Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN
Islam merupakan agama yang sangat komplek. Sehingga dalam
memahaminya pun dibutuhkan cara yang tepat agar dapat tercapai suatu
pemahaman yang utuh tentang Islam. Di Indonesia sejak Islam masuk pertama
kali sampai saat ini telah timbul berbagai macam pemahaman yang berbeda
mengenai Islam. Sehingga dibutuhkanlah penguasaan tentang cara-cara yang
digunakan dalam memahami Islam. Kehadiran agama islam yang dibawa Nabi
Muhammad Saw. Diyakini dapat menjamin terwujudnya kehidupan manusia yang
sejatera lahir dan batin. 1
Di dalamnya terdapat beberapa petunjuk tentang bagaimana seharusnya
manusia itu menyikapi hidup dan kehidupan ini secara bermakna dalam arti yang
seluas-luasnya. Gambaran ajaran islam yang demikian ideal itu pernah dibuktikan
dalam sejarah dan manfaatnya dirasakan oleh seluruh umat islam. Dengan
penyajian yang demikian itu, makalah ini diharukan dapat membantu pembaca
dalam memahami ajaran islam. Dengan demikian mkalah ini menempati posisi
sebagai pengantar yang diharakan dapat menunjukan dengan jelas tentang
bagaimana ajaran islam itu seharusnya dipahami.
Penelitian agama telah dilakukan beberapa abad yang lalu
namun hasil penelitiannya masih dalam bentuk aktual atau
perbuatan saja dan belum dijadikan sebagai sebuah ilmu.
Setelah bertambahnya gejala-gejala agama yang berbentuk
sosial dan budaya, ternyata penelitian dapat dijadikan sebagai
ilmu yang khusus dalam rangka menyelidiki gejala-gejala agama
tersebut.
Perkembangan penelitian agama pada saat ini sangatlah
pesat karena tuntutan-tuntutan kehidupan sosial yang selalu
mengalami

perubahan.

Kajian-kajian

agama

memerlukan

1 A. Mukti. Ali, Metode Memahami Agama Islam. (Jakarta: Bulan Bintang,


1991), h. 173.

relevansi dari kehidupan sosial berlangsung. Permasalahanpermasalahan seperti inilah yang mendasari perkembangan
penelitian-penelitian agama guna mencari relevansi kehidupan
sosial dan agama.
BAB II
PEMBAHASAN
METODOLOGI PEMAHAMAN ISLAM
Istilah dari metodologi berasal dari bahasa yunani, yakni methodos dan
logos. Methodos berarti cara, kiat, dan seluk beluk yang berkaitan dengan upaya
menyelesaikan sesuatu. Sementara logos berarti ilmu pengetahuan, cakrawala, dan
wawasan. Dengan demikian, metodologi adalah pengetahuan tentang metode atau
cara-cara yan berlaku dalam kajian atau penelitian. Bagaimana

cara kita

memperoleh pengetahuan yang benar? Untuk mendapatkan pengetahuan itu, kita


harus mengetahui metode yang tepat untuk memperolehnya.
Maka dapat diartikan bahwa metodologi pemahaman islam adalah cara-cara
yang dikemukakan oleh seseorang atau kelompok dengan tidak keluar dari
pedoman agama Islam itu sendiri (Al-Quran dan hadits) supaya dapat magetahui
bagaimana cara memahami agama islam dengan benar.
Selain itu, metodologi adalah pengetahuan tentang metode-metode. Jadi,
metodologi penelitian adalah pengetahuan tentang berbagai metode yang
dipergunakan dalam penelitian. Louay safi mendefinisikan metodologi sebagai
bidang penelitian ilmiah yang berhubungan dengan pembahasan tentang metodemetode yang digunakan untuk mengkaji fenomena alam dan manusia, atau dengan
redaksi yang lain, metodologi adalah bidang penelitian ilmiah yang
membenarkan, mendeskripsikan, dan mejelaskan aturan-aturan, prosedur-prosedur
sebagai metode ilmiah. Penilaian ini mrncakup penelitian lapangan (field
research) maupun penelitian pustaka (library research) bahkan bila ditelusuri lebih
luas lagi, penelitian kulitatif dan penelitian kuantitatif. Kaarena ada anggapan
behwa sebagian sarjana kita bahwa yang dianggap penelitian adalah penelitian
lapangan (filed research). Cara pandang pemikiran louaysafi mengikuti alur

pemikiran Ismail Raja al-Faruqi, seorang pemikir palestina yang menetap dan
menjadi guru besar diamerika. Namun, yang penting dariusulan Ismail Raja alfuruqi adalah pemikirannya dalam menegakkan prinsip-prinsip metodologi islam.
A. Kegunaan Metodologi Islam
Islam merupakan agama yang untuk memahaminya secara utuh, harus
dilihat dari berbagai dimensi. Di Indonesia yang terdiri dari berbagai
kebudayan dan berbagai kepentingan, Islam dipahami sesuai dengan
kepentingan masing-masing pihak. Sehingga terkesan bahwa pemahaman
Islam yang terjadi di masyarakat masih bercorak parsial, belum utuh dan belum
pula komprehensif. Dan sekalipun dijumpai adanya pemahaman Islam yang
utuh dan komprehensif, namun hal itu belum tersosialisasikan secara merata ke
seluruh masyarakat.
Oleh karena itu, diperlukan metodologi yang di dalamnya dibahas
mengenai berbagai macam metode yang bisa digunakan dalam studi Islam.
Agar studi Islam dapat tersusun secara sistematik dan disampaikan menurut
prinsip, pendekatan dan metode yang baik dan untuk membuat Islam lebih
responsive dan fungsional dalam memandu perjalanan umat serta menjawab
berbagai masalah yang dihadapi saat ini, diperlukan metode yang dapat
menghasilkan pemahaman Islam yang utuh dan komprehensif. Dalam hal ini,
Mukti Ali pernah mengatakan bahwa metodologi adalah masalah yang sangat
penting dalam pertumbuhan ilmu.
Ibarat akan pergi ke Jakarta dan berangkat dari Yogyakarta, maka
metodologi merupakan kajian atas cara-cara yang bisa digunakan seperti naik
sepeda motor, bus, kereta, ataupun pesawat terbang. Bila dihubungkan dengan
studi Islam, metodologi merupakan kajian tentang metode-metode yang dapat
digunakan untuk melaksanakan studi Islam.
Sejak kedatangan islam pada abad ke 13M hingga saat ini, fenomena
pemahaman keislaman umat islam indonesia masih ditandai oleh keadaan amat
fariatif. Kondisi pehaman keislaman serupa ini barang kali terjadi pula
diberbagai negara lain nya kita tidak tahu persis apakah kondisi demikian itu

