Disusun Oleh :
Dina May Utami 23030730028
Dheasy Pratama Ramadhani 23030730010
Muhamad Fajar 23030730025
Wacana tentang globalisasi sudah mulai muncul sekitar tahun 1990, era ini
disebut era globalisasi (the age of golobalization). Munculnya permasalahan seputar
globalisasi saat ini tidak lepas dari dua hal, yaitu sebagai akibat dari runtuhnya negara
Uni Soviet pada tahun 1991 dan semakin majunya perkembangan informasi dan
teknologi. Banyak orang yang sudah memperdebatkan hubungan antara Islam dan
globalisasi dalam pertentangan Islam terhadap proses globalisasi. Islam berhubungan
dengan pengaruh umum globalisasi yang menyeluruh, khususnya sistem negara
modern mewakili pemahaman Islam tentang kewarganegaraan, otoritas dan
kedaulatan. Secara signifikan, hal itu berhubungan dengan perubahan, transformasi,
modernitas, dan hubungan yang saling bergantung antara berbagai wilayah di dunia.
Globalisasi merupakan bagian dari kehidupan manusia yang telah ada sejak
awal penciptaan manusia. Hal ini sama dengan naluri alami manusia dan
kecenderungan sosial masyarakat. Itu adalah anugerah dari Tuhan yang telah
menciptakan manusia untuk hidup dan membangun pengalaman dengan orang-orang
di sekitar. Namun, globalisasi sering dikaitkan dengan teori ekonomi yaitu, globalisasi
dianggap sebagai cerminan negatif dari dunia internasional terutama Barat dan Eropa.
Dengan demikian, untuk bergabung dengan arus utama kehidupan internasional
mempromosikan sistem ekonomi terbuka dan perdagangan bebas. Untuk mencapai
peluang hidup yang lebih baik, globalisasi Islam harus lebih lengkap dan akurat
membedakan antara proses globalisasi dalam pengertian aslinya dan proses yang
relatif baru.
Dunia saat ini sudah tidak terkendali seiring dengan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi di era globalisasi ini sehingga perkembangan dunia kini
jauh dari harapan semula. Mengapa hal Ini terjadi salah satu kata kunci penyebab
kondisi ini adalah globalisasi. Globalisasi, sebagai akibat dari kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi, pada gilirannya membawa serta risiko baru yang melebihi
kemampuan kita untuk memprediksinya. Perubahan luar biasa ini telah merevolusi
tradisi dan bahkan agama, yang telah menjadi landasan bagi banyak orang. Namun
bukan itu saja, proses perubahan nilai-nilai dalam keluarga dan juga dalam negara
(Rismawati 2012:25-26).
Globalisasi dengan ciri khas interaksi dan integrasinya pada akhirnya
mempengaruhi perubahan dunia dalam segala bida menunjukkan proses multidimensi
menuju tatanan dunia tanpa batas antar negara (bordersless). Sistem sosial yang
demikian memberikan pengaruh negatif dan positif terhadap perubahan sosial budaya
suatu masyarakat dalam segala aspek, termasuk bagi Indonesia sebagai masyarakat
global (Thohir 2014: 279).
Jika dilihat dari akar kemunculan globalisasi yang sampai saat ini menjadi
fenomena yang tidak ada habisnya menjadi perdebatan, globalisasi bukanlah
fenomena baru dalam sejarah peradaban dunia. Ciri khas dari globalisasi adalah
keterbukaan dan kerelaan dalam menerima pengaruh budaya lain. Hal ini sudah
terjadi beribu-ribu tahun yang lalu sebagaimana dalam sejarah bangsa Romawi, ketika
bangsa Romawi berhasil mengalahkan bangsa Visigoth, maka bangsa Visigoth pada
masa kekaisaran Romawi menuntut hak yang sama sebagaimana yang dimiliki oleh
penakluk. Mereka menginginkan hak untuk memilih perwakilan dan perlindungan
dari segi undang-undang yang serupa dengan bangsa Romawi, dengan argumen
“Cinis Romanus Sum”, “Aku ini rakyat Romawi”. Atas kesadaran ini, Kaisar Marcus
Aurelius(121-180 SM) yang terkenal karena pemikirannya yang cukup modern dalam
bukunya berjudul Meditations, membuka kerakyatan Romawi kepada semua etnik dan
bangsa dari Dubrovnik di Balkan, hingga ke Colonia di utara Sungai Rhine, sampai ke
Kepulauan Britania. Kejayaan Romawi berlandaskan sikap keterbukaan golongan
pemerintah terhadap konsep globalisasi. Selanjutnya, globalisasi Romawi telah
membawa penerimaan budaya dominan masyarakat Italia Tengah. Bahasa Roma
dipergunakan hingga ke penghujung Benua Eropa. Dalam bahasa, perkataan-
perkataan Romawi mulai dipergunakan di Persia dan Semenanjung Arab (Khotimah
2009:115).
