Disusun oleh:
Naila Zanubah Arifah
NIM 222011101012
Dokter Pembimbing:
1
LAPORAN KASUS
Disusun oleh:
Naila Zanubah Arifah
NIM 222011101012
Dokter Pembimbing:
1.2 Anamnesis
1.2.1 Keluhan utama
Sesak
4
Pasien juga sering berkeringat dan merasa kedinginan sejak pagi. Pasien
mengeluhkan mual sejak pagi dan muntah lebih dari tiga kali berupa cairan
bening. Pasien mengaku tidak nafsu makan selama 2 hari ini. Pasien
menyangkal keringat malam, batuk, demam dan penurunan berat badan dalam
sebulan terakhir. Pasien mengaku tidak mengalami kecelakaan atau trauma
pada dada selama beberapa bulan terakhir.
b. Leher
- Inspeksi : tampak benolan dan luka disertai crusta pada leher
sinistra dan dextra
- JVP :5±2
c. Thorax
Cor :
VENTRAL DORSAL
Inspeksi: Inspeksi:
Simetris Retraksi -/- Simetris Retraksi -/-
Ketertinggalan gerak -/- Ketertinggalan gerak -/-
Palpasi: Palpasi:
Fremitus raba Fremitus raba
N N N N
menurun menurun N N
menurun menurun N N
Deviasi trakea (-) Deviasi trakea (-)
Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)
Perkusi: Perkusi:
+ + + + + +
+ + + + + +
Auskultasi: Auskultasi:
Vesikuler +/+ Vesikuler +/+
Ronkhi -/- Ronkhi -/-
Wheezing -/- Wheezing -/-
d. Abdomen
- Inspeksi : flat
- Auskultasi : bising usus (+) 10x/menit
- Perkusi : timpani
- Palpasi : BU + soepel
e. Ekstremitas
- Superior : akral hangat +/+, edema -/- CRT<2 detik
- Inferior : akral hangat +/+, edema -/-
Tabel 1.1 Hasil pemeriksaan hematologi 14 Oktober 2022 (di RS Utama Husada)
Pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Normal Satuan
Hematologi Lengkap (DL)
Hemoglobin 11.0 12,0-16,0 gr/dL
Leukosit 16.9 4,5-11,0 109/L
Hitung jenis -/-/-/-/28/8 Eos/Bas/Stab/Seg/Lim/Mono
0-4/0-1/3-5/54-52/25-33/2-6
Hematokrit 34.7 36-46 %
Trombosit 284 150-450 109/L
Faal Ginjal
SK - 0,5-1,1 mg/dL
Urea -
Elektrolit
Natrium - 135-155 mmol/L
Kalium - 3,5-5,0 mmol/L
Klorida - 90-110 mmol/L
Tabel 1.2 Hasil pemeriksaan hematologi 15 Oktober 2022
Pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Normal Satuan
Hematologi Lengkap (DL)
Hemoglobin - 12,0-16,0 gr/dL
Laju Nedap Darah - 0-25 Mm/jam
Leukosit - 4,5-11,0 109/L
Hitung jenis -/-/-/-/-/- Eos/Bas/Stab/Seg/Lim/Mono
0-4/0-1/3-5/54-52/25-33/2-6
Hematokrit - 36-46 %
Trombosit - 150-450 109/L
APPT Penderita 63.6 detik
Beda dengan control < 2 detik
APPT Kontrol 26.6
PPT Penderita 14.3 detik
Beda dengan control < 2 detik
PPT Kontrol 10.0
Lemak
Kolesterol LDL 112 H <100 mg/dL
Kolesterol Total 188 <220 mg/dL
Kolesterol HDL 31 L Low <40 mg/dL
High >60
Trigliserida 102 <150 mg/dL
Elektrolit
Natrium 133 L 135-155 mmol/L
Kalium 8.67 HH 3,5-5,0 mmol/L
Klorida 112.0 H 90-110 mmol/L
Magnesium 0.86 0.77-10.3 mmol/L
Asam Urat 10.9 H 2.0 - 5.7 mg/dL
Tabel 1.3 Hasil pemeriksaan hematologi 16 Oktober 2022
Pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Normal Satuan
Hematologi Lengkap (DL)
Hemoglobin - 12,0-16,0 gr/dL
Laju Nedap Darah - 0-25 Mm/jam
Leukosit - 4,5-11,0 109/L
Hitung jenis -/-/-/-/-/- Eos/Bas/Stab/Seg/Lim/Mono
0-4/0-1/3-5/54-52/25-33/2-6
Hematokrit - 36-46 %
Trombosit - 150-450 109/L
APPT Penderita 30.7 detik
Beda dengan control < 2 detik
APPT Kontrol 26.6
PPT Penderita 14.5 detik
Beda dengan control < 2 detik
PPT Kontrol 10.0
Lemak
Kolesterol LDL - <100 mg/dL
Kolesterol Total - <220 mg/dL
Kolesterol HDL - Low <40 mg/dL
High >60
Trigliserida - <150 mg/dL
Elektrolit
Natrium 134 L 135-155 mmol/L
Kalium 6.60 HH 3,5-5,0 mmol/L
Klorida 111.9 H 90-110 mmol/L
Magnesium 0.72 L 0.77-10.3 mmol/L
Asam Urat - 2.0 - 5.7 mg/dL
Tabel 1.3 Hasil pemeriksaan hematologi 17 Oktober 2022
Pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Normal Satuan
Hematologi Lengkap (DL)
Hemoglobin 11.0 L 12,0-16,0 gr/dL
Laju Endap Darah - 0-25 Mm/jam
Leukosit 19.7 H 4,5-11,0 109/L
Hitung jenis 0/0/0/84/7/9 Eos/Bas/Stab/Seg/Lim/Mono
0-4/0-1/3-5/54-52/25-33/2-6
Hematokrit 34.9 L 36-46 %
Trombosit 363 150-450 109/L
APPT Penderita 30.7 detik
Beda dengan control < 2 detik
APPT Kontrol 26.6
PPT Penderita 14.5 detik
Beda dengan control < 2 detik
PPT Kontrol 10.0
Lemak
Kolesterol LDL - <100 mg/dL
Kolesterol Total - <220 mg/dL
Kolesterol HDL - Low <40 mg/dL
High >60
Trigliserida - <150 mg/dL
Elektrolit
Natrium - 135-155 mmol/L
Kalium - 3,5-5,0 mmol/L
Klorida - 90-110 mmol/L
Magnesium - 0.77-10.3 mmol/L
Asam Urat 14.6 HH 2.0 - 5.7 mg/dL
GDS 65 <200 mg/DL
Faal Ginjal
SK - 0,5-1,1 mg/dL
BUN 79 H 6 - 20 mg/dL
Pasien juga sering berkeringat dan merasa kedinginan sejak pagi. Pasien
mengeluhkan mual sejak pagi dan muntah lebih dari tiga kali berupa cairan
bening. Pasien mengaku tidak nafsu makan selama 2 hari ini. Pasien
menyangkal keringat malam, batuk, demam dan penurunan berat badan dalam
sebulan terakhir. Pasien mengaku tidak mengalami kecelakaan atau trauma
pada dada selama beberapa bulan terakhir.
Tanda-Tanda Vital :
TD : 116/69 mmHg
HR : 40x x/menit
RR : 34 x/menit
Tax : 36,7 oC
SpO2 : 100% NRBM
Pemeriksaan Fisik :
K/L : a/i/c/d : -/-/-/+
Thorax: Cor : S1S2 Tunggal e/g/m: -/-/-
Pulmo: Ves +/+ Rh -/- Wh -/-
Sim +/+ Ret -/-
Abd : BU (+) soepl
Ext : Akral hangat (+), Edema (-)
1.7 Planning
a. Planning diagnostik
• Pemeriksaan EKG
• Pemeriksaan Ro Thorax
• Pemeriksaan Echocardiography
• Pemeriksaan Serum Elektrolit
• Pemeriksaan Gula Darah
b. Planning terapi
• Infus RL + KCl 25 meq
• Nitrogliserin 20 mg
• Dopamin pump 20 g (7.5 cc/jam)
p/o
• Clopidogrel 1x1
• Aspilet 1x1
• Angintriz 2x1
• Salbutamol 3x4 mg
• Lasix 1-0-0
• Amlodipine 1 x 5 mg
• Pro Transcutaneus Pacing TPM
c. Planning monitoring
Observasi vital sign pasien
Observasi EKG
d. Planing edukasi
• Istirahat yang cukup
• Menjelaskan tentang penyakit yang diderita pasien kepada keluarga
terkait penyebab, perjalanan penyakit, perawatan, prognosis,
komplikasi serta usaha pencegahan komplikasi
1.8 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad
Quo ad functionam : dubia ad
Quo ad Sanationam : dubia ad
14 Oktober 2022 15 Oktober 2022
Keadaan Umum Lemah Lemah
GCS 456 456
Keluhan Lemas, sesak membaik, nyeri menurun Batuk, sesak berkurang, mual
Tekanan
143/60 mmHg 150/90 mmHg
Darah
Nadi 38 x/menit 88 x/menit
Respiratory
24 x/menit 20 x/menit
Rate
Suhu Tubuh 36, 5 °C 36, 2 °C
Kepala dan Leher a/i/c/d : -/-/-/+ a/i/c/d : -/-/-/+
P Redup Redup
S1 S2 tunggal S1 S2 tunggal
A
e/g/m -/-/- e/g/m -/-/-
P Tymphani Tymphani
Pemeriksaan penunjang
p/o p/o
Clopidogrel 1x1 Aspilet 1x1
Terapi
Aspilet 1x1 Clopidogrel 1x1
Angintriz 2x1 Angintriz 2x1
Salbutamol 3x4 mg Amlodipine 1x5 mg
Furosemide 1-0-0 Furosemid 1/2-0-0
Amlodipine 1 x 5 mg
16 Oktober 2022 17 Oktober 2022
Lemah Lemah
456 456
Tidak ada kelihan
Tidak ada keluhan
120/70 mmHg
150/90 mmHg
88 x/menit 80x/menit
20 x/menit 20x/menit
36,2 °C 36.5
a/i/c/d : -/-/-/-
a/i/c/d : -/-/-/-
Redup Redup
S1 S2 tunggal S1 S2 tunggal
e/g/m -/-/- e/g/m -/-/-
Simetris Simetris
Flat, Darm countour (-), Darm steifung (-), Massa (-) Flat, Darm countour (-), Darm steifung (-), Massa (-)
Tymphani Tymphani
Edema Edema
Superior -/- Superior -/-
Inferior -/- Inferior
Total AV Block + STEMI + post TPM + Post PCI + DM Total AV Block + STEMI + post TPM + Post PCI + DM
p/o p/o
Aspilet 1x1 Aspilet 1x1
Clopidogrel 1x1 Clopidogrel 1x1
Angintriz 2x1 Angintriz 2x1
Amlodipine 1x5 mg Amlodipine 1x5 mg
Furosemid 1/2-0-0 Furosemid 1/2-0-0
18Oktober 2022
Lemah
456
Tidak ada kelihan
120/70 mmHg
80x/menit
20x/menit
36.5
a/i/c/d : -/-/-/-
Redup
S1 S2 tunggal
e/g/m -/-/-
Simetris
Sonor +/+
Infus RL 7 tpm
Inj, Ampicilin sulbactam 2x1
Inj. Antrain 3x1 amp
p/o
Aspilet 1x1
Clopidogrel 1x1
Angintriz 2x1
Amlodipine 1x5 mg
Furosemid 1/2-0-0
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
Nodus SA merupakan alat pacu yang alami pada jantung. Pada jantung
yang normal, impuls saraf dihasilkan oleh bagian jantung yang disebut pacemaker
yang terletak pada nodus sinoatrial. Pacemaker ini bertanggung jawab dalam
proses inisiasi potensial aksi secara teratur (Bucchi, 2006) (Vinogradova, 2000).
