Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

“Dimanakah posisi islam dalam Globalisasi”


Disusun guna menuntaskan tugas Pendidikan Agama Islam
Dosen Pengampu : Fungki Febiantoni M.Pd.

Disusun Oleh :
Dina May Utami 23030730028
Dheasy Pratama Ramadhani 23030730010
Muhamad Fajar 23030730025

PROGRAM STUDI FISIKA


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2023
Kata Pengantar

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi


Maha Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-
Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada
kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ilmiah tentan Islam
dan Globalisasi yang berjudul “Dimanakah Posisi islam dalam globalisasi
Makalah ilmiah telah kami susun dengan maksimal dan mendapat
bantuan dari beberapa rekan sekelas. Untuk itu kami menyampaikan
terima kasih kepada rekan-rekan yang telah membantu kami dalam
menyusun makalah ini hingga selesai.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya masih ada
kekurangan baik dari segi susnan maupun tata bahasanya. Oleh karena itu
dengan segala kekurangan dalam makalah ini kami menerima segala
saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaik makalah
ilmiah ini.
Akhir kata, kami harap semoga makalah ilmiah yang telah kami
diskusiakn dan rancang ini dapat memberikan manfaat amupun inspirasi
terhadap pembaca.

Yogyakarta, 4 september 2023

Ketua Tim penyusun


Latar Belakang

Wacana tentang globalisasi sudah mulai muncul sekitar tahun 1990, era ini
disebut era globalisasi (the age of golobalization). Munculnya permasalahan seputar
globalisasi saat ini tidak lepas dari dua hal, yaitu sebagai akibat dari runtuhnya negara
Uni Soviet pada tahun 1991 dan semakin majunya perkembangan informasi dan
teknologi. Banyak orang yang sudah memperdebatkan hubungan antara Islam dan
globalisasi dalam pertentangan Islam terhadap proses globalisasi. Islam berhubungan
dengan pengaruh umum globalisasi yang menyeluruh, khususnya sistem negara
modern mewakili pemahaman Islam tentang kewarganegaraan, otoritas dan
kedaulatan. Secara signifikan, hal itu berhubungan dengan perubahan, transformasi,
modernitas, dan hubungan yang saling bergantung antara berbagai wilayah di dunia.
Globalisasi merupakan bagian dari kehidupan manusia yang telah ada sejak
awal penciptaan manusia. Hal ini sama dengan naluri alami manusia dan
kecenderungan sosial masyarakat. Itu adalah anugerah dari Tuhan yang telah
menciptakan manusia untuk hidup dan membangun pengalaman dengan orang-orang
di sekitar. Namun, globalisasi sering dikaitkan dengan teori ekonomi yaitu, globalisasi
dianggap sebagai cerminan negatif dari dunia internasional terutama Barat dan Eropa.
Dengan demikian, untuk bergabung dengan arus utama kehidupan internasional
mempromosikan sistem ekonomi terbuka dan perdagangan bebas. Untuk mencapai
peluang hidup yang lebih baik, globalisasi Islam harus lebih lengkap dan akurat
membedakan antara proses globalisasi dalam pengertian aslinya dan proses yang
relatif baru.
Dunia saat ini sudah tidak terkendali seiring dengan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi di era globalisasi ini sehingga perkembangan dunia kini
jauh dari harapan semula. Mengapa hal Ini terjadi salah satu kata kunci penyebab
kondisi ini adalah globalisasi. Globalisasi, sebagai akibat dari kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi, pada gilirannya membawa serta risiko baru yang melebihi
kemampuan kita untuk memprediksinya. Perubahan luar biasa ini telah merevolusi
tradisi dan bahkan agama, yang telah menjadi landasan bagi banyak orang. Namun
bukan itu saja, proses perubahan nilai-nilai dalam keluarga dan juga dalam negara
(Rismawati 2012:25-26).
Globalisasi dengan ciri khas interaksi dan integrasinya pada akhirnya
mempengaruhi perubahan dunia dalam segala bida menunjukkan proses multidimensi
menuju tatanan dunia tanpa batas antar negara (bordersless). Sistem sosial yang
demikian memberikan pengaruh negatif dan positif terhadap perubahan sosial budaya
suatu masyarakat dalam segala aspek, termasuk bagi Indonesia sebagai masyarakat
global (Thohir 2014: 279).
Jika dilihat dari akar kemunculan globalisasi yang sampai saat ini menjadi
fenomena yang tidak ada habisnya menjadi perdebatan, globalisasi bukanlah
fenomena baru dalam sejarah peradaban dunia. Ciri khas dari globalisasi adalah
keterbukaan dan kerelaan dalam menerima pengaruh budaya lain. Hal ini sudah
terjadi beribu-ribu tahun yang lalu sebagaimana dalam sejarah bangsa Romawi, ketika
bangsa Romawi berhasil mengalahkan bangsa Visigoth, maka bangsa Visigoth pada
masa kekaisaran Romawi menuntut hak yang sama sebagaimana yang dimiliki oleh
penakluk. Mereka menginginkan hak untuk memilih perwakilan dan perlindungan
dari segi undang-undang yang serupa dengan bangsa Romawi, dengan argumen
“Cinis Romanus Sum”, “Aku ini rakyat Romawi”. Atas kesadaran ini, Kaisar Marcus
Aurelius(121-180 SM) yang terkenal karena pemikirannya yang cukup modern dalam
bukunya berjudul Meditations, membuka kerakyatan Romawi kepada semua etnik dan
bangsa dari Dubrovnik di Balkan, hingga ke Colonia di utara Sungai Rhine, sampai ke
Kepulauan Britania. Kejayaan Romawi berlandaskan sikap keterbukaan golongan
pemerintah terhadap konsep globalisasi. Selanjutnya, globalisasi Romawi telah
membawa penerimaan budaya dominan masyarakat Italia Tengah. Bahasa Roma
dipergunakan hingga ke penghujung Benua Eropa. Dalam bahasa, perkataan-
perkataan Romawi mulai dipergunakan di Persia dan Semenanjung Arab (Khotimah
2009:115).
Melihat dari perkembangan globalisasi sangat cepat terjadi, maka kita sebagai
manusia harus mampu mencermati isu-isu kontemporer yang menjadi permasalahan
dunia hingga saat ini khususnya umat muslim, agar bisa menjadikan globalisasi
sebagai media entitas dari eksistensi umat muslim, khususnya untuk ajaran Islam
yang toleran, adil, bebas, saling menghormati, kasih sayang, dan sebagainya yang
sekarang dirasa kurang memberikan pengaruh dan sumbangsih global terhadap
pemahaman secara universal dibanding dengan agama- agama besar dunia lainnya.
Oleh sebab itu, tulisan ini akan memaparkan isu-isu kontemporer dalam dunia Islam
dari sudut pandang globalisasi sebagai fenomena yang harus dicermati agar umat
muslim mampu berkompetensi untuk memperebutkan pengaruh hegemoni dunia
sekarang ini dengan cara mendekati objek globalisasi, sebagai struktur makna, dapat
diungkapkan secara jelas, yaitu istilah globalisasi dianggap memiliki , titik pijak, dan
dimensi kacamata dalam istilah popular (Ratna 2010:45).

Rumusan Masalah
1. Apa saja dampak globalisasi yang telah mempengaruhi kehidupan kita?
2. Bagaimana cara kita memahami islam sebagai sebuah agama?
3. Bagaimana cara kita sebagai muslim dapat memosisikan islam sebagai agama yang
sesuai dengan perkembangan zaman

Kerangka Teori

Globalisasi secara Islam secara


universal universal

Konektivitas antara
Globalisasi dan
Islam
Metode Penelitian
Penelitian (research) merupakan rangkaian kegiatan ilmiah dalam rangka pemecahan
suatu permasalahan. Hasil penelitian tidak pernah dimaksudkan sebagai suatu
pemecahan (solusi) langsung bagi permasalahan yang dihadapi. karena penelitian
merupakan bagian saja dari usaha pemecahan masalah yang lebih besar. Fungsi
penelitian adalah mencarikan penjelasan dan jawaban terhadap permasalahan serta
memberikan alternatif bagi kemngkinan yang dapat digunakan untuk pemecahan
masalah (Anwar, 2001).
Metode penelitian merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dari
kegunaan tertentu. Istilah cara ilmiah menunjukkan arti bahwa kegiatan penelitian
didasarkan pada ciri-ciri keilmuan, yaitu rasional, empiris, dan sistematis. Rasional
dalam penelitian adalah bahwa penelitian dilakukan dengan cara-cara yang masuk
akal, bukan hasil mediasi. Empiris adalah bahwa kegiatan penelitian dapat diamati
oleh indera manusia sehingga orang lain dapat mengamati dan mengetahui cara-cara
yang digunakan. Adapun sistematis adalah bahwa proses yang digunakan dalam
penelitian menggunakan langkah-langkah tertentu yang bersifat logis (mahmud,
2011).

Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk jenis penelitian pustaka (library research), yakni penelitian
yang obyek kajiannya menggunakan data pustaka berupa buku-buku sebagai sumber
datanya (Hadi, 2002). Penelitian ini dilakukan dengan membaca, menelaah, dan
menganalisis berbagai literatur yang ada, berupa Al Qur’an, hadis, kitab dan jurnal.