Melihat dari perkembangan globalisasi sangat cepat terjadi, maka kita sebagai
manusia harus mampu mencermati isu-isu kontemporer yang menjadi permasalahan
dunia hingga saat ini khususnya umat muslim, agar bisa menjadikan globalisasi
sebagai media entitas dari eksistensi umat muslim, khususnya untuk ajaran Islam
yang toleran, adil, bebas, saling menghormati, kasih sayang, dan sebagainya yang
sekarang dirasa kurang memberikan pengaruh dan sumbangsih global terhadap
pemahaman secara universal dibanding dengan agama- agama besar dunia lainnya.
Oleh sebab itu, tulisan ini akan memaparkan isu-isu kontemporer dalam dunia Islam
dari sudut pandang globalisasi sebagai fenomena yang harus dicermati agar umat
muslim mampu berkompetensi untuk memperebutkan pengaruh hegemoni dunia
sekarang ini dengan cara mendekati objek globalisasi, sebagai struktur makna, dapat
diungkapkan secara jelas, yaitu istilah globalisasi dianggap memiliki , titik pijak, dan
dimensi kacamata dalam istilah popular (Ratna 2010:45).
Rumusan Masalah
1. Apa saja dampak globalisasi yang telah mempengaruhi kehidupan kita?
2. Bagaimana cara kita memahami islam sebagai sebuah agama?
3. Bagaimana cara kita sebagai muslim dapat memosisikan islam sebagai agama yang
sesuai dengan perkembangan zaman
Kerangka Teori
Konektivitas antara
Globalisasi dan
Islam
Metode Penelitian
Penelitian (research) merupakan rangkaian kegiatan ilmiah dalam rangka pemecahan
suatu permasalahan. Hasil penelitian tidak pernah dimaksudkan sebagai suatu
pemecahan (solusi) langsung bagi permasalahan yang dihadapi. karena penelitian
merupakan bagian saja dari usaha pemecahan masalah yang lebih besar. Fungsi
penelitian adalah mencarikan penjelasan dan jawaban terhadap permasalahan serta
memberikan alternatif bagi kemngkinan yang dapat digunakan untuk pemecahan
masalah (Anwar, 2001).
Metode penelitian merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dari
kegunaan tertentu. Istilah cara ilmiah menunjukkan arti bahwa kegiatan penelitian
didasarkan pada ciri-ciri keilmuan, yaitu rasional, empiris, dan sistematis. Rasional
dalam penelitian adalah bahwa penelitian dilakukan dengan cara-cara yang masuk
akal, bukan hasil mediasi. Empiris adalah bahwa kegiatan penelitian dapat diamati
oleh indera manusia sehingga orang lain dapat mengamati dan mengetahui cara-cara
yang digunakan. Adapun sistematis adalah bahwa proses yang digunakan dalam
penelitian menggunakan langkah-langkah tertentu yang bersifat logis (mahmud,
2011).
Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk jenis penelitian pustaka (library research), yakni penelitian
yang obyek kajiannya menggunakan data pustaka berupa buku-buku sebagai sumber
datanya (Hadi, 2002). Penelitian ini dilakukan dengan membaca, menelaah, dan
menganalisis berbagai literatur yang ada, berupa Al Qur’an, hadis, kitab dan jurnal.
