Anda di halaman 1dari 8

KONSEP PERJANJIAN KERJA MENURUT HUKUM ISLAM DAN POSITIF

M.Bima
SiskaPratiwi
Zuhrufah Jihan Nuroniah

Abstrak: Problematika ketenagakerjaan sepanjang sejarah selalu memunculkan permasalahan


baru, dari masalah perjanjian kerja, pengupahan, perlindungan, kesejahteraan, dan pengawasan
ketenagakerjaan. Di antara masalah tersebut salah satu yang sangat krusial adalah masalah
perjanjian kerja. Perjanjian kerja yang tidak jelas sering kali bertentangan dengan kehendak
perusahaan, seandainya pemerintah tidak campur tangan pasti sebuah tatanan masyarakat terutama
dalam bidang ekonomi akan dikuasai oleh kapitalis. Dalam islam memandang perjanjian kerja
adalah hal yang sangat penting. Islam selalu menjunjung tinggi akad atau kesepakatan antara
pekerja/buruh dan majikan, namun sebagai pihak yang lebih kuat majikan dilarang melakukan
tindakan semena-mena terhadap para pegawainya. Untuk itu perlu adanya pembahasan yang
komprehensif dalam menjelaskan perjanjian kerja. Pada karya ilmiah ini kami menggunakan
metode penelitian kualitatif dengan bertujuan untuk mengetahui konsep perjanjian kerja menurut
hukum islam dan positif.

Kata Kunci: Perjanjian Kerja, Hukum Islam, Hukum Positif.

Abstract: Employment problems throughout history have always raised new problems, from work
agreements, wages, protection, welfare, and labor inspection issues. Among these problems, one
of the most crucial is the issue of work agreements. Employment agreements that are not clear are
often against the will of the company, if the government does not intervene, a social order,
especially in the economic field, will be controlled by capitalists. In Islam, the work agreement is
very important. Islam always upholds contracts or agreements between workers/labor and
employers, but as the stronger party, employers are prohibited from taking arbitrary actions
against their employees. For this reason, it is necessary to have a comprehensive discussion in
explaining the work agreement. In this scientific work, we use qualitative research methods with
the aim of knowing the concept of a work agreement according to Islamic and positive law.

Keywords: Employment Agreement, Islamic Law, Positive Law.


PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pada dasarnya hubungan maupun pembagian kerja merupakan aspek terpenting dalam suatu
perusahaan, karena dalam suatu perusahan haruslah jelas hubungan kerja serta pembagian kerja
antara pekerja satu dengan yang lainnya atau bahkan hubungan pekerja dengan
pengusaha/atasannya. Jika hubungan dan pembagian kerja tidak jelas maka akan terjadi
penyimpangan di sana-sini. Perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha, ternyata bila dilihat
lebih jauh dalam hukum positif terkait perburuhan memberikan kelonggaran dalam perjanjian
kerja yang tidak tertulis, secara jelas ketentuan Pasal 51 ayat 1 UU No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan menyatakan bahwa Perjanjian Kerja dapat dibuat secara tertulis maupun lisan.
Pasal ini memberikan penjelasan bahwa Perjanjian Kerja tidak diwajibkan untuk dituangkan dalam
wujud tertulis, bisa saja dalam bentuk lisan. Menurut Agusmidah mengatakan bahwa perjanjian
merupakan buah perlindungan antara pekerja/buruh denganpengusaha, untuk itu seharusnya
perjanjian kerja tertulis tidak secara lisan. Karena hal itu berpotensi pada tidak terlindunginya hak-
hak para buruh ketika terjadi persengketaan antara pekerja dan pengusaha.
Jika kita melihat lebih jauh, menurut hukum Islam bahwa perjanjian kerja mensyarat tertulis,
hal demikian mengacu pada praktek muamalah yang saling menguntungkan serta melindungi satu
sama lain. Spirit tersebut bias dilihat dari al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 282, yang mana isinya
Allah berfirman “apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan,
hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya
dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah
mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu
mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya,
dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya”. Mengenai Konsep Perjanjian
Kerja Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif, lebih jelasnya akan kami bahas pada bab
pembahasan selanjutnya.
PEMBAHASAN
Perjanjian Kerja Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif
1. Pengertian Perjanjian Kerja
Jika dilihat dari ketentuan Pasal 50 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan menetapkan bahwa hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara
pengusaha dengan pekerja/buruh.1 Adanya perjanjian demikian sangatlah esensial. Pemahaman di
atas pada prinsipnya serupa dengan apa yang ada di Eropa. Di kebanyakan Negara di Eropa dasar
atau landasan hukum perburuhan dapat ditemukan di dalam “perjanjian kerja”. Di Negara-negara
di Eropa (baik di dalam peraturan perundang-undangan maupun dalam yurisprudensi), perjanjian
kerja dipahami mencakup tiga elemen inti: pekerjaan, upah dan otoritas/kewenangan. Ini berarti
bahwa perjanjian kerja adalah suatu kesepakatan dengan mana buruh/pekerja mengikatkan diri
sendiri untuk bekerja di bawah otoritas/kewenangan majikan dengan menerima pembayaran upah.2
Hal di atas juga senada dengan definisi perjanjian kerja menurut Undang-
undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang menyebutkan bahwa perjanjian kerja
adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-
syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak.3 Sementara dalam pasal 1601 A KUH Perdata,
perjanjian kerja merupakan suatu perjanjian dimana pihak yang satu, pekerja mengikatkan diri
untuk bekerja pada pihak pengusaha selama waktu tertentu, dengan menerima upah.
Dari rumusan tersebut, perjanjian kerja harus memenuhi persyarat-persyaratan sebagai berikut:
a) Adanya pekerjaan
b) Adanya upah yang dibayarkan
c) Adanya perintah
d) Adanya waktu tertentu dan waktu tidak tertentu untuk perjanjiannya.4
Setelah menjelaskan pandangan hukum positif terkait perjanjian kerja perburuhan, di bawah
ini akan dijelaskan pembahasan perjanjian kerja menurut hukum Islam. Perjanjian atau akad dalam
hukum Islam dipandang sah jika rukun dan syaratnya terpenuhi. Rukun yang dimaksud adalah
unsur-unsur yang membentuk perjanjian tersebut seperti menurut jumhur ulama terdiri dari tiga

1
Pasal 50 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
2
Agusmidah, dkk, Bab-Bab Tentang Hukum Perburuhan Indonesia, (Jakarta: UI Press, 2012), hal. 13
3
Hadi Setia Tunggal, Seluk-Beluk Hukum Ketenagakerjaan, (Tt: Harvarindo, 2014), hal. 48.
4
Hadi Setia Tunggal, Seluk-Beluk Hukum Ketenagakerjaan, (Tt: Harvarindo, 2014), hal. 48-49.
aspek yaitu subyek akad, obyek akad dan sighat akad. Adapun di antara syarat-syarat
akadnya sendiri yaitu ahliyatul ‘ada dan ahliyatul wujub.
Dalam Islam sendiri ketika perjanjian atau waktu ijab-kabul tidak ada keharusan
menggunakan kata-kata khusus karena ketentuan hukumnya ada pada akad dengan tujuan dan
makna bukan dengan kata-kata dan bentuk kata itu sendiri, yang diperlukan adalah saling rela
(‘antaradin), direalisasikan dalam bentuk mengambil dan memberi atau cara lain yang dapat
menunjukkan keridaan makna pemilikan dan mempermilikkan.5
Perjanjian kerja dalam hukum Islam juga membenarkan tertulis tidaknya perjanjian kerja,
namun sebuah keharusan perjanjian kerja tertulis, karena berdasarkan sebuah potongan ayat dalam
al-Qur‟an surat al-Baqarah ayat 282 yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai
untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (Al-Baqarah:282). Dan terdapat
pula dalam sebuah kaidah al-Kitabah al-Khitab (adapun tulisan dalam perjanjian sama seperti
sebuah ucapan). Selain itu juga dalam hukum Islam, kontrak dalam perjanjian kerja
dipandang sah harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a). Tidak menyalahiaturan atau prinsip syariah yang ditetapkan.
b). Harus sama-sama rida dan ada pilihan.
c). Harus jelas dan gamblang.6
Prinsip lain dari perjanjian kerja harussaling jujur dan tidak mengkhianati perjanjian kerja,
hal itu sesuai dalam al-Qur‟an surat al-Baqarah ayat 279 dan al-Maidah ayat 1.