Hasil dan Pembahasan


MEMAHAMI GLOBALISASI
Diskursus Globalisasi
Globalisasi bukanlah sebuah konsep tunggal yang dapat didefinisikan dan
dicakup dalam waktu tertentu bingkai, juga bukan suatu proses yang dapat
didefinisikan dengan jelas dengan awal dan akhir. Selain itu, hal ini tidak dapat
diuraikan secara pasti dan dapat diterapkan pada semua orang dan dalam semua
situasi. Globalisasi melibatkan integrasi ekonomi; transfer kebijakan secara lintas
negara perbatasan; transmisi pengetahuan; stabilitas budaya; reproduksi, hubungan,
dan wacana kekuasaan; ini adalah proses global, sebuah konsep, sebuah revolusi, dan
“pembentukan pasar global yang bebas dari kendali sosiopolitik.”1 Globalisasi
mencakup semua ini hal-hal. Ini adalah konsep yang telah didefinisikan secara
berbeda selama bertahun-tahun, dengan beberapa konotasi mengacu pada kemajuan,
pembangunan dan stabilitas, integrasi dan kerjasama, dan lain-lain mengacu pada
regresi, kolonialisme, dan destabilisasi. Terlepas dari tantangan-tantangan ini, istilah
ini membawa banyak agenda tersembunyi. Ideologi politik seseorang, geografis
lokasi, status sosial, latar belakang budaya, dan afiliasi etnis dan agama memberikan
gambaran akan latar belakang yang menentukan bagaimana globalisasi dimaknai.
Pada tahun 1995, Martin Khor, Presiden dari Jaringan Dunia Ketiga2 di Malaysia,
menyebut globalisasi sebagai kolonisasi. Bersamaan dengan itu, jurnalis Swedia
Thomas Larsson, dalam bukunya The Race to the Top: The Real Story of
Globalization (2001), menyatakan bahwa globalisasi:
“proses penyusutan dunia, jarak yang semakin pendek, segalanya bergerak semakin
dekat. Hal ini berkaitan dengan semakin mudahnya dimana seseorang di satu sisi
dunia dapat berinteraksi, saling menguntungkan manfaatnya, dengan seseorang di
belahan dunia lain.” (T. Larsson, 2001 : 9)
Dampak globalisasi sangat luas, seperti yang ditunjukkan oleh definisi yang
kami sajikan di sini. Masih ada satu pertanyaan mengenai potensi kesulitan dalam
mencoba mendefinisikan konsep ini, serta keterbatasan yang ada dalam mencoba
melakukannya: apakah hal ini menghambat diskusi mengenai globalisasi? Apakah
fakta bahwa globalisasi membutuhkan pendefinisian yang terus-menerus menghambat
atau melemahkan perdebatan akademis yang sebenarnya mengenai implikasi
geopolitik dari proses ini bahkan sebelum perdebatan tersebut dimulai? dan Usulan
Definisi Makalah ini tidak mengusulkan definisi yang berguna dan dapat diterima
oleh semua orang. Juga tidak mencoba untuk membenarkan mengapa satu definisi
mungkin lebih baik dari yang lain. Sebaliknya, kami menyarankan untuk meninjau
kembali definisi yang tersedia dalam upaya untuk benar-benar memahami konsep ini,
dan kami juga mengusulkan definisi yang menurut kami mungkin cukup luas untuk
mencakup sebagian besar aspek proses. Maka dari itu, Dalam mengembangkan
definisi mengenai globalisasi, sangatlah penting untuk menggunakan perspektif yang
luas agar dapat ringkas namun sekomprehensif mungkin. Globalisasi bukanlah sebuah
titik akhir yang harus dibicarakan dan kemudian dilupakan. Sebaliknya, ini adalah
sebuah proses, sebuah arus yang telah berdampak pada komunitas, budaya, dan
perekonomian selama ratusan tahun. Hal ini merupakan hasil integrasi transnasional
dan transkultural yang terjadi secara global sepanjang sejarah umat manusia. Hal ini
mencakup penyebab, arah, dan konsekuensi dari integrasi ini. Pembauran ini terjadi
melalui aktivitas-aktivitas yang bersifat manusiawi dan non-manusia. Aktivitas
manusia mencakup aspek linguistik, budaya, ekonomi, dan politik kehidupan manusia
(bersama banyak aspek lainnya) yang merupakan bagian dari lingkungan manusia dan
sosial. Penting juga untuk memasukkan aktivitas non-manusia, yang mencakup,
namun tidak terbatas pada, penyebaran bakteri dan penyakit non-manusia seperti flu
burung, serta bencana alam seperti (Al-Rodhan, Nayef R.F, 2006 : 3)
Kecenderungan globalisasi ini telah melanda hampir semua aspek kehidupan,
mulai dari ekonomi, teknologi, kebudayaan, pendidikan, hingga agama. Berikut akan
dibahas secara singkat aspek-aspek berikut:

Globalisasi Ekonomi
Globalisasi ekonomi mengacu pada meningkatnya saling ketergantungan akan
perekonomian dunia sebagai akibat dari meningkatnya skala perdagangan komoditas
dan lintas batas negara, jasa, aliran modal internasional dan penyebaran teknologi
yang luas dan cepat. Itu mencerminkan ekspansi berkelanjutan dan integrasi timbal
balik dari batas-batas pasar, dan hal ini tidak dapat mengubah tren perkembangan
ekonomi di seluruh dunia pada pergantian milenium. Karena itu perlu kita ketahui
bahwa pentingnya informasi yang berkembang pesat dalam semua jenis kegiatan
produktif dan marketisasi adalah dua kekuatan pendorong utama bagi globalisasi
ekonomi (Parks : 2023)
Globalisasi bukanlah hal baru. Sejak awal peradaban, manusia telah berdagang barang
dengan tetangganya. Seiring dengan kemajuan budaya, mereka dapat melakukan
perjalanan lebih jauh untuk menukar barang mereka sendiri dengan produk yang
diinginkan yang dapat ditemukan di tempat lain. Jalur Sutra merupakan contoh awal
globalisasi, jalur ini merupakan jalur perdagangan kuno yang digunakan antara Eropa,
Afrika Utara, Afrika Timur, Asia Tengah, Asia Selatan, dan Timur Jauhyang telah
digunakan oleh orang orang zaman dulu selama lebih dari 1.500 tahun. Jalur ini
digunakan oleh orang-orang Eropa memperdagangkan kaca dan barang-barang
manufaktur dengan sutra dan rempah-rempah Tiongkok, sehingga berkontribusi
terhadap perekonomian global di mana Eropa dan Asia menjadi terbiasa dengan
barang-barang dari tempat yang jauh. Setelah penjelajahan Eropa di Dunia Baru
menyebabkan globalisasi terjadi dalam skala besar salah satunya pertukaran dan
pernyebaran tumbuhan, hewan, makanan, budaya, dan gagasan secara besar besaran
atau yang lebih dikenal sebagai Pertukaran Kolumbia. Jaringan Perdagangan Segitiga
di mana kapal-kapal membawa barang-barang manufaktur dari Eropa ke Afrika,
memperbudak orang-orang Afrika ke Amerika dan bahan mentah kembali ke Eropa
adalah contoh lain dari globalisasi. Penyebaran perbudakan yang diakibatkannya
menunjukkan bahwa globalisasi dapat merugikan banyak orang semudah
menghubungkan orang-orang. (Parks : 2023)
Globalisasi memberikan keuntungan kompetitif bagi dunia usaha dengan
memungkinkan mereka memperoleh bahan mentah dengan harga murah. Globalisasi
juga memberikan peluang bagi organisasi untuk memanfaatkan biaya tenaga kerja
yang lebih rendah di negara-negara berkembang, sekaligus memanfaatkan keahlian
teknis dan pengalaman negara-negara maju. Dengan adanya globalisasi, bagian-
bagian berbeda dari suatu produk dapat dibuat di berbagai wilayah di dunia.
Globalisasi telah lama dimanfaatkan oleh industri otomotif, misalnya, di mana bag
ian-bagian mobil yang berbeda dapat diproduksi di negara-negara yang berbeda.
Bisnis di beberapa negara berbeda mungkin terlibat dalam produksi produk yang
tampaknya sederhana seperti kaos katun. (Parks : 2023)

Krisis Pangan
Salah satu ancaman globalisasi terhadap ekonomi adalah masalah kelangkaan
pangan. Jumlah penduduk yang terus meningkat telah menciptakan kebutuhan pangan
yang semakin meningkat pula. Bahkan kelangkaan pangan di beberapa Negara afrika
menciptakan kerusuhan-kerusuhan horizontal. Krisis pangan membutuhkan
penanganan serius oleh semua aktor dalam dunia internasional.Ancaman krisis
pangan termasuk dipengaruhi oleh intervensi lembaga keuangan multilateral saat
krisis di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Atas saran Dana Moneter
Internasional (IMF), anggaran dan subsidi pertanian dipangkas, budidaya pertanian
diarahkan pada komoditas perkebunan penghasil devisa untuk membayar hutang,
sementara itu alokasi untuk investasi di sector industri seperti teknologi Informasi dan
manufaktur mengalami peningkatan. Kondisi ini semakin diperparah dengan
swastanisasi air yang diprakarsai bank dunia (Samhadi, Menunggu Revolusi Kedua,
Kompas, Edisi 6 Desember 2006: 37).
Dalam konteks pasar liberal yang berpengaruh terhadap ketersediaan pangan,
pemerintah diharapkan bijaksana dalam mekanisme impor dan ekspor produk pangan.
Impor dapat dilakukan dengan orientasi pemenuhan kebutuhan domestik dan
dilaksanakan pada skema birokrasi yang sehat. Adapun ekspor diharapkan
berorientasi pada keuntungan dan kesejahteraan petani, bukan hanya pelaksanaan
skema pasar bebas yang hanya menguntungkan spekulan atau elite tertentu.
(Estuningtyas , 2007)

Globalisasi Politik
Globalisasi secara sederhana dapat dikatakan sebagai penyempitan dan
percepatan keterkaitan yan terjadi di seluruh dunia, batas-batas teritorial maupun
budaya antar bangsa menjadi seolah hilang. Proses ini menjadi sebuah isu
kontroversial dalam studi ilmu politik. Sebagian berpendapat bahwa globalisasi
mendatangkan kematian negara-bangsa berdaulat, sebagai kekuatan global yang
melemahkan kemampuan pemerintah untuk mengendalikan perekonomian mereka
dan masyarakatnya sendiri. Ohmae menuliskan, “globalisasi telah menghancurkan
budaya-budaya lokal, merobek pasar-pasar di belahan dunia manapun dan
merobohkan dinding pembatas antar negara.” Sebagian lain yang mendukung ide
globalisasi berpendapat bahwa negara-negara tetap merupakan unsur utama
pembentuk tatanan dunia, “bagi mereka globalisasi merupakan kemajuan, Negara-
negara harus menerimanya jika mereka ingin berkembang dan memerangi kemiskinan
secara efektif.” (Stiglitz, 2012: 6)
Dalam sistem politik global, masing-masing pelaku seperti Negara, maupun
aktor transnasional lainnya berprilaku dalam berbagai cara yang fundamental tidak
hanya terkait dengan struktur dan proses internal dalam dimensi politik, ekonomi,
sosial maupun budaya, melainkan lebih dari itu terkait dengan persepsi mereka
tentang kedudukan dan peran mereka dalam sistem global. Kedudukan para pelaku
dalam sistem politik global diukur dari dimensi power yang meliputi, the capability of
persuading, leading, influencing, promising, attracting, rewarding, inspiring maupun
coercing. (Dougherty, Dalam Winarno, 2014, hlm xviii).
Globalisasi juga telah memunculkan suatu pola hubungan baru dimana entitas
negara tidak lagi menjadi otonom dan berkuasa penuh atas wilayah teritorialnya atau
dapat dikatakan negara tidak lagi menjadi satu-satunya entitas politik pemegang
kedaulatan, melainkan telah terbentuk hubungan yang saling bergantung dan
kesalinghubungan antara negara-bangsa dan para pelaku transnasional yang
terintegrasi secara global. Keadaan ini melahirkan sebuah fenomena baru, yaitu ;
menguatnya aktor-aktor non-state sebagai pusat kekuasaan baru dalam interaksinya
dalam hubungan internasional. Fenomena berikutnya adalah
permasalahanpermasalahan baru yang muncul tidak mungkin diselesaikan oleh
masing-masing negara nasional sendirian, melainkan diselesaikan bersama-sama
sebagai komunitas warga dunia. Keadaan semacam inilah yang kemudian
memunculkan gagasan global governance.
Global governance bisa berbentuk formal yang memiliki perangkat hukum
serta institusi untuk mengatur beragam aktor internasional seperti IMF dan Bank
Dunia, maupun berbentuk informal dalam bentuk yang temporal, seperti institusi yang
membahas isu lingkungan, AIDS, dan lain-lain.Meski ditujukan sebagai upaya
penyelesaian masalah, global governance semacam IMF dan Bank Dunia masih
menyisakan kontroversial terkait peran mereka dalam pembangunan di negar-negara
dunia ketiga (Winarno, 2014:204) Dalam konteks global governance, IMF dan Bank
Dunia belum mampu menciptakan kesetaraan terutama membantu negara-negara yang
terkait krisis, dengan mengambil alih komando manajemen perekonomian negara
penerima bantuan. “Setelah krisis Asia pada tahun 1997, kebijakankebijakan IMF
malah memperburuk krisis di Indonesia dan Thailand.” (Stiglitz, 2012:24).