Nodus SA bertugas mengatur ritme jantung sebanyak 60-100x per menit dengan
cara mempertahankan kecepatan depolarisasi dan mengawali siklus jantung yang
ditandai dengan sistol atrium. Impuls listrik dari nodus SA ini akan menyebar ke
atrium kanan, lalu diteruskan ke atrium kiri melalu berkas Bachmann dan
selanjutnta dibawa ke nodus atrioventrikular (AV) oleh traktus internodal
(Dharma, 2009).
Berkas His terbagi menjadi berkas kanan yang menyebarkan impuls listrik
ke ventrikel kanan dan berkas kiri yang menyebarkan impuls listrik ke septum
interventrikel dan ventrikel kiri dengan kecepatan konduksi 2 meter per detik.
Impuls listrik dari berkas tersebut bercabang menjadi serabut purkinje yang
tersebar dari septum interventrikel sampai ke muskulus papilaris dan
menghasilkan impuls 20-40 kali per menit dan menyebar mulai dari endokardium
sampai terakhir ke epikardium. Otot jantung akan bergerak memompa darah
keluar dari ruang ventrikel ke pembuluh darah arteri (Dharma, 2009).
3.2 AV Block
3.2.1 Definisi
AV Blok merupakan suatu gangguan transmisi impuls dari atrium ke
ventrikel yang disebabkan gangguan anatomis atau fungsional pada sistem
konduksi. Gangguan konduksi ini dapat bersifat sementara atau permanen.
Gangguan AV Blok dibagi menjadi 3 derajat tingkatan, yaitu derajat 1, derajat 2
Mobitz 1 dan 2, serta derajat 3 atau total block. Waktu yang diperlukan untuk
penyebaran depolarisasi dari nodus SA ke otot ventrikel ditunjukkan oleh interval
PR dengan waktu normal tidak lebih dari 0,2 detik. Normalnya, memang terjadi
perlambatan di nodus AV dengan tujuan untuk mempersiapkan waktu yang cukup
bagi atrium untuk berkontraksi agar preload ventrikel akan optimal untuk fase
sistol selanjutnya. Selain itu, perlambatan ini juga bertujuan untuk melindungi
ventrikel dari stimulasi yang berlebihan akibat takiaritmia tertentu di
supraventrikel. Namun, pada beberapa kondisi, perlambatan ini berlangsung lebih
lama dari normalnya, bahkan bisa terjadi blok (Batubara, 2014)
3.2.2 Etiologi
AV Block bisa disebabkan oleh beberapa keadaan seperti di bawah ini,
yaitu:
a. Obat- obatan
- Anti aritmia kelas IA, seperti quinidine, procainamide, disopyramide)
- Anti aritmia kelas I B, seperti, flecainide, encainide, propafenone)
- Anti aritmia kelas II, seperti beta blocker
- Anti aritmia kelas III, seperti amiodarone, sotalol, dofetilide, ibutilide
- Anti aritmia kelas IV, seperti calcium channel blockers
- Digoxin atau glikosida jantung. Pasien yang menggunakan terapi
digoksin harus diberikan edukasi atas efek samping yang akan timbul
dari digoksin.
b. Penyakit degeneratif, seperti Lenegre disease, yaitu suatu penyakit
sklerodegeneratif yang terjadi di sistem konduksi. Penyakit degeneratif
lainnya adalah miopati miokondrium, sindroma nail-patella, dan Lev disease
yaitu kalsifikasi pada katup dan sistem konduksi jantung (Finsterer J, 2007)
c. Infeksi oleh demam reumatik, miokarditis, Chagas disease,
Aspergillus myocarditis, varicella-zoster.
d. Penyakit reumatik, seperti Ankylosing spondylitis, Reiter syndrome,
relapsing polychondritis, rheumatoid arthritis, scleroderma.
e. Proses infiltratif, seperti Amyloidosis, sarcoidosis, tumors, Hodgkin disease,
multiple myeloma.
f. Kelainan neurologi, seperti Becker muscular dystrophy, myotonic muscular
dystrophy
g. Kelainan metabolik, seperti Hipoksia, hiperkalemia, hipotiroid.
h. Kelainan iskemik atau infark, seperti infark miokard inferior dengan AV
block atau infark miokard anterior dengan HIS-Purkinje block.
Infark miokard Dinding anterior dapat dikaitkan dengan av blok. Blok
jantung total terdapat sekitar 10% dari kasus MI ringan akut dan jauh kurang
berbahaya, sering menimbulkan kematian dalam beberapa jam sampai beberapa
hari. Studi menunjukkan bahwa AV blok jarang memperberat MI. Dengan strategi
revaskularisasi awal, kejadian AV blok menurun 5,3-3,7%. Oklusi dari masing-
masing arteri koroner dapat menyebabkan perkembangan penyakit konduksi
meskipun pasokan vaskular berlebihan untuk AVN dari seluruh arteri coroner
(Batubara, 2014).
Paling umum, oklusi arteri koroner kanan (RCA) disertai dengan blok
AV. Secara khusus, oklusi RCA proksimal memiliki insiden tinggi AV block
(24%) karena ada keterlibatan bukan hanya dari arteri nodal AV terlibat tetapi
juga suplai arteri superior menurun, yang berasal dari bagian yang sangat
proksimal dari RCA (Batubara, 2014).
Blok konduksi atau instabilitas elektrik merupakan salah satu komplikasi
dari infark miokard. Ganggguan konduksi yang terjadi dapat berupa
atrioventricular nodal block dan Bundle branch block. Ganggguan konduksi yang
disebabkan infark miokard dapat terjadi akibat proses iskemik atau nekrosis pada
jalur konduksi akibat infark atau perluasan infark yang terjadi. Konduksi jantung
sangat dipengaruhi oleh suplai darah ke septum intraventrikular, dimana suplai
darah ke septum intraventrikular diperdarahi sebagian besar oleh left anterior
descending (LAD) (Batubara, 2014).
