Oleh
Kelompok 3 / D7 Akuntansi
PRODI AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS WARMADEWA
2023
FRAUD DAN KORUPSI
Di mana :
C = corruption (korupsi)
MP = monopoly power ( kekuasaan mutlak)
D = discration ( kelonggaran wewenang)
A = accountability (akuntabilitas)
Tdm = transparency of decision-making (keterbukaan dalam
pengambilan keputusan)
E. KORUPSI-TINJAUAN SOSIOLOGI
Prof. Syed Hussein Alatas, guru besar pada Jurusan Kajian Melayu, Universitas Nasional
Singapura merupakan penulis perintis mengenai masalah korupsi di kawasan ini. Beberapa
bukunya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh LP3ES. Ada contoh anekdot
menarik yang diberikan Alatas mengenai cara-cara korupsi di Hindia Belanda pada zaman
VOC. Alatas mengutip dari Wertheim yang selanjutnya mengutip lagi dari J. van den Brand
dalam bukunya De millioenen uit Delhi, tentang cara korupsi ala pegawai VOC. Alatas
tidak lupa mengutip kasus distribusi pupuk. Suatu perusahaan yang ditunjuk untuk maksud
itu, dan menangani proyek tersebut antara tahun 1973-1979 meninggalkan utang Rp46,1
miliar per 15 Maret 1979. Yang ditekankan Prof. Alatas adalah berita bahwa Opstibpus
berhasil mengembalikan Rp 20,5 miliar. Komisi ilegal dari distribusi pupuk di Jawa Barat
dan Jawa Tengah saja, mencapai Rp1,55 miliar. Alatas mengutip pernyataan Laksamana
Sudomo (Juli 1980), bahwa Opstibpus berhasil menyelamatkan uang negara sebesar Rp200
miliar, di antaranya Rp115 miliar berasal dari distribusi pupuk.' Dari kasus-kasus korupsi
sekitar tahun 1970-1980-an yang dilaporkan Prof. Alatas, kita dapat menyimpulkan, antara
lain berikut ini:
1. Tipologi korupsinya tidak banyak berubah. Beberapa di antaranya merupakan penyakit
kekanak-kanakan alias mencuri terang-terangan.
2. Bahkan "pemain"-nya masih yang itu-itu juga (meskipun sudah berganti nama) seperti
bank-bank BUMN yang menjadi Bank Mandiri atau Bank BNI, Pertamina, distributor
pupuk, ABRI (sekarang TNI), dan lain-lain.
3. Gebrakan membawa sukses "sesaat" seperti terlihat dalam hasil kerja Komisi Empat,
Opstib, Opstibpus, dan lain-lain.
F. KORUPSI-TINJAUAN SOSIOLOGI ADITJONDRO
George Junus Aditjondro adalah pengajar dan peneliti mengenai sosiologi korupsi di
Universitas New Castle, Jurusan Sosiologi dan Antropologi. pernah menerima
penghargaan lingkungan hidup, Kalpataru, dari (pada waktu it, Presiden) Soeharto. Sepuluh
tahun kemudian penghargaan itu dikembalikannya seba pretes atas pelanggaran HAM dan
lingkungan oleh rezim Soeharto. Tulisan-tulisannya yang tercecer mengenai korupsi oleh
para mantan presiden, keluarga dan kroninya dibukukan dengan judul "Korupsi
Kepresidenan". Dalam buku itu Adijondro mengajak pembacanya mengkaji bersama dan
menjawab pertanyaan: mengapa tuntutan untuk mengadili Soeharto karena dosa-dosa
politiknya sampai sekarang belum terlaksana? Kalaupun Soeharto dianggap terlalu tua dan
lemah untuk diadili, mengapa semua rezim pasca-Soeharto tidak berusaha melakukan
repatriasi harta rakyat yang dijarah oleh Soeharto beserta keluarga dan konco-konco-nya,
dibarengi dengan penyitaan harta jarahan yang berada di depan mata kepala kita di dalam
negeri. Aditjondro menganalisis dan memprediksi secara sosiologi tentang korupsi di
Indonesia, metodenya, dan kelanjutannya. Dengan menggabungkan analisis Aditjondro
dan Alatas kita melihat kurun waktu yang lebih panjang tentang ke mana kita berjalan
dalam upaya pemberantasan korupsi. Sementara itu dalam penggalan waktu yang lebih
pendek kita melihat gejala-gejala yang digambarkan Aditjondro, ini dibahas dalam bagian
berikut. Mengamati Pemilu 2009, George Aditjondro menganalisis rahasia di balik
kemenangan Partai Demokrat, yang suara pemilihnya naik tiga kali lipat dalam suatu
periode pemerintahan, dari sekitar 7% menjadi sekitar 20%.12 Menurut Aditjondro,
penggalangan dana yang luar biasa, serta besarnya pembelian suara (vote buying) oleh para
kadernya, memainkan peranan dalam melonjaknya angka pemilih Partai Demokrat dan
calon presidennya (SBY). Aditjondro mencatat resistensi Partai Demokrat terhadap
penggunaan hak angket DPR untuk mengungkapkan skandal Bank Century, dan keinginan
petinggi-petinggi partai itu untuk menutupi hal-hal yang mencurigakan dalam pemberian
dana talangan yang jauh melebihi yang sudah disepakati oleh parlemen. Aditjondro
menemukan dukungan dana pebisnis besar kepada kelompok media yang dekat dengan
Partai Demokrat dan SBY sejak 2006 2009, dan pergeseran ke pengusaha- pengusaha yang
dekat dengan keluarga Cikeas, di bawah koordinasi Gatot Mudiantoro Suwondo, yang
kebetulan Direktur Utama BNI. Aditjondro melihat kebutuhan akan dana kampanye yang
semakin meningkat, karena biaya "pencitraan" SBY melalui media dan meluasnya
jangkauan "kedermawanan" yayasan- yayasan yang berlindung di balik penguasa.
Semuanya menjadi pembuka jalan bagi korporasi- korporasi raksasa untuk mendapat
kemudahan dari pemerintah, seperti di masa Orde Baru. Dalam Pemilu 2004, secara
terpisah Siti Adi Trigandari dan Sri-Edi Swasono memperkirakan seorang calon presiden
membutuhkan dana sekitar Rp20 triliun untuk biaya kampanye. Siti Adi Trigandari
memastikan, sebagian besar dana kampanye capres berasal dari sumber ilegal."
DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr. Jogiyanto Hartono, M. C. (2019). Teori Portofolio dan Analisis Investasi.
Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta.