Anda di halaman 1dari 68

LAPORAN KASUS

TOTAL AV BLOCK PADA STEMI

Disusun oleh:
Naila Zanubah Arifah
NIM 222011101012

Dokter Pembimbing:

dr. Dandy Hari H., Sp. JP, FIHA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER


SMF/LAB ILMU PENYAKIT DALAM
RSD DR. SOEBANDI JEMBER
2022

1
LAPORAN KASUS

TOTAL AV BLOCK PADA STEMI

Disusun untuk melaksanakan Tugas Kepaniteraan Klinik Madya


SMF Ilmu Penyakit Dalam di RSD dr. Soebandi Jember

Disusun oleh:
Naila Zanubah Arifah
NIM 222011101012

Dokter Pembimbing:

dr. Dandy Hari H., Sp. JP,

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER


SMF/LAB ILMU PENYAKIT DALAM
RSD DR. SOEBANDI JEMBER
2022
3
BAB 1. LAPORAN KASUS

1.1 Identitas Pasien


Nama : Ny. Zakiyatul Maimunah
Jenis kelamin : Perempuan
Tanggal Lahir : 27 Mei 1971
Umur : 51 tahun
Alamat : Krajan Kidul Sumberrejo Ambulu
Pekerjaan : Pedagang kue di pasar
Agama : Islam
Status : Sudah Menikah
Tanggal MRS : 14 Oktober 2022
Tanggal KRS : 18 Oktober 2022
No. RM : 286695

1.2 Anamnesis
1.2.1 Keluhan utama
Sesak

1.2.2 Riwayat penyakit sekarang


Pasien datang ke IGD RSDS pada tanggal 14 Oktober 2022 jam 21.00
rujukan dari RS Utama Husada dengan keluhan sesak dan lemas. Sesak
dirasakan sejak 2 bulan yang lalu dan memberat hari ini. Sesak berkurang saat
pasien istirahat dan diperberat saat aktivitas fisik seperti berjalan kaki. Sesak
dirasakan seperti tertindih benda berat. Pasien juga merasakan nyeri ulu hati
dan nyeri dada. Nyeri terasa seperti tertusuk benda tajam yang menjalar ke
tangan kiri dan punggung. Nyeri dada muncul pertama kali 3 bulan lalu hilang
timbul. Nyeri dada muncul saat berakfitas namun berkurang saat dipijat dan
istirahat.

4
Pasien juga sering berkeringat dan merasa kedinginan sejak pagi. Pasien
mengeluhkan mual sejak pagi dan muntah lebih dari tiga kali berupa cairan
bening. Pasien mengaku tidak nafsu makan selama 2 hari ini. Pasien
menyangkal keringat malam, batuk, demam dan penurunan berat badan dalam
sebulan terakhir. Pasien mengaku tidak mengalami kecelakaan atau trauma
pada dada selama beberapa bulan terakhir.

1.2.3 Riwayat penyakit dahulu


Riwayat tekanan darah tinggi : disangkal
Riwayat DM : + (GDA tertinggi : 300)
Riwayat TB : disangkal
Riwayat B20 : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
Pasien mengaku pernah EKG sekitar 2 bulan lalu di puskesmas dan hasilnya
normal. Pasien memiliki riwayat MRS di Soebandi untuk amputasi jari kaki
kirinya tahun 2021.

1.2.4 Riwayat penyakit keluarga


Pasien mengaku ibunya telah meninggal dunia karena diabetes yang tidak
terkontrol dan mengalami komplikasi ke ginjal.

1.2.5 Riwayat pengobatan


Pasien rutin mengonsumsi glibenklamid 1x5 mg sebelum makan sejak 2
tahun yang lalu dan rutin kontrol gula darah. Pasien juga mengonsumsi ibuprofen
dan cefixime tanpa resep dokter. Ketika nyeri dada, pasien mendapatkan injeksi
yang tidak diketahui namanya dari mantri sekitar rumah.

1.2.6Riwayat sosial, lingkungan dan ekonomi


Pasien merupakan pedagang kue di pasar dan bekerja pukul 05.00 - 09.00
WIB. Saat di rumah pasien hanya melakukan pekerjaan rumah seperti memasak,
bersih-bersih, dan membuat kue untuk jualan. Pasien mengaku tidak pernah
olahraga dan tidak menjaga makanannya. Pasien suka makan goreng-gorengan
namun jarang makan nasi. Pasien tinggal bersama suaminya dan ketiga anaknya.
Suami pasien bekerja sebagai petani di sawah.

1.2.7 Riwayat gizi


BB : 67 kg
TB : 159 cm
IMT : 27 kg/m2
Kesan: Status gizi pasien obesitas tingkat I.

1.2.8 Anamnesis sistem


- Kepala : Jejas(-), leher kaku(-), benjolan di leher (-), pusing (-)
- Mata : Penglihatan kabur (-), pandangan ganda(-)
- Hidung : Pilek (-), mimisan (-), tersumbat (-)
- Telinga : Pendengaran berkurang (-), berdenging (-)
- Mulut : Bibir pecah-pecah (-), gusi berdarah (-), mulut kering (-)
- Tenggorokan: Sakit menelan (-), sulit menelan (-), suara serak (-), gatal (-)
- Sistem kardiovaskular: (-), nyeri dada (+)
- Sistem respirasi: sesak napas (+), batuk (-), pilek (-),
- Sistem gastrointestinal: mual (+), muntah (+), nafsu makan menurun (+),
diare (-), nyeri ulu hati (+)
- Sistem urogenital: BAB (+) dalam batas normal, BAK (+) dalam batas
normal
- Sistem integumentum: gatal (-), keringat malam hari (-)
- Sistem muskuloskeletal: tremor (-), nyeri otot (-), nyeri sendi (-)

1.3 Pemeriksaan Fisik


1.3.1 Status generalis
Keadaan Umum : lemah
Kesadaran : compos mentis, GCS 4-5-6
Vital Sign : TD : 116/69 mmHg
HR : 40x x/menit
RR : 34 x/menit
Tax : 36,7 oC
SpO2 : 100% NRBM

1.3.2 Status lokalis


a. Kepala
- Bentuk : normocephal
- Rambut : hitam, lurus, panjang
- Mata : konjungtiva anemis : -/-
sklera ikterus : -/-
eksoftalmus : -/-
refleks cahaya : +/+
edema palpebra : -/-
- Hidung : sekret (-), pernapasan cuping hidung (-)
- Telinga : sekret (-), perdarahan (-)
- Mulut : sianosis (-), perdarahan gusi (-)

b. Leher
- Inspeksi : tampak benolan dan luka disertai crusta pada leher
sinistra dan dextra
- JVP :5±2

c. Thorax
Cor :

- Inspeksi : ictus cordis tidak tampak


- Palpasi : ictus cordis teraba ICS V MCL Sinistra
- Perkusi : redup di ICS IV MCL Dextra s/d ICS V AAL
Sinistra
- Auskultasi : S1S2 tunggal irregular, e/g/m : -/-/-
Pulmo :

VENTRAL DORSAL

Inspeksi: Inspeksi:
Simetris Retraksi -/- Simetris Retraksi -/-
Ketertinggalan gerak -/- Ketertinggalan gerak -/-
Palpasi: Palpasi:
Fremitus raba Fremitus raba
N N N N
menurun menurun N N
menurun menurun N N
Deviasi trakea (-) Deviasi trakea (-)
Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)

Perkusi: Perkusi:

Sonor Sonor Sonor Sonor


+ + + + + +

+ + + + + +

+ + + + + +
Auskultasi: Auskultasi:
Vesikuler +/+ Vesikuler +/+
Ronkhi -/- Ronkhi -/-
Wheezing -/- Wheezing -/-

d. Abdomen
- Inspeksi : flat
- Auskultasi : bising usus (+) 10x/menit
- Perkusi : timpani
- Palpasi : BU + soepel

e. Ekstremitas
- Superior : akral hangat +/+, edema -/- CRT<2 detik
- Inferior : akral hangat +/+, edema -/-

1.4 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan laboratorium

Tabel 1.1 Hasil pemeriksaan hematologi 14 Oktober 2022 (di RS Utama Husada)
Pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Normal Satuan
Hematologi Lengkap (DL)
Hemoglobin 11.0 12,0-16,0 gr/dL
Leukosit 16.9 4,5-11,0 109/L
Hitung jenis -/-/-/-/28/8 Eos/Bas/Stab/Seg/Lim/Mono
0-4/0-1/3-5/54-52/25-33/2-6
Hematokrit 34.7 36-46 %
Trombosit 284 150-450 109/L
Faal Ginjal
SK - 0,5-1,1 mg/dL
Urea -
Elektrolit
Natrium - 135-155 mmol/L
Kalium - 3,5-5,0 mmol/L
Klorida - 90-110 mmol/L
Tabel 1.2 Hasil pemeriksaan hematologi 15 Oktober 2022
Pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Normal Satuan
Hematologi Lengkap (DL)
Hemoglobin - 12,0-16,0 gr/dL
Laju Nedap Darah - 0-25 Mm/jam
Leukosit - 4,5-11,0 109/L
Hitung jenis -/-/-/-/-/- Eos/Bas/Stab/Seg/Lim/Mono
0-4/0-1/3-5/54-52/25-33/2-6
Hematokrit - 36-46 %
Trombosit - 150-450 109/L
APPT Penderita 63.6 detik
Beda dengan control < 2 detik
APPT Kontrol 26.6
PPT Penderita 14.3 detik
Beda dengan control < 2 detik
PPT Kontrol 10.0
Lemak
Kolesterol LDL 112 H <100 mg/dL
Kolesterol Total 188 <220 mg/dL
Kolesterol HDL 31 L Low <40 mg/dL
High >60
Trigliserida 102 <150 mg/dL
Elektrolit
Natrium 133 L 135-155 mmol/L
Kalium 8.67 HH 3,5-5,0 mmol/L
Klorida 112.0 H 90-110 mmol/L
Magnesium 0.86 0.77-10.3 mmol/L
Asam Urat 10.9 H 2.0 - 5.7 mg/dL
Tabel 1.3 Hasil pemeriksaan hematologi 16 Oktober 2022
Pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Normal Satuan
Hematologi Lengkap (DL)
Hemoglobin - 12,0-16,0 gr/dL
Laju Nedap Darah - 0-25 Mm/jam
Leukosit - 4,5-11,0 109/L
Hitung jenis -/-/-/-/-/- Eos/Bas/Stab/Seg/Lim/Mono
0-4/0-1/3-5/54-52/25-33/2-6
Hematokrit - 36-46 %
Trombosit - 150-450 109/L
APPT Penderita 30.7 detik
Beda dengan control < 2 detik
APPT Kontrol 26.6
PPT Penderita 14.5 detik
Beda dengan control < 2 detik
PPT Kontrol 10.0
Lemak
Kolesterol LDL - <100 mg/dL
Kolesterol Total - <220 mg/dL
Kolesterol HDL - Low <40 mg/dL
High >60
Trigliserida - <150 mg/dL
Elektrolit
Natrium 134 L 135-155 mmol/L
Kalium 6.60 HH 3,5-5,0 mmol/L
Klorida 111.9 H 90-110 mmol/L
Magnesium 0.72 L 0.77-10.3 mmol/L
Asam Urat - 2.0 - 5.7 mg/dL
Tabel 1.3 Hasil pemeriksaan hematologi 17 Oktober 2022
Pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Normal Satuan
Hematologi Lengkap (DL)
Hemoglobin 11.0 L 12,0-16,0 gr/dL
Laju Endap Darah - 0-25 Mm/jam
Leukosit 19.7 H 4,5-11,0 109/L
Hitung jenis 0/0/0/84/7/9 Eos/Bas/Stab/Seg/Lim/Mono
0-4/0-1/3-5/54-52/25-33/2-6
Hematokrit 34.9 L 36-46 %
Trombosit 363 150-450 109/L
APPT Penderita 30.7 detik
Beda dengan control < 2 detik
APPT Kontrol 26.6
PPT Penderita 14.5 detik
Beda dengan control < 2 detik
PPT Kontrol 10.0
Lemak
Kolesterol LDL - <100 mg/dL
Kolesterol Total - <220 mg/dL
Kolesterol HDL - Low <40 mg/dL
High >60
Trigliserida - <150 mg/dL
Elektrolit
Natrium - 135-155 mmol/L
Kalium - 3,5-5,0 mmol/L
Klorida - 90-110 mmol/L
Magnesium - 0.77-10.3 mmol/L
Asam Urat 14.6 HH 2.0 - 5.7 mg/dL
GDS 65 <200 mg/DL
Faal Ginjal
SK - 0,5-1,1 mg/dL
BUN 79 H 6 - 20 mg/dL

Tabel 1.3 Hasil pemeriksaan hematologi 18 Oktober 2022


Elektrolit
Natrium 134.9 L 135-155 mmol/L
Kalium 4.54 3,5-5,0 mmol/L
Klorida 11.03 H 90-110 mmol/L
Pemeriksaan EKG
Saat masuk RS

