Anda di halaman 1dari 11

Kasus1: Peta persaingan bisnis susu formula

Selama ini, produk hasil peternakan, yakni susu dipandang sebagai satu asupan
penting bagi anak – karena ia memiliki kandungan gizi yang tinggi dan lengkap. Beragam
cara pun dilakukan ayah bunda demi mencapai tujuan itu. Cara paling gampang ialah
memberikan asupan makanan dan minuman bergizi tinggi supaya si buah hati tumbuh
sehat, termasuk pula memberi susu formula.Peluang inilah yang digarap secara serius
oleh para produsen susu di Tanah Air. Kebutuhan akan susu ini menjadi alasan produsen
susu instan meluncurkan produk baru untuk anak-anak.
Perputaran duit di bisnis susu formula mencapai Rp 6 triliun setahun. Sepertiganya
milik kelas premium dan sisanya kelas biasa. Di kelas premium persaingan sangat ketat.
Di kelas biasa, Nestle masih menjadi raja.
Kalau sudah ngomong susu, yang terdengar adalah keluhan-keluhan bernada
dalam. Apalagi di kalangan ibu-ibu yang mempunyai bayi: betapa kian mahal harga susu,
kian tak terbeli. Tapi, berbagai keluhan itu rupanya tenggelam dalam keriuhan bisnis besar
yang amat menggiurkan. Tak usah bicara soal kebutuhan susu semua usia. Susu untuk di
bawah lima tahun saja, ceruk pasarnya demikian besar. Hitungan kasarnya, berdasarkan
sensus tahun 2000 lalu, jumlah balita di Indonesia mencapai 20 juta lebih. Katakanlah,
10%-nya setiap hari harus minum susu. Setiap anak membutuhkan 0,6 liter sampai 1 liter
susu setiap hari. Tentu jumlah susu yang dibutuhkan sangat besar. Jadi, tak heranlah bila
para produsen susu menjadi begitu gemuk-gemuk. Pertumbuhan pasar susu setiap
tahunnya mencapai 20% sampai 35%. Bertumbuhnya susu ini tentu membuat produsen
makin antusias.
Pemain asing seperti Mead Johnson pun menyambar peluang emas ini. Sejak 2001
silam, produsen susu asal Amerika ini membuka kantor operasional langsung di Jakarta.
PT Mead Johnson Indonesia itu bukan sekadar kantor keagenan. Demikian juga dengan
raksasa susu dunia lainnya seperti Abbott, Wyett, juga Nutricia. Pemain lain, seperti
Friesche Flag, Nestle, atau Sari Husada, meski tidak kuat di susu premium atau
superpremium, namun mereka lebih besar penjualannya di susu kelas bawah.
Mereka saling berlomba menyusun strategi pemasaran yang paling jitu. Di
antaranya dengan membuat susu yang paling lengkap kandungan gizinya. Mulai dari yang
mengandung AA, DHA, EPA, atau yang terbaru: EyQ. Semua tambahan kandungan itu
jelas mempengaruhi harga pula. Untuk susu formula ukuran 400 gram, rentang harganya
mulai dari Rp 20.000-an untuk kelas bawah. Di kelas atas, harganya antara Rp 40.000
hingga Rp 70.000 sekaleng kecil itu. ”Di kelas atas kita membaginya lagi menjadi premium
dan superpremium,” papar Cecep Fathoni, Business Unit Manager Nutricia Indonesia
Sejahtera.