Globalisasi Ekonomi
Globalisasi ekonomi mengacu pada meningkatnya saling ketergantungan akan
perekonomian dunia sebagai akibat dari meningkatnya skala perdagangan komoditas
dan lintas batas negara, jasa, aliran modal internasional dan penyebaran teknologi
yang luas dan cepat. Itu mencerminkan ekspansi berkelanjutan dan integrasi timbal
balik dari batas-batas pasar, dan hal ini tidak dapat mengubah tren perkembangan
ekonomi di seluruh dunia pada pergantian milenium. Karena itu perlu kita ketahui
bahwa pentingnya informasi yang berkembang pesat dalam semua jenis kegiatan
produktif dan marketisasi adalah dua kekuatan pendorong utama bagi globalisasi
ekonomi (Parks : 2023)
Globalisasi bukanlah hal baru. Sejak awal peradaban, manusia telah berdagang barang
dengan tetangganya. Seiring dengan kemajuan budaya, mereka dapat melakukan
perjalanan lebih jauh untuk menukar barang mereka sendiri dengan produk yang
diinginkan yang dapat ditemukan di tempat lain. Jalur Sutra merupakan contoh awal
globalisasi, jalur ini merupakan jalur perdagangan kuno yang digunakan antara Eropa,
Afrika Utara, Afrika Timur, Asia Tengah, Asia Selatan, dan Timur Jauhyang telah
digunakan oleh orang orang zaman dulu selama lebih dari 1.500 tahun. Jalur ini
digunakan oleh orang-orang Eropa memperdagangkan kaca dan barang-barang
manufaktur dengan sutra dan rempah-rempah Tiongkok, sehingga berkontribusi
terhadap perekonomian global di mana Eropa dan Asia menjadi terbiasa dengan
barang-barang dari tempat yang jauh. Setelah penjelajahan Eropa di Dunia Baru
menyebabkan globalisasi terjadi dalam skala besar salah satunya pertukaran dan
pernyebaran tumbuhan, hewan, makanan, budaya, dan gagasan secara besar besaran
atau yang lebih dikenal sebagai Pertukaran Kolumbia. Jaringan Perdagangan Segitiga
di mana kapal-kapal membawa barang-barang manufaktur dari Eropa ke Afrika,
memperbudak orang-orang Afrika ke Amerika dan bahan mentah kembali ke Eropa
adalah contoh lain dari globalisasi. Penyebaran perbudakan yang diakibatkannya
menunjukkan bahwa globalisasi dapat merugikan banyak orang semudah
menghubungkan orang-orang. (Parks : 2023)
Globalisasi memberikan keuntungan kompetitif bagi dunia usaha dengan
memungkinkan mereka memperoleh bahan mentah dengan harga murah. Globalisasi
juga memberikan peluang bagi organisasi untuk memanfaatkan biaya tenaga kerja
yang lebih rendah di negara-negara berkembang, sekaligus memanfaatkan keahlian
teknis dan pengalaman negara-negara maju. Dengan adanya globalisasi, bagian-
bagian berbeda dari suatu produk dapat dibuat di berbagai wilayah di dunia.
Globalisasi telah lama dimanfaatkan oleh industri otomotif, misalnya, di mana bag
ian-bagian mobil yang berbeda dapat diproduksi di negara-negara yang berbeda.
