" untuk laporan keuangan PT. Bank Riau
Kepri Syariah.

Laporan keuangan yang disusun oleh ketiga Bank BPD telah menggunakan dasar
akrual (accrual basis), kecuali dalam penyusunan Laporan Arus Kas yang menggunakan
dasar kas (cash basis). Hal ini sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Pernyataan
Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 101 tentang "Penyajian Laporan Keuangan
Syariah" yang dijelaskan pada halaman 8 paragraf 25.

Berikut adalah laporan keuangan yang disajikan oleh ketiga BANK BPD:

9
1. Neraca

Dalam menyajikan neraca, PT. Bank Riau Kepri Syariah telah menerapkan Pernyataan Standar
Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 101 tentang "Penyajian Laporan Keuangan Syariah". Neraca yang
disajikan oleh PT. Bank Riau Kepri Syariah telah mencakup informasi yang sesuai dengan yang
dijelaskan dalam PSAK 101 pada halaman 15 paragraf 52. Selain itu, Bank Riau Syariah juga telah
memisahkan informasi yang harus disajikan dalam Neraca dan informasi yang harus disajikan dalam
Catatan atas Laporan Keuangan.

Ketiga Bank BPD tersebut mengungkapkan rincian dari setiap akun yang terdapat
dalam neraca melalui catatan atas laporan keuangan, sebagaimana dijelaskan dalam PSAK
101 pada halaman 17 paragraf 56 yang menyatakan bahwa entitas syariah harus
mengungkapkan subklasifikasi pos-pos dalam neraca atau dalam catatan atas laporan
keuangan dengan cara yang tepat sesuai dengan operasi syariah. Selain itu, jumlah terutang
atau piutang pada entitas syariah induk, anak entitas syariah, entitas syariah asosiasi, dan
pihak-pihak lain yang memiliki hubungan istimewa juga diungkapkan secara terpisah.

Dengan demikian, dapat dijelaskan bahwa neraca yang disusun oleh PT. Bank Aceh
Syariah, PT. Bank NTB Syariah, dan PT. Bank Riau Kepri Syariah telah sesuai dengan
PSAK No. 101 tentang "Penyajian Laporan Keuangan". Hal ini dapat dilihat dari penyusunan
akun-akun yang termasuk dalam neraca dan penamaan akun-akun tersebut. Selain itu, neraca
yang disajikan oleh PT. Bank Riau Kepri Syariah juga mencakup informasi yang sesuai
dengan yang dijelaskan dalam PSAK 101 pada halaman 15 paragraf 52. Laporan neraca yang
disusun oleh Bank Riau Syariah juga telah memisahkan informasi yang perlu disajikan dalam
neraca dan informasi yang perlu disajikan dalam Catatan atas Laporan Keuangan sesuai
dengan PSAK No. 101 pada halaman 17 paragraf 56.

2. Laporan Laba Rugi

Dalam menyusun laporan laba rugi, Ketiga Bank BPD (Bank Pembangunan Daerah)
telah mengikuti Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 101 tentang
"Penyajian Laporan Keuangan Syariah". Laporan laba rugi yang disajikan oleh Ketiga Bank
BPD telah mencakup informasi yang menonjolkan berbagai unsur kinerja keuangan yang
diperlukan untuk penyajian secara wajar, sebagaimana dijelaskan dalam PSAK 101 pada
halaman 18 paragraf 60.

10
Selain itu, PT. Bank Aceh Syariah, PT. Bank NTB Syariah, dan PT. Bank Riau Kepri
Syariah telah memisahkan informasi yang perlu disajikan dalam laporan laba rugi dan
informasi yang perlu disajikan dalam Catatan atas Laporan Keuangan. Ketiga Bank BPD
tersebut menyajikan rincian beban pada Catatan atas Laporan Keuangan, sesuai dengan
ketentuan yang terdapat dalam PSAK 101 pada halaman 19 paragraf 63 yang menyatakan
bahwa entitas syariah harus menyajikan rincian beban dengan menggunakan klasifikasi yang
didasarkan pada sifat atau fungsi beban di dalam entitas syariah.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penyajian Laporan Laba Rugi telah sesuai
dengan PSAK No. 101 tentang "Penyajian Laporan Keuangan". Hal ini dapat dilihat dari
penyusunan akun-akun yang termasuk dalam Laporan Laba Rugi dan penamaan akun-akun
tersebut. Selain itu, Laporan Laba Rugi yang disajikan oleh Ketiga Bank BPD juga mencakup
informasi yang sesuai dengan yang dijelaskan dalam PSAK No. 101 pada halaman 18
paragraf 60. Laporan Laba Rugi yang disusun oleh PT. Bank Aceh Syariah, PT. Bank NTB
Syariah, dan PT. Bank Riau Kepri Syariah juga telah memisahkan informasi yang perlu
disajikan dalam Laporan Laba Rugi dan informasi yang perlu disajikan dalam Catatan atas
Laporan Keuangan, sesuai dengan PSAK No. 101 pada halaman 19 paragraf 63.

3. Laporan Peubahan Ekuitas


Dalam menyajikan laporan perubahan ekuitas, PT. Bank Aceh Syariah, PT. Bank NTB Syariah,
dan PT. Bank Riau Kepri Syariah telah mengikuti ketentuan yang terdapat dalam Pernyataan Standar
Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 101 tentang "Penyajian Laporan Keuangan Syariah".

PSAK 101 halaman 20 paragraf 67 menjelaskan bahwa laporan perubahan ekuitas harus
mencakup elemen-elemen berikut:

1. Laba atau rugi bersih yang terjadi selama periode yang bersangkutan.

2. Setiap pos pendapatan, beban, keuntungan, dan kerugian yang diakui secara langsung
dalam ekuitas berdasarkan standar akuntansi yang terkait.

3. Pengaruh kumulatif dari perubahan kebijakan akuntansi dan perbaikan atas kesalahan
mendasar sesuai dengan standar akuntansi yang terkait.

4. Transaksi modal dengan pemilik dan distribusi kepada pemilik.

5. Saldo akumulasi laba atau rugi pada awal dan akhir periode beserta perubahannya.

11
6. Rekonsiliasi antara nilai tercatat dari jenis modal saham, agio, dan cadangan pada
awal dan akhir periode yang mengungkapkan setiap perubahan secara terpisah.