Dalam kebanyakan kasus, AV blok menghilang segera setelah
revaskularisasi, tapi kadang-kadang juga menetap. Secara keseluruhan, prognosis
baik AV blok apabila oklusi dari anterior descending arteri kiri (terutama
proksimal ke septum perforator pertama) memiliki prognosis yang lebih baik dan
biasanya layak untuk implantasi alat pacu jantung.
Pada ilustrasi kasus, AV blok disebabkan oleh infark miokard. Kejadian
infark miokard pada pasien ini diketahui dari anamnesis dimana pasien pernah
mengeluhkan nyeri dada 2 hari sebelum masuk rumah sakit dan keluhan sesak
nafas. Pasien megeluhkan nyeri dada khas infark yaitu nyeri pada dada yang
terasa seperi tertekan beban berat yang muncul tiba-tiba, berlangsung terus
menerus dan tidak hilang dengan istirahat. Kejadian infark pada pasien juga dapat
dilihat dari gambaran EKG pasien, dimana terlihat adanya gelombang ST Elevasi
pada lead V1, V2 dan V3 yang menggambarkan kejadian infark miokard bagian
anteroseptal pada pasien.
3.2.3 AV block derajat 1
Pada blok AV derajat pertama, gelombang P selalu diikuti dengan
kompleks QRS, namun terdapat pemanjangan interval PR. Artinya, interval PR
akan berdurasi lebih dari 200 milidetik tanpa ada drop beat. Ada penundaan,
tanpa gangguan, dalam konduksi dari atrium ke ventrikel. Dengan kata lain,
impuls melambat namun masih dapat diteruskan ke dalam ventrikel. Semua
aktivasi dari atrium akhirnya ditransmisikan ke ventrikel. Perlambatan biasanya
karena adanya cacat minimal pada konduksi AV yang terjadi pada atau di bawah
nodus AV. Jika interval PR lebih dari 300 milidetik, ini dianggap sebagai blok
AV derajat pertama yang "ditandai" dan gelombang P mungkin terkubur dalam
gelombang T sebelumnya (Kashou, 2022).
Irama : Reguler
Frekuensi : Normal
Gel P : Normal, gelombang P dapat terkubur dalam gelombang T
Interval PR : Transmisi impuls atrioventrikular tertunda, sehingga interval PR
lebih panjang dari 0,2 detik
Interval QRS : Normal (0,06-0,12 detik)
Irama : Teratur, tidak ada hubungan antara irama atrial dan ventrikel
karena tidak ada impuls atrium yang mencapai ventrikel
Frekuensi : Frekuensi atrial > frekuensi ventrikel
Gel P : Normal
Interval PR :-
Interval QRS : Biasanya melebar
3.2.7 TAVB menyebabkan STEMI
3.2.8 Diagnosis
Dari anamnesis, Pasien total AV blok biasanya memiliki manifestasi klinis
yang beragam. Pasien total AV blok bisa datang dengan asimptomatis atau dengan
tanda dan gejala yang minimal yang berkaitan dengan hipoperfusi. Gejala yang
bisa timbul di antaranya adalah kelelahan, pusing, tidak bisa beraktivitas, dan
nyeri dada. Pasien- pasien simptomatis, khususnya pasien yang memiliki
kompleks QRS lebar yang mengindikasikan pacemaker nya berada di bawah
bundle of His, dapat memiliki gejala seperti pingsan, bingung, sesak, nyeri dada
hebat, dan sewaktu-waktu bisa meninggal mendadak. Perlu digali lebih dalam
mengenai riwayat penyakit jantung baik kongenital maupun didapat pada pasien
dengan infark miokard akut juga dapat menyebabkan total AV blok. Pasien
dengan riwayat penyakit jantung, juga perlu diketahui riwayat pengobatannya
karena beberapa obat seperti beta bloker, calcium channel blockers, dan digitalis
juga dapat memengaruhi sistem konduksi. Selain itu perlu ditanyakan mengenai
Riwayat operasi jantung, gejala dan tanda dari penyakit sistemik yang
berhubungan dengan gagal jantung seperti amyloidosis dan sarcoidosis (Kashou,
2022).
Pada pemeriksaan fisik, pasien didapatkan bradikardia. Tekanan vena jugularis
juga dapat meningkat. Pasien dengan tanda hipoperfusi dapat menunjukkan gejala
penurunan status mental, hipotensi, dan letargi. Pada pemeriksaan penunjang
seperti EKG akan ditemukan adanya AV blok sesuai dengan derajatnya.
3.2.9 Tatalaksana
Secara umum, pasien yang datang dengan blok AV tipe 1 Mobitz derajat
pertama atau kedua tidak memerlukan pengobatan. Setiap obat yang
memprovokasi dapat dihilangkan, dan pasien dapat dipantau secara rawat jalan.
Namun, pasien dengan derajat blok AV yang lebih tinggi (blok AV tipe 2 Mobitz
2 , derajat 3) cenderung mengalami kerusakan parah pada sistem konduksi.
Mereka berada pada risiko yang jauh lebih besar untuk berkembang menjadi
asistol, takikardia ventrikel, atau kematian jantung mendadak. Oleh karena itu,
mereka memerlukan rawat inap segera untuk pemantauan jantung, cadangan pacu
jantung sementara, dan pemasangan alat pacu jantung permanen.
Gambar 3. 7 Alogaritma Bradikardi
3.3.3.1 Indikasi
Indikasi paling umum untuk implantasi alat pacu jantung permanen adalah
disfungsi sinus node (SND) dan blok atrioventrikular (AV) derajat tinggi.
Pedoman implantasi alat pacu jantung telah ditetapkan oleh gugus tugas yang
dibentuk bersama oleh American College of Cardiology (ACC), American Heart
Association (AHA), dan Heart Rhythm Society (HRS). European Society of
Cardiology telah menetapkan pedoman serupa. ACC/AHA/HRS membagi
indikasi implantasi alat pacu jantung menjadi 3 kelas khusus (Dalia, 2022):
- Kelas I: Ini adalah kondisi di mana implantasi alat pacu jantung dianggap perlu
dan bermanfaat (manfaatnya jauh lebih besar daripada risikonya).