merupakan sesuatu yang alami yang harus ditrima sebagai suatu kenyataan
untuk diambil hikmah nya atau diperlukan adanya standar umum yang perlu
diterapkan diberlakukan kepada berbagai paham keagamaan yang fariatif itu,
sehingga walopun keadaan nya amat berfariasi tetapi tidak keluar dari ajaran
yang terkandung dalam Al-Quran dan Al-Sunah serta sejalan dengan data data
historis yang dapat dipertanggung jawabkan keabsahan nya.
Kita misal nya melihat adanya sejumlah orang yang pengetahuan nya
tentang keislaman cukup luas dan medalam, namun tidak terkoordinasi dan
tidak terusun secara sistematik. Hal ini disebabkan karena orang tersebut ketika
menerima ajaran islam tidak sistematik dan tidak terorganisasikan secara baik.
Mereka biasa nya datang dari kalangan ulama yang berlajar ilmu keislaman
secara otodidak atau kepada berbagai guru yang antara satu dan lain nya tidak
pernah saling bertemu dan tidak pula berada dalam suatu acuan yang sama
semacam kurikulum . akbat dari keadaan demikian, maka yang bersangkutan
tidak dapat melihat hubungan yang terdapat dalam berbagai pengetahuan islam
yang dipelajari nya itu, dan karenanya mereka tidak dapat

ditugaskan

mengajar di perguruan tinggi misalnya, lantaran pengajaran keislaman


diperguruan tinggi biasanya menuntut keteraturan dan pengorganisasi
sebagaimana diatur dalam kurikulum dan silabus.
Selanjutnya kita melihat pula ada orang yang penguasaannya terhadap
salah satu bidang keilmuan cukup mendalam, tetapi kurang memahami disiplin
itu keislaman lainnya, bahkan pengetahuan yang bukan merupakan
keahliannya itu dianggap sebagai ilmu yang kelasnya berada di bawah kelas
ilmu yang dipelajarinya. Kita melihat ilmu fiqih misalnya pernah menjadi
primadona dan mendapatkan perhatian cukup besar. Akibat dari keadaan
demikian, maka segala masalah yang dinyatakan kepadanya selalu dilihat dari
pridigma ilmu fiqih. Ketika kepadanya ditanyakan tentang bagaimana cara
mengatasi masalah placuran misalnya, maka jawabannya,adalah dengan cara
memusnahkan tempat-tempat pelacuran tersebut, karena dianggap sebagai
tempat maksiat. Padahal cara tersebut tidak akan memecahkan masalah, kerena
masalah pelacuran bukan sekedar masalah keagamaan yang memerlukan

ketetapan hukumnya melaikan juga masalah ketenaga kerjaan, kesenjangan


sosial, struktur sosial, sistem prekonomian, dan sebagainya, yang dalam cara
mengatasinya memerlukan keterlibatan orang lain.
Pada tahap berikutnya, pernah pula yang menjadi primadona
masyarakat adalah ilmu kalam (teologi), sehingga setiap masalah yang
dihadapinya selalu dilihat dari pradigma teologi. Lebih dari itu teologi yang
dipelajarinya pun hanya berpusat pada paham asyari dan maturidiah (sunni),
sedangkan paham lainnya dianggap sebagai sesat. Akibat dari keadaan
demikian, maka tidak terjadi dialog, keterbukaan, saling menghargai, dan
sebagainya.
Setelah itu muncul pula paham keislaman bercorak tasawuf yang sudah
mengambil bentuk tarikan yang terkesan kurang menampilkan pola hidup yang
seimbang antara urusan duniawi dan urusan ukhrawi. Dalam tasawuf ini,
kehidupan dunia terkesan diabaikan. Umat terlalu mementingkan urusan
akhirat, sedangkan urusan dunia menjadi terbengkalai. Akibatnya keadaan
umat menjadi mundur dalam bidang keduniaan, materi, dan fasilitas hidup
lainnya.
Dari beberapa contoh tentang pemahaman keislaman diatas, kita dapat
memperoleh kesan bahwa hingga saat inipemaham islam yang terjadi
dimasyarakat masih bercorak persial, belum utuh dan dan belum pula
komprehensif. Dan sekalipun kita menjumpai adanya pemahaman islam yang
sudah utuh dan komprehensif , namun semuanya itu belum tersosialisasikan
secara merata keseluruh masyarakat islam. Pemahaman islam demikian baru
diserap oleh sebagian sarjana yang secara kebetulan membaca karya-karya
mereka dengan sikap terbuka.2
Pemahaman

keislaman

tersebuat

jelas

tidak

membuat

yang

bersangkutan keluar dari islam yang belum tersusun secara sistematik dan
belum

disampaikan

menurut

prinsip,

pendekatan

dan

metode

yang

2 Didin Saefuddin, Buchori, Metodologi Studi Islam. Cet. I; (Bogor: Granada


Sarana Pustaka, 2005), h. 211.