1. Irama: sinus rhythm dengan AV Block derajat 2 Mobitz II


2. Frekuensi: 29x/menit
3. Axis: RAD
4. Kelainan ruang jantung: tidak ditemukan adanya kelainan ruang jantung
5. Koroner: ST elevasi pada lead II, III, aVF (infark inferior), T inversi pada V1,
V2, V3, V4, V6 (infark anterior ekstensif)
6. Kesimpulan: sinus rhythm, AV Block 2nd degree Mobitz II, frekuensi
29x/menit, RAD, Infark anteroinferior
Sebelum PCI

1. Irama: sinus rhythm dengan RBBB dan AV Block Derajat 2 Mobitz II


2. Frekuensi: 26x/menit
3. Axis: RAD
4. Kelainan ruang jantung: RVH
5. Koroner: st elevasi di lead III AvF, st depresi lead I aVL
6. Kesimpulan: sinus rhythm dengan RBBB dan AV Block Derajat 2 Mobitz II, 26
bpm, RAD
Setelah PCI

1. Irama: sinus rhythm


2. Frekuensi: 95x/menit
3. Axis: RAD
4. Kelainan ruang jantung: tidak ada
5. Koroner: tidak ada
6. Kesimpulan: sinus rhythm, 95 bpm, RAD
1.5 Resume
Pasien datang ke IGD RSDS pada tanggal 14 Oktober 2022 jam 21.00
rujukan dari RS Utama Husada dengan keluhan sesak dan lemas. Sesak
dirasakan sejak 2 bulan yang lalu dan memberat hari ini. Sesak berkurang saat
pasien istirahat dan diperberat saat aktivitas fisik seperti berjalan kaki. Sesak
dirasakan seperti tertindih benda berat. Pasien juga merasakan nyeri ulu hati
dan nyeri dada. Nyeri terasa seperti tertusuk benda tajam yang menjalar ke
tangan kiri dan punggung. Nyeri dada muncul pertama kali 3 bulan lalu hilang
timbul. Nyeri dada muncul saat berakfitas namun berkurang saat dipijat dan
istirahat.

Pasien juga sering berkeringat dan merasa kedinginan sejak pagi. Pasien
mengeluhkan mual sejak pagi dan muntah lebih dari tiga kali berupa cairan
bening. Pasien mengaku tidak nafsu makan selama 2 hari ini. Pasien
menyangkal keringat malam, batuk, demam dan penurunan berat badan dalam
sebulan terakhir. Pasien mengaku tidak mengalami kecelakaan atau trauma
pada dada selama beberapa bulan terakhir.

Tanda-Tanda Vital :
TD : 116/69 mmHg
HR : 40x x/menit
RR : 34 x/menit
Tax : 36,7 oC
SpO2 : 100% NRBM

Pemeriksaan Fisik :
K/L : a/i/c/d : -/-/-/+
Thorax: Cor : S1S2 Tunggal e/g/m: -/-/-
Pulmo: Ves +/+ Rh -/- Wh -/-
Sim +/+ Ret -/-
Abd : BU (+) soepl
Ext : Akral hangat (+), Edema (-)

1.6 Diagnosis Kerja


Total AV block + STEMI + Heart Failure + DM

1.7 Planning
a. Planning diagnostik
• Pemeriksaan EKG
• Pemeriksaan Ro Thorax
• Pemeriksaan Echocardiography
• Pemeriksaan Serum Elektrolit
• Pemeriksaan Gula Darah
b. Planning terapi
• Infus RL + KCl 25 meq
• Nitrogliserin 20 mg
• Dopamin pump 20 g (7.5 cc/jam)
p/o

• Clopidogrel 1x1
• Aspilet 1x1
• Angintriz 2x1
• Salbutamol 3x4 mg
• Lasix 1-0-0
• Amlodipine 1 x 5 mg
• Pro Transcutaneus Pacing  TPM

c. Planning monitoring
Observasi vital sign pasien

Observasi klinis pasien

Observasi EKG
d. Planing edukasi
• Istirahat yang cukup
• Menjelaskan tentang penyakit yang diderita pasien kepada keluarga
terkait penyebab, perjalanan penyakit, perawatan, prognosis,
komplikasi serta usaha pencegahan komplikasi

1.8 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad
Quo ad functionam : dubia ad
Quo ad Sanationam : dubia ad
14 Oktober 2022 15 Oktober 2022
Keadaan Umum Lemah Lemah
GCS 456 456

Keluhan Lemas, sesak membaik, nyeri menurun Batuk, sesak berkurang, mual

Tekanan
143/60 mmHg 150/90 mmHg
Darah
Nadi 38 x/menit 88 x/menit
Respiratory
24 x/menit 20 x/menit
Rate
Suhu Tubuh 36, 5 °C 36, 2 °C
Kepala dan Leher a/i/c/d : -/-/-/+ a/i/c/d : -/-/-/+

Cor I Ictus cordis tidak tampak Ictus cordis tidak tampak

P Ictus cordis teraba Ictus cordis teraba

P Redup Redup

S1 S2 tunggal S1 S2 tunggal
A
e/g/m -/-/- e/g/m -/-/-

Pulmo I Simetris Simetris

P Fremitus raba +/+ Fremitus raba +/+

P Sonor +/+ Sonor +/+

Vesikuler +/+ Vesikuler +/+


A Rhonki -/- Rhonki -/-
Wheezing -/- Wheezing -/-

Flat, Darm countour (-), Darm steifung (-),


Abdomen I Massa Flat, Darm countour (-), Darm steifung (-), Massa (-)
(-)

A Bising usus + Bising usus +

P Tymphani Tymphani

P Soepel, Nyeri tekan (+) Soepel, Nyeri tekan (+)


Akral Hangat Akral Hangat
 Superior +/+  Superior +/+
 Inferior +/+  Inferior +/+
Ekstermitas 
Edema Edema
 Superior -/-  Superior -/-
 Inferior -/-  Inferior -/-

Pemeriksaan penunjang

Total AV Block + STEMI + HF + DM +


Diagnosis Total AV Block + STEMI + post TPM + Post PCI + DM
HF

Infus RL 20 tpm Infus PZ 7 tpm


KCl 25 meq dalam PZ 500 cc (10 tpm) Inj, Ampicilin sulbactam 2x1
Inj. Ceftriaxone 2x1 gr

p/o p/o
Clopidogrel 1x1 Aspilet 1x1
Terapi
Aspilet 1x1 Clopidogrel 1x1
Angintriz 2x1 Angintriz 2x1
Salbutamol 3x4 mg Amlodipine 1x5 mg
Furosemide 1-0-0 Furosemid 1/2-0-0
Amlodipine 1 x 5 mg
16 Oktober 2022 17 Oktober 2022
Lemah Lemah
456 456
Tidak ada kelihan
Tidak ada keluhan

120/70 mmHg
150/90 mmHg

88 x/menit 80x/menit
20 x/menit 20x/menit
36,2 °C 36.5

a/i/c/d : -/-/-/-
a/i/c/d : -/-/-/-

Ictus cordis tidak tampak Ictus cordis tidak tampak

Ictus cordis teraba Ictus cordis teraba

Redup Redup

S1 S2 tunggal S1 S2 tunggal
e/g/m -/-/- e/g/m -/-/-

Simetris Simetris

Fremitus raba +/+ Fremitus raba +/+

Sonor +/+ Sonor +/+

Vesikuler +/+ Vesikuler +/+


Rhonki -/- Rhonki -/-
Wheezing -/- Wheezing -/-

Flat, Darm countour (-), Darm steifung (-), Massa (-) Flat, Darm countour (-), Darm steifung (-), Massa (-)

Bising usus + Bising usus +

Tymphani Tymphani

Soepel, Nyeri tekan (+) Soepel, Nyeri tekan (+)


Akral Hangat Akral Hangat
 Superior +/+  Superior +/+
 Inferior +/+  Inferior +/+

Edema Edema
 Superior -/-  Superior -/-
 Inferior -/-  Inferior
Total AV Block + STEMI + post TPM + Post PCI + DM Total AV Block + STEMI + post TPM + Post PCI + DM

Infus RL 7 tpm Infus RL 7 tpm


Inj, Ampicilin sulbactam 2x1 Inj, Ampicilin sulbactam 2x1
Inj. Antrain 3x1 amp Inj. Antrain 3x1 amp

p/o p/o
Aspilet 1x1 Aspilet 1x1
Clopidogrel 1x1 Clopidogrel 1x1
Angintriz 2x1 Angintriz 2x1
Amlodipine 1x5 mg Amlodipine 1x5 mg
Furosemid 1/2-0-0 Furosemid 1/2-0-0

18Oktober 2022
Lemah
456
Tidak ada kelihan

120/70 mmHg

80x/menit
20x/menit
36.5

a/i/c/d : -/-/-/-

Ictus cordis tidak tampak

Ictus cordis teraba

Redup
S1 S2 tunggal
e/g/m -/-/-

Simetris

Fremitus raba +/+

Sonor +/+

Total AV Block + STEMI + post TPM + Post PCI + DM

Infus RL 7 tpm
Inj, Ampicilin sulbactam 2x1
Inj. Antrain 3x1 amp

p/o
Aspilet 1x1
Clopidogrel 1x1
Angintriz 2x1
Amlodipine 1x5 mg
Furosemid 1/2-0-0
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Konduksi Jantung


Jantung memiliki 2 jenis sel yakni sel kontraktil dan sel otoritmik. Sel
kontraktil merupakan sel yang membentuk 99% dari sel-sel otot jantung,
berfungsi untuk memompa darah. Dalam keadaan normal, sel kontraktil ini tidak
dapat membentuk sendiri potensial aksinya. Sedangkan sel otoritmik merupakan
sel yang tidak berkontraksi namun memiliki fungsi untuk memulai dan
menghantarkan potensial aksi yang menyebabkan kontraksi sel-sel jantung
kontraktil. Sel otoritmik ini memiliki kualitas yang dikenal sebagai automatisasi
yang merupakan suatu kemampuan sel-sel di jantung untuk mendepolarisasi
secara spontan dan memulai potensial aksi (impuls) (Bowbrick dan Borg, 2006).

Depolarisasi adalah proses di mana membran sel miokard berubah dari


bermuatan negatif di dalam dan di luar bermuatan positif (terpolarisasi) menjadi
sebaliknya (terdepolarisasi) (Khan, 2006). Hal ini disebabkan karena masukn ion
natrium (Na+) dan kalsium (Ca2+) bermuatan positif ke dalam sel secara tiba tiba
(Conover, 2003). Nodus sinoatrial (SAN) mengaktivasi atrium pada kecepatan
antara 60 dan 100 denyut per menit pada pasien dewasa. Gelombang depolarisasi,
yang berasal dari nodus sinoatrial (SA) menyebar ke sistem konduksi ke nodus
atrioventrikular (AV); melalui berkas His dan masuk ke cabang berkas kiri dan
kanan, berakhir di serabut Purkinje (Davies, 2007b). Pada beberapa pasien ada
masalah dengan sistem konduksi intrinsik, dibutuhkan untuk menggunakan sistem
alat pacu jantung permanen (British Heart Foundation (BHF), 2008).
Gambar 3. 1 Sistem konduksi jantung

a. Nodus Sinoatrial (SA)

Nodus SA merupakan alat pacu yang alami pada jantung. Pada jantung
yang normal, impuls saraf dihasilkan oleh bagian jantung yang disebut pacemaker
yang terletak pada nodus sinoatrial. Pacemaker ini bertanggung jawab dalam
proses inisiasi potensial aksi secara teratur (Bucchi, 2006) (Vinogradova, 2000).
Nodus SA bertugas mengatur ritme jantung sebanyak 60-100x per menit dengan
cara mempertahankan kecepatan depolarisasi dan mengawali siklus jantung yang
ditandai dengan sistol atrium. Impuls listrik dari nodus SA ini akan menyebar ke
atrium kanan, lalu diteruskan ke atrium kiri melalu berkas Bachmann dan
selanjutnta dibawa ke nodus atrioventrikular (AV) oleh traktus internodal
(Dharma, 2009).

b. Nodus Atrioventrikular (AV)

Nodus AV terletak di dekat septum interatrial bagian bawah, di atas sinus


koronarius dan di belakang katup trikuspid. Nodus AV berfungsi memperlambat
kecepatan konduksi sehingga memberi kesempatan atrium mengisi ventrikel
sebelum sistol ventrikel. Sehingga ventrikel akan terlindungi dari stimulasi
berlebihan dari atrium. Impuls yang dihasilkan nodus AV adalah sebesar 40-60x
per menit. Impuls ini selanjutnya akan diteruskan ke berkas His (Dharma, 2009).
c. Sistem His-Purkinje

Berkas His terbagi menjadi berkas kanan yang menyebarkan impuls listrik
ke ventrikel kanan dan berkas kiri yang menyebarkan impuls listrik ke septum
interventrikel dan ventrikel kiri dengan kecepatan konduksi 2 meter per detik.
Impuls listrik dari berkas tersebut bercabang menjadi serabut purkinje yang
tersebar dari septum interventrikel sampai ke muskulus papilaris dan
menghasilkan impuls 20-40 kali per menit dan menyebar mulai dari endokardium
sampai terakhir ke epikardium. Otot jantung akan bergerak memompa darah
keluar dari ruang ventrikel ke pembuluh darah arteri (Dharma, 2009).