Lebih banyak bermain di susu pertumbuhan


Dalam perkembangannya, menurut Ruby Hermanto, Marketing Head Pediatric
Nutricion Division PT Abbott Indonesia, di bisnis susu ini makin banyak
pengelompokannya. Ini dimulai dari starter formula untuk usia 0 sampai 6 bulan, follow on
formula untuk usia 6 bulan sampai 12 bulan, lantas growing up milk, untuk usia di atas
setahun dan di bawah lima tahun.
Ruby mengakui tak gampang berjualan susu. Untuk susu formula usia nol sampai
setahun pemerintah melarang untuk beriklan. Karena itu, produsen pun enggan bermain
susu untuk kelompok usia ini. Apalagi, ”Pertumbuhan di kelas starter ini sudah stagnan.
Kami cenderung bermain di kelas growing up,” timpal Cecep. Toh, dalam setahun angka
penjualan susu formula ini menunjukkan angka yang luar biasa. Ruby mengutip data yang
dikeluarkan AC Nielsen. Setidaknya Rp 6 triliun dihasilkan dari penjualan susu, baik itu
untuk kelas bawah, premium, maupun superpremium. ”Sebesar Rp 2 triliun sampai Rp 2,5
triliun itu milik susu formula kelas premium,” tandas Ruby. Duit sebesar itu dikuasai lima
pemain besar. ”Abbott masuk hitungan ini,” ucap Ruby, bangga. Empat pemain lainnya
adalah Wyett, Mead Johnson, Nutricia, dan Sang Hyang Perkasa. Namun, Ruby menolak
menyebutkan berapa besar produk Abbott yang bisa terserap pasar. ”Kalau itu saya tak
bisa menyebutkan,” elaknya.
Nutricia Indonesia bahkan berani menyebutkan, di kelas premium dan superpremium itu,
mereka bisa menguasai penjualan hingga 11%. Saingan terdekatnya adalah Wyett dan
Mead Johnson. ”Karena mereka ini lebih dulu bermain di kelas premium dan
superpremium,” tukas Cecep.
Bisa dikatakan persaingan di susu formula premium dan superpremium ini sangat
ketat. Untuk kelas premium, produk Nutricia seperti Bebelac bersaing dengan S 26
Reguler milik Wyeth, Enfamil Reguler milik Mead Johnson, Morinaga BMT milik Sang
Hyang Perkasa, dan Vitalac milik Sari Husada, juga dengan Pediasure milik Abbott.
Begitu halnya di kelas superpremium. Nutricia mempunyai unggulan Nutricia Royal, Wyett
mempunyai S 26 Gold, Mead Johnson tampil dengan susu premium merek Enfamil Plus,
Sustagen Junior 1+, Sustagen Kid 3+, dan Sustagen School 6+. Lantas, Sang Hyang
Perkasa dengan produknya Morinaga Platinum, dan Abbott punya merek Pediasure Gains
and Advance EyQ. Pemain lain di pasar ini adalah Nestle dengan merek Nan, namun tak
begitu besar penetrasinya di pasar.

Pasar susu kelas bawah lebih besar


Adapun sisanya yang sebesar Rp 3,5 triliun dinikmati susu formula kelas bawah. Di
kelas susu biasa ini, tak bisa dipungkiri, Nestle masih merajai. Diperkirakan dari kue
sebesar itu, Nestle mempunyai angka penjualan mencapai hampir 50%. Sisanya, tentunya
dibagi dengan pemain lain seperti Sari Husada atau Friesche Flag, produsen susu
Bendera.
Namun, seperti halnya Abbott, Nestle pun enggan mengungkapkan berapa angka
penjualannya di Indonesia. ”Kami tidak bisa menyebutkan angka volume susu bayi yang
didistribusikan,” ujar Brata T. Hardjosubroto, Head of Public Relations PT Nestle
Indonesia. Namun, Brata mengakui, kontribusi penjualan susu di Indonesia cukup
lumayan untuk menggembungkan kas Nestle. Susu formula milik Nestle yang tergolong
kelas menengah ini adalah Lactogen. Untuk berat 800 gram harganya sekitar Rp 40 .000.
Adapun Nan harganya Rp 50.000 untuk 400 gram. Isi kandungannya hampir sama.
Bedanya, Nan mengandung asam linoleat dan asam linolenat yang jika dicerna bayi akan
menghasilkan AA dan DHA. Akan halnya Lactogen, mengandung AA dan DHA langsung.
Yang terbuka justru PT Sari Husada. Produsen susu anak SGM, Lactamil, dan Vitalac ini
dalam setahun bisa memproduksi susu sebanyak 41.500 ton. Dari jumlah itu, ”Untuk
keperluan produk sendiri sebanyak 80%,” ujar Rachmat Suhappy, Direktur Produksi PT
Sari Husada Tbk. Angka penjualannya pun terus meningkat. Pada 2003 lalu, angka
penjualannya mencapai Rp 1,1 triliun, meningkat dari Rp 1,02 triliun tahun sebelumnya.
Adapun laba bersihnya mencapai Rp 220,6 miliar. Jadi, sepanjang tahun 2003
pertumbuhan volume bertambah sebesar 16%. ”Laba bersih bertumbuh sebesar 24,4%,”
tutur Jenny Go, Direktur Marketing Sari Husada.
Nah, betapa besar untung berbisnis susu ini.

