Anda di halaman 1dari 9

AKUNTANSI FORENSIK DAN AUDIT INVESTIGASI

“FRAUD DAN KORUPSI”


Dosen Pengampu : I Putu Budi Anggiriawan SE, M.Si. CPA

Oleh
Kelompok 3 / D7 Akuntansi

1. Ni Made Dwi Pratiwi (202033121079)


2. Luh Putu Thania Agustina Putri (202033121273)
3. Kadek Nadia Pratiwi Lestari (202033121274)
4. Ni Luh Putu Dika Satriawati (202033121320)
5. Ni Kadek Arisanti Dewi (202033121252)

PRODI AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS WARMADEWA
2023
FRAUD DAN KORUPSI

A. FRAUD DALAM PERUNDANGAN KITA


Pengumpulan dan pelaporan statistic tentang kejahatan di suatu negara dapat dilakukan
sesuai dengan klasifikasi kejahatan dan pelanggaran (atau tindak pidana) menurut
ketentuan perundang-undangan negara tersebut. Atau, kalua pengumpulan dan pelaporan
statistic ini dilakukan oleh Lembaga internasional seperti PBB, Interpol, CIA, dan lain-lain,
mereka membuat template berisi definisi dari bermacam-macam jenis kejahatan (types of
crime) dan meminta negara peserta mengolah ulang datanya dengan template tersebut atau
Lembaga internasional itu sendiri yang mengolahnya.
Klasifikasi Jenis Kejahatan
(Type of Crime)
Jenis Tindakan Pidana Kejahatan (Type of Dasar Hukum (Law Act)
No.
Crime) Pasal (Code Article)
1. Politik (Politic) KUHP 104-129
Terhadap kepala negara (against head of the
2. KUHP 130-139
country)
3. Terhadap ketertiban umum (against public order) KUHP 154-181
Membahayakan keamanan umum termasuk
4. pembakaran dan kebakaran (against public safety, KUHP 184-206
including arson and fire)
Terhadap kekuasan umum, termasuk pemberi suap
5. KUHP 207-241
(against public authority, including bribery)
Memalsukan mata uang, termasuk memberi uang
6. kertas negara dan bank (money counterfeiting, KUHP 244-252
including currency and bank note counterfeiting)
Memalsukan materai, merek, surat (seals, trade,
7. KUHP 253-276
mark document counterfeiting)
Terhadap kesusilaan, termasuk perzinaan,
8. pemerkosaan, perjudian (against decency, including KUHP 281-303
adultery, rape and garnbling)
Terhadap kemerdekaan seseorang, termasuk
9. penculikan (against person freedom, including KUHP 324-337
kindnapping)
Terhadap jiwa orang termasuk pembunuhan (against
10. KUHP 338-350
soul, including murder)
Penganiayaan, termasuk penganiayaan berat
11. KUHP 351-358
(assault, including aggravated murder)
Pencurian termasuk pencurian dengan pemberatan
12. dan kekerasan (thief, including burglary and KUHP 362-367
robbery)
Pemerasan dan ancaman (blackmail and
13. KUHP 368-371
intimidation)
14. Penggelapan (embezzlement) KUHP 372-377
15. Penipuan (swindle) KUHP 378-395
16. Menghancurkan atau merusak barang (destruction) KUHP 406-412
Dalam jabatan, termasuk menerima suap (in official,
17. KUHP 413-437
including receiving bribery)
Pertolongan jahat, termasuk penandahan (wickedly
18. KUHP 480-485
help, including fence)
19. Ekonomi (economy) UU No. 7 Tahun 1995
20. Korupsi (corruption) UU No. 3 Tahun 1971
21. Narkotika (narcotic) UU No. 9 Tahun 1976
22. Imigrasi (immigration) PP No. 45 Tahun 1954
23. Lain-lain (other) PP No. 45 Tahun 1954