- Kelas II: Ini adalah kondisi di mana penempatan diindikasikan, tetapi ada bukti
yang bertentangan atau perbedaan pendapat. Di Kelas IIa bobot bukti
mendukung kemanjuran (manfaat lebih besar dari risiko), sedangkan di kelas
IIb, kemanjuran kurang mapan (manfaat lebih besar atau sama dengan risiko).
- Kelas III: Ini adalah kondisi di mana alat pacu jantung permanen tidak
dianjurkan, dan dalam beberapa kasus, mungkin berbahaya (risiko lebih besar
daripada manfaatnya).
a. Disfungsi Nodus Sinus
a) Kelas I :
- Sinus bradikardia simtomatik yang terdokumentasi termasuk sinus pause
yang sering yang menghasilkan gejala dan sinus bradikardia simtomatik
yang dihasilkan dari terapi obat yang diperlukan untuk kondisi medis.
- Inkompetensi kronotropik simtomatik (kegagalan untuk mencapai 85% dari
detak jantung maksimal yang tergantung usia selama tes stres formal atau
informal atau ketidakmampuan untuk meningkatkan detak jantung yang
sesuai dengan usia selama aktivitas kehidupan sehari-hari)
b) Kelas II
- Sinus bradikardia dengan denyut jantung kurang dari 40, tetapi tidak ada
hubungan yang jelas antara gejala dan bradikardia
- Sinkop yang tidak dapat dijelaskan ketika kelainan fungsi sinus node yang
signifikan secara klinis ditemukan atau diprovokasi dalam studi
elektrofisiologi (EP)
- Pasien dengan gejala minimal dengan denyut jantung kronis kurang dari 40
saat terjaga
b. Blok AV didapat
a) Kelas I
- Blok AV derajat tiga lengkap dengan atau tanpa gejala.
- Blok AV derajat kedua yang simtomatik, Mobitz tipe I dan II
- Blok AV derajat kedua atau ketiga yang diinduksi oleh olahraga tanpa
adanya infark miokard
- Mobitz II dengan kompleks QRS melebar
b) Kelas II
- Mobitz tipe II tanpa gejala dengan kompleks QRS sempit.
- Blok AV derajat pertama bila ada gangguan hemodinamik.
- Blok AV derajat kedua tanpa gejala pada tingkat Intra atau Infra-His
ditemukan dalam studi EP
g. Hipertrofi kardiomiopati
a) Kelas I
- Pasien dengan hipertrofi kardiomiopati yang mengalami disfungsi nodus
sinus dan blok AV
- Dapat dipertimbangkan pada pasien simtomatik refrakter dengan hipertrofi
kardiomiopati dan dengan istirahat yang signifikan atau obstruksi aliran
keluar ventrikel kiri yang diprovokasi
b) Kelas II
- LVEF kurang dari atau sama dengan 35%, irama sinus, LBBB dengan
gejala NYHA Kelas III atau IV selama terapi medikamentosa optimal dan
durasi QRS 120 hingga 149 ms, dianjurkan CRT dengan atau tanpa ICD.
- LVEF kurang dari atau sama dengan 35%, irama sinus, pola non-LBBB
dengan QRS lebih besar atau sama dengan 150 ms, dan gejala NYHA
kelas III/kelas IV rawat jalan pada GDMT Berguna pada pasien dengan
fibrilasi atrium dan
- LVEF kurang dari atau sama dengan 35% pada GDMT jika pasien
memerlukan pemacuan ventrikel atau memenuhi kriteria CRT dan ablasi
nodus AV atau kontrol laju farmakologis akan memungkinkan pemacuan
ventrikel mendekati 100% dengan CRT
- LVEF kurang dari atau sama dengan 35%, NYHA kelas III atau IV selama
terapi medis optimal dan yang sering bergantung pada pacu jantung, CRT
masuk akal.
3.1.2.2. Kontraindikasi
Seperti pada prosedur lainnya, pemasangan alat pacu jantung harus dipilih
dengan bijak untuk pasien tertentu. Ada situasi di mana pemasangan alat pacu
jantung tidak bermanfaat atau tidak cukup data untuk mendukung penggunaannya.
Ini kadang-kadang juga disebut indikasi kelas III dalam pedoman
ACC/AHA/HRS atau pedoman European Society of Cardiology.
- Bradikardia sinus tanpa gejala yang signifikan; blok AV derajat pertama tanpa
gejala.
- Blok AV yang diharapkan dapat sembuh dan tidak mungkin kambuh misalnya
toksisitas obat, penyakit Lyme, atau peningkatan sementara tonus vagal
- Alat pacu jantung tidak diindikasikan untuk disfungsi nodus sinus pada pasien
dengan gejala yang mengarah ke bradikardia yang telah didokumentasikan
terjadi bahkan dengan tidak adanya bradikardia.
- AV blok morbit 2 derajat 1 tanpa gejala
- Interval RR yang memanjang tanpa gejala dengan atrial fibrilasi atau penyebab
lain dari jeda ventrikel sementara
- Respons kardioinhibitor hipersensitif terhadap stimulasi sinus karotis tanpa
adanya gejala atau dengan adanya gejala yang tidak jelas seperti pusing,
pusing, bradikardia asimtomatik selama tidur
- CRT tidak diindikasikan pada pasien yang status fungsional dan harapan hidup
dibatasi terutama oleh kondisi non-jantung
- Blok cabang berkas kanan dengan deviasi sumbu kiri tanpa sinkop atau gejala
lain yang sesuai dengan blok AV intermiten
- Sindrom long QT atau Torsade de pointes karena penyebab reversibel
- Adanya jalur aksesori yang memiliki kapasitas untuk konduksi anterograde
yang cepat
- Pasien dengan gejala NYHA kelas I atau II dan pola non-LBBB dengan durasi
QRS kurang dari 150 ms
Selain dari alat fluoroskopi dan monitor tanda vital, juga diperlukan satu
set instrumen bedah steril. Diperlukan benang jahit dengan bahan yang tidak
diserap untuk fiksasi kabel-pacu dan alat serta bahan yang diserap untuk
penutupan kantung dan hemostasis. Antibiotika dan cairan salin untuk irigasi
kantung harus tersedia. Bila akan dilakukan venografi, cairan kontras intravena
yang tepat harus tersedia.