Nasionalisme dalam konflik internal

Sebagai sebuah ideologi tentang kesadaran rakyat terhadap kehidupan


berbangsa, harus diakui bahwa peran nasionalisme dengan Negara bangsa mengalami
tantangan. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah nasionalisme masih relevan.
menurut al Qaradhawi globalisasi menyebabkan peran nasionalisme dalam negara
semakin melemah, pertama melalui imperialisme secara langsung, melalui berbagai
sarana yang dipaksakan untuk menguasai ekonomi pasca kemerdekaan negara dan
juga melalui program yang dipaksakan melalui lembaga-lembaga moneter dunia.
Melemahnya nasionalisme Negara bangsa, terjadi karena sebagai sebuah institusi
yang mendapatkan legitimasi, Negara harus mengakomodasi kepentingan warga
negaranya. ”Negara akan mengalami sebuah kontradiksi jika kepentingan
transnasional berbenturan dengan kepentingan warga negaranya.” (Husein, dalam
Dault, 113).
Ancaman terhadap nasionalisme negara bangsa ini tidak cukup dari pelaku-
pelaku politik transnasional saja, melainkan juga dari konflik internal yang
disebabkan sentiman etnik maupun sentimen keagamaan, serta asas kebebasan
individu yang ditawarkan globalisasi. Dan dalam kenyataannya, ditengah meleburnya
masyarakat dunia dan jaringan global, konflik dan pergolakan semakin menguat.
Konflik yang terjadi di banyak belahan dunia seringkali diawali dengan proses
marginalisasi baik secara ekonomi ataupun politik terhadap sebuah etnik, seperti
Konflik yang terjadi di Srilanka antara pemerintah dan gerilyawan Tamil Elam, atau
konflik karena sentimen agama seperti terjadi di Ambon dan Poso
Nasionalisme pada era globalisasi dapat dibangun dengan tujuan memasang
barikade demi menahan serbuan kekuatan-kekuatan transnasional yang merusak.
Menurut Budi Winarno, ada beberapa factor yang dapat menumbuhkan nasionalisme,
yaitu pertama faktor internal berupa (a) munculnya rasa saling memiliki sebagai
bagian dari suatu bangsa, (b) kebanggaan terhadap sejarah kejayaan masa lampau, (c)
adanya keragaman yang memunculkan semangat membentuk identitas bersama.
Faktor berikutnya adalah faktor eksternal yaitu (a) adanya imperialisme Negara maju
atas Negara-negara dunia ketiga melalui liberalisasi dan privatisasi (b) Ancaman dari
luar yang berupa masalah territorial, Pelecehan kedaulatan atau klaim atas
kebudayaan dan (c) munculnya keinginan melindungi budaya lokal dari modernisasi
(Winarno,2014: 247)
Dalam era global ancaman terhadap kehidupan manusia semakin beragam.
ancaman tersebut tidak hanya berasal dari perang-perang besar atau nuklir, melainkan
juga dari kekuatan-kekuaran radikal yang berkembang dalam masyarakat dan
melahirkan terorisme. Meluasnya aksi terorisme ke seluruh dunia dan menjadi
fenomena global disebabkan setidaknya oleh tiga faktor, yaitu perkembangan jalur
transportasi internasional, perkembangan teknologi komunikasi yang pada gilirannya
menghimpun pihak-pihak dengan gagasan yang sama, serta penyebaran berita
terorisme yang memberikan efek ketertarikan(Winarno,2014: 247)

Globalisasi budaya

Sejumlah ulama, banyak dari mereka ilmuwan politik, telah menyatakan


keprihatinannya atas reaksi balik yang menentang Amerikanisasi, Westernisasi, dan
globalisasi kebudayaan itu pada akhirnya mungkin menghasilkan konflik kekerasan
(Barber, 1996; Huntington, 1993) Dalam skenario ini, dominasi ekonomi dan budaya
negara tersebut Barat berpadu dengan refleksivitas modernitas untuk memprovokasi
komunitas non-Barat agar lebih sadar akan budayanya sendiridimana mereka menjadi
terasingkan oleh kekuatan globalisasi, namun yang sekaligus merupakan bagian yang
paling mendasar dan tidak dapat diubah identitas mereka.(Adam, 2007 : 127)
Globalisasi dalam konteks budaya selama ini selalu dikaitkan dengan
dominasi negara-negara Barat yang dikenal dengan istilah Westernisasi. Globalisasi
dan Westernisasi memiliki kerkaitan erat karena globalisasi sendiri merupakan proses
atau strategi negara-negara Barat dalam melakukan ekspansi produk dan pengaruh
termasuk dalam bidang kebudayaa. Jadi, dapat dikatakan bahwa Westernisasi
merupakan salah satu produk dari globalisasi. Menurut Antony Black, Westernisasi
dimulai sejak tahun 1700-an (Black 2006). globalisasi tidak hanya terjadi pada bidang
ekonomi dan politik, namun juga terjadi pada aspek lain, salah satunya aspek budaya.
Oleh karena itu, penulis berada dalam posisi yang meyakini bahwa globalisasi dapat
menimbulkan homogenisasi yaitu penyatuan dan standarisasi budaya secara global.
Hal ini menunjukkan bahwa tidak dapat dipungkiri jika globalisasi mendorong
manusia untuk hidup dalam standar budaya tertentu. Secara umum sistematika
pembahasan tulisan ini meliputi konsep yang akan digunakan untuk menjelaskan
kasus ini, yakni konsep tiga skenario budaya dalam globalisasi. (Adam, 2007 : 128)

MEMAHAMI ISLAM SEBAGAI AGAMA


Definisi Islam

Secara istilah (terminologi) Islam berarti suatu nama bagi agama yang ajaran-
ajarannya diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang Rasul. Atau lebih
tegasnya lagi Islam adalah ajaran-ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada masyarakat
melalui para nabi dan nabi Muhammad sebagai nabi terakhir sesudah diutusnya nabi
masa zaman sebelumnya. Islam adalah tuntunan hidup dari Allah SWT yang
disampaikan oleh Rasulullah Muhammad saw tuntunan hidup dalam ajaran Islam itu
disebut sebagai syariat Islam dan meliputi tuntunan atau syariat untuk mengelola diri
pribadi, mengelola keluarga, dan mengelola masyarakat bangsa negara. Ajaran Islam
juga mewajibkan umat Islam untuk hidup sesuai dengan syariat itu, di manapun
kapanpun dan juga mewajibkan untuk menyebarluaskannya ke masyarakat sekitarnya.
Agama Islam mempercayai bahwa Al-Quran dan Sunnah (setiap perkataan dan
tingkah laku Muhammad) sebagai sumber hukum dan peraturan hidup yang
fundamental. Islam adalah agama untuk penyerahan diri semata-mata karena Allah
agama semua nabi, agama yang sesuai dengan fitrah manusia agama yang menjadi
petunjuk manusia bahwa mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya Dan
manusia dengan lingkungannya. Agama Rahmah bagi semesta alam, dan merupakan
satu-satunya agama yang di ridhoi Allah agama yang sempurna. (Koentjoro,2017:3)
Islam adalah agama penutup yang diturunkan Allah ke dunia melalui seorang
Rasul yaitu Nabi Muhammad SAW. Misi utamanya adalah mengantarkan manusia
menuju pada kehidupan yang damai, harmonis, aman, tenteram, sejahtera, dan
bahagia, tidak hanya di dunia ini, namun juga pada kehidupan di akhirat. Hal ini
adalah sesuai dengan nama Islam itu sendiri yang berarti perdamaian, keselamatan.
Secara etimologis kata Islam berasal dari bahasa Arab “salima” yang berarti damai,
selamat dan atau sejahtera. Kemudian dari kata itu dibentuklah istilah taslim, yang
secara bahasa berarti tunduk, patuh dan pasrah, 2 maksudnya adalah tunduk dan patuh
serta pasrah kepada kehendak Tuhan. Oleh karena demikian maka yang tunduk dan
patuh serta pasrah kepada kehendak Tuhan, dan tinjauan kebahasaan layak untuk
dinamakan atau diatributi dengan sebutan muslim.
Dari sisi paradigma pmbangunan pola syariat bertumpu pada pembangunan
akhlak manusia untuk taat pada ajaran Allah swt dan peduli pada kondisi sesama,
sedang paradigma pembangunan sekuler Barat bertumpu pada upaya menambah
kekayaan materiel. Dari rasional tersebut maka tidak seharusnya masih diragukan
oleh umat Islam Indonesia bahwa salah satu cara mengatasi krisis multi dimensi di
negeri ini adalah “dengan pengetrapan syariat sosial dalam proses pengelolaan negara.
Pada sisi lain, teori Islam menyatakan bahwa aplikasi syariat dalam pengelolaan
bangsa yang plural akan mendatangkan status negara yang ‘aaminan-thoyyiban’.
(Koentjoro,2017:2)