Bisnis di beberapa negara berbeda mungkin terlibat dalam produksi produk yang
tampaknya sederhana seperti kaos katun. (Parks : 2023)
Krisis Pangan
Salah satu ancaman globalisasi terhadap ekonomi adalah masalah kelangkaan
pangan. Jumlah penduduk yang terus meningkat telah menciptakan kebutuhan pangan
yang semakin meningkat pula. Bahkan kelangkaan pangan di beberapa Negara afrika
menciptakan kerusuhan-kerusuhan horizontal. Krisis pangan membutuhkan
penanganan serius oleh semua aktor dalam dunia internasional.Ancaman krisis
pangan termasuk dipengaruhi oleh intervensi lembaga keuangan multilateral saat
krisis di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Atas saran Dana Moneter
Internasional (IMF), anggaran dan subsidi pertanian dipangkas, budidaya pertanian
diarahkan pada komoditas perkebunan penghasil devisa untuk membayar hutang,
sementara itu alokasi untuk investasi di sector industri seperti teknologi Informasi dan
manufaktur mengalami peningkatan. Kondisi ini semakin diperparah dengan
swastanisasi air yang diprakarsai bank dunia (Samhadi, Menunggu Revolusi Kedua,
Kompas, Edisi 6 Desember 2006: 37).
Dalam konteks pasar liberal yang berpengaruh terhadap ketersediaan pangan,
pemerintah diharapkan bijaksana dalam mekanisme impor dan ekspor produk pangan.
Impor dapat dilakukan dengan orientasi pemenuhan kebutuhan domestik dan
dilaksanakan pada skema birokrasi yang sehat. Adapun ekspor diharapkan
berorientasi pada keuntungan dan kesejahteraan petani, bukan hanya pelaksanaan
skema pasar bebas yang hanya menguntungkan spekulan atau elite tertentu.
(Estuningtyas , 2007)
Globalisasi Politik
Globalisasi secara sederhana dapat dikatakan sebagai penyempitan dan
percepatan keterkaitan yan terjadi di seluruh dunia, batas-batas teritorial maupun
budaya antar bangsa menjadi seolah hilang. Proses ini menjadi sebuah isu
kontroversial dalam studi ilmu politik. Sebagian berpendapat bahwa globalisasi
mendatangkan kematian negara-bangsa berdaulat, sebagai kekuatan global yang
melemahkan kemampuan pemerintah untuk mengendalikan perekonomian mereka
dan masyarakatnya sendiri. Ohmae menuliskan, “globalisasi telah menghancurkan
budaya-budaya lokal, merobek pasar-pasar di belahan dunia manapun dan
merobohkan dinding pembatas antar negara.” Sebagian lain yang mendukung ide
globalisasi berpendapat bahwa negara-negara tetap merupakan unsur utama
pembentuk tatanan dunia, “bagi mereka globalisasi merupakan kemajuan, Negara-
negara harus menerimanya jika mereka ingin berkembang dan memerangi kemiskinan
secara efektif.” (Stiglitz, 2012: 6)
Dalam sistem politik global, masing-masing pelaku seperti Negara, maupun
aktor transnasional lainnya berprilaku dalam berbagai cara yang fundamental tidak
hanya terkait dengan struktur dan proses internal dalam dimensi politik, ekonomi,
sosial maupun budaya, melainkan lebih dari itu terkait dengan persepsi mereka
tentang kedudukan dan peran mereka dalam sistem global. Kedudukan para pelaku
dalam sistem politik global diukur dari dimensi power yang meliputi, the capability of
persuading, leading, influencing, promising, attracting, rewarding, inspiring maupun
coercing. (Dougherty, Dalam Winarno, 2014, hlm xviii).
Globalisasi juga telah memunculkan suatu pola hubungan baru dimana entitas
negara tidak lagi menjadi otonom dan berkuasa penuh atas wilayah teritorialnya atau
dapat dikatakan negara tidak lagi menjadi satu-satunya entitas politik pemegang
kedaulatan, melainkan telah terbentuk hubungan yang saling bergantung dan
kesalinghubungan antara negara-bangsa dan para pelaku transnasional yang
terintegrasi secara global. Keadaan ini melahirkan sebuah fenomena baru, yaitu ;
menguatnya aktor-aktor non-state sebagai pusat kekuasaan baru dalam interaksinya
dalam hubungan internasional. Fenomena berikutnya adalah
permasalahanpermasalahan baru yang muncul tidak mungkin diselesaikan oleh
masing-masing negara nasional sendirian, melainkan diselesaikan bersama-sama
sebagai komunitas warga dunia. Keadaan semacam inilah yang kemudian
memunculkan gagasan global governance.