b. Persiapan pasien
Gambar 3. 9 (A) Pilihan jalur pemasangan pacu jantung intravena; (B) Lokasi kabel-pacu
intrakardiak (Boom & Widyapuspita, 2019)
Vena sefalika yang digunakan pada teknik cut down terletak pada sulkus
antara muskulus deltoideus dan pektoralis (sulkus deltoidopektoralis). Area ini
sangat mudah diidentifikasi dengan palpasi dan terdiri atas jaringan-jaringan ikat
longgar dan lemak, yang dapat disingkirkan untuk menemukan vena sefalika.
Kadang-kadang, vena terletak sangat dalam atau hanya berupa pleksus vena-vena
kecil. Pada situasi ini, rute lain harus digunakan untuk memasukkan kabel-pacu.
Setelah isolasi vena sepanjang 1-2 cm di dalam ceruk, bagian distalnya diikat kuat
dengan benang catgut. Ligator juga diletakkan secara bebas di bagian proksimal
dari vena untuk kontrol hemostasis. Vena lalu dapat diakses dengan venotomi dan
cangkul vena kemudian kabel-pacu langsung dimasukkan apabila ukuran vena
sefalika cukup besar. Alternatifnya, vena diakses dengan menggunakan kateter
intravena perifer no.16 atau no.18 untuk memasukkan kawat-pandu.
Gambar 3. 10 Isolasi vena sefalika. Tampak posisi vena sefalika di dalam sulkus
deltoideopektoralis
Selain vena subklavia, vena aksilaris juga dapat dipakai sebagai akses
secara punksi perkutan dengan menusuk otot pektoralis, sisi medial dari tonjolan
akromion pada fluoroskopi anteroposterior. Jarum kemudian diarahkan ke titik
pertemuan antara batas lateral dari iga pertama dengan batas inferior dari
klavikula. Alternatifnya, vena aksilaris dapat diakses dengan venografi kontras.
Kemudahan memasukkan kabel- pacu Kemungkinan sulit Lebih mudah Paling mudah
multiple
Kemudahan ekstraksi jika diperlukan Kemungkinan sulit Lebih mudah Lebih mudah
d. Pembentukan kantung
Walaupun kantung dapat juga dibuat di daerah aksila atau abdomen (untuk
sistem pemacuan epikardial atau femoral), lokasi yang paling sering digunakan
adalah daerah pektoralis. Pada pendekatan pektoralis, insisi sepanjang 4-5 cm
dibuat pada area infraklavikular, secara horisontal (H), oblik (O), atau
deltopektoral (DP). Insisi oblik, yang rutin dilakukan di PJNHK, mirip dengan
insisi horisontal, tetapi sejajar dengan garis Langer sehingga dampak jaringan
parut tidak terlalu kentara dan efek kosmetik lebih baik (Rajappan, 2009).
Kantung kemudian dibuat dengan diseksi tumpul sesuai ukuran alat pacu.
Gambar 3. 6 Variasi lokasi insisi kulit untuk pembuatan kantung pacu jantung.
Saat kabel-pacu sudah diposisikan dengan tepat dan telah diuji serta dijahit
ke jaringan, kantung pacu jantung diirigasi dengan larutan antibiotika dan
generator kemudian dikoneksikan lalu dikunci ke kabel-pacu. Kebanyakan
operator mengamankan generator ke jaringan dengan benang silk untuk mencegah
migrasi atau sindrom Twiddler. Umumnya alat diletakkan diatas otot pektoralis
namun kadang-kadang diperlukan posisi subpektoral atau inframammary. Setelah
hemostasis yang baik, disarankan untuk melihat fluoroskopi sebelum penutupan
luka insisi untuk memastikan posisi kabel-pacu masih pada tempatnya.
g. Penutupan Kantung
Luka insisi dijahit lapis demi lapis dengan benang serap dan kulit dijahit
dengan benang silk. Luka ditutup dengan perban steril. Restriksi gerakan lengan
sangat disarankan selama pasien dirawat.
h. Perawatan pasca-prosedur
Tingkat nyeri umumnya rendah setelah prosedur selesai, dan pasien dapat
diberikan obat anti nyeri bilamana diperlukan. Terdapat kontroversi mengenai
penggunaan rutin dari antibiotika intravena atau oral setelah prosedur. Foto toraks
posisi anteroposterior dan lateral biasanya diambil untuk mengkonfirmasi posisi
kabel-pacu dan menyingkirkan pneumotoraks sebelum pasien dipulangkan pada
hari ketiga.
a. Single Chamber
Alat pacu jantung ruang tunggal akan memacu baik atrium atau ventrikel.
Misalnya alat pacu jantung atrium atas permintaan (AAI) akan memacu dan
merasakan atrium. Pacing terhambat ketika mendeteksi ritme intrinsik pasien
(irama jantung alami) (Mills, 2005). Jenis alat pacu jantung ini mengharuskan
pasien untuk memiliki sistem konduksi yang utuh dan AV node yang berfungsi
(Mills, 2005).
Alat pacu jantung ruang tunggal yang memacu ventrikel (misalnya VVI)
bekerja dengan memacu dan merasakan ventrikel. Manfaat utamanya adalah
untuk pasien yang membutuhkan pacu jantung intermiten atau mereka yang
mengalami blok jantung total (Kenny, 2007). Jenis alat pacu jantung ini tidak
mempengaruhi aktivitas atrium, sehingga kontribusi “atrial kick” terhadap curah
jantung (tambahan 15-30%) mungkin hilang (Mills, 2005).