Tujuan Agama Islam

Tujuan agama Islam pada hakekatnya adalah menyelamatkan manusia, baik


sebagai individu, kelompok manusia, serta bangsa- negara agar selamat dari kesesatan
dan kerugian. Perjuangan Islam dalam bentuk gerakan berarti melakukan upaya keras
bersama untuk menyebar luaskan ajaran Islam secara utuh atau kaffah agar dipeluk
oleh manusia dan dipraktekkan dalam kehidupan bermasyarakat untuk kebaikan nasib
individu dan masyarakat itu sendiri. Penyebaran penegakan ajaran Islam terhadap
sasaran individu atau pribadi bertujuan untuk menyelamatkan orang tersebut agar
sebagai manusia dia bisa selamat dunia akherat. Penyebaran ajaran Islam untuk
lingkup keluarga dan kelompok kecil masyarakat juga untuk menyelamatkan keluarga
dan kelompok kecil itu dari kemelut keluarga dan pertikaian antar warga kelompok.
(Arifin,2018)
Penyebaran penegakan ajaran Islam terhadap sasaran individu atau pribadi
bertujuan untuk menyelamatkan orang tersebut agar sebagai manusia dia bisa selamat
dunia akhirat. Penyebaran ajaran Islam untuk lingkup keluarga dan kelompok kecil
masyarakat juga untuk menyelamatkan keluarga dan kelompok kecil itu dari kemelut
keluarga dan pertikaian antar warga kelompok. Perjuangan penegakan syariat sosial
Islam dalam lingkup bangsa negara juga jelas untuk menyelamatkan bangsa negara itu
dari krisis krisis sosialnya, dan agar bisa menjadi bangsa yang maju, bermoral
pemahaman sejahtera mendatangkan kemanfaatan pada bangsa lain bukan
mengeksploitasi atau menjajah Bangsa lain.
Perlu kita ketahui bahwa berkembangnya agama Islam ke seluruh penjuru
dunia membawa pengaruh perubahan dunia muslim yang signifikan karena satu hal
yang pasti yang bisa melakukan yaitu dengan cara globalisasi secara menyeluruh
maka dari itu khusus bagi sistem negara modern yang memvisualisasikan kombinasi
kemajuan agama, ekonomi, politik, dan pendidikan bagi umat Islam. Pada awal
munculnya globalisasi kemal faktor ekonomi lah yang menjadikan perkembangan
pesat dari segala jenis informasi. Dalam globalisasi ini sendiri mempunyai pengertian
sebagai percepatan pergerakan dan pertukaran (manusia, barang dan jasa, modal dan
ekonomi, teknologi atau praktik budaya) di seluruh planet ini. Globalisasi ini ditandai
dengan perbedaan kehidupan yang telah menyebabkan terjadinya pembentukan
definisi baru dari berbagai hal dan mengarah pada praktik kehidupan yang beragam
titik oleh karena itu proses pengintegrasian masyarakat dalam tatanan global yang
tidak dapat dihindari di mana terciptanya masyarakat yang terkait dalam jaringan
komunikasi internasional tanpa batas. Agama Islam ini adalah agama yang damai,
yang memadamkan rasional dan logika dari perspektif keagamaannya yang meliputi
seluruh aspek, sehingga globalisasi bisa menjadi penunjang keberagaman budaya dan
sub budaya dalam mengatur segala kisi-kisi kehidupan untuk menjadi tolak ukur
kehidupan bermasyarakat secara global dalam arti hidup dalam Tengah arus
globalisasi yang tidak melanggar etika dan nilai-nilai ajaran Islam.
Hubungan antar manusia disebut muamalah. Muamalah adalah kegiatan yang
mengatur hal-hal yang berhubungan dengan tata cara hidup sesama umat manusia
untuk memenuhi keperluan hidup sehari-hari. Seperti jual-beli, sewa-menyewa,
utang-piutang, pinjam meminjam, urusan bercocok tanam, berserikat, dan usaha
lainnya. Dalam jual beli harus ada penjual, pembeli, barang yang dijual, ijab dan
qabul. Jual beli menurut bahasa artinya pertukaran atau saling menukar sedangkan
menurut pengertian fiqih jual beli adalah menukar suatu barang dengan barang yang
lain dengan rukun dan syarat tertentu.
Jual beli juga dapat diartikan menukar uang dengan barang yang diinginkan
sesuai dengan rukun dan syarat tertentu titik setelah jual beli dilakukan secara sabar
yang dijual menjadi milik pembeli dengan uang yang dibayarkan pembeli sebagai
pengganti harga barang, menjadi milik penjual. Untuk mengetahui apakah suatu
perjanjian adalah sah atau tidak sah maka perjanjian tersebut harus diuji dengan
beberapa syarat. Terdapat pada pasal 1320 kitab undang-undang hukum perdata
menentukan 4 syarat untuk sahnya suatu perjanjian yaitu :
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya,
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan,
3. Suatu hal tertentu, dan
4. Suatu sebab yang halal.
(Fauzi,2010:15)
Islam benar-benar mengatur sebaik-baiknya karena dengan teraturnya
Muamalat maka kehidupan manusia jadi terjamin juga dengan sebaik-baiknya.
Individu yang beriman berdakwah secara benar menurut Islam tentu akan
mengerjakan semua tuntunan Islam secara lengkap yang meliputi : mengerjakan
ibadah mahdhah berakhlak mulia, menjalankan syariat sosial Islam sesuai dengan
kapasitas yang dipunyainya, dan selalu berusaha keras menyebarluaskan ajaran Islam
dalam semua dimensinya ke masyarakat di sekitarnya. (Fauzi,2010:15)
Asshiddique pernah mengatakan bahwa seorang muslim yang memiliki tauhid
sosial atau muslim yang sadar tentang pentingnya manfaat ajaran sosial politik Islam
dalam kehidupan bermasyarakat tentu akan bekerja sama saling mendukung
sesamanya untuk memberlakukan syariat sosial Islam akan diperhatikan dalam
pengelolaan tatanan sosial agar tatanan sosial tersebut menjadi tatanan sosial yang
aman dan sejahtera. Perjuangan sosial politik ini menuntut adanya kelompok muslim
solid dan teguh bercita-cita bersama untuk mempraktekkan tuntunan sosial Islam
dalam proses pengelolaan tatanan sosial di mana mereka berada dengan kesiapan
menghadapi persaingan atau tantangan sosial politik dari pengikut ideologi lain
seperti pemeluk ajaran , komunis, dan kapitalis. Persaingan atau tantangan dari
kelompok lain yang memiliki visi misi sosial politik berbeda inilah yang membuat
perjuangan Islam dalam tingkat sosial kenegaraan menjadi amat rumit, dinamis dan
tidak pernah selesai. Hal ini jelas berbeda sekali dengan penerapan ajaran Islam dalam
lingkup individu seperti ibadah mudah pilihan makan minuman, dan cara berpakaian
yang praktis hanya bergantung pada kemauan keras orang-orang. (Koentjoro,2017:4)
Penetapan ajaran Islam dalam lingkup keluarga pun hanya bergantung pada
sedikit orang, khususnya suami istri dan anak-anak yang telah dewasa. Muslim yang
berjuang menegakkan syariat sosial kenegaraan adalah suatu kewajiban bukanlah
sesuatu yang aneh karena hal itu analog saja seperti kaum kapitalis atau kaum
komunis yang berjuang keras memberlakukan sistem kapitalisme atau sistem
komunisme dalam proses pengelolaan bangsa negara. Justru kalau ada muslim yang
pasif saja terhadap perjuangan sosial kenegaraan islami seperti itulah yang aneh, dan
akan jauh lebih aneh lagi jika ada muslim yang ikut-ikutan memperjuangkan tegaknya
sistem kapitalis atau sistem komunis di negerinya sendiri yang mayoritas
penduduknya adalah muslim. (Koentjoro,2017:2)
Islam adalah sebuah droptrin agama yang menghendaki pemeluknya untuk
dapat hidup lebih baik dan lebih maju titik apalagi pada era globalisasi, bentuk Islam
membuka pintu daripada Bali agar pemeluknya dapat hidup dalam kemajuan dan
kemodernan. Islam adalah agama universal, Islam tidak kaku dalam menghadapi
fenomena globalisasi titik akan tetapi Islam juga tidak menerima seluruhnya tanpa
adanya riser akan menambah globalisasi, apabila ia menimbulkan kemaslahatan bagi
manusia, Islam memberikan kebebasan bagi pemeluknya untuk maju dalam
mengembangkan umatnya dalam urusan dunia titik namun pada sisi lain Islam akan
menolak globalisasi jika ia memberikan kerusakan bagi peradaban manusia dan tidak
selaras dengan nilai-nilai Islam. Islam sebagai suatu doktrin agama berdiri di atas tiga
pilar utama yaitu aqidah, syariah dan akhlak.
Dalam perkembangannya mengalami perubahan bentuk aplikasi pemaknaan di
kalangan umatnya tidak sejalan dengan perubahan tersebut dapat dikemukakan bahwa
pada saat ini ada dua paradigma fundamental yang berkembang di kalangan umat
Islam dalam menghadapi globalisasi yaitu:
1. Paradigma Konservatif
Paradigma konservatif adalah paradigma yang cenderung bersifat konservatif,
yang memposisikan Islam sebagai agama yang memiliki doktrin dan ikatan-ikatan
tradisional yang belum mau bersentuhan dengan wacana keilmuan selain Islam.
Unsur-unsur sosial selain Islam dalam hal ini dianggap sebagai bagian yang
senantiasa berlawanan dan bahkan mengancam titik dalam dimensi teologi pematuhan
menempati pokok segala kekuasaan titik Tuhan dengan segala kekuasaannya telah
memberikan ukuran dan solusinya sesuai dengan ajaran yang tertulis tidak bagi
mereka menafsirkan ayat berkaitan dengan ketuhanan dengan metode baru adalah
kesesatan. (Murdan,2011:147)
Bagi kalangan umat Islam yang berpaham konservatif ini, “ketidakberubahan”
merupakan suatu hal yang ideal bagi individu dan masyarakat serta merupakan suatu
persepsi hakikat manusia dan lingkungannya. “Ketidakberububahan” merupakan
asumsi berpengaruh luas yang mewarnai hampir seluruh aspek pemahaman kelompok
ini. Doktrin “ketidakberubahan”, baik sebagai fakta maupun sebagai cita-cita,
barangkali bermula dari pengalaman kehidupan nomadik bangsa Arab, yang
mengakibatkan timbulnya paham bahwa keselamatan terletak pada upaya mengikuti
jejak para leluhur. Berdasarkan cara pemikiran tersebut akhirnya kelompok
konservatif memandang bahwa globalisasi adalah unsur yang sangat mengancam bagi
keberlangsungan nilai-nilai Islam. (Murdan,2011:148)
Bentuk pemahaman konservatif ini dapat dilihat melalui pemahaman
kelompok ini di dalam memahami hubungan agama dengan negara. Kelompok ini
berpendirian bahwa Islam bukanlah semata agama dalam pengertian barat yakni