2. Jenis Perjanjian Kerja


Dilihat dari segi jangka waktu pembuatan perjanjian kerja, dapat dibagi 2
(dua) jenis, yaitu perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT)dan Perjanjian kerja waktu tidak tertentu
(PKWTT) sebagai berikut:
a) Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
Perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) adalah perjanjian kerja antara pekerja dengan
pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu dan untuk pekerjaan tertentu.

5
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 12, alih bahasa Kamaluddin A . Marzuki, (Bandung: al-Ma‟arif, 1996), hal. 49.
6
Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam, (Jakarta: Sinar Grafika,
2004), hal. 2-3.
Tidak semua jenis pekerjaan dapat dibuat dengan perjanjian kerja waktu tertentu. Pasal 57 Ayat 1
UU 13/2003 mensyaratkan bentuk PKWT harus tertulis dan mempunyai kualifikasi yang
didasarkan pada jangka waktu dan PKWT yang didasarkan pada selesainya suatu pekerjaan
tertentu (Pasal 56 Ayat (2) UU 13/2003). Secara limitatif, Pasal 59 juga menyebutkan bahwa
PKWT hanya dapat diterapkan untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis, sifat dan kegiatan
pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu pekerjaan yang sekali
selesai atau yang sementara sifatnya, pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu
yang tidak terlalu lama, paling lama 3 tahun, pekerjaan yang bersifat musiman dan pekerjaan yang
berhubungan dengan produk baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau
penjajagan.7
b) Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu
Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT), yaitu perjanjian kerja antara
pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja tetap. Masa berlakunya
PKWTT berakhir sampai pekerja memasuki usia pensiun, pekerja diputus hubungan kerjanya,
pekerja meninggal dunia. Bentuk PKWTT adalah fakultatif yaitu diserahkan kepada para pihak
untuk merumuskan bentuk perjanjian baik tertulis maupun tidak tertulis. Hanya saja berdasarkan
Pasal 63 Ayat (1) ditetapkan bahwa apabila PKWTT dibuat secara lisan, ada kewajiban
pengusaha untuk membuat surat pengangkatan bagi pekerja/buruh yang bersangkutan. PKWTT
dapat mensyaratkan masa percobaan kerja paling lama 3 (tiga) bulan dan dalam hal demikian,
pengusaha dilarang untuk membayar upah di bawah upah minimum yang berlaku. Hal ini
dijelaskan dalam Pasal 60 Ayat (1) dan (2) UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. 8

3. Ketentuan Hukum Perjanjian Kerja


Suatu perjanjian yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu bisa dikatakan sebagai suatu
perjanjian yang sah dan sebagai akibatnya perjanjian akan mengikat sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya. Oleh karena itu agar keberadaan suatu perjanjian diakui oleh undang-
undang (legally concluded contract) haruslah sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditentukan
oleh undang-undang.
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan 3 syarat (pasal 1320 KUH perdata) yaitu:

7
YLBHI, Panduan Bantuan Hukum di Indonesia, (Jakarta: YLBHI, 2014), hal. 156.
8
YLBHI, Panduan Bantuan Hukum di Indonesia, (Jakarta: YLBHI, 2014), hal. 157-158.
a) Sepakat mengikatkan diri,
b) Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian,
d) Suatu sebab yang halal.
Kesepakatan kedua belah pihak yang melakukan perjanjian haruslah bersepakat setuju
dengan tanpa adanya paksaan atau tekanan dari pihak lain. Tidak adanya kekeliruan atau penipuan
oleh salah satu pihak. Oleh karena itu kesepakatan adalah unsur utama. Kecakapan membuat suatu
perjanjian maksudnya mereka yang dikategorikan sebagai pendukung hak dan kewajiban adalah
orang atau badan hukum. Sedangkan suatu sebab yang halal maksudnya ialah tidak dilarang oleh
undang-undang, tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.
Ketentuan Pasal 51 (1) UUK menyatakan bahwa Perjanjian Kerja dapat dibuat secara tertulis
maupun lisan. Meskipun demikian, ketentuan Pasal 54 (1) UUK setidak-tidaknya harus mencakup:
a) Nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha.
b) Nama, jenis kelamin, umur dan alamat pekerja/buruh.
c) Jabatan atau jenis pekerjaan.
d) Tempat pekerjaan.
e) Besarnya upah dan cara pembayarannya.
f) Syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan
pekerja/buruh.
g) Mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja.
h) Tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat dan,
i) Tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.
Ketentuan tentang syarat-syarat di atas tidak diperlengkapi secara memadai dengan sanksi
yang memaksakan pentaatan. Sekalipun begitu, ketentuan perundang-undangan di atas setidak-
tidaknya mengindikasikan apa yang diharapkan termuat dalam perjanjian kerja yang dibuat
tertulis. Fakta bahwa tidak disyaratkan perjanjian kerja dibuat tertulis dilandaskan pemikiran
praktikal, karena dalam banyak kasus para pihak tidak menuliskan kesepakatan yang dibuat antara
mereka. Jika perjanjian lisan demikian dinyatakan cacat hukum, maka artinya pekerja/buruh tidak
akan dapat mendapat perlindungan yang layak.
PENUTUP
Kesimpulan
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa dalam hukum positif Pasal 50 Undang-
undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan menetapkan bahwa hubungan kerja terjadi
karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dengan pekerja/buruh, senada dengan definisi
perjanjian kerja menurut Undang- undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang
menyebutkan bahwa perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha
atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak. Sementara
dalam pasal 1601 A KUH Perdata, perjanjian kerja merupakan suatu perjanjian dimana pihak yang
satu, pekerja mengikatkan diri untuk bekerja pada pihak pengusaha selama waktu tertentu, dengan
menerima upah.
Dalam hukum islam menurut jumhur ulama unsur-unsur yang membentuk sebuah perjanjian
terdiri dari tiga aspek yaitu subyek akad, obyek akad dan sighat akad. Perjanjian kerja dalam
hukum Islam juga membenarkan tertulis tidaknya perjanjian kerja, namun sebuah keharusan
perjanjian kerja tertulis, karena berdasarkan sebuah potongan ayat dalam al-Qur‟an surat al-
Baqarah ayat 282.
Jenis Perjanjian Kerja:
1. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
2. Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan 3 syarat (pasal 1320 KUH perdata) yaitu:
1. Sepakat mengikatkan diri,
2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian,
3. Suatu sebab yang halal.
DAFTAR PUSTAKA

Pasal 50 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.


Agusmidah, dkk, Bab-Bab Tentang Hukum Perburuhan Indonesia, (Jakarta: UI Press,
2012).
Hadi Setia Tunggal, Seluk-Beluk Hukum Ketenagakerjaan, (Tt: Harvarindo, 2014).
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 12, alih bahasa Kamaluddin A . Marzuki, (Bandung: al-
Ma‟arif, 1996).
Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2004).
YLBHI, Panduan Bantuan Hukum di Indonesia, (Jakarta: YLBHI, 2014).

Anda mungkin juga menyukai