Selama ini, produk hasil peternakan, yakni susu dipandang sebagai satu asupan
penting bagi anak – karena ia memiliki kandungan gizi yang tinggi dan lengkap. Beragam
cara pun dilakukan ayah bunda demi mencapai tujuan itu. Cara paling gampang ialah
memberikan asupan makanan dan minuman bergizi tinggi supaya si buah hati tumbuh
sehat, termasuk pula memberi susu formula.Peluang inilah yang digarap secara serius
oleh para produsen susu di Tanah Air. Kebutuhan akan susu ini menjadi alasan produsen
susu instan meluncurkan produk baru untuk anak-anak.
Perputaran duit di bisnis susu formula mencapai Rp 6 triliun setahun. Sepertiganya
milik kelas premium dan sisanya kelas biasa. Di kelas premium persaingan sangat ketat.
Di kelas biasa, Nestle masih menjadi raja.
Kalau sudah ngomong susu, yang terdengar adalah keluhan-keluhan bernada
dalam. Apalagi di kalangan ibu-ibu yang mempunyai bayi: betapa kian mahal harga susu,
kian tak terbeli. Tapi, berbagai keluhan itu rupanya tenggelam dalam keriuhan bisnis besar
yang amat menggiurkan. Tak usah bicara soal kebutuhan susu semua usia. Susu untuk di
bawah lima tahun saja, ceruk pasarnya demikian besar. Hitungan kasarnya, berdasarkan
sensus tahun 2000 lalu, jumlah balita di Indonesia mencapai 20 juta lebih. Katakanlah,
10%-nya setiap hari harus minum susu. Setiap anak membutuhkan 0,6 liter sampai 1 liter
susu setiap hari. Tentu jumlah susu yang dibutuhkan sangat besar. Jadi, tak heranlah bila
para produsen susu menjadi begitu gemuk-gemuk. Pertumbuhan pasar susu setiap
tahunnya mencapai 20% sampai 35%. Bertumbuhnya susu ini tentu membuat produsen
makin antusias.
Pemain asing seperti Mead Johnson pun menyambar peluang emas ini. Sejak 2001
silam, produsen susu asal Amerika ini membuka kantor operasional langsung di Jakarta.
PT Mead Johnson Indonesia itu bukan sekadar kantor keagenan. Demikian juga dengan
raksasa susu dunia lainnya seperti Abbott, Wyett, juga Nutricia. Pemain lain, seperti
Friesche Flag, Nestle, atau Sari Husada, meski tidak kuat di susu premium atau
superpremium, namun mereka lebih besar penjualannya di susu kelas bawah.
Mereka saling berlomba menyusun strategi pemasaran yang paling jitu. Di
antaranya dengan membuat susu yang paling lengkap kandungan gizinya. Mulai dari yang
mengandung AA, DHA, EPA, atau yang terbaru: EyQ. Semua tambahan kandungan itu
jelas mempengaruhi harga pula. Untuk susu formula ukuran 400 gram, rentang harganya
mulai dari Rp 20.000-an untuk kelas bawah. Di kelas atas, harganya antara Rp 40.000
hingga Rp 70.000 sekaleng kecil itu. ”Di kelas atas kita membaginya lagi menjadi premium
dan superpremium,” papar Cecep Fathoni, Business Unit Manager Nutricia Indonesia
Sejahtera.
Sumber:
https://accurations.wordpress.com/2012/09/10/peta-persaingan-bisnis-susu-formula/
https://livestockreview.com/persaingan-sengit-bisnis-susu-formula/
Pertanyaan Diskusi:
1. Bagaimana analisa 4C (customer, competitor (klasifikasi persaingan) dan
Company) dalam industri susu formula?
2. Bagaimana segmentasi yang tepat dalam industri susu formula
3. Segment mana yang diambil Nestle dan Bebelac. Bagaimana positioning Nestle
dan S-26 dalam industri susu formula?
Studi kasus 2: Persaingan Industri Mie Di Indonesia
Dominasi Indofood
Sampai saat ini, pemimpin pasar mi instan di Indonesia masih dipegang oleh Grup
Salim melalui PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk. Indonesia-investments.com
mencatat Indofood menguasai 72 persen pangsa pasar mi instan Indonesia. Wings Group
dengan produk andalannya, Mie Sedaap berada di posisi kedua dengan pangsa pasar
14,9 persen. Indofood memang masih berjaya. Namun, pangsa pasarnya secara perlahan
tergerus oleh pesaing-pesaing baru. Berdasarkan laporan datacon.co.id, Indofood sempat
menguasai 90 persen pangsa pasar mi instan pada 2009. Namun, angkanya terus susut
hingga kini menjadi hanya 72 persen.
Salah satu pesaing utama Indofood adalah produk Wings Food. Namun,
perjuangan Wings Food untuk meraih pangsa pasar juga tidak mudah. Sejak Mie Sedaap
diluncurkan pada 2003, baru pada 2011 Wings Food bisa merebut pangsa pasar dengan
jumlah yang cukup berarti. Berdasarkan nilai Compound Annual Growth Rate (CAGR),
Wings Food mengalahkan Indofood. Selama periode 2003 – 2013, CAGR pendapatan
“raja mi instan” hanya 10 persen per tahun. Sementara Wings mencatatkan pertumbuhan
lebih signifikan hingga 26 persen. Pemain lain rata-rata hanya tumbuh 7 persen.
Conscience Food (CSF) membuntuti di posisi ketiga setelah Indofood dan Wings Food.
CSF yang berbasis di Sumatera Utara melalui produk Alhami, Santremie, Alimi, dan
Maitri menguasai pangsa pasar 2,7 persen. CSF memasarkan produk mereka ke
Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Barat, dan Sumatera Selatan dengan penjualan
masih di bawah 1 miliar bungkus per tahun.
Jurus Bertahan
Munculnya pesaing-pesaing baru tentu saja membuat Indofood ketar-ketir.
Pasalnya, mi instan memberikan kontribusi besar pada pendapatan perusahaan. Pada
2015, mi instan memberikan sumbangan hingga 65 persen dari total pendapatan Indofood
yang mencapai Rp31,74 triliun.
Indofood mencoba untuk mempertahankan pangsa pasarnya dengan
mengeluarkan produk-produk barunya. Indofood tercatat mengeluarkan 19 produk mi
instan yang terdiri dari berbagai rasa termasuk mi goreng. Untuk menggaet fans berat
Indomie Goreng, Indofood bahkan mengeluarkan varian Chitato rasa Indomie Goreng.
Varian baru ini terbukti sukses menggaet para fans Indomie Goreng. Terbaru, Indofood
mengeluarkan produk mi kuah tanpa kuah. Varian ini merupakan modifikasi dari mi kuah.
Produk ini juga mendapatkan sambutan yang cukup baik. Sementara Wings Food juga
mencoba mempertahankan pangsa pasarnya dengan produk-produk baru.
Pemain-pemain baru terus bermunculan. Awal tahun, Grup Mayora masuk dalam
kancah makanan cepat saji ini dengan meluncurkan produk mi instan merek "Bakmi
Mewah". Kehadiran Mayora yang selama ini lebih banyak memproduksi biskuit membuat
persaingan pasar mi instan di Indonesia makin sengit. Saat ini tercatat ada delapan
produsen mi instan di Indonesia antara lain Indofood, Wings Food, CSF, ABC, Jakarama
Tama, Medco Group, Nissin, dan Delifood. Meski demikian, Indofood masih menjadi
pemain utama pasar mi instan Indonesia.
Salah satu keunggulan dari Indofood adalah jalur distribusi yang sudah mumpuni.
Mereka sudah mampu masuk ke pasar-pasar ritel hingga pelosok tanah air. Dari warung
kecil hingga supermarket besar, semua sudah bisa ditembus. Indomie juga sudah menjadi
nama generik dari warung-warung penjual mi instan di pinggir jalan. Meski yang dijual tak
hanya produk Indomie, tetap saja nama yang digunakan adalah Warung Indomie. Tak
hanya itu, konsistensi cita rasa dan varian-varian baru membuat masyarakat masih sulit
berpaling dari produk mi instan kedua produsen tersebut. Chitato rasa Indomie Goreng
adalah salah satu contoh bagaimana masyarakat masih sangat mendamba rasa khas dari
Indomie Goreng. Karena itu, produk berbeda dengan rasa yang sama pun menjadi
buruan.
