Anda di halaman 1dari 181

SKRIPSI

PERBEDAAN EFEKTIVITAS METODE TELL-SHOW-DO DAN


TERAPI OKUPASI DALAM PENERAPAN PROTOKOL
KESEHATAN SELAMA PANDEMI COVID-19
PADA PENYANDANG RETARDASI
MENTAL DI PONOROGO

Oleh:
YUHA AGISTHA FAZA
NIM: 201703043

PEMINATAN PROMOSI KESEHATAN


PROGRAM STUDI SI KESEHATAN MASYARAKAT
STIKES BHAKTI HUSADA MULIA MADIUN
2021
SKRIPSI

PERBEDAAN EFEKTIVITAS METODE TELL-SHOW-DO DAN


TERAPI OKUPASI DALAM PENERAPAN PROTOKOL
KESEHATAN SELAMA PANDEMI COVID-19
PADA PENYANDANG RETARDASI
MENTAL DI PONOROGO

Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam mencapai gelar


Sarjana Kesehatan Masyarakat (S.K.M.)

Oleh:
YUHA AGISTHA FAZA
NIM: 201703043

PEMINATAN PROMOSI KESEHATAN


PROGRAM STUDI SI KESEHATAN MASYARAKAT
STIKES BHAKTI HUSADA MULIA MADIUN
2021

ii
LEMBAR PERSETUJUAN

Laporan Skripsi ini telah disetujui oleh pembimbing dan telah


dinyatakan layak mengikuti Ujian Sidang

SKRIPSI

PERBEDAAN EFEKTIVITAS METODE TELL-SHOW-DO DAN


TERAPI OKUPASI DALAM PENERAPAN PROTOKOL
KESEHATAN SELAMA PANDEMI COVID-19
PADA PENYANDANG RETARDASI
MENTAL DI PONOROGO

Menyetujui, Menyetujui,
Pembimbing 1 Pembimbing 2

Riska Ratnawati, S.K.M., M.Kes. Avicena Sakufa Marsanti, S.K.M., M.Kes.


NIDN. 0711037803 NIDN. 0717059101

Mengetahui,
Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat

Avicena Sakufa Marsanti, S.K.M., M.Kes.


NIDN. 0717059101

iii
LEMBAR PENGESAHAN

Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Tugas Skripsi dan dinyatakan


telah memenuhi sebagian syarat memperoleh gelar
Sarjana Kesehatan Masyarakat (S.K.M.)

Pada Tanggal : 25 Agustus 2021

Dewan Penguji:

1. Dewan Penguji : Zaenal Abidin, S.K.M., M.Kes. (Epid). : (…………)

2. Penguji I : Riska Ratnawati, S.K.M., M.Kes. : (…………)

3. Penguji II : Avicena Sakufa Marsanti, S.K.M., M.Kes. : (…………)

Mengesahkan,
STIKES Bhakti Husada Mulia Madiun
Ketua,

Zaenal Abidin, S.K.M., M.Kes. (Epid).


NIDN. 0217091701

iv
HALAMAN PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini:


Nama : Yuha Agistha Faza
NIM : 201703043

Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi ini adalah hasil pekerjaan saya sendiri dan
di dalamnya tidak terdapat karya yang pernah diajukan dalam memperoleh gelar
Sarjana di perguruan tinggi dan lembaga pendidikan lainnya. Pengetahuan yang
diperoleh dari hasil penerbitan, baik yang sudah maupun belum atau tidak
dipublikasikan, sumbernya dijelaskan dalam tulisan dan daftar pustaka.

Madiun, 22 Agustus 2021

Yuha Agistha Faza


201703043

v
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Yuha Agistha Faza


Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat dan Tanggal Lahir : Ponorogo, 08 Agustus 1999
Agama : Islam
Alamat : Dusun Candi, RT. 003/RW. 001 Desa
Nongkodono, Kecamatan Kauman, Kabupaten
Ponorogo
Email : Yuhafaza1@gmail.com
Riwayat Pendidikan : 1. TK Kartika IV-9 Surabaya
(2003-2005)
2. SDN Sawunggaling VIII Surabaya
(2005-2011)
3. SMPN 1 Jetis Ponorogo
(2011-2014)
4. SMAN 2 Ponorogo
(2014-2017)
5. STIKES Bhakti Husada Mulia Madiun
(2017-2021)

vi
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
STIKES BHAKTI HUSADA MULIA MADIUN
2021

ABSTRAK

YUHA AGISTHA FAZA

PERBEDAAN EFEKTIVITAS METODE TELL-SHOW-DO DAN TERAPI


OKUPASI DALAM PENERAPAN PROTOKOL KESEHATAN SELAMA
PANDEMI COVID-19 PADA PENYANDANG RETARDASI MENTAL DI
PONOROGO
125 halaman + 15 tabel + 7 gambar + lampiran
Latar belakang: Kelompok masyarakat penyandang retardasi mental rentan
memiliki keterbatasan perilakuikap terhadap penerapan protokol kesehatan Covid-
19, sehingga diperlukan upaya untuk meningkatkan perilaku para penyandang
retardasi mental. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perbedaan efektivitas
metode tell-show-do dan terapi okupasi terhadap penerapan protokol kesehatan
Covid-19 pada penyandang retardasi mental di Ponorogo.
Metode penelitian: Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan
metode quasi-experimental dengan desain two group pre-post test design.
Populasi berjumlah 26 orang penyandang retardasi mental di Rumah Harapan,
Desa Karangpatihan, Kabupaten Ponorogo. Sampel berjumlah 25 orang, 13 orang
pada kelompok metode tell-show-do dan 12 orang pada kelompok terapi okupasi.
Analisis data menggunakan uji Paired Sample t-test.
Hasil penelitian: Ada perbedaan perilaku dalam penerapan protokol kesehatan
Covid-19 sebelum dan setelah dilakukan metode tell-show-do (p-value = 0,000)
serta sebelum dan setelah dilakukan terapi okupasi (p-value = 0,000). Perilaku
penerapan protokol kesehatan Covid-19 (post test) lebih baik dibandingkan
sebelum dilaksanakan metode tell-show-do dan terapi okupasi (pre test). Tidak
ada perbedaan efektivitas metode tell-show-do dan terapi okupasi terhadap
perilaku dalam penerapan protokol kesehatan Covid-19 (p-value = 0,256).
Analisis dan Kesimpulan: (1) Ada perbedaan perilaku dalam penerapan protokol
kesehatan Covid-19 sebelum dan setelah dilakukan metode tell-show-do, (2) Ada
perbedaan perilaku dalam penerapan protokol kesehatan Covid-19 sebelum dan
setelah dilakukan terapi okupasi, (3) Tidak ada perbedaan efektivitas metode tell-
show-do dan terapi okupasi terhadap perilaku dalam penerapan protokol kesehatan
Covid-19. Diharapkan pengelola Rumah Harapan Desa Karangpatihan dapat
meningkatkan pengetahuan dan sikap terhadap penerapan protokol kesehatan
Covid-19 pada para penyandang retardasi mental menggunakan metode tell-show-
do dan terapi okupasi.
Kata Kunci: Metode Tell-Show-Do, Terapi Okupasi, Perilaku, Protokol
Kesehatan Covid-19.

vii
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
STIKES BHAKTI HUSADA MULIA MADIUN
2021

ABSTRACT
YUHA AGISTHA FAZA
THE EFFECTIVENESS DIFFERENCE OF TELL-SHOW-DO METHOD
AND OCCUPATIONAL THERAPY IN APPLICATION OF HEALTH
PROTOCOLS DURING THE COVID-19 PANDEMIC AT INDIVIDUALS
WITH MENTAL RETARDATION IN PONOROGO
158 pages + 15 tabels + 7 pictures + attachment
Background: People with mental retardation are vulnerable to having limited
knowledge and attitudes towards the implementation of the Covid-19 health
protocol, some efforts are needed to improve the behaviour of people with mental
retardation. The purpose of the study was to analyze the differences in the
effectiveness of the tell-show-do method and occupational therapy on the
implementation of the Covid-19 health protocol for people with mental
retardation in Ponorogo.
Research Methods: The research used quantitative study by a quasi-experimental
method with a two group pre-post test design. The population was 26 people with
mental retardation in Rumah Harapan, Karangpatihan Village, Ponorogo
Regency. The sample consisted of 25 people, 13 people in the tell-show-do method
group and 12 people in the occupational therapy group. Data analysis used
Paired Sample t-test and Mann-Whitney test.
The Results: There were behavioural differences in the implementation of the
Covid-19 health protocol before and after the tell-show-do method (p-value =
0.000) and before and after occupational therapy (p-value = 0.000). The
behaviour of applying the Covid-19 health protocol (post test) is better than
before applying the tell-show-do method and occupational therapy (pre-test).
There is no difference in the effectiveness of the tell-show-do method and
occupational therapy on the behaviour in implementing the Covid-19 health
protocol (p-value = 0.256).
Analysis and Conclusions: (1) There were behavioural differences in the
application of the Covid-19 health protocol before and after the tell-show-do
method, (2) There were behavioural differences in the application of the Covid-19
health protocol before and after occupational therapy, (3) There were no
difference in the effectiveness of the tell-show-do method and occupational
therapy on behaviour in the implementation of the Covid-19 health protocol. It is
hoped that the manager of Rumah Harapan, Karangpatihan Village, Ponorogo
Regency could increased knowledge and attitudes towards the implementation of
the Covid-19 health protocol for people with mental retardation by tell-show-do
method and occupational therapy.
Keywords: Tell-Show-Do Method, Occupational Therapy, Behavior, Health
Protocol of Covid-19.

viii
DAFTAR ISI

Halaman
SAMPUL DEPAN .......................................................................................... i
SAMPUL DALAM......................................................................................... ii
LEMBAR PERSETUJUAN ............................................................................ iii
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................. iv
HALAMAN PERNYATAAN......................................................................... v
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ........................................................................ vi
ABSTRAK ..................................................................................................... vii
ABSTRACT ..................................................................................................... viii
DAFTAR ISI .................................................................................................. ix
DAFTAR TABEL .......................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xiv
DAFTAR SINGKATAN ................................................................................ xv
DAFTAR ISTILAH ........................................................................................ xvi
PERSEMBAHAN ........................................................................................... xvii
KATA PENGANTAR .................................................................................... xviii
BAB 1 PENDAHULUAN............................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ...................................................................... 7
1.3 Tujuan Penelitian........................................................................ 8
1.3.1 Tujuan Umum ................................................................... 8
1.3.2 Tujuan Khusus .................................................................. 8
1.4 Manfaat Penelitian ...................................................................... 8
1.4.1 Manfaat Teoritis ................................................................ 9
1.4.2 Manfaat Praktis ................................................................. 9
1.4.2.1 Bagi Subjek Penelitian ......................................... 9
1.4.2.2 Bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Ponorogo ........ 9
1.4.2.3 Bagi Pengelola Rumah Harapan Desa
Karangpatihan Kabupaten Ponorogo .................... 9
1.4.2.4 Bagi STIKES Bhakti Husada Mulia Madiun ........ 10
1.4.2.5 Bagi Peneliti yang Akan Datang .......................... 10
1.5 Keaslian Penelitian ..................................................................... 10
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA .................................................................... 16
2.1 Pandemi Covid-19 ...................................................................... 16
2.1.1 Epidemiologi ..................................................................... 16
2.1.2 Virologi............................................................................. 17
2.1.3 Etiologi dan Patogenesis .................................................... 18
2.1.4 Transmisi .......................................................................... 20
2.1.5 Faktor Resiko .................................................................... 21
2.1.6 Manifestasi Klinis ............................................................. 23
2.1.7 Pencegahan ....................................................................... 25

ix
2.2 Penerapan Protokol Kesehatan.................................................... 27
2.2.1 Konsep Protokol Kesehatan Covid-19 ............................... 27
2.2.2 Prinsip Umum Protokol Kesehatan Covid-19 ..................... 28
2.2.3 Perilaku Kesehatan dalam Penerapan Protokol Kesehatan . 32
2.2.3.1 Definisi Perilaku Kesehatan ................................. 32
2.2.3.2 Dimensi Perilaku Kesehatan ................................ 33
2.2.3.3 Faktor-Faktor Pembentukan Perilaku Kesehatan .. 34
2.3 Metode Tell-Show-Do ................................................................ 40
2.3.1 Pengertian Tell-Show-Do ................................................... 40
2.3.2 Prosedur Tell-Show-Do ..................................................... 41
2.3.3 Kegunaan Tell-Show-Do.................................................... 42
2.4 Terapi Okupasi ........................................................................... 43
2.4.1 Pengertian Terapi Okupasi ................................................ 43
2.4.2 Tujuan dan Fungsi Terapi Okupasi .................................... 45
2.4.3 Pelaksanaan, Jenis, dan Tahapan Terapi Okupasi ............... 47
2.4.4 Jenis Terapi Okupasi ......................................................... 50
2.4.5 Kegunaan Terapi Okupasi ................................................. 52
2.5 Konsep Retardasi Mental ............................................................ 55
2.5.1 Definisi ............................................................................. 55
2.5.2 Etiologi ............................................................................. 56
2.5.3 Klasifikasi Retardasi Mental .............................................. 59
2.6 Kerangka Teori........................................................................... 61
BAB 3 KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN ..... 64
3.1 Kerangka Konseptual ................................................................. 64
3.2 Hipotesis Penelitian .................................................................... 65
BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN ......................................................... 66
4.1 Desain Penelitian ........................................................................ 66
4.2 Populasi dan Sampel Penelitian .................................................. 67
4.2.1 Populasi Penelitian ............................................................ 67
4.2.2 Sampel Penelitian .............................................................. 68
4.2.3 Kriteria Sampel ................................................................. 70
4.3 Teknik Sampling ........................................................................ 71
4.4 Kerangka Kerja dan Kerangka Langkah Kerja Penelitian ............ 71
4.4.1 Kerangka Kerja Penelitian ................................................. 71
4.4.2 Kerangka Langkah Kerja Penelitian .................................. 73
4.5 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel ................ 75
4.5.1 Variabel Penelitian ............................................................ 75
4.5.2 Definisi Operasional Variabel............................................ 76
4.6 Instrumen Penelitian ................................................................... 78
4.7. Lokasi dan Waktu Penelitian ...................................................... 78
4.8. Prosedur Pengumpulan Data ....................................................... 79
4.9 Teknik Analisis Data .................................................................. 82
4.9.1 Analisis Univariat .............................................................. 82
4.9.2 Analisis Bivariat ................................................................ 83

x
BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN.......................................................... 86
5.1 Gambaran Umum Obyek Penelitian............................................ 86
5.1.1 Deskripsi Lokasi................................................................ 86
5.1.2 Sejarah Rumah Harapan Desa Karangpatihan,
Kecamatan Balong Kabupaten Ponorogo ........................... 87
5.2 Hasil Penelitian .......................................................................... 91
5.2.1 Data Umum ....................................................................... 92
5.2.2 Data Khusus ...................................................................... 94
5.2.2.1 Analisis Univariat ................................................ 94
2.2.3.2 Analisis Bivariat .................................................. 96
5.3 Pembahasan................................................................................ 102
5.3.1 Karakteristik Responden Penyandang Retardasi Mental .... 102
5.3.2 Perbedaan Penerapan Protokol Kesehatan Covid-19
Sebelum dan Setelah Dilakukan Metode Tell-Show-Do
Pada Penyandang Retardasi Mental di Ponorogo ............... 103
5.3.3 Perbedaan Penerapan Protokol Kesehatan Covid-19
Sebelum dan Setelah Dilakukan Teknik Okupasi
Pada Penyandang Retardasi Mental di Ponorogo ............... 105
5.3.4 Perbedaan Efektivitas Metode Tell-Show-Do dan Terapi
Okupasi terhadap Penerapan Protokol Kesehatan
Covid-19 pada Penyandang Retardasi Mental
di Ponorogo ....................................................................... 109
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN.......................................................... 117
6.1 Kesimpulan ................................................................................ 117
6.2 Saran .......................................................................................... 117
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 120
LAMPIRAN ................................................................................................... 126

xi
DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 1.1 Keaslian Penelitian ....................................................................... 11
Tabel 2.1 Klasifikasi Retardasi Mental ......................................................... 59
Tabel 4.1 Desain Penelitian Quasi-Experimental .......................................... 66
Tabel 4.2 Definisi Operasional Variabel ....................................................... 77
Tabel 4.3 Waktu Penelitian .......................................................................... 79
Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ......... 92
Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur ...................... 93
Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kategori Retardasi
Mental .......................................................................................... 93
Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Perilaku Responden terhadap Penerapan
Protokol Kesehatan (Sebelum dan Setelah Pelaksanaan Metode
Tell-Show-Do) .............................................................................. 94
Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi Perilaku Responden terhadap Penerapan
Protokol Kesehatan (Sebelum dan Setelah Pelaksanaan Terapi
Okupasi) ....................................................................................... 95
Tabel 5.6 Hasil Distribusi Normalitas Perilaku Penyandang Retardasi
Mental di Rumah Harapan terhadap Penerapan Protokol
Kesehatan Covid-19 Sebelum Dilakukan Metode Tell-Show-Do
dan Terapi Okupasi ....................................................................... 97
Tabel 5.7 Hasil Distribusi Homogenitas Perilaku Penyandang Retardasi
Mental di Rumah Harapan terhadap Penerapan Protokol
Kesehatan Covid-19 Sebelum Dilakukan Metode Tell-Show-Do
dan Terapi Okupasi ....................................................................... 98
Tabel 5.8 Hasil Distribusi Pengaruh Metode Tell-Show-Do terhadap
Perilaku Penyandang Retardasi Mental pada Penerapan
Protokol Kesehatan Covid-19 Sebelum dan Sesudah
Intervensi ...................................................................................... 99
Tabel 5.9 Hasil Distribusi Pengaruh Terapi Okupasi terhadap Perilaku
Penyandang Retardasi Mental pada Penerapan Protokol
Kesehatan Covid-19 Sebelum dan Sesudah Intervensi ................... 100
Tabel 5.10 Hasil Distribusi Perbedaan Efektivitas Metode Tell-Show-Do
dan Terapi Okupasi terhadap Perilaku Penerapan Protokol
Kesehatan Covid-19 pada Penyandang Retardasi Mental .............. 101

xii
DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 2.1 Kerangka Teori........................................................................... 63
Gambar 3.1 Kerangka Konseptual Efektifitas Metode Tell-Show-Do dan
Terapi Okupasi dalam Penerapan Protokol Kesehatan
Covid-19 Pada Penyandang Retardasi Mental ............................. 64
Gambar 4.1 Kerangka Kerja Penelitian Efektifitas Metode Tell-Show-Do
dan Terapi Okupasi dalam Penerapan Protokol Kesehatan
Covid-19 Pada Penyandang Retardasi Mental ............................. 72
Gambar 4.2 Desain Kerangka Kerja Penelitian .............................................. 73
Gambar 4.3 Desain Langkah Kerja Penelitian ................................................ 74
Gambar 5.1 Peta Desa Karangpatihan ............................................................ 87
Gambar 5.2 Rumah Harapan Desa Karangpatihan ......................................... 90

xiii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Surat Izin Pengambilan Data Awal dari Bakesbangpol


Kabupaten Ponorogo .............................................................. 126
Lampiran 2 Surat Izin Pengambilan Data .................................................. 127
Lampiran 3 Lembar Permohonan Menjadi Responden .............................. 128
Lampiran 4 Informed Consent ................................................................... 129
Lampiran 5 Standar Operasional Prosedur Metode Tell-Show-Do ............. 130
Lampiran 6 Standar Operasional Prosedur Terapi Okupasi ........................ 133
Lampiran 7 Lembar Pengamatan Penerapan Protokol Kesehatan ............... 136
Lampiran 8 Daftar Nama Responden Penelitian ........................................ 140
Lampiran 9 Hasil Pengamatan Perilaku dalam Penerapan Protokol
Kesehatan Selama Pandemi Covid-19 Sebelum Pelatihan
(Pretest) ................................................................................. 141
Lampiran 10 Hasil Pengamatan Perilaku dalam Penerapan Protokol
Kesehatan Selama Pandemi Covid-19 Setelah Pelatihan
(Posttest) ................................................................................ 144
Lampiran 11 Data Demografi Responden Penyandang Retardasi Mental
di Rumah Harapan Desa Karangpatihan, Kecamatan
Balong Kabupaten Ponorogo .................................................. 147
Lampiran 12 Hasil Uji Normalitas Data Perilaku dalam Penerapan
Protokol Kesehatan Pada Kelompok Responden yang
Mengikuti Pelatihan dengan Metode Tell-Show-Do dan
Terapi Okupasi ....................................................................... 151
Lampiran 13 Hasil Uji Homogenitas Data Perilaku dalam Penerapan
Protokol Kesehatan Pada Kelompok Responden yang
Mengikuti Pelatihan dengan Metode Tell-Show-Do dan
Terapi Okupasi ....................................................................... 152
Lampiran 14 Hasil Uji Beda ........................................................................ 153
Lampiran 15 Dokumentasi Penelitian .......................................................... 155

xiv
DAFTAR SINGKATAN

4M : Memakai masker, Mencuci tangan pakai sabun dan air mengalir,

Menjaga jarak (minimal 1 meter), Menghindari kerumunan

ACE : Angiotensin Converting-Enzyme

COVID-19 : Corona Virus Disease 2019

CTPS : Cuci Tangan Pakai Sabun

IQ : Intelligence Quotient

MERS-CoV : Middle East Respiratory Syndrome Coronavirus

ODP : Orang Dalam Pemantauan

PHBS : Perilaku Hidup Bersih dan Sehat

Prokes : Protokol Kesehatan

RM : Retardasi Mental

RT-PCR : Real Time Polymerase Chain Reaction

SARS-CoV : Severe Acute Respiratory Illness Coronavirus

TSD : Tell-Show-Do

WHO : World Health Organization

xv
DAFTAR ISTILAH

Coronavirus Disease : Penyakit Corona Virus

Novel Coronavirus : Penyakit Corona Virus (Covid-19)

Social Distancing : Pembatasan Jarak dengan orang lain 1m-2m

Handsanitizer : Cairan Pembersih Tangan

Face Shield : Pelindung Wajah

New Normal : Adaptasi Kebiasaan Baru

Lockdown : Upaya Untuk Mengendalikan Penyebaran Covid-19.

xvi
PERSEMBAHAN
   

Segala puji kupersembahkan kepada sang pemberi nikmat dan karunia Allah
SWT, serta sujud syukurku kepadamu atas takdir-Mu menjadikan manusia
senantiasa berpikir, berilmu, beriman dan bersabar. Semoga karya kecilku ini
menjadi langkah awal untuk meraih cita-citaku. Kupersembahkan skripsi ini
untuk:
1. Kedua orang tuaku, ayah dan ibu, yang senantiasa memberikan do’a dan
semangat, mulai awal hingga tiada akhir. Terimakasih untuk pelajaran hidup
yang kalian berikan yang menguatkan hati dan belajar untuk selalu bersyukur
dengan keadaan.
2. Dosen pembimbing, penguji dan dosen pengajar, khususnya: Ibu Riska
Ratnawati, S.K.M., M.Kes selaku Dosen Pembimbing 1 dan Ibu Avicena
Sakufa Marsanti, S.K.M., M.Kes. selaku Dosen Pembimbing 2. Terimakasih
atas bimbingan dan kesabaran yang luar biasa, nasehat serta masukan yang
sangat membangun sehingga terselesainya karya kecil saya ini. Tak lupa
ucapan terimakasih yang paling dalam untuk dosen-dosen pengajar yang tidak
kenal lelah dalam memberikan ilmu dan pengalaman serta nasehat yang tak
ternilai harganya.
3. Teman-teman seperjuangan yang selama 4 tahun ini memberikan warna yang
berbeda untuk hidupku, memberikan pengalaman unik dan terkenang. Serta
semangat, dukungan dan bantuan tidak hanya untuk penyelesaian skripsi ini,
namun lebih dari itu.
4. Terimakasih kepada semua pihak yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu
yang telah membantu penyusunan skripsi ini.

Yuha Agistha Faza

xvii
KATA PENGANTAR

Penulis memanjatkan puji syukur kepada kepada Allah SWT., yang telah

menganugerahkan rakhmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat

menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul: “Perbedaan Efektivitas Metode

Tell-Show-Do dan Terapi Okupasi dalam Penerapan Protokol Kesehatan Selama

Pandemi Covid-19 Pada Penyandang Retardasi Mental di Ponorogo.” Penulisan

skripsi ini ditujukan untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam menyelesaikan

studi di Program Studi S1 Kesehatan Masyarakat STIKES Bhakti Husada Mulia

Madiun.

Terimakasih yang tak terhingga, penulis sampaikan kepada berbagai pihak

yang telah membantu penulis dalam penyusunan skripsi, terutama kepada:

1. Bapak Zaenal Abidin, S.K.M., M.Kes. selaku Ketua STIKES Bhakti Husada

Mulia Madiun sekaligus selaku Ketua Dewan Penguji.

2. Ibu Avicena Sakufa Marsanti, S.K.M., M.Kes. selaku Ketua Program Studi S1

Kesehatan Masyarakat STIKES Bhakti Husada Mulia Madiun sekaligus

sebagai Dosen Pembimbing II yang telah banyak membimbing penulis selama

ini.

3. Ibu Riska Ratnawati, S.K.M., M.Kes. selaku Dosen Pembimbing I yang juga

telah banyak memberikan bimbingan dan petunjuk dalam penyusunan skripsi

ini.

xviii
4. Semua dosen dan segenap civitas akademika Program Studi S1 Kesehatan

Masyarakat STIKES Bhakti Husada Mulia Madiun yang telah banyak

memberikan pengajaran dan bimbingan selama perkuliahan ini.

5. Kedua orangtuaku, terimakasih atas do’a dan dukungan yang diberikan, baik

berupa dukungan moril maupun materi.

6. Rekan-rekan mahasiswa Program Studi S1 Kesehatan Masyarakat STIKES

Bhakti Husada Mulia Madiun yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari sempurna. Untuk

itu, segala kritik dan saran yang membangun selalu penulis harapkan. Selanjutnya,

penulis berharap penelitian ini mampu memberikan manfaat kepada semua pihak.

Terimakasih.

Madiun, 22 Agustus 2021


Penulis

Yuha Agistha Faza

xix
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Virus Corona (Covid-19) oleh World Health Organization (WHO)

dinyatakan sebagai pandemi dan pertama kali dilaporkan terjadi di Indonesia

pada awal bulan Maret 2020. Virus ini menyerang pada sistem pernafasan

dan dapat menyebabkan gangguan pada sistem pernafasan, pneumonia akut,

hingga kematian (Pane, 2020). Menurut Satuan Tugas Penanganan Covid-19

(2020), data kasus Covid-19 di Indonesia per Januari 2021 sebanyak

1.078.314 kasus. Pasien sembuh sebanyak 873.221 orang, sedangkan pada

pasien meninggal sebanyak 29.998 orang. Selain itu, ada 54.827 orang

berstatus orang dalam pemantauan (ODP). Pada bulan Januari 2021, Provinsi

Jawa Timur tercatat menjadi provinsi dengan laporan pasien meninggal

tertinggi, yaitu mencapai 7.754 pasien. Pada bulan yang sama, di Provinsi

Jawa Timur juga terdapat tujuh daerah zona merah, yang salah satunya adalah

Kabupaten Ponorogo. Pada tanggal 19 Januari 2021, angka kematian pasien

Covid-19 di Kabupaten Ponorogo mencapai 5,29% melebihi angka rata-rata

nasional yang mencapai 3,12%. Sementara untuk angka kesembuhan pasien

kasus Covid-19 di Kabupaten Ponorogo 70% atau masih di bawah rata-rata

nasional yang mencapai 80% (Satuan Tugas Penanganan Covid-19, diakses

dari covid19.go.id., 2021).

Indonesia sudah menjadi negara yang rawan terhadap penyebaran virus

Covid-19 karena disebabkan berbagai faktor pendorong transmisi. Faktor

1
2

pendorong transmisi ini dapat dilihat dari berbagai indikator seperti masih

banyak masyarakat yang belum menerapkan protokol kesehatan dengan benar

seperti, mencuci tangan sesuai dengan yang dianjurkan, menjaga jarak, dan

memamakai masker. Seperti yang disampaikan dalam Keputusan Menteri

Kesehatan Nomor HK. 01.07/MENKES/382/2020 tentang Protokol

Kesehatan Bagi Masyarakat di Tempat dan Fasilitas Umum dalam Rangka

Pencegahan dan Pengendalian Corona Virus Disease 2019 (Covid-19), tujuan

dari protokol kesehatan ini adalah untuk meningkatkan upaya pencegahan dan

pengendalian Covid-19 bagi masyarakat di tempat dan fasilitas umum dalam

rangka mencegah terjadinya episenter/kluster baru selama masa pandemi

dengan ruang lingkup protokol kesehatan. Salah satu upaya pencegahan dan

pengendalian Covid-19 adalah dengan menerapkan protokol kesehatan

dengan melakukan kebiasaan 4M, yaitu memakai masker, mencuci tangan

pakai sabun dan air mengalir, menjaga jarak (minimal 1 meter), dan

menghindari kerumunan.

Keberhasilan penerapan protokol kesehatan selama pandemi Covid-19

tidak terlepas dari perilaku yang dimiliki individu. Perilaku menjadi penting

bagi mereka untuk meningkatkan kesadaran diri akan informasi kesehatan

yang penting bagi dirinya (Usman, dkk., 2020). Berkaitan dengan pentingnya

perilaku yang baik terhadap protokol kesahatan Covid-19, terdapat salah satu

kelompok masyarakat yang rentan terhadap dampak pandemi Covid-19

karena adanya keterbatasan terhadap pengetahuan tentang pentingnya

penerapan protokol kesehatan selama pandemi Covid-19. Kelompok


3

masyarakat yang dimaksud adalah kelompok masyarakat penyandang

retardasi mental. Menurut Soetjiningsih dalam Muttaqin (2008) retardasi

mental adalah “Suatu kondisi yang ditandai oleh intelegensi yang rendah

yang menyebabkan ketidakmampuan individu untuk belajar dan beradaptasi

terhadap tuntutan masyarakat atas kemampuan yang dianggap normal.”