Pada tanggal 31 Desember, PT. Bank Riau Kepri Syariah tidak melakukan transaksi
pemegang saham seperti setoran modal dan pembayaran dividen. Oleh karena itu, laporan
perubahan ekuitas PT. Bank Riau Kepri Syariah hanya mencerminkan saldo awal laba bersih,
saldo awal jumlah ekuitas, dan saldo akhir jumlah ekuitas pada periode tersebut.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penyajian laporan perubahan ekuitas oleh PT.
Bank Aceh Syariah, PT. Bank NTB Syariah, dan PT. Bank Riau Kepri Syariah sesuai dengan
PSAK No. 101 karena laporan perubahan ekuitas yang disajikan mencakup informasi yang
relevan mengenai keuntungan dan kerugian yang berasal dari kegiatan bank tersebut.

4. Laporan Arus Kas


Dalam PSAK No. 101, halaman 21, paragraf 69, dijelaskan bahwa penyusunan
laporan arus kas harus mengikuti ketentuan yang telah ditetapkan dalam Pernyataan
Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) terkait. Salah satu PSAK terkait yang dimaksud adalah
PSAK 2 tentang "Laporan Arus Kas".

Dalam penyajian laporan arus kas, PT. Bank Aceh Syariah, PT. Bank NTB Syariah, dan PT.
Bank Riau Kepri Syariah telah mengklasifikasikan arus kas yang diperoleh menjadi dua
kelompok, yaitu arus kas dari aktivitas operasi dan arus kas dari aktivitas pendanaan. Namun,
dalam PSAK 2, halaman 4, paragraf 9, dijelaskan bahwa laporan arus kas seharusnya
diklasifikasikan berdasarkan aktivitas operasi, investasi, dan pendanaan.

Ketiga Bank BPD tersebut tidak mengklasifikasikan arus kas yang diperoleh dari aktivitas
pendanaan. Arus kas yang termasuk dalam aktivitas pendanaan antara lain meliputi
penerimaan kas dari penerbitan saham atau instrumen modal lain, pembayaran kas kepada
pemilik untuk menarik atau menebus saham, penerimaan kas dari penerbitan obligasi,
pelunasan pinjaman, dan pembayaran kas oleh lessee untuk mengurangi saldo liabilitas yang
terkait dengan sewa pembiayaan.

PT. Bank Aceh Syariah tidak memiliki arus kas yang berasal dari aktivitas pendanaan karena
bank tersebut belum menerbitkan saham untuk diperdagangkan. Selain itu, pada periode
tersebut, tidak ada pelunasan dalam transaksi ijarah (lessee).

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penyajian laporan arus kas oleh PT. Bank Aceh
Syariah, PT. Bank NTB Syariah, dan PT. Bank Riau Kepri Syariah sesuai dengan PSAK

12
yang terkait, yaitu PSAK No. 2 tentang "Laporan Arus Kas". Selain itu, informasi yang
disajikan dalam laporan arus kas oleh ketiga bank tersebut telah sesuai dengan ketentuan
yang terdapat dalam PSAK No. 2.

5. Laporan Perubahan Dana Investasi Terikat


Investasi terikat merujuk pada investasi yang berasal dari pemilik dana investasi terikat dan
sejenisnya yang dikelola oleh bank syariah sebagai agen investasi. Pengelolaan dana investasi terikat
dapat terjadi melalui akad mudharabah muqayyadah.

Akad mudharabah muqayyadah adalah bentuk mudharabah di mana pemilik dana


memberikan batasan kepada pengelola terkait dana, lokasi, cara, atau objek investasi,
misalnya dengan tidak mencampurkan dana pemilik dengan dana lainnya, tidak
menginvestasikan dana dalam transaksi penjualan cicilan tanpa penjamin, atau mengharuskan
pengelola untuk melakukan investasi sendiri tanpa melalui pihak ketiga. Jika pengelola dana
melanggar batasan yang diberikan oleh pemilik dana, maka pengelola dana harus
bertanggung jawab atas konsekuensi keuangan yang timbul.

Dalam Laporan Perubahan Dana Investasi Terikat yang disajikan oleh ketiga Bank BPD,
terdapat dua portofolio, yaitu Portofolio A dan Portofolio B. Laporan tersebut memuat
informasi sebagai berikut:

1. Saldo awal investasi terikat.

2. Dana investasi yang diterima.

3. Penarikan atau pembelian kembali unit penyertaan investasi selama periode


pelaporan.

4. Keuntungan (kerugian) dana investasi terikat.

5. Imbalan bank syariah sebagai agen investasi.

6. Beban administrasi dan beban lainnya yang dialokasikan oleh bank syariah ke dana
investasi terikat.

7. Saldo akhir dana investasi terikat.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Laporan Perubahan Dana Investasi Terikat yang
disajikan oleh ketiga Bank BPD telah disusun sesuai dengan PSAK No. 101 tentang

13
"Penyajian Laporan Keuangan Syariah". Laporan tersebut memenuhi persyaratan yang
dijelaskan dalam PSAK No. 101, halaman 35, paragraf 7.

6. Laporan Rekonsiliasi Pendapatan dan Bagi Hasi


Dalam menyusun laporan rekonsiliasi pendapatan dan bagi hasil, ketiga Bank BPD telah
menerapkan PSAK 101 tentang "Penyajian Laporan Keuangan Syariah". Laporan rekonsiliasi
pendapatan dan bagi hasil yang disusun oleh ketiga Bank BPD telah mencantumkan informasi yang
sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam PSAK 101, halaman 37, paragraf 15.

Bagi hasil yang sudah didistribusikan merujuk pada bagi hasil yang menjadi hak pihak
shahibul maal (pemilik dana) dan sudah didistribusikan oleh bank. Sementara itu, bagi hasil
yang belum didistribusikan adalah bagi hasil yang menjadi hak pihak shahibul maal (pemilik
dana), tetapi belum didistribusikan kepada pemilik dana tersebut.

Penyajian akun "bagi hasil yang menjadi hak pemilik dana" telah sesuai dengan ketentuan
yang terdapat dalam PSAK 101, halaman 38, paragraf 15.