Bisnis memang tak Kenal Saudara


Sudah banyak yang tahu, 80% saham PT Sari Husada Tbk dimiliki Nutricia
International BV. Perusahaan multinasional asal Negeri Kincir Angin ini juga pemilik PT
Nutricia Indonesia Sejahtera (NIS). Uniknya, mereka bersaing untuk produk susu formula
balita kelas tengah.
Produk Sari Husada seperti Vitalac adalah sekelas dengan Bebelac milik NIS.
Semula keduanya memang rukun-rukun saja. Bahkan saling berbagi pasar. Namun, sejak
awal 2004, kongsi ini pecah. Sari Husada pun tak malu lagi membikin produk yang
bersaing dengan saudaranya itu. Tengok saja, Vitalac 1, 2, dan 3, SGM 1,2 ,3, dan 4,
serta Vitalac LF (Lactosa Free) itu berimpit ketat dengan produk NIS seperti Bebelac 1, 2,
dan 3.
Persaingan di bisnis susu formula ini sejatinya amat ketat. Selain banyak pemain,
produk susu instan juga seabrek. Masing-masing produk menawarkan keunggulan
kandungan dan manfaat. Oleh sebab itu, para produsen susu instan harus memasang
strategi pemasaran paling jitu demi memenangi persaingan. Cara tradisional
menancapkan kuku di pasar adalah beriklan di media massa. Cara lain memikat
konsumen ialah melalui program promosi langsung. Promo ini bertujuan mengenalkan
produk kepada konsumen. Pengemasan program itu beraneka rupa.
Pada semester I 2010 misalnya, Mead Johnson menggelar program edutainmen
yang bernama Sustagen 100% Day di Cilandak Town Square (Citos). “Kami berencana
menggelar program serupa di Mal Kelapa Gading akhir Juli nanti, di Tunjungan Plaza,
Surabaya dan Plaza Medan Fair, awal Juli nanti,” kata Asianti Sukendar, Direktur
Pemasaran Mead Johnson Indonesia.
Mirip dengan program Mead Johnson, PT Sari Husada juga menggelar arena
permainan bagi anak-anak bernama Dunia Pusat Riset Inovasi Nutrisi (Presinutri) pada
awal tahun ini. Sari Husada menggelar program ini di tiga kota: Yogyakarta, Jakarta, dan
Surabaya. Menurut Anita Puspa Dewi Wibowo, Senior Brand Manager SGM Sari Husada,
program ini untuk memasarkan susu formula merek SGM Eksplor 3, SGM Aktif 4, dan
SGM Presinutri.

Berbagai upaya promosi kreatif


Arena permainan merupakan upaya promosi kreatif dari kedua produsen susu ingin
mengenalkan keunggulan produk mereka. Agar menarik, model promosi ini dikemas
dalam permainan. Mead Johnson menyiapkan arena permainan sedemikian rupa
sehingga anak-anak bisa belajar mengenal makanan dan kandungannya. Ada beberapa
jenis permainan di sini, seperti giant scale, yaitu permainan untuk menghitung berat badan
anak serta membandingkan dengan standar gizi sesuai dengan angka kecukupan gizi
(AKG). Ada lagi permainan shopping mama. Di permainan ini si anak mengajak ibunya
berbelanja dan membeli makanan sehat.
Permainan lainnya vitamine hunt, yakni tebak-tebakan nama buah-buahan sambil
memberi informasi kandungan vitamin setiap buah. Ada juga permainan protein dive. Di
sini, sembari berenang di kolam bola, anak akan mengambil ikan dan diberi tahu
kandungan proteinnya.
Mead Johnson berharap sarana permainan ini lebih merekatkan keharmonisan
hubungan orangtua dan anak. Misalnya, ada permainan sustagen block, magic world, dan
area love tree. Yang terakhir ini adalah tempat untuk foto-foto. Capai bermain dan ingin
yang lebih bermanfaat, Mead Johnson juga menyediakan ruang konsultasi gratis seputar
perkembangan dan persoalan gizi anak. “Konsep program ini memang untuk
mengenalkan produk terbaru kami, sambil memberi inspirasi kepada para ibu dalam
memberikan 100% nutrisi, 100% kasih sayang, dan 100% good social value,” kata Asianti.

Sumber:
https://accurations.wordpress.com/2012/09/10/peta-persaingan-bisnis-susu-formula/
https://livestockreview.com/persaingan-sengit-bisnis-susu-formula/
Pertanyaan Diskusi:
1. Bagaimana analisa 4C (customer, competitor (klasifikasi persaingan) dan
Company) dalam industri susu formula?
2. Bagaimana segmentasi yang tepat dalam industri susu formula
3. Segment mana yang diambil Nestle dan Bebelac. Bagaimana positioning Nestle
dan S-26 dalam industri susu formula?
Studi kasus 2: Persaingan Industri Mie Di Indonesia

Seorang remaja wanita Indonesia terlihat mondar-mandir ke berbagai toko di


sebuah kota di Italia. Ia terlihat membawa kertas yang bertuliskan nama sebuah produk mi
instan. Raut mukanya terlihat kecewa setiap kali ke luar dari toko. Ia tak menemukan
satupun mi instan yang dicarinya. “Waktu gue beasiswa di Rende Italia, yang paling gue
kangenin, ya Indomie. Soalnya di sini gue cari kemana-mana nggak ada yang jual!
Untungnya ketemu promo ini (tiket pesawat). Gue belain jauh-jauuuuuuuh ke Belanda.
Cuma buat beli Indomie. Itu ceritaku. Apa ceritamu?” Itulah penggalan iklan Indomie yang
beredar empat tahun lalu. Pesannya mewakili perasaan kebanyakan orang Indonesia
yang sulit berpaling dari mi instan.