direncanakan dengan baik. Namun, untuk kepentingan akademis dan untuk


membuat islam lebih responsif dan fungsional dalam memandu perjalanan
umat serta menjawab berbagai masalah yang dihadapi saat ini, diperlukan
metode yang dapat menghasilkan pemahaman islam yang uth dan
komprehensif. Dalam hubungan ini Mukti Ali pernah mengatakan bahwa
metodologi adalah masalah yang sangat penting dalam sejarah pertumbuhan
ilmu.
Kita mengetahui bahwa pada abad pertengahan, Eropa menghabiskan
waktu seribu tahun dalam keadaan stagnasi dan masa bodoh. Tetapi stagnasi
dan masa bodoh itu lalu menjadi kebangkitan revolusioner yang multifaset
dalam bidang sains, seni, sastra, dan semua wilayah hidup dan kehidupan
manusia dan sosial. Revolusi yang mendadak dan energi yang mendadak dalam
pemikiran manusia itu menghasilkan peradaban dan kebudayaan dewasa ini.
Kita harus bertanya kepada diri kita mengapa orang mandeg sampai seribu
tahun, dan apa yang terjadi pada dirinya yang menyebabkan perubahan yang
mendadak, ia bangkit dan bangun, sehingga dalam waktu 300 tahun Eropa
menemukan kebenaran kebenaran yang tidak mereka peroleh dalam seluruh
waktu seribu tahun. Mengapa keadaan demikian terjadi, dicarikan jawabannya
oleh ahli.
Ali Syari Ati (1933-1977), seorang sarjana Iran meninggal di rantau
yaitu di Inggris menyatakan bahwa faktor utama yang menyebabkan
pemandegan dan stagnasi dalam pemikiran, peradaban, dan kebudayaan yang
berlangsung hingga seribu tahun di Eropa pada abad pertengahan adalah
metode pemikiran analogi dari Aristotelles. Dikala cara melihat masalah objek
itu berubah, maka sains, masyarakat, dan dunia juga berubah, dan sebagai
akibatnya kehidupan manusia juga berubah.
Oleh karena itu, metode memiliki peranan sangat penting dalam
kemajuan dan kemunduran. Demikian pentingnya metodologi ini, mukhti ali
mengatakan bahwa yang menentukan dan membawa stagnasi dan masa
kebodohan atau kmajuan bukan lah kerana ada atau tidak adanya orang-orang
jenius, melainkan kerana metode penelitian dan cara melihat sesuatu. Untuk ini

kita dapat mengambil contoh yang terjadi pada abad ke emat belas , lima belas
dan enam belas masehi.
B. Pengertian Studi Islam
Studi Islam secara etimologis merupakan terjemahan dari Bahasa Arab
Dirasah Islamiyah. Sedangkan Studi Islam di barat dikenal dengan istilah
Islamic Studies. Maka studi Islam secara harfiah adalah kajian mengenai halhal yang berkaitan dengan Islam. Makna ini sangat umum sehingga perlu ada
spesifikasi pengertian terminologis tentang studi Islam dalam kajian yang
sistematis dan terpadu. Dengan perkataan lain, Studi Islam adalah usaha sadar
dan sistematis untuk mengetahui dan memhami serta membahas secara
mendalam tentang seluk-beluk atau hal-hal yang berhubungan dengan agama
Islam, baik berhubungan dengan ajaran, sejarah maupun praktik-praktik
pelaksanaannya secara nyata dalam kehidupan sehari-hari, sepanjang
sejarahnya.
Studi Islam diarahkan pada kajian keislaman yang mengarah pada tiga
hal: 1) Islam yang bermuara pada ketundukan atau berserah diri, 2) Islam dapat
dimaknai yang mengarah pada keselamatan dunia dan akhirat, sebab ajaran
Islam pada hakikatnya membimbing manusia untuk berbuat kebajikan dan
menjauhi semua larangan, 3) Islam bermuara pada kedamaian.
Usaha mempelajari agama Islam tersebut dalam kenyataannya bukan
hanya dilaksanakan oleh

kalangan umat Islam saja, melainkan juga

dilaksanakan oleh orang-orang di luar kalangan umat Islam. Studi keislaman di


kalangan umat Islam sendiri tentunya sangat berbeda tujuan dam motivasinya
dengan yang dilakukan oleh orang-orang di luar kalangan umat Islam. Di
kalangan umat Islam, studi keislaman bertujuan untuk memahami dan
mendalami serta

membahas

ajaran-ajaran Islam agar mereka dapat

melaksanakan dan mengamalkannya dengan benar. Sedangkan di luar kalangan


umat Islam, studi keislaman bertujuan untuk mempelajari seluk-beluk agama
dan praktik-praktik keagamaan yang berlaku di kalangan mat Islam, yang
semata-mata sebagai ilmu pengetahuan (Islamologi). Namun sebagaimana

halnya dengan ilmu-ilmu pengetahuan pada umumnya, maka ilmu pengetahuan


tentang seluk-beluk agama dan praktik-praktik keagamaan Islam tersebut bisa
dimanfaatkan atau digunakan untuk tujuan-tujuan tertentu, baik yang bersifat
positif maupun negatif.
Para ahli studi keislaman di luar kalangan umat Islam tersebut dikenal
dengan kaum orientalis (istisyroqy), yaitu orang-orang Barat yang mengadakan
studi tentang dunia Timur, termasuk di kalangan dunia orang Islam. Dalam
praktiknya, studi Islam yang dilaukan oleh mereka, terutama pada masa-masa
awal mereka melakukan studi tentang dunia Timur, lebih mengarahkan dan
menekankan