3.2 AV Block
3.2.1 Definisi
AV Blok merupakan suatu gangguan transmisi impuls dari atrium ke
ventrikel yang disebabkan gangguan anatomis atau fungsional pada sistem
konduksi. Gangguan konduksi ini dapat bersifat sementara atau permanen.
Gangguan AV Blok dibagi menjadi 3 derajat tingkatan, yaitu derajat 1, derajat 2
Mobitz 1 dan 2, serta derajat 3 atau total block. Waktu yang diperlukan untuk
penyebaran depolarisasi dari nodus SA ke otot ventrikel ditunjukkan oleh interval
PR dengan waktu normal tidak lebih dari 0,2 detik. Normalnya, memang terjadi
perlambatan di nodus AV dengan tujuan untuk mempersiapkan waktu yang cukup
bagi atrium untuk berkontraksi agar preload ventrikel akan optimal untuk fase
sistol selanjutnya. Selain itu, perlambatan ini juga bertujuan untuk melindungi
ventrikel dari stimulasi yang berlebihan akibat takiaritmia tertentu di
supraventrikel. Namun, pada beberapa kondisi, perlambatan ini berlangsung lebih
lama dari normalnya, bahkan bisa terjadi blok (Batubara, 2014)

3.2.2 Etiologi
AV Block bisa disebabkan oleh beberapa keadaan seperti di bawah ini,
yaitu:
a. Obat- obatan
- Anti aritmia kelas IA, seperti quinidine, procainamide, disopyramide)
- Anti aritmia kelas I B, seperti, flecainide, encainide, propafenone)
- Anti aritmia kelas II, seperti beta blocker
- Anti aritmia kelas III, seperti amiodarone, sotalol, dofetilide, ibutilide
- Anti aritmia kelas IV, seperti calcium channel blockers
- Digoxin atau glikosida jantung. Pasien yang menggunakan terapi
digoksin harus diberikan edukasi atas efek samping yang akan timbul
dari digoksin.
b. Penyakit degeneratif, seperti Lenegre disease, yaitu suatu penyakit
sklerodegeneratif yang terjadi di sistem konduksi. Penyakit degeneratif
lainnya adalah miopati miokondrium, sindroma nail-patella, dan Lev disease
yaitu kalsifikasi pada katup dan sistem konduksi jantung (Finsterer J, 2007)
c. Infeksi oleh demam reumatik, miokarditis, Chagas disease,
Aspergillus myocarditis, varicella-zoster.
d. Penyakit reumatik, seperti Ankylosing spondylitis, Reiter syndrome,
relapsing polychondritis, rheumatoid arthritis, scleroderma.
e. Proses infiltratif, seperti Amyloidosis, sarcoidosis, tumors, Hodgkin disease,
multiple myeloma.
f. Kelainan neurologi, seperti Becker muscular dystrophy, myotonic muscular
dystrophy
g. Kelainan metabolik, seperti Hipoksia, hiperkalemia, hipotiroid.
h. Kelainan iskemik atau infark, seperti infark miokard inferior dengan AV
block atau infark miokard anterior dengan HIS-Purkinje block.
Infark miokard Dinding anterior dapat dikaitkan dengan av blok. Blok
jantung total terdapat sekitar 10% dari kasus MI ringan akut dan jauh kurang
berbahaya, sering menimbulkan kematian dalam beberapa jam sampai beberapa
hari. Studi menunjukkan bahwa AV blok jarang memperberat MI. Dengan strategi
revaskularisasi awal, kejadian AV blok menurun 5,3-3,7%. Oklusi dari masing-
masing arteri koroner dapat menyebabkan perkembangan penyakit konduksi
meskipun pasokan vaskular berlebihan untuk AVN dari seluruh arteri coroner
(Batubara, 2014).
Paling umum, oklusi arteri koroner kanan (RCA) disertai dengan blok
AV. Secara khusus, oklusi RCA proksimal memiliki insiden tinggi AV block
(24%) karena ada keterlibatan bukan hanya dari arteri nodal AV terlibat tetapi
juga suplai arteri superior menurun, yang berasal dari bagian yang sangat
proksimal dari RCA (Batubara, 2014).
Blok konduksi atau instabilitas elektrik merupakan salah satu komplikasi
dari infark miokard. Ganggguan konduksi yang terjadi dapat berupa
atrioventricular nodal block dan Bundle branch block. Ganggguan konduksi yang
disebabkan infark miokard dapat terjadi akibat proses iskemik atau nekrosis pada
jalur konduksi akibat infark atau perluasan infark yang terjadi. Konduksi jantung
sangat dipengaruhi oleh suplai darah ke septum intraventrikular, dimana suplai
darah ke septum intraventrikular diperdarahi sebagian besar oleh left anterior
descending (LAD) (Batubara, 2014).
Dalam kebanyakan kasus, AV blok menghilang segera setelah
revaskularisasi, tapi kadang-kadang juga menetap. Secara keseluruhan, prognosis
baik AV blok apabila oklusi dari anterior descending arteri kiri (terutama
proksimal ke septum perforator pertama) memiliki prognosis yang lebih baik dan
biasanya layak untuk implantasi alat pacu jantung.
Pada ilustrasi kasus, AV blok disebabkan oleh infark miokard. Kejadian
infark miokard pada pasien ini diketahui dari anamnesis dimana pasien pernah
mengeluhkan nyeri dada 2 hari sebelum masuk rumah sakit dan keluhan sesak
nafas. Pasien megeluhkan nyeri dada khas infark yaitu nyeri pada dada yang
terasa seperi tertekan beban berat yang muncul tiba-tiba, berlangsung terus
menerus dan tidak hilang dengan istirahat. Kejadian infark pada pasien juga dapat
dilihat dari gambaran EKG pasien, dimana terlihat adanya gelombang ST Elevasi
pada lead V1, V2 dan V3 yang menggambarkan kejadian infark miokard bagian
anteroseptal pada pasien.
3.2.3 AV block derajat 1
Pada blok AV derajat pertama, gelombang P selalu diikuti dengan
kompleks QRS, namun terdapat pemanjangan interval PR. Artinya, interval PR
akan berdurasi lebih dari 200 milidetik tanpa ada drop beat. Ada penundaan,
tanpa gangguan, dalam konduksi dari atrium ke ventrikel. Dengan kata lain,
impuls melambat namun masih dapat diteruskan ke dalam ventrikel. Semua
aktivasi dari atrium akhirnya ditransmisikan ke ventrikel. Perlambatan biasanya
karena adanya cacat minimal pada konduksi AV yang terjadi pada atau di bawah
nodus AV. Jika interval PR lebih dari 300 milidetik, ini dianggap sebagai blok
AV derajat pertama yang "ditandai" dan gelombang P mungkin terkubur dalam
gelombang T sebelumnya (Kashou, 2022).

Ada beberapa penyebab blok AV derajat 1 yakni infark miokard inferior


(MI), peningkatan tonus vagal (misalnya pada atlet), status pasca operasi jantung,
miokarditis, hiperkalemia, atau bahkan obat-diinduksi (misalnya, beta-blocker,
blok saluran kalsium non-dihydropyridine, adenosin, digitalis, dan amiodaron).
Pada pasien ini biasanya asimptomatik dan tidak mengakibatkan ketidakstabilan
hemodinamik. Sehingga idak diperlukan perawatan khusus (Kashou, 2022)..

Gambar 3. 2 AV Block Derajat 1

Irama : Reguler
Frekuensi : Normal
Gel P : Normal, gelombang P dapat terkubur dalam gelombang T
Interval PR : Transmisi impuls atrioventrikular tertunda, sehingga interval PR
lebih panjang dari 0,2 detik
Interval QRS : Normal (0,06-0,12 detik)

3.2.4 AV block derajat 2 morbitz 1


Pada blok AV Mobitz tipe 1 derajat dua, terdapat pemanjangan progresif
interval PR, yang akhirnya berpuncak pada gelombang P nonkonduksi
(gelombang P gagal dihantarkan dan tidak diikuti kompleks QRS). Salah satu cara
untuk memastikan adanya hal ini adalah dengan memperhatikan bahwa interval
PR setelah drop beat lebih pendek daripada interval PR yang datang sebelum drop
beat. Dengan kata lain, interval PR sebelum drop beat adalah yang terpanjang dari
siklus, dan interval PR setelah drop beat adalah yang terpendek saat siklus dimulai
Kembali (Kashou, 2022)..
Hal ini biasanya dapat terjadi akibat dari blok konduksi reversibel pada
tingkat AV node. Faktanya, penelitian telah menunjukkan bahwa lokasi blok
kemungkinan berada di puncak nodus AV, tempat atrium dan nodus AV bertemu.
Biasanya terdapat supresi fungsional konduksi AV. Sel-sel nodus AV tampaknya
mengalami kelelahan hingga gagal menghantarkan impuls ke ventrikel dan terjadi
penurunan denyut (Kashou, 2022)..
Terdapat beberapa penyebab blok AV Mobitz tipe 1 (Wenckebach) derajat
kedua, termasuk iskemia reversibel, miokarditis, peningkatan tonus vagal, status
pasca operasi jantung, atau bahkan obat yang memperlambat konduksi nodus AV
(misalnya, beta-blocker, non- blok saluran kalsium dihidropiridin, adenosin,
digitalis, dan amiodaron).
Membedakan antara blok AV Mobitz tipe 1 (Wenckebach) derajat kedua
dan Mobitz tipe 2 adalah penting karena manajemen dan pengobatannya berbeda.
Mobitz tipe 1 seringkali merupakan ritme yang jinak. Sebagian besar pasien tidak
menunjukkan gejala, dan gangguan hemodinamik cenderung minimal. Risiko
Mobitz tipe 1 (Wenckebach) berkembang menjadi blok jantung derajat ketiga
(lengkap) jauh lebih rendah daripada Mobitz tipe 2. Pasien yang tanpa gejala tidak
memerlukan pengobatan dan dapat dipantau secara rawat jalan. Pasien yang
simtomatik biasanya berespons terhadap atropin dan jarang memerlukan pacu
jantung permanen. Gangguan konduksi AV yang diinduksi obat seringkali
reversibel setelah menghentikan agen penyebab (Kashou, 2022)..

Gambar 3. 3 AV Block Derajat 2 Morbitz 1

Irama : Atrial: regular, ventrikular: ireguler


Gel P : Normal, beberapa gelombang P tidak diikuti gelombang QRS
Interval PR : Memanjang secara progresif hingga satu gelombang P gagal
dihantarkan dan kompleks QRS menghilang (drop beat)
Interval QRS : Normal (0,06-0,12 detik)