Mengacu pada hasil studi observasi awal dengan para pendamping

penyandang retardasi mental di Desa Karangpatihan, selama ini telah berdiri

Rumah Harapan sebagai wadah bagi para penyandang retardasi mental di

Desa Karangpatihan. Rumah Harapan yang berdiri pada tahun 2013 tersebut

merupakan wadah yang di dalamnya terdapat berbagai macam kegiatan untuk

menunjang pendapatan masyarakat, khususnya masyarakat miskin yang

berketerbelakangan mental atau mengalami retardasi mental. Saat ini,

pengelolaan Rumah Harapan dilaksanakan oleh Kelompok Swadaya

Masyarakat (KSM) Rumah Harapan Karangpatihan Bangkit. Hingga saat ini,

KSM Rumah Harapan Karangpatihan Bangkit telah menampung sebanyak 26

orang dengan retardasi mental yang ada di Desa Karangpatihan untuk

diberdayakan. Keterbelakangan mental yang dialami oleh para penyandang

retardasi mental di Rumah Harapan berupa tunawicara, tunarungu dan

intelektual berpikirnya rendah. Di Rumah Harapan telah dilaksanakan

berbagai program pemberdayaan, seperti pelatihan pembuatan keset, tasbih,

dan batik ciprat serta berkebun.

Adanya keterbatasan intelektual dan adaptasi perilaku akan sangat

membatasi kemampuan para penyandang retardasi mental tersebut,


4

khususnya dalam hal menerapkan protokol kesehatan. Oleh karena itu,

diperlukan berbagai upaya untuk meningkatkan perilaku para penyandang

retardasi mental dalam menerapkan protokol kesehatan. Peningkatan perilaku

para penyandang retardasi mental di Desa Karangpatihan dalam menerapkan

protokol kesehatan, dapat diintervensi dengan menggunakan beberapa teknik

dan terapi yang dapat memandirikan para penyandang retardasi mental itu

sendiri dalam menerapkan protokol kesehatan selama pandemi Covid-19.

Adapun pelaksanaannya dapat dilakukan sebelum pelatihan maupun saat para

penyandang retardasi mental berkumpul bersama di Rumah Harapan.

Salah satu teknik yang diharapkan dapat perilaku para penyandang

retardasi mental itu sendiri dalam menerapkan protokol kesehatan adalah

metode tell-show-do. Metode tell-show-do dapat dimanfaatkan untuk

peningkatan pengetahuan dan kemampuan para penyandang retardasi mental

dalam penerapan protokol kesehatan karena cara ini berdasarkan prinsip-

prinsip teori pembelajaran (learning theory) (Radhakrishna, et. al., 2019).

Meskipun tell-show-do sebenarnya untuk anak-anak, namun metode tersebut

juga dapat diterapkan pada orang dewasa, salah satunya adalah dengan

adanya metode explain-ask-show-do atau menerangkan-menyuruh-

menunjukkan-melakukan yang bertujuan untuk membangun situasi kerjasama

(Hendrie, 2021). Oleh karena metode tell-show-do berbasis prinsip-prinsip

teori pembelajaran dan dapat diterapkan pada orang dewasa, maka metode ini

berpotensi untuk digunakan dalam peningkatan pengetahuan dan kemampuan

dalam penerapan protokol kesehatan pada para penyandang retardasi mental


5

yang ada di Rumah Harapan Desa Karangpatihan Ponorogo. Metode tell-

show-do memiliki beberapa kelebihan dibandingkan metode lain, diantaranya

adalah metode filmed modeling. Metode tell-show-do dapat meningkatkan

kemampuan motorik dan kognitif pasien (Yasmin dan Riyanti, 2019). Teknik

tell-show-do dapat meningkatkan kemampuan motorik dan kognitif.

Perkembangan motorik, baik itu motorik kasar maupun halus mempunyai

hubungan kuat dengan kemampuan kognisi dan bicara pada anak dengan

intellectual disability dibandingkan dengan anak tanpa intellectual disability

(Pratidina, dkk., 2020). Penggunaan metode tell-show-do diharapkan dapat

mengurangi kecemasan pada para penyandang retardasi mental yang ada di

Rumah Harapan serta mereka dapat memiliki perilaku kooperatif selama

melaksanakan latihan penerapan 4M, sehingga pengetahuan dan kemampuan

dalam penerapan protokol kesehatan, khususnya kemampuan motorik dan

kognitif juga semakin meningkat.

Selain menggunakan teknik tell-show-do, pengetahuan dan kemampuan

para penyandang retardasi mental dalam penerapan protokol kesehatan juga

dapat dilakukan melalui terapi okupasi (occupational therapy). Definisi terapi

okupasi menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 76

Tahun 2014 adalah bentuk pelayanan kesehatan kepada pasien/klien dengan

kelainan/kecacatan fisik dan/atau mental yang mempunyai gangguan pada

kinerja okupasional, dengan menggunakan aktivitas bermakna (okupasi)

untuk mengoptimalkan kemandirian individu pada area aktivitas kehidupan

sehari-hari, produktivitas dan pemanfaatan waktu luang. Tujuan utama dari


6

terapi okupasi adalah untuk memungkinkan seseorang berpartisipasi dalam

aktivitas kehidupan sehari-hari melalui modifikasi aktivitas maupun

lingkungan yang lebih baik untuk mendukung dalam keikutsertaan

okupasional. Terapi okupasi memiliki beberapa keunggulan, khususnya bagi

para penyandang retardasi mental. Terapi okupasi adalah jenis terapi yang

secara khusus digunakan untuk membantu anak untuk hidup mandiri dengan

berbagai kondisi kesehatan yang telah ada dengan cara memberikan

kesibukan atau aktivitas sehingga anak akan fokus untuk mengerjakan sesuatu

(Jafri, dkk., 2019). Terapi okupasi dapat digunakan sebagai bagian dari

program pengobatan untuk pasien yang mengidap suatu penyakit, seperti

keterlambatan perkembangan sejak lahir, maslah psikologis, atau cedera

jangka panjang. Program terapi okupasi dilakukan apabila seseorang memiliki

kecacatan ganda, seperti tuna grahita dengan tuna daksa, tuna grahita dengan

down syndrom, dan tuna grahita dengan tuna netra. Mekanisme penanganan

terapi okupasi lebih banyak pada pelatihan yang ditunjukan kepada anak

celebral palsy, grahita, idiot dan kejang ringan (Salwahanan dan Permatasari,

2020). Oleh karena itu, penggunaan terapi okupasi diharapkan dapat

meningkatkan pengetahuan dan kemampuan dalam penerapan protokol

kesehatan pada para penyandang retardasi mental.

Berdasarkan uraian di atas, maka teknik tell-show-do dan terapi okupasi

(occupational therapy) dapat diterapkan pada para penyandang retardasi

mental dengan tingkat sedang dan ringan yang ada di Rumah Harapan.

Berkaitan dengan adanya tahapan-tahapan pelaksanaan serta manfaat yang


7

ada pada teknik tell-show-do dan terapi okupasi, peneliti ingin mengetahui

efektivitas kedua teknik atau terapi tersebut dalam peningkatan pengetahuan

dan kemampuan dalam menerapkan protokol kesehatan pada penyandang

retardasi mental yang ada di Rumah Harapan. Diharapkan, dengan adanya

temuan tentang teknik atau terapi yang paling efektif, maka dapat

dimanfaatkan sebagai salah satu cara untuk melakukan intervensi guna

meningkatkan pengetahuan dan kemampuan dalam menerapkan protokol

kesehatan selama pandemi Covid-19 pada penyandang retardasi mental yang

ada di Rumah Harapan Desa Karangpatihan, Kecamatan Balong Kabupaten

Ponorogo. Oleh karena itu, peneliti mengambil judul penelitian: “Perbedaan

Efektivitas Metode Tell-Show-Do dan Terapi Okupasi dalam Penerapan

Protokol Kesehatan Selama Pandemi Covid-19 Pada Penyandang

Retardasi Mental di Ponorogo.”

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang

didapat adalah:

1. Apakah ada perbedaan perilaku dalam penerapan protokol kesehatan

Covid-19 sebelum dan setelah dilakukan metode tell-show-do pada

penyandang retardasi mental di Ponorogo?

2. Apakah ada perbedaan perilaku dalam penerapan protokol kesehatan

Covid-19 sebelum dan setelah dilakukan terapi okupasi pada penyandang

retardasi mental di Ponorogo?


8

3. Apakah ada perbedaan efektivitas metode tell-show-do dan terapi okupasi

terhadap perilaku dalam penerapan protokol kesehatan Covid-19 pada

penyandang retardasi mental di Ponorogo?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Mengidentifikasi efektivitas metode tell-show-do dengan terapi

okupasi terhadap perilaku dalam penerapan protokol kesehatan selama

pandemi Covid-19 pada penyandang retardasi mental di Ponorogo.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi perbedaan perilaku dalam penerapan protokol

kesehatan Covid-19 sebelum dan setelah dilakukan metode tell-show-do

pada penyandang retardasi mental di Ponorogo.

2. Mengidentifikasi perbedaan perilaku dalam penerapan protokol

kesehatan Covid-19 sebelum dan setelah dilakukan terapi okupasi pada

penyandang retardasi mental di Ponorogo.

3. Menganalisis perbedaan efektivitas metode tell-show-do dan terapi

okupasi terhadap perilaku dalam penerapan protokol kesehatan Covid-19

pada penyandang retardasi mental di Ponorogo.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat-manfaat

sebagai berikut:
9

1.4.1 Manfaat Teoritis

1. Untuk meningkatkan pengetahuan berkaitan dengan efektivitas metode

tell-show-do dengan terapi okupasi dalam penerapan protokol kesehatan

selama pandemi Covid-19 pada penyandang retardasi mental.

2. Sebagai bahan kajian di bidang penelitian yang sejenisnya dan sebagai

pengembangan penelitian lebih lanjut.

1.4.2 Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran berkaitan

dengan efektivitas metode tell-show-do dengan terapi okupasi dalam

penerapan protokol kesehatan selama pandemi Covid-19 pada penyandang

retardasi mental di Ponorogo, yang nantinya diharapkan dapat bermanfaat

bagi pihak-pihak sebagai berikut:

1.4.2.1 Bagi Subjek Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan perilaku tentang

pentingnya menerapkan protokol kesehatan selama pandemi Covid-19.

1.4.2.2 Bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Ponorogo

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dalam

kaitannya dengan peningkatan kesadaran masyarakat terhadap penerapan

protokol kesehatan selama pandemi Covid-19.

1.4.2.3 Bagi Pengelola Rumah Harapan Desa Karangpatihan Kabupaten

Ponorogo

Penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai sumber

informasi dalam upaya-upaya peningkatan pengetahuan, kemandirian, dan


10

kemampuan para penyandang retardasi mental, khususnya yang ada di

Rumah Harapan Desa Karangpatihan Kabupaten Ponorogo.

1.4.2.4 Bagi STIKES Bhakti Husada Mulia Madiun

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai sumber referensi dan

pustaka berkaitan dengan efektivitas metode tell-show-do dengan terapi

okupasi dalam penerapan protokol kesehatan selama pandemi Covid-19

pada penyandang retardasi mental.

1.4.2.5 Bagi Peneliti yang Akan Datang

Sebagai sumber referensi berkaitan dengan efektivitas metode tell-

show-do dan terapi okupasi untuk meningkatkan pengetahuan dan

kemandirian pada para penyandang retardasi mental.

1.5 Keaslian Penelitian

Beberapa penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian tentang

Perbedaan Efektifitas Metode Tell-Show-Do dan Terapi Okupasi dalam

Penerapan Protokol Kesehatan Selama Pandemi Covid-19 Pada Penyandang

Retardasi Mental di Ponorogo dapat diuraikan sebagai berikut:


11

Tabel 1.1. Keaslian Penelitian


Nama Peneliti dan Variabel
No. Metode Penelitian Hasil Penelitian Perbedaan Penelitian Persamaan Penelitian
Judul Penelitian Penelitian
1. Clark, et. al. (1997). 1. Variabel bebas: 1. Metode penelitian: Terapi okupasi memiliki 1. Subyek penelitian 1. Terdapat kesamaan
Occcupational Therapy terapi okupasi kuantitatif. beberapa keuntungan terdahulu: orang variabel yang akan
for Independent-Living 2. Variabel terikat: 2. Subyek: 361 orang sebagai treatment dewasa lanjut usia, diteliti, yaitu: terapi
Older Adults. kemandirian sukarelawan dengan preventif pada penelitian saat ini: okupasi sebagai
hidup. berbagai kultur dan kemandirian hidup orang orang dengan retardasi variabel bebas.
berusia 60 tahun atau dewasa yang sudah tua, mental. 2. Metode penelitian:
lebih. yaitu meningkatkan 2. Obyek penelitian kuantitatif.
3. Desain: randomized Based and Instrumental terdahulu: kemandirian 3. Teknik analisis data:
control trial (two Activities of Daily Living hidup, penelitian saat uji t test.
group pretest-postest). (aktivitas dasar dan ini: pengetahuan dan
4. Teknik analisis data: instrumental kehidupan kemampuan dalam
uji t tes. sehari-hari) penerapan protokol
kesehatan
3. Instrumen penelitian
terdahulu: kuesioner,
penelitian saat ini:
observasi
4. Desain penelitian
terdahulu: pretest-
posttest control group
design dengan
randomized control
trial, pada penelitian
saat ini: quasi
experiment dengan two
group pretes-postest
design.
12

Nama Peneliti dan Variabel


No. Metode Penelitian Hasil Penelitian Perbedaan Penelitian Persamaan Penelitian
Judul Penelitian Penelitian
2. Fasalwati. (2016). 1. Variabel bebas: 1. Metode penelitian: Pemberian penyuluhan 1. Subyek penelitian 1. Terdapat kesamaan
Dampak Penyuluhan penyuluhan kuantitatif dengan teknik tell show terdahulu: anak variabel yang akan
dengan Teknik Tell dengan teknik 2. Subyek: 44 anak do adalah upaya yang retardasi mental, diteliti, yaitu: teknik
Show Do terhadap Tell Show Do retardasi mental. kurang efektif untuk penelitian saat ini: tell-show-do sebagai
Tingkat Pengetahuan, 2. Variabel terikat: 3. Desain: observasional meningkatkan orang dengan retardasi variabel bebas serta
Sikap dan Tindakan pengetahuan, analitik dengan pengetahuan, sikap dan mental. pengetahuan, sikap
Penderita Tunagrahita sikap dan pendekatan cross tindakan penderita 2. Obyek penelitian dan tindakan sebagai
Mengenai Kesehatan tindakan. sectional, tunagrahita mengenai terdahulu: variabel terikat
Gigi dan Mulut di SLB 4. Teknik analisis data: kesehatan gigi dan pengetahuan, sikap dan 2. Metode penelitian:
YPAC Makassar. uji Chi-square mulut. tindakan mengenai kuantitatif.
kesehatan gigi
3. Instrumen penelitian
terdahulu: kuesioner
dan tes, penelitian saat
ini: observasi
4. Desain penelitian
terdahulu:
observasional analitik
dengan pendekatan
cross sectional, pada
penelitian saat ini: two
group pretes-postest
design.
5. Teknik analisis data
pada penelitian
terdahulu: uji Chi-
square, pada penelitian
saat ini: uji t test.
13

Nama Peneliti dan Variabel


No. Metode Penelitian Hasil Penelitian Perbedaan Penelitian Persamaan Penelitian
Judul Penelitian Penelitian
3. Mohamed, et. al. 1. Variabel bebas: 1. Metode penelitian: 1. Tidak ada perbedaan 1. Subyek penelitian 1. Terdapat kesamaan
(2018). A Comparative a. Filmed kuantitatif pengaruh antara terdahulu: anak-anak variabel yang akan
Study of Filmed modeling 2. Subyek: 20 orang anak filmed modeling dan yang melaksanakan diteliti, yaitu: teknik
Modeling and Tell- b. Tell-Show- yang dibagi ke dalam 2 teknik tell-show-do perawatan gigi, tell-show-do sebagai
Show-Do Technique on Do technique kelompok, masing- terhadap kecemasan penelitian saat ini: variabel bebas.
Anxiety in Children 2. Variabel terikat: masing beranggotakan anak orang dengan retardasi 2. Metode penelitian:
Undergoing Dental kecemasan 10 anak. 2. Filmed modeling mental. kuantitatif.
Treatment. (anxiety). 3. Desain: randomized berpengaruh 2. Obyek penelitian 3. Teknik analisis data:
clinical trial (two terhadap terdahulu: tingkat uji t test.
group postest only). pengurangan tingkat kecemasan dalam
4. Teknik analisis data: kecemasan anak. melakukan perawatan
uji t tes dan uji 3. Metode tell-show-do gigi, penelitian saat
Pearson’s Correlation terbukti efektif dan ini: pengetahuan dan
efisien dalam kemampuan dalam
mengurangi penerapan protokol
kecemasan pada anak kesehatan
3. Instrumen penelitian
terdahulu: kuesioner
dan tes, penelitian saat
ini: observasi
4. Desain penelitian
terdahulu: randomized
clinical trial (two
group postest only),
pada penelitian saat
ini: quasi experiment
dengan two group
pretes-postest design.
14
Nama Peneliti dan Variabel
No. Metodologi Penelitian Hasil Penelitian Perbedaan Penelitian Persamaan Penelitian
Judul Penelitian Penelitian
4. Johnson dan Variabel 1. Metode penelitian: Terapi okupasi dapat 1. Obyek penelitian 1. Terdapat kesamaan
Blaskowitz. (2019). penelitian: praktik kualitatif berpengaruh dalam terdahulu: partisipasi variabel yang diteliti,
Occupational Therapy terapi okupasi dan 2. Subyek: orang dewasa perencanaan dan orang dewasa dengan yaitu: variabel terapi
Practice with Adults partisipasi orang dengan disabilitas pelaksanaan perawatan intellectual disability, okupasi
with Intellectual dewasa dengan intelektual. dan memungkinkan penelitian saat ini: 2. Subyek penelitian:
Disability: What More disabilitas 3. Teknik analisis data: partisipasi orang dewasa pengetahuan dan orang dengan
Can Do? intelektual dalam analisis deskriptif dengan intellectual kemampuan dalam disabilitas intelektual
prencanaan dan disability melalui penerapan protokol atau penyandang
pelaksanaan intervensi langsung, kesehatan retardasi mental.
perawatan konsultatif, dan berbasis 2. Metode penelitian
advokasi terdahulu: kualitatif,
penelitian saat ini:
kuantitatif
3. Instrumen penelitian
terdahulu:
dokumentasi,
penelitian saat ini:
observasi
4. Teknik analisis data
penelitian terdahulu:
analisis deskritif,
penelitian saat ini: uji t
test.
15

Nama Peneliti dan Variabel


No. Metode Penelitian Hasil Penelitian Perbedaan Penelitian Persamaan Penelitian
Judul Penelitian Penelitian
5. Jafri, dkk. (2019). 1. Variabel bebas: 1. Metode penelitian: Pemberian terapi 1. Subyek penelitian 1. Terdapat kesamaan
Terapi Okupasi terapi okupasi kuantitatif okupasi bina diri terdahulu: siswa variabel yang akan
BinaDiri Terhadap bina diri 2. Subyek: 37 orang berpengaruh signifikan tunagrahita usia diteliti, yaitu: terapi
Kemandirian Pada 2. Variabel terikat: siswa tunagrahita usia terhadap tingkat sekolah, penelitian saat okupasi.
Anak Tunagrahita. kemandirian. sekolah. kemandirian bina diri ini: orang dengan 2. Metode penelitian:
3. Desain: one group pada anak tuna grahita retardasi mental. kuantitatif.
pretest-postest dalam hal menggosok 2. Obyek penelitian 3. Instrumen penelitian:
4. Teknik analisis data: gigi, dimana terjadi terdahulu: kemandirian lembar observasi
uji t tes peningkatan tingkat bina diri, penelitian 4. Teknik analisis data:
kemandirian bina diri saat ini: pengetahuan uji t test.
anak tuna grahita setelah dan kemampuan dalam
4 minggu pemberian penerapan protokol
terapi okupasi bina diri kesehatan
3. Desain penelitian
terdahulu: one group
pretest-postest, pada
penelitian saat ini:
quasi experiment
dengan two group
pretes-postest design.
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pandemi Covid-19

2.1.1 Epidemiologi

Sejak kasus pertama di Wuhan, terjadi peningkatan kasus Covid-19 di

China setiap hari dan memuncak diantara akhir Januari hingga awal

Februari 2020. Awalnya kebanyakan laporan datang dari Hubei dan provinsi

di sekitar, kemudian bertambah hingga ke provinsi-provinsi lain dan seluruh

China (Wu dan McGoogan, 2019). Tanggal 30 Januari 2020, telah terdapat

7.736 kasus terkonfirmasi Covid-19 di China, dan 86 kasus lain dilaporkan

dari berbagai negara seperti Taiwan, Thailand, Vietnam, Malaysia, Nepal,

Sri Lanka, Kamboja, Jepang, Singapura, Arab Saudi, Korea Selatan,

Filipina, India, Australia, Kanada, Finlandia, Prancis, dan Jerman (WHO,

2020).

Covid-19 pertama dilaporkan di Indonesia pada tanggal 2 Maret 2020

sejumlah dua kasus. Data 31 Maret 2020 menunjukkan kasus yang

terkonfirmasi berjumlah 1.528 kasus dan 136 kasus kematian. Tingkat

mortalitas Covid-19 di Indonesia sebesar 8,9%, angka ini merupakan yang

tertinggi di Asia Tenggara (WHO, 2020).

Per 30 Maret 2020, terdapat 693.224 kasus dan 33.106 kematian di

seluruh dunia. Eropa dan Amerika Utara telah menjadi pusat pandemi

Covid-19, dengan kasus dan kematian sudah melampaui China. Amerika

Serikat menduduki peringkat pertama dengan kasus Covid-19 terbanyak

16
17

dengan penambahan kasus baru sebanyak 19.332 kasus pada tanggal 30

Maret 2020 disusul oleh Spanyol dengan 6.549 kasus baru. Italia memiliki

tingkat mortalitas paling tinggi di dunia, yaitu 11,3% (WHO, 2020).

2.1.2 Virologi

Coronavirus adalah virus RNA dengan ukuran partikel 120-160 nm.

Virus ini utamanya menginfeksi hewan, termasuk di antaranya adalah

kelelawar dan unta. Sebelum terjadinya wabah Covid-19, ada 6 jenis

coronavirus yang dapat menginfeksi manusia, yaitu alphacoronavirus 229E,

alphacoronavirus NL63, betacoronavirus OC43, betacoronavirus HKU1,

Severe Acute Respiratory Illness Coronavirus (SARS-CoV), dan Middle East

Respiratory Syndrome Coronavirus (MERS-CoV) (Riedel, et. al., 2019).

Coronavirus yang menjadi etiologi Covid-19 termasuk dalam genus

betacoronavirus. Hasil analisis filogenetik menunjukkan bahwa virus ini

masuk dalam subgenus yang sama dengan coronavirus yang menyebabkan

wabah Severe Acute Respiratory Illness (SARS) pada 2002-2004 silam, yaitu

Sarbecovirus. Atas dasar ini, International Committee on Taxonomy of

Viruses mengajukan nama SARS-CoV-2 (Gorbalenya, et.al., 2020).

Struktur genom virus ini memiliki pola seperti coronavirus pada

umumnya Sekuens SARSCoV-2 memiliki kemiripan dengan coronavirus

yang diisolasi pada kelelawar, sehingga muncul hipotesis bahwa SARS-CoV-

2 berasal dari kelelawar yang kemudian bermutasi dan menginfeksi manusia

(Zhang, 2020). Mamalia dan burung diduga sebagai reservoir perantara

(Rothan and Byrareddy, 2020).


18

Pada kasus Covid-19, trenggiling diduga sebagai reservoir perantara.

Strain coronavirus pada trenggiling adalah yang mirip genomnya dengan

coronavirus kelelawar (90,5%) dan SARS-CoV-2 (91%). Genom SARS-CoV-

2 sendiri memiliki homologi 89% terhadap coronavirus kelelawar ZXC21

dan 82% terhadap SARSCoV (Chan, et. al., 2020).

Hasil pemodelan melalui komputer menunjukkan bahwa SARS-CoV-2

memiliki struktur tiga dimensi pada protein spike domain receptor-binding

yang hampir identik dengan SARS-CoV. Pada SARS-CoV, protein ini

memiliki afinitas yang kuat terhadap angiotensin converting-enzyme ACE2

(Zhang H, et. al, 2020). Pada SARS-CoV-2, data in vitro mendukung

kemungkinan virus mampu masuk ke dalam sel menggunakan reseptor

ACE2. Studi tersebut juga menemukan bahwa SARS-CoV-2 tidak

menggunakan reseptor coronavirus lainnya seperti Aminopeptidase N (APN)

dan Dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4) (Zhou P, et.al., 2020).

2.1.3 Etiologi dan Patogenesis

Patogenesis infeksi Covid-19 belum diketahui seutuhnya. Pada

awalnya diketahui virus ini mungkin memiliki kesamaan dengan SARS dan

MERS CoV, tetapi dari hasil evaluasi genomik isolasi dari 10 pasien,

didapatkan kesamaan mencapai 99% yang menunjukkan suatu virus baru,

dan menunjukkan kesamaan (identik 88%) dengan batderived severe acute

respiratory syndrome (SARS)-like coronaviruses, bat-SL-CoVZC45 dan bat-

SLCoVZXC21, yang diambil pada tahun 2018 di Zhoushan, Cina bagian

Timur, kedekatan dengan SARS-CoV adalah 79% dan lebih jauh lagi dengan
19

MERS-CoV (50%). Analisis filogenetik menunjukkan COVID-19

merupakan bagian dari subgenus Sarbecovirus dan genus Betacoronavirus

(Lu, et. al., 2020).

Penelitian lain menunjukkan protein (S) memfasilitasi masuknya virus

corona ke dalam sel target. Proses ini bergantung pada pengikatan protein S

ke reseptor selular dan priming protein S ke protease selular. Penelitian

hingga saat ini menunjukkan kemungkinan proses masuknya Covid-19 ke

dalam sel mirip dengan SARS. Hal ini didasarkan pada kesamaan struktur

76% antara SARS dan Covid-19. Sehingga diperkirakan virus ini menarget

Angiotensin Converting Enzyme 2 (ACE2) sebagai reseptor masuk dan

menggunakan serine protease TMPRSS2 untuk priming S protein, meskipun

hal ini masih membutuhkan penelitian lebih lanjut (Gao K, et. al., 2020).

Proses imunologik dari host selanjutnya belum banyak diketahui. Dari

data kasus yang ada, pemeriksaan sitokin yang berperan pada ARDS

menunjukkan hasil terjadinya badai sitokin (cytokine storms) seperti pada

kondisi ARDS lainnya. Dari penelitian sejauh ini, ditemukan beberapa

sitokin dalam jumlah tinggi, yaitu: interleukin-1 beta (IL-1β), interferon-

gamma (IFN-γ), inducible protein/CXCL10 (IP10) dan monocyte

chemoattractant protein 1 (MCP1) serta kemungkinan mengaktifkan T-

helper-1 (Th1) (Ceraolo & Giorgi, 2020).

Selain sitokin tersebut, Covid-19 juga meningkatkan sitokin T-helper-

2 (Th2) (misalnya, IL4 and IL10) yang mensupresi inflamasi berbeda dari

SARS-CoV. Data lain juga menunjukkan, pada pasien Covid-19 di ICU


20

ditemukan kadar granulocyte-colony stimulating factor (GCSF), IP10,

MCP1, macrophage inflammatory proteins 1A (MIP1A) dan TNFα yang

lebih tinggi dibandingkan pasien yang tidak memerlukan perawatan ICU.

Hal ini mengindikasikan badai sitokin akibat infeksi Covid-19 berkaitan

dengan derajat keparahan penyakit (Ceraolo & Giorgi, 2020).

2.1.4 Transmisi

Saat ini, penyebaran SARS-CoV-2 dari manusia ke manusia menjadi

sumber transmisi utama sehingga penyebaran menjadi lebih agresif.

Transmisi SARS-CoV-2 dari pasien simptomatik terjadi melalui droplet yang

keluar saat batuk atau bersin (Han and Yang, 2020). Selain itu, telah diteliti

bahwa SARS-CoV-2 dapat viabel pada aerosol (dihasilkan melalui nebulizer)

selama setidaknya 3 jam.23 WHO memperkirakan reproductive number

(R0) Covid-19 sebesar 1,4 hingga 2,5. Namun, studi lain memperkirakan R0

sebesar 3 (Ong et.al., 2020).

Beberapa laporan kasus menunjukkan dugaan penularan dari karier

asimtomatis, namun mekanisme pastinya belum diketahui. Kasus-kasus

terkait transmisi dari karier asimtomatis umumnya memiliki riwayat kontak

erat dengan pasien Covid-19 (Han Y, 2020). Beberapa peneliti melaporan

infeksi SARS-CoV-2 pada neonatus. Namun, transmisi secara vertikal dari

ibu hamil kepada janin belum terbukti pasti dapat terjadi. Bila memang

dapat terjadi, data menunjukkan peluang transmisi vertikal tergolong kecil.

Pemeriksaan virologi cairan amnion, darah tali pusat, dan air susu ibu pada

ibu yang positif Covid-19 ditemukan negatif (Chen H, et. al, 2020). SARS-
21

CoV-2 telah terbukti menginfeksi saluran cerna berdasarkan hasil biopsi

pada sel epitel gaster, duodenum, dan rektum. Virus dapat terdeteksi di

feses, bahkan ada 23% pasien yang dilaporkan virusnya tetap terdeteksi

dalam feses walaupun sudah tak terdeteksi pada sampel saluran napas.

Kedua fakta ini menguatkan dugaan kemungkinan transmisi secara fekal-

oral (Xiao F, et. al., 2020).

Stabilitas SARS-CoV-2 pada benda mati tidak berbeda jauh

dibandingkan SARS-CoV. Eksperimen yang dilakukan (van Doremalen et.

al, 2020) menunjukkan SARSCoV-2 lebih stabil pada bahan plastik dan

stainless steel (>72 jam) dibandingkan tembaga (4 jam) dan kardus (24

jam). Studi lain di Singapura menemukan pencemaran lingkungan yang

ekstensif pada kamar dan toilet pasien Covid-19 dengan gejala ringan. Virus

dapat dideteksi di gagang pintu, dudukan toilet, tombol lampu, jendela,

lemari, hingga kipas ventilasi, namun tidak pada udara.