pada

pengetahuan

tentang

kekurangan-kekurangandan

kelemahan-kelemahan ajaran agama Islam dan praktik-praktik pemgalaman


ajaran agama Islam dalam kehidupan sehari-hari uamat Islam. Nmaun, pada
masa akhir-akhir ini banyak juga di antara para orientalis yang memberikan
pandangan-pandangan yang objektif dan bersifat ilmiah terhadap Islam dan
umatnya. Tentu saja pandangan-pandangan yang demikian itu kan bisa
bermanfaat bagi pengembangan studi-studi keislaman di kalangan umat Islam
sendiri.
Kenyataan sejarah menunjukkan (terutama setelah masa keemasan
Islam dan umat Islam sudah memasuki masa kemundurannya) bahwa
pendekatan studi Islam yang mendominasi kalangan umat Islam lebih
cenderung bersifat subjektif, apologi, dan doktriner, serta menutup diri
terhadap pendekatan yang dilakukan orang luar yang bersifat objektif dan
rasional. Dengan pendekatan yang bersifat subjektif apologi dan doktriner
tersebut, ajaran agama Islam yang bersumber dari al-Quran dan hadits yang
pada dasarnya bersifat rasional dan adaptif terhadap tuntutan perkembangan
zaman- telah berkembang menjadi ajaran-ajaran yang baku dan kaku serta tabu
terhadap sentuhan-sebtuhan rasional, tuntutan perubahan, dan perkembangan
zaman. Bahkan kehidupan serta keagamaan serta budaya umat Islam terkesan
mandek, membeku dan ketinggalan zaman. Ironisnya, keadaan yang demikian

inilah yang menjadi sasaran objek studi dari kaum orientalis dalam studi
keislamannya.
Dengan adanya kontak budaya modern dengan budya Islam,
mendorong para Ulama tersebut untuk bersikap objektif dan terbuka terhadap
pandangan luar yang pada gilirannya pendekatan ilmiah yang bersifat rasional
dan objektif pun memasuki dunia Islam, termasuk pula dalam studi keislaman
di kalangan umat Islam sendiri. Maka, dengan menampilkan kajian yang
objektif dan ilmiah, maka ajaran-ajaran Islam yang diklaim sebagai ajaran
universal bisa menjadi berkembang dan menjadi sangat relevan dan dibutuhkan
oleh umat Islam serta betul-betul mampu menjawab tantangan zaman
C. Metode Memahami Islam
Ada beberapa tokoh yang mengemukakan pendapat tentang metode
atau cara memahami Islam, diantaranya:
1. Menurut Nasruddin Razak
Upaya memahami islam secara baik, benar dan kompherensif perlu
diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a)
Islam harus dipelajari dari sumbernya yang asli yaitu Al-Quran dan AsSunnah Rasulullah saw. Kekeliruan memahami Islam, karena orang
hanya mengenalnya dari sebagian ulama yang telah jauh dari bimbingan
Al-Quran dan As-Sunnah, atau melalui pengenalan dari sumber kitabkitab fikih dan tasawuf yang semangatnya sudah tidak sesuai dengan
b)

perkembangan zaman.3
Islam harus dipelajari secara integral, tidak parsial. Artinya dipelajari
secara menyeluruh sebagai satu kesatuan, tidak hanya sebagian saja.
Memahami Islam secara parsial akan membahayakan, menimbulkan

c)

sikap skeptis, bimbang, dan penuh keraguan.


Islam perlu dipelajari dari kepustakaan atau buku-buku yang ditulis oleh
para ulama besar, cendikiawan muslim, sarjana-sarjana Islam, karena
pada umumnya mereka memiliki pemahaman yang baik, yaitu
pemahaman yang lahir dari perpaduan ilmu yang dalam terhadap Al-

3 Abdullah, M. Yatimin. Studi Ilmu Kontemporer, (Jakarta: Amzah 2006), h. 89

Quran dan As-Sunnah Rasulullah saw. dengan pengalaman dari praktik


d)

ibadah yang dilakukannya setiap hari.


Islam hendaknya dipelajari dari ketentuan-ketentuan normatif teologis
yang ada dalam Al-Quran, baru kemudian dihubungkan dengan

e)

kenyataan historis, empiris dan sosiologis yang ada di masyarakat.


Islam dipelajari dan dihubungkan dengan berbagai persoalan yang
dihadapi msnusia dalam masyarakat dan dilihat relasi serta relevansinya
dengan persoalan-persoalan politik, ekonomi, sosial, budaya, sains

f)

sepanjang sejarah manusia terutama sejarah umat Islam.


Islam dipelajari dengan bantuan ilmu-ilmu pengetahuan

yang

berkembang sampai sekarang, seperti ilmu-ilmu alamiah, ilmu-ilmu


g)

sosial, serta ilmu-ilmu kemanusiaan.


Islam dipelajari dengan metode yang sesuai dengan agama dan ajaran

Islam.
2. Menurut Ali Syariati
Ali Syariati lebih lanjut menyatakan, ada berbagai cara dalam
memahami Islam melalui metode perbandingan, yaitu :
a) Mengenal Allah dan membandingkan-Nya dengan sesembahan agamaagama lain.
b) Mempelajari kitab Alquran dan membandingkannya dengan kitab-kitab
ajaran agama lainnya.
c) Mempelajari kepribadian Rasulullah dan membandingkannya dengan
tokoh-tokoh besar pembaruan yang pernah hidup dalam sejarah.
d) Mempelajari tokoh-tokoh Islam terkemuka dan membandingkannya
dengan tokoh-tokoh utama agama maupun aliran-aliran lain.
3. Menurut Mukti Ali
Terdapat metode lain dalam memahami Islam yaitu metode tipologi.
Metode ini oleh banyak ahli sosiologi dianggap objektif, berisi klasifikasi
topik dan tema yang mempunyai tipe yang sama. Terdapat lima aspek atau
ciri dari agama Islam, yaitu:

a. aspek ketuhanan
b. aspek kenabian
c. aspek kitab suci

10

d. aspek keadaan sewaktu munculnya nabi dan orang-orang yang


didakwahinya serta individu-individu terpilih yang dihasilkan agama itu.
4. Menurut Ali Anwar Yusuf
Dalam bukunya Studi Agama Islam, terdapat tiga metode dalam
memahami agama Islam , yaitu:
a. Metode Filosofis
Filsafat adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang membahas
segala sesuatu dengan tujuan untuk memperoleh pengetahuan sedalamdalamnya sejauh jangkauan kemampuan akal manusia, kemudian
berusaha untuk sampai kepada kesimpulan-kesimpulan yang universal
dengan meneliti akar permasalahannya.
Memahami Islam melalui pendekatan filosofis ini, seseorang
tidak akan terjebak pada pengalaman agama yang bersifat formalistik,
yakni mengamalkan agama dengan tidak memiliki makna apa-apa atau
kosong tanpa arti. Namun bukan pula menafikan atau menyepelekan
bentuk ibadah formal, tetapi ketika dia melaksanakan ibadah formal
disertai dengan penjiwaan dan penghayatan terhadap maksud dan tujuan
melaksanakan ibadah tersebut.
b. Metode Historis
Metode historis ini sangat diperlukan untuk memahami Islam,
karena Islam itu sendiri turun dalam situasi yang konkret bahkan sangat
berhubungan dengan kondisi sosial kemasyarakatan.
Melalui metode sejarah, seseorang diajak untuk memasuki
keadaan yang sebenarnya dan hubungannya dengan terjadinya suatu
peristiwa.4
c. Metode Teologi
Metode teologi dalam memahami Islam dapat diartikan sebagai
upaya memahami Islam dengan menggunakan kerangka ilmu ketuhanan
yang bertolak dari satu keyakinan.
Bentuk metode ini selanjutnya berkaitan dengan pendekatan
normatif, yaitu suatu pendekatan yang memandang Islam dari segi
4 Ibid, h. 110

11

ajarannya yang pokok dan asli dari Allah yang di dalamnya belum
terdapat penalaran pemikiran manusia.
Dari beberapa metode diatas kita melihat bahwa metode yang
dapat digunakan untuk memahami Islam secara garis besar adalah
dengan metode Komparasi, yaitu suatu cara memahami agama dengan
membandingkan seluruh aspek yang ada dalam agama Islam tersebut
dengan agama lainnya, dengan demikian akan dihasilkan pemahaman
Islam yang obyektif dan utuh.
Metode ilmiah digunakan untuk memahami Islam yang
terkandung dalam kitab suci. Melalui metode teologis normatif ini
seseorang memulai dari meyakini Islam sebagai agama yang mutlak
benar. Hal ini didasarkan pada alasan, karena agama bersal dari Tuhan,
dan apa yang berasal dari Tuhan Mutlak benar, maka agamapun mutlak
benar. Setelah itu dilanjutkan dengan melihat agama sebagai norma
ajaran yang berkaitan dengan aspek kehidupan manusia yang secara
keseluruhan diyakini amat ideal.
Melalui metode teologi normatif yang tergolong tua usianya ini
dapat dihasilkan keyakinan dan kecintaan yang kuat, kokoh dan militan
pada Islam, sedangkan metode ilmiah yang dinilai sebagai tergolong
muda usianya ini dapat dihasilkan kemampuan menerapkan Islam yang
diyakini dan dicintainya itu dalam kenyataan hidup serta memberi
jawaban terhadap berbagai permasalahan yang dihadapi manusia.5
TEORI-TEORI PENELITIAN AGAMA
A. Penelitian Agama dan Model-modelnya
Penelitian (research) adalah upaya sistematis dan objektif untuk
mempelajari suatu masalah dan menemukan prinsip-prinsip umum. Selain itu,
penelitian juga berarti upaya pengumpulan informasi yang bertujuan untuk
menambah pengetahuan. Pengetahuan manusia tumbuh dan berkembang
5 Didin Saefuddin. Buchori, Metodologi Studi Islam. Cet. I; (Bogor: Granada Sarana
Pustaka, 2005), h. 45

12

berdasarkan kajian-kajian sehingga terdapat penemuan-penemuan, sehingga ia


siap merevisi pengetahuan-pengetahuan masa lalu melalui penemuanpenemuan baru. Penelitian itu sendiri dipandang sebagai kegiatan ilmiah
karena menggunakan metode keilmuan. Sedangkan metode ilmiah sendiri
adalah usaha untuk mencari jawaban tentang fakta-fakta dengan menggunakan
kesangsian sistematis.
Sedangkan penelitian agama sendiri menjadikan agama sebagai objek
penelitian yang sudah lama diperdebatkan. Harun Nasution menunjukkan
pendapat yang menyatakan bahwa agama, karena merupakan wahyu, tidak
dapat menjadi sasaran penelitian ilmu sosial, dan kalaupun dapat dilakukan,
harus menggunakan metode khusus yang berbeda dengan metode ilmu sosial.[3]
Hal yang sama juga dijelaskan oleh Ahmad Syafii Mufid dalam Hakim
dan Mubarak menjelaskan bahwa agama sebagai objek penelitian pernah
menjadi bahan perdebatan, karena agama merupakan sesuatu yang transenden.
Agamawan cenderung berkeyakinan bahwa agama memiliki kebenaran mutlak
sehingga tidak perlu diteliti.
Menurut Harun Nasution, agama mengandung dua kelompok ajaran,
yaitu:
1. Ajaran dasar yang diwahyukan Tuhan melalui rasul-Nya kepada masyarakat
manusia. Ajaran dasar yang demikian terdapat dalam kitab-kitab suci.
Ajaran-ajaran yang terdapat dalam kitab-kitab suci itu memerlukan
penjelasan tentang arti dan cara pelaksanaannya. Penjelasan-penjelasan para
pemuka atau pakar agama membentuk ajaran agama kelompok.
2. Ajaran dasar agama, karena merupakan wahyu dari tuhan, bersifat absolut,
mutlak benar, kekal, tidak berubah dan tidak bisa diubah. Sedangkan
penjelasan ahli agama terhadap ajaran dasar agama, karena hanya
merupakan penjelasan dan hasil pemikiran, tidak absolut, tidak mutlak
benar, dan tidak kekal. Bentuk ajaran agama yang kedua ini bersifat relatif,
nisbi, berubah, dan dapat diubah sesuai dengan perkembangan zaman. Para
ilmuwan sendiri beranggapan bahwa agama juga merupakan objek kajian
atau penelitian, karena agama merupakan bagian dari kehidupan sosial