B. FRAUD DALAM KUHP


Kutipan statistic merujuk pada KUHP berbagai ketentuan perundangan menunjuk kepada
beberapa tindak pidana yang oleh para akuntan dikenal sebagai fraud. Kecurangan atau
perbuatan curang hanyalah salah satu dari berbagai tindak pidana tersebut.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) misalnya, menyebutkan beberapa pasal
yang mencangkup pengertian fraud seperti:
a. Pasal 362 tentang pencurian (definisi KUHP: “mengambil barang sesuatu, yang
seluruhnya atau sebagaian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara
melawan hukum”)
b. Pasal 368 tentang Pemersan dan Pengancaman (definisi KUHP: “dengan maksud untuk
menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa
seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang
sesuatu, yang seluruhnya atau sebagaian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain,
atau supaya membuat hutang maupun menghapus piutang”).
c. Pasal 372 tentang Penggelapan (definisi KUHP:” dengan sengaja dan melawan hukum
memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau Sebagian adalah kepunyaan orang lain,
tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan”)
d. Pasal 373 tentang Perbuatan Curang (definisi KUHP:” dengan maksud untuk
menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai
nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan,
menggerakan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya
memberi hutang maupun menghapus piutang”).
e. Pasal 396 tentang Merugikan Pemberian Piutang dalam Keadaan Pailit
f. Pasal 406 tentang Menghancurkan atau Merusakkan Barang (definisi KUHP:” dengan
sengaja ata melawan hukum menghancurkan, merusakkan, membikin tak dapat dipakai
atau menghilangkan barang sesuatu yang seluruhnya atau Sebagian milik orang lain”)
g. Pasal 209, 210, 287, 415, 417, 418, 419, 420, 423, 425, dan 435 yang secara khusus
diatur dalam Undang – Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Undang –
Undang Nomor 31 Tahun 1999).
C. AKUNTAN FORENSIK DAN JENIS FRAUD
Sarbanes-Oxley Act di Amerika Serikat menggema ke seluruh penjuru dunia. Negara maju
dan negara berkembang di luar Amerika mengadopsi secara langsung maupun tidak
langsung ketentuan-ketentuan Sarbanes-Oxley Act. Secara langsung, dengan memasukkan
ketentuan Sarbanes-Oxley Act dalam ketentuan perundang-undangan negara tersebut.
Secara tidak langsung, melalui penerapan ketentuan Sarbanes-Oxley Act pada anak-anak
perusahaan (di luar Amerika) dari perusahaan yang mencatat atau memperdagangkan
saham, obligasi, dan surat berharga lainnya di bursa-bursa Amerika Serikat. Keluarnya
Sarbanes-Oxley Act memaksa independent auditors di seluruh dunia lebih berhati-hati
dalam melakukan general audit, khususnya dalam upaya menemukan fraudulent
statements. Kegagalan mereka menemukan fraud yang menyebabkan laporan keuangan
menjadi menyesatkan, akan membawa konsekuensi besar, bahkan fatal seperti dalam kasus
Arthur Andersen." Saudara Oleh karena itu, akuntan forensik atau audit investigatif hampir