Namun, ketiga Bank BPD tidak menyajikan akun "pendapatan periode sebelumnya yang
kasnya diterima pada periode berjalan". Hal ini disebabkan karena ketiga Bank BPD baru
terbentuk pada Januari 2010, sehingga tidak ada pendapatan yang belum diterima pada
periode sebelumnya.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penyajian Laporan Rekonsiliasi Pendapatan dan
Bagi Hasil yang disajikan oleh ketiga Bank BPD sudah sesuai dengan PSAK No. 101 tentang
"Penyajian Laporan Keuangan".

7. Laporan Sumber dan Penggunaan Dana Zakat, Infaq dan Shadaqah.


Zakat adalah sebagian dari harta yang wajib dikeluarkan oleh muzakki (wajib zakat) untuk
diserahkan kepada mustahiq (penerima zakat). Pembayaran zakat dilakukan ketika terpenuhi nisab
dan haul dari harta yang memenuhi kriteria zakat. Laporan Sumber dan Penggunaan Dana Zakat
memiliki unsur dasar yang meliputi sumber dana, penggunaan dana, penggunaan dana selama periode
tertentu, dan saldo zakat yang belum disalurkan pada tanggal tertentu. Dana zakat tidak boleh
digunakan untuk menutupi penyisihan aset produktif.

Secara umum, ketiga Bank BPD sudah menerapkan PSAK No. 101 tentang "Penyajian
Laporan Keuangan Syariah" dalam Laporan Sumber dan Penggunaan Dana Zakat. Hal ini
dapat dilihat dari informasi yang disajikan yang sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam
PSAK No. 101, khususnya pada halaman 21 paragraf 70. Informasi yang disajikan
mencakup:

14
1. Dana zakat yang berasal dari wajib zakat (muzakki).

2. Penggunaan dana zakat.

3. Kenaikan (penurunan) dana zakat.

4. Saldo awal dana zakat.

5. Saldo akhir dana zakat.

Meskipun sudah menerapkan PSAK No. 101, masih terdapat beberapa kesalahan yang perlu
dievaluasi oleh ketiga Bank BPD. Kesalahan-kesalahan tersebut antara lain:

1. Bank BPD masih menggunakan istilah "Laporan Sumber dan Penggunaan Dana
Zakat, Infak, dan Shadaqah". Istilah tersebut hanya digunakan dalam PAPSI dan
PSAK No. 59. Dalam PSAK No. 101, istilah tersebut tidak digunakan lagi, dan
seharusnya diganti dengan istilah "Laporan Sumber dan Penggunaan Dana Zakat".
Oleh karena itu, Bank BPD seharusnya tidak lagi menggunakan istilah "Laporan
Sumber dan Penggunaan Dana Zakat, Infak, dan Shadaqah" dan menggantinya
dengan istilah "Laporan Sumber dan Penggunaan Dana Zakat" agar sesuai dengan
PSAK No. 101.

2. Bank BPD masih menggunakan istilah "Sumber dana ZIS pada periode awal" yang
seharusnya diganti dengan istilah "Saldo awal dana zakat", dan istilah "Sumber dana
ZIS periode akhir" yang seharusnya diganti dengan istilah "Saldo akhir dana zakat".
Selain itu, istilah "Kenaikan (penurunan) sumber atas penggunaan" juga perlu diganti
dengan istilah "Kenaikan (penurunan) dana zakat".

3. Bank BPD menyajikan akun "Sumber dana ZIS pada periode awal" pada bagian awal
dalam Laporan Sumber dan Penggunaan Dana Zakat, Infak, dan Shadaqah.
Seharusnya, akun tersebut disajikan setelah akun "Kenaikan (penurunan) dana zakat".

Dengan demikian, diperlukan revisi terhadap terminologi dan urutan penyajian dalam
Laporan Sumber dan Penggunaan Dana Zakat agar sesuai dengan PSAK No. 101.

8. Laporan Sumber dan Penggunaan Dana Qardhul Hasan


Laporan Sumber dan Penggunaan Dana Qardhul Hasan yang disajikan oleh ketiga Bank BPD
telah mengikuti ketentuan yang terdapat dalam PSAK No. 101 tentang penyajian "Penyajian Laporan
Keuangan Syariah". Informasi yang disajikan dalam laporan tersebut, seperti sumber dana Qardh pada
periode awal, sumber dana Qardh, penggunaan dana Qardh, kenaikan (penurunan) dana Qardh, dan

15
sumber dana Qardh pada periode akhir, telah sesuai dengan yang dijelaskan dalam PSAK No. 101
halaman 22 paragraf 75.

Meskipun demikian, terdapat kesalahan yang dilakukan oleh ketiga bank ini yang perlu
dievaluasi. Salah satu kesalahan tersebut adalah penggunaan istilah dan penyajian akun yang
tidak sesuai. Dalam PSAK No. 101, istilah "Laporan Sumber dan Penggunaan Dana Qardhul
Hasan" telah diganti dengan istilah "Laporan Sumber dan Penggunaan Dana Kebajikan".
Oleh karena itu, ketiga bank seharusnya tidak lagi menggunakan istilah lama tersebut dan
menggantinya dengan istilah yang sesuai, yaitu "Laporan Sumber dan Penggunaan Dana
Kebajikan" sesuai dengan PSAK No. 101.

Selain itu, kesalahan penggunaan istilah juga terjadi dalam penamaan akun yang digunakan.
Ketiga bank masih menggunakan istilah "Sumber Dana Qardh pada periode awal", padahal
dalam PSAK No. 101 istilah tersebut telah digantikan dengan "Saldo awal dana penggunaan
dana kebajikan". Begitu pula dengan istilah "Kenaikan (Penurunan) sumber atas penggunaan"
yang tidak sesuai dengan PSAK No. 101 dan seharusnya diganti dengan istilah "Kenaikan
atau penurunan dana kebajikan". Demikian pula dengan akun "sumber dana qardh pada
periode akhir" yang seharusnya tidak digunakan lagi oleh ketiga bank, melainkan diganti
dengan istilah "saldo akhir dana penggunaan dana kebajikan".

9. Catatan atas Laporan Keuangan


Catatan atas Laporan Keuangan yang disajikan oleh ketiga Bank BPD telah mengungkapkan
informasi yang relevan mengenai laporan keuangan yang disusun oleh bank-bank tersebut. Setiap
informasi yang disajikan telah sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam PSAK No. 101 tentang
"Penyajian Laporan Keuangan Syariah" pada halaman 24 paragraf 80. PSAK No. 101 mengharuskan
penyajian informasi seperti dasar penyusunan laporan keuangan, kebijakan akuntansi yang digunakan,
informasi tambahan yang tidak disajikan dalam Neraca, Laporan Laba Rugi, Laporan Arus Kas,
Laporan Perubahan Ekuitas, dan informasi lainnya.

Namun, setelah dilakukan penyesuaian dengan PSAK No. 101, dapat disimpulkan bahwa
Catatan atas Laporan Keuangan yang disajikan oleh ketiga Bank BPD sudah sesuai dengan
ketentuan yang terdapat dalam PSAK No. 101 halaman 24 paragraf 80. Oleh karena itu, dapat
dikatakan bahwa penyajian Catatan atas Laporan Keuangan yang telah disusun oleh ketiga
Bank BPD sudah sesuai dengan ketentuan yang tertera dalam PSAK No. 101 tentang
"Penyajian Laporan Keuangan".

16
Namun demikian, berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa secara
keseluruhan penyajian laporan keuangan pada ketiga Bank BPD belum sepenuhnya sesuai
dengan PSAK No. 101 tentang "Penyajian Laporan Keuangan Syariah". Hal ini disebabkan
oleh ketidaksesuaian dalam penggunaan beberapa istilah. Oleh karena itu, dapat disimpulkan
bahwa ketiga Bank BPD belum sepenuhnya menerapkan PSAK No. 101 dalam penyusunan
laporan keuangannya.

3. Standar Akuntansi Syariah

Standar Akuntansi Syariah (SAS) merupakan seperangkat standar akuntansi yang


berlaku dalam industri perbankan syariah. SAS dibuat untuk memastikan bahwa pengelolaan
keuangan dalam industri perbankan syariah dilakukan dengan cara yang sesuai dengan
prinsip-prinsip syariah. SAS juga berfungsi untuk memberikan pedoman bagi para
profesional di bidang keuangan dalam mengelola dan menyajikan laporan keuangan di
perbankan syariah.

Dalam (Simbolon, 2018) menuliskan bahwa SAS memiliki beberapa prinsip utama,
yaitu prinsip kehati-hatian, prinsip transparansi, prinsip keadilan, dan prinsip berkelanjutan.
Prinsip kehati-hatian mengharuskan perbankan syariah untuk mengambil tindakan
pencegahan terhadap risiko keuangan yang dapat mengganggu stabilitas bank. Prinsip
transparansi mengharuskan perbankan syariah untuk memberikan informasi yang akurat,
jelas, dan mudah dipahami kepada para pemangku kepentingan, seperti nasabah, regulator,
dan investor.

Prinsip keadilan berarti bahwa perbankan syariah harus menghormati hak-hak semua
pihak yang terkait dalam kegiatan perbankannya, termasuk nasabah, karyawan, dan
pemegang saham. Prinsip berkelanjutan mengharuskan perbankan syariah untuk menjaga
keberlangsungan operasinya dengan cara yang sesuai dengan prinsip syariah dan bertanggung
jawab terhadap dampak kegiatannya terhadap lingkungan dan masyarakat.

Implementasi SAS pada perbankan syariah di Indonesia dilakukan oleh Dewan


Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI). DSN MUI merupakan badan yang
memiliki wewenang untuk menetapkan fatwa-fatwa syariah yang berkaitan dengan
perbankan syariah di Indonesia. SAS yang dikeluarkan oleh DSN MUI bersifat wajib dan
mengikat bagi seluruh perbankan syariah di Indonesia.

17
Dalam implementasinya, perbankan syariah di Indonesia juga memperhatikan prinsip
akuntansi konvensional, namun dengan penyesuaian pada beberapa akun akuntansi yang
berbeda dengan akuntansi konvensional. Sebagai contoh, dalam akuntansi syariah, tidak ada
akun bunga, namun ada akun bagi hasil yang menggantikan akun bunga pada akuntansi
konvensional. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa pengelolaan keuangan dalam
perbankan syariah tetap sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.

Dengan penerapan SAS, diharapkan industri perbankan syariah di Indonesia dapat


beroperasi dengan lebih baik dan transparan dalam pengelolaan keuangannya, sehingga dapat
memberikan manfaat yang optimal bagi seluruh pemangku kepentingan, termasuk nasabah,
karyawan, dan pemegang saham. Selain itu, penerapan SAS juga diharapkan dapat
memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap perbankan syariah sebagai alternatif sistem
keuangan yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.

Selain faktor-faktor yang telah disebutkan sebelumnya, (Andriansyah, 2014)


menjelaskan ada beberapa faktor lain yang mempengaruhi pertumbuhan industri perbankan
syariah di Indonesia, antara lain:

a. Dukungan pemerintah

Pemerintah Indonesia telah memberikan dukungan yang kuat terhadap perkembangan


industri perbankan syariah. Hal ini terlihat dari berbagai kebijakan yang dikeluarkan, seperti
pembentukan Dewan Syariah Nasional, pengesahan Undang-Undang Perbankan Syariah, dan
penghapusan pajak bagi bank-bank syariah yang melakukan merger.

Selain itu, pemerintah juga memberikan insentif fiskal dan non-fiskal bagi industri perbankan
syariah, seperti pembebasan pajak, bantuan modal, dan peningkatan akses terhadap pasar
keuangan global.

b. Pertumbuhan ekonomi Indonesia

Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang relatif stabil dan tinggi juga turut
mempengaruhi pertumbuhan industri perbankan syariah. Hal ini terlihat dari meningkatnya
kepercayaan masyarakat terhadap perbankan syariah sebagai lembaga keuangan yang dapat
memberikan layanan perbankan yang aman, berkualitas, dan berdasarkan prinsip syariah.

c. Perkembangan teknologi

18
Perkembangan teknologi juga memainkan peran penting dalam pertumbuhan industri
perbankan syariah. Pemanfaatan teknologi dapat meningkatkan efisiensi operasional,
memperluas jangkauan pasar, dan meningkatkan kualitas layanan perbankan.