13

kultural. Jadi, penelitian agama bukanlah meneliti hakikat agama dalam arti
wahyu, melainkan meneliti manusia yang menghayati, meyakini, dan
memperoleh pengaruh dari agama. Dengan kata lain, penelitian agama
bukan meneliti kebenaran teologi atau filosofi tetapi bagaimana agama itu
ada dalam kebudayaan dan sistem sosial berdasarkan fakta atau realitas
sosial-kultural. Jadi, Ahmad Syafii Mufid dalam Mochtar menyatakan
bahwa kita tidak mempertentangkan antara penelitian agama dengan
penelitian sosial terhadap agama.
Dengan demikian kedudukan penelitian agama adalah sejajar dengan
penelitian-penelitian lainnya, yang membedakannya hanyalah objek kajian
yang ditelitinya. Dengan demikian, agama dalam pengertian yang kedua
menurut Harun Nasution dapat dijadikan sebagai objek penelitian tanpa
harus menggunakan metode khusus yang berbeda dengan metode yang lain.
Jadi pendapat Harun Nasution mengenai penjelasan-penjelasan
tentang ajaran-ajaran yang terdapat dalam kitab-kitab suci oleh para pemuka
atau pakar agama membetuk ajaran agama kelompok kedua bersifat nisbi,
relatif dan dapat dirubah sesuai perkembangan zaman tidak sesuai dengan
ajaran islam, sebagai contohnya Rasulullah menjelaskan tata cara shalat,
sedangkan didalam kitab suci tidak diterangkan tata cara shalat, dan tata
cara shalat ini sendiri bersifat qhati / tidak bisa dirubah. Kalau menurut
Harun Nasution berarti penjelasan-penjelasan Rasulallah tentang tata cara
shalat berarti bersifat nisbi dan dapat dirubah.
B. Penelitian Agama dan Penelitian Keagamaan
Penelitian agama (research on religious) lebih ditekankan pada aspek
pemikiran (thought) dan interaksi sosial. Pada aspek pemikiran, menggunakan
metode filsafat dan ilmu-ilmu humaniora. Sedangkan pada aspek interaksi
sosial, yakni penelitian keagamaan sebagai produk interaksi sosial,
menggunakan pendekatan sosiologi, antropologi, historia atau sejarah sosial
yang biasa berlaku dan sebagainya. Misalnya : penelitian tentang perilaku
jamaah haji di daerah tertentu, hubungan ulama dengan keluarga berencana,
penelitian tentang perilaku ekonomi dalam masyarakat muslim.

14

Dalam pandangan Middleton, penelitian agama Islam adalah penelitian


yang objeknya adalah substansi agama Islam, seperti kalam, fikih, akhlak, dan
tasawuf. Sedangkan dalam pandangan Juhaya S. Praja menyebutkan bahwa
penelitian agama adalah penelitian tentang asal usul agama, dan pemikiran
serta pemahaman penganut ajaran agama tersebut terhadap ajaran yang
terkandung di dalamnya.
M. Atho Mudzhar menyatakan bahwa perbedaan antara penelitian
agama dengan penelitian keagamaan perlu disadari karena perbedaan tersebut
membedakan jenis metode penelitian yang diperlukan. Untuk penelitian agama
sebagai doktrin, pintu bagi pengembangan suatu metodologi penelitian
tersendiri sudah terbuka, bahkan sudah ada yang pernah merintisnya. Adanya
ilmu ushul al-fiiqh sebagai metode untuk istinbath hukum dalam agama islam
dan ilmu mushthalah al-hadits sebagai metode untuk menilai akurasi sabda
Nabi

Muhammad

saw.

merupakan

bukti

bahwa

keinginan

untuk

mengembangkan metdologi penelitian tersendiri bagi bidang pengetahuan


agama ini pernah muncul.
M. Atho Mudzhar mengatakan bahwa perbedaan antara penelitian
agama dengan penelitian keagamaan perlu disadari karena perbedaan tersebut
membedakan jenis metode penelitian yang diperlukan. Untuk penelitian agama
yang sasarannya adalah agama sebagai doktrin, pintu bagi pengembangan suatu
metodologi penelitian tersendiri sudah terbuka, bahkan sudah ada yang
merintisnya. Adanya ilmu ushul fiqh sebagai metode istinbath hukum dalam
agama Islam dan ilmu musthalahul hadist sebagai metode untuk menilai
akurasi sabda Nabi Muhammad saw merupakan bukti bahwa keinginan untuk
mengembangkan metodologi penelitian tersendiri bagi bidang pengetahuan
agama ini pernah muncul. Persoalan berikutnya ialah, apakah kita hendak
menyempurnakannya atau meniadakannya sama sekali dan menggantinya
dengan yang baru, atau tidak menggantinya sama sekali dan membiarkannya
tidak ada. Sedangkan untuk penelitian keagamaan yang sasarannya agama
sebagai gejala sosial, kita tidak perlu membuat metodologi penelitian
tersendiri. Ia cukup meminjam metodologi penelitian sosial yang telah ada.