Global governance bisa berbentuk formal yang memiliki perangkat hukum
serta institusi untuk mengatur beragam aktor internasional seperti IMF dan Bank
Dunia, maupun berbentuk informal dalam bentuk yang temporal, seperti institusi yang
membahas isu lingkungan, AIDS, dan lain-lain.Meski ditujukan sebagai upaya
penyelesaian masalah, global governance semacam IMF dan Bank Dunia masih
menyisakan kontroversial terkait peran mereka dalam pembangunan di negar-negara
dunia ketiga (Winarno, 2014:204) Dalam konteks global governance, IMF dan Bank
Dunia belum mampu menciptakan kesetaraan terutama membantu negara-negara yang
terkait krisis, dengan mengambil alih komando manajemen perekonomian negara
penerima bantuan. “Setelah krisis Asia pada tahun 1997, kebijakankebijakan IMF
malah memperburuk krisis di Indonesia dan Thailand.” (Stiglitz, 2012:24).
Globalisasi budaya
Secara istilah (terminologi) Islam berarti suatu nama bagi agama yang ajaran-
ajarannya diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang Rasul. Atau lebih
tegasnya lagi Islam adalah ajaran-ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada masyarakat
melalui para nabi dan nabi Muhammad sebagai nabi terakhir sesudah diutusnya nabi
masa zaman sebelumnya. Islam adalah tuntunan hidup dari Allah SWT yang
disampaikan oleh Rasulullah Muhammad saw tuntunan hidup dalam ajaran Islam itu
disebut sebagai syariat Islam dan meliputi tuntunan atau syariat untuk mengelola diri
pribadi, mengelola keluarga, dan mengelola masyarakat bangsa negara. Ajaran Islam
juga mewajibkan umat Islam untuk hidup sesuai dengan syariat itu, di manapun
kapanpun dan juga mewajibkan untuk menyebarluaskannya ke masyarakat sekitarnya.
Agama Islam mempercayai bahwa Al-Quran dan Sunnah (setiap perkataan dan
tingkah laku Muhammad) sebagai sumber hukum dan peraturan hidup yang
fundamental. Islam adalah agama untuk penyerahan diri semata-mata karena Allah
agama semua nabi, agama yang sesuai dengan fitrah manusia agama yang menjadi
petunjuk manusia bahwa mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya Dan
manusia dengan lingkungannya. Agama Rahmah bagi semesta alam, dan merupakan
satu-satunya agama yang di ridhoi Allah agama yang sempurna. (Koentjoro,2017:3)
Islam adalah agama penutup yang diturunkan Allah ke dunia melalui seorang
Rasul yaitu Nabi Muhammad SAW. Misi utamanya adalah mengantarkan manusia
menuju pada kehidupan yang damai, harmonis, aman, tenteram, sejahtera, dan
bahagia, tidak hanya di dunia ini, namun juga pada kehidupan di akhirat. Hal ini
adalah sesuai dengan nama Islam itu sendiri yang berarti perdamaian, keselamatan.
Secara etimologis kata Islam berasal dari bahasa Arab “salima” yang berarti damai,
selamat dan atau sejahtera. Kemudian dari kata itu dibentuklah istilah taslim, yang
secara bahasa berarti tunduk, patuh dan pasrah, 2 maksudnya adalah tunduk dan patuh
serta pasrah kepada kehendak Tuhan. Oleh karena demikian maka yang tunduk dan
patuh serta pasrah kepada kehendak Tuhan, dan tinjauan kebahasaan layak untuk
dinamakan atau diatributi dengan sebutan muslim.
Dari sisi paradigma pmbangunan pola syariat bertumpu pada pembangunan
akhlak manusia untuk taat pada ajaran Allah swt dan peduli pada kondisi sesama,
sedang paradigma pembangunan sekuler Barat bertumpu pada upaya menambah
kekayaan materiel. Dari rasional tersebut maka tidak seharusnya masih diragukan
oleh umat Islam Indonesia bahwa salah satu cara mengatasi krisis multi dimensi di
negeri ini adalah “dengan pengetrapan syariat sosial dalam proses pengelolaan negara.