2.1.5 Faktor Resiko

Berdasarkan data yang sudah ada, penyakit komorbid hipertensi dan

diabetes melitus, jenis kelamin laki-laki, dan perokok aktif merupakan

faktor risiko dari infeksi SARS-CoV-2. Distribusi jenis kelamin yang lebih

banyak pada laki-laki diduga terkait dengan prevalensi perokok aktif yang

lebih tinggi. Pada perokok, hipertensi, dan diabetes melitus, diduga ada

peningkatan ekspresi reseptor ACE2 (Fang L, et. al., 2020).

Lansia dapat mengalami perubahan fisik dan perubahan psikologis

karena proses degeneratif. Menua adalah suatu proses kehilangan secara


22

perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti

dan mempertahankan fungsi normal sehingga tidak dapat bertahan terhadap

infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita. Proses menua merupakan

proses yang terus menerus (berlanjut) secara alamiah. Sejauh ini, virus

Corona terlihat lebih sering menyebabkan infeksi berat dan kematian pada

orang lanjut usia (lansia) dibanding dengan orang dewasa atau anak. Jumlah

penderita dan kasus kematian akibat infeksi virus Corona pada lansia setiap

harinya terus meningkat akibat imunitas lansia berkurang (Adisasmito W,

2020).

Diaz JH43 menduga pengguna penghambat ACE (ACE-I) atau

angiotensin receptor blocker (ARB) berisiko mengalami Covid-19 yang

lebih berat. Terkait dugaan ini, European Society of Cardiology (ESC)

menegaskan bahwa belum ada bukti meyakinkan untuk menyimpulkan

manfaat positif atau negatif obat golongan ACE-i atau ARB, sehingga

pengguna kedua jenis obat ini sebaiknya tetap melanjutkan pengobatannya

(ESC, 2020).

Infeksi saluran napas akut yang menyerang pasien HIV umumnya

memiliki risiko mortalitas yang lebih besar dibanding pasien yang tidak

HIV. Namun, hingga saat ini belum ada studi yang mengaitkan HIV dengan

infeksi SARS-CoV-2 (Soriano & Barrerio, 2020). Hubungan infeksi SARS-

CoV-2 dengan hipersensitivitas dan penyakit autoimun juga belum

dilaporkan (Conforti, et. al., 2020). Belum ada studi yang menghubungkan

riwayat penyakit asma dengan kemungkinan terinfeksi SARS-CoV-2.


23

Namun, studi meta-analisis yang dilakukan oleh Yang J, et. al. (2020)

menunjukkan bahwa pasien Covid-19 dengan riwayat penyakit sistem

respirasi akan cenderung memiliki manifestasi klinis yang lebih parah.

Beberapa faktor risiko lain yang ditetapkan oleh Centers for Disease

Control and Prevention (CDC) adalah kontak erat, termasuk tinggal satu

rumah dengan pasien Covid-19 dan riwayat perjalanan ke area terjangkit.

Berada dalam satu lingkungan namun tidak kontak dekat (dalam radius 2

meter) dianggap sebagai risiko rendah. Tenaga medis merupakan salah satu

populasi yang berisiko tinggi tertular. Di Italia, sekitar 9% kasus Covid-19

adalah tenaga medis. Di China, lebih dari 3.300 tenaga medis juga

terinfeksi, dengan mortalitas sebesar 0,6% (Wang J, et. al., 2020).

2.1.6 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis pasien Covid-19 memiliki spektrum yang luas,

mulai dari tanpa gejala (asimtomatik), gejala ringan, pneumonia, pneumonia

berat, ARDS, sepsis, hingga syok sepsis. Sekitar 80% kasus tergolong

ringan atau sedang, 13,8% mengalami sakit berat, dan sebanyak 6,1% pasien

jatuh ke dalam keadaan kritis. Berapa besar proporsi infeksi asimtomatik

belum diketahui. Viremia dan viral load yang tinggi dari swab nasofaring

pada pasien yang asimptomatik telah dilaporkan (Kam KQ, et. al., 2020).

Gejala ringan didefinisikan sebagai pasien dengan infeksi akut saluran

napas atas tanpa komplikasi, bisa disertai dengan demam, fatigue, batuk

(dengan atau tanpa sputum), anoreksia, malaise, nyeri tenggorokan, kongesti

nasal, atau sakit kepala. Pasien tidak membutuhkan suplementasi oksigen.


24

Pada beberapa kasus pasien juga mengeluhkan diare dan muntah. Pasien

Covid-19 dengan pneumonia berat ditandai dengan demam, ditambah salah

satu dari gejala: (1) frekuensi pernapasan >30x/menit (2) distres pernapasan

berat, atau (3) saturasi oksigen 93% tanpa bantuan oksigen. Pada pasien

geriatri dapat muncul gejala-gejala yang atipikal (WHO, 2020).

Sebagian besar pasien yang terinfeksi SARS-CoV-2 menunjukkan

gejalagejala pada sistem pernapasan seperti demam, batuk, bersin, dan sesak

napas. Berdasarkan data 55.924 kasus, gejala tersering adalah demam, batuk

kering, dan fatigue. Gejala lain yang dapat ditemukan adalah batuk

produktif, sesak napas, sakit tenggorokan, nyeri kepala, mialgia/artralgia,

menggigil, mual/muntah, kongesti nasal, diare, nyeri abdomen, hemoptisis,

dan kongesti konjungtiva. Lebih dari 40% demam pada pasien COVID-19

memiliki suhu puncak antara 38,1-39°C, sementara 34% mengalami demam

suhu lebih dari 39°C (Huang C, et. al., 2020).

Perjalanan penyakit dimulai dengan masa inkubasi yang lamanya

sekitar 3-14 hari (median 5 hari). Pada masa ini leukosit dan limfosit masih

normal atau sedikit menurun dan pasien tidak bergejala. Pada fase

berikutnya (gejala awal), virus menyebar melalui aliran darah, diduga

terutama pada jaringan yang mengekspresi ACE2 seperti paru-paru, saluran

cerna dan jantung. Gejala pada fase ini umumnya ringan. Serangan kedua

terjadi empat hingga tujuh hari setelah timbul gejala awal. Pada saat ini

pasien masih demam dan mulai sesak, lesi di paru memburuk, limfosit

menurun. Penanda inflamasi mulai meningkat dan mulai terjadi


25

hiperkoagulasi. Jika dak teratasi, fase selanjutnya inflamasi makin tak

terkontrol, terjadi badai sitokin yang mengakibatkan ARDS, sepsis, dan

komplikasi lainnya (WHO, 2020).

2.1.7 Pencegahan

Masyarakat memiliki peran penting dalam memutus mata rantai

penularan Covid-19 agar tidak menimbulkan sumber penularan baru.

Mengingat cara penularannya berdasarkan droplet infection dari individu ke

individu, maka penularan dapat terjadi baik di rumah, perjalanan, tempat

kerja, tempat ibadah, tempat wisata maupun tempat lain dimana terdapat

orang berinteraksi sosial.

Penularan Covid-19 terjadi melalui droplet yang mengandung virus

SARSCoV-2 yang masuk ke dalam tubuh melalui hidung, mulut dan mata,

untuk itu pencegahan penularan Covid-19 pada individu dilakukan dengan

beberapa tindakan, seperti (Kemenkes RI, 2020):

1. Membersihkan tangan secara teratur dengan cuci tangan pakai sabun dan

air mengalir selama 40-60 detik atau menggunakan cairan antiseptik

berbasis alkohol (handsanitizer) minimal 20-30 detik. Hindari

menyentuh mata, hidung dan mulut dengan tangan yang tidak bersih.

2. Menggunakan alat pelindung diri berupa masker yang menutupi hidung

dan mulut jika harus keluar rumah atau berinteraksi dengan orang lain

yang tidak diketahui status kesehatannya (yang mungkin dapat

menularkan Covid-19).
26

3. Menjaga jarak minimal 1 meter dengan orang lain untuk menghindari

terkena droplet dari orang yang yang batuk atau bersin. Jika tidak

memungkin melakukan jaga jarak maka dapat dilakukan dengan berbagai

rekayasa administrasi dan teknis lainnya.

4. Membatasi diri terhadap interaksi / kontak dengan orang lain yang tidak

diketahui status kesehatannya.

5. Saat tiba di rumah setelah bepergian, segera mandi dan berganti pakaian

sebelum kontak dengan anggota keluarga di rumah.

6. Meningkatkan daya tahan tubuh dengan menerapkan pola hidup bersih

dan sehat (PHBS) seperti konsumsi gizi seimbang, aktivitas fisik minimal

30 menit sehari, istirahat yang cukup termasuk pemanfaatan kesehatan

tradisional. Pemanfaatan kesehatan tradisional, salah satunya dilakukan

dengan melaksanakan asuhan mandiri kesehatan tradisional melalui

pemanfaatan Taman Obat Keluarga (TOGA) dan akupresur.

7. Mengelola penyakit penyerta/komorbid agar tetap terkontrol

8. Mengelola kesehatan jiwa dan psikososial Kondisi kesehatan jiwa dan

kondisi optimal dari psikososial dapat tingkatkan melalui:

a. Emosi positif: gembira, senang dengan cara melakukan kegiatan dan

hobi yang disukai, baik sendiri maupun bersama keluarga atau teman

dengan mempertimbangkan aturan pembatasan sosial berskala besar

di daerah masing-masing

b. Pikiran positif: menjauhkan dari informasi hoax, mengenang semua

pengalaman yang menyenangkan, bicara pada diri sendiri tentang hal


27

yang positif (positive self-talk), responsif (mencari solusi) terhadap

kejadian, dan selalu yakin bahwa pandemi akan segera teratasi;

c. Hubungan sosial yang positif: memberi pujian, memberi harapan antar

sesama, saling mengingatkan cara-cara positif, meningkatkan ikatan

emosi dalam keluarga dan kelompok, menghindari diskusi yang

negatif, tetap melakukan komunikasi secara daring dengan keluarga

dan kerabat.

9. Apabila sakit menerapkan etika batuk dan bersin. Jika berlanjut segera

berkonsultasi dengan dokter/tenaga kesehatan

10. Menerapkan adaptasi kebiasaan baru dengan melaksanakan protokol

kesehatan dalam setiap aktivitas.

2.2 Penerapan Protokol Kesehatan

2.2.1 Konsep Protokol Kesehatan Covid-19

Protokol kesehatan adalah aturan dan ketentuan yang perlu diikuti

oleh segala pihak agar dapat beraktivitas secara aman pada saat pandemi

Covid-19. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

Nomor HK.01.07/MENKES/382/2020 tentang Protokol Kesehatan Bagi

Masyarakat di Tempat dan Fasilitas Umum dalam Rangka Pencegahan dan

Pengendalian Corona Virus Disease 2019 (Covid-19), ruang lingkup

protokol kesehatan ini meliputi upaya pencegahan dan pengendalian

COVID-19 di tempat dan fasilitas umum dengan memperhatikan aspek

perlindungan kesehatan individu dan titik-titik kritis dalam perlindungan

kesehatan masyarakat, yang melibatkan pengelola, penyelenggara, atau


28

penanggung jawab tempat dan fasilitas umum serta masyarakat pengguna.

Adapun tujuannya adalah meningkatkan upaya pencegahan dan

pengendalian COVID-19 bagi masyarakat di tempat dan fasilitas umum

dalam rangka mencegah terjadinya episenter/kluster baru selama masa

pandemi.

2.2.2 Prinsip Umum Protokol Kesehatan Covid-19

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

HK.01.07/MENKES/382/2020 tentang Protokol Kesehatan Bagi

Masyarakat di Tempat dan Fasilitas Umum dalam Rangka Pencegahan dan

Pengendalian Corona Virus Disease 2019 (Covid-19), protokol kesehatan

secara umum harus memuat:

1. Perlindungan Kesehatan Individu

Penularan COVID-19 terjadi melalui droplet yang dapat menginfeksi

manusia dengan masuknya droplet yang mengandung virus SARS-CoV-2

ke dalam tubuh melalui hidung, mulut, dan mata. Prinsip pencegahan

penularan Covid-19 pada individu dilakukan dengan menghindari

masuknya virus melalui ketiga pintu masuk tersebut dengan beberapa

tindakan, seperti:

a. Menggunakan alat pelindung diri berupa masker yang menutupi

hidung dan mulut hingga dagu, jika harus keluar rumah atau

berinteraksi dengan orang lain yang tidak diketahui status

kesehatannya (yang mungkin dapat menularkan Covid-19). Apabila

menggunakan masker kain, sebaiknya gunakan masker kain 3 lapis.


29

b. Membersihkan tangan secara teratur dengan cuci tangan pakai sabun

dengan air mengalir atau menggunakan cairan antiseptik berbasis

alkohol/handsanitizer. Selalu menghindari menyentuh mata, hidung,

dan mulut dengan tangan yang tidak bersih (yang mungkin

terkontaminasi droplet yang mengandung virus).

c. Menjaga jarak minimal 1 meter dengan orang lain untuk menghindari

terkena droplet dari orang yang bicara, batuk, atau bersin, serta

menghindari kerumunan, keramaian, dan berdesakan. Jika tidak

memungkinkan melakukan jaga jarak maka dapat dilakukan berbagai

rekayasa administrasi dan teknis lainnya. Rekayasa administrasi dapat

berupa pembatasan jumlah orang, pengaturan jadwal, dan sebagainya.

Sedangkan rekayasa teknis antara lain dapat berupa pembuatan partisi,

pengaturan jalur masuk dan keluar, dan lain sebagainya.

d. Meningkatkan daya tahan tubuh dengan menerapkan Perilaku Hidup

Bersih dan Sehat (PHBS) seperti mengkonsumsi gizi seimbang,

aktivitas fisik minimal 30 menit sehari dan istirahat yang cukup

(minimal 7 jam), serta menghindari faktor risiko penyakit. Orang yang

memiliki komorbiditas/penyakit penyerta/kondisi rentan seperti

diabetes, hipertensi, gangguan paru, gangguan jantung, gangguan

ginjal, kondisi immunocompromised/penyakit autoimun, kehamilan,

lanjut usia, anak-anak, dan lain lain, harus lebih berhati-hati dalam

beraktifitas di tempat dan fasilitas umum.


30

2. Perlindungan Kesehatan Masyarakat

Perlindungan kesehatan masyarakat merupakan upaya yang harus

dilakukan oleh semua komponen yang ada di masyarakat guna mencegah

dan mengendalikan penularan Covid-19. Potensi penularan COVID-19 di

tempat dan fasilitas umum disebabkan adanya pergerakan, kerumunan,

atau interaksi orang yang dapat menimbulkan kontak fisik. Dalam

perlindungan kesehatan masyarakat peran pengelola, penyelenggara, atau

penanggung jawab tempat dan fasilitas umum sangat penting untuk

menerapkan sebagai berikut:

a. Unsur pencegahan (prevent)

1) Kegiatan promosi kesehatan (promote) dilakukan melalui

sosialisasi, edukasi, dan penggunaan berbagai media informasi

untuk memberikan pengertian dan pemahaman bagi semua orang,

serta keteladanan dari pimpinan, tokoh masyarakat, dan melalui

media mainstream.

2) Kegiatan perlindungan (protect) antara lain dilakukan melalui

penyediaan sarana cuci tangan pakai sabun yang mudah diakses

dan memenuhi standar atau penyediaan handsanitizer, upaya

penapisan kesehatan orang yang akan masuk ke tempat dan fasilitas

umum, pengaturan jaga jarak, disinfeksi terhadap permukaan,

ruangan, dan peralatan secara berkala, serta penegakkan

kedisplinan pada perilaku masyarakat yang berisiko dalam

penularan dan tertularnya Covid-19 seperti berkerumun, tidak


31

menggunakan masker, merokok di tempat dan fasilitas umum dan

lain sebagainya.

b. Unsur penemuan kasus (detect)

1) Fasilitasi dalam deteksi dini untuk mengantisipasi penyebaran

Covid-19, yang dapat dilakukan melalui berkoordinasi dengan

dinas kesehatan setempat atau fasilitas pelayanan kesehatan.

2) Melakukan pemantauan kondisi kesehatan (gejala demam, batuk,

pilek, nyeri tenggorokan, dan/atau sesak nafas) terhadapsemua

orang yang ada di tempat dan fasilitas umum.

c. Unsur penanganan secara cepat dan efektif (respond)

Melakukan penanganan untuk mencegah terjadinya penyebaran yang

lebih luas, antara lain berkoordinasi dengan dinas kesehatan setempat

atau fasilitas pelayanan kesehatan untuk melakukan pelacakan kontak

erat, pemeriksaan rapid test atau Real Time Polymerase Chain

Reaction (RT-PCR), serta penanganan lain sesuai kebutuhan.

Terhadap penanganan bagi yang sakit atau meninggal di tempat dan

fasilitas umum merujuk pada standar yang berlaku sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

Substansi protokol kesehatan pada masyarakat harus

memperhatikan titik kritis dalam penularan Covid-19 yang meliputi jenis

dan karakteristik kegiatan/aktivitas, besarnya kegiatan, lokasi kegiatan

(outdor/indoor), lamanya kegiatan, jumlah orang yang terlibat, kelompok

rentan seperti ibu hamil, balita, anak-anak, lansia, dan penderita


32

komorbid, atau penyandang disabilitas yang terlibat dan lain sebagainya.

Dalam penerapan protokol kesehatan harus melibatkan peran pihak-pihak

yang terkait termasuk aparat yang akan melakukan penertiban dan

pengawasan. Mengacu pada uraian di atas, substansi penerapan

kebiasaan 4M, yaitu memakai masker, mencuci tangan pakai sabun dan

air mengalir, menjaga jarak (minimal 1 meter), dan menghindari

kerumunan.

2.2.3 Perilaku Kesehatan dalam Penerapan Protokol Kesehatan

Keberhasilan penerapan protokol kesehatan Covid-19 dapat ditentukan

dari adanya perilaku kesehatan.

2.2.3.1 Definisi Perilaku Kesehatan

Perilaku adalah pada dasarnya berorientasi pada tujuan. Perilaku

pada umumnya dimotivasi oleh suatu keinginan untuk mencapai tujuan

tertentu. Tujuan spesifik tersebut tidak selalu diketahui secara sadar oleh

individu yang bersangkutan (Winardi, 2019). Perilaku adalah hasil atau

resultan antara stimulus (faktor eksternal) dengan respons (faktor

internal) dalam subjek atau orang yang berperilaku tersebut.

Beberapa definisi perilaku kesehatan yang telah dirumuskan oleh

beberapa ahli di antaranya: Khoso, Yew dan Mutalib (2016)

mengemukakan bahwa perilaku kesehatan adalah setiap aktivitas yang

dilakukan oleh seseorang yang meyakini dirinya sehat, untuk tujuan

mencegah penyakit atau mendeteksi penyakit dalam tahap tanpa gejala.


33

Selain itu, Conner dan Norman (2006) dalam Widayati (2019)

mendefinisikan perilaku kesehatan sebagai setiap aktivitas yang

dilakukan untuk tujuan mencegah atau mendeteksi penyakit atau untuk

meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan.

Sementara itu Gochman (1997) dalam Widayati (2019)

mengemukakan bahwa perilaku kesehatan adalah pola perilaku, tindakan

dan kebiasaan yang berhubungan dengan pemeliharaan kesehatan,

pemulihan kesehatan, peningkatan kesehatan.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat dikatakan bahwa

perilaku kesehatan adalah aktivitas yang dilakukan oleh seserang yang

akan berdampak positif atau negatif pada status kesehatannya.

2.2.3.2 Dimensi Perilaku Kesehatan

Menurut Khoso, Yew dan Mutalib (2016) perilaku kesehatan

tersebut terdiri dari empat dimensi, yaitu:

1. Perilaku Kesehatan Preventif (Preventive Health Behavior)

Perilaku kesehatan preventif yaitu dimensi perilaku kesehatan yang

bersifat mencegah penularan penyakit atau keluhan kesehatan.

Misalnya, mengikuti protokol kesehatan melakukan imunisasi,

mengkonsumsi makanan sehat, melakukan olahraga rutin 30 menit

setiap hari, dan tidak merokok.

2. Perilaku Kesehatan Detektif (Detective Health Behavior)

Perilaku kesehatan detektif yaitu dimensi perilaku kesehatan yang

bersifat detektif atau mendeteksi keluhan kesehatan. Misalnya pada


34

masa pandemi Covid-19 pemerintah melakukan upaya surveilans yaitu

pemantauan yang berlangsung terus menerus terhadap kelompok

berisiko seperti pemeriksaan RT PCR, maupun pemeriksaan Rapid

Test.

3. Perilaku Promosi Kesehatan (Health Promotion Behavior)

Perilaku promosi kesehatan yaitu dimensi perilaku kesehatan yang

bersifat promotif atau meningkatkan status kesehatan. Dimensi ini mirip

dengan dimensi preventif namun lebih ditujukan untuk meningkatkan

kualitas kesehatan.

4. Perilaku Perlindungan Kesehatan

Perilaku perlindungan kesehatan yaitu dimensi perilaku kesehatan yang

bersifat melindungi individu dari masalah kesehatan. Misalnya,

pemberlakukan kebijakan karantina mandiri dengan menerapkan PHBS

dan physical distancing.

2.2.3.3 Faktor-Faktor Pembentukan Perilaku Kesehatan

Teori pembentukan perilaku lainnya dikemukakan oleh Lawrance

Green dkk. dalam Notoatmodjo (2012), yang mengemukakan bahwa

perilaku manusia dipengaruhi oleh dua faktor pokok, yaitu faktor perilaku

(behaviour causes) dan faktor di luar perilaku (non behaviour causes).

Selanjutnya perilaku itu sendiri terbentuk dari 3 (tiga) faktor yaitu

(Notoatmodjo, 2012):

1. Faktor predisposisi (predisposing factors), yang mencakup

pengetahuan, sikap, keyakinan, kepercayaan, nilai-nilai, tradisi dan


35

sebagainya. Pada penelitian ini, faktor predisposisi dibatasi pada

pengetahuan terhadap protokol kesehatan.

Pengetahuan adalah hasil tahu, dan ini terjadi setelah orang

melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan

terjadi melalui panca indra manusia, yakni: indra panglihatan,

pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagaian besar pengetahuan

manusia diperoleh melalui mata dan telinga.

Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari

pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Sebelum orang

mengadopsi perilaku baru, dalam diri orang tersebut terjadi proses

yang berurutan, yang disebut AIETA (Rogers dalam Notoatmodjo,

2012), yakni:

a. Awareness (kesadaran), dimana orang tersebut menyadari dalam arti

mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (objek).

b. Interest (merasa tertarik) terhadap stimulus atau objek tersebut.

Disini sikap subjek sudah mulai timbul.

c. Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya

stimulus tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah

lebih baik lagi.

d. Trial, di mana subjek mulai mencoba melakukan seseuatu sesuai

dengan apa yang dikehendaki oleh stimulus.

e. Adoption, dimana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan

pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus.


36

Pengetahuan yang dicakup dalam domain kognitif mempunyai

enam tingkat, yaitu:

a. Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari

sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah

mengingat kembali terhadap suatu yang spesifik sari seluruh

rangsangan yang telah diterima. Tahu merupakan tingkat

pengetahuan yang paling rendah. kata kerja untuk mengukur bahwa

orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain: menyebutkan,

menguraikan, mendefinisikan, menyatakan, dan sebagainya. Contoh:

dapat menguraikan apa pengertian dari protokol kesehatan, dan lain

sebagainya.

b. Memahami (comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara

benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasi

materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek

atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh,

menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya. Misalnya, dapat

menjelaskan mengapa harus menerapkan protokol kesehatan.

c. Aplikasi

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi

yang dipelajari pada situasi atau kondisi riil (sebenarnya). Misalnya,

dapat menggunakan rumus statistik dalam perhitungan hasil


37

penelitian.

d. Analisis

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau

suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam

suatu struktur organisasi tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama

lain. Kemampuan analisis dapat dilihat dari penggunaan kata-kata

kerja.

e. Sintesis

Sintesis menunjuk pada suatu kemampuan untuk meletakkan atau

menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan

yang baru. Misalnya, dapat merencanakan, dapat meringkas, dapat

menyesuaikandan sebagainya.

f. Evaluasi

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan

penilaian terhadap suatu materi. Penilaian- penilaian itu berdasarkan

suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau mengunakan kriteria yang

ada. Misalnya, dapat membandingkan antara lingkungan yang sehat

dengan yang tidak sehat.

Menurut Budiman dan Riyanto (2013) faktor-faktor yang

mempengaruhi pengetahuan meliputi faktor internal dan eksternal:

a. Faktor Internal

1) Usia

Semakin bertambahnya usia maka semakin berkembang pula


38

daya tangkap dan pola pikir sehingga pengetahuan yang

diperoleh semakin membaik.

2) Pengalaman

Pengalaman yang dikembangkan memberikan pengetahuan dan

keterampilan professional, serta mengembangkan kemampuan

mengambil keputusan yang merupakan manifestasi keterpaduan

menalar secara ilmiahdan etnik yang bertolah dari masalah nyata.

b. Faktor Eksternal

1) Pendidikan

Semakin tinggi pendidikan seseorang, maka semakin mudah juga

orang tersebut menerima informasi. Dengan pendidikan tinggi,

seseorang cenderung mendapat informasi baik dari orang lain

maupun dari media masa.

2) Informasi

Informasi yang diperoleh dari pendidikan formal maupun non

formal memberikan pengaruh jangka pendek hingga

menghasilkan perubahan pengetahuan. Media massa seperti

televisi, radio, serta majalah berpengaruh dalam pembentukan

opini dan kepercayaan.

3) Ekonomi

Status ekonomi juga menentukan informasi yang diperoleh,

sehingga mempengaruhi pengetahuan seseorang.


39

4) Lingkungan

Lingkungan berpengaruh pada proses masuknya pengetahuan ke

individu berbeda-beda. Ini karena adanya interaksi timbal balik

yang akan direspon sebagai pengetahuan oleh individu.

2. Faktor pendukung atau pemungkin (enabling factor), yaitu faktor yang

memungkinkan atau yang memfasilitasi perilaku atau tindakan.

Yang dimaksud dengan faktor pemungkin adalah sarana dan

prasarana atau fasilitas, bisa berupa media untuk terjadinya perilaku

kesehatan. Faktor pemungkin terwujud dalam fasilitas atau sarana-

sarana kesehatan. Faktor pemungkin dalam penelitian ini adalah metode

atau terapi sebagai cara penyampaian pesan kepada sasaran, agar tujuan

promosi kesehatan tercapai. Metode dan terapi tersebut sebagai

promosi kesehatan tentang penerapan protokol kesehatan selama

pandemi Covid-19 yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan,

sikap dan keterampilan atau tindakan dalam menerapkan protokol

kesehatan.

3. Faktor pendorong atau penguat (reinforcement factor), yaitu faktor

yang mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku, meliputi

undang-undang, peraturan-peraturan, pengawasan, teladan dari para

tokoh panutan dan sebagainya (Notoatmodjo, 2012).

Kesimpulan dari penjelasan di atas adalah bahwa perilaku seseorang

atau masyarakat itu salah satunya dipengaruhi oleh pengetahuan dan sikap

dimana peningkatan pengetahuan dan perubahan sikap dapat dilakukan


40

dengan menyampaikan promosi kesehatan dengan menggunakan suatu

metode atau terapi. Adapun promosi kesehatan yang digunakan dalam

penelitian ini adalah dengan metode tell-show-do dan terapi okupasi.

2.3 Metode Tell-Show-Do

2.3.1 Pengertian Tell-Show-Do

Metode tell-show-do telah diperkenalkan dan dikembangkan oleh

Addelston pada tahun 1959 dan cara ini cukup sederhana dan efektif. Teknik

ini menggunakan beberapa konsep teori belajar dan dapat disebut sebagai

pembentukan perilaku. Metode tell-show-do merupakan salah satu teknik

popular yang menggunakan pendekatan informasi dan penjelasan (Gracia,

2015).

Esensi tell-show-do (TSD) adalah untuk memberitahu (tell) peserta

tentang perawatan yang akan dilakukan, untuk menunjukkan (show)

kepadanya setidaknya beberapa bagian dari bagaimana hal itu akan

dilakukan, dan kemudian melakukannya (do). Mengantisipasi emosi peserta

akan memungkinkan pelaksana metode ini untuk menjelaskan prosedur

yang harus dilakukan dan memberi sensasi kepada peserta tentang apa yang

harus diharapkan (Thuruvan, 2012).

Pada dasarnya, metode tell-show-do sebenarnya merupakan prinsip

dasar yang digunakan bidang kedokteran gigi anak dengan memperkenalkan

anak pada prosedur perawatan gigi dan mulut secara bertahap. Menurut

Sharma, et. al. (2016) metode ini merupakan metode membentuk perilaku

yang dilakukan dengan teknik komunikasi verbal dan non-verbal.


41

Metode tell-show-do merupakan sebuah metode yang dilakukan

dengan tahapan pemberian informasi, lalu memberikan visualisasi/peragaan

dan setelah anak mengerti, tahapan tersebut dilakukan (Amir, 2016).

2.3.2 Prosedur Tell-Show-Do

Menurut Gracia (2015) metode tell-show-do meliputi 3 tahap, yaitu

memperkenalkan dan memberitahu pasien tentang prosedur tindakan yang

akan dijalaninya (tell), lalu menunjukkan bagaimana prosedur itu berjalan

(show), dan akhirnya melaksanakan tindakan tersebut (do).

Mengacu pada pendapat di atas, maka prosedur tell-show-do yang

digunakan dalam melaksanakan latihan penerapan 4M pada para

penyandang retardasi mental yang ada di Rumah Harapan, sehingga

pengetahuan dan kemampuan dalam penerapan protokol kesehatan

meningkat, dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Tell; menjelaskan prosedur penerapan protokol kesehatan dengan

pelaksanaan latihan penerapan 4M yang akan dilakukan dengan

menggunakan bahasa yang sesuai dengan tingkat pemahaman untuk

orang dengan retardasi mental.