3.2.5 AV block derajat 2 morbitz 2


Pada blok AV Mobitz tipe 2 derajat dua, terdapat gelombang P non-
konduksi intermiten tanpa adanya peringatan sebelumnya. Tidak seperti Mobitz
tipe 1 (Wenckebach), tidak ada pemanjangan progresif dari interval PR;
sebaliknya, interval PR tetap konstan, dan gelombang P terjadi pada laju konstan
dengan interval P-P tidak berubah. Karena gelombang P terus terjadi pada interval
normal, interval R-R yang mengelilingi drop beat kelipatan dari interval R-R
sebelumnya dan tetap tidak berubah (Kashou, 2022)..
Sedangkan pada Mobitz tipe 1 terdapat blok reversibel pada tingkat AV
node, pada Mobitz tipe 2 blok terjadi lebih jauh di sepanjang sistem konduksi
listrik di bawah AV node. Dapat terjadi pada tingkat His Bundle, kedua cabang
berkas, atau tiga fasikulus (yaitu, fasikulus anterior kiri, fasikulus posterior kiri,
dan cabang berkas kanan) (Kashou, 2022)..
Dalam hal ini, sel-sel tidak secara progresif kelelahan, tetapi secara tiba-
tiba dan tidak terduga gagal melakukan impuls supraventrikular. Ini sering
merupakan akibat dari kerusakan struktural pada sistem konduksi, seperti dari
infark miokard, fibrosis, atau nekrosis. Banyak pasien memiliki cabang berkas kiri
atau blok bifascicular yang sudah ada sebelumnya, dan fasikulus yang tersisa
secara intermiten gagal untuk melakukan menyebabkan blok AV derajat kedua.
Karena defek terjadi di bawah nodus AV dan sering kali distal dari His
Bundle, ia menghasilkan kompleks QRS yang lebar dan tampak aneh. Pada kasus
lainnya, defek terletak di dalam Bundle of His, menghasilkan kompleks QRS
yang normal dan sempit. Mungkin ada hubungan P:QRS yang tetap (misalnya,
2:1, 3:1) atau tidak ada pola sama sekali (Kashou, 2022)..
Penyebab umum blok AV Mobitz tipe 2 derajat kedua termasuk infark
miokard anterior, menyebabkan infark septum dengan nekrosis cabang berkas.
Penyebab lain termasuk fibrosis idiopatik dari sistem konduksi, kondisi autoimun
(misalnya, sklerosis sistemik atau lupus eritematosus sistemik) atau inflamasi
(misalnya, miokarditis, penyakit Lyme, atau demam rematik), penyakit miokard
infiltratif (hemokromatosis, sarkoidosis, atau amiloidosis), elektrolit
ketidakseimbangan (misalnya, hiperkalemia), obat-induced (misalnya, beta-
blocker, non-dihydropyridine calcium channel blocker, digitalis, adenosin, atau
amiodarone), atau status pasca operasi jantung (misalnya, perbaikan katup mitral)
(Kashou, 2022).
Blok AV tipe 2 Mobitz dapat dikaitkan dengan bradikardia berat dan
ketidakstabilan hemodinamik. Hal tersebut dapat memiliki risiko lebih besar
untuk berkembang menjadi AV blok derajat 3 atau asistol. Karena onset
penurunan denyut jantung dapat terjadi secara tiba-tiba dan tidak terduga,
ketidakstabilan hemodinamik dan sinkop konsekuensial serta potensi kematian
jantung mendadak dapat terjadi setiap saat. Dengan demikian, pasien
membutuhkan alat pacu jantung permanen. Sementara Mobitz tipe 1 dapat
membaik dengan atropin, pemberian atropine. Pemberian atropine pada Mobitz
tipe 2 dapat memperburuk blok dan meningkatkan risiko AV block derajat 3/ total
av block hingga asistol (Kashou, 2022).
Gambar 3. 4 AV Block Derajat 2 Morbitz 2

Irama : Atrial: regular, ventrikular: ireguler


Gel P : Normal, beberapa gelombang P tidak diikuti QRS
Interval PR : Interval PR tetap tidak berubah (konstan)
Interval QRS : biasanya melebar karena blok pada cabang berkas

3.2.6 AV block derajat 3


Pada blok jantung derajat ketiga, atau lengkap, tidak ada konduksi nodus
AV, dan gelombang P tidak pernah berhubungan dengan kompleks QRS. Dengan
kata lain, impuls supraventrikular yang dihasilkan tidak mengalir ke ventrikel.
Sebaliknya, jika konduksi ventrikel terjadi, itu dipertahankan oleh irama
junctional atau ventrikel escape rythm. Terdapat pemisahan lengkap antara atrium
dan ventrikel. Atrium dan ventrikel independent melakukan irama sendiri- sendiri.
Gelombang P (aktivitas atrium) dikatakan “berbaris melalui” kompleks QRS
dengan kecepatan yang teratur dan lebih cepat. Kompleks QRS (aktivitas
ventrikel) juga terjadi secara teratur, tetapi lebih lambat. Ada dua ritme
independen yang terjadi secara bersamaan (Kashou, 2022)..
Blok jantung derajat tiga adalah hasil akhir dari blok AV derajat dua yang
semakin memburuk. Bisa dari Mobitz tipe 1 jika sel-sel nodus AV kelelahan ke
titik di mana mereka tidak lagi menghantarkan impuls ke ventrikel; atau dari
Mobitz tipe 2, di mana bisa terjadi kegagalan konduksi yang tiba-tiba dan lengkap
di seluruh sistem His-Purkinje. Karena blok jantung derajat tiga dapat terjadi di
atas atau di bawah nodus AV, dua ritme yang berbeda dapat mengambil alih. Jika
terjadi di atas atau di puncak nodus AV, ritme junctional akan mengambil alih dan
menggerakkan ventrikel. Kompleks QRS yang dihasilkan akan menyempit dan
terjadi pada kecepatan intrinsik nodus AV (40 hingga 55 denyut/menit).
Sedangkan jika blok terjadi di bawah nodus AV, alat pacu jantung ventrikel harus
mengambil alih. Dalam kasus tersebut, kompleks QRS akan melebar dan pada
kecepatan intrinsik dari alat pacu jantung ventrikel (20 sampai 40 denyut/menit)
(Kashou, 2022).
Blok jantung lengkap sering merupakan hasil dari penyebab yang sama
seperti Mobitz tipe 1 dan Mobitz tipe 2. Penyebab lain termasuk MI inferior,
degenerasi sistem konduksi, dan agen penghambat AV-nodal seperti beta-blocker,
penghambat saluran kalsium non-dihidropiridin, adenosin, digitalis, dan
amiodaron (Kashou, 2022).
Pasien dengan blok jantung lengkap berada pada risiko besar untuk
mengembangkan asistol, takikardia ventrikel, dan kematian jantung mendadak.
Pemasangan alat pacu jantung permanen diperlukan (Kashou, 2022).

Gambar 3. 5 AV Block Derajat 3

Irama : Teratur, tidak ada hubungan antara irama atrial dan ventrikel
karena tidak ada impuls atrium yang mencapai ventrikel
Frekuensi : Frekuensi atrial > frekuensi ventrikel
Gel P : Normal
Interval PR :-
Interval QRS : Biasanya melebar
3.2.7 TAVB menyebabkan STEMI

Penyebab TAVB dapat menyebabkan STEMI dikarenakan beberapa factor


dan tempat dimana terjadinya lesi blok atrioventrikular. Pasokan darah arteri ke
AV nodes disediakan oleh cabang septal LAD proksimal. Dimana LAD akan
memasok darah pada bagian jantung depan dan menurun
(Kawilarang et al., 2021)
. LAD juga memvaskularisasi dari bundle his. TAVB seringkali terjadi
diatas bundle of his jika menyumbat dari LAD. Penyumbatan pada RCA maupun
LAD tentu saja akan menyebabkan gambaran STEMI pada EKG. STEMI dapat
muncul apabila infark miokard yang mengarah pada nekrosis miokard transmural.
(Gang et al., 2012)

Gambar 3.6 STEMI modelling

3.2.8 Diagnosis
Dari anamnesis, Pasien total AV blok biasanya memiliki manifestasi klinis
yang beragam. Pasien total AV blok bisa datang dengan asimptomatis atau dengan
tanda dan gejala yang minimal yang berkaitan dengan hipoperfusi. Gejala yang
bisa timbul di antaranya adalah kelelahan, pusing, tidak bisa beraktivitas, dan
nyeri dada. Pasien- pasien simptomatis, khususnya pasien yang memiliki
kompleks QRS lebar yang mengindikasikan pacemaker nya berada di bawah
bundle of His, dapat memiliki gejala seperti pingsan, bingung, sesak, nyeri dada
hebat, dan sewaktu-waktu bisa meninggal mendadak. Perlu digali lebih dalam
mengenai riwayat penyakit jantung baik kongenital maupun didapat pada pasien
dengan infark miokard akut juga dapat menyebabkan total AV blok. Pasien
dengan riwayat penyakit jantung, juga perlu diketahui riwayat pengobatannya
karena beberapa obat seperti beta bloker, calcium channel blockers, dan digitalis
juga dapat memengaruhi sistem konduksi. Selain itu perlu ditanyakan mengenai
Riwayat operasi jantung, gejala dan tanda dari penyakit sistemik yang
berhubungan dengan gagal jantung seperti amyloidosis dan sarcoidosis (Kashou,
2022).
Pada pemeriksaan fisik, pasien didapatkan bradikardia. Tekanan vena jugularis
juga dapat meningkat. Pasien dengan tanda hipoperfusi dapat menunjukkan gejala
penurunan status mental, hipotensi, dan letargi. Pada pemeriksaan penunjang
seperti EKG akan ditemukan adanya AV blok sesuai dengan derajatnya.

3.2.9 Tatalaksana
Secara umum, pasien yang datang dengan blok AV tipe 1 Mobitz derajat
pertama atau kedua tidak memerlukan pengobatan. Setiap obat yang
memprovokasi dapat dihilangkan, dan pasien dapat dipantau secara rawat jalan.
Namun, pasien dengan derajat blok AV yang lebih tinggi (blok AV tipe 2 Mobitz
2 , derajat 3) cenderung mengalami kerusakan parah pada sistem konduksi.
Mereka berada pada risiko yang jauh lebih besar untuk berkembang menjadi
asistol, takikardia ventrikel, atau kematian jantung mendadak. Oleh karena itu,
mereka memerlukan rawat inap segera untuk pemantauan jantung, cadangan pacu
jantung sementara, dan pemasangan alat pacu jantung permanen.
Gambar 3. 7 Alogaritma Bradikardi

3.3 Alat Pacu Jantung Temporer


3.3.1 Definisi
Alat pacu jantung/ pacemaker merupakan salah satu modalitas perawatan
aritmia jantung, terutama bradiaritmia, yang paling dapat dipercaya sejak tahun
1950. Pacu jantung permanen (PJP) adalah suatu sirkuit di mana sebuah
generator mengeluarkan arus listrik yang mengalir ke otot jantung (miokard)
melalui sebuah kabel (wire) penghantar untuk merangsang jantung berdenyut, dan
selanjutnya kembali ke generator (sirkuit berakhir). PJP akan mengembalikan
sistem pemacuan jantung ke keadaan fisiologis sehingga dapat meningkatkan
curah jantung dan memperbaiki sirkulasi otak dan organ tubuh lainnya. Hasil
akhirnya adalah menghilangkan keluhan pasien yang mengalami bradikardia.
seperti mudah lelah, sinkop, dan sesak napas (Boom & Widyapuspita, 2019).

Kabel-pacu bisa bersifat unipolar, bipolar atau multipolar. Kabel-pacu


umumnya diletakkan di appendage atrium kanan, ventrikel kanan (RV), atau pada
tipe alat 2 ruang, pada keduanya. Pada kabel-pacu bipolar, kedua anoda dan
katoda berada pada kabel-pacu yang sama, sedangkan pada model unipolar,
generator pulsasi bertindak sebagai anoda, dan kabel-pacu sebagai katoda. Model
bipolar lebih banyak digunakan karena lebih tahan terhadap gangguan
elektromagnetik/ electromagnetic interference (EMI).

3.3.2 Indikasi dan Kontra Indikasi


Alat pacu jantung dapat dipasang secara permanen maupun sementara, dan
indikasi pemasangannya pun makin berkembang. Alat ini dapat digunakan
melalui beberapa cara, mulai dari pemakaian lempeng eksternal, pemasangan
darurat kabel-pacu lewat akses vena sentral/ central vein catheter (CVC), hingga
pemasangan kabel-pacu permanen intrakardiak bersama generator pulsasi. (Dalia,
2022)

3.3.3.1 Indikasi

Indikasi paling umum untuk implantasi alat pacu jantung permanen adalah
disfungsi sinus node (SND) dan blok atrioventrikular (AV) derajat tinggi.
Pedoman implantasi alat pacu jantung telah ditetapkan oleh gugus tugas yang
dibentuk bersama oleh American College of Cardiology (ACC), American Heart
Association (AHA), dan Heart Rhythm Society (HRS). European Society of
Cardiology telah menetapkan pedoman serupa. ACC/AHA/HRS membagi
indikasi implantasi alat pacu jantung menjadi 3 kelas khusus (Dalia, 2022):