Beberapa teknologi yang digunakan oleh industri perbankan syariah di Indonesia,


antara lain internet banking, mobile banking, dan electronic money. Dengan menggunakan
teknologi ini, perbankan syariah dapat memberikan layanan perbankan yang lebih cepat,
mudah, dan aman kepada nasabah.

d. Kepedulian sosial

Industri perbankan syariah juga menunjukkan keprihatinan sosial melalui berbagai


program CSR (Corporate Social Responsibility) yang dilaksanakan oleh perbankan syariah.
Program CSR tersebut antara lain bantuan kepada anak yatim, bantuan kepada korban
bencana, bantuan kepada masyarakat miskin, dan lain sebagainya.

Dalam menjalankan program CSR, perbankan syariah mengacu pada prinsip-prinsip


syariah, seperti keadilan, kemanfaatan, dan keberkahan. Dengan demikian, program CSR ini
dapat memberikan manfaat bagi masyarakat secara luas dan membantu meningkatkan citra
perbankan syariah di Indonesia.

4. Perbedaan Secara Prinsip antara Bank Konvensional dan Bank Syariah

Perbedaan antara Bank Konvensional dan Bank Syariah terletak pada prinsip pelaksanaannya.
Bank Konvensional mengikuti prinsip-prinsip konvensional yang didasarkan pada peraturan nasional
dan internasional yang berlaku. Prinsip ini tidak memiliki keterkaitan langsung dengan agama
tertentu. Di sisi lain, Bank Syariah mengikuti prinsip-prinsip Islam yang didasarkan pada Al-
Quran dan Hadis, serta diatur berdasarkan fatwa ulama. Prinsip-prinsip ini menetapkan
aturan-aturan yang harus diikuti oleh Bank Syariah dalam semua aspek operasionalnya.

Secara lebih spesifik, Bank Konvensional beroperasi dengan menggunakan instrumen


keuangan konvensional seperti bunga, riba, dan spekulasi. Mereka juga dapat melakukan
investasi dalam sektor non-halal, seperti alkohol, perjudian, atau industri yang dianggap
merugikan lingkungan. Sebaliknya, Bank Syariah tidak mengizinkan penggunaan bunga atau
riba dalam transaksi keuangannya. Mereka menggunakan prinsip bagi hasil (mudharabah atau
musyarakah) dalam kegiatan pembiayaan. Bank Syariah juga menghindari investasi dalam
sektor-sektor yang dianggap haram atau tidak sesuai dengan prinsip-prinsip Islam.

19
Dengan demikian, Bank Syariah secara keseluruhan menjalankan operasionalnya
sesuai dengan prinsip-prinsip Islam, sedangkan Bank Konvensional tidak terikat dengan
prinsip-prinsip agama tertentu dan mengikuti aturan yang berlaku secara umum. Sumber
pendapatan yang diperoleh antara bank syariah dan bank konvensional memang sangat
berbeda. Bank Syariah mendapatkan pendapatan utamanya dari sistem bagi hasil. Prinsip
sistem bagi hasil ini mirip dengan mekanisme perdagangan, di mana bank syariah berperan
sebagai perantara antara penjual dan pembeli. Perbedaan atau selisih harga inilah yang
menjadi sumber pendapatan bagi bank syariah.

Sementara itu, bank konvensional mendapatkan pendapatan dengan menggunakan


sistem bunga yang bersifat tetap atau permanen. Mereka memberikan pinjaman dengan suku
bunga yang telah ditentukan sebelumnya, dan pendapatan mereka berasal dari bunga yang
diterima dari peminjam. Selain itu, bank syariah hanya berinvestasi dalam bisnis yang halal,
sedangkan bank konvensional memiliki kebebasan dalam memilih investasi tanpa batasan
nilai. Nilai bagi hasil pada bank syariah tidak tetap atau berubah-ubah, tergantung pada
kinerja usaha yang dilakukan. Sementara itu, suku bunga pada bank konvensional bersifat
tetap dan telah ditentukan sebelumnya. Dengan demikian, bank syariah mengandalkan sistem
bagi hasil sebagai sumber pendapatan utama mereka, sedangkan bank konvensional
mengandalkan pendapatan dari bunga yang dikenakan pada pinjaman yang mereka berikan.

Dalam evaluasi penerapan PSAK 101 pada PT. Bank Aceh Syariah, PT. Bank NTB
Syariah, dan PT. Bank Riau Kepri Syariah setelah melakukan konversi dari bank
konvensional menjadi bank syariah,(Adiyes, 2018) memberikan berbagai faktor yang perlu
diperhatikan untuk memastikan suksesnya konversi tersebut.

Salah satu faktor yang penting adalah dukungan dari manajemen dan karyawan bank.
Konversi ini membutuhkan perubahan besar dalam sistem dan budaya perusahaan, sehingga
perlu ada komitmen dan dukungan yang kuat dari manajemen untuk memastikan konversi
berjalan lancar. Karyawan juga perlu dilibatkan dan diberikan pelatihan yang memadai untuk
memahami prinsip-prinsip perbankan syariah dan implementasinya dalam pekerjaan sehari-
hari.

Faktor lain yang perlu diperhatikan adalah pemilihan tim yang tepat untuk mengelola
konversi. Tim ini perlu memiliki keahlian dan pengalaman yang cukup dalam bidang
perbankan syariah dan juga pemahaman yang baik tentang prinsip akuntansi syariah. Selain

20
itu, pemilihan vendor atau konsultan yang tepat juga penting untuk membantu bank dalam
implementasi konversi ini.

Aspek peraturan dan hukum juga menjadi faktor penting dalam konversi bank
konvensional menjadi bank syariah. Bank perlu memahami dan memenuhi persyaratan
peraturan dan hukum yang berlaku, seperti peraturan Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan
(OJK), dan Dewan Syariah Nasional (DSN).