2. Show; menunjukkan prosedur penerapan protokol kesehatan dengan

pelaksanaan latihan penerapan 4M yang akan dilakukan tanpa

memberikan ketakutan pada para penyandang retardasi mental.

3. Do; para penyandang retardasi mental ditugaskan untuk menyelesaikan

prosedur penerapan protokol kesehatan dengan pelaksanaan latihan

penerapan 4M seperti yang telah dicontohkan.


42

2.3.3 Kegunaan Tell-Show-Do

Metode tell-show-do salah satu cara pendekatan yang biasa dilakukan

dengan membangun kepercayaan antara dokter gigi dan pasien. Dengan

kunjungan yang berulang dan pengenalan terhadap peralatan kedokteran

gigi, dapat mengenalkan pasien terhadap lingkungan. Hindari tindakan yang

dapat menimbulkan rasa sakit, terutama pada anak berkebutuhan khusus

yang mengalami gangguan ental. Yang terutama pada TSD adalah

menceritakan mengenai perawatan yang akan dilakukan, memperlihatkan

padanya beberapa bagian perawatan, bagaimana itu akan dikerjakan, dan

kemudian mengerjakannya (Herdiyati dan Sasmita, 2014).

Penatalaksanaan metode tell-show-do memerlukan hubungan timbal

balik. Pada saat melakukan tell, akan timbul pertanyaan-pertanyaan dari

peserta tentang informasi yang dibutuhkan dan sebagai bentuk izin untuk

melanjutkan ke tahap selanjutnya, yaitu show dan do. Proses ini dapat

menyeimbangkan rasa takut yang muncul dari peserta secara fisik maupun

emosi (Armfield and Heaton, 2013).

Metode tell-show-do dianggap sangat efektif dalam mengatasi

perilaku pesertanya. Terapis yang menggunakan metode ini harus

mendemonstrasikan macam instrumen secara bertahap sebelum

mengaplikasikannya melalui komunikasi verbal dan melakukannya. Saat

melakukan suatu prosedur, terapis diharapkan untuk memperlihatkan

seluruh prosedur pada peserta. Teknik ini dapat mengatasi ketakutan atau
43

kecemasan dengan baik apabila peserta dapat melihat prosedur yang

ditunjukkan terapis (McDonald, et.al., 2016).

Metode tell-show-do dapat meningkatkan kemampuan motorik dan

kognitif pasien (Yasmin dan Riyanti, 2019). Teknik tell-show-do dapat

meningkatkan kemampuan motorik dan kognitif. Perkembangan motorik,

baik itu motorik kasar maupun halus mempunyai hubungan kuat dengan

kemampuan kognisi dan bicara pada anak dengan intellectual disability

dibandingkan dengan anak tanpa intellectual disability (Pratidina, dkk.,

2020).

Penggunaan metode tell-show-do diharapkan dapat mengurangi

kecemasan pada para penyandang retardasi mental yang ada di Rumah

Harapan serta mereka dapat memiliki perilaku kooperatif selama

melaksanakan latihan penerapan 4M, sehingga pengetahuan dan

kemampuan dalam penerapan protokol kesehatan, khususnya kemampuan

motorik dan kognitif juga semakin meningkat.

2.4 Terapi Okupasi

2.4.1 Pengertian Terapi Okupasi

Terapi okupasi atau occupational theraphy berasal dari kata

occupational dan theraphy, occupational sendiri berarti aktivitas dan

theraphy adalah penyembuhan dan pemulihan. Eleonor Clark Slagle adalah

salah satu pioneer dalam pengembangan ilmu OT atau terapi okupasi,

bersama dengan Adolf Meyer, William Rush Dutton. Terapi okupasi pada

anak memfasilitasi sensory dan fungsi motorik yang sesuai pada


44

pertumbuhan dan perkembangan anak untuk menunjang kemampuan anak

dalam bermain, belajar dan berinteraksi di lingkungannya. Terapi okupasi

adalah terapi yang dilakukan melalui kegiatan atau pekerjaan terhadap anak

yang mengalami gangguan kondisi sensori motor (Kosasih, 2012).

Terapi okupasi adalah suatu ilmu dan seni pengarahan partisipasi

seseorang untuk melaksanakan suatu tugas tertentu yang telah ditentukan

dengan maksud untuk memperbaiki, memperkuat, dan meningkatkan

kemampuan, serta mempermudah belajar keahlian atau fungsi yang

dibutuhkan dalam proses penyesuaikan diri dengan lingkungan. Selain itu,

juga untuk meningkatkan produkivitas, mengurangi dan atau memperbaiki

ketidaknormalan (kecacatan), serta memelihara atau meningkatkan derajat

kesehatan. Terapi okupasi lebih dititik beratkan pada pengenalan

kemampuan yang masih ada pada seseorang, kemudian memelihara atau

meningkatkannya sehingga dia mampu mengatasi masalah-masalah yang

diharapkannya (Nasir & Muhith, 2011).

Menurut Bilqis (2012) terapi okupasi merupakan upaya penyembuhan

terhadap seseorang yang mengalami kelainan fisik dan mental dengan cara

memberikan keaktifan kerja sehingga keaktifan tersebut untuk mengurangi

penderitaan yang dialami oleh penderita. Terapi okupasi tidak terbatas pada

aktivitas fisik semata, tetapi juga mencakup pengembangan intelektualitas,

kemampuan sosial, emosi, dan kreativitas.

Setiawan (2020) juga menjelaskan bahwa terapi okupasi adalah

metode terapis untuk melatih motorik halus orang berkebutuhan khusus.


45

Terapi ini untuk membantu menguatkan, memperbaiki koordinasi dan

keterampilan ototnya. Hampir semua orang berkebutuhan khusus memiliki

gangguan pada motorik halusnya, dalam beraktivitas orang berkebutuhan

khusus yang memiliki keterlambatan perkembangan motorik halus akan

terlihat kaku dan kasar.

2.4.2 Tujuan dan Fungsi Terapi Okupasi

Tujuan utama terapi okupasi adalah membentuk seseorang agar

mampu berdiri sendiri tanpa menggantungkan diri pada pertolongan orang

lain. Rehabilitasi adalah suatu usaha yang terkoordinasi yang terdiri atas

usaha medis, sosial, edukasional, dan vokasional, untuk melatih kembali

seseorang untuk mencapai kemampuan fungsional pada taraf setinggi

mungkin. Sementara itu, rehabilitasi medis adalah usaha-usaha yang

dilakukan secara medis khususnya untuk mengurangi invaliditas atau

mencegah memburuknya invaliditas yang ada (Nasir & Muhith, 2011).

Secara umum, tujuan terapi okupasi adalah untuk mengembangkan

fungsi fisik, psikologis, sosial dan emosional sebaik mungkin, serta untuk

mempertahankan fungsi yang baik dan membimbing mereka sesuai dengan

keadaan pribadinya sehingga mereka dapat hidup normal dalam masyarakat.

Tujuan terapi okupasi berikutnya yaitu (Astati, 1995):

1. Diversional, menghindari neorosis dan memelihara mental

2. Pemulihan fungsional, mencakup fungsi-fungsi persendian, otot-otot

serta kondisi tubuh lainnya


46

3. Latihan-latihan prevokasional yang memberikan peluang persiapan

menghadapi tugas pekerjaan yang lebih sesuai dengan kondisinya.

Selanjutnya, Nasir & Muhith (2011) menguraikan beberapa fungsi

yang ada di dalam terapi okupasi, yaitu sebagai berikut:

1. Terapi khusus untuk pasien mental atau jiwa

a. Menciptakan suatu kondisi tertentu sehingga pasien dapat

mengembangkan kemampuannya untuk dapat berhubungan dengan

orang lain dan masyarakat sekitarnya.

b. Membantu dalam melampiaskan gerakan-gerakan emosi secara wajar

dan produktif

c. Membantu menemukan kemampuan kerja yang sesuai dengan bakat

dan keadaannya

d. Membantu dalam pengumpulan data guna menegakkan diagnosis dan

penetapan terapi lainnya.

2. Terapi khusus untuk mengembalikan fungsi fisik, meningkatkan ruang

gerak sendi, kekuatan otot, dan koordinasi gerakan.

3. Mengajarkan aktivitas kehidupan sehari-hari seperti makan, berpakaian,

belajar menggunakan fasilitas umum (telepon, televisi, dan lain-lain),

baik dengan maupun tanpa alat bantu, mandi yang bersih, dan lain-lain

4. Membantu pasien untuk menyesuaikan diri dengan pekerjaan rutin di

rumahnya, dan memberi saran penyederhanaan (silifikasi) ruangan

maupun letak alat-alat kebutuhan sehari-hari.


47

5. Meningkatkan toleransi kerja, memelihara, dan meningkatkan

kemampuan yang masih ada.

6. Menyediakan berbagai macam kegiatan untuk dijajaki oleh pasien

sebagai langkah dalam pre-cocational training. Berdasarkan aktivitas ini

akan dapat diketahui kemampuan mental dan fisik, kebiasaan kerja,

sosialisasi, minat, potensi dan lainnya dari pasien dalam mengarahkannya

pada pekerjaan yang tepat dalam latihan kerja.

7. Membantu penderita untuk menerima kenyataan dan menggunakan

waktu selama masa rawat dengan berguna.

8. Mengarahkan minat dan hobi agar dapat digunakan setelah kembali ke

keluarga.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan terapi

okupasi adalah mengembalikan perkembangan fisik, mental dan emosional

agar berperan secara optimal sehingga individu dapat berperan dalam

kehidupan sehari-hari. Segala potensi yang dimiliki seseorang dapat

dikembangkan dengan baik, sehingga layak diterima secara sosial.

2.4.3 Pelaksanaan, Jenis, dan Tahapan Terapi Okupasi

Menurut Nasir & Muhith (2011) ada beberapa pelaksaan dalam terapi

meliputi:

1. Metode

Terapi okupasi dapat dilakukan baik secara individual, maupun

berkelompok, tergantung dari keadaan pasien, tujuan terapi, dan lain-lain.


48

a. Metode individu dilakukan untuk:

1) Pasien baru yang bertujuan untuk mendapatkan lebih banyak

informasi dan sekaligus untuk evaluasi pasien.

2) Pasien yang belum dapat atau mampu untuk berinteraksi dengan

cukup baik di dalam suatu kelompok sehingga dianggap akan

mengganggu kelancaran suatu kelompok bila dia dimasukkan

dalam kelompok tersebut.

3) Pasien yang sedang menjalani latihan kerja dengan tujuan agar

terapis dapat mengevaluasi pasien lebih efektif.

b. Metode kelompok dilakukan untuk pasien lama atas dasar seleksi

dengan masalah atau hampir bersamaan, atau dalam melakukan suatu

aktivitas untuk tujuan tertentu bagi beberapa pasien sekaligus.

Sebelum memulai suatu kegiatan baik secara individual maupun

kelompok, maka terapis harus mempersiapkan terlebih dahulu segala

sesuatunya yang menyangkut pelaksanaan tersebut. Pasien juga perlu

dipersiapkan dengan cara memperkenalkan kegiatan dan menjelaskan

tujuan pelaksanaan kegiatan tersebut sehingga dia atau mereka lebih

mengerti dan berusaha untuk ikut aktif. Jumlah anggota dalam suatu

kelompok disesuaikan dengan jenis aktivitas yang akan dilakukan, dan

kemampuan terapis mengawasi.

2. Waktu

Okupasi terapi dilakukan antar 1-2 jam setiap sesi baik yang individu

maupun kelompok setiap hari, dua kali atau tiga kali seminggu
49

tergantung tujuan terapi, tersedianya tenaga dan fasilitas, dan sebagainya.

Sesi ini dibagi menjadi dua bagian yaitu ½-1 jam untuk menyelesaikan

kegiatan-kegiatan dan 1-1½ jam untuk diskusi. Dalam diskusi ini

dibicarakan mengenai pelaksanaan kegiatan tersebut, antara lain

kesulitan yang dihadapi, kesan mengarahkan diskusi tersebut kearah yang

sesuai dengan tujuan terapi.

3. Terminasi

Keikutsertaan seseorang pasien dalam kegiatan okupasi terapi dapat

diakhiri dengan dasar bahwa pasien:

a. Dianggap telah mampu mengatasi persoalannya

b. Dianggap tidak akan berkembang lagi

c. Dianggap perlu mengikuti program lainnya sebelum okupasi terapi.

Menurut Kosasih (2012) penerapan terapi okupasi dilakukan secara

sistematis, dimulai dengan identifikasi, analisis, diagnosis, pelaksanaan dan

layanan tindak lanjut untuk mencapai pemulihan yang terbaik. Kegiatan

pengenalan berarti menentukan atau memastikan bahwa anak atau subjek

tersebut adalah orang berkebutuhan khusus. Analisis adalah proses

menyelidiki diri. Selanjutnya adalah diagnosis yang berarti pemeriksaan

yang dilanjutkan dengan penentuan jenis terapi yang diperlukan. Kegiatan

yang selanjutnya yaitu pelaksanaan terapi okupasi itu sendiri dan tindak

lanjut serta evaluasi yang diperlukan guna mencapai tujuan.

Bidang kinerja pekerjaan mencakup kehidupan sehari-hari,

produktivitas dan penggunaan waktu luang (Keputusan No. 571 dari


50

Kementerian Kesehatan Tahun 2008 tentang standar okupasi untuk terapis

okupasi):

1. Kegiatan kehidupan sehari-hari, meliputi: berpakaian (menyikat rambut,

memakai parfum), kebersihan mulut (menggosok gigi), mandi (dalam hal

ini 2 kali sehari), buang air besar mandiri, berpakaian, diet/ketaatan,

kepatuhan pengobatan, interaksi sosial, fungsi komunikasi, aktivitas

fungsional, ekspresi seksual.

2. Produktivitas yang meliputi: pengelolaan rumah tangga (menyapu,

mengepel), merawat orang lain, sekolah/belajar, dan aktivitas vokasional.

3. Pemanfaatan waktu luang yang meliputi: eksplorasi pemanfaatan waktu

luang (ketika anak memiliki waktu luang anak dapat memanfaatkannya

kehal positif seperti melukis, membuat kerajinan tangan) dan

bermain/rekreasi.

2.4.4 Jenis Terapi Okupasi

Terapi okupasional dilaksanakan dalam bentuk fungsional

okupasional terapi dan supportif okupasional terapi (Kosasih, 2012):

1. Fungsional terapi okupasi

Tujuan dari terapi fungsional okupasi adalah untuk memberikan fungsi

sensorik motorik, koordinasi dan tujuan aktivitas kehidupan sehari-hari

untuk berolahraga, yaitu semua aktivitas manusia mulai dari bangun

hingga tidur.
51

2. Supportif okupasional terapi

Supportif okupasional terapi adalah latihan-latihan yang diberikan

kepada anak dengan gangguan psikososial, emosi, motivasi, cita-cita, dan

kurang percaya diri.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam

pelaksanaan terapi okupasi terdapat pelatihan aktivitas sehari-hari,

berkomunikasi, sensori motor (motorik halus dan kasar) selain itu dapat juga

digunakan untuk pemberian motivasi, kurang percaya diri dan latihan untuk

aorang yang mengalami gangguang psikososial, emosional.

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan No. 571 tahun 2008 terdapat 4

(empat) tahapan terapi yakni:

1. Terapi komplementer (adjunct theraphy)

Peraturan Menteri Kesehatan mendefinisikan obat tambahan alternatif

tradisional sebagai obat nonkonvensional yang terbukti dapat

meningkatkan kesehatan masyarakat, termasuk promosi, pencegahan,

pengobatan dan rehabilitasi melalui pendidikan terstruktur berdasarkan

mutu, keamanan dan efektivitas biomedis yang tinggi. kerja keras tetapi

belum diterima oleh pengobatan konvensional.

2. Terapi yang membuat klien mampu beraktivitas (enabling)

3. Terapi yang membuat klien mampu beraktivitas secara bermakna dan

bertujuan (purposeful activity)

4. Terapi yang membuat klien mampu beraktivitas dan berpartisipasi pada

area kinerja okupasional (occupation).


52

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam terapi

terdapat empat tahapan terapi komplementer atau pengobatan

alternatif/tradisional, terapi yang membuat klien mampu beraktivitas,

kemudian terapi yang membuat klien mampu beraktivitas namun memiliki

makna dan tujuan dalam beraktivitas tersebut, dan yang terakhir terapi yang

mampu membuat klien beraktivitas dan berpartisipasi pada area kinerja

okupasional.

2.4.5 Kegunaan Terapi Okupasi

Menurut Nasir & Muhith (2011) aktivitas dalam terapi

okupasi digunakan sebagai media baik untuk evaluasi, diagnosis, terapi,

maupun rehabilitasi, dengan mengamati dan mengevaluasi pasien saat

mengerjakan suatu aktivitas dan menilai hasil pekerjaan dapat ditentukan

arah terapi dan rehabilitasi selanjutnya dari pasien tersebut. Penting untuk

diingat bahwa aktivitas dalam terapi okupasi tidak untuk menyembuhkan,

tetapi hanya sebagai media. Diskusi yang terarah setelah penyelesaian suatu

aktivitas adalah sangat penting karena dalam kesempatan tersebut terapis

dapat mengarahkan pasien dan pasien dapat belajar mengenal dan mengatasi

persoalannya. Aktivitas yang dilakukan pasien diharapkan dapat menjadi

tempat untuk berkomunikasi lebih baik dalam mengekspresikan dirinya.

Kemampuan pasien akan dapat diketahui baik oleh terapi maupun oleh

pasien itu sendiri melalui aktivitas yang dilakukan oleh pasien. Alat-alat

atau bahan-bahan yang digunakan dalam melakukan suatu aktivitas, pasien

akan didekatkan dengan kenyataan terutama dalam hal kemampuan dan


53

kelemahannya. Aktivitas dalam kelompok akan dapat merangsang

terjadinya interaksi diantara anggota yang berguna dalam meningkatkan

sosialisasi dan menilai kemampuan diri masing-masing dalam hal

keefisiensiannya untuk berhubungan dengan orang lain. Aktivitas yang

dilakukan meliputi aktivitas yang digunakan dalam terapi okupasi di mana

saat dipengaruhi oleh konteks terapi secara keseluruhan, lingkungan, sumber

yang tersedia, dan juga oleh kemampuan si terapis sendiri (pengetahuan,

keterampilan, minat, dan kreativitasnya).

Keuntungan-keuntungan yang akan diperoleh individu dari menjalani

terapi okupasi meliputi beberapa aspek, antara lain (Bilqis, 2012):

1. Fisik

a. Peningkatan pertumbuhan fisik yang memerlukan daya tahan tubuh

1) Peningkatan kecepatan gerak

2) Peningkatan kemampuan gerak

3) Peningkatan kekuatan

b. Pemulihan fungsi tubuh

1) Pemeliharaan area gerak sendi

2) Perbaikan kemampuan mengontrol otot dan meningkatkan

kekuatan

3) Ketangkasan tangan

4) Eye-hand coordination (koordinasi mata-tangan)

5) Peningkatan kesadaran kerja

6) Peningkatan keterampilan gerak


54

7) Cara anak mengeksplorasi dan menggali potensi tubuhnya

8) Memperluas pengalaman dan perkembangan gerak

9) Melakukan gerak yang mengarah pada kemampuan gerak

maksimal.

2. Intelektual

a. Meningkatkan kesadaran individu tentang tubuh sebagai sasaran gerak

b. Kreativitas

c. Problem solving

3. Sosial emosional

a. Melatih kerja sama

b. Meningkatkan kemampuan berhubungan dengan orang lain dalam

kelompok

c. Melatih kemampuan mengikuti aturan

d. Melatih memerhatikan aturan

e. Menjalankan perintah dan lain-lain.

Berdasarkan uraian tentang keuntungan-keuntungan yang akan

diperoleh individu dari menjalani terapi okupasi, dapat disimpulkan bahwa

penggunaan terapi okupasional diharapkan dapat meningkatkan

pengetahuan dan kemampuan dalam penerapan protokol kesehatan pada

para penyandang retardasi mental yang ada di Rumah Harapan Desa

Karangpatihan Ponorogo, khususnya dalam hal peningkatan kemampuan

gerak, melatih kemampuan mengikuti aturan, memerhatikan aturan, dan


55

menjalankan perintah dalam hal penerapan 4M dalam protokol kesehatan

Covid-19.

2.5 Konsep Retardasi Mental

2.5.1 Definisi

Retardasi mental adalah keadaan dengan intelegensi yang kurang

(subnormal) sejak masa perkembangan (sejak lahir atau sejak masa anak).

Biasanya terdapat perkembangan mental yang kurang secara keseluruhan,

tetapi gejala utama ialah intelegensi yang terbelakang. Retardasi mental

disebut juga oligofrenia (oligo: kurang atau sedikit dan fren: jiwa) atau tuna

mental (Muhith, 2015).

Retardasi mental adalah suatu kondisi yang ditandai oleh intelegensi

yang rendah yang menyebabkan ketidakmampuan individu untuk belajar

dan beradaptasi terhadap tuntutan masyarakat atas kemampuan yang

dianggap normal serta ketidakcakapan dalam interaksi sosial (Mustikawati,

Anggorowati, & Mugianingrum, 2015).

Retardasi mental adalah disabilitas yang menyebabkan keterbatasan

signifikan baik dalam fungsi intelektual maupun dalam perilaku adaptif

(keterampilan sosial dan praktis sehari-hari) sebelum usia 18 tahun

(Bernstein dan Shelov, 2017). Retardasi mental juga dikenal dengan

beberapa istilah, yaitu: disabilitas kognitif, disabilitas intelektual, disabilitas

belajar (Betz dan Sowden, 2009), gangguan mental, abuse (misal, moron,

idiot, kretin, mongol) (Hull dan Johnston, 2008), tunagrahita (Iswari dan
56

Nurhastuti, 2010), keterbelakangan mental (Utaminingsih, 2015), gangguan

intelektual (Bernstein dan Shelov, 2017).

2.5.2 Etiologi

Penyebab retardasi mental adalah faktor keturunan (genetik) atau tak

jelas sebabnya, keduanya disebut retardasi mental primer. Sedangkan faktor

sekunder disebabkan oleh faktor luar yang berpengaruh terhadap otak bayi

dalm kandungan atau anak-anak. Penyebab retardasi mental lain adalah

akibat infeksi dan intoksikasi,rudapaksa atau sebab fisik lain, gangguan

metabolisme pertumbuhan atau gizi, penyakit otak yang nyata (postnatal),

penyakit atau pengaruh pranatal yang tidak jelas, kelainan kromosom,

prematuritas, gangguan jiwa yang berat, deprivasi psikososial (Muhith,

2015).

Tingkat kecerdasan ditentukan oleh faktor keturunan dan lingkungan.

Pada sebagian besar kasus retardasi mental, penyebabnya tidak diketahui,

hanya saja 25% kasus yang memiliki penyebab spesifik. Penyebab retardasi

mental dibagi menjadi beberapa kelompok (Utaminingsih, 2015):

1. Trauma (sebelum dan sesudah lahir)

a. Perdarahan intrakranial sebelum atau sesudah lahir

b. Cedera hipoksia (kekurangan oksigen), sebelum, selama atau

sesudah lahir

c. Cedera kepala yang berat.


57

2. Infeksi (bawaan dan sesudah lahir)

a. Rubella kongenitalis

b. Meningitis

c. Infeksi sitomegalovirus bawaan

d. Ensefalitis

e. Toksoplasmosis kongenitalis

f. Listeriosis

g. Infeksi HIV

3. Kelainan kromosom

a. Kesalahan pada jumlah kromosom (Sindrom Down)

b. Defek pada kromosom (sindroma X yang rapuh, sindrom Angelman,

sindrom Prader-Willi)

c. Translokasi kromosom dan sindrom cri du chat

4. Kelainan genetik dan kelainan metabolik yang diturunkan

a. Galaktosemia

b. Penyakit Tay-Sachs

c. Fenilketonuria

d. Sindroma Hunter

e. Sindroma Hurler

f. Sindroma Sanfilippo

g. Leukodistrofi metakromatik

h. Adrenoleukodistrofi

i. Sindroma Lesch-Nyhan
58

j. Sindroma Rett

k. Sklerosis tuberosa

5. Metabolik

a. Sindroma Reye

b. Dehidrasi hipernatremik

c. Hipotiroid Kongenital

d. Hipoglikemia (diabetes mellitus yang tidak terkontrol dengan baik)

6. Keracunan

a. Pemakaian Alkohol, kokain, amfetamin dan obat lainnya pada ibu

hamil

b. Keracunan metilmerkuri

c. Keracunan timah hitam

7. Gizi

a. Kwashiokor

b. Marasmus

c. Malnutrisi

8. Lingkungan

a. Kemiskinan

b. Status ekonomi rendah

c. Sindroma deprivasi.
59

2.5.3 Klasifikasi Retardasi Mental

Menurut Muhith (2015), berdasarkan tingkat Intelligence Quotient

(IQ) karakteristik retardasi mental dibedakan menjadi:

1. Retardasi mental ringan (IQ = 50 – 70, sekitar 85% dari orang yang

terkena retardasi mental)

2. Retardasi mental sedang (IQ = 35-55, sekitar 10% orang yang terkena

retardasi mental)

3. Retardasi mental berat (IQ = 20-40, sebanyak 4% dari orang yang

terkena retardasi mental)

4. Retardasi mental berat sekali (IQ = 20-25, sekitar 1 sampai 2% dari orang

yang terkena retardasi mental).

Menurut Jamaris (2018) klasifikasi dikelompokkan menjadi beberapa

kelompok sebagai berikut:

Tabel 2.1. Klasifikasi Retardasi Mental


Istilah
Kelompok IQ Kemampuan
Pendidikan
Stanford Wech
Sebelumnya Saat ini
Binet sler
Moron Mild 52-68 55-75 Educable Dapat mencapai
(mampu kemampuan anak usia
didik) 7-12 tahun
Dapat menguasai
kemampuan akade-mik
setingkat kls 4 sekolah
dasar
Dapat menolong diri
sendiri dan memiliki
keterampilan adaptasi
sosial
Dapat melakukan
pekerjaan yang
sedehana (unskilled
work)
60

Istilah
Kelompok IQ Kemampuan
Pendidikan
Stanford Wech
Sebelumnya Saat ini
Binet sler
Imbecile Moderate 36-51 40-54 Trainable Dapat mencapai
(mampu kemampuan anak usia
latih) usia 2-7 tahun
Dapat menguasai
keterampilan akademi
dasar secara terbatas
Dapat menolong diri
sendiri dan memiliki
keterampilan sosial
secara terbatas
Dapat melakukan
pekerjaan sederhana
dan rutin dengan
supervisi penuh
Idiot Severe 20-35 25-39 Mampu Dapat mencapai
rawat kemampuan anak
berusia 2 tahun
Selalu membutuhkan
bantuan orang lain
dalam segala bidang
kebutuhan hidup
Profound ≤ 19 ≤ 24 Mampu Tidak dapat mencapai
rawat kemam-puan anak usia
2 tahun

Berdasarkan pengklasifikasian kelompok retardasi mental di atas,

maka kelompok masyarakat penyandang retardasi mental yang ada di

Rumah Harapan Desa Karangpatihan, Kecamatan Balong Kabupaten

Ponorogo merupakan kelompok retardasi mental ringan dan sedang

dengan ciri-ciri: dapat menolong diri sendiri dan memiliki keterampilan

adaptasi sosial, dapat melakukan pekerjaan yang sedehana (unskilled

work), dapat menguasai keterampilan akademi dasar secara terbatas,

dapat menolong diri sendiri dan memiliki keterampilan sosial secara

terbatas, serta dapat melakukan pekerjaan sederhana dan rutin dengan

supervisi penuh.
61

2.6 Kerangka Teori

Adanya kebijakan pemerintah tentang penerapan protokol kesehatan

selama pandemi Covid-19, maka seluruh masyarakat Indonesia dapat

melaksanakan protokol kesehatan dengan baik. Oleh karena itu, diperlukan

perilaku kesehatan pada masyarakat yang dipengaruhi oleh faktor predisposisi

(predisposing factors), faktor pemungkin (enabling factor), dan faktor

pendorong atau penguat (reinforcement factor). Berkaitan dengan

keterbatasan yang dimiliki para penyandang retardasi mental di Rumah

Harapan Desa Karangpatihan Ponorogo, perilaku kesehatan dalam penerapan

protokol kesehatan dipengaruhi oleh faktor predisposisi yang terbatas pada

pengetahuan, faktor pemungkin berupa metode penyuluhan berupa promosi

kesehatan tentang penerapan protokol kesehatan, serta faktor pendorong atau

penguat berupa pengawasan dari pendamping yang ada di Rumah Harapan

Desa Karangpatihan Ponorogo. Pada penelitian ini faktor predisposisi diukur

dari pengetahuan para penyandang retardasi mental, faktor pemungkin berupa

metode penyuluhan, digunakan metode tell-show-do dan terapi okupasi,

sedangkan faktor penguat berupa pengawasan dan teladan dari para

pendamping yang ada di Rumah Harapan.

Kepatuhan individu dalam menerapkan protokol kesehatan selama

pandemi Covid-19 tidak terlepas dari adanya perilaku yang dimiliki individu

tersebut. Apabila individu memiliki perilaku yang baik dan benar tentang

kebiasaan 4M, yaitu memakai masker, mencuci tangan pakai sabun dan air

mengalir, menjaga jarak (minimal 1 meter), dan menghindari kerumunan,


62

maka individu tersebut akan memiliki kebiasaan untuk menerapkan protokol

kesehatan selama pandemi Covid-19 dengan baik dan benar pula. Berkaitan

dengan hal tersebut, maka dengan terbatasnya perilaku pada penyandang

retardasi mental di Ponorogo, akan berpengaruh terhadap penerapan protokol

kesehatan selama pandemi Covid-19.