15

Dengan kata lain bahwa pendapat M. Atho Mudzhar sama dengan


pendapat yang dikemukakan Harun Nasution, kalau penelitian agama sama
dengan ajaran agama kelompok pertama dan penelitian keagamaan sama
dengan ajaran agama kelompok kedua menurut Harun Nasution.
Dalam pandangan Juhaya S. Praja, penelitian agama adalah penelitian
tentang asal-usul agama, dan pemikiran serta pemahaman penganut ajaran
agama tersebut terhadap ajaran yang terkandung didalamnya. Dengan
demikian, terdapat dua bidang penelitian agama, yaitu sebagai berikut:
1.

Penelitian tentang sumber ajaran agama yang telah melahirkan disiplin ilmu tafsir

2.

dan ilmu hadis.


Pemikiran dan pemahaman terhadap ajaran yang terkandung dalam sumber ajaran
agama itu.
Sedangkan penelitian hidup keagamaan adalah penelitian tentang
praktik-praktik ajaran agama yang dilakukan oleh manusia secara individual
dan kolektif. Berdasarkan batasan tersebut, penelitian hidup keagamaan
1.

meliputi hal-hal berikut.


Perilaku individu dan hubungannnya dengan masyarakatnya yang

2.

didasarkan atas agama yang dianutnya.


Perilaku masyarakat atau suatu komunitas, baik perilaku politik, budaya
maupun yang lainnya yang mendefinisikan dirinya sebagai penganut
suatu agama.

C. Teori-teori Penelitian Keagamaan


Dalam ilmu penelitian teori-teori itu pada hakikatnya merupakan
pernyataan mengenai sebab akibat atau mengenai adanya suatu hubungan
positif antara gejala yang diteliti dari satu atau beberapa faktor tertentu dalam
masyarakat, misalnya kita ingin meneliti gejala bunuh diri. sudah mengetahui
tentang teori integrasi atau kohesi sosial dari Emile Durkheim (seorang ahli
sosiologi Perancis kenamaan), yang mengatakan adanya hubungan positif
antara lemah dan kuatnya integrasi sosial dan gejala bunuh diri dari pengertian
pengertian tersebut, kita dapat memperroleh suatu kesimpulan bahwa yang
dimaksud dengan Ksnstruksi teori adalah susunan atau bangunan dari suatu

16

pendapat, asas-asas atau hukum hukum mengenai sesuatu yang antara suatu
dan lainnya saling berkaitan, sehuingga membentuk suatu banunan.
Adapun penelitian berasal dari kata teliti yang artinya cermat, seksama,
pemeriksaan yang dilakukan secara saksama dan teliti, dan dapat pula berarti
penyelidikan, tujuan pokok dari kegiatan penelitian ini adalah mencari
kebenaran-kebenaran objektif yang disimpulkan melalui data-data yang
terkumpul. Kebenaran kebenaran objektif yang diperoleh tersebut kemudian
digunakan sebagai dasar atau landasan untuk pembaruan, perkembangan atau
perbaikan dalam masalah-masalah teoritis dan praktis bidang-bidang
pengetahuan yang bersangkutan.
Dengan demikian, penelitian mengandung arti upaya menemukan
jawaban atas sejumlah masalah berdasarkan data-data yang terkumpul.
Berikutnya, sampailah kita kepada pengertian agama. Telah banyak ahli-ahli
ilmu pengetahuan seperti antropologi, psikologi, sosiologi, dan lain-lain yang
mencoba mendefinikan agama. R.R. Maret salah seorang ahli antropologi
Inggris, menyatakan bahwa agama adalah yang paling sulit dari semua
perkataan untuk didefinisikan karena agama adalah menyangkut lebih daripada
hanya pikiran, yaitu perasaan dan kemauan juga, dan dapat memanifestasikan
dari menurut segi-segi emosionalnya walaupun idenya kabur.
Dari

definisi-definisi

tersebut,

Harun

Nasution

selannjutnya

menyebutkan adanya empat unsur penting yang terdapat dalam agama, yaitu:
1.

Unsur kekuatan gaib yang dapat rnengambil bentuk dewa, atau Tuhan, dan

2.

sebagainya.
Unsur keyakinan manusia bahwa kesejahteraannya di dunia ini dan
hidupnya di akhirat nanti amat bergantung kepada adanya hubungan baik

3.

dengan kekuatan gaib yang dimaksud.


Unsur respons yang bersifat emosional dari manusia yang dapat mengambil

4.

bentuk perasaan takut, cinta dan sebagainya.


Unsur paham adanya yang kudus (Sacred) dan suci yang dapat mengambil
bentuk kekuatan gaib, kitab yang mengandung ajaran-ajaran agama yang
bersangkutan, dan dalam bentuk tempat-tempat tertentu.[24]