- Kelas I: Ini adalah kondisi di mana implantasi alat pacu jantung dianggap perlu
dan bermanfaat (manfaatnya jauh lebih besar daripada risikonya).
- Kelas II: Ini adalah kondisi di mana penempatan diindikasikan, tetapi ada bukti
yang bertentangan atau perbedaan pendapat. Di Kelas IIa bobot bukti
mendukung kemanjuran (manfaat lebih besar dari risiko), sedangkan di kelas
IIb, kemanjuran kurang mapan (manfaat lebih besar atau sama dengan risiko).
- Kelas III: Ini adalah kondisi di mana alat pacu jantung permanen tidak
dianjurkan, dan dalam beberapa kasus, mungkin berbahaya (risiko lebih besar
daripada manfaatnya).
a. Disfungsi Nodus Sinus
a) Kelas I :
- Sinus bradikardia simtomatik yang terdokumentasi termasuk sinus pause
yang sering yang menghasilkan gejala dan sinus bradikardia simtomatik
yang dihasilkan dari terapi obat yang diperlukan untuk kondisi medis.
- Inkompetensi kronotropik simtomatik (kegagalan untuk mencapai 85% dari
detak jantung maksimal yang tergantung usia selama tes stres formal atau
informal atau ketidakmampuan untuk meningkatkan detak jantung yang
sesuai dengan usia selama aktivitas kehidupan sehari-hari)
b) Kelas II
- Sinus bradikardia dengan denyut jantung kurang dari 40, tetapi tidak ada
hubungan yang jelas antara gejala dan bradikardia
- Sinkop yang tidak dapat dijelaskan ketika kelainan fungsi sinus node yang
signifikan secara klinis ditemukan atau diprovokasi dalam studi
elektrofisiologi (EP)
- Pasien dengan gejala minimal dengan denyut jantung kronis kurang dari 40
saat terjaga

b. Blok AV didapat
a) Kelas I
- Blok AV derajat tiga lengkap dengan atau tanpa gejala.
- Blok AV derajat kedua yang simtomatik, Mobitz tipe I dan II
- Blok AV derajat kedua atau ketiga yang diinduksi oleh olahraga tanpa
adanya infark miokard
- Mobitz II dengan kompleks QRS melebar
b) Kelas II
- Mobitz tipe II tanpa gejala dengan kompleks QRS sempit.
- Blok AV derajat pertama bila ada gangguan hemodinamik.
- Blok AV derajat kedua tanpa gejala pada tingkat Intra atau Infra-His
ditemukan dalam studi EP

c. Blok bifasikular konik


a) Kelas I
- Blok AV derajat dua lanjutan atau blok AV derajat tiga intermiten
- Blok cabang-bundel bergantian
- Blok AV derajat dua tipe II.
b) Kelas II
- Pada pasien yang mengalami sinkop yang tidak terbukti disebabkan oleh
blok AV ketika kemungkinan penyebab lain telah disingkirkan, khususnya
takikardia ventrikel (VT)
- Temuan insidental pada studi EP dari interval HV yang sangat memanjang
(lebih dari 100 ms) atau blok infra-His yang diinduksi pacing pada pasien
tanpa gejala. Interval HV adalah waktu konduksi dari berkas His yang
terletak tepat di bawah nodus AV hingga onset aktivasi ventrikel pertama
yang dapat diidentifikasi.
- Dapat dipertimbangkan pada pasien dengan penyakit neuromuskular seperti
distrofi otot myotonic, distrofi Erb dan distrofi otot peroneal dengan blok
bifascicular atau blok fasikular, dengan atau tanpa gejala

d. Setelah fase infark myokard akut


a) Kelas I
- Blok AV derajat kedua yang persisten dalam sistem His-Purkinje dengan
blok cabang berkas bergantian atau blok AV derajat ketiga di dalam atau di
bawah sistem His-Purkinje setelah elevasi segmen ST MI (STEMI)
- Blok AV infranodal derajat kedua atau ketiga tingkat lanjut sementara dan
blok cabang berkas terkait
- Blok AV derajat kedua atau ketiga yang persisten dan simtomatik
b) Kelas II
- Blok AV derajat kedua atau ketiga persisten tanpa gejala pada tingkat
nodus AV.

e. Neurockardigenik sinkop dan sindrom hipersensitif sinus carotis


a) Kelas I
- Sinkop berulang yang disebabkan oleh stimulasi sinus karotis yang terjadi
secara spontan dan tekanan sinus karotis yang menginduksi asistol
ventrikel lebih dari 3 detik
b) Kelas I
- Wajar pada pasien yang mengalami sinkop tanpa kejadian yang jelas dan
provokatif, dan dengan respons kardioinhibitor hipersensitif selama 3 detik
atau lebih
- Dapat dipertimbangkan untuk sinkop neurokardiogenik simtomatik yang
signifikan terkait dengan bradikardia yang didokumentasikan secara
spontan atau pada saat pengujian tilt-table

f. Post transplantasi jantung


a) Kelas I
- Untuk bradikardia yang tidak tepat atau simtomatik yang persisten tidak
diharapkan untuk sembuh dan untuk indikasi kelas I lain dari permanent
pacing.
b) Kelas II
- Dapat dipertimbangkan bila bradikardia relatif berkepanjangan atau
berulang, yang membatasi rehabilitasi atau pemulangan setelah pemulihan
pascaoperasi.
- Dapat dipertimbangkan untuk sinkop setelah transplantasi jantung bahkan
ketika bradikardia belum didokumentasikan.

g. Hipertrofi kardiomiopati
a) Kelas I
- Pasien dengan hipertrofi kardiomiopati yang mengalami disfungsi nodus
sinus dan blok AV
- Dapat dipertimbangkan pada pasien simtomatik refrakter dengan hipertrofi
kardiomiopati dan dengan istirahat yang signifikan atau obstruksi aliran
keluar ventrikel kiri yang diprovokasi

h. Cardiac Resynchronization Therapy (CRT) pada pasien gagal jantung sistolik


berat
a) Kelas I
- Pasien dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri (LVEF) kurang dari atau sama
dengan 35%, irama sinus, LBBB (blok cabang berkas kiri), gejala New
York Heart Association (NYHA) Kelas II, III atau IV saat menjalani terapi
medis optimal dengan Durasi QRS lebih dari atau sama dengan 150 ms,
CRT dengan atau tanpa ICD diindikasikan.

b) Kelas II
- LVEF kurang dari atau sama dengan 35%, irama sinus, LBBB dengan
gejala NYHA Kelas III atau IV selama terapi medikamentosa optimal dan
durasi QRS 120 hingga 149 ms, dianjurkan CRT dengan atau tanpa ICD.
- LVEF kurang dari atau sama dengan 35%, irama sinus, pola non-LBBB
dengan QRS lebih besar atau sama dengan 150 ms, dan gejala NYHA
kelas III/kelas IV rawat jalan pada GDMT Berguna pada pasien dengan
fibrilasi atrium dan
- LVEF kurang dari atau sama dengan 35% pada GDMT jika pasien
memerlukan pemacuan ventrikel atau memenuhi kriteria CRT dan ablasi
nodus AV atau kontrol laju farmakologis akan memungkinkan pemacuan
ventrikel mendekati 100% dengan CRT
- LVEF kurang dari atau sama dengan 35%, NYHA kelas III atau IV selama
terapi medis optimal dan yang sering bergantung pada pacu jantung, CRT
masuk akal.

i. Penyakit Jantung Kongenital


a) Kelas I
- Untuk blok AV derajat kedua atau ketiga lanjut yang terkait dengan
bradikardia simtomatik, disfungsi ventrikel, atau curah jantung rendah;
juga untuk blok AV derajat kedua atau ketiga lanjut yang diperkirakan
tidak akan sembuh atau bertahan selama 7 hari atau lebih setelah operasi
jantung
- Untuk disfungsi nodus sinus dengan korelasi gejala selama usia
bradikardia yang tidak tepat
- Blok AV derajat tiga kongenital dengan irama lepas QRS lebar, ektopi
ventrikel kompleks, atau disfungsi ventrikel
- Blok AV derajat tiga kongenital pada bayi dengan laju ventrikel kurang
dari atau sama dengan 55 bpm atau dengan penyakit jantung kongenital
dengan laju ventrikel kurang dari atau sama dengan 70 bpm
b) Kelas II
- Untuk pasien dengan penyakit jantung bawaan dan bradikardia sinus untuk
pencegahan episode berulang takikardia re-entrant intra-atrium; disfungsi
sinus node mungkin intrinsik atau sekunder untuk pengobatan antiaritmia.
- Untuk blok AV derajat tiga kongenital setelah tahun pertama kehidupan
dengan rata-rata denyut jantung kurang dari 50 bpm, jeda mendadak pada
denyut ventrikel yang 2 atau 3 kali panjang siklus dasar, atau berhubungan
dengan gejala akibat inkompetensi kronotropik.
- Dapat dipertimbangkan untuk blok AV derajat tiga pasca operasi
sementara yang kembali ke irama sinus dengan blok bifascicular residual.
- Dipertimbangkan untuk bradikardia sinus asimtomatik setelah perbaikan
biventrikular penyakit jantung bawaan pada pasien dengan denyut jantung
istirahat kurang dari 40 bpm atau dengan jeda dalam denyut ventrikel lebih
dari 3 detik

3.1.2.2. Kontraindikasi

Seperti pada prosedur lainnya, pemasangan alat pacu jantung harus dipilih
dengan bijak untuk pasien tertentu. Ada situasi di mana pemasangan alat pacu
jantung tidak bermanfaat atau tidak cukup data untuk mendukung penggunaannya.
Ini kadang-kadang juga disebut indikasi kelas III dalam pedoman
ACC/AHA/HRS atau pedoman European Society of Cardiology.

- Bradikardia sinus tanpa gejala yang signifikan; blok AV derajat pertama tanpa
gejala.
- Blok AV yang diharapkan dapat sembuh dan tidak mungkin kambuh misalnya
toksisitas obat, penyakit Lyme, atau peningkatan sementara tonus vagal
- Alat pacu jantung tidak diindikasikan untuk disfungsi nodus sinus pada pasien
dengan gejala yang mengarah ke bradikardia yang telah didokumentasikan
terjadi bahkan dengan tidak adanya bradikardia.
- AV blok morbit 2 derajat 1 tanpa gejala
- Interval RR yang memanjang tanpa gejala dengan atrial fibrilasi atau penyebab
lain dari jeda ventrikel sementara
- Respons kardioinhibitor hipersensitif terhadap stimulasi sinus karotis tanpa
adanya gejala atau dengan adanya gejala yang tidak jelas seperti pusing,
pusing, bradikardia asimtomatik selama tidur
- CRT tidak diindikasikan pada pasien yang status fungsional dan harapan hidup
dibatasi terutama oleh kondisi non-jantung
- Blok cabang berkas kanan dengan deviasi sumbu kiri tanpa sinkop atau gejala
lain yang sesuai dengan blok AV intermiten
- Sindrom long QT atau Torsade de pointes karena penyebab reversibel
- Adanya jalur aksesori yang memiliki kapasitas untuk konduksi anterograde
yang cepat
- Pasien dengan gejala NYHA kelas I atau II dan pola non-LBBB dengan durasi
QRS kurang dari 150 ms

3.3.3 Prosedur Pemasangan


a. Perlengkapan

Perlengkapan Implantasi APJP dapat dilakukan di laboratorium


elektrofisiologi, laboratorium kateterisasi, atau kamar operasi (Garcia, 1999).
Implantasi APJP oleh ahli elektrofisiologi di laboratorium elektrofisiologi atau
laboratorium kateterisasi berdampak pada penurunan biaya dan lama perawatan di
rumah sakit (Yamamura, 1999).

Personel minimal yang dibutuhkan untuk implantasi APJP terdiri atas


operator, perawat pendamping, dan perawat sirkulasi atau teknisi. Perawat
pendamping diperlukan untuk membantu operator selama prosedur. Perawat
sirkulasi atau teknisi dibutuhkan untuk mempersiapkan dan memasukkan obat-
obatan, serta untuk mengoperasikan pacing system analyzer.

Fluoroskopi dan EKG adalah peralatan yang diperlukan pada semua


implantasi alat. Fluoroskopi satu bidang pada pandangan anteroposterior, RAO
(right anterior oblique) 30° dan LAO (left anterior oblique) 45° biasanya sudah
cukup untuk implantasi transvena dengan pendekatan pektoral kanan maupun kiri.
Saat ini, pengukuran gelombang dan pemacuan awal dari kabel-pacu didapatkan
dari pacing system analyzer, yang bisa merupakan alat tersendiri atau menjadi
satu dengan komputer pemrogram.
Gambar 3. 8 Pacing System Analyzer dan komputer pemrogram

Selain dari alat fluoroskopi dan monitor tanda vital, juga diperlukan satu
set instrumen bedah steril. Diperlukan benang jahit dengan bahan yang tidak
diserap untuk fiksasi kabel-pacu dan alat serta bahan yang diserap untuk
penutupan kantung dan hemostasis. Antibiotika dan cairan salin untuk irigasi
kantung harus tersedia. Bila akan dilakukan venografi, cairan kontras intravena
yang tepat harus tersedia.

b. Persiapan pasien

Sebelum implantasi APJP, persetujuan tindakan harus didapatkan secara


tertulis. Risiko dan manfaat yang diantisipasi harus didiskusikan secara
menyeluruh dengan pasien atau keluarga pasien. Indikasi dari pemacuan harus
dijelaskan kepada pasien. Perlunya pemantauan seumur hidup harus ditekankan
dan pasien harus diberitahukan tentang kemungkinan penggantian generator
maupun kabel-pacu di masa depan. Restriksi fisik dan pekerjaan yang terkait
dengan pemasangan APJP, termasuk aturan mengenai berkendaraan harus
didiskusikan secara rinci dengan pasien.