Adanya keterbatasan perilaku yang dimiliki penyandang retardasi

mental di Ponorogo dapat diantisipasi dengan memanfaatkan keberadaan

faktor pendukung atau pemungkin (enabling factor) dengan baik. Faktor

pemungkin (enabling factor) terwujud dalam fasilitas atau sarana-sarana

kesehatan, salah satunya adalah metode penyuluhan. Metode penyuluhan

merupakan bagaimana cara penyampaian pesan kepada sasaran, agar tujuan

promosi kesehatan tercapai. Metode dan cara promosi kesehatan, tergantung

pada tujuan promosi kesehatan yang ingin dicapai. Adapun metode

penyuluhan yang berpotensi untuk meningkatkan perilaku para penyandang

retardasi mental di Ponorogo dalam penerapan protokol kesehatan selama

pandemi Covid-19 adalah metode tell-show-do dan terapi okupasi.

Merujuk pada teori-teori yang digunakan serta uraian di atas, maka

kerangka teori dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:


Pengetahuan
1. Faktor internal: usia, pengalaman.
2. Faktor eksternal: pendidikan, informasi, ekonomi, lingkungan

Penerapan Metode
Faktor Predisposisi Sikap Tell-Show-Do
Pengalaman pribadi, pengaruh orang lain, kebudayaan, media
massa, lembaga pendidikan, emosional

Keyakinan, yaitu: percaya bahwa kesehatan dirinya terancam,


Faktor-faktor yang meyakini keseriusan kondisi yang akan terjadi akibat sakit, Penerapan protokol
mempengaruhi perilaku dalam percaya adanya keuntungan bila memiliki perilaku, ada tanda kesehatan selama
penerapan protokol kesehatan atau sesuatu yang mempercepat perilaku. pandemi Covid-19
selama pandemi Covid-19
pada penyandang
Kepercayaan, nilai-nilai dan tradisi yang berkembang di retardasi mental di
masyarakat terhadap perilaku kesehatan yang harus dilaksanakan Ponorogo

Lainnya, meliputi: ekonomi, pendidikan, pekerjaan, dan


sebagainya.

Sarana dan prasarana atau fasilitas, bisa berupa metode dan Penerapan Terapi
Faktor Pemungkin media untuk terjadinya perilaku kesehatan. Faktor pemungkin Okupasi
terwujud dalam fasilitas atau sarana-sarana kesehatan.

Faktor Penguat Meliputi undang-undang, peraturan-peraturan, pengawasan,


teladan dari para tokoh panutan dan sebagainya.

Gambar 2.1 Kerangka Teori


Sumber: Teori L. Green dalam Notoatmodjo (2012)

63
BAB 3

KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Konseptual

Kerangka konseptual adalah suatu uraian dan visualisasi hubungan atau

kaitan antar konsep satu terhadap konsep yang lainnya, atau antara variabel

yang satu dengan variabel yang lain dari masalah yang diteliti (Notoatmodjo,

2012). Kerangka konseptual penelitian ini dapat digambarkan seperti pada

gambar 3.1.

Pengetahuan

Sikap

Keyakinan

Faktor Predisposisi Kepercayaan,


Nilai-Nilai &
Tradisi

Lainnya (ekonomi,
pendidikan, dll)
Metode Penerapan Protokol
Tell-Show-Do Kesehatan Selama
Metode yang
Pandemi Covid-19
digunakan dalam
pada penyandang
penyuluhan Terapi retardasi mental
Okupasi di Ponorogo
Faktor Pemungkin
Media yang
digunakan dalam
penyuluhan

Undang-Undang
dan Peraturan

Pengawasan
Faktor Penguat
pendamping

Teladan tokoh
panutan
Keterangan:
: diteliti
: tidak diteliti

Gambar 3.1 Kerangka Konseptual Efektifitas Metode Tell-Show-Do dan


Terapi Okupasi dalam Penerapan Protokol Kesehatan Covid-19
Pada Penyandang Retardasi Mental

64
65

3.2 Hipotesis Penelitian

Hipotesis Hipotesis adalah jawaban sementara dari suatu penelitian

yang kebenarannya dibuktikan dalam penelitian setelah melalui pembuktian

hasil dari peneliti maka hipotesis dapat benar atau juga dapat salah, dapat

diterima atau ditolak (Notoatmodjo, 2012). Hipotesis penelitian ini adalah:

Ha: 1. Ada perbedaan perilaku dalam penerapan protokol kesehatan Covid-

19 sebelum dan setelah dilakukan metode tell-show-do pada

penyandang retardasi mental di Ponorogo.

2. Ada perbedaan perilaku dalam penerapan protokol kesehatan Covid-

19 sebelum dan setelah dilakukan terapi okupasi pada penyandang

retardasi mental di Ponorogo.

3. Ada perbedaan efektivitas metode tell-show-do dan terapi okupasi

terhadap perilaku dalam penerapan protokol kesehatan Covid-19

pada penyandang retardasi mental di Ponorogo.


BAB 4

METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian

Desain penelitian adalah strategi atau rancangan yang digunakan

peneliti untuk mengidentifikasi permasalahan, mendefinisikan struktur

penelitian yang akan dilaksanakan, merancang teknik pengumpulan data dan

analisis data, serta mencapai tujuan atau menjawab pertanyaan peneliti

(Nursalam, 2016). Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan

metode Quasi-Experimental. Penelitian ini ingin mengetahui perbedaan

penerapan protokol kesehatan Covid-19 sebelum dan setelah dilakukan

metode tell-show-do dan terapi okupasi pada penyandang retardasi mental di

Ponorogo. Jenis rancangan penelitian yang digunakan adalah two group pre-

post test design. Penelitian ini melibatkan dua kelompok subjek penyandang

retardasi mental yang diberikan intervensi metode tell-show-do dan satu sub

yang lain diberikan terapi okupasi.

Tabel 4.1 Desain Penelitian Quasi-Experimental


Kelompok Pretest Perlakuan Postest
Metode tell-show-do A1 P1 A2
Terapi okupasi B1 P2 B2
Keterangan:
A1 : Penerapan protokol kesehatan pada penyandang retardasi mental
sebelum diberikan metode tell-show-do
A2 : Penerapan protokol kesehatan pada penyandang retardasi mental
sesudah diberikan metode tell-show-do
B1 : Penerapan protokol kesehatan pada penyandang retardasi mental
sebelum diberikan terapi okupasi

66
67

B2 : Penerapan protokol kesehatan pada penyandang retardasi mental


sesudah diberikan terapi okupasi
P1 : Perlakuan metode tell-show-do
P2 : Perlakuan terapi okupasi

Pembagian kelompok dalam penelitian ini dengan cara ordinal pairing.

Adapun teknik pembagian kelompok secara ordinal pairing. Masing-masing

kelompok beranggotakan para penyandang retardasi mental dengan

kemampuan yang seimbang, artinya belum dapat diprediksi kelompok mana

yang lebih baik karena masing-masing kelompok memiliki anggota

penyandang retardasi mental dengan tingkat kemampuan sedang dan ringan.

4.2 Populasi dan Sampel Penelitian

4.2.1 Populasi Penelitian

Populasi adalah keseluruhan subyek penelitian yang akan diteliti

(Notoatmodjo, 2012). Murti dalam Hidayat (2015) mengelompokkan

populasi ke dalam tiga bagian, yaitu populasi (populasi umum), populasi

sasaran (populasi target), dan populasi sumber. Populasi umum merupakan

kumpulan dari seluruh subyek, individu atau elemen lainnya yang secara

implisit akan dipelajari pada penelitian, sehingga melalui pengertian ini

maka muncul istilah populasi finit dan populasi infinit. Populasi finit

(terbatas) jika elemen dapat dihitung sedangkan populasi infinit (populasi

tak terbatas) jika elemen tidak dapat dihitung. Populasi dalam penelitian ini

yaitu seluruh penyandang retardasi mental yang ada di Rumah Harapan

Desa Karangpatihan, Kecamatan Balong Kabupaten Ponorogo. Menurut

data yang diperoleh dari pengurusn Rumah Harapan Desa Karangpatihan,


68

jumlah penyandang retardasi mental yang ada di Rumah Harapan Desa

Karangpatihan, Kecamatan Balong Kabupaten Ponorogo adalah sebanyak

26 orang.

4.2.2 Sampel Penelitian

Sampel merupakan bagian populasi yang akan diteliti atau sebagian

jumlah dari karakteristik yang dimiliki oleh populasi (Hidayat, 2015).

Sampel terdiri atas bagian populasi terjangkau yang dapat dipergunakan

sebagai subjek penelitian melalui sampling (Nursalam, 2016). Pada

penelitian ini, populasinya sudah diketahui dengan pasti, yaitu sebanyak 26

orang, sehingga termasuk ke dalam populasi finit. Apabila populasi

penelitian merupakan populasi finit atau jumlahnya sudah diketahui, maka

besar sampel dalam penelitian ini dihitung menggunakan rumus menurut

Zainuddin dalam Hidayat (2015) sebagai berikut:

N.Z 2 .Pq
n =
d 2 ( N  1)  Z 2 .Pq

Keterangan:

n = jumlah sampel

P = estimator proporsi populasi

q = 1-p

Z 2 = harga kurva normal yang tergantung pada alpha

d = presisi absolut

N = jumlah populasi
69

Apabila populasi penelitian ini berjumlah 26, dengan α = 5%, Zα =

1,96, p = 0,5, q = 0,5, d = 0,05, maka perkiraan jumlah sampel penelitian ini

adalah:

26 .(1,96 ) 2 .0,5.0,5
n =
(0,05 ) 2 .( 26  1)  (1,96 ) 2 .( 0,5).( 0,5)

24 ,9704
=
0 ,0625  0 ,96

24 ,9704
=
1,0229

= 24,41138 dibulatkan menjadi 25

Besar sampel dalam penelitian adalah sebanyak 25 responden. Oleh karena

dalam penelitian ini terdiri dari dua kelompok eksperimen, maka jumlah

sampel masing-masing kelompok sebanyak 12 dan 13 responden. Hal ini

relevan dengan pendapat Charan and Kantharia dalam Prihanti (2018)

bahwa untuk penelitian eksperimen, sampel yang direkomendasikan adalah

berjumlah antara 10-20.

Pada penelitian eksperimen tidak dipungkiri terjadinya drop out dari

sampel penelitian. Untuk mengantisipasi kemungkinan subyek terpilih yang

drop out, loss to follow up, atau subyek yang tidak taat maka dilakukan

koreksi: dengan rumus perhitungan sebagai berikut (Prihanti, 2018):

n
n=
1 f

Keterangan:

n = besar sampel yang dihitung

f = perkiraan proporsi drop out, yaitu sebesar 10%


70

sehingga jumlah penyandang retardasi mental yang ada di Rumah Harapan

Desa Karangpatihan, Kecamatan Balong Kabupaten Ponorogo yang

diperlukan sebagai sampel sebanyak:

12
n= = 13,3333 dibulatkan menjadi 14
1  0 ,1

Berdasarkan perhitungan di atas, maka sampel pada kelompok eksperimen

1, yaitu yang diberikan metode tell-show-do maupun kelompok eksperimen

2 yang diberikan terapi okupasi masing-masing berjumlah 14 orang.

4.2.3 Kriteria Sampel

Sampel didapat dari populasi penelitian yang memenuhi kriteria

inklusi dan eksklusi sebagai berikut:

1. Kriteria Inklusi

Kriteria inklusi merupakan karakteristik umum subyek penelitian dari

suatu populasi target yang terjangka dan akan diteliti (Nursalam, 2016).

Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah:

a. Penyandang retardasi mental dari kelompok ringan dan sedangyang

ada di di Rumah Harapan Desa Karangpatihan, Kecamatan Balong

Kabupaten Ponorogo yang ada dan aktif mengikuti kegiatan pelatihan

keterampilan di Rumah Harapan.

b. Bersedia menjadi responden.

2. Kriteria Eksklusi

Kriteria eksklusi merupakan menghilangkan atau mengeluarkan subyek

yang memenuhi kriteria inklusi dari studi karena berbagai sebab

(Nursalam, 2016). Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah:


71

penyandang retardasi mental selain dari kelompok ringan dan sedang

yang ada di di Rumah Harapan Desa Karangpatihan, Kecamatan Balong.

4.3 Teknik Sampling

Teknik sampling merupakan proses menyeleksi porsi dari populasi

untuk dapat mewakili populasi. Teknik sampling merupakan cara-cara yang

ditempuh dalam pengambilan sampel, agar memperoleh sampel yang benar

sesuai dengan keseluruhan subyek penelitian (Nursalam, 2016). Teknik

sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik systemic random

sampling (pengambilan sampel secara acak sistematis). Teknik ini merupakan

modifikasi dari simple random sampling. Caranya adalah membagi jumlah

atau anggota populasi dengan perikiraan jumlah sampel yang diinginkan.

Sampel diambil dengan membuat daftar elemen atau anggota populasi secara

acak antara 1 sampai dengan banyaknya anggota populasi (Notoatmodjo,

2012). Pada penelitian ini sampel dipilih dengan menetapkan kriteria yaitu

penyandang retardasi mental yang hadir di Rumah Harapan Desa

Karangpatihan, Kecamatan Balong Kabupaten Ponorogo.

4.4 Kerangka Kerja dan Kerangka Langkah Kerja Penelitian

4.4.1 Kerangka Kerja Penelitian

Kerangka kerja merupakan bagian kerja terhadap rancangan kegiatan

penelitian yang akan dilakukan meliputi bentuk kerangka atau alur

penelitian, mulai dari desain hingga analisis data (Hidayat, 2007). Kerangka

kerja penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:


72

Populasi
Seluruh penyandang retardasi mental yang ada di Rumah Harapan Desa
Karangpatihan, Kecamatan Balong Kabupaten Ponorogo
yang berjumlah 26 orang

Sampel
Sampel pada penelitian ini adalah sebanyak 26 orang penyandang retardasi
mental yang dibagi ke dalam 2 (dua) kelompok secara ordinal pairing

Desain Penelitian
Kuantitatif dengan Menggunakan Metode Pra Eksperimen
(Rancangan Two Group Pretest-Postest)

Pengumpulan Data
Metode Observasi Menggunakan Lembar Observasi (Check list) untuk
Mengukur Penerapan Protokol Kesehatan Covid-19 Sebelum dan Sesudah
diberikan Perlakuan (Metode Tell-Show-Do dan Terapi Okupasi)

Pretest Posttest
Penerapan protokol kesehatan Penerapan protokol kesehatan
Civod-19 Civod-19

Pengelolaan Data
Editing, Coding, Scoring, Entry, Tabulating

Analisis Data
Univariat, Bivariat, dan Menggunakan Uji t (Paired Sample t-test)

Penyajian Hasil dan Kesimpulan

Gambar 4.1 Kerangka Kerja Penelitian Efektifitas Metode Tell-Show-Do dan


Terapi Okupasi dalam Penerapan Protokol Kesehatan Covid-19
Pada Penyandang Retardasi Mental
73

Untuk mengetahui penerapan protokol kesehatan Covid-19 sebelum

dilakukan eksperimen dengan penerapan metode Tell-Show-Do dan terapi

okupasi dilakukan pre-test, untuk mengukur sejauh mana pengaruh

eksperimen dengan penerapan metode Tell-Show-Do dan terapi okupasi

terhadap penerapan protokol kesehatan Covid-19, dilakukan post-test.

Kerangka konseptual penelitian ini tercantum pada gambar 4.2.

Pre-test Intervensi A: Post-test


Study Group A Metode Tell-Show-Do Study Group A

Compare

Pre-test Intervensi B: Post-test


Study Group B Terapi Okupasi Study Group B

Keterangan: Study group A dan B (penyandang retardasi mental di Rumah


Harapan Desa Karangpatihan, Kecamatan Balong Kabupaten
Ponorogo

Gambar 4.2 Desain Kerangka Kerja Penelitian

4.4.2 Kerangka Langkah Kerja Penelitian

Merujuk pada kerangka kerja di atas, maka dapat digambarkan

kerangka langkah kerja penelitian sebagai berikut:


74

Pembukaan: penjelasan dari peneliti dan para pendamping penyandang


retardasi mental di Desa Karangpatihan tentang tujuan kegiatan

Penyusunan SOP yang berisi langkah-langkah penyuluhan tentang


penerapan protokol kesehatan dan kebiasaan 4M dengan
metode tell-show-do dan terapi okupasi

Pengamatan perilaku dalam penerapan protokol kesehatan Covid-19 pada


penyandang retardasi mental di Ponorogo (pretest) menggunakan lembar
pengamatan (checklist)

Pengumpulan hasil pengamatan (hasil checklist) pretest

Penyampaian penyuluhan tentang penerapan protokol kesehatan Covid-19


(melakukan kebiasaan 4M, yaitu memakai masker, mencuci tangan pakai
sabun dan air mengalir, menjaga jarak, dan menghindari kerumunan)
dengan menggunakan metode tell-show-do dan terapi okupasi oleh
pendamping yang ada di Rumah Harapan, sedangkan peneliti melakukan
observasi terhadap penerapan protokol kesehatan oleh penyandang
retardasi mental

Pengamatan perilaku dalam penerapan protokol kesehatan Covid-19 pada


penyandang retardasi mental di Ponorogo (postest) menggunakan lembar
pengamatan (checklist)

Pengumpulan hasil pengamatan (hasil checklist) posttest

Penutup dengan mengucapkan terimakasih dengan pembagian sarana


pendukung penerapan protokol kesehatan (membagikan masker, hand
sanitizer, dan bak untuk CTPS

Gambar 4.3 Desain Langkah Kerja Penelitian


75

4.5 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel

4.5.1 Variabel Penelitian

Variabel adalah sesuatu yang digunakan sebagai ciri, sifat, atau

ukuran yang dimiliki atau didapatkan oleh satuan penelitian tentang sesuatu

konsep pengertian tertentu (Notoatmodjo, 2012). Dalam penelitian yang

akan dilakukan yaitu dengan menerapkan metode eksperimen dengan

rancangan two group pretest posttest, penelitian eksperimen merupakan

penelitian dimana peneliti memanipulasi variabel bebas atau variabel

independen untuk dijadikan “faktor perlakuan (x)” atau treatment factor

atau faktor intervensi. Faktor tersebut dengan sengaja dimanipulasi oleh

peneliti sehingga merupakan manipulated factor. Dengan memanipulasi

faktor, diharapkan dapat memberikanpengaruh terhadap variabel terikat atau

variabel dependen. Dengan demikian, pada penelitian eksperimen,

hubungan antara faktor dengan variabel dependen merupakan hubungan

sebab akibat. Penjelasan variabel-variabel tersebut adalah:

1. Variabel bebas (manipulated factor)

Variabel bebas merupakan variabel yang menjadi sebab timbulnya

atau berubahnya variabel terikat. Sehingga variabel bebas dapat

dikatakan sebagai variabel yang mempengaruhi (Notoatmodjo, 2012).

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah metode tell-show-do dan

terapi okupasi.

Variabel ini sering disebut sebagai variabel stimulus dan sering

disebut variabel bebas. Variabel bebas adalah variabel yang


76

mempengaruhi atau yang menjadi penyebab perubahannya (Sugiyono,

2015). Dalam penelitian dengan metode eksperimen rancangan two

group pretest posttest ini variabel independen (manipulated factor)

adalah penyuluhan tentang penerapan protokol kesehatan Covid-19

dengan menggunakanmetode tell-show-do dan terapi okupasi.

2. Variabel terikat (dependent variable)

Variabel ini sering disebut variabel output. Dalam Bahasa

Indonesia sering disebut variabel terikat. Variabel terikat merupakan

variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat, karena adanya

variabel bebas (Sugiyono, 2015). Dalam penelitian ini variabel terikatnya

adalah penerapan protokol kesehatan yang diukur dari perilaku

penyandang retardasi mental dalam menerapkan protokol kesehatan

selama pandemi Covid-19.

4.5.2 Definisi Operasional Variabel

Definisi operasional adalah uraian tentang batasan variabel yang

dimaksud, atau tentang apa yang diukur oleh variabel yang bersangkutan

(Notoatmodjo, 2012). Definisi operasional dari masing-masing variabel

yang digunakan dalam penelitian ini dapat dideskripsikan sebagai berikut:


77

Tabel 4.2 Definisi Operasional Variabel


Variabel Definisi
Parameter Alat Ukur Skala Skor
Penelitian Operasional
Variabel Metode yang 1. Frekuensi 1 kali SOP  
bebas: dilakukan seminggu setiap
1. Metode dengan hari Kamis
Tell- tahapan 2. Durasi 60 menit
Show-Do pemberian 3. Cara (metode):
informasi, lalu kontinyu
memberikan 4. Tempat: Ruang
visualisasi/per pelatihan di
agaan dan Rumah Harapan
setelah peserta 5. Program
mengerti, latihan: 3
tahapan minggu
tersebut
dilakukan
2. Terapi Metode 1. Frekuensi 1 kali SOP - -
Okupasi terapis untuk seming gu
melatih 2. Durasi 60 menit
motorik halus 3. Cara (metode):
orang kontinyu
berkebutuhan 4. Tempat: Ruang
khusus pelatihan di
Rumah Harapan
5. Program lati-
han: 3 minggu
Variabel Aturan dan Perilaku tentang Lembar Rasio  Skor 1
terikat: ketentuan penerapan Observasi jika tidak
Penerapan yang perlu protokol pretest mampu
protokol diikuti oleh kesehatan dan menerap
kesehatan segala pihak posttest kan
agar dapat protokol
beraktivitas keseha-
secara aman tan
pada saat dengan
pandemi benar
Covid-19  Skor 2
dengan jika
menerapkan mampu
kebiasaan 3M menerap-
plus yang kan pro-
diukur dari tokol ke-
pengetahuan sehatan
dengan
benar
78

4.6 Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah semua alat yang digunakan untuk

mengumpulkan, memeriksa, menyelidiki suatu masalah, atau mengumpulkan,

mengolah, menganalisis dan menyajikan data-data secara sistematis serta

objekif dengan tujuan memecahkan suatu persoalan atau menguji suatu

hipotesis. Instrumen penelitian merupakan alat pengumpulan data dalam

suatu penelitian (Nasir, 2011). Instrumen pengumpulan data dalam penelitian

ini adalah checklist (lembar observasi). Observasi merupakan teknik

pengumpulan data dengan cara mengamati, mencatat, dan melakukan

pertimbangan. Cara yang paling efektif dalam metode ini adalah menyusun ke

dalam format yang disusun berisi item-item tentang kejadian atau tingkah

laku yang digambarkan akan terjadi (Sugiyono, 2015). Checklist atau lembar

observasi digunakan untuk mengumpulkan data tentang penerapan protokol

kesehatan melalui kebiasaan 4M secara benar, baik sebelum maupun setelah

intervensi.

4.7 Lokasi dan Waktu Penelitian

1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Rumah Harapan Desa Karangpatihan,

Kecamatan Balong Kabupaten Ponorogo.

2. Waktu penelitian

Penelitian tentang perbedaan efektivitas metode tell-show-do dan

terapi okupasi dalam penerapan protokol kesehatan selama pandemi

Covid-19 pada penyandang retardasi mental di Ponorogo dilakukan pada


79

bulan April-Agustus 2021 dengan rincian tahap-tahap penelitian sebagai

berikut:

Tabel 4.3 Waktu Penelitian


Tanggal
No. Kegiatan
Pelaksanaan
1. Pengajuan dan konsultasi judul penelitian 6 – 10 Januari 2021
2. ACC judul penelitian 11 Januari 2021
3. Penyusunan dan bimbingan proposal 17 Maret – 26 Mei
skripsi 2021
4. Seminar proposal skripsi 29 Mei 2021
5. Revisi proposal skripsi 14 – 19 Juni 2021
6. Penelitian 03 – 20 Juli 2021
7. Pengolahan data 21 – 25 Juli 2021
8. Entry data dan penyusunan laporan skripsi 25 – 31 Juli 2021
9. Bimbingan laporan skripsi 1 – 16 Agustus 2021
10. Pelaksanaan seminar hasil skripsi -
11. Revisi laporan skripsi -
12. ACC skripsi -
13. Submit jurnal -

4.8 Prosedur Pengumpulan Data

Teknik pengolahan data menurut Sugiyanto (2008) dalam Halimah

(2018):

1. Pengeditan Data (Editing)

Editing dilakukan dengan memeriksa kelengkapan isi checklist

dengan tujuan data yang diperoleh dapat diolah dengan baik dan

menghasilkan informasi yang benar atau pengecekan pada checklist yang

telah diisi sehingga nantinya dapat menggambarkan masalah yang diteliti.

Menurut Hastono (2006) dalam Indriyani (2017) editing merupakan

kegiatan untuk melakukan pengecekan isian formulir atau checklist apakah

isian yang ada di checklist sudah lengkap (semua item pengamatan sudah

terisi jawabannya), jelas (isian pengamatan apakah tulisan cukup jelas


80

terbaca), relevan (isian pengamatan yang tertulis apakah relevan dengan

item pengamatan) dan konsisten (apakah antara beberapa item pengamatan

yang berkaitan isi jawaban konsisten).

2. Pengkodean Data (Coding)

Setelah data diperoleh dan melakukan pengendalian maka peneliti

melakukan pengkodean pada setiap jawaban responden untuk

mempermudah analisis data yang telah dikumpulkan.

Coding atau memberikan kode dalam hubungan dengan pengolahan

data jika akan menggunakan komputer. Dalam hal ini, pengolahan data

memberikan kode pada semua variabel, kemudian mencoba menentukan

tempatnya di dalam coding sheet, dalam kolom dan baris ke berapa.

Apabila akan dilanjutkan sampai kepada petunjuk penempatan setiap

variabel pada kartu kolom. Pada penelitian ini, coding dilakukan untuk

membedakan responden kelompok intervensi dan penerapan protokol

kesehatan melalui kebiasaan 4M.

Pada kriteria kelompok intervensi, pengkodean dilakukan sebagai

berikut:

a. Angka 1, jika responden mendapat intervensi dengan metode tell-show-

do

b. Angka 2, jika responden mendapat intervensi dengan terapi okupasi

3. Penskoran (Scoring)

Setelah data diperoleh dan melakukan pengendalian maka peneliti

melakukan penskoran pada setiap jawaban responden untuk


81

mempermudah analisis data yang telah dikumpulkan. Scoring adalah

penilaian data dengan memberikan skor pada pengamatan yang berkaitan

dengan tindakan responden. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan

bobot pada masing-masing perilaku responden dalam menerapkan

protokol kesehatan Covid-19 sehingga mempermudah perhitungan.

Penskoran tentang pengetahuan (mengetahui) cara penerapan protokol

kesehatan melalui kebiasaan 4M dengan benar:

a. Angka 1, jika responden tidak mengetahui cara menerapkan protokol

kesehatan melalui kebiasaan 4M dengan benar

b. Angka 2, jika responden mengetahui cara menerapkan protokol

kesehatan melalui kebiasaan 4M dengan benar

Penskoran tentang pengetahuan (kemampuan) dalam mempraktikkan

kebiasaan 4M dengan benar:

a. Angka 1, jika responden tidak mampu melakukan kebiasaan 4M dengan

benar

b. Angka 2, jika responden mampu melakukan kebiasaan 4M dengan

benar

4. Pemasukan data (Entry)

Entry adalah kegiatan memasukkan data kedalam program komputer

untuk pengambilan hasil dan keputusan.

5. Tabulasi (Tabulating)

Tabulating merupakan pembuatan tabel data, sesuai dengan tujuan

penelitian atau yang diinginkan peneliti. Termasuk kegiatan tabulasi yaitu


82

memberikan skor terhadap item-item yang tidak diberi skor, mengubah

jenis data disesuaikan atau dimodifikasi dengan teknik analisis yang akan

digunakan coding (Sugiyono, 2015). Tabulasi dilakukan atas hasil

rekapitulasi skor checklist (lembar observasi) terkait dengan penerapan

protokol kesehatan melalui kebiasaan 4M secara benar dalam hal perilaku,

yang dipilih ke dalam lembar kerja (worksheet) Microsoft Office Excel

2007.

6. Pengecekan data (Cleaning)

Cleaning adalah kroscek data yang sudah di entry, apakah ada

kesalahan atau tidak. Menurut Hastono (2006) dalam Indriyani (2017)

pada cleaning penelitian dapat dilakukan dengan melihat ada atau

tidaknya data yang hilang atau mengalami missing data. Cleaning data

dilakukan untuk melakukan koreksi pada data yang sudah dilakukan

pengkodean maupun yang sudah di entry dan diseleksi dari kesalahan dan

dilakukan pembersihan data yang mengalami kesalahan.

4.9 Teknik Analisis Data

4.9.1 Analisis Univariat

Analisis univariat bertujuan untuk mendeskripsikan karakteristik

setiap variabel penelitian. Analisis univariat menghasilkan distribusi

frekuensi presentase dari tiap variabel (Notoatmodjo, 2012). Data univariat

pada penelitian ini adalah gambaran penerapan protokol kesehatan melalui

kebiasaan 4M yang diukur dari perilaku responden sebelum dan sesudah

diberikan intervensi baik metode tell-show-do maupun terapi okupasi.


83

4.9.2 Analisis Bivariat

Setelah dilakukan analisis univariat, hasilnya akan diketahui

karakteristik atau distribusi setiap variabel, dan dilanjutkan dengan analisis

bivariat. Analisis terhadap dua variabel yang diduga berhubungan atau ada

korelasinya (Notoatmodjo, 2012). Analisis bivariat merupakan analisis

untuk mengetahui interaksi dua variabel, baik berupa komparatif, asosiatif

maupun korelatif. Terdapat uji parametik dan non parametik pada analisis

bivariat (Saryono, 2011). Pada analisis bivariat ini dilakukan untuk

mengetahui ada tidaknya pengaruh antara variabel eksperimen (manipulated

variabel) dan variabel terikat dengan menggunakan statistik. Dalam

penelitian ini analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui efektivitas

metode tell-show-do dengan terapi okupasi dalam penerapan protokol

kesehatan selama pandemi Covid-19 pada penyandang retardasi mental di

Ponorogo.

Teknik analisis yang digunakan untuk mengetahui penerapan protokol

kesehatan selama pandemi Covid-19 pada penyandang retardasi mental di

Ponorogo sebelum dan sesudah metode tell-show-do dan terapi okupasi

menggunakan uji Paired Sample t-test yaitu termasuk uji beda secara

parametrik yang menguji adakah perbedaan rata-rata antara 2 kelompok

atau sampel yang berpasangan, dengan syarat skala data interval/rasio,

berdistribusi normal, homogen, dan jika tidak berdistribusi normal

menggunakan uji Mann-Whitnery U test dengan syarat pengukuran berulang

dan berdistribusi tidak normal yang merupakan nonparametic test. Beberapa


84

syarat penggunaan uji paired sample t-test adalah sebagai berikut: sampel

dalam jumlah kecil, skala data interval/rasio, data homogen, serta data

berdistribusi normal.

Langkah-langkah yang dilakukan dalam uji penelitian ini adalah

sebagai berikut:

1. Uji Normalitas

Uji normalitas menggunakan uji Shapiro-Wilk karena jumlah responden

<50 orang (Sopiyudin, 2017). Data dikatakan terdistribusi normal apabila

ρ > 0,05. Perhitungan uji Shapiro-Wilk menggunakan perhitungan

dengan program SPSS 22.

2. Uji Homogenitas

Uji homogenitas menggunakan metode Levene’s test. Kelompok

dikatakan homogen apabila hasil ρ > 0,05. Perhitungan uji Levene’s test

menggunakan perhitungan dengan program SPSS 22.

3. Metode analisis statistik

Metode analisis statistik ini untuk mengetahui perubahan dua

populasi/kelompok data yang independent yaitu 2 kelompok intervensi

yang mendapatkan metode tell-show-do dan terapi okupasi untuk

mengetahui perubahan penerapan penerapan protokol kesehatan selama

pandemi Covid-19. Bila syarat-syarat terpenuhi atau data terdistibusi

normal dan homogen maka menggunakan uji Paired Sample t-test dan

bila syarat tidak terpenuhi atau data tidak terdistribusi normal dan

homogen maka menggunakan uji Mann-Whitney test.


85

Selanjutnya untuk mengetahui perbedaan rerata antara kelompok

metode tell-show-do dan terapi okupasi menggunakan uji t tidak

berpasangan (independent t-test) (Notoatmodjo, 2012). Syarat yang harus

terpenuhi adalah skala pengukuran, distribusi data harus normal, varian

sama dengan variabel rasio atau interval. Dengan pengambilan keputusan

menggunkan nilai indek kepercayaan 95%, selisih dan nilai p. dimana bila

nilai p <α dan IK 95% tidak melewati angka nol maka kesimpulannya

terdapat perbedaan yang bermakna.


BAB 5

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Gambaran Umum Obyek Penelitian

5.1.1 Deskripsi Lokasi

Lokasi penelitian yang digunakan oleh peneliti terletak di Desa

Karangpatihan, Kecamatan Balong, Kabupaten Ponorogo. Berdasarkan letak

geografis, Desa Karangpatihan berada di wilayah selatan Kabupaten

Ponorogo yang secara administratif memiliki luas wilayah ± 1.336,6 hektar,

dan ketinggian wilayah 7 mdpl di daerah rendah dan 153,3 mdpl (diatas

permukaan laut). Kondisi cuaca dan klimatologi di Desa Karangpatihan

memiliki suhu rata-rata harian 31° C.

Desa Karangpatihan terbagi menjadi 4 dusun, yaitu Dusun Bendo,

Dusun Krajan, Dusun Tanggungrejo dan Dusun Bibis. Adapun batas-batas

wilayah Desa Karangpatihan adalah sebagai berikut:

Sebelah Utara : Desa Jonggol Kecamatan Jambon

Sebelah Selatan : Desa Ngendut Kecamatan Balong

Sebelah Barat : Hutan Negara/Kabupaten Pacitan

Sebelah Timur : Desa Sumberejo Kecamatan Balong

Batas-batas Desa Karangpatihan dapat dilihat dengan lebih jelas

pada gambar 5.1 berikut ini:

86
87

Sumber: Profil Desa Karangpatihan (2021)

Gambar 5.1 Peta Desa Karangpatihan

5.1.2 Sejarah Rumah Harapan Desa Karangpatihan, Kecamatan Balong

Kabupaten Ponorogo

Rumah Harapan Karangpatihan merupakan suatu wadah yang dalam

kegiatannya memfokuskan pada masyarakat miskin tuna grahita di Desa

Karangpatihan dalam pemberdayaan ekonomi dengan memberikan

pelatihan kepada masyarakat miskin tuna grahita sehingga mereka dapat

memiliki keterampilan kegiatan usaha, bertepatan di Desa Karangpatihan

Balong Ponorogo terbentuklah Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM)

Rumah Harapan Karangpatihan. Rumah ini telah memulai kiprahnya pada

tahun 2013, dan dibangun oleh masyarakat Desa Karangpatihan sebagai

upaya perbaikan kondisi ekonomi masyarakat khususnya warga miskin tuna

grahita.
88

Organisasi ini sempat berganti nama yang awalnya adalah hanya

sebuah pokmas, kemudian menjadi Balai Latihan Kerja atau yang disingkat

dengan BLK dan sekarang menjadi KSM Rumah Harapan Karangpatihan.

Berdirinya Rumah Harapan Karangpatihan ini Berawal dari adanya kisah

tentang banyaknya orang-orang yang mengalami keadaan keterbelakangan

mental. Sehingga, Desa Karangpatihan Kecamatan Balong, Kabupaten

Ponorogo mempunyai sebutan Kampung Idiot.

Menurut Bapak Eko Mulyadi selaku Kepala Desa Karangpatihan dan

bersama Bapak Samuji sebagai penggagas, pendiri, sekaligus pendamping

warga tuna grahita atau retardasi mental di desa tersebut, sejarah

terbentuknya KSM Rumah Harapan Karangpatihan diawali dengan

banyaknya warga penyandang cacat tuna grahita atau retardasi mental di

daerah ini. Hal tersebut terjadi tidak terlepas dari sejarah dahulu yakni

sekitar tahun 1950 an telah terjadi paceklik panjang di kawasan pinggiran

yang mengakibatkan ladang yang ditanami bermacam-macam tanaman

menjadi hancur. Dengan terpaksa mereka makan makanan yang ada tanpa

memikirkan gizi. Dengan sejarah cerita di atas, menjadikan banyak warga

tuna grahita atau retardasi mental yang menghuni di desa ini. Mereka

bertahan hidup dengan segala keterbatasan yang ada, menjadikan warga

Tuna grahita hanya bisa mengandalkan keberlangsungan hidupnya kepada

keluarga mereka dan juga bantuan berupa sumbangan. Mereka menjadi

pengangguran dan hanya bisa berjalan-jalan kesana kemari tanpa

mendapatkan penghasilan. Dari fenomena tersebut membuat masyarakat


89

sekitar tergerak untuk memberikan solusi dan membuat perubahan atas

keadaan tersebut.

Bermula dengan sikap kepedulian agar dapat melakukan perubahan

kepada mereka, akhirnya masyarakat sekitar mulai membangun sebuah

tempat dengan menggerakkan masyarakat yang fisiknya kuat dan baik.

Setelah bangunan yang mereka dirikan jadi, mereka kemudian mengajarkan

kepada masyarakat yang menyandang keterbelakangan mental menjadi

lebih produktif dan kreatif. Menurut Bapak Samuji sebagai Ketua Rumah

Harapan, menjelaskan bahwa Rumah Harapan ini dulunya masih berupa

pokmas dengan berbagai program, tetapi sejak tahun 2013 dirubah menjadi

rumah harapan karena untuk memberikan hasil yang lebih fokus. Dari

sejarah tersebut, maka berdirilah Rumah Harapan Karangpatihan dan

dibentuklah beberapa personil sebagai struktur kepengurusan untuk

menangani dan melatih memberikan keterampilan kepada mereka warga

Tuna grahita agar tidak mengganggur dan memiliki pendapatan sehingga

ekonomi keluarga mereka sejahtera.

Tempat yang digunakan untuk melakukan pemberdayaan ekonomi

dengan memberikan keterampilan kegiatan-kegiatan usaha dinamakan oleh

warga sekitar dengan KSM Rumah Harapan Karangpatihan yang didirikan

pada tahun 2013. Adapun susunan kepengurusan dari pengelola dan

pendamping yang ada di Rumah Harapan adalah sebagai berikut:


90

Pelindung : Eko Mulyadi

Ketua : Samuji

Sekretaris : Teguh Cahyono

Bendahara : Sumarsih

Bidang Pelatihan : 1. Setya Budi

2. Imam Hajat

Bidang Humas : 1. Yamud

2. Paimin

Bidang Pemasaran : Gito

Sumber: Dokumentasi Peneliti, 03 Juli 2021

Gambar 5.2 Rumah Harapan Desa Karangpatihan


91

5.2 Hasil Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan efektivitas metode

tell-show-do dan terapi okupasi dalam penerapan protokol kesehatan selama

pandemi Covid-19 pada penyandang retardasi mental di Ponorogo. Instrumen

pengumpulan data dalam penelitian ini adalah checklist (lembar observasi).

Checklist atau lembar observasi digunakan untuk mengumpulkan data tentang

penerapan protokol kesehatan melalui kebiasaan 4M secara benar, baik

sebelum maupun setelah intervensi. Pada penelitian ini, sampel penelitian

terdiri dari dua kelompok eksperimen. Berdasarkan perhitungan terjadinya

drop out dari sampel penelitian, maka sampel pada kelompok eksperimen 1,

yaitu yang diberikan metode tell-show-do maupun kelompok eksperimen 2

yang diberikan terapi okupasi masing-masing berjumlah 14 orang. Pada

pelaksanaan penelitian ini, terdapat kejadian dropout sehingga jumlah

responden pada kelompok eksperimen 1, yang menggunakan teknik tell-

show-do berjumlah 13 orang, sedangkan kelompok eksperimen 2 yang

diberikan terapi okupasi berjumlah 12 orang.

Berdasarkan data perilaku dalam penerapan protokol kesehatan Covid-

19 sebelum dan setelah dilakukan metode tell-show-do dan terapi okupasi

pada penyandang retardasi mental di Ponorogo yang telah dikumpulkan,

berikut ini disampaikan analisis data penelitian, yang meliputi karakteristik

data umum dan data khusus.


92

5.2.1 Data Umum

Berdasarkan data hasil observasi, dapat dideskripsikan karakteristik

responden yang meliputi data tentang jenis kelamin dan umur responden,

serta kategori retardasi mental pada responden penelitian sebagai berikut:

1. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Jenis Kelamin

Berdasarkan data obyektif responden, dapat diperoleh gambaran

bahwa jenis kelamin dari responden sebagai berikut:

Tabel 5.1. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin


Kelompok Kelompok
Jenis
No. Tell-Show-Do Terapi Okupasi Ʃ %
Kelamin
Frek. % Frek. %
1. Laki-laki 4 30,8 6 50,0 10 40
2. Perempuan 9 69,2 6 50,0 15 60
Jumlah 13 100 12 100 25 100
Sumber: data primer, diolah (2021)

Tabel 5.1 menunjukkan bahwa dari 25 orang penyandang retardasi

mental di Rumah Harapan yang menjadi responden penelitian ini, yang

berjenis kelamin laki-laki sebanyak 10 orang (40%) dan yang berjenis

kelamin perempuan sebanyak 15 orang (60%).

2. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Umur

Berdasarkan kategori menurut Depkes Tahun 2021 serta data

obyektif responden, dapat diperoleh gambaran umur responden sebagai

berikut.
93

Tabel 5.2. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur


Kelompok Kelompok
No. Umur Tell-Show-Do Terapi Okupasi Ʃ %
Frek. % Frek. %
1. 41-46 tahun 4 30,8 3 25,0 7 28
2. 47-52 tahun 6 46,2 3 25,0 9 36
3. 53-58 tahun 2 15,4 2 16,7 4 16
4. 59-64 tahun 1 7,7 4 33,3 5 20
Jumlah 13 100 12 100 25 100
Sumber: data primer, diolah (2021)

Berdasarkan data yang disampaikan pada Tabel 5.2, diketahui

bahwa jumlah terbanyak responden penelitian ini adalah penyandang

retardasi mental di Rumah Harapan yang berusia 47-52 tahun, yaitu

sebanyak 9 orang (36%), sedangkan yang paling sedikit adalah

responden yang berusia 53-58 tahun, yaitu sebanyak 4 orang (16%).

3. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Kategori Retardasi Mental

Mengacu pada pendapat Muhith (2015), berdasarkan tingkat

Intelligence Quotient (IQ) karakteristik retardasi mental dari responden

penelitian ini dibedakan menjadi:

Tabel 5.3. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kategori


Retardasi Mental
Kelompok Kelompok
Kategori
No. Tell-Show-Do Terapi Okupasi Ʃ %
Retardasi
Frek. % Frek. %
1. Ringan 10 76,9 5 41,7 15 60
2. Sedang 3 23,1 7 58,3 10 40
Jumlah 13 100 12 100 25 100
Sumber: data primer, diolah (2021)

Tabel 5.3 menunjukkan bahwa dari 25 orang penyandang retardasi

mental di Rumah Harapan yang menjadi responden penelitian ini, yang

termasuk ke dalam kategori retardasi mental ringan sebanyak 15 orang


94

(60%) dan yang termasuk ke dalam kategori retardasi mental sedang

sebanyak 10 orang (40%).

5.2.2 Data Khusus

5.2.2.1 Analisis Univariat

Data univariat pada penelitian ini adalah gambaran penerapan

protokol kesehatan melalui kebiasaan 4M yang diukur dari perilaku

responden sebelum dan sesudah diberikan intervensi baik metode tell-

show-do maupun terapi okupasi.

Tabel 5.4. Distribusi Frekuensi Perilaku Responden terhadap Penerapan


Protokol Kesehatan (Sebelum dan Setelah Pelaksanaan Metode
Tell-Show-Do)
Pretest Postest
No. Skor Perilaku
Frek. % Frek. %
1. 18-23 13 100 2 15
2. 24-29 0 0 4 31
3. 30-35 0 0 7 54
Jumlah 13 100 13 100
Skor Minimum 18 22
Skor Maksimum 23 35
Skor Rata-rata 19,69 29,15
Sumber: data primer, diolah (2021)

Tabel 5.4 menunjukkan bahwa dari 13 orang penyandang retardasi

mental di Rumah Harapan yang menjadi responden penelitian ini, pada

saat sebelum dilakukan pelatihan tentang penerapan protokol kesehatan

menggunakan metode tell-show-do, diperoleh nilai perilaku dengan skor

terendah sebesar 18 dan tertinggi sebesar 23, dengan nilai rata-rata sebesar

19,69. Frekuensi terbanyak responden adalah yang memiliki skor perilaku

antara 18-23. Setelah dilakukan pelatihan tentang penerapan protokol

kesehatan menggunakan metode tell-show-do, diperoleh nilai perilaku


95

dengan skor terendah sebesar 22 dan tertinggi sebesar 35, dengan nilai

rata-rata sebesar 29,15. Frekuensi terbanyak responden adalah yang

memiliki skor perilaku antara 30-35, yaitu sebanyak 7 (tujuh) orang.

Berdasarkan data di atas, dapat diketahui bahwa setelah pelatihan tentang

penerapan protokol kesehatan menggunakan metode tell-show-do, terdapat

peningkatan skor perilaku penerapan pada penyandang retardasi mental.

Tabel 5.5. Distribusi Frekuensi Perilaku Responden terhadap Penerapan


Protokol Kesehatan (Sebelum dan Setelah Pelaksanaan Terapi
Okupasi)
Pretest Postest
No. Skor Perilaku
Frek. % Frek. %
1. 18-23 12 100 2 17
2. 24-29 0 0 7 58
3. 30-35 0 0 3 25
Jumlah 12 100 12 100
Skor Minimum 18 23
Skor Maksimum 21 34
Skor Rata-rata 19,25 27,33
Sumber: data primer, diolah (2021)

Tabel 5.5 menunjukkan bahwa dari 12 orang penyandang retardasi

mental yang menjadi responden penelitian, pada saat sebelum dilakukan

pelatihan tentang penerapan protokol kesehatan menggunakan terapi

okupasi, diperoleh nilai perilaku dengan skor terendah sebesar 18 dan

tertinggi sebesar 21, dengan nilai rata-rata sebesar 19,25. Frekuensi

terbanyak responden adalah yang memiliki skor perilaku antara 18-23.

Setelah dilakukan pelatihan tentang penerapan protokol kesehatan

menggunakan terapi okupasi, diperoleh nilai perilaku dengan skor

terendah sebesar 23 dan tertinggi sebesar 34, dengan nilai rata-rata sebesar

27,33. Frekuensi terbanyak responden adalah yang memiliki skor perilaku


96

antara 24-29, sebanyak 7 (tujuh) orang. Berdasarkan data di atas, dapat

diketahui bahwa setelah pelatihan tentang penerapan protokol kesehatan

menggunakan terapi okupasi, terdapat peningkatan skor perilaku

penerapan pada penyandang retardasi mental.

Hal ini menunjukkan bahwa pelaksanaan pelatihan tentang

penerapan protokol kesehatan menggunakan metode tell-show-do maupun

terapi okupasi dapat meningkatkan perilaku dalam penerapan protokol

kesehatan selama pandemi Covid-19 pada penyandang retardasi mental di

Rumah Harapan.

5.2.2.2 Analisis Bivariat

Pada penelitian ini, analisis bivariat digunakan untuk menganalisis

perbedaan penerapan protokol kesehatan Covid-19 sebelum dan setelah

dilakukan metode tell-show-do, perbedaan penerapan protokol kesehatan

Covid-19 sebelum dan setelah dilakukan terapi okupasi, serta perbedaan

efektivitas metode tell-show-do dan terapi okupasi terhadap penerapan

protokol kesehatan Covid-19 pada penyandang retardasi mental di

Ponorogo.

Sebelum dilakukan analisis bivariat untuk menganalisis perbedaan

penerapan protokol kesehatan Covid-19 sebelum dan setelah dilakukan

metode tell-show-do, perbedaan penerapan protokol kesehatan Covid-19

sebelum dan setelah dilakukan terapi okupasi, serta perbedaan efektivitas

metode tell-show-do dan terapi okupasi terhadap penerapan protokol


97

kesehatan Covid-19, maka perlu dilakukan uji normalitas dan

homogenitas.

Analisis yang digunakan menggunakan uji parametrik, karena

distribusi data normal dan homogen, paired-test dilakukan untuk menguji

perbedaan skor perilaku responden sesudah dan sebelum diberikan

intervensi. Sedangkan independent t-test dilakukan untuk menguji

perbedaan skor perilaku antara kedua kelompok. Uji statistik pada kedua

perhitungan ini menggunakan tingkat kemaknaan atau interval

kepercayaan 95% dan (alpha 0.05).

Berikut ini merupakan hasil uji normalitas dan homogenitas data

perilaku terhadap penerapan protokol kesehatan Covid-19 sebelum dan

setelah dilakukan metodel tell-show-do dan terapi okupasi.

1. Uji Normalitas

Hasil uji normalitas perilaku responden sebelum dilakukan

metodel tell-show-do dan terapi okupasi dapat dilihat dalam tabel

berikut:

Tabel 5.6. Hasil Distribusi Normalitas Perilaku Penyandang Retardasi


Mental di Rumah Harapan terhadap Penerapan Protokol
Kesehatan Covid-19 Sebelum Dilakukan Metode Tell-
Show-Do dan Terapi Okupasi
Shapiro-Wilk
Variabel N
Df Sig.
Pretest Tell-Show-Do 13 13 0,058
Pretest Terapi Okupasi 12 12 0,110
Sumber: data primer, diolah (Lampiran 12)

Uji normalitas yang digunakan adalah Shapiro-Wilk karena

jumlah responden <50 orang. Hasil uji normalitas data perilaku


98

sebelum intervensi tell-show-do dan sebelum intervensi terapi okupasi

diperoleh nilai ρ > 0,05 artinya data berdistribusi normal. Dengan

demikian, pengujian hipotesis dapat menggunakan uji paired sample

t-test.

2. Uji Homogenitas

Hasil uji homogenitas perilaku responden sebelum dilakukan

metodel tell-show-do dan terapi okupasi adalah sebagai berikut:

Tabel 5.7. Hasil Distribusi Homogenitas Perilaku Penyandang


Retardasi Mental di Rumah Harapan terhadap Penerapan
Protokol Kesehatan Covid-19 Sebelum Dilakukan Metode
Tell-Show-Do dan Terapi Okupasi
Levene’s Test
Variabel
Df1 Df2 Sig.
Perilaku (Pretest) 1 23 0,052
Sumber: data primer, diolah (Lampiran 13)

Hasil uji homogenitas data perilaku sebelum intervensi tell-

show-do dan terapi okupasi diperoleh nilai ρ > 0,05 atau data

homogen, sehingga pengujian hipotesis dapat menggunakan uji paired

sample t-test.

3. Perbedaan penerapan protokol kesehatan Covid-19 sebelum dan

setelah dilakukan metode tell-show-do

Hasil uji normalitas menunjukkan bahwa data perilaku sebelum

intervensi berdistribusi normal sehingga uji beda menggunakan uji

paired sample t-test. Hasil uji perbedaan perilaku penerapan protokol

kesehatan Covid-19 sebelum dan setelah dilakukan metode tell-show-

do adalah sebagai berikut.


99

Tabel 5.8. Hasil Distribusi Pengaruh Metode Tell-Show-Do terhadap


Perilaku Penyandang Retardasi Mental pada Penerapan
Protokol Kesehatan Covid-19 Sebelum dan Sesudah
Intervensi
Variabel Rerata (s.b) Selisih (s.b) IK95% Nilai ρ
Pretest 19,69 (1,601) 9,46 (3,431) 7,388-11,535 0,000
TSD
Posttest 29,15 (4,413)
TSD
Sumber: data primer, diolah (Lampiran 14)

Tabel 5.8 menunjukkan hasil penelitian pretest-posttest dengan

menggunakan intervensi metode tell-show-do, dapat dilihat nilai ρ

(0,000), sedangkan untuk rerata nilai sebelum intervensi (pretest)

adalah 19,69 dan posttest sebesar 29,15 dengan selisih 9,49.

Berdasarkan hasil pengujian data diatas menunjukkan nilai p = 0,000

< α (0,05), maka dapat disimpulkan terdapat perbedaan perilaku

terhadap penerapan protokol kesehatan Covid-19 sebelum dan setelah

dilakukan metode tell-show-do.

Pada Tabel 5.8 juga diketahui bahwa nilai rerata (mean) perilaku

terhadap penerapan protokol kesehatan Covid-19 sebelum dilakukan

metode tell-show-do adalah sebesar 19,69 sedangkan nilai rerata

(mean) perilaku terhadap penerapan protokol kesehatan Covid-19

setelah dilakukan metode tell-show-do adalah sebesar 29,15. Hal ini

menunjukkan terdapat peningkatan perilaku dalam penerapan protokol

kesehatan Covid-19 antara sebelum dan setelah dilakukan metode tell-

show-do.
100

4. Perbedaan penerapan protokol kesehatan Covid-19 sebelum dan

setelah dilakukan terapi okupasi

Hasil uji perbedaan perilaku penerapan protokol kesehatan

Covid-19 sebelum dan setelah dilakukan terapi okupasi adalah sebagai

berikut.

Tabel 5.9. Hasil Distribusi Pengaruh Terapi Okupasi terhadap


Perilaku Penyandang Retardasi Mental pada Penerapan
Protokol Kesehatan Covid-19 Sebelum dan Sesudah
Intervensi
Variabel Rerata (s.b) Selisih (s.b) IK95% Nilai ρ
Pretest 19,25 (0,965) 8,08 (2,937) 6,217-9,950 0,000
Okupasi
Posttest 27,33 (3,257)
Okupasi
Sumber: data primer, diolah (Lampiran 14)

Tabel 5.9 menunjukkan hasil penelitian pretest-posttest dengan

menggunakan intervensi terapi okupasi, dapat dilihat nilai ρ (0,000),

sedangkan untuk rerata nilai sebelum intervensi (pretest) adalah 19,25

dan posttest sebesar 27,33 dengan selisih 8,08. Berdasarkan hasil

pengujian data diatas menunjukkan nilai p = 0,000 < α (0,05), maka

dapat disimpulkan terdapat perbedaan perilaku dalam penerapan

protokol kesehatan Covid-19 sebelum dan setelah dilakukan terapi

okupasi.

Menurut Tabel 5.9, nilai rerata (mean) perilaku dalam penerapan

protokol kesehatan Covid-19 sebelum dilakukan terapi okupasi adalah

sebesar 19,25 sedangkan nilai rerata (mean) perilaku dalam penerapan

protokol kesehatan Covid-19 setelah dilakukan terapi okupasi adalah

sebesar 27,33. Hal ini menunjukkan terdapat peningkatan perilaku


101

dalam penerapan protokol kesehatan Covid-19 antara sebelum dan

setelah dilakukan terapi okupasi.

5. Perbedaan efektivitas metode tell-show-do dan terapi okupasi terhadap

penerapan protokol kesehatan Covid-19 pada penyandang retardasi

mental di Ponorogo

Hasil uji perbedaan efektivitas metode tell-show-do dan terapi

okupasi terhadap penerapan protokol kesehatan Covid-19 pada

penyandang retardasi mental di Ponorogo dilakukan menggunakan uji

independent t-test, dengan hasil sebagai berikut:

Tabel 5.10. Hasil Distribusi Perbedaan Efektivitas Metode Tell-Show-


Do dan Terapi Okupasi terhadap Perilaku dalam
Penerapan Protokol Kesehatan Covid-19 pada Penyandang
Retardasi Mental
Metode N Rerata (s.b) Nilai ρ
Metodel Tell-Show-Do 13 29,15 (4,413) 0,256
Terapi Okupasi 12 27,33 (3,257)
IK95% 1,821 (5,053-1,412)
Sumber: data primer, diolah (Lampiran 14)

Tabel 5.10 menunjukkan nilai rerata perilaku dalam penerapan

protokol kesehatan Covid-19 pada penyandang retardasi mental

dengan intervensi metode tell-show-do adalah 29,15 dengan

simbangan baku sebesar 4,413. Sedangkan intervensi terapi okupasi

menunjukkan nilai rerata perilaku sebesar 27,33 dengan simpangan

baku sebesar 3,257. Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa nilai ρ

sebesar 0,256 > 0,05 sehingga hipotesis ditolak. Artinya tidak ada

perbedaan efektivitas metode tell-show-do dan terapi okupasi terhadap


102

perilaku dalam penerapan protokol protokol kesehatan Covid-19 pada

penyandang retardasi mental di Ponorogo.

5.3 Pembahasan

5.3.1 Karakteristik Responden Penyandang Retardasi Mental

Berdasarkan analisis karakteristik penyandang retardasi mental yang

ada di Rumah Harapan Desa Karangpatihan, Kecamatan Balong Kabupaten

Ponorogo sebagai responden penelitian ini, diketahui bahwa yang berjenis

kelamin perempuan yaitu sebanyak 15 orang (60%) lebih banyak

dibandingkan responden laki-laki yang berjumlah 10 orang (40%). Jika

ditinjau dari faktor umur, jumlah terbanyak responden penelitian ini adalah

penyandang retardasi mental di Rumah Harapan yang berusia 47-52 tahun,

yaitu sebanyak 9 orang (36%), sedangkan yang paling sedikit adalah

responden yang berusia 53-58 tahun, yaitu sebanyak 4 orang (16%). Apabila

merujuk pendapat Muhith (2015) maka berdasarkan tingkat Intelligence

Quotient (IQ), karakteristik retardasi mental dari responden penelitian terdiri

dari dua kategori, yaitu retardasi mental sedang dan ringan. dari 25 orang

penyandang retardasi mental di Rumah Harapan yang menjadi responden

penelitian ini, yang termasuk ke dalam kategori retardasi mental ringan

sebanyak 15 orang (60%) dan yang termasuk ke dalam kategori retardasi

mental sedang sebanyak 10 orang (40%).


103

5.3.2 Perbedaan Penerapan Protokol Kesehatan Covid-19 Sebelum dan

Setelah Dilakukan Metode Tell-Show-Do Pada Penyandang Retardasi

Mental di Ponorogo

Berdasarkan hasil analisis univariat jumlah distribusi frekuensi

variabel perilaku pada penyandang retardasi mental di Rumah Harapan,

tingkat perilaku dengan kriteria tidak baik, yaitu sebanyak 19 orang (76%).

Setelah dilakukan pelatihan tentang penerapan protokol kesehatan

menggunakan metode tell-show-do maupun terapi okupasi, responden

terbanyak adalah dengan tingkat perilaku dengan kriteria tidak baik, yaitu

sebanyak 14 orang (56%). Meskipun responden masih memiliki tingkat

perilaku dalam penerapan protokol kesehatan yang tidak baik, namun dapat

dilihat bahwa setelah dilaksanakan pelatihan tentang penerapan protokol

kesehatan menggunakan metode tell-show-do maupun terapi okupasi,

terdapat peningkatan jumlah responden dengan perilaku yang baik, yaitu

dari 6 orang (24%) menjadi 11 orang (44%). Hal ini menunjukkan bahwa

pelaksanaan pelatihan tentang penerapan protokol kesehatan menggunakan

metode tell-show-do maupun terapi okupasi dapat meningkatkan perilaku

dalam penerapan protokol kesehatan selama pandemi Covid-19 pada

penyandang retardasi mental di Rumah Harapan.

Penerapan protokol kesehatan Covid-19 pada penyandang retardasi

mental di Ponorogo dalam penelitian ini diukur dari perilaku dalam

penerapan protokol kesehatan. Berdasarkan hasil analisis bivariat dengan

menggunakan uji statistik paired sample t-test, diketahui bahwa hasil


104

penelitian pretest-posttest dengan menggunakan intervensi metode tell-

show-do, dapat dilihat nilai ρ (0,000), sedangkan untuk rerata nilai sebelum

intervensi (pretest) adalah 19,69 dan posttest sebesar 29,15 dengan selisih

9,49. Berdasarkan hasil pengujian data diatas menunjukkan nilai p =

0,000 < α (0,05), maka dapat disimpulkan terdapat perbedaan perilaku

dalam penerapan protokol kesehatan Covid-19 sebelum dan setelah

dilakukan metode tell-show-do.

Hasil uji hipotesis menunjukkan bahwa ada perbedaan perilaku dalam

penerapan protokol kesehatan Covid-19 sebelum dan setelah dilakukan

metode tell-show-do pada penyandang retardasi mental di Ponorogo. Hal ini

tidak sesuai dengan temuan penelitian yang dilakukan Fasalwati (2016)

bahwa pemberian penyuluhan dengan teknik tell show do adalah upaya yang

kurang efektif untuk meningkatkan pengetahuan penderita tunagrahita

mengenai kesehatan gigi dan mulut.

Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan menggunakan checklist,

diketahui bahwa skor perilaku dalam penerapan protokol kesehatan selama

pandemi Covid-19 menggunakan metode tell-show-do yang dicapai

responden, diketahui bahwa terdapat peningkatan perilaku responden setelah

mengikuti pelatihan menggunakan metode tell-show-do. Sebelum

dilaksanakan metode tell-show-do, responden dengan perilaku penerapan

protokol kesehatan dengan kriteria tidak baik, yaitu sebanyak 19 orang

(76%). Setelah dilakukan pelatihan tentang penerapan protokol kesehatan


105

menggunakan metode tell-show-do, responden dengan tingkat perilaku

dengan kriteria tidak baik mengalami penurunan, menjadi 14 orang (56%).

Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan menggunakan checklist,

terdapat peningkatan yang signifikan pada skor perilaku responden dalam

penerapan protokol kesehatan pandemi Covid. Saat melaksanakan metode

tell-show-do, responden lebih banyak meniru pendamping dalam

mempraktikan cara mencuci tangan menggunakan sabun dan mengenakan

masker yang benar.

5.3.3 Perbedaan Penerapan Protokol Kesehatan Covid-19 Sebelum dan

Setelah Dilakukan Teknik Okupasi Pada Penyandang Retardasi Mental

di Ponorogo

Berdasarkan hasil analisis univariat, jumlah distribusi frekuensi

variabel perilaku penerapan protokol kesehatan pada penyandang retardasi

mental di Rumah Harapan sebelum pelaksanaan terapi okupasi mengalami

peningkatan. Dari 12 orang sampel, terdapat 5 orang (41,7%) dengan

tingkat perilaku tidak baik. Setelah dilakukan pelatihan tentang penerapan

protokol kesehatan menggunakan terapi okupasi, terdapat 8 orang (66,7%)

dengan tingkat perilaku yang baik. Hal ini menujukkan bahwa setelah

dilaksanakan pelatihan tentang penerapan protokol kesehatan menggunakan

terapi okupasi, terdapat peningkatan jumlah responden dengan tingkat

perilaku yang baik.

Berdasarkan hasil analisis bivariat dengan menggunakan uji statistik

paired sample t-test, diperoleh nilai ρ (0,000), sedangkan untuk rerata nilai
106

sebelum intervensi (pretest) adalah 19,25 dan posttest sebesar 27,33 dengan

selisih 8,08. Berdasarkan hasil pengujian data diatas menunjukkan nilai p =

0,000 < α (0,05), maka dapat disimpulkan terdapat perbedaan perilaku

dalam penerapan protokol kesehatan Covid-19 sebelum dan setelah

dilakukan terapi okupasi.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada perbedaan perilaku

dalam penerapan protokol kesehatan Covid-19 sebelum dan setelah

dilakukan terapi okupasi pada penyandang retardasi mental di Ponorogo.

Temuan penelitian ini relevan dengan hasil penelitian yang dilakukan

Johnson dan Blaskowitz (2019) bahwa terapi okupasi dapat berpengaruh

dalam perencanaan dan pelaksanaan perawatan dan memungkinkan

partisipasi orang dewasa dengan intellectual disability melalui intervensi

langsung, konsultatif, dan berbasis advokasi. Terapi okupasi memiliki

beberapa keuntungan sebagai treatment preventif pada kemandirian hidup

orang dewasa yang sudah tua, yaitu meningkatkan Based and Instrumental

Activities of Daily Living (aktivitas dasar dan instrumental kehidupan sehari-

hari) (Clark, et. al, 1997).

Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan menggunakan checklist,

diketahui bahwa skor perilaku dalam penerapan protokol kesehatan selama

pandemi Covid-19 menggunakan terapi okupasi yang dicapai responden,

diketahui bahwa terdapat peningkatan perilaku responden setelah mengikuti

pelatihan menggunakan terapi okupasi.


107

Menurut Bilqis (2012) terapi okupasi merupakan upaya penyembuhan

terhadap seseorang yang mengalami kelainan fisik dan mental dengan cara

memberikan keaktifan kerja sehingga keaktifan tersebut untuk mengurangi

penderitaan yang dialami oleh penderita. Terapi okupasi tidak terbatas pada

aktivitas fisik semata, tetapi juga mencakup pengembangan intelektualitas,

kemampuan sosial, emosi, dan kreativitas. Terapi okupasi adalah metode

terapis untuk melatih motorik halus orang berkebutuhan khusus. Terapi ini

untuk membantu menguatkan, memperbaiki koordinasi dan keterampilan

ototnya. Hampir semua orang berkebutuhan khusus memiliki gangguan

pada motorik halusnya, dalam beraktivitas orang berkebutuhan khusus yang

memiliki keterlambatan perkembangan motorik halus akan terlihat kaku dan

kasar.

Penerapan terapi okupasi dapat meningkatkan perilaku dalam

penerapan protokol kesehatan Covid-19 pada para penyandang retardasi

mental di Tumah Harapan, Desa Karangpatihan, Kecamatan Balong,

Kabupaten Ponorogo. Hal ini sesuai dengan pendapat Nasir & Muhith

(2011) yang menyebutkan bahwa terapi okupasi dapat digunakan untuk

menciptakan suatu kondisi tertentu sehingga penyandang retardasi mental

dapat mengembangkan kemampuannya untuk dapat berhubungan dengan

orang lain dan masyarakat sekitarnya. Terapi okupasi juga dapat digunakan

untuk mengajarkan aktivitas kehidupan sehari-hari seperti makan, termasuk

dalam menerapkan protokol kesehatan melalui kebiasaan 4M, yaitu


108

memakai masker, mencuci tangan pakai sabun dan air mengalir, menjaga

jarak (minimal 1 meter), dan menghindari kerumunan.

Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan menggunakan checklist,

setelah dilaksanakan terapi okupasi, terdapat peningkatan yang signifikan

pada skor perilaku responden dalam penerapan protokol kesehatan pandemi

Covid. Penyandang retardasi mental di Rumah Harapan sudah mengetahui

bahwa sebelum menyentuh masker, perlu mencuci tangan dengan air

mengalir dan sabun. Beberapa responden juga mengalami peningkatan

pengetahuan tentang cara memakai masker yang benar dengan memastikan

masker dapat menutupi mulut, hidung, hingga dagu dengan mengencangkan

kawat di bagian atas mengikuti bentuk hidung. Responden juga sudah mulai

paham cara melepas masker yang benar, ayitu dengan cara memegang tali

pengikat tanpa menyentuh bagian depan masker, didahului dengan tali di

bagian bawah, lalu tarik masker menjauhi muka. Dalam hal mencuci tangan

pakai sabun, responden juga sudah menggunakan sabun dan ditaruh

ditelapak tangan, lalu membasahi tangan dan menggosokkan telapak tangan

yang sudah diberi sabun secara lembut dengan arah memutar serta

menggosok punggung tangan secara bergantian. Lalu bersihkan sela-sela

jari dengan cara menggosokannya.


109

5.3.4 Perbedaan Efektivitas Metode Tell-Show-Do dan Terapi Okupasi

terhadap Penerapan Protokol Kesehatan Covid-19 pada Penyandang

Retardasi Mental di Ponorogo

Berdasarkan hasil analisis bivariat dengan menggunakan uji statistik

independent sample t-test, diperoleh nilai ρ sebesar 0,256 > 0,05 sehingga

hipotesis ditolak. Artinya tidak ada perbedaan efektivitas metode tell-show-

do dan terapi okupasi terhadap perilaku dalam penerapan protokol kesehatan

Covid-19 pada penyandang retardasi mental di Ponorogo. Hasil penelitian

ini menunjukkan bahwa metode tell-show-do dan terapi okupasi sama-sama

efektif dalam meningkatkan perilaku penyandang retardasi mental.

Teknik tell-show-do dan terapi okupasi (occupational therapy) dapat

diterapkan pada para penyandang retardasi mental yang ada di Rumah

Harapan karena tingkat retardasi mental di tempat tersebut masih dalam

kriteria sedang dan ringan. Pada kelompok ini, penyandang retardasi mental

masih dapat dididik (educable) dan dilatih (trainable) (Jamaris, 2018).

Metode tell-show-do dapat dimanfaatkan untuk peningkatan pengetahuan

dan kemampuan para penyandang retardasi mental dalam penerapan

protokol kesehatan karena cara ini berdasarkan prinsip-prinsip teori

pembelajaran (learning theory) (Radhakrishna, et. al., 2019). Sedangkan

menurut Salwahanan dan Permatasari (2020) terapi okupasi dapat

meningkatkan pengetahuan dan kemampuan para penyandang retardasi

mental. Mekanisme penanganan terapi okupasi lebih banyak pada pelatihan

yang ditujukan kepada anak celebral palsy, grahita, idiot dan kejang ringan.
110

Adanya karakteristik penyandang retardasi mental di Rumah Harapan, yaitu

dalam kriteria sedang dan ringan serta karakteristik metode tell-show-do dan

terapi okupasi yang sesuai dengan kondisi pada para penyandang retardasi

mental, maka metode tell-show-do dan terapi okupasi sama-sama dapat

digunakan dan efektif untuk meningkatkan perilaku dalam penrapan

protokol kesehatan selama pandemi Covid-19 pada penyandang retardasi

mental di Rumah Harapan.

Berkaitan dengan penerapan protokol kesehatan Covid-19

menggunakan metode tell-show-do, dapat diuraikan bahwa penatalaksanaan

metode tell-show-do memerlukan hubungan timbal balik. Pada saat

melakukan tell, akan timbul pertanyaan-pertanyaan dari peserta tentang

informasi yang dibutuhkan dan sebagai bentuk izin untuk melanjutkan ke

tahap selanjutnya, yaitu show dan do. Proses ini dapat menyeimbangkan

rasa takut yang muncul dari peserta secara fisik maupun emosi (Armfield

and Heaton, 2013). Metode tell-show-do dianggap sangat efektif dalam

mengatasi perilaku pesertanya. Terapis yang menggunakan metode ini harus

mendemonstrasikan macam instrumen secara bertahap sebelum

mengaplikasikannya melalui komunikasi verbal dan melakukannya. Saat

melakukan suatu prosedur, terapis diharapkan untuk memperlihatkan

seluruh prosedur pada peserta. Teknik ini dapat mengatasi ketakutan atau

kecemasan dengan baik apabila peserta dapat melihat prosedur yang

ditunjukkan terapis (McDonald, et.al., 2016). Hal ini menunjukkan bahwa

metode tell-show-do lebih efektif dalam mengatasi perilaku.


111

Penyandang retardasi mental sebagai responden penelitian yang

mengikuti pelatihan penerapan protokol kesehatan Covid-19 dengan metode

tell-show-do berjumlah 13 (tiga belas) orang, yang terdiri dari 4 (empat)

orang laki-laki dan 9 (sembilan) orang perempuan. Ditinjau dari faktor

umur, terdapat 4 (empat) orang yang berusia 41-46 tahun, yang berusia 47-

52 tahun sebanyak 6 (enam) orang, usia 53-58 tahun sebanyak 2 (dua)

orang, dan hanya terdapat 1 (satu) orang yang berusia 59-64 tahun. Ditinjau

dari kriteria retardasi mental, terdapat 10 orang dengan kriteria ringan dan 3

(tiga) orang dengan kriteria sedang. Perilaku penyandang retardasi mental

dalam penerapan protokol kesehatan Covid-19 setelah dilakukan metode

tell-show-do mengalami peningkatan dibandingkan sebelum dilaksanakan

metode tell-show-do.

Peningkatan perilaku dalam penerapan protokol kesehatan Covid-19

pada penyandang retardasi mental setelah penerapan metode tell-show-do

dapat dikaitkan dengan faktor jenis kelamin, umur, dan kriteria retardasi

mental. Jumlah responden perempuan lebih dominan dari responden laki-

laki. Pada responden perempuan, terlihat lebih sering berdiskusi dengan

responden perempuan lainnya karena mereka cenderung terbuka, sedangkan

responden laki-laki yang lebih sedikit, lebih banyak mendengarkan dan

pasif. Keadaan ini akan membuat responden perempuan aktif lebih

mengikuti pelaksanaan metode tell-show-do dibandingkan responden laki-

laki. Adanya dominasi pada responden perempuan membuat mereka lebih


112

leluasa dalam mengikuti pelatihan, lebih aktif, serta mudah menerima

penjelasan dan melaksanakan diskusi.

Ditinjau dari faktor umur, responden yang mengikuti pelatihan

penerapan protokol kesehatan Covid-19 menggunakan metode tell-show-do

paling banyak adalah yang berusia 47-52 tahun, dibandingkan kelompok

usia lainnya. Dari keseluruhan responden, kelompok usia 47-52 tahun

adalah kelompok usia termuda setelah usia 41-46 tahun yang berjumlah 4

(empat) orang. Umur 41-46 tahun dan 47-52 tahun lebih mendominasi

dibandingkan kelompok usia diatasnya. Umumnya, semakin tua usia

seseorang akan lebih mudah dalam menerima informasi. Namun, hal ini

tidak berlaku pada penyandang retardasi mental sebagai responden

penelitian ini. Kelompok usia yang lebih muda justru lebih memiliki tingkat

perilaku yang lebih baik dibandingkan kelompok usia tua. Hal ini

disebabkan karena pada metode tell-show-do dituntut keaktifan peserta

dalam mengikuti penjelasan materi serta pelaksanaan praktik penerapan

protokol kesehatan. Kelompok usia tua lebih bersikap pasif dan kurang

atraktif.

Ditinjau dari kriteria retardasi mental, responden yang mengikuti

pelatihan penerapan protokol kesehatan Covid-19 menggunakan metode

tell-show-do paling banyak adalah dengan kriteria retardasi mental ringan.

Pada penyandang retardasi mental dengan kriteria ringan memiliki beberapa

kemampuan, seperti: dapat menolong diri sendiri dan memiliki keterampilan

adaptasi sosial, dapat melakukan pekerjaan yang sederhana (unskilled work),


113

dapat menguasai keterampilan akademi dasar secara terbatas, dapat

menolong diri sendiri dan memiliki keterampilan sosial secara terbatas, serta

dapat melakukan pekerjaan sederhana dan rutin dengan supervisi penuh.

Berkaitan dengan penerapan protokol kesehatan Covid-19

menggunakan terapi okupasi, dapat diuraikan bahwa pada pelatihan

penerapan protokol kesehatan Covid-19 dengan terapi okupasi, diikuti 12

(dua belas) orang, yang terdiri dari responden laki-laki dan perempuan

dengan jumlah masing-masing sebanyak 6 (enam) orang. Ditinjau dari

faktor umur, terdapat 3 (tiga) orang yang berusia 41-46 tahun dan 47-52

tahun, sedangkan pada kelompok usia 53-58 tahun sebanyak 2 (dua) orang,

dan terdapat 4 (empat) orang yang berusia 59-64 tahun. Kelompok usia tua,

yaitu usia 59-64 tahun lebih dominan dibandingkan kelompok usia lainnya.

Ditinjau dari kriteria retardasi mental, terdapat 5 (lima) orang dengan

kriteria ringan dan 7 (tujuh) orang dengan kriteria sedang. Perilaku

responden dalam penerapan protokol kesehatan Covid-19 setelah dilakukan

terapi okupasi mengalami peningkatan dibandingkan sebelumnya.

Peningkatan perilaku dalam penerapan protokol kesehatan Covid-19

pada penyandang retardasi mental setelah penerapan terapi okupasi

disebabkan karena peserta pelatihan dengan terapi okupasi rata-rata berusia

tua. Pada pelatihan dengan terapi okupasi, tidak terbatas pada aktivitas fisik

semata, tetapi juga mencakup pengembangan intelektualitas, kemampuan

sosial, emosi, dan kreativitas. Terapi okupasi dilakukan secara individual,

sehingga terdapat interaksi yang kuat antara pendamping atau pelaksana


114

terapi dengan responden penelitian. Adanya kedekatan secara personal saat

pelaksanaan terapi okupasi, memudahkan pendamping atau penyampai

terapi lebih mudah mengintervensi perilaku penyandang retardasi mental

yang menjadi responden penelitian ini. Hal ini juga diperkuat dari umur

peserta terapi yang rata-rata berusia tua serta memiliki kriteria retardasi

mental yang dominan kriteria sedang. Adanya pendekatan secara personal

inilah yang mengakibatkan adanya perubahan perilaku dalam penerapan

protokol kesehatan Covid-19 sebelum dan setelah penerapan terapi okupasi.

Pada penelitian ini, terbukti bahwa ada perbedaan perilaku dalam

penerapan protokol kesehatan Covid-19 sebelum dan setelah dilakukan

metode tell-show-do dan teknik okupasi pada penyandang retardasi mental

di Ponorogo. Selain itu, hasil penelitian juga menunjukkan bahwa ada tidak

ada perbedaan efektivitas metode tell-show-do dan terapi okupasi terhadap

perilaku dalam penerapan protokol kesehatan Covid-19 pada penyandang

retardasi mental di Ponorogo. Artinya, metode tell-show-do dan terapi

okupasi sama-sama efektif dalam meningkatkan perilaku penyandang

retardasi mental.

Berkaitan dengan penelitian tentang perbedaan efektivitas metode tell-

show-do dan terapi okupasi terhadap perilaku dalam penerapan protokol

kesehatan Covid-19 pada penyandang retardasi mental di Ponorogo yang

telah dilakukan, terdapat beberapa kendala selama pelaksanaan penelitian.

Beberapa kendala tersebut antara lain: 1) adanya keterbatasan komunikasi

antara peneliti dengan penyandang retardasi mental di Rumah Harapan


115

sehingga harus melibatkan pihak lain, yaitu pendamping sehingga peneliti

dapat menyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan proses dan pelaksanaan

metode tell-show-do dan terapi okupasi. 2) Terbatasnya waktu penelitian.

Hal ini menyebabkan penerapan metode tell-show-do dan terapi okupasi

untuk meningkatkan perilaku dalam penerapan protokol kesehatan Covid-19

pada penyandang retardasi mental di Ponorogo dianggap masih belum

maksimal. 3) Variabel yang diteliti dalam penelitian ini dibatasi hanya pada

metode tell-show-do dan terapi okupasi dan perilaku dalam penerapan

protokol kesehatan Covid-19, padahal masih banyak variabel-variabel lain

yang diduga dapat mempengaruhi perilaku dalam penerapan protokol

kesehatan Covid-19. Misalnya, faktor kesadaran (awareness), pendidikan,

karakteristik retardasi mental, dan sebagainya.

Adanya beberapa keterbatasan dalam penelitian ini menyebabkan

masih adanya bias dalam penelitian. Diduga, masih ada variabel-variabel

lain yang dapat mempengaruhi peningkatan perilaku dalam penerapan

protokol kesehatan Covid-19. Oleh sebab itu, perlu dilakukan penelitian

lebih lanjut tentang faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perilaku dalam

penerapan protokol kesehatan Covid-19. Bias penelitian yang lain juga dapat

ditimbulkan dari penggunaan instrumen pengumpulan data yang digunakan

dalam penelitian ini, yaitu hanya menggunakan lembar observasi (checklist).

Bagi penelitian selanjutnya, diharapkan juga dilakukan pengukuran perilaku

dalam penerapan protokol kesehatan Covid-19 menggunakan instrumen


116

pengumpulan data yang lain, yaitu kuesioner atau wawancara, sehingga

dapat mendukung dan memperkuat temuan atau hasil penelitian ini.


BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan tentang efektivitas

metode tell-show-do dan terapi okupasi dalam penerapan protokol kesehatan

Covid-19 pada penyandang retardasi mental di Ponorogo, dapat diperoleh

beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Ada perbedaan perilaku dalam penerapan protokol kesehatan Covid-19

sebelum dan setelah dilakukan metode tell-show-do pada penyandang

retardasi mental di Ponorogo.

2. Ada perbedaan perilaku dalam penerapan protokol kesehatan Covid-19

sebelum dan setelah dilakukan terapi okupasi pada penyandang retardasi

mental di Ponorogo.

3. Tidak ada perbedaan efektivitas metode tell-show-do dan terapi okupasi

terhadap perilaku dalam penerapan protokol kesehatan Covid-19 pada

penyandang retardasi mental di Ponorogo.

6.2 Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, maka dalam penelitian ini dapat

disampaikan beberapa saran kepada pihak-pihak sebagai berikut:

1. Bagi STIKES Bhakti Husada Mulia Madiun

Hasil temuan penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai

sumber referensi dan pustaka berkaitan dengan efektivitas metode tell-

117
118

show-do dengan terapi okupasi dalam penerapan protokol kesehatan

selama pandemi Covid-19 pada penyandang retardasi mental.

2. Bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Ponorogo

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dalam

kaitannya dengan peningkatan kesadaran masyarakat terhadap penerapan

protokol kesehatan selama pandemi Covid-19.

3. Bagi Pengelola Rumah Harapan Desa Karangpatihan Kabupaten Ponorogo

Penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai sumber

informasi dalam upaya-upaya peningkatan pengetahuan, kemandirian, dan

kemampuan para penyandang retardasi mental, khususnya yang ada di

Rumah Harapan Desa Karangpatihan Kabupaten Ponorogo.

4. Bagi penelitian yang akan datang

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber referensi

berkaitan dengan efektivitas metode tell-show-do dan terapi okupasi untuk

meningkatkan pengetahuan dan kemandirian pada para penyandang

retardasi mental.

Pada penelitian ini, masih terdapat bias, terutama karena penggunaan

instrumen pengumpulan data yang hanya terbatas pada penggunaan lembar

observasi (checklist) saja serta diduga masih adanya faktor-faktor lain

yang dapat mempengaruhi perilaku dalam penerapan protokol kesehatan

Covid-19 pada penyandang retardasi mental. Misalnya, faktor kesadaran

(awareness), pendidikan, karakteristik retardasi mental, dan sebagainya.

Oleh karena itu, bagi penelitian selanjutnya diharapkan dapat melakukan


119

penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan perilaku

dalam penerapan protokol kesehatan Covid-19 pada penyandang retardasi

mental selain metode tell-show-do dan terapi okupasi dengan

menggunakan instrumen pengumpulan data selain lembar observasi

(checklist), yaitu dengan menggunakan kuesioner dan wawancara.

Penelitian selanjutnya juga diharapkan dapat melakukan penelitian

tentang penerapan metode tell-show-do dan terapi okupasi sebagai upaya

untuk melakukan promosi kesehatan pada bidang-bidang yang lain, seperti

tentang Cuci Tangan Pakai Sabun (CTPS), Penerapan Hidup Bersih dan

Sehat (PHBS), pemberdayaan masyarakat (preventif dan promotif), dan

lainnya dengan melibatkan jumlah sampel yang lebih banyak, variabel

selain pengetahuan dan sikap, serta karakteristik responden yang berbeda

dan membandingkan 2 (dua) atau lebih kelompok responden penelitian.


DAFTAR PUSTAKA

Adisasmito, W. 2020. Pedoman Penanganan Cepat Medis dan Kesehatan


Masyarakat COVID-19 di Indonesia. Jakarta: Gugus Tugas Percepatan
Penanganan COVID-19 di Indonesia.

Amir, Hidayati. 2016. Penanganan Ansietas Pada Praktek Kedokteran Gigi.


Jurnal B-Dent. 3(1): 39-45.

Armfield JM. and Heaton LJ. 2013. Management of Fear and Anxiety in the
Dental Clinic: A Review. Journal of Australian Dental. 58(4): 390-407.

Astati. 1995. Terapi Okupasi, Bermain, dan Musik untuk Anak Tunagrahita.
Bandung: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Bernstein, Daniel & Shelov, Steven. 2017. Ilmu Kesehatan Anak untuk
Mahasiswa Kedokteran. Edisi Ketiga. Jakarta: EGC.

Betz, C. L. & Sowden, L. A. 2009. Buku Saku Keperawatan Pediatri. Edisi 5.


Jakarta: EGC.

Bilqis. 2012. Lebih Dekat Dengan Anak Tuna Daksa. Yogyakarta: Familia.

Budiman dan Riyanto A. 2013. Kapita Selekta Kuisioner Pengetahuan dan Sikap
Dalam Penelitian Kesehatan. Jakarta: Salemba Medika.

Ceraolo C. & Giorgi, F. M. 2020. Genomic variance of the 2019‐nCoV


coronavirus. J Med Virol. 92:522-8.

Chan JF-W, et. al. 2020. Genomic characterizaton of the 2019 novel human-
pathogenic coronavirus isolated from a patent with atypical pneumonia afer
visitng Wuhan. Emerg Microbes Infect. 9(1): 221-36.

Chen H, et al. 2020. Clinical characteristcs and intrauterine vertcal transmission


potental of COVID-19 infecton in nine pregnant women: a retrospectve
review of medical records. Lancet. 395(10226): 809-15.

Clark, Florence, et. al. 1997. Occcupational Therapy for Independent-Living


Older Adults. The Journal of the American Medical Association (JAMA).
278(16): 1321-1326.

Conforti C., et. al. 2020. COVID-19 and psoriasis: Is it tme to limit treatment with
immunosuppressants? A call for acton. Dermatol Ther. 2020:e13298.

120
121

ESC (European Society of Cardiology). 2020. Positon Statement of the ESC


Council on Hypertension on ACEInhibitors and Angiotensin Receptor
Blockers [Internet]. Updated on March 13. Available from:
htps://www.escardio.org/Councils/Council.

Fang L., et. al. 2020. Are patents with hypertension and diabetes mellitus at
increased risk for COVID-19 infecton? Lancet Respir Med. Published
online March 11. DOI: 10.1016/S2213-2600(20)30116-8.

Fasalwati. 2016. Dampak Penyuluhan dengan Teknik Tell Show Do terhadap


Tingkat Pengetahuan, Sikap dan Tindakan Penderita Tunagrahita Mengenai
Kesehatan Gigi dan Mulut di SLB YPAC Makassar. Skripsi. Makassar:
Bagian Periodonsia FKG Universitas Hasanuddin.

Gao K, et. al. 2020. Machine intelligence design of 2019-nCoV drugs. bioRxiv.
(online). Diakses dari: https://www.biorxiv.org/content. 5 Maret 2021.

Gorbalenya, et. al. 2020. The species Severe acute respiratory syndrome-related
coronavirus: classifying 2019-nCoV and naming it SARS-CoV-2. Nature
Microbiology. Diakses dari: https://www.researchgate.net. 12 Maret 2021.

Gracia, Mia. 2015. Hypnosis In Destistry Cara Terbaik Melampaui Ketakutan


Anda Saat Ke Dokter Gigi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Hadi, Sutrisno. 2004.Metodologi Research 2. Yogyakarta: ANDI Offset.

Halimah, RR Syarifah. 2018. Pengaruh Metode Ceramah Dengan Pemutaran


Video dan Metode Ceramah Terhadap Peningkatan Pengetahuan dan Sikap
Ibu Hamil Tentang Asi Ekslusif di Kecamatan Perbaungan Tahun 2018.
Laporan Tugas Akhir. Medan: FKM USU.

Han, Y. and Yang, H. 2020. The transmission and diagnosis of 2019 novel
coronavirus infecton disease (COVID-19): A Chinese perspectve. J Med
Virol. published online March 6. DOI: 10.1002/jmv.25749.

Hendrie, Fraser. 2021. Tell-Show-Do. (online). Diakses dari:


https://www.dentalfearcentral.org. 11 Maret 2021.

Herdiyati, Yetty dan Sasmita, Inne Suherna. 2014. Pendekatan Ideal Pada Anak
dalam Perawatan Gigi. Prosiding Temu Ilmiah Forum Dies 55 Fakultas
Kedokteran Gigi UNPAD. Bandung: Unpad Press.

Hidayat, A. Aziz Alimul. 2007. Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah.
Edisi 1. Jakarta: Salemba Medika.

_____. 2015. Metode Penelitian Paradigma Kuantitatif. Surabaya: Health Books


Publishing.
122

Huang, C., et. al. 2020. Clinical features of patents infected with 2019 novel
coronavirus in Wuhan, China. Lancet. 95(10223): 497-506. Diakses dari:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov. 27 Maret 2021.

Hull, David & Johnston, D. I. 2008. Dasar-Dasar Pediatri. Edisi 3. Jakarta: EGC.

Indriyani, Tiara. 2017. Efektifitas Penyuluhan Kesehatan “SADARI” Dengan


Media Video Terhadap Pengetahuan Pada Remaja Putri Di SMK YMJ
Ciputat. Laporan Tugas Akhir. Jakarta: Program Studi Ilmu Keperawatan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Iswari, Mega dan Nurhastuti. 2010. Anatomi Fisiologi dan Neorologi Dasar
(Dasar-dasar Ilmu Faal dan Saraf untuk PLS). Padang: UNP Press.

Jafri, Yendrizal, dkk. 2019. Terapi Okupasi Bina Diri Terhadap Kemandirian
Pada Anak Tunagrahita. Prosiding Seminar Kesehatan Perintis. 2(1): 105-
110.

Jamaris, Martini. 2018. Anak Berkebutuhan Khusus. Bogor: Ghalia Indonesia.

Johnson, Khalilah R. and Blaskowitz, Meghan. 2019. Occupational Therapy


Practice with Adults with Intellectual Disability: What More Can Do? The
Open Journal of Occupational Therapy. 7(2): 1-6.

Kam KQ, et. al. 2020. A Well Infant with Coronavirus Disease 2019 (COVID-19)
with High Viral Load. Clin Infect Dis. Diakses dari:
https://www.researchgate.net. 12 Maret 2021.

Kemenkes RI. 2020. Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Coronavirus


Disease (COVID-19). Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.

Khoso, P. A., Yew, V. W., & Mutalib, M. A. 2016. Comparing And Contrasting
Health Behaviour With Illness Behaviour. Journal of Social Sciences and
Humanities. 1(1): 578-589.

Kosasih, E. 2012. Cara Bijak Memahami Anak Berkebutuhan Khusus. Bandung:


Yrama Widya.

Mahdalena, Riza, dkk. 2020. Melatih Motorik Halus Anak Autis Melalui Terapi
Okupasi. Jurla Ortopedagogia. 6(1): 1-6.