Terakhir, evaluasi penerapan PSAK 101 pada PT. Bank Aceh Syariah, PT. Bank NTB
Syariah, dan PT. Bank Riau Kepri Syariah juga perlu mempertimbangkan faktor risiko.
Konversi ini dapat menimbulkan risiko operasional, kepatuhan, dan reputasi, sehingga perlu
ada manajemen risiko yang baik untuk meminimalkan risiko tersebut.

Dalam kesimpulannya, evaluasi penerapan PSAK 101 pada PT. Bank Aceh Syariah,
PT. Bank NTB Syariah, dan PT. Bank Riau Kepri Syariah setelah melakukan konversi dari
bank konvensional menjadi bank syariah memerlukan perhatian yang baik terhadap berbagai
faktor yang telah dijelaskan di atas. Dukungan dari manajemen dan karyawan, pemilihan tim
dan vendor yang tepat, peraturan dan hukum yang berlaku, dan manajemen risiko yang baik
akan sangat penting dalam memastikan suksesnya konversi ini

B. Prinsip Akad dalam Bank Syariah dan Dampaknya pada Pencatatan


1. Akad Pada Bank Syari’ah

Akad yang digunakan dalam tabungan bank syariah adalah akad wadiah dan
akad mudharabah. Akad wadiah merupakan suatu bentuk penitipan atau amanah dari satu
pihak kepada pihak lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus dilindungi dan
dapat dikembalikan kapan pun deposan menginginkannya. Tujuan dari akad wadiah ini
adalah untuk menjaga keamanan dan keutuhan barang titipan dari risiko kerugian,
kerusakan, atau kehilangan. Dalam akad wadiah, bank bertanggung jawab sepenuhnya
terhadap barang yang dititipkan, bahkan jika terjadi kerusakan atau kerugian tanpa adanya
kelalaian atau kesengajaan dari bank.

Dalam konteks tabungan bank syariah, akad wadiah digunakan sebagai dasar
perjanjian antara nasabah (depositornya) dengan bank. Nasabah menitipkan dana atau
simpanan kepada bank, dan bank bertanggung jawab untuk menjaga keamanan dan
mengembalikan dana tersebut sesuai permintaan nasabah. Bank tidak memberikan imbalan

21
dalam bentuk bunga atau bagi hasil pada akad wadiah ini, karena karakteristiknya yang lebih
menyerupai penitipan amanah.

Jadi bisa di jelaskan bahwa akad wadiah pada bank syariah adalah perjanjian di mana nasabah
menitipkan dana kepada bank dengan tujuan menjaga keamanan dan mengembalikan dana tersebut
tanpa adanya imbalan bunga. Bank bertanggung jawab penuh terhadap keamanan dan keutuhan dana
yang dititipkan, bahkan jika terjadi kerusakan atau kerugian tanpa kesengajaan dari bank.

Menurut PSAK Nomor 105, “mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak
dimana pihak pertama (pemilik dana) menyediakan seluruh dana, sedangkan pihak kedua (pengelola
dana) bertindak selaku pengelola, dan keuntungan dibagi antara mereka sesuai kesepakatan
sedangkan kerugian finansial hanya ditanggung oleh pemilik dana” Namun, jika kerugian
diakibatkan oleh kecurangan atau kelalaian dari pengelola, maka pengelola harus bertanggung jawab
atas kerugian tersebut

2. Implikasi dalam Pencatatan

a. Dana Syirkah Temporer

Dana syirkah temporer tidak termasuk dalam kategori kewajiban maupun ekuitas,
karena jika terjadi kerugian yang bukan disebabkan oleh kelalaian mudharib (mitra usaha), maka
kerugian tersebut menjadi tanggung jawab pemilik dana. Dana syirkah temporer pada dasarnya
merupakan bentuk investasi dalam bentuk partisipasi modal yang diberikan oleh investor kepada
perusahaan atau entitas usaha yang menggunakan prinsip syirkah (kerjasama) dalam operasionalnya.

Penghimpunan dana melalui prinsip wadiah termasuk dalam kategori kewajiban.


Wadiah adalah akad penitipan atau amanah di mana bank bertanggung jawab untuk menjaga
keamanan dana yang dititipkan oleh nasabah dan mengembalikannya sesuai permintaan
nasabah. Dalam hal ini, bank memiliki kewajiban untuk memastikan dana yang dititipkan
aman dan tersedia saat nasabah menginginkannya.

Wadiah tidak termasuk dalam kategori ekuitas karena ekuitas merujuk pada modal
yang disetor oleh pemegang saham. Ekuitas merupakan bagian kepemilikan dan partisipasi
dalam suatu perusahaan. Akad wadiah pada dasarnya adalah perjanjian penitipan dana, bukan
penyertaan modal.

Menurut PSAK Nomor 105, “dana yang diterima dari pemilik dana dalam akad
mudharabah diakui sebagai dana syirkah temporer sebesar jumlah kas atau nilai wajar aset
non kas yang diterima. Pada akhir periode akuntansi, dana syirkah temporer diukur sebesar

22
nilai tercatatnya. Jika pengelola dana menyalurkan dana syirkah temporer yang diterima
maka pengelola dana mengakui sebagai aset sesuai ketentuan pada paragraf 12-13”

b. Piutang Pembiayaan

Menurut PSAK Nomor 101, akad piutang yang disajikan pada laporan posisi
keuangan bank syariah meliputi: piutang murabahah, piutang salam, piutang istishna’ dan
piutang pendapatan ijarah. Sedangkan akad pembiayaan yang disajikan pada laporan posisi
keuangan bank syariah meliputi: pembiayaan mudharabah dan pembiayaan musyarakah
Berdasarkan PSAK Nomor 102, “murabahah adalah akad jual beli barang dengan
harga jual sebesar biaya perolehan ditambah keuntungan yang disepakati dan penjual harus
mengungkapkan biaya perolehan barang tersebut kepada pembeli”. Penyajian pada piutang
murabahah yaitu sebesar nilai neto yang dapat direalisasikan, yaitu saldo piutang murabahah
dikurangi penyisihan kerugian piutang