Gemuknya Pasar Mi Instan


Mi instan memang sudah menjadi bagian penting dari menu makanan masyarakat
Indonesia. Meski sering dianggap tidak sehat, tetapi kebiasaan makan mi instan
sepertinya masih sulit dihilangkan. Itulah mengapa penjualan mi instan tak pernah turun.
Berdasarkan data instantnoodles.org, permintaan mi instan di Indonesia mencapai 14,40
miliar bungkus 2010. Angkanya naik lagi menjadi 14,53 miliar bungkus di tahun berikutnya.
Permintaan terus naik di 2012 hingga 14,75 miliar bungkus, lalu tembus hingga 14,90
miliar bungkus di tahun berikutnya. Pada 2014, sempat ada sedikit koreksi permintaan
menjadi 13,43 miliar bungkus. Sementara Asosiasi Produsen Roti, Biskuit dan Mie
(Arobim) memperkirakan permintaan mi instan di Indonesia tahun ini mencapai 16 miliar
bungkus. Artinya, dengan penduduk 250 juta jiwa, maka rata-rata setiap orang Indonesia
membeli 64 bungkus mi instan per tahun. Dengan permintaan mencapai 14 miliar bungkus
per tahun, Indonesia masuk dalam daftar negara dengan permintaan mi instan terbesar di
dunia. Indonesia hanya kalah dengan Cina, yang permintaannya mencapai 44,4 miliar
bungkus. Jepang ada di peringkat ketiga dengan permintaan 5,5 miliar bungkus, disusul
India dengan 5,3 miliar. Vietnam membuntuti di posisi kelima dengan catatan 5 miliar
bungkus.
Yang menarik, permintaan yang tinggi ini tak berbanding lurus dengan jumlah
populasi suatu negara. Amerika Serikat misalnya, meski jumlah penduduknya terbesar
keempat dunia, tetapi permintaan mi instannya hanya 4,2 miliar bungkus. Permintaan
yang tinggi secara linier mendorong tingkat penjualan mi instan. Data euromonitor
mencatat pada 2003 penjualan mi instan di Indonesia hanya Rp8 triliun, kemudian melejit
menjadi Rp13,7 triliun dalam kurun waktu lima tahun. Berselang lima tahun berikutnya,
penjualan mi instan membukukan rekor baru Rp22,6 triliun.

Dominasi Indofood
Sampai saat ini, pemimpin pasar mi instan di Indonesia masih dipegang oleh Grup
Salim melalui PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk. Indonesia-investments.com
mencatat Indofood menguasai 72 persen pangsa pasar mi instan Indonesia. Wings Group
dengan produk andalannya, Mie Sedaap berada di posisi kedua dengan pangsa pasar
14,9 persen. Indofood memang masih berjaya. Namun, pangsa pasarnya secara perlahan
tergerus oleh pesaing-pesaing baru. Berdasarkan laporan datacon.co.id, Indofood sempat
menguasai 90 persen pangsa pasar mi instan pada 2009. Namun, angkanya terus susut
hingga kini menjadi hanya 72 persen.
Salah satu pesaing utama Indofood adalah produk Wings Food. Namun,
perjuangan Wings Food untuk meraih pangsa pasar juga tidak mudah. Sejak Mie Sedaap
diluncurkan pada 2003, baru pada 2011 Wings Food bisa merebut pangsa pasar dengan
jumlah yang cukup berarti. Berdasarkan nilai Compound Annual Growth Rate (CAGR),
Wings Food mengalahkan Indofood. Selama periode 2003 – 2013, CAGR pendapatan
“raja mi instan” hanya 10 persen per tahun. Sementara Wings mencatatkan pertumbuhan
lebih signifikan hingga 26 persen. Pemain lain rata-rata hanya tumbuh 7 persen.
Conscience Food (CSF) membuntuti di posisi ketiga setelah Indofood dan Wings Food.
CSF yang berbasis di Sumatera Utara melalui produk Alhami, Santremie, Alimi, dan
Maitri menguasai pangsa pasar 2,7 persen. CSF memasarkan produk mereka ke
Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Barat, dan Sumatera Selatan dengan penjualan
masih di bawah 1 miliar bungkus per tahun.