Pada sisi lain, teori Islam menyatakan bahwa aplikasi syariat dalam pengelolaan
bangsa yang plural akan mendatangkan status negara yang ‘aaminan-thoyyiban’.
(Koentjoro,2017:2)
Paradoks Globalisasi
Negara-negara maju cenderung bersatu untuk mempertahankan eksistensinya,
sementara umat Islam justru terpecah-pecah ke dalam beberapa kelompok, yang satu
sama lain tidak lagi menjalin persaudaraan. Pada saat negara-negara maju
membangun dan menghapus identitas mereka, justru di saat itulah negara-negara
Islam sedang sibuk memperjuangkan identitas dirinya masing-masing. Manakala
negara-negara maju melakukan ekspansi moral dan ide-ide mereka, justru umat Islam
berjuang untuk menghapuskan nilai-nilai keislaman dan berusaha hidup ala Barat
(Hafez, 2000).
Pada saat negara-negara maju membangun pusat-pusat perdagangan, umat
Islam masih sibuk mempermasalahkan halal-haram, benar-salah, dan saling
menjatuhkan satu sama lain. Pada saat negara-negara maju sudah tidak
mempopulerkan korupsi, justru kita sedang “menggalakkan” bagaimana melakukan
korupsi yang rapi dan tidak diketahui orang lain.Inilah paradoks yang terjadi di
tengah-tengah umat Islam, termasuk di Indonesia. Disadari atau tidak,
umumnya umat Islam masih menjadi objek globalisasi (Lubeck, 2000).
Karena itu, banyak umat Islam kehilangan identitasnya ketika berkenalan
dengan globalisasi. Umat Islam cenderung membagi “us” (minna) and “them”
(minhum) di antara mereka sendiri. Persaudaraan dan perdamaian menjadi bahasa
yang sulit untuk dipertemukan dalam meja perundingan. Bahkan ada beberapa
kelompok dalam Islam yang lebih mengedepankan sikap radikal ketimbang sikap
humanis. Begitu juga ada kelompok yang lebih mengedepankan pemikiran radikal
yang sulit dicerna oleh umat, sehingga muncul konflik yang tidak dapat dielakkan.
Sekali lagi, konflik ini adalah antara umat Islam dan yang paling rugi adalah umat
Islam sendiri, sementara yang paling diuntungkan adalah negara-negara yang ingin
melancarkan siklus konflik di negara-negara muslim. Inilah sedikitnya gejala
pengaruh globalisasi terhadap kehidupan beragama umat Islam. Kondisi ini
menyebabkan imej umat Islam kian negatif (Ahmed, 2002).
Umat Islam ditampilkan dengan agama yang suka perang, bom bunuh diri,
gerilya, sarang teroris, tidak demokratis, fanatik, tidak menghargai perempuan,
fundamentalis dan sebutan-sebutan lain (Esposito, 1999). Semua label ini
sesungguhnya sangat berlawanan dengan ruh Al-Quran, sebagai kitab suci umat
Islam, dan sejarah kehidupan Nabi Muhammad Saw bersama para sahabatnya yang
diyakini sebagai model terbaik umat Islam (khair ummah). Untuk itu, umat Islam
harus kembali memikirkan bagaimana memposisikan agamanya dalam era globalisasi.
Dalam konteks ini, ada beberapa agenda yang dapat dilakukan. Pertama, umat Islam
tidak perlu duduk dan menonton globalisasi seolah-olah seperti predator yang sedang
mencari mangsa. Namun, globalisasi harus diajak bekerja dan mengambil manfaat
darinya. Mengutip Mahathir Mohamad, “What we have to do is to understand how
globalisation as presently interpreted will work” (Mohamad, 2001).
Umat Islam perlu diajak untuk memahami bahwa globalisasi bukan untuk
ditakuti atau dijauhi. Sebab, globalisasi datang kepada kita, bukan kita yang
menghampirinya. Umat Islam perlu memahami bahwa mereka pernah mencapai
kejayaan sebelum bangsa-bangsa Barat maju. Di samping itu, umat Islam juga pernah
(sedang) mengalami masa kejatuhan yang disebabkan oleh kesibukan penafsiran-
penafsiran terhadap ajaran-ajaran agama yang kemudian berimbas pada permasalahan
sosial, ekonomi, dan politik, sehingga menyebabkan mereka terpecah-pecah ke dalam
beberapa puak.Kedua, umat Islam perlu menguasai dunia IT. Diskursus perdebatan
apa itu ilmu agama dan nonagama semestinya disudahi. Diskursus ini ternyata telah
melupakan aspek-aspek penguasaan IT. Sejauh ini, di negara-negara Muslim,
termasuk Indonesia, penguasaan IT masih jauh ketinggalan dibandingkan dengan
negara-negara maju. Padahal, globalisasi terasa dekat dengan kita melalui IT. Dengan
demikian, “there is no reason at all why we must use only the internet dor all
applications” (Mohamad, 2001).
Ketiga, menumbuhkembangkan dunia R&D (research and development).
Tradisi riset di kalangan umat Islam, terutama Indonesia, masih jauh ketinggalan.
Pada dasarnya, globalisasi itu berjalan disebabkan oleh perkembangan R&D yang
dilakukan oleh negara-negar maju. Sejauh ini, R&D di Indonesia hanya sebatas untuk
kepentingan pangkat dan funding semata (Prasetyo et al., 2002). Sejalan dengan itu,
maka sudah selayaknya perguruan tinggi terutama lembaga-lembaga studi Islam
mengembangkan tradisi riset. Setelah itu, hasil-hasil riset tersebut perlu
dipublikasikan ke seluruh dunia, dan yang paling urgen adalah pemerintah punya niat
untuk menjadikan hasil-hasil riset sebagai masukan untuk diimplementasikan dalam
kebijakan pemerintahan. Keempat, penguasaan media massa. Media massa memang
berperan signifikan dalam membangun persepsi dan imej publik, termasuk imej umat
Islam. Sementara umat Islam masih menjadi konsumen setia dari berita yang
dipublikasikan oleh negara-negara maju. Alhasil, umat Islam malah diajak untuk
berpikir kembali mengenai kesesuaian antara ajaran-ajaran Islam dengan globalisasi
(Mohamad, 2001).
Dari pemaparan keuniversalitas Islam di atas, dapat dipahami, bahwa secara
prinsip, Islam sangatlah relevan sebagai ajaran global. Persoalannya kemudian,
bagaimana memosisikan Islam dalam percaturan globalisasi? Dalam hal ini, dapat
digarisbawahi bahwa Islam sebagai ajaran global yang memiliki ajaran universal
merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari globalisasi. Menyikapi problema
globalisasi, maka prinsip-prinsip ajaran Islam yang universal bisa dijadikan dasar
berpijak bagi umat Islam. Di sinilah, pemahaman yang tepat terhadap nash menjadi
syarat yang harus dipenuhi. Islam pada prinsipnya satu secara aqidah, tetapi pada
bidang-bidang yang lainnya, boleh jadi berbeda, atau malah bertentangan. Namun
demikian, semua itu secara keseluruhan tetap berada dalam naungan Islam. Dalam
menyikapi globalisasi ekonomi yang merupakan bagian dari realita saat ini, Islam
sebagai sebuah ajaran moralitas memberikan batasan-batasan agar tidak terjadi
eksploitasi antara manusia yang satu dengan yang lain. Islam menghendaki persamaan
(musawwah) atas prinsip harta tidak hanya beredar di kelompok-kelompok tertentu
saja. Perilaku ekonomi Islam bertujuan untuk menyejahteraan semua pihak. Prinsip
utama dari ekonomi Islam di era global adalah (1) tauhid: keesaandan kedaulatan