PSAK Nomor 103 menyebutkan bahwa “salam adalah akad jual beli barang
pesanan (muslam fiih) dengan pengiriman di kemudian hari oleh penjual (muslam illaihi)
dan pelunasannya dilakukan oleh pembeli pada saat akad disepakati sesuai dengan syarat-
syarat tertentu”. Piutang salam diakui pada saat modal usaha salam dibayarkan atau
dialihkan kepada penjual. Penjual menyajikan modal usaha salam yang diterima sebagai
kewajiban salam dan pembeli menyajikan modal usaha salam yang diberikan sebagai piutang
salam

Menurut PSAK Nomor 104, “istishna’ adalah akad jual beli dalam bentuk
pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang
disepakati antara pemesan (pembeli, mustashni’) dan penjual (pembuat, shani’”. Piutang
istishna’ yang berasal dari transaksi istishna’ disajikan sebesar jumlah yang belum dilunasi
oleh pembeli akhir

Akad ijarah yang diatur dalam PSAK Nomor 107 diartikan sebagai “akad
pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu aset dalam waktu tertentu dengan pembayaran
sewa (ujrah) tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan aset itu sendiri. Sewa yang
dimaksud adalah sewa operasi (operating lease)”. Piutang pendapatan sewa diukur sebesar
nilai yang dapat direalisasikan pada akhir periode pelaporan

c. Dana Zakat dan Dana Kebajikan

23
Komponen dasar dalam laporan sumber dan penyaluran dana zakat terdiri dari sumber
dana, penyaluran dana selama satu periode, dan saldo dana zakat yang menunjukkan jumlah
dana zakat yang belum disalurkan pada tanggal tertentu.

Sumber dana merujuk pada total dana yang telah terkumpul sebagai zakat dari
berbagai sumber, seperti sumbangan individu, perusahaan, atau lembaga lainnya. Komponen
ini mencerminkan jumlah dana yang telah masuk ke dalam akun zakat.

Penyaluran dana mencakup informasi mengenai penggunaan dana zakat selama


periode tertentu. Hal ini mencakup rincian dan besaran dana yang telah disalurkan untuk
memenuhi kebutuhan yang dibenarkan oleh prinsip-prinsip syariah, seperti pemberdayaan
masyarakat miskin, bantuan pendidikan, perbaikan infrastruktur, dan lain sebagainya.
Komponen ini mencerminkan penggunaan efektif dan transparan dari dana zakat.

Saldo dana zakat menunjukkan sisa dana zakat yang belum disalurkan pada tanggal
tertentu. Saldo ini mencerminkan jumlah dana yang masih tersedia untuk digunakan dalam
penyaluran zakat pada periode selanjutnya.

Dalam konteks pengelolaan dana zakat, penting untuk diingat bahwa kerugian aset
tidak boleh ditutup dengan dana zakat. Artinya, jika terdapat kerugian dalam aset yang
dimiliki, dana zakat tidak dapat digunakan untuk menutupi kerugian tersebut. Penggunaan
dana zakat harus jelas dan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah, serta diarahkan untuk
membantu mereka yang berhak menerima bantuan zakat.

PSAK Nomor 101 juga menjelaskan tentang Laporan Sumber dan Penggunaan Dana
Kebajikan. Entitas syariah menyajikan laporan sumber dan penggunaan dana kebajikan
sebagai komponen utama laporan keuangan, yang menunjukkan: sumber dana kebajikan
berasal dari penerimaan infak, sedekah, hasil pengelolaan wakaf sesuai dengan perundang-
undangan yang berlaku, pengembalian dana kebajikan produktif, denda dan penerimaan non
halal; penggunaan dana kebajikan untuk dana kebajikan produktif, sumbangan dan
penggunaan lain untuk kepentingan umum; kenaikan atau penurunan sumber dana kebajikan;
saldo awal dana kebajikan dan saldo akhir dana kebajikan

Entitas syariah pada prinsipnya dilarang untuk memperoleh penerimaan yang tidak
halal. Penerimaan nonhalal biasanya terjadi dalam kondisi darurat atau dalam situasi yang
tidak dapat dihindari. Penerimaan nonhalal mencakup semua penerimaan yang berasal dari

24
kegiatan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah, seperti penerimaan jasa giro atau
bunga yang diperoleh dari bank konvensional.

Penerimaan dana kebajikan oleh entitas syariah diakui sebagai liabilitas yang paling
likuid, yang berarti entitas syariah memiliki kewajiban untuk mengembalikan dana tersebut
kepada pihak yang berhak. Ketika dana kebajikan disalurkan kepada pihak yang
membutuhkan, jumlah yang disalurkan diakui sebagai pengurang liabilitas. Artinya,
penggunaan dana kebajikan tersebut mengurangi kewajiban finansial entitas syariah kepada
pihak yang berhak menerimanya.

Jadi Bisa di jelaskan bahwa entitas syariah dilarang untuk menerima penerimaan yang
tidak halal. Penerimaan nonhalal umumnya terjadi dalam situasi darurat atau yang tidak dapat
dihindari. Contoh penerimaan nonhalal adalah penerimaan bunga atau jasa giro dari bank
konvensional yang tidak sesuai dengan prinsip syariah. Penerimaan dana kebajikan oleh
entitas syariah dianggap sebagai kewajiban yang paling likuid dan diakui sebagai pengurang
kewajiban saat dana tersebut disalurkan kepada pihak yang berhak menerimanya.

Tantangan dalam Konversi Perbankan Konvensional menjadi Bank Syariah

Dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, diatur


tentang prosedur dan persyaratan untuk perizinan usaha bank syariah. Pasal 68 ayat (1) dalam
undang-undang tersebut menyebutkan bahwa jika Bank Umum Konvensional memiliki Unit
Usaha Syariah (UUS) yang memiliki nilai aset mencapai minimal 50% dari total aset bank
induknya, atau setelah 15 tahun sejak berlakunya undang-undang ini, maka Bank Umum
Konvensional tersebut wajib untuk memisahkan UUS tersebut dan menjadikannya sebagai
Bank Umum Syariah (BUS).

Dengan diterbitkannya undang-undang ini, hal ini mendorong beberapa bank yang
memiliki UUS untuk melakukan konversi menjadi BUS. Maksud dari pernyataan tersebut
adalah bahwa undang-undang tersebut memberikan ketentuan yang mengharuskan bank
konvensional yang memiliki UUS dengan nilai aset yang memenuhi persyaratan tertentu
untuk memisahkan UUS tersebut dan menjadikannya sebagai bank syariah. Hal ini
merupakan langkah yang diambil dalam rangka memperkuat sektor perbankan syariah dan
mendorong konversi bank konvensional menjadi bank syariah sesuai dengan ketentuan yang
ditetapkan dalam undang-undang tersebut.

25
Penelitian Oleh (Cahyani, 2016) menunjukkan bahwa terdapat tantangan yang dihadapi
oleh bank konvensional dalam proses konversi menjadi bank syariah, terutama dalam aspek legal
yang harus dipercepat. Selain itu, bank konvensional juga dihadapkan pada tugas untuk memindahkan
seluruh produk, aset, dan usahanya ke dalam sistem syariah, serta meyakinkan nasabah untuk bersedia
beralih ke sistem syariah. Tantangan lainnya adalah terkait dengan pengalihan dana pihak ketiga dari
bank konvensional ke bank syariah, karena jumlah dana tersebut biasanya lebih besar daripada yang
dimiliki oleh bank syariah.

Maksud dari pernyataan tersebut adalah bahwa penelitian tersebut menyajikan


tantangan yang dihadapi oleh bank konvensional saat melakukan konversi menjadi bank
syariah. Salah satu tantangan utama adalah mengurus aspek legal dengan cepat agar proses
konversi dapat berjalan lancar. Selain itu, bank konvensional harus memindahkan semua
produk, aset, dan usahanya ke dalam sistem syariah, serta meyakinkan nasabah untuk beralih
ke sistem syariah. Tantangan lainnya adalah mengelola pengalihan dana pihak ketiga yang
jumlahnya lebih besar dari bank syariah.

METODE PENELITIAN

Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang bertujuan untuk mengevaluasi
penerapan PSAK 101 pada tiga BPD yang telah mengalami konversi menjadi lembaga
keuangan berbasis syariah. Penelitian ini akan menganalisis perubahan akad yang terjadi
sebelum terjadinya konversi, yaitu pada PT. Bank Aceh, PT. Bank NTB, dan PT. Bank Riau
Kepri, serta mengamati perubahan akad setelah konversi menjadi PT. Bank Aceh Syariah,
PT. Bank NTB Syariah, dan PT. Bank Riau Kepri Syariah. Analisis yang dilakukan akan
berfokus pada aspek syariah dan perlakuan akuntansi yang telah dikonversi menjadi sistem
syariah.

Jenis Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh
dari sumber-sumber eksternal, yaitu hasil dari website resmi pihak bank terkait. Data
sekunder merupakan data yang telah dikumpulkan oleh pihak lain sebelumnya untuk tujuan

26
yang berbeda, namun dapat digunakan oleh peneliti untuk analisis atau evaluasi lebih lanjut.
Dalam hal ini, data sekunder yang diambil dari website resmi bank menjadi sumber informasi
yang relevan dan dapat digunakan untuk mengumpulkan informasi tentang penerapan PSAK
101 pada BPD yang telah mengalami konversi menjadi lembaga keuangan berbasis syariah.

Kriteria Responden
Dalam penelitian ini, peneliti melakukan tanya jawab dengan Bagian Divisi Operasional.
Bagian ini memiliki tanggung jawab dan wewenang terkait dengan perlakuan akuntansi serta
memastikan bahwa fungsi kepatuhan syariah berjalan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Maksudnya adalah peneliti Melakukan Contak wa dengan Bagian Divisi Operasional untuk
mendapatkan informasi, klarifikasi, dan pemahaman lebih lanjut tentang bagaimana perlakuan
akuntansi dilakukan dalam konteks penerapan PSAK 101 setelah konversi menjadi lembaga keuangan
berbasis syariah. Bagian Divisi Operasional memiliki peran penting dalam memastikan kepatuhan
terhadap prinsip-prinsip syariah dalam akuntansi yang diterapkan oleh bank tersebut.

Teknik Penelitian Studi Kasus


Menurut (Budiono, 2017), terdapat enam tahap dalam penelitian studi kasus:

1. Perencanaan (Plan): Tahap ini melibatkan identifikasi pertanyaan penelitian yang


akan dikaji dalam studi kasus, serta pemahaman terhadap kekuatan dan keterbatasan
yang terkait dengan penelitian studi kasus tersebut.

2. Perancangan (Design): Pada tahap ini, perlu dibuat proposisi yang akan menjadi
panduan dalam mencari data yang relevan dan menjaga fokus penelitian agar tidak
meluas ke hal-hal lain yang tidak relevan.

3. Persiapan (Prepare): Tahap ini melibatkan penyusunan protokol studi kasus yang akan
memandu peneliti dalam mengumpulkan data dari kasus yang diteliti.

4. Pengumpulan (Collect): Terdapat enam sumber data yang dapat digunakan dalam
metode studi kasus, yaitu: (1) dokumentasi; (2) rekaman arsip; (3) wawancara; (4)
observasi langsung; (5) observasi partisipan; dan (6) perangkat fisik. Namun, dalam
penelitian ini, dua sumber pengumpulan data yang digunakan adalah:

a. Dokumentasi: Melibatkan pengumpulan bahan dokumentasi seperti surat,


pengumuman resmi, artikel media massa, dan sejenisnya.

27
b. Rekaman arsip: Melibatkan pengumpulan catatan rekaman kegiatan atau sumber
informasi dengan berbagai macam bentuk yang dibuat oleh lembaga, organisasi, atau
individu dalam pelaksanaan kegiatan.

5. Analisis (Analyze): Tahap ini melibatkan pemilihan teknik analisis yang sesuai, baik
menggunakan data kuantitatif, kualitatif, atau kombinasi keduanya, serta
menggunakan proporsi teoritis dalam analisis.

6. Penyajian (Share/Reporting): Laporan penelitian dengan metode studi kasus dapat


berupa laporan tertulis atau laporan tidak tertulis. Laporan tertulis dari kasus tunggal
dapat berupa buku, laporan, atau artikel jurnal.

Penulisan Kesimpulan Studi Kasus

28

Anda mungkin juga menyukai