hanya menyangkut hubungan antara manusia dan Tuhan, sebaliknya Islam adalah satu
agama yang sempurna dan yang lengkap dengan pengaturan bagi segala aspek
kehidupan manusia termasuk kehidupan bernegara para penganut paham ini pada
umumnya berpendirian bahwa Islam adalah suatu agama yang serba lengkap titik di
dalamnya terdapat pula antara lain sistem ketatanegaraan atau politik. Oleh karenanya
dalam bernegara umat Islam hendaknya kembali kepada sistem ketatanegaraan Islam
dan tidak perlu atau bahkan jangan meniru sistem ketatanegaraan Barat. Sistem
ketatanegaraan atau politik Islam yang harus diteladani adalah sistem yang telah
dilaksanakan oleh nabi besar Muhammad dan oleh al-Khulafa al-Rasyidin.
(Murdan,2011:149)
2. Paradigma Liberal
Paradigma liberal adalah paradigma yang bersifat antagonistik dengan
paradigma konservatif. Islam diasumsikan sebagai agama yang dapat berperan
sebagai agen perubahan sosial. Unsur-unsur sosial selain Islam dalam hal ini menjadi
komponen yang diterima bahkan menjadi acuan penting di dalam merumuskan
berbagai solusi terhadap persoalan kekinian yang dihadapi umat titik dalam dimensi
teologi paradigma ini mengedepankan aspek rasionalisme. Teologi bukan semata
menjadi objek kajian bagaimana meyakinkan umat secara detriner melainkan sebagai
pembimbing tindakan praksis sosial. Selain itu, teologi juga harus lepas dari
paradigma kekuasaan negara bahkan harus menjadi bagian transformasi sosial yang
terus menyuarakan kepentingan mayoritas umat. Paradigma ini berpendirian bahwa
walaupun Islam memiliki doktrin dan ikatan-ikatan tradisional tapi harus dilakukan
banyak dekonstruksi terhadap pemahaman doktrin tersebut melalui pengembangan
wacana keilmuan yang dapat diperoleh pada sumber-sumber eksternal.
(Murdan,2011:149)
Mereka menginginkan konsistensi penjelmakan nilai tauhid sebagai ajaran
yang membebaskan umat dari penindasan akultural dan struktural tidak mereka lebih
menekankan pembelaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan sehingga terkadang
melampaui garis-garis larangan demi mewujudkan teologis humanisnya. Dalam
dimensi syariat paradigma ini mengambil hukum-hukum melalui pemahaman yang
cenderung terlalu kontekstual, sehingga terkadang mengabaikan tekstual dan latar
belakang munculnya doktrin-doktrin agama. Mereka juga mengajukan berbagai
wacana tentang perlunya tafsir ulang terhadap Alquran dan hadis. Paradigma
pemikiran yang cenderung sangat dipercayai sering diistilahkan dengan paradigma
liberal. Di dalam pemahaman kelompok unsur-unsur sosial selain Islam dapat menjadi
komponen yang diterima bahkan menjadi acuan penting di dalam merumuskan
berbagai solusi terhadap persoalan kekinian yang dihadapi umat. (Mardan,2011:150)
Dua paradigma di atas sesungguhnya telah menjadi bagian internal Islam di
Indonesia titik paradigma pertama biasanya mengakar pada kalangan kelas bawah
yang belum sepenuhnya tersentuh oleh tradisi keilmuan positivisme seperti di
pesantren. Sementara paradigma liberal lahir dari rahim generasi muda yang cukup
paham terhadap wacana Islam titik namun, juga tersentuh oleh tradisi positivisme dari
Barat serta memiliki motivasi kuat untuk perubahan sosial. (Mardan,2011:151)
3. Paradigma Moderat
Allah menegaskan bahwa umat Islam adalah ummatan washatan (umat
pertengahan), umat moderat. Maka di sini penulis akan mencoba untuk menjelaskan
tentang paradigma moderat, sekiranya dapat menjadi penengah antara paradigma
konservatif dengan paradigma liberal. Paradigma moderat ini dipilih oleh Qardhawi,
adalah kelompok yang mewakili orang-orang yang bersikap terbuka terhadap
globalisasi, namun dengan pandangan jeli dan kritis. Satu sikap seorang mukmin dan
kuat yang terbuka yang bangga dengan identitas dirinya, yang sadar akan misinya
yang berpegangan teguh dengan orisinilitas ajaran agamanya, yang yakin akan ke
universalnya dan yakin akan peradaban umatnya. (Mardan,2011:151)
Paradigma ini selain berusaha memelihara nilai-nilai ketauhidan yang bersifat
formalistik tetapi juga berusaha secara konsisten menjelmakan nilai tauhid sebagai
ajaran yang membebaskan umat dari penindasan kultural dan struktural. Dalam arti
nilai tauhid harus “membumi” dalam kehidupan sehari-hari titik dalam dimensi
syariat, paradigma ini selain mengambil hukum-hukum Islam dari aspek nilai atau
substansi tetapi berusaha pula memahami secara tekstual kitab-kitab Islam lama yang
dibebankan oleh kalangan konservatif. Alquran dan hadis memang harus ditafsir
ulang tetapi harus dengan pertimbangan ilmiah teoretis dalam pertimbangan praktik
sosialnya. (Mardan,2011:152)
Karena paradigma ini berusaha mengintegrasikan dua kubu paradigma yang
antagonistik maka paradigma moderat cenderung pada pemahaman mencari jalan
tengah dari kecenderungan-kecenderungan yang bersifat antagonistik. Hal ini juga
sesuai dengan konsep Islam sebagai agama Washatan (moderat). Di sisi lain,
paradigma adalah menyampaikan dimensi kelenturan, kesantunan, dan peradaban
Islam titik Islam sebagai agama penyebar kasih, cinta, dan sayang harus menjadi
paradigma yang mengakar di tengah masyarakat. Hal ini penting guna meminimalisir
pandangan keagamaan yang selalu berwajah sangar dan keras yang digunakan secara
sistematis oleh beberapa kalangan Muslim tidak paradigma akan kian sempurna bila
mendapat ruang publik yang memungkinkan terwujudnya wawasan keagamaan yang
terbuka dan damai. (Mardan,2011:153)
Dari beberapa paradigma di atas maka muncul beberapa reaksi umat Islam
terhadap globalisasi titik secara umum reaksi tersebut dapat dibedakan menjadi
tradisional modernisme revivalis fundamentalis dan transformatif.
a. Tradisionalis
Pemikiran Islam secara tradisional berasal pada aliran ahlu Al Sunnah wal
jamaah terutama aliran asy’ariyah yang juga merujuk kepada aliran
jabariyah yang mengenai paham predeterminisme (takdir), yakni paham
bahwa manusia harus menerima ketentuan dan rencana Tuhan yang telah
dibentuk sebelumnya. Aliran tradisional sendiri menganut kepercayaan
bahwa kemunduran umat islam adalah ketentuan dan rencana Tuhan, dan
hanya Tuhan yang tahu hikmah dan arti dibalik dari semua kemunduran
dan keterbelakangan umat Islam tersebut. Arti dari pemahaman merek di
sini yaitu menyerahkan segala ketentuan hanya pada sang pencipta karena
perencanaan skenario hidup hanya dimiliki kuasa Tuhan.
(Mardan,2011:154)
b. Modernis
Kaum modernis percaya bahwa keterbelakangan umat Islam lebih banyak
disebabkan oleh kesalahan sikap mental, budaya atau teologi mereka tidak
mereka menyerang teologi sunni yang dijuluki sebagai teologi fatalistik.
Pandangan kaum modern ini berasal dari pemikiran kaum muktazilah.
Bagi muktazilah, manusia dapat menentukan perbuatannya sendiri tidak
pemikiran Muktazilah kemudian diteruskan oleh beberapa tokoh modern
yang terkenal yaitu : Muhammad Abduh, dan Mustafa Kemal Attaruk.
Asumsi dasar ke modern adalah bahwa keterbelakangan umat Islam karena
mereka melakukan sentralisasi dalam semua kehidupan titik asumsi
tersebut sejalan dengan paham developmentalisme yang beranggapan
bahwa kemunduran umat Islam terjadi di Indonesia karena mereka tidak
mampu berpartisipasi secara aktif dalam proses pembangunan dan
globalisasi. (Mardan,2011:155)
c. Revivalis-Fundamentalis
Kecenderungan pemikiran umat Islam yang ketiga dalam menghadapi
globalisasi adalah revivalistik aliran ini menjelaskan bahwa kemunduran
umat Islam berdasarkan pada analisis dari faktor dalam atau internal dan
faktor luar atau eksternal. Bagi revivalis, keterbelakangan umat Islam
disebabkan karena mereka menggunakan ideologi lain atau Ismail sebagai
dasar pijakan daripada menggunakan Alquran sebagai acuan dasar titik
pandangan ini berakar dari asumsi bahwa Alquran sudah menyediakan
segala petunjuk kehidupan secara komplit jelas, serta sempurna sebagai
dasar bermasyarakat dan bernegara.
Kaum revivalis menolak paham modernis dan kapitalis karena mereka
menganggap bahwa paham tersebut merupakan ancaman dan agenda kaum
berat serta non muslim yang dipaksakan pada masyarakat muslim.
Penolakan mereka terhadap globalisasi dan modernisasi karena mereka
menilai kedua paham tersebut berakar dari paham liberalisme.
(Mardan,2011:156)
d. Transformatif
Gagasan transformatif merupakan alternatif bagi ketiga respon pemikiran
umat Islam terhadap tantangan globalisasi di atas titik mereka percaya
bahwa keterbelakangan umat Islam lebih disebabkan oleh ketidakadilan
sistem dan struktur ekonomi, politik dan kultur. Oleh karena itu agenda
mereka adalah melakukan transformasi terhadap struktur melalui
penciptaan relasi terhadap fundamental lebih baru dan adil dalam segala
bidang. Bagi mereka keadilan merupakan prinsip utama bagi penganut
transformatif Mereka menginginkan penciptaan ekonomi yang tidak
ekspolitif kultur tanpa dominasi dan hegemoni serta penghormatan
terhadap hak asasi manusia. Sedangkan fokus kerja mereka lebih kepada
mencari akar teologi, metodologi, dan aksi yang memungkinkan terjadinya
transformasi sosial.
Penganut fundamentalis melakukan analisa kritis terhadap struktur yang
ada titik Islam oleh mereka dipahami sebagai agama pembebasan bagi
yang tertindas serta mentransformasikan sistem eksploitasi menjadi sistem
yang adil. Kita patut berbangga dengan agama Islam, yang sangat antusias
dalam menyuarakan kritikan serta respon yang dalam terhadap berbagai
gejala globalisasi sebagai tantangan ke depan, dan berusaha ikut serta
berpikir, berbuat, dan bertindak demi kesetaraan dan keadilan serta
ketetapan Tuhan di antara semua itu. Mardan,2011:157)