Jurus Bertahan
Munculnya pesaing-pesaing baru tentu saja membuat Indofood ketar-ketir.
Pasalnya, mi instan memberikan kontribusi besar pada pendapatan perusahaan. Pada
2015, mi instan memberikan sumbangan hingga 65 persen dari total pendapatan Indofood
yang mencapai Rp31,74 triliun.
Indofood mencoba untuk mempertahankan pangsa pasarnya dengan
mengeluarkan produk-produk barunya. Indofood tercatat mengeluarkan 19 produk mi
instan yang terdiri dari berbagai rasa termasuk mi goreng. Untuk menggaet fans berat
Indomie Goreng, Indofood bahkan mengeluarkan varian Chitato rasa Indomie Goreng.
Varian baru ini terbukti sukses menggaet para fans Indomie Goreng. Terbaru, Indofood
mengeluarkan produk mi kuah tanpa kuah. Varian ini merupakan modifikasi dari mi kuah.
Produk ini juga mendapatkan sambutan yang cukup baik. Sementara Wings Food juga
mencoba mempertahankan pangsa pasarnya dengan produk-produk baru.
Pemain-pemain baru terus bermunculan. Awal tahun, Grup Mayora masuk dalam
kancah makanan cepat saji ini dengan meluncurkan produk mi instan merek "Bakmi
Mewah". Kehadiran Mayora yang selama ini lebih banyak memproduksi biskuit membuat
persaingan pasar mi instan di Indonesia makin sengit. Saat ini tercatat ada delapan
produsen mi instan di Indonesia antara lain Indofood, Wings Food, CSF, ABC, Jakarama
Tama, Medco Group, Nissin, dan Delifood. Meski demikian, Indofood masih menjadi
pemain utama pasar mi instan Indonesia.
Salah satu keunggulan dari Indofood adalah jalur distribusi yang sudah mumpuni.
Mereka sudah mampu masuk ke pasar-pasar ritel hingga pelosok tanah air. Dari warung
kecil hingga supermarket besar, semua sudah bisa ditembus. Indomie juga sudah menjadi
nama generik dari warung-warung penjual mi instan di pinggir jalan. Meski yang dijual tak
hanya produk Indomie, tetap saja nama yang digunakan adalah Warung Indomie. Tak
hanya itu, konsistensi cita rasa dan varian-varian baru membuat masyarakat masih sulit
berpaling dari produk mi instan kedua produsen tersebut. Chitato rasa Indomie Goreng
adalah salah satu contoh bagaimana masyarakat masih sangat mendamba rasa khas dari
Indomie Goreng. Karena itu, produk berbeda dengan rasa yang sama pun menjadi
buruan.
Ketika awal diluncurkan, Chitato rasa Indomie Goreng ini sempat langka di pasaran.
Para penggemarnya pun terpaksa berburu ke penjual-penjual online. Keunggulan itu
dipadukan dengan agresivitas iklan di media massa. Nielsen mencatat, belanja iklan
Indofood dan Wings Food sangat besar hingga kuartal I - 2015. Indofood membelanjakan
Rp 241,2 miliar, Wings mengekor dengan angka Rp 226,1 miliar. Para produsen mi instan
berusaha keras mempertahankan tahtanya di Indonesia. Mereka tak mau pangsa
pasarnya dicuri oleh para pemain-pemain baru. Sementara para pemain baru industri mi
instan harus berusaha keras merebut pangsa pasar. Ini mengingat kesetiaan konsumen
Indonesia terhadap produk-produk lama mi instan masih sulit goyah. Seperti yang terjadi
dalam iklan Indomie. Ketika kita nun jauh dari Indonesia, produk mi instan tetap
dirindukan.

Sumber:
https://tirto.id/mi-instan-gurih-pasarnya-sengit-persaingannya-yeZ
Pertanyaan Diskusi:
1. Bagaimana analisa 4C (customer, competitor (klasifikasi persaingan) dan
Company) dalam industri Mie Instan?
2. Bagaimana segmentasi yang tepat dalam industri Mie Instan?
3. Segment mana yang diambil Indomie dan Sedaap. Bagaimana positioning Indomie
dan Sedaap dalam industri Mie Instan?
Studi Kasus 3: Persaingan dalam Industri Otomotif