Hal ini terlihat pada Gambar 5, yang menunjukkan pasien dengan ritme
intrinsik dan kecepatan ventrikel. Garis di bawah EKG adalah bentuk gelombang
tekanan, yang diredam saat ventrikel dipacu, menunjukkan efek hilangnya
“atrial kick” pada tekanan pasien.
Masalah lain dengan kurangnya sinkronisasi ini adalah bahwa insufisiensi
mitral atau trikuspid dapat berkembang. Jenis alat pacu jantung ini biasanya
diresepkan untuk pasien yang menjalani gaya hidup yang lebih menetap (Mills,
2005).
Gambar 3. 8 Pacuan ventrikel dengan ritme intrinsik menunjukkan hilangnya “atrial kick” saat
memacu.
Gambar 3. 9 single lead positioned in the right Gambar 3. 10 fluoroskopi posisi sadapan bi-
ventricle ventrikular
Single Chamber
VVI(R) Single chamber. Ventricular pacing (V), ventricular sensing (V), inhibited
by intrinsic ventricular rhythms (I) and rate adaptive function available (R)
AAI(R) Single chamber. Atrial pacing (A), atrial sensing (A), inhibited by intrinsic
ventricular rhythms (I) and rate adaptive function available (R).
Dual Chamber
Dual chamber. Atrial and ventricular pacing (D), atrial and ventricular
sensing (D), inhibited by intrinsic atrial and ventricular rhythms as well as
atrium triggering ventricle after a programmable atrio-ventricular delay
(D) and rate adaptive function available (R).
VDD Dual chamber. Ventricular pacing (V), atrial and ventricular sensing as
well as atrium triggering ventricle after a programmed atrio-ventricular
delay (D). Rate adaptive function (R) rarely required as it results in VVIR
pacing.
DDI(R) Dual chamber. Atrial and ventricular pacing (D), atrial and ventricular
sensing (D) with limited atrio-ventricular synchrony, resulting in lower
rate ventricular pacing irrespective of the intrinsic atrial rate (I) and rate
adaptive function available (R).
Semua rangkaian listrik memiliki dua kutub: kutub positif yang disebut
anoda, dan kutub negatif yang disebut katoda. Sadapan uni-polar memiliki kutub
pada kabelnya sendiri sedangkan kabel bi-polar memiliki dua kutub pada
kabelnya. Sirkuit besar yang dibuat oleh lead uni-polar menyebabkan lonjakan
pacing yang besar pada EKG permukaan, sirkuit bi-polar yang lebih kecil
menyebabkan lonjakan pacing yang lebih kecil pada EKG (Kenny, 2007). Gambar
1 menunjukkan kecepatan unipolar dan bipolar. Ukuran artefak stimulus unipolar
dan bipolar bergantung pada tegangan yang diprogram dan bervariasi dengan
siklus pernapasan (Gambar 2A).
Gambar 3. 11 Artefak stimulus alat pacu jantung dalam elektrokardiograf 12 sadapan (EKG).
Kiri: Penampilan osiloskop dari artefak stimulus unipolar. Defleksi awal diikuti oleh kurva
peluruhan eksponensial.
Kanan A: Unipolar dual chamber pacing. Pacu ventrikel berasal dari apeks dengan deviasi
aksis yang ekstrem dan tidak ada gelombang R melintasi sadapan dada. V4 yang diperbesar
menyoroti artefak stimulus besar.
Kanan B: Pasien yang sama, bipolar pacing. Tidak ada artefak stimulus atrium dan ventrikel
yang dilemahkan
a. Atrial pacing
Konfirmasi atrial pacing, terutama bipolar, sulit untuk dipastikan pada EKG.
Karena sadapan ini biasanya diposisikan di dalam appendage yang dekat dengan
nodus sinus, gelombang P seringkali mirip dengan gelombang P sinus (Gambar
2A). Pacu dari posisi atrium yang rendah dekat dengan katup trikuspid dapat
meniru ritme junctional dan sangat berbeda dengan gelombang sinus (Gambar
2B).
Gambar 3. 12 Artefak stimulus alat pacu jantung dalam elektrokardiograf 12 sadapan (EKG).
Atrial sensing (As) dan bipolar pacing (Ap). Monitor Holter pada leads V5, V1 and V3.
Rekaman Holter menunjukkan Ap dari atrial appendage mirip dengan gelombang sinus P (As).
Ukuran artefak stimulus bervariasi dengan siklus pernapasan (panah merah menunjukkan paku
yang semakin kecil).
Ap berdekatan dengan ostium sinus koroner. Gelombang P dari APJP terbalik.
b. Ventricular pacing
QRS APJP lebar dengan regular tingkat pengulangan. Kadang-kadang,
denyut berfusi dapat terjadi ketika tidak ada cukup waktu bagi alat pacu jantung
untuk merasakan penyebaran QRS intrinsik (Gambar 3A). Dengan konduksi
atrio-ventrikular yang utuh, QRS yang berpacu pada ventrikel dapat
menunjukkan gelombang P retrograde karena konduksi ventrikulo-atrial (Gambar
3B).
EKG 12 sadapan sangat membantu dalam mengkonfirmasi lokasi pacu
ventrikel, yang secara tradisional merupakan apeks ventrikel kanan. Ada tampilan
blok cabang berkas kiri dengan gelombang R yang buruk atau tidak ada dari V4
ke V6 (Gambar 1). Impuls apikal disebarkan melalui kedua ventrikel secara
retrograde, menghasilkan deviasi sumbu kiri atau ekstrim (Gambar 1). Ventrikel
kanan juga dapat dipacu dari tempat nonapikal. Gelombang R berkembang di V4
hingga V6, karena posisi sadapan berkembang lebih unggul di rongga ventrikel
kanan, sedangkan aksis menjadi lebih normal (Gambar 4) [3].
Saat ini, indikasi non-bradiaritmia yang mapan untuk pasien rawat inap
pemacu jantung dengan kardiomiopati kongestif adalah terapi resinkronisasi
jantung menggunakan pacing biventrikular. Secara klinis, untuk keuntungan
maksimal, ventrikel kiri biasanya berjarak sekitar 40 sampai 80 ms sebelum
ventrikel kanan, menghasilkan tampilan blok cabang berkas kanan pada EKG
(Gambar 5) [4]. Dua artefak stimulus ventrikel sering dapat diidentifikasi,
meskipun saat ini, pacu jantung multipolar ventrikel kiri dapat menghasilkan
lebih dari satu artefak stimulus ventrikel kiri.