Ketika awal diluncurkan, Chitato rasa Indomie Goreng ini sempat langka di pasaran.
Para penggemarnya pun terpaksa berburu ke penjual-penjual online. Keunggulan itu
dipadukan dengan agresivitas iklan di media massa. Nielsen mencatat, belanja iklan
Indofood dan Wings Food sangat besar hingga kuartal I - 2015. Indofood membelanjakan
Rp 241,2 miliar, Wings mengekor dengan angka Rp 226,1 miliar. Para produsen mi instan
berusaha keras mempertahankan tahtanya di Indonesia. Mereka tak mau pangsa
pasarnya dicuri oleh para pemain-pemain baru. Sementara para pemain baru industri mi
instan harus berusaha keras merebut pangsa pasar. Ini mengingat kesetiaan konsumen
Indonesia terhadap produk-produk lama mi instan masih sulit goyah. Seperti yang terjadi
dalam iklan Indomie. Ketika kita nun jauh dari Indonesia, produk mi instan tetap
dirindukan.
Sumber:
https://tirto.id/mi-instan-gurih-pasarnya-sengit-persaingannya-yeZ
Pertanyaan Diskusi:
1. Bagaimana analisa 4C (customer, competitor (klasifikasi persaingan) dan
Company) dalam industri Mie Instan?
2. Bagaimana segmentasi yang tepat dalam industri Mie Instan?
3. Segment mana yang diambil Indomie dan Sedaap. Bagaimana positioning Indomie
dan Sedaap dalam industri Mie Instan?
Studi Kasus 3: Persaingan dalam Industri Otomotif
Persaingan industri otomotif tanah Air dipercayai akan semakin ketat hingga lima
tahun mendatang seiring dengan perkembangan pasar dan kendaraan ramah lingkungan
berbasis baterai atau elektrifikasi. Bersamaan dengan itu, tak sedikit pabrikan yang mulai
menunjukkan komitmennya melalui investasi berkesinambungan di Indonesia, mulai dari
Jepang, China, Korea Selatan, hingga Amerika Serikat (AS). "Indonesia memiliki potensi
yang luar biasa di sektor otomotif. Tidak hanya pasar (populasi) saja, tapi juga beragam
rencana jangka panjangnya seperti pembuatan pabrik baterai.
Langkah strategis para pabrikan otomotif ini sebenarnya sudah bisa tercium dalam
lima tahun belakangan yang diawali produsen asal China, yakni Wuling Motors dan DFSK.
Wuling Motors, yang mendapatkan izin pendirian pabrik di kawasan Deltamas, Kabupaten
Bekasi, Jawa Barat seluas 30 hektare pada 2015 berhasil mendatangkan total investasi
sebesar 700 juta dolar AS. Tepat di 22 Mei 2017, merek mobil ini meluncurkan seri
kendaraan keluarga perdananya yaitu Wuling Confero dengan jenis low multi purpose
vehicle (LMPV). Kini, total ada empat model yang diproduksinya. Tak berselang lama,
Langkah serupa diambil oleh PT Sokonindo Automobile (DFSK) yang menempatkan
pabriknya di Cikande, Serang, Banten dengan investasi mencapai lebih dari 150 juta dolar
AS.
Menariknya, pabrik menggunakan teknologi terkini sehingga mendekati industri 4.0
sebagai 'smart factory' berstandar internasional. Artinya, di sana banyak kegiatan produksi
yang dilakukan secara robotik sehingga pengerjaan lebih presisi, efektif, serta efisien.