Pemeriksaan rutin pra-implantasi mencakup EKG 12 sadapan, foto toraks,


pemeriksaan darah lengkap (waktu protrombin dan waktu tromboplastin parsial,
INR/international normalized ratio, elektrolit serum, ureum dan kreatinin serum).
Kebanyakan pasien yang memerlukan APJP mungkin mendapatkan antikoagulan
oral (Giudici, 2004). Praktik implantasi APJP di PJNHK biasanya dilakukan pada
kadar INR <1,5 dan relatif aman. Pada pasien yang mendapatkan terapi warfarin,
aspirin, dan clopidogrel, pembentukan hematom jarang terjadi walaupun sedikit
lebih tinggi pada pasien dengan terapi antiplatelet ganda. Menurut Dreger dkk.
prosedur implantasi Aleka cukup aman pada pasien yang mendapatkan antiplatelet
ganda, tetapi sebaiknya digunakan sistem drainase (Dreger, 2010).

Praktik rutin di PJNHK dengan memberikan kombinasi ampicillin-


sulbactam 1 jam dengan dosis 1,5 gram pra-prosedur, dilanjutkan dengan dosis
2x1,5 gram hingga hari ketiga, berhasil memberikan angka infeksi yang sangat
rendah (<1%). Implantasi APJP biasanya menggunakan kombinasi anestesia lokal
dan sedasi ringan. Infiltrasi kulit dan jaringan subkutan pada regio implantasi
dengan bupivakain hidroklorida 0,5% umumnya memberikan kenyamanan yang
baik pada mayoritas pasien di PJNHK. Kadang-kadang diperlukan sedasi ringan
menggunakan midazolam. Pada pasien yang sangat tidak kooperatif, anestesia
umum mungkin diperlukan.

Saat masuk ke ruang prosedur, pasien biasanya dibaringkan dengan lengan


dirapatkan dan alat-alat monitor fisiologis (EKG, oksimetri, dan alat tensi non-
invasif) harus segera dipasang untuk mendeteksi aritmia atau abnormalitas
hemodinamik. Persiapan lapangan prosedur juga penting untuk meminimalkan
komplikasi.

c. Teknik akses vena sentral

Gambar 3. 9 (A) Pilihan jalur pemasangan pacu jantung intravena; (B) Lokasi kabel-pacu
intrakardiak (Boom & Widyapuspita, 2019)

Vena target dapat diakses dengan visualisasi langsung menggunakan


teknik cut down (biasanya vena sefalika). Alternatif lain adalah vena sentral
(subklavia, aksilaris atau jugularis interna) diakses dengan pendekatan punksi
perkutan. Pada pasien yang secara teknis sulit karena marka permukaannya
mengalami deviasi, fluoroskopi singkat dapat membantu mengurangi waktu
prosedur dan komplikasi yang terkait dengan akses vena.

Vena sefalika yang digunakan pada teknik cut down terletak pada sulkus
antara muskulus deltoideus dan pektoralis (sulkus deltoidopektoralis). Area ini
sangat mudah diidentifikasi dengan palpasi dan terdiri atas jaringan-jaringan ikat
longgar dan lemak, yang dapat disingkirkan untuk menemukan vena sefalika.
Kadang-kadang, vena terletak sangat dalam atau hanya berupa pleksus vena-vena
kecil. Pada situasi ini, rute lain harus digunakan untuk memasukkan kabel-pacu.
Setelah isolasi vena sepanjang 1-2 cm di dalam ceruk, bagian distalnya diikat kuat
dengan benang catgut. Ligator juga diletakkan secara bebas di bagian proksimal
dari vena untuk kontrol hemostasis. Vena lalu dapat diakses dengan venotomi dan
cangkul vena kemudian kabel-pacu langsung dimasukkan apabila ukuran vena
sefalika cukup besar. Alternatifnya, vena diakses dengan menggunakan kateter
intravena perifer no.16 atau no.18 untuk memasukkan kawat-pandu.

Gambar 3. 10 Isolasi vena sefalika. Tampak posisi vena sefalika di dalam sulkus
deltoideopektoralis

Punksi vena subklavia adalah teknik pilihan pertama untuk kebanyakan


operator. Jarum punksi diarahkan ke fossa suprasternalis dan menyusuri bagian
bawah tulang subklavia sambil melakukan aspirasi, hingga vena terkanulasi.
Sesekali, venografi mungkin diperlukan untuk visualisasi atau konfirmasi patensi
vena. Dengan pendekatan ini kejadian pneumotoraks minimal.

Selain vena subklavia, vena aksilaris juga dapat dipakai sebagai akses
secara punksi perkutan dengan menusuk otot pektoralis, sisi medial dari tonjolan
akromion pada fluoroskopi anteroposterior. Jarum kemudian diarahkan ke titik
pertemuan antara batas lateral dari iga pertama dengan batas inferior dari
klavikula. Alternatifnya, vena aksilaris dapat diakses dengan venografi kontras.

Tabel 3. 1 Keuntungan dan kerugian berbagai akses vena


Vena sefalika Vena subklavia Vena aksilaris

Kemampuan bedah Sangat diperlukan Rata-rata Rata-rata

Risiko pneumotoraks <0,1% 1-2% <0,1%

Risiko rusaknya kabel-pacu Sangat rendah Paling tinggi Rendah

Jumlah fluoroskopi yang diperlukan Minimal Minimal Lebih banyak dibanding 2


metode lain

Kemudahan memasukkan kabel- pacu Kemungkinan sulit Lebih mudah Paling mudah
multiple

Kemudahan ekstraksi jika diperlukan Kemungkinan sulit Lebih mudah Lebih mudah

Setelah akses vena didapatkan, kawat-pandu dimasukkan melalui jarum


punksi dan ujung kawat-pandu diposisikan pada atrium kanan atau area vena cava
dengan bantuan fluoroskopi. Jarum kemudian dikeluarkan, dan kawat-pandu tetap
pada posisinya. Bila terdapat indikasi, akses kawat-pandu atau kabel-pacu kedua
dapat dilakukan dengan cara yang sama.

d. Pembentukan kantung

Walaupun kantung dapat juga dibuat di daerah aksila atau abdomen (untuk
sistem pemacuan epikardial atau femoral), lokasi yang paling sering digunakan
adalah daerah pektoralis. Pada pendekatan pektoralis, insisi sepanjang 4-5 cm
dibuat pada area infraklavikular, secara horisontal (H), oblik (O), atau
deltopektoral (DP). Insisi oblik, yang rutin dilakukan di PJNHK, mirip dengan
insisi horisontal, tetapi sejajar dengan garis Langer sehingga dampak jaringan
parut tidak terlalu kentara dan efek kosmetik lebih baik (Rajappan, 2009).
Kantung kemudian dibuat dengan diseksi tumpul sesuai ukuran alat pacu.
Gambar 3. 6 Variasi lokasi insisi kulit untuk pembuatan kantung pacu jantung.

e. Peletakan kabel-pacu atrial dan ventrikular

Melalui kawat-pandu, dimasukkan peel-away sheath dan dilator ke dalam


vena kemudian kawat-pandu dan dilator dikeluarkan dan sheath dibiarkan pada
tempatnya. Sebuah stilet dimasukkan melalui kanal di tengah kabel-pacu untuk
membuatnya lebih kaku kemudian kabel-pacu dimasukkan ke dalam kamar
jantung yang sesuai melalui sheath dengan panduan fluoroskopi. Biasanya kabel-
pacu ventrikular diposisikan terlebih dahulu sebelum kabel-pacu atrial untuk
mencegah terjadinya pergeseran. Dengan membuat sebuah lengkungan pada ujung
stilet, ujung kabel-pacu ventrikular akan lebih mudah dimanuver sehingga dapat
melewati katup trikuspid dengan lancar dan diposisikan di apeks atau alur keluar
ventrikel kanan. Kelebihan dan kekurangan masing-masing posisi kabel-pacu,
telah dibahas oleh berbagai studi dan dirangkum dalam tabel berikut:

Setelah posisi sudah tepat, kabel-pacu kemudian difiksasi ke endokardium


secara pasif dengan kait atau secara aktif dengan sekrup heliks pada ujung. Sekrup
pada ujung kabel-pacu dapat keluar masuk dengan memutar ujung luar kabel-
pacu. Ekstensi sekrup yang adekuat dapat dikonfirmasi dengan fluoroskopi. Tiap
produsen alat memiliki marka identifikasi masing-masing untuk memastikan
ekstensi sekrup.

Setelah kabel-pacu dalam posisi aman, introducer sheath dikupas secara


hati- hati sehingga kabel-pacu tidak terlepas lagi. Setelah stilet dilepas dari dalam
kabel- pacu, nilai ambang pemacuan dan penilikan serta impedansi diukur dengan
PSA dan pemacuan juga dilakukan pada 10 V untuk memastikan bahwa tidak
terjadi stimulasi diafragma. Setelah konfirmasi posisi dan nilai ambang, ujung
proksimal dari kabel- pacu difiksasi ke jaringan sekitarnya (pektoralis) dengan
benang silk yang dijahitkan pada kerah kabel (sleeve)

Bila direncanakan untuk implantasi APJP kamar ganda, atau diperlukan


pemasangan kabel-pacu atrial, dapat dilakukan dengan memasukkan introducer
sheath kedua dengan bantuan kawat pandu kedua kemudian kabel-pacu umumnya
ditempatkan pada aurikel atrium kanan dengan bantuan stilet bentuk J. Pada
pasien yang tidak memiliki aurikel akibat bedah jantung sebelumnya, kabel-pacu
dapat diposisikan secara medial atau di dinding bebas lateral dari atrium kanan.
Langkah selanjutnya sama dengan pemasangan kabel-pacu ventrikular.

f. Koneksi kabel-pacu dan penyelipan generator ke dalam kantung

Saat kabel-pacu sudah diposisikan dengan tepat dan telah diuji serta dijahit
ke jaringan, kantung pacu jantung diirigasi dengan larutan antibiotika dan
generator kemudian dikoneksikan lalu dikunci ke kabel-pacu. Kebanyakan
operator mengamankan generator ke jaringan dengan benang silk untuk mencegah
migrasi atau sindrom Twiddler. Umumnya alat diletakkan diatas otot pektoralis
namun kadang-kadang diperlukan posisi subpektoral atau inframammary. Setelah
hemostasis yang baik, disarankan untuk melihat fluoroskopi sebelum penutupan
luka insisi untuk memastikan posisi kabel-pacu masih pada tempatnya.

g. Penutupan Kantung

Luka insisi dijahit lapis demi lapis dengan benang serap dan kulit dijahit
dengan benang silk. Luka ditutup dengan perban steril. Restriksi gerakan lengan
sangat disarankan selama pasien dirawat.

h. Perawatan pasca-prosedur

Tingkat nyeri umumnya rendah setelah prosedur selesai, dan pasien dapat
diberikan obat anti nyeri bilamana diperlukan. Terdapat kontroversi mengenai
penggunaan rutin dari antibiotika intravena atau oral setelah prosedur. Foto toraks
posisi anteroposterior dan lateral biasanya diambil untuk mengkonfirmasi posisi
kabel-pacu dan menyingkirkan pneumotoraks sebelum pasien dipulangkan pada
hari ketiga.

3.3.4 Tipe Alat pacu Jantung


Pilihan alat pacu jantung yang digunakan tergantung pada banyak faktor,
termasuk patofisiologi yang mendasari, usia pasien, tingkat aktivitas dan ritme
yang mendasarinya (Kumar dan Clark, 2003; Vardas et al, 2007). Ada beberapa
jenis APJP yang tersedia yang memacu berbagai ruang jantung, umumnya dikenal
sebagai:

Gambar 3. 7 Posisi Lead APJP

a. Single Chamber
Alat pacu jantung ruang tunggal akan memacu baik atrium atau ventrikel.
Misalnya alat pacu jantung atrium atas permintaan (AAI) akan memacu dan
merasakan atrium. Pacing terhambat ketika mendeteksi ritme intrinsik pasien
(irama jantung alami) (Mills, 2005). Jenis alat pacu jantung ini mengharuskan
pasien untuk memiliki sistem konduksi yang utuh dan AV node yang berfungsi
(Mills, 2005).
Alat pacu jantung ruang tunggal yang memacu ventrikel (misalnya VVI)
bekerja dengan memacu dan merasakan ventrikel. Manfaat utamanya adalah
untuk pasien yang membutuhkan pacu jantung intermiten atau mereka yang
mengalami blok jantung total (Kenny, 2007). Jenis alat pacu jantung ini tidak
mempengaruhi aktivitas atrium, sehingga kontribusi “atrial kick” terhadap curah
jantung (tambahan 15-30%) mungkin hilang (Mills, 2005).
Hal ini terlihat pada Gambar 5, yang menunjukkan pasien dengan ritme
intrinsik dan kecepatan ventrikel. Garis di bawah EKG adalah bentuk gelombang
tekanan, yang diredam saat ventrikel dipacu, menunjukkan efek hilangnya
“atrial kick” pada tekanan pasien.
Masalah lain dengan kurangnya sinkronisasi ini adalah bahwa insufisiensi
mitral atau trikuspid dapat berkembang. Jenis alat pacu jantung ini biasanya
diresepkan untuk pasien yang menjalani gaya hidup yang lebih menetap (Mills,
2005).