MEMOSISIKAN ISLAM DALAM GLOBALISASI


Salah satu tragedi besar yang menggetarkan peradaban manusia di awal abad
ke-21 adalah peristiwa 11 September 2001. Sejak tragedi itu, setidaknya ada tiga
unsur baru yang mengemuka perihal diskursus tentang globalisasi. Pertama, muncul
sebuah narasi baru tentang keamanan nasional yang sangat besar implikasinya
terhadap mobilitas lintas batas global, baik mobilitas manusia maupun modal. Kedua,
pandangan tentang kekuasaan negara yang sebelumnya cenderung liberal mulai
bergeser ke arah yang cenderung koersif dan birokratis dalam rangka untuk
mengontrol warganya. Ketiga, hubungan antagonistis antara Barat dan Islam telah
menjadi hambatan besar dalam mewujudkan berbagai tujuan kosmopolitan global
(Rizvi, 2004). Kejadian ini seakan-akan mempertegas posisi konflik antara Barat dan
Islam. Selama ini, secara sadar atau tidak, studi Islam di Barat telah memberikan
kontribusi dalam menciptakan imej tentang Islam dan Muslim. Imej ini muncul dalam
berbagai publikasi buku dan jurnal yang merupakan hasil riset mereka bertahun-tahun
di kawasan Muslim, ditambah dengan pemberitaan di media massa (Voll, 2000).
Islam di Indonesia juga tidak luput dari berbagai kajian sarjana Barat. Harus diakui,
Indonesia sebagai negara dengan mayoritas Muslim terbesar di dunia, cukup
diperhitungkan pengaruhnya dalam pergaulan global, termasuk di kawasan negara-
negara berpenduduk Muslim. Karena itu, wajar jika perkembangan Studi Islam di
Indonesia akan turut mewarnai dan memberikan pengaruh bagi masa depan Studi
Islam di dunia (Rochmat, 2002), lebih-lebih di Asia Tenggara (Meuleman, 2000).
Tulisan ini membahas diskursus tentang globalisasi, bagaimana sebaiknya menyikapi
globalisasi, serta apa implikasinya terhadap masa depan studi agama, termasuk
didalamnya Studi Islam.

Globalisasi : Definisi dan Proses


Dari definisi ini, setidaknya ada beberapa hal yang perlu diperhatikan
mengenai isu globalisasi. Isu pertama adalah adanya upaya penyatuan umat manusia
yang melampaui batas negara, bangsa, suku, ras, dan agama. Dengan kata lain,
globalisasi menjadikan dunia yang tanpa batas. Semua keperluan manusia dapat
dipenuhi dengan melampaui ruang dan waktu sebagai konsekuensi dari
perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (Ismail, 2001). Isu kedua adalah
persoalan identitas. Dengan semakin mudahnya persebaran manusia (diaspora) ke
berbagai pelosok dunia ternyata menciptakan proses asimilasi dan akulturasi budaya
yang pada gilirannya menghilangkan keaslian budaya setempat (Ashroft, 2001).
Dalam konteks ini, budaya Barat telah memainkan peranan yang cukup
signifikan terhadap pembentukan peradaban manusia (Huntington, 1998), bahkan
menghegemoni negara-negara di dunia ketiga. Isu ketiga adalah semakin banyaknya
distingsi antara negara-negara maju dan negara yang tidak/belum maju. Adanya
dominasi negara-negara maju terhadap negara-negara kurang maju (negara
berkembang) telah menyebabkan konflik yang tidak dapat diselesaikan, kecuali
dengan penguasaan ekonomi, politik, dan militer (pertahanan). Oleh karena itu,
negara-negara maju berusaha untuk bersatu dalam bentuk kerja sama ekonomi,
politik, dan militer. Terbentuknya beberapa organisasi seperti yang terjadi di Eropa
cukup memberikan pengaruh terhadap negara-negara ketiga (Carter, 2001; Masud,
2000).
Dari berbagai definisi di atas dapat dipahami bahwa globalisasi merupakan
suatu fase sejarah yang ingin menghilangkan batas ruang dan waktu dalam kehidupan
manusia yang meliputi aspek ekonomi, komunikasi, politik, dan sosial (Jaaffar, 2000).
Dengan kata lain, setiap penduduk di muka bumi ini adalah masyarakat dunia
yang tidak lagi memiliki batas teritorial. Setiap orang bebas melanglang buana ke
seluruh penjuru dunia. Hal ini setidaknya disebabkan oleh perkembangan pesat
teknologi komunikasi dan transportasi, setelah didahului oleh dua revolusi dalam
kebudayaan manusia, yaitu revolusi pertanian dan revolusi industri (Abdullah, 1995).
Namun demikian, rovolusi ini tidak berlaku secara merata di seluruh dunia.
Karena itu, tingkat kemajuan suatu bangsa tidak sama. Paling tidak, negara-negara
Barat lebih dahulu melewati fase revolusi pertanian dan industri yang karenanya
menyebabkan mereka terdepan dalam era globalisasi. Oleh karena itu, tidaklah
mengherankan, jika muncul istilah globalisasi, maka yang terbayang dalam benak kita
adalah westernisasi atau Amerikanisasi. Selanjutnya mengenai bagaimana proses
globalisasi, para sarjana pun memiliki pandangan yang berbeda-beda. Ada yang
memulai dengan memaparkan bahwa ekonomi kapitalis sangat memainkan peran
penting dalam menciptakan era globalisasi. Sebab, globalisasi sendiri dalam tradisi
Marxian dianggap sebagai episode sejarah terakhir dari perubahan kapitalisme.
Perubahan era dalam kapitalisme ditandai melalui empat fase sejarah. Fase pertama
adalah era penemuan dan penaklukan yang tidandai dengan adanya kelompok
saudagar. Fase kedua yakni kelahiran industri kapitalisme yang memunculkan
kelompok borjuis dan pendirian negara-bangsa. Pada era ini timbul revolusi, kapital,
dan kerajaan. Fase ketiga, kebangkitan korporat (monopoli) kapitalisme dan korporasi
dalam industri keuangan, konflik interimperialis yang menghasilkan Perang Dunia I,
yang selanjutnya diikuti oleh Revolusi Bolshevik untuk menemukan sistem sosialis
alternatif dan cara produksi. Fase keempat adalah era kapitalisme (globalisasi) yang
ditandai secara teknologi dengan “era informasi” (microchip dan komputer) dan
secara politik tidak berlakunya sosialisme sebagai sistem kemasyarakatan (Schmidt &
Hersh, 2000).
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa globalisasi adalah hasil pertarungan
umat manusia selama dua abad penuh, yaitu abad ke-19 dan 21. Dari empat fase di
atas menunjukkan bahwa globalisasi sangat identik dengan ekspansi negara-negara
Barat terhadap negara berkembang. Hampir dalam setiap fase sejarah, negara-negara
dunia ketiga menjadi objek, sedangkan subjeknya (pelaku) adalah negara di Benua
Amerika dan Eropa. Kecuali itu, dapat dikatakan juga globalisasi adalah bentuk
penjajahan baru negara-negara Barat terhadap negara-negara berkembang. Hanya saja
bentuk penjajahan baru ini melalui ekspansi dan implikasi dunia IT (Information
Technology) dan RD (Research and Development).Sejalan dengan itu, merujuk
Harvey dalam Schmidt & Hersh (2000), ada tiga aspek dalam proses globalisasi.
Pertama, gerakan ini mengurangi harga dan waktu dalam segala bidang sebagai akibat
dari perkembangan inovasi teknologi. Pada dasarnya, proses ini telah dimulai sejak
Perang Dunia Kedua berakhir.
Revolusi ini pada gilirannya mempermudah hubungan antarmanusia. Hingga
pada akhirnya, kemajuan tersebut dapat dilihat dalam hubungan transportasi, sistem
pos, telekomunikasi, worldwide web. Semua aktivitas umat manusia sekarang hanya
dikendalikan dengan jari telunjuk. Mulai bangun pagi hingga tidur malam, kita hanya
menggunakan jari telunjuk untuk melakukan segala aktivitas cukup dengan menekan
tombol remote control, komputer, atau mobilephone. Kedua, pembangunan secara
besar-besaran infrastruktur untuk memfasilitasi era ini dalam rangka mendukung
kegiatan-kegiatan produksi, pertukaran mata uang, distribusi, dan konsumsi yang
menggerakkan kekuatan yang berbeda di berbagai kawasan. Hal ini setidaknya dapat
dilihat dari maraknya kantor-kantor cabang negara-negara maju yang terdapat di
negara-negara berkembang. Sebaliknya juga kantor cabang negara-negara
berkembang sudah menjangkau negara-negara maju. Adanya bangunan infrastruktur
tersebut tentu saja akan memudahkan hubungan dalam segala bidang baik ekonomi,
pendidikan, sosial, politik, dan keamanan. Pada gilirannya, kemudahan tersebut
menciptakan dunia tanpa batas karena ditopang oleh teknologi informasi yang kian
mudah diserap penduduk dunia. Pendek kata, model pengembangan ini akan
menyebabkan munculnya kesadaran bahwa penduduk suatu negara merupakan bagian
dari masyarakat dunia (global citizenship).Ketiga, konstruksi organisasi teritorial,
terutama (tentu saja tidak satu) kekuatan-kekuatan negara untuk mengatur ang,
hukum, politik, dan memonopoli pemaksaan dan kekerasan menurut keinginan
kedaulatan wilayah tersebut (dan kadang ekstra-teritorial). Dalam hal ini, peran
negara menjadi begitu signifikan dalam mengatur sirkulasi kekuasaan sebagai kontrol
atas rakyatnya. Undang-undang menjadi instrumen utama hal tersebut. Dalam pada
itu, pengaruh dunia Barat terhadap dunia ketiga dapat dirasakan baik di bidang
hukum, politik, ekonomi, sosial, dan budaya (Yasuda, 1993).
Hampir semua negara berkembang yang merdeka pada tahun 1940-an
mengadopsi sistem yang berkembang di negara Barat (Bustaman-Ahmad, 2002).
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa globalisasi menuntut tiga hal. Pertama,
globalisasi adalah bagaimana sesuatu yang dulunya sulit dilakukan, menjadi mudah.
Hal ini didukung oleh kemajuan dunia IT dan R&D yang merupakan hasil kreasi umat
manusia selama dua abad terakhir. Kedua, globalisasi adalah bagaimana menyusun
strtategi model perang baru tanpa senjata dan medan peperangan. Perang ini
dilakukan melalui media dan beberapa penemuan ilmu pengetahuan. Kenyataan ini
pada gilirannya mengundang sejumlah pertikaian baru yang tidak dilakukan secara
terang-terangan. Hanya saja, yang menjadi objek dalam perang kali ini adalah negara-
negara yang tidak menguasai dunia IT dan R&D. Dua faktor inilah yang akan menjadi
tolok ukur suatu negara dijajah atau tidak pada era globalisasi. Ketiga, hal ini yang
paling ditakutkan, yaitu globalisasi semakin meminimalisasi peran dan fungsi
manusia. Akibatnya, manusia menjadi terasing dengan kehidupan nyata yang pada
gilirannya membuat mereka menjalankan hidup melalui sikap-sikap yang tidak
manusiawi lagi. Sesuatu diukur melalui uang atau materi, dan rasa kemanusiaan
semakin mahal didapatkan.