Melalui DFSK Glory 580 sebagai produk pertama yang diluncurkan pada pertengahan
2018, perusahaan bertekad untuk memenuhi lebih dari 50 persen kandungan lokal
kebutuhan suku cadang dalam kurun waktu tiga tahun, dengan target akhir mencapai 80
persen. Jelang penutupan tahun 2019, Hyundai Motor Company memutuskan untuk
menanamkan investasi sebesar 1,54 miliar dolar AS di Indonesia yang dimanfaatkan untuk
membangun pabrik dan pengembangan serta produksi kendaraan. Kepala Badan
Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadia saat itu menyampaikan, realisasi
investasi pabrikan Korea Selatan tersebut bakal dilakukan melalui dua tahap yakni 2019-
2021 dan 2022-2030. Pada fase pertama, Hyundai akan berfokus pada investasi pabrik
pembuatan mobil berlokasi di Jawa Barat dan akan mengekspor setidaknya 50 persen
dari total produksi. Sementara di fase kedua, akan berfokus pada pengembangan pabrik
pembuatan mobil listrik, transmisi, pusat penelitian dan pengembangan, pusat pelatihan,
dan rencana ekspor.
"Hyundai juga itu masuk Indonesia bersedia untuk memproduksi mobil listrik. Itu
salah satu komitmen dia, jadi tidak hanya mendatangkan mobil listrik dari luar. Belum lagi
ada Kia yang mulai bangkit di bawah naungan Indomobil Group melalui PT Kreta Indo
Artha (KIA) dan Renault bersama PT Maxindo Renault Indonesia (MRI). Tapi, mereka
belum menyatakan komitmennya sebagaimana pabrikan non-jepang lain dengan
membangun pabrik. Seolah tak ingin tinggal diam, produsen raksasa asal Jepang, Toyota,
Mitsubishi, dan Honda menggelontorkan investasi susulan sebesar 33,4 triliun hingga
periode 2023 pada akhir 2019. "Rencana ekspansi Toyota Group yang meliputi Toyota,
Daihatsu, dan Honda sebesar Rp 28,3 triliun termasuk untuk kendaraan listrik. Adapun
kabar terbaru, pabrikan mobil listrik asal AS, Tesla Inc, dikabarkan juga tertarik untuk
berinvestasi ke Indonesia untuk membuat pabrik baterai. Kabari ini sudah dikonfirmasi
oleh pihak Kementerian Perindustrian.
Retail Sales
1. Toyota 141.542 unit
2. Daihatsu 81.623 unit
3. Honda 62.109 unit
4. Suzuki 56.652 unit
5. Mitsubishi Motors 42.640 unit
6. Mitsubishi Fuso 19.007 unit
7. Isuzu 13.921 unit
8. Hino 9.878 unit
9. Wuling 7.066 unit
10. Nissan 5.593 unit
MASA DEPAN
Pada saat ini mobil merek Jepang masih memiliki pangsa pasar yang sangat besar.
Terlebih, mobil merek Jepang memiliki sejarah panjang serta pelanggan yang sangat loyal
di Tanah Air. Namun jika melihat masa depan khususnya dengan perkembangan mobil
listrik, mobil merek Korea Selatan justru lebih siap untuk merebut banyak hati pelanggan
nasional. "Memang peta persaingan pasar otomotif nasional ini akan sangat menarik.
Toyota besama Daihatsu-nya, dan Honda hanya berfokus dengan kendaraan Hybrid dan
memang tidak banyak. Kalau Korea Selatan ini, mereka sudah siap. Mereka yang akan
paling depan. Produk mobil listrik dengan harga di kisaran Rp300 juta pun sudah mulai
dapat dinikmati oleh pelanggan nasional. Terlebih, pelaku usaha otomotif yang terkait
dengan mobil listrik mendapat insentif yang cukup banyak dari pemerintah. Tentu ini
membuat banyak pilihan lebih terjangkau bagi masyarakat, terlebih ongkos pengisian
daya, perbaikan, dan perawatan lebih murah mobil listrik dibandingkan mobil
konvensional.
Sumber:
https://otomotif.kompas.com/read/2020/11/16/080200715/elektrifikasi-picu-persaingan-
ketat-industri-otomotif-indonesia?page=all
Pertanyaan Diskusi:
1. Bagaimana analisa 4C (customer, competitor (klasifikasi persaingan) dan
Company) dalam industri otomotif?
2. Bagaimana segmentasi yang tepat dalam industri otomotif?
3. Segment mana yang diambil Toyota dan Wuling. Bagaimana positioning Toyota
dan Wuling dalam industri otomotif?
Sumber:
https://ekonomi.bisnis.com/read/20170221/257/630651/aisi-persaingan-industri-sepeda-motor-sehat