McDonald, R. E., et.al. 2016. Dentistry for the Child and Adolescent. USA:
Mosby.

Mohamed, N. Roshan, et. al. 2018. A Comparative Study of Filmed Modeling and
Tell-Show-Do Technique on Anxiety in Children Undergoing Dental
Treatment. Journal of Oral Health and Community Dentistry. 12(1): 20-24.
123

Muhith, A. 2015. Pendidikan Keperawatan Jiwa (Teori dan Aplikasi).


Yogyakarta: Andi Offset.

Mustikawati, Neti, Anggorowati, Diana, & Mugianingrum, Okky Eka. 2015.


Kemampuan Sosialisasi Anak Retardasi Mental. Jurnal Ilmu Kesehatan
(JIK). VIII(2): 2-5.

Muttaqin, Arif. 2008. Pengantar Asuhan Keperawatan Dengan Klien Gangguan


System Persyarafan. Jakarta: Salemba Medika.

Nasir, Abdul dan Muhith, Abdul. 2011. Dasar-dasar Keperawatan Jiwa,


Pengantar dan Teori. Jakarta: Salemba Medika.

Nasir, Abdul. 2011. Metodologi Penelitian Kesehatan. Yogyakarta: Nuha Medika.

Notoatmodjo, Soekidjo. 2012a. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta:


Rineka Cipta.

_____. 2012b. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Nursalam. 2016. Metode Penelitian Ilmu Keperawatan. Edisi 4. Jakarta: Salemba


Medika.

Ong SWX, et. al. 2020. Air, Surface Environmental, and Personal Protectve
Equipment Contaminaton by Severe Acute Respiratory Syndrome
Coronavirus 2 (SARS-CoV-2) From a Symptomatc Patent. JAMA.
published online March 4. Diakses dari: https://jamanetwork.com. 2 April
2021.

Pane, M. D. C. 2020. Virus Corona. (online). Diakses dari:


https://www.alomedika.com. 9 Maret 2021.

Pratidina, Naninda Berliana, dkk. 2020. Perawatan Gigi dan Mulut Pada Anak
dengan Intellectual Disability Ringan dalam Anestesi Umum. Cakradonya
Dental Journal. 12(1): 49-55.

Prihanti, Gita Sekar. 2018. Pengantar Biostatistik. Edisi 1. Malang: Penerbit


Universitas Muhammadiyah Malang.

Radhakrishna, Sreeraksha, et. al. 2019. Comparison of three behaviormodification


techniques for management of anxious children aged 4-8 years. J Dent
Anesth Pain Med. 19(1): 29-36.

Riedel, S. et. al. 2019. Adelberg’s Medical Microbiology. 28th ed. New York:
McGrawHill Educaton/Medical.
124

Rothan, Hussin A. and Byrareddy, Siddappa N. 2020. The epidemiology and


pathogenesis of coronavirus disease (COVID-19) outbreak. Journal of
Autoimmunity. Vol. 109. pp. 1-5. Diakses dari: https://www.sciencedirect.
com. tanggal 2 Maret 2021.

Salwahanan, Davinia Farah dan Permatasari, Ane. 2020. Pelayanan Terhadap


Penyandang Disabilitas UPTD Balai Rehabilitasi Terpadu Penyandang
Disabilitas Dinas Sosial DIY Tahun 2017-2019. Jurnal Publicy Policy. 6(2):
103-111.

Setiawan, Imam. 2020. A to Z Anak Berkebutuhan Khusus. Sukabumi: Jejak.

Sharma, Karan., et. al. 2016. Relative efficacy of Tell-Show-Do and live
modeling techniques on suburban Indian children during dental treatment
based on heart rate values: a clinical study. J Dent Specialities. 4(2): 178-
182.

Sopiyudin, Dahlan M. 2017. Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan. Edisi 7.


Jakarta: Salemba Medika.

Soriano V. and Barreiro P. 2020. Impact of New Coronavirus Epidemics on HIV-


Infected Patents. AIDS Rev. 22(1): 57-8.

Sugiyono. 2015. Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Method). Bandung:


Alfabeta.

Thuruvan, Thivyah. 2012. Teknik TSD Sebagai Pendekatan Tingkah Laku Anak
Pada Perawatan Gigi. Laporan Penelitian. Medan: Universitas Sumatera
Utara.

Usman, dkk. 2020. Pengetahuan dan Sikap Mahasiswa Kesehatan Tentang


Pencegahan Covid-19 Di Indonesia. Jurnal Ilmu Keperawatan dan
Kebidanan. 11(2): 258-264.

Utaminingsih, W. R. 2015. Menjadi Dokter Bagi Anak Anda Mengenali &


Mencegah Sedini Mungkin Serangan Penyakit & Gangguan Kesehatan
pada Anak. Yogyakarta: Cakrawala Ilmu.

van Doremalen N, et. al. 2020. Aerosol and Surface Stability of SARS-CoV-2 as
Compared with SARS-CoV-1. The New England Journal of Medicine.
published online March 17. Diakses dari: https://www.researchgate.net. 12
Maret 2021.

Wang J, et. al. 2020. Exploring the reasons for healthcare workers infected with
novel coronavirus disease 2019 (COVID-19) in China. Journal of Hosp
Infect. published online March 5. Diakses dari: https://clinowl.com. 4 Maret
2021.
125

World Health Organizaton (WHO). 2020. Naming the coronavirus disease


(COVID-19) and the virus that causes it. [Internet]. Geneva: World Health
Organizaton.

Widayati, Aris. 2019. Perilaku Kesehatan (Health Behavior): Aplikasi Teori


Perilaku Untuk Promosi Kesehatan. Yogyakarta: Sanata Dharma University
Press.

Winardi, J. 2019. Manajemen Perilaku Organisasi. Edisi Revisi. Jakarta:


Kencana.

Xiao F, et. al. 2020. Evidence for gastrointestnal infecton of SARS-CoV-2.


Gastroenterology. published online March 3. Diakses dari:
https://www.researchgate.net. 12 Maret 2021.

Yang J., et. al. 2020. Prevalence of comorbidites in the novel Wuhan coronavirus
(COVID-19) infecton: a systematc review and meta-analysis. International
Journal of Infectious Diseases. Vol. 94. p. 91-95. Diakses dari:
https://www.sciencedirect. com. tanggal 2 Maret 2021.

Yasmin, Ulfa dan Riyanti, Eriska. 2019. Rehabilitasi Rongga Mulut Pada Anak
Disabilitas Intelektual. Cakradonya Dental Journal. 11(1): 38-47.

Yudhaningtyas, H. 2018. Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya


Skabies Pada Santriwati Di Pondok Pesantren Salaffiyah Miftahu Nurul
Huda Kecamatan Panekan Kabupaten Magetan. Skripsi. Madiun: Prodi
Keperawatan STIKES Bhakti Husada Mulia Madiun.

Zhang, H., et. al. 2020. Angiotensinconvertng enzyme 2 (ACE2) as a SARS-CoV-


2 receptor: molecular mechanisms and potental therapeutc target. Intensive
Care Med. published online March 3. Diakses dari:
https://www.researchgate.net. 12 Maret 2021.

Zhang, T., et. al. 2020. Probable Pangolin Origin of SARSCoV-2 Associated with
the COVID-19 Outbreak. Current Biology. Vol. 30. Issue 7. p. 1346-1351.
Diakses dari: https://www.sciencedirect. com. tanggal 2 Maret 2021.

Zhou, P., et.al. 2020. A pneumonia outbreak associated with a new coronavirus of
probable bat origin. Nature. 579(7798): 270-300.
LAMPIRAN
Lampiran 1 Surat Izin Pengambilan Data Awal dari Bakesbangpol Kabupaten
Ponorogo
Lampiran 2 Surat Izin Pengambilan Data
Lampiran 3 Lembar Permohonan Menjadi Responden

LEMBAR PERMOHONAN MENJADI RESPONDEN

Dengan hormat,
Saya sebagai mahasiswa Peminatan Promosi Kesehatan Program Studi S1
Kesehatan Masyarakat STIKES Bhakti Husada Mulia Madiun,

Nama : Yuha Agistha Faza


NIM : 201703043
Bermaksud mengadakan penelitian tentang “Perbedaan Efektivitas Metode
Tell-Show-Do dan Terapi Okupasi dalam Penerapan Protokol Kesehatan Selama
Pandemi Covid-19 Pada Penyandang Retardasi Mental di Ponorogo”. Sehubungan
dengan ini, saya mohon kesediaan Anda untuk bersedia menjadi responden dalam
penelitian yang akan saya lakukan. Kerahasiaan data pribadi Anda akan sangat
kami jaga dan informasi yang akan saya gunakan hanya untuk kepentingan
penelitian.

Demikian permohonan saya, atas perhatian dan kesediaan Anda saya


ucapkan terima kasih.

Madiun, Mei 2021


Peneliti,

Yuha Agistha Faza


(201703043)
Lampiran 4 Informed Consent

LEMBAR PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN


(Informed Consent)

Dengan hormat,
Saya sebagai mahasiswa Peminatan Promosi Kesehatan Program Studi S1
Kesehatan Masyarakat STIKES Bhakti Husada Mulia Madiun,

Nama : Yuha Agistha Faza


NIM : 201703043
Bermaksud mengadakan penelitian tentang “Perbedaan Efektivitas Metode
Tell-Show-Do dan Terapi Okupasi dalam Penerapan Protokol Kesehatan Selama
Pandemi Covid-19 Pada Penyandang Retardasi Mental di Ponorogo”. Adapun
informasi yang Anda berikan akan dijamin kerahasiaannya dan saya bertanggung
jawab apabila informasi yang diberikan merugikan Anda.
Sehubungan dengan hal tersebut, apabila Anda setuju ikut serta dalam
penelitian ini dimohon untuk menandatangani kolom yang telah disediakan.
Untuk kesediaan dan kerjasamanya, saya mengucapkan terima kasih.

Madiun, Mei 2021


Peneliti Responden

Yuha Agistha Faza ___________________


(201703043)
Lampiran 5 Standar Operasional Prosedur Metode Tell-Show-Do

SOP (STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR)


Metode Tell-Show-Do
No. Dokumen No. Revisi Halaman
Prosedur Tetap Tanggal terbit
Pengertian Metode yang dilakukan dengan tahapan pemberian
informasi, lalu memberikan visualisasi/peragaan dan setelah
anak mengerti, tahapan tersebut dilakukan
Tujuan 1. Membangun kepercayaan antara pendamping dan
penyandang retardasi mental dalam pelatihan penerapan
protokol kesehatan Covid-19 melalui kebiasaan 4M
2. Meningkatkan kemampuan motorik dan kognitif
penyandang retardasi mental
3. Mengurangi kecemasan pada para penyandang retardasi
mental
4. Memiliki perilaku kooperatif selama melaksanakan
latihan penerapan 4M
Frekuensi 1 kali seminggu setiap hari Kamis
Durasi 60 menit
Cara (metode) Kontinyu
Tempat Ruang pelatihan di Rumah Harapan
Waktu 3 minggu
Program
Tanda
Prosedur Uraian M TM
Tangan
Persiapan alat:
1. Masker
2. Bak dan kran air
3. Air untuk cuci tangan
4. Sabun untuk cuci tangan
5. Tali rafia untuk pembatas
Persiapan peserta:
1. Identifikasi peserta
2. Menjelaskan kepada peserta
prosedur yang akan dilakukan
3. Menanyakan kesiapan peserta
sebelum kegiatan dilakukan
4. Mempersiapkan lingkungan tempat
Tanda
Prosedur Uraian M TM
Tangan
Pelaksanaan:
1. Peneliti dan pendamping
menjelaskan prosedur penerapan
protokol kesehatan dengan
pelaksanaan latihan penerapan 4M
yang akan dilakukan dengan
menggunakan bahasa yang sesuai
dengan tingkat pemahaman untuk
orang dengan retardasi mental.
2. Peneliti dan pendamping
menunjukkan prosedur penerapan
protokol kesehatan dengan
pelaksanaan latihan penerapan 4M
yang akan dilakukan tanpa
memberikan ketakutan pada para
penyandang retardasi mental.
a. Mempraktikkan dan mengajari
cara memakai masker yang
benar
b. Mempraktikkan dan mengajari
cara mencuci tangan pakai
sabun dan air mengalir yang
baik dan benar
c. Mempraktikkan cara menjaga
jarak dengan orang lain (minimal
1 meter) dengan bantuan alat
peraga tali rafia
d. Mempraktikkan cara
menghindari kerumunan.
3. Para penyandang retardasi mental
ditugaskan untuk menyelesaikan
prosedur penerapan protokol
kesehatan dengan pelaksanaan
latihan penerapan 4M seperti yang
telah dicontohkan
a. Mempraktikkan cara memakai
masker yang benar
b. Mempraktikkan cara mencuci
tangan pakai sabun dan air
mengalir yang baik dan benar
Tanda
Prosedur Uraian M TM
Tangan
c. Mempraktikkan cara menjaga
jarak dengan orang lain (minimal
1 meter) dengan bantuan alat
peraga tali rafia
d. Mempraktikkan cara
menghindari kerumunan.
Dokumentasi
Tindakan
Catatan
Penilaian

M : dilakukan dengan memuaskan (dilakukan sampai selesai metode tell-show-


do)
TM : dilakukan dengan tidak memuaskan (dilakukan tidak sampai selesai
metode tell-show-do)
Lampiran 6 Standar Operasional Prosedur Terapi Okupasi

SOP (STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR)


Terapi Okupasi
No. Dokumen No. Revisi Halaman
Prosedur Tetap Tanggal terbit
Pengertian Metode terapis untuk melatih motorik halus orang
berkebutuhan khusus
Tujuan 1. Mengembangkan fungsi fisik, psikologis, sosial dan
emosional penyandang retardasi mental agar dapat
menerapkan protokol kesehatan Covid-19 melalui
kebiasaan 4M dengan baik.
2. Mempertahankan fungsi yang baik dan membimbing
penyandang retardasi mental sesuai dengan keadaan
pribadinya sehingga mereka dapat hidup normal dalam
masyarakat dan dapat menerapkan protokol kesehatan
Covid-19 melalui kebiasaan 4M dengan baik.
Frekuensi 1 kali seminggu setiap hari Kamis
Durasi 60 menit
Cara (metode) Kontinyu
Tempat Ruang pelatihan di Rumah Harapan
Waktu 3 minggu
Program
Tanda
Prosedur Uraian M TM
Tangan
Persiapan alat:
1. Ruang yang nyaman dan tenang
2. Kursi 2 buah
3. Masker
4. Bak dan kran air
5. Air untuk cuci tangan
6. Sabun untuk cuci tangan
7. Tali rafia untuk pembatas
Persiapan peserta:
1. Identifikasi peserta
2. Menjelaskan kepada peserta
prosedur yang akan dilakukan
3. Menanyakan kesiapan peserta
sebelum kegiatan dilakukan
4. Mempersiapkan lingkungan tempat
Tanda
Prosedur Uraian M TM
Tangan
Pelaksanaan:
1. Pra interaksi.
a. Melihat data klien
b. Mengkaji riwayat klien
2. Interaksi
a. Orientasi
1) Menyapa klien atau keluarga
sesuai kultur/sosial budaya
setempat
2) Memperkenalkan diri
3) Melakukan kontrak topik,
waktu dan tempat pertemuan
4) Menjelaskan maksud dan
tujuan pertemuan
b. Kerja
1) Membantu klien menilai
kemampuan yang masih
dapat digunakan
2) Membantu klien memilih/
menetapkan kemampuan
yang akan dilatih
3) Memberikan arahan
ketrampilan tentang
prosedur penerapan protokol
kesehatan dengan
pelaksanaan kebiasaan 4M
(memakai masker, mencuci
tangan pakai sabun dan air
mengalir, menjaga jarak
(minimal 1 meter), dan
menghindari kerumunan)
4) Menyiapkan alat dan bahan,
meliputi: masker, bak dan
kran air, air untuk cuci
tangan, sabun untuk cuci
tangan, tali rafia
5) Mendampingi mulainya
ketrampilan kerja (penerap-
an protokol kesehatan
dengan pelaksanaan kebi-
asaan 4M) dan ajak bicara
klien dengan memberikan
arahan
Tanda
Prosedur Uraian M TM
Tangan
6) Menilai hasil yang sudah
dibuat (penerapan protokol
kesehatan dengan
pelaksanaan kebiasaan 4M)
apakah sudah benar atau
belum
c. Terminasi
1) Mengeksplorasi perasaan
klien
2) Memberikan kesempatan
pada klien untuk
memberikan umpan balik
dari terapi yang dilakukan
3) Melakukan kontrak: topik,
waktu, dan tempat kegiatan
selanjutnya.
d. Post interaksi
1) Merapihkan alat dan bahan
yang telah dipakai
2) Mendokumentasikan
tindakan secara tepat pada
lembar catatan keperawatan
pasien
Dokumentasi
Tindakan
Catatan
Penilaian

M : dilakukan dengan memuaskan (dilakukan sampai selesai terapi okupasi)


TM : dilakukan dengan tidak memuaskan (dilakukan tidak sampai selesai terapi
okupasi)
Lampiran 7 Lembar Pengamatan Penerapan Protokol Kesehatan

CHECKLIST UNTUK PENGAMATAN PENERAPAN


PROTOKOL KESEHATAN

A. Checklist untuk pengamatan penerapan protokol kesehatan Covid-19


sebelum dilakukan penyuluhan dan pelatihan
Hasil Pengamatan
No. Parameter
M TM
A. Cara menggunakan masker dengan benar
1. Sebelum menyentuh masker, mencuci tangan dengan
air mengalir dan sabun
2. Mengambil masker dengan cara memegang talinya
dan tidak menyentuh bagian kain yang akan
menutupi hidung dan mulut
3. Memakai masker dengan memastikan masker dapat
menutupi mulut, hidung, hingga dagu dengan
mengencangkan kawat di bagian atas mengikuti
bentuk hidung
4. Selama mengenakan masker, tidak menyentuh area
masker bagian depan
5. Tidak berbagi masker dengan orang lain
6. Hindari melepas masker ketika berada dekat dengan
orang lain yang berjarak kurang dari 1 meter
7. Sebelum melepas masker, cuci tangan terlebih dahulu
8. Melepas masker dengan cara memegang tali pengikat
tanpa menyentuh bagian depan masker, didahului
dengan tali di bagian bawah, lalu tarik masker
menjauhi muka
9. Membuang masker di tempat khusus
B. Cara mencuci tangan dengan benar
10. Membasuh tangan dengan air mengalir
11. Menggunakan sabun dan ditaruh ditelapak tangan,
lalu membasahi tangan dan menggosokkan telapak
tangan yang sudah diberi sabun secara lembut dengan
arah memutar
12. Menggosok punggung tangan secara bergantian. Lalu
bersihkan sela-sela jari dengan cara menggosokannya
13. Membersihkan ujung jari dengan posisi saling
mengunci.
14. Membersihkan ibu jari dengan cara menggosok dan
memutar kedua ibu jari. Gosok perlahan telapak
tangan dengan ujung jari.
Hasil Pengamatan
No. Parameter
M TM
15. Membilas tangan dengan menggunakan air bersih
yang mengalir
16. Mengeringkan tangan menggunakan handuk bersih
atau tisu kering. Pastikan handuk dalam keadaan
bersih dan tidak bergantian dengan orang lain
C. Cara menjaga jarak dengan benar
17. Saat duduk atau berdiri, dapat menjaga jarak dari
orang lain kurang lebih 1 meter
D. Menghindari kerumunan
18. Menjauhi kerumunan orang

Keterangan:
M : mampu melakukan, skor 2
TM : tidak mampu melakukan, skor 1
B. Checklist untuk pengamatan penerapan protokol kesehatan Covid-19
setelah dilakukan penyuluhan dan pelatihan
Hasil Pengamatan
No. Parameter
M TM
A. Cara menggunakan masker dengan benar
1. Sebelum menyentuh masker, mencuci tangan dengan
air mengalir dan sabun
2. Mengambil masker dengan cara memegang talinya
dan tidak menyentuh bagian kain yang akan
menutupi hidung dan mulut
3. Memakai masker dengan memastikan masker dapat
menutupi mulut, hidung, hingga dagu dengan
mengencangkan kawat di bagian atas mengikuti
bentuk hidung
4. Selama mengenakan masker, tidak menyentuh area
masker bagian depan
5. Tidak berbagi masker dengan orang lain
6. Hindari melepas masker ketika berada dekat dengan
orang lain yang berjarak kurang dari 1 meter
7. Sebelum melepas masker, cuci tangan terlebih dahulu
8. Melepas masker dengan cara memegang tali pengikat
tanpa menyentuh bagian depan masker, didahului
dengan tali di bagian bawah, lalu tarik masker
menjauhi muka
9. Membuang masker di tempat khusus
B. Cara mencuci tangan dengan benar
10. Membasuh tangan dengan air mengalir
11. Menggunakan sabun dan ditaruh ditelapak tangan,
lalu membasahi tangan dan menggosokkan telapak
tangan yang sudah diberi sabun secara lembut dengan
arah memutar
12. Menggosok punggung tangan secara bergantian. Lalu
bersihkan sela-sela jari dengan cara menggosokannya
13. Membersihkan ujung jari dengan posisi saling
mengunci.
14. Membersihkan ibu jari dengan cara menggosok dan
memutar kedua ibu jari. Gosok perlahan telapak
tangan dengan ujung jari.
15. Membilas tangan dengan menggunakan air bersih
yang mengalir
16. Mengeringkan tangan menggunakan handuk bersih
atau tisu kering. Pastikan handuk dalam keadaan
bersih dan tidak bergantian dengan orang lain
Hasil Pengamatan
No. Parameter
M TM
C. Cara menjaga jarak dengan benar
17. Saat duduk atau berdiri, dapat menjaga jarak dari
orang lain kurang lebih 1 meter
D. Menghindari kerumunan
18. Menjauhi kerumunan orang

Keterangan:
M : mampu melakukan, skor 2
TM : tidak mampu melakukan, skor 1
Lampiran 8 Daftar Nama Responden Penelitian

A. Kelompok Responden yang Mengikuti Pelatihan dengan Metode Tell-Show-Do


No. Jenis Umur Kriteria
Nama
Resp. Kelamin (tahun) RM
1 Marni P 54 Ringan
2 Suratun P 49 Ringan
3 Wini P 52 Ringan
4 Bodong L 51 Sedang
5 Mesirah P 47 Ringan
6 Tuni P 54 Sedang
7 Wagi P 42 Ringan
8 Semok P 45 Ringan
9 Sarikem P 48 Ringan
10 Sainem P 60 Sedang
11 Norul L 41 Ringan
12 Gimun L 43 Ringan
13 Bakir L 47 Ringan

B. Kelompok Responden yang Mengikuti Pelatihan dengan Terapi Okupasi


No. Jenis Umur Kriteria
Nama
Resp. Kelamin (tahun) RM
1 Parmin L 60 Sedang
2 Parmi P 57 Ringan
3 Misinah P 46 Ringan
4 Misidi L 48 Ringan
5 Toiran L 45 Ringan
6 Suyoto L 48 Ringan
7 Katemi P 47 Ringan
8 Tamiyo L 53 Sedang
9 Pairah p 62 Sedang
10 Janem P 59 Ringan
11 Yatemun L 46 Ringan
12 Situk P 64 Sedang
Lampiran 9 Hasil Pengamatan Perilaku dalam Penerapan Protokol Kesehatan Selama Pandemi Covid-19 Sebelum Pelatihan
(Pretest)

Keterangan:
Skor perilaku : 1 = Tidak mampu melakukan dengan memuaskan
2 = Mampu melakukan dengan memuaskan
A. Skor Pengamatan Perilaku dalam Penerapan Protokol Kesehatan Pandemi Covid-19 pada Kelompok yang Mengikuti Pelatihan
dengan Metode Tell-Show-Do (Pretest)

Keterangan:
Skor perilaku : 1 = Tidak mampu melakukan dengan memuaskan
2 = Mampu melakukan dengan memuaskan
B. Skor Pengamatan Perilaku dalam Penerapan Protokol Kesehatan Pandemi Covid-19 pada Kelompok yang Mengikuti Pelatihan
dengan Metode Terapi Okupasi (Pretest)

Keterangan:
Skor perilaku : 1 = Tidak mampu melakukan dengan memuaskan
2 = Mampu melakukan dengan memuaskan
Lampiran 10 Hasil Pengamatan Perilaku dalam Penerapan Protokol Kesehatan Selama Pandemi Covid-19 Setelah Pelatihan
(Posttest)

Keterangan:
Skor perilaku : 1 = Tidak mampu melakukan dengan memuaskan
2 = Mampu melakukan dengan memuaskan
A. Skor Pengamatan Perilaku dalam Penerapan Protokol Kesehatan Pandemi Covid-19 pada Kelompok yang Mengikuti Pelatihan
dengan Metode Tell-Show-Do (Posttest)

Keterangan:
Skor perilaku : 1 = Tidak mampu melakukan dengan memuaskan
2 = Mampu melakukan dengan memuaskan
B. Skor Pengamatan Perilaku dalam Penerapan Protokol Kesehatan Pandemi Covid-19 pada Kelompok yang Mengikuti Pelatihan
dengan Metode Terapi Okupasi (Posttest)

Keterangan:
Skor perilaku : 1 = Tidak mampu melakukan dengan memuaskan
2 = Mampu melakukan dengan memuaskan
Lampiran 11 Data Demografi Responden Penyandang Retardasi Mental di
Rumah Harapan Desa Karangpatihan, Kecamatan Balong
Kabupaten Ponorogo

A. Jenis Kelamin
1. Kelompok Tell-Show-Do

2. Kelompok Terapi Okupasi

B. Umur
1. Kelompok Tell-Show-Do

2. Kelompok Terapi Okupasi


C. Kriteria Retardasi Mental
1. Kelompok Tell-Show-Do

2. Kelompok Terapi Okupasi

D. Skor Perilaku
1. Kelompok Tell-Show-Do
2. Kelompok Terapi Okupasi
Lampiran 12 Hasil Uji Normalitas Data Perilaku dalam Penerapan Protokol
Kesehatan Pada Kelompok Responden yang Mengikuti Pelatihan
dengan Metode Tell-Show-Do dan Terapi Okupasi
Lampiran 13 Hasil Uji Homogenitas Data Perilaku dalam Penerapan Protokol
Kesehatan Pada Kelompok Responden yang Mengikuti Pelatihan
dengan Metode Tell-Show-Do dan Terapi Okupasi
Lampiran 14 Hasil Uji Beda

A. Uji Beda Penerapan Protokol Kesehatan Covid-19 Sebelum dan Setelah


Dilaksanakan Metode Tell-Show-Do terhadap Perilaku dalam Penerapan
Protokol Kesehatan Covid-19

B. Uji Beda Penerapan Protokol Kesehatan Covid-19 Sebelum dan Setelah


Dilaksanakan Terapi Okupasi terhadap Perilaku dalam Penerapan Protokol
Kesehatan Covid-19
C. Uji Beda Penerapan Efektivitas Metode Tell-Show-Do dan Terapi Okupasi
terhadap Penerapan Protokol Kesehatan Covid-19
Lampiran 15 Dokumentasi Penelitian

Data Responden dan Obyek Penelitian


Peneliti Melaksanakan Diskusi dengan Pendamping Penyandang Retardasi Mental
di Rumah Harapan Desa Karangpatihan, Kecamatan Balong Kabupaten Ponorogo
Penjelasan tentang Penerapan Protokol Kesehatan Covid-19

Intervensi Metode Tell-Show-Do


Intervensi Terapi Okupasi

Pelaksanaan Pengamatan Penerapan Protokol Kesehatan Covid-19 Pada


Penyandang Retardasi Mental sebagai Responden Penelitian

Evaluasi Kemampuan Penyandang Retardasi Mental dalam Penerapan Protokol


Kesehatan Covid-19
LEMBAR PERSETUJUAN PERBAIKAN SKRIPSI
PRODI KESEHATAN MASYARAKAT
STIKES BHAKTI HUSADA MULIA MADIUN

NamaMahasiswa : Yuha Agistha Faza


NIM : 201703043
Judul : Perbedaan Efektivitas Metode Tell-Show-Do dan Terapi Okupasi dalam Penerapan Protokol Kesehatan
Selama Pandemi Covid-19 Pada Penyandang Retardasi Mental Di Ponorogo
NO BAB/SUB BAB HAL YANG DIREVISI PENGUJI
1 1. BAB 1-  Variabel pengetahuan dan sikap diganti perilaku
LAMPIRAN Ketua Dewan Penguji
2. BAB 4  Pada definisi operasional dibikin rentang skor
3. BAB 5  Pada analisis univariat, distribusi frekuensi perilaku
dibuat ke dalam rentang skor Zaenal Abidin, S.KM., M.Kes. (Epid).
 Pada analisis bivariat, diuraikan secara singkat, tidak NIDN. 0217091701
perlu diberi penjelasan teoritis.
 Uraian penjelasan tentang uji normalitas dan homogenitas
dipersingkat.
 Pada pembahasan, uraian tentang pengetahuan dan sikap
diganti dengan penjelasan tentang perilaku dalam
penerapan protokol kesehatan.
NO BAB/SUB BAB HAL YANG DIREVISI PENGUJI
2 1. BAB 5  Pada Pembahasan dijelaskan apa yang menyebabkan Penguji I
2. BAB 6 perbedaan perilaku dalam penerapan protokol kesehatan
Covid-19 sebelum dan setelah dilakukan metode tell-
show-do dan terapi okupasi dan ditambahkan uraian
tentang kendala-kendala selama penelitian
 Menambahkan bias penelitian (pada BAB 5 dan BAB 6) Riska Ratnawati, S.KM, M.Kes.
NIDN. 0711037803
3 1. RIWAYAT  Ditambahkan keterangan tentang kuliah di STIKES Penguji II
HIDUP Bhakti Husada Mulia Madiun (2017-2021)
2. ABSTRAK  Abstrak maksimal 250 kata dengan kata kunci maksimal
5
Avicena Sakufa M, S.K.M., M.Kes
NIDN. 0717059101

Madiun, 7 September 2021


Kaprodi Kesehatan Masyarakat

Avicena Sakufa M, S.K.M.,M.Kes


NIDN. 0717059101

Anda mungkin juga menyukai