Gambar 3. 8 Pacuan ventrikel dengan ritme intrinsik menunjukkan hilangnya “atrial kick” saat
memacu.

b. dual chamber/sequential A-V


Pacu jantung dua ruang telah terbukti menghasilkan manfaat kecil namun
berpotensi signifikan bagi pasien dengan sindrom sinus sakit (SSS) dan/atau blok
atrioventrikular (AV), bila dibandingkan dengan alat pacu jantung ventrikel
ruang tunggal (Castelnuovo et al, 2005). Alat pacu jantung ruang ganda sering
diberikan kepada pasien yang lebih aktif atau lebih muda (Castelnuovo et al,
2005). Tinjauan sistematis menemukan peningkatan statistik yang signifikan
dalam kapasitas latihan pasien ketika diberikan alat pacu jantung dua ruang
dibandingkan dengan alat pacu jantung ruang tunggal. (Castelnuovo dkk, 2005).
Alat pacu jantung ruang ganda merespons setiap stimulasi atrium dan
mengaktifkan ventrikel ketika ini tidak terjadi secara alami memastikan
sinkronisasi A-V (Mills, 2005).
c. bi-ventricular
Juga dikenal sebagai terapi resinkronisasi jantung (CRT) digunakan
untuk pengobatan gagal jantung ketika pasien memenuhi kriteria yang diperlukan
(Tabel 3). Underwood (2004) menggambarkan gagal jantung sebagai kondisi yang
relatif umum dengan prognosis yang buruk, ditandai dengan penurunan curah
jantung yang mengakibatkan under-filling arteri, menyebabkan tubuh menahan
cairan, sehingga meningkatkan volume cairan. Hal ini dapat menyebabkan
kongesti vena sistemik dan edema paru.
CRT menggunakan tiga sadapan yang ditempatkan di atrium kanan,
ventrikel kanan, dan sepertiga melewati sinus koroner untuk memacu ventrikel
kiri dari belakang (Johnson dan RawlingsAnderson, 2007) (Gambar 6). Timbal
tidak langsung masuk ke ventrikel kiri karena risiko tromboemboli dan/atau
gangguan pada katup aorta, menimbulkan risiko yang tidak dapat diterima pasien
(Timperley et al, 2008). CRT mencoba meningkatkan efisiensi kerja pemompaan
jantung dengan 'menyinkronkan ulang' aksi pemompaan ruang jantung (Fox et al,
2007). Ini bekerja dengan meningkatkan kontraksi ventrikel dengan merangsang
ventrikel kanan dan kiri, meningkatkan curah jantung, pengisian ventrikel kiri
diastolik dan fraksi ejeksi (Timperley et al, 2008)

Gambar 3. 9 single lead positioned in the right Gambar 3. 10 fluoroskopi posisi sadapan bi-
ventricle ventrikular

3.3.5 Mode Alat Pacu Jantung Permanan


Sebuah metode singkatan umum untuk mengacu pada alat pacu jantung
muncul pada tahun 1974 dan telah direvisi beberapa kali sejak oleh organisasi
yang berbeda sampai kode saat ini dirancang oleh he North American Society of
Pacing and Electrophysiology and British Pacing and Electrophysiology Group
came into use (usually referred to as the NBG codes) (Kenny, 2007) Sistim kode
ini berisi sistim 5 posisi dengan sebuah huruf di tiap posisi untuk menggambarkan
fungsi program antibradikardia, denyut adaptif dan pemacuan multi lokasi. Huruf
pertama dalam kode sesuai dengan ruangan yang di pacu bisa berupa atrium,
ventrikel atau keduanya. Huruf kedua sesuai dengan ruang dari mana impuls
dirasakan. Huruf ketiga menunjukkan respons terhadap sinyal yang dirasakan.
Kolom keempat dan kelima adalah fitur tambahan yang dapat diprogram.
Misalnya kode seperti VVIR menyiratkan bahwa ventrikel dipacu, ventrikel
dirasakan dan alat pacu jantung tidak akan aktif jika mendeteksi ritme intrinsik
pasien sendiri dan kecepatannya akan berubah tergantung pada kebutuhan pasien
(Mills, 2005). Respon kecepatan menyesuaikan kecepatan pacu berdasarkan
tingkat aktivitas pasien, alat pacu jantung dapat merasakan peningkatan aktivitas
ini dalam berbagai cara, termasuk; getaran, peningkatan laju respirasi dan
perubahan suhu darah (Houghton dan Grey, 2003).

Tabel 3. 2 Mode pada APJP

Single Chamber
VVI(R) Single chamber. Ventricular pacing (V), ventricular sensing (V), inhibited
by intrinsic ventricular rhythms (I) and rate adaptive function available (R)
AAI(R) Single chamber. Atrial pacing (A), atrial sensing (A), inhibited by intrinsic
ventricular rhythms (I) and rate adaptive function available (R).

Dual Chamber
Dual chamber. Atrial and ventricular pacing (D), atrial and ventricular
sensing (D), inhibited by intrinsic atrial and ventricular rhythms as well as
atrium triggering ventricle after a programmable atrio-ventricular delay
(D) and rate adaptive function available (R).
VDD Dual chamber. Ventricular pacing (V), atrial and ventricular sensing as
well as atrium triggering ventricle after a programmed atrio-ventricular
delay (D). Rate adaptive function (R) rarely required as it results in VVIR
pacing.
DDI(R) Dual chamber. Atrial and ventricular pacing (D), atrial and ventricular
sensing (D) with limited atrio-ventricular synchrony, resulting in lower
rate ventricular pacing irrespective of the intrinsic atrial rate (I) and rate
adaptive function available (R).

3.3.6 Gambaran EKG Normal pada Alat Pacu Jantung


Indikator utama alat pacu jantung pada EKG adalah adanya pacing spike, atau
dikenal sebagai artefak pacing. Paku ini terjadi saat alat pacu jantung
mengirimkan impuls listrik ke otot jantung (Mills, 2005). Lokasi pacing spike (s)
menunjukkan ruang mana yang sedang dipacu (Gambar 7). Pacing ventrikel
menyebabkan kompleks QRS yang luas pada EKG karena impuls listrik tidak
berjalan melalui jalur konduksi cepat yang normal (Houghton dan Grey, 2003).

Semua rangkaian listrik memiliki dua kutub: kutub positif yang disebut
anoda, dan kutub negatif yang disebut katoda. Sadapan uni-polar memiliki kutub
pada kabelnya sendiri sedangkan kabel bi-polar memiliki dua kutub pada
kabelnya. Sirkuit besar yang dibuat oleh lead uni-polar menyebabkan lonjakan
pacing yang besar pada EKG permukaan, sirkuit bi-polar yang lebih kecil
menyebabkan lonjakan pacing yang lebih kecil pada EKG (Kenny, 2007). Gambar
1 menunjukkan kecepatan unipolar dan bipolar. Ukuran artefak stimulus unipolar
dan bipolar bergantung pada tegangan yang diprogram dan bervariasi dengan
siklus pernapasan (Gambar 2A).
Gambar 3. 11 Artefak stimulus alat pacu jantung dalam elektrokardiograf 12 sadapan (EKG).
Kiri: Penampilan osiloskop dari artefak stimulus unipolar. Defleksi awal diikuti oleh kurva
peluruhan eksponensial.
Kanan A: Unipolar dual chamber pacing. Pacu ventrikel berasal dari apeks dengan deviasi
aksis yang ekstrem dan tidak ada gelombang R melintasi sadapan dada. V4 yang diperbesar
menyoroti artefak stimulus besar.
Kanan B: Pasien yang sama, bipolar pacing. Tidak ada artefak stimulus atrium dan ventrikel
yang dilemahkan

a. Atrial pacing

Konfirmasi atrial pacing, terutama bipolar, sulit untuk dipastikan pada EKG.
Karena sadapan ini biasanya diposisikan di dalam appendage yang dekat dengan
nodus sinus, gelombang P seringkali mirip dengan gelombang P sinus (Gambar
2A). Pacu dari posisi atrium yang rendah dekat dengan katup trikuspid dapat
meniru ritme junctional dan sangat berbeda dengan gelombang sinus (Gambar
2B).
Gambar 3. 12 Artefak stimulus alat pacu jantung dalam elektrokardiograf 12 sadapan (EKG).
Atrial sensing (As) dan bipolar pacing (Ap). Monitor Holter pada leads V5, V1 and V3.
Rekaman Holter menunjukkan Ap dari atrial appendage mirip dengan gelombang sinus P (As).
Ukuran artefak stimulus bervariasi dengan siklus pernapasan (panah merah menunjukkan paku
yang semakin kecil).
Ap berdekatan dengan ostium sinus koroner. Gelombang P dari APJP terbalik.

b. Ventricular pacing
QRS APJP lebar dengan regular tingkat pengulangan. Kadang-kadang,
denyut berfusi dapat terjadi ketika tidak ada cukup waktu bagi alat pacu jantung
untuk merasakan penyebaran QRS intrinsik (Gambar 3A). Dengan konduksi
atrio-ventrikular yang utuh, QRS yang berpacu pada ventrikel dapat
menunjukkan gelombang P retrograde karena konduksi ventrikulo-atrial (Gambar
3B).
EKG 12 sadapan sangat membantu dalam mengkonfirmasi lokasi pacu
ventrikel, yang secara tradisional merupakan apeks ventrikel kanan. Ada tampilan
blok cabang berkas kiri dengan gelombang R yang buruk atau tidak ada dari V4
ke V6 (Gambar 1). Impuls apikal disebarkan melalui kedua ventrikel secara
retrograde, menghasilkan deviasi sumbu kiri atau ekstrim (Gambar 1). Ventrikel
kanan juga dapat dipacu dari tempat nonapikal. Gelombang R berkembang di V4
hingga V6, karena posisi sadapan berkembang lebih unggul di rongga ventrikel
kanan, sedangkan aksis menjadi lebih normal (Gambar 4) [3].
Saat ini, indikasi non-bradiaritmia yang mapan untuk pasien rawat inap
pemacu jantung dengan kardiomiopati kongestif adalah terapi resinkronisasi
jantung menggunakan pacing biventrikular. Secara klinis, untuk keuntungan
maksimal, ventrikel kiri biasanya berjarak sekitar 40 sampai 80 ms sebelum
ventrikel kanan, menghasilkan tampilan blok cabang berkas kanan pada EKG
(Gambar 5) [4]. Dua artefak stimulus ventrikel sering dapat diidentifikasi,
meskipun saat ini, pacu jantung multipolar ventrikel kiri dapat menghasilkan
lebih dari satu artefak stimulus ventrikel kiri.

Gambar 3. 13 Artefak stimulus alat pacu jantung lead ventrikel


A. Ventrikel unipolar menghambat pacu dengan fusi. Dua ketukan pertama adalah merupakan
pacu, dua sinus terakhir. Kompleks tengah adalah fusi beats. Denyut sinus meningkat secara
bertahap, tetapi terlalu dini untuk dirasakan oleh sadapan pacu ventrikel apikal dan ada artefak
stimulus (panah vertikal merah). Kompleks pertama terutama pacing sedangkan yang kedua
didominasi sinus. Kontribusi masing-masing dapat dinilai dengan ukuran gelombang T.
B. Pacing ventrikel bipolar dengan konduksi retrograde. Gelombang P retrograde di segmen
ST (panah vertikal merah) mengakibatkan atrium berkontraksi melawan katup atrio-
ventrikular yang tertutup. Ada denyut sinus diikuti oleh fusi ventrikel dan tidak ada konduksi
retrograde.