Globalisasi dan Pengaruhnya pada Kehidupan Manusia


Sejak awal tahun 1990-an globalisasi telah menjadi kata kunci untuk
membangun pikiran manusia tentang bagaimana dunia berjalan (Harvey dalam
Schmidt & Hersh, 2000). Dunia memang sedang mengalami proses pendewasaan
dalam bidang ekonomi, politik, agama, dan teknologi. Hampir seluruh negara sedang
mengukur kehebatan masing-masing dengan sejauh mana mampu menguasai empat
aspek tersebut. Negara yang mampu merebut empat potensi dari globalisasi itu, maka
ia akan dikatakan telah masuk ke gerbang negara yang mengglobal.Dalam bidang
ekonomi, kekuasaan pembangunan (developmentalism) telah menjadikan bangsa-
bangsa yang menggunakan ekonomi kapitalis sebagai penguasa dunia. Dari sini
kemudian lahir gurita ekonomi kapitalis yang menyebabkan negara-negara
berkembang harus berpacu dengan negara Barat. Keadaan ini tentu saja dimanfaatkan
oleh negara-negara Barat untuk membenamkan kekuatan-kekuatan ekonominya di
negara-negara berkembang melalui berbagai cara antara lain dengan Free Trade
Agreement (FTA), World Trade Organization (WTO), dan IMF (International
Monetary Fund). Organisasi-organisasi ini kemudian melaksanakan kebijakan yang
membuat negara-negara dunia ketiga harus memikirkan kembali bagaimana konsep
ekonomi dijalankan (Mohamad, 2002).
Kenyataan tersebut melahirkan beberapa negara berkembang yang
mengadopsi kekuatan-kekuatan ekonomi Barat. Hans Kung (2002) menandaskan
bahwa globalisasi ekonomi adalah proses penciptaan pasar dan produksi di berbagai
negara menjadi terus menerus bergantung satu sama lain sebagai akibat dinamika
perdagangan barang dan jasa, gerakan capital, dan teknologi. Kata kunci dari
pengaruh globalisasi terhadap ekonomi dengan demikian yaitu ketergantungan
negara-negara berkembang kepada negara maju dan sebaliknya. Inilah yang sangat
diharapkan pada era globalisasi di mana ekonomi saling menguntungkan akan
memainkan perannya. Melalui cara tersebut, negara-negara yang terlibat di dalamnya
akan dapat saling menyuplai apa yang mereka tidak miliki dari negara masing-
masing. Paling tidak, apa yang dialami oleh Indonesia saat ini adalah bentuk dari
pengaruh globalisasi, dan negara yang tidak bergantung pada yang lain akan merasa
rendah diri. Negeri-negeri yang sedang berkembang, terutama negeri-negeri diambang
industri, juga menginginkan globalisasi untuk mencapai perkembangan negara
sebagaimana bangsa-bangsa maju (Kung, 2002).
Adapun dalam bidang politik, pengaruh globalisasi cukup dirasakan. Salah
satunya dapat dilihat dari isu yang diangkat oleh negara Barat, yaitu upaya
membangun universalitas masyarakat global atau global society (Carter, 2001).
Akibatnya, nilai-nilai politik yang bersifat lokalitas semakin hilang melalui ekspansi
nilai-nilai politik modern yang dikembangkan oleh negara-negara Barat. Dinamika
politik yang terjadi di beberapa negara berkembang seperti India, Korea Utara,
Thailand, dan Indonesia adalah contoh pengaruh globalisasi terhadap kehidupan
politik (Bagghi dalam Schmidt & Hersh, 2000).
Dalam situasi tersebut, politik tidak lagi dimaknai sebatas bagaimana cara
mendapatkan kekuasaan, tetapi bagaimana mengembangkan dan mempertahankan
kekuasaan dari pengaruh dalam dan luar negeri. Kebangkitan globalisasi merupakan
upaya untuk memperbanyak kelompok yang tidak mampu bersaing terkotakkan dalam
kutub marginalisasi. Kelompok inilah yang kemudian berada di luar lingkaran
globalisasi,yang pada gilirannya akan sangat menguntungkan kelompok yang masuk
dalam lingkaran globalisasi (Fakih, 2001).
Fenomena ini tentu saja patut mengundang keprihatinan kita semua, sebab
“lingkaran setan globalisasi” memang tidak mau berpihak pada kelompok marginal
tersebut. Sangat wajar jika kemudian muncul gerakan sosial yang menentang arus
globalisasi ini. Kelompok ini secara intensif menentang setiap kebijakan negara-
negara kapitalis. Menurut Mansour Fakih, tantangan anti globalisasi dapat
diidentifikasi sebagai berikut. Pertama, tantangan gerakan kultural dan agama
terhadap globalisasi. Kelompok ini sering berbasiskan agama tertentu. Sejauh ini,
gerakan agama yang dipandang sebagai anti-globalisasi adalah gerakan sosial yang
muncul dari kalangan Islam. Gerakan ini sering disebut dengan kelompok
fundamentalisme Islam. Kedua, tantangan dari new social movement dan global civil
society terhadap globalisasi. Kelompok ini menentang pembangunan dan globalisasi,
seperti gerakan hijau, feminisme, dan gerakan masyarakat akar rumput. Ketiga,
tantangan gerakan lingkungan terhadap globalisasi. Kelompok ini secara aktif
melakukan aksi penentangan terhadap kerusakan alam atas nama kepentingan
ekonomi (Fakih, 2001).