Allah. Konsepsi ini menuntut adanya kepatuhan terhadap aturan-aturan yang telah
ditetapkan tanpa syarat. Dalam konsepsi ini, eksistensi manusia dipersatukan dalam
ketaatan kepada Allah, yang akan berimplikasi pada aktivitas ekonomi, yaitu tidak
ada diskriminasil(2) keadilan: hal ini penting karena keadilan menjadi suatu titik tolak
dalam membangun kesejahteraan hidup. Dari sini akan muncul kedinamisan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara, (3) tanggung jawab: dalam prinsip ekonomi
Islam, setiap pelaku ekonomi harus bertanggung jawab, baik dari sisi ekses ataupun
aktivitasnya kepada diri sendiri dan masyarakat atau pun bangsa. Demikian juga tidak
dibolehkan terjadi kerusakan ekologi sebagai akibat manfaat teknologi yang
berlebihan. Prinsip ekonomi Islam ini muncul dalam rangka melakukan kritik dan
solusi atas banyaknya kekurangan yang terdapat dalam ekonomi kapitalis. Pada aspek
budaya, Islam memiliki kebudayaan sendiri yang kosmopolit, tetapi Islam juga
mengakui eksistensi kebudayaan lokal. Kosmopolitanisme budaya Islam dibentuk
oleh budaya lokal, tempat Islam itu tersebar. Sebagai bukti konkret, kita mengenal
Islam Jawa, Islam Madura, Islam Iran dan lain sebagainya, yang meskipun secara
kultur tidak sama, tetapi tetap dalam kesatuan Islam. Islam pada waktu berasimilasi
yang membentuk tatanan kebudayaan baru yang khas.
Pada aspek pendidikan, tawaran yang hendak disampaikan oleh Islam adalah
pendidikan yang integralistik. Berbeda dengan pendidikan umum dewasa ini, Islam
tidak menghendaki dualisme pendidikan. Pendidikan selain diperuntukkan untuk
mencapai ‘kebahagiaan’ dunia, juga seyogyanya diwarnai dengan nilai-nilai
transendensi kepada Sang Maha Pendidik, yaitu Allah SWT. Pendidikan seyogyanya
mengutamakan kepentingan moralitas sebagai bagian yang esensial dalam tata
kehidupan manusi. Namun demikian, tidak berarti antipati terhadap modernisme yang
merupakan produk Barat. Oleh karena itu, pendidikan merupakan sistem bagi
pengembangan iptek yang berangkat dari ajaran al-Qur’an dan Sunnah, sebagai
pembaharuan pemikiran yang dapat merespon tantangan zaman tanpa mengabaikan
aspek teologis dogmatis, dan sebagai sarana untuk menumbuhkembangkan sikap dan
mental manusia yang benar-benar bertakwa kepada Tuhan tanpa mengenal batas
akhir. Pada aspek teknologi, Islam menghendaki teknologi yang tepat guna, dalam
arti, tidak hanya memberikan kemudahan dan kenyamanan, tetapi juga tetap
menempatkan manusia sebagai subjek penentu. Teknologi juga tidak boleh
mengeksploitasi alam secara membabi buta sehingga merusak ekologi yang ada.
Globalisasi yang berangkat dari penggunaan teknologi yang merusak ekologi inilah
yang dilarang dalam Islam (
KESIMPULAN
Globalisasi merupakan sebuah keharusan sejarah yang tidak dapat ditolak. Fenomena
tersebut sudah terjadi dan nyata di depan mata. Sekarang bukan saatnya lagi untuk
berpolemik tentang isu tersebut, saat ini yang terpenting adalah bagaimana scorang
muslim harus bersikap dan memposisikan diri terhadap arus pemikiran barat yang
datang bertubi-tubi menghantam umat islam.
Sebagai seorang muslim sejati, seyogianya tidak perlu takut menghadapi arus
globalisasi. Seorang muslim harus tampil moderat dalam menghadapi arus perubahan
dan pemikiran yang digulirkan barat. Umat islam jangan beraksi berlebih-lebihan
dengan menentang semua yang berbau barat, atau jangan menjadi katak yang
bersembunyi di bawah tempurung.