3.1.7 Komplikasi
a. Pneumothorax dan Hematothorax
Ada risiko kecil pneumotoraks (1-2%) ketika vena subklavia digunakan
untuk akses timbal (Timperley et al, 2008). Sesak napas dan peningkatan nyeri
saat inspirasi dapat terjadi setelah pneumotoraks/haemothorax. Gejala lain dapat
mencakup peningkatan laju pernapasan dan sianosis (Leach, 2004). Hal ini dapat
menyebabkan kebutuhan untuk memasukkan drainase dada (Johnson dan
Rawlings-Anderson, 2007). Rontgen dada digunakan sebagai tambahan untuk
pencitraan fluoroskopik—karena sulit untuk mengidentifikasi
pneumotoraks/haemotoraks ketika pasien berbaring, rontgen tegak harus
digunakan (O'Grady, 2007).
b. Infeksi

Infeksi pada luka dapat terjadi. Usaha yang dapat dilakukan untuk
mengurangi risiko infeksi yakni dengan menambahkan antibiotik ke kantong alat
pacu jantung, seperti gentamisin 80 mg (Timperley et al, 2008). Sebagai akibat
dari infeksi tingkat rendah atau cara mekanis lainnya, alat pacu jantung mungkin
mulai menonjol melalui kulit (disebut erosi) (Kumar dan Clark, 2003).
Pemantauan tanda-tanda vital pasien termasuk suhu disertai dengan pemeriksaan
rutin pada lokasi luka untuk pembengkakan, nyeri, kemerahan, peradangan atau
tangisan dapat mengingatkan perawat akan tanda-tanda infeksi.

c. Reentrant Takikardi

Takikardia yang dimediasi alat pacu jantung (PMT) adalah masalah yang
terkait dengan sistem alat pacu jantung dua ruang. Sebuah konduksi retrograde
(dari ventrikel ke atrium) memicu peristiwa loop yang mengakibatkan takikardia
berkelanjutan (Bowbrick dan Borg, 2006) (Gambar 11). Bentuk takikardia ini
tidak disebabkan oleh alat pacu jantung tetapi karena konduksi retrograde (impuls
mundur) alat pacu jantung bertindak sebagai jalan untuk masuknya kembali
impuls listrik, menghasilkan loop takikardia yang tidak pernah berakhir. Hal ini
biasanya dipicu oleh kontraksi ventrikel prematur (Kenny, 2007).
PMT dapat dilihat pada EKG dengan kompleks yang tersusun rapat dan
biasanya dapat dicegah dengan memperpanjang periode refrakter atrium
(pemulihan). Banyak alat pacu jantung dapat mendeteksi PMT dan secara
otomatis memperpanjang periode refrakter atrium selama satu siklus untuk
menghentikan takikardia (Bennett, 2006). PMT dapat menyebabkan
ketidakstabilan hemodinamik. Staf yang terlatih dapat menggunakan magnet
untuk menghentikan sensing atrium, atau sebagai alternatif, alat pacu jantung
dapat diprogram ulang (Bowbrick dan Borg, 2006).

Gambar 3. 14 Reentrant Takikardi

d. Temponade Jantung

Trauma langsung yang ditimbulkan selama prosedur implan dapat


menyebabkan kantung perikardial terisi dengan cairan, menyebabkan peningkatan
tekanan, yang pada gilirannya mencegah pengisian ventrikel dengan benar dan
dapat mengurangi volume sekuncup. Ini adalah keadaan darurat medis dan harus
segera diobati, biasanya melalui pericardiocentesis (memasukkan jarum ke
perikardium dan menyedot cairan). Tanda dan gejala termasuk cegukan terus-
menerus, penurunan kekuatan nadi selama inspirasi, penurunan tekanan darah,
sianosis, distensi vena jugularis, penurunan output urin dan suara jantung yang
terdengar jauh (O'Grady, 2007).

e. Pocket hematoma

Pendarahan ke dalam kantong alat pacu jantung dapat terjadi. Untuk


mengurangi risiko ini, prothrombin time pasien harus kurang dari 1,5 sebelum
implantasi kecuali ada alasan klinis yang memerlukan protrombin time lebih
tinggi (misalnya katup mekanis) (Kumar dan Clark, 2003).

f. Lead Displacement

Sebelum kapsul fibrotik terbentuk untuk menahan sadapan dengan lebih


baik, sadapan dapat berpindah tempat, menyebabkan alat pacu jantung tidak
berfungsi sebagaimana mestinya. Kebanyakan pasien menerima rontgen dada dan
pemeriksaan pacu untuk memastikan posisi lead sebelum dipulangkan (Kumar
dan Clark, 2003).

g. Kelainan Pacu

Terdapat berbagai masalah yang terkait dengan malfungsi alat pacu


jantung (Tabel 4). Untuk tujuan ini pasien biasanya ditempatkan pada monitor
jantung semalaman (holter) dan menerima pengamatan rutin tanda tanda vital
(tekanan darah, denyut nadi dll) untuk memastikan alat pacu jantung berfungsi
sebagaimana dimaksud dan mengidentifikasi potensi gangguan hemodinamik
(O'Grady, 2007). Ketika dihadapkan dengan salah satu masalah ini, penting untuk
memantau tanda-tanda vital pasien. Gambaran EKG 12 sadapan juga harus
diperoleh.

Menempatkan magnet di atas generator denyut akan mengembalikan alat


pacu jantung ke mode asinkron dan dapat digunakan oleh personel yang terlatih
dengan tepat untuk menentukan masa pakai baterai generator denyut, untuk
memungkinkan penggunaan pacu jantung darurat jika alat pacu jantung tidak
berfungsi, mengidentifikasi ruang mana yang sedang di pacu dan menilai
penangkapan. Aplikasi magnet juga dapat digunakan untuk mempercepat pasien
meskipun ada interferensi elektromagnetik (Mills, 2005).
Tabel 3. 3 Tabel X Penyebab utama malfungsi pada pacu jantung

Masalah Penjelasan Efek ke pasien Identifikais

Failure to capture Alat pacu jantung menghasilkan Dapat mengekspos pasien Adanya pacing spike pada EKG tanpa respon atrium atau ventrikel
impuls tetapi gagal memacu dengan kondisi alat pacu yang sesuai
miokardium jantung dimasukkan untuk
mengobati

Failure to pace Tidak ada impuls yang di Dapat menyebabkan penurunan Tidak ada lonjakan pacing atau gelombang P/QRS berikutnya di
hasilkan oleh pacu jantung curah jantung dan penurunan tempat yang diharapkan
tekanan darah berikutnya

Under-sensing Alat pacu jantung gagal Pasien mungkin menyadari Pacing spike terlihat pada EKG di berbagai titik dalam siklus jantung
mendeteksi aktivitas jantung palpitasi atau detak yang tidak tidak sebelum gelombang P atau gelombang QRS seperti yang
interinsik dan pacu tetap berjalan terjawab. Jika pacing spike diharapkan
jatuh pada gelombang T, ini
bisa berbahaya dan
menyebabkan takikardia atau
fibrilasi ventrikel (VT/VF)
yang memerlukan perawatan
darurat
DAFTAR PUSTAKA

Batubara, M. S. (2014). Total Av Block. . Sumatra Utara: Fakultas Kedokteran


Universitas Sumatra Utara.

Bennet DH (2006) Cardiac Arrhythmias: Practical Notes on Interpretation and


Treatment. 7th edn. Hodder Arnold, London

Boom, C. E., & Widyapuspita, O. (2019). Tatalaksana Perioperatif pada Pasien


dengan Cardiac Implantable Electronic Devices (Cieds) atau Alat
Elektronik Kardiovaskular Implan (Aleka). Jurnal Anestesiologi
Indonesia, 81-96.

Bowbrick S, Borg A (2006) ECG complete. Churchill Livingstone, Edinburgh

British Heart Foundation (2008) Living with a heart condition: Pacemakers.


http://tinyurl.com/qsh737(accessed 19 May 2009)

Bucchi, P. A. (2006). Wild-type and mutant HCN channels in. Circ Res, 992-999.

Cardiac Implantable Electronic Devices (Cieds) atau Alat Elektronik


Kardiovaskular Implan (Aleka). Jurnal Anestesiologi Indonesia, 81-96.

Castelnuovo E, Stein K, Pitt M, Garside R, Payne E (2005) The effectiveness and


cost-effectiveness of dual-chamber pacemakers compared with single-
chamber pacemakers for bradycardia due to atrioventricular block or sick
sinus syndrome: systematic review and economic evaluation. Health
Technol Assess 9(43)

Chow V, Ranasinghe I, Lau J, Stowe H, Bannon P, Hendel N, et al. Peri-


procedural anticoagulation and the incidence of haematoma formation
after permanent pacemaker implantation in the elderly. Heart, lung &
circulation. 2010;19(12):706-12

Conover MB (2003) Understanding Electrocardiography. 8th edn. Mosby, St


Louis

Dalia, T. B. (2022). Pacemaker indication . StatPearls Publishing.

Davies A (2007a) Recognizing and reducing interference on 12-lead


electrocardiograms. Br J Nurs 16(13): 800-4

Davies A (2007b) Calculating cardiac axis on a 12-lead ECG. British Journal of


Cardiac Nursing 2(11): 513–7

Dharma, S. (2009). Pedoman praktis sistematika interpretasi EKG. Jakarta: EGC


Driver and Vehicle Licensing Agency (2009) About Medical Standards for
Drivers http://tinyurl.com/olvppq (accessed 19 May 2009)

Ector H and Vardas P for European Heart Rhythm Association, European Society
of Cardiology (2007) Current use of pacemakers, implantable
Cardioverter defibrillators and resynchronization devices: data from the
registry of the European Heart Rhythm Association. Eur Heart J 9(suppl
1): 144–9

Finsterer J, S. C. (2007). Complete heart block associated with noncompaction,


nail-patella syndrome, and mitochondrial myopathy. J Electrocardiol. Oct
2007;40:352-4. Journal Electrocardiol, 352.

Fox M, Mealing S, Anderson R et al (2007) The clinical effectiveness of cardiac


resynchronization (biventricular pacing) for heart failure: systematic
review and economic model. Health Technol Assess 11(47)

Garcia-Bolao I, Alegria E. Implantation of 500 consecutive cardiac pacemakers


in the electrophysiology laboratory. Acta cardiologica. 1999;54(6):339-
43.

Giudici MC, Paul DL, Bontu P, Barold SS. Pacemaker and implantable
cardioverter defibrillator implantation without reversal of warfarin
therapy. Pacing and clinical electrophysiology : PACE.

Kashou, A. H. (2022). Atrioventricular Block. Amerika Serikat: StatPearls


Publishing LLC.

Kenneth A. Ellenbogen GNK, Chu-Pak Lau, and Bruce L. Wilkoff. Clinical


Cardiac Pacing, Defibrillation, and Resynchronization Therapy 4th ed:
Elsevier; 2011.

Kenneth A. Ellenbogen GNK, Chu-Pak Lau, and Bruce L. Wilkoff. Clinical


Cardiac Pacing, Defibrillation, and Resynchronization Therapy 4th ed:
Elsevier; 2011.

Kenny T (2007) The Nuts and Bolts of Cardiac Pacing. Blackwell Futura, Oxford

Khan E (2006) The pathological origins of arrhythmias. British Journal of Cardiac


Nursing 1(9): 408–17

Kumar P, Clark M (2003) Clinical Medicine. 5th edn. WB Saunders, Edinburgh

Leach R (2004) Critical Care Medicine at a Glance. Blackwell Publishing, Oxford

Mills EJ (2005) ECG Interpretation: A 2-in-1 Reference for Nurses. Lippincott,


Williams and Wilkins, Philadelphia
National Institute for Health and Clinical Excellence (2005) Dual-chamber
Pacemakers for Symptomatic Bradycardia due to Sick Sinus Syndrome
and/ or Atrioventricular Block [Technology appraisal 88]. NICE, London

National Institute for Health and Clinical Excellence (2007) Cardiac


Resynchronization Therapy for the treatment of Heart Failure.
[Technology appraisal 120]. NICE, London

O’Grady E (2007) A Nurse’s Guide to Caring for Cardiac Intervention Patients.


John Wiley & sons Ltd, Sussex

Rajappan K. Permanent pacemaker implantation technique: part I: arrhythmias.


Heart (British Cardiac Society). 2009;95(3):259-64.

Rajappan K. Permanent pacemaker implantation technique: part II. Heart (British


Cardiac Society). 2009;95(4):334-42.

Schoenfeld MH (2007) Contemporary pacemaker and defibrillator device therapy:


Challenges confronting the general cardiologist. Circulation 115: 638-
653

Stain N (2008) Home monitoring for ICDs and Pacemakers. Coronary Heart 10:
24–7

Swanton RH, Banerjee S (2008) Swanton’s Cardiology. 6th edn. Blackwell


Publishing, Massachusetts

Timperley J, Leeson P, Mitchell RJ, Betts T (2008) Pacemakers and ICDs. Oxford
University Press, Oxford

Underwood JCE (2004) General and Systematic Pathology. 4th edn. Churchill
Livingstone, Edinburgh

Vardas PE, Auricchio A, Blanc JJ et al for European Society of Cardiology;


European Heart Rhythm Association (2007) Guidelines for cardiac
pacing and cardiac resynchronization therapy: The Task Force for
Cardiac Pacing and Cardiac Resynchronization Therapy of the European
Society of Cardiology. Developed in collaboration with the European
Heart Rhythm Association. Eur Heart J 28(18): 2256-95

Vinogradova, T. (2000). Sinoatrial node pacemaker activity requires


Ca2+/calmodulin-dependent protein kinase II activation. AHA, 760-767.

Yamamura KH, Kloosterman EM, Alba J, Garcia F, Williams PL, Mitran RD, et
al. Analysis of charges and complications of permanent pacemaker
implantation in the cardiac catheterization laboratory versus the
operating room. Pacing and clinical electrophysiology : PACE.
1999;22(12):1820-4.

Anda mungkin juga menyukai