Paradoks Globalisasi
Negara-negara maju cenderung bersatu untuk mempertahankan eksistensinya,
sementara umat Islam justru terpecah-pecah ke dalam beberapa kelompok, yang satu
sama lain tidak lagi menjalin persaudaraan. Pada saat negara-negara maju
membangun dan menghapus identitas mereka, justru di saat itulah negara-negara
Islam sedang sibuk memperjuangkan identitas dirinya masing-masing. Manakala
negara-negara maju melakukan ekspansi moral dan ide-ide mereka, justru umat Islam
berjuang untuk menghapuskan nilai-nilai keislaman dan berusaha hidup ala Barat
(Hafez, 2000).
Pada saat negara-negara maju membangun pusat-pusat perdagangan, umat
Islam masih sibuk mempermasalahkan halal-haram, benar-salah, dan saling
menjatuhkan satu sama lain. Pada saat negara-negara maju sudah tidak
mempopulerkan korupsi, justru kita sedang “menggalakkan” bagaimana melakukan
korupsi yang rapi dan tidak diketahui orang lain.Inilah paradoks yang terjadi di
tengah-tengah umat Islam, termasuk di Indonesia. Disadari atau tidak,
umumnya umat Islam masih menjadi objek globalisasi (Lubeck, 2000).
Karena itu, banyak umat Islam kehilangan identitasnya ketika berkenalan
dengan globalisasi. Umat Islam cenderung membagi “us” (minna) and “them”
(minhum) di antara mereka sendiri. Persaudaraan dan perdamaian menjadi bahasa
yang sulit untuk dipertemukan dalam meja perundingan. Bahkan ada beberapa
kelompok dalam Islam yang lebih mengedepankan sikap radikal ketimbang sikap
humanis. Begitu juga ada kelompok yang lebih mengedepankan pemikiran radikal
yang sulit dicerna oleh umat, sehingga muncul konflik yang tidak dapat dielakkan.
Sekali lagi, konflik ini adalah antara umat Islam dan yang paling rugi adalah umat
Islam sendiri, sementara yang paling diuntungkan adalah negara-negara yang ingin
melancarkan siklus konflik di negara-negara muslim. Inilah sedikitnya gejala
pengaruh globalisasi terhadap kehidupan beragama umat Islam. Kondisi ini
menyebabkan imej umat Islam kian negatif (Ahmed, 2002).
Umat Islam ditampilkan dengan agama yang suka perang, bom bunuh diri,
gerilya, sarang teroris, tidak demokratis, fanatik, tidak menghargai perempuan,
fundamentalis dan sebutan-sebutan lain (Esposito, 1999). Semua label ini
sesungguhnya sangat berlawanan dengan ruh Al-Quran, sebagai kitab suci umat
Islam, dan sejarah kehidupan Nabi Muhammad Saw bersama para sahabatnya yang
diyakini sebagai model terbaik umat Islam (khair ummah). Untuk itu, umat Islam
harus kembali memikirkan bagaimana memposisikan agamanya dalam era globalisasi.
Dalam konteks ini, ada beberapa agenda yang dapat dilakukan. Pertama, umat Islam
tidak perlu duduk dan menonton globalisasi seolah-olah seperti predator yang sedang
mencari mangsa. Namun, globalisasi harus diajak bekerja dan mengambil manfaat
darinya. Mengutip Mahathir Mohamad, “What we have to do is to understand how
globalisation as presently interpreted will work” (Mohamad, 2001).
Umat Islam perlu diajak untuk memahami bahwa globalisasi bukan untuk
ditakuti atau dijauhi. Sebab, globalisasi datang kepada kita, bukan kita yang
menghampirinya. Umat Islam perlu memahami bahwa mereka pernah mencapai
kejayaan sebelum bangsa-bangsa Barat maju. Di samping itu, umat Islam juga pernah
(sedang) mengalami masa kejatuhan yang disebabkan oleh kesibukan penafsiran-
penafsiran terhadap ajaran-ajaran agama yang kemudian berimbas pada permasalahan
sosial, ekonomi, dan politik, sehingga menyebabkan mereka terpecah-pecah ke dalam
beberapa puak.Kedua, umat Islam perlu menguasai dunia IT. Diskursus perdebatan
apa itu ilmu agama dan nonagama semestinya disudahi. Diskursus ini ternyata telah
melupakan aspek-aspek penguasaan IT. Sejauh ini, di negara-negara Muslim,
termasuk Indonesia, penguasaan IT masih jauh ketinggalan dibandingkan dengan
negara-negara maju. Padahal, globalisasi terasa dekat dengan kita melalui IT. Dengan
demikian, “there is no reason at all why we must use only the internet dor all
applications” (Mohamad, 2001).
Ketiga, menumbuhkembangkan dunia R&D (research and development).
Tradisi riset di kalangan umat Islam, terutama Indonesia, masih jauh ketinggalan.
Pada dasarnya, globalisasi itu berjalan disebabkan oleh perkembangan R&D yang
dilakukan oleh negara-negar maju. Sejauh ini, R&D di Indonesia hanya sebatas untuk
kepentingan pangkat dan funding semata (Prasetyo et al., 2002). Sejalan dengan itu,
maka sudah selayaknya perguruan tinggi terutama lembaga-lembaga studi Islam
mengembangkan tradisi riset. Setelah itu, hasil-hasil riset tersebut perlu
dipublikasikan ke seluruh dunia, dan yang paling urgen adalah pemerintah punya niat
untuk menjadikan hasil-hasil riset sebagai masukan untuk diimplementasikan dalam
kebijakan pemerintahan. Keempat, penguasaan media massa. Media massa memang
berperan signifikan dalam membangun persepsi dan imej publik, termasuk imej umat
Islam. Sementara umat Islam masih menjadi konsumen setia dari berita yang
dipublikasikan oleh negara-negara maju. Alhasil, umat Islam malah diajak untuk
berpikir kembali mengenai kesesuaian antara ajaran-ajaran Islam dengan globalisasi
(Mohamad, 2001).
Dari pemaparan keuniversalitas Islam di atas, dapat dipahami, bahwa secara
prinsip, Islam sangatlah relevan sebagai ajaran global. Persoalannya kemudian,
bagaimana memosisikan Islam dalam percaturan globalisasi? Dalam hal ini, dapat
digarisbawahi bahwa Islam sebagai ajaran global yang memiliki ajaran universal
merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari globalisasi. Menyikapi problema
globalisasi, maka prinsip-prinsip ajaran Islam yang universal bisa dijadikan dasar
berpijak bagi umat Islam. Di sinilah, pemahaman yang tepat terhadap nash menjadi
syarat yang harus dipenuhi. Islam pada prinsipnya satu secara aqidah, tetapi pada
bidang-bidang yang lainnya, boleh jadi berbeda, atau malah bertentangan. Namun
demikian, semua itu secara keseluruhan tetap berada dalam naungan Islam. Dalam
menyikapi globalisasi ekonomi yang merupakan bagian dari realita saat ini, Islam
sebagai sebuah ajaran moralitas memberikan batasan-batasan agar tidak terjadi
eksploitasi antara manusia yang satu dengan yang lain. Islam menghendaki persamaan
(musawwah) atas prinsip harta tidak hanya beredar di kelompok-kelompok tertentu
saja. Perilaku ekonomi Islam bertujuan untuk menyejahteraan semua pihak. Prinsip
utama dari ekonomi Islam di era global adalah (1) tauhid: keesaandan kedaulatan
Allah. Konsepsi ini menuntut adanya kepatuhan terhadap aturan-aturan yang telah
ditetapkan tanpa syarat. Dalam konsepsi ini, eksistensi manusia dipersatukan dalam
ketaatan kepada Allah, yang akan berimplikasi pada aktivitas ekonomi, yaitu tidak
ada diskriminasil(2) keadilan: hal ini penting karena keadilan menjadi suatu titik tolak
dalam membangun kesejahteraan hidup. Dari sini akan muncul kedinamisan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara, (3) tanggung jawab: dalam prinsip ekonomi
Islam, setiap pelaku ekonomi harus bertanggung jawab, baik dari sisi ekses ataupun
aktivitasnya kepada diri sendiri dan masyarakat atau pun bangsa. Demikian juga tidak
dibolehkan terjadi kerusakan ekologi sebagai akibat manfaat teknologi yang
berlebihan. Prinsip ekonomi Islam ini muncul dalam rangka melakukan kritik dan
solusi atas banyaknya kekurangan yang terdapat dalam ekonomi kapitalis. Pada aspek
budaya, Islam memiliki kebudayaan sendiri yang kosmopolit, tetapi Islam juga
mengakui eksistensi kebudayaan lokal. Kosmopolitanisme budaya Islam dibentuk
oleh budaya lokal, tempat Islam itu tersebar. Sebagai bukti konkret, kita mengenal
Islam Jawa, Islam Madura, Islam Iran dan lain sebagainya, yang meskipun secara
kultur tidak sama, tetapi tetap dalam kesatuan Islam. Islam pada waktu berasimilasi
yang membentuk tatanan kebudayaan baru yang khas.
Pada aspek pendidikan, tawaran yang hendak disampaikan oleh Islam adalah
pendidikan yang integralistik. Berbeda dengan pendidikan umum dewasa ini, Islam
tidak menghendaki dualisme pendidikan. Pendidikan selain diperuntukkan untuk
mencapai ‘kebahagiaan’ dunia, juga seyogyanya diwarnai dengan nilai-nilai
transendensi kepada Sang Maha Pendidik, yaitu Allah SWT. Pendidikan seyogyanya
mengutamakan kepentingan moralitas sebagai bagian yang esensial dalam tata
kehidupan manusi. Namun demikian, tidak berarti antipati terhadap modernisme yang
merupakan produk Barat. Oleh karena itu, pendidikan merupakan sistem bagi
pengembangan iptek yang berangkat dari ajaran al-Qur’an dan Sunnah, sebagai
pembaharuan pemikiran yang dapat merespon tantangan zaman tanpa mengabaikan
aspek teologis dogmatis, dan sebagai sarana untuk menumbuhkembangkan sikap dan
mental manusia yang benar-benar bertakwa kepada Tuhan tanpa mengenal batas
akhir. Pada aspek teknologi, Islam menghendaki teknologi yang tepat guna, dalam
arti, tidak hanya memberikan kemudahan dan kenyamanan, tetapi juga tetap
menempatkan manusia sebagai subjek penentu. Teknologi juga tidak boleh
mengeksploitasi alam secara membabi buta sehingga merusak ekologi yang ada.
Globalisasi yang berangkat dari penggunaan teknologi yang merusak ekologi inilah
yang dilarang dalam Islam (
KESIMPULAN
Globalisasi merupakan sebuah keharusan sejarah yang tidak dapat ditolak. Fenomena
tersebut sudah terjadi dan nyata di depan mata. Sekarang bukan saatnya lagi untuk
berpolemik tentang isu tersebut, saat ini yang terpenting adalah bagaimana scorang
muslim harus bersikap dan memposisikan diri terhadap arus pemikiran barat yang
datang bertubi-tubi menghantam umat islam.

Sebagai seorang muslim sejati, seyogianya tidak perlu takut menghadapi arus
globalisasi. Seorang muslim harus tampil moderat dalam menghadapi arus perubahan
dan pemikiran yang digulirkan barat. Umat islam jangan beraksi berlebih-lebihan
dengan menentang semua yang berbau barat, atau jangan menjadi katak yang
bersembunyi di bawah tempurung.

Memasuki era globalisasi, mengharuskan seorang muslim untuk bersikap bijaksana


serta harus mampu mengaktualisasikan nilai-nilai ajaran islam ketika berinteraksi
dengan dunia luar. Seorang muslim harus mampu menjaga jati dirinya dalam
menghadapi berbagai tantangan. Umat islam harus bisa mengambil sisi positif dari
globalisasi. Adapun sisi negatif harus dibuang, dan dijadikan sebagai contoh tidak
baik.Bila umat islam mampu dan mau berlaku bijak terhadap arus pemikiran yang
masuk ke dalam rumah umat islam, niscaya umat akan dapat meraih kembali
kejayaannya.
Daftar pustaka
Aburdence, Patricia, John Naisbitt, 1990, Megatrends 2000, New York: Avon
Book.
Al-Barry, Dahlan, M , Pius A Partanto tt, Kamus llmiah Populer, Surabaya,
Arkola.
Daulaby, Haidar, 1998. Syahrin Harahap (ed)., Perguruan Tinggi Islam dl Era
Globalisasi. Yogyakarta ,Tiara Wacana.
al-Faruqi, Isma’il Raji, Tauhid, terj. Rahmani Astuti .Bandung, Pustaka
Hafidhuddin, Didin, 1998, Dakwah Aktual, Jakarta, Gema Insani.
Hanafi, Hassan, Agama, Kekerasan dan Islam Kontemporer, terj. Ahmad
Najib, Yogyakarta, Jendela.
Khotimah, Khusnul, Islam dan Globalisasi, Jurnal Dakwah dan Komunikasi,
Vol.3 No.1 Januari-Juni 2009.
Nagwi, Seyyed Nawab, 1993, Etika dan llmu Ekonomi, suatu Sintesa Islami,
terj. HusinAnas, Bandung, Mizan.
Omer, Adlnan Benan ,Nasionalisme Haprak Menunggu Mati, dalam Berita
Keadilan, edisi 30 Juni 2001
Poedjawijatna, 1980, Pembimbing ke Arah Alam Filsafat, Jakarta, PT.
Pembangunan
Purwantoro, Agustinus, Menyoal Fundamentalisme dalam majalah Basis, No.
01-02 Tahunke-52, Januari - Februari 2003.
al-Qardhawi, Yusuf, 2001, Islam dan Globalisasi Dunia, (terj.),Jakarta,
Pustaka Al-Kautsar.
Rakhmat, jalaluddin, 1992, Islam Aktual; Refleksi Sosial Seorang
Cendekiawan Muslim, Bandung, Mizan
Tilaar, H.A.R, 1998,Beberapa Agende Reformasi Pendidikan Nasional dalam
Perspektif Abad 21,Magelang: Tera Indonesia.
Dault, Adhyaksa, Islam dan Nasionalisme, (Jakarta: Yadaul, 2003)
Jurnal Al Jami volume 7, nomor1, Januari - Juni 2011
Larsson, Thomas, The Race to the Top: The Real Story of Globalization
(Washington, D.C, CATO Institute Publisher)
Murdan, Harmonisasi hukum adat, agama, dan negara dalam budaya
perkawinan masyarakat Islam Indonesia belakangan, (2016, Fakultas Syariah dan
Hukum Islam UIN SUNAN KALIJAGA)
Mardan, Islam Untuk Disiplin Ilmu (Sebuah Pengantar)
Park, Clint, Effect of Economic Globalization, (National Geographic Society
Article, diakses pada tgl 1 September 2023)
Samhadi, Sri Hartati, Menunggu Revolusi Kedua, Kompas, Edisi 6 Desember
2006.
Stiglitz, Joseph E., Kegagalan Globalisasi dan Lembaga-Lembaga Keuangan
Internasional, (alih bahasa oleh Ahmad Lukman, Jakarta: Ina Publikatama, 2012).
Winarno, Budi, Dinamika Isu-Isu Global Kontemporer, (Jakarta: Center of
Academic Publisihing Service, 2014).

Anda mungkin juga menyukai