Persaingan industri otomotif tanah Air dipercayai akan semakin ketat hingga lima
tahun mendatang seiring dengan perkembangan pasar dan kendaraan ramah lingkungan
berbasis baterai atau elektrifikasi. Bersamaan dengan itu, tak sedikit pabrikan yang mulai
menunjukkan komitmennya melalui investasi berkesinambungan di Indonesia, mulai dari
Jepang, China, Korea Selatan, hingga Amerika Serikat (AS). "Indonesia memiliki potensi
yang luar biasa di sektor otomotif. Tidak hanya pasar (populasi) saja, tapi juga beragam
rencana jangka panjangnya seperti pembuatan pabrik baterai.
Langkah strategis para pabrikan otomotif ini sebenarnya sudah bisa tercium dalam
lima tahun belakangan yang diawali produsen asal China, yakni Wuling Motors dan DFSK.
Wuling Motors, yang mendapatkan izin pendirian pabrik di kawasan Deltamas, Kabupaten
Bekasi, Jawa Barat seluas 30 hektare pada 2015 berhasil mendatangkan total investasi
sebesar 700 juta dolar AS. Tepat di 22 Mei 2017, merek mobil ini meluncurkan seri
kendaraan keluarga perdananya yaitu Wuling Confero dengan jenis low multi purpose
vehicle (LMPV). Kini, total ada empat model yang diproduksinya. Tak berselang lama,
Langkah serupa diambil oleh PT Sokonindo Automobile (DFSK) yang menempatkan
pabriknya di Cikande, Serang, Banten dengan investasi mencapai lebih dari 150 juta dolar
AS.
Menariknya, pabrik menggunakan teknologi terkini sehingga mendekati industri 4.0
sebagai 'smart factory' berstandar internasional. Artinya, di sana banyak kegiatan produksi
yang dilakukan secara robotik sehingga pengerjaan lebih presisi, efektif, serta efisien.
Melalui DFSK Glory 580 sebagai produk pertama yang diluncurkan pada pertengahan
2018, perusahaan bertekad untuk memenuhi lebih dari 50 persen kandungan lokal
kebutuhan suku cadang dalam kurun waktu tiga tahun, dengan target akhir mencapai 80
persen. Jelang penutupan tahun 2019, Hyundai Motor Company memutuskan untuk
menanamkan investasi sebesar 1,54 miliar dolar AS di Indonesia yang dimanfaatkan untuk
membangun pabrik dan pengembangan serta produksi kendaraan. Kepala Badan
Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadia saat itu menyampaikan, realisasi
investasi pabrikan Korea Selatan tersebut bakal dilakukan melalui dua tahap yakni 2019-
2021 dan 2022-2030. Pada fase pertama, Hyundai akan berfokus pada investasi pabrik
pembuatan mobil berlokasi di Jawa Barat dan akan mengekspor setidaknya 50 persen
dari total produksi. Sementara di fase kedua, akan berfokus pada pengembangan pabrik
pembuatan mobil listrik, transmisi, pusat penelitian dan pengembangan, pusat pelatihan,
dan rencana ekspor.
"Hyundai juga itu masuk Indonesia bersedia untuk memproduksi mobil listrik. Itu
salah satu komitmen dia, jadi tidak hanya mendatangkan mobil listrik dari luar. Belum lagi
ada Kia yang mulai bangkit di bawah naungan Indomobil Group melalui PT Kreta Indo
Artha (KIA) dan Renault bersama PT Maxindo Renault Indonesia (MRI). Tapi, mereka
belum menyatakan komitmennya sebagaimana pabrikan non-jepang lain dengan
membangun pabrik. Seolah tak ingin tinggal diam, produsen raksasa asal Jepang, Toyota,
Mitsubishi, dan Honda menggelontorkan investasi susulan sebesar 33,4 triliun hingga
periode 2023 pada akhir 2019. "Rencana ekspansi Toyota Group yang meliputi Toyota,
Daihatsu, dan Honda sebesar Rp 28,3 triliun termasuk untuk kendaraan listrik. Adapun
kabar terbaru, pabrikan mobil listrik asal AS, Tesla Inc, dikabarkan juga tertarik untuk
berinvestasi ke Indonesia untuk membuat pabrik baterai. Kabari ini sudah dikonfirmasi
oleh pihak Kementerian Perindustrian.