tidak menyentuh fraud yang menyebabkan laporan keuangan menjadi menyesatkan,
dengan dua pengecualian. Pertama, ketika "regulator" seperti Bappepam, Securities and
Exchange Commission, atau Financial Services Authority (OJK, Otoritas Jasa Keuangan)
mempunyai dugaan kuat bahwa laporan audit suatu kantor akuntan publik mengandung
kekeliruan yang serius (atau kantor akuntan publik yang bersangkutan mengakui hal
tersebut). Regulator dapat meminta kantor akuntan lain melakukan pendalaman, atau
mereka sendiri melakukan penyidikan. Dalam hal ini akuntan forensik melakukan audit
investigatif. Mengapa? Kasusnya bisa dibawa ke pengadilan atau diselesaikan di luar
pengadilan dan auditnya harus lebih luas dan mendalam karena harus jelas siapa yang
bertanggung jawab untuk hal apa. Kedua, ketika fraudulent statements dilakukan dengan
pengolahan data secara elektronis, terintegrasi, dan besar-besaran atau penggunaan
komputer yang dominan dalam penyiapan laporan. Selain pertimbangan penyelesaian
kasus di dalam atau di luar pengadilan, juga ada pertimbangan diperlukannya keahlian
khusus, yakni computer forensics (lihat Bab 18).
D. PENDEKATAN SOSIOLOGI
Banyak definisi mengenai korupsi. Lihat misalnya 10 jenis korupsi dalam fraud tree dari
Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) dan 30 definisi korupsi dalam Undang-
Undang Tindak Pidana Korupsi kita yang masing-masing dibahas dalam Bab 6 dan 16.
Dalam pendekatan sosiologi, definisi korupsi yang lazim dipergunakan adalah
"penyalahgunaan wewenang pejabat untuk keuntungan pribadi" ("the abuse of public
power for private gain"). Korupsi terjadi di semua negara di seluruh dunia, perbedaannya
hanyalah seberapa mewabahnya korupsi tersebut di satu negara, dibandingkan dengan
negara lain. Korupsi juga bukan merupakan hal yang baru. Seorang penulis (P. Bardhan)
mengutip seorang penulis India yang di abad keempat sebelum masehi mencatat 40 cara
untuk menjarah (embezzle). Korupsi bukan masalah budaya. Budaya malu (kalau
seseorang menyalahi norma masyarakatnya) ada pada semua bangsa. Korupsi merupakan
masalah yang berkenaan dengan sistem perekonomian dan kelembagaan. Sistem
perekonomian dan kelembagaan tertentu mendorong balikan memberikan ganjaran
(reward) untuk perbuatan korupsi. Lingkungan perekonomian dan kelembagaan
menentukan lingkup korupsi dan insentif untuk melakukan korupsi. Sistem perekonomian
dan kelembagaan yang meningkatkan manfaat atau "keuntungan" korupsi cenderung
memiliki empat ciri: (a) individu pejabat mempunyai kekuasaan mutlak (substantial
monopoly power) atas pengambilan keputusan; (b) pejabat yang bersangkutan mempuyai
kelonggaran wewenang (discretion) yang besar; (c) mereka tidak perlu
mempertanggungjawabkan (tidak accountable terhadap) tindakan mereka; dan (d) mereka
beroperasi dalam lingkungan yang rendah tingkat keterbukaannya (an environment of low
transparency). Keempat ciri ini melahirkan rumus atau persamaan yang berikut:
C = MP + D – A - Tdm