3.1.7 Komplikasi
a. Pneumothorax dan Hematothorax
Ada risiko kecil pneumotoraks (1-2%) ketika vena subklavia digunakan
untuk akses timbal (Timperley et al, 2008). Sesak napas dan peningkatan nyeri
saat inspirasi dapat terjadi setelah pneumotoraks/haemothorax. Gejala lain dapat
mencakup peningkatan laju pernapasan dan sianosis (Leach, 2004). Hal ini dapat
menyebabkan kebutuhan untuk memasukkan drainase dada (Johnson dan
Rawlings-Anderson, 2007). Rontgen dada digunakan sebagai tambahan untuk
pencitraan fluoroskopik—karena sulit untuk mengidentifikasi
pneumotoraks/haemotoraks ketika pasien berbaring, rontgen tegak harus
digunakan (O'Grady, 2007).
b. Infeksi
Infeksi pada luka dapat terjadi. Usaha yang dapat dilakukan untuk
mengurangi risiko infeksi yakni dengan menambahkan antibiotik ke kantong alat
pacu jantung, seperti gentamisin 80 mg (Timperley et al, 2008). Sebagai akibat
dari infeksi tingkat rendah atau cara mekanis lainnya, alat pacu jantung mungkin
mulai menonjol melalui kulit (disebut erosi) (Kumar dan Clark, 2003).
Pemantauan tanda-tanda vital pasien termasuk suhu disertai dengan pemeriksaan
rutin pada lokasi luka untuk pembengkakan, nyeri, kemerahan, peradangan atau
tangisan dapat mengingatkan perawat akan tanda-tanda infeksi.
c. Reentrant Takikardi
Takikardia yang dimediasi alat pacu jantung (PMT) adalah masalah yang
terkait dengan sistem alat pacu jantung dua ruang. Sebuah konduksi retrograde
(dari ventrikel ke atrium) memicu peristiwa loop yang mengakibatkan takikardia
berkelanjutan (Bowbrick dan Borg, 2006) (Gambar 11). Bentuk takikardia ini
tidak disebabkan oleh alat pacu jantung tetapi karena konduksi retrograde (impuls
mundur) alat pacu jantung bertindak sebagai jalan untuk masuknya kembali
impuls listrik, menghasilkan loop takikardia yang tidak pernah berakhir. Hal ini
biasanya dipicu oleh kontraksi ventrikel prematur (Kenny, 2007).
PMT dapat dilihat pada EKG dengan kompleks yang tersusun rapat dan
biasanya dapat dicegah dengan memperpanjang periode refrakter atrium
(pemulihan). Banyak alat pacu jantung dapat mendeteksi PMT dan secara
otomatis memperpanjang periode refrakter atrium selama satu siklus untuk
menghentikan takikardia (Bennett, 2006). PMT dapat menyebabkan
ketidakstabilan hemodinamik. Staf yang terlatih dapat menggunakan magnet
untuk menghentikan sensing atrium, atau sebagai alternatif, alat pacu jantung
dapat diprogram ulang (Bowbrick dan Borg, 2006).
d. Temponade Jantung
e. Pocket hematoma
f. Lead Displacement
g. Kelainan Pacu
Failure to capture Alat pacu jantung menghasilkan Dapat mengekspos pasien Adanya pacing spike pada EKG tanpa respon atrium atau ventrikel
impuls tetapi gagal memacu dengan kondisi alat pacu yang sesuai
miokardium jantung dimasukkan untuk
mengobati
Failure to pace Tidak ada impuls yang di Dapat menyebabkan penurunan Tidak ada lonjakan pacing atau gelombang P/QRS berikutnya di
hasilkan oleh pacu jantung curah jantung dan penurunan tempat yang diharapkan
tekanan darah berikutnya
Under-sensing Alat pacu jantung gagal Pasien mungkin menyadari Pacing spike terlihat pada EKG di berbagai titik dalam siklus jantung
mendeteksi aktivitas jantung palpitasi atau detak yang tidak tidak sebelum gelombang P atau gelombang QRS seperti yang
interinsik dan pacu tetap berjalan terjawab. Jika pacing spike diharapkan
jatuh pada gelombang T, ini
bisa berbahaya dan
menyebabkan takikardia atau
fibrilasi ventrikel (VT/VF)
yang memerlukan perawatan
darurat
DAFTAR PUSTAKA
Bucchi, P. A. (2006). Wild-type and mutant HCN channels in. Circ Res, 992-999.
Ector H and Vardas P for European Heart Rhythm Association, European Society
of Cardiology (2007) Current use of pacemakers, implantable
Cardioverter defibrillators and resynchronization devices: data from the
registry of the European Heart Rhythm Association. Eur Heart J 9(suppl
1): 144–9
Giudici MC, Paul DL, Bontu P, Barold SS. Pacemaker and implantable
cardioverter defibrillator implantation without reversal of warfarin
therapy. Pacing and clinical electrophysiology : PACE.
Kenny T (2007) The Nuts and Bolts of Cardiac Pacing. Blackwell Futura, Oxford
Stain N (2008) Home monitoring for ICDs and Pacemakers. Coronary Heart 10:
24–7
Timperley J, Leeson P, Mitchell RJ, Betts T (2008) Pacemakers and ICDs. Oxford
University Press, Oxford
Underwood JCE (2004) General and Systematic Pathology. 4th edn. Churchill
Livingstone, Edinburgh
Yamamura KH, Kloosterman EM, Alba J, Garcia F, Williams PL, Mitran RD, et
al. Analysis of charges and complications of permanent pacemaker
implantation in the cardiac catheterization laboratory versus the
operating room. Pacing and clinical electrophysiology : PACE.
1999;22(12):1820-4.