17

D. Model-Model Penelitian Keagamaan


Model-model penelitian keagamaan disesuaikan dengan perbedaan
antara penelitian agama dan penelitian hidup keagamaan. Djamari,
menjelaskan bahwa kajian sosiologi agama dengan menggunakan metode
ilmiah. Pengumpulan data dan metode yang digunakan antara lain:[15]
1. Analisis Sejarah
Dalam hal ini, sejarah hanya sebagai metode analisis atas dasar pemikiran
bahwa sejarah dapat menyajikan gambaran tentang unsur-unsur yang
mendukung timbulnya suatu lembaga, dan pendekatan sejarah bertujuan
untuk menemukan inti karakter agama dengan meneliti sumber klasik
sebelum dicampuri yang lain.
Seperti halnya agama Islam, sejarah mencatat bahwa ia adalah agama
yang diturunkan melalui Nabinya yaitu Muhammad saw berdasarkan kitab
sucinya yaitu Alquran yang ditulis dalam bahasa arab. Islam diturunkan
bukan untuk satu bangsa saja melainkan untuk seluruh bangsa secara
universal. Sedangkan agama lain ada yang hanya diturunkan untuk satu
bangsa saja seperti yahudi untuk ras yahudi saja.
Pendekatan sejarah dalam memahami agama dapat membuktikan
apakah agama itu masih tetap pada orisinalitasnya seperti ketika ia baru
muncul atau sudah bergeser jauh dari prinsip-prinsip utamanya. Bila hal itu
dihubungkan dengan agama islam maka ia dapat dimasukkan pada kategori
agama yang bertahan konsisten dengan ajaran seperti pada masa awalnya.
Menurut ahli perbandingan agama seperti A. Mukti Ali, apabila kita
ingin memahami sebuah agama maka kita harus mengidentifikasi lima
aspek yaitu konsep ketuhanan, pembawa agama atau nabi, kitab suci,
sejarah agama, dan tokoh-tokoh terkemuka agama tersebut.
2. Analisis lintas budaya
Analisis lintas budaya bisa diartikan dengan ilmu antropologi, karena
dilihat dari definisi antropologi sendiri secara sederhana dapat dikatakan
bahwa antropologi mengkaji kebudayaan manusia.

18

Islam sebagai agama yang dibawa oleh Muhammad saw sampai saatnya
kini telah melalui berbagai dimensi budaya dan adat-istiadat. Masingmasing

negeri

memiliki

corak

budayanya

masing-masing

dalam

mengekspresikan agamanya. Karena itu dari segi antropologi kita dapat


memilah-milah mana bagian islam yang merupakan ajaran murni dan mana
ajaran islam yang bercorak lokal budaya setempat.
3. Eksperimen.
Penelitian yang menggunakan eksperimen agak sulit dilakukan dalam
penelitian agama. Namun, dalam beberapa hal,eksperimen dapat dilakukan
dalam penelitian agama, misalnya untuk mengevaluasi perbedaan hasil
belajar dari beberapa model pendidikan agama.
4. Observasi partisipatif.
Dengan partisipasi dalam kelompok, peneliti dapat mengobservasi
perilaku orang-orang dalam konteks relegius. Baik diketahui atau tidak oleh
orang yang sedang diobeservasi. Dan diantara kelebihannya yaitu
memungkinkannya pengamatan simbolik antar anggota kelompok secara
mendalam. Adapun kelemahannya yaitu terbatasnya data pada kemampuan
observer.
5. Riset survei dan analisis statistik
Penelitian survei dilakukan dengan penyusunan kuesioner, interview
dengan sampel dari suatu populasi. Sampel bisa berupa organisasi
keagamaan atau penduduk suatu kota atau desa. Prosedur penelitian ini
dinilai sangat berguna untuk memperlihatkan korelasi dari karakteristik
keagamaan tertentu dengan sikap sosial atau atribut keagamaan tertentu.
6. Analisis isi
Dengan metode ini, peneliti mencoba mencari keterangan dari tematema agama, baik berupa tulisan, buku-bukukhotbah, doktrin maupun
deklarasi teks, dan lainnya. Umpamanya sikap kelompok keagamaan
dianalisis dari substansi ajaran kelompok tersebut.6
6 Abuddin, Nata,Metodologi Studi Islam (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h. 199

19

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian yang dikemukakan pada pembahasan, dapat dikemukakan
beberapa poin penting sebagai kesimpulan, yaitu:
1. Penelitian agama bukanlah meneliti hakikat agama dalam arti wahyu,
melainkan meneliti manusia yang menghayati, meyakini, dan memperoleh
pengaruh dari agama. Dengan kata lain, penelitian agama bukan meneliti
kebenaran teologi atau filosofi tetapi bagaimana agama itu ada dalam

20

kebudayaan dan sistem sosial berdasarkan fakta atau realitas sosialkultural.


2. Penelitian agama lebih ditekankan pada aspek pemikiran dan interaksi
sosial. Pada aspek pemikiran, menggunakan metode filsafat dan ilmu-ilmu
chomaniora. Sedangkan pada aspek interaksi sosial, yakni penelitian
keagamaan sebagai produk interaksi sosial, menggunakan pendekatan
sosiologi, antropologi, sejarah sosial yang biasa berlaku dan sebagainya.
3. Adapun model penelitian yang ditampilkan di sini disesuaikan dengan
perbedaan antara penelitian agama dan penelitian hidup keagamaan.
4. Penelitian keagamaan mengandung arti upaya menemukan jawaban atas
sejumlah

masalah

berdasarkan data-data

yang terkumpul tentang

permasalahan-permasalahan keagamaan.
B. Saran
Demikian makalah yang dapat kami susun, tentunya masih banyak
kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya
rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini.
Penulis banyak berharap para pembaca mau memberikan kritik dan saran yang
membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan penulisan
makalah di kesempatan-kesempatan berikutnya. Semoga makalah ini berguna
bagi penulis pada khususnya, juga para pembaca pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Nata, Abuddin. Metodologi Studi Islam. 2012. Jakarta: Rajawali Pers.
Ali, A. Mukti. Metode Memahami Agama Islam. 1991. Jakarta:
Bulan Bintang.
Buchori, Didin Saefuddin. Metodologi Studi Islam. Cet. I; 2005.
Bogor: Granada Sarana Pustaka.
M. Yatimin, Abdullah. Studi Ilmu Kontemporer, 2006. Jakarta: Amzah.

21

22

Anda mungkin juga menyukai