Peta Persaingan Industri Otomoti


Peta persaingan industri otomotif nasional semakin menarik. Meski mobil merek
Jepang telah mendominasi pasar selama puluhan tahun, pabrikan asal Korea Selatan
belakangan mulai agresif. Pabrikan otomotif asal Negeri Ginseng memanfaatkan celah
bernama mobil listrik. Sebagaimana diketahui, transisi menuju era energi baru terbarukan
(EBT) bisa dikatakan transformasi terbesar industri otomotif. Hal itu pun menjadi
keuntungan bagi merek-merek otomotif yang sebelumnya tertinggal secara penjualan.
Pasalnya mobil listrik akan menjadi panggung baru bagi perusahaan kendaraan bermotor
untuk tampil dan mencuri perhatian.
Di Tanah Air, berdasarkan data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia
(Gaikindo) terakhir, pangsa pasar penjualan duo mobil Jepang yakni Toyota dan Daihatsu
saja mencapai 49,4 persen. Jika memasukkan Mitsubishi, Honda, dan Suzuki maka
pangsa pasarnya meningkat menjadi 84,8 persen.
Sementara itu, mobil merek Negeri Gingseng yakni Hyundai dan Kia sejauh ini
belum memiliki taring di Indonesia. Pangsa pasar penjualannya tidak lebih dari 1 persen
atau tepatnya 0,7 persen. Lantas bagaimana tren penjualan mobil merek kedua negara
tersebut? Jika menyelisik data 3 tahun sebelum pandemi Covid-19, penguasaan pasar
mobil Jepang terbilang kokoh. Toyota dan Daihatsu, misalnya mencatat penjualan 555.255
unit pada 2017 atau menguasai 51,57 persen pasar. Pada tahun berikutnya penguasaan
pasar duo Astra ini turun menjadi kurang dari 50 persen.
Penyebabnya turunnya pangsa pasar duo Astra adalah kehadiran Mitsubishi
Xpander. Mobil ini menambah sekaligus menggerus konsumen Toyota Avanza. Artinya kue
pasar domestik hanya berpindah antar pabrikan Jepang, dari Toyota ke Mitsubishi.
Kemudian pada 2019, penguasaan pasar Jepang juga masih belum goyah. Merek China
yang hadir di Tanah Air dalam lima tahun terakhir belum mampu menggoyang dominasi
Samurai. Lima besar merek mobil penumpang masih diisi oleh mobil Jepang dengan
penguasaan pasar 84,3 persen. Kondisi tersebut berbanding terbalik dengan pabrikan
otomotif asal Korea Selatan. Akibat penjualan yang terus menyusut, Kia sempat menutup
beberapa dealer di Indonesia. Nasibnya hampir kandas, sampai akhirnya diambil oleh
grup Indomobil pada 2019. Hyundai masih sedikit lebih beruntung. Pada 2017,
perusahaan mencatat penjualan 1.308 unit atau hanya Sementara itu, penjualan mobil
merek Korea Selatan menunjukkan tren yang tak jauh berbeda. Bahkan, tampak belum
begitu kuat dengan basis penjualan yang masih sangat kecil. Hyundai mencatat penjualan
1.308 unit sepanjang 2017. Pada 2018, Hyundai mencatat pertumbuhan penjualan
menjadi 1.485 unit. Namun pada 2019, kinerja Hyundai merosot dengan capaian 1.417
unit. Tahun lalu, pandemi Covid-19 menghantam industri otomotif. Penjualan Kia dan
Hyundai pun ikut terjun bebas. Namun, pada 2021 kinerja keduanya tampak cerah.
Hyundai dengan pilihan mobil listrik murni telah mengantongi penjualan sebanyak 1.569
unit hingga Agustus 2021. Artinya penjualan selama delapan bulan tahun ini telah
melampaui kinerja sebelum pandemi Covid-19.