Di mana :
C = corruption (korupsi)
MP = monopoly power ( kekuasaan mutlak)
D = discration ( kelonggaran wewenang)
A = accountability (akuntabilitas)
Tdm = transparency of decision-making (keterbukaan dalam
pengambilan keputusan)
E. KORUPSI-TINJAUAN SOSIOLOGI
Prof. Syed Hussein Alatas, guru besar pada Jurusan Kajian Melayu, Universitas Nasional
Singapura merupakan penulis perintis mengenai masalah korupsi di kawasan ini. Beberapa
bukunya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh LP3ES. Ada contoh anekdot
menarik yang diberikan Alatas mengenai cara-cara korupsi di Hindia Belanda pada zaman
VOC. Alatas mengutip dari Wertheim yang selanjutnya mengutip lagi dari J. van den Brand
dalam bukunya De millioenen uit Delhi, tentang cara korupsi ala pegawai VOC. Alatas
tidak lupa mengutip kasus distribusi pupuk. Suatu perusahaan yang ditunjuk untuk maksud
itu, dan menangani proyek tersebut antara tahun 1973-1979 meninggalkan utang Rp46,1
miliar per 15 Maret 1979. Yang ditekankan Prof. Alatas adalah berita bahwa Opstibpus
berhasil mengembalikan Rp 20,5 miliar. Komisi ilegal dari distribusi pupuk di Jawa Barat
dan Jawa Tengah saja, mencapai Rp1,55 miliar. Alatas mengutip pernyataan Laksamana
Sudomo (Juli 1980), bahwa Opstibpus berhasil menyelamatkan uang negara sebesar Rp200
miliar, di antaranya Rp115 miliar berasal dari distribusi pupuk.' Dari kasus-kasus korupsi
sekitar tahun 1970-1980-an yang dilaporkan Prof. Alatas, kita dapat menyimpulkan, antara
lain berikut ini:
1. Tipologi korupsinya tidak banyak berubah. Beberapa di antaranya merupakan penyakit
kekanak-kanakan alias mencuri terang-terangan.
2. Bahkan "pemain"-nya masih yang itu-itu juga (meskipun sudah berganti nama) seperti
bank-bank BUMN yang menjadi Bank Mandiri atau Bank BNI, Pertamina, distributor
pupuk, ABRI (sekarang TNI), dan lain-lain.
3. Gebrakan membawa sukses "sesaat" seperti terlihat dalam hasil kerja Komisi Empat,
Opstib, Opstibpus, dan lain-lain.
F. KORUPSI-TINJAUAN SOSIOLOGI ADITJONDRO
George Junus Aditjondro adalah pengajar dan peneliti mengenai sosiologi korupsi di
Universitas New Castle, Jurusan Sosiologi dan Antropologi. pernah menerima
penghargaan lingkungan hidup, Kalpataru, dari (pada waktu it, Presiden) Soeharto. Sepuluh
tahun kemudian penghargaan itu dikembalikannya seba pretes atas pelanggaran HAM dan
lingkungan oleh rezim Soeharto. Tulisan-tulisannya yang tercecer mengenai korupsi oleh
para mantan presiden, keluarga dan kroninya dibukukan dengan judul "Korupsi
Kepresidenan". Dalam buku itu Adijondro mengajak pembacanya mengkaji bersama dan
menjawab pertanyaan: mengapa tuntutan untuk mengadili Soeharto karena dosa-dosa
politiknya sampai sekarang belum terlaksana? Kalaupun Soeharto dianggap terlalu tua dan
lemah untuk diadili, mengapa semua rezim pasca-Soeharto tidak berusaha melakukan
repatriasi harta rakyat yang dijarah oleh Soeharto beserta keluarga dan konco-konco-nya,
dibarengi dengan penyitaan harta jarahan yang berada di depan mata kepala kita di dalam
negeri. Aditjondro menganalisis dan memprediksi secara sosiologi tentang korupsi di
Indonesia, metodenya, dan kelanjutannya. Dengan menggabungkan analisis Aditjondro
dan Alatas kita melihat kurun waktu yang lebih panjang tentang ke mana kita berjalan
dalam upaya pemberantasan korupsi. Sementara itu dalam penggalan waktu yang lebih
pendek kita melihat gejala-gejala yang digambarkan Aditjondro, ini dibahas dalam bagian
berikut. Mengamati Pemilu 2009, George Aditjondro menganalisis rahasia di balik
kemenangan Partai Demokrat, yang suara pemilihnya naik tiga kali lipat dalam suatu
periode pemerintahan, dari sekitar 7% menjadi sekitar 20%.12 Menurut Aditjondro,
penggalangan dana yang luar biasa, serta besarnya pembelian suara (vote buying) oleh para
kadernya, memainkan peranan dalam melonjaknya angka pemilih Partai Demokrat dan
calon presidennya (SBY). Aditjondro mencatat resistensi Partai Demokrat terhadap
penggunaan hak angket DPR untuk mengungkapkan skandal Bank Century, dan keinginan
petinggi-petinggi partai itu untuk menutupi hal-hal yang mencurigakan dalam pemberian
dana talangan yang jauh melebihi yang sudah disepakati oleh parlemen. Aditjondro
menemukan dukungan dana pebisnis besar kepada kelompok media yang dekat dengan
Partai Demokrat dan SBY sejak 2006 2009, dan pergeseran ke pengusaha- pengusaha yang
dekat dengan keluarga Cikeas, di bawah koordinasi Gatot Mudiantoro Suwondo, yang
kebetulan Direktur Utama BNI. Aditjondro melihat kebutuhan akan dana kampanye yang
semakin meningkat, karena biaya "pencitraan" SBY melalui media dan meluasnya
jangkauan "kedermawanan" yayasan- yayasan yang berlindung di balik penguasa.
Semuanya menjadi pembuka jalan bagi korporasi- korporasi raksasa untuk mendapat
kemudahan dari pemerintah, seperti di masa Orde Baru. Dalam Pemilu 2004, secara
terpisah Siti Adi Trigandari dan Sri-Edi Swasono memperkirakan seorang calon presiden
membutuhkan dana sekitar Rp20 triliun untuk biaya kampanye. Siti Adi Trigandari
memastikan, sebagian besar dana kampanye capres berasal dari sumber ilegal."
DAFTAR PUSTAKA

Prof. Dr. Jogiyanto Hartono, M. C. (2019). Teori Portofolio dan Analisis Investasi.
Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai