Anda di halaman 1dari 3

Jenis Semantik

Sudah disebutkan dimuka bahwa yang menjadi objek studi semantik adalah makna bahasa. Lebih
tepat lagi, makna dari satuan- satuan bahasa seperti kata, frase, klausa, kalimat, dan wacana.

Kalau bahasa itu memiliki tataran-tataran analisis, yaitu fonologi, morfologi, dan sintaksis maka
persoalan kita sekarang adalah bagian- bagian mana dari tataran analisis itu yang mengandung masalah
semantik, atau yang memiliki persoalan makna.

Semantik dapat dibedakan menjadi beberapa jenis , yang dibedakan berdasarkan tataran atau
bagian dari bahasa itu yang menjadi objek penyelidikannya. Kalau yang menjadi objek penyelidikannya
adalah leksikon dari bahasa itu maka jenis semantiknya disebut semantik leksikal. Dalam semantik
leksikal ini diselidiki makna yang ada pada leksem-leksem dari bahasa tersebut. Oleh karena itu, makna
yang ada pada leksem-leksem itu disebut makna leksikal. Di sini kiranya perlu dijelaskan mengenai
istilah leksem. Leksem adalah istilah yang lazim digunakan dalam studi semantik untuk menyebut satuan-
bahasa bermakna. Istilah leksem ini kurang lebih dapat dipadankan dengan istilah kata yang lazim
digunakan dalam studi morfologi dan sintaksis, dan yang lazim didefinisikan sebagai satuan gramatikal
bebas terkecil. Hanya bedanya, sebagai satuan semantik, leksem dapat berupa sebuah kata seperti kata
meja, kucing, dan makan; dapat juga berupa gabungan kata seperti meja hijau, dalam arti 'pengadilan',
bertekuk lutut dalam arti 'menyerah' dan tamu yang tidak diundang dalam arti 'pencuri'. Kumpulan dari
leksem suatu bahasa disebut leksikon; sedangkan kumpulan kata-kata dari suatu bahasa disebut leksikon
atau kosa kata. Dalam studi morfologi leksem ini sering diartikan sebagai satuan abstrak yang setelah
melalui proses morfologi akan membentuk kata. Misalnya leksem WRITE dalam bahasa Inggris yang
setelah melalui proses morfologi menjadi kata write, writes, writing, wrote, dan writer. Dalam bahasa
Indonesia, leksem PUKUL yang setelah mengalami proses afiksasi akan menjadi kata, seperti memukul,
pukulan, pemukul, dan pemukulan (lihat Lyons 1975, 1977; Matthews 1974).

Pada tataran fonetik yaitu bidang studi yang mempelajari bunyi (fon) tanpa memperhatikan
fungsi bunyi itu sebagai pembeda makna, tidak ada semantik karena fon yang menjadi satuan dari fonetik
tidak memiliki makna. Karena tidak ada objek studinya maka tentu saja tidak ada ilmunya.

Pada tataran fonologi (atau fonemik) pun tidak ada semantik karena, walaupun fonem yang
menjadi satuan dalam studi fonemik mempunyai fungsi untuk membedakan makna kata, tetapi fonem itu
sendiri tidak bermakna. Verhaar (1978) membandingkan fonem sebagai garis-garis pemisah jalur di jalan
raya. Garis itu memang mempunyai fungsi sebagai pemisah jalur kiri dan jalur kanan. Namun, garis itu
sendiri tidak mempunyai arti, sebab dia dengan mudah dapat dilanggar.

Tataran tata bahasa atau gramatika dibagi menjadi dua subtataran, yaitu morfologi dan sintaksis.
Morfologi adalah cabang dari linguistik yang mempelajari struktur intern kata, serta proses- proses
pembentukannya; sedangkan sintaksis adalah studi mengenai hubungan kata dengan kata dalam
membentuk satuan yang lebih besar, yaitu frase, klausa, dan kalimat. Satuan-satuan morfologi, yaitu
morfem dan kata, maupun satuan sintaksis yaitu kata, frase, klausa, dan kalimat, jelas ada maknanya. Lagi
pula baik proses morfologi dan proses sintaktis itu sendiri juga mempunyai makna. Oleh karena itu, pada
tataran ini ada masalah-masalah semantik yaitu yang disebut semantik gramatikal karena objek studinya
adalah makna-makna gramatikal dari tataran tersebut.
Selain itu, secara tersendiri ada pula diketengahkan istilah semantik sintaktikal kalau sasaran
penyelidikannya tertumpu pada hal-hal yang berkaitan dengan sintaksis. Ini dilakukan mengingat bahwa
dalam sintaksis itu ada pula tataran bawahan yang disebut (a) fungsi gramatikal, (b) kategori gramatikal,
dan (c) peran gramatikal. Perhatikan bagan berikut yang diambil dari Verhaar (1978).

Fungsi gramatikal berupa "kotak-kotak kosong" yang diberi nama subjek (S), predikat (P), objek
(0), dan keterangan (K), sebenarnya tidak ada maknanya sebab semuanya cuma berupa kotak atau tempat
yang kosong. Yang memiliki makna adalah pengisi kotak-kotak itu yang disebut kategori gramatikal
seperti nomina, verba, atau ajektiva. Kategori-kategori ini yang sesungguhnya sudah memiliki makna
leksikal, kini sebagai pengisi kotak-kotak itu memiliki peran gramatikal seperti peran agentif, pasien,
objek, benafaktif, lokatif, instrumental, dan sebagainya.

Semantik sintaktikal yang dibicarakan di atas masih berada dalam lingkup tata bahasa atau
gramatika. Tetapi di samping itu ada hal-hal yang merupakan masalah semantik, namun bukan masalah
ketatabahasaan, misalnya soal topikalisasi kalimat. Untuk pembicaraan hal-hal seperti topikalisasi ini
Verhaar (1978: 126) memberi wadah sendiri yang disebut semantik kalimat. Tentang semantik kalimat ini
menurut beliau memang masih belum banyak menarik perhatian para ahli linguistik.

Ada satu jenis semantik lagi yang oleh Verhaar disebut semantik maksud (1978: 130). Semantik
maksud antara lain berkenaan dengan pemakaian bentuk-bentuk gaya bahasa seperti metafora, ironi, lito-
tes, dan sebagainya. Umpamanya, kalau seorang ayah, setelah melihat angka-angka dalam buku rapor
anaknya, yang penuh dengan angka merah, berbicara kepada anaknya "Rapormu bagus sekali, Nak".
Tentu maksudnya bukan memuji, melainkan sebaliknya, mengejek dan marah. Lain halnya kalau angka-
angka dalam buku rapor itu memang baik, tentu ucapan dengan kalimat tersebut memang merupakan
pujian. Jadi, perbedaan pengertian dari ujaran itu bukan tergantung dari makna kata-kata yang
bersangkutan melainkan dari maksud si pengajar.

Untuk menjelaskan pengertian semantik maksud Verhaar (1978: 129-130) memberi contoh
kalimat: "Dia menangis? Ah, itu sandiwara saja". Apa sebenarnya maksud orang dengan kalimat itu? Di
sini kita andaikan bahwa orang yang dibicarakan itu pura-pura saja. Tetapi bisa juga yang dimaksud
adalah "ya, dia memang menangis. Namun, Anda baru masuk diruang ini; Anda belum tahu kami sedang
berlatih untuk pertunjukan sandiwara. Jadi, jangan mengira ia sedih; itu cuma latihan". Menurut
pengandaian pertama kata sandiwara digunakan secara metaforis; sedangkan pada pengandaian kedua
digunakan secara "harfiah".

Perbedaan di antara kedua penafsiran itu tidak tergantung dari ujaran itu atau dari makna kata
yang bersangkutan, melainkan dari maksud si pengujar.Dalam pemakaian kata-kata secara metaforis tentu
masih ada yang menyangkut masalah semantik, tetapi bukan semantik leksikal karena makna leksikalnya
tidak berubah. Juga bukan semantik gramatikal karena yang dipersoalkan unsur leksikal. Oleh karena itu
masalah semantik seperti yang ada pada kasus metafora ini disebut oleh Verhaar semantik maksud.

Satu persoalan lagi mengenai semantik maksud: apakah segala maksud yang berbeda dengan
makna ujaran yang kita ungkapkan termasuk semantik maksud? Menurut Verhaar selama masih
menyangkut masalah lingual tentu dapat dijawab "ya". Tetapi kalau sudah tidak menyangkut masalah
lingual tentu harus dijawab "tidak". Umpamanya kalau ada orang bertanya, kita diam saja, tidak
menjawab pertanyaannya itu, dengan maksud untuk memberitahu- kan bahwa pertanyaannya itu kasar
maka hal itu tidak termasuk persoalan semantik maksud. Mengapa? Karena meskipun di sini ada maksud
dengan tiadanya jawaban alias berdiam diri, tetapi jelas sekali maksud tersebut tidak dapat dianalisis
secara linguistik sebab tidak ada ujaran yang merupakan bentuk-bentuk linguistik. Jadi, tiadanya jawaban
dengan maksud untuk menyatakan pertanyaannya kurang sopan, seperti yang terjadi pada contoh di atas,
tidaklah termasuk semantik maksud.

Bagaimana dengan "bahasa sandi" yang biasa digunakan oleh petugas keamanan dalam
menjalankan tugas mereka? Jika sandi itu masih menggunakan satuan-satuan lingual tentu masih
termasuk dalam semantik maksud. Tetapi jika sandi yang digunakan sudah tidak lagi menggunakan
satuan lingual maka tidak lagi termasuk urusan semantik. Dalam hal ini barangkali menjadi urusan bidang
semiotik atau semasiologi.

Istilah semantik maksud yang dikemukakan Verhaar di atas mirip dengan istilah semantik
pragmatik yang dikemukakan pakar lain, dan lazim diartikan sebagai: bidang studi semantik yang
mempelajari makna ujaran yang sesuai dengan konteks situasinya. Umpamanya ujaran "sudah hampir
pukul dua belas", bila diucapkan oleh seorang ibu asrama mahasiswa putri pada malam hari kepada si
Djoni (misalnya), akan berbeda maknanya bila diucapkan oleh seorang kiai di pesantren kepada para
santri di siang hari; dan akan berbeda pula bila diucapkan oleh seorang pegawai kantor kepada rekannya
di siang hari. Makna apa yang dimaksud oleh ujaran itu pada ketiga situasi tersebut, tentu Anda dapat
memahaminya.

Anda mungkin juga menyukai