Dominasi Pabrikan Jepang


Pabrikan otomotif asal Jepang masih akan mendominasi setidaknya tiga sampai lima
tahun mendatang. Sebab, mereka sudah memiliki berbagai keunggulan. "Dominasi dari
produk Jepang itu sulit untuk digoyahkan karena mereka sudah lebih 50 tahun di
Indonesia. Tentu, jaringannya jadi lebih banyak mungkin sudah sampai tingkat kecamatan.
"Sedangkan merek baru, punya tugas rumah lebih banyak mulai dari meyakinkan
konsumen, memperluas jaringan, dan lain-lain. Tapi kalau bicara kendaraan listrik, sangat
menarik karena gap peluangnya tidak besar.
Kalau saya melihat, 3-5 tahun ke depan belum lah menggeser dominasi pabrikan
Jepang. Tetapi perkembangan teknologi, peralihan dari kendaraan berbahan bakar jadi
listrik, mungkin bisa memicu sesuatu. Kalaupun dominasi Toyota, Daihatsu, Honda,
Suzuki, Mitsubishi, serta Nissan belum bisa digoyahkan, setidaknya kedatangan pabrikan
baru membuat mereka tidak bisa bersantai-santai. "Kompetisi akan semakin cepat,
sehingga memaksa seluruh pabrikan untuk berinovasi lebih. Ini sangat menarik untuk
dinanti.
Toyota Kuasai Pasar Penjualan Mobil Nasional Januari-Oktober 2020
Toyota kembali berhasil mendominasi pasar kendaraan bermotor roda empat
nasional, baik secara wholesales maupun retail, sepanjang Januari - Oktober 2020.
Berdasarkan data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo),
penjualan mobil dari pabrik ke diler atau wholesales Toyota berhasil mencapai 127.208
unit atau 30,2 persen dari total penjualan nasional. Sementara dari sisi retail sales,
pabrikan asal Jepang ini mampu mencatatkan penjualan sebanyak 141.542 unit atau 31,2
persen dari total retail pada periode tersebut.
Pencapaian ini terpaut jauh dari Daihatsu yang berada di posisi kedua dengan rata-
rata pangsa pasar sebanyak 18 persen atau 77.471 unit pada wholesales dan 81.623 unit
di retail sales-nya. Persaingan di posisi ketiga masih diperebutkan oleh Honda dan Suzuki
secara ketat. Hanya saja, Honda sedikit lebih unggul dengan produk andalannya yakni
Brio. Secara rinci, sepanjang Januari - Oktober 2020 Honda berhasil mencatatkan
wholesales sebanyak 57.420 unit sedangkan penjualan retail 62.109 unit. Sedangkan
Suzuki yang berada di peringkat keempat mencapai angka wholesales sebesar 50.045
unit dan retail 56.652 unit. Keduanya menguasai pasar mobil sebesar 13 persen dan 12
persen.
Mitsubishi Motors melalui produk unggulannya, Xpander, masih tertahan di posisi
kelima dengan rata-rata penguasaan pasar sebesar 10 persen. Secara volume,
pencapaian wholesales Mitsubishi yaitu 44.249 unit sementara penjualan retail sebanyak
42.640 unit. Secara berurutan, setelahnya ada Mitsubishi Fuso, Isuzu, Hino, Wuling, dan
Nissan. Data Gaikindo juga menyebutkan bahwa total kumulatif wholesales hingga
Oktober 2020 mencapai 421.089 unit, turun 50,6 persen dari pencapaian periode sama
tahun lalu.
Adapun penjualan retail pada Januari - Oktober 2020 hanya mencapai 452.525 unit,
terkoreksi 46,7 persen dibandingkan realisasi tahun sebelumnya yang berhasil
membukukan 851.552 unit. Berikut merek mobil terlaris pada Januari - Oktober 2020:
Wholesales
1. Toyota 127.208 unit
2. Daihatsu 77.471 unit
3. Honda 57.420 unit
4. Suzuki 50.045 unit
5. Mitsubishi Motors 44.249 unit
6. Mitsubishi Fuso 17.049 unit
7. Isuzu 12.533 unit
8. Nissan 10.776 unit
9. Hino 9.333 unit
10. Wuling 3.621 unit

Retail Sales
1. Toyota 141.542 unit
2. Daihatsu 81.623 unit
3. Honda 62.109 unit
4. Suzuki 56.652 unit
5. Mitsubishi Motors 42.640 unit
6. Mitsubishi Fuso 19.007 unit
7. Isuzu 13.921 unit
8. Hino 9.878 unit
9. Wuling 7.066 unit
10. Nissan 5.593 unit
MASA DEPAN
Pada saat ini mobil merek Jepang masih memiliki pangsa pasar yang sangat besar.
Terlebih, mobil merek Jepang memiliki sejarah panjang serta pelanggan yang sangat loyal
di Tanah Air. Namun jika melihat masa depan khususnya dengan perkembangan mobil
listrik, mobil merek Korea Selatan justru lebih siap untuk merebut banyak hati pelanggan
nasional. "Memang peta persaingan pasar otomotif nasional ini akan sangat menarik.
Toyota besama Daihatsu-nya, dan Honda hanya berfokus dengan kendaraan Hybrid dan
memang tidak banyak. Kalau Korea Selatan ini, mereka sudah siap. Mereka yang akan
paling depan. Produk mobil listrik dengan harga di kisaran Rp300 juta pun sudah mulai
dapat dinikmati oleh pelanggan nasional. Terlebih, pelaku usaha otomotif yang terkait
dengan mobil listrik mendapat insentif yang cukup banyak dari pemerintah. Tentu ini
membuat banyak pilihan lebih terjangkau bagi masyarakat, terlebih ongkos pengisian
daya, perbaikan, dan perawatan lebih murah mobil listrik dibandingkan mobil
konvensional.

Sumber:
https://otomotif.kompas.com/read/2020/11/16/080200715/elektrifikasi-picu-persaingan-
ketat-industri-otomotif-indonesia?page=all

Pertanyaan Diskusi:
1. Bagaimana analisa 4C (customer, competitor (klasifikasi persaingan) dan
Company) dalam industri otomotif?
2. Bagaimana segmentasi yang tepat dalam industri otomotif?
3. Segment mana yang diambil Toyota dan Wuling. Bagaimana positioning Toyota
dan Wuling dalam industri otomotif?

Sumber:
https://ekonomi.bisnis.com/read/20170221/257/630651/aisi-persaingan-industri-sepeda-motor-sehat

Anda mungkin juga menyukai