Anda di halaman 1dari 285

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. atas karunia-Nya, kami
dapat menyusun Prosiding Seminar Internasional Pedagogis yang Ke-6
dengan tema “The Development of Pedagogical Education From the
Perspective of the 21st Century and Cooperation Asean Educator Community”.

Proseding ini memuat 148 artikel yang dibentangkan selama tiga hari
pelaksanaan seminar. Fokus kajian yang dibahas dalam proseding ini mencakup
isu-isu yang berkembang dalam bidang pedagogik umum, etnopedagogi,
pedagogik praktis, pedagogik kritis, pedagogik bahasa,dan pedagogik sosial.

Dalam penyusunan prosiding ini, tentu akan ditemukan beberapa


kelemahan atau kekurangan mendasar. Untuk itu kami mohon maaf dan
maklum dari sidang pembaca atas kekurangan kami ini. Mudah-mudahan
kritik dan saran yang membangun dapat siding pembaca sampaikan kepada
kami agar agar proseding ini dapat lebih bermanfaat bagi semua pihak.

Semoga tujuan penyusunan proseding ini, yakni pertukaran informasi


pendidikan antarnegara serumpun, dapat mencapai sasarannya. Selain itu,
semoga saja temuan pemikiran yang terdapat di dalam proseding ini dapat
diimplementasikan secara praktis dalam setting kependidikan. Lebih jauh
lagi semoga hasil seminar antarbangsa ini berkontribusi bagi kejayaan negara
serumpun, khususnya dalam bidang pendidikan dan peradaban moderen.

Bandung, September 2015

Tim Editor

i
KATA SAMBUTAN
DEKAN FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

Assalamualaikaum, Wr. Wb.

Syukur ke Hadirat Illahi karena perkenan-Nya kita dapat melaksanakna seminar


antarabangsa ini yang tentunya dapat membawa pencerahan dan kebaikan bagi kita semua,
khususnya bagi dunia pendidikan di kawasan serantau IMTGT (Indonesia, Malaysia,
Thailand, Growth Triangle). Selamat dan terima kasih kepada Program Studi Pendidikan
Guru Sekolah Dasar, Institut Pendidikan Guru Kampus Khas Kuala Lumpur, USAID-
Indonesia, para penyaji dan peserta dari dalam dan luar negeri yang telah menyukseskan
seminar antarabangsa ini.

Seminar ini sangat penting, mengingat pendidikan berkualitas dan bertaraf dunia
merupakan suatu keniscayaan dalam lanskap dunia yang telah mengglobal dan penuh
tantangan. Semoga hal ini menggugah kita semua untuk lebih peduli dan berkomitmen
pada pendidikan berkualitas untuk mempersiapkan generasi masa depan yang berakhlak
mulia, cerdas, mandiri, kreatif, inovatif, demokratis sehingga dapat bersaing di era global.

Saya berharap seminar internasional tiga negara serumpun ini dapat mencapai
tujuannya dan dapat memberikan informasi terkini tentang upaya dalam meningkatkan
kualitas pendidikan dan hasrat merealisasikan pendidikan unggul bertaraf dunia di masing-
masing negara. Semoga lahir ide-ide bernas, komitmen tinggi untuk mengubah wajah
dunia pendidikan kita ke arah yang lebih baik dan bermakna. Di samping itu terbangunnya
jejaring akademik di peringkat nasional dan internasional yang berfokus pada pengajaran,
penelitian dan pengabdian pada masyarakat dalam rangka membangun komunitas serantau
dan masyarakat ekonomi Asean (MEA) yang tangguh dan berjaya.

Sekian. Terima kasih.


Wassalam,
Bandung, 15 September 2015
Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan

Prof. Dr. Ahman, M.Pd

ii
iii
KATA SAMBUTAN
KETUA DEPARTEMEN PEDAGOGIK-FIP
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

Assalamualaikaum, Wr. Wb.

Terlebih dulu saya sebagai ketua Departemen Pedagogik, Fakultas Ilmu Pendidikan-UPI
menyampaikan rasa syukur yang tidak terhingga karena izin-Nya saya diberi peluang
menyampaikan sepatah dua patah kata dalam proseding, “Seminar Serantau Pedagogik
ke-6” ini.

Atas nama Civitas Academica Departemen Pedagogik, kami mengucapkan terima


kasih dan selamat kepada Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar yang telah
berjaya menyelenggarakan seminar antarabangsa ini. Terima kasih dan apresiasi yang
setinggi-tingginya kepada para penyaji, para peserta baik dari dalam dan luar negeri atas
kontribusinya bagi terselenggaranya seminar ini.

Semoga kegiatan ini akan memperkokoh kerja sama para pendidik, peneliti dan
stakeholders di kawasan serantau secara lebih luas dan lebih mendalam dalam rangka
membangun pendidikan yang berkualitas dan bermanfaat bagi semua. Amin.

Sekian. Terima kasih.


Wassalam,

Bandung, 15 September 2015


Ketua Departemen PedagogikDr.

Babang Robandi, M.Pd.

iv
KATA SAMBUTAN
KETUA PRODI PGSD-FIP
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

Assalamualaikaum, Wr. Wb.

Mewakili semua dosen Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar, kami
menyambut dengan senang hati atas terselenggaranya Seminar Internasional
Pedagogik ke-6 ini dengan tema, “Pengembangan Pedagogik dari Prespektif
Pendidikan Abad 21 dan Kerja Sama Komunitas Pendidik Serantau” yang disertai
dengan penerbitan proceeding-nya. Mudah-mudahan seminar ini dapat turut
mencerahi dunia pendidikan Indonesia juga mereka yang menjadi mitra seminar
internasional ini.

Seminar sebagai sebuah representasi dari kehidupan universitas harus


merupakan kegiatan rutin, baik yang sifat publish formally maupun yang sifatnya
berlangsung secara informal di ruang-ruang diskusi maupun di kelas. Seminar adalah
sebuah bagian dari aktivitas pencarian para ilmuan. Mudah-mudahan dengan terus
meneliti, menulis, menerbitkan dan seminar, suatu hari diperoleh temuan-temuan
saintifik yang bermanfaat untuk kita semua.

Sekian. Terima kasih.


Wassalam,

Bandung, 15 September 2015


Ketua Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar

Dr. Dharma Kesuma, M.Pd.

v
KATA SAMBUTAN
KETUA PANITIA SEMINAR

Assalamualaikaum, Wr. Wb.

Syukur Alhamdulillah, bahwa Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar,


Departemen Pedagogik Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Pendidikan Indonesia
dapat menyelenggarakan Seminar Internasional PGSD Ke-6 dengan tema, “Pengembangan
Pedagogik dari Perspektif Pendidikan Abad 21 dan Kerja Sama Komunitas Pendidik
Serantau” bekerja sama dengan Institut Pendidikan Guru Kampus Ilmu Khas Kuala
Lumpur Malaysia.

Seminar Pedagogik Serantau ini merupakan acara tahunan yang diselenggarakan


di UPI Bandung dan Perguruan Tinggi di Malaysia; bertujuan membangun budaya
akademik di kalangan dosen/pensyarah, membangun jejaring kerja sama antarkomunitas
pendidik, memfasilitasi ke arah kecemerlangan pendidikan taraf antarabangsa, dan lebih
jauh berpartisifasi membangun tamadun yang lebih berjaya dan bermanfaat bagi semua
pihak di kawasan serantau.

Terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat:


Bapak Rektor UPI, Dekan FIP UPI, Pengarah IPGIK-KL, USAID Indonesia, Kepala Dinas
Pendidikan Jawa Barat, jajaran panitia, para penyaji dan peserta seminar dari Indonesia,
Malaysia, dan Thailand; atas partisipasi, bantuan serta dukungan yang tak terhingga
sehingga seminar ini dapat terlaksana.

Akhir kata semoga seminar ini mencapai tujuannya, memberikan ruang serta jalan
menyelesaikan bagi masalah pendidikan serta memberikan sumbangan keilmuan yang
bermakna dan barokah bagi kemajuan pendidikan di Tanah Air dan Kawasan Serantau.
Amin.

Wassalam,
Ketua Panitia

Tatat Hartati, M.Ed, Ph.D.

vi
KATA PENGANTAR

Kata Pengantar Editor.....................................................................................................i


Kata Sambutan Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan.....................................................ii
Kata Sambutan Pengarah IPG Kuala Lumpur ,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,iii
Kata Sambutan Ketua Departemen Pedagogik FIP...................................................iv
Kata Sambutan Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar............................v
Kata Sambutan Ketua Panitia......................................................................................vi

DAFTAR ISI

JILID IV
PEDAGOGIK SAINS

AKTIVITAS LITERASI SAINS DI SEKOLAH DASAR PEDOMAN MEMBACA


SAINS SEBAGAI KONSEP AWAL MENUMBUHKAN
Asep Saefudin, Susilawati (UPI Bandung)....... 1193

PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN KONSEP IPA SD BERBASIS


KEGIATAN LABORATORIUM MENGGUNAKAN PENDEKATAN SAVI
Risda Amini (UNP Padang)....... 1201

PROFESIONALISME SEORANG GURU DALAM MENERAPKAN PENDEKATAN


KETERAMPILAN PROSES SUATU UPAYA MENINGKATAN KUALITAS
PEDAGOGIK SAINS DI SEKOLAH DASAR
Sukiniarti dan Lis Setiawati (UT Tangerang)....... 1208

PENTAKSIRAN KEFAHAMAN KONSEP SAINS DENGAN MENGGUNAKAN


PENGURUSAN GRAFIK
Wahadatul Arta’iah Sa’audi & Haslinah Abdullah (Institut Pendidik Guru Kampus
Pendidikan Teknik, Bandar Enstek, Negeri Sembilan)....... 1215

PENERAPAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL DALAM PEMBELAJARAN IPA


UNTUK MENINGKATKAN PEMAHAMAN KONSEP SISWA SD
Yani Septiyani Rosalia (UPI Bandung)....... 1225

PENGELOLAAN PEMBUATAN SOAL BERBASIS LITERASI SAINS


Yuni Pantiwati & Husamah (Universitas Muhammadiyah Malang)....... 1232

vii
PEDAGOGIK MATEMATIKA

IDENTIFIKASI KESALAHAN PEMAHAMAN PADA MATA PELAJARAN


MATEMATIKA SEKOLAH DASAR MELALUI MULTIMEDIA PEMBELAJARAN
BERBENTUK KOMIK DIGITAL
Andhin Dyas Fitriani (UPI Bandung)....... 1242

PENGEMBANGAN DESAIN PEMBELAJARAN PENJUMLAHAN DAN


PENGURANGAN BILANGAN BULAT BERDASARKAN MISKONSEPSI SISWA
Desy Andini, Karlimah,& Hj. Momoh Halimah (UPI Tasikmalaya)....... 1250

DESAIN PERKULIAHAN UNTUK MENGEMBANGKAN MATHEMATICAL


KNOWLEDGE OF TEACHING MAHASISWA PGSD DALAM PEMBELAJARAN
MATEMATIKA
Epon Nur’aeni L & M. Rijal W. Muharram (UPI Tasikmalaya)....... 1259

KOMIK DIGITAL DENGAN ALUR CERITA BERANGKAI SEBAGAI SARANA


IDENTIFIKASI KESALAHAN PEMAHAMAN PADA MATA PELAJARAN
MATEMATIKA SEKOLAH DASAR
Harsa Wara Prabawa (UPI Bandung)....... 1265

PENINGKATAN SELF-CONFIDENCE MELALUI PENERAPAN MODEL


PROBLEM-BASED LEARNING DENGAN METODE HEURISTIK
Mariah Ulfah, Rahmat Sutedi & Zaenal Muttaqin (UPI Bandung)....... 1280

PENERAPAN COMPUTER ASSISTED INSTRUCTION KONTEKSTUAL


DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA
Nanang (STKIP Garut)....... 1288

INOVASI DALAM PEDAGOGI MATEMATIK ABAD KE-21


Nor Hayati Bt Hj Mt Ali (Institut Pendidikan Guru Kampus Darulaman, Kedah Darul
Aman)....... 1299

MENINGKATKAN KEAKTIFAN SISWA DALAM PEMBELAJARAN


MATEMATIKA MENGGUNAKAN KARTU DOMINO
Suci Hayati & Irzal Anderson (Universitas Jambi)....... 1311

PEDAGOGIK SENI
KREATIVITAS BERKARYA SENI RUPA MELALUI MEDIA PEMBELAJARAN
YANG MENYENANGKAN DENGAN MEMANFAATKAN BARANG BEKAS

viii
Ira Rengganis (UPI Bandung)....... 1330

IMPLEMENTASI KECERDASAAN KINESTETIK ANAK USIA DINIMELALUI


PEMBELAJARAN TARI ANAK NUSANTARA
I Gusti Komang Aryaprastya Agus (UPI Bandung)....... 1319

TEKNIK CETAKAN BLOK MELALUI EKPLORASI SUMBER ALAM DALAM


PENGAJARAN DAN PEMBELAJARAN SENI PRA SEKOLAH
Khalijah Ahmad (Institut Pendidikan Guru Malaysia,Cyberjaya)....... 1339

KEMUDAHAN PRASARANA DALAM PELAKSANAAN MATA PELAJARAN


TEKNOLOGI KEJURUTERAAN, LUKISAN KEJURUTERAAN DAN REKA
CIPTA DI SEKOLAH MENENGAH HARIAN
Mohd Tafizam Mohd Taib & Ramlee Mustapha (Fakulti Pendidikan Teknik dan
Vokasional, Universiti Pendidikan Sultan Idris)....... 1351

KEBERKESANAN PENGGUNAAN SCHOOLOGY DALAM MATA PELAJARAN


PEDAGOGI PENDIDIKAN SENI VISUAL OLEH GURU PELATIH ELEKTIF
G5.1
Nor Azizah Atan & Zaharah Mohamad (Institut Pendidikan Guru Kampus Ilmu Khas,
Kuala Lumpur)....... 1362

PENDIDIKAN KONSERVASI SENI SEJAK DINI MELALUI PENCIPTAAN


KOSTUM TARI UNTUK ANAK BERBASIS MOTIF BATIK
Rosarina Giyartini (UPI Kampus Tasikmalaya)....... 1370

KEMAHIRAN AMALI PENDIDIKAN SENI VISUAL: PELAKSANAAN DAN


CABARAN
Zaharah Binti Mohamad, Madya, Nasir B. Ibrahim, & Mohd Zahuri B Khairani (Institut
Pendidikan Guru Kampus Ilmu Khas, Kuala Lumpur)....... 1377

PENGETAHUAN EMPAT BIDANG KEGIATAN PENDIDIKAN SENI VISUAL


(PSV) DALAM KALANGAN PELAJAR ELEKTIF TESL MELALUI KERJA
KURSUS PROJEK
Zainun Abu Bakar, Zaharah Mohamad, Faridah Anum Abdul Wahid & Nor Azizah
Atan (IPGKIK Kuala Lumpur)....... 1387

PEDAGOGIK INKLUSI
INCLUSIVE PEDAGOGY FOR DIVERSE STUDENTS IN REGULAR
CLASSROOM SETTINGS
Gunarhadi (UNS Kampus Surakarta)....... 1395
ix
AMALAN PEDAGOGI INKLUSIF DI DALAM BILIK DARJAH DI SEKOLAH
DAERAH KLANG
Lee Phaik Gaik, Nazifah Binti Shaik Ismail, Norliza Binti Jaafar, & Mohd On Bin Ahmad
(Institut Pendidikan Guru Kampus Ilmu Khas, Kuala Lumpur)....... 1404

PELAKSANAAN PEDAGOGI INKLUSIF DALAM KALANGAN GURU


PENDIDIKAN JASMANI
Mohd. Khamdani Bin Sairi Phd, Jalaluddin Bin Abd. Latif, Mokhtar Bin Ahmad, Rozila
Binti Mohd. Isa, Jamaliyah Binti Ahmad, Hafidzah Binti Abd. Khafidz, Noraini Binti
Mohamed, & Zulkarnain Bin Ali (Institut Pendidikan Guru Kampus Ilmu Khas, Kuala
Lumpur)....... 1413

KEFAHAMAN GURU-GURU SEKOLAH RENDAH TENTANG KONSEP


PENDIDIKAN DAN PEDAGOGI INKLUSIF: SATU KAJIAN KES DALAM
KALANGAN GURU-GURU DI LEMBAH KLANG
Mohd On bin Ahmad, Parwazalam bin Abdul Rauf,&Chin Mei Keong (Institut
Pendidikan Guru Kampus Ilmu Khas, Kuala Lumpur)....... 1422

LITERASI PEDAGOGI INKLUSIF DALAM KALANGAN GURU-GURU


PENDIDIKAN JASMANI DI KUALA LUMPUR
Kok Mong Lin, Teng Siew Lian, Balkaran a/l Arumugam,& Ch’ng Swee Ghiam (Institut
Pendidikan Guru Kampus Ilmu Khas, Kuala Lumpur)....... 1428

MENEROKA KESEDIAAN PENSYARAH DI INSTITUT PENDIDIKAN GURU


MELAKSANAKAN PEDAGOGI INKLUSIF DALAM PENGAJARAN DAN
PEMBELAJARAN
Rajagopal Ponnusamy & Ravichantiran Arujunan (Institut Pendidikan Guru Kampus
Ilmu Khas, Kuala Lumpur)....... 1437

PERANAN PENTADBIR SEKOLAH DALAM PELAKSANAAN PEDAGOGI


INKLUSIF DI BEBERAPA SEKOLAH RENDAH YANG TERPILIH
Ramesh Rao, Rajagopal Ponnusamy, Jeya Velu, Ismail Raduan, Lee Leh Hong, Lee Lay
Hwa, Mohd Jim Hamzah & Santhi Periasamy (Institut Pendidikan Guru Kampus Ilmu
Khas, Kuala Lumpur)....... 1446

AMALAN PEDAGOGI INKLUSIF SISWA GURU PISMP AMBILAN JANUARI


2011OPSYEN PENGAJIAN SOSIAL
Syed Ismail Syed Mustapa, Pushpavalli A.Rengasamey, Fuziah Abdul Manaf , Nor
Baizura Abu Bakar, Siti Rohani Abd.Rahman, Kamsiah Ab Rashid, & Munizar
Mohamad (Institut Pendidikan Guru Kampus Ilmu Khas, Kuala Lumpur)....... 1457

x
PEDOMAN MEMBACA SAINS SEBAGAI KONSEP AWAL
MENUMBUHKAN AKTIVITAS LITERASI SAINS DI SEKOLAH DASAR
1)
Asep Saefudin, & 2)Susilawati
1)Universitas Pendidikan Indonesia, & 2)Universitas Muhammadiyah Cirebon
E-mail: 1)saefudin_86@yahoo.co.id
Abstract
The study was presented as one of the alternatives in growing literacy activities
in schools. Natural Sciences (IPA) is one of the basic science learned in
elementary school. IPA is in the midst of our daily activity, study it seriously is a
must to get to know and understand the phenomena of the universe is no
exception to learners in elementary school. Dish of modern information and
communication technology today, making learning resources to be diverse and
abundant. However, the development of information and communication
technology advances do not necessarily make learning to high science, even
less cause learners to experience a decrease in the quality and quantity of
learning science. Learners increasingly forgo learning, including learning to
read science. Learning activities and low reading interest in studying science
more real, conscious or not this practice lead to their understanding of the
science of matter is low. Therefore, it takes a special strategy for educators to
innovate to create learning that allows the creation of literati learning to foster
science learning activities in elementary school. One such business is the
application of the Science reading guides in elementary school.
Kata kunci : pedoman membaca sains, aktivitas litesasi sains

PENDAHULUAN
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) atau Sains merupakan salah satu bidang
studi pokok, yang dipelajari di Sekolah Dasar (SD). IPA dekat dengan
pengalaman keseharian kita. IPA tidak hanya cukup dipelajari dengan
mengetahui fakta, konsep, atau prinsip semata, tetapi juga perlu melakukan
proses untuk menemukan sekumpulan pengetahuan tersebut (Depdiknas,
2006). Kegiatan yang menunjang proses penemuan diantaranya melalui
kegiatan observasi, inkuiri, praktikum, diskusi, dll.
Hadirnya kemajuan teknologi informasi dan komunikasi saat ini memiliki
peranan yang sangat besar dalam perkembangan ilmu, salah satunya adalah
ilmu Sains. Sains disajikan dalam berbagai bentuk informasi, diantaranya buku
ajar. Buku ajar dalam dunia pendidikan memilki peranan penting dalam
penyebaran perkembangan keilmuan Sains. Buku dihadirkan dengan harapan
menjadi penerang, pencerah, dan rujukan informasi dari jutaan sumber
informasi bagi peserta didik di Sekolah. Akan tetapi, harapan hadirnya
kemajuan sumber informasi dalam bentuk digital maupun cetak belum secara
optimal tercapai.
Beberapa penelitian dilakukan untuk menggali informasi tentang aktivitas
siswa dalam membaca. Salah satunya penelitian yang dilakukan oleh Saefudin.
Saefudin (2010 & 2013) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa trend

1193
kualitas dan kuantitas dalam mempelajari sains khususnya aktivitas membaca-
menulis Sains di SD semakin hari semakin menurun.
Aktivitas mempelajari Sains semakin ditinggalkan oleh peserta didik.
Peserta didik lebih cenderung memilih bermain game dan entertainment seperti
menonton TV dibandingkan dengan belajar Sains. Disisi lain keterampilan
membaca untuk anak-anak sangat penting dilakukan untuk pertumbuhan
akademis dan pribadi siswa di masa depan (Jones & Carol, 2011).
Glenberg (2011) dalam penelitiannnya menyimpulkan bahwa aktivitas
membaca sangat penting dalam mewujudkan pemahaman terhadap konteks
materi yang dibaca. Selain itu, peneliti lainnya seperti Van Den Broek, dkk
(2011), dan Jones & Carol (2011) dalam jurnalnya juga mengemukakan
tentang keefektifan membaca dalam meningkatkan minat membaca dan
pemahaman peserta didik.
Kecenderungan peserta didik meninggalkan aktivitas belajar membaca
Sains menyebabkan kemampuan awal dalam memahami materi pelajaran
Sains rendah. Akibatnya aktivitas belajar dan pembelajaran di kelas menjadi
monoton. Interaksi pembelajaran yang interaktif antara guru-siswa, siswa-siswa
ataupun siswa-sumber belajar lainnya menjadi rendah. IPA seolah menjadi
bagian yang terpisahkan dari kehidupan nyata, dan dianggap sebagai sebuah
mata pelajaran saja yang jauh dari kehidupan sehari-hari. Oleh karenanya,
perlu strategi khusus bagi pendidik dalam membelajarkan IPA di sekolah.
Optimalisasi proses pembimbingan dan tindak lanjut yang menuntun
kemampuan berfikir peserta didik dalam penemuan konsep dasar materi dan
proses melakukan rangkaian aktivitas belajar perlu dilakukan. Salah satunya
dengan pemberian stimulus di awal pembelajaran.
Stimulus pembelajaran di awal pembelajaran perlu dilakukan untuk
membangkitkan semangat belajar Sains di Sekolah. Salah satu formula
tersebut adalah dengan Strategi Pedoman Membaca Sains. Pedoman
Membaca Sains adalah penting bagi para pendidik, agar peserta didik memiliki
minat belajar yang baik dan terlibat langsung dalam pencarian konsep sains
sehingga kemampuan memahami suatu konsep dengan melakukan proses
berfikir yang baik dimiliki oleh peserta didik.
Berdasarkan pada permasalahan di atas, dapat dijabarkan dalam
beberapa rumusan pertanyaan berikut;
1. Bagaimana hakekat pembelajaran IPA di SD?
2. Seperti apa Pedoman Membaca Sains dalam pembelajaran IPA di SD?
3. Bagaimana prinsip penyusunan Pedoman Membaca Sains dalam
pembelajaran IPA di SD?
4. Bagaimana hubungan Pedoman Membaca Sains dan Aktivitas Literasi
Sains di SD?
PEMBELAJARAN IPA DI SEKOLAH DASAR
Pendidikan IPA yang disusun Departemen Pendidikan Nasional (2006)
dengan judul Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) mendefinisikan IPA
adalah suatu proses penemuan. IPA tidak hanya berkaitan dengan
penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep,
atau prinsip-prinsip saja. Proses pembelajarannya menekankan pada

1194
pemberian pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi siswa
agar mampu menjelajahi dan memahami alam sekitar secara ilmiah.
Pendidikan IPA diarahkan untuk inkuiri dan berbuat sehingga dapat
membantu peserta didik untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam
tentang alam sekitar. Dengan demikian, IPA diharapkan dapat menjadi wahana
bagi peserta didik untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar, serta
prospek pengembangan lebih lanjut dalam menerapkannya di dalam kehidupan
sehari-hari.
Mata pelajaran IPA dipelajari sejak dini baik secara langsung maupun
tidak langsung. Dalam KTSP (Depdiknas; 2006), mata pelajaran IPA mulai
diajarkan sejak kelas 1 SD. Menurut Jean Piaget (Trianto, 2007:22), tahapan
berpikir siswa SD masih dalam tahapan operasional konkret yaitu usia 7–11
tahun. Pada tahap ini siswa membutuhkan pengalaman yang menarik sehingga
diperlukan metode dan media yang yang bervariasi dalam pembelajaran.
Paolo dan Marten (Iskandar, 2001: 16) Ilmu Pengetahuan Alam untuk
anak-anak didefinisikan sebagai ; (1) mengamati apa yang terjadi; (2) mencoba
memahami apa yang diamati; (3) mempergunakan pengetahuan baru untuk
meramalkan apa yang akan terjadi; dan (4) menguji ramalan.
Dari pendapat tersebut, tergambar dengan jelas proses yang perlu
dilakukan oleh seorang anak dalam mempelajari IPA. Dengan demikian, dalam
pembelajaran IPA tidak hanya melibatkan kegiatan berpikir saja (minds on
activities) tetapi juga melibatkan kegiatan manipulatif (hands on activities).
PEDOMAN MEMBACA SAINS (PMS)
Saefudin (2010) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa pedoman
membaca pada konteks PMS adalah patokan atau rujukan berupa pertanyaan
dan atau pernyataan tentang materi IPA. PMS bertujuan mengarahkan,
membimbing peserta didik untuk melakukan serangkaian aktivitas
pembelajaran sesuai dengan isi pertanyaan dan atau pernyataan yang sudah
didesain guru.
Pembuatan PMS didesain dengan menggabungkan unsur keterhubungan
antara materi sains murni, lingkungan, teknologi dan sosial masyarakat. Artinya
PMS tidak berisi kumpulan pertanyaan dan atau pernyataan materi sains murni
saja, tetapi juga harus memasukan keterhubungan dari keempat unsur
tersebut. Hal tersebut senada dengan Saefudin (2013) bahwa dalam
pengembangan pembuatan PMS perlu didesain dengan memperhatikan unsur
IPA, lingkungan, teknologi, dan masyarakat. Unsur-unsur tersebut menjadi visi
dalam pengembangan PMS. Artinya pengembangan pembuatan PMS harus
didasari atas dasar bagaimana perkembangan sains dapat mempengaruhi
lingkungan, teknologi, dan masyarakat secara terpadu dan bersinggungan satu
sama lain secara timbal balik.
Penyusunan PMS harus memperhatikan beberapa prinsip berikut yaitu:
1. Materi sains tetap menjadi prioritas utama dalam PMS. Artinya isi PMS tetap
menjadikan konten sains menjadi prioritas utama dalam pembelajaran IPA.
2. Menghubungkan antara konsep sains dan teknologi. Maksudnya adalah
PMS berisi konten sains dan hubungannnya dengan teknologi, peserta didik
diajak berfikir bahwa sains bisa dimanfaatkan ke bentuk teknologi untuk
kepentingan masyarakat. Sebagai contoh jika materinya tentang Listrik,

1195
maka PMS harus bisa mengajak peserta didik untuk berpikir memberikan
contoh bagaimana listrik bisa dimanfaatkan dalam bentuk teknologi untuk
kepentingan masyarakat luas.
3. Konten PMS juga harus ada pertanyaan dan atau pernyataan untuk
menumbuhkan kemampuan peserta didik dalam berpikir tentang berbagai
kemungkinan akibat yang terjadi dalam proses pentransferan sains ke
bentuk teknologi. Misalnya teknologi Cahaya, Listrik, Energi, Magnet, dll.
4. PMS harus mempertimbangkan manfaat atau kerugian jika konsep sains
dirubah dalam bentuk teknologi. Konsep ini dimaksudkan untuk
menumbuhkan semangat kesadaran kepada peserta didik, bahwa adanya
perubahan sains dalam kemasan teknologi memiliki dampak
negatif/kerugian selain manfaat yang diperoleh.
5. PMS berisi pertanyaan dan atau pernyataan tentang berpikir mencari solusi
alternatif mengurangi dampak negatif yang mungkin akan ditimbulkan dari
sains-teknologi. Konsep ini dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa memiliki
kepada peserta didik terhadap keberlangsungan alam semesta (lingkungan)
yang sehat.
6. PMS berisi pertanyaan dan atau pernyataan tentang keterhubungan antara
unsur sains dengan unsur-unsur lainnya secara menyeluruh. Konsep yang
keenam ini adalah memiliki maksud, agar peserta didik memiliki kemampuan
menjelaskan secara menyeluruh tentang keterhubungan antara sains,
lingkungan, teknologi dan masyarakat.
Karakteristik Pedoman Membaca Sains
Karakteristik PMS menurut Saefudin (2013) yang telah dikembangkan
adalah sebagai berikut: (1) terdapat kalimat perintah untuk melakukan aktivitas
membaca terhadap buku-buku IPA dengan penulis dan halaman yang sudah
ditentukan, (2) berbentuk pertanyaan dan atau pernyataan benar-salah, (3)
pertanyaan berupa uraian dan melengkapi kalimat yang belum utuh, (4)
terdapat kalimat penuntun sebelum pertanyaan dan atau pernyataan inti, (5)
terdapat kolom jawaban yang sudah disediakan untuk memandu peserta didik
dalam menuangkan jawabannya, (6) terdapat gambar di sebelah kiri teks soal
atau di atas teks soal, (7) pertanyaan dan atau pernyataannya dikaitkan
dengan keempat unsur sains, lingkungan, teknologi dan masyarakat, dan (8)
diberikan di awal pembelajaran.
Pedoman Membaca Sains dan Aplikasinya di Kelas
Jika dilihat sepintas, strategi PMS seolah bertentangan dengan hakekat
IPA yang sesungguhnya. PMS seolah jauh dari kegiatan pengalaman langsung
praktikum. IPA hanya diajarkan dalam bentuk membaca saja tidak diikuti
dengan pengalaman belajar lainnya misalnya inkuiri, observasi, diskusi,
praktikum, dll. Pembelajaran IPA seolah diajarkan dan dikenalkan sebagai IPA
Sastra yang tidak mengenal proses penyelidikan lewat praktikum, diskusi dan
lain-lain. Namun sebenarnya tidak demikian. Konsep PMS tidak menghilangkan
hakekat pembelajaran IPA yang sesungguhnya. Pembelajaran PMS tetap
mengedepankan proses ilmiah dan proses inkuiri. PMS hanya sebagai alat
bantu guru memfasilitasi peserta didik memiliki kesiapan belajar sebelum
proses pembelajaran inti dimulai.

1196
Proses pelaksanaannya dilakukan sebelum proses pembelajaran
berlangsung. Peserta didik membaca sumber belajar yang sudah disediakan
dan mengerjakan pertanyaan dan atau pernyataan benar-salah yang ada
dalam PMS. Setelah PMS selesai dilakukan, pembelajaran IPA di elaborasi
dalam bentuk diskusi kelompok dan praktikum/eksperimen perihal materi yang
akan diajarkan, hasil kerja tersebut dikomunikasikan dalam bentuk tulis dan
lisan di depan kelas.
Pembelajaran dengan strategi PMS menyatu ke dalam proses kegiatan
belajar mengajar di kelas. Peserta didik tidak hanya dikenalkan tentang materi
ke-IPA-an secara science saja melainkan juga diajak mengenal dan memahami
dampak positif-negatif dari materi yang dipelajari bagi manusia dan
Lingkungan. Selain itu, di dalam PMS, siswa diajak untuk menanamkan rasa
tanggung jawab dan peduli terhadap lingkungan sekitar.
Saefudin (2013) dalam penelitiannya ’Pengembangan Pedoman
Membaca Bervisi Science-Environment-Technology, and Society (SETS) pada
pembelajaran IPA di Sekolah Dasar’ mengungkapkan adanya manfaat setelah
diterapkannya PMS di awal pembelajaran. Manfaat tersebut adalah peserta
didik terfasilitasi untuk melakukan serangkaian proses penemuan secara
mandiri tentang materi IPA lewat panduan-panduan pertanyaan dan atau
pernyataan yang ada dalam pedoman membaca tersebut. Melalui strategi
tersebut peserta didik dituntut menemukan isi pokok dari buku bacaan yang
dibacanya.
Ahmadi, dkk (2012) dalam penelitiannya ‘Impacts of Learning Reading
Strategy on Students’ Reading Comprehension Pr’ficiency' juga menunjukkan,
bahwa proses membaca memiliki dampak positif yang signifikan pada
pemahaman membaca peserta didik. Kemampuan membaca pemahaman
dapat ditingkatkan dengan aktivitas membaca.
PMS dikembangkan untuk mengarahkan dan membimbing peserta didik
melakukan proses pencarian dan pemahaman konsep materi IPA. PMS
menjembatani peserta didik mengenal lebih awal konsep materi yang diajarkan
pada saat itu untuk selanjutnya digunakan sebagai dasar berfikir dalam
menemukan konsep lebih jauh dalam diskusi dan praktikum.
PMS mampu menyiapkan kemampuan awal peserta didik mengenal lebih
jauh pemahaman konsep yang akan dibangun selanjutnya. Melalui PMS
peserta didik membangun pengetahuannya sendiri. Strategi ini tentu
mempermudah aktivitas pendidik dan peserta didik di kelas dan menjadi
penting bagi keterlaksanaan kegiatan pembelajaran yang aktif dan kompetitif.
PMS dalam pelaksanaan tidak terpisahkan dari proses membaca. Pada
awal pembelajaran aktivitas membaca menjadi hal yang mesti dilakukan,
melalui membaca mereka sudah melakukan serangkaian proses penemuan
sendiri lewat panduan-panduan pertanyaan yang ada dalam PMS tersebut.
Peserta didik dituntut menemukan isi pokok dari buku bacaan yang dibacanya,
dan pada saat mereka melakukan serangkaian aktivitas membaca dan
melakukan tahapan yang terdapat di dalam PMS. Dari berbagai tahapan
tersebut sebuah interaksi serta proses pelibatan aktif. Peserta didik diberikan
pengalaman langsung untuk melakukan proses penemuan secara mandiri
antara dirinya dan sumber belajar. Proses inkuiri literatur tersebut menjadi
dasar untuk mengkonstruksi kemampuan berpikir secara aktif disaat mereka
1197
membaca dan memiliki tujuan untuk membaca. Kegiatan ini menjadi modal
dasar untuk kegiatan penguatan konsep selanjutnya, melalui praktikum dan
diskusi kelompok.
Pedoman Membaca Sains dan Aktivitas Belajar Sains
Salman (2009) dalam jurnal internasionalnya “Active Learning
Techniques (Alt) In A mathematics Workshop; Nigerian Primary School
Teachers’ Assessment” menjelaskan bahwa dalam pembelajaran, peserta didik
harus berperan aktif dalam proses pencarian dan produktivitas menghasilkan
ide baik dalam bentuk interaksi antar peserta didik maupun peserta didik
dengan isi materi pelajaran dalam proses pembelajaran
Pendapat di atas didukung juga oleh temuan Saefudin (2013). Aktivitas
belajar dari hasil uji coba di lapangan menunjukkan peserta didik memiliki
tingkat aktivitas yang sangat baik dengan persentase 96%. Kontribusi PMS
terhadap kemampuan pemahaman awal peserta didik menjadi penyebab
utama peserta didik memiliki tingkat aktivitas yang sangat baik. Dengan adanya
pemahaman di awal pembelajaran menimbulkan tumbuhnya rasa percaya diri
peserta didik untuk mengeluarkan pendapat dan memberikan jawaban pada
saat pembelajaran berlangsung. Aktivitas ini menunjukkan satu atmosfer
belajar yang baik dalam pembelajaran.
Hasil aktivitas peserta didik yang diperoleh dari penerapan strategi
pedoman membaca sains (Saefudin; 2013) secara umum adalah peserta didik
(1) bersemangat mengikuti pelajaran sains; (2) seksama dalam membaca
sains; (3) aktif dalam pencarian informasi di bahan ajar yang tersedia; (4)
mengajukan pertanyaan dengan bahasa yang mudah dipahami dengan cara
yang santun; (5) menyampaikan pendapat dengan bahasa yang mudah
dipahami dengan cara yang santun; (6) mampu menjawab pertanyaan; (7)
antusias melakukan kerja ilmiah; (8) seksama mengamati percobaan; (9)
mampu bekerjasama dengan tim; dan (10) tuntas menyelesaikan masalah yang
diberikan.
Hal ini menunjukkan bahwa PMS memilki peran dalam menggerakkan
aktivitas belajar sains peserta didik. Kegiatan ini mampu mempengaruhi
kemampuan peserta didik dalam memahami konsep materi di awal
pembelajaran. Peserta didik memiliki modal awal materi sebagai konsep awal
dalam melakukan aktivitas selanjutnya. Hal di atas tersebutlah yang kemudian
disebutkan bahwa pedoman membaca sains sebagai salah satu konsep awal
menumbuhkan aktivitas literasi sains di SD.

1198
Harapan:
1. memiliki pemahaman awal tentang
materi IPA
2. Kepercayaan diri tumbuh saat Result:
Aktivitas Peserta Didik: Tujuan
diskusi, tanya jawab & unjuk kerja Pembelaj
1. Membaca materi IPA 3. Aktivitas belajar Lebih interaktif Simpulan aran
2. Menjawab pertanyaan Tercapai
dan pernyataan yang
ada dalam PMS Konfirmasi

PMS 1. menyimpulkan hasil


diterapkan di Elaborasi : pembelajaran
awal
pembelajaran dengan kalimatnya
(Eksplorasi sendiri dalam
Literatur) bentuk lisan dan
1. melakukan
tulisan.
kegiatan kerja
2. Klarifikasi Konsep
ilmiah (Praktikum)
2. Peserta didik
melakukan diskusi
(Cooperative a. Menyajikan hasil kerja ilmiah
Learning) dan diskusi dalam berbagai
bentuk penyajian
b. Mengkomunikasikan dalam
bentuk lisan di depan kelas
c. Refleksi antar kelompok

Gambar 1.
Rekayasa Proses Pembelajaran IPA dengan PMS

SIMPULAN
PMS bisa digunakan sebagai strategi alternatif mempelajari IPA di SD.
PMS tidak menghilangkan hakekat pembelajaran IPA yang sesungguhnya.
PMS digunakan sebagai sarana untuk memfasilitasi peserta didik agar memiliki
wawasan dasar (konsep awal) tentang materi keilmuan yang akan dipelajari
sesuai rencana pelaksanaan pembelajaran yang sudah didesain oleh guru.
Sehingga pembelajaran IPA tetap dengan prinsipya bahwa dalam
pembelajarannya harus mengedepankan proses minds on activities dan hands
on activities.
PMS harus dibuat berdasarkan kekontekstualan dan keterhubungan
antara IPA, lingkungan, teknologi dan sosial masyarakat. Hal ini bertujuan agar
peserta didik secara tidak langsung dituntun dan diarahkan mengenal bahwa
materi IPA selalu dan selalu berhubungan dengan fenomena alam yang saling
berkaitan antara lingkungan, teknologi dan sosial masyarakat.

1199
Dimilikinya kemampuan dasar tentang konsep IPA oleh peserta didik
melalui PMS di awal pembelajaran, menjadikan anak-anak memiliki
kepercayaan diri dan antusiasme yang tinggi dalam mempelajari IPA di
sekolah, baik pada saat diskusi maupun kerja ilmiah (praktikum). Hal inilah
yang kemudian PMS menjadi sebuah konsep awal menumbuhkan kemampuan
aktivitas literasi sains siswa di SD.
DAFTAR RUJUKAN
Ahmadi, M. R., Ismail, H. N, dan pourhossein, A. G. (2012). Impacts of
Learning Reading Strategy on Students’ Reading Comprehension
Proficiency. The International Journal of Language Learning and Applied
Linguistics World (IJLLALW) Volume 1 (1), December 2012; 78-95
Departemen Pendidikan Nasional. (2006). Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP). Jakarta: Depdiknas.
Glenberg, A. M. (2011). “How reading comprehension is embodied and why
that matters”. International Electronic Journal of Elementary Education.
Volume 4 No. 1. Hal 5-18.
Iskandar, S.M. (2001). Pendiidkan Ilmu Pengetahuan Alam. Bandung: Maulana.
Jones, T dan Carol, B. (2011). “Reading engagement: a comparison between
e-books and traditional print books in an Elementary classroom”.
International Journal of Instruction, Volome 4 No. 2. Hal 5-22.
Saefudin, A. (2010). “Upaya Meningkatkan Hasil Belajar dan Kemampuan
Membaca Pemahaman Siswa Dalam Pembelajaran IPA Melalui
Penggunaan Pedoman Membaca”. Skripsi. Bandung: Prodi PGSD
Jurusan Pedagogik Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan
Indonesia.
Saefudin, A. (2013). “Pengembangan Pedoman Membaca Bervisi SETS pada
Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar”. Tesis. Semarang: Pendidikan
Dasar. Program Pascasarjana Universitas Negeri Semarang..
Salman, M. F. (2009). Active Learning Techniques (Alt) In A mathematics
Workshop; Nigerian Primary School Teachers’ Assessment. International
Electronic Journal of Mathematics Education (IEJME). Volume 4 No 1.
Hal 23-35.
Trianto. (2007). Model Pembelajaran Terpadu dalam Pembelajaran Teori dan
Praktek. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher.
Van Den Broek, P., Kendeou, P., Lousberg, S., & Visser, G. (2011).
“Preparing for reading comprehension: Fostering text comprehension
skills in preschool and early elementary school children”. International
Electronic Journal of Elementary Education. Volume 4 No 1. Hal 259-268.

1200
PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN KONSEP IPA SD
BERBASIS KEGIATAN LABORATORIUM MENGGUNAKAN
PENDEKATAN SAVI
Risda Amini
Universitas Negeri Padang
E-mail: risdamini@yahoo.co.id
Abstract
The elementary science concepts is one of the subjects in the Primary Teacher
Education, Padang State University (PGSD UNP). Preliminary surveys indicate
that students who take the classes PGSD less mastered the elementary
science concepts. The model of teaching is centered on the lecturer. The
experiment activities carried out separately by theory. The research aims to
develop the instructional model of elementary science concepts to PGSD
students. Instructional model develop by combining theoretical class and
experiment activities in the laboratory. This research used research and
development which refers to the model of Borg and Gall (1983) with the
following steps: (1) preliminary study, (2) planning, (3) development, (4)
implementation. The subjects of research were instructional of elementary
science concepts. The respondents were students in PGSD UNP who take the
classes of elementary science concepts. Data was collected using observation
sheet, interview activities, tests of elementary science concepts, and
assessment of instructional process. This research result was the instructional
model-based lab activities with SAVI approach (PBKL SAVI). The PBKL SAVI
models include three components, namely: planning, implementation, and
evaluation of learning. In order to support the implementation of learning,
developed lesson plan, lab manual, handouts, instructional media such as
PowerPoint and Macromedia Flash. The research result showed that the PBKL
SAVI models, effectively to improve student learning outcomes. It is based on
the mastery of elementary science concepts, the ability of experiment activities,
communicated and presented the experiment results which included good
categories. The PBKL SAVI models give a concrete example and based
student’s centered. The advices gived to lectures in order to use the PBKL
SAVI model in lecturing elementary science concept.
Keywords: Elementary science concepts, laboratory activities, SAVI
PENDAHULUAN
Mata kuliah Konsep IPA SD di jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar
(PGSD) Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Padang (FIP UNP)
merupakan mata kuliah wajib, diharapkan mahasiswa dapat menguasai konsep
IPA SD dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Perkuliahan konsep
IPA SD diberikan pada semester 1 dan 2 pada tahun pertama. Perkuliahan
konsep IPA SD dilaksanakan secara terpisah antara kuliah teori dan kegiatan
praktikum. Dalam perkuliahan konsep IPA SD, dosen menyajikan materi kuliah
dengan metode ceramah, tanya jawab, dan pemberian tugas. Perkuliahan
konsep IPA SD terfokus pada pembahasan materi ajar dengan menjabarkan
rumus-rumus dan memberikan contoh penggunaan rumus dalam
1201
menyelesaikan soal untuk materi yang ada perhitungannya. Kegiatan praktikum
dilaksanakan berupa praktikum verifikasi untuk membuktikan teori atau hukum
sesuai materi yang dipelajari. Dalam perkuliahan konsep IPA SD dengan
metode tersebut, maha- siswa kurang menguasai konsep IPA SD. Kurangnya
kemampuan mahasiswa menguasai konsep IPA SD juga dipengaruhi oleh latar
belakang mahasiswa yang berasal dari SMA jurusan IPS, SMK jurusan
ekonomi dan perkantoran.
Untuk memperbaiki dan meningkatkan mutu proses dan hasil belajar
mahasiswa, diperlukan pengembangan model pembelajaran. Salah satu model
pembelajaran yang dapat mengatasi masalah tersebut adalah pembelajaran
berbasis kegiatan laboratorium dengan pendekatan SAVI (disingkat model
PBKL SAVI). Pembelajaran dengan pendekatan SAVI adalah pembelajaran
yang menggabungkan gerakan fisik dan aktivitas intelektual serta melibatkan
semua alat indra yang dimiliki mahasiswa. Menurut (Meier, 2005) istilah SAVI
adalah kependekan dari: Somatic yang bermakna gerakan tubuh (hands-on,
aktivitas fisik); Auditory yang bermakna mendengarkan, menyimak, berbicara,
presentasi, argumentasi, mengemukakan pendapat, dan menanggapi;
Visualization yang bermakna belajar haruslah menggunakan indra mata melalui
mengamati, menggambar, mendemonstrasikan, menggunakan media dan alat
peraga; Intelectually yang bermakna bahwa belajar haruslah menggunakan
kemampuan berpikir (minds-on) untuk bernalar, menyelidiki, mengidentifikasi,
menemukan, mencipta, mengkonstruksi, memecahkan masalah, dan
menerapkan.
Belajar somatic berarti belajar dengan indera peraba, kinetis, dan
melibatkan fisik dalam belajar. Untuk merangsang hubungan pikiran dan tubuh
dalam pembelajaran fisika, maka perlu diciptakan suasana belajar yang dapat
membuat mahasiswa bangkit dan berdiri dari tempat duduk dan aktif secara
fisik dari waktu ke waktu. Dalam belajar somatic, mahasiswa melakukan
kegiatan praktikum. Belajar auditory berarti belajar dengan melibatkan
kemampuan mendengar dan berbicara. Dalam belajar auditory, mahasiswa
melakukan kegiatan diskusi dalam kelompok tentang materi pelajaran yang
sedang dibahas. Mahasiswa mengungkapkan pendapat atas informasi yang
telah didengarkan dari penyaji pada saat presentasi. Belajar visualization
adalah belajar dengan melibatkan kemampuan penglihatan. Dalam belajar
visualization, mahasiswa mempresentasikan hasil kegiatan praktikum. Belajar
intelectually berarti menunjukkan apa yang dilakukan mahasiswa dalam pikiran
mereka secara internal ketika mereka menggunakan kecerdasan untuk
merenungkan suatu pengalaman dan menciptakan hubungan makna, rencana
dan nilai dari pengalaman tersebut. Belajar intelektual adalah bagian untuk
merenung, mencipta, dan memecahkan masalah. Dalam belajar intelectually,
mahasiswa diminta memecahkan masalah yang diberikan dan mengerjakan
soal-soal latihan dari materi pelajaran yang sedang dibahas.
Pembelajaran fisika teknik dengan pendekatan SAVI dapat optimum jika
keempat unsur SAVI ada dalam satu proses pembelajaran. Mahasiswa dapat
belajar fisika teknik dengan melakukan praktikum (S), membicarakan atau
mendiskusikan apa yang mereka pelajari (A), menyaksikan presentasi hasil
praktikum berbantuan multimedia (V), memikirkan solusi masalah/ soal dan
mengambil kesimpulan (I). Keterkaitan pendekatan SAVI dengan metode
1202
pembelajaran yang digunakan dalam model pembelajaran yang dikembangkan
dapat dilihat dalam Gambar 1. Selanjutnya dibahas metode pembelajaran yang
digunakan dalam model pembelajaran berbasis kegiatan laboratorium dengan
pendekatan SAVI. PBKL SAVI memiliki karakteristik: (1) menggabungkan gerak
fisik dengan aktivitas intelektual dan pengunaan semua indra dalam
pembelajaran (Meier, 2005), (2) mengintegrasikan pembelajaran teori dan
praktikum untuk memantapkan pengetahuan, ketrampilan, dan sikap, (3)
kondisi belajar yang kondusif untuk mengembangkan kreativitas, motivasi, dan
wawasan, (4) memanfaatkan teknologi (Depdiknas 2002).
Masalah dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: Bagaimana
model pembelajaran berbasis kegiatan laboratorium dengan pendekatan SAVI
untuk meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam menguasai konsep IPA
dan melakukan praktikum IPA? Penelitian bertujuan untuk mengembangkan
model pembelajaran berbasis kegiatan laboratorium dengan pendekatan SAVI
pada mata kuliah Konsep IPA SD. Model pembelajaran ini diharapkan dapat
meningkat- kan kemampuan mahasiswa dalam menguasai konsep IPA dan
keterampilan melakukan praktikum.
Hasil penelitian berupa model pembelajaran, satuan acara perkuliahan,
petunjuk praktikum, pedoman pelaksanaan praktikum, dan handout dapat
bermanfaat untuk meningkatkan kualitas perkuliahan konsep IPA SD di jurusan
PGSD. Model pembelajaran yang dikembangkan dapat dijadikan sebagai
acuan bagi dosen PGSD dalam merancang program pembelajaran,
meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam mempelajari mata kuliah yang
materinya terkait dengan IPA, dan menjadi acuan bagi peneliti lainnya untuk
mengembangkan model pembelajaran di jurusan PGSD.
METODE PENELITIAN
Penelitian menggunakan metode penelitian dan pengembangan
(Research and Development) yang mengacu pada Borg (1983) dengan
tahapan: (1) studi pendahuluan, (2) perencanaan, (3) pengembangan, (4)
implementasi. Hasil studi pendahuluan digunakan untuk merencanakan draf
model, kemudian divalidasi dan dikembangkan melalui uji coba. Revisi
terhadap hasil uji coba draf model dilakukan pada materi yang sudah
ditetapkan dalam pembelajaran. Uji coba draf model dilakukan secara bersiklus
untuk materi selanjutnya. Revisi terhadap draf model pada materi terakhir
menghasilkan model untuk implementasi terbatas.
Penelitian dilakukan terhadap pembelajaran konsep IPA SD untuk
mahasiswa PGSD FIP UNP. Subyek penelitian adalah pembelajaran konsep
IPA SD. Responden penelitian pada uji coba terbatas adalah mahasiswa
jurusan PGSD FIP UNP yang mengikuti kuliah konsep IPA SD, sebanyak 29
orang (satu kelas). Instrumen penelitian berupa: lembar observasi, panduan
wawancara, tes penguasaan konsep IPA SD, dan lembar penilaian proses
pembelajaran. Perangkat pembelajaran berupa: satuan acara perkuliahan,
petunjuk praktikum, media pembelajaran berupa powerpoint dan macromedia
flash. Instrumen penelitian dan perangkat pembelajaran dibuat oleh peneliti
dengan meminta pertimbangan dari penimbang ahli (expert judgement).
Observasi dan wawancara digunakan pada studi pendahuluan untuk
memperoleh informasi tentang perkuliahan konsep IPA SD dan pada uji coba

1203
draf model pembelajaran untuk mengetahui keterlaksanaan draf model yang
dikembangkan.
Berdasarkan jenis data yang dikumpulkan maka analisis data dilakukan
secara kualitatif dan kuantitatif. Pada tahap studi pendahuluan, data dianalisis
secara deskriptif kualitatif. Pada tahap pengembangan model pembelajaran,
analisis data dilakukan sebagai berikut: (1) Draf model dianalisis secara
kualitatif dengan merevisi keterbacaan draf model pembelajaran. Revisi
dilakukan berdasarkan catatan peneliti, hasil observasi yang dilakukan oleh
observer terhadap pelaksanaan pembelajaran, pendapat dari penimbang ahli
dan teman sejawat. (2) Petunjuk praktikum dianalisis secara kualitatif dengan
merevisi keterbacaan dan sistematika penulisan. Revisi dilakukan pada setiap
topik berdasarkan catatan peneliti. (3) Data uji coba soal penguasaan konsep
IPA SD dianalisis secara kuantitatif untuk mengetahui validitas konstruksi dan
reliabilitas instrumen.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam penelitian ini telah dikembangkan model pembelajaran berbasis
kegiatan laboratorium dengan pendekatan SAVI untuk mata kuliah Konsep IPA
SD. Model pembelajaran Konsep IPA SD berbasis kegiatan laboratorium
dengan pendekatan SAVI terdiri atas tiga aspek yang terintegrasi yaitu:
perencanaan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran, dan evaluasi
pembelajaran. Efektivitas pelaksanaan model pembelajaran yang
dikembangkan ditinjau dari aspek proses dan hasil belajar. Evaluasi proses
pembelajaran bertujuan untuk mengetahui kendala atau kesulitan yang ditemui
mahasiswa dalam pembelajaran. Berdasar- kan hasil evaluasi proses
pembelajaran dilakukan revisi terhadap model pembelajaran. Di samping untuk
merevisi model pembelajaran, hasil evaluasi proses pembelajaran dapat
digunakan untuk mengetahui kemampuan mahasiswa dalam pelaksanaan
pembelajaran (Tabel 1).

Tabel 1.
Kemampuan Mahasiswa dalam Pelaksanaan Pembelajaran

Ukuran Skor Kemampuan


Statistik 1 2 3 4
Rata-rata 8 7 7 7
5,28 9,69 6,38 5,83
Standar 4 1 9 8
deviasi ,91 0,42 ,71 ,35

Keterangan: 1 = melakukan praktikum


2 = mendiskusikan hasil praktikum
3 = mengkomunikasikan hasil praktikum
4 = menyajikan hasil praktikum
Merujuk kategori penilaian dalam buku pedoman akademik Universitas
Negeri Padang dapat disimpulkan bahwa kemampuan mahasiswa dalam: (1)
melakukan praktikum termasuk kategori sangat baik, (2) mendiskusikan hasil
praktikum termasuk kategori baik, (3) mengkomunikasikan hasil termasuk
1204
kategori baik, (4) menyajikan hasil termasuk kategori baik. Evaluasi hasil
belajar dilaksanakan melalui tes penguasaan konsep IPA SD. Hasil analisis
data tes penguasaan konsep IPA SD menunjukkan bahwa rata-rata hasil
belajar mahasiswa sebesar 76,86 (termasuk kategori baik) dengan standar
deviasi 8,61. Peningkatan hasil belajar mahasiswa diperoleh dari hasil pre-test
dan post-test. Rata-rata pre-test penguasaan konsep IPA SD diperoleh 64,76
rata-rata post-test diperoleh 78,86. Peningkatan hasil belajar mahasiswa dapat
diketahui dengan menghitung rata-rata skor gain dinormalisasi dari rata-rata
pre-test dan post-test. Setelah melalui proses analisis data skor pre-test dan
post-test, diperoleh rata-rata peningkatan hasil belajar mahasiswa sebesar
0,58. Berdasarkan kategori skor gain dinormalisasi, peningkatan hasil belajar
mahasiswa dalam pembelajaran konsep IPA SD termasuk kategori sedang.
Tanggapan mahasiswa terhadap pelaksanaan model pembelajaran
berbasis kegiatan laboratorium dengan pendekatan SAVI diperoleh melalui
jawaban angket yang diberikan kepada mahasiswa setelah seluruh proses
pembelajaran dilaksanakan. Angket tanggapan mahasiswa terhadap
pelaksanaan model pembelajaran terdiri atas 25 item, yang meliputi sembilan
komponen yaitu: (1) menguasai materi/konsep IPA SD, (2) mampu
menggunakan alat laboratorium, (3) mampu melaksanakan kegiatan
perkuliahan, (4) mampu melaksanakan kegiatan praktikum, (5) bimbingan
dosen, (6) kemampuan awal mahasiswa, (7) pelaksanaan evaluasi untuk setiap
topik. Tanggapan mahasiswa terhadap pelak- sanaan model pembelajaran
disusun sesuai dengan komponen tanggapan, seperti yang disajikan dalam
Tabel 2.
Tabel 2.
Tanggapan Mahasiswa terhadap Pelaksanaan Pembelajaran

No. Komponen Tanggapan Persentase Tanggapan


(%)
SS S KS TS STS
1 Memahami materi/konsep IPA SD 30 59 5 6 0
2 Mampu menggunakan alat 41 18 37 2 2
laboratorium
3 Mampu melaksanakan kegiatan
perkuliahan 6 40 22 32 0
4 Mampu melaksanakan kegiatan
praktikum 23 56 16 5 0
5 Bimbingan dosen 18 25 15 41 1
6 Kemampuan awal mahasiswa 41 20 26 9 4
7 Pelaksanaan evaluasi untuk setiap
topik 39 13 17 7 24
Persentase rata-rata (%) 27 33 20 17 3

Keterangan: SS = sangat setuju, S = setuju, KS = kurang setuju, TS = tidak


setuju, STS = sangat tidak setuju terhadap pernyataan yang diberikan.

1205
Setelah melaksanakan model pembelajaran berbasis kegiatan praktikum
dengan materi listrik arus searah dan medan magnet, secara umum mahasiswa
memberikan tanggapan setuju terhadap pelaksanaan model pembelajaran. Hal
ini dapat dilihat pada Tabel 2 yang menunjukkan bahwa 27% mahasiswa
sangat setuju dan 33% mahasiswa setuju dengan pelaksanaan model
pembelajaran yang dikembangkan.
Berdasarkan hasil analisis data yang telah diuraikan di atas dapat
ditunjukkan bahwa: (1) rata-rata skor kemampuan mahasiswa dalam
pelaksanaan pembelajaran secara keseluruhan termasuk kategori baik, (2)
penguasaan konsep IPA SD mahasiswa termasuk kategori baik, (3)
peningkatan penguasaan konsep IPA SD termasuk kategori sedang, (4)
tanggapan mahasiswa menunjukkan bahwa mereka setuju dengan
pelaksanaan model pembelajaran yang dikembangkan. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran yang dikembang- kan efektif
untuk meningkatkan penguasaan konsep IPA SD dan kemampuan mahasiswa
dalam melakukan praktikum. Penguasaan konsep IPA SD mahasiswa dan
kemampuan melaksanakan pembelajaran yang berbasis kegiatan laboratorium
didukung oleh McDermott (1975) yang menyatakan bahwa mahasiswa harus
mampu melakukan kegiatan laboratorium di samping menguasai konsep
esensial. Kemampuan mahasiswa dalam melakukan eksperimen, memecahkan
masalah, dan mengkomunikasikan hasil sudah memenuhi kriteria ketiga ABET
(Lattuca, 2006).
Kemampuan mahasiswa dalam melakukan praktikum (yang bersifat
inkuiri) termasuk kategori sangat baik. Temuan penelitian ini didukung oleh
penelitian Cox (2002) dan McComas (2005) yang menemukan bahwa kegiatan
laboratorium inkuiri dapat meningkatkan kinerja mahasiswa dalam melakukan
praktikum. Deters (2005) dan Dawes (2002) dalam penelitiannya menemukan
bahwa kegiatan laboratorium inkuiri dapat meningkatkan kemampuan
mahasiswa dalam berpikir logis, memecahkan masalah, dan memberikan
pengalaman kegiatan laboratorium yang mengesankan.
SIMPULAN
Model pembelajaran yang dikembangkan untuk meningkatkan
penguasaan konsep IPA SD mahasiswa PGSD FIP UNP disebut model
pembelajaran berbasis kegiatan laboratorium dengan pendekatan SAVI. Model
pembelajaran ini dikembangkan dengan menggabungkan kuliah teori dan
praktikum. Model pembelajaran berbasis kegiatan laboratorium dengan
pendekatan SAVI disusun dalam tiga komponen, yaitu perencanaan,
pelaksanaan, dan evaluasi. Komponen perencanaan pembelajaran mencakup:
tujuan pembelajaran, materi pembela- jaran, metode pembelajaran, prosedur
pembelajaran, media pembelajaran, dan evaluasi. Komponen pelaksanaan
pembelajaran mencakup: pendahuluan, kegiatan inti, dan penutup. Tahap-
tahap kegiatan inti adalah: menganalisis masalah, mengkonstruksi solusi
melalui kegiatan praktikum, memeriksa solusi, mengkomunikasikan hasil, dan
menyajikan hasil. Komponen evaluasi pembelajaran mencakup: tujuan
evaluasi, sasaran evaluasi, prosedur evaluasi, alat evaluasi. Model
pembelajaran yang dikembangkan dapat dilaksanakan oleh mahasiswa. Hal ini
ditunjukkan oleh: (1) rata-rata skor kemampuan mahasiswa dalam pelaksanaan

1206
pembelajaran secara keseluruhan termasuk kategori baik, (2) penguasaan
konsep IPA mahasiswa termasuk kategori baik.
Mengingat banyak waktu yang digunakan untuk membahas satu topik
dengan model PKL SAVI, perkuliahan konsep IPA SD melalui kegiatan tatap
muka, tugas terstruktur, dan tugas mandiri harus dilaksanakan oleh mahasiswa
dengan baik. Dosen mata kuliah konsep IPA SD diharapkan dapat
memfasilitasi dan memotivasi mahasiswa untuk melaksanakan kegiatan tatap
muka, tugas terstruktur, dan tugas mandiri.
DAFTAR RUJUKAN
Borg, R.G. & M.D. Gall. (1983). Educational Research, an Introduction. Fifth
Edition. New York: Longman.
Cox, A.J., Junkin, W.F. (2002). “Enhanced Student Learning in the Introductory
Physics Laboratory”. Physics Education. 37(1). 37-44.
Dawes,J.M. (2002). Generic Skill in Physics. Sydney: Department of Physics
Macquarie University.
Depdiknas. (2002). Pengembangan Sistem Pendidikan Tenaga Kependidikan
Abad ke-21. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Deters, K. 2005. ”An Inquiry Lab on Inclined Planes”. The Physics Teacher. Vol
43. 177-179.
Hofstein, A., Vincent, N., Lunetta. (2003). The laboratory in science education:
Foundations for the twenty-first century. Science Education. Volume
88(1). p. 28 - 54.
Lattuca,L.R., Terenzini,P.T., and Volkwein,J.F. (2006). Engineering Change: A
Study of the Impact of EC 2000. Executive Summary. USA: ABET Inc
Tersedia: http://www.abet.org.
McComas, W. (2005). Laboratory Instruction in the Service of Science
Teaching and Learning. The Science Teacher. Vol 72(7). p.24-29.
McDermott, L.C. (1975). Improving High School Physics Teacher Preparation.
Physics Teacher. Vol 13(9). p.523-529.
Meier, D. (2005). The Accelerated Learning Handbooks: A Creative Guide to
Designing and Delivering Faster, More Effective Training Programs. USA:
McGraw-Hill.

1207
PROFESIONALISME SEORANG GURU DALAM MENERAPKAN
PENDEKATAN KETERAMPILAN PROSES SUATU UPAYA
MENINGKATAN KUALITAS PEDAGOGIK SAINS
DI SEKOLAH DASAR
1)
Sukiniarti & 2)Lis Setiawati
Universitas Terbuka
E-mail: 1)kuniarti@ut.ac.id
Abstract
Based on the annual report of the UNESCO Education for All Global Monitoring
Report 2012, education in Indonesia was rated 64th out of 120 countries
worldwide. This shows that the quality of education in Indonesia today, is quite
alarming. One way to improve the quality of education in a country is among
others, the implementation of teaching approach at every level of education.
Specifically on basic education, skills process approach is one of the common
approaches applied to science teaching. The use of this approach is aimed to
improve the effectiveness of student learning of science subjects. The
application, is an effort to improve the quality of science teaching and in
primary schools. This paper is an affort to motivate teachers in carrying out his
duties as a professional educator or teacher . It includes three issues: (1)
Professionalism, (2). characteristics of effective science teaching , and (3)
skills process approach as an effort to improve the quality of science teaching.
Conclusions drawn are: (1) professional teachers should be able to be a good
role model for subject, e.g: his/her mastery of science, skill, discipline,
responsibility, and personality that includes moral and social values, (2 )
learning science is learning is the phenomena leaning of the universe
observation and experimentation through a scientific procedures, (3) skills
process approach is an effective learning approach that can improve the quality
of Sciences Learning.
Keywords: teacher professionalism, skills process approach, science teaching
and learning
PENDAHULUAN
Dunia Pendidikan dewasa ini, khusunya di Indonesia dihadapkan pada
tantangan yang cukup besar, seiring dengan derasnya tantangan global. Yang
sangat memprihatinkan kualitas pendidikan di Indonesia du dunia internasional
berdasarkan laporan tahunan UNESCO EDUCATION For All Global Monitoring
Report 2012 berada diperingkat ke 64 dari 120 negara di seluruh dunia.
Gabrillin, A (2014) menyatakan: (1) Sebanyak 75% sekolah di Indonesia tidak
memenuh standar layanan minimal pendidikan, (2) Nilai rata-rata kompetensi
guru di Indonesia hanya 44,5, padahal nilai standar kompetensi guru adalah 75,
(3). Indonesia berada pada tingkat 40 dari 40 negara pada pemetaan kualitas
pendidikan menurut lembaga The Learning Curve.
Kenapa hal ini bisa terjadi? Bagaimana perkembangan pedagogik di
Indonesia selama ini? Apa arti pedagogik? Mengapa guru harus memahami
pedagogik? Menurut Uyoh Sadulloh (2010:1), pedagogik merupakan ilmu yang
membahas pendidikan, yaitu ilmu pendidikan anak. Jadi, pedagogik mencoba
1208
menjelaskan tentang seluk-beluk pendidikan anak, pedagogik merupakan teori
pendidikan anak. Pedagogik berasal dari Bahasa Yunani, “paedos” yang berarti
anak laki-laki dan “agogos” artinya mengantar, membimbing. Kamus Bahasa
Indonesia Edisi III ( 2001) dinyatakan bahwa pedagogi adalah ilmu pendidikan
atau ilmu pengajaran.Mok Soon Sang (2010) mengatakan bahwa pedagogi
adalah salah satu bidang ilmu pendidikan yang berkaitan dengan kajian secara
saintifik atas prinsip-prinsip dan kaedah-kaedah mengajar, merangkum proses
pengajaran yang optimal.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, bahwa dalam pedagogik, guru
merupakan faktor penting dalam meningkatkan kualitas pembelajaran.
Menguasai pedagogi merupakan salah satu syarat yang penting bagi seorang
guru. Sehingga dengan kata lain pedagogik ialah ilmu mendidik anak.
Seorang guru harus memahami pedagogik, termasuk pedagogik sains.
Khususnya dalam pedagogik sains tugas seorang guru adalah membantu
peserta didik yang sedang berkembang untuk mempelajari sesuatu yang belum
diketahunya, khususnya yang berkaitan dengan materi sains .
Mengingat hal tersebut di atas maka pada makalah ini akan dibahas 3
(tiga) masalah yang meliputi:(1) Guru yang Profesional, (2). Karakteristik
Pembelajaran Sains, (3). Pendekatan Keterampilan proses suatu upaya
meningkatkan kualitas pedagogik sains

GURU YANG PROFESIONAL


Profesionalisme berasal dari kata profesi. Barnawi dan Arifin,M (2014: 1)
mengatakan bahwa profesi dirartikan sebagai pekerjaan yang dilandasi
keahlian, yaitu yang berasal dari kata profeteor yang berarti mengumumkan,
menyatakan kepercayaan, menegaskan, membuka, mengakui, dan
membenarkan.
Karakteristik utama profesionalisme seorang guru terletak pada
kesadarannya sebagai manusia. Achjar Chalil dan Hudaya,L (2008: 94) kualitas
profesionalisme seorang guru dapat ditunjukkan melalui sikap-sikap seperti: (1)
Keinginan untuk selalu menampilkan perilaku yang mendekati standar ideal, (2)
Selalu meningkatkan dan memelihara citra profesi, (3) Selalu mengejar
kesempatan untuk mengembangkan profesi yang dapat meningkatkan
pengetahuan dan keterampilannya, (4) Mengejar kualitas dan cita-cita dalam
profesi, dan selalu berusaha selalu tampil prima, dan (5) memiliki kebanggaan
terhadap profesinya.
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sitem Pendidikan
Nasional, UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen, serta Peraturan
Pemerintah Nomor 19/2005, pasal 1, ayat (1) tentang Standar Nasional
Pendidikan, guru ditetapkan sebagai pendidik profesional dengan tugas utama
adalah mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan
mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan
formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Selanjutnya, dalam pasal
28, ayat (1) PP. No. 19/2005 ditetapkan bahwa: Pendidik harus memiliki
kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat
jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan
pendidikan nasional. Dalam Pasal 40 Ayat 2 Undang-Undang Sistem
Pendidikan Nasional (UU No.20/2003) disebutkan bahwa setiap pendidik

1209
berkewajiban untuk menciptakan suasana pendidikan yang bermakna,
menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis, mempunyai komitmen secara
profesional untuk meningkatkan mutu pendidikan, memberi teladan dan
menjaga nama baik lembaga, profesi, dan kedudukan sesuai dengan
kepercayaan yang diberikan kepadanya.
Berdasarkan pernyataan tersebut di atas menunjukkan bahwa untuk
menjadi guru, khusunya guru sains yang profesional, harus bekerja keras
mencoba mempraktikkan terlebih dahulu semua materi sains yang perlu
dipraktikkan sebelum mengajar atau membimbing muridnya atau peserta didik.
Megawangi, R ((2009: 156), mengatakan bahwa guru harus sebagai
model atau tokoh idola. Siapa yang menjadikan dirinya sebagai pemimpin
orang lain, hendaknya ia mulai dengan mengajar drinya sendiri melalui
perbuatan-perbuatan yang terpuji sebelum mengajarkannya terhadap orang
lain. Dalam hal ini apabila seorang guru dapat menjadi idola bagi muridnya,
maka setiap perkataan dan tngkah laku guru akan ditiru oleh muridnya. Dalam
hal ini termasuk kerja keras guru, kedisiplinan seorang guru, serta semua
keterampilan yang dilakukan kegiatan percobaan
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 16/2007, tentang Standar
Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru, mulai dari Guru PAUD/TK/RA,
Guru SD/MI, dan Guru Mata Pelajaran, harus paham benar tentang kompetensi
yang harus dikuasai agar layak memangku jabatan guru, sesuai dengan
jenjang dan bidang tugas masing-masing. Dalam hal ini termasuk guru bidang
studi Sains / IPA. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan kompetensi?
Wardani,I.G.A.K (2009:7.7) mengungkapkan, bahwa kompetensi dapat
disamakan dengan suatu tindakan cerdas dan bertanggung jawab yang
ditunjukkan oleh seseorang sebagai bukti bahwa ia memang kompeten dalam
bidang tersebut. Tindakan cerdas dan bertanggung jawab tersebut hanya dapat
ditunjukkan oleh seseorang jika ia memiliki ilmu atau pengetahuan yang
mantap, memiliki keterampilan yang memadai, serta sikap yang memungkinkan
ia menunjukkan tindakan tersebut secara cerdas. Peraturan Pemerintah Nomor
19/2005, pasal 1, ayat (1) tentang Standar Nasional Pendidikan, kompetensi
sebagai agen pembelajaran terdiri dari: (1) kompetensi pedagogik, (2)
kompetensi kepribadian, (3) kompetensi profesional, dan (4) kompetensi sosial.
Yang dimaksud dengan kompetensi pedagogik dalam agen pembelajaran disini
adalah seluruh pembelajaran dari berbagai bidang studi, termasuk diantaranya
pedagogik sains
Daryanto dan Sudjendro,H (2014: 19) mengatakan bahwa guru adalah
pendidik, yang menjadi tokoh dan panutan peserta didik dan lingkungannya.
Oleh karena itu guru harus mempunyai satandar kualitas pribadi tertentu yang
mencakup tanggungjawab, mandiri dan disiplin. Guru harus memahami nilai-
nilai moral dan sosial, serta berusaha berperilaku dan berbuat sesuai dengan
nilai moral dan sosial tersebut.
Berdasarkan uraian tersebut di atas untuk menjadi guru yang profesional,
harus bisa menjadi teladan bagi peserta didiknya baik teladan dalam bidang
ilmunya, teladan dalam keterampilannya, teladan dalam kedisiplinan dan
tanggungjawabnya, serta teladan dalam kepribadiannya yang meliputi nilai
moral dan sosial. Guru-guru yang demikianlah yang diharapkan pemerintah
Indonesia sebagai guru yang profesional. Untuk menjadi Guru sains yang

1210
profeional tidak cukup hanya menguasai fakta-fakta dan konsep sains semata,
melainkan harus memiliki pemahaman mendalam tentang sains terutama
sistem koheren antara fakta, konsep, dan inkuiri ilmiah, serta kemampuan
menyelesaikan masalah.

KARAKTERISTIK PEMBELAJARAN SAINS


Sains berasal dari kata latn ”scire” yang artinya mengetahui. Dalam
perkembangannya, Sains diartikan sebagai pengetahuan yang sistematis
berdasarkan observasi. Oleh karenanya sains hanya melakukan kajiannya
pada alam, melalui observasi
Rustaman, N. (2013: 1.5) mengungkapkan bahwa hakikat sains adalah
produk, proses dan penerapannya (tenologi), termasuk sikap dan nilai yang
terdapat di dalamnya. Produk sains terdiri dari fakta, konsep, prinsip, hukum,
dan teori, dapat dicapai melalui penggunaan proses sains, yaitu melalui
metode-metode ilmiah (scientific methods), dan bekerja ilmiah (scientific
inquiry). Oleh karena itu belajar sains yang benar adalah memberikan
kesempatan dan bekal untuk memproses sains dan menerapkan dalam
kehidupan sehari-hari melalui cara-cara yang benar dan mengikuti etika
keilmuan dan etika yang berlaku dalam masyarakatnya.
Menurut Depdiknas (2004:3) sains adalah ilmu yang mempelajari
fenomena-fenomenadi alam semesta. Ciri khas sains /IPA adalah berkembang
dari observasi dan eksperimentasi
Carin & Sund (1989) mendifinisikan sains adalah suatu sistem untuk
memahami alam semesta melalu observasi dan eksperimen yang terkontrol.
Sund dan Trowbribge (2013) merumuskan bahwa sains merupakan
kumpulan pengetahuan dan proses. Sedangkan Kuslan Stone, menyebutkan
bahwa sains adalah kumpulan pengetahuan dan cara-cara untuk mendapatkan
dan menggunakan pengetahuan itu. Berarti sains merupakan produk dan
proses yang tidak dapat dipisahkan. Oleh karenanya karakteristik
sains/Penddikan IPA di SD dapat dkategorkan ke dalam 3 dimensi, yaitu
dimensi produk, dimensi proses, dan dimensi sikap ilmiah.
Wynne Harlen (1987) dalam Teaching and Learning Premary Science
menjelaskan sembilan (9) sikap lmiah yang harus dkembangkan sejak dini
pada siswa sekolah dasar. Kesembilan sikap tersebut adalah: (1) Sikap ingin
tahu (curiosity), (2). Sikap ingin mendapatkan sesuatu yang baru (originality),
(3). Sikap kerjasama (cooperation), (4). Sikap tidak putus asa (perseverance),
(5). Sikap terbuka untuk menerima (open-mindedness), (6). Sikap mawas diri
(self critism), (7). Sikap bertanggung jawab (responsibility), (8). Sikap berpikir
bebas (independence in thinking), dan (9). Sikap kedisiplinan diri (self
discipline).
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
karakteristik pembelajaran sains adalah pembelajaran yang mengkaji
fenomena-fenomena alam semesta melalui observasi dan eksperimentasi
disertai sikap ilmiah dalam mempelajarinya.
PENDEKATAN KETERAMPILAN PROSES SUATU UPAYA
MENINGKATKAN KUALITAS PEDAGOGIK SAINS
Mengingat karakteristik sains adalah berkembang melalui observas dan
eksperimentasi, maka pendekatan keterampilan proses sangat tepat untuk
1211
meningkatkan kualitas pedagogik sains. Mengapa demikian? Untuk menjawab
pernyatan diatas, kita perlu memahami pendekatan keterampilan proses dalam
pembelajaran sains.
Keterampilan proses merupakan salah satu pendekatan pembelajaran
yang sangat relevan dengan pembelajaran sains/PA. Sapriati, A &
Budiastra,A.A.K ((2009: 4.1) mengungkapkan bahwa pendekatan ketermpilan
proses terdri dari pendekatan keterampilan proses dasar dan pendekatan
keterampilan prose terintegrasi.
Pendekatan keterampilan proses dasar meliputi keterampilan
mengobservasi, mengklasifikasi, mengukur, mengkomunikasikan hasil,
menginferensi, memprediksi, mengenal hubungan ruang dan waktu, serta
mengenal hubungan-hubungan angka. Sedangkan keterampilan proses
terintegrasi meliputi keterampilan memformulasikan hipotesis, menamai
variabel, membuat definisi operasional, melakukan eksperimen,
menginterpretasi data, dan melakukan penyelidikan.
Pendekatan keterampilan-keterampilan proses IPA/sains, sebagai guru
yang profesional mutlak harus dilakukan dan dicontohkan kepada peserta didik
mulai sedini mungkin. Dalam menerapkan pendekatan keterempilan proses,
guru yang profesional harus tetap berpedoman pada 4 (empat) kompetensi
yang dipersyaratkan, yakni: (1) Kompetensi Pedagogik, contohnya dalam
merancang pembelajaran harus harus disesuaikan dengan kondisi peserta
didik (karakteristik siswa), (2). Kompetensi Kepribadian, contohnya dalam
proses pembelajaran guru harus bisa menjadi teladan,berwibawa, dan
bijaksana dalam menangani setiap masalah, (3). Kompetensi Profesional,
yakni: guru harus menguasai substansi keilmuan yang berkaitan dengan
bidang studi yang diampunya, dalam hal ini apabila berperan sebagai guru
sains/IPA, maka antara lain harus terampil menerapkan pendekatan
keterampilan proses sains/IPA, (4). Kompetensi Sosial, yakni: guru harus
mampu berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, dengan
sesama pendidik dan tenaga kependidikan, serta berkomunikasi secara efektif
dengan orang tua/wali dan masyarakat sekitar.
Apabila guru membimbing siswa untuk melakukan percobaan, maka
dapat dikatakan melalui sains anak dapat melakukan percobaan sederhana,
sehingga melalui percobaan dapat melatih anak menghubungkan sebab dan
akibat dari suatu perlakuan sehingga melatih anak berpikir logis. Begitu juga
apabila guru menerapkan keterampilan proses mengobservasi dalam materi
sains, maka anak akan terbiasa menggunakan seluruh inderanya untuk
melakukan observasi, sehingga dapat melatih anak untuk belajar membuat
kesimpulan sementara, dan melaporkannya hasil dari observasi yang
dilakukan. Maka dapat dikatakan melalui pendekatan keterampilan proses
dapat meningkatkan kualitas pembelajaran/pedagogik sains, khususnya di
sekolah dasar.
Berdasarkan uraian tersebut di atas maka pendekatan keterampilan
proses merupakan salah satu pendekatan dalam pembelajaran yang dapat
dikatakan mampu meningkatkan kualitas Pedagogik Sains.

1212
SIMPULAN
Pembahasan pada makalah ini dapat disimpulkan sebagai berikut.
Pertama; untuk menjadi guru yang profesional, harus bisa menjadi
teladan bagi peserta didiknya baik teladan dalam bidang ilmunya, teladan
dalam keterampilannya, teladan dalam kedisiplinan dan tanggungjawabnya,
serta teladan dalam kepribadiannya yang meliputi nilai moral dan sosial,
sehingga dapat terpenuhi keempat kompetensi guru yang diharapkan oleh
pemerintah.
Kedua; karakteristik pembelajaran sains adalah pembelajaran yang
mengkaji fenomena-fenomena alam semesta melalui observasi dan
eksperimentasi disertai sikap ilmiah dalam mempelajarinya.
Ketiga; pendekatan keterampilan proses merupakan salah satu
pendekatan dalam pembelajaran yang dapat dikatakan mampu meningkatkan
kualitas Pedagogik Sains
DAFTAR RUJUKAN
Achjar, C., & Hudaya, L. (2008). Pembelajaran Berbasis Fitrah. Jakarta: Balai
Pustaka
Anonim. (2010). Landasan Pedagogik. Diunggah dari
http://iintelektualmuda.blogspot.com/2013/11/landasan-pedagogik.html.
Anonim. (2013). Kilas Balik Dunia Pendidikan di Indonesia. Diunggah dari
Prestasi http://www.prestasi-iief.org/index.php/id/feature/68-kilas-balik-
dunia-pendidikan-di-indonesia tanggal 6 Juli 2015.
Anonim. (2014). Konsep Dasar Pedagogik. Di unggah dari http://cp-
artikel.blogspot.com/2014/03/konsep-dasar-pedagogik.html tanggal 29
juni 2015
Anonim. (2014). Pengertian dan Manfaat Pedagogik. Di unggah dari
https://klikmybinder.wordpress.com/2014/01/28/pengertian-dan-manfaat-
pedagogik/ tanggal 29 juni 2015.
Anonim. (2013). Karakteristik Pembelajaran IPA di SD. Diunggah dari
http://myarsipplus.blogspot.com/2015/01/karakteristik-karakteristik.html
tanggal 6 juli 2015.
Barnawi & Arifin, M. (2014). Pengembangan Keprofesionalan berkelanjutan
bagi Guru. Yogyakarta: Penerbit Gava Media.
Daryanto & Sudjendro,H. (2014). Wacana bagi Guru SD. Yogyakarta: Penerbit
Gaya Media
Gabrillin, A. (2014). Anies Baswedan Sebut Pendidikan Indonesia Gawat
Darurat. Diunggah dari
http://edukasi.kompas.com/read/2014/12/01/13455441/anies.baswedan.s
ebut.pendidikan.indonesia.gawat.darurat tanggal 6 juli 2015.
Megawangi, R. (2009). Pendidikan Karakter. Jakarta: Penerbit Indonesia
Heritage Fondation.
Mok Soon Sang. (2010). Pedagogi untuk pengajaran dan pembelajaran.
Puchong. Multimedia Sdn Bhd.
Nuraida, N. (2012). Rangkuman Materi Pedagogik UKG 2012-Part 1. Diunggah
dari https://nunungnuraida.wordpress.com/2012/07/29/rangkuman-materi-
pedagogik-ukg-2012-part-1/ tanggal 1 juli 2015.

1213
Sund & Trowbribge. (2013). Pengertian Ilmu Pengetahuan Alam dan
Karakteristik Bidang Kajian Ilmu IPA. Diunggah dari
http://pekaranganilmu.blogspot.com/2013/01/pengertian-ilmu-
pengetahuan-alam-dan.html tanggal 6 juli 2015.
Sapriati, A. (2014). Pembelajaran IPA di SD. Penerbit Universitas Terbuka.
Sadulloh, U. (2010). Landasan Pedagogik. Diunggah dari
http://iintelektualmuda.blogspot.com/2013/11/landasan-pedagogik.html
tanggal 2 juli 2015.
Wardani, I.G.A.K. (2009). Perspektif Pendidikan SD. Penerbit Universitas
Terbuka.

1214
PENTAKSIRAN KEFAHAMAN KONSEP SAINS DENGAN
MENGGUNAKAN PENGURUSAN GRAFIK
1
Wahadatul Arta’iah Sa’audi & 2Haslinah Abdullah
Institut Pendidikan Guru Kampus Pendidikan
E-mail: 1)wadad175@gmail.com
Abstrak
Pentaksiran adalah penting untuk menilai pencapaian hasil pembelajaran dan
kefahaman murid agar guru dapat melakukan tindakan bimbingan yang tepat
dan efisien. Kajian ini merupakan satu penyelidikan tindakan bagi
menambahbaik amalan pentaksiran dengan menggunakan pengurusan grafik
bagi mengenalpasti kefahaman konsep sains dalam kalangan murid tahun
empat. Amalan pentaksiran yang biasa dilakukan sukar untuk mengenalpasti
sejauhmana kefahaman konsep sains secara individu dan telah mencapai hasil
pembelajaran. Tiga instrumen yang digunakan untuk mengumpul data ialah
rekod anekdot, hasil kerja murid dan temu bual. Pelaksanaan penggunaan
grafik sebagai alat pentaksiran telah membolehkan saya mengenalpasti berapa
ramaikah yang masih belum memahami konsep sains, konsep sains yang
manakah perlu diberikan penekanan kefahaman kepada murid dan aspek
bimbingan apakah yang bersesesuaian untuk diberikan, seterusnya
penggunaan grafik telah dapat memudahkan murid-murid mengingati konsep
sains dan bersikap lebih yakin diri dalam pembelajaran. Tindakan ini telah
membantu saya untuk meneruskan bimbingan yang bertepatan dengan
keperluan mengikut keunikan murid secara individu.
Kata kunci: pentaksiran, pengurusan grafik, kefahaman, ingatan, konsep sains
PENGENALAN
Pembinaan kefahaman konsep di dalam mata pelajaran Sains amatlah
penting bagi memastikan murid dapat menguasai sesuatu konsep itu dengan
baik. Pemahaman konsep yang lemah menyebabkan kesukaran bagi murid
menerangkan sesuatu keadaan atau perubahan yang berkaitan dengan topik
tersebut. Konsep ialah sesuatu yang abstrak. Pengurusan grafik merupakan
imej konkrit yang menunjukkan bagaimana sesuatu konsep berkait kepada
konsep yang lain dalam sesuatu kategori (Poh, 2005). Pengurusan grafik
merupakan alat pemikir yang baik di mana ianya berfungsi untuk merekod
pemikiran dan pendapat individu berkenaan dengan sesuatu topik atau tajuk
yang difokuskan. “Graphic organizers spatially represents the interrelationships
of the concept to student and facilitate the integration of related ideas in new
ways” (Brunn, 2004) . Manakala, pengurusan grafik diperkenalkan oleh David
Ausubel yang merupakan seorang ahli psikologi pendidikan yang menyokong
teori bahawa murid membentuk dan mengorganisasi pengetahuan secara
sendirian dan pengetahuan ini distrukturkan sebagai kerangka yang mana
berkaitan dengan struktur yang spesifik (Hiang, 2005). Kennedy (2007)
menyatakan, persembahan grafik menunjukkan kecekapan murid dan
merupakan maklum balas formatif kepada guru untuk merancang tindakan
seterusnya di dalam bilik darjah dan juga untuk mendiagnosis individu itu.
Selain itu, menurut Sharrock (2008) dan B.Da (2012) menyatakan bahawa
1215
pengurusan grafik dapat digunakan sebagai alat pentaksiran dalam mentasir
kefahaman murid terhadap pembelajaran mereka kerana ia dapat mengekstrak
maklumat dengan baik. “The use of the graphic organizer also allowed the
teacher to more quickly and clearly see the steps that the studens were taking
in solving the problem and together identify where the student was hitting road
blocks” (Statema, 2007). Apabila keprihatinan dapat diberikan hasil pentaksiran
kepada yang lemah, mereka akan lebih fokus dan juga dapat merencanakan
tindakan susulan bagi melakukan penambahbaikan dalam pembelajaran
mereka.
Pemerhatian dan tinjauan telah dijalankan semasa sesi pengajaran dan
pembelajaran Sains tahun 4 pada tahun 2014 dan tahun 5 pada tahun 2015.
Data diperolehi melalui rekod anekdot, hasil kerja murid, dan temu bual
bersama dengan beberapa murid yang dipilih. Analisis data ini diguna pakai
untuk mengetahui peranan pengurusan grafik dalam menjadikan amalan
pentaksiran bagi subjek sains lebih efektif dan terperinci. Hal ini meliputi aspek
pentaksiran yang lebih terperinci, serta bimbingan yang berkesan oleh guru
semasa sesi pentaksiran dijalankan di akhir proses pengajaran dan
pembelajaran. Keberkesanan dan kelancaran sesuatu pentaksiran amatlah
penting bagi memberi maklumat bagi guru bagi tujuan bimbingan pada masa
akan datang. Maka, dengan aplikasi pentaksiran menggunakan pengurusan
grafik di dalam bilik darjah, murid boleh mendapat lebih bimbingan dan
organisasi dalam mengenalpasti pengetahuan sedia ada dan membina
pengetahuan murid dengan efektif (Statema, 2012).
Kajian ini berfokus untuk menambahbaik amalan pentaksiran saya
terhadap kefahaman murid bagi setiap konsep sains yang telah saya ajarkan
kepada mereka dengan menggunakan pengurusan grafik yang telah saya ubah
suai supaya pentaksiran yang dijalankan adalah lebih terperinci dan
memberikan lebih banyak maklumat berkenaan penguasaan mereka
seterusnya membantu saya merangka bentuk bimbingan yang bertepatan
dengan masalah yang dialami.
OBJEKTIF KAJIAN
Menambahbaik amalan pentaksiran formatif dengan menggunakan
pengurusan grafik bagi meningkatkan keberkesanan pentaksiran sebagai
maklumat bagi tujuan bimbingan terhadap penguasaan konsep sains.
Objektif Khusus
1. Meningkatkan amalan pentaksiran formatif yang dijalankan pada akhir
sesuatu topik.
2. Memberikan maklumat yang lebih terperinci berkenaan tahap kefahaman
murid bagi sesuatu konsep.
3. Meningkatkan kemahiran merancang aktiviti pembelajaran serta bimbingan
yang lebih bersesuaian.

1216
SOALAN KAJIAN
1. Adakah saya dapat menambah baik amalan pentaksiran konsep sains
dengan menggunakan pengurusan grafik sebagai bahan pentaksiran?
2. Adakah pentaksiran formatif yang saya laksanakan lebih sistematik dan
pelaksanaannya lebih lancar dengan menggunakan pengurusan grafik?
3. Bolehkah pengurusan grafik membantu saya dalam merangka bentuk
bimbingan yang dapat dilakukan bagi meningkatkan kefahaman murid
terhadap konsep ini?
KUMPULAN SASARAN
Murid tahun 4 seramai 27 orang di sebuah sekolah di daerah Mukah,
Sarawak dengan bilangan lelaki seramai 19 orang dan perempuan 8 orang.
Kumpulan ini merupakan kesemua murid tahun 4 di sekolah ini dan mempunyai
tahap latar belakang yang berbeza dan mempunyai tahap pencapaian
akademik dengan jurang yang berbeza.

PERANCANGAN DAN PELAKSANAAN TINDAKAN


Model Kajian Tindakan
Kajian ini dilaksanakan mengikut model penyelidikan oleh John Elliot
(1991) dan dilakukan sebanyak 1 kitaran sahaja.
Prosedur Perancangan dan Pelaksanaan Tindakan
Perancangan tindakan terdiri daripada 5 langkah iaitu:
Langkah 1: Penyediaan pengurusan grafik
Saya mengubahsuai pengurusan grafik daripada jenis Fryer 4-Square Model.
Pengurusan grafik ini terdiri daripada 4 kotak dengan 1 kotak di tengah-tengah
dan 3 kotak yang digunakan untut mencatatkan maklumat yang berbeza
berkenaan dengan konsep yang difokuskan di bahagian tengah. Murid bebas
memberikan jawapan dalam bentuk bertulis atau lukisan. Pengurusan grafik ini
boleh diulang guna dan mudah diubah mengikut konsep yang ditaksirkan.
Langkah 2: menjalankan pentaksiran di dalam bilik darjah dan
mencatatkan rekod anekdot
1. Saya melaksanakan pentaksiran menggunakan pengurusan grafik semasa
langkah penilaian.
2. Saya juga menyediakan rekod anekdot bagi mencatatkan setiap perlakuan
yang berkaitan dengan amalan pentaksiran saya.
3. Saya menjalankan kajian ini sebanyak 2 kali iaitu kali pertama bagi konsep
lutsinar, lutcahaya dan legap serta yang kedua bagi konsep konduktor dan
penebat.
Langkah 3: penilaian dan analisis hasil kerja murid oleh guru
Saya menyemak pengurusan grafik yang telah dikumpul dan merekod skor
dalam jadual bagi mengenal pasti murid yang masih tidak faham akan konsep
serta bahagian yang tidak difahami itu.
Langkah 4: analisis rekod anekdot oleh guru
Saya melihat kepada pengurusan dan juga pelaksanaan pentaksiran ini sama
ada bentuk lisan atau tingkah laku. Selepas itu, saya membuat catatan tentang
peristiwa penting yang berkaitan dengannya untuk dianalisis dan
diintepretasikan.

1217
Langkah 5 : temu bual berstruktur bersama murid
1. Temu bual ini diadakan secara berstruktur bersama 4 orang muridyang
telah dipilih secara sukarela. Ianya dilakukan bagi mendapatkan maklum
balas murid itu sendiri terhadap pelaksanaan pentaksiran konsep dengan
menggunakan pengurusan grafik.
2. Temu bual ini dijalankan selepas sesi pengajaran dan pembelajaran.
3. Sesi temu bual ini dirakamkan dengan menggunakan kamera video.
METODOLOGI KAJIAN
Reka bentuk kajian
Kajian in menggunakan reka bentuk penyelidikan tindakan iaitu saya
mengambil tindakan menggunakan pengurusan grafik bagi menyelesaikan isu
dalam pengajaran saya iaitu amalan pentaksiran. Kesahan data dilakukan
melalui triangulasi data daripada tiga instrumen berbeza dan alat mekanikel
iaitu kamera video untuk meningkatkan kesahan dalaman.
Cara Pengumpulan Data
Satu pengurusan grafik yang memerlukan murid-murid mengisi dengan
maklumat yang berbeza berkenaan dengan konsep iaitu maksud, contoh dan
bukan contoh serta murid-murid diberikan masa 15 minit bagi menjawab dan
hasil dan helaian tersebut dikumpulkan semula.
Jadual 1.
Tahap Kefahaman Konsep Murid

Tahap Kefahaman Konsep


Faham Sederhana faham Tidak faham

Murid mendapat skor Murid mendapat Murid tidak mendapat


3 dengan mendapat skor 1-2 dengan sebarang skor dengan
kesemua maklumat sebahagian kesemua maklumat yang
yang tepat berkenaan daripada maklumat diberikan adalah tidak
dengan konsep. yang diberikan tidak tepat.
tepat.

Satu catatan rekod anekdot disediakan bagi mencatat peristiwa penting


serta gambaran keadaan yang berlaku yang berkaitan kefahaman terhadap
pengurusan grafik yang dilaksanakan dan juga kelancaran pentadbiran
pentaksiran.
Temu bual berstruktur bersama murid
4 orang murid ditemu bual secara berstruktur dengan berpandukan 9 soalan
yang telah disediakan. Murid ini ditemu bual setelah selesai sesi pentaksiran
dengan menggunakan pengurusan grafik. Temu bual dijalankan di bilik guru
secara individu selama 15 minit dengan bantuan alat kamera video.

1218
ANALISIS DAN INTERPRETASI DATA
Berdasarkan kepada data, dua maklumat diperolehi iaitu tahap
kefahaman murid bagi setiap konsep dan bilangan konsep yang dikuasai.
Tahap kefahaman murid bagi setiap konsep
Jadual 1 merupakan dapatan daripada analisis yang telah saya lakukan
mengikut bilangan pelajar dan peratusan tahap kefahaman bagi setiap konsep.
Jadual 4.
Bilangan Pelajar Mengikut Tahap Kefahaman Bagi Setiap Konsep

Kategori kefahaman
Konsep Sains Faham Sederhana Tidak Faham Tidak hadir
Faham
Bil. % Bil. % Bil. % Bil. %
Legap 5 18.5 17 63.0 3 11.1 2 7.4
Lutcahaya 2 7.4 11 66.7 12 11.1 2 7.4
Lutsinar 3 11.1 8 29.6 14 51.9 2 7.4
Konduktor 15 55.6 10 37.0 0 0 2 7.4
Penebat 15 55.6 10 37.0 0 0 2 7.4
Elastik 15 55.6 11 40.7 1 3.7 0 0

Daripada data ini dapat dilihat berlaku peningkatan pada bilangan dan
peratus kefahaman murid bagi setiap sesi pengajaran. Pada pengajaran yang
pertama iaitu bagi konsep lutsinar, lutcahaya dan legap bilangan murid yang
memahami konsep adalah rendah dengan mencatatkan kurang daripada 20%
peratus berbanding dengan pentaksiran yang kedua dan ketiga yang
mencatatkan bilangan yang lebih tinggi bagi tajuk konduktor, penebat dan juga
elastik di mana masing-masing melebihi 50%.
Dalam pengajaran pertama bagi topik sifat bahan penembusan cahaya,
konsep lutcahaya dan lutsinar didapati mencatatkan bilangan murid paling
ramai tidak memahami konsep iaitu dengan 12 dan 14 orang dan masing-
masing mewakili 11.1 peratus dan 51.9 peratus murid. Hal ini mungkin
disebabkan oleh mereka tidak biasa lagi dengan bentuk pentaksiran seperti itu
kerana ianya merupakan kali pertama saya melaksanakannya di dalam kelas.
Bagi konsep legap, bilangan murid yang sederhana faham mencatatkan paling
tinggi iaitu dengan 17 orang dan juga bilangan faham 5 orang menunjukkan
mereka lebih jelas tentang konsep legap ini. Lagipun, contoh yang diberikan
lebih jelas dan tidak menimbulkan kekeliruan dalam kalangan murid.
Manakala dalam pentaksiran yang kedua, bagi konsep konduktor dan
penebat dapat dilihat berlaku peningkatan dalam bilangan murid yang
memahami konsep dengan bilangan yang paling tinggi iaitu masing-masing
dengan 15 orang memahami konsep dan tiada rekod yang dicatatkan bagi
murid yang tidak memahami konsep. Jumlah 15 orang ini mewakili 55.6 peratus
pelajar yang merupakan separuh daripada ahli kelas. Beberapa
penambahbaikan daripada segi pengendalian dan pelaksanaan dapat dilihat
menyumbang kepada peningkatan ini. Konsep konduktor dan penebat ini
mudah difahami kerana mereka menggunakan bahan maujud seperti litar yang
mudah untuk dikendalikan. Di samping itu, arahan yang diberikan secara

1219
paparan slaid dan juga lisan menjadikan mereka lebih jelas tentang cara
menjawab pengurusan grafik. Hal ini menunjukkan bahawa murid dapat
mengaitkan fakta-fakta berkaitan konsep dengan baik.
Pada pengajaran ketiga bagi tajuk sifat bahan elastik kehadiran adalah
penuh iaitu sebanyak 27 orang hadir berbanding dengan pentaksiran yang
kedua dan ketiga yang mencatatkan 2 orang tidak hadir dan merupakan murid
yang sama. Didapati bilangan murid yang faham adalah sama dengan
pentaksiran kedua iaiatu dengan 15 orang yang memahami konsep bersamaan
dengan 55.6 peratus. Sementara itu, bilangan yang dikelaskan di dalam
sederhana faham pula bertambah iaitu dengan 37.0 peratus berbanding
dengan konsep yang ditaksirkan pada pengajaran kedua. Namun begitu, bagi
tajuk ini terdapat seorang yang dikelaskan dalam kumpulan tidak faham kerana
ini merupakan kali pertama murid tersebut menjawab pengurusan grafik ini.
Bilangan konsep yang sudah dikuasai oleh murid
Antara maklumat lain yang saya perolehi daripada analisis hasi kerja
murid ini ialah mengetahui kefahaman murid secara individu iaitu merujuk
kepada konsep yang dikuasai berdasarkan kepada keenam-enam konsep yang
telah dipelajari. Hal ini penting bagi saya untuk mengenal pasti murid-murid
yang perlu dibantu dan perlu diberikan lebih latihan pengukuhan dan
penggayaan.
Jadual 5.
Bilangan Konsep yang dapat Dikuasai Pelajar Secara Individu.
*Murid diwakili dengan nombor yang diisikan di ruangan murid.
Bilangan konsep Bilangan murid Murid
(N=27)
0 6 8,9,11,15,16,24
1 6 1,5,13,19,22,26
2 6 3,6,7,12,17,25
3 3 14, 18,20
4 3 2,4,23
5 2 21,27
6 1 10

Berdasarkan kepada Jadual 5, bilangan murid yang tidak menguasai apa-


apa konsep sehingga yang menguasai hanya 1 dan 2 konsep mencatatkan
bilangan yang paling ramai. Bilangan ini mencatatkan ¾ daripada kelas iaitu
dengan 18 daripada 27 orang perlu dibantu dan dibimbing dalam memahami
konsep. Terdapat seorang murid sahaja yang dapat memahami kesemua
konsep yang ditaksirkan. Daripada jadual ini juga, saya dapat mengenal pasti
murid yang dapat dijadikan rakan pembimbing bagi membantu rakan-rakan
mereka yang lemah. Saya juga dapat mengenal pasti konsep yang masih tidak
difahami oleh setiap murid.
Jadual ini juga dapat diperincikan lagi bagi mengenal pasti konsep yang
sudah dikuasai oleh murid tertentu seperti jadual berikut:

1220
Jadual 6.
Perincian Kefahaman Konsep Murid Secara Individu

Bilangan Bilangan Murid Konsep


konsep murid

Peneba
Konduk
Lutsina
Lutcah

Elastik
yang

Legap
dapat

aya

tor
dikuasai

t
2 √ √ √ √ √

4 3 4 √ √ √ √ √

23 √ √ √ √ √

Melalui Jadual 6 ini saya dapat mengenal pasti dengan lebih jelas konsep dan
murid tertentu yang memerlukan bimbingan.
Rekod anekdot
Rekod anekdot mengandungi tingkah laku dan tindak balas murid terhadap
pentaksiran konsep sains yang saya jalankan menggunakan pengurusan grafik
PKS.
Pengurusan bahan
Pengurusan bahan merujuk kepada cara mengedar dan mengumpul
bahan lembaran. Pada sesi pengajaran pertama, saya sendiri mengagihkan
kertas kepada murid dari meja ke meja. Kesannya murid bising dan bergerak
dari tempat duduk untuk mendapatkan kertas. Keadaan ini membawa kepada
suasana kelas yang kucar-kacir dan semakin tidak terkawal apabila terdapat
murid yang berebut-rebut untuk mendapatkan kertas. Sementara itu, apabila
murid telah menyiapkan lembaran kerja, saya mengumpul semula dengan cara
yang sama menyebabkan keadaan yang sama berulang.
Pada sesi kedua, ketua dilantik untuk mengagihkan kepada ahli
kumpulan dan mengumpul semula bahan pengurusan grafik kepada guru. Hal
ini secara tidak langsung memberi impak kepada guru di mana lebih
memudahkannya untuk menjalankan pentaksiran tersebut dalam keadaan yang
lebih terkawal.
Pelaksanaan pentaksiran
Aspek yang seterusnya mengaitkan berkenaan 3 kategori iaitu arahan,
bimbingan dan juga reaksi murid. Arahan merupakan antara aspek yang
penting dalam perlaksanaan sesuatu tindakan. Berdasarkan data yang
diperolehi, apabila kali pertama sesi pentaksiran, arahan disampaikan secara
lisan dan juga penggunaan “thumbs up” dan “thumbs down” diperkenalkan.
Daripada pemerhatian, fungsi isyarat tangan ini tidak difahami dengan baik di
mana murid menunjukkan “thumbs up” yang memberikan maklumat kepada
saya bahawa mereka faham dengan arahan tetapi sebaliknya berlaku.
Pada sesi pengajaran pertama ini, bimbingan juga tidak diberikan kepada
murid menyebabkan murid tidak faham. Hal ini ditunjukkan melalui cacatan
anekdot di mana mereka menunjukkan reaksi seperti menggaru kepala dan

1221
cuba untuk meniru rakan.Dalam sesi yang kedua terdapat beberapa perubahan
yang telah saya lakukan. Saya telah menggunakan persembahan slaid untuk
memaparkan arahan berkenaan cara untuk menjawab lembaran kerja
pengurusan grafik. Saya tidak memberikan jawapan secara langsung cuma
bertindak sebagai fasilitator mereka supaya mereka lebih bersemangat dan
juga bersungguh-sungguh dalam menjawab soalan.
Hasil daripada tindakan ini, saya dapat lihat keadaan kelas semakin
terkawal dan reaksi daripada murid semakin baik. Murid kurang bertanya
tentang cara untuk menjawab soalan dan juga mereka lebih berdisiplin di mana
semua fokus kepada kertas pengurusan grafik masing-masing. Suasana kelas
juga menjadi lebih tenang dan memberikan keselesaaan kepada mereka untuk
menjawab.
Apabila murid menunjukkan yang murid yakin dan berlumba-lumba mahu
mengemukakan contoh yang lebih banyak.Ini disokong Brookhart, (2008) yang
menyatakan “Through effective formative assessment, student feel permitter to
think for themselves and to openly share their understandings which frees them
to become the driving force in their own learning.” Pentaksiran formatif yang
berkesan akan dapat merangsang murid untuk belajar secara sendiri.
Temu bual berstruktur
Hasil daripada temu bual ini telah dianalisis dengan menterjemahkannya di
dalam bentuk transkrip dan dikodkan kepada beberapa tema. Antara tema-
tema tersebut ialah pendapat terhadap pengurusan grafik dan aspek bimbingan
guru.
Pendapat terhadap pengurusan grafik
Pada mulanya murid-murid tidak begitu jelas dengan cara untuk
menggunakan pengurusan grafik dan juga merasa risau untuk menjawab.
Namun begitu, berubah menjadi semakin jelas apabila digunakan dalam
pentaksiran seterusnya
Bagi penggunaan pengurusan grafik, murid-murid memberikan pendapat
yang positif seperti membantu mereka untuk mengetahui, memahami dan
memudahkan mereka mengingat konsep yang telah dipelajari, dapat
membezakan konsep serta memberikan mereka lebih idea berkenaan sesuatu
konsep itu. Mereka juga mendapati bahawa pengurusan grafik ini dapat
mencabar pemikiran mereka dengan 5 daripada murid yang ditemu bual
memilih untuk menjawab pengurusan grafik Namun begitu antara kesan positif
ini iaitu dengan banyak berfikir menjadikan seorang daripada murid yang
ditemu bual merasakan susah untuk menjawab dan tidak seronok untuk
menjawab yang membawa kepada motivasi kendiri yang rendah. Keadaan ini
juga menyebabkan murid tersebut lebih memilih untuk menjawab pentaksiran
berbentuk aneka pilihan berbanding pengurusan grafik.
REFLEKSI
Melalui analisis dan interpretasi data yang telah dilaporkan, setelah
ditringulasikan terdapat 4 dapatan yang dikenal pasti dalam menambah baik
amalan guru mentaksir kefahaman konsep sains murid. Dapatan ini adalah
mengenai pengurusan grafik sebagai alat pentaksiran., pendapat tentang
penggunaan pengurusan grafik, bimbingan guru dan pengurusan bahan.

1222
Pengurusan grafik sebagai alat pentaksiran
Analisis menunjukkan bahawa penggunaan pengurusan grafik dapat
membantu guru memperolehi lebih banyak maklumat berkenaan dengan
kefahaman murid. Guru dapat mengetahui konsep yang tidak dikuasai oleh
individu murid. Justeru, mengenal pasti murid-murid yang lemah dan
memerlukan bimbingan oleh guru. Guru juga dibekalkan dengan maklumat
tentang konsep yang perlu difokuskan untuk penambahbaikan. Data tentang
tahap kefahaman murid mengikut konsep dan juga data berkenaan dengan
bilangan konsep yang telah dikuasai dilihat memberikan jalan yang lebih
mudah untuk guru mentaksir murid dengan lebih terperinci.
Penggunaan pengurusan grafik oleh murid
Murid menyambut baik penggunaan pengurusan grafik ini kerana ianya
membantu mereka untuk mengingat, membezakan serta memahami konsep
dengan lebih jelas. Di samping itu, bagi murid pengurusan grafik di dalam
pentaksiran ini membantu mereka dalam memahami konsep. Keenam-enam
murid yang ditemu bual menjelaskan kebaikan yang diperolehi dengan
menggunakan pengurusan grafik ini seperti mudah ingat dan faham konsep,
dapat membezakan konsep dan mencabar pemikiran mereka. Pernyataan ini
disokong oleh (Kennedy, 2007) yang menyatakan persembahan grafik
menunjukkan kecekapan murid dan merupakan maklum balas formatif kepada
guru dalam dalam merancang tindakan seterusnya di dalam di dalam bilik
darjah untuk mendiagnosis individu. Tambahan pula, terdapat juga antara
mereka yang percaya bahawa pengurusan grafik ini dapat membantu mereka
untuk meningkatkan daya pemikiran mereka dan memberikan mereka lebih
idea mengenai sesuatu konsep. Namun begitu penggunaan pengurusan grafik
ini juga dilihat sukar bagi sebahagian murid.
Bimbingan guru
Bimbingan awal guru ini dilihat penting dalam membantu murid untuk
lebih yakin dan fokus dalam menjawab pengurusan grafik. Bimbingan diberikan
dalam 2 perkara iaitu cara menjawab soalan pengurusan grafik dan juga
bimbingan untuk mengingat semula konsep yang telah dipelajari. 6 murid yang
ditemu bual menyatakan bahawa guru memberikan bimbingan kepada mereka
di dalam kedua-dua aspek ini. Pada mulanya, apabila tidak diberikan
bimbingan murid-murid ini menyatakan mereka merasa risau dan tidak yakin
berbanding dengan pentaksiran yang dilakukan selepas itu.
Pengurusan bahan
Tema yang terakhir ialah pengurusan bahan di dalam bilik darjah dengan
memberi perhatian kepada penyampaian arahan cara menjawab menggunakan
pengurusan grafik dan juga pengedaran dan pengumpulan bahan lembaran
semasa pentaksiran dijalankan. Hasil analisis daripada temu bual dan raekod
anekdot mendapati bahawa pengurusan bahan ini memainkan peranan
penting. Melalui pemerhatian daripada rekod anekdot menunjukkan suasana
yang kucar- kacir berlaku dalam pentaksiran pertama dan beransur menjadi
lebih terkawal pada pentaksiran yang kedua dan ketiga. Keadaan kucar-kacir
ini disebabkan arahan yang tidak jelas. Guru yang berkesan perlu mempunyai
kemahiran komunikasi yang hebat kerana melaluinya mereka akan dapat
menyampaikan pengetahuan dengan lebih jelas, lancar dan mudah difahami
oleh murid (Khairul, 2012). Kesimpulannya, saya telah menambahbaik amalan
1223
pentaksiran konsep sains murid saya. Dapatan kajian ini telah dapat menjawab
soalan saya iaitu saya dapat menambahbaik cara pentaksiran konsep sains
murid dengan dengan menggunakan pengurusan grafik.
Pada masa akan datang saya ingin mencadangkan bahawa pengurusan
grafik digunakan untuk mentaksir kefahaman murid berkenaan kemahiran
proses sains.
DAFTAR RUJUKAN
B.Da, R. (2002). Enhancing Comprehension Through Graphic Organizers.
(Tesis tidak diterbitkan). Kean University, Union and Hillside, New
Jersey, United States, America.
Brookhart, S., Moss, C. & Long, B. (2008). Formative Assessment That
Empowers. Journal of Educational Leadership. Vol 66 (3), 52-57.
Brunn, M. (2004). Teaching Ideas: The Four Square Strategy. International
Reading Association, 55 (6), (522-532).
Kennedy, C.A. & Wilson, M. (2007). Using Progress Variables To Interpret
Student Achievement And Progress. (Tesis tidak diterbitkan). University
of California, Berkeley, California, America.
Hiang, P.S. (2005). Pedagogy Of Science Volume 1 For Postgraduate Diploma
In Teaching.Kuala Lumpur: Kumpulan Budiman Sdn. Bhd.
Khairul Anuar A. Rahman. (2012). Disposisi Guru Berkesan: Personaliti dan
Kemahiran Komunikasi. Jurnal Akademika 82(2), 37-44.
Sharrock, T. (2008). The Effect Of Graphic Organizers On Student Writing.
(Tesis tidak diterbitkan). Kennesaw State University, Georgia, United
States,America.
Statema, S.L. (2012). Using Graphic Organizers To Develop And Build Upon
Prior Knowledge. (Tesis tidak diterbitkan). Montana State University,
Bozeman, Montana, United States, America.

1224
PENERAPAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL DALAM PEMBELAJARAN
IPA UNTUK MENINGKATKAN PEMAHAMAN KONSEP SISWA SD
Yani Septiyani Rosalia
Prodi Pendidikan Guru Sekolah Dasar, UPI, Bandung
E-mail: yani_rosalia@yahoo.com
Abstract
Application of Contextual Approach In Natural Sciences Learning Concept To
Improve Primary School Students. This study aimed to obtain the
understanding of the concept of such indicators explain, classify indicator, the
indicator and the indicator pointed concluded. One of the efforts is to improve
understanding of concepts by applying contextual approach. Goals to be
achieved in this research are: (1) obtain a description of the learning process
with the application of the contextual approach to learning Natural Science to
improve students' understanding of the concept. (2) obtain a description of an
improved understanding of the concept of teaching students in Natural
Sciences by applying a contextual approach to the learning process. This class
uses Action Research Model Kemmis & Taggart conducted in two cycles. Data
collection techniques used in this study is the result of observation and tests
students' understanding of the concept. The results obtained, namely, the
percentage of students who completed the indicator explained in the first cycle
of 86.6% on the second cycle increased to 90%, classifying indicators in the
first cycle of 93.3% increased to 96.6%, the indicators cited in the first cycle a
90% increase to 96.6%, and the indicator conclude the first cycle increased by
80% to 93.3%. From these data show that increasing students' understanding
of the concept after learning by applying the contextual approach.
Keywords: Contextual Approach, understanding concepts, Describe and
Classify.

PENDAHULUAN
IPA diperlukan dalam kehidupan sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan
manusia melalui pemecahan masalah-masalah yang dapat diidentifikasikan.
Menurut Nurferi, S. (2010, hlm. 19) mengatakan bahwa Ilmu Pengetahuan
Alam adalah cara mencaritahu tentang alam secara sistematis, berupa konsep-
konsep, atau prinsip-prinsip saja, tetapi mengumpulkan fakta-fakta, dan
bagaimana menghubung-hubungkan fakta-fakta itu. Ada kecenderungan
dewasa ini untuk kembali pada pemikiran bahwa anak akan belajar lebih baik
jika lingkungan diciptakan alamiah. Belajar akan lebih bermakna jika anak
mengalami apa yang dipelajarinya, bukan mengetahuinya. Terlihat dari hasil
wawancara dengan guru dan siswa, serta pengamatan yang dilakukan oleh
peneliti selama proses pembelajaran berlangsung yaitu terdapat beberapa
permasalahan diantaranya: 1) pada saat berlangsungnya pembelajaran IPA,
siswa terlihat tidak memperhatikan penjelasan dari guru, 2) siswa bosan dan
sering mengganggu temannya yang lain, 3) siswa pasif serta banyak
melakukan aktivitas sendiri-sendiri, sehingga membuat suasana kelas tidak
kondusif, 4) guru lebih banyak aktif dalam memberikan materi kepada siswa

1225
akibatnya keterlibatan siswa dalam pembelajaran IPA masih kurang, padahal
keterlibatan siswa secara aktif dalam pembelajaran mampu menimbulkan rasa
senang terhadap pembelajaran, 5) siswa hanya menjawab pertanyaan-
pertanyaan dari guru saja. Gejala-gejala permasalahan tersebut bisa terlihat
salah satunya dari hasil belajar yang diperoleh siswa pada pelajaran IPA
dengan materi pokok gaya, menunjukkan nilai yang relatif rendah dan
kebanyakan siswa belum memenuhi Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang
telah ditetapkan yaitu 75. Menurut Muslich. M (2007, hlm. 41) menyatakan:
Pembelajaran kontekstual adalah konsep belajar yang membantu guru
mengaitkan antara materi pembelajaran dengan situasi dunia yang nyata
siswa, dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang
dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama
untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa). Sesuatu
yang baru datang dari menemukan sendiri bukan dari apa kata guru. Begitulah
peran guru di kelas yang dikelola dengan pendekatan kontekstual. Menurut
Badar, T.I (2014, hlm. 138) berangkat dari landasan tersebut, maka dalam
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) memberikan sinyal dalam
implementasinya penggunaan strategi dengan menekankan pada aspek kinerja
siswa (contextual teaching and learning). Jadi, dalam hal ini, fungsi dan
peranan guru hanya sebagai mediator, siswa lebih proaktif untuk merumuskan
sendiri tentang fenomena yang berkaitan dengan fokus kajian secara
kontekstual bukan tekstual.
Salah satu pendekatan pembelajaran yang bisa meningkatkan
pemahaman konsep siswa, aktivitas belajar siswa dan pengaitan konsep
pembelajaran dengan pengalaman nyata siswa tersebut adalah dengan
penerapan pendekatan kontekstual karena pendekatan ini membuat
pembelajaran lebih produktif dan mampu menumbuhkan penguasaan konsep
kepada siswa sehingga materi yang dipelajarinya akan tertanam erat dalam
memori siswa.
METODE PENELITIAN
Pada penelitian ini menggunakan salah satu metode penelitian yaitu
penelitian tindakan kelas (Classroom Action Research). Menurut Arikunto dkk.
(2010, hlm. 3) “Penelitian Tindakan Kelas merupakan suatu pencermatan
terhadap kegiatan belajar berupa sebuah tindakan, yang sengaja dimunculkan
dan terjadi dalam sebuah kelas secara bersama. Peneliti dalam melaksanakan
penelitian ini memilih Penelitian Tindakan Kelas dikarenakan sangat sederhana
dan menarik serta merupakan metode siklus yang dilakukan secara berulang-
ulang dan berkelanjutan yang mengacu pada alur model yang dikembangkan
oleh Kemmis dan Mc. Taggart yang meliputi perencanaan (Planning),
pelaksanaan/ Tindakan (Action), observasi (Observing), dan refleksi
(Reflection). Alur Penelitian Tindakan Kelas Adaptasi Model Kemmis dan
Taggart yang dikembangkan Riani (2013, hlm. 30).

1226
Perencanaan
Refleksi I
Pelaksanaan tindakan
SIKLUS 1
Observasi
SIKLUS 1
Pelaksanaan tindakan

Perencanaan
SIKLUS2
2.1 Pelaksanaan
Refleksi II tindakan Observasi
2.2 Pelaksanaan SIKLUS 2
tindakan

Kesimpulan

Gambar 1.
Alur Penelitian Tindakan Kelas
Data-data yang didapatkan bersifat kualitatif dan kuantitatif. Kedua data
tersebut ditujukan untuk menilai pemahaman konsep siswa pada pembelajaran
IPA agar siswa mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang ditetapkan
yaitu 75. Data kuantitatif didapatkan dari tes yang dilakukan pada setiap siklus
digunakan untuk menghitung nilai rata-rata kelas sebagai bentuk hasil belajar
siswa. Teknik analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan menelaah
semua data mentah yang diperoleh melalui hasil lembar evaluasi individu dan
kelompok, observasi, angket, wawancara, dan catatan lapangan.
Untuk menghitung nilai rata-rata kemampuan siswa rumus yang
digunakan sebagai berikut:
Rumus menghitung nilai siswa:

ୗ୩୭୰୮ୣ୰୭୪ୣ୦ୱ୧ୱ୵ୟ
݈ܰ݅ܽ݅ ൌ X 100
௦௞௢௥௠௔௞௦Ȁ௜ௗ௘௔௟

Untuk menghitung rata-rata menggunakan rumus menurut Sudjana


(2013, hlm. 109) sebagai berikut.
σ‫ݔ‬
‫ݔ‬ҧ ൌ
݊
Keterangan:
‫ݔ‬
ഥ : Nilai rata-rata kelas
σ‫ݔ‬ : Total nilai yang diperoleh siswa
݊ : Jumlah siswa atau banyaknya data
1227
Untuk menghitung persentase ketuntasan belajar digunakan rumus
menurut Aqib, dkk (2011, hlm. 41)

σ ୱ୧ୱ୵ୟ୷ୟ୬୥୲୳୬୲ୟୱୠୣ୪ୟ୨ୟ୰
p= σ ୱ୧ୱ୵ୟ
 ൈ ͳͲͲΨ

Tabel 1.
Kategori Skala Nilai

Nilai Kategori
91≤ A ≤ 100 Sangat Baik
76 ≤ B ≤ 90 Baik
56 ≤ C ≤ 75 Cukup
41 ≤ D ≤ 55 Kurang
0 ≤ E ≤ 40 Sangat Kurang

Diadaptasi dari Sukmawati (2013, hlm. 56)

Observasi guru dan siswa dapat menggunakan skala penilaian dengan


rentang nilai dalam bentuk angka 4 = baik sekali, 3 = baik, 2 = cukup, 1 =
kurang (Sudjana, 2013, hlm77-78) dengan cara memberi tanda checklist pada
kolom skala nilai. Setelah itu semua nilai dihitung dengan rumus:

‹Žƒ‹’‡”‘Ž‡Šƒ
ܰൌ ൈ ͳͲͲ
‫݉ݑ݉݅ݏ݇ܽ݉ݎ݋݇ݏ‬

Dan dikonversikan pada nilai dengan rentang seratus untuk menilai


keterlaksanaan pembelajaran yang dilakukan guru. Konversi tersebut dapat
dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 2.
Konversi Nilai Ketelaksanaan Pembelajaran Oleh Guru

Nilai Keterangan
10-29 Sangat kurang
30-49 Kurang
50-69 Cukup baik
70-89 Baik
90-100 Sangat baik

HASIL DAN PEMBAHASAN


Peningkatan pemahaman konsep dengan menerapkan pendekatan
kontekstual terlihat meningkat. Hal ini dikarenakan apa yang terjadi pada
perkembangan proses pembelajaran terlihat berkembang. Proses
perkembangan pembelajaran dapat berkembang dikarenakan dalam
pelaksanaan pembelajaran sudah baik dan maksimal dalam melaksanakannya
dengan terus melakukan perbaikan-perbaikan pada setiap temuan-temuan
1228
yang muncul melalui rencana perbaikan pembelajaran. Pelaksanaan dalam
pembelajaran dapat berjalan dengan baik dikarenakan deskripsi data awal
yang menceritakan tentang karakteristik siswa, karakteristik sekolah dan
kondisi awal siswa yang dilakukan melalui tes kemampuan awal siswa untuk
mengetahui siswa yang termasuk ke dalam kategori siswa berkemampuan
tinggi, rendah, dan sedang. Terlihat ada peningkatan dalam hasil tes
pemahamn konsep (individu). Berikut adalah bagan presentase tes
kemampuan awal siswa.

Presenstase Tes
Kemampuan Awal…
Siswa Belum
53% 47% Tuntas
Siswa Tuntas

Gambar 2.
Presentase Tes Kemampuan Awal Siswa
Pada tes kemampuan awal siswa dengan nilai rata-rata 72,43 masih
kurang dan belum memenuhi KKM. Dari 30 siswa hanya 16 dengan presentase
53,3% siswa yang nilainya diatas KKM dan 14 dengan presentase 46,6%.
Berikut adalah presentase tes kemampuan awal siswa. Setelah melakukan tes
awal kemampuan siswa kemudian pada siklus I dan II siswa diberikan lembar
evaluasi pemahaman konsep. Berikut adalah rekapitulasi hasil pemahaman
lembar evaluasi siklus I dan II.

Rekapitulasi Hasil Pemahaman Lembar


Evaluasi Siklus I dan Siklus II
93.3%
86.6% 96.6%
96.6%93.3%
100% 90% 90%
80%
80%
60%
40% 13.4% 20%
10% 10%
6.7% 3.4%6.7%
3.4%
20%
0%
Siklus 1 Siklus 2 Siklus 1 Siklus 2
Tuntas Belum Tuntas

Menjelaskan Mengklasifikasikan
Mencontohkan Menyimpulkan

Gambar 3.
Rekapitulasi Hasil Pemahaman Lembar Evaluasi Siklus I dan Siklus II

1229
Berdasarkan pada tabel diatas hasil pemahaman konsep siswa dengan
indikator menjelaskan, mengklasifikasikan, mencontohkan dan menyimpulkan
dari siklus I sampai siklus II terlihat meningkat. Adapun rekapitulasi hasil lembar
evaluasi siswa yang sudah direduksi sebagai berikut.

Rekapitulasi Hasil Lembar Evaluasi Siswa


(Individu) Siklus I dan Siklus II

87.6% 100%
72.43% 86.6% 87.6%
100% 53.3%
46.6%
50% 13.4% 0%
0%
Tes Siklus 1 Siklus 2
Kemampuan
Awal

Belum Tuntas Tuntas Rata-rata

Gambar 4.
Rekapitulasi Hasil Lembar Evaluasi Siswa (Individu) Siklus I dan Siklus II
Berdasarkan tabel diatas bahwa hasil pemahaman konsep pada lembar
evaluasi individu dari tes kemampuan awal siswa sampai pada siklus II terlihat
meningkat. Selain itu adapun hasil rekapitulasi aktivitas guru dan siswa pada
siklus I dan II sebagai berikut.

Rekapitulasi Hasil Aktivitas


Guru dan Siswa Siklus I dan
Siklus II
100%100%
57% 68%
100%
0%
Siklus 1 Siklus 2

Aktivitas Guru Aktivitas Siswa

Gambar 5.
Rekapitulasi Hasil Aktivitas Guru dan Siswa Siklus I dan Siklus II
Berdasarkan tabel rekapitulasi hasil aktivitas guru dan siswa terlihat
meningkat dari siklus I hingga siklus II. Terlihat pada bagan lembar evaluasi
Individu dan kelompok siklus I dan II, bagan hasil rekapitulasi aktivitas guru dan
siswa serta bagan rekapitulasi angket siswa mengalami peningkatan.
Pemahaman konsep sangat penting dimiliki oleh setiap siswa. Hasil belajar

1230
pemahaman adalah kemampuan menangkap makna atau arti sesuatu yang
dipelajari menurut Kurniawan, (2011, hlm. 13). Bahwa begitu otak menemukan
makna, struktur fisiknya akan berubah seiring dengan pembentukan hubungan
saraf (dalam Johnson, hlm. 36 Diamond & Hopson, 1998; Greenfield, 1997).
Secara keseluruhan dari deskripsi awal penelitian, pelaksanaan pembelajaran
dan perkembangan proses pembelajaran yang baik akan berdampak pada
peningkatan pemahaman konsep siswa.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa
perkembangan proses pembelajaran dengan menerapkan pendekatan
kontekstual terlihat berkembang. Hal ini dikarenakan dalam pelaksanaan
pembelajaran peneliti membuat rencana perbaikan pembelajaran yang matang
dari berbagai temuan dengan kategori kurang perhatian, pemahaman konsep
rendah, dan motivasi rendah yang muncul pada setiap siklus agar tidak
ditemukan lagi temuan-temuan yang sama pada pembelajaran selanjutnya dan
pemahaman konsep dalam pembelajaran IPA pada materi gaya di kelas tinggi
dilihat dari perolehan hasil belajar siswa dapat meningkat dengan menerapkan
pendekatan kontekstual. Dengan rata-rata tes kemampuan awal siswa hanya
72,43 dengan presentase 53,3%, rata-rata siklus I 87,7 dengan presentase
86,6% dan rata-rata siklus II yaitu 87,6 dengan presentase 100%.

DAFTAR RUJUKAN
Aqib, Z. (2013). Model-Model, Media, dan Strategi Pembelajaran Kontekstual
(Inovatif). Bandung: Yrama Widya.
Arikunto, S., Suhardjono, & Supardi. (2010). Penelitian Tindakan Kelas.
Jakarta: PT Bumi Aksara.
Badar, T., I. (2014). Mendesain Model Pembelajaran Inovatif, Progresif, dan
Kontekstual: Konsep Landasan dan Implementasinya pada Kurikulum
2013. Jakarta: Prenadamedia Group.
Hamalik, O. (2008). Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Hopskins, D. (2011). Panduan Guru Penelitian Tindakan Kelas. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Jonhson, B., J (2014). Contextual Teaching and Learning: Menjadikan Kegiatan
Belajar Mengajar Mengasyikan dan Bermakna. Bandung: Kaifa Learning.
Kunandar, (2012). Langkah Mudah Penelitian Tindakan Kelas Sebagai
Pengembangan Profesi Guru. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Komalasari, K. (2010). Pembelajaran Kontekstual Konsep dan Aplikasi.
Bandung: PT Refika Aditama.
Mulyasa, E. (2010). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
Muslich, M. (2007). KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual.
Jakarta: PT Bumi Aksara.
Samatowa, U. (2010). Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar Negeri . Jakarta: PT
Indeks.

1231
PENGELOLAAN PEMBUATAN SOAL BERBASIS LITERASI SAINS
1)
Yuni Pantiwati & 2)Husamah
Universitas Muhammadiyah Malang
E-mail: 1)yuni_pantiwati@yahoo.co.id
Abstract
The science teacher at SMP Muhammadiyah Kota Batu understand and realize
that science education has an important role in preparing qualified human
resources to face the era of industrialization and globalization, one of them with
literacy skills. The method used is the passage and mentoring training includes
socializing, discussions, workshops, training, direct practice, and evaluation.
Results of the analysis of the situation to the problems solved jointly agreed
priorities 4 junior high science teacher, two teachers of SMP Muhammadiyah 8
and 2 teachers of SMP Muhammadiyah 2 Batu. Conclusion of the activity: 1)
the science teachers at SMP Muhammadiyah Kota Batu has increased its
ability to understand the assessment of authentic, assessment Traditionally, the
concept of literacy, and the nature of scientific literacy, 2) There are 23
questions that are prepared teachers include: a) seven items for the dimension
" measuring the ability of knowledge concepts ", b) there are no items to
dimension" to measure the ability to use scientific knowledge in analyzing a text
or article ", c) seven items for the dimensions" measure using knowledge or
concepts significantly ", d) nine items for the dimension "measures the ability to
analyze and evaluate the use of data or events", and e) none of the items to
dimension "measure problem-solving skills".
Keyword: Literasi, Sains, IPA, SMP
PENDAHULUAN
Literasi sains didefinisikan dalam Program for International Student
Assessment (PISA, 2009) sebagai pengetahuan sains seseorang, dan
penggunaan pengetahuan itu, untuk mengidentifikasi pertanyaan, memperoleh
pengetahuan baru, menjelaskan fenomena sains dan menarik kesimpulan
tentang sains yang berhubungan dengan isu- isu; pemahaman tentang cirri
karakteristik dari ilmu sebagai bentuk pengetahuan manusia dan penyelidikan;
kesadaran bagaimana sains dan teknologi membentuk intelektual, lingkungan
budaya; dan kesediaannya untuk terlibat dalam masalah yang terkait sains,
serta dengan ide-ide pengetahuan tersebut bisa menjadi warga negara yang
tanggap. Literasi sains dianggap suatu hasil belajar kunci dalam pendidikan
pada usia 15 tahun bagi semua siswa, karena anak usia 15 tahun sudah
seyogyanya menentukan pilihan karier dan ikut serta mengambil peran dalam
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (Rahmawati, 2012).
Menurut Organization for Economic Cooperation and Development
(OECD, 2003) literasi sains (scientific literacy) didefinisikan sebagai kapasitas
untuk menggunakan pengetahuan ilmiah, mengidentifikasi pertanyaan dan
menarik kesimpulan berdasarkan fakta untuk memahami alam semesta dan
membuat keputusan dari perubahan yang terjadi karena aktivitas manusia.
Literasi sains penting untuk dikuasai oleh siswa dalam kaitannya dengan
bagaimana siswa dapat memahami lingkungan hidup, kesehatan, ekonomi dan
1232
masalah-masalah lain yang dihadapi oleh masyarakat modern yang sangat
bergantung pada teknologi dan kemajuan serta perkembangan ilmu
pengetahuan (Yusuf, 2003).
Dengan demikian anak usia SMP dalam rentangan usia 10-15 sangat
tepat sebagai masa terlihat hasil literasi sainnya. Hal ini bukan berarti waktu
yang tepat memulai belajar literasi sains tetapi justru masa untuk menggunakan
kemampuan literasi sains mengingat masa ini anak masuk dalam masa
peralihat berpikir konkrit (SD) menuju berpikir abstrak (SMP). Perkembangan
kognitif remaja, dalam pandangan Jean Piaget (seorang ahli perkembangan
kognitif) merupakan periode terakhir dan tertinggi dalam tahap pertumbuhan
operasi formal (period of formal operations). Pada periode ini, idealnya para
remaja sudah memiliki pola pikir sendiri dalam usaha memecahkan masalah-
masalah yang kompleks dan abstrak. Kemampuan berpikir para remaja
berkembang sedemikian rupa sehingga mereka dengan mudah dapat
membayangkan banyak alternatif pemecahan masalah beserta kemungkinan
akibat atau hasilnya. Kapasitas berpikir secara logis dan abstrak mereka
berkembang sehingga mereka mampu berpikir multi-dimensi seperti ilmuwan.
Hasil diskusi dan observasi di SMP Perguruan Muhammadiyah Kota
Batu menunjukkan saat ini proses belajar mengajar untuk mata pelajaran sains
(IPA) masih cenderung terfokus pada guru, dan kurang berfokus pada peserta
didik. Sebenarnya guru sudah berupaya untuk memperbaiki hal ini, namun
karena beban kerja yang tinggi dan berbagai tuntutan manajemen sekolah, dan
belum intensih pembinaan tentang LIterasi sehingga hasilnya belum sesuai
tujuan dan target pencapaian.
Guru seringkali menemukan siswa kurang memahami konsep-konsep
IPA secara mendalam padahal pemahaman konsep-konsep biologi sangat
diperlukan dalam pengintegrasian alam dan teknologi hal ini mengkin saja
disebabkan di dalam pembelajaran kurangnya keterlibatan siswa dan
kurangnya penekanan guru terhadap keterkaitan antara konsep-konsep bilogi
dan lingkungan riil. Selain itu proses pembelajaran siswa lebih menekankan
hanya pada aspek pengetahuan dibandingkan dengan aspek pemahaman.
Dalam proses pembelajaran siswa beranggapan biologi hanya terdiri atas
kumpulan konsep teori dan hukum yang dipelajari hanya untuk menjawab soal
ujian atau ulangan tanpa pernah memberikan makna untuk apa belajar.
Demikian juga life skill yang dimilikinya kurang tertanam dalam diri siswa
Sehingga dari proses belajar kurang dapat memberikan makna kepada siswa
dalam kehidupannya.
Guru IPA SMP di Perguruan Muhammadiyah Kota Batu juga sebenarnya
telah mendengar istilah literasi sains, akan tetapi hanya sebatas mendengar
saja. Guru IPA belum memahami literasi sains secara menyeluruh.
Terbatasnya pengetahuan dan pemahaman itu menyebabkan para guru belum
mengaitkan kegiatan pembelajaran yang dilakukan dengan tuntutan literasi
sains. Guru IPA telah memahami dan menyadari bahwa pendidikan sains
memiliki peran yang penting dalam menyiapkan anak memasuki dunia
kehidupannya. Pendidikan sains memiliki potensi yang besar dan peranan
strategis dalam menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas untuk
menghadapi era industrialisasi dan globalisasi. Potensi ini dapat terwujud jika
pendidikan sains mampu melahirkan siswa yang cakap dalam bidangnya dan
1233
berhasil menumbuhkan kemampuan berpikir logis, berpikir kreatif, kemampuan
memecahkan masalah, bersifat kritis, menguasai teknologi serta adaptif
terhadap perubahan dan perkembangan zaman.
Guru sebagai salah satu yang bertanggung jawab atas pendidikan, maka
perlu mendapatkan pengetahuan dan pemahaman tetang pengukuran literasi
sains. Pengukuran literasi sains penting untuk mengetahui sejauh mana
pemahaman siswa terhadap pengetahuan sains, tetapi juga pemahaman
terhadap berbagai aspek proses sains, serta kemampuan mengaplikasikan
pengetahuan dan proses sains dalam situasi nyata. Meningat belum adanya
pembinaan secara intensif tentang penguran berbasis literasi sains maka
sampai saat ini guru belum memiliki kompetensi yang memadai terkait hal
tersebut. Oleh karena itu tim pengabdian masyarakat pendidikan biologi
melakukan pembinaan, pendampingan, dan pengelolaan guru IPA di SMP
Perguruan Muhammadiyah Kota Batu-Malang dalam meningkatkan
kemampuan membuat soal berbasis literasi sains.
Berdasarkan berbagai permasalahan yang muncul atau ditemui di
sekolah yang menjadi mitra maka guru-guru IPA, kepala sekolah, dan Tim
Pengabdian telah sepakat bahwa masalah prioritas yang perlu segera
mendapatkan solusi terkait literasi sains (science literacy). Agar lebih fokus
terhadap permasalahan sehingga memudahkan pengambilan tindakan atau
kegiatan pengabdian maka guru-guru IPA, kepala sekolah, dan Tim
pengabdian sepakat bahwa perlu ada transfer informasi, penguatan wawasan,
dan pendampingan guru-guru IPA oleh Tim Pengabdian mengenai topik-topik
berikut, 1) Konsep literasi dan literasi sains, 2) Asesmen, asesmen tradisional,
asesmen autentik dan langkah-langkah pengembangannya, 3) Pengembangan
asesmen literasi sains. Output dari kegiatan ini yaitu tersusunnya instrumen
berbasis literasi sains.
METODE PELAKSANAAN
Kegiatan dilakukan di Perguruan Muhammadiyah Kota Bat-Malang diikuti
4 oang guru dari 2 sekolah. Metode pendekatan ini sepenuhnya disesuaikan
dengan hasil analisis situasi terhadap permasalahan prioritas yang disepakati
untuk diselesaikan bersama dengan guru-guru IPA SMP Perguruan
Muhammadiyah 8 Kota Batu Malang dari SMP Muhammadiyah 8 dan SMP
Muhammadiyah 2 Sidomulyo Kota Batu. Metode pendekatan yang digunakan
adalah pendampingan yang meliputi sosialisasi, diskusi, workshop, pelatihan,
praktek langsung, dan evaluasi. Metode ini dapat memberikan peran lebih
kepada pada guru sehingga mereka lebih terampil dan pada akhirnya
kompetensi guru, khususnya terkait dengan literasi sains akan meningkat
sehingga mendorong tercapainya profesionalisme guru-guru IPA SMP
Perguruan Muhammadiyah di Kota Batu-Malang.
Berdasarkan uraian metode pelaksanaan yang telah ada maka dapat
disusun kegiatan sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 1 berikut ini.

1234
Tabel 1.
Kegiatan Pelatihan dan Pendampingan

No Kegiatan Partisipsi Mitra


Pelatihan guru
Diskusi dan
1 penyampain materi pengantar dan penyamaan
sosialisasi
persepsi
Diskusi dan sharing pengalaman terkait dengan,
a) Konsep Literasi dan literasi Sains
Diskusi,
b) Asesmen, asesmen tradisional, dan asesmen
pelatihan,
autentik, dan langkah-langkah
workshop
pengembangannya
c) Pengembangan asesmen literasi sains
Pendampingan pengembangan asesmen berbasis Praktek, diskusi,
2
literasi sains evaluasi
Diseminasi best practices dengan guru-guru IPA Praktek, diskusi,
4
SMP Muhammadiyah Kota Batu evaluasi
Monitoring dan evaluasi diskusi, evaluasi
5
Penyusunan Naskah Publikasi dan laporan Akhir

HASIL DAN PEMBAHASAN


1. Pelatihan Pengelolaan Instrumen Berbasis Literasi Sains
Pelatihan dilaksanakan di SMP Muhammadiyah 8 Kota Batu Malang diikuti
oleh 2 guru IPA dari SMP Muhammadiyah 8 dan 2 orang guru IPA dari SMP
Muhamadiyah Sidomulyo Kota Batu. Dalam kegiatan ini disampaikan materi
tentang: 1) Konsep literasi dan literasi sains, 2) Asesmen, asesmen
tradisional, asesmen autentik dan langkah-langkah pengembangannya, 3)
Pengembangan asesmen berbasis literasi sains. Kegiatan pelatihan ini
meliputi: 1) ceramah dan diskusi penyampaian materi tentang konsep
literasi, literasi sains, asesmen autentik, 2) mengidentifikasi komponen
dimensi kognitif literasi sains yaitu meliputi beberapa kemampuan dalam: a)
menggunakan pengetahuan atau konsep-konsep secara bermakna, b)
mengidentifikasi masalah, c) menganalisis dan mengevaluasi data atau
peristiwa, d) merancang penyelidikan, e) menggunakan dan memanipulasi
alat, bahan atau prosedur; serta f) memecahkan masalah dalam rangka
memahami fakta-fakta tentang alam dan perubahan yang terjadi dalam
kehidupan.
Pelatihan menghadirkan pembicara Husamah, S.Pd M.Pd (materi Konsep
dasar LItersasi dan Literasi Sains) dan Dr Yuni Pantiwati MM, M.Pd (materi:
Asesmen Autentik dan instrument berbasis LIterasi sains), dan Fuad Jaya
Miharja, M.Pd yang membantu mengarahkan jalannya diskusi dan pelatihan.
Peserta sangat antusias, mereka menyampaikan kalau literasi sains
merupakan materi baru bagi guru-guru, aktif bertanya dan mengikuti
pelatihan dengan seksama. Peserta merasa mendapatkan Informasi baru
tentang: 1) Literasi sains baik konsep maupun hakekatnya, 2) instrumen
pengukuran literasi sains. Peserta baru menyadari kalau soal yang dibuat
selama ini belum mengarah pada Literasi sains bahkan belum mencapai C4,

1235
C5, atau C6, dimana aspek ini merupakan indikasi tingkat pencapaian
kemampuan berpikir tinggi. Menurut Liliasari (2011) pendidikan sains
bertanggungjawab atas pencapaian literasi sains anak bangsa, karena itu
perlu ditingkatkan kualitasnya. Peningkatan kualitas pendidikan sains dapat
dilakukan melalui berpikir sains. Berpikir sains dapat dikembangkan melalui
kemampuan berpikir tingkat tinggi (expert thinking) yang dapat dijadikan
pondasi untuk membentuk karakter bangsa. Sehingga, bila pembelajaran
menggunakan asesmen dengan kategori tingkat tinggi, siswa dituntut
berpikir kritis. Pembiasaan ini untuk mengembangkan kemampuan siswa
dalam berpikir kritis, mengingat materi literasi sains terkait dengan
kehidupan sehari-hari sehingga secara tidak langsung akan mempengaruhi
pola pikir, sikap, dan perilaku siswa dalam kehidupannya untuk menjadi
individu yang berkulitas.
2. Pendampingan Pengelolaan Instrumen Berbasis Literasi Sains
Setelah pelatihan tentang asesmen dan literasi saisn, selanjutnya guru
berlatih membuat soal berbasis literasi saisn seperti yang telah disampaikan
saat pelatihan. Produk soal buatan guru seperti pada Tabel 2 berikut ini.
Tabel 2.
Produk Soal Berbasis Literasi Sains

No Dimensi Contoh soal


kognitif
1 pengetahuan 1. Seringkali kita mendengar bahwa benda yang
konsep besar jika dimasukkan ke kolam pasti akan
tenggelam. Apakah benar bahwa benda yang
besar jika dimasukkan ke kolam pasti akan
tenggelam? Berikan penjelasannya!
2. Dimana benda lebih mudah terapung, di air
biasa atau air laut? Jelaskan!.
3. Bapak menekan saklar untuk menyalakan
lampu. Apa sajakah perubahan energi yang
terjadi dalam peristiwa tersebut?
4. Salah satu fenomena alam yang menarik
diamati adalah pelangi. Pelangi biasanya terjadi
saat ada hujan gerimis di siang hari.
Bagaimanakah terjadinya pelangi tersebut?
5. Mengapa Anda yang sedang duduk di dalam
kereta api dikatakan bergerak terhadap stasiun,
tetapi dikatakan tidak bergerak terhadap kawan
di samping Anda ?
6. Ketika sebuah bola tennis Anda jatuhkan ke
lantai, dapatkah bola itu memantul mencapai
ketinggiannya semula ? Jelaskan !
7. Saat ini bermunculan aneka makanan dengan
sensasi rasa pedas, misalnya mie mulai level 1
sampai level 9. Mengapa kita akan
mengeluarkan air mata saat makan makanan

1236
pedas? Berikan nama zat di setiap lapisan
tersebut dan beri alasannya

21 cm
19 cm

2 penggunaan
pengetahuan
sains dalam
menganalisis
teks atau
artikel
3 menggunakan 1. Mengapa Anda harus mengayuh pedal sepeda
pengetahuan lebih kuat ketika sepeda akan mulai bergerak
atau konsep- dibandingkan ketika sepeda telah bergerak
konsep secara dengan kelajuan tetap ?
bermakna 2. Mengapa sekelompok tentara yang berbaris
maju dengan langkah teratur diminta berjalan
biasa ketika hendak melalui sebuah jembatan ?
3. Kota Batu terletak pada dataran tinggi. Semakin
tinggi suatu daerah maka semakin dekat
dengan matahari, tapi mengapa udara di Kota
Batu terasa sangat sejuk dan dingin?
4. Saluran listrik pada kabel PLN memiliki
tegangan listrik yang sangat besar dan
berbahaya. Tapi kenapa burung merpati tidak
tersengat listrik saat bertengger pada kabel PLN
tersebut?
5. Kita sering berekreasi ke laut dan berdiri
dipantai yang dasarnya berbatu-batu. Saat
menginjak batu, mengapa kaki akan terasa
lebih sakit ketika tidak ada air dibandingkan
ketika air menggenangi kaki?
6. Seorang pemancing ikan tidak saja harus diam,
melainkan juga harus duduk dengan tenang di
pinggir kolam. Apa sebabnya? Jelaskan!
6 1237
7. Ibu memasak daging sapi di dapur. Untuk
memotong daging tersebut ibu menggunakan
pisau. Mengapa daging lebih mudah diiris
menggunakan pisau tajam disbanding pisau
tumpul?
4 menganalisis 1. Mata Aris menderita rabun jauh sehingga harus
dan menggunakan kaca mata negatif atau kacamata
mengevaluasi cekung. Candra mencoba memakai kacamata
data atau Aris tersebut dan penglihatannya malah tampak
peristiwa kabur. Mengapa hal tersebut dapat terjadi?
2. Udara Kota Batu sangat sejuk dan seringkali
sangat dingin. Mengapa tubuh kita akan
menggigil saat kedinginan?
3. Sebuah aki mobil bertuliskan 60 AH. a). Jika
semua alat listrik yang ada dapat menarik arus
total sebesar 2 A, berapa lamakah aki tersebut
dapat dipakai?, b). Jika aki tersebut bisa
digunakan selama 4 Jam, berapa arus yang
digunakan oleh komponen selama waktu
tersebut?
4. Suatu proses pembuatan baju di sebuah pabrik
konfeksi dikerjakan oleh 3 orang laki-laki dan 4
orang perempuan menghasilkan 15 baju
perhari, jika diselesaikan oleh 2 orang laki-laki
dan 2 orang perempuan maka dihasilkan 8
buah baju perhari.Berapa baju yang dihasilkan
jika dikerjakan oleh 5 orang laki-laki dan 1 orang
perempuan dalam 1 minggu?
5. Jika suatu saat perusahaan mendapatkan
pesanan sebanyak 300 baju yang harus selesai
dalam waktu 10 hari dan tenaga kerja laki-laki
hanya 9 orang, maka berapa tenaga kerja
perempuan yang dibutuhkan?
6. Tinggi tumpukan paving stone digambarkan
sebagai berikut, berapakah tinggi tumpukan
yang ketiga?
7. Menurut sebuah model sederhana jantung
mamalia, pada tiap pulsa jantung kira-kira 20
gram darah dipercepat dari 0,25 m/s menjadi
0,35 m/s selama 0,1 detik. Berapa besar gaya
yang dikerjakan otot jantung mamalia ? Sebuah
tangki air berkapasitas 100 liter mengalami
kebocoran di bagian dasarnya dengan debit 3,5
liter per jam. Tangki tersebut diisi dengan air
dari selang dengan debit 5,5 liter per menit.
Seandainya kebocoran ditutup, berapa lama
waktu yang diperlukan untuk mengisi penuh
tangki tersebut? Dengan kebocoran yang ada,
1238
berapa waktu yang diperlukan untuk mengisi
penuh tangki tersebut?
8. Setiap pagi kita dianjurkan untuk sarapan.
Kenapa kita akan merasa lemas apabila tidak
sarapan? Untuk konser music rock, sebuah
lapangan yang berbentuk persegi panjang
berukuran panjang 100 meter dan lebar 50
meter disiapkan untuk pengunjung. Tiket terjual
habis bahkan banyak fans yang berdiri.
Berapakah banyaknya pengunjung konser yang
mungkin?
A. 2.000 B. 5.000 C. 20.000 D. 50.000 E.
100.000
9. Udara di sekitar bumi kita terdiri dari bermacam
zat antara lain : Nitrogen (78%), Oksigen (21%)
dan karbondioksida (0,03%), dan perbandingan
massa ketiga zat tersebut adalah seperti tabel
berikut:
Zat Massa
Oksigen 32
Karbondioksida 44
Nitrogen 28
Dalam kondisi yang tenang akan cenderung
membentuk formasi berlapis seperti gambar
berikut :

A
B
C
5 Memecahkan
masalah

Berdasarkan data pada Tabel 2 tampak bahwa soal buatan guru sudah
bervariasi, memnuhi konten yaitu terkait isi materi IPA meliputi Fisika,
Biologi, Kimia. Namun belum semua dimensi tersusun soal, seperti dimensi
penggunaan pengetahuan sains dalam menganalisis teks atau artikel dan
memecahkan masalah. Kedua dimensi ini perlu ditingkatkan dengan berlatih
kembali membuat soal yang dimensinya menyeluruh. Soal buatan guru
tampak belum memenuhi semua komponen yang tercantum dalam PISA
(2006) menetapkan lima komponen proses sains dalam penilaian literasi
sains, yaitu:
a. Mengenal pertanyaan ilmiah, yaitu pertanyaan yang dapat diselidiki
secara ilmiah, seperti mengidentifikasi pertanyaan yang dapat dijawab
oleh sains.
b. Mengidentifikasi bukti yang diperlukan dalam penyelidikan ilmiah. Proses
ini melibatkan identifikasi atau pengajuan bukti yang diperlukan untuk

1239
menjawab pertanyaan dalam suatu penyelidikan sains, atau prosedur
yang diperlukan untuk memperoleh bukti itu.
c. Menarik dan mengevaluasi kesimpulan. Proses ini melibatkan
kemampuan menghubungkan kesimpulan dengan bukti yang mendasari
atau seharusnya mendasari kesimpulan itu.
d. Mengkomunikasikan kesimpulan yang valid, yakni mengungkapkan
secara tepat kesimpulan yang dapat ditarik dari bukti yang tersedia.
e. Mendemonstrasikan pemahaman terhadap konsep-konsep sains, yakni
kemampuan menggunakan konsep-konsep dalam situasi yang berbeda
dari apa yang telah dipelajarinya.
Pengukuran terhadap pencapaian literasi sains berdasarkan standar PISA
yakni proses sains, konten sains, dan konteks aplikasi sains. Proses sains
merujuk pada proses mental yang terlibat ketika menjawab suatu
pertanyaan atau memecahkan masalah, seperti mengidenifikasi dan
menginterpretasi bukti serta menerangkan kesimpulan. Termasuk di
dalamnya mengenal jenis pertanyaan yang dapat dan tidak dapat dijawab
oleh sains, mengenal bukti apa yang diperlukan dalam suatu penyelidikan
sains, serta mengenal kesimpulan yang sesuai dengan bukti yang ada.
Konten sains merujuk pada konsep-konsep kunci yang diperlukan untuk
memahami fenomena alam dan perubahan yang dilakukan terhadap alam
melalui akitivitas manusia. Dalam kaitan ini PISA tidak secara khusus
membatasi cakupan konten sains hanya pada pengetahuan yang menjadi
materi kurikulum sains sekolah, namun termasuk pula pengetahuan yang
dapat diperoleh melalui sumber-sumber lain. PISA (2006) menetapkan tiga
dimensi besar literasi sains dalam pengukurannya, yakni proses sains,
konten sains, dan konteks aplikasi sains.

SIMPULAN
Berdasarkan hasil kegiatan, dapat disimpulkan sebagai berikut: 1) guru
IPA SMP di Perguruan Muhammadiyah Kota Batu telah meningkat
kemampuannya dalam memahami asesmen autentik, asesmen tradisional,
konsep literasi, dan hakekat literasi sains, 2) Telah tersusun 23 soal meliputi: a)
tujuh item untuk dimensi mengukur kemampuan pengetahuan konsep, b) tidak
ada item untuk dimensi mengukur kemampuan penggunaan pengetahuan
sains dalam menganalisis teks atau artikel, c) tujuh item untuk dimensi
mengukur menggunakan pengetahuan atau konsep-konsep secara bermakna,
d) sembilan item untuk dimensi mengukur kemampuan menggunakan
menganalisis dan mengevaluasi data atau peristiwa e) tidak ada item untuk
dimensi mengukur kemampuan memecahkan masalah.

DAFTAR RUJUKAN
Amri, U., Yennita, Ma’ruf, Z. (2013). Pengembangan Instrumen Penilaian
Literasi Sains Fisika Siswa Pada Aspek Konten, Proses, dan Konteks.
Pekanbaru: Laboratorium Pendidikan Fisika, Jurusan PMIPA FKIP
Universitas Riau,
ARG. (2002). Assessment for Learning: 10 Principles. University of Cambridge:
Assessment Reform Group.

1240
Firman, H. (2007). Analisis Literasi Sains Berdasarkan Hasil PISA Nasional
Tahun 2006. Jakarta: Pusat Penilaian Pendidikan Balitbang Depdiknas.
Liliasari. (2011). Membangun Masyarakat Melek Sains Berkarakter Bangsa
Melalui Pembelajaran. Makalah disampaikan pada seminar nasional
UNNES 2011.
O'Malley, J M & Pierce, L. V. (1996). Authentic assessment for English
Language Learners: Practical approaches for teachers. freshNew York:
Addison-Wesley, pp. 268.
Pantiwati, Y. (2011). Pengaruh Jenis Asesmen Biologi dalam Pembelajaran
TPS terhadap Kemampuan Kognitif, Kritis, dan Kreatif. Prosiding Seminar
Nasional Pendidikan Asesmen Otentik dalm Implementasi Pembelajaran
Aktif dan Kreatif. Bandar Lampung, Januari, 29-30 2011.
Pantiwati, Y. (2013). Profil Sistem Penilaian dalm Pembeljaran Biologi.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Sains. Iperan Sains dalam Abad
21. Surabaya, Januari, 2013.
Rahmawati, D. (2012). Analisis Literasi Sains Siswa SMP Dalam Pembelajaran
IPA Terpadu Pada Tema Penerapan Bioteknologi Konvensional. Skripsi
tidak diterbitkan. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.
Rustaman, N., Firman, H., & Kardiawarman. Literasi Sains Anak Indonesia
dalam PISA 2000. Laporan Studi PISA Puspendik Balitbang Depdiknas.
Rustaman, et al,. (2004). Ringkasan Eksekutif : Analisa PISA Bidang Literasi
Sains. Puspendik.
Shwartz, Y. et al,. (2006). “The Use Of Scientific Literacy Taxonomy For
Assessing The Development Of Chemical Literacy Among High-School
Students”. Chemical Educational Research and Practice. 7. (4). 203-225
Wulan, A.R. (2009). Asesmen Literasi Sains. Makalah team Hibah Pasca
sarjana. UPI; bandung. : http://www.unjabisnis.com/2010/06/kualitas-
mengajar.

1241
IDENTIFIKASI KESALAHAN PEMAHAMAN PADA MATA
PELAJARAN MATEMATIKA SEKOLAH DASAR MELALUI
MULTIMEDIA PEMBELAJARAN BERBENTUK KOMIK DIGITAL
Andhin Dyas Fitriani
Universitas Pendidikan Indonesia
E-mail: andhin.afa@gmail.com
Abstract
This study focused on identifying the error of understanding in mathematics in
primary schools. The process of error identification is done through multimedia
learning comprehension in the form of digital comics. The subjects were
students and aspirant teachers in Bandung. From this study we concluded that
most respondents are still experiencing errors understanding mathematical
concepts. One of the main factors causing errors that understanding is the
mindset that makes the end result of learning is the main goal of learning
mathematics in elementary school. Lack of material excavation and the
students potential causes saturation on students who also result in students'
mathematical communication process errors that will make the student
experience misunderstanding. Potential errors in understanding the concept of
matter can be packed into a story idea.
Keywords: Error understanding, Digital Comics
PENDAHULUAN
Sebuah artikel bertajuk ‘Refleksi Kritis Pembelajaran Matematika’,
keluaran P4TK Matematika memaparkan bahwa banyak diantara guru-guru kita
di jenjang sekolah dasar tidak punya pilihan lain kecuali harus mengajarkan
matematika, mata pelajaran yang belum tentu menarik bagi mereka bahkan
bisa jadi guru tersebut tidak mengenal matematika secara memadai karena
posisi mereka sebagai guru kelas. Hal tersebut menjadi salah satu sebab
mengapa begitu banyak anak-anak ‘gagal’ menyempurnakan pemahaman
matematis mereka, mereka merasa frustasi dan bahkan tidak lagi bergairah
dalam belajar matematika (Mansur, 2008).
Cockroft (1982, yang dikutip dari Collin, 1988, dalam Turmudi, 2008)
mengembangkan sebuah model yang digunakan untuk menelaah kondisi
pendidikan matematika di beberapa atau bahkan sebagian besar sekolah di
Indonesia. Cockcroft mengembangkan tiga isu utama yaitu : matematika
sebagai bahan yang dipelajari, metode sebagai strategi penyampaian bahan
ajar dan siswa sebagai subjek yang mempelajari bahan ajar. Dari analisis
model tersebut, diperoleh kesimpulan bahwa di sebagian besar sekolah di
Indonesia matematika dipandang sebagai ilmu yang abstrak, sisi keilmuannya
bersifat ‘kaku’ (tidak applicable), metodenya textbook oriented, teacher
centered, dan siswanya pun diposisikan sebagai objek pengurutan atau
perangkingan bukan sebagai objek ajar yang layak dihargai minat dan
kecenderungannya dalam belajar. Situasi tersebut, menyebabkan matematika
akan menjadi subjek yang ‘mati’ dan strategi pembelajarannya juga merupakan
strategi ‘mati’ yang mengajarkan matematika apa adanya (Turmudi, 2008).

1242
Hasil yang diperoleh IndoMS, melaporkan bahwa karakteristik pembelajaran
matematika masa kini lebih mengacu pada tujuan jangka pendek (lulus ujian
sekolah, kabupaten/kota atau nasional), materi kurang membumi, lebih fokus
pada kemampuan prosedural, komunikasi satu arah, pengaturan ruang kelas
yang monoton, low order thinking skill, bergantung pada buku paket, dominasi
soal rutin dan pertanyaan-pertanyaan tingkat rendah (Shadiq, 2007).
Dalam tinjauan psikologi perkembangan, siswa SD menunjukkan adanya
minat yang tinggi dan sifat alamiah untuk bermain, terlebih setelah mengalami
kejenuhan mengikuti aktifitas pembelajaran di sekolah. Realitas ini tidak banyak
disadari oleh para guru dan orangtua sebagai modalitas belajar yang potensial.
Hal yang memprihatinkan adalah justru anak-anak lebih banyak mengekplorasi
dan menyalurkan sendiri rasa ingin tahu dan kegemarannya melalui beragam
sarana hiburan berbasis komputer yang tidak memiliki nilai-nilai pendidikan.
Respon orangtua dengan menyediakan perangkat hiburan di rumah tidak diikuti
dengan kesadaran bahwa sumber inspirasi baru yang akan berpengaruh besar
terhadap perkembangan emosi dan intelektual anak.
Sebuah hasil penelitian mengungkapkan bahwa media komik dapat
digunakan dalam mengidentifikasi adanya lack of knowledge (Toras, 2012).
Lack of Knowledge merupakan salah satu penyebab munculnya miskonsepsi
dalam memahami atau menalari suatu konsep (Gentner dalam Collins, 1981).
Penelitian yang lainnya, mengungkap bahwa komik dapat dijadikan sebagai
sarana dalam membangun kerangka konsep pengetahuan walaupun tidak
sampai pada detail penjelasan. Minimalnya, komik dapat menjadi trigger untuk
proses penelusuran pengetahuan pada jejang kognitif berikutnya (Suci, 2012).
ISI
Duffin dan Simpson (2000) menyatakan bahwa pemahaman konsep
dapat digunakan sebagai kemampuan siswa untuk menjelaskan konsep,
menggunakan konsep pada situasi yang berbeda, mengembangkan berbagai
akibat dari adanya suatu konsep. Depdiknas (2003) mengungkapkan bahwa
pemahaman konsep merupakan salah satu kecakapan atau kemahiran
matematika yang diharapkan dapat tercapai dalam belajar matematika yaitu
dengan menunjukkan pemahamna konsep matematika, emnjelaskan
keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep secara lues, akurat,
efisien dan tepat dalam pemecahan masalah.
Kesalahan pemahaman dapat didefinisikan sebagai pertentangan atau
ketidakcocokan ataupun penjelasan yang salah dari sebuah konsep yang
dipahami seseorang dengan konsep yang sebenarnya. Kesalahan
pemahamana tidak dapat diabaikan dalam proses belajar mengajar, sebab jika
memang terjadi kesalahan pemahaman dapat berakibat pada materi-materi
selanjutnya dan melekat kuat pada siswa. Berdasarkan hasil kajian
Prasetyorini (2012) tentang profil miskonsepsi siswa pada materi pokok
pecahan ditinjau dari kemampuan matematika siswa diperoleh hasil bahwa
terjadi miskonsepsi pada beberapa konsep pecahan yang dapat menyebabkan
kesalahan pada aplikasi pecahan dan materi selanjutnya.
Penelitian yang dilakukan di berbagai Negara menekankan pada pentingnya
mengembangkan pembelajaran decimal yang menanamkan pemahaman akan
esensi dari bilangan decimal dan pecahan (Brousseau, 1997; Hiebert, 1992;

1243
Irwin, 2001; Stacey, Helme, Archer dan Condon, 2001 dalam Wijaya, Stacey
dan Steinle : 2008). Sejalan dengan hal tersebut, Graeber dan Johnson (dalam
Wijaya, Stacey dan Steinle : 2008) mengungkapkan tanpa adanya pemahaman
terhadap bilangan decimal dan pecahan, besar kemungkinan siswa mahir
mengerjakan operasi dengan bilangan decimal atau pecahan namun tidak
dapat membedakan kebenaran hasil pengerjaan operasi tersebut.
Penelitian yang mengkaji pemahaman calon guru dan guru akan bilangan
decimal dan pecahan juga menunjukkan bahwa para calon guru dan guru
memiliki potensi melakukan miskonsepsi tentang bilangan decimal dan
pecahan. Pentingnya upaya untuk memperbaiki miskonsepsi ini dan
menanamkan pemahaman tentang konsep-konsep dasar terkait dengan tema
bilangan decimal dan pecahan menjadi keniscayaan karena mungkin saja
miskonsepsi ini terwariskan kepada peserta didik mereka (Menon, 2004; Putt,
1995; Stacey, Helme, Steinle et al, 2001; Thipkong dan Davis, 1991; Tsao,
2005 dalam Wijaya, Stacey dan Steinle : 2008)
Miskonsepsi siswa SD di kelas rendah dalam membandingkan bilangan
desimal dan pecahan sebagian besar dilandasi oleh generalisasi sifat bilangan
bulat, yaitu semakin panjang angka decimal atau semakin besar pembilang
pecahan, maka semakin besar pula nilai bilangan tersebut. Sifat ini berlaku
pada himpunan bilangan bulat namun tidak tepat diterapkan pada himpunan
bilangan decimal atau pecahan (Steinle, 2004 dalam Wijaya, Stacey dan
Steinle : 2008)
Alur cerita komik didesain dengan mengunakan alur cerita berangkai
sedikit banyak memberikan kontribusi dalam proses identifikasi miskonsepsi
matematis responden. Alur cerita berangkai direpresentasikan dengan
penyesuaian alur cerita berdasarkan pilihan jawaban yang dipilih (terutama
dalam penyelesaian masalah di pos). sehingga memungkinkan 2 orang yang
berbeda membaca komik yang sama, namun memiliki akhir cerita yang
berbeda. Gambaran scenario alur cerita berangkai dalam komik ditampilkan
oleh Gambar 1.

1244
Gambar 1.
Alur Cerita Berangkai

1245
Media pembelajaran komk tersebut diujikan pada calon guru dan siswa.
Hasil pengujian identifikasi kesalahan pemahaman akan dijabarkan pada
anaisis sebagai berikut.

Tabel 1.
Identifikasi Kesalahan Pemahaman

Kasus Identifikasi Kesalahan


Pemahaman
Don, Rob dan Lynn berjalan pulang - Kesalahan perhitungan pada
dari sekolah bersama-sama. Waktu satuan waktu.
yang diperlukan oleh Lynn dari - Salah perhitungan waktu tempuh.
sekolah menuju ke rumahnya adalah - Salah dalam proses komunikasi
25 menit. Sementara dari rumah Lynn, soal cerita ke dalam bentuk
Rob memerlukan waktu 10 menit matematis.
untuk sampai di rumahnya. Don,
masih harus berjalan sendiri ke
rumahnya yang memerlukan waktu 5
menit dari rumah Rob.
Pada jam berapa mereka harus
meninggalkan sekolah agar Don bisa
sampai di rumah pukul 11.20?
a. 10.50 b. 10.45 c. 10.40

- Miskonsepsi dalam melakukan


operasi perhitungan pecahan.

Joe menghabiskan dari uangnya - Sebagian responden tidak teliti

ଶ memahami soal bahwa untuk
untuk membeli pena dan dari sisa ଶ

membeli buku adalah dari sisa
uangnya uangnya untuk membeli ହ
buku. Berapa uang Joe yang tersisa, uang.
jika Joe membawa uang Rp 15.000,-? - Ketidaktelitian dalam melakukan
a. 4000 b. 6000 c. 9000 operasi hitung bilangan pecahan
- Salah dalam proses komunikasi
soal cerita ke dalam bentuk
matematis.
- Miskonsepsi dalam mendefinisikan
Cerita Pak Tani : penyebut dan pembilang.
Sawah ini adalah peninggalan orang - Sebagian besar responden keliru
tua pak tani. Orang tua pak tani, dalam melakukan oprasi hitung
memiliki 3 orang anak dan 2 orang bilangan pecahan
keponakan. Pak tani sendiri adalah - Salah dalam proses komunikasi
anak ke-2. Agar tidak ada yang soal cerita ke dalam bentuk
berselisih mengenai harta matematis
peninggalannya, maka orang tua pak
tani membagi sawahnya secara adil.
Orang tua pak tani membagi sawah
tersebut menjadi 4 bagian. Masing-
masing anak mendapatkan
1246
seperempat bagian, dan seperempat
sisanya akan dibagi secara merata
kepada 2 keponakannya.
Nah, sawah peninggalan orang tua
pak tani ini bukannya tanpa masalah.
Orang tua pak tani membagi
sedemikian rupa sawahnya agar
setiap bagian pembagian berisikan
sarang tikus. Sarang tikus ini letaknya
sesuai dengan perhitungan :

urutan anak/keponakan
(anak/keponakan ke-) x bagian sawah
yang diperoleh

Misalkan, jika pak tani keponakan ke-


1, maka posisi sarang tikus akan
berada di 1 x 1/8 = 1/8. Untuk
menemukan posisi sarang tikus maka
keponakan pak tani harus bergerak ke
arah kiri sekian meter berdasarkan
nilai penyebut dan bergerak ke depan
sekian meter berdasarkan nilai
pembilang.

Dapatkah kalian membantu pak tani


menemukan sarang tikus yang berada
di sawah pak tani?

a. bergerak ke kiri 4 langkah dan


bergerak maju 2 langkah
b. bergerak ke kiri 8 langkah dan
bergerak maju 2 langkah
c.bergerak ke kiri 3 langkah dan
bergerak maju 2 langkah
d. bergerak ke kiri 3 langkah dan
bergerak maju 4 langkah

ʹ ͳ ͷ ͷ ͸ - Miskonsepsi dalam melakukan


ͳ ൅͵ ൈ െ ൊ perhitungan pecahan
͵ ʹ ͸ ͸ ͷ
a. 5/3 - Salah dalam melakukan urutan
b. 55/12 operasi hitung
c. 35/9 - Keliru dalam melakukan algoritma
d. 31/6 dan proses perhitungan operasi
hitung pecahan

1247
Dari hasil analisis tes yang didapatkan diperoleh hasil yang sangat
bervariasi, yang mengakibatkan akhir cerita berangkai yang dilalui oleh setiap
responden berbeda.dari hasil tersebut terdapat responden yang gagal
menyelesaikan perlombaan hingga pos terakhir. Evaluasi juga dilakukan
berdasarkan jumlah batu dan medali yang diperoleh oleh setiap responden.
Hasil yang didapatkan menjadi umpan balik bagi peneliti untuk menilai
keberhasilan dari multimedia pembelajaran komik yang dikembangkan. Dapat
dikatakan bahwa hasil tersebut sudah tergolong cukup baik karena baik siswa,
dan calon guru dapat mengetahui apakah jawaban yang mereka berikan salah
atau tidak berdasarkan akhir cerita. Tidak ditemukannya seorang pun yang
mendapatkan hasil sempurna menunjukkan alasan mengapa item penilaian
yang berhubungan dengan feedback and adaptation mendapatkan nilai
terendah.
SIMPULAN
Dari hasil uji coba yang dilakukan diperoleh hasil bahwa sebagian besar
responden masih mengalami kesalahan pemahaman konsep matematis. Salah
satu faktor utama penyebab kesalahan pemahaman tersebut adalah masih
adanya pola pikir yang menjadikan hasil akhir pembelajaran adalah tujuan
utama dari pembelajaran matematika di sekolah dasar. Kurangnya penggalian
materi dan potensi siswa menyebabkan kejenuhan pada siswa yang juga
berakibat pada kesalahan proses komunikasi matematis siswa yang pada
akhirnya menjadikan siswa mengalami kesalahan pemahaman. Potensi
kesalahan dalam memahami suatu konsep materi dapat dikemas menjadi ide
cerita. Filosofinya sama dengan pengembangan soal pilihan berganda yang
menjadikan alternative jawaban sebagai pengecoh efektif dalam memetakan
pola pikir objek ajar. Hanya saja, ketika alternative jawaban tersebut
diintegrasikan sebagai ide cerita, harus dipikirkan pula scenario cerita yang
menarik sehingga tidak terkesan kaku dan monoton. Sebagian besar siswa dan
calon guru menyatakan keminatannya untuk memanfaatkan media komik
dalam setting pembelajaran, hanya saja beberapa penyesuaian dan
pengembangan terkait dengan materi yang akan disajikan dalam bentuk komik
perlu menjadi pertimbangan khusus agar lebih dapat mengidentifikasi
kesalahan pemahaman matematis siswa.

DAFTAR RUJUKAN
Duffin, J.M. & Simpson, A.P. (2000). A search for understanding. The Journal of
Mathematical Behavior 18(4): 415-427
Gentner, & Collins. (1981). Studies of Inferences from Lack of Knowledge.
Memory and Cognition, 9 (4), 434 - 443.
Mansur (2008). Refleksi Kritis Pembelajaran Matematika. LPMP Provinsi
Maluku. [online]. Tersedia: http://p4tkmatematika.com/web-
p4tkmatematika.com
Prasetyorini. (2012). PROFIL MISKONSEPSI SISWA PADA MATERI POKOK
PECAHAN DITINJAU DARI KEMAMPUAN MATEMATIKA SISWA. Jurnal
Mathedunesa vol 2 No 1
Price, Collin B. (2010). The Design and Development of Educational Immersive
Environments: From Theory to Classroom Deployment. University of
Worcester. United Kingdom.
1248
Shadiq, F. (2003). Bagaimana Cara Matematika Meningkatkan Kemampuan
Berpikir Tingkat Tinggi Para Siswa? [Online]. Tersedia :
www.fadjarp3g.wordpress.com
Suci, Amalia. (2012) Pengembangan Multimedia Pembelajaran Berbentuk
Komik Digital untuk Menunjang Kegiatan Pembelajaran. Bandung : Skripsi
Program Studi Pendidikan Ilmu Komputer UPI [tidak dipublikasikan]
Toras, Lubis. (2012) Pengembangan Multimedia Pembelajaran Berbentuk
Komik dengan Alur Cerita Berangkai untuk Identifikasi Lack of Knowledge
Siswa dalam Memahami Mata Pelajaran TIK SMP. Bandung : Skripsi
Program Studi Pendidikan Ilmu Komputer UPI [tidak dipublikasikan]
Turmudi (2008). Landasan Filsafat dan Teori Pembelajaran Matematika
(Berparadigma Eksploratif dan Investigatif). Jakarta : PT Leuser Cita
Pustaka.
Widjaja, W., Stacey, K., & Steinle, V. (2008). Misconceptions about Density of
Decimals : Insights from Pre-Service Teachers’ Work. KONFERENSI
NASIONAL MATEMATIKA XIV (pp. 1011 - 1022). Palembang: Program
Studi Magister Pendidikan Matematika Universitas Sriwijaya
Palembang.

1249
PENGEMBANGAN DESAIN PEMBELAJARAN
PENJUMLAHAN DAN PENGURANGAN BILANGAN BULAT
BERDASARKAN MISKONSEPSI SISWA
1)
Desy Andini, 2)Karlimah, & 3)Momoh Halimah
Universitas Pendidikan Indonesia Kampus Tasikmalaya
E-mail: 1)desyandini07@gmail.com
Abstract
Instructional design development based of addition and subtraction of integers,
guided by the misconceptions of students about the concepts and processes
integer arithmetic operations of addition and subtraction on integer. Thus the
need for development of instructional design concepts and processes integer
addition and subtraction to overcome misconceptions students. Required
research methods of didactical design (Didactical Design Research) to resolve
the issue, the research activities carried out is to build a system based on
theories and practices to establish the effectiveness of the system. Research
conducted at Sindaggalih Elementary School on Tawang District of
Tasikmalaya and at 5 Sukamenak Elementary School on Purbaratu District of
Tasikmalaya. Data collection techniques conducted through the test instrument
misconceptions, design implementation didactic, teaching observation,
interviews, and documentation of each activity. Didactical design implemented
through inquiry learning using a planned approach. Its implementation raises
anticipation pedagogical actions related misconceptions integers, as well as
arithmetic operations of addition and reduction. The findings showed that the
learning experience through the concept’s discovery of integers through the
interger’s balance, and the arithmetic operations of addition and subtraction
through a back and forth game activities that involve physical activity through a
set of steps to perform arithmetic operations. Research shows related problems
experienced by students' misconceptions can be resolved.
Keyword: didactical design, misconception, intergers.
PENDAHULUAN
Masalah pendidikan matematika selalu menjadi sorotan, baik ditinjau dari
segi proses pembelajaran maupun rendahnya prestasi belajar siswa pada mata
pelajaran matematika. Pada pembelajaran matematika di sekolah dasar,
konsep bilangan bulat merupakan konsep yang penting untuk dikuasai.
Berbagai studi mengenai bilangan bulat menunjukan bahwa materi tersebut
merupakan salah satu topik yang sulit diajarkan (Cockburn & Littler, 2008;
Allen, 2007). Hal ini diperkuat dari hasil studi pendahuluan, bahwa sebagian
besar siswa belum memahami secara utuh konsep penjumlahan dan
pengurangan bilangan bulat. Banyak siswa yang mengalami miskonsepsi
meski mereka telah mempelajari materi tersebut. Hal ini mengindikasikan
bahwa mereka hanya dilatih untuk memahami konsep dan alasan langkah
pengerjaan soal.
Pembelajaran matematika untuk siswa sekolah dasar yang masih dalam
tahap berpikir konkrit (Piaget dalam Muijs, 2008, hlm. 14), perlu ditunjang

1250
dengan pembelajaran bermakna agar terbentuk konsep baru dalam kerangka
berpikir siswa. Pembelajaran bermakna dapat dilakukan dengan menggunakan
model, metode, dan media yang sesuai dengan karakeristik siswa. Dengan
begitu perlu adanya suatu proses perencanaan pembelajaran yang disusun
sebagai rancangan pembelajaran (Desain Didaktis) yang merupakan langkah
awal sebelum adanya pembelajaran. Pada rancangan pelaksanaan
pembelajaran dilengkapi dengan indikator miskonsepsi sebagai hipotesis yang
disajikan dalam bentuk Antisipasi Didaktis Pedagogis (ADP) untuk mengatasi
miskonsepsi yang muncul pada proses pembelajaran sehingga diharapkan
mampu mengarahkan siswa pada pembentukan pemahaman yang utuh. Artikel
ini menjawab proses pengembangan model desain didaktis konsep
penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat di sekolah dasar.
PEMBELAJARAN PENJUMLAHAN DAN PENGURANGAN BILANGAN
BULAT DI SEKOLAH DASAR
Pembelajaran penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat mengacu
pada kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) yang dalam pelaksanaannya
lebih terfokus pada buku sumber pembelajaran. Konten bahan ajar yang
terdapat pada buku sumber (Soenarjo, 2008, hlm. 1-9; Sumanto dkk, 2008,
hlm. 1-20) mencakup definisi bilangan bulat, bilangan bulat ganjil, dan bilangan
bulat genap, operasi penjumlahan dan pengurangan yang disajikan dengan
menggunakan garis bilangan, dan sifat-sifat operasi hitung bilangan bulat.
Selanjutnya untuk melatih keterampilan opersasi hitung penjumlahan dan
pengurangan, siswa dilatih untuk mengerjakan soal-soal yang tertera pada
buku sumber dan soal dari guru.
Miskonsepsi
Miskonsepsi berupa kesalahan dalam mentransfer konsep dari informasi
yang diperoleh ke dalam kerangka kerja. Sehingga konsep yang dipahami oleh
siswa menjadi tidak sesuai dengan konsep yang sebenarnya. Miskonsepsi
matematika di sekolah dasar merupakan hal yang sering dijumpai, mulai dari
pengukuran, aritmatika, geometri, hingga statistika (Ryan & William, 2007, hlm.
3). Beberapa tipe miskonsepsi matematika yang dialami siswa sekolah dasar
(Ben-Hur, 2006; Ryan & William, 2007) yaitu: (1) Prakonsepsi; (2)
Undergeneralization; (3) Overgeneralization; (4) Modelling Error; (5)
Prototyping Error; dan (6) Process-Object Error.
Teori Metapedadidaktik
Menyadari bahwa situasi didaktis dan pedagogis yang terjadi dalam suatu
pembelajaran merupakan peristiwa yang sangat kompleks, maka guru perlu
mengembangkan kemampuan untuk bisa memandang peristiwa tersebut
secara komprehensif, mengidentifikasi, dan menganalisis hal-hal penting yang
terjadi serta melakukan tindakan tepat sehingga tahapan pembelajaran berjalan
lancar dan sebagai hasilnya siswa belajar dengan optimal. Menurut Suryadi
(2010: 12) kemampuan yang perlu dimiliki guru adalah metapedadidaktik yang
dapat diartikan kemampuan guru untuk:
(1) memandang komponen-komponen segitiga didaktis yang dimodifikasi
yaitu ADP, HD, dan HP sebagai suatu kesatuan yang utuh; (2)
mengembangkan tindakan sehingga tercipta situasi didaktis dan pedagogis

1251
yang sesuai kebutuhan siswa; (3) mengidentifikasi serta menganalisis
respons siswa sebagai akibat tindakan didaktis maupun pedagogis yang
dilakukan; (4) melakukan tindakan didaktis dan pedagogis lanjutan
berdasarkan hasil analisis respons siswa menuju pencapaian target
pembelajaran.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan model penelitian desain didaktis (Didaktical
Design Research). Penelitian ini dilakukan untuk menyusun dan
mengembangkan pembelajaran konsep penjumlahan dan pengurangan
bilangan bulat berdasarkan miskonsepsi yang dialami siswa. Karakteristik dari
desain didaktis (Akker, 2006) yaitu intervensi, literatur, orientasi proses,
orientasi perangkat, dan orientasi teori. Adapun tahapan yang dilakukan dalam
penelitian ini terdiri dari: (1) analisis situasi didaktis; (2) analisis
metapedadidaktis; dan (3) analisis retrospektif. Instrumen desain didaktis yang
dirancang berupa rancangan pelaksanaan pembelajaran konsep penjumlahan
dan pengurangan bilangan bulat. Rancangan pembelajaran diujicobakan pada
implementasi desain didaktis awal, kemudian disusunlah desain didaktis revisi
sebagai perbaikan dan pengembangan dari desain didaktis awal.
Penelitian dilaksanakan pada jenjang pendidikan sekolah dasar yang
berada di Kota Tasikmalaya yaitu di SD Negeri Sindanggalih dan SD Negeri 5
Sukamenak. Kedua tempat tersebut dipilih sebagai tempat dilaksanakannya uji
instrumen untuk mengetahui adanya miskonsepsi. Sedangkan tempat
dilaksanakannya implementasi desain didaktis konsep penjumlahan dan
pengurangan bilangan bulat dilaksanakan di SD Negeri 5 Sukamenak.
Pengembangan dan uji coba desain didaktis dilakukan dalam dua siklus
pembelajaran dengan setiap siklus terdiri dari dua pertemuan pembelajaran.
Teknik pengumpulan data dalam penelitian dilakukan dengan cara
melaksanakan uji instrumen miskonsepsi, implementasi desain didaktis,
observasi, wawancara, dan dokumentasi.

TEMUAN DAN PEMBAHASAN


Hasil temuan yang akan disajikan diantaranya mencakup miskonsepsi
konsep penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat, desain didaktis awal dan
desain revisi.
Berdasarkan studi pendahuluan, ditemukan beberapa miskonsepsi terkait
dengan konsep penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat, yaitu:
Prakonsepsi
Pada prakonsepsi, siswa belum memahami konsep yang tepat.
Prakonsepsi yang teridentifikasi dari konsep penjumlahan dan pengurangan
bilangan bulat terdiri dari empat tipe yaitu: (1) Prakonsepsi dalam membaca
lambang bilangan; (2) Prakonsepsi dalam menentukan lawan bilangan; (3)
Prakonsepsi dalam mengurutkan bilangan; dan (4) Prakonsepsi dalam
merepresentasi jawaban menggunakan garis bilangan. Berikut ini contoh
prakonsepsi yang dialami siswa.

1252
Gambar 1.
Prakonsepsi Membaca Bilangan
Undegeneralization
Undergeneralization merupakan bagian yang lebih spesifik dari
prakonsepsi. Undergeneralization yang teridentifikasi dari jawaban siswa, terdiri
dari lima tipe, yaitu: undergeneralization dalam menentukan lawan bilangan; (2)
undergeneralization dalam membandingkan dua bilangan bulat; (3)
undergeneralization dalam mengurutkan bilangan; (4) undergeneralization
dalam menrepresentasi jawaban menggunakan garis bilangan; dan (5)
undergeneralization dalam menentukan salah satu operasi hitung.

Gambar 2.
Undergeneralization dalam Menentukan Lawan Bilangan
Overgeneralization
Overgeneralization teridentifikasi dari jawaban siswa dalam
membandingkan dua bilangan bulat; dan dalam mengurutkan bilangan. Berikut
ini gambar yang menunjukan salah satu undergeneralization yang dialami
siswa

Gambar 3.
Overgeneralization dalam Mengurutkan Bilangan

Modelling Error
Modelling error teridentifikasi ketika siswa meniru contoh pengerjaan
yang salah dari representasi operasi hitung menggunakan garis bilangan.
Contoh pengerjaan tersebut ditiru oleh siswa tanpa mengetahui alasan langkah
pengerjaannya.

1253
Gambar 4.
Modelling Error dalam Merepresentasi Jawaban
Prototyping Error
Prototyping error terdiri dari: prototyping error dalam merepresentasi
jawaban menggunakan garis bilangan dan prototyping error dalam menentukan
salah satu unsur operasi hitung.

Gambar 5.
Prototyping Error dalam Merepresentasi Jawaban
Pada gambar 5 menunjukkan kesalahan dalam kerangka kerja siswa
yang merepresentasi jawaban melalui gambar kurva yang dimulai dari titik nol.

Process-Object Error
Process-object error yang teridentifikasi yaitu (1) process-object error
dalam mengurutkan bilangan; (2) process-object error dalam merepresentasi
jawaban menggunakan garis bilangan; dan (3) process-object error dalam
menentukan unsur operasi hitung. Berikut ini salah satu jawaban siswa yang
mengalami process-object error dalam mengurutkan bilangan bulat.

Gambar 6.
Process-object Error dalam Mengurutkan Bilangan Bulat

1254
Pada gambar 6 menunjukkan siswa mengalami kesalahan dalam
memproses bilangan bulat negatif sehingga jawaban siswa salah.

DESAIN DIDAKTIS KONSEP PENJUMLAHAN DAN PENGURANGAN


BILANGAN BULAT DI KELAS V SEKOLAH DASAR
Setelah diperoleh miskonsepsi yang terkait dengan konsep penjumlahan
dan pengurangan bilangan bulat, maka hal berikutnya adalah membuat desain
pembelajaran yang memungkinkan untuk mengantisipasi munculnya
miskonsepsi. Desain pembelajaran ini merupakan salah satu tahapan agar
tujuan pembelajaran dapat tercapai. Adapun tujuan pembelajaran konsep
penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat yaitu:
1. Melalui penggunaan media neraca bilangan, siswa dapat membedakan
bilangan positif dan bilangan negative dengan jelas.
2. Melalui penggunaan media neraca bilangan, siswa dapat mendefinisikan
bilangan bula dengan benar.
3. Melalui penggunaan media neraca bilangan, siswa dapat memahami konsep
penggabungan bilangan negatif dan bilangan positif samadengan nol
dengan tepat.
4. Melalui tanya jawab, siswa dapat membuat garis bilangan bulat.
5. Melalui permainan “Kurang Dari Lebih Dari”, siswa dapat mengurutkan
bilangan bulat dengan benar.
6. Melalui permainan “Maju Mundur”, siswa dapat melakukan operasi hitung
penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat dengan benar.
7. Melalui penugasan, siswa dapat menyelesaikan penjumlahan dan
pengurangan bilangan bula dengan benar.
8. Melalui tanya jawab dan penugasan, siswa dapat menemukan salah satu
unsur dari operasi hitung penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat
dengan benar.
9. Melalui penugasan, siswa dapat menyelesaikan masalah tentang
perhitungan bilangan bulat dengan benar.
Desain Didaktis Awal (Prospespective analysis)
1. Mengetahui bilangan bulat melalui neraca bilangan
Dalam kegiatan ini siswa diberi kesempatan untuk mengamati dan
mengeksplorasi neraca bilangan bulat dengan bimbingan guru. Siswa
dituntun untuk menyebutkan bagian-bagian neraca dan bilangan yang ada
pada lengan neraca. Siswa diberi kesempatan untuk memasang bandul-
bandul pada lengan neraca, serta cara menyeimbangkan lengan neraca.
Pada akhir kegiatan siswa diminta untuk membuat kesimpulan berupa
definisi bilangan bulat.
2. Menggambar garis bilangan dan membandingkan bilangan bulat.
Dalam kegiatan ini siswa distimulus untuk menggambar garis bilangan
sebagai representasi dari bilangan-bilangan yang terdapat dalam bilangan
bulat. Dari garis bilangan yang digambar oleh siswa, dapat diajukan
pertanyaan-pertanyaan dengan membandingkan dua bilangan yang terdapat
pada garis bilangan. Kegiatan ini dimaksudkan supaya siswa dapat
membuat generalisasi bahwa semakin kiri posisi bilangan pada garis
bilangan maka semakin kurang dari, dan semakin kanan posisi bilangan

1255
pada garis bilangan, maka bilangan semakin lebih dari. Untuk meningkatkan
ketermapilan kognitif siswa, dapat diberikan latihan soal untuk
membandingkan bilangan bulat yang lebih dari dan yang kurang dari.
3. Melakukan permainan “Lebih dari, kurang dari” secara berkelompok.
Kegiatan dilakukan dengan cara mengambil kartu bilangan bulat yang
diposisikan tertutup secara acak. Kemudian siswa mengambil kartu tersebut
dan membukanya bersama teman sekelompok. Siswa berdiri berjajar sesuai
urutan kartu yang mereka peroleh. Pada kegiatan ini siswa harus
mengetahui bilangan yang mereka peroleh apakah lebih dari atau kurang
dari, sehingga terbentuk urutan bilangan yang tepat. Selanjutnya siswa
dapat dilatih pemahamannya dengan mengerjakan soal latihan untuk
mengurutkan bilangan bulat. Soal yang disajikan menggunakan bilangan
bulat yang dipilih secara acak.
4. Melakukan operasi penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat dengan
permainan “Maju Mundur”
Dalam kegiatan ini siswa diajak untuk memahami konsep penjumlahan dan
pengurangan melalui permainan “Maju Mundur”. Siswa akan memperoleh
pengalaman mengoperasi bilangan dengan melakukan langkah maju atau
mundur pada garis bilangan yang dibuat di lantai.
Implementasi Desain Didaktis Awal
Implementasi yang dilakukan pada desain didaktis awal yaitu:
1. Pengembangan pemahaman konsep luas bilangan bulat
Pada bagian ini, respons yang siswa tunjukkan adalah mengeksplor neraca
bilangan, sesuai dengan prediksi yang telah disusun. Siswa mengalami
kesulitan dalam membuat generalisasi dari kegiatan mengeksplorasi neraca
bilangan. Namun setelah dibimbing dengan pertanyaan-pertanyaan yang
memicu pemahaman siswa, maka kesulitan tersebut dapat diatasi.
Antisipasi didaktis dan pedagogis yang diberikan guru pada kegiatan ini
cukup berhasil mengatasi berbagai respons siswa yang muncul. Siswa
dapat mengisi setiap pertanyaan dengan tepat.

Gambar 7.
Kegiatan Mengeksplorasi Neraca Bilangan

1256
Desain didaktis dalam kegiatan ini masih dapat dipertahankan, karena siswa
mempereloh pengalamanan dalam mengidentifikasi bilangan bulat.
2. Pengembangan pemahaman garis bilangan dan bilangan yang lebih dari
dan bilangan yang kurang dari.
Pembelajaran ini dilakukan untuk mengembangkan pemahaman siswa
terkait konsep bilangan bulat dengan mengaplikasikan garis bilangan. Siswa
mengalami kesulitan ketika membuat garis bilangan, terutama dalam
menentukan titik interval antar tiap bilangan. Namun setelah diingatkan
kembali dengan bagaimana interval pada lengan neraca, kesulitan tersebut
dapat teratasi.
3. Pengembangan pemahaman urutan bilangan bulat.
Pada kegiatan ini sesuai dengan prediksi respons siswa, yaitu siswa tidak
berdiri berjajar sesuai urutan kartu yang dipegang oleh masing-masing
anggota kelompok. Namun anggota kelompok langsung mengetahui letak
kesalahan dari kelompoknya sehingga langsung perbaiki sebelum guru
memberikan tanggapan dari kesalahan jawaban siswa.

Gambar 8.
Kegiatan Permainan “Lebih dari, Kurang dari”
Desain didaktis pada kegiatan ini perlu dipertahankan karena dapat
memberikan pengalaman kepada siswa dalam mengurutkan bilangan bulat
acak secara berkelompok.
4. Pengembangan pemahaman konsep penjumlahan dan pengurangan melalui
permainan ‘Maju Mundur’
Pada kegiatan ini siswa harus mengikuti aturan permainan yang tertera pada
LKS. Siswa mempraktikan permainan ‘Maju Mundur’ dengan bimbingan
guru. Sesuai dengan prediksi respons, siswa mengalami kesulitan dalam
operasi hitung yang kedua unsurnya berbeda, misalnya unsur pertama
bilangan positif dan unsur kedua bilangan negatif. Siswa juga kesulitan
dalam menentukan langkah maju atau mundur.
Desain didaktis pada bagian ini perlu untuk dipertahankan karena
memberikan pengalaman dalam memahami konsep penjumlahan dan
pengurangan bilangan bulat.

1257
Refleksi (Restrospectif Analysis)
Pada saat pelaksanaan implementasi desain didaktis berbagai respons
siswa yang muncul sudah dapat diantisipasi dengan baik. Meskipun ada
beberapa respons siswa yang diluar prediksi tetapi masih dapat diantisipasi
sesuai dengan situasi didaktis dan pedagogis yang terjadi. Prediksi respons
siswa diantisipasi secara didaktis dan pedagogis yang telah dibuat sebelumnya
untuk dimodifikasi dan dikembangkan sesuai dengan situasi yang terjadi pada
saat implementasi berlangsung.
Kegiatan pembelajaran yang telah disusun dalam rencana pelaksanaan
pembelajaran sudah dapat menciptakan proses pembelajaran yang bermakna.
Siswa dapat lebih terlibat secara aktif pada kegiatan pembelajaran, diantaranya
dengan bertanya, menyampikan ide atau pendapatnya, serta menimbulkan
adanya diskusi antar siswa dan kelompok untuk menyelesaikan persoalan.
Siswa memperoleh pengalaman dalam membangun pemahamannya terhadap
konsep penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat. Namun untuk hasil yang
lebih baik diperlukan adanya perbaikan terutama dari segi konteks soal dan
bentuk penyajian, juga perlu adanya penambahan prediksi jawaban siswa
sebagai pertimbangan dalam menyiapkan antisipasi pembelajaran.
SIMPULAN
Desain didaktis konsep penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat
dengan neraca bilangan dapat diimplementasikan untuk siswa kelas V Sekolah
Dasar. Miskonsepsi tentang operai hitung bilangan bulat dapat diminimalisasi
dangan menggunakan desain didaktis, namun untuk hasil yang lebih optimal
perlu pengembangan desain didaktis yang disesuaikan dengan situasi dan
kondisi yang terjadi ketika proses pembelajaran berlangsung.
DAFTAR RUJUKAN
Akker, J. dkk. (2006). Educational Design Research; Introducing Educational
Design Research. Amsterdam. Tidak diterbitkan.
Ben-Hur, M. (2006). Concept-Rich Mathematics Instruction. Alexandra:
Association for Supervision and Curriculum Development.
Cockburn, A. dan Littler, G. (2008). Mathematical Misconceptions, A Guide for
Primary Teachers. India: SAGE Publications Ltd.
Ryan, J. dan William, J. (2007).Children’s Mathematics 4-15; Learning From
Errors and Msconceptions. London: Open University Press.
Soenarjo, R. J. (2008). Matematika 5: SD dan MI Kelas 5. Jakarta: Depdiknas.
Sumanto, Y. D, dkk. (2008). Gemar Matematika 5: untuk Kelas V SD/MI.
Jakarta: Depdiknas.
Suryadi, D. (2010). Menciptakan Proses Belajar Aktif: Kajian dari Sudut
Pandang teori Belajar dan Teori Didaktik. [online]. Tersedia:http://didi-
suryadi.staf.upi.edu/files/2011/06/MENCIPTAKAN-PROSES-BELAJAR-
AKTIF.pdf [16 Mei 2013].

1258
DESAIN PERKULIAHAN UNTUK MENGEMBANGKAN
MATHEMATICAL KNOWLEDGE OF TEACHING MAHASISWA PGSD
DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA
1)
Hj. Epon Nur’aeni L & 2)M. Rijal W. Muharram
Universitas Pendidikan Indonesia Kampus Daerah Tasikmalaya
E-mail: 1)eponalamsyah@yahoo.com
Abstract
This paper is motivated above not least teachers who have not been able to
teach mathematics to students as long as well so the paradigm of math is
difficult and unplesant subject which is embedded since early. One of the
problem is the development of mathematical knowledge of teaching (MKT) that
has not developed since the teacher's status as a prospective teacher. Thus,
the course is designed to be able develop the MKT for students of The
Students of Elemtary Teacher Education Faculty (PGSD). The implementation
of MKT development in this paper is done through a series of design as follows:
1) create a mindmap as a review of the lectures topic , and 2) make the book
"Matematika Unik Menggelitik". The lectures design is implemented, evaluated
and developed with the reflection results with students of The Students of
Elemtary Teacher Education Faculty (PGSD).
Keywords: Mathematical Knowledge of Teaching, Mathematics, Students of
The Students of Elementary Teacher Education Faculty (PGSD)
PENDAHULUAN
“Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan
sumber belajar pada suatu lingkungan belajar” (Undang-undang Sistem
Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003). Selain daripada itu, Oemar Hamalik
menambahkan bahwa ‘Pembelajaran adalah prosedur dan metode yang
ditempuh oleh pengajar untuk memberikan kemudahan bagi peserta didik
dalam melakukan kegiatan belajar secara aktif dalam rangka mencapai tujuan
pembelajaran.’ (Hernawan, dkk, 2007, hlm. 3). Proses pembelajaran dapat
terjadi dalam berbagai macam lingkungan belajar dengan interaksi yang terjadi
antara Guru terhadap Siswa. Dalam hal ini, pembelajaran berisi metode-
metode pembelajaran serta prosedur yang dilaksanakan dalam rangka
memberikan fasilitas kepada Siswa untuk memperoleh pengetahuan. Proses
pembelajaran menjadi fasilitas dalam penyampaian pengetahuan-pengetahuan
formal yang terangkum dalam mata pelajaran.
Mata pelajaran yang diajarkan di sekolah cukup beragam, salah satunya
adalah matematika. Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang
diajarkan mulai dari jenjang pendidikan dasar hingga jenjang pendidikan tinggi.
Mengenai matematika, Muharram (2012, hlm. 4) menyatakan bahwa
“matematika merupakan pengetahuan yang dapat bersinergi dengan disiplin
ilmu yang lain”. Matematika dapat berinteraksi dengan berbagai macam disiplin
ilmu pengetahuan mulai dari pengetahuan alam hingga pengetahuan sosial.
Hal ini sejalan dengan pendapat Kline (dalam Muharram, 2012, hlm. 4) yang
menyatakan bahwa ‘matematika itu bukan pengetahuan menyendiri yang dapat
sempurna karena dirinya sendiri, tetapi beradanya itu terutama untuk
1259
membantu manusia dalam memahami dan menguasai permasalahan sosial,
ekonomi, dan alam’.
Pemahaman yang mendasar mengenai pembelajaran matematika perlu
diperhatikan dengan baik. Dewi (2013, hlm. 11) menyatakan bahwa
“matematika di Sekolah Dasar diajarkan hanya sebagai deretan langkah secara
prosedural”. Guru dituntut perlu membantu siswa dalam memperoleh
pengetahuan, pemahaman, dan sikap positif. Sehingga ketika siswa sudah
masuk dalam tantangan di kehidupan nyata, siswa sudah memiliki bekal yang
cukup untuk mampu menyelesaikan dengan kognitif maupun afektif yang baik.
Padahal, berbicara mengenai matematika sepatutnya memperhatikan konsep-
konsep pada kurikulum matematika Sekolah Dasar (SD) dimana Heruman
(2010, hlm. 2-3) membagi konsep-konsep dasar tersebut ke dalam tiga
kelompok besar, yakni: 1) Penanaman konsep dasar; 2) Pemahaman konsep;
dan 3) Pembinaan keterampilan.
Sebagai seorang guru maupun calon guru, pengetahuan terhadap
matematika sepatutnya tidak hanya terbatas dalam pengetahuan mengenai
materi matematika itu saja, atau yang dalam istilah Shulman (1986) disebut
content knowledge. Akan tetapi, perlu bagi seorang guru maupun calon guru
untuk memiliki pengetahuan pedagogik (pedagogical knowledge) seperti yang
disampaikan oleh Shulman (1986). Hal ini jelas diperlukan untuk mencegah
pemahaman yang salah (missconception) maupun hambatan belajar (learning
obstacle) siswa dalam belajar matematika. Sehingga, pengetahuan content
knowledge dan pedagogical knowledge atau yang lebih sering dikenal dengan
Pedagogical Content Knowledge (PCK) dapat dimiliki oleh guru maupun calon
guru secara menyeluruh. Ball menyempurnakan, dalam pembelajaran
matematika PCK dikenal juga dengan Mathematical Knowledge of Teaching
(MKT).
Sebagai contoh sederhana, guru dapat memahami bahwa operasi hitung
bilangan bulat negatif dikalikan dengan bilangan bulat positif hasilnya akan
negatif. Akan tetapi, bagaimana dengan siswa? Tidak sedikit guru yang
kesulitan dalam memberikan pemahaman dalam contoh sederhana ini
sehingga akhirnya siswa hanya mengetahui materi namun kesulitan dalam
memahami operasi hitung bilangan bulat. Sehingga, guru maupun calon guru
perlu memahami mengenai pengembangan MKT dalam pembelajaran
matematika sejak dini.
Berdasarkan pemaparan yang telah diuraikan, maka dalam makalah ini
penulis mengangkat mengenai “Desain Perkuliahan untuk Mengembangkan
Mathematical Knowledge of Teaching Mahasiswa PGSD dalam Pembelajaran
Matematika” sebagai pembahasan utama dalam seminar ini.
PEDAGOGICAL CONTENT KNOWLEDGE DALAM PEMBELAJARAN
MATEMATIKA
Shulman mengenalkan subject matter knowledge atau yang juga
diistilahkan sebagai content knowledge (CK) pada tahun 1986. CK sendiri
didefinisikan oleh Shulman sebagai ‘the amount and organization of knowledge
per se in the mind of teacher’(Tutak, 2009, hlm. 14). Sejalan dengan itu, Mishra
& Koehler (Kafyulilo, 2010, hlm. 7) menjelaskan bahwa “this is knowledge of the
actual subject matter that is to be learned or taught”. Secara lebih lengkap,

1260
selanjutnya Mishra & Koehler menjelaskan mengenai CK dengan merujuk
kepada pendapat Shulman bahwa CK merupakan “concepts, theories, ideas,
organizational frameworks, scientific facts and theories, knowledge of evidence
and proof, as well as established practices and approaches towards developing
such a knowledge (Kafyulilo, 2010, hlm. 7)”.
CK berperan penting dalam memberikan penjelasan maupun definisi
terhadap sesuatu yang menjadi objek pembelajaran. Merujuk dalam hal ini, CK
sangat berbeda dari pengetahuan yang ditujukan untuk mengetahui tentang
fakta. Shulman (Tutak, 2009, hlm. 14-15) menjelaskan CK berbicara mengenai
penjelasan ‘why a particular propositions is deemed warranted, why it worth
knowing, and how it relates to other propositions, both within the dicipline and
without, both in theory and practice’.
Berbicara mengenai CK tidak terlepas dari komponen pengetahuan yang
lain, yakni pedagogical knowledge (PK). Maka selanjutnya, kedua pengetahuan
ini diintegrasikan dalam istilah yang lebih dikenal dengan pedagogical content
knowledge (PCK). PCK pertama kali dijelaskan oleh Shulman pada tahun 1986
(Jones, 2000, hlm. 109) untuk menggambarkan ‘a blend of content and ways of
transforming that content in terms of its teachability’. Bila CK dijelaskan
mengenai sejauh mana pemahaman seorang guru/mahasiswa calon guru
dalam pemahaman terhadap materi yang akan diajarkan, PK dapat dijelaskan
mengenai sejauh mana CK yang yang sudah dipahami selanjutnya diajarkan
secara baik dan benar kepada siswa.
Selanjutnya, Ball (2000, Tutak, 2009) menyempurnakan PCK yang
dijelaskan oleh Shulman. Ball mencoba mengintegrasikan antara PCK yang
dijelaskan oleh Shulman ke dalam pembelajaran matematika sehingga
selanjutnya dikenal Mathematical Knowledge of Teaching (MKT) sebagai
pengembangan dari PCK. MKT merupakan penyajian pemahaman yang lebih
mendalam dari bagaimana membangun pengetahuan guru dalam
pembelajaran matematika.
Berdasarkan model MKT, ada 6 (enam) domain untuk pengetahuan guru
tentang pembelajaran materi ajar matematika, yiatu :
1. Common Content Knowledge (CCK), pengetahuan matematika secara
umum untuk pembelajaran (not unique to teaching);
2. Specipied Content Knowledge (SCK), pengetahuan matamematika yang
khusus untuk pemeblajaran (unique to teaching);
3. Horizon Content Knowledge (HCK), pengetahuan matematika yang terdapat
dalam kurikulum;
4. Knowledge of Content and Student (KCS), pengetahuan yang berkaitan
dengan hubungan antara materi ajar dengan siswa;
5. Knowledge of Content and Teaching (KCT), pengetahuan yang berkaitan
dengan hubungan antara materi ajar dengan pembelajaran; serta,
6. Knowledge of Content and Curiculum (KCC), pengetahuan yang berkaitan
dengan hubungan antara materi ajar dengan kurikulum.
Jenis pengetahuan no.1 sampai no.3 merupakan gambaran CK
matematika pada konsep CK Shulman, sementara no. 4 sampai no 6
merupakan gambaran PCK matematika pada konsep PCK Shulman.

1261
PENGEMBANGAN MATHEMATICAL KNOWLEDGE OF TEACHING
TERHADAP MAHASISWA PGSD DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA
Paradigma bahwa matematika merupakan pelajaran yang sulit dan tidak
menyenangkan merupakan hal yang perlu disiasati oleh guru. Dari beberapa
wawancara yang pernah dilakukan oleh penulis, dua faktor ketidaksenangan
siswa terhadap matematika adalah: 1) Ketidakmampuan guru dalam
mengajarkan matematika, dan 2) kepribadian guru. Hal ini bukanlah masalah
yang tidak dapat diselesaikan, terutama berkaitan dengan faktor pertama yakni
ketidakmampuan guru dalam mengajarkan matematika.
Mempersiapkan kemampuan guru dalam mengajarkan matematika dapat
dimulai semenjak guru tersebut masih berada dalam status calon guru atau
dalam arti lain sebagai mahasiswa keguruan program studi Pendidikan Guru
Sekolah Dasar (PGSD). Hal ini menjadi mungkin, karena dalam masa
persiapan untuk menjadi guru tersebut, mahasiswa PGSD memiliki waktu yang
cukup untuk mengembangkan kompetensi mengajar terutama dalam
mengajarkan matematika.
Pengembangan Mathematical Knowledge of Teaching (MKT) terhadap
mahasiswa PGSD perlu dipandang secara utuh dan menyeluruh. Meskipun
mahasiswa PGSD sudah mendalami mata kuliah pedagogik, di sisi lain
pemahaman tersebut perlu diintegrasikan dalam pembelajaran mata kuliah
yang berkaitan dengan matematika di dalam kelas. Sehingga, penyampaian
materi matematika tidak hanya terbatas dalam pemahaman materi, akan tetapi
bagaimana mahasiswa PGSD memahami secara menyeluruh dan kontekstual
serta mampu dalam mengajarkan dan mengkondisikan siswa agar mau dan
mampu belajar matematika.
Desain perkuliahan yang dibuat tidak hanya terbatas diskusi mengenai
materi perkuliahan semata. Akan tetapi, dilanjutkan dengan project based
learning dimana hasil akhir perkuliahan mahasiswa menciptakan suatu media
untuk mengembangkan MKT. Beberapa contoh desain perkuliahan yang telah
dilakukan dalam pengembangan MKT bagi mahasiswa PGSD sebagai berikut:
1. Membuat mindmap sebagai review topik perkuliahan
Selama pertemuan, setiap mahasiswa berada dalam kelompok diskusi yang
masing-masing berfokus membahas satu topik perkuliahan. Selanjutnya, di
di akhir semester, mahasiswa dibagi kembali ke dalam kelompok untuk
selanjutnya bersama membuat mindmap topik perkuliahan. Secara tidak
langsung, mindmap akan membuat mahasiswa kembali me-review materi
yang sudah diberikan oleh penulis karena dalam pembuatan mindmap,
mahasiswa PGSD perlu berpikir mengenai koneksi antar topik dan sub-topik
yang sudah diberikan. Selain itu, dalam pengembangan MKT, membuat
mindmap ini dapat memberikan pemahaman yang lebih kepada mahasiswa
PGSD terhadap materi yang sebelumnya telah didiskusikan.

1262
Gambar 1.
Mindmap hasil mahasiswa PGSD
2. Membuat buku “Matematik Unik Menggelitik” sebagai Pengembangan
Paradigma terhadap Matematika
Selama pertemuan, setiap mahasiswa berada dalam kelompok diskusi yang
masing-masing berfokus membahas satu topik perkuliahan. Selain
presentasi dan diskusi di dalam kelas, mahasiswa PGSD diberikan tugas
untuk wawancara kepada guru mengenai pembelajaran matematika. Selain
itu, mahasiswa PGSD mengumpulkan materi yang berkaitan dengan topik
perkuliahan yang selanjutnya disusun sebagai sebuah buku. Wawancara
terhadap guru dilakukan untuk membekali mahasiswa PGSD terhadap
kondisi sebenarnya di lapangan, terutama dalam pembelajaran matematika.
Dari wawancara tersebut, selanjutnya mahasiswa PGSD mendiskusikan dan
semenjak dini mencari solusi atas permasalahan yang ada. Sedangkan
buku menjadi karya mahasiswa PGSD untuk menemukan dan menunjukkan
bahwa matematika bukanlah suatu pelajaran yang sulit dan tidak
menyenangkan. Dengan mengambil sisi lain dari matematika, mahasiswa
PGSD akan memiliki bekal yang cukup dalam mengkondisikan kelas saat
mengajar yang bertujuan membuat siswa senang terhadap matematika.

Gambar 2.
Buku Matematik Unik Menggelitik
1263
SIMPULAN
Pengembangan Pedagogical Content Knowledge (PCK) atau yang lebih
dikenal juga dengan Mathematical Knowledge of Teaching (MKT) merupakan
hal yang sangat penting untuk diketahui dan dipahami, baik bagi guru maupun
calon guru. Pemahaman ini selanjutnya untuk mengatasi pemahaman yang
salah (miss conception) dan hambatan belajar (learning obstacle) dalam
pembelajaran matematika. Dengan memahami MKT, guru maupun calon guru
dapat memberikan matematika secara menyeluruh dan sesuai dengan
kemampuan siswa dalam memahami matematika.
Menciptakan desain perkuliahan yang mampu untuk merangsang
pengembangan MKT perlu dilakukan. Hal ini untuk mengatasi permasalahan
matematika semenjak dini. Dengan pengembangan MKT semenjak
perkuliahan, mahasiswa PGSD memiliki pemahaman yang cukup ketika
mengajarkan matematika di dalam kelas. Karena, pemahaman terhadap
matematika bagi guru bukan hanya terletak dalam penguasaan pengetahuan
materi saja, akan tetapi bagaimana pula guru tersebut mengajarkan secara
tepat dan sesuai kepada siswa. Mahasiswa PGSD dapat diajak untuk aktif
mengembangkan kreativitas sehingga perkuliahan matematika tidak
menjenuhkan dan mampu menjadikan mahasiswa PGSD sebagai guru siap
mengajar, terutama dalam pembelajaran matematika.

DAFTAR RUJUKAN
Ball, D.L., Hill, H.C., & Bass, H. (2005). Knowing Mathematics for Teaching.
American Educator (fall 2005), 14-46.
Dewi, E.J. (2013). Pengaruh Metode Pemecahan Masalah Terhadap
Kemampuan Penyelesaian Soal Cerita Matematika. Skripsi UPI Kampus
Tasikmalaya. [Tidak Diterbitkan].
Hernawan, A. H., dkk. (2007). Belajar dan Pembelajaran SD. Bandung: UPI
Press.
Heruman. (2010). Model Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar. Bandung
: PT Remaja Rosdakarya.
Jones, K. (2000). Teacher Knowledge and Professional Development in
Geometry, Proceedings of the British Society for Research into Learning
Mathematics, vol 20(3), 109-114.
Kafyulilo, A. C. (2010). TPACK for Pre-service Science and Mathematics
Teachers. Netherland: University of Twente.
Muharram, M. R. W. (2012). Quantum Mathematic: Memahami Nilai-nilai
Matematika untuk Membangun Karakter Bangsa. Diseminarkan di
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika pada tanggal
10 November 2012, Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY
Yogyakarta.
Shulman, L. S. (1986). Those who understand: Knowledge growth in teaching.
Educational Researcher. Vol 15(2), 4-14.
Tutak, F.A. (2009). A Study of Geometry Content Knowledge of Elementary
Preservice Teacher : The Case of Quadrilateral. Disertasi tidak
diterbitkan. Florida : University of Florida.
Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

1264
KOMIK DIGITAL DENGAN ALUR CERITA BERANGKAI SEBAGAI
SARANA IDENTIFIKASI KESALAHAN PEMAHAMAN PADA MATA
PELAJARAN MATEMATIKA SEKOLAH DASAR
Harsa Wara Prabawa
Universitas Pendidikan Indonesia
E-mail: harsawara@gmail.com
Abstract
This study focused on the development of an interactive learning media in the
form of comic apps to optimize the contextual and meaningful learning process
in elementary school. As we know that the use of technology in various aspects
of life increasingly perceived usefulness. Conducted a literature review reveals
a fact that the application of comics can enhance student interest, speed up the
processing of information and solve problems, while enhancing social sensitivity
and academic abilities. This study revealed that learning multimedia comics can
be used to identify the occurrence of errors of understanding and reasoning.
The facts obtained by involving storyline set in the sequential development of
the storyline so as to enable each reader had a different story according to the
misconception that done. Development sequential storyline taking the
philosophy of learning evaluation questions in the form of multiple.
Keywords: Digital comics, Plot sequential, Errors Understanding and
Mathematical Reasoning
PENDAHULUAN
Tony Buzan, penemu dan pengembang metode Mind Mapping,
menganalogikan bahwa belajar di level Sekolah Dasar dapat diibaratkan
sebagai proses membangun rumah-rumahan dari kartu. Setiap kartu harus
berada di tempatnya sebelum kartu berikutnya ditambahkan (Mansur, 2008).
Apabila terdapat kartu yang salah letak atau bahkan goyah secara posisi, maka
kartu tersebut hanya akan menjadi sebab keruntuhan sebagian atau bahkan
seluruh bangunan kartu. Sebuah artikel bertajuk ‘Refleksi Kritis Pembelajaran
Matematika’, keluaran P4TK Matematika yang memaparkan bahwa banyak
diantara guru-guru kita di jenjang sekolah dasar yang karena posisinya sebagai
guru kelas menjadikan mereka tidak punya pilihan lain kecuali harus
mengajarkan matematika, mata pelajaran yang belum tentu menarik bagi
mereka bahkan bisa jadi guru tersebut tidak mengenal matematika secara
memadai. Akibatnya, matematika tidak diajarkan secara utuh melainkan hanya
bagian-bagian yang dikuasai oleh guru tersebut dan meninggalkan bagian yang
lainnya. Inilah kemudian, salah satunya, yang menjadi awal mengapa begitu
banyak anak-anak ‘gagal’ menyempurnakan pemahaman matematis mereka,
mereka merasa frustasi dan bahkan tidak lagi bergairah dalam belajar
matematika (Mansur, 2008). Beberapa penelitian yang pernah dilakukan
mengungkapkan bahwa pada sebagian besar siswa mungkin mahir
mengerjakan operasi dengan bilangan decimal atau pecahan namun
adakalanya mereka tidak dapat membedakan kebenaran hasil pengerjaan
operasi tersebut (Widjaja, Stacey, & Steinle, 2008).

1265
Di sisi lain, dengan memanfaatkan model Cockcroft (1982, yang dikutip
dari Collin, 1988, dalam Turmudi, 2008), pembelajaran matematika di Indonesia
dipandang seperti titik pada pojok kiri atas (oktan 4), yang maknanya bahwa
matematika dipandang sebagai ilmu yang abstrak, sisi keilmuannya bersifat
‘kaku’ (tidak applicable), metodenya textbook oriented, teacher centered, dan
siswanya pun diposisikan sebagai objek pengurutan atau perangkingan bukan
sebagai objek ajar yang layak dihargai minat dan kecenderungannya dalam
belajar. Kalau situasinya seperti itu, matematika akan menjadi subjek yang
‘mati’ dan strategi pembelajarannya juga merupakan strategi ‘mati’ yang
mengajarkan matematika apa adanya (Turmudi, 2008).
Merupakan tugas guru untuk menyediakan suasana yang menyenangkan
selama proses belajar. Guru harus mencari cara untuk membuat pembelajaran
menjadi menyenangkan dan mengkesampingkan ancaman selama proses
pembelajaran. Salah satu cara untuk membuat pembelajaran menjadi
menyenangkan adalah dengan menggunakan komik sebagai media
pembelajaran. Mengapa komik? Karena anak – anak, sebagaimana orang
dewasa juga, menyukai komik. Penelitian pendahuluan yang pernah dilakukan
mengungkapkan bahwa media komik dapat digunakan dalam mengidentifikasi
adanya lack of knowledge (Lubis, Wara, & Waslaluddin, 2012). Lack of
Knowledge dalam beberapa literature, dikatakan dapat menjadi salah satu
penyebab munculnya miskonsepsi dalam memahami atau menalari suatu
konsep (Gentner & Collins, 1981). Penelitian yang lainnya, mengungkap bahwa
komik dapat dijadikan sebagai sarana dalam membangun kerangka konsep
pengetahuan walaupun tidak sampai pada detail penjelasan. Minimalnya,
komik dapat menjadi trigger untuk proses penelusuran pengetahuan pada
jejang kognitif berikutnya (Amalia, Wara, & Nurdin, 2012)
Komik memiliki lima kelebihan jika dipakai dalam pembelajaran (Yang,
2003). Kelebihan itu adalah:
1. Memotivasi
Hutchinson (1949) menemukan bahwa 74% guru yang disurvei
menganggap bahwa komik "membantu memotivasi", sedangkan 79%
mengatakan komik "meningkatkan partisipasi individu". Satu guru bahkan
mengatakan bahwa komik membuat pembelajaran menjadi "pembelajaran
yang sangat mudah". DC Comics, Thorndike, dan Downes juga menemukan
bahwa komik juga mampu memotivasi siswa ketika mereka
memperkenalkan buku latihan bahasa Superman ke kelasnya. Mereka
menemukan bahwa siswa memiliki “ketertarikan yang tak biasa” dan,
sebagaimana ditulis’ “mampu membuat siswa menyelesaikan tugas yang
seharusnya diselesaikan dalam satu minggu menjadi satu hari saja” (Sones,
1944). Hasil eksperimen tersebut menunjukkan bahwa komik benar – benar
mampu memotivasi siswa selama proses belajar mengajar.
2. Visual
Komik terdiri dari gambar – gambar yang merupakan media visual. Sones
(1944) berkesimpulan bahwa kualitas gambar komik dapat meningkatkan
kualitas pembelajaran: Sones membagi empat ratus siswa kelas enam
sampai kelas Sembilan kedalam dua kelompok. Masing – masing kelompok
seimbang dalam pembagian kelas dan kecakapannya. Kelompok pertama
disuguhi pembelajaran cerita dengan menggunakan komik dan yang kedua
1266
hanya menggunakan teks saja. Setelah itu, mereka dites untuk mengetahui
isi dari pembelajaran cerita itu. Setelah seminggu, prosesnya diubah,
kelompok pertama disuguhi teks saja sedang yang kedua diberikan komik.
Kemudian kedua grup dites lagi. Akhirnya, Sones (1944) berkesimpulan
bahwa "pengaruh gambar terlihat dalam hasil tes". Tes pertama
menunujukkan bahwa kelompok pertama mendapatkan nilai jauh lebih tinggi
daripada kelompok kedua. Di tes kedua kelompok kedua mendapatkan nilai
jauh lebih tinggi daripada kelompok pertama.
3. Permanen
Menggunakan komik sebagai media pembelajaran jauh berbeda dengan
menggunakan film atau animasi. Meskipun film dan animasi juga merupakan
media visual, mereka hanya dapat dilihat tanpa bisa mengulanginya
sekehendak kita. Komik, berbeda dengannya, merupakan media yang
permanen. Sederhananya, jika siswa tidak memahami suatu adegan film
atau animasi, mereka tidak bisa mengulanginya. Tapi dengan komik,
mereka bisa mengulangi sesuka hati mereka.
4. Perantara
Koenke (1981) mengatakan bahwa komik bisa mengarahkan siswa untuk
disiplin membaca khususnya mereka yang tidak suka membaca atau yang
memiliki kekhawatiran akan kesalahan. Komik bisa menjadi jembatan untuk
membaca buku yang lebih serius. Haugaard (1973) mengatakan bahwa
komik bisa mengubah siswanya yang tidak suka membaca menjadi siswa
penyuka Jules Verne and Ray Bradbury.
5. Populer
Kita bisa mengatakan bahwa siswa kita saat ini berada dalam budaya
populer. Morrison, Bryan, and Chilcoat (2002) mengatakan bahwa dengan
memasukkan budaya populer kedalam kurikulum bisa menjembatani
kesenjangan perasaan siswa ketika di dalam dan luar sekolah. Komik
adalah bagian dari budaya populer. Kita tahu bahwa Spiderman and Batman
adalah film yang diambil dari komik. Ini akan berpengaruh terhadap
keberhasilan siswa dalam belajar.
Davis (1997, dalam Afriani, Siahaan, Sudirman : 2013) mengungkapkan
bahwa yang begitu menarik dari komik sebagai suatu alat pendidikan adalah :
(a) a built-in desire to learn through comics (membangkitkan keinginan untuk
belajar); (b) easy accessibility in daily newspaper and bookstands (mudah
didapatkan pada surat kabar harian atau took buku); (c) the novel and
ingenious way ini which this authentic medium depicts real-life language and
“every facet of people and society” (menggambarkan perspektif kehidupan
nyata dari setiap aspek individu dan masyarakat); and (d) the variety of visual
and linguistic element and codes that appeal to student with different learning
style (keberadaan berbagai elemen visual linguistic yang dapat menarik
perhatian siswa untuk belajar dengan berbagai gaya belajar yang berbeda) .

ANALISA KECENDERUNGAN KARAKTER KOMIK


Survey (dalam bentuk angket dengan pendampingan oleh tim peneliti
dalam pengisiannya) dilakukan pada siswa untuk melihat pandangan siswa
mengenai ketertarikan siswa mengenai multimedia pembelajaran berbentuk
komik. Sekaligus untuk mendefinisikan karakter dan alur cerita komik yang

1267
merepresentasikan dunia siswa sekolah dasar. Angket terdiri dari pertanyaan
terbuka, semi terbuka dan tertutup dan disebarkan ke 32 orang siswa sekolah
dasar kelas 4, 5 dan 6 serta siswa SMP kelas 1 yang tersebar di sekitar
kampus Universitas Pendidikan Indonesia

Tabel 1.
Rekapitulasi Hasil Angket Siswa (PraPenelitian)

No Tema Pertanyaan Pilihan f %


Pernah tidaknya Ya 32 100
1 responden membaca
komik Tidak 0 0
Seberapa sering Sering (di atas 10 jam) 7 21.88
dalam seminggu
2 Kadang-kadang (antara 4 – 10 jam) 20 62.50
responden membaca
komik Jarang (kurang dari 4 jam) 5 15.63
Naruto - Naruto 9 28.13
Shasuke - Naruto 2 6.25
Luffy – One Piece 4 12.5
Karakter utama komik
3 Conan Edogawa - Conan 3 9.38
yang paling digemari
Sena Kobayakawa - Eyeshield 1 3.13
Shin Chan – Crayon Shin Chan 0 0
lain-lain 3 9.38
Fantasi/petualangan 15 46.88
Misteri 6 18.75
4 Alur cerita komik
Humor 9 28.13
lain-lain 2 6.25
Ada, dan relative positif 16 50
Hubungan antara
5 membaca komik Ada, namun relative negative 5 15.63
dengan belajar
Tidak ada hubungan 11 34.38
Sangat menarik 17 53.13
Daya tarik komik
6 Cukup menarik 15 46.88
pembelajaran
Tidak menarik atau tidak tahu 0 0
Sangat bermanfaat 8 25
Manfaat dari komik
7 Cukup bermanfaat 22 68.75
pembelajaran
Tidak bermanfaat 2 6.25
Dapat meningkatkan motivasi
14 43.75
Hubungan antara belajar
8 komik dengan motivasi Tidak ada hubungannya 16 50
belajar
Tidak tahu 2 6.25

1268
Berdasarkan hasil studi pustaka dan survey lapangan, didapatkan
analisis kebutuhan sebagai gambaran umum dalam pengembangan multimedia
pembelajaran berbentuk komik. Hasil analisis kebutuhan tersebut adalah
sebagai berikut :
1. Komik yang akan dikembangkan mengangkat materi bilangan pecahan dan
operasi-operasinya
2. Karakter komik merupakan representasi dari gaya menggambar karakter
komik jepang
3. Komik yang akan dikembangkan bertemakan fantasi atau petualangan.
4. Komik yang akan dikembangkan menyajikan materi pembelajaran yang
terdapat dalam alur cerita.
TAHAP DESAIN AWAL DAN PENGEMBANGAN ALUR CERITA
Dalam tahapan ini, didapatkan sebuah konsep komik dengan judul
“Virtual Space”. Komik ini bertemakan fantasi atau petualangan dengan dua
tokoh utama. Faris dan Mai yang merupakan siswa SD kelas V. Alur cerita dari
Virtual Space secara umum adalah meminta Faris dan Mai untuk
mengumpulkan medali penghargaan dalam perlombaan matematika alam.
Untuk mendapatkan tiap medali tersebut Faris dan Mai harus melewati
beberapa pos yang akan memberikan kasus untuk dipecahkan. Materi
pelajaran disisipkan pada alur cerita petualangan.
Dengan gambaran konsep tersebut dan untuk memudahkan proses
pengembangan multimedia berbentuk komik, maka pada tahap ini dibuat
storyline, sketsa dari alur cerita komik hingga pada proses penebalan (inking)
sketsa dalam bentuk panel. Karakter tokoh yang didefinisikan berdasarkan
hasil survey ditampilkan pada Gambar 1. Contoh storyline komik ditampilkan
pada Gambar 2 sementara contoh sketsa komik akan ditampilkan pada
Gambar 3. Sketsa yang sudah dibuat lebih tebal ditampilkan pada Gambar 4.

Gambar 1.
Karakter Komik

1269
Gambar 2.
Storyline Komik

Gambar 3
Sketsa Komik

1270
Gambar 5.
Inker pada Sketsa
TAHAP PENGEMBANGAN
Proses pembuatan komik terdiri dari beberapa tahapan yaitu sketsa pada
kertas, scanning pada komputer, proses colouring pada komputer dan terakhir
yaitu pewarnaan digital pada komputer. Setelah itu dibuat antarmuka intro,
halaman utama, petunjuk penggunaan dan evaluasi di Adobe Flash CS3.
Proses colouring pada komputer dibuat di Manga Studio EX 4.0. pada proses
ini dilakukan pemberian tinta digital sehingga gambar terlihat lebih jelas. Selain
itu dimasukkan juga naskah-naskah dialog dalam komik pada proses ini
(letterer). Proses pewarnaan digital pada computer di buat di Adobe Photoshop
CS. Pewarnaan digital dilakukan dengan menggunakan tool brush.

1271
Pada antar muka menu utama, objek yang dibuat yaitu berupa tombol-
tombol untuk menjalankan multimedia komik terdiri dari cover, back cover, auto
flip, stop flip, zoom in, zoom out, next page, help dan exit.
Objek – objek yang berupa tombol-tombol pada tampilan antarmuka
masih belum dapat melakukan fungsi apapun. Oleh karena itu, pada tahap ini
dilakukan pemberian code pada setiap objek sehingga dapat befungsi sesuai
dengan yang diharapkan. Code yang digunakan dalam aplikasi Adobe Flash
CS3 disebut ActionScript. Saat ini pada Adobe Flash CS3 telah ada
ActionScript 3.0 . namun dalam pengembangannya, multimedia ini masih
menggunakan ActionScript 2.0 . Dengan memberikan ActionScript pada objek-
objek yang telah dibuat memungkinkan terbentuknya suatu multimedia yang
interaktif dan dinamis. Misalnya pemberian ActionScript pada tombol next page
untuk memberikan fungsi berpindah pada tampilan lain dan juga pemberian
ActionScript pada frame untuk memutar background song (musik latar),
sehingga pada saat multimedia dijalankan maka secara otomatis terdengar
musik latar pada multimedia yang dikembangkan
Setelah proses pemberian ActionScript pada beberapa objek yang
ditentukan telah selesai, selanjutnya yaitu test movie pada Adobe Flash CS 3
yang akan menghasilkan file berekstensi .swf. Test movie dilakukan untuk
melihat apakah objek-objek yang telah diberi actionScript dapat berjalan sesuai
dengan yang diharapkan. Bila terdapat kesalahan maka dilakukan perbaikan
baik pada antarmuka maupun pada objek-objek yang telah diberi actionScript.
Test movie ini dilakukan berkali-kali hingga didapatkan hasil yang sesuai
dengan yang diharapkan. Objek-objek yang dilihat kesesuaiannya antara lain
yaitu fungsi tombol navigasi, fungi tombol pilihan pada evaluasi materi, fungsi
pengaturan layar penuh, serta fungsi pengaturan suara. Pada tahapan ini
digunakan metode pengujian kotak hitam (black box testing) untuk mengetahui
masukan dan melihat keluarannya apakah sesuai dengan yang diharapkan
atau belum.
Pada tahap test movie telah dihasilkan file dengan ekstensi .swf. untuk
menjalankan file tersebut dibutuhkan flash player pada komputer yang
digunakan. Namun, karena tidak semua komputer memiliki flash player maka
dibutuhkan alternatif lain agar multimedia pembelajaran berbentuk komik ini
dapat dijalankan. Pada Adobe Flash CS 3 terdapat publish setting yang dapat
mengubah extensi file menjadi windows projector yang berekstensi .exe.
dengan fasilitas ini maka multimedia pembelajaran berbentuk komik dapat
dijalankan dengan syarat sistem operasi yang digunakan pada komputer yaitu
Microsoft Windows
Tahapan selanjutnya yaitu pemaketan (packaging). Pada tahapan ini, file
– file yang dibutuhkan baik berupa swf, exe, txt, icon dan file autorun yang telah
dibuat agar file exe dapat langsung berjalan disatukan dan dimasukkan ke
dalam CD. Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan penggunaan multimedia
pembelajaran berbentuk komik pada komputer lain
Untuk mengetahui kelayakan dari multimedia yang telah dikembangkan
maka dilakukan uji kelayakan terhadap produk yang disebut validasi atau istilah
lainnya dikenal dengan expert judgement. Validasi ahli ini dilakukan oleh 3
orang yang terdiri dari 1 orang dosen dan 2 orang guru matematika. Aspek
yang dilihat pada validasi ahli ini adalah aspek Kualitas Isi/Materi (Content
1272
Quality), aspek Pembelajaran (Learning Goal Alignment), Umpan Balik dan
Adaptasi (Feedback and Adaptation), Motivasi (Motivation), Presentasi Desain
(Presentation Design), Interaksi Penggunaan (Interaction Usability),
Aksesibilitas (Accessibility), Reusability, Standar Kepatuhan (Standar
Compliance) (Leacock, T.L., & Nesbit, J.C. , 2007) berdasarkan learning object
review instrument (LORI). Hasil detail berkenaan dengan penilaian kelayakan
komik ditampikan oleh Tabel 2.
Tabel 2.
Validasi Kelayakan Media Komik

Jumlah Skor Jumlah Peroleha


Aspek dan Indikator %
Butir Kriterium Penguji n Skor
Aspek kualitas Isi /
4 12 3 54 90%
Materi (Content Quality)
Aspek pembelajaran
(Learning Goal 4 12 3 50 83.3%
Aligment)
Umpan balik dan
adaptasi (feedback and 1 3 3 11 73.3%
adaptation)
Motivasi (Motivation) 1 3 3 13 86.7%
Presentasi desain
1 3 3 13 86.7%
(Presentation Design)
Interaksi penggunaan
3 9 3 37 82.2%
(Interaction Usability)
Aksesibilitas
2 6 3 26 86.6%
(Accessibility)
Reusability 1 3 3 14 93.3%
Standar Kepatuhan
1 3 3 12 80%
(Standar compliance)
Rerata 84.68%

Dari Tabel 2, bisa dilihat bahwa validasi yang dilakukan oleh ahli untuk
mengetahui kelayakan multimedia didapatkan rata-rata presentase kelayakan
sebesar 84,68% yang bisa dikategorikan sangat baik.

TAHAP PENGUJIAN DAN IMPLEMENTASI


Alur cerita komik didesain dengan mengunakan alur cerita berangkai
sedikit banyak memberikan kontribusi dalam proses identifikasi miskonsepsi
dan penalaran matematis responden. Alur cerita berangkai direpresentasikan
dengan penyesuaian alur cerita berdasarkan pilihan jawaban yang dipilih
(terutama dalam penyelesaian masalah di pos). sehingga memungkinkan 2
orang yang berbeda membaca komik yang sama, namun memiliki akhir cerita
yang berbeda
Media pembelajaran diujikan pada setidaknya 15 orang guru dan calon
guru dan 20 orang siswa. Pemilihan guru, calon guru dan siswa dilakukan
secara purposive, karena memang masih berada dalam kerangka pengujian
1273
multimedia pembelajaran. Pertimbangan yang diajukan dalam pemilihan
keterwakilan elemen pembelajaran adalah kedekatan lokasi pengujian dengan
kampus PGSD Bumi Siliwangi Universitas Pendidikan Indonesia.
Hasil pengujian komik ditampilkan dalam Tabel 3. Tindak lanjut dari
jawaban yang diberikan dan teridentifikasi dari ending cerita dari masing-
masing responden pengujian dilakukan dengan wawancara. Tema wawancara
adalah berkaitan dengan jawaban yang diberikan. Wawancara dilakukan untuk
menggali sejauhmana multimedia pembelajaran dapat memberikan
pembedaan hasil akhir cerita pada jawaban yang salah atau mengandung
miskonsepsi. Artinya peneliti mencoba untuk membuat verivikasi terhadap
jawaban responde pengujian dengan melakukan review alur cerita berdasarkan
pada alur yang ditampilkan. Dengan mendasarkan pada akhir cerita peneliti
melakukan ulasan soal berikut pola dan teknik menjawab, termasuk potensi
miskonsepsi yang terjadi dalam setiap kasus yang diberikan.
Tabel 3.
Rangkuman Hasil Identifikasi Miskonsepsi dan Penalaran Matematis
dengan Menggunakan Media Komik

Sesi Distribusi Hasil Konfirmasi


Kasus
Cerita Jawaban Jawaban Salah

1. Pada sebuah
Siswa :
lapangan parkir, terparkir
Guru : - Siswa mengira
762 mobil dalam susunan 6
Benar : 15 setiap baris terdiri
baris. Banyak mobil yang
Salah : 0 atas 762 mobil
terparkir dalam setiap
- 1 orang siswa tidak
barisnya adalah sama.
Siswa : menjawab soal ini,
Berapa banyak mobil pada
Benar : 17 karena waktu
setiap barisnya?
Salah : 3 terbatas
a. 4572 b. 127 c.
tidak tahu

Guru :
2. Don, Rob dan Lynn
Prolog - Salah perhitungan
berjalan pulang dari sekolah
waktu tempuh
bersama-sama. Waktu yang
- Salah dalam
diperlukan oleh Lynn dari
Guru : proses komunikasi
sekolah menuju ke
Benar : 13 soal cerita ke
rumahnya adalah 25 menit.
Salah : 2 dalam bentuk
Sementara dari rumah
matematis
Lynn, Rob memerlukan
Siswa :
waktu 10 menit untuk
Benar : 16 Siswa :
sampai di rumahnya. Don,
Salah : 4 - Salah perhitungan
masih harus berjalan sendiri
waktu tempuh
ke rumahnya yang
- Salah dalam
memerlukan waktu 5 menit
proses komunikasi
dari rumah Rob.
soal cerita ke
Pada jam berapa mereka
1274
harus meninggalkan dalam bentuk
sekolah agar Don bisa matematis
sampai di rumah pukul
11.20?
a. 10.50 b. 10.45 c.
10.40

Guru :
- Miskonsepsi dalam
melakukan operasi
perhitungan
pecahan
- Salah dalam
3. Joe menghabiskan
ଵ proses komunikasi
ଷ soal cerita ke
dari uangnya untuk Guru :
dalam bentuk

membeli pena dan dari Benar : 6
ହ matematis
Salah : 9
sisa uangnya uangnya
untuk membeli buku. Siswa :
Siswa :
Berapa uang Joe yang - Miskonsepsi dalam
Benar : 5
tersisa, jika Joe membawa melakukan
Salah : 15
uang Rp 15.000,-? perhitungan
a. 4000 b. 6000 c. 9000 pecahan
- Salah dalam
proses komunikasi
soal cerita ke
dalam bentuk
matematis

4. Ada 32 siswa yang


Guru :
mengikuti kegiatan wisata
Benar : 15 Siswa :
alam perahu. Berapa
Salah : 0 - Salah dalam
banyak perahu yang harus
penarikan
dipersiapkan, jika 1 perahu
Siswa : kesimpulan soal
hanya dapat diisi oleh 3
Benar : 19
orang saja?
Salah : 1
a. 11 b. 12 c. 10

Guru : Siswa :
5. Berapa panjang garis Benar : 15 - Salah dalam
(dalam inch) yang berwarna Salah : 0 mengidentifikasi
hijau? nilai jawaban
1275
Siswa : - Salah dalam
Benar : 17 proses komunikasi
a. 3.5 b. 1 c.1.5 Salah : 3 soal cerita ke
dalam bentuk
matematis

Cerita Pak Tani :


Sawah ini adalah
peninggalan orang tua pak
tani. Orang tua pak tani,
memiliki 3 orang anak dan 2
orang keponakan. Pak tani
sendiri adalah anak ke-2.
Agar tidak ada yang
berselisih mengenai harta
peninggalannya, maka orang
tua pak tani membagi
sawahnya secara adil. Orang
Guru :
tua pak tani membagi sawah
- Salah dalam
tersebut menjadi 4 bagian.
proses komunikasi
Masing-masing anak
soal cerita ke
mendapatkan seperempat
dalam bentuk
bagian, dan seperempat
matematis
sisanya akan dibagi secara Guru :
merata kepada 2 Benar : 13
Pos 1 - Siswa :
keponakannya. Salah : 2
Ayo - Miskonsepsi dalam
Nah, sawah peninggalan
Membantu mendefinisikan
orang tua pak tani ini Siswa :
Pak Tani penyebut dan
bukannya tanpa masalah. Benar : 13
pembilang
Orang tua pak tani membagi Salah : 7
- Salah dalam
sedemikian rupa sawahnya
proses komunikasi
agar setiap bagian
soal cerita ke
pembagian berisikan sarang
dalam bentuk
tikus. Sarang tikus ini
matematis
letaknya sesuai dengan
perhitungan :

urutan anak/keponakan
(anak/keponakan ke-) x
bagian sawah yang diperoleh

Misalkan, jika pak tani


keponakan ke-1, maka posisi
sarang tikus akan berada di 1
x 1/8 = 1/8. Untuk
menemukan posisi sarang
tikus maka keponakan pak
tani harus bergerak ke arah
1276
kiri sekian meter berdasarkan
nilai penyebut dan bergerak
ke depan sekian meter
berdasarkan nilai pembilang.

Dapatkah kalian membantu


pak tani menemukan sarang
tikus yang berada di sawah
pak tani?

a. bergerak ke kiri 4
langkah dan bergerak maju
2 langkah
b. bergerak ke kiri 8
langkah dan bergerak maju
2 langkah
c.bergerak ke kiri 3 langkah
dan bergerak maju 2
langkah
d. bergerak ke kiri 3
langkah dan bergerak maju
4 langkah

Guru :
- Miskonsepsi dalam
melakukan operasi
perhitungan
pecahan
- Salah dalam
Guru :
ʹ ͳ ͷ ͷ ͸ melakukan operasi
ͳ ൅͵ ൈ െ ൊ Benar : 7
Pos 2 – ͵ ʹ ͸ ͸ ͷ hitung
Salah : 8
Hutan a. 5/3
Rimba b. 55/12 Siswa :
Siswa :
Angka c. 35/9 - Miskonsepsi dalam
Benar : 4
d. 31/6 melakukan
Salah : 16
perhitungan
pecahan
- Salah dalam
melakukan operasi
hitung

Sebuah segitiga siku-siku Guru : Siswa :


memiliki luas 3 cm dengan Benar : 15 - Miskonsepsi dalam
Pos 3 – panjang alasnya adalah ½. Salah : 0 melakukan operasi
Berapakah Berapakah tinggi segitiga perhitungan
Aku? tersebut? Siswa : pecahan
a. 6 Benar : 16 - Salah perhitungan
b. 3/4 Salah : 4 matematis
1277
c.12 - Salah dalam
d. 4/3 proses komunikasi
soal cerita ke
dalam bentuk
matematis

SIMPULAN
Dilihat dari segi ketertarikan siswa, seluruh siswa yang diwawancari
mengatakan tertarik dengan komik yang dikembangkan. Mereka mengatakan
bahwa komik ini seru untuk dibaca. Kemungkinan besar karena siswa hanya
tertarik dengan alur ceritanya, siswa jadi tidak terlalu memperhatikan materi
yang terkandung dalam alur cerita komik dan hanya terfokus pada kisah
petualangannya saja.
Dengan demikian, dapat diketahui bahwa multimedia pembelajaran
berbentuk komik yang dikembangkan selain memiliki kelebihan juga memiliki
beberapa kekurangan. Kelebihan dari multimedia pembelajaran komik
diantaranya yaitu bahwa multimedia pembelajaran komik yang telah
dikembangkan dapat dengan mudah dicerna oleh siswa. Siswa merasa tertarik
dengan multimedia pembelajaran komik, selain sebagai hiburan karena
ceritanya yang seru, siswa pun mendapatkan beberapa pengetahuan dari
multimedia pembelajaran komik . Siswa dapat belajar secara mandiri tanpa
bantuan guru dengan multimedia pembelajaran komik.
Sedangkan kekurangan tersebut diantaranya bahwa multimedia ini
layaknya seperti buku digital dimana siswa hanya membalik halaman per
halaman sehingga terkesan kaku dan seragam. Selain itu, ilustrasi seharusnya
dibuat sedekat mungkin dengan kondisi actual agar tidak memunculkan
perbedaan dalam memahami makna cerita atau kasus. Yang terakhir yaitu
pada multimedia komik yang dikembangkan tidak terdapat penyimpanan
perolehan skor yang didapatkan siswa.

DAFTAR RUJUKAN
Afriani, M., Siahaan, S. M., & Sudirman. (2013). Komik Digital Listrik Statis
sebagai Media Pembelajaran IPA Fisika SMP. Seminar Nasional
Pendidikan (pp. 807 - 823). Palembang: Universitas PGRI Palembang.
Amalia, S., Wara, H., & Nurdin, E. A. (2012). Pengembangan Multimedia
Pembelajaran berbentuk Komik untuk Menunjang Kegiatan
Pembelajaran. JURNAL PENDIDIKAN TEKNOLOGI INFORMASI DAN
KOMUNIKASI, 5 (1), 38 - 49.
Ariyani, N. (2012, Oktober 1). Komisi Penyiaran Indonesia. Retrieved from
www.kpi.go.id:http://www.kpi.go.id/index.php/terkini/22-literasi-
media/30824-kekerasan-di-media-televisi
Gentner, & Collins. (1981). Studies of Inferences from Lack of Knowledge.
Memory and Cognition, 9 (4), 434 - 443.
Lubis, T., Wara, H., & Waslaluddin. (2012). Pengembangan Multimedia
Pembelajaran Berbentuk Komik Dengan Alur Cerita Berangkai untuk
Identifikasi Lack of Knowledge Siswa dalam Memahami Mata

1278
Pelajaran TIK SMP. JURNAL PENDIDIKAN TEKNOLOGI INFORMASI
DAN KOMUNIKASI, 5 (2), 40 - 46.
Mansur. (2008, Juni 30). Peta Konsep Anak Bangsa. Retrieved from
pkab.wordpress.com: https://pkab.wordpress.com/2008/06/30/refleksi-
kritis-pembelajaran-matematika/
Turmudi. (2008). Landasan Filsafat dan Teori Pembelajaran Matematika
(Berparadigma Eksploratif dan Investigatif). Jakarta: PT Leuser Cita
Pustaka.
Widjaja, W., Stacey, K., & Steinle, V. (2008). Misconceptions about Density
of Decimals : Insights from Pre-Service Teachers’ Work.
KONFERENSI NASIONAL MATEMATIKA XIV (pp. 1011 - 1022).
Palembang: Program Studi Magister Pendidikan Matematika
Universitas Sriwijaya Palembang.
Yang, G. (2003). Comics in Education. Retrieved from
http://www.humblecomics.com:
http://www.humblecomics.com/comicsedu/strengths.html

1279
PENINGKATAN SELF-CONFIDENCE MELALUI PENERAPAN MODEL
PROBLEM-BASED LEARNING DENGAN METODE HEURISTIK
1)
Mariah Ulfah, 2)Rahmat Sutedi & 3)Zaenal Muttaqin
1), 2) Universitas Pendidikan Indonesia, & 3) SDN Karangpawiyatan

E-mail: 1)mariahulfah1990@yahoo.com
Abstract
This study aimed to describe whether the data increase the self-confidence of
students who get learning by applying the model of Problem-Based Learning by
Heuristic method (PBLmH) better than the students who had learning by
applying the model of Direct Instruction (DI). The method used is quasi-
experiments pre- and posttest. Subject of the study (sample) is class V students
in one of the elementary school in Ciasem. Data research on self-confidence
using attitude scale. Statistical data analysis using non-parametric U-test,
Mann Whitne. Results from this study are: the increase in self-confidence of
students who received PBLmH model of learning by applying the same with
students who are apply the DI model.
Keyword: self-confidence, problem based learning
PENDAHULUAN
Tujuan mata pelajaran matematika yang tertuang dalam Standar Isi
(BSNP, 2006), yaitu:
1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep
dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat,
efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah.
2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi
matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau
menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.
3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah,
merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan
solusi yang diperoleh.
4. Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media
lain untuk memperjelas keadaan atau masalah.
5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu
memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari
matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.
Berdasarkan dokumen BSNP (2006), kompetensi yang harus
dikembangkan dan menjadi tujuan pembelajaran matematika bukan hanya
kompetensi kognitif, melainkan juga kompetensi afektif. Salah satunya yaitu
percaya diri (self-confidence). Menurut Yates (Martyanti, 2013, hlm. 16), ‘self-
confidence sangat penting bagi siswa agar berhasil dalam belajar matematika’.
Hal ini didukung oleh beberapa penelitian terdahulu yang mengungkapkan
bahwa terdapat asosiasi positif antara self-confidence dalam belajar
matematika dengan hasil belajar matematika (Hannula, et al, 2004, hlm. 17;
Suhendri, 2012, hlm. 397; TIMSS, 2012, hlm. 326 dalam Martyanti, 2013, hlm.
16). Sebagaimana yang dikemukakan Hannula, Maijala, & Pehkonen (2004,
hlm. 17) yaitu bahwa keyakinan (belief) terhadap diri sendiri memiliki hubungan
1280
yang luar biasa dengan kesuksesan siswa dalam belajar matematika. Oleh
karena itu, self-confidence perlu ditumbuhkembangkan pada diri siswa. Selain
itu, diperlukan pula upaya perbaikan proses belajar agar kemampuan
matematis baik kemampuan pemahaman maupun self-confidence dapat
berkembang dan menjadi kompetensi pada diri siswa.
Peningkatan kemampuan self-confidence tidak dapat dicapai apabila
pembelajaran yang dialami siswa hanya berorientasi pada hafalan konsep dan
prosedur yang sudah disajikan oleh guru yang diaplikasikan untuk
menyelesaikan soal-soal rutin. Salah satu strategi yang dapat dilakukan untuk
mencapai tujuan tersebut adalah dengan mengembangkan pembelajaran yang
menstimulus perkembangan kemampuan berpikir matematis. Selain itu,
menurut petunjuk pelaksana kegiatan belajar mengajar di sekolah yang ditulis
oleh Suherman, dkk. (2003, hlm. 63) menjelaskan bahwa, “Penerapan strategi
yang dipilih dalam pembelajaran matematika haruslah bertumpu pada dua hal,
yaitu optimalisasi interaksi semua unsur pembelajaran serta optimalisasi
keterlibatan indera siswa”. Seorang guru hendaknya memilih dan menerapkan
strategi, pendekatan, dan model pembelajaran yang membuat siswa untuk
terlibat aktif dalam pembelajaran, baik secara mental, fisik maupun sosial
sehingga siswa memiliki kemampuan-kemampuan yang tertuang dalam
kurikulum dan tujuan pembelajaran matematika dapat tercapai, dan menjadi
kompetensi pada diri siswa.
Salah satu strategi alternatif yang dapat dilakukan yaitu dengan
menerapkan model Problem-Based Learning (PBL). Dalam implementasi
model PBL, masalah yang harus dipecahkan siswa akan menjadi konteks
pembelajaran sehingga fokus kegiatan belajar sepenuhnya berada pada siswa.
Sejalan dengan Tan (2003, hlm. 30) yang menyatakan bahwa model PBL
merupakan suatu pembelajaran aktif yang berpusat pada siswa, yang
menggunakan masalah-masalah yang tidak terstruktur dengan konteks dunia
nyata sebagai titik awal untuk proses belajar siswa, serta memungkinkan siswa
untuk bekerja sama dan membuat pilihan dalam belajar. Sejalan dengan yang
dikemukakan oleh Jossey-Bass Teacher (2009) yaitu ‘guru dan metode
pembelajaran yang diterapkan di kelas akan berpengaruh langsung pada
kepercayaan diri siswa, saat siswa dihadapkan pada situasi yang menantang
dan perasaan yang menyenangkan maka kepercayaan diri siswa pun akan
meningkat (Hapsari, 2011: 341).
Deskripsi penerapan model Problem Based Learning dengan metode
Heuristik yang diadaptasi dari sintaks yang dikemukakan oleh Arends (2008,
hlm. 57) yaitu sebagai berikut:
1. Fase 1: Memberikan orientasi tentang permasalahannya kepada siswa.
Pada fase ini, guru menginformasi tujuan pembelajaran yang akan
dicapai siswa. Guru memberikan permasalahan non rutin yang harus
dipecahkan siswa dengan situasi yang menarik, dan menantang.
2. Fase 2: Mengorganisasikan siswa untuk meneliti.
Pada fase ini, guru mengorganisasikan siswa ke dalam tim-tim studi untuk
menyelesaikan permasalahan. Siswa bersama kelompoknya mendiskusikan
topik permasalahan. Guru membimbing siswa ketika siswa mengalami
kesulitan.
3. Fase 3: Membantu investigasi mandiri dan kelompok
1281
Fase ini merupakan inti dari model PBL. Dalam fase ini
siswa mengumpulkan data, bereksperimentasi dan menemukan solusi
pemecahan masalah. Siswa menggunakan metode Heuristik untuk
memecahkan masalah. Selain itu, dalam penelitian ini disediakan media
manipulatif yang dapat digunakan siswa. Namun demikian, siswa diberi
kebebasan untuk menggunakannya atau tidak, dan menentukan sendiri
strategi yang manipulatif ini digunakan untuk memecahkan masalahnya.
Penyediaan media manipulatif didasarkan pada teori belajar Bruner
mengenai sistem pengolahan informasi. Metode Heuristik dalam pemecahan
masalah yang digunakan yaitu mengadopsi dari strategi pemecahan
masalah Polya (Schunk, 2012, hlm. 420) sebagai berikut:
a. Pada tahap pertama: Memahami masalah.
Siswa menyatakan masalah dengan kata-kata sendiri, mengidentifikasi
apa yang ditanyakan, menemutunjukan informasi yang ada pada
permasalahan, mengidentifikasi kelengkapan informasi yang diperlukan
untuk menyelesaikan masalah, mengidentifikasi informasi tambahan yang
diperlukan, membuat sketsa gambar (jika memungkinkan) dan tulisan
notasi yang sesuai.
b. Pada tahap kedua: Rencana pemecahan.
Siswa membuat pemisalan dari informasi yang tersedia atau yang
diketahui dan yang ditanyakan, membuat model matematika, menentukan
strategi yang akan digunakan untuk menyelesaikan masalah. Dengan
demikian, terdapat berbagai strategi yang akan digunakan untuk
memecahkan masalah.
c. Pada tahap ketiga: Melaksakan rencana pemecahan.
Siswa melaksanakan rencana pemecahan dengan menggunakan
kemampuan berhitung, kemampuan geometris, dsb. Siswa memeriksa
setiap langkah yang dikerjakan. Proses memecahkan masalah terbagi
atas dua jenis, yaitu representasi dan solusi. Representasi muncul ketika
pemecah masalah memahami suatu masalah dan solusi muncul ketika
pemecah masalah melaksanakan kegiatan yang diperlukan untuk
memecahkan masalah.
d. Pada tahap keempat: Memeriksa hasil.
Siswa memeriksa kembali langkah-langkah penyelesaian yang dilakukan,
membuktikan bahwa tiap langkah sudah benar, menguji kembali hasil-
hasil yang diperoleh dengan menggunakan cara yang berbeda atau
berdasarkan logika. Ketika siswa mengalami kesulitan dalam
menyelesaikan masalah, guru dapat memberikan petunjuk atau
pertanyaan berdasarkan langkah metode Heuristik di atas yang
menstimulus siswa agar dapat menemukan aturan atau konsep dalam
pemecahan masalah.
4. Fase 4: Mengembangkan dan mempresentasikan artefak dan exhibit.
Pada fase ini, siswa membuat laporan tertulis dan memperlihatkan laporan
pemecahan masalahnya kepada siswa lainnya.
5. Fase 5: Menganalisis dan mengevaluasi pemecahan masalah
Pada fase ini, siswa menganalisis dan mengevaluasi proses berpikirnya.
Untuk menstimulus siswa menganalisis dan mengevaluasi proses
berpikirnya, guru dapat memberikan petunjuk atau pertanyaan seperti:
1282
kapan kalian mencapai pemahaman yang jelas mengenai permasalahan
yang diberikan?, apakah kalian berubah pikiran mengenai situasi
permasalahan yang diberikan?, kapan kalian merasa yakin terhadap solusi
tertentu?, mengapa kalian menggunakan solusi tersebut?.
Melalui penelitian ini, peneliti ingin mendeskripsikan data apakah dengan
menerapkan model Problem-Based Learning dengan metode Heuristik dalam
pembelajaran matematika di kelas V dapat meningkatkan self-confidence.
METODE
Desain penelitian yang digunakan yaitu quasi-experiments pre- and
posttest design. Tahapan dari penerapan desain ini yaitu setelah selesai
memilih kelas yang akan dijadikan sebagai kelompok eksperimen dan
kelompok kontrol, peneliti melakukan pretes skala sikap self-confidence.
Setelah tindakan selesai diberikan dalam jangka waktu tertentu, peneliti
melakukan postes skala sikap self-confidence. Deskripsi mengenai desain
penelitian ini dapat dilihat pada gambar 3.1 berikut.

Time

Select Control Pretest No Treatment Posttest


Grup
Select Experimen Pretest Experimental Posttest
Gup Treatment

Gambar 1.
Quasi-Experiment Pre- and Posttest Design
(Creswell, 2008, hlm. 314)
Keterangan:
Experimental Treatment yaitu dengan menerapkan model Problem Based
Learning dengan metode Heuristik (PBLmH) dalam pembelajaran matematika.
Partisipan penelitian ini yaitu seluruh siswa kelas V salah satu SD Negeri
di kecamatan Ciasem. Jumlah partisipan yaitu 65 siswa yang terbagi ke dalam
dua kelas. Kelas A berjumlah 33 siswa dan kelas B berjumlah 32 siswa.
Ditinjau dari letak geografis, partisipan berada pada dataran rendah yang
dikelilingi oleh wilayah pesawahan. Pemilihan partisipan yang dijadkan sebagai
sampel penelitian dilakukan secara purposive.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini yaitu skala sikap. Skala yang
digunakan yaitu skala likert yang terdiri dari empat pilihan jawaban, yaitu:
selalu, sering, kadang-kadang dan tidak pernah. Skala ini terdiri dari
serangkaian pemikiran, perasaan dan kegiatan yang bernilai positif dan negatif
berkenaan dengan self-confidence siswa terhadap matematika. Sikap self-
confidence yang akan diukur dalam penelitian ini meliputi aspek-aspek:
1. Kepercayaan terhadap kecakapan diri yaitu persepsi individu mengenai
kemampuan diri untuk memikirkan, mengelola perasaan dan bertindak
dalam menghadapi situasi yang berkaitan dengan matematika. Aspek ini
ditunjukan oleh indikator sebagai berikut:
a. Optimis terhadap pembelajaran matematika.
1283
b. Tenang menghadapi kesulitan dalam pembelajaran matematika.
c. Berani mengkomunikasikan ide matematis.
d. Mandiri dalam belajar matematika.
e. Senang menghadapi tantangan.
2. Kemampuan untuk mempertimbangkan dan menentukan secara realistik
sasaran yang ingin dicapai dan menyusun rencana aksi sebagai usaha
meraih sasaran. Aspek ini ditunjukan oleh indikator sebagai berikut:
a. Berinisiatif untuk memperoleh pengetahuan matematis baru dengan
berbagai cara (bertanya, melakukan pembuktian ulang, meminta bantuan
orang lain).
b. Rasional dan realistis memandang situasi.
c. Bertanggung jawab terhadap kewajiban sebagai pembelajar matematika.
3. Kemampuan Bersosialisasi yaitu kemampuan untuk menilai dan berinteraksi
berdasarkan peran dan nilai yang terdapat dalam lingkungan belajar
matematika.. Aspek ini ditunjukan oleh indikator sebagai berikut:
a. Berbicara di dalam kelompok.
b. Membagi informasi pada orang lain.
c. Mendengarkan tanpa menyela ketika orang lain berbicara.
d. Santun selama pembelajaran matematika.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Setelah dilakukan tindakan selama enam kali pertemuan, ditemukan
adanya peningkatan self-confidence siswa dalam pemecahan masalah yang
mendapat pembelajaran dengan menerapkan model PBLmH dan model DI
juga. Kriteria peningkatan untuk kelompok siswa yang mendapat pembelajaran
dengan menerapkan PBLmH yaitu rendah. Perolehan nilai N-gainnya yaitu
0,09. Sedangkan kriteria peningkatan untuk kelompok siswa yang mendapat
pembelajaran dengan menerapkan model DI yaitu rendah. Perolehan nilai N-
gainnya yaitu 0,05. Berdasarkan hasil pengolahan data N-gain dan pengujian
secara statistik, temuan penelitian ini yaitu peningkatan Self-confidence siswa
kelas V SD Negeri di salah satu kecamatan Ciasem yang mendapat
pembelajaran dengan menerapkan model PBLmH sama dengan siswa yang
mendapatkan pembelajaran dengan model DI. Walaupun self-confidence dapat
berkembang melalui interaksi sosial sebagaimana yang dikemukakan oleh
Suhardira (2011), yaitu peningkatan self-confidence dilakukan melalui kegiatan
yang di dalamnya terdapat dinamika atau interaksi kelompok namun hasil dari
penerapan model PBLmH yang dilakukan selama enam kali pertemuan
menunjukan peningkatan yang tidak signifikan.
Salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya peningkatan self-
confidence dalam penelitian ini yaitu waktu untuk penyadaran akan
kemampuan diri dan penguatannya serta meyakinkan bahwa mereka memiliki
kemampuan begitu singkat. Siswa hanya mendapatkan pembelajaran dengan
menerapkan model PBLmH sebanyak enam kali. Hal ini berlandaskan pada
pernyataan yang dikemukakan Suherman, dkk (2003: 186) yaitu dari tiga ranah
hasil belajar, pembentukan ranah afektif relatif lebih lambat dari pada
pembentukan ranah kognitif dan psikomotorik, karena perubahan ranah afektif
memerlukan waktu yang lebih lama dan merupakan akibat dari pembentukan

1284
pada ranah kognitif dan psikomotorik. Selain itu, mengubah konsep self-
confidence secara sentral membutuhkan pembentukan ide-ide mengenai diri.
Siswa harus menyadari ide-ide yang dibangun mengenai dirinya, salah
satunya mengenai kemampuan yang dimilikinya karena peningkatan self-
confidence dipengaruhi oleh skema self yang dibangun oleh siswa. Hal ini
menunjukkan bahwa perkembangan self-confidence tidak terlepas dari
perkembangan kognisi dan interaksi dengan lingkungan. Sebagaimana teori
pendukungnya yaitu teori kognitif-sosial. Teori ini menyatakan bahwa proses
berpikir manusia harus berfungsi sebagai poin inti analisis kepribadian dan
pemikiran berkembang dalam konteks sosial yaitu seseorang mendapatkan
pemikiran tentang diri dan dunianya melalui interaksi sosial (Pervin, Cervone, &
John, 2012, hlm. 432).
Walaupun peningkatannya rendah dan tidak signifikan, penerapan model
PBLmH dapat meningkatkan self-confidence. Proses belajar yang dialami
siswa ketika menerapkan model PBLmH yaitu siswa berpikir dengan
mencaritenemukan solusi dari masalah matematika yang diberikan guru. Siswa
berdiskusi bersama dengan kolompoknya saling berbagi informasi yang
dibutuhkan untuk memecahkan masalah. Siswa akan memperoleh
pengetahuan baru dan memperkuat pengetahuan sebelumnya dengan
memecahkan masalah. Ketika siswa mengalami kesulitan dalam memecahkan
masalah, guru memberikan pertanyaan-pertanyaan yang mengarahkan siswa
agar mampu memecahkan masalah. Ketika siswa berhasil memecahkan
masalah guru memberikan penguatan dan apresiasi atas solusi yang
ditemukannya, dan meminta teman dalam kelompoknya untuk memberikan
apresiasi dengan bertepuk tangan dan kemudian melaporkan pemecahan
masalah yang dilakukan di depan kelas. Kegiatan tersebut merupakan
dukungan emosional dan penerimaan sosial yang akan meningkatkan rasa
percaya diri. Sebagaimana yang dikemukakan Santrock (2007, hlm. 67) yaitu,
rasa percaya diri dapat ditingkatkan melalui penyelesaian masalah, pencapaian
prestasi, pemberian dukungan emosional, dan penerimaan sosial.
Karakteristik masalah yang dipecahkan siswa adalah masalah non rutin,
masalah yang penyelesaiannya tidak berdasarkan algoritma yang ada,
masalah yang tidak biasa siswa hadapi. Penyelesaian masalah dilakukan
berdasarkan pengetahuan yang dimiliki siswa sebelumnya. Sehingga siswa
akan menyadari kemampuan yang dimilikinya serta menyadari konsep-konsep
penting yang harus dimiliki untuk mengembangkan kemampuan tersebut
sehingga mampu memecahkan masalah yang diberikan oleh guru.
Keberhasilan yang dialami siswa secara terus menerus akan dapat
meningkatkan sef-confidence siswa. Siswa akan merasa yakin terhadap
kemampuan yang dimilikinya. Siswa menyakini bahwa dia mampu secara
sungguh-sungguh dengan apa yang akan dilakukannya. Keberhasilan dalam
memecahkan masalah dengan benar merupakan capaian prestasi siswa.
Selain itu, pembentuk utama dari kepercayaan diri siswa dalam
pembelajaran matematika adalah interaksi siswa dan guru juga siswa dengan
sesama siswa (Jurdak: 2009: 111). Sejalan dengan teori yang melandasi self-
confidence yaitu teori kognitif sosial. Teori ini menyatakan bahwa proses
berpikir manusia harus berfungsi sebagai poin inti analisis kepribadian dan
pemikiran berkembang dalam konteks sosial yaitu seseorang mendapatkan

1285
pemikiran tentang diri dan dunianya melalui interaksi sosial (Pervin, Cervone, &
John, 2012, hlm. 432). Dengan demikian, self-confidence dapat berkembang
melalui interaksi sosial. Hal ini pun didukung oleh Suhardita (2011) yaitu,
peningkatan self-confidence dilakukan melalui kegiatan yang didalamnya
terdapat dinamika atau interaksi kelompok. Hal ini sesuai dengan salah satu
karakteristik khusus model PBLmH yaitu kolaborasi. Siswa berkolaborasi
dengan siswa lainnya untuk saling memotivasi satu sama lain agar keterlibatan
siswa terus meningkat secara berkelanjutan dalam menyelesaikan masalah.
Selain itu, dalam model PBLmH melibatkan proses berpikir reflektif.
Proses berpikir reflektif terjadi pada fase 3 ketika siswa memeriksa kembali
pemecahan masalah yang dilakukannya dan dikuatkan pada fase 5 yaitu
menganalisis dan mengevaluasi pemecahan masalah. Proses berpikir reflektif
ini akan mengembangkan kesadaran siswa mengenai kemampuan yang
dimilikinya serta mengontrol kemampuan tersebut. Siswa akan menyadari
efektifitas strategi yang digunakan sehingga ketika dihadapkan pada
permasalahan baru siswa dapat menentukan strategi yang tepat untuk
menyelesaikan permasalahan dengan benar. Dalam hal ini siswa mengevaluasi
tentang dirinya, berpikir tentang kognisinya (berpikir reflektif). Ketika siswa
menyadari kemampuan yang dimiliki dan meyakininya maka akan
menumbuhkan rasa percaya diri siswa ketika memecahkan masalah
matematika. Sebagaimana makna self-confidence yaitu keyakinan siswa SD
terhadap kemampuan yang dimilikinya dalam pembelajaran matematika.
Keyakinan tersebut mempengaruhi bagaimana siswa berpikir, merasa, dan
bertindak terhadap hal-hal yang berkaitan dengan pembelajaran matematika.
Selain itu, dengan menyadari akan kemampuan yang dimilikinya, siswa pun
akan berpikir rasional dan bersikap realistis, dan jujur. Hal tersebut akan
menumbuhkan rasa percaya diri siswa. Sebagaimana aspek percaya diri yang
dikemukakan oleh Lauster yaitu kesadaran diri, objektif, optimis, bertanggung
jawab, rasional dan realistis (Ghufron & Rini, 2011, hlm. 35-36).
SIMPULAN
Hasil dari penelitian ini yaitu peningkatan self-confidence siswa yang
mendapat pembelajaran dengan menerapkan model PBLmH sama dengan
siswa yang yang mendapat pembelajaran dengan menerapkan model DI.

DAFTAR RUJUKAN
Arends, R. I. (2008). Learning to Teach. Edisi Ketujuh. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Badan Standar Nasional Pendidikan. (2006). Standar Isi untuk Satuan Dasar
dan Menengah. Jakarta: BSNP.
Ghufron & Rini, R.S. (2011). Teori-Teori Psikologi. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Hannula,M. S., Maijala, H., & Pehkonen, E. (2004). Development Of
understanding and self-confidence in mathematics; Grades 5–8.
Proceedings of the 28th Conference of the International Group for the
Psychology of Mathematics Education (hlm. 17-24).
Martyanti, A. (2013). Membangun Self-Cofidence Siswa dalam Pembelajaran
Matematika dengan Pendekatan Problem Solving. Prosiding Seminar
Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika (hlm. 15–22).
[Online].
1286
Diakses dari http://eprints.uny.ac.id/10726/.../P%20-%203.pdf.
Pervin, L.A., Cervone, D., & John, O.P. (2012). Psikologi Kepribadian: Teori
dan Penelitian. Edisi Kesembilan. Jakarta: Kencana.
Santrock, J.W. (2007). Perkembangan Anak. Edisi Kesebelas, Jilid 1. Jakarta:
Erlangga.
Santrock, J.W. (2007). Perkembangan Anak. Edisi Kesebelas, Jilid 2. Jakarta:
Erlangga.
Schunk, D.H. (2012). Learning Theories an Educational Perspective.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Suhardita, K. (2011). Efektifitas Penggunaan Teknik Permainan dalam
Bimbingan Kelompok untuk Meningkatkan Percaya Diri Siswa. [Online].
Diakses dari http://jurnal.upi.edu.
Suhendri, H. (2012). Pengaruh Kecerdasan Matematis-Logis, Rasa Percaya
Diri, dan Kemandirian Belajar Terhadap Hasil Belajar Matematika.
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
(hlm. 396-315). Yogyakarta: UNY.
Suherman, E. dkk. (2003). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer.
(Common Textbook). Jurusan Pendidikan Matematika, FPMIPA, UPI,
Bandung.
Suherman, E., dkk. (2003) Evaluasi Pembelajaran Matematika. (Individual
Textbook). Jurusan Pendidikan Matematika, FPMIPA, UPI, Bandung.
Tan, O.S. (2003). Problem-Based Learning Innovation: Using Problems to
Power Learning in The 21st Century. Singapure: Seng Lee Press.

1287
PENERAPAN COMPUTER ASSISTED INSTRUCTION
KONTEKSTUAL DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA
Nanang
Program Studi Pendidikan Matematika, STKIP Garut
E-mail: na2ngdr.64@gmail.com
Abstract
From some reports, the Indonesian students looked difficult to conduct ber-
matematika. One alternative to overcome these difficulties is through a comput-
er-based contextual approach to conditioning the way students learn by experi-
encing itself in accordance with the real everyday life (daily life) instead of
memorizing and students da-pat develop their potential independently and
creatively. For that matter, this paper is intended to develop and design a pro-
gramming model based CAI as a contextual learning model to improve stu-
dents' skills in bermatematik. Based on the results of the study of theory and
discussion, we concluded that through the application of CAI-Contextual in
mathematics learning is expected to: (1) overcome the lack of ability to think
mathematically students, (2) reduce the lack of effectiveness of the learning
model used by teachers in maximizing the potential that exists in students , (3)
improve the understanding of the facts are studied, (4) improve the quality of
the character of the students to the issues of everyday life, and (5) skilled solve
the problems of everyday life.
Keywords: CAI, Contextual, Mathematics SD
PENDAHULUAN
Isu lemahhnya siswa Indonesia dalam bermatematika, khususnya siswa
kelas VIII SMP terdapat dalam laporan TIMSS (Salirawati, 2013) bahwa rata-
rata skor prestasi matematika siswa Indonesia pada TIMSS tahun 2011 berada
pada kategori Low International Benchmark atau di bawah skor rata-rata inter-
nasional. Selain itu, hasil temuan IMSTEP-JICA (Suryadi, 2005) bahwa siswa
di Kota Bandung memandang sulit untuk melakukan kegiatan bermatematika
(jastifikasi atau pembuktian, pemecahan masalah, menemukan generali-sasi
atau konjektur, dan menemukan hubung-an antara data-data atau fakta-fakta
yang diberikan).
Lemahnya siswa SMP dalam bermatematika, ada kemungkinan salah
satunya diakibatkan oleh lemahnya penguasaan konsep matematika siswa
waktu di Sekolah Dasar (SD). Hal ini didasarkan pada teori Jerome S. Bruner
(Ruseffendi, 1991) bahwa pembelajaran matematika menerapkan pendekatan
spiral, dimana pembelajaran konsep atau suatu topik matematika selalu
dikaitkan atau dihubungkan dengan topik sebelumnya. Topik sebelumnya dapat
menjadi prasyarat untuk dapat memahami dan mempelajari suatu topik
matematika berikutnya. Topik baru yang dipelajari merupakan pendalaman dan
perluasan dari topik sebelumnya. Sehingga kalau siswa waktu di SD-nya
kurang menguasai atau memahami konsep matematika, maka siswa tersebut
akan mengalami kesulitan bermatematika di SMP.

1288
Di Indonesia, sebaran umur siswa SD pada umunya antara 7 s.d 13 ta-
hun. Menurut teori perkembangan mental dari Jean Piaget sebaran umur ter-
sebut berada pada tahap operasi kongkrit. Sedangkan menurut teori Jerome S.
Bruner, sebaran usia siswa tersebut berada pada mode simbolik. Pada tahap
operasi kongkrit, pada umumnya anak-anak dapat memahami operasi (logis)
dengan bantuan benda-benda kongkrit. Sedangkan pada mode simbolik, siswa
sudah bisa melakukan operasi mental (Ruseffendi, 1991). Jadi pada tahap
operasi kongkrit anak dapat melakukan tindakan atau perbuatan mental
mengenai kenyataan dalam kehidupan nyata, anak tidak perlu bantuan benda
kongkrit dalam melakukan operasi.
Hal di atas perlu diketahui oleh guru SD yang mengajar matematika atau
dosen matematika di PGSD. Guru SD atau dosen matematika PGSD harus
mengetahui kemampuan apa yang sudah dimiliki anak pada tahap ini dan ke-
mampuan apa yang belum diketahuinya. Ruseffendi (1991) menjelaskan
bahwa anak-anak pada tahap operasi kongkrit dapat dikelompokan ke dalam
taraf berfikir kongkrit (selalu memerlukan bantuan benda-benda kongkrit), taraf
berfikir semi kongkrit (dapat mengerti bila dibantu dengan gambar benda
kongkrit), taraf berfikir semi abstrak (dapat mengerti dengan bantuan diagram,
torus, dan semacamnya), dan taraf berfikir abstrak (dapat mengerti tanpa ban-
tuan benda-benda nyata maupun gambarnya).
Hal ini menunjukkan bahwa dalam pemberian konsep matematika
terhadap siswa SD dimulai dengan benda-benda konkrit kemudian konsep itu
diajarkan kembali dengan bentuk pemahaman yang lebih abstrak dengan
menggunakan notasi yang lebih umum digunakan dalam matematika. Jadi,
dalam pembelajaran matematika, terutama untuk kelas rendah diperlukan
tahapan mulai dari tingkat konsep-pengaitan-simbol. Ketiga tahap tersebut
lebih jelasnya disajikan dalam gambar berikut.

Sumber: Darmayasa (2012)


Salah satu alternati hnya siswa dalam bermatematika adalah melalui
pembelajaran kontekstual. Hal ini didasarkan saran Depdiknas (2006) bahwa
dalam setiap kesempatan, pembelajaran matematika hendaknya dimulai
dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi (contextual problem).
Menurut Sabandar (2003), pembelajaran matematika yang dimulai dengan
pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi dinamakan pembelajaran
kontekstual. Tugas guru dalam kelas kontekstual ini adalah membantu siswa
mencapai tujuannya, maksudnya guru lebih banyak berurusan dengan strategi
daripada memberi informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim
yang bekerja sama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi siswa.
1289
Sementara Supriadi (Yaniawati, 2010) menyarankan bahwa untuk
meningkat-kan efektivitas dan efisiensi dalam pembelajaran dan pengelolaan
system pendidikan perlu mengaitkan atau memanfaatkan teknologi informasi.
Pemanfaatan teknologi informasi selain sebagai upaya mengatasi permasala-
han teknis pembelajaran, juga sebagai media pembelajaran dan sumber ajar.
Melalui proses pembelajaran dengan memanfaatkan teknologi informasi, di-
harap-kan siswa dapat mengembangkan diri secara mandiri dan kreatif. Apabi-
la hal ini terjadi, maka siswa mendapatkan kesempatan melakukan proses kon-
struksi suatu pengetahuan baru melalui interaksi dengan siswa lainnya dan
pendidik melalui sarana teknologi informasi (TI).
Seiring dengan perkembangan dunia TI, Menurut Darmawan (2010:33-
35) berkembanglah berbagai prosedur pengem-bangan dan peranan prinsip
multimedia dalam pembelajaran dengan berbantuan komputer. Semua pihak
pasti membutuhkan bagaimana menerapkannya, khususnya dalam konteks
inovasi atau revolusi pembelajaran. Dengan demikian prosedur tersebut
mengembangkan multimedia interaktif. Dalam mengembangkan bahan ajar in-
teraktif yang sering dikenal dengan pembelajaran berbasis komputer, kemudian
pandangan nama seperti Computer Assistance Instruction (CAI), Computer
Based Instruction (CBI) dan lain sebagainya tiada lain adalah hasil inovasi.
Artinya para guru harus sadar bahwa inovasi dan adopsi terhadap perkem-
bangan keilmuan dibidang pendidikan dan pembelajaran ini sangat penting.
Berdasarkan uraian di atas, penerapan pendekatan kontekstual melalui
pembelajaran berbasis komputer perlu mendapat pertimbangan untuk diterap-
kan dalam pembelajaran matematika di SD. Hal ini diharapkan melalui pen-
dekatan kontekstual berbasis komputer dapat mengkondisikan siswa belajar
dengan cara mengalami sendiri sesuai dengan kehidupan nyata sehari-hari
(daily life) bukan menghapal dan siswa dapat mengembangkan potensi yang
dimilikinya secara mandiri dan kreatif. Untuk hal itu, penulisan makalah ini
ditujukan untuk mengembangkan dan mendesain model pemrograman CAI
berbasis kontekstual sebagai media pembelajaran untuk meningkatkan ke-
mampuan siswa SD dalam bermatematik.

COMPUTER ASSISTED INSTRUCTION (CAI)


Seiring dengan semakin majunya Teknologi Informasi dan Komunikasi
(TIK) telah mengubah model dan pola pembelajaran pada dunia pendidikan
saat ini. Ditegaskan dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia nomor 68 tahun 2014 bahwa dalam rangka mewujudkan
suasana pembelajaran dan proses pembelajaran aktif, diharapkan dosen me-
manfaatkan berbagai sumber belajar agar potensi siswa dapat dikembangkan
secara maksimal melalui pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi
yang dapat mengeksplorasi sumber belajar secara efektif dan efisien.
Ada banyak sistem pengajaran dan pembelajaran yang menggunakan
alat bantu komputer, salah satunya yaitu pengajaran berbantuan komputer atau
Computer Aided Instruction (CAI). Menurut Darmawan (2010), program CAI
merupakan program pembelajaran yang digunakan dalam proses pembelajaran
dengan menggunakan perangkat lunak berupa program komputer yang berisi
materi pelajaran. Sementara Harjanto (2012) menjelaskan bahwa model-model
CAI terdiri dari: Drill and practice, simulasi, tutorial, dan permainan.

1290
Berkaitan dengan pentingnya penggunaan teknologi dalam kegiatan
pembelajaran, Russell dan Sorge (Pitler, Hubbell, Kuhn, dan Malenoski,
2007:3) mengatakan:
”… how technology can give students ‘more control over their own learn-
ing’, facilitating the analitical and critical thinking and the collaboration champi-
oned in the construc-tivist approach to education”.
Kesimpulan mereka bahwa mengintegrasikan teknologi ke dalam pem-
belajaran cenderung untuk merubah kelas yang lingkungannya didominasi oleh
para guru menjadi suatu lingkungan yang lebih berpusat kepada siswa.
Sehingga diharapkan lebih mampu menggali dan mengembangkan potensi pa-
ra siswa.
Manfaat positif komputer dalam bidang pendidikan dan pengajaran telah
banyak dilaporkan hasilnya. Stepp-Greany (2002) menemukan beberapa hal,
antara lain: (1) sebagian besar siswa setuju bawa laboratorium komputer
membuat pelajaran lebih menarik; mereka juga merasakan bahwa penggunaan
CD-ROM menyenangkan; dan (2) siswa merasa percaya diri mengerjakan
kegiatan-kegiatan berbasis tugas (task-based activities). Selanjutnya Skinner
dan Austin (1999) menyimpulkan bahwa model pembelajaran computer
conferencing bermanfaat untuk meningkatkan motivasi belajar siswa dengan
meningkatkan tingkat kepercayaan diri mereka.
Berdasarkan kutipan di atas, penulis memandang penting untuk
mengembangkan program CAI dalam pembelajaran matematika SD.
Sedangkan model CAI yang akan dikembangkan adalah model permainan
berbasis kontekstual yang disesuaikan dengan perkembangan mental siswa
SD. Hal ini dimaksudkan agar siswa SD lebih mudah mempelajari materi
pelajaran matematika lewat permainan dengan menggunakan komputer.

PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL
Pandangan yang mendasar dalam proses pembelajaran khususnya
pembelajar-an matematika adalah bahwa apa yang dipelajari benar-benar
bermakna dalam kehidupan. Konsep yang dipelajari menggu-nakan latar
belakang budaya, keluarga, atau dalam sistem kehidupan sehari-hari, dimana
siswa dapat mendengar, melihat, mengalami, dan sekaligus bermanfaat dalam
kehidupan, akan memiliki nilai yang tinggi dalam kehidupan siswa sehari-hari.
Pengertian tentang pembelajaran kontekstual atau CTL diungkapkan
oleh Johnson (2002:25) sebagai berikut.
“The CTL system is an educational process that aims to help students
see meaning in the academic material they are studying by connecting
academic subjects with the context of their personal, social, and cultural
circumstances. To achieve this aim, the system encompasses the following
eight components: making meaningful connec-tions, doing significant work,
self-regulated learning, collaborating, critical and creative thinking, nurturing the
individual, reaching high standards, using authentic assessment”.
Kutipan di atas menurut Nurhadi dan Senduk (2003:12) mengandung
arti bahwa sistem CTL merupakan suatu proses pendidikan yang bertujuan
membantu siswa melihat makna dalam bahan pelajaran yang mereka pelajari
dengan cara menghubung-kannya dengan konteks kehidupan mereka sehari-
hari, yaitu dengan konteks lingkungan pribadinya, kehidupan sehari-harinya,

1291
dan budayanya. Untuk mencapai tujuan tersebut, sistem CTL akan menuntun
siswa melalui kedelapan komponen utama CTL: melakukan hubungan yang
bermakna, mengerjakan pekerjaan yang berarti, mengatur cara belajar sendiri,
bekerja sama, berpikir kritis dan kreatif, memelihara/ merawat pribadi siswa,
mencapai standar yang tinggi, dan menggunakan asesmen autentik.
Tujuan pembelajaran kontekstual menurut Rusgianto (2002) pada
dasarnya adalah membekali siswa dengan pengetahuan yang secara fleksibel
dapat diterapkan (ditransfer) dari satu permasalahan ke permasalahan yang
lain dan dari satu konteks ke konteks yang lain. Dalam pembelajaran
kontekstual, menurut Borko dan Putman (2001) tugas dosen adalah membantu
siswa mencapai tujuan belajar. Oleh karena itu dosen lebih banyak berurusan
dengan strategi siswa dalam belajar daripada memberi informasi.
PEMBAHASAN
Berikut ini disajikan langkah-langkah kegiatan guru dan siswa SD dalam
kegiatan pembelajaran menggunakan CAI-kontekstual pada topik “Mengenal
Perkalian”. Media pembelajaran yang digunakan adalah software Lab Virtual
Matematika SD berupa Alat Peraga Interaktif Matematika Kartu Perkalian.
Media tersebut diproduksi oleh Bina Sumber Daya (BSD) MIPA Tahun 2007
yang digagas oleh Gunawan Ari Hantoro. Adapun langkah-langkah pembela-
jarannya sebagai berikut.
1. Pendahuluan
a. Guru dan siswa melakukan pembentukan kelompok untuk menciptakan
komunitas belajar. Satu kelompok sekitar 4 atau 5 siswa dan 1 komputer.
b. Guru menginformasikan tentang pendekatan pembelajaran yang akan
digunakan serta aturan mainnya.
c. Guru menginformasikan tentang tugas-tugas yang akan diberikan dan
cara mengerjakannya dengan meng-gunakan software lab virtual berupa
alat peraga interaktif matematika untuk kartu bilangan.
d. Guru menjelaskan indikator-indikator yang hendak dicapai setelah selesai
pembelajaran, yaitu: (1) mengenal sifat perkalian dengan bilangan 2, 3, 4,
dan 5, (2) Menentukan hasil perkalian melalui permainan, dan (3)
menyelesaikan soal cerita perkalian.
e. Guru memotivasi siswa atau melakukan apersepsi berupa peng-ajuan
beberapa pertanyaan secara lisan kepada siswa untuk menggali penge-
tahuan awal siswa. Misalnya guru bertanya kepada siswa tentang banyak
roda sebuah sepeda motor. Selanjutnya guru bertanya banyaknya
seluruh roda kalau sepeda motornya ada 5. Guru bertanya kepada siswa
tentang cara menghitung banyak roda dari kelima sepeda motor tersebut.
Guru bertanya lagi kepada siswa sampai diketemukan cara menghitung
jumlah roda dari kelima motor tesebut dengan menggunakan sifat
perkalian.
f. Pelatihan berupa: cara belajar dalam kelompok, cara menggunakan lab
virtual matematika berupa media interaktif kartu perkalian dalam kom-
puter, diskusi kelas, mengemukakan pertanyaan, dan cara menjawab
pertanyaan. Cara menggunakan lab virtual tersebut adalah sebagai
berikut.

1292
Pertama masukkan CD Lab Virtual matematika interaktif pada komputer.
Setelah muncul file berupa gambar kepala kucing, klik gambar kepala
kucing tersebut.

Setelah di-klik yang diberi tanda lingkaran merah, akan muncul pada
layar tentang informasi penggunaan matematika dalam kehidupan
sehari-hari seperti tampak pada gambar berikut.

Selanjutnya akan muncul pada layar monitor gambar berikut.

Selanjutnya klik gambar tombol start untuk menjalankan program


tersebut.
2. Diskusi
a. Menyajikan masalah kontekstual
1) Guru menyajikan materi pela-jaran dan masalah kontekstual untuk
topik perkalian dengan bilangan 2 pada software pembelajaran
sebagai berikut. “Hitunglah jumlah seluruh roda dari 5 buah sepeda,
lalu buatlah menjadi konsep perkalian!”.

1293
2) Guru mepersilahkan siswa untuk mempelajari aturan dalam
mempelajari materi pelajaran dan mengerjakan masalah-masalah
kontekstual dalam software Pembelajaran tersebut secara sepintas
sebelum dimulai diskusi kelompok.
3) Guru sebagai fasilitator memberikan kesempatan kepada siswa untuk
bertanya.
b. Memahami masalah kontekstual
1) Siswa diskusi pada kelompoknya masing-masing, sharing ide dengan
temannya.
2) Pada saat siswa berdiskusi, guru berkeliling mengunjungi setiap
kelompok untuk memberikan bantuan pada kelompok yang mengalami
kesulitan dalam menjalankan sofware pembela-jaran atau dalam
mengerjakan tugas. Guru memberikan timbal balik (feedback).
c. Menyelesaikan masalah kontekstual
1) Guru memberi kesempatan seluas-luasnya bagi siswa untuk
menyelesaikan masalah dengan model dan cara siswa sendiri. Salah
satu alternatif yang diharapkan, siswa dalam kelompok menyelesaikan
masalah kontekstual sebagai berikut. Pertama salah seorang siswa
siswa perwakilan dari kelompok mengetikan “10” seperti tampak pada
gambar di bawah ini.

Selanjutnya, secara interaktif siswa mengetikan “5” seperti tampak


pada gambar di bawah ini.

Terakhir, secara interaktif siswa untuk mengetikan “10” seperti tampak


pada gambar di bawah ini.

1294
Selanjutnya guru meminta tiap kelompok untuk mencari hubungan
antara 2 + 2 + 2 + 2 + 2 dengan 5 x 2, karena kedua-duanya hasilnya
sama, yaitu 10.
2) Guru mengajukan pertanyaan kepada kelompok yang menga-lami
kesulitan menyelesaikan masalah.
3) Melalui pemodelan, guru berupaya untuk meningkatkan kesadaran diri
kognitif siswa dan mengevaluasi hasil jawaban masalah kontekstual.
4) Melalui pendekatan inkuiri, siswa menggunakan model pemecahan
masalah yang tepat dengan mempraktekkan penggu-naan strategi-
strategi kognitif untuk menemukan jawaban.
d. Membandingkan dan mendiskusikan jawaban.
1) Guru memberi kesempatan kepada siswa untuk mendiskusi-kan ja-
waban mereka.
2) Setelah diskusi kelompok selesai, guru mempersilahkan kepada setiap
kelompok secara ber-giliran untuk mempresentasikan hasil kerja ke-
lompoknya ke depan. Selanjutnya didakan diskusi kelas.
e. Menyimpulkan
1) Melalui metode penemuan, guru membantu siswa untuk menarik
kesimpulan sebagai berikut. “= 5 x 2 artinya adalah: 2 + 2 + 2 + 2 + 2”.
2) Setelah melakukan perkalian dengan bilangan 3, 4, dan 5 dengan
menggunakan software pembelajaran, guru dan siswa sama-sama
menyimpulkan pengertian perkalian, yaitu: “perkalian adalah
penjumlahan berulang sebanyak pengali bilangan pertama”. Lalu guru
membuat contoh, misalnya: “6 x 3 artinya: 3 + 3 + 3 + 3 + 3 + 3”,
bukan: “6 + 6 + 6”, meskipun hasilnya sama.
3) Setelah selesai membuat kesimpulan dengan benar yang bertujuan
untuk menanamkan sifat-sifat dan pengertian perka-lian. Guru
mengecek pemahaman siswa melalui penugasan berikut-nya. Siswa
mengerjakan tugas yang ada pada menu permainan seperti tampak
pada gambar di bawah ini.

1295
Selanjutnya akan muncul salahsatunya seperti gambar berikut.

Pada gambar di atas, siswa diminta mengganti setiap tanda tanya “?”
dengan cara meng-klik salah satu tombol a, b, c, atau d yang sesuai
dengan jawaban yang benar.
4) Siswa menuliskan pertanyaan-pertanyaan mengenai materi yang be-
lum dipahami dan bertanya secara lisan pada teman satu kelas atau
guru.
5) Selanjutnya untuk mengecek keterampilan atau pemahaman konsep
siswa tentang topik perkalian, guru meminta siswa untuk mengklik
tombol menu dan meng-klik menu “Soal cerita perkalian” seperti
tampak pada gambar berikut.

Selanjutnya akan muncul salahsatunya seperti gambar berikut.

Pada gambar di atas, siswa diminta menjawab pertanyaan dengan


cara meng-klik salah satu tombol a, b, c, atau d yang sesuai dengan
jawaban yang benar.
3. Kemandirian
Siswa secara mandiri menyelasaikan soal-soal cerita perlaian yang lainnya
dalam software pembelajaran.
4. Tahap Refleksi dan Merangkum
a. Melalui tanya jawab (debriefing) guru melakukan refleksi.
b. Apabila proses pemecahan masalah sudah benar, kemudian guru
mengajukan pertanyaan pada siswa, misalnya: bagaimana jika…?,
apakah ada cara lain? Coba kerjakan dengan cara lain!

1296
c. Siswa menjelaskan secara lisan maupun tulisan bagaimana
menggunakan strategi spesifik untuk memecahkan masalah-masalah ter-
tentu.
5. Menutup Pelajaran
Guru mengulas kembali tentang konsep yang baru saja dipelajari, kemudian
mengarahkan siswa untuk merangkum materi pelajaran yang dianggap
penting. Guru memberikan soal-soal latihan untuk dikerjakan di rumah.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil kajian teori dan pembahasan, diperoleh kesimpulan
bahwa melalui penerapan CAI-Kontekstual dalam pembelajaran matematika
diharapkan sebagai berikut.
1. Dapat mengatasi rendahnya kemampuan berpikir matematik siswa.
2. Dapat mengurangi kekurang efektifan model pembelajaran yang digunakan
guru dalam memaksimalkan potensi yang ada dalam diri siswa.
3. Siswa dalam belajar matematika tidak hanya menghafal (drill), namun siswa
memahami atau mengerti dari fakta-fakta dipelajari. Sebagai contoh, siswa
hafal bahwa 3 x 2 = 6, tetapi tidak mengerti bahwa 3 x 2 itu artinya 2 + 2 + 2
bukan 3 + 3.
4. Dapat meningkatkan kualitas karakter siswa terhadap isu-isu kehidupan
sehari-hari.
5. Siswa terampil menyelesaikan masalah-masalah kehidupan sehari-hari.
DAFTAR RUJUKAN
Borg, W.R.& Gall, M.D. (1979). Educational Research: An introduction. New
York & London: Longman.
Borko, H. dan Putman, R.T. (2001). The Role of Context in Teacher Learning
and Teacher Education. Contextual Teaching and Learning: Preparing
Teacher to Enhance Student Success in The Workplace and Beyyond.
Washington, DC.: ERIC CTTE.
Darmawan, D. (2010). Pemrograman Pembelajaran Berbasis Computer
Assisted Instruction. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Depdiknas (2006). Kurikulum Matematika SMP/M.Ts. Jakarta: Dirjend
Manajemen Dikdasmen.
Hantoro, GA. (2007). Lab Virtual Matema-tika. Bina Sumber Daya MIPA.
Johnson, EB. (2002). Contextual Teaching and Learning. California: Corwin
Press, Inc.
NCTM (2000). Principles and Standard for School Mathematics. Reston, VA:
NCTM.
Nurhadi dan Senduk, AG. (2003). Pembelajaran Kontekstual dan
Penerapannya dalam KBK. Malang: UMPRESS.
Pitler, H., Hubbell, ER., Kuhn, M., Malenoski, K. (2007). Using Technology with
Classroom Instruction that Works. ASCD and McREL. Printed in USA.
Ruseffendi, E.T. (1991). Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan
Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan
CBSA. Bandung : Tarsito.
Rusgianto, H.S. (2002). Contextual Teaching and Learning. Makalah pada
Seminar Nasional FPMIPA UNY, Yogyakarta.

1297
Sabandar, J. (2003). Pendekatan Kontekstual dalam Pembelajaran
Matematika. UPI Bandung: Makalah: tidak diterbitkan.
Salirawati, D. (2013). Strategi dalam menyongsong implementasi kuriku-lum
2013 [on line]. Tersedia: www. usd.ac.id/fakultas/pendidikan
/f1l3/PLPG/Kur%20 2013%201.ppt.
Yaniawati, R.P. (2010). e-Learning: Alternatif Pembelajaran Kontemporer. Ban-
dung: Arfino

1298
INOVASI DALAM PEDAGOGI MATEMATIK ABAD KE-21
Nor Hayati Bt Hj Mt Ali
Institut Pendidikan Guru Kampus Darulaman,
E-mail: norhayatia@ipda.edu.my
Abstrak
Berdasarkan Pelan Pembangunan Pendidikan 2013 – 2025 terdapat 11
Anjakan Transformasi Pendidikan Negara. Kesemua anjakan tersebut adalah
berhubung dengan transformasi yang perlu dilakukan bagi meningkatkan
pendidikan di Malaysia. Salah satu daripada anjakan tersebut adalah,
“Memanfaatkan Teknologi Maklumat & Komunikasi (ICT) Bagi Meningkatkan
Kualiti Pembelajaran di Malaysia”. Hal ini juga selaras dengan tujuh domain
Transformasi Institut Pendidikan Guru (IPG) yang telah dikemukakan oleh
Tuan Rektor IPGM, antaranya ialah “Memantapkan Kurikulum” dan
“Meningkatkan Aktiviti Penyelidikan dan Inovasi”. Saranan Perdana Menteri
Malaysia juga, “...sudah sampai masanya sistem pendidikan negara perlu
dirombak memandangkan Malaysia memerlukan perubahan terutama dalam
aspek mengajar dan cara belajar”. Selaras dengan dasar kerajaan tersebut,
maka sudah tiba masanya pengajaran dan pembelajaran (P&P) dalam bilik
darjah ditransformasikan daripada kaedah konvensional kepada kaedah terkini
dan lebih canggih, selaras dengan kemahiran pedagogi abad ke-21, iaitu
penggunaan ICT dalam bilik darjah agar P&P lebih berkesan dan tidak
membosankan. Justeru, “Inovasi dalam Pedagogi Matematik Abad Ke-21”
yang dikemukakan ini menggabungkan dua disiplin ilmu, iaitu Pedagogi
Matematik dan ICT dengan melibatkan perisian “The Geometer’s Sketchpad
Versi 4.06”. Inovasi ini sangat bersesuaian untuk diaplikasikan oleh para
pendidik yang mengajar Matematik Tingkatan 5, khusus bagi tajuk “Bumi
Sebagai Sfera”. Melalui inovasi ini, para guru dapat menerangkan konsep
dengan lebih mudah dan jelas, manakala para pelajar dapat menyelesaikan
masalah dengan lebih cepat dan tepat. Hasil kajian yang dijalankan, didapati
min skor pencapaian telah meningkat sebanyak 22.07%, iaitu daripada 31.04%
semasa pre-test kepada 53.11% semasa post-test. Manakala min masa
menjawab pula telah berkurang sebanyak 20.74 minit, iaitu daripada 64.63
minit semasa pre test kepada 43.89 minit semasa post test. Sesungguhnya
aplikasi inovasi ini telah memberi impak positif kepada guru dan pelajar yang
terlibat dalam P&P matematik.
Kata kunci : The Geometer’s Sketchpad, Bumi Sebagai Sfera, Inovasi,
Pedagogi Matematik, Transformasi

PENDAHULUAN
Pendidikan abad ke-21 ialah pendidikan yang berdaya saing seiring
dengan kemajuan teknologi maklumat pada masa kini. Oleh itu, pada masa
kini negara di seluruh dunia sedang berlumba-lumba untuk melaksanakan
pembaharuan terhadap pendidikan bagi menghasilkan generasi yang celik
teknologi maklumat dan mampu berdaya saing secara sihat agar selari dengan
kehendak pendidikan abad ke-21 ini. Menurut laporan UNESCO (Report of the
International Commission on Educational for the twenty first century),
1299
pendidikan berterusan sepanjang hayat harus berasaskan kepada empat
tonggak utama, iaitu: Learning to know (belajar untuk tahu); Learning to do
(belajar untuk buat); Learning to leave together (belajar untuk hidup bersama)
dan Learning to be (belajar untuk menjadi).
Pendidikan abad ke-21, dikaitkan dengan pelbagai kemahiran
yang diperlukan pada era globalisasi ini. Salah satu kemahiran yang
dimaksudkan ialah aplikasi Teknologi Maklumat dan Komunikasi (ICT)
dalam pengajaran dan pembelajaran (P&P) di sekolah agar dapat
melahirkan guru dan pelajar supaya lebih kreatif dan inovatif melalui
pelbagai bahan atau projek yang dihasilkan. Kreativiti dan inovasi juga
merupakan salah satu kemahiran yang sangat dititik beratkan dalam
pendidikan abad ke-21 ini (rujuk Rajah 1). Seterusnya kenyataan
Perdana Menteri Malaysia, Datuk Seri Najib Razak (Berita Harian, 14
Mac 2012), dipetik sebagai "…sudah sampai masanya sistem
pendidikan negara perlu dirombak memandangkan Malaysia
memerlukan perubahan terutama dalam aspek mengajar dan cara
belajar". Kenyataan ini sangat selari dengan projek yang akan
dilaksanakan ini, iaitu melibatkan transformasi dalam aspek mengajar
dan belajar guru dan pelajar dalam kelas.

Rajah 1.
Kemahiran Pembelajaran Abad Ke-21

1300
Bertitik tolak daripada kenyataan-kenyataan di atas maka penyelidik telah
menjalankan satu kajian berkaitan dengan inovasi dalam pendidikan
matematik, iaitu “Inovasi dalam Pendidikan Matematik Abad Ke-21”. Dalam
kajian ini penyelidik memberi tumpuan kepada pedagogi untuk P&P matematik
bagi topik "Bumi Sebagai Sfera" yang merupakan salah satu topik yang
terdapat dalam Sukatan Pelajaran Matematik Tingkatan 5. Topik ini merupakan
suatu topik yang agak abstrak dan para guru sering menghadapi kesukaran
dalam menerangkan konsep-konsep longitud, latitud dan kedudukan sesuatu
tempat pada permukaan bumi. Justeru, pedagogi terkini ini bertujuan untuk
membantu dan memudahkan para guru matematik menyampaikan sesuatu
konsep yang abstrak bagi mencapai semua hasil pembelajaran yang telah
ditetapkan dalam sukatan pelajaran matematik bagi topik “Bumi Sebagai
Sfera”.
ISI
Kajian yang dihasilkan ini berkaitan dengan kreativiti dalam pedagogi
matematik dan juga Teknologi Maklumat dan Komunikasi yang bersesuaian
sekali dengan konteks pendidikan abad ke-21. Pedagogi yang dikemukakan ini
lebih kepada pengaplikasian perisian The Geometer's Sketchpad (GSP) versi
4.06. GSP ini, merupakan salah satu perisian yang telah mendapat lesen
daripada Kementerian Pelajaran Malaysia (KPM) untuk diguna pakai oleh
warga pendidik di bawah KPM dan direka khusus untuk pengajaran dan
pembelajaran matematik, terutamanya dalam bidang geometri. Menurut Noraini
Idris (2007) perisian GSP merupakan satu perisian dinamik yang membolehkan
pelajar menyiasat, meneroka dan memahami matematik dengan cara berbeza
yang tidak mungkin dapat dilakukan oleh kemudahan tradisional atau perisian
Matematik lain. Hal sedemikian juga selari dengan pendapat Langhorne et al.
(1989), iaitu penggunaan komputer secara bersepadu dan kreatif merupakan
satu alat yang amat berkesan bagi mempelajari matematik terutama apabila
ianya melibatkan konsep yang agak kompleks. Seterusnya beliau
mencadangkan agar komputer sepatutnya disepadukan dalam arahan
matematik bagi membolehkan pelajar mempelajari konsep matematik dengan
lebih cepat dan kurang masa diperuntukkan untuk mempelajari matematik
tetapi lebih masa untuk membuat matematik.
Kebiasaannya pengajaran dan pembelajaran (P&P) matematik dalam
bilik darjah berlaku secara satu hala sahaja, iaitu secara talk and chalk, di
mana guru lebih banyak bercakap dan pelajar lebih banyak mendengar. Tetapi
dengan terhasilnya kajian ini, P&P boleh berlaku secara dua hala, di mana guru
bertindak sebagai fasilitator dan para pelajar akan meneroka sendiri secara
hands-on sehingga mencapai hasil pembelajaran yang diharapkan. P&P
sebeginilah yang diharapkan dalam pedagogi abad ke-21. Selain itu, sebelum
ini guru juga banyak menggunakan papan hitam dan kapur tulis sahaja semasa
menyampaikan isi pelajaran, tetapi hal ini dapat dikurangkan kerana para guru
dan pelajar dapat mengaplikasikan P&P melalui pelbagai peralatan canggih
yang telah banyak dan mudah diperoleh di pasaran masa kini seperti
komputer, ipad, tablet, LCD projektor, handphone dan sebagainya.
Perisian The Geometer's Sketchpad (GSP) versi 4.06

1301
The Geometer’s Sketchpad (GSP) ialah suatu sistem perisian komputer
yang dibina untuk mereka bentuk, meneroka dan menganalisis konsep
matematik yang luas dalam bidang algebra, geometri, trigonometri, kalkulus
dan lain-lain bidang yang bersesuaian. Pada asalnya perisian GSP telah
dibangunkan oleh Nick Jackiw pada tahun 1991. Seterusnya, pada tahun 2004,
perisian GSP versi 4.06 telah dikeluarkan lesen penggunaannya oleh
Kementerian Pelajaran Malaysia (KPM) untuk diguna pakai oleh warga
pendidik dan pelajar di semua institusi pendidikan di Malaysia. Sehubungan itu,
sila rujuk kenyataan berkaitan dengan lesen penggunaannya melalui perisian
GSP 4.06 (rujuk Rajah 2).

Rajah 2.
Perisian The Geometer’s Sketchpad 4.06 dan Kebenaran Aplikasi Oleh KPM
Pedagogi Topik “Bumi Sebagai Sfera” Melalui Aplikasi GSP 4.06
Dalam tajuk “Bumi Sebagai Sfera” terdapat empat objektif pembelajaran
yang perlu dicapai oleh para pelajar. Antaranya Memahami dan Menggunakan
Konsep Longitud, Memahami dan Menggunakan Konsep Latitud, Memahami
dan Menggunakan Konsep Kedudukan Tempat dan Memahami dan
Menggunakan Konsep Jarak Pada Permukaan Bumi untuk Menyelesaikan
Masalah. Huraiannya adalah seperti berikut:
Memahami dan Menggunakan Konsep Longitud
Satu modul pengajaran telah dihasilkan bagi menjelaskan konsep bulatan
agung, meridian dan longitud yang terdapat pada permukaan bumi.
Berpandukan modul ini (rujuk Rajah 3), para pelajar boleh menggunakan
komputer dan perisian GSP 4.06 untuk meneroka sendiri sehingga dapat
memahami dengan jelas konsep bulatan agung, meridian dan longitud pada
permukaan bumi dan seterusnya dapat menyelesaikan masalah berkaitan
dengan longitud.

1302
Rajah 3.
Modul Untuk Menentukan Longitud Bagi Sesuatu Titik
Memahami dan Menggunakan Konsep Latitud
Satu modul pengajaran telah dihasilkan bagi menjelaskan konsep
selarian latitud dan latitud yang terdapat pada permukaan bumi. Berpandukan
modul ini (rujuk Rajah 4), para pelajar boleh menggunakan komputer dan
perisian GSP 4.06 untuk meneroka sendiri sehingga dapat memahami dengan
jelas konsep selarian latitud dan menentukan latitud pada permukaan bumi dan
seterusnya dapat menyelesaikan masalah berkaitan dengan latitud.

1303
Rajah 4.
Modul Untuk Menentukan Latitud Bagi Sesuatu Titik
Memahami dan Menggunakan Konsep Kedudukan Tempat Satu modul
pengajaran telah dihasilkan bagi menjelaskan konsep Kedudukan Tempat yang
terdapat pada permukaan bumi. Berpandukan modul ini (rujuk Rajah 5) para
pelajar boleh menggunakan komputer dan perisian GSP 4.06 untuk meneroka
sendiri sehingga dapat memahami dengan jelas konsep kedudukan sesuatu
tempat pada permukaan bumi dan seterusnya dapat menyelesaikan masalah
berkaitan dengannya.

1304
Rajah 5.
Contoh Modul Menyatakan Kedudukan Suatu Titik
Memahami dan Menggunakan Konsep Jarak Pada permukaan Bumi
Satu modul pengajaran telah dihasilkan bagi menjelaskan konsep jarak pada
permukaan bumi. Berpandukan modul ini (rujuk Rajah 6).

1305
Rajah 6.
Modul Mencari Jarak Antara Dua Titik

Para pelajar boleh menggunakan komputer dan perisian GSP 4.06 untuk
meneroka sendiri sehingga dapat memahami dengan jelas konsep jarak dua
tempat pada permukaan bumi dan seterusnya dapat menyelesaikan masalah
berkaitan dengan jarak pada pada permukaan bumi. Seterusnya para pelajar
menggunakan formula bagi menyelesaikan masalah berkaitan dengan halaju
dan masa perjalanan antara dua titik pada permukaan bumi (rujuk Rajah 7).

1306
Rajah 7.
Penyelesaian Masalah Melalui GSP 4.06

1307
Pelaksanaan Kajian Tindakan

Guru Mengajar
Penulisan Pelaksanaan
Bumi Sebagai Sfera
Proposal Post-Test
Menggunakan GSP

Semakan Bengkel
Analisis Keputusan
Proposal Penggunaan GSP

Pembentangan Pelaksanaan
Laporan Analisis
Proposal Pre-Test

Kemaskini Proposal Bina Soalan Penulisan Laporan


Cetakan Laporan
Selepas di Bentang Pre-Test Kajian Tindakan

Perjumpaan Guru Mengajar


dengan Guru untuk Tajuk "Bumi Pembentangan Pengeditan
Perancangan Sebagai Sfera" Laporan Kajian Laporan Kajian
Pelaksanaan di Dengan Kaedah Tindakan Tindakan
SMKSB Konvensional

Aktiviti di Sepanjang Pelaksanaan Kajian

1308
SIMPULAN
Hasil kajian menunjukkan bahawa markah min skor pelajar sebelum
inovasi diperkenalkan ialah 30.21%, manakala selepas inovasi dijalankan,
markah min skor pelajar telah meningkat kepada 51.50%, iaitu peningkatan
sebanyak 21.29%. Daripada markah yang diperoleh ini, jelas menunjukkan
bahawa inovasi terkini yang telah diperkenalkan ini dapat meningkatkan
penguasaan konsep longitud, latitud, jarak antara dua tempat pada permukaan
bumi, halaju perjalanan dan sebagainya dalam topik ”Bumi Sebagai Sfera”. Hal
ini sekaligus meningkatkan skor pencapaian matematik bagi tajuk ”Bumi
Sebagai Sfera”. Manakala, dari segi masa pula terdapat perbezaan yang ketara
antara masa yang diambil oleh para pelajar untuk menjawab soalan, iaitu
penjimatan masa sebanyak 20.71 minit. Semasa pre test, min masa yang
dicatat untuk menjawab soalan ialah 64.64 minit, tetapi setelah inovasi
diperkenalkan, min masa yang dicatat oleh pelajar ialah 43.93 minit (rujuk
Rajah 8). Dalam hal ini, sudah tentu akan memberi banyak manfaat kepada
para pelajar, kerana terdapat lebihan masa dan seterusnya masa tersebut
boleh digunakan untuk membuat semakan jawapan atau boleh diperuntukkan
untuk menjawab soalan-soalan lain semasa peperiksaan berlangsung.

1309
Rajah 8.
Perbandingan Skor dan Masa Antara Pre-Test dan Post-Test
DAFTAR RUJUKAN
Enthira & Melody Yeo. (2012). Mathematical - Expert @ Cerdik. Shah Alam:
Cerdik Publication Sdn. Bhd.
Kertas Soalan Peperiksaan Tahun-tahun Lepas SPM 2005-2011 Mathematics.
(2012). Petaling Jaya. Sasbadi Sdn. Bhd.
Key Curriculumn Bringing Math to life. Diperolehi Julai 22, 2012 dari
http://www.keycurriculum.com/products/sketchpad.
Mohd Azrone Sarabatin (2012, Ogos 24). Sekolah perlu lapor PPD masalah
ICT. Berita Harian. hlm 14.
Najib Razak. (2012, Mac 14). PM mahu perubahan aspek mengajar dan cara
belajar sejajar tranformasi negara. Berita Harian.
Najib Razak. (2010). Majlis Pelancaran Buku Laporan Tahunan GTP 2010.
Diperolehi Mac Mac 14, 2012 dari
http://portal.ikdn.gov.my/2011/03/majlis-pelancaran-buku-laporan-
tahunan-gtp-2010/.
Nor Hayati Hj Mt Ali, Azizah Aziz dan Azman Fadzil. (2012). Aplikasi GSP 4.06:
Bumi Sebagai Sfera. Modul Pengajaran dan Pembelajaran tidak
diterbitkan. Institut Pendidikan Guru Kampus Darulaman, Jitra, Kedah.
Rozaili Mohd Ali. (2006). Mathematics Form 5. Selangor: Awan Metro (M) Sdn.
Bhd.
SPM Mathematics Topical Past Year Questions 2003 – 2011. (2012). Sabah:
KNK Resources Enterprise.
Spesifikasi Kurikulum Matematik Tingkatan 5. (2012). Kuala Lumpur:
Kementerian Pelajaran Malaysia.

1310
MENINGKATKAN KEAKTIFAN SISWA DALAM PEMBELAJARAN
MATEMATIKA MENGGUNAKAN KARTU DOMINO
1)
Suci Hayati & 2)Irzal Anderson
Universitas Jambi
E-mail: 1)suci_hayati01@yahoo.com
Abstract
Math we use in everyday life. Realizing how close the math in everyday life,
because it is important to learn. Learning math need to be designed with the
creative so that students can attend fun learning situation. One that can be
used to encourage students active in learning by using media dominoes. This
article is written from the results of a classroom action research that has been
done in October of the academic year 2011/2012 in the class IV SDN 80/1
Muara Bulian, which consists of three cycle. every cycle includes planning,
implementation, observation, evaluation, and reflection. This study shows that
the dominoes can enhance the activity of students in the learning process of
mathematics.
Keywords: active students, learning mathematics, dominoes
PENDAHULUAN
Pembelajaran matematika sering dianggap sulit bagi siswa, siswa sering
merasa bosan dan tidak dapat berkonstrasi dalam pembelajaran matematika,
siswa melakukan kegiatan yang lain ketika proses pembelajaran berlangsung
sehingga guru tidak dapat menyampaikan materi secara maksimal.
supaya dalam pembelajaran matematika siswa dapat mengikuti
pembelajaran guru harus bisa mengetahui gaya belajar siswa. Menurut (Chatib,
2012:75)bahwa gaya belajar adalah respons yang paling peka dalam otak
seseorang untuk menerima data atau informasi dari pemberi informasi dan
lingkungannya. Informasi akan lebih cepat diterima otak jika sesuai dengan
gaya belajar penerima informasi. Jika metode guru mengajar sesuai dengan
gaya belajar siswa dia akan memahami materi dengan baik, begitu juga
dengan pembelajaran matematika. Karena itulah memahami teori tentang
bagaimana orang belajar serta kemampuan menerapkannya dalam pengajaran
matematika merupakan persyaratan penting untuk menciptakan proses
pembelajaran matematika yang efektif.
Secara psikologis siswa sekolah dasar masih senang dengan permainan.
Karenanya kita perlu menjembatani dengan peralatan-peralatan yang kongkrit.
Benda-benda manipulatif membantu cara belajar mereka memahami konsep-
konsep yang abstrak. Berbagai media belajar digunakan untuk membantu
murid memahami konsep-konsep matematika ataupun fakta-fakta, prosedur,
maupun operasi dalam matematika (Turmudi, 2012:13).
Kartu domino adalah salah satu media pembelajaran yang dapat
digunakan untuk meningkatkan keaktifan siswa. kartu domino dirancang untuk
menjadikan siswa aktif dalam pembelajaran matematika. Sehingga
pembelajaran akan bermakna. Siswa juga akan menjadi kreatif mengerjakan
masalah perkalian dengan menggunakan kelompok-kelompok kecil. Sehingga

1311
dengan menggunakan kartu domino dalam pembelajaran siswa dapat belajar
dengan situasi yang menyenangkan dan motivasi yang tinggi.
KEAKTIFAN DALAM MATEMATIKA
Mengacu kepada UU No 20 tahun 2003 pasal 1 ayat 1 dan 2 bahwa;
(1) Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan
yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. (2) Pendidikan
nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai
agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan
perubahan zaman.
Terlihat dari hal di atas terlihat bahwa pendidikan mensyaratkan peserta
didik aktif dalam proses pembelajran, berdasarkan pancasila, UUD tahun 1945
yang berasal dari nilai-nilai agama, dan kebudayaan nasional untuk tanggap
dalam perubahan zaman. Vygotsky (suryadi,2012:28) menjelaskan bahwa
proses belajar terjadi pada dua tahap: tahap pertama terjadi pada saat
berkolaborasi dengan orang lain, dan tahap berikutnya dilakukan secara
individual yang di dalamnya terjadi proses internalisasi. Selama proses
interaksi terjadi baik antara guru-siswa maupun antar siswa, kemampuan
berikut ini perlu dikembangkan: saling menghargai, menguji kebenaran
pernyataan fihak lain, bernegosiasi, dan saling mengadopsi pendapat yang
berkembang.
Kegiatan cendrung sukses jika siswa berbuat atau melakukan kegiatan
yang nyata dalam kegiatan belajar, karena itu pembelajaran dilaksanakan
untuk membuat siswa aktif. Pembelajaran aktif menekankan kepada
pengalaman itu mengahsilkan produk atau hasil belajar, diekspresikan dalam
unjuk kerja atau performance dan menunjang perilaku sikap dan nilai yang baik
(Belen, 2007:2010).
STRATEGI PEMBELAJARAN MENGGUNAKAN KARTU DOMINO
Untuk menarik minat siswa dalam belajar matematika permainan kartu
domino ini memiliki peranan yang baik. Misalnya kartu domino untuk hafal fakta
dasar penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian, kartu domino
untuk memahami pecahan belajar mensubsitusi, dan menghafal bangun-
bangun geometri. Banyaknya kartu dalam satu set disesuaikan dengan
keperluan, yang penting bila kartu dimainkan seseorang dan semua kartu
tersebut disambung-sambungkan menurut aturan permainannya kartu tersebut
akan melingkar berupa lingkaran tertutup sederhana (Darhim, 1992: 314).
Adapun langkah-langkah dalam pembelajaran dengan menggunakan
kartu domino sebagai berikut: (1) pada awal kegiatan guru mengucapkan
salam, dan dilanjutkan dengan kegiatan absensi, apersepsi, eksplorasi
pengalaman siswa yang berhubungan dengan perkalian yang mereka alami
dalam kehidupan sehari-hari, setelah itu guru memberi siswa motivasi tentang
pentingnya belajar perkalian; (2) guru menyampaikan tujuan pembelajaran; (3)
guru menyajikan materi perkalian dan menyampaikan bahwa peserta didik
akan belajar menggunakan kartu domino; (4) siswa dibagi dalam kelompok
1312
kecil, setiap kelompok terdiri dari 4-5 orang; (5) guru membagikan satu set
kartu domino pada setiap kelompok; (6) setiap kelompok aktif dalam belajar
menggunakan kartu domino; (7) permainan dapat diulang, setelah kartu domino
dikocok kembali;(8) guru mengumpulkan kartu tiap kelompok; (9) untuk melihat
keberhasilan dalam pembelajaran guru memberikan kuis kepada setiap
individu.
Pada prinsipnya perkalian sama dengan penjumlahan berulang, karena
itu materi prasyarat yang harus dikuasi siswa sebelum mempelajari perkalian
adalah penguasaan penjumlahan (Heruman, 2007:22). Dapat dilihat seperti
contoh dibawah ini:
1. 2 x 3= 3 + 3 =6
2. 5 x 4= 4+4+4+4+4=20
3. 6 x 7= 7+7+7+7+7+7=42
4. 2 x 11= 11+11= 22

2x3 42 6x7 22
Contoh kartu domino untuk pemahaman perklaian
HUBUNGAN KARTU DOMINO DAN KEAKTIFAN SISWA DALAM BELAJAR
MATEMATIKA
Pembelajaran matematika di SD dapat dilaksanakan dengan
memperhatikan hal-hal berikut; a) Mulailah dari apa yang diketahui anak, bukan
dari apa yang diketahui guru pengalaman dan pengamatan siswasehari-hari
dapat dijadikan pijakan awal untuk mereka belajar matematika; b)Sajikan
matematika dalam suasana menyenangkan, ditinjau dari sudut pandang
psikologi pendidikan, menyajikan matematika dalam suasana menegangkan
atau menakutkan tidak menguntungkan dalam mengundang potensi intelektual
siswauntuk belajar secara optimal; c) Beri siswa kesempatan sebanyak-
banyaknya untuk berbicara, bekerja, dan menulis mengenai matematika,
Berbicara, menulis, dan bekerja dalam bahasa dan cara mereka sehari-hari
mengenai matematika bisa membantu meningkatkan pemahaman konsep-
konsep abstrak matematika. Jika suatu fakta diperoleh siswamelalui bahasa
dan pengalaman mereka merupakan cara yang ampuh untuk memahami
konsep atau proses; d) Gunakan bahasa yang biasa (familier bagi anak)
sebagai strategi awal; e). Padukan matematika dengan pelajaran lain; f)
Manfaatkan rekayasa teknologi (kalkulator dan komputer); g) Gunakan media
pembelajaran yang mudah diperoleh dan menarik; h) Biasakan menyelesaikan
suatu permasalahan dengan pendekatan problem solving (Herman, 2008).
Salah satu tujuan pengajaran matematika di sekolah adalah membentuk
siswa agar mampu berpikir logis, sistematis, kritis, dan kreatif. Pendekatan
problem solving dalam belajar matematika akan melatih siswa untuk berpikir
efektif dan strategis dalam menyelesaikan permasalahan. Oleh karena itu untuk
membentuk nalar siswa dalam menganalisis dan menjawab permasalahan-
permasalahan, kemampuan siswa dalam Pengajaran efektif adalah pengajaran
yang menyediakan kesempatan bagi siswa Johson dan Rising (Darhim,
1992:6).

1313
Terlihat dari hal di atas bahwa pembelajaran matematika dimulai dengan
kesiapan guru dapat meulai dari hal-hal yang disekitar siswa. Pembelajaran
mensyaratkan peserta didik dapat aktif, dan juga menggunakan media yang
membuat pembelajaran lebih menarik dan menyenangkan, karena itu media
kartu domino dapat digunakan dalam pembelajaran matematika sekolah dasar.
METODELOGI PENELITIAN
Penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas yang dilaksanakan selama
tiga siklus. Setiap siklus terdiri dari empat tahapan; yaitu perencanaan,
pelaksanaan, observasi dan refleksi. Dimana setiap kali siklus berakhir peneliti
melakukan refleksi bersama dengan guru kalaborator untuk mendiskusikan
perbaikan untuk siklus berikutnya.
Kehadiran peneliti adalah sebagai pelaksana perencana, dan pelaksana
penelitain selama kegiatan penelitian tindakan kelas tersebut yang didampingi
oleh guru kalaborator sebagai observer dalam setiap kali pembelajaran
matematika menggunakan kartu domino.
Subyek penelitian ini adalah siswa kelas IV SDN 80/1 Batanghari yang
terdiri dari 20 orang, 10 orang siswa lelaki dan 10 orang siswa perempuan.
Mereka berada pada usia 9-10 tahun.
Penelitian ini dilakukan pada tahun ajaran 2011/2012 pada kompetensi
perkalian di SDN 80/1 Batanghari yang terletak di Kecamatan Muara Bulian.
Dalam kegiatan penelitian tindakan kelas ini keaktifan siswa dilakukan
dengan melakukan observasi kepada setiap siswa dengan menggunakan
instrumen keaktifan siswa sebagai berikut:
Tabel 1.
Indikator Keaktifan Siswa

No. Indikator Keaktifan Deskriptor Skor


1. Siswa bertanya 1. Siswa tidak bertanya 0
2. Siswa bertanya tidak sesuai dengan 1
materi
3. Siswa bertanya tidak tepat, sudah 2
mengarah kepada materi
4. Siswa bertanya sesuai dengan 3
materi, masih grogi
5. Siswa bertanya dengan benar 4
2 Mencari Hasil 1. Siswa tidak mencari perkalian yang 0
Perkalian ada pada kartu domino
2. Siswa mencari perkalian, hasil 1
salah, waktu mengerjakan lama
3. Siswa mencari hasil perkalian, hasil 2
benar waktu mengerjakan lama
4. Siswa mencari hasil perkalian, hasil 3
benar, waktu tepat
5. Siswa mencari hasil perkalian 4
benar, waktu cepat

1314
No. Indikator Keaktifan Deskriptor Skor
3 Berdiskusi 1. Siswa tidak ikut berdiskusi 0
2. Siswa ribut pada waktu berdiskusi 1
3. Siswa ikut berdiskusi, tidak 2
mengeluarkan pendapat
4. Siswa ikut berdiskusi dan 3
mengeluarkan pendapat
5. Siswa berantusias dalam 4
berdiskusi, mengeluarkan
pendapat, dan dapat meecahkan
permasalahan yang didiskusikan
4. Melaporkan Hasil 1. Siswa tidak melaporkan hasil kuis 0
Kuis 2. Siswa melaporakan nilai di bawah 1
65
3. Siswa melaporakan nilai 65-69 2
4. Siswa melaporakan nilai 70-79 3
5. Siswa melaporakan nilai diatas 4
80
5 Menyimpulkan 1. Siswa tidak dapat menyimpulkan 0
Pelajaran pelajaran
2. Siswa menyimpulkan pelajaran tidak 1
sesuai dengan materi pelajaran
3. Siswa menyimpukan materi sesuai 2
dengan materi tetapi masih terdapat
kesalahan
4. Siwa menyimpulkan benar masih 3
grogi
5. Siswa menyimpulkan pelajaran 4
dengan benar

Pada penelitian ini selain melihat aktivitas siswa untuk diperbaiki di setiap
siklus akan tetapi juga melihat perlakuan guru untuk diperbaiki dalam setiap
siklusnya, berikut adalah lembaran kegiatan guru yang diamati oleh guru
kalaborator:
Tabel 2.
Observasi Kegiatan Guru

No. Indikator Deskriptor Skor


1. Kegiatan 1. Guru tidak membuka pelajaran 0
pembuka belajar 2. Guru membuka pelajaran dengan 1
siswa langsung kepada materi
3. Guru membuka pelajaran dengan 2
salam dan apersepsi akan tetapi tidak
sesuai

1315
4. Guru membuka pelajaran dengan 3
salam, menggunakan apersepsi yang
sesuai, saat menyamapaikan guru
tidak memotivasi siswa
5. Guru membuka pelajaran dengan 4
salam, menggunakan apersepsi yang
sesuai, saat menyamapaikan guru
memotivasi
2 Kegiatan guru 1. Guru tidak mengamati siswa 0
ketika siswa 2. Guru mengamati siswa dari depan 1
bermain domino kelas
3. Guru berkeliling mengamati siswa 2
bermain di dalam
4. Guru mengamati dan melihat 3
kemampuan siswa perindividu pada
tiap kelompok
5. Guru mengamati dan melihat 4
kemampuan siswa perindividu pada
tiap kelompok dan sesekali berdiskusi
dengan siswa yang belum paham
3 Komunikasi guru 1. Guru hanya diam ketika siswa 0
dengan siswa bertanya
2. Guru mendengarkan tapi tidak 1
menanggapai pertanyaan siswa
3. Guru mendengarkan dan 2
menanggapai pertanyaan siswa, akan
tetapi siswa tidak mengerti dengan
jawaban guru
4. Guru mendengarkan dan 3
menjelaskan jawaban sampai siswa
memahami
5. Guru mendengarkan dan 4
menjelaskan jawaban sampai siswa
memahami, dan menumbuhkan
motivasi untuk memecahkan masalah
yang sama
4. Kegiatan 1. Guru tidak memberikan penguuatan, 0
Penutup dan umpan balik terhadap siswa.
2. Guru memberikan penutup yang tiak 1
sesuai dengan materi pelajaran
3. Guru meminta siswa menyimpulkan 2
materi, akan tetapi guru tidak
mempedulikan kesalah siswa dalam
menyimpulkan.
4. Guru memberikan penguatan kepada 3
siswa dengan meminta siswa
menyimpulkan serta guru memberikan
1316
konfirmasi yang benar
5. Guru memberikan penguatan kepada 4
siswa dengan meminta siswa
menyimpulkan, guru memberikan
konfirmasi serta motivasi untuk siswa
tetap belajar

HASIL PENELITIAN
Dari penelitian yang dilakukan dalam tiga siklus ini peneliti merekapitulasi
menganai keaktifan siswa dan hasil belajar siswa agar diketahui bahwa dengan
meningkatkan aktivitas siswa juga berpengaruh terhadap hasil belajar siswa,
yang akan disajikan pada tabel di bawah ini;
Tabel 3.
Rekapitualsi Keaktifan Siswa di Setiap Siklus

No. jenis kegiatan siklus I siklus II siklus III


% skor % skor % sko
r
1. siswa bertanya 36% E 70% B 84% B
2. jumlah siswa yang 60% C 72% B 83% B
mencari perkalian
3. berdiskusi 53% C 73% B 76% B
4. melaporkan hasil 78% B 73% B 81% B
latihan
5. refleksi dengan 64% C 73% B 89% A
menyimpulkan
pelajaran

Penskoran:
0-39,9% : sangat kurang (E)
40-54,9% : kurang (D)
55-69,9 % : cukup (C)
70-84,5% : baik (B)
85-100% : sangat baik (A)
Tabel 4.
Rekapitulasi Hasil Belajar Siswa

No. Tingkat prediket jumlah siswa ditiap siklus


Penguasaan siklus I siklus II siklus III
1. 86-100% sangat baik 15 14 17
2. 76-85% baik 2 2 1
3. 60-75% cukup 3 6 4
4. 55-59% kurang - - -
5. ൑54% kurang sekali 2 - -
rata-rata nilai kelas 87 90 91
jumlah siswa yang tuntas 20 22 22
1317
SIMPULAN
Kartu domino merupakan media pembelajaran yang dapat dirancang dan
dipersiapkan sendiri untuk maksud dan tujuan yang sesuai dengan
pembelajaran. Penggunaan media yang sesuai dan tepat, dapat memberikan
pengalaman belajar yang dapat meningkatkan daya ingat, konsentrasi, dan
kemauan belajar pada peserta didik sehingga peserta didik untuk aktif dalam
pembelajaran.
DAFTAR RUJUKAN
Belen, S. (2007). Kompetensi, Indikator dan Penilaian Dalam Belajar Aktif
KTSP Dasar Pemahaman dan Pengembangan. Jakarta:Bumi Aksara
Chatib, M. (2012). Sekolah Anak-Anak Juara Berbasis Kecerdasan Jamak dan
Pendidikan berkeadilan. Jakarta: kaifa
Darhim. (1992). Workshop Matematika. Jakarta: Universitas Terbuka
Heruman. (2010). Model Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar.
Bandung:Rosdakarya
Herman, T. (2004). Tren pembelajaran matematika pada era informasi global:
[Online]. Tersedia di http\\192.168.8.203\upi\direktori\d - fpmipa\fak. pend.
matematika dan ipa\tatang herman\artikel\artikel18.doc 13 [Diakses 17
Oktober 2013]
Suparlan. (2009). PAKEM. Bandung: Rosdakarya.
Suryadi, D. (2012). Membangun Budaya Baru dalam Berpikir Matematika,
Bandung:Rizqi
Turmudi.(2012). Matematika Landasan Filosofis, Didaktis, dan Pedagogis
Pembelajaran Matematika Untuk Siswa Sekolah Dasar.Jakarta:
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Kementerian Agama RI
UU No.20 tahun 2003 Pasal 1 ayat 1 dan 2 tentang sistem pendidikan nasional

1318
IMPLEMENTASI KECERDASAAN KINESTETIK ANAK USIA DINI
MELALUI PEMBELAJARAN TARI ANAK NUSANTARA
I Gusti Komang Aryaprastya Agus, S.Pd., M.Hum.
Universitas Pendidikan Indonesia
Abstract
Increasing success kinesthetic intelligence makes the future of the child to be
more cheerful, because children who have experienced an increase kinesthetic
intelligence, making children healthier, easy to adjust and full of confidence.
Moreover, from an early age has been equipped with a dance experience that
will have an impact on the flexibility of all the organs of the body, strengthens
muscles and respiratory and Courageous. Kinesthetic intelligence is the ability
to use all or part of the body to do something, build closeness to consolidate
and convincingly, and support others, and using it to create a new form of
expression. Some types of jobs requiring this intelligence is mechanical,
trainers, craftsmen, athletes, actors, and dancers or choreographers. Children
as the next generation in the arts tend to be not so familiar with the art tradition.
They prefer movement new dances to the accompaniment of music dangdut
and western songs with fashion Nudity and not in accordance with the ethics of
oriental. To anticipate the boost interest and dancing talents in children should
be fostered, nurtured and nurtured from an early age. This kindergarten is one
of the appropriate container to introduce and develop the art of dance in
Indonesia. Children as the future generation, preferably at an early age
introduced various types of traditional arts in Indonesia is very rich. One
solution offered by lifting Dance Archipelago as a material to be used as the
theme of an interesting learning in kindergarten.
Keywords: kinesthetic intelligence, kids dance archipelago, and early
childhood
PENDAHULUAN
Anak usia dini merupakan anak berada pada masa peka, dimana anak
mulai sensitif untuk menerima berbagai upaya pengembangan seluruh
potensinya. Masa peka merupakan masa terjadinya pematangan fungsi-fungsi
fisik maupun psikis yang siap merespon rangsangan yang diberikan oleh
lingkungan, baik keluarga maupun sekolah. Masa peka ini dijadikan dasar
dalam mengembangkan kemampuan fisik, motorik, kognitif, bahasa, sosial
emosional, nilai agama, moral, dan seni. Oleh karena itu, diperlukan
rangsangan yang sesuai dengan kebutuhan anak agar kebutuhan dan
perkembangan anak dapat tercapai secara optimal.
Masa prasekolah merupakan masa yang paling ideal untuk tahap
pertumbuhan dan perkembangan anak, baik dalam perkembangan fisik, emosi,
persepsi, keluwesan, estetik dan kreativitas. Salah satu dalam perkembangan
yang harus dimiliki oleh anak yaitu perkembangan estetik atau seni. Seperti
yang dikemukan oleh Juju Masunah (2003) dalam tujuan pendidikan seni
adalah “untuk menumbuhkan kemampuan mengapresiasi seni dan budaya bagi
peserta didik. Melalui pendidikan seni fisik dan psikis siswa dapat dibantu
perkembangannya secara seimbang. Selain itu diharapkan sikap apresiatif
1319
masyarakat, khususnya generasi muda dapat ditumbuhkan terhadap segala
sesuatu mengenai seni budaya”.
Perkembangan seni merupakan salah satu aspek untuk menumbuhkan
potensi diri secara lebih utuh baik dalam menuangkan daya cipta kreasinya,
gagasan, sensitivitas dan rangsangannya guna untuk melatih anak dalam
kepekaan serta imajinasinya. Pentingnya perkembangan seni adalah untuk
mengkomunikasikan bahasa seninya dan menjadikan anak lebih kreatif,
dengan demikian perkembangan seni perlu dikembangkan sejak usia dini.
Salah satu penunjang penting untuk perkembangan seni anak dengan cara
memberikan rangsangan atau stimulus berupa pengalaman tari. Berdasarkan
kategorinya ada empat pengalaman tari untuk anak usia dini, Richard Kraus
(Juju Masunah, 2003) menyarankan bahwa :
1). Creative movement and movement skills, (gerak kreatif dan
kemampuan gerak), 2). Rhythmic skills (related primarily to musical
understandings and rhythmic competence), (kemampuan rhytmik), 3). The
development of original individual or group dances, (pengembangan tari
secara individu dan kelompok), 4). Learning dances, such as singing
games, play parties, and folk and square dances. (belajar menari, nyanyian
permainan, permainan, dan tari rakyat).
Permasalahan di lapangan ditemukan bahwa pendidik anak usia dini
pada umumnya, lebih suka melakukan kegiatan pembelajaran yang
memfokuskan kegiatannya pada pengembangan kecerdasaan linguistik dan
kecerdasaan logika. Kenyataan demikian ini terlihat pada sebagian besar
pendidik anak usia dini pada kegiatan pembelajarannya, sebut saja baca, tulis
dan hitung, yang menjadi model pembelajaran primadona pada sebagaian
lembaga PAUD. Stimulasi pengalaman tari menurut sebagian besar pendidik
usia dini belum dipahami benar manfaat dan tujuan yang sebenarnya di PAUD.
Padahal tujuan pembelajaran tari di PAUD untuk mengembangkan segala
aspek kognitif, bahasa, sosial, emosional dan nilai moral, terlebih pada aspek
psikomotor halus dan psikomotor kasar. Keberhasilan anak TK dalam
menyelesaikan tugas melakukan gerakan psikomotor kasar (menari) yang
diberikan oleh guru dengan tepat dan efisien, hal ini dapat dikatakan bahwa
siswa telah mencapai peningkatan kecerdasaan kinestetik. Kenyataan di
lapangan yang terjadi di TK Labschool UPI, kegiatan pembelajaran tari anak
yang bertema Nusantara dirasakan kurang maksimal, hal ini dikarenakan
pembelajaran yang mefokuskan untuk kecerdasaan kinestetik terpusat pada
pembelajaran senam dan pencak silat. Berdasarkan uraian di atas, maka
penulis memiliki ketertarikan untuk memilih fokus kajian ini adalah
“Implementasi Kecerdasaan Kinestetik Anak Usia Dini Melalui Pembelajaran
Tari Anak Nusantara”
Berdasarkan penjelasan di atas ternyata, kecerdasaan kinestetik yang
merupakan bagian dari 8 kecerdasaan, yang masih jarang menjadi pusat
perhatian oleh pendidik anak usia dini. Padahal menurut Gardner, masih
banyak kecerdasaan lain yang perlu dikembangkan sejak usia dini. Gardner,
menjelaskan berbagai jenis kecerdasaan diantaranya : kecerdasaan lingustik,
kecerdasaan logika, kecerdasaan musikal, kecerdasaan spasial, kecerdasaan
interpersonal, kecerdasaan intrapersonal, kecerdasaan naturalis, dan
kecerdasaan kinestetik. Kecerdesaan kinestetik merupakan kecerdasaan

1320
kemampuan untuk menggunakan seluruh atau sebagian dari tubuh untuk
melakukan sesuatu, membangun kedekatan untuk mengkonsolidasikan dan
menyakinkan serta mendukung orang lain, dan menggunakannya untuk
menciptakan bentuk ekspresi baru. Beberapa jenis pekerjaan yang
membutuhkan kecerdasan ini adalah mekanik, pelatih, pengrajin, atlet, aktor,
dan penari atau koreografer (Gardner, 2003).
Selanjutnya Suyadi, meningkatnya kecerdasaan kinestetik akan
memperkuat rasa percaya diri pada anak, sehingga tertanam dalam hati
mereka bahwa dirinya sanggup melakukan pekerjaan apa pun dengan hasil
yang baik. Perasaan demikian akan mendorong anak melakukan berbagai
aktivitas pembelajaran dengan penuh semangat dan rasa senang. Bahkan,
anak mempunyai optimisme keberhasilan terhadap segala bentuk usaha yang
dilakukan (Suyadi, 2009: 264). Suyadi menjelaskan, keberhasilan
meningkatnya kecerdasaan kinestetik menjadikan masa depan anak menjadi
lebih ceria, karena anak yang telah mengalami peningkatan kecerdasaan
kinestetik, membuat anak lebih sehat, mudah menyesuaikan diri dan penuh
kepercayaan diri. Terlebih sejak usia dini telah dibekali dengan pengalaman
menari yang akan berdampak pada kelenturan seluruh organ anggota tubuh,
memperkuat otot dan pernafasan serta berjiwa pemberani (Suyadi, 2009 : 264).
KECERDASAN KINESTETIK ANAK USIA DINI
Kecerdasan kinestetik menurut Musfiroh (2004:69) dalam Wiwiek Waqi’ah
(2011 : 18 ) adalah berkaitan dengan kemampuan menggunakan gerak seluruh
tubuh untuk mengeksperisikan ide dan perasaannya serta keterampilan
mempergunakan tangan untuk menciptakan atau mengubah sesuatu.
Kecerdasan ini meliputi kemampuan fisik yang spesifik seperti koordinasi,
keseimbangan, keterampilan, kekuatan, kelenturan, kecepatan, dan keakuratan
menerima rangsang, sentuhan, dan tekstur. Menurut Gardner (musfiroh,
2004:71) kecerdasan ini memiliki wujud relatif bervariasi, bergantung pada
komponen-komponen kekuatan dan fleksibilitas serta domain seperti tari dan
olah raga. Kecerdasan kinestetik menurut Faruq (2007:3) adalah kemampuan
menyelaraskan pikiran dengan badan sehingga apa yang dikatakan oleh
pikiran akan tertuang dalam bentuk gerakan-gerakan badan yang indah, kreatif,
dan mempunyai makna. Definisi ini selaras dengan pendapat Campbell dalam
Faruq (2007:3) yang mengatakan bahwa: “Sebuah keselarasan antara pikiran
dan tubuh, dimana pikiran dan tubuh, dimana pikiran dilatih untuk
memanfaatkan tubuh sebagaimana mestinya dan tubuh dilatih untuk dapat
merespon ekspresi kekuatan dari pikiran”.
Pada saat anak berusaha melatih koordinasi otot dan gerak pada saat
itulah stimulasi kinestetik terjadi. Menurut Musfiroh (2004:69) stimulasi
kinestetik ini terjadi dalam wilayah-wilayah berikut:
1. Koordinasi mata-tangan dan mata-kaki, seperti: menggambar, menulis,
memanipulasi objek, menaksir secara visual, melempar, menendang,
menangkap.
2. Keterampilan lokomotor, seperti berjalan, berlari, melompat, berbaris,
meloncat, mengcongklak, merayap, beguling dan merangkak.
3. Keterampilan nonlokomotor, seperti membungkuk, menjangkau, memutar
tubuh, merentang, mengayun, berjongkok, duduk, berdiri.

1321
4. Kemampuan mengontrol dan mengatur tubuh seperti menunjukan
kesadaran tubuh, kesadaran ruang, kesadaran ritmik, keseimbangan,
kemampuan untuk mengambil awalan, kemampuan untuk menghentikan
gerak dan mengubah arah.
Berdasarkan paparan diatas kemampuan untuk mengkoordinasikan
bagian-bagian tubuh seseorang dengan otak yang berjalan secara sinergis
dapat mencapai tujuan dalam melakukan sesuatu, ketika ia berinteraksi dangan
lingkungannya. Selaras dengan pendapat Lwin (Muslihuddin, Agustin, 2008:81)
bahwa anak-anak yang memiliki kecerdasan kinestetik yang baik akan
memberikan lebih banyak memberikan kesempatan kepada anak untuk
bermain dan berinteraksi dengan teman-teman sebayanya. Selanjutnya anak
dengan kecerdasan kinestetik dapat mengungkapkan diri dan berkomunikasi
secara baik dan efektif dengan orang lain khususnya teman-teman sebayanya
itu.
Adapun ciri-ciri yang menonjol pada anak yang memiliki kecerdasan
kinestetik menurut Muslihuddin dan Agustin (2008:65) adalah sebagai berikut:
1. Menonjol dalam kemampuan olah raga dibandingkan denagn teman-teman
sebayanya.
2. Cenderung suka bergerak, tidak bisa duduk diam berlam-lama, mengetuk-
ngetuk sesuatu, dan suka meniru gerak atau tingkah laku yang menarik
perhatiannya.
3. Senang pada aktifitas yang mengandalkan kekuatan gerak, seperti
memanjat, berlari, melompat, atau berguling.
4. Cepat dan tangkas dalam menguasai tugas-tugas kerajinan tangan seperti
melipat, memotong, menggunting, dan mencocok.
5. Memiliki koordinasi tubuh yang baik, gerakan-gerakan yang seimbang,
luwes dan cekatan.
6. Senang menyentuh barang-barang dan membongkar pasang barang dan
mainan.
7. Secara artistik mereka memiliki kemampuan menari dan menggerakan
tubuh mereka dengan luwes dan lentur.
Pengembangan potensi kecerdasan kinestetik anak di Taman Kanak-
kanak dapat dibantu dengan memfasilitasi anak-anak dengan memberikan
kesempatan pada mereka untuk bergerak yang memiliki muatan akademis
guna mengaktualisasi dirinya secara bebas. Menurut Hildayani (2005:5.18)
Anak-anak dengan kemampuan kecerdasan kinestetik yang menonjol memiliki
kesadaran tubuh yang tinggi. Mereka menyukai gerakan-gerakan fisik,
memeluk, menari, membuat, sesuatu dengan menggunakan tangan, dan
gemar bermain peran. Gerakan tubuh mereka bukanlah gerakan tanpa tujuan,
namun justru mereka memiliki kemampuan kontrol dan koordinasi tubuh yang
baik. Tubuh mereka altetis, lentur, dan terampil secara fisik sambil
mengemukakan ide-ide dan perasaannya melalui gerakan tubuh.
Muslihuddin dan Agustin (2008:96) mengemukakan bahwa dalam
pembelajaran guru dapat memfasilitasi anak-anak yang memiliki kecerdasan ini
dengan memberi kesempatan pada mereka untuk bergerak. Pembelajaran
dapat dirancang sedemikian rupa serhingga anak-anak leluasa bergerak dan
memiliki peluang untuk mengaktualisasikan dirinya secara bebas. Selanjutnya
kegiatan menari merupakan salah satu kegiatan yang dapat dilakukan guru

1322
untuk membantu mengembangkan kecerdasan ini, guru dapat mengajak anak-
anak untuk melakukannya bersama-sama, biasanya diiringi denagn musik akan
jauh lebih mengasyikan. Menari menuntut keseimbangan, keselarasan gerak
tubuh, kekuatan dan kelenturan gerak otot. Tidak hanya, kaki dan tubuh pun
ikut bergerak. Kecerdasan kinestetik berupa keluwesan dan kelenturan
menurut Musfiroh (2004:149) dapat distimulasi melalui permainan
mengeksplorasi gerakan tangan, jari, dan pergelangan tangan yang dilakukan
denagn mengikuti irama musik.
PENDEKATAN DALAM PEMBELAJARAN TARI ANAK NUSANTARA
Anak Usia Dini adalah anak yang berumur dari 0 sampai usia 6 tahun.
Usia Dini merupakan masa keemasan perkembangan anak atau biasa disebut
Golden Age. Pada masa itu terjadi lonjakan luar biasa pada perkembangan
anak yang tidak terjadi pada periode berikutnya. Anak Usia Dini adalah anak
yang sedang mengalami proses lompatan kemajuan yang luar biasa secara
fisik, emosional, dan sosial. Oleh karena itu pembelajaran untuk anak usia dini
perlu disesuaikan dengan kemampuan dan karakteristik masing-masing
anak.Demikian pula dalam pembelajaran seni tari, kegiatan menari diharapkan
agar anak dapat mengekspresikan dirinya sesuai dengan tingkat
perkembangan usia serta emosi, dengan demikian pembelajaran menjadi
menarik serta menyenangkan.
Tari anak-anak menurut Rusliana dalam Caturwati (2008:12) adalah tari
yang sesuai dengan kodrati anak-anak atau yang selaras dengan karakteritik
anak-anak, baik berkaitan dengan jasmaniah maupun rohaniyahnya. Adapun
temanya digali dari permainan, alam dan binatang, pekerjaan, dan yang
menyangkut budi pekerti. Limit waktu tarian tidaklah memakan waktu yang
lama atau sekitar 4 sampai 7 menit yang digarap dengan distilasi umumnya
dengan tidak berjauhan dari objeknya (imitatif). Seperti kata Fraser dalam
Caturwati (2008:14), setiap pelajaran tari anak-anak, seyogyanya guru
senantiasa memberikan juga keleluasaan pada anak-anak dalam menjelajahi
gerak melalui bimbingan guru, selanjutnya mengakumulasikan gerak-geraknya
yang tersusun sederhana sesuai dengan kemampuan dan perkembangan
psikologisnya.
Soedarsono dalam Pedoman Pendidikan Kesenian (1998:170)
menyatakan “definisi tari adalah ekspresi jiwa manusia melalui gerak-gerak
ritmis yang indah”. Berdasarkan Pedoman Pendidikan Kesenian (1998:178)
mengemukakan bahwa “tari merupakan kegiatan yang kreatif dan konstrukstif
serta menumbuhkan intensitas emosional dan makna-makna. Tari juga dapat
menjadi aktivitas rekreasi, tetapi juga dapat menjadi alat ekspresi dan laku
estetis”. Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa tari anak
nusantara adalah ungkapan atau ekspresi jiwa yang dituangkan dalam
gerakan-gerakan ritmis yang indah, yang dapat menumbuhkan intensitas
emosional dan makna-makna, serta dapat menjadi aktivitas estetis melalui
tema-tema Nusantara misalnya Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali dan
Papua.
Ardjo dalam Caturwati (2008:183) mengemukakan pada umumnya, bila
kita menonton tarian anak-anak, ada dua jenis gaya yang tampaknya sangat
jauh berbeda, yaitu :1) Peniruan Tari tradisonal adalah tarian yang ditarikan

1323
oleh anak tanpa mengubah dan menyesuaikannya dari tari yang biasa
dilakukan oleh orang dewasa. Dalam konteks ini si anak dituntut untuk
ekspresi dan tingkat kesulitannya sama dengan orang dewasa. Hal yang
kurang menguntungkannya ialah bahwa segi kreatifitas sudah terkotak, dan
pula hanya beberapa anak berbakat saja yang dapat berhasil menjadi penari
bagus. 2) Tari yang bertema dan bergaya bebas serta baru adalah tarian
seperti ini pada dasarnya dibuat agar semua anak dapat menarikannya dengan
mudah, senang, dan gembira.
Tari merupakan kegiatan yang kreatif dan konstruktif serta menumbuhkan
intensitas emosionil dan makna-makna. Ia dapat menjadi aktivitas rekreasi
tetapi juga dapat menjadi alat ekspresi dan laku estestis. Disinilah letak
nilainya bagi anak-anak. Dalam pendidikan, gerak tari harus diamati dari watak
ekspresinya sebab inilah yang mencerminkan nilai imajinasi anak. (Pedoman
Pendidikan Kesenian, 1988:178). Pembelajaran tari di sekolah kiranya akan
lebih cocok jika menyampaikan atau mengungkapkan sebuah tema yang jelas
dan dapat diketahui tujuannya oleh para siswa. Walaupun tidak menutup
kemungkinan adanya tari yang tidak bertema yaitu yang lebih mengarah
kepada pengolahan aspek gerak semata secara kreatif dan variatif.
Pertimbangan akan tari itu bertema adalah agar para siswa dapat berekspresi
sesuai tema tarian yang dipelajarinya. Dengan demikian, diharapkan kepekaan
rasa, kematangan sikap dan prilaku, mengambil keputusan, serta aspek-aspek
lainnya dapat terasah dan termotivasi untuk dapat diungkapkan melalui
pembelajaran tari. (Sekarningsih dan Rohayani, 2006:95)
Munandar dalam Rusliana dalam Caturwati (2008:13) memaparkan
bahwa tata cara pembelajaran tari anak-anak akan lebih optimal hasilnya jika
memadukan antara yang bersifat imitatif dan kreatif atau yang terikat dan yang
memberi kebebasan berkreasi. Oleh karena pengembangan kreativitas menjadi
penting ditinjau dari sudut pengembangan kepribadian dan kesehatan mental,
dan setiap anak ada hakikatnya memiliki potensi kreatif walau dalam kadar
yang berbeda-beda. Dalam pembelajaran seni tari motivasi dan bimbingan
pendidik diperlukan untuk menciptakan gerak. Desfina (2005:20-21)
mengungkapkan bahwa gerak dalam seni tari anak TK tentunya disesuaikan
dengan kemampuan dasar anak dalam bergerak. Kemampuan gerak dasar
tersebut ada 3 kategori yaitu :
1. Kemampuan locomotor digunakan untuk memindahkan tubuh dari satu
tempat ke tempat lain atau mengangkat tubuh ke atas seperti meloncat,
melompat. Gerak tersebut dapat dikembangkan seperti melompat ke kiri
sambil bertepuk tangan atau meloncat sambil kedua tangan mengayun ke
depan.
2. Kemampuan non locomotor dilakukan di tempat, yaitu gerak tari seperti
duduk, setengah duduk, berputar di tempat, atau posisi berdiri di tempat
dan tangan dapat dilakukan dengan variasi ke arah kiri atau kanan. Gerak
ini dapat dikembangkan lebih bervariasi dengan gerak tangan berputar ke
arah telapak tangan, begitu juga sebaliknya.
3. Kemampuan manipulatif banyak melibatkan tangan dan kaki, akan tetapi
bagian tubuh yang laindapat juga digunakan. Gerak yang melibatkan kaki
dan tangan memberikan peluang untuk dapat diolah lebih variatif, contoh

1324
sambil berjalan tangan mengikuti irama kaki yang berlawanan, dan sambil
menggoyangkan kepala.
Prinsip dasar pembelajaran tari bagi anak TK seperti yang dikemukakan
oleh Desfina (2005:29-30) adalah sebagai berikut :
1. Kegiatan pembelajaran sesuai dengan karakter anak yang aktif dan punya
kemampuan untuk berkreasi, metode pembelajaran bagi anak TK adalah
yang berpusat pada anak yaitu anak diberi kebebasan dalam menari.
2. Kegiatan pembelajaran dibangun berdasarkan pengalaman dan minat anak
dan dilakukan secara terpadu seperti pada gerak tari dengan menari
mengembangkan berbagai aspek perkembangan anak seperti aspek fisik,
psikomotorik, bahasa, moral, sosial, keagamaan, emosi, kepribadian.
3. Memperhatikan bahwa setiap anak memiliki keunikan tersendiri dalam hal
perkembangan gerak. Dengan variasi ini menuntut guru untuk merancang
dan menyediakan sejumlah alternatif gerakkan tari yang diambil diambil dari
gerakan anak serta memberi kesempatan kepada anak untuk spontan
berinisiatif.
4. Pelajaran yang bervariasi akan membuat anak tidak jenuh misalnya anak
diajak keluar ruangan melihat alam yang ada di sekeliling mereka,
kemudian anak menirukan apa yang telah dilihatnya.
5. Penerapan bermain sebagai sarana perkembangan gerak karena bermain
bagi anak merupakan belajar. Oleh karena itudalam pembelajaran tari ini
hendaknya dilakukan dengan belajar sambil bermain dan bermain seraya
belajar.
6. Bersifat fleksibel, dalam proses belajar mengajar melihat keadaan anak
saat itu.
Metode pembelajaran yang tepat dan sesuai dengan dunia anak akan
membantu meningkatkan kreatifitas anak dan juga dapat memfasilitasi potensi
menari yang ada dalam diri anak secara optimal. Hal ini seperti dikemukakan
oleh Desfina (2005:33-34) yaitu mengenai metode yang dapat diterapkan pada
tari, antara lain :
1. Metode bermain yaitu suatu cara yang dapat menciptakan suasana belajar
yang menggembirakan dan menyenangkan bagi anak, lewat permainan
anak secara tidak sengaja melakukan gerakan untuk menunjang permainan
tersebut.
2. Metode ekpresi bebas, yaitu suatu cara pembelajaran bagi anak untuk
diberi kebebasan berekpresi sesuai dengan imajinasi, keinginan dan
kemauan anak dalam mengungkapkan gerak.
3. Metode eksperimen, yaitu anak mencoba untuk menemukan atau
menyusun suatu gerak dengan menghayati proses pencaharian gerak’
4. Metode bermain peran adalah metode yang memberikan kebebasan pada
anak untuk memerankan tokoh yang mereka anggap sesuai dengan peran
yang disukai anak.
5. Metode cakap-cakap adalah penyampaian pelajaran melalui sarana
pertukaran pikiran untuk memecahkan persoalan yang dihadapi, yaitu
didalam menyusun tari kelompok timbul permasalahan yang biasanya
menyangkut masalah teknis gerak atau latihan, permasalahan tersebut
dibicarakan diantara kelompok.

1325
6. Metode bercerita merupakan pemberian pengalaman belajar bagi anak
TK, dengan membawakan cerita secara lisan. Cerita yang diberikan
pada anak dapat memancing daya imajinasi anak untuk berkembang.
Contoh cerita dongeng yang menyampaikan pesan-pesan kebajikan.
7. Metode latihan, setiap tari memerlukan latihan untuk memantapkan
gerak yang dipergunakan.
8. Metode demontrasi, yaitu memperlihatkan proses gerak kepada anak-
anak contoh seorang memperagakan gerak kupu-kupu untuk
mengetahui proses gerak yang benar.
9. Metode karya wisata adalah anak dibawa ketempat tertentu dengan
tujuan belajar yang dibatasi dengan tujuan belajar dan tugas belajar.
Anak dapat memperoleh pengalaman langsung terhadap objek yang
terdapat diluar kelas.
10. Metode pemberian tugas yaitu anak sengaja diberikan tugas untuk
membuat atau menyelesaikan gerak berdasarkan pada petunjuk guru,
supaya anak melakukan sendiri dalam proses gerak, mereka dapat
belajar secara langsung dan menentukan sendiri dalam pemilihan
gerak.
IMPLEMENTASI KECERDASAAN KINESTETIK MELALUI PEMBELAJARAN
TARI ANAK NUSANTARA
Materi tari nusantara dari daerah Jawa Tengah, misalnya tari kuda
lumping merupakan sumber inspirasi yang menarik untuk di angkat dalam
pembelajaran di TK. Dalam proses pembelajaran tari di sekolah, guru bisa
menggunakan pendekatan terpadu. Pembelajaran tari dengan pendekatan
terpadu yang dimaksud, guru melakukan proses pembelajaran dengan
memadukan seni rupa, seni musik dan seni tari. Sebagai contoh guru bisa
menyusun konsep awal sebelum melakukan langkah-langkah pembelajaran
yang nantinya akan diaplikasikan dan diskripsikan kedalam Satuan Kegiatan
Harian di sekolah, misalnya :
Judul : Tari Kuda Lumping
Sinopsis : Tarian ini menceritakan tentang anak-anak Jawa yang sedang
bermain dengan menggunakan kuda-kudaan yang terbuat dari kardus.
Konsep Tari :
1. Gerakan pertama berjalan membentuk posisi 2 orang di depan dan 2 orang
di belakang.
2. Gerakan kedua berjalan ke kanan 2 kali dan ke kiri 2 kali barisan pertama
berjalan ke kanan dan barisan kedua berjalan ke kiri.
3. Gerakan ketiga diam di tempat, salah satu kaki bergerak ke depan diselingi
dengan posisi diam dengan bahu diangkat naik turun sebanyak 2 kali.
4. Gerakan keempat posisi diam dengan tangan di angkat seperti
menerawang.
Konsep Musik :
Menentukan “Lagu Jaranan” yang didapat dari donload di internet.
Jaranan artinya kuda lumping, kuda-kudaan yang terbuat dari pelepah pisang,
kayu, bambu, biasa dimainkan oleh anak- anak di Jawa Tengah. Tempo
lagunya cepat dan bersemangat.

1326
Konsep Busana / Rupa :
Penari memakai busana seperti prajurit berkuda dengan memakai rompi
yang terbuat dari kresek berwana hitam lalu dihias dengan kertas warna.
Memakai ikat kepala yang terbuat dari kresek, bagian bawah menggunakan
sarung yang dilipat. Untuk mempercantik penampilan pada bagian tangan dan
kaki diberi gelang yang terbuat dari kertas warna.
Tari Nusantara dari daerah Sulawesi, misalnya Tari Kipas Angin Mamiri
juga merupakan sumber inspirasi yang menarik untuk diangkat dalam
pembelajaran di TK. Sebagai contoh guru bisa menyusun konsep awal
sebelum melakukan langkah-langkah pembelajaran yang nantinya akan
diaplikasikan dan diskripsikan kedalam Satuan Kegiatan Harian di sekolah,
misalnya :
Judul : Tari Kipas Angin Mamiri
Sinopsis : Tarian ini menceritakan tentang anak-anak gadis Sulawesi
yang sedang bermain dengan menggunakan kipas yang terbuat dari bulu.
Konsep Tari :
1. Gerakan pertama berjalan lambat kedepan dengan mengetarkan kedua
kipas bulu.
2. Gerakan kedua berjalan cepat berputar ke kanan dan ke kiri
3. Gerakan ketiga diam di tempat dengan membentuk formasi bunga yang
dihasilkan dari efek gerakan kipas bulu.
Konsep Musik :
Menentukan “Lagu Angin Mamiri” yang di dapat dari download di
internet. Lagu Angin Mamiri merupakan lagu yang cukup terkenal dari daerah
Makasar Sulawesi. Lagu ini mengisahkan sebuah hembusan angin yang sepoi-
sepoi.
Konsep Busana / Rupa :
Penari menggunakan busana adat pengantin putri di Makasar Sulawesi
yang dikenal dengan baju “bodo”. Busana tari kipas ini terbuat dari bahan
kresek warna merah dan hitam yang kemudian dihias dengan kertas warna-
warni. Selanjutnya untuk kipas bisa terbuat dari bahan kertas yang dihias
dengan menempelkan bulu berwarna-warni.
Tari Nusantara dari daerah Bali, misalnya Tari Bunga Bali juga
merupakan sumber inspirasi yang menarik untuk diangkat dalam pembelajaran
di TK. Sebagai contoh guru bisa menyusun konsep awal sebelum melakukan
langkah-langkah pembelajaran yang nantinya akan diaplikasikan dan
diskripsikan kedalam Satuan Kegiatan Harian di sekolah, misalnya :
Judul : Tari Bunga Bali
Sinopsis : Tari kreasi ini menceritakan tentang keceriaan anak anak di
Bali dalam menyambut kedatang tamu agung.
Konsep Tari :
1. Gerakan pertama berjalan keluar dengan gerakan ngegol atau
mengoyangkan kepala dan pinggul (Lokomotor).
2. Gerakan kedua gerakan diam di tempat dengan gerakan ngembat
mengerakan tangan ke samping kanan dan samping kiri (Non Lokomotor).
3. Gerakan ketiga berjalan maju dan mundur dengan gerakan menabur bunga
(Lokomotor).

1327
Konsep Musik :
Menentukan lagu iringan tari dengan judul lagu permainan anak-anak Bali yaitu
lagu Mejangeran.
Konsep Busana :
Penari memakai busana seperti. Busana adat orang Bali dengan busana yang
dihiasi emas atau prada dan dilengkapi bunga warna warni yang merupakan
ciri khas dari orang Bali.

Foto Konsep Busana Tari Bunga Bali


DAFTAR RUJUKAN
Aryaprastya, I Gusti Komang. (2011). Pendidikan Seni Tari Anak Usia Dini
Melalui Stimulus Berkreasi Tari Nusantara. Bandung : Program Studi
PGPAUD UPI
Campbell, Linda. Bruce. Dickinson, Dee. Metode Praktis Pembelajaran
Berbasis Multiple Intelligences. Depok: Intuisi Press.
Desfina. (2005). Belajar Seni Tari Untuk Anak Usia TK. Bandung. Pendidikan
Guru Taman Kanak-kanak. FIP UPI.
Endang Caturwati, et. al. (2008). Tari Anak-Anak dan Permasalahannya.
Bandung : Sunan Ambu STSI Press.
Dinas Kebudayaan, (1988), Pedoman Pendidikan Kesenian, Jakarta.
Faruq, Muhyi. (2007). 100 Permainan Kecerdasan Kinestetik. Jakarta:
Grasindo.
Frahma Sekarningsih, dkk, (2006), Pendidikan Seni Tari dan Drama SD,
Bandung: UPI Press.
Gardner, Howard. (2003) Muiltiple Intelligences. Alih bahasa Alexander
Sindoro.Batam : Interaksara.
Hildayani, Rini, dkk. (2005). Psikologi Perkembangan Anak. Jakarta:
Universitas Terbuka.
Masunah, Juju. (2000). Tari Pendidikan Sebuah Pengantar Pengajaran Tari di
Sekolah. Bandung. FPBS UPI: Tidak diterbitkan.
Masunah, Narawati. (2003). Seni dan Pendidikan Seni. Bandung. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Seni Tradisional (P4ST) UPI .
Musfiroh, Tadkiroatun. (2004). Bermain Sambil Belajar dan Mengasah
Kecerdasan (Stimulasi Multiple Intelligeces Anak Usia Taman Kanak-
kanak). Yogyakarta: Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga
Kependidikan Dan Ketenagaan Perguruan Tinggi Subdit PGTK dan
PLB.
Muslihuddin, Mubiar A. (2008). Mengenali dan Mengembangkan Potensi
kecerdasan Jamak Anak Usia Taman Kanak-kanak/Raudhatul Athfal.
Bandung: Rizqi Press.
1328
Suyadi. (2009). Anak Yang Menakjubkan. Yogyakarta : Diva Press.
Wiwik WaQiah. (2011). Penerapan Pembelajaran Tari Pendidikan Untuk
Menstimulasi Kecerdasaan Kinestetik Anak Taman Kanak-Kanak.
Bandung: Skripsi S1 PGPAUD UPI tidak diterbitkan.

1329
PENERAPAN PENDEKATAN INSPIRATIF PADA PEMBELAJARAN
PENDIDIKAN SENI RUPA DI SEKOLAH DASAR UNTUK
MENINGKATKAN KREATIVITAS DALAM BERKARYA SENI RUPA
Ira Rengganis
Universitas Pendidikan Indonesia
E-mail: rengganisira@yahoo.co.id
Abstract
This writing is motivated by the problems found in some elementary schools
about the lacks of students creativity. it is seen from the results of observations
are still many children who have not been able to express his own ideas,
always wanted to be an example, as well as a lack of self-esteem when will
make something new, as well as teachers in teaching methods that are less
varied. The purpose of this paper which is to know the implementation
inspirational approach to teaching elementary school art education. The method
used in this research is descriptive method, the study aims to describe or
explain the event or events that are taking place at the time of the study.
Inspiring learning approach resulted in more children being able to do activities
without teachers help, it is seen that the children are able to express his ideas,
independent, able to recount the results of his work, confident and not afraid to
be wrong. Therefore it can be concluded that the approach Inspiring learning art
education can enhance the creativity of elementary school children in the work
of art.
Keywords: education of art, creativity, inspiring approaches.
PENDAHULUAN
Pendidikan seni adalah segala usaha untuk meningkatkan kemampuan
kreatif ekspresif anak didik dalam mewujudkan kegiatan artistiknya
berdasarkan aturan-aturan estetika tertentu. Selain itu, pendidikan seni di SD
bertujuan menciptakan cipta rasa keindahan dan kemampuan mengolah
menghargai seni. Hal tersebut merupakan mengolah berbagai ketrampilan
berpikir meliputi ketrampilan kreatif/ sarana untuk pengembangan kreativitas
anak, inovatif, dan kritis.
Tujuan pendidikan seni bukan untuk membina anak-anak menjadi
seniman, melainkan untuk mendidik anak menjadi kreatif. Pendidikan Seni
Rupa di Sekolah Dasar tidak hanya mengembangkan keterampilan
menggambar melainkan mampu mengembangkan apreasiasi seni rupa /
membuat karya rupa 2 dimensi dan 3 dimensi, menanamkan kesadaran
budaya lokal, menyediakan kesempatan mengaktualisasikan diri,
mengembangkan penguasaan disiplin ilmu Seni Rupa, dan mempromosikan
gagasan multikultural.
Pembinaan dan pengembangan aktivitas dan kreativitas seni rupa di
sekolah dasar akan lebih baik apabila di titik beratkan pada kemitraan antara
siswa dan pengajar. Banyak metode yang dapat dipilih untuk melaksanakan
pendidikan seni rupa di sekolah dasar. Dasar pemilihan metode yang tepat
relevansinya sesuai dengan tujuan atau sasaran yang dirumuskan. Dalam

1330
pembelajaran seni rupa di sekolah dasar, guru sebaiknya mengenal beberapa
metode dan teknik pembelajaran serta jenis-jenis kegiatan seni rupa yang
cocok diberikan kepada anak sekolah dasar, diantaranya metode untuk
pengajaran praktik, teori dan paduan antara keduannya. Metode-metode
tersebut bisa dibedakan atas metode yang mengutamakan keleluasaan
tersalurkannya ekpresi atau metode yang lebih mengutamakan kebebasan
individu, dan metode yang lebih mengutamakan perkembangan sosial anak-
anak. Dalam pemilihan metode ini tidak terlepas pula dari media atau bahan
yang digunakan untuk pencapaian hasil yang diinginkan, maka dari itu
penggunaan bahan dan media seni rupa yang beragam, diharapkan bisa
membuat siswa tidak cepat bosan dan jenuh, serta pada akhirnya membuat
siswa menghasilkan karya yang kreatif dan imajinatif.
Tetapi pada kenyataannya masih ada permasalahan yang ditemukan di
beberapa Sekolah Dasar mengenai tingkat kreativitas anak yang masih
kurang, hal tersebut terlihat dari hasil observasi masih banyaknya anak yang
belum mampu mengungkapkan idenya sendiri, selalu ingin diberi contoh, serta
kurangnya kepercayaan diri anak saat akan membuat sesuatu yang baru, serta
metode guru dalam pembelajaran yang kurang bervariasi.
Berdasarkan permasalahan di atas penulis mencoba mengaplikasikan
pendekatan inspiratif yang diharapkan dapat meningkatkan kreativitas anak
Sekolah Dasar dalam berkarya seni rupa.
PENDIDIKAN SENI RUPA SEBAGAI SARANA PEMBENTUKAN KREATIF
Pendidikan seni rupa anak adalah upaya pemberian pengetahuan dan
pengalaman kegiatan kreatif seni rupa dengan menerapkan konsep seni
sebagai alat pendidikan. Dalam usaha mewujudkan harapannya, manusia
selalu berhadapan dengan kendala dan kenyataan yang tidak diharapkan.
Dalam keadaan seperti itu, manusia selalu mencari cara untuk menembus
kendala itu, serta mencari jalan keluar untuk mencapai dan mewujudkan
harapannya. Upaya tersebut merupakan bentuk kreativitas, yaitu menciptakan
sesuatu yang baru untuk keluar dari suasana yang telah ada sebelumnya.
Sesuatu yang baru itu dapat berupa wujud konkret maupun abstrak (Rasjoyo,
1996:4).
Potensi kreatif yang terdapat pada manusia dapat dikembangkan sejak
dini. Hal itu dikarenakan masa perkembangan anak merupakan masa peka,
dimana anak mulai sensitif menerima pengalaman belajar dari orang tua, guru,
dan orang yang lebih dewasa darinya. Melalui proses berkarya seni rupa,
tujuan pendidikan dalam membantu perkembangan potensi kreatif anak dapat
tercapai. Dengan demikian, pendidikan seni rupa anak sebagai sarana
pembentukan kreativitas anak.
Ruang lingkup bahan pengajaran pendidikan seni rupa anak, meliputi
kegiatan berkarya seni rupa dua dimensi, diantaranya menggambar atau
melukis, mencetak, 3M (Melipat, Menggunting, Menempel), dan sebagainya.
Adapun kegiatan berkarya seni rupa tiga dimensi diantaranya membentuk,
merangkai, menyusun, merakit, dan lain-lain.
Kegiatan berkarya seni rupa adalah hal yang menyenangkan bagi anak,
karena kegiatannya dapat dikatakan sebagai kegiatan bermain bermuatan
edukasi, dimana anak mendapatkan kesempatan melakukan kegiatan bermain

1331
kreatif untuk mewujudkan ide dan gagasan kreatifnya melalui media karya seni
rupa.
PENGERTIAN KREATIVITAS
Kreativitas merupakan kemampuan yang ada dalam diri setiap manusia
yang perlu dikembangkan untuk kelangsungan hidupnya. Menurut Supriadi
(dalam Rachmawati & Kurniati, 2010:13) kreativitas adalah kemampuan
seseorang untuk melahirkan sesuatu yang baru, baik berupa gagasan maupun
karya nyata yang relatif berbeda dengan apa yang telah ada. Menurut Mutiah
(2020:41) kreativitas merupakan dimensi kemampuan anak dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Kreativitas juga
merupakan sebuah proses yang mampu melahirkan gagasan, pemikiran,
konsep dan atau langkah-langkah baru pada diri seseorang. Ia pun
menambahkan bahwa kebermaknaan kreativitas terletak pada hakikat dan
perannya sebagai dimensi yang memberi ciri keunggulan bagi pertumbuhan diri
peserta didik yang sehat, produktif, dan inovatif.
Munandar (2012:19-22) menjelaskan mengenai definisi kreativitas
berdasarkan empat P menurut para pakar antara lain:
Definisi Pribadi
Hulbeck, 1945 (dalam Munandar, 2012:20) mengungkapkan bahwa
“creative is an imposing of one’s own whole personality on the environment in
an unique and characteristic way”. Tindakan kreatif muncul dari keunikan
keseluruhan kepribadian dalam interaksi dengan lingkungannya.
Definisi (teori) yang lebih baru tentang krativitas diberikan dalam “three-
facet model of creativity” oleh Stenberg (dalam Munandar, 2009:20) yaitu
kreativitas merupakan titik pertemuan yang khas antara tiga atribut psikologis
inteligensi, gaya kognitif, dan kepribadian/motivasi. Bersama-sama ketiga segi
dari alam pikiran ini membantu memahami apa yang melatarbelakangi individu
yang kreatif.
Inteligensi meliputi terutama kemampuan verbal, pemikiran lancar,
pengetahuan, perencanaan, perumusan masalah, penyusunan strategi,
representasi mental, keterampilan pengambilan keputusan, dan keseimbangan
serta integrasi intelektual secara umum.
Gaya kognitif atau intelektual dari pribadi yang kreatif menunjukkan
kelonggaran dari keterikatan pada konvensi menciptakan aturan sendiri,
melakukan hal-hal dengan caranya sendiri, menyukai masalah yang tidak
terlalu terstruktur, senang menulis, merancang, lebih tertarik pada jabatan yang
kreatif seperti pengarang, saintis, artis, atau arsitek.
Dimensi kepribadian/motivasi meliputi ciri-ciri fleksibilitas, toleransi
terhadap kadwiartian, dorongan untuk berprestasi dan mendapat pengakuan,
keuletan dalam menghadapi rintangan dan pengambilan risiko yang moderat.
Definisi Proses
Torrance, 1988 (dalam Munandar, 2012:21) mengatakan bahwa
kreativitas yang pada dasarnya menyerupai langkah-langkah dalam metode
ilmiah yaitu:
... the process of (1) sensing difficulties, problems, gaps in information,
missing elements, something asked; (2) making guesses and formulating
hypnotheses about these deficiencies; (3) evaluating and testing thes

1332
guesses and hypnotheses; (4) possibly resiving and ratesting them; and
finally (5) communicating the result.
Definisi ini meliputi seluruh proses kreatif dan ilmiah mulai dari
menemukan masalah sampai dengan menyelesaikan masalah.
Definisi Produk
Barron 1969 (dalam Munandar, 2012:21) menyatakan bahwa kreativitas
merupakan kemampuan untuk menghasilkan/menciptakan sesuatu yang baru.
Begitu pula menurut Haefele, 1962 (dalam Munandar, 2012:21) yang
menyatakan bahwa kreativitas adalah kemampuan untuk membuat kombinasi-
kombinasi baru yang mempunyai makna sosial. Ia pun menekankan pula
bahwa suatu produk kreatif tidak hanya harus baru tetapi juga diakui sebagai
bermakna.
Rogers dalam Vernon (dalam Munandar, 2012:21) mengemukakan
mengenai kriteria untuk produk kreatif ialah:
1. Produk itu harus nyata (observable)
2. Produk itu harus baru
3. Produk itu adalah hasil dari kualitas unik individu dalam interaksi dengan
lingkungannya
Definisi “Press”
Definisi dan pendekatan terhadap kreativitas menekankan faktor
“press”atau dorongan, baik dorongan internal (dari diri sendiri berupa keinginan
dan hasrat untuk mencipta atau bersibuk diri secara kreatif) maupun dorongan
eksternal dari lingkungan sosial dan psikologis.
PENDEKATAN DALAM SEGI PROSES BELAJAR
Dalam memilih suatu pendekatan yang akan digunakan dalam
pelaksanaan pendidikan seni rupa hendaknya mengacu kepada tujuan
pendidikan seni dan atau kompetensi, karakteristik siswa, jenis dan
karakteristik bahan ajar, serta lingkungan belajar.
Pendidikan seni rupa memiliki fungsi sebagai penunjang perkembangan
potensi peserta didik. Misi utama dari pendidikan seni adalah mengembangkan
kepekaan rasa dengan tujuan agar terbentuk manusia yang memiliki
kepribadian seimbang secara jasmani-rohani, mental-spiritual, dann intelektual-
emosional. Pelaksanaan pendidikan seni sebagai wahana bermain yang
bermuatan edukatif dan membangun kreatifitas. Jika kita menggunakan
pendidikan seni sebagai sarana pendidikan, maka pendekatannya pun harus
sesuai dengan tujuan penciptaan seni, meskipun seninya tidak kita tempatkan
sebagai tujuan pendidikan.
Pemilahan bahan ajar dilakukan dengan mengklasifikasikan jenis bahan
ajar yang bersifat teoritis dan bahan ajar yang bersifat praktis. Hal tersebut
diharapkan dapat membantu dan memudahkan anda dalam penggunaan
pendekatan dan metode pembelajaran dalam proses pembelajaran.
Dari semua proses pembelajaran seni rupa yang diilaksanakan di dalam
kelas, maka prinsip-prinsip pengelolaan kelas tentulah berlaku secara umum
demi terciptanya proses pembelajaran yang berkualitas dan situasi kelas yang
kondusif.

1333
Dilihat dari segi karakteristik hasil ungkapan kreatif atau hasil karya, ada
beberapa karya seni rupa yang proses pembuatannya dikerjakan dengan teliti
dan ketekunan karena membuat bentuk-bentuk secara berulang-ulang, yaitu
karya seni rupa tradisional. Seni rupa tradisional merupakan salah satu seni
Nusantara yang harus tetap dijaga dan dilestarikan sebagai warisan kekayaan
budaya bangsa. Ada pula karya-karya seni rupa yang inovatif-kreatif dengan
mencoba melakukan inovasi dan modifikasi, bahkan menciptakan karya yang
baru yang dipandang sebagai karya seni rupa modern. Dengan demikian,
selain perlu memperhitungkan tujuan belajar seperti tersebut di atas, juga perlu
mempertimbangkan karakteristik hasil karya yang akan dibuat atau dipelajari
sebagai acuan dalam memilih serta menentukan pendekatan pembelajaran
pendidikan seni rupa.
Pendekatan Keterampilan Proses
Pendekatan keterampilan proses menekankan pembentukan
keterampilan, memperoleh pengetahuan, dan mengkomunikasikannya.
Keterampilan meliputi makna yang luas, meliputi segi fisik/perbuatan,
psikis/mental dalam bentuk olah piker dan sikap, termasuk kreatifitas, serta
sosial budaya (pendayagunaan lingkungan) yang difungsikan untuk mencapai
hasil tertentu.
Dalam penciptaan model-model inovatif, guru dapat memberikan
stimulasi, pendekatan yang digunakan biasanya pendekatan inspiratif,
pendekatan analisis hasil karya, dan pendekatan empatik.
1. Pendekatan Inspiratif
Pelaksanaan pendidikan seni rupa pada jenjang pendidikan dasar dan
menengah harus memperhatikan dan mempertimbangkan bahwa
pendidikan seni sebagai wahana bermain yang bermuatan edukatif dan
membangun kreatifitas. Apabila seni digunakan sebagai cara dan sarana
pendidikan, maka pendekatannya pun harus sesuai dengan dengan tujuan
penciptaan seni, meskipun seninya tidak kita tempatkan sebagai tujuan
pendidikan. Pendekatan yang utama dalam pembelajaran pendidikan seni
rupa adalah pendekatan inspiratif.
Karya seni lahir dari keharuan, dari hati nurani yang terdalam. Karya seni
merupakan curahan emosi yang diberi bentuk yang indah dan kreatif. Bagi
dunia anak, jenis pendekatan inspiratif ini diharapkan dapat dapat
menggugah keharuan anak untuk mencurahkan ekspresinya ke dalam
bentuk karya seni rupa. Bentuk penggugah keharuan yang oleh Lansing
disebut dengan istilah stimulation dan cultural stimulation. Lansing juga
membedakan atas :
a. airect experience as a form stimulation (pemberian rangsangan melalui
pengalaman)
b. verbal stimulation (perangsangan melalui cerita atau dongeng))
c. art material as stimulation (perangsangan melalui bahan), dan
d. audio-visual aids as stimulation (perangsangan melalui audio-visual)
Upaya untuk melakukan stimulasi tersebut secara praktis dapat ditinjau
berdasarkan secara klasikal dan individual serta dapat ditinjau pula
berdasarkan rangkaian kejadian atau peristiwa yang memancing keharuan
anak yang berlangsung secara rutin maupun insidental. Keterkaitan antara
kedua bentuk di atas tersebut dapat dilihat pada gambar berikut ini :
1334
• Klasikal
sikal • Individual
I

A B
• Rutin

D
C
• Insidental

Gambar 1.
Stimulasi Perangsangan Daya Cipta
Berdasarkan gambar di atas tampak empat kemungkinan gabungan antara
keempat jenis stimulasi yang terkadang disebut sebagai pemancing
kreatifitas atau perangsang daya cipta. Kemungkinan gabungan tersebut
adalah :
a. stimulasi klasikal-rutin
b. stimulasi individual-rutin
c. stimulasi klasikal-insidental
d. stimulasi individual-insidental
Untuk memperjelas perbedaan keempat stimulasi daya cipta seni, berikut
ini akan dipaparkan secara singkat pengertian dan beberapa contohnya.
a. Stimulasi Klasikal-Rutin
Stimulasi ini yang paling memungkinkan diterapkan dalam penyusunan
rencana pembelajaran di sekolah. Hal ini disebabkan semua anak di
dalam satu kelas akan manghayati keadaan, kejadian, atau peristiwa
yang sama (yang dijadikan stimulasi). Kejadian atau peristiwanya dapat
diramalkan karena berlangsung rutin.
Kegiatan atau agenda kegiatan sekolah yang telah tercatat pada
kalender akademik/sekolah dianggap sebagai peristiwa yang datang
secara rutin dan bersifat klasikal. Begitupun hari-hari besar keagamaan
dan hari besar kenegaraan yang biasa diperingati di sekolah, seperti
Hari Pendidikan Nasional, Hari Proklamasi Kemerdekaan RI, hari
pahlawan (mis: Kartini), Hari Raya Idul Fitri, dan lain sebagainya,
merupakan sejumlah rencana pokok bahasan yang berdasar pada
stimulasi klasikal-rutin. Contoh judul atau tema kegiatan berkarya seni
rupa dalam rencana pembelajarannya, diantaranya :“Lomba Lukis
1335
HarDikNas”, “Lomba Gambar tema Kartini”, “Membuat Kartu Lebaran”,
dan sebagainya. Yang terpenting adalah bagaimana kita
mengkorelasikan topik tersebut dengan jenis kegiatan belajar seni rupa
yang mengacu kepada GBPP yang berlaku. Kreatifitas guru dalam
mengolah kegiatan-kegiatan tersebut sangat dibutuhkan sehingga
mampu menstimulasi anak-anak dalam berkarya seni rupa.
b. Stimulasi Individual-Rutin
Stimulasi individual-rutin adalah pengalaman atau peristiwa yang
dialami anak secara perorangan. Pengalaman atau peristiwa itu datang
secara rutin. Misalnya hari ulang tahun yang dirayakan keluarga dan
mengesankan bagi anak ; Judul lain yang dijadikan cerita seperti “pergi
ke sekolah”, “pulang sekolah”, “jalan-jalan di sore hari”, “liburan sekolah
di kampung halaman”, “mengasuh adik”, “membantu ibu di rumah”, dan
sebagainya, merupakan contoh stimulasi individu-rutin. Setiap anak
akan mengalami peristiwa atau kejadian tersebut, tetapi memiliki kesan
dan pengalaman yang berbeda-beda.
c. Stimulasi Klasikal-Insidental
Stimulasi ini dapat menggali kejadian-kejadian atau keadaan yang akan
atau telah dialami oleh anak-anak dalam satu kelas secara insidental
(sewaktu-waktu, yang tidak diduga sebelumnya, tidak direncanakan
sebelumnya). Misalnya, perkenalan siswa baru, kelas kami kebanjiran,
guru baru, dan lain sebagainya. Peristiwa atau kejadian tersebut
merupakan contoh kejadian yang dialami oleh seluruh anak dalam satu
kelas (klasikal) namun kejadiannya insidental. Dari kejadian inilah kita
dapat merangsang daya cipta anak dalam kegiatan belajar sebagai
pengantar. Dalam pelaksanaannya dapat berupa cerita, tarian, atau
bentuk lain yang dapat menjadi pembangkit inspirasi berkarya seni
rupa.
d. Stimulasi Individual-Insidental
Stimulasi individual-insidental berguna untuk menggugah pengalaman
peroranganyang bersifat sewaktu-waktu (incidental). Suatu saat
seorang anak mengalami peristiwa yang tidak diduga akan terjadi pada
dirinya dan tentu saja tidak dialami orang lain disekitarnya. Misalkan :
aku juara lomba menggambar, aku sakit demam berdarah, aku terjatuh
dari sepeda dan sebagainya. Stimulasi ini biasanya diberikan pada
kasus anak yang mengalami hambatan ketika diberikan stimulasi
klasikal. Pada kasus ini guru perlu mendekati anak tersebut secara
perorangan serta menggali pengalaman pribadinya dan minatnya,
sehingga anak tersebut dapat terinspirasi walaupun bersifat individual/
perorangan.
SIMPULAN
Pembinaan dan pengembangan aktivitas dan kreativitas seni rupa di
sekolah dasar akan membantu siswa untuk dapat mengungkapkan gagasan,
sikap, perasaan, nilai dan imajinasi yang melibatkan pertumbuhan pribadinya.
Seni rupa dapat membuat mereka mampu mengekspresikan pengalaman
pengalaman individu bahkan ketika mereka tidak mampu mengungkapkan
berbagai peristiwa lewat kata-kata. Anak-anak suka melakukan kontak fisik

1336
langsung dengan alam mereka. Materi pembelajaran mereka muncul dari
pengalaman-pengalaman mereka sendiri, masalah pribadi mereka dan
imajinasi-imajinasi mereka yang kaya. Untuk menyampaikan suatu gagasan,
mereka menggambarkannya, melukiskannya, atau membuat model dari
berbagai bahan. Bahan-bahan seni rupa yang fleksibel menawarkan
kesempatan yang tidak terbatas pada anak-anak untuk mengekspresikan
dirinya. Mereka bebas untuk memilih, melakukannya dengan cara sendiri,
untuk mengembangkan pilihan-pilihan mereka.
Karena bentuk ekspresi mereka yang unik dan dihargai, akan membuat
anak mulai merasa percaya terhadap diri sendiri. Sehingga mereka belajar
menghargai karya mereka sendiri dan karya orang lain.
Melalui pendekatan Inspiratif dalam pembelajaran menghasilkan lebih banyak
anak yang mampu melakukan kegiatan tanpa bantuan guru, hal tersebut
terlihat bahwa anak-anak sudah dapat mengungkapkan ide dan gagasannya,
mandiri, mampu menceritakan hasil karyanya, percaya diri, dan tidak takut
salah. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa pendekatan Inspiratif dalam
pembelajaran pendidikan seni rupa dapat meningkatkan kreativitas anak
Sekolah Dasar dalam berkarya seni rupa.
DAFTAR RUJUKAN
Bastomi, S. (1981/1982). Landasan Berapresiasi Seni Rupa. Semarang:
Proyek Peningkatan Perguruan Tinggi IKIP Semarang.
Chapman, L. H. (1978). Approaches to Art in Education. New York: Harcourt
Brace Jovanovich Inc.
Depdiknas.(2006). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Mata Pelajaran Seni
Budaya Sekolah Dasar. Jakarta: Pusat Pengembangan Kurikulum,
Balitbang Diknas.
Fisher, E. F. (1978). Aesthetic Awareness and the Child. Illionis: F. E.
Peaccock Publishers, Inc.
Gaitskell, C. D. and Al Hurwitz. (1958). Children An Their Art, Methods for the
Elementary School. New York: Harcourt Brace Jovanovich Inc.
Kamaril, C. Dkk. (1999). Pendidikan Seni Rupa/Kerajinan Tangan. Jakarta:
Universitas Terbuka.
Kamtini, Tanjung H. W. (2006). Berkreativitas Melalui Kerajinan Tangan dan
Kesenian di Sekolah Dasar. Jakarta: Depdiknas Ditjen Dikti Direktorat
Ketenagaan.
Lowenfeld, V. and Brittain W. L. (1975) Creative and Mentalgrowth, Sixth
edition. New York: Macmillan Publishing, Co. Inc
Maman Tocharman, dkk. (2006). Pendidikan Seni Rupa. UPI Press
Muharrar, Syakir dan Verayanti, Sri. (2013). Kreasi Kolase, Montase, Mozaik
Sederhana. Semarang : Erlangga
Munandar, Utami. (2012). Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat. Jakarta :
Rineka Cipta.
Rachmawati, Yeni dan Kurniati, Euis. (2006). Strategi Pengembangan
Kreativitas. Bandung : Departemen Pendidikan Nasional.
Sudarma, Momon. (2013). Mengembangkan Keterampilan Berfikir Kreatif.
Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.

1337
Sumanto. (2006). Pengembangan Kreativitas Seni Rupa Anak Sekolah Dasar.
Jakarta : Depdiknas.
Tarjo, E. (2003). Pendidikan seni rupa. UPI. (2004). Strategi Belajar-Mengajar
Seni Rupa. Bandung: Jurusan Pendidikan Seni Rupa FPBS UPI.

1338
TEKNIK CETAKAN BLOK MELALUI EKPLORASI SUMBER ALAM
DALAM PENGAJARAN DAN PEMBELAJARAN SENI
PRA SEKOLAH
1)
Khalijah Ahmad & 2)Abd. Manaf Ishak
Institut Pendidikan Guru Malaysia, Cyberjaya
E-mail: 1)khalijah@ipda.edu.my
Abstract
Based of Creativity and Aesthetics in art teaching pre-school is part of the
human capital that can be competitive in the future. The importance of the
intellectual development of children is fundamentally influenced by the teaching
techniques and delivery taking place in an education system. Early exposure to
traditional crafts such as batik can enhance creativity, expression, intuition,
imagination, sensitivity and their conception of the craft of batik. The focus of
this study was to visual art pre-school children through block printing technique.
This technique is one of the most popular technique of batik in Malaysia since
1911. The study found that there are two sources of print material that can
discover by pre-school children to produce prints of all so basic and made by
human materials. Both of these substances must be scrutinized from the point
of art, particularly base line, look for prints and textures of interest. This study
will also explore natural resources to replace the colors available in the market
and act as an agent for transferring motive blocks / mold on the surface of the
paper or fabric. Therefore, this study is a step too creative for teachers to
recognize and deepen the nature of the materials used in teaching and learning
through visual arts Stem Creativity and Aesthetics in pre-school. Teachers in
efforts to diversify the teaching techniques will attract students to explore the
arts. Needs study is to develop creativity and exploration of teachers with pre-
school children in the production of traditional art history without marginalizing
content
Kata kunci: cetakan blok, eksplorasi, sumber alam dan prasekolah
PENGENALAN
Blok batik ialah acuan yang diperbuat daripada kayu, tembaga atau besi
yang digunakan untuk menerap kain dengan menggunakan lilin (Pauziah Haji
Abdullah, 1983). Perbadanan Kemajuan Kraf Tangan Malaysia (1987),
mendefinisikan blok batik sebagai salah satu alat yang digunakan dalam
penghasilan batik blok di Malaysia. Bagi blok kayu bahagian atas
permukaannya diukir dengan motif yang timbul, manakala pada permukaan
blok tembaga atau besi terdapat kesan motif berupa garisan sekiranya dilihat
pada bahagian atas blok. Kesan ini ialah hasil gubahan dan susunan plat
logam yang sekata ketinggiannya berdasarkan motif yang atau tema yang
dipilih.
Sejarah penghasilan blok batik pertama di Malaysia ialah dengan
terciptanya blok batik daripada kayu iaitu hasil inisiatif dan inovasi yang
dilakukan oleh Haji Che Su bin Ishak (1877 - 1936) pada tahun 1914.
Penciptaan blok pertama ini telah membuka lebaran baru dalam penghasilan
batik di Tanah Melayu pada ketika itu (Mohd Zain, 1984). Blok yang diperbuat
1339
daripada kayu ini kemudiannya bertindak sebagai acuan atau sarang bunga
yang digunakan dalam penghasilan batik blok. Manakala penggunaan blok
batik di Indonesia diilhamkan daripada penciptaan kain cap dari India yang di
bawa masuk ke tanah Jawa. Kemasukan ini telah memberi inspirasi kepada
tukang-tukang blok di kepulauan itu untuk menghasilkan acuan daripada kayu
sebelum penghasilan daripada blok yang menggunakan tembaga (Kerlogue,
2004).
Pada asasnya penggunaan blok batik seringkali kali dikaitkan dengan
penggunaan lilin. Walau bagaimanapun pada permulaan penggunaan blok
kayu, lilin masih belum digunakan bagi memindahkan motif dari permukaan
blok ke atas permukaan kain. Proses memindahkan motif dari blok kayu ke
atas permukaan kain hanya menggunakan warna sebagai bahan tara utama.
Berbeza dengan blok kayu, blok besi dan tembaga akan dicelup ke dalam
larutan lilin yang panas sebelum diterap atau dipukul ke atas permukaan kain.
Kesan terapan ini akan meninggalkan motif daripada blok yang digunakan.
Kesan motif yang sama akan diperoleh sekiranya penggunaannya diulang.
Hasil daripada terapan lilin ini juga akan memperlihatkan kesan garisan, titik-
titik atau bunga putih (kain) apabila ia diberi warna melalui proses pencelupan
warna (Lai, 1994).
Penggunaan blok atau acuan dalam penghasilan batik bertujuan untuk
mempercepatkan kerja-kerja penghasilan produk. Hasil cetakan menggunakan
blok ini akan meninggalkan kesan cetakan yang sama serta dapat dilakukan
dalam masa yang lebih singkat. Dalam pengajaran dan pembelajaran seni
visual di peringkat pra sekolah, aktiviti ini dijalankan bertujuan untuk mengasah
kreativiti dan disiplin kanak-kanak selain dapat mengendali bahan dan
peralatan cetakan di samping dapat menguasai bahan dan alat yang
digunakan. Secara asasnya aktiviti cetakan ini dianggap paling bersesuaian
dengan peningkatan tahap kreativiti kanak-kanak pra sekolah. Mengikut
catatan sejarah perkembangan batik di Malaysia, penghasilan batik dengan
menggunakan teknik cetakan blok atau acuan ini adalah yang terawal
dihasilkan, namun tarikh dan tahun penghasilannya yang tepat tidak
dinyatakan.
Sebagai pengenalan kepada aktiviti cetakan di peringkat sekolah
kebanyakan bahan dan alat yang digunakan adalah yang paling asas tanpa
menggunakan lilin panas atau bahan yang membahayakan. Peratusan atau
kesan untuk mendatang kecederaan kepada kanak-kanak adalah sifar atau
paling minimum. Hal ini disebabkan oleh guru bertindak sebagai demonstrator
kepada kanak-kanak terutamanya semasa memotong atau membentuk motif
pada permukaan bahan yang digunakan. Manakala gerak kerja seperti
menumbuk bahan menggunakan lesung batu boleh alami oleh kanak-kanak
dengan pemerhatian penuh daripada guru dan pembantu pra.

DEFINISI CETAKAN
Cetakan adalah proses penghasilan karya seni yang menggunakan warna
atau dakwat. Imej yang akan terhasil kesan daripada pemindahan warna atau
dakwat yang disapu pada permukaan imej yang dibentuk melalui keratan atau
diukir ke atas sesuatu permukaan sama ada kain atau kertas. Cetakan juga
merupakan proses penghasilan karya seni yang lazimnya dalam bentuk 2

1340
dimensi atau rata yang dilakukan secara berulang dan menghasilkan gambaran
visual atau kesan yang sama. Cetakan berdasarkan kajian ini menjurus
kepada cetakan blok yang menggunakan bahan semula jadi dan bahan buatan
manusia mengikut tahap dan kemampuan kanak-kanak pra sekolah.

ALATAN ASAS CETAKAN


Lazimnya proses cetakan asas di peringkat pra sekolah menggunakan
beberapa peralatan asas seperti:
1. Blok atau acuan yang digunakan untuk mencetak, bahan tara untuk
memindahkan imej.
2. Warna iaitu bahan tara yang digunakan untuk memindahkan imej daripada
permukaan blok atau acuan ke atas permukaan kain ( dalam kajian ini
warna yang digunakan adalah daripada ekstrak bahan semula jadi yang
dicampur dengan batu kapur berwarna putih untuk menjadikannya lebih
pekat)
3. Berus untuk menyapu warna.
4. Bahan yang tajam seperti pisau untuk membentuk imej blok (perlu
dikendalikan oleh guru).
5. Plat (bekas) pembancuh warna.
TEKNIK CETAKAN BLOK
Pengajaran seni visual menerusi Tunjang Kreativiti dan Estetika di
peringkat Pra Sekolah dapat mempelbagaikan lagi teknik pengajaran. Teknik
cetakan ini pada asasnya telah lama diaplikasikan dalam mata pelajaran
Pendidikan Seni Visual di sekolah. Walau bagaimanapun pelaksanaannya agak
terhad dan terbatas. Kebanyakan guru lebih selesa mengaplikasikan bahan
sedia ada di pasaran. Eksplorasi bahan dalam pengajaran dan pembelajaran
memerlukan daya usaha yang tinggi dalam kalangan guru. Hal ini ditambahkan
lagi dengan perlaksanaan pengajaran mengikut sukatan yang telah di tetap dan
diselaraskan, selain memerlukan minat dan kreativiti guru untuk
melaksanakannya. Guru-guru juga perlu bersedia lebih awal selain
memerlukan komitmen yang sepenuhnya bagi menjayakan projek pengajaran
dan pembelajaran seperti ini. Namun, adalah lebih baik menjalankan sesuatu
yang di luar kebiasaan bagi menghasilkan pengalaman sepanjang hayat dalam
kalangan kanak-kanak yang diajar daripada pengalaman dan pengetahuan itu
hanya bertahan seminggu atau sebulan yang paling lama setahun.
Keperluan mengeksplorasi bahan semula jadi yang berfungsi sebagai
acuan atau blok dalam aktiviti cetakan, terhadap kanak-kanak pra sekolah
akan mendedahkan lagi mereka kepada kepelbagaian teknik dalam
penghasilan seni visual di samping memberi pengalaman yang
menyeronokkan. Penggunaan bahan-bahan maujud seperti blok batik dan batik
blok adalah objek yang paling tepat untuk memahamkan lagi kanak-kanak
tentang fungsi dan keperluan blok atau acuan batik sebagai mekanisme yang
menghasilkan seni tradisi ini.
Aplikasi teknik cetakan juga akan memupuk kreativiti dalam kalangan
kanak-kanak pra sekolah menyusun atur motif berdasarkan gambaran atau
panduan yang diberikan. Aktiviti ini juga, membuka ruang kepada kanak-kanak
untuk mengeksplorasi penggunaan ruang yang tepat dalam penghasilan karya.
Terdapat dua bahan yang telah dikenal pasti sebagai blok atau acuan iaitu
1341
bahan semula jadi dan bahan buatan manusia. Lazimnya proses cetakan di
peringkat pra sekolah dijalankan secara mono iaitu hanya menggunakan satu
warna bagi satu acuan atau blok. Elemen asas seni reka seperti rupa, bentuk,
ruang, garisan dan jalinan yang terhasil daripada cetakan ini akan
menambahkan lagi nilai estetika dan keunikannya. Keupayaan kanak-kanak
mengenal pasti setiap motif yang dihasilkan daripada bahan semula jadi akan
menambahkan lagi pemahaman mereka daripada aktiviti yang dijalankan.
BAHAN BLOK
Adaptasi daripada bahan semula jadi sebagai blok cetakan, mempunyai
dua kategori iaitu aplikasi motif daripada bahan semula jadi dan reka bentuk
motif pada bahan semula jadi yang dipilih. Kedua-dua hasil cetakan daripada
kaedah ini akan meninggalkan kesan yang berlainan sama ada dari segi rupa
ataupun jalinan. Setiap bahan yang dipilih perlu dikenal pasti kandungan serat
dan air dalamnya, kerana kedua-dua elemen ini akan mempengaruhi cetakan.
Lazimnya bahan seperti ubian dan umbut pisang adalah antara bahan utama
yang digunakan untuk membentuk blok. Namun begitu pemilihan sesetengah
bahan seperti ubi sengkuang sebagai bahan blok jarang diaplikasikan kerana
kandungan air yang banyak dan bersifat rapuh.
Motif Asal
Selain mempunyai khasiat makanan yang tinggi bagi sesetengah
tanaman sama yang tumbuh secara liar atau sayuran yang ditanam, tumbuhan
ini lazimnya mempunyai rupa, bentuk, warna yang pelbagai dan unik.
Perbezaannya memberi kelainan pada hasilan seni jika diaplikasikan dengan
betul. Antaranya seperti buah peria, brokoli, bunga kubis, petola, capsicum
annum (cili Benggala), terung, pangkal sawi, kacang kelisa, bawang, pelepah
pisang dan lain-lain lagi adalah tumbuhan atau sayuran yang mempunyai
keratan rentasan yang menarik. Pada permukaan keratan rentas akan terhasil
rupa atau bentuk yang terhasil secara semula jadi dan boleh digunakan dengan
mudah oleh kanak-kanak sebagai blok atau acuan.
Hal ini berdasarkan kepada penggunaan blok yang diambil daripada
keratan batang buluh tanpa menambahkan sebarang dekorasi pada bahagian
yang dipotong dan digunakan sebagai blok cetakan pada zaman prasejarah.
Aktiviti ini berterusan sehinggalah penemuan bahan blok yang lebih baik, tahan
lama dan lebih praktikal, iaitu blok yang menggunakan batu yang diukir dan
dibakar, kemudian dicelup ke dalam larutan warna dan diterap ke atas
permukaan kain untuk mempercepatkan proses pengeringan motif yang dicetak
(Abdullah Muhammad, 1990). Walau bagaimana penggunaan acuan daripada
batu ini kemudiannya berubah mengikut perkembangan tamadun manusia
sehingga menemukan bahan yang lebih praktikal dan tahan lama seperti kayu,
blok besi dan tembaga. Blok kayu adalah blok yang mengaplikasikan teknik
cetakan mono manakala blok besi dan tembaga lazimnya menggunakan lilin
panas untuk memindahkan motif ke permukaan fabrik.

1342
Rajah 1: Blok kayu Rajah 2: Blok tembaga
Sumber: Koleksi Pusat Inovasi Sumber: Koleksi Perusahaan
Kraf Batik, Kelantan SAMASA Batik tahun 2000
Penggunaan motif asal pada bahan semula jadi ini lebih menjimatkan
masa, namun begitu nisbah keemasan yang terhasil daripada cetakan ini
kurang menyerlah berbanding dengan cetakan menggunakan motif yang
dibentuk pada permukaan bahan semula jadi atau bahan buatan manusia.
Reka Bentuk Motif Blok
Penggunaan bahan semula jadi sebagai blok atau acuan cetakan di
peringkat pra sekolah perlu dikenal pasti dengan tepat. Bahan-bahan semula
jadi yang padu dan kurang mengandungi kandungan air adalah yang paling
sesuai untuk membentuk motif pada permukaannya. Antara bahan-bahan
tersebut ialah karet, ubi kentang, ubi keledek dan umbut pisang. Secara
dasarnya penghasilan motif pada permukaan bahan semula jadi ini telah lama
dipraktikkan. Kaedahnya hampir menyerupai kaedah penghasilan blok batik
yang menggunakan kayu iaitu dengan cara membentuk alur kecil mengikut
motif yang dikehendaki pada permukaan kayu.
Blok yang dihasilkan dengan menggunakan bahan daripada ubian dan
umbut ini dikenali sebagai blok bungkis. Abdullah Mohammad (1990),
penciptaan blok ini dianggap sebagai sebahagian daripada usaha dan inisiatif
masyarakat terdahulu untuk menghasilkan motif yang serupa dalam kuantiti
yang banyak dan dapat dihasilkan dalam masa yang singkat. Proses
menghasilkan motif blok bungkis dimulakan dengan memotong ubi atau umbut
untuk mendapatkan permukaan yang rata bagi tujuan membentuk motif. Motif
blok akan diukir atau dibentuk pada bahagian permukaan ubi atau umbut sama
ada dengan ketinggian yang berbeza daripada tapak atau dibentuk motif pada
keseluruhan permukaan ubi atau umbut.
Alur kecil dibentuk bagi menimbulkan motif di atas permukaan blok.
Setelah siap blok akan disapu dengan warna pada permukaannya sebelum
dicetak ke atas permukaan kain atau kertas. Pembentukan saiz motif blok
bungkis bergantung kepada saiz motif yang dikendaki, lazimnya juga
bergantung pada saiz umbut pisang dan ubian yang digunakan. Jumlah karya
yang mampu dicetak dengan menggunakan blok ini adalah bergantung pada
kemampuan blok. Lazimnya blok tidak tahan lama kerana mudah rosak, busuk

1343
atau berkulat. Namun begitu bagi aktiviti cetakan di peringkat pra sekolah
dianggap amat memadai kerana hanya menghasilkan karya yang bersaiz kecil.
Jadual 1, menunjukkan antara bahan semula yang boleh diaplikasikan sebagai
blok dalam aktiviti cetakan di peringkat pra sekolah. Bahan-bahan yang
disarankan ini merupakan bahan yang mudah didapati dan dikenal pasti oleh
guru pra sekolah.
Jadual 1.
Bahan blok

Jenis Bahan Proses Penyediaan Motif


Bahan

Buah peria Keratan rentas. Menggunakan motif asal hasil


daripada keratan rentas

Brokoli Memotong bahan kepada Menggunakan motif asal hasil


dua bahagian daripada potongan

Bendi Keratan rentas. Menggunakan motif asal hasil


daripada keratan rentas

Cili Benggala Keratan rentas. Menggunakan motif asal hasil


daripada keratan rentas

Bahagian Memotong bahagian Menggunakan motif asal hasil


pangkal sawi pangkal sawi daripada potongan pangkal

Bawang Keratan rentas Menggunakan motif asal hasil


daripada keratan rentas

Umbut pisang Membuat keratan rentas Motif yang dihasilkan


dan membentuk motif berdasarkan kreativiti dan
pada permukaan bahan imaginasi

Karet Membuat keratan rentas Motif yang dihasilkan


dan membentuk motif berdasarkan kreativiti dan
pada permukaan bahan imaginasi

Kentang/keled Membuat keratan rentas Motif yang dihasilkan


ek dan membentuk motif berdasarkan kreativiti dan
pada permukaan bahan imaginasi

Buah peria Membuat keratan rentas Motif yang dihasilkan


dan membentuk motif berdasarkan keratan rentas.

Bahan Buatan Manusia


Selain daripada keupayaan bahan semula jadi bertindak sebagai blok
dalam aktiviti cetakan, penggunaan bahan-bahan buatan manusia juga boleh
1344
digunakan dalam aktiviti ini. Lazimnya bahan-bahan ini perlukan disesuaikan
dengan aktiviti cetakan. Antaranya seperti getah pemadam, abjad atau huruf
yang dihasilkan untuk mainan kanak-kanak, plastersin, tudung botol, acuan
kuih dan lain-lain lagi. Kebanyakan bahan buatan manusia ini mempunyai motif
sedia ada, namun sebahagiannya perlu dibentuk motif bagi mendapat kesan
cetakan yang menarik.
WARNA ALAM
Warna memainkan peranan penting untuk menghiasi emosi fizikal
manusia serta makhluk lain yang bernyawa. Sejak zaman primitif, manusia
telah memanfaatkan pigmen warna dari alam yang terdapat di sekeliling
mereka. Pewarnaan asli atau alam boleh dibahagikan kepada tiga kategori iaitu
pewarna asli yang dapat dihasilkan daripada tumbuh-tumbuhan, binatang dan
bahan galian. Bahan asli dari kulit binatang, kulit cangkerang, siput dan batu
telah digunakan untuk menghasilkan lukisan pada dinding gua pada zaman
purbakala. Pewarnaan asli dipercayai telah diamalkan dan berkembang di
setiap negara dan bangsa (Faridah, Fauziah, Shaifaul, Zailani, Rozi &
Shamsheila Mazura, 2009).
Pengalaman ekspresi kanak-kanak memerlukan daya kreatif guru dalam
menyediakan sesuatu bahan pengajaran yang baharu. Kesediaan penerimaan
kanak-kanak pada peringkat ini juga memerlukan penerokaan sesuatu yang
berbeza. Sebagai contoh penghasilan warna daripada sumber semula jadi
seperti buah, kulit pokok, bunga dan daun akan menambahkan pengalaman
kreatif kanak-kanak.
Walau bagaimanapun proses ini perlu dirancang dengan teliti di
samping memerlukan kesediaan guru untuk mendapatkan bahan dan alatan
yang digunakan bagi mendapatkan warna daripada bahan yang telah dikenal
pasti. Lazimnya bahan-bahan ini ditumbuk atau dikisar bagi mendapatkan
ekstrak atau pati yang berwarna. Ekstrak daripada sumber semula jadi ini boleh
digunakan dalam aktiviti cetakan iaitu bagi tujuan memindahkan warna
daripada permukaan motif ke atas permukaan kertas atau kain.
Proses mendapatkan warna daripada bahan semula jadi seperti yang
disenaraikan dalam jadual 2, memerlukan daya usaha guru yang tinggi. Proses
penghasilannya perlu melalui langkah tertentu. Walau bagaimanapun kajian ini
hanya memberi tumpuan kepada proses asas yang hanya memerlukan bahan
tara seperti air untuk merendam dan lesung batu untuk menumbuk. Proses ini
boleh dilakukan bersama kanak-kanak pra sekolah dengan pemerhatian
daripada guru dan pembantu pra. Bahan pewarna semula yang disarankan
dalam kajian ini ialah bahan-bahan yang mudah diperoleh. Namun begitu
ekstrak yang terhasil daripada bahan ini agak cair, bagi memekatkan ekstrak
warna yang telah diproses , pengkaji menyarankan penggunaan batu kapur
yang diasah atau menggunakan tepung beras atau gandum.

1345
Jadual 2.
Sumber bahan pewarnaan asli (yang mudah didapati)
Jenis Bahan Proses Penyediaan Warna yang terhasil
bahan
Kunyit Ditumbuk menggunakan Kuning keemasan
lesung batu atau di
mesin
Pokok rambutan hantu Biji dimasukkan ke Merah
(bixa orellana) dalam air suam atau
direbus untuk
mengeluarkan warna.
Batu kapur (merah) Diasah pada permukaan Merah jambu
yang kesat
Daun teh Direndam di dalam air Kuning keperangan
panas
Serbuk kopi Direndam di dalam air Coklat kehitaman
panas
Daun mengkudu Ditumbuk Ungu kehitaman
Buah senduduk Buah masak ditumbuk Biru kehitaman
Daun inai Ditumbuk halus Merah atau oren
keemasan
Kulit buah manggis Ditumbuk halus Ungu kehitaman

SUSUNAN MOTIF
Susunan ialah reka letak yang menentukan kedudukan motif pada
sesuatu permukaan. Setiap rekaan seni kraf tradisional mempunyai susunan
yang tertentu bergantung kepada ragam motif yang dihasilkan. Keunikan corak
pada sesuatu produk khususnya batik bergantung pada kemahiran para tukang
dalam menentukan kedudukan susunan motif. Antara susunan yang sering
diaplikasikan dalam kraf tangan tradisional seperti batik dan songket ialah
susunan ulangan sekata, selang seli, batu bata, berpusat, orgee, sendeng,
berjalur, cerminan, turun separa dan lain-lain lagi. Susunan kedudukan motif
pada permukaan kain akan lebih menyerlah dengan penggunaan warna yang
tepat dan sesuai. Kombinasi ini akan menambahkan lagi nilai estetika pada
produk yang dihasilkan.

PROSES PENGHASILAN KARYA


Proses penghasilan karya perlu dirancang dengan teliti. Lazimnya guru
yang bertanggungjawab membuat demonstrasi untuk menghasilkan warna
daripada bahan semula jadi. Manakala proses cetakan perlu disusun mengikut
terbit dan terancang supaya mudah difahami oleh kanak-kanak. Rajah 3 dan 4,
menunjukkan hasil daripada eksplorasi bahan semula jadi sebagai blok atau
acuan dalam aktiviti cetakan. Rajah 3 menunjukkan antara contoh motif yang
terdapat daripada semula jadi, kesan cetakan dan warna yang digunakan,
manakala dalam rajah 4, adalah hasil daripada motif yang dibentuk dengan
menggunakan bahan semula jadi. Bagi memantapkan lagi aktiviti yang
1346
dijalankan guru seharusnya menunjukkan beberapa bahan bantu mengajar
seperti blok batik, kain sarong sama ada dalam bentuk gambar maujud atau
hasil karya yang berkaitan dengan cetakan blok bagi memantapkan lagi
pemahaman kanak-kanak di peringkat ini. Guru juga perlu membanding
bezakan keupayaan menggunakan blok daripada bahan semula jadi dengan
blok yang dihasilkan daripada besi atau kayu.
Rajah 3.
Contoh motif asal yang terdapat daripada bahan semula jadi, kesan
cetakan dan warna yang digunakan
Jenis Bahan Kesan cetakan Catatan

Menggunakan
ekstrak batu
kapur kisar
atau digosok di
atas
permukaan
kasar.

Menggunakan
ekstrak
campuran daun
pandan dan
batu kapur
putih

Menggunakan
ekstrak
campuranbatu
kapur putih dan
kunyit yang
ditumbuk

Menggunakan
ekstrak
daripada biji
rambutan hantu
yang diramas di
dalam air untuk
mendapatkan
warna merah

1347
Jenis Bahan Kesan cetakan Catatan
Menggunakan
ekstrak daripada
biji rambutan hantu
yang diramas di
dalam air untuk
mendapatkan
warna merah

Menggunakan
ekstrak daripada
campuran serbuk
kopi dan serbuk
teh.

1348
Rajah 4.
Contoh motif yang dibentuk daripada bahan semula jadi, kesan cetakan
dan warna yang digunakan
Jenis Bahan Kesan cetakan Catatan
Menggunakan
ekstrak kunyit
yang ditumbuk.

Menggunakan
.. campuran
ekstrak kunyit
dan cili yang
dikisar.

Menggunakan
warna dari
ekstrak kopi
yang direndam
ke dalam air
panas.

RUMUSAN
Hasil kajian mendapati, pembentukan disiplin dan kreativiti murid-murid
pra sekolah secara asasnya dapat dibentuk dengan menjalankan aktiviti
pembelajaran yang berbeza. Hasil pemerhatian juga mendapati, setiap kanak-
kanak mempunyai kemahiran kreativiti dan disiplin kerja yang berbeza di antara
satu sama lain. Kemahiran ini boleh dipupuk dan diasah secara berterusan bagi
meningkatkan kemahiran sedia ada mereka. Keupayaan kanak-kanak di
peringkat ini seharusnya diberi perhatian kerana ia akan membantu watak dan
keupayaan kendiri mereka di peringkat yang seterusnya. Melalui aktiviti
cetakan ini kanak-kanak bukan sahaja diperkenalkan dengan aktiviti mencetak
sebalik turut diperkenalkan dengan bidang ilmu yang lain seperti sifat dan ciri-
ciri fizikal bahan semula jadi selain berfungsi sebagai makanan atau hiasan
selain daripada eksplorasi terhadap sumber alam itu sendiri iaitu dengan
mengubah bentuk asal menjadi satu motif yang baharu. Mereka juga turut
diterapkan dengan nilai-nilai murni semasa aktiviti dijalankan. Kajian ini juga
1349
memberi peluang kepada kanak-kanak menggunakan bahan buatan manusia
yang ada di sekeliling mereka sebagai acuan atau blok cetakan. Hasil kajian
juga mendapati, bahan maujud yang digunakan oleh guru dalam aktiviti
pengajaran seperti blok batik (blok tembaga), batik blok (kain sarung) dan
peralatan membatik yang lain memudahkan lagi pemahaman kanak-kanak, di
samping dapat mengaitkan bahan maujud tersebut dengan aktiviti cetakan
yang dijalankan.
RUJUKAN
Abdullah Mohamed (1990). Batik kita: Falsafah motif-motif dan sejarahnya
dalam Warisan Kelantan IX. Kota Baharu: Perbadanan Muzium Negeri
Kelantan, 13-43
Arney, S. (1987). Malaysian batik creating new traditions. Kuala Lumpur:
Kraftangan Malaysia.
Arba’iyah (2009). Falsafah Motif dalam seni tekstil Melayu dalam Prosiding
Persidangan Antarabangsa Kesenian 2009, Seni dekorasi: Pelestarian
dan Pembangunan. Kuala Lumpur: Akademi Pengajian Universiti Malaya.
Baharudin Mohd Arus (2000). Kraf tangan satu transformasi. Prosiding
Konvensyen Kebangsaan Pendidikan Seni Visual (2000). Kuala Lumpur:
Kementerian Pelajaran Malaysia, 149-153
Faridah, Fauziah, Shaifaul, Zailani, Rozi dan Shamsheila Mazura (2009). Seni
kraf batik: Pewarnaan asli. Rawang: Institut Kraf Negara
Fauziah Hj Abdullah (1983). Sejarah perusahaan batik dalam Warisan Kelantan
II. Kota Baharu: Perbadanan Muzium Negeri Kelantan. 42- 52.
Lai Huey Hung (1994), Peranan seni dalam kehidupan sehari-hari: Seni batik.
(Tugasan Pendidikan Seni KPLI). Institut Pendidikan Darulaman.
Koleksi Arkib, Cawangan Negeri Kedah dan Perlis.
Haziyah Hussin (2006). Motif tumbuhan kategori Bunga dalam reka corak batik
Kelantan. Jurnal Arkeologi Malaysia. Bil. 13, 15-30.
Haziyah Hussin (2006). Warisan aktiviti penghasilan batik dan songket di
Semenanjung Malaysia, Jurnal Arkeologi Melayu. Bil. 19, 37-49.
Kerlogue, F. (2004). Batik design, style & history. New York: Thames &
Hudson.
Merriam, S. B. (2009). Qualitative research and case study applications in
education. San Francisco: Joosey-Bass Pub.
Miles, M. B. & Heberman, A. M. (1994). Qualitative data and analysis: An
expanded sourcebook. (2nd. Ed.), Thousand Oaks. CA: Sage.
Mohamed Najib (2002), Sejarah dan perkembangan teknik membatik di
Malaysia dalam Prosiding seminar batik: Ekspresi, eksplorasi dan
komunikasi. Kuala Lumpur: Institut Kraf Negara, 6-11.
Mohamed Najib (2008). Transformasi untuk konteks kontemporari ke arah
pembentukan identiti. Kuala Lumpur: Mohamed Najib Mohd Dawa.
Mohd Zain (1984). Sejarah perusahaan batek (tidak diterbitkan) .
Perbadanan Kemajuan Kraf Tangan Malaysia (1987). Serian Batik, Kuala
Lumpur: Perbadanan Kemajuan Kraf Tangan Malaysia.

1350
KEMUDAHAN PRASARANA DALAM PELAKSANAAN
MATA PELAJARAN TEKNOLOGI KEJURUTERAAN,
LUKISAN KEJURUTERAAN DAN REKA CIPTA
DI SEKOLAH MENENGAH HARIAN
1)
Mohd Tafizam Mohd Taib & 2)Ramlee Mustapha
Universiti Pendidikan Sultan Idris
E-mail: 1)mtafizam78@yahoo.com.my
Abstrak
Sejak 1996, mata pelajaran teknikal seperti Teknologi Kejuruteaan (TK),
Lukisan Kejuruteraan (LK) dan Reka Cipta (RC) telah diperkenalkan sebagai
mata pelajaran elektif kepada pelajar tingkatan 4 dan tingkatan 5 Sekolah
Menengah Harian di Malaysia. Data Lembega Peperiksaan untuk mata
pelajaran TK, LK dan RC dari 2006 hingga 2010 menunjukkan pencapaian
pelajar dalam peperiksaan Sijil Pelajaran Malaysia (SPM) kurang
memberangsangkan. Data Unit Perancangan dan Dasar Kementerian
Pendidikan juga menunjukkan penurunan enrolmen pelajar TK, LK dan RC
diantara 10 ke 17 peratus dari 2009 hingga 2011. Justeru, adalah kritikal kajian
ini dijalankan untuk mengenalpasti perancangan dan pelaksanaan mata
pelajaran ini menggunakan sebahagian model penilaian KIPP – Konteks, Input,
Proses dan Produk(KIPP) oleh Stufflebeam et. Al. (1971). Maka, tujuan kertas
kerja ini adalah untuk melaporkan keputusan kajian empirikal yang dijalankan
mengenai persepsi pentadbir, guru dan pelajar mata pelajaran ini terhadap
kemudahan prasarana. Data yang diperolehi menggambarkan persepsi 159
orang pentadbir dan 176 orang guru pelbagai latarbelakang, terhadap
kemudahan prasarana yang terdapat di sekolah menengah harian. Implikasi
dan cadangan terhadap pengajaran dan pembelajaran serta kajian akan
datang turut dibincangkan dan dipersembahkan.
Kata kunci: Subjek teknikal, kemudahan prasarana, model KIPP, sekolah
harian, Malaysia
PENDAHULUAN
Kemudahan prasarana sekolah merangkumi persekitaran sekolah yang
meliputi keadaan keceriaan dan masyarakat sekolah. Keceriaan pula
merangkumi pengurusan fizikal termasuklah taman, sudut-sudut pembelajaran,
kemudahan istirehat serta pengurusan bahan-bahan dan ABM (Zakaria dan
Idris, 1995). Kemudahan prasarana yang baik dapat merangsang guru
menggunakan pelbagai sumber yang sesuai untuk membantu mereka
menjayakan proses pengajaran dan pembelajaran. Namun kemudahan
prasarana sekolah adalah berbeza diantara satu sekolah dengan sekolah yang
lain terutama sekali antara sekolah di kawasan bandar dengan sekolah yang
terletak di pendalaman (Juraidah, 2005). Kemudahan bukan sahaja untuk
tujuan pengajaran dan pembelajaran tetapi merangkumi segala aspek yang
ada di persekitaran sekolah, kemudahan ini termasuklah bilik darjah yang
kondusif, alat bantu mengajar (ABM), bahan bantu mengajar (BBM), bahan
rujukan, bengkel atau makmal dan peralatan bengkel. Persekitaran

1351
pembelajaran mata pelajaran teknikal juga mempengaruhi sikap belajar, justeru
menurut Husted et. all (2003) antara kemudahan dan peralatan yang perlu ada
ialah, perabot samada yang tetap atau boleh alih serta mesin dan peralatan.
TINJAUAN LITERASI
Kajian Radin (2008) menunjukkan peralatan yang tidak mencukupi dan
pelajar berkongsi peralatan untuk melakukan amali kerja kursus Teknologi
Kejuruteraan. Maka sudah tentu menyukarkan guru untuk membuat
pentaksiran dan pelajar tidak dapat membuat kerja kursus dengan baik dan
teratur. Ramai dalam kalangan pelajar akan mengambil masa yang agak lama
untuk menyiapkan projek disebabkan kekurangan peralatan bengkel.
Finch & Crunkilton (1999) menjelaskan bahan bantu mengajar adalah
sumber yang boleh dikategorikan kepada tiga iaitu bahan bercetak, audivisual
dan ‘manipilatif aid’ .Bahan-bahan rujukan utama mungkin terdiri daripada satu
atau dua jenis sahaja seperti buku teks dan sukatan pelajaran, sebaliknya ada
kurikulum yang mencadangkan penggunaan berbagai bahan yang terdiri
daripada bahan-bahan untuk pelajar seperti buku teks, buku kerja, buku
bacaan tambahan dan buku latihan dan bahan-bahan untuk digunakan oleh
guru seperti buku panduan, huraian sukatan pelajaran, buku sumber, carta dan
poster (Abu Bakar,1991).
PERNYATAAN MASALAH
Kemerosotan bilangan pelajar yang mengambil mata pelajaran teknikal
yang terdiri daripada mata pelajaran Teknologi Kejuruteraan, Lukisan
Kejuruteraan dan Reka cipta sebagai mata pelajaran elektif di Sekolah
Menengah Harian, memberi banyak implikasi kepada sistem pendidikan teknik
dan vokasional di Malaysia. Sumber unit data bahagian perancangan dan
penyelidikan pendidikan, Kementerian Pelajaran Malaysia menunjukkan jumlah
enrolmen pelajar pada tahun 2009 adalah seramai 42, 540 orang telah merosot
kepada 38, 211 orang pada tahun 2010 dan seterusnya pada tahun 2011
jumlah ini merosot lagi kepada 31, 879 orang. Kemerosotan enrolmen pelajar
pada tahun 2010 berbanding tahun 2009 adalah sebanyak 10.2%, kian
membimbangkan pada tahun 2011 berbanding 2010 dengan kemerosotan
16.6%.
TUJUAN KAJIAN
Kajian ini dibuat atas dasar untuk melihat kelemahan dan kekuatan
pembolehubah-pembolehubah berdasarkan Model KIPP dari dimensi input,
proses dan produk, untuk memberi gambaran kepada Kementerian Pendidikan
Malaysia (KPM) Jabatan Pendidikan Negeri (JPN) dan Pejabat Pendidikan
Daerah (PPD) mengenai punca-punca kemerosotan enrolmen dan kualiti
kelulusan mata pelajaran Teknologi Kejuruteraan, Lukisan Kejuruteraan dan
Reka cipta dalam peperiksaan SPM.
METODOLOGI KAJIAN
Reka bentuk kajian ini adalah kajian penilaian program menggunakan
sebahagian daripada model Context, Input, Process dan Product (CIPP) oleh
Stufflebeam et al. (1971). Oleh kerana responden dalam kajian ini ramai tetapi
memerlukan interaksi yang minimum dengan responden, soal selidik sangat

1352
sesuai digunakan. Walaupun data yang diperoleh melalui soal selidik dalam
kajian ini adalah data numerik dan dianalisis mengikut prosedur statistik secara
deskriptif dan inferensi, namun sebahagian daripada data numerik tersebut
memerlukan penjelasan lebih mendalam melalui temubual daripada sebilangan
kecil responden. Pemerhatian selanjutnya menggunakan senarai semak juga
dijalankan bagi melihat secara umum proses pengajaran dan pembelajaran
melalui lawatan ke sekolah. Kajian ini adalah untuk menilai dan melihat
perjalanan program, tiada teori khusus yang diuji atau dihasilkan. Kaedah
kuantitatif sesuai digunakan untuk mengukur pembolehubah dan menguji
hipotesis kajian bagi memperoleh data numerik tetapi data numerik tidak dapat
menjelaskan pemahaman lebih mendalam tentang suatu konteks. Bagi
memenuhi tujuan tersebut, Gay & Airasian (2000) dan Neuman (2000)
menjelaskan kedua-dua kaedah kuantitatif dan kualitatif sesuai dilaksanakan
dalam sesuatu kajian.
Populasi dan sampel
Populasi dan sampel kajian ini dipilih dari 95 buah sekolah bagi mata
pelajaran Teknologi Kejuruteraan, 323 buah sekolah bagi mata pelajaran
Lukisan Kejuruteraan dan 222 buah sekolah bagi mata pelajaran Reka Cipta di
Semenanjung Malaysia. Sekolah-sekolah tersebut dibahagikan mengikut lima
zon iaitu zon utara (Perlis, Kedah dan Pulau Pinang), zon barat (Perak), zon
tengah (Selangor, Kuala Lumpur dan Negeri Sembilan), zon selatan (Melaka
dan Johor) dan zon timur (Pahang, Terengganu dan Kelantan). Namun
demikian hanya dua puluh dua buah sekolah dipilih daripada setiap zon.
Bagi memastikan pulangan yang tidak kurang daripada n= 335, sebanyak
408 sampel kajian dipilih secara rawak strata mengikut zon yang terdiri daripada
pengetua, penolong kanan akademik, guru kanan mata pelajaran, guru
Teknologi Kejuruteraan, guru Lukisan Kejuruteraan, dan guru Reka cipta.
Seramai 12 orang responden yang terdiri daripada 6 orang pentadbir dan 6
orang guru yang sedang mengikuti mata pelajaran Teknologi Kejuruteaan,
Lukisan Kejuruteaan dan Reka Cipta di Sekolah Menengah Harian telah
ditemubual.
Instrumen kajian
Instrumen soal selidik, protokol temu bual dan senarai semak
pemerhatian dibina sendiri dengan mematuhi langkah-langkah pembinaan
instrumen seperti kajian rintis, kesahan dan kebolehpercayaan. Instrumen soal
selidik dibina terlebih dahulu kemudian dijalankan kajian rintis. Maklumat kajian
rintis soal selidik dijadikan asas untuk membina instrumen pemerhatian.
Seterusnya maklumat daripada kajian rintis instrumen soal selidik dan
pemerhatian pula dijadikan asas untuk membina protokol temu bual.
DAPATAN KAJIAN
Perbezaan Skor Min Pentadbir dan Guru Terhadap Kemudahan Prasarana
Skor min kemudahan prasarana bagi pentadbir dan guru ditunjukkan seperti
dalam Jadual 1. Skor min kemudahan prasarana daripada pentadbir adalah
setuju iaitu 3.86, manakala skor min guru pula adalah juga setuju iaitu 3.59. Ini
menunjukkan skor min pentadbir terhadap kemudahan prasarana adalah lebih
tinggi jika dibandingkan dengan skor min guru.

1353
Jadual 1.
Skor Min Kemudahan Prasarana Dalam Kalangan Pentadbir dan Guru

Pentadbir Guru
(n=159) (n=176)
Skor Sisihan Interpretasi Skor Sisihan Interpretasi
min Piawai skor min min Piawai skor min
Kemudahan
3.86 0.52 Setuju 3.59 0.60 Tidak pasti
prasarana

Ujian-t dijalankan bagi melihat perbezaan persepsi pentadbir dan guru


terhadap kemudahan prasarana. Jadual 2, menunjukkan kemudahan prasarana
mempunyai nilai p = 0.00 dan signifikan pada paras 0.05. Oleh itu, terdapat
perbezaan yang signifikan di antara persepsi pentadbir dengan persepsi guru
mengenai kemudahan prasarana.
Jadual 2.
Ujian-t Skor Min Kemudahan Prasarana Di Kalangan Pentadbir dan Guru

Darjah kebebasan Signifikan


N T
(2-tailed) (p)
Kemudahan
335 333 4.39 0.00*
prasarana
* Signifikan pada p = 0.05
Untuk menjelaskan lebih lanjut tentang perbezaan persepsi pentadbir dan
guru terhadap kemudahan prasarana, skor min untuk peralatan bengkel dan
bahan bantu mengajar ditunjukkan dalam Jadual 3. Skor min keseluruhan
peralatan bengkel ialah 3.86, manakala skor min keseluruhan bahan bantu
mengajar ialah 3.48. Pada keseluruhannya pentadbir dan guru mempunyai skor
yang positif setuju terhadap peralatan bengkel, juga tahap setuju terhadap
bahan bantu mengajar namun pada skor min yang lebih rendah berbanding
peralatan bengkel dan menghampiri tidak pasti.

Jadual 3.
Skor Min Keseluruhan Peralatan Bengkel dan Bahan Bantu Mengajar

Skor min Sisihan Interprestasi skor min


keseluruhan piawai

Peralatan bengkel 3.86 0.65 Setuju


Bahan bantu mengajar 3.48 0.70 Setuju

Untuk perbincangan lebih lanjut Jadual 4 pula menunjukkan perbezaan


skor min bagi peralatan bengkel dan bahan bantu mengajar antara pentadbir
dan guru iaitu dua elemen dalam komponen kemudahan prasarana
pembolehubah input yang di tetapkan dalam penyelidikan ini. Skor min bagi
peralatan bengkel dan bahan bantu mengajar di kalangan pentadbir adalah
pada tahap lebih tinggi jika dibandingkan dengan guru. Skor min peralatan

1354
bengkel bagi pentadbir adalah 3.96 dan guru pula 3.77. Skor min bahan bantu
mengajar bagi pentadbir adalah 3.69 dan guru pula 3.28. Pada keseluruhannya
pentadbir mempunyai skor yang positif setuju terhadap peralatan bengkel, juga
setuju terhadap bahan bantu mengajar namun pada skor min yang lebih rendah
berbanding perlatan bengkel dan menghampiri tidak pasti. Manakala guru
mempunyai skor min yang positif setuju terhadap peralatan bengkel, tahap
tidak pasti terhadap bahan bantu mengajar.
Jadual 4.
Skor Min Peralatan Bengkel dan Bahan Bantu Mengajar dalam
Kalangan Pentadbir dan Guru

Pentadbir (n=159) Guru (n=176)


Skor min Interprestasi Skor min Interpretasi
skor min skor min
Peralatan 3.96 Setuju 3.77 Setuju
bengkel
Bahan bantu 3.69 Setuju 3.28 Tidak pasti
mengajar

Setelah ujian-t dijalankan, Jadual 5 menunjukkan terdapat perbezaan


yang signifikan antara persepsi pentadbir dan guru bagi peralatan bengkel
kerana nilai p = 0.07 adalah lebih kecil daripada nilai p = 0.05. Terdapat
perbezaan yang signifikan antara persepsi pentadbir dan guru bagi bahan bantu
mengajar di mana nilai p = 0.00 adalah lebih kecil daripada nilai p = 0.05.
Jadual 5.
Ujian-t Ke Atas Skor Min Peralatan Bengkel dan Bahan Bantu Mengajar

Komponen Input n Darjah t Signifikan


Kebebasan (2-tailed)

Peralatan bengkel 335 333 2.69 0.07


Bahan bantu 5.58 0.00*
mengajar
* Signifikan pada p = 0.05
Sebagai penjelasan lebih lanjut mengenai persepsi pentadbir dan guru
terhadap peralatan bengkel dan bahan bantu mengajar, skor min peralatan
bengkel dan bahan bantu mengajar dibincangkan mengikut mata pelajaran
berdasarkan Jadual 6. Skor min peralatan bengkel adalah setuju iaitu 3.86
dalam mata pelajaran Teknologi Kejuruteraan dan setuju iaitu 3.83 dalam mata
pelajaran Lukisan Kejuruteraan juga setuju iaitu 3.92 dalam mata pelajaran
Reka Cipta. Skor min bahan bantu mengajar adalah setuju iaitu 3.41 dalam
mata pelajaran Teknologi Kejuruteraan dan setuju iaitu 3.59 dalam mata
pelajaran Lukisan Kejuruteraan juga setuju iaitu 3.42 dalam mata pelajaran
Reka Cipta, namun skor min bahan bantu mengajar bagi ketiga-tiga mata
pelajaran amat menghampiri tahap tidak pasti. Secara amnya, perepsi

1355
pentadbir dan guru terhadap peralatan bengkel adalah lebih tinggi dalam
ketiga-tiga mata pelajaran ini berbanding persepsi terhadap bahan bantu
mengajar.
Jadual 6.
Skor Min Peralatan Bengkel dan Bahan Bantu Mengajar Mengikut
Mata Pelajaran

Mata Pelajaran
Teknologi Kejuruteraan Lukisan Kejuruteraan Reka Cipta
(n=125) (n=127) (n=83)
embolehubah Sisihan Interpretasi Sisihan Interpretasi Sisihan Interpreta
Min Min Min
ersandar Piawai skor min Piawai skor min Piawai skor min
eralatan
3.86 0.63 Setuju 3.83 0.74 Setuju 3.92 0.53 Setuju
engkel
ahan bantu
3.41 0.65 Setuju 3.59 0.70 Setuju 3.42 0.74 Setuju
mengajar

ANOVA dijalankan bagi menjelaskan perbezaan persepsi mengenai


peralatan bengkel dan bahan bantu mengajar di kalangan pentadbir dan guru
mengikut mata pelajaran. Jadual 7 menunjukkan tidak terdapat perbezaan yang
signifikan antara persepsi pentadbir dan guru bagi peralatan bengkel kerana
nilai p = 0.63 adalah lebih besar daripada nilai p = 0.05. Tidak terdapat
perbezaan yang signifikan antara persepsi pentadbir dan guru bagi bahan bantu
mengajar di mana nilai p = 0.09 adalah lebih besar daripada nilai p = 0.05. Ini
menggambarkan tidak terdapatnya perbezaan persepsi pentadbir dan guru
terhadap elemen peralatan bengkel dan bahan bantu mengajar dalam
komponen kemudahan prasarana pembolehubah input dalam pelaksanaan
mata pelajaran Teknologi Kejuruteraan, Lukisan Kejuruteraan dan Reka Cipta di
Sekolah Menengah Harian.

Jadual 7.
ANOVA Peralatan Bengkel dan Bahan Bantu Mengajar Mengikut
Mata Pelajaran

Pembolehubah bersandar F Signifikan (p)


Peralatan bengkel 0.46 0.63
Bahan bantu mengajar 2.43 0.09
P > 0.05
Bagi menghuraikan dengan lebih lanjut persepsi guru yang berada pada
tahap tidak pasti terhadap bahan bantu mengajar, skor min guru terhadap
bahan bantu mengajar mengikut mata pelajaran di dibincangkan dalam Jadual
8. Skor min guru Teknologi Kejuruteraan terhadap bahan bantu mengajar
adalah positif tidak pasti iaitu 3.24, skor min guru Lukisan Kejuruteraan pula
adalah setuju yang amat rendah iaitu 3.43, manakala skor min guru Reka Cipta
1356
juga adalah tidak pasti iaitu 3.11. Secara keseluruhannya persepsi guru Lukisan
Kejuruteraan adalah lebih positif berbanding persepsi guru Teknologi
Kejuruteraan, dan persepsi guru Teknologi Kejuruteraan adalah lebih positif
berbanding guru Reka Cipta namun keduanya adalah tidak pasti.

Jadual 8.
Skor Min Guru Terhadap Bahan Bantu Mengajar Mengikut Mata Pelajaran

Mata Pelajaran
Teknologi Kejuruteraan Lukisan Kejuruteraan Reka Cipta
(n=71) (n=68) (n=37)
embolehubah Sisihan Interpretasi Sisihan Interpretasi Sisihan Interpretasi
Min Min Min
ersandar Piawai skor min Piawai skor min Piawai skor min
ahan bantu
3.24 0.66 Tidak pasti 3.43 0.76 Setuju 3.11 0.80 Tidak pasti
mengajar

Dapatan Temubual
Pandangan dan dapatan dalam aspek kemudahan prasarana. Contoh
jawapan yang dikemukakan oleh pentadbir semasa temu bual adalah seperti
berikut:
[

‘Ok prasarana.. bengkel memang ada kerusi meja tu adalah, aa..tapi bahagian
aa..komputer memang tak..h..hm, nak kata..tak mencapai tahap yang
di..di..ha..ya..diharapkan, bila dah dibekalkan awal-awal, lepas tu, aa..tidak ada
maintainance, kerosakan tak disambut dengan segera, jadi perkara begitu
memang memang membantutkan proses pnp’(PT1LK).
‘...begitu juga dengan RC, RC hanya menumpang di bengkel MPV seni reka
tanda.....tapi alhamdulillahlah, sebab reka tanda tu lengkap, dari segi bengkel
dia lengkap, itu sajalah kemudahan yang boleh digunakan, itu yang saya lihat
jugalah, tak ada rasa..aa..apa ni,,kalau bilik dia sendiri dia lebih selesa,
berbanding kalau berkongsi dengan orang, dan mungkin, kemungkinan juga,
tak tahu apa lagi kemudahan-kemudahan lain yang seharusnya ada di bilik dia,
dia hanya bergantung kepada apa yang ada di bilik MPV sahaja’(PT1RC).
‘…memang guru-guru ada menggunakan alat bantu mengajarlah, ehm..tetapi
alat bantu mengajar tersebut mungkin dah lama, aha..betul, dah lama mungkin
sepuluh tahun dulu, jadi benda tu tidak di up gradekan, ehm..jadi bila tak di
upgradekan maksunya kita masih menggunakan BBM atau ABM yang
lamalah…’(PT1TK).
Pandangan dan dapatan aspek kemudahan prasarana. Contoh jawapan
yang dikemukakan oleh guru semasa temu bual adalah seperti berikut:
‘Apa yang disediakan sebenarnya, macam tak de tu sanagatlah, tak de guna
sangatlah sebab bilik LK pun meja dia tu meja biasa, meja yang tak boleh
condong. Tak berapa sesuailah...ha.ah..hmmm…’(G1LK).
‘Kalau nak cakap tentang kemudahan prasarana ni, saya terpaksa bercerita
secara jujurlah, Ya, kalau nak kira kemudahan dalam bentuk machine dan
peralatan dan sebagainya, dia adalah dah terlalu lamalah, dan terlalu teruk dan
daif, sebab alat-alat yang digunakan di peringkat sekolah ni, pelajar-pelajar tak
kan jumpa sekiranya mereka pergi ke kilang-kilang ataupun pusat-pusat

1357
industri, jadi ini...lama punya barang, hmm... bahan-bahan dia, alat-alat dia,
dan yang disediakan di peringkat pasaran nanti benda yang baru yang canggih
yang lebih sofisticated’(G2RC).
‘Bahan bantu mengajar...memang saya gunakan buku tekslah dan juga power
point, ada..aa..apa yang dibagi tu, cd, aa..cd couseware, tapi cd courseware tu
tak menepati, sebab macam cd ETEMS jugak kan, bila kita on macam tu benda
tak boleh nak stop, ha..ha..jadi saya selesa dengan power point, makna kita
boleh kat situ, kita terangkan dan boleh sambung balik’(G2TK).
Dapatan pemerhatian
Hasil pemerhatian di jadual 9, menunjukkan dapatan daripada
pemerhatian kemudahan prasarana di sekolah. 12 (66.7%) buah sekolah
mempunyai bengkel, 12 (66.7%) buah sekolah mempunyai stor alatan, 10
(55.6%) mempunyai CD courseware, 9 (50.0%) mempunyai alatan tangan dan 7
(38.9%) mempunyai peralatan mesin. Ini menunjukkan bahawa kemudahan
prasarana di sekolah yang menawarkan mata pelajaran Teknologi Kejuruteraan,
Lukisan Kejuruteraan dan Reka Cipta masih tidak sempurna dan perlu di ambil
perhatian sewajarnya oleh pihak bertanggungjawab.

Jadual 9.
Analisis Pemerhatian Ke Atas Kemudahan Prasarana

Ada Tiada
Bil. Peratus Bil. Peratus
Kemudahan Prasarana
Bengkel 12 66.7 6 33.3
Alatan tangan 9 50.0 9 50.0
Peralatan mesin 7 38.9 11 61.1
Stor alatan 12 66.7 6 33.3
CD courseware 10 55.6 8 44.4

PERBINCANGAN DAN RUMUSAN


Kemudahan yang lengkap bagi sesuatu kemahiran yang akan dipelajari
adalah satu kemestian. Sesuatu kumpulan latihan tidak boleh mempunyai
terlalu ramai pelatih, jumlah yang sesuai mungkin antara 8 hingga 15 orang
bagi setiap kumpulan latihan. Manakala kemudahan yang disediakan seperti
ruang latihan, ruang belajar, peralatan dan bahan-bahan pembelajaran
mestilah untuk jumlah yang ditetapkan (Ahmad Suhaimi 2006). Namun
demikian dalam kajian ini masalah kemudahan prasaranan adalah masalah
masalah utama yang disuarakan oleh pentadbir (23.69%), guru (20.83%) dan
pelajar (23.19%), dalam soalan terbuka soal selidik. Begitu juga hasil temubual
kekerapan respons temubual mengikut konteks kemudahan prasarana adalah
antara yang tertinggi bagi pentadbir (12.81%) dan guru (13.74%),
menunjukkan responden kerap memberi kenyataan tentang kemudahan
prasaranan yang bermasalah di sekolah menengah harian. Ini bersamaan
dengan dapatan Husin (2006) dalam kajiannya menunjukkan bahawa Sekolah

1358
Menengah Teknik masih menghadapi kekurangan kemudahan fizikal dan
peralatan untuk pelaksanaan pembelajaran konteksual. Dapatan kajian
mengenai kekurangan kemudahan prasarana dalam pelaksanaan mata
pelajaran teknikal juga disokong oleh dapatan kajian oleh Fazidah (2002) dan
Azizah (2003).
Secara keseluruhannya dapatan kuantitatif menunjukkan persepsi
pentadbir dan guru terhadap dimensi input dari aspek kemudahan prasarana
adalah positif setuju, dimana persepsi pentadbir adalah lebih positif berbanding
guru dan terdapat perbezaan persepsi antara pentadbir dan guru terhadap
kemudahan prasarana. Kemudahan prasarana juga dikenalpasti sebagai
masalah utama yang dinyatakan pentadbir, guru dan pelajar dalam dimensi
input seperti masalah kewujudan bengkel khusus untuk mata pelajaran,
perbekalan peralatan bengkel, kekangan kemudahan ICT, perisian
pembelajaran, stor simpanan, penyelenggaraan peralatan, sistem perbekalan
yang tidak sempurna, perabot yang tidak mengikut spesifikasi, pemantauan
kemudahan prasarana dan bahan bantu mengajar yang lemah, dan
tanggungjawab pihak sekolah terhadap kemudahan yang disediakan. Hasil
temubual juga mendapati, pentadbir dan guru memberikan pandangan dan
dapatan yang negatif dalam konteks kemudahan prasarana dari aspek
bengkel, alatan tangan dan mesin serta bahan bantu mengajar.
Pemerhatian juga membuktikan kemudahan prasarana di sekolah untuk
ketiga-tiga mata pelajaran ini memang tidak sempurna dimana, 11 (61.1%)
buah sekolah tidak mempunyai peralatan mesin, 9 (50.0%) buah sekolah tidak
mempunyai alatan tangan, 8 (44.4%) tidak mempunyai CD courseware, 6
(33.3%) tidak mempunyai bengkel dan 6 (33.3%) tidak mempunyai stor alatan.
Dapatan kajian ini juga mendapati kemudahan prasarana merupakan
pembolehubah bebas atau peramal yang kuat dan jelekit serta signifikan
kepada dimensi input, dimensi proses pelaksanaan latihan staf, pemantauan
pencerapan berkala dan pencerapan buku latihan, aspek alat bantu mengajar,
kaedah dan teknik, masa dan pentaksiran berasaskan sekolah dalam dimensi
proses pengajaran dan pembelajaran.
Kemudahan prasarana di sekolah menengah harian yang menawarkan
mata pelajaran Teknologi Kejuruteraan, Lukisan Kejuruteraan dan Reka Cipta
perlu di nilai, disemak, ditambahbaik secara menyeluruh dan sistematik agar
dapat dimanafaatkan dalam pengajaran dan pembelajaran untuk
meningkatkan pencapaian pelajar.
DAFTAR RUJUKAN
Abdul Rahman Arshad. 2007. Unity and education in Malaysia. Kuala Lumpur:
Dewan Bahasa dan Pustaka.
Abu Bakar Nordin. 1991. Kurikulum: Perspektif dan perlaksanaan. Kuala
Lumpur: Pustaka Antara.
Azizah Sharif. 2003. Pelaksanaan pengajaran dan pembelajaran kontekstual
Fizik dalam bilik darjah di Sekolah Menengah Teknik Kajang. Projek
Penyelidikan Sarjana Pendidikan. Universiti Kebangsaan Malaysia.
Azizi Yahya. 1999. Keberkesanan pelaksanaan program Kemahiran Hidup di
Sekolah-sekolah Menengah Malaysia. Tesis Dr. Falsafah. Universiti Putra
Malaysia.

1359
Cooper, D.R. & Emory, C.W. 1995. Business research method. New York: The
McGraw-Hill Companies, Inc.
Fazidah Mohd. Jaafar. 2002. Persepsi guru dan pelajar terhadap pelaksanaan
kaedah pengajaran dan pembelajaran matematik secara kontekstual di
Sekolah Menengah Teknik di Negeri Melaka. Projek Penyelidikan Sarjana
Pendidikan. Universiti Kebangsaan Malaysia.
Finch, C.R. & Crunkilton, J.R. 1999. Curriculum development in vocational and
technical education: Planning, content and implementation.
Massachusetts: Allyn and Bacon, Inc.
Fulford, C.P. 1993. Can learning be more efficient? Using compressed speech
audio tape to enhance systematically designed text. Educational
Technology 32 (2): 51-59.
Gay, L.R. & Airasian, P. 2000. Educational research: Competencies for analysis
and application. New Jersey: Prantice-Hall Inc.
Hsieh. W.K. & Hsiao, L. 2001. Evaluation of junior colleges of commerce: The
Taiwan case. International Conference on Engineering Education. 6-20
Ogos. Oslo, Norway.
Hussin Mhd. Yusup. 1996. Hubungan antara persekitaran pengurusan dengan
pencapaian Matematik di sekolah rendah Negeri Sembilan Darul Khusus.
Tesis Sarjana Pendidikan. Universiti Kebangsaan Malaysia.
Husted S. W., Mason R. E. & Adams E. (2003) Cooperative Occupational
Education Including Internships, Apprenticeships and Tech-Prep. New
Jersey: Prentice Hall.
Juraidah Mat Jelani. 2005. Penilaian rancangan Latihan Mengajar (RLM)
program pendidikan guru Universiti Utara Malaysia. Tesis Sarjana
Pendidikan. Universiti Kebangsaan Malaysia.
Kementerian Pelajaran Malaysia. 2006. Pelan induk pembangunan pendidikan
2006-2010. Putrajaya: Kementerian Pelajaran Malaysia.
Krejcie, R. V., & Morgan, D. W. 1970. Determining sample size for research
activities. Educational and Psychological Measurement 30: 607-610.
Mohamad Husin Mohd Yusof. 2006. Penilaian terhadap perancangan dan
pelaksanaan program pembelajran konteksual di Sekolah-sekolah
Menengah Teknik di Malaysia. Tesis Dr. Falsafah. Universiti Kebangsaan
Malaysia.
Newman, W.L. 2000. Social research methods: Qualitative and quantitative
approaches. Edisi ke-4. New York: Alyn and Bacon.
Ornstein, A.C. & Hunkins, F.P. 1998. Curriculum, principles and issues. Third
Edition.. Boston: Allyn and Bacon.
Radin Mohd Shamsul Zahril b Hirzin. 2008. Penilaian program pentaksiran
berasaskan sekolah Teknologi kejuruteraan SPM. Tesis Sarjana
nPendidikan. Universiti Kebangsaan Malaysia.
Razali Aroff. 1996. Pengantar kurikulum. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan
Pustaka.
Sanders, J.R. 1992. Evaluating school program. Newbury Park: SAGE
Publication.
Stufflebeam, D.L, Foley, W.J., Gephart, W.J., Guba, E.G., Hammond, R.L.,
Merriman, H.O. & Provus, M.M. 1971. Educational evaluation and
decision making. Itasca: F.E. Peacock.

1360
Stufflebeam, D.L. & Shinkfield, A.J. 1985. Systematic evaluation. Boston:
Kluwer-Nijhoff.
Tyler, R.W. 1950. Basic principles of curriculum and instruction. Chicago:
University of Chicago Press.
Wiles, J & Bondi, J. 1998. Curriculum development : a guide to practice. New
Jersey: Merill, Prantice Hall.
Zakaria Kasim & Idris Md. Nor. 1995. Latihan mengajar : Permasalahan dan
cabaran di Universiti Sains Malaysia. Prosiding Seminar JKLKAU ke -9,
Pendidikan Guru: Cabaran, falsafah dan strategi dalam pembentukan
guru yang unggul, hlm. 113 -118.

1361
KEBERKESANAN PENGGUNAAN SCHOOLOGY DALAM MATA
PELAJARAN PEDAGOGI PENDIDIKAN SENI VISUAL OLEH GURU
PELATIH ELEKTIF G5.1
1)
Nor Azizah Atan & 2)Zaharah Mohamad
IPG Kampus Ilmu Khas, Kuala Lumpur
E-mail: 1)nor_azizah@ipik.edu.my
Abstrak
Kajian ini bertujuan untuk melihat keberkesanan penggunaan Schoology dalam
kalangan pelajar elektif G5.1 melalui mata pelajaran Pedagogi Pendidikan Seni
Visual. Pensyarah dan pelajar ini telah menggunakan Schoology sebagai satu
pengajaran dan pembelajaran e-learning selain daripada pembelajaran secara
bersemuka. Reka bentuk kajian ini adalah secara kuantitatif dan kualitatif iaitu
melalui kaedah soal selidik dan temu bual. Responden kajian ini melibatkan 20
orang guru pelatih G5.1 yang mengambil mata pelajaran Pedagogi Pendidikan
Seni Visual. Daripada hasil kajian ini mendapati majoriti responden bersetuju
pensyarah sentiasa memberi maklumat terkini dalam pengajaran dan
pembelajaran (PdP) melalui penggunaan Schoology. Majoriti responden sangat
bersetuju penggunaan Schoology dapat meningkatkan keupayaan guru pelatih
dalam mengaplikasi pengetahuan dan pengalaman yang diperolehi dalam mata
pelajaran Pedagogi Pendidikan Seni Visual (PSV). Dapatan kajian mendapati
jenis aktiviti yang kerap digunakan oleh pelajar ialah menghantar tugasan dan
latihan pada pensyarah.
Kata kunci: Schoology, Pedagogi Pendidikan Seni Visual
PENGENALAN
Dengan perkembangan pesat teknologi maklumat dan komunikasi (ICT),
Institut Pendidikan Guru Kampus Ilmu Khas (IPG KIK) telah mengorak langkah
dalam memertabatkan penggunaan ICT dalam pengurusan pengajaran dan
pembelajaran dengan menggunakan satu lagi sistem laman web
iaituSchoology.
Schoology (www.schoology.com) diperkenalkan secara komersial pada
bulan Ogos 2009 dan fungsinya adalah sama seperti Facebook. Ia adalah
platform dalam talian yang mempunyai fungsi seperti media sosial dan dalam
masa yang sama ianya merupakan sistem pengurusan bilik darjah elektronik.
Schoology merupakan Sistem Pengurusan Pembelajaran atau dikenali
sebagai Learning Management System (LMS). Ia juga dikenali sebagai sistem
pengurusan secara e-learning atau pendidikan dalam talian. Sistem
Pengurusan Pembelajaran ini membolehkan pensyarah mewujudkan beberapa
kaedah pengajaran dan pembelajaran atas talian seperti tugasan, ujian, kuiz,
forum, album media, folder, pautan luar dan sebagainya.
Manakala forum berfungsi untuk perbincangan dan sumbangsaran
secara kumpulan atau individu. Pelajar boleh bertanyakan soalan-soalan pada
pensyarah secara atas talian. Interaksi aktif akan berlaku di dalam forum

1362
samada dengan pensyarah atau dengan rakan pelajar yang lain. Pensyarah
juga boleh mengimport soalan tugasan dan membincangkan soalan tugasan
secara e-learning. Kelebihan pembinaan soalan atau tugasan secara atas
talian yang terdapat dalam Schoology adalah kita tidak perlu memeriksa
jawapan pelajar secara autentik. Soalan atau tugasan dilaksanakan oleh
pelajar di rumah, sementara pensyarah mengawal dari jarak jauh. Pensyarah
juga dapat menyemak nama pelajar yang melaksanakan tugasan, memberi
gred dan kehadiran secara atas talian.
PERNYATAAN MASALAH
Berdasarkan kepada tinjauan bacaan yang dilakukan oleh penyelidik,
dapat dinyatakan sehingga kini tidak terdapat satu pun kajian yang
mengkhususkan kepada pengajaran dan pembelajaran atas talian
menggunakan Schoology. Namun demikian penyelidik telah menyorot
beberapa kajian yang berkaitan dengan isu kajian.
Mohd Firdaus Yahaya (2012), di dalam tesis sarjananya bertajuk:
Istikhdam Al-Burtfuliyu Al Iliktruniyy Lada Al -Talabah Al-Mutakhassisin fi Al-
Lughah Al-‘Arabiyyah: Tatwir, wa Tanfiz, wa Taqwim (Penggunaan e-Portfolio
dalam Kalangan Para Pelajar Pengkhususan Bahasa Arab: Pembangunan,
Pelaksanaan, dan Penilaian), telah mengaitkan satu aplikasi atas talian
berasaskan laman sesawang, yang dinamakan sebagai; e-Portfolio. Aplikasi ini
dibangunkan dengan disesuaikan untuk penggunaan para pelajar
pengkhususan bahasa Arab. Hasil daripada kajiannya, penggunaan aplikasi
atas talian; e-Portfolio ini telah menarik minat para pelajar, seterusnya
memudahkan lagi kerja-kerja mereka berkaitan pembelajaran bahasa Arab. Di
samping itu, beliau menyimpulkan bahawa aplikasi atas talian; e-Portfolio ini
bersesuaian untuk digunakan oleh semua peringkat pelajar.
Prosiding Seminar Antarabangsa Kelestarian Insan 2014 (INSAN2014)
Batu Pahat, Johor, 9 –10 April 2014. laman sesawang seperti ini dilanjutkan ke
kursus-kursus lain untuk meningkatkan keberkesanan dan menarik minat para
pelajar. Melalui tinjauan kepada kajian-kajian di atas, didapati bahawa
matlamat utama penggunaan teknologi dalam pengajaran dan pembelajaran
(PdP) adalah untuk menarik minat pelajar, di samping meningkatkan lagi
keberkesanan PdP. Semua ini jelas ditunjukkan melalui dapatan kajian yang
dinyatakan, yang mana penggunaan teknologi dalam PdP berjaya mencapai
matlamat utama sebagaimana diterangkan sebelum ini. Tambahan lain,
terdapat beberapa manfaat penggunaan teknologi dalam PdP, sebagaimana
disenaraikan oleh Unit Komputer Dalam Pendidikan Pusat Perkembangan
Kurikulum, Kementerian Pendidikan Malaysia (2001), antaranya
(http://web.moe.gov.my/bpk/bsk/bpanduan/ict_in_pnp.pdf, 30 Januari 2014):
1. Meningkatkan kefahaman dan penguasaan pelajar terhadap pelajaran.
2. Memberi peluang pembelajaran yang sama kepada semua pelajar yang
pelbagai keupayaan.
3. Meningkatkan motivasi pelajar.
4. Membolehkan pembelajaran bersendiri (individual learning).
5. Membolehkan pelajar mengakses maklumat yang sukar diperolehi.
6. Membolehkan pelajar mengumpul maklumat yang perlukan masa yang
lama atau terlalu mahal untuk diperoleh.

1363
7. Mewujudkan suasana pembelajaran yang menyeronokkan dan mencabar.
8. Membolehkan pelajar mencuba atau melaksana eksperimen yang sukar,
terlalu mahal, mustahil atau bahaya untuk dilaksanakan dengan cara
biasa.
9. Meningkatkan daya kreativiti dan imaginasi pelajar.
10. Memberi peluang kepada murid belajar secara berkesan dengan
bimbingan yang minimum.
11. Meningkatkan kemahiran ICT.
Menurut para pendidik dan penggalak pengajaran dan pembelajaran
melalui penggunaan internet, mereka mempercayai bahawa proses pengajaran
dan pembelajaran melalui cara tersebut akan dapat menyumbang kepada
penghasilan persekitaran pengajaran dan pembelajaran yang positif. Terdapat
lima perkara yang dapat menentukan bagaimana pensyarah dan para pelajar
dapat menyokong proses pengajaran dan pembelajaran melalui internet iaitu
sebagai sumber maklumat yang banyak, menyediakan saluran perbincangan,
menyokong projek bersama, pembekal penerbitan dan peralatan penyelidikan
(Hong Kian Sam, 1999)
Sehubungan itu, pengkaji merasakan penggunaan Schoology dapat
membantu pelajar meningkatkan kualiti pembelajaran mereka. Schoology
diharapkan menjadi satu pendekatan yang boleh digunakan oleh para pelajar
dalam menyediakan sumber maklumat yang tepat dan cepat . Pelajar juga
boleh menggunakan Schoology sebagai alat untuk mengadakan perbincangan
antara pelajar dengan pelajar dan pelajar dengan pensyarah dan yang lebih
penting, untuk mengekses Schoology adalah secara percuma.
OBJEKTIF KAJIAN
Objektif kajian ini secara umumnya bertujuan untuk mendapatkan
gambaran keberkesanan penggunaan Schoology dalam mata pelajaran
Pedagogi Pendidikan Seni Visual. Dimensi-dimensi yang dikaji merangkumi
dimensi keberkesanan dari aspek pengetahuan dan kefahaman, keberkesanan
dari aspek penggunaan dan kekerapan jenis aktiviti semasa menggunakan
Schoology. Sebanyak tiga objektif kajian telah dikenalpasti iaitu:
1. Mengenal pasti keberkesanan dari aspek pengetahuan dan kefahaman
dalam pengggunaan Schoology.
2. Mengenal pasti keberkesanan dari aspek penggunaan Schoology.
3. Mengenal pasti jenis aktivti berkesan melalui penggunaan Schoology.
METODOLOGI KAJIAN
Kajian ini merupakan satu kajian deskriptif yang dijalankan secara
tinjauan. Kajian ini juga menggunakan kaedah penyelidikan kuantitatif dan
kualitatif dalam mengumpul maklumat dari responden dengan menggunakan
instrumen borang soal selidik dan temu bual. Untuk menguji setiap dimensi,
skala Likert lima poin digunakan. Pendekatan kajian temu bual juga digunakan
untuk memahami implementasi serta masalah dalam melaksanakan
Schoology. Penyiasatan ini bukan sahaja dapat meninjau masalah
pelaksanaan Schoology bahkan dapat memberi cadangan-cadangan
penyelesaian. Seramai 20 orang responden terdiri dari kalangan guru-guru

1364
pelatih Jabatan Pendidikan Khas yang menggambil mata pelajaran Pedagogi
Pendidikan Seni Visual sebagai mata pelajaran elektif mereka.
ANALISIS DATA
Data-data diperolehi melalui soal selidik dan temu bual guru-guru pelatih
G5.1 yang terlibat dalam mata pelajaran Pedagogi Pendidikan Seni Visual .
Kajian deskriptif yang menggunakan analisis data kaedah stastistik peratusan
digunakan untuk menganalisis data. Data temu bual pula diperolehi daripada
responden secara rawak.
DAPATAN KAJIAN
Kajian ini meninjau dari tiga aspek yang mempengaruhi penggunaan
Schoology dalam kalangan guru pelatih elektif Pendidikan Seni Visual di
Institut Pendidikan Guru (IPG) iaitu dari aspek pengetahuan dan kefahaman,
keberkesanan dari aspek penggunaan Schoology dan jenis aktiviti berkesan
melalui Schoology.
Profil responden
Jadual 1.
Profil Responden berdasarkan demografi. (N-20)

Bil Perkara Bilangan Peratus


Responden Responden
1. Jantina Guru Pelatih
Perempuan 20 100
Lelaki -
2. Umur
22 Tahun 11 55
23 Tahun 9 45
3. Bangsa
Melayu -
Cina -
India 20 100
4. Pengkhususan
Pemulihan 20 100
5 Pengalaman Menggunakan
Schoology
Tidak Pernah 20 100
Pernah

Berdasarkan Jadual 1, jantina responden yang terlibat dalam kajian ini


adalah kesemuanya responden perempuan iaitu 20 orang, iaitu 100%. Seramai
11 responden yang berumur 22 tahun atau 55%, manakala 9 orang responden
berumur 23 tahun, iaitu 45%. Daripada kajian ini didapati semua responden
terdiri daripada guru pelatih perempuan dan berbangsa India. Kajian ini juga
menunjukkan kesemua responden mempunyai pengalaman mengguna
Schoology.

1365
Jadual 2.
Pengetahuan dan kefahaman dalam penggunaan Schoology

Sangat Tidak Agak Setuju Sangat


Items Tidak Setuju Setuju Setuju
Setuju
Mempunyai pengetahuan dan 0 0 0 1 19
kefahaman dalam penggunaan (5%) (95%)
Schoology
Mudah menghantar bahan 0 0 1 1 18
pedagogi PSV melalui (5%) (5%) (90%)
Schoology
Pensyarah memberi bahan PdP 0 0 0 0 20
dan maklumat terkini dalam (100%)
Schoology
Schoology sebagai alternatif 0 0 0 2 18
pengajaran dan pembelajaran (10%) (90%)
tidak bersemuka

Jadual 2 menunjukkan 100% responden sangat bersetuju pensyarah


memberi bahan PdP dan maklumat terkini dalam Schoology. 95% responden
sangat bersetuju mereka mempunyai pengetahuan dan kefahaman dalam
penggunaan Schoology dan 90% responden sangat bersetuju mereka mudah
menghantar bahan pedagogi melalui Schoology dan Schoology sebagai
alternatif pengajaran dan pembelajaran tidak bersemuka.
Dapatan kajian juga mendapati keseluruhan pelajar sangat bersetuju
pensyarah sentiasa memberi maklumat terkini dalam PdP melalui penggunaan
Schoology. Dapatan ini juga disokong dengan temu bual dengan pensyarah
bahawa melalui Schoology mereka mudah untuk memberi nota, tugasan, kuiz
dan sebagainya. Jika beliau tiada di Institut kerana tugas rasmi, beliau akan
memberi latihan melalui Schoology dan pelajar perlu menjawab latihan tersebut
secara on line (atas talian). Beliau juga memastikan latihan tersebut diberi
markah atau gred. Apabila latihan tersebut diberi gred, pelajar akan
menyemaknya di dalam Schoology dan mereka akan tahu gerd yang diberi
oleh pensyarah. Dengan ini secara langsungnya, pelajar akan sentiasa
membuat penambah baikan terhadap pembelajaran mereka.

1366
Jadual 3.
Keberkesanan Pengggunaan Schoology

Sangat Tidak Agak Setuju Sangat


Tidak Setuju Setuju Setuju
Setuju
Memberi pendedahan kepada 0 0 0 3 17
guru pelatih untuk berinteraksi (15%) (85%)
secara e Learning
Schoology memberi pengalaman
secara langsung dalam 0 0 0 2 18
mengendalikan aktiviti (10%) (90%)
pengajaran dan pembelajaran.
Schoology dapat meningkatkan
keupayaan guru pelatih dalam 0 0 0 - 20
mengaplikasi pengetahuan dan (100%)
pengalaman yang diperolehi
dalam mata pelajaran Pedagogi
PSV.

Berdasarkan Jadual 3, menunjukkan 100% responden sangat bersetuju


penggunaan Schoology dapat meningkatkan keupayaan guru pelatih dalam
mengaplikasi pengetahuan dan pengalaman yang diperolehi dalam mata
pelajaran Pedagogi PSV. 90% responden sangat bersetuju Schoology memberi
pengalaman secara langsung dalam mengendalikan aktiviti pengajaran dan
pembelajaran. 85% responden sangat bersetuju Schoology memberi
pendedahan kepada guru pelatih untuk berinteraksi secara e Learning.
Dapatan kajian juga mendapati keseluruhan pelajar sangat bersetuju
penggunaan penggunaan Schoology dapat meningkatkan keupayaan guru
pelatih dalam mengaplikasi pengetahuan dan pengalaman yang diperolehi
dalam mata pelajaran Pedagogi PSV. Dapatan ini juga disokong dengan temu
bual dengan pelajar bahawa melalui Schoology mereka mudah menerima nota
dari pensyarah. Melalui forum pula, mereka dapat berinteraksi secara atas
talian bersama pensyarah dan rakan serta dapat berbincang berkaitan dengan
tugasan.
Jadual 4.
Jenis aktiviti dalam penggunaan Schoology yang berkesan

Jenis Aktiviti Kekerapan Peratus


Forum 11 55%
Tugasan dan Latihan 20 100%
Video Pengajaran dan Pembelajaran 7 35%
Nota dan bahan kuliah 15 75%

Berdasarkan Jadual 4, dapatan kajian menunjukkan jenis aktiviti dalam


penggunaan Schoology iaitu 100% responden kerap menggunakan Schoology
untuk menghantar tugasan dan latihan, 75% responden menggunakan
Schoology untuk mendapatkan nota dan bahan kuliah dari pensyarah. 55%
1367
responden menggunakan forum untuk berbincang dengan pensyarah dan
pelajar secara atas talian .
Dapatan kajian juga mendapat kekerapan pelajar menggunakan
Schoology adalah untuk menghantar bahan tugasan dan latihan secara atas
talian (on line). Dapatan ini disokong dengan temu bual dengan pelajar bahawa
melalui Schoology mereka mudah untuk menghantar tugasan dan latihan pada
pensyarah.
PERBINCANGAN DAN KESIMPULAN
Penggunaan Schoology dalam mata pelajaran Pedagogi Pendidikan Seni
Visual merupakan sesuatu yang baru diperkenalkan oleh Institut Pendidikan
Guru kampus Ilmu Khas. Seiring dengan kepesatan teknologi ICT. Sejajar
dengan aspirasi kerajaan yang mahukan masyarakat Malaysia celik IT, maka
adalah perlu bagi setiap pensyarah IPG menerima setiap perubahan teknologi
dengan positif dan bersama-sama berusaha melaksanakan segala dasar
seperti yang telah dirancangkan.
Keseluruhan kajian mendapati penggunaan schoology mendapat maklum
balas yang sangat baik dalam kalangan pelajar G5.1. Mereka sangat bersetuju
jika amalan pedagogi di dalam kelas digabung jalin antara pengajaran secara
bersemuka dan pengajaran secara tidak bersemuka. Latihan dan tugasan yang
diberi oleh pensyarah dalam Schoology banyak membantu pelajar dalam
pembelajaran mereka.
Kemahiran penggunaan media dan teknologi maklumat terkini 1.
Gelombang pertama anjakan 7 – Memanfaatkan ICT bagi meningkatkan kualiti
pembelajaran di Malaysia. Penggunaan Schoology akan membantu
peningkatan kefahaman dan darjah ingatan pelajar. Schoology jika digunakan
dengan berkesan dapat menghasilkan aktiviti KBAT dengan lebih menarik.
Untuk memastikan keberkesanan penggunaan Schoology dalam kalangan
pensyarah dan pelajar di Institut Pendidikan Guru (IPG) Kampus Ilmu Khas,
semua pihak seperti pentadbir, pensyarah dan pelajar perlu memainkan
peranan untuk memastikan kemudahan seperti insfrastruktur internet ditambah
baik. Pensyarah perlu terbuka dalam mempelbagaikan kaedah pengajaran
dengan mencuba pelbagai pendekatan yang menarik seperti menggunakan
Schoology dalam PdP mereka.

DAFTAR RUJUKAN
Abd. Ghafar Md. Din. (2003). Prinsip Dan Amalan Pengajaran. Kuala Lumpur :
Utusan Publication & Distributors Sdn. Bhd.
A.M.Ee . ( 1989 ) . Pedagogi 1 . Penerbitan Fajar Bakti Sdn, Bhd . Petaling
Jaya
Barron . ( 1988 ) . Creativity Process in Art. Pearsons Education South Asia
Pte. Ltd.
Dinkmeyer, D.C & Muro. J.J . ( 1979 ). Group Counseling ; Theory and
Practice. Edisi
Kedua . Illianos : FE Peacock Publication.
Gibson, R.L , M.H Mitchell. (2008 ) . Introduction to Counselling and Guidance.
Edisi Ketujuh. New Jersey : Merril Prentice Hall.

1368
I.T Rebecca , C.R Shirley . (2003). Creativity and The Arts With Young Children
. Canada ;Thomsons Learning Inc.
L. Bernice . ( 1970 ) . Methods & Material for Today’s High Schools. Toronto:
Litton Educational Publishing , Inc.
Mok Soon Sang (1992). Pedagogi 2: Strategi pengajaran pembelajaran
mikro. Kuala Lumpur: Kumpulan Budiman.
Otto G.O ., Robert E.S., Philip R.W., Robert O.B.& David L.C ( 1994 ) . Art
Fundamental. UK: Mc Graw Hill.
S.K. Myint , A. Lourdusamy, C.L Quek & F.L.W Angela . ( 2005 ) . Classroom
Management . Pearson Education South Asia Pte.Ltd. : Singapura.
Tengku Sarina Aini Tengki Kasim & Yusmini Md. Yusoff. (2006). Kaedah
Mengajar & Kemahiran Interpersonal Guru. Selangor : PTS Professsional
Publishing Sdn. Bhd.
Rujukan Internet
http://sdbl.edu.my/sdbl_edu_my/media/File/2015/BAHAN%20LDP/1/KELAS%2
0ABAD%20KE-21.pdf

1369
PENDIDIKAN KONSERVASI SENI SEJAK DINI
MELALUI PENCIPTAAN KOSTUM TARI UNTUK ANAK
BERBASIS MOTIF BATIK
Rosarina Giyartini
Universitas Pendidikan Indonesia Kampus Tasikmalaya
E-mail: devicarasvati@gmail.com
Abstract
This paper is based on the fact that until now there has been no creation of
dance costumes for children who take inspiration from the motif. This is
important because it can be used as a means of education and conservation of
the art of batik. Dance costumes based motif, can function as a means of
introducing and placing batik as part of a child's life from an early age. This
introduction once the long-term conservation efforts. Of course, this costume
embodiment process must be based on a review of the motifs used as
inspiration, the kind of dance that will use these costumes, and who will wear it.
For the process embodiment of this approach ergonimi costume. Through this
approach dance costumes created will have a value of ergonomics, aesthetic,
and educative.
Keywords: child dance costumes, batik, ergonomics
PENDAHULUAN
Pada umumnya, penciptaan kostum tari didahului oleh penciptaan tari.
Seorang penata tari akan mencipta tari dahulu sebelum menyerahkan tata
artistik pementasannya kepada penata artistik. Setelah mendapatkan
penjelasan dari penata tari, penata artistik akan membuat desain tata rias dan
tata busananya dan kemudian didiskusikan dengan penata tari. Hasil
kerjasama ini akan melahirkan kostum tari yang selaras dengan konsep tarian
sebagaimana yang diusung oleh penata tari.
Hal serupa juga terjadi pementasan teater. Sutradara akan
menerjemahkan suatu naskah yang akan dipentaskan berdasarkan
interpretasinya. Hasil interpretasi ini akan melahirkan konsep pementasan, dan
salah satunya adalah tata kostumnya. Konsep tata kostum ini yang akan
diserahkan kepada penata artistik. Jadi, proses kreatif penciptaan kostum tari
secara umum berawal dari penciptaan tarian, dan dalam konteks pertunjukan
teater berawal dari interpretasi naskah sutradara.
Sebagai sebuah karya seni, penciptaan kostum tari untuk anak tentu saja
tidak harus berawal dari konsep sebuah tarian anak. Gagasan penciptaan
kostum tari anak bisa dari apa saja, seperti binatang, tumbuhan, benda langit,
cerita rakyat, busana adat, dan lain sebagainya. Seorang penata tari anak yang
jeli, justru bisa terinspirasi dari kostum tari yang sudah ada untuk menciptakan
karya tarinya. Bukan hanya itu, kostum tari juga dapat menginspirasi
penciptaan kustum berikutnya, sebagaimana dilakukan oleh
Wijayanti (2011) dalam proyek akhirnya yang berjudul “Kostum Tari Pangimpen
dengan Inspirasi Ide Kostum Tokoh Prajurit pada Tari Kuda Lumping” (periksa
http://eprints.uny.ac.id/ 5277/1/ ).

1370
Bertalian dengan hal di atas, tulisan ini akan memaparkan konsep
pencptaan kostum tari untuk anak dengan inspirasi motif batik. Tujuan
penciptaan ini adalah untuk mengenalkan batik serta menjadikan batik sebagai
bagian dari kehidupan anak sejak dini. Secara tidak langsung hal ini adalah
salah satu upaya konservasi batik sejak dini.
TARI ANAK DAN KOSTUM TARI UNTUK ANAK
Tari anak adalah tarian yang diciptakan selaras dengan tingkat
perkembangan anak, yakni tarian yang bukan hanya menghafal gerak, namun
yang mampu menumbuhkembangkan segenap potensi kreatif anak (Giyartini,
2014a; 2014b; 2008; Suharno dan Rosarina Giyartini, 2013).
Berdasarkan Pengertian tersebut maka kostum tari untuk anak adalah
busana yang dirancang khusus untuk anak guna mempertunjukkan tarian
tertentu yang selaras dengan tingkat perkembangannya. Kostum tari ini tentu
saja berupa sesuatu yang menutupi bagian-bagian tubuh anak saat menari
sesuai proporsi tubuhnya, yakni bagian kepala (jika ada), badan (baju), bagian
bawah (celana, kain), dan asesoris yang menyertainya (gelang, kalung, anting-
anting, dan lain sebagainya).
Meskipun dikhususkan untuk anak, fungsi kostum tari untuk anak tetap
harus memperhatikan fungsi kostum dalam konteks seni pertunjukan,
sebagaimana dalam dunia teater, yakni: mencitrakan keindahan penampilan,
membedakan penari yang satu dengan yang lainnya, menggambarkan karakter
tokoh yang ditarikan, memberikan efek gerak penari, dan memberikan efek
dramatik (Bandingkan dengan, Santosa, et.el., 2008).
PROSES KREATIF PENCIPTAAN KOSTUM TARI ANAK BERBASIS MOTIF
BATIK
Pendekatan Ergonomi
Setiap seniman/kreator seni tentu memiliki metodenya sendiri dalam
proses kreatif penciptaan karyanya. Masing-masing memiliki kebenarannya
sendiri karena metode penciptaan itu lahir dari pengalaman kreator dalam
proses kreatifnya. Pengalamn setiap kreator tentu berbeda-beda, sehingga
metode peciptaan antara kreator yang satu dengan lainnya akan berbeda.
Meski demikian, ada satu hal yang sama ketika seorang seniman menciptakan
karya seni terapan, yakni menyesuaikan dengan target sasaran. Konsekuensi
logis dari penyesuaian ini adalah karya yang dibuat harus “nyaman’ dipakai
oleh target sasaran. Oleh sebab itu, diperlukan pendekatan ergonomi dalam
penciptaan kostum tari untuk anak.
Istilah ergonomi berasal dari kata Ergon (kerja) dan Nomos (hukum
alam). Kata yang berasal dari bahasa Latin ini secara umum didefinisikan
sebagai studi tentang aspek-aspek manusia dalam lingkungan kerjanya yang
ditinjau secara anatomi, fisiologi, psikologi, engineering, manajemen dan
perancangan/desain (Nurmianto, 1996). Ergonomi merupakan “Ilmu” atau
pendekatan multidisipliner guna meningkatkan kenyamanan di lingkungan kerja
(Manuaba 1992). Intinya . ergonomi mempunyai tujuan memberikan
kenyamanan, kesehatan dan keselamatan kerja yang optimal dan efisiensi dan
efektivitas kerja (Pulat, 1992).

1371
Istilah lingkungan kerja dan keselamatan kerja di atas, dalam konteks
pergelaran tari atau penyajian tari adalah keselamatan penari di atas ruang
pentas. Salah satu pendukung keselamatan tersebut adalah kostum yang
dikenakan penari. Oleh sebab itu, pendekatan ergonomi dalam pembuatan
kosum tari untuk anak menjadi penting karena secara nyata ergonomi memberi
dampak kenyamanan dan keselamatan (comfort and safety) anak ketika
sedang menari. Meminjam intilah W.Soebroto (2006) tujuan utama pendekatan
ini adalah memperoleh kesesuaian antara kebutuhan tari dengan kostum tari,
sehingga ketika anak menari akan merasa aman dan nyaman.
Lantas, bagaimanakah agar kostum tari untuk anak aman dan nyaman?
Kuncinya minimal dua hal. Pertama adalah bahan kostum (kain dan asesoris)
tidak membebani anak (tidak berat). Kedua, desain yang tidak “ribet” namun
tetap sesuai dengan tema tari yang dibawakan anak. Kedua hal ini penting
karena dalam merancang desain kostum tari harus memperhatikan bentuk dan
fungsinya, serta mengetahui dan memahami nilai-nilai yang berkaitan dengan
topik tarian, seperti esetika, sejarah, agama, dan lain sebagainya. Oleh sebab
itu penggunaan bahan yang bermotif, harus memperhatikan makna yang
terkandung dalam motif tersebut, jangan sampai bertolak belakang dengan isi
tarian atau karakter dari penari yang mengenakan kostum tersebut. Hal yang
demikian tentu akan menjadikan kostum tari yang dibuat tidak kehilangan unsur
identitas budaya yang melatarinya. Untuk itu periksa gambar a dan b berikut.

Gambar a Gambar b
Gambar a dan b adalah produksi Evoy Production, salah satu penyewaan
kostum seni pertunjukan ternama di kota Bandung. Gambar a menunjukkan
kostum tari untuk tarian etnik di Kalimantan. Pertanyaannya, apakah motif
bintang dalam tameng ada dalam khasanah ornamen tradisi suku Dayak?
Ternyata, pada gamber b menunjukkan tameng yang sama digunakan untuk
tari berbeda. Contoh di atas menunjukkan kurang jelinya penata kostum dalam
memadu padankan elemen-elemen kostum menjadi satu kesatuan yang utuh.
Bila hal ini didiamkan terus tentu akan merusak keotentikan ragam hias suku
Dayak, karena nyata-nyata penataan kostum tersebut tidak dilandasi studi

1372
kebudayaan, khususnya tentang ornamen dalam budaya suku Dayak. Nilai
edukasi kultural dari penciptaan kostum ini tentu saja berkurang.
Pilihan Motif Batik
Hingga saat ini belum ditemukan kostum tari untuk anak yang ide
dasarnya dari motif batik. Umumnya, kostum tari untuk anak dirancang dan
ditata tanpa konsep penciptaan yang dilandasi studi kebudayaan sebagaimana
nampak pada gambar berikut.

Gambar c: Padu-padan kostum


untuk tarian tertentu
Bagi yang memahami budaya suku, tentu akan meraba-raba, anak-anak
tersebut akan menyajikan tari apa. Jika orang yang melihat adalah pengamat
tari kontemporer, juga akan merenungkan dimana konsep kotemporernya.
Fenomena ini adalah realitas, dan mestinya pendidik seni tari untuk anak tidak
ikut larut dalam arus yang demikian itu.
Belum adanya penciptaan kostum tari untuk anak berbasis motif batik tentu
disebabkan banyak hal, misalnya kreator enggan mempelajari motif batik,
belum ditemukannya motif batik yeng inspiratif, “takut” salah mengolah motif
batik karena motif batik diyakini memiliki makna kultural tertentu, dan lain
sebagainya. Oleh sebab itu, hal penting dalam memilih motif batik yang akan
dijadikan kostum tari untuk anak adalah: pilih motif batik kekinian yang warna
dan motifnya sesuai dengan dunia anak.
Berikut ini adalah contoh beberapa motif batik kekinian khas Tasikmalaya,
seperti motif kupu-kupu, motif payung, motif bunga, motif rintik hujan, motif
benda langit (bulan, bintang, matahari) dan lain sebagainya yang dipaparkan
penuis saat workshop “Pembinan Kewirausahaan Berbasis Kreativitas Seni:
Pemberdayaan Depot Kreasi Seni Tari (d’Krest) UPI Kampus Tasikmalaya
Sebagai Inkubator Wirausaha di Bidang Seni Tari” di UPI Kampus
Tasikmalaya, 22 Agustus 2015.

1373
Gambar d: Penulis sedang menjelaskan motif batik tasik yang
dapat dijadikan kostum tari untuk anak (foto: Farhana. Periksa
pula Aisyah “Mahasiswa dituntut Kreatif: Pelopor Penyedia
Busana Tari Motif Batik Tasik, dalam, Radar Tasikmalaya, 22
Agustus 2015
Motif-motif tersebut di atas dapat dijadikan kostum tari kupu-kupu, tari
payung, tari bunga, tari bintang, dan seterusnya. Jika tariannya belum ada atau
belum diciptakan, maka kostum tersebut justru dapat penginspirasi para
pendidik seni tari atau siapapun untuk menciptakan tarian sesuai tema kostum
tersebut.
MEDIA EDUKASI DAN KONSERVASI
Setiap motif batik memiliki sejarah penciptaannya sendiri. Batik motif
dokter dalam khasanah perbatikan di Garut contohnya, lahir karena pesanan
dari dokter (Wawancara dengan Ari Winarno, 5 Juli 2015). Demikian pula motif-
motif yang lain, tentu memiliki kisahnya sendiri. Walaupun ketika seorang
pembatik ditanya mengapa membuat motif tertentu dan jawabnya “Tidak tahu”,
atau karena “Senang saja”, maka itulah kisahnya. Motif batik tersebut lahir
karena dorongan spontanitas, tidak bisa diulang. Tugas kita adalah
menafsirkan makna motif batik, dan tentu saja harus memiliki bekal ilmu tafsir
dan pengetahuan budaya etnik yang komprehensif.
Setelah motif batik dipahami‒baik secara emik, etik, maupun keduanya‒
dan kostumnya juga sudah dibuat, maka bagamanakah agar kostum tersebut
bernilai edukatif yang membawa pesan konservasi seni batik?
Setiap guru tentu punya metodenya sendiri, namun inti langkahnya
adalah: menjelaskan kepada anak-anak tentang tarian yang akan dipelajari
dalam kaitannya dengan makna motif batik dari kostum tari yang akan mereka
kenakan. Dengan memahami motif batik sesuai kapasaitasnya, dan
“merasakan” motif batik ada dalam dirinya, maka sejak dini anak akan merasa
handarbeni (merasa ikut memiliki), dan rasa inilah pondasi utama lestarinya
batik di negeri ini.

SIMPULAN

1374
Motif batik dapat dijadikan sumber gagasan penciptaan kostum tari untuk
anak. Motif batik tersebut adalah motif-motif yang selaras dengan dunia anak,
seperti motif binatang, benda langit, tanaman, bunga, dan sebagainya. Motif
batik yang terpilih untuk dijadikan kostum tari harus dibuat ergonomis, agar
anak merasa aman, nyaman, tanpa mengurangi nilai estetisnya. Untuk itu
perancang kosum tari untuk anak berbasis motif batik harus memiliki
pemahaman kebudayaan yang luas serta bekal ilmu tafsir yang memadai. Jika
hal ini dilakukan, maka di tangan guru tari (untuk anak) yang profesional,
kostum tari berbasis motif batik tersebut akan menjelma menjadi media edukasi
dan konservasi seni, khususnya seni batik.
DAFTAR RUJUKAN
Aisyah,S. (2015). Mahasiswa dituntut Kreatif: Pelopor Penyedia Busana Tari
Motif Batik Tasik, dalam Radar Tasikmalaya 22 Agustus 2015.
Giyartini, R. (2014a). Humanism in Dance Learning in Elementary School: form
Children, by Children, and for Children. Proceeding The 1# International
Conference for Arts and Arts Educations on Indonesia (ICAAE)
“Rethingking the Human Dignity and Nation Identity: A Review
Perspective of Arts an Arts Education”. Yogyakarta: UNY.
____________. (2014b). Membangun Kompetensi Guru Seni Tari di Sekolah
Dasar dan Pendidikan Anak Usia dini. Prosiding Seminar Nasiornal
Festival Kesenian indonesia ke-8 "Spirit of The Future: Art for
Humanizing". Yogyakarta: ISI.
________________. (2008). Tari Kreatif: Konsep Pembelajarannya di Sekolah
Dasar: dari Anak, oleh Anak, dan untuk Anak dalam T Narawati, Rita
Milyartini, Zakaria S, Soeteja (peny.), Pendidikan Seni dan Perubahan
Sosial Budaya. Bandung, SPS UPI.
Suharno & Rosarina, G. (2013). Model Penciptaan Karya Seni Berbasis
Kearfian Lokal untuk Anak Usia Dini. Prosiding Konferensi Nasional Anak
Usia Dini dan Pendidikan Dasar SPS UPI Menyongsong Generasi Emas
2045. Bandung: SPS UPI.
Manuaba, A. (1992). Pengaruh Ergonomi Terhadap Produktivitas. Bunga
Rampai Ergonomi Vol 1. Denpasar: PS Ergonomi Fisiologi Kerja
Universitas Udayana.
Nurmianto, E. (1996). Ergonomi Konsep Dasar dan Aplikasinya. PT. Guna
Widya, Jakarta
Pulat., B.,M. (1992). Fundamental of Industrial Ergonomic. Prentice Hall
Englewood Cliffs New Jersey.
Santosa, Eko, et. al., Seni Teater Jilid 1 dan Jilid 2 untuk SMK. Jakarta :
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan, Direktorat Jenderal
Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan
Nasional, 2008
Tatik, W. (2011) “Kostum Tari Pangimpen dengan Inspirasi Ide Kostum Tokoh
Prajurit pada Tari Kuda Lumping” dalam
http://eprints.uny.ac.id/5277/1/PANGIMPEN_DANCE_COSTUME_WITH_
THE_FIGURE_OF_WARRIOR_IN__MAD_HORSE_DANCE_AS_INSPIR
ING_IDEAS.pdf

1375
Soebroto, W. S. (2006). The Development of Ergonomics Method: Pendekatan
Ergonomi Menjawab Problematika Industri. Makalah Seminar Nasional
Ergonomi 2006 “Pendekatan Ergonomi Makro untuk Meningkatkan
Kinerja Organisasi” yang diselenggarakan oleh Jurusan Teknik Industri –
Universitas Trisakti, Program Studi Teknik Industri FT-Universitas
Tarumanegara, dan Program Studi Desain Produk FSRD – Universitas
Trisakti; serta didukung oleh Perhimpunan Ergonomi Indonesia (PEI) dan
Badan Kerjasama Pendidikan Tinggi Teknik Industri Seluruh Indonesia
(BKSTI) – Korwil Jakarta pada tanggal 21-22 Nopember 2006 di
Auditorium Gedung D, Kampus A – Universitas Trisakti Jakarta.

SUMBER GAMBAR
Gambar a: http://directory.idkreatif.net/directory/evoy-production/
Gambar b dan c: https://id.foursquare.com/v/evoy-
production/4c084fe37e3fc9287a 31f082? open PhotoId=507d127
de4b071132451e2cd.

NARASUMBER
Ari Winarno, 39 tahun. Pakar batik, pengajar di Jurusan Seni Rupa ISBI
Bandung

1376
KEMAHIRAN AMALI PENDIDIKAN SENI VISUAL: PELAKSANAAN
DAN CABARAN
1)
Zaharah Binti Mohamad, 2)Madya Dr Md Nasir B. Ibrahim,
& 3)Mohd Zahuri B Khairani
Institut Pendidikan Guru Kampus Ilmu Khas, Kuala Lumpur
Abstrak
Penyelidikan ini bertujuan meneliti pelaksanaan kemahiran amali pelajar
Program Ijazah Sarjana Muda Perguruan (PISMP) berdasarkan rekabentuk
kurikulum PISMP yang telah mula dilaksanakan pada tahun 2007. Kajian ini
meneroka pelaksanaan dan cabaran yang dihadapi di Institut Pendidikan Guru
Kampus Ilmu Khas (IPG KIK), dalam meningkatkan kemahiran amali pelajar-
pelajar PISMP di IPG KIK Seramai lima orang pelajar PISMP dan dua orang
pensyarah yang dipilih daripada Jabatan Pendidikan Seni Visual. Pendekatan
kualitatif telah digunakan dalam kajian ini. Data dikumpul dengan
menggunakan pemerhatian, temubual, dan analisis dokumen. Dapatan awal
menunjukkan pelajar-pelajar PISMP sangat positif dengan pelaksanaan
kemahiran amali. Analisis data pula membuktikan kepimpinan ketua Jabatan,
kepakaran pensyarah, latar belakang pelajar dan pengurusan studio seni
mempengaruhi kejayaan pelaksanaan amali. Beberapa isu telah dikenal pasti
dan dibincangkan dalam rumusan penyelidikan.
Kata kunci: Kemahiran amali Pendidikan Seni Visual, Reka Bentuk Kurikulum
PENDAHULUAN
Menurut National Assessment Governing Board (2008), kemahiran amali
dalam seni visual adalah termasuk mendapatkan informasi, menganalisis dan
sintesis pengalaman, menjana pelbagai visual atau penyelesaian idea, memilih
daripada idea-idea yang berasingan, media, atau proses, merancang dan
menyusun pelaksanaan idea visual, menilai idea dan fom, dan aplikasi
kecekapan teknikal dalam menghasilkan objek visual.
Berdasarkan Sukatan Pelajaran Kursus bagi Program Ijazah Sarjana
Muda Perguruan (PISMP), kemahiran amali memberikan penekanan khusus
kepada usaha untuk melahirkan pelajar yang berketrampilan dan
berkeupayaan mempraktikkan kemahiran yang diperolehi. Usaha bagi
mengekalkan tahap penguasaan kemahiran dan pengetahuan perlu dinilai dari
masa ke semasa secara sistematik. Kemahiran yang dipelajari dan dikuasai
perlulah selaras dengan matlamat kurikulum Pendidikan Seni Visual.
Pendidikan Seni Visual di institusi adalah lebih menegaskan kegiatan
dalam proses penghasilan atau amali dengan melibatkan aspek pemahaman,
penghayatan dan kritikan. Proses ini menyentuh perasaan estetik dan daya
kreativiti individu melalui penajaman daya intuisi, persepsi, imaginasi dan
konsepsi murid.
Merujuk kepada buku panduan pelajar PISMP, Pendidikan Seni Visual di
Institut Pendidikan Guru Malaysia adalah bermatlamat untuk membentuk
keperibadian pelajar yang celik budaya, mempunyai nilai-nilai estetik yang
tinggi, imaginatif, kritis, kreatif, inovatif dan inventif. Menerusi disiplin ilmu ini,
adalah diharapkan dapat melahirkan pelajar yang bersyukur terhadap tuhan,
1377
menghargai keindahan alam, keindahan seni dan warisan bangsa, dan
seterusnya dapat menyumbang ke arah pembangunan diri, masyarakat dan
negara selaras dengan hasrat Falsafah Pendidikan Kebangsaan (2003:1).
Permasalahan Kajian
Glaser (1962) dalam Joyce B. (1992) mengemukakan model
pengajarannya dengan membahagikan proses pengajaran kepada empat
komponen utama iaitu objektif pengajaran, pengetahuan sedia ada pelajar,
kaedah mengajar dan penilaian. Beliau juga menekankan maklum balas pelajar
sebagai aspek penting dalam proses pengajaran dan pembelajaran. Menurut
beliau, objektif pengajaran harus ditentukan sesuai dengan pengetahuan sedia
ada pelajar. Kemudian, kaedah mengajar harus dipilih berdasarkan objektif
pengajaran dan pengetahuan sedia ada pelajar. Seterusnya, penilaian harus
dijalankan ke atas segala proses pengajaran dengan tujuan untuk mengesan
kelemahan, agar guru dapat mengubahsuai proses pengajarannya, demi
meningkatkan keberkesanan pengajaran pada masa hadapan.
Berdasarkan kajian Aznan Mohd Azoddein (2001), boleh dihujahkan
bahawa peranan pengetahuan teori guru pelatih merupakan penyumbang
paling penting kepada pencapaian akademik keseluruhan mereka. Aspek
amali pula merupakan komponen kedua penting dalam menyumbang kepada
pencapaian keseluruhan guru pelatih. Ini menunjukkan tahap pengetahuan
guru pelatih tidak seiring dalam komponen teori dan amali.
Berdasarkan keputusan penyelidikan Mazlan Daud (2004), kompetensi
dan keberkesanan guru PSV sekolah menengah di Pahang adalah pada tahap
yang tidak memuaskan. Terdapat faktor dalaman dan luaran yang
mempengaruhi perkara tersebut. Faktor dalaman adalah berpunca daripada
sikap guru yang tidak berusaha untuk meningkatkan tahap profesionalisme
samada melalui kursus atau latihan lanjutan.
Dari huraian di atas dapat difahamkan bahawa kemahiran amali seni
visual tidak dikuasai oleh semua pelajar. Masih terdapat pelajar Program Ijazah
Sarjana Muda Perguruan (PISMP) yang mempunyai tahap penguasaan
kemahiran yang rendah. Oleh itu, pengkaji ingin membuat kajian tentang
pelaksanaan kemahiran amali Pendidikan Seni Visual dan cabaran yang
dihadapi.
Tujuan / Objektif Kajian
Penyelidikan ini secara khusus bertujuan meneliti kemahiran amali
pelajar Program Ijazah Sarjana Muda Perguruan (PISMP) berdasarkan
rekabentuk kurikulum PISMP yang telah mula dilaksanakan pada tahun 2007.
Seterusnya diharapkan dapat memberi kefahaman menyeluruh secara:
1. Mengkaji kaedah dan strategi penilaian amali PSV bagi program PISMP.
2. Mengenalpasti cabaran dalam pelaksanaan penilaian amali PSV bagi
program PISMP.
Persoalan kajian yang utama adalah berkaitan tentang aspek-aspek
penilaian amali PSV dalam kalangan pelajar Program Ijazah Sarjana Muda
Perguruan. Masalah penyelidikan ini boleh dirumuskan dalam soalan kajian
seperti berikut:
1. Bagaimanakah kaedah dan strategi penilaian amali PSV bagi program
PISMP?

1378
2. Apakah faktor-faktor yang mempengaruhi cabaran dalam pelaksanaan
penilaian amali PSV bagi program PISMP?
METODOLOGI KAJIAN
Reka Bentuk Kajian adalah menggunakan pendekatan kualitatif telah
digunakan secara menyeluruh dalam penyelidikan ini. Menurut Cresswell
(1994) penyelidikan kualitatif adalah satu proses inkuiri untuk memahami
masalah sosial atau masalah manusia, berdasarkan kepada gambaran yang
menyeluruh dan kompleks, melalui pandangan informan yang mendalam serta
dijalankan dalam keadaan yang sebenar dan semula jadi.
Pendekatan kualitatif yang digunakan sesuai dengan permasalahan
kajian dalam disertasi ini yang memerlukan kefahaman menyeluruh dan
mendalam. Pendekatan Kualitatif adalah pendekatan yang menempatkan
permasalahan kajian sebagai satu fenomena yang kompleks, yang
menyebabkan pengkajiannya perlu dilakukan secara holistik, deskriptif, dan
interpretatif (Tjetjep Rohendi Rohidi, 2000)
Penyelidik mengaplikasikan beberapa teknik pengumpulan data bagi
membantu kutipan data dan maklumat. Bagi persampelan kajian penentuan
subjek atau populasi kajian adalah amat penting dalam sesuatu penyelidikan.
Babbie (2008) menyatakan populasi sebagai keadaan yang menetapkan siapa
yang harus dimasukkan atau dikeluarkan daripada populasi. (Mohd Majid
Konting, 2004) pula menyatakan populasi sebagai semua ahli dalam kelompok
pemboleh ubah yang dikaji.
Subjek kajian ini terbatas kepada pelajar Pendidikan Seni Visual (PSV),
Institut Pendidikan Guru Kampus Ilmu Khas (IPGKIK). Bagi tujuan kajian,
jumlah subjek kajian yang diambil adalah seramai lima orang pelajar yang
dipilih secara rawak dalam kalangan pelajar Program Ijazah Sarjana Muda
Perguruan (PISMP). Persampelan juga melibatkan 2 orang pensyarah yang
bertugas dalam pengajaran dan pembelajaran Pendidikan Seni Visual sebagai
responden.
Lokasi kajian ini dipilih berdasarkan terdapatnya popularasi yang
bertepatan dengan tujuan kajian, iaitu institusi yang mempunyai amali
Pendidikan Seni Visual yang khusus. Lokasi kajian ini bertempat di Institut
Pendidikan Guru, Kampus Ilmu Khas, Kuala Lumpur.
Pemilihan lokasi ini juga dibuat berdasarkan faktor logistik, faktor
kewangan dan kekangan masa yang dihadapi pengkaji iaitu jarak lokasi kajian
adalah mampu dicapai oleh pengkaji telah memudahkan proses pengumpulan
data yang telah dijalankan. Bersandarkan pada pernyataan Chua (2006)
berkaitan persampelan berkelompok, maka pengkaji memilih lokasi yang
dinyatakan agar data yang telah diperoleh dapat memberikan keputusan yang
boleh dipercayai.
Dalam kajian ini beberapa kaedah pengumpulan data digunakan,
antaranya pemerhatian, temubual, dan himpunan dokumen. Pemerhatian
dilakukan untuk mengumpul maklumat bagi aktiviti praktikal subjek kajian di
bilik seni. Terdapat beberapa ciri pemerhatian iaitu kategori tingkah laku, unit
tingkahlaku, paras tafsiran pemerhati, generalisasi dan penggunaan serta
persampelan tingkah laku. Instrumen pemerhatian disediakan untuk
memudahkan pengkaji mengesan perubahan penguasaan kemahiran terhadap

1379
subjek kajian. Pemerhatian secara berstruktur dijalankan berdasarkan hasil
kerja menggambar setiap subjek kajian. Pemerhatian berstruktur dibuat
menggunakan senarai semak yang disediakan untuk memerhatikan kelakuan
dan reaksi sepanjang kajian dibuat. Pengkaji membuat rakaman visual yang
berbentuk statik dan bergerak. Kamera dan video telah dilakukan terutama
rakaman lokasi, infastruktur, dan beberapa aktiviti amali yang dijalankan oleh
subjek kajian. Selain rakaman aktiviti dalam studio seni, persekitaran lokasi
juga dirakam. Rakaman visual ini dapat membantu pemerhatian yang dilakukan
secara langsung semasa di lapangan.
Dalam kajian ini, instrumen temu bual berstruktur digunakan. Temu bual
berstruktur ini dapat memastikan pengkaji memberi fokus yang maksimum
terhadap isi soalan yang diberikan kepada subjek kajian supaya maklumat
yang tepat dapat direkodkan. Rosinah Edinin (2011) menyatakan bahawa hasil
analisis data temu bual dipersembahkan dalam memerihal semula dan
menggunakan kekerapan tema yang diperoleh melalui transkripsi temu bual
secara sistematik dan berkesan. Berdasarkan strategi analisis Creswell (2013)
pengkaji perlu mempertimbangkan beberapa perkara:
1. Membaca teks beberapa kali untuk memahaminya secara menyeluruh.
2. Menulis rumusan (nota) teks bagi mengurangkan data untuk
mengidentitikan kod dalam margin transkrip.
3. Memerhatikan perkataan, metafora atau idea yang digunakan oleh subjek
kajian.
4. Menulis kod tentative, memo dan nota refleksi.
5. Menggunakan perkataan dan urutan baru ( repharase ideas).
Himpunan dokumen bermula daripada awal proses menghasilkan
proposal. Dalam menghasilkan proposal perlu merujuk kepada teori-teori dan
konsep-konsep yang boleh diguna pakai semasa proses menganalisis dan
menbuat kesimpulan dalam kajian. Dokumen-dokumen yang dikumpul adalah
seperti informasi-informasi mengenai proforma kursus, portfolio, dokumen
pentaksiran dan sebagainya. Selanjutnya, instrumen borang skor indikator
pemarkahan amali menggambar digunakan bagi menilai hasil akhir subjek
kajian. Penilaian bertujuan melihat keberkesanan setiap subjek kajian dalam
mengaplikasikan aspek-aspek dalam pelaksanaan amali.
Kebolehpercayaan Data
Bagi menjamin dan mengembangkan validiti data yang dikumpulkan
dalam penyelididkan ini digunakan teknik triangulasi. Triangulasi data
digunakan secara khusus adalah triangulasi data sumber, iaitu mengumpulkan
data sejenis daripada pelbagai sumber data yang berbeza dan melakukan
semakan silang daripadanya. (Patton, 1980). Prosedur perbahasan dalam
penulisan disertasi dilaksanakan dengan mengikuti pola pada gambarajah
berikut ini.

1380
Latar
Belakang
Hasil dan
Kajian
pembahasan dari:

Tujuan Kajian i) pemerhatian Kesimpula


Kajian Literatur
Masalah ii) temu bual
Kajian
iii) rakaman visual
Kepentingan Metodologi
Kajian Penyelidikan Saranan
iv) soal selidik

v) himpunan
dokumen

Rajah 1.
Prosedur Perbahasan dalam Penulisan Disertasi
Prosedur Pengumpulan dan Analasis Data
Penyeldik telah mentadbir sendiri soal selidik, pemerhatian dan temubual
bagi mendapat maklumat dan data dalam kajian ini. Data dan maklumat yang
diperolehi dikumpul dan dipola mengikut kategori. Dalam pendekatan ini,
penyelidik perlu membuat pemilihan dan interpretasi ke atas data yang
dikumpul. Selain daripada itu penyelidik juga perlu mengadunkan deskripsi,
dokumen, catatan lapangan dan membuat interpretasi ke atas pemerhatian,
senarai semak, temubual dan soal selidik ke adalam satu bentuk naratif
deskriptif. Pendekatan analisis data yang digunakan oleh penyelidik dalam
kajian ialah dengan menggunakan pendekatan analisis data kualitatif iaitu
seperti yang telah dikemukakan oleh Miles dan Huberman (1994) yang mana,
menerusi pendekatan ini penyelidik akan cuba menjelaskan seberapa tepat
yang mungkin tentang apa yang dikaji serta menstrukturkan semula data dalam
bentuk realiti yang mudah difahami oleh pembaca.

Koleksi Penyajian
Data Data

Reduksi
Data
Kesimpulan:
Penarikan/Varifikasi

Rajah 2.
Komponen bagi Analisis Data : Model Interaktif Miles & Huberman
1381
DAPATAN KAJIAN
Berdasarkan kepada data-data yang telah dikumpul dan berdasarkan
kepada kepada persoalan kajian yang telah ditetapkan, maka dapatlah
dijelaskan seperti berikut:
Mengkaji kaedah dan strategi penilaian amali PSV bagi program PISMP
Jadual 1.
Dapatan Senarai Semak Pemerhatian

Bil Perkara Ada Tiada Ulasan


1 Takwim √ IPGM/ Berpusat
2 Sukatan / Proforma √ IPGM/ Berpusat
3 Interaksi Bersemuka √ Pensyarah/ Pelajar
4 Interaksi Atas Talian √ Pensyarah/ Pelajar
5 Studio Seni Visual √ Pensyarah/ Pelajar
6 Buku Panduan √ IPGM/ Berpusat
7 Pentaksiran / Soalan amali √ IPGM/ Berpusat
8 Skema / rubrik Pemarkahan √ IPGM/ Berpusat
9 Taklimat amali √ Pensyarah
10 Pelan Tindakan √ Pensyarah/ Pelajar
11 Pameran hasil kerja seni √ Pensyarah/ Pelajar
visual
12 Rujukan Kementerian √ IPGM / Berpusat
Pelajaran Malaysia
13 Rujukan Hasilan sendiri √ Pelajar
Rujukan koleksi Pusat √ IPG Kampus
Sumber
13 Proses Penilaian dan √ IPG Kampus
Moderasi

Analisis pemerhatian mendapati bahawa pentadbiran ujian amali telah


dilaksanakan dengan baik. Ujian amali telah dilaksanakan mengikut prosedur
yang telah ditetapkan oleh pihak IPGM. Pihak pentadbir melaksanakan telah
menyeragamkan proses pentaksiran amali bagi kursus-kursus yang ditawarkan
dalam PISMP. Menyediakan instrumen pentaksiran amali PISMP secara
berpusat. Menjamin kesahan dan kebolehpercayaan pentaksiran amali yang
dilaksanakan. Pentaksiran amali ini juga sebagai rujukan dan panduan kepada
pihak pengurusan dan penilai.
Jadual 2.
Dapatan Himpunan Dokumen : Prosedur Pelaksanaan Ujian Amali

Bil Aktiviti Tempoh Tindakan

1. Perancangan pelaksanaan dan Seminggu Pensyarah


penggubalan tugasan penilaian amali
2. Serahan dan taklimat tugasan kepada Sehari Pensyarah
pelajar

1382
Bil Aktiviti Tempoh Tindakan

3. Proses penghasilan karya/ produk/ 1 bulan Pelajar


tugasan
4. Bimbingan berterusan proses 1 bulan Pensyarah
penghasilan karya/ produk/ tugasan
5. Serahan hasil karya/ produk/ tugasan 1 minggu Pelajar
6. Penilaian peringkat IPGK 1 minggu Pensyarah
7. Taklimat IPGK kepada penilai luar Sehari KJ / KU
8. Penilaian dan moderasi luar / 3 Hari WAKIL IPG
pemantauan IPGM
9. Pameran dan sesi apresiasi / refleksi Seminggu Pelajar -
Pensyarah
10. Penyerahan markah kepada SUP Seminggu Pensyarah

Analisis dokumen membuktikan terdapat usaha bagi mengekalkan tahap


penguasaan kemahiran dan pengetahuan yang dinilai dari semasa ke semasa
secara sistematik. Pentaksiran amali adalah satu kaedah yang sesuai
digunakan untuk menguji hasil pembelajaran yang berteraskan amali seperti
yang terkandung dalam pro forma kursus yang berkaitan. Sehubungan itu, satu
garis panduan pelaksanaan dan pentaksiran amali disediakan sebagai
panduan dan rujukan kepada pensyarah dan penilai terlibat dengan kursus
berkenaan.
Jadual 3.
Dapatan Himpunan Instrumen : Pemarkahan Ujian amali

Subjek Folio(30%) Karya Seni Persembahan Penulisan


Kajian Digital Multimedia Esei (10%)
(30%) (30%)
S1 25 22 26 8
S2 24 25 28 8
S3 26 23 29 8
S4 25 19 23 9
S5 25 28 25 8

Analisis dokumen penilaian amali PSV juga menunjukkan subjek kajian


mempunyai pencapaian yang baik dalam penilaian amali PSV. Subjek kajian
dinilai menggunakan skala pemarkahan seperti ditetapkan dalam rubrik
pemarkahan kursus yang berkenaan bagi memastikan kesahan pemarkahan.
Seorang pensyarah (Penilai) menilai sekumpulan pelajar atau menurut
kesesuaian sesi pentaksiran yang dilalui oleh pelajar. Markah dari setiap
kemahiran yang diuji hendaklah digabungkan dalam satu borang rumusan.
Pengiraan markah akhir dalam borang rumusan adalah berasaskan kiraan
peratus. Syarat lulus penilaian amali PSV bagi pelajar PISMP adalah kehadiran
100% dalam pengajaran pembelajaran, pelajar wajib menduduki semua

1383
komponen penilaian amali dan mencapai markah keseluruhan sekurang-
kurangnya 40%.
Mengenalpasti Cabaran Dalam Pelaksanaan Penilaian Amali PSV Bagi
Program PISMP
Jadual 4.
Dapatan Temu Bual

Soalan Berstruktur Interpretasi


Senaraikan masalah-masalah Didapati masalah utama adalah tahap
pelaksanaan amali seni visual kemudahan prasarana yang kurang
yang anda hadapi. memuaskan.
Adakah anda menghadapi Didapati tahap masalah kemahiran
masalah kemahiran tertentu? dalam amali seni visual adalah rendah.
Bagaimana anda mengatasinya? Masalah boleh diatasi.
Sekiranya terdapat pelajar-pelajar Didapati terdapat penyelesaian
yang kurang kemahiran, apakah masalah yang dilaksanakan.
penyelesaian masalah yang
dilakukan?
Adakah kemudahan asas Didapati tahap kemudahan peralatan
peralatan amali seni visual amali seni visual adalah rendah.
mencukupi atau masih kurang ?
Adakah aktiviti-aktiviti amali seni Didapati tahap pelaksanaan aktiviti
dapat dijalankan dengan lancar amali adalah lancar.
atau sebaliknya?
Sila berikan cadangan bagi Didapati penambahbaikan yang perlu
meningkatkan mutu hasil kerja adalah meningkatkan tahap prasarana
amali seni visual. oleh pentadbir dan kaedah
pelaksanaan amali oleh pelajar.

Analisis temubual membuktikan cabaran atau masalah utama adalah


tahap kemudahan prasarana yang kurang memuaskan. Masalah kemahiran
dalam penilaian amali PSV adalah pada tahap yang rendah. 80% subjek kajian
bersetuju bahawa terdapat penyelesaian masalah yang dilaksanakan terhadap
kelemahan dan keperluan penambahbaikan penilaian amali. Berdasarkan
temubual juga didapati tahap pelaksanaan aktiviti amali adalah baik.
Bagaimana pun tahap kemudahan peralatan amali seni visual adalah rendah.
Ini ditegaskan lagi pada cadangan penambahbaikan yang perlu adalah
meningkatkan tahap prasarana oleh pentadbir dan kaedah pelaksanaan amali
oleh pelajar.
PERBINCANGAN DAN KESIMPULAN
Analisis data telah membuktikan kepimpinan ketua Jabatan, kepakaran
pensyarah, latar belakang pelajar dan pengurusan studio seni mempengaruhi
kejayaan pelaksanaan amali PSV. Kaedah dan strategi penilaian amali PSV
bagi program PISMP berjaya menguji sejauh mana tahap pencapaian pelajar
dapat menguasai kemahiran yang telah dipelajari selaras dengan matlamat
kurikulum. Ini menggalakkan pelajar berusaha untuk memperbaiki pencapaian
1384
dan memantapkan kemahiran dalam bidang yang berkaitan sebelum dan
selepas melalui ujian ini. Seterusnya menjadi kayu pengukur untuk menilai
tahap pencapaian pelajar dalam bidang berkaitan. Dapatan kajian ini juga
mempunyai implikasi positif kepada penilaian amali PSV. Bagaimana pun
beberapa isu telah dikenal pasti sebagai cabaran dalam pelaksanaan penilaian
amali PSV. Dapatan kajian menunjukkan tahap prasarana asas dalam studio
seni perlu diberi perhatian oleh pihak jabatan dan institut. Semua pihak juga
diharap mempertingkatkan terhadap pengurusan studio seni kerana ia
merupakan sesuatu yang amat penting dalam meningkatkan prestasi penilaian
amali Pendidikan Seni Visual itu sendiri.
Hasil dapatan pengkaji juga seiring dengan Model Pengajaran Robert
Glaser iaitu dibina berlandaskan konsep pengajaran sebagai suatu proses yang
menitikberatkan langkah-langkah pengajaran iaitu perancangan, pelaksanaan,
penilaian dan maklum balas (1962).
Oleh yang demikian, pentadbir, pensyarah dan pelajar haruslah membuat
refleksi terhadap pelaksanaan dan cabaran penilaian amali PSV ini agar hasrat
yang terkandung dalam matlamat pendidikan negara seperti yang termaktub
dalam Falsafah Pendidikan Kebangsaan (FPK) akan tercapai. Ini kerana
penilaian amali PSV merupakan kandungan kepada kurikulum yang telah
dibentuk.

DAFTAR RUJUKAN
Aznan bin Mohd Azoddein (2001). Pengajaran pendidikan seni di maktab
perguruan persekutuan pulau pinang. Universiti Malaya. Kertas Projek
Sajana.
Babbie, E. R. (2008). The basics of social research. Cengage Learning.
Joyce B., Weil M. & Showers B. (1992). Model of teaching. Boston: York
Production Services.
Chua, Y.P. (2006). Kaedah dan statistik penyelidikan: kaedah penyelidikan .
buku 1. Kuala Lumpur: McGraw-Hill (Malaysia) Sdn. Bhd.
Cresswell J. W. (2005). Educational research. planning, evaluating quantative
and qualitative research. New Jersey: Pearson Prentice Hall.
Cresswell J. W. (2013). Qualitative inquiry & research design. Los Angeles:
SAGE Publication Inc.
IPG Kampus Ilmu Khas (2009). Buku panduan program sarjana muda
perguruan. Buku tidak diterbitkan. Kementerian Pendidikan Malaysia.
Mohd Majid Konting. (2004). Kaedah penyelidikan pendidikan. Kuala Lumpur.
Mazlan Daud (2004). A surdy to determine the competency of art teacher in
teaching visual art education (PSV) in secondary schools in the state of
pahang. UITM, Shah Alam. Thesis (M.edu)
Miles, M. B., & Huberman, A. M. (1994). Qualitative data analysis: An expanded
sourcebook (2nd ed.). Thousand Oaks, CA: Sage.
National Assessment Governing Board (2008), 2008 arts education
assessment framework, Washington, DC: U.S. Department of
Education. Diperoleh dari www.nagb.org.
Patton, M. Q. (1980). Qualitative evaluation method. Beverly Hills, CA: Sage
Publication.

1385
Rosinah Edinin PhD. (2011). Penyelidikan tindakan kaedah dan penulisan.
Kuala Lumpur: Freemind Horizons Sdn. Bhd.
Tjetjep Rohendi Rohidi. (2000). Ekspresi seni orang miskin: Adaptasi simbolik
terhadap kemiskinan. Bandung: Yayasan Nuansa Cendekia dan Ford
Foundation.

1386
PENGETAHUAN EMPAT BIDANG KEGIATAN PENDIDIKAN SENI
VISUAL (PSV) DALAM KALANGAN PELAJAR ELEKTIF TESL
MELALUI KERJA KURSUS PROJEK
1)
Zainun Abu Bakar, 2)Zaharah Mohamad, 3)Faridah Anum Abdul Wahid,
& 4)Nor Azizah Atan
IPG Kampus Ilmu Khas, Kuala Lumpur
Abstrak
This study was conducted to know the knowledge of four areas of Visual Arts
Education activity in elective TESL students through course work project . The
study involved fifteen PISMP TESL students from the Department of English
Studies. Analysis of the initial survey showed that 50% of the study subjects
had no direct knowledge about the four areas of Visual Arts Educationactivity.
Method of observation, analysis of documents , checklists and course work has
been done to collect data. Interventions implemented through project
management course work for 6 weeks. Analysis showed that the level of
mastery of the subjects increased from 31 % to 79 % , an increase of 48 % .
The implications of this study show the impact of the implementation of the
course work projects have a positive impact in improving knowledge about the
four areas of study subjects PSV activities other than teaching and learning in
the classroom.
Keywords: The knowledge of four areas of Visual Arts Education, course work
project
PENGENALAN
Kandungan Sukatan Pelajaran Pendidikan Seni Visual (PSV) sekolah
rendah di bawah Kementerian Pendidikan Malaysia merangkumi empat bidang
kegiatan iaitu Bidang Menggambar, Membuat Corak dan Rekaan, Membentuk
dan Membuat Binaan serta Mengenal Kraf Tradisional (KPM 2003).
Penguasaan dalam keempat-empat bidang kegiatan ini akan dapat
memperkembangkan dan menyelaras persepsi dan konsepsi visual untuk
menggalakkan pemikiran kritis dan kreatif. Malah kemahiran dalam bidang ini
akan dapat menyelaras perkembangan peringkat kesediaan dan penerimaan
murid dari segi sosio emosi, psikomotor, mental yang merangkumi perasaan,
koordinasi, manipulasi dan persepsi visual.
Melalui empat bidang kegiatan ini pelajar dapat pengetahuan mengenai
bahan, alat dan teknik. Pelajar juga dapat pengetahuan mengenai sumber motif
dalam persekitaran, kraf tradisonal, unsur seni, prinsip rekaan, proses
pembuatan, kaedah dokumentasi, integrasi maklumat dan aplikasi perisian
komputer. Semua bidang kegiatan PSV boleh dikuasai melalui pemerhatian
secara aktif, interaksi yang kritis dan kreatif dengan alat dan bahan,
melaksanakan apresiasi seni visual secara mudah dan idapat menghargai nilai
baik dalam semua aspek kehidupan.
Bidang Menggambar menegaskan perkembangan persepsi, kemahiran
dan kemampuan murid dalam kegiatan membuat gambar dalam pelbagai
media dan teknik. Bidang Menggambar boleh dilakukan melalui teknik lukisan,

1387
kolaj, catan, capan, resis, stensilan, percikan, mozek, poster, gosokan dan
gurisan.
Dalam Bidang Membuat Corak Dan Rekaan, murid dapat memahami
pelbagai cara menghasilkan corak terancang dan corak tidak terancang serta
mengaplikasikannya menjadi rekaan. Corak tidak terancang boleh dihasilkan
melalui teknik pualaman, tiupan, titisan, ikatan dan celupan, renjisan dan
percikan. Manakala corak terancang boleh dihasilkan melalui teknik lukisan,
catan, resis, cetakan, kolaj, capan, kaligrafi, lipatan dan guntingan.
Manakala dalam Bidang Membentuk Dan Membuat Binaan, penegasan
diberikan kepada perkembangan persepsi murid terhadap bentuk, ruang,
struktur, imbangan dan kestabilan yang merangkumi objek 3Dimensi (3D).
Pelbagai bahan, alat dan teknik pembuatan boleh digunakan.membentuk dan
membuat binaan boleh dihasilkan melalui penghasilan arca timbul, asemblaj,
mobail, topeng, stabail, origami, model, diorama dan boneka.
Seterusnya dalam Bidang Mengenal Kraf Tradisonal, murid diperkenalkan
dengan beberapa kraf tradisional seperti alat domestik, batik, tembikar, tekat,
anyaman, alat pertahanan diri, tenunan, perhiasan diri, ukiran dan alat
permainan. Bidang ini memberi kesedaran tentang adanya beberapa jenis kraf
tradisional dalam budaya tanah air. Murid diperkenalkan dengan fungsi, proses
dan teknik pembuatan, alat dan bahan, corak dan hiasan yang digunakan.
Aspek apresiasi hasil kerja diadakan sebagai proses pembelajaran, melalui
pernyataan, puisi, lakonan, nyanyian atau penceritaan.
PERNYATAAN MASALAH
Dari pemerhatian pengkaji dapati bahawa pengetahuan pelajar terhadap
empat bidang kegiatan PSV tidak dapat dikuasai oleh semua pelajar Elektif
TESL. Masih terdapat pelajar Program Ijazah Sarjana Muda Perguruan
(PISMP) yang mempunyai tahap penguasaan kemahiran yang rendah. Oleh
itu, pengkaji ingin membuat kajian tentang pengetahuan pelajar TESL
terhadap pengetahuan empat bidang kegiatan PSV Pendidikan Seni Visual.
Pengkaji juga mendapati secara keseluruhan menunjukkan:
1. 10 peratus subjek kajian tiada pengetahuan dalam empat bidang kegiatan
PSV kerana mereka tidak mendapat pendedahan mata pelajaran
Pendidikan Seni Visual semasa peringkat sekolah menengah dahulu.
2. Bawah 50 % subjek kajian tiada langsung pengetahuan empat bidang
kegiatan PSV.
3. 20 peratus subjek kajian tiada mengambil mata pelajaran Pendidikan Seni
Visual semasa peringkat Sijil Pelajaran Malaysia (SPM) mereka.
Ujian pra dilaksanakan dalam tinjauan awal untuk mengenal pasti
pengetahuan subjek kajian dalam empat bidang kegiatan PSV.
Selain daripada itu, analisis dokumen dijalankan berdasarkan markah
peperiksaan PSV3104. Pengkaji mendapati bahawa kebanyakan subjek kajian
amat lemah dalam pengetahuan empat bidang kegiatan PSV . Mereka tidak
faham dan keliru untuk membezakan bidang Menggambar, Membuat Corak
dan Rekaan, Membentuk dan Membuat Binaan serta mengenal Kraf
Tradisional.
Berdasarkan kajian Aznan Mohd Azoddein (2001), boleh dihujahkan
bahawa peranan pengetahuan teori guru pelatih merupakan penyumbang

1388
paling penting kepada pencapaian akademik keseluruhan mereka. Aspek
amali pula merupakan komponen kedua penting dalam menyumbang kepada
pencapaian keseluruhan guru pelatih. Ini menunjukkan tahap pengetahuan
guru pelatih tidak seiring dalam komponen teori dan amali.
Merujuk kepada Buku Panduan Program Ijazah Sarjana Muda Perguruan
(PISMP) (2007), pelbagai strategi pengajaran dan pembelajaran berpusatkan
pelajar diamalkan dalam PISMP termasuk Pembelajaran Berasaskan Projek
(Project-based Learning) dan Pembelajaran Berasaskan Masalah (Problem-
based Learning). Penilaian dilaksanakan secara formatif dan sumatif dalam
pelbagai bentuk seperti pentaksiran berterusan, kerja ursus projek, Ujian Akhir
Kursus, peperiksaan berpusat dan penulisan akademik.
Menurut Noriati, Boon, Sharifah dan Zuraidah (2010) menerangkan
pembelajaran berasaskan projek adalah model pengajaran dan pembelajaran
yang melibatkan pengalaman pembelajaran yang kompleks berdasarkan situasi
sebenar yang memerlukan murid menggunakan kemahiran dan pengetahuan.

OBJEKTIF KAJIAN
Secaranya khususnya, kajian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui pengetahuan empat bidang kegiatan PSV dalam kalangan
pelajar elektif TESL.
2. Kemahiran pelajar dalam menghasilkan karya dan mengaplikasikan teknik
dan bahan berdasarkan bidang kegiatan PSV yang dipilih semasa
melaksanakan kerja kursus projek.

KUMPULAN SASARAN
Kajian ini melibatkan 15 orang pelajar elektif PISMP TESL dari Jabatan
Pengkhususan Bahasa Inggeris. Pelajar ini mengambil mata pelajaran
Pendidikan Seni Visual sebagai mata pelajaran elektif. Kumpulan sasaran yang
telah dipilih adalah seramai 15 orang subjek kajian, 11 orang pelajar
perempuan dan 4 orang pelajar lelaki.
PROSEDUR TINDAKAN
Tindakan yang diambil adalah berdasarkan langkah-langkah dalam rajah
1 di bawah. Cara pengumpulan dan penganalisis data juga dinyatakan dalam
rajah ini.

1389
PENGUMPULAN DATA AWAL
x Pemerhatian 1
TINJAUAN
MASALAH x Analisis Dokumen

KAEDAH PROJEK
Empat BidangKegiatan PSV :
x Menggambar
x Membuat Corak dan Rekaan
x Membentuk dan Membuat Binaan
PROGRAM x Mengenal Kraf Tradisional
INTERVENSI
KERJA KURSUS
PENGUMPULAN DATA
PROJEK
x Analisis dokumen
x Senarai Semak
x Pemerhatian 2

DATA Huraian Tema


KUALITATIF Secara Deskriptif
PEMPROSESAN
Senarai semak
DATA
Pemerhatian
DATA - Statistik
KUANTITATIF -Deskriptif
Analisis Dokumen -Peratusan

Rajah 1.
Prosedur Tindakan
PELAKSANAAN TINDAKAN
Prosedur Kajian Tindakan ini adalah berasaskan kepada Model
Penyelidikan Stephen Kemmis ( 1983 ). Model ini melibatkan empat kitaran
iaitu peringkat merancang, bertindak, memerhati dan refleksi. Kajian intervensi
ini telah dijalankan selama tiga semester iaitu:

1390
Kerja Kursus Projek Semester 4 (PSV 3105)
- Intervensi 1
- Ujian Pos
- Pemerhatian 2
- Analisis Dokumen
-
Kerja Kursus Projek Semester 5 (PSV 3107)
- Intervensi 2
- Senarai semak pengajaran mikro dan RPH- KKP
- Analisis Dokumen- markah peperiksaan akhir

Rajah 2.
Pelaksanaan Intervensi
INSTRUMEN DAN PENGUMPULAN DATA
PEMERHATIAN
Pemerhatian di dalam kelas telah dijalankan sewaktu berinteraksi
dengan subjek kajian pada awal semester empat di dalam kelas PSV3105 iaitu
Pengajaran dan Pembelajaran Pendidikan Seni Visual yang menekankan
empat bidang kegiatan serta PSV3017 Pedagogi PSV di semester 5. Ini
adalah bagi mengetahui samada subjek kajian dapat menjelas dan membeza
konsep dan pengertian empat bidang kegiatan PSV. Borang senarai semak
pemerhatian mengandungi maklumat tentang empat bidang, pengetahuan
membandingkan keempat-empat bidang, bahan dan teknik juga mengesan
pengetahuan mengaplikasikan empat bidang dalam menghasilkan persediaan
mengajar. Berikut adalah keputusan analisis pemerhatian tersebut.
Jadual 1.
Pemerhatian Pengetahuan Empat Bidang.

BIL PERKARA YA TIDAK


1 Menjelaskan konsep empat bidang kegiatan PSV 6 9
2 Membanding-beza keempat-empat bidang 7 8
kegiatan
3 Menghasilkan kemahiran empat bidang dalam 5 10
Persediaan Mengajar
4 Mengaplikasi kemahiran empat bidang kegiatan 0 15
dalam PdP
JUMLAH PERATUS 30% 70%

Pemerhatian melalui senarai semak yang dijalankan terhadap 15 orang


subjek kajian mendapati 67.9% subjek kajian tidak dapat menjelaskan konsep,
membanding beza, cara menghasilkan karya dan cara mengaplikasikan
kemahiran empat bidang semasa awal semester empat iaitu semasa
pembelajaran kursus PSV3105.

1391
UJIAN PRA DAN UJIAN POS
Bagi mengesahkan dapatan dari pemerhatian, ujian pra dan ujian pos
telah dijalankan. Ujian pra dan pos ini adalah bagi mengetahui tahap
penguasaan subjek kajian terhadap konsep dan pengertian empat bidang
kegiatan PSV. Keputusan kajian dapat diterangkan di dalam graf di bawah.
Jadual 2
Perbandingan Ujian Pra dan Ujian Pos Penguasaan Pengetahuan Konsep
dan Pengertian Empat Bidang

Bil Pel 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Ujian
Pra 3 7 4 7 6 3 4 6 6 6 3 7 7 7 7
Ujian
Pos 14 14 15 10 16 13 14 13 16 13 8 17 16 17 17

Berdasarkan Jadual 2, peratus perbezaan markah ujian pra dan ujian


pos menunjukkan peningkatan. Tahap penguasaan subjek kajian juga
meningkat daripada 31% kepada 79% iaitu peningkatan sebanyak 48%.
Didapati subjek kajian mengalami peningkatan dari segi penguasaan unsur
seni dan prinsip rekaan, proses dan teknik serta kandungan dalam empat
bidang kegiatan PSV.

ANALISIS DOKUMEN (MARKAH PSV3105 DAN PSV3107)


Selepas mengikuti kelas bagi Kerja Kursus PSV3105, subjek kajian telah
diberikan tugasan Kerja Kursus Projek (KKP) yang mengandungi hasil
pembelajaran. Hasil pembelajaran tersebut berkaitan dengan persoalan kajian
ke dua iaitu adakah subjek kajian dapat menghasilkan karya dan
mengaplikasikan teknik dan bahan yang sesuai berdasarkan bidang kegiatan
PSV yang dipilih semasa melaksanakan kerja kursus projek.
Bahagian A merupakan pengumpulan maklumat dan penyediaan peta
minda, Bahagian B dan C adalah kriteria yang memerlukan subjek kajian
menguasai Kurikulum PSV yang mengandungi empat bidang kegiatan. Subjek
kajian perlu memilih salah satu bidang dan aktiviti yang sesuai untuk membuat
rancangan pengajaran harian. Dapatan dokumen markah KKP dapat dianalisis
sebagai berikut:

1392
Rajah 3.
Perbandingan Markah KKP PSV3105 dan PSV3107
Berdasarkan rajah 3, analisis markah KKP PSV3105 dan KKP PSV3107
juga menunjukkan bahawa secara keseluruhannya kerja kursus projek
menunjukkan kesan yang positif dalam meningkatkan pengetahuan subjek
kajian tentang empat bidang kegiatan Pendidikan Seni Visual. Ini dibuktikan
melalui terdapatnya peningkatan markah subjek kajian pada semester lima iaitu
bagi kursus PSV3107.
PERBINCANGAN DAN SIMPULAN
Berdasarkan daripada pemerhatian dan senarai semak, pengkaji
mendapati bahawa subjek kajian boleh memahami konsep empat bidang
kegiatan PSV sekiranya mendapat pendedahan secara langsung melalui aktiviti
amali seni visual.
Subjek kajian berkeupayaan sekiranya menggabungkan pengetahuan
tentang teori dan amali secara membuat hasil kerja dalam situasi sebenar. Ini
selari dengan pendapat Noriati, Boon, Sharifah dan Zuraidah (2010) bahawa
pembelajaran berasaskan projek adalah model pengajaran dan pembelajaran
yang melibatkan pengalaman pembelajaran yang kompleks berdasarkan situasi
sebenar yang memerlukan murid menggunakan kemahiran dan pengetahuan.
Cabaran yang dihadapi adalah tahap disiplin subjek kajian yang berbeza-
beza menimbulkan situasi di mana subjek kajian yang bermasalah disiplin
mewujudkan data yang diluar jangkaan.

RUMUSAN
Hasil daripada kajian yang dijalankan, pengkaji ingin mengemukakan
beberapa cadangan bagi mempertingkatkan lagi kemantapan pengetahuan
empat bidang kegiatan Pendidikan Seni Visual dalam kalangan pelajar. Oleh
kerana subjek kajian ini bukan dari kalangan opsyen Pendidikan Seni Visual,
adalah lebih baik sekiranya subjek kajian didedahkan dengan penggunaan
laras bahasa seni yang betul yang akan diaplikasikan ketika menjalani latihan
praktikum di sekolah nanti. Aplikasi laras bahasa seni visual ini sangat penting
semasa membuat penulisan persediaan mengajar dan refleksi pengajaran.
Kesesuaian aktiviti yang digunakan dalam tugasan projek perlu dikaji
dengan lebih terperinci. Ini sebagai langkah meningkatkan prestasi teori, amali

1393
dan kreativiti pelajar dalam aplikasi pengetahuan dan kemahiran empat bidang
kegiatan PSV.
DAFTAR RUJUKAN
Aznan Mohd Azoddein. (2001). Pengajaran pendidikan seni di maktab
perguruan persekutuan Pulau Pinang. Universiti Malaya. Kertas Projek
Sarjana.
Bahagian Perancangan dan Penyelidikan Dasar Pendidikan (2008). Buku
manual kajian tindakan. Kuala Lumpur: Bahagian Perancangan dan
Penyelidikan Dasar Pendidikan.
Chua, Y.P. (2006). Kaedah dan statistik penyelidikan: kaedah penyelidikan .
buku 1. Kuala Lumpur: McGraw-Hill (Malaysia) Sdn. Bhd.
IPG Kampus Ilmu Khas (2009). Buku panduan program sarjana muda
perguruan. Buku tidak diterbitkan. Kementerian Pendidikan Malaysia.
Noriati A. Rashid, Boon, Sharifah Fakhiriah Syed Ahmad & Zuraidah A. Majid
(2010) Guru dan cabaran semasa. Kuala Lumpur: Oxford Fajar Sdn.
Bhd.
Prof. Dr. Abd. Razak Habib. (2006). Kaedah Kajian dalam Penyelidikan.
Selangor: Meteor Doc. Sdn. Bhd.
Shahabuddin Hashim (2003). Pedagogi: strategi teknik mengajar dengan
berkesan. Kuala Lumpur: PTS Publications Sdn Bhd.

1394
INCLUSIVE PEDAGOGY FOR DIVERSE STUDENTS
IN REGULAR CLASSROOM SETTINGS
Gunarhadi
Sebelas Maret University Surakarta
E-mail: gunarhadi@fkip.uns.ac.id
Abstract
Inclusive pedagogy is philosophically fostering the humanistic educational
service that is moved as the changing attitude and awareness towards
education for all. The educational service is addressed, in particular, to children
with special needs in regular schools. Practically, inclusive education is
envisioned to the promotion of academic and social adjustments. Inclusive
pedagogy, therefore, requires that a regular school is created to be a inclusive
environment for children with special needs. Inclusive education is denoted to
the legal foundations of Basic Constitution and Government Regulation on the
equality of human right to education. These two foundations mandate the
creation of a school environment that is friendly to learning and interaction.
Hence, children with special needs can learn and live in the more cohesive
school society. The implementation, therefore, inclusive schools provide
adjustment in terms of curriculum, instructional strategy, assisted media,
individual scaffolding, facilitation, and evaluation regarding the values of
potential and respects to the diversity.
Keywords: inclusive education, friendly-learning environment, adjustment
INTRODUCTION
The Inclusive education essentially refers to special pedagogy that
responds to the unique needs of individuals in regular classes. This concept is
resulted from the positive movement of attitude and awareness towards
education for all children since the last few decades. Responding to children
with diversity is considered the most significant consequence of change in
special education (Shaeffer, 2005). Particularly in the field of educational
services, integration and inclusion serve as the latest forms of special education
development of education for all.
As the latest trend of education services, inclusive education was initiated
to give wider opportunity for marginalized children to have equal access to
education. Marginalized children are those with physical, intellectual, and or
handicapping condition that interfere them with learning. They have special
needs to be fulfilled for a better development.
Every child has unique needs which are different from each other.
Individual needs can be temporary, permanent, and sociocultural bases (Mayor,
1994). Temporary need is a demand that occurs at a certain moment when a
child is undergoing gloominess. At the time when a child gets a misery because
one the family members gets seriously sick, for example, in the school the child
may feel sad and need special attention. The child needs other people to
express his feeling. The child's permanent needs are of basic or biological
needs to live normal, independent, fair like other children in the family, schools,
and community. Someone is said to have normal life when he lives with his
1395
family, to learn together with other children, and to communicate with other
people in the community. And vice versa, if a child should live in a dormitory,
separate from his family and must learn in separate special school, for instance,
the child's life is beyond the normal condition.
In addition to those of temporary and permanent needs, a child may be
faced with social or cultural needs. A child needs to adjust to the ease and
accepted as a member in the group environment. A child may experience
extraordinary obstacles in adapting to the environment. This is because of the
limited self-adapting to the environment. In many cases, the society does not
yet fully understand the unique needs of children so that they sometimes
behave indifferently toward them. Regular schools are equipped with existing
facilities and the education system which do not provide secured atmosphere of
environment for them. What seems to remain difficult is to satisfy the unique
needs of children. In inclusive education, the children with special needs do not
have to adjust themselves to the education system, method, and the
environment, but it should occur on the other way around. In the in the
classroom, for example, children do not have to adjust with the existing
curriculum, but the curriculum itself must be tailored to the needs of children.
These are all about to think of inclusive education. Education system should
hold on the right to such children.

DEFINITION OF INCLUSIVE EDUCATION


Inclusion education, in a broad sense, is accommodating differences of
children in regular schools. Inclusive education requires the significance of
togetherness among diverse students based on respect, acceptance, and
belonging. In the school settings, Ballard (2005) mentions that inclusion is
referred to as a process of identifying and removing the barriers to learning for
all students. Practically, however, inclusion is connected to attendance,
participation and achievement for all students to improve the quality of
experience through the curriculum available in schools. In this sense, inclusion
is catered primarily for students who marginalized, neglected, or those who are
not achieving in school (Ainscow, 2003).
In almost the same the point of view, (Sandkull & Heijnen, 2005) in
International Symposium, 2005 in Bukittinggi, Indonesia defines inclusive
education as a strategy of implementing the approach to the rights of children to
education, especially for those who are marginalized. Inclusive education, as
such, holds the principle of equal rights, respect of differences, and
understanding the needs of all students by removing the obstacles in the
learning environment. From these opinions, it implies that inclusive education is
education that is continuously seeking for best practices to help all children to
obtain the rights to education. Because of the differences, related to the school
attendance, participation, and achievement, their existence and the needs need
to be humanly valued and respected to strive for their right to education and the
meaning of their lives.
In the school setting, inclusive school functions as an inclusive and
friendly-learning environment where students with special needs learn together
with the other peers in the regular school (Gunarhadi, 2001). The included
students have the right for the compensatory scaffold to adapt to the existing

1396
system on their basis of individual capability within their academic as well as
social benefits. They are not just mainstreamed as having dual citizenship both
in regular and special school. In contrast, inclusive education admits that
students are members of the general education class and do not belong to any
other separate, specialized environment based on the characteristics of their
disability (Halvorsen, & Neary, 2009). An inclusive school serves as a
welcoming and friendly-learning environment that is conducive to learning and
assures physical, social, and psychological security.
CHARACTERISTICS OF INCLUSIVE EDUCATION
Inclusive education can be seen from the academic and social.
Characteristics of an inclusive academic education related to the teachers'
efforts to create a cohesive community, receive and responsive to the needs of
each individual student. Sapon-Shevin (1995) revealed five profiles of academic
learning climate in inclusive schools. First, create and maintain a warm-class
community, receive diversity, and respect the differences. Teachers have a full
responsibility to create a class to accommodate all children to emphasize the
familiar atmosphere, and to emphasize and appreciate the differences. The
principle emphasizes that a child is not considered because of appearance, but
the equality among the children. Second, is the use of a multileveled-
curriculum, and the utilization of multimodality. Heterogeneous classes require
fundamental changes in the curriculum. The curriculum is flexible, designed and
tailored to the needs of children, not rigid, not glued to the text book, and
adapted to the needs of children. In addition, the process of teaching and
learning tend to be more cooperative, thematic, critical thinking, problem
solving, and authentic assessment. Likewise, the methods used by teachers
must be tailored to the stages of learning ability of the children. The process of
teaching and learning, then, is not necessarily the same for all children, but is
adjusted to the needs of the children individually.
Third, encourage teachers to teach interactively. In a traditional
classroom, the teacher himself is trying to meet the needs of all children in the
class. In an inclusive classroom, students work together, teach each other, and
actively participate in completing the task, guide-led or friend not to compete.
Fourth encourage teachers to work with other related professionals in
eliminating the obstacles of students learning. Teaching activities should not be
alone in the designing, implementing, and evaluating the activities. Teachers
are expected to work with the team, collaborating, consulting, and sharing the
knowledge about how to measure the skills, the learning outcome or facilitating
the individuals who need the help as from psychologists, doctors, engineers
and other therapists necessary to work together in interdisciplinary team.
Teachers need to involve the parents. Parents are the main source in providing
information about the child both in terms of development, customs, and other
characteristics. Therefore, the parents participate in meaningful programs in
teaching both group and individual.
Unlike the characteristics of academic, social characteristics requires the
adjustment of environment and the needs of children; in school, at home, in the
community, and in the work place. Inclusive education creates conditions that
all children are members of the group in which each other. In the group,

1397
members must help each other and play a role in learning, attention to the
interests of one another, accept the fact that there are some children with
unique needs. Every child does not need to perform a task that must be always
the same. An inclusive class also demands that all children develop the sense
of solidarity, belonging, and partnership. Other children have to feel every one
else as a group member, and all children also should feel as a member of the
group.
From the description on the inclusive education both from academic and
social perspective, it can be concluded that an inclusive class contains
heterogeneous background of children. To cope with this background, different
professions have to work hand in hands to work in transdisciplinary team, so
that the needs of individual children can be met. To meet the demands of
inclusive education, the teaching and learning system in Indonesia confront
many challenges. Teachers need to provide the knowledge and skills to
manage heterogeneous class, develop a climate of cooperation in teams from
various labors and professionals. Schools are equipped with the necessary
facilities to enable the children to meet their needs. To manage the inclusive
school, Hoarse and Taylor (2005) suggests some factors to facilitate the
success for students with special needs. The school should have strong
leadership on the leading equal opportunity, good communication among the
team, careful community links, adaptive curriculum, and tracking the student
progress.

IMPLEMENTATION OF INCLUSIVE EDUCATION IN INDONESIA.


The Foundation of Inclusive Education
Inclusive education is based on the internal and external strength. The
internal strength includes laws, government regulations, or government policies.
The external strength refers to international appeal, the conference, agreement,
or the institution's commitment to international concern about the rights of
children to education. The strength of laws and statements of international
commitments touch and form a positive attitude to make a framework of action
to realize the respective agreements.
As the internal strength in Indonesia, the 1945 Constitution is the main
foundation to embrace the children's rights to education. Such the rights are
explicitly mentioned in article 31 paragraph (1): "Every citizen shall be subject
to basic compulsory and free education". Specifically relating to the rights to
education for children with special needs, the rule is quoted in Law No. 20 of
2003 on National Education System. Article 5 paragraph (2) mentions the
"Citizens with physical, emotional, mental, intellectual, and / or social deviation
are entitled to special education." In the other article that is Article 32,
paragraph (1) also mentioned the "Special education is education for students
who have a certain degree of difficulty that impedes the learning process due to
the physical, emotional, mental, social aberration and / or those with highly
intellectual potential and special talent."
The foundation that rules the inclusive education is a part of special
education. Special education in Indonesia is managed in three (3) settings;
Segregation, mainstream / integration, and inclusive services. Segregation
service takes place in Special Schools (SLB), while integration and inclusion

1398
services are conducted in regular schools. Special regulation on inclusive
education has not been written in law. But since 2003 the provision of education
services for children with special needs are conducted in regular schools where
children live nearby. This internal strength of law on inclusive education is
imposed by a policy of the Government Rule No. 70 Year 2009. This policy
recommends that Regional Authority "organize and develop an inclusive
education located in at least 4 (four) schools consisting of elementary, junior
high, high school, and vocational schools (SMK) in each district area".
Such awareness and commitments to the rights to education for children
with special needs in inclusive education are from the confirmed in the
agreements resulted from Bandung and Bukit Tinggi Declarations. Bandung
Declaration, 8 - 14 August 2004 entitled "Indonesia Moves on Towards
Inclusive Education" granted two (2) items of decision. They are decisions that
guarantee children with special needs to get education, and the humane
treatment without discrimination. The Declaration of Bukittinggi was agreed in
the International Symposium held on 26 - 29 September 2005 with the theme
"The Removal of Barriers to Learning, Participation and Development". The
main results are the declarations and strategies to achieve "education for all",
respect differences, develop the management of inclusive education, create the
environment that supports learning and life of children, promote the inclusive
education services, and prepare an action plan to provide physical and non-
physical accessibility.
Inclusive and Friendly-Learning Environment
The inclusive and friendly learning environment appears to be a
requirement of inclusive education management. A school environment is
considered an inclusive and friendly learning when the school provides a wide
range of opportunities for children to attend, participate in learning, and gain
meaningful results (UNESCO, 2002). Such an environment will make children
feel physically, socially, psychologically safe, comfortable, and favorable to
learning.
Based on the perception, the Sandkull and Heijnen (2005) emphasize
the importance of environment as follows. First is availability. This condition
indicates the awareness and concern that schools must provide the broadest
opportunities for the children as well as the parents to determine their right to
obtain education in the school they choose. The awareness and concern of
course do not arise only from the public schools, but also from the government
particularly the Ministry of National Education. Likewise, such awareness and
concern come up from the communality in terms of a moral, spiritual support,
and funds. Second is accessibility. Inclusive and learning-friendly schools are
open (Welcoming School) for all children in need. Physically, the school can be
accessed by all children including those who are bound to a wheelchair or
those who experience motor disturbances and ambulation to attend and
participate in learning activities. Third is acceptability. Inclusive and friendly
school ensures the existence of children with a sense of security, a socially and
psychologically comfortable. School teachers, principals, and students function
as partners who recognize and respect differences. Schools serve all children
with different backgrounds sincerely in social and learning interaction. Fourth is
adaptability. One of the elements of inclusive education is the awareness and

1399
concern of learning obstacles that occur because of differences or limitations of
the child. In such conditions, it is not the children who must adjust to the
environment, but the schools, instead, should design environment and
programs in accordance with the children's needs.
In an inclusive setting, the academic learning atmosphere occurs when
students learn in a psychologically and socially safe environment. Carnell
(2005) suggests three favorable propositions in order that learners can learn
effectively. The first condition is that learning needs to be enjoyable and
engaging. When students feel being engaged and involved means learning is
fun. They prefer experiment by seeing what happens instead of being told. In
this way the tasks become exciting, thus, help their understanding. They also
prefer being asked questions rather than being told by the teacher. The class
activity is learning by doing, not copying. It means the students hope the
teacher is making a way and space for them to participate and explore to
discover their knowledge. The second, Students need to trusted and given the
responsibility for their learning. Students learn better when they go out and find
things instead of the teacher bringing them for them to learn. In this way
students can search, get hold different sources, and finally make decision. They
feel they learn when they are able to design things, expand on a certain
subject, and show what they can do. In this way of learning, students are
trustworthy and responsible for the struggle of learning to construct their own
knowledge.
The third, students learn effectively when students have more
opportunities to learn with others. The students share to respect and to be
respected by others. They learn not only by themselves but also form others.
They can learn through a two-way process, by getting and listening to other's
opinions to understand the knowledge. They can also learn by putting their
opinions across, communicating and learning to appreciate other people. By
sharing and involving in a team, they feel to a part of the team member, and
build up the confidence because other people rely on them. In short, learning is
not anymore being instructed. Rather it is a matter of construction and co-
construction.
The Principles of Inclusive Teaching-Learning
The learning process was conducted with the purpose of achieving the
goal. To achieve this goal, a teacher in the classroom should consider the
inclusive learning principles. In general, the teaching principles in inclusive
classroom are similar to the ones in regular classes. Mayor (1994) states that
inclusive Classrooms should guarantee that all students get the quality of
sustainable education through the adjusted curriculum, organization, teaching
strategy, resource utility, and community involvement regardless of their
differences and difficulties. The differences and difficulties may lie in the
diversity in the respects of their physical, intellectual, social, and emotional
barriers that affect the learning (Ainscow, 2003). Such barriers may eventually
appear on the low cognitive function, motivation, and students' self-esteem. The
same ideas are also explained by Kyriacou (1997) that the low motivation to
study and the small self-confidence often cause failure in school. The frequent
experience of failure has shortened the expectation to succeed. The teacher in
the learning process is expected to provide service in accordance with the

1400
needs of students such as counseling and remedial teaching. Directorate of
Management for Special School (2005) issued a guide that highlight the
teaching learning process in inclusive classroom settings. The principles of
teaching and learning in inclusive settings include; motivation building,
contextual learning, goal orientation, social interaction, learning through action,
individualization, discovery learning, and problem solving.
In general teaching strategy, such principles are intended to
accommodate the main characteristics of students with special needs the
barriers of which are usually related to cognition, motivation, and self-esteem.
To scaffold the cognitive barriers, for instance, the principle of discovery,
inquiry, contextual learning is strongly recommended. In the same way, the
inclusive education also pays attention to students' motivation. Students with
certain obstacles in an inclusive classroom, generally, have low encouragement
to learn. They are difficult to actualize their identity because of the attached
label. The fighting spirit to compete and succeed is eventually weakening
eventually. The lack of feeling competitive has impacted the low motivation to
struggle for learning. Teachers, in this occasion, should keep on giving
encouragement, spur their struggle, and ensure that they have potential that
can raise the achievement.
In addition to motivation, building emphatic social relationship is also an
important principle. This is aimed to permeate the sense of self-esteem during
social interaction. Opposed to competitive, cooperative learning seems to be
the most appropriate option for students with such learning barriers. In this way,
teachers understand their personal identity and makes emphatic approach so
that students feel safe with teachers and friends.
The next principle is to emphasize the individualized service. It is a
child-to-child service with a full understanding of the individual (Ainscow, 2003).
This is important because the students with learning obstacles always achieve
behind the expected goal. The individualized service includes individual
counseling and that enables them to restore their motivation and self-esteem,
which can further augment the absorption of higher knowledge provided.
Special help is necessary for students with barriers to learning. For
students who have the visual impairment, for example, teachers are required to
adjust their strategy, utilizing adaptive learning tool, for example, so that
students can participate like other friends. To achieve better results of inclusive
learning in class, learning-friendly environment should be made to the scaffold
students with learning barriers. The principles include scaffolding of students’
learning, meaningful and contextual activities, self-regulated learning, and
positive response to individual learning styles. The result showed surprising
finding that all of the students in the class inclusive, specifically those with
disabilities in the third class, evidenced cognitive and social growth.
Unfortunately, he commented, very little of this generalization growth between
the museum and school settings.
In this context, Directorate of Special Education (2005) has issued a
guide book on instructional adaptation for students with special needs.
Instruction covers specific adaptation and modification adjusted to students with
special needs. The modification may be required regarding the individual
differences in terms of curriculum, process of teaching, instructional media,

1401
teaching materials, and evaluation. Browlie and King (2000) suggest many
ways to make adaptation to improve learning. Adaptation can take place in all
aspects of teaching and learning process; in setting the learning goal,
presentation, evaluation, material, and individual assistance or scaffolding. A
student with low vision, for instance, may need orientation and training prior to
mobility academic instruction. This student may also need environment
conducive to learning and safe and physically both psychologically. In the
process of learning, such a student needs specially media designed for large
prints, and perhaps individualized instruction and differentiated way of
evaluation. All these kinds of adaptation demand the teacher to work creatively
and cooperatively with other professionals to enhance the student to the
learning experience and to benefit equally from the instruction.
In relation to the teaching-learning process, Smith (2004) suggests four
principles to accommodate for inclusive environments typically implemented in
scaffolding students with special needs. The first is providing structure and a
standard set of expectation. In this matter, the teacher is mainly to help
students develop cognitively organizational skills, and to establish set of rules
for academic and social activities and tasks. Secondly, is adjusting the
instructional materials and activities. The teacher is supposed to individualize
the instruction and to break down the material into smaller pieces. A peer tutor
might be needed, and the evaluation might also be done in a different way. The
third is the student feedback and reinforcement for success. This could be done
by rewarding or praising students for Accomplishment, and by reinforcing
students to develop partnership among themselves especially those with low
self-esteem. The last is to make the tasks interesting. The teacher, in this case,
is to develop attention by making assignments interesting, novel, and arousing
the intellectual curiosity. The teacher should also vary the format of instruction
and play activities to the joy of learning.
CONCLUSION
Inclusive education is education that is designed for children with special
needs included in regular schools. It was firstly meant to accommodate the
marginalized children with limitation to the equality access to education.
Inclusion means responding to the diversity of children, attempting to overcome
the barriers to learning, and giving the opportunity to attend and participate in
the learning process.
Inclusive education is conducted on the philosophical basis of Basic
Constitution and Government Regulation where the implementation covers
academic and social aspects to enhance the students to learn and live in the
inclusive and friendly learning environment. Practically, the teaching strategy
holds the principles of adaptation and modification in terms of curriculum,
process of teaching, instructional media, and evaluation on the individual needs
of children.

REFERENCES

1402
Ainscow, M. (2003). Developing inclusive education system: What are the livers
for change: Keynote Speech in International Conference on Inclusive
Education, The Hong Kong Institute of Education, 16-19 December.
Ballard, K. (2005). International voices on disabilities and justice. London:
Taylor & Francis e-Library.
Browlie, F., & King, J. (2000). Learning in safe schools: Creating classroom
where all students belong. Ontario: Pembroke Publishers Limited.
Carnell, E., (2005). Understanding and enriching young people’s learning.
London: A Sage Publication Company.
Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa (2005). Pedoman penyelenggaraan
pendidikan inklusif. Jakarta: DEPDIKNAS.
Gunarhadi. (2001). Mengenal pendidikan inklusif dalam pendidikan luar biasa,
Jurnal Rehabilitasi & Remediasi, 11, (2), 63-68
Halvorsen, A., & Neary, T. (2009). Building inclusive schools: Tools and
strategies for success. New Jersey: Pearson Education, Inc.
Hoarse, J., & Taylor, I. (2005). Implementing an inclusion policy in a primary
schools. Improving Schools, 8, (3), 255-268
Kyriacou, C. (2001). Effective teaching in schools: Theory and practice.
Cheltenham: Nelson Thomas Ltd.
Mayor, F. (994). The Salamanca statement: Frame for action. Bangkok:
UNESCO
Sandkull, O., & Heijnen, E. (2005). Inclusive education as a human right: How
to apply a right-based approach to education programming. Bukut Tinggi:
Paper presented on the International Symposium, 26-29 September.
Sapon-Shevin, M. (1995). Why gifted students belong in the inclusive schools.
Educational Leadership, 52, (4), 64-70.
Shaeffer, S. (2005). Embracing diversity: Toolkit for creating inclusive, learning-
friendly environment, UNESCO Asia and Pacific Regional Bureau for
Education.
Smith, D., (2004). Introduction to special education: Teaching in an age of
opportunity. Boston: A Pearson Education Company.

1403
AMALAN PEDAGOGI INKLUSIF DI DALAM BILIK DARJAH
DI SEKOLAH DAERAH KLANG
1)
Lee Phaik Gaik, 2)Nazifah Binti Shaik Ismail, 3)Norliza Binti Jaafar,
& 4)Mohd On Bin Ahmad
Institut Pendidikan Guru Kampus Ilmu Khas, Kuala Lumpur
Abstrak
Kajian ini bertujuan untuk meninjau perlaksanaan amalan pedagogi inklusif,
dari aspek penglibatan murid semasa pelaksanaan pengajaran dan
pembelajaran (PdP) serta kefahaman guru dari segi pengetahuan dan
kemahiran tentang pedagogi inklusif di dalam bilik darjah. Kajian ini
menggunakan kaedah Consensual Qualitative Investigation di mana data
dikumpul melalui temu bual separa berstruktur dan pemerhatian menggunakan
senarai semak. Kajian dijalankan dalam dua fasa iaitu temubual separa
berstuktur dengan 3 orang Jurulatih Pakar Pembangunan Sekolah (SISC)
dalam fasa 1. Manakala, fasa 2 adalah pemerhatian dan temu bual guru-guru
yang mengajar di sekolah-sekolah daerah Klang. 2 tema utama telah terhasil
melalui analsis data iaitu kesediaan guru dari aspek kefahaman dan
pengetahuan serta kemahiran guru dalam melaksana pedagogi inklusif serta
penglibatan murid dalam pengajaran dan pembelajaran. Data temu bual
menunjukkan pengetahuan dan kemahiran guru tentang pedagogi inklusif
adalah tidak jelas dan minima. Dapatan ini membuktikan bahawa guru perlu
mempertingkatkan lagi kompetensi dan kemahiran dalam melaksanakan
kepelbagaian aktiviti pengajaran dan pembelajaran agar proses pembelajaran
yang efektif dan menyeronokkan murid dapat diwujudkan. Kerjasama guru
SISC sangat diperlukan untuk merealisasikan pelaksanaan pedagogi inklusif
ini. Hasil pemerhatian pula, guru lebih berautonomi dan menentukan semua
tugasan di dalam bilik darjah. Penglibatan murid adalah pasif dan guru tidak
dapat memberi peluang kepada murid untuk membuat pilihan, keputusan dan
mengekspresi diri. Implikasi terhadap pendidikan inklusif serta cadangan kajian
masa hadapan juga dibincangkan. Implikasi kajian ini penting ke atas usaha
pembangunan aktiviti PdP guru-guru di sekolah dalam merealisasikan Pelan
Pembangunan Pendidikan Malaysia (2013-2025) khususnya aprirasi murid.
Kata kunci: Pedagogi Inklusif , SISC
PENGENALAN
Salah satu perkara dasar dalam Pelan Pembangunan Pendidikan
Malaysia (PPPM) (2013-2025) ialah memberi penekanan terhadap kewujudan
kumpulan murid yang berkeperluan khusus. Murid berkeperluan khusus ini
merujuk kepada murid berkeperluan khas, peribumi, kumpulan minoriti seperti
orang asli dan Penan, pintar cerdas dan murid di sekolah kurang murid (PPPM;
4-16). Adalah menjadi hasrat kerajaan untuk memberi ruang dan peluang
pendidikan yang berkualiti tinggi serta relevan dengan keperluan mereka.
Konsep ini selaras dengan saranan UNESCO (2001) iaitu ‘sekolah harus
menerima semua kanak-kanak tanpa mengira keadaan mereka dari segi fizikal,
intelek, sosial, emosi, linguistik atau kelas sosial. Ini termasuklah kanak-kanak
kurang upaya dan pintar cerdas, gelandangan, perlarian, berpindah randah,
1404
kanak-kanak dari pelbagai bahasa, etnik atau kebudayaan, minoriti dan kanak-
kanak yang kurang bernasib baik atau dipinggirkan’ (Persidangan UNESCO
Ke-31, 2001).
Justeru itu, pedagogi berbentuk inklusif perlu diaplikasikan di kelas-kelas
arus perdana yang melibatkan murid-murid berkeperluan khas supaya
keperluan murid dari aspek sosial, kognitif dan psikomotor tidak diabaikan.
Sekiranya keperluan murid berkeperluan khas tidak diurus dengan baik, besar
kemungkinan mereka akan tercicir daripada sistem pendidikan negara dan
tidak dapat mengembangkan potensi diri dengan sepenuhnya. Kementerian
Pelajaran Malaysia berhasrat untuk menyediakan pendidikan yang adil untuk
semua akan tergendala dan seterusnya memberi impak kepada pembangunan
modal insan negara.
PEDAGOGI INKLUSIF
Dengan berpegang kepada dasar PPPM (2013-2025), pendidikan inklusif
adalah perlu untuk memenuhi keperluan pembelajaran kanak-kanak dari
pelbagai latar belakang sosio budaya, tahap kognitif dan kemampuan
psikomotor. Pada umumnya, konsep inklusif dalam pendidikan memberi
penekanan kepada keperluan melibatkan semua kanak-kanak dalam proses
pembelajaran di mana setiap individu dihargai dan diberi peluang melibatkan
diri dengan aktif dalam proses pengajaran dan pembelajaran (Moriaty, 2007;
Florian, 2013; Loreman, Forlin, Chambers, Sharma, & Deppeler, 2014).
Pendidik perlu mewujudkan peluang-peluang pembelajaran yang cukup untuk
semua pelajar dan bukannya mengecualikan mereka seperti apa yang
lazimnya berlaku di dalam bilik darjah (Florian, 2013, Jordan & McGhie-
Richmond, 2014).
Elemen pedagogi inklusif perlu ditekankan bagi memberi ruang dan
peluang untuk semua murid supaya dapat melakukan aktiviti pembelajaran
berdasarkan kemampuan mereka untuk mencapai objektif pengajaran dan
pembelajaran yang dihasratkan. Semua murid harus diberi peluang untuk
berkongsi idea dan membuat keputusan mengenai proses pengajaran dan
pembelajaran mereka (Florian, 2013). Penglibatan semua murid tanpa mengira
latar belakang dan kekurangan akan dapat mewujudkan persekitaran sosio
emosi yang lebih kondusif kepada semua murid (Booth, Ainscow, Black-
Hawkins,Vaughan, M. & Shaw, 2000).
PENYATAAN MASALAH
Perbezaan atau variasi seseorang individu dengan norma kumpulan,
sama ada dalam sifat kognitif, emosi, fizikal, moral, tingkah laku, sosial atau
bakat sememangnya wujud dalam sesebuah kumpulan (Woofolk, 2010).
Perbezaan di antara individu adalah berkait dengan aspek perkembangan
fizikal, mental, emosi dan sosial seseorang individu. Akibatnya setiap individu
mempunyai kepelbagaian dan kecenderungan gaya pembelajaran yang
berbeza, strategi belajar yang berbeza dan kadar pembelajaran yang berlainan.
Aspek perbezaan ini perlu diambil kira oleh setiap pendidik untuk menyediakan
suasana pembelajaran yang kondusif kepada semua murid selaras dengan
hasrat PPPM (2013-2025). Walau bagaimanapun, penyediaan ruang dan
peluang pembelajaran yang kondusif untuk semua murid memerlukan guru

1405
yang mempunyai pengetahuan, kefahaman dan kemahiran yang mencukupi
untuk melaksanakan pedagogi inklusif dengan berkesan. Kajian ini telah
dijalankan bagi meninjau pelaksanaan amalan pedagogi inklusif di sekolah
rendah bagi memberi gambaran sebenar tentang status pelaksanaan pedagogi
inklusif di Malaysia, khasnya di sekolah-sekolah daerah Klang.
OBJEKTIF KAJIAN
Kajian ini mempunyai dua objektif iaitu:
1. Mengenal pasti tahap kefahaman guru dari segi pengetahuan dan
kemahiran tentang amalan pedagogi inklusif di dalam bilik darjah.
2. Meninjau penglibatan murid dalam perlaksanaan amalan pedagogi inklusif
dalam bilik darjah.

METODOLOGI
Menurut Creswell (2013), pendekatan kualitatif amat sesuai apabila
sesuatu kajian melibatkan pemerhatian ke atas seseorang individu atau unit,
satu kelas, sekolah, satu masyarakat, peristiwa dan budaya. Kaedah
Consensual Qualitative Investigation digunakan dalam kajian ini bersesuaian
dengan ciri-ciri penerokaan yang terlibat. Kaedah ini menekankan penggunaan
beberapa penyelidik untuk mencapai persetujuan secara berkumpulan serta
kaedah yang sistematik untuk membentuk kesimpulan yang dapat mewakili
setiap penyertaan yang terlibat dalam setiap kes (Hill, Knox,Thompson,
Williams, Hess & Ladany, 2005). 4 orang penyelidik terlibat sepanjang
pelaksanaan kajian ini. Pengumpulan data dilakukan dalam dua fasa iaitu fasa
1 dan fasa 2.
1. Fasa 1: Temu Bual
Fasa ini melibatkan temu bual separa berstruktur Jurulatih Pakar
Pembanguan Sekolah (SISC) tentang amalan pedagogi yang dilaksanakan
oleh guru-guru dalam bilk darjah bagi memperolehi maklumat berkaitan
amalan pedagogi inklusif di dalam bilik darjah. Temu bual melibatkan 3
orang jurulatih pakar yang mempunyai kepakaran dalam mata pelajaran
Bahasa Malaysia, Bahasa Inggeris, Matematik dan Sains. Lokasi temu bual
SISC adalah di daerah Klang. Fasa ini dijalankan pada bulan Ogos 2014.
2. Fasa 2: Temu Bual Dan Pemerhatian
Fasa ke dua melibatkan 6 guru yang mengajar di daerah Klang. Guru yang
dipilih dikategorikan kepada dua kategori iaitu guru permulaan (novice), dan
guru berpengalaman lebih daripada 10 tahun dan mengajar di Tahun 4.
Sekolah yang dipilih adalah Sekolah Kebangsaan, Sekolah Jenis
Kebangsaan Cina dan Sekolah Jenis Kebangsaan Tamil. Dua orang guru
dipilih dari setiap sekolah untuk kajian ini. Setiap guru ditemu bual sebelum
dan selepas permerhatian dilaksanakan terhadap pengajaran dan
pembelajaran kelas yang terpilih. Kelas-kelas yang terpilih mempunyai
murid-murid yang mempunyai tahap keupayaan kognitif yang berbeza.
Fasa ini dijalankan pada bulan September dan Oktober 2014.
Instrumen Pengumpulan Data
Instrumen kajian ini menggunakan protokol temu bual separa berstruktur
dan senarai semak pemerhatian yang dibina berdasarkan objektif kajian ini.
Satu set protokol telah disediakan untuk mendapatkan maklumat. Instrumen

1406
temu bual separa berstruktur dibina untuk mendapatkan maklumat mengenai
amalan pedagogi inklusif dalam kalangan guru di sekolah. Manakala, senarai
semak pemerhatian dibina bagi membantu pengkaji membuat permerhatian
pengajaran dan pembelajaran dengan teliti.
Analisis Data
Consensual Qualitative Investigation mengandaikan bahawa perspektif
yang pelbagai dari pengkaji yang berbeza adalah lebih berkesan untuk
memahami sesuatu keadaan atau fenomena berbanding dengan hanya satu
perspektif daripada seorang pengkaji. Reka bentuk kajian seperti ini juga dapat
meminimakan bias yang mungkin wujud jika seorang pengkaji digunakan.
Elemen utama yang harus diaplikasi ialah hormat-menghormati antara
pengkaji-pengkaji, keseragaman penglibatan pengkaji dan sampel kajian,
kuasa membuat keputusan dan kesimpulan kajian. Perancangan yang teliti dan
sistematik telah dilaksanakan bagi memperolehi kesahan kajian dari aspek
kaedah kajian serta perwakilan keputusan kajian terhadap sampel kajian. Data
telah dianalisa melalui tiga peringkat utama iaitu menghasilkan tema untuk
mengkluster data, membina idea utama untuk membuat kesimpulan terhadap
idea-idea utama yang diekspresi oleh partisipan. Akhir sekali adalah membuat
analisis rentas (cross-analysis) ke atas data untuk membentuk kategori yang
konsisten antara subjek kajian.
DAPATAN KAJIAN
Analisis kajian ini menghasilkan 2 tema utama. Tema utama ialah
kesediaan guru dari aspek pengetahuan dan kefahaman guru tentang
pedagogi inklusif serta kemahiran melaksanakan pedagogi inklusif. Tema
kedua ialah penglibatan murid dalam pengajaran dan pembelajaran.
Kesediaan Guru
Guru didapati kurang jelas tentang maksud pedagogi inklusif. Melalui
temu bual, guru sama ada novis atau berpengalaman tidak dapat memberi
huraian yang jelas tentang apa yang dimaksudkan oleh terma ‘pedagogi
inklusif’. Antara jawapan yang telah diberikan oleh partisipan adalah seperti
berikut:

“Tidak ada pengetahuan tentang pedagogi inklusif tetapi pernah


dengar”
Guru novis 2

“Tidak tahu tentang pedagogi inklusif”


Guru berpengalaman 3

“Pernah dengar pedagogi inklusif semasa di maktab,


pemahaman saya berkaitan dengan penyediaan bahan”
Guru novis 3

Setelah penjelasan diberikan oleh pengkaji, guru-guru masih


berpendapat bahawa pengetahuan mereka tentang pedagogi inklusif sangat
minima. Guru-guru berpendapat mereka memerlukan latihan bagi memahirkan
mereka mengendalikan kelas dengan murid pelbagai latar belakang

1407
menggunakan pedagogi inklusif. Kompetensi seperti kemahiran melaksanakan
pedagogi inklusif dan mempelbagaikan aktiviti adalah minima dan perlu diberi
pendedahan lanjut. Hal in jelas melalui maklum balas dari guru-guru seperti
berikut:

“.......perlukan latihan untuk menpertingkatkan lagi pengetahuan


tentang pedagogi inklusif”
Guru novis 1

“........ kemahiran melaksanakan PI kurang sempurna”


Guru berpengalaman 2

“...... tidak ada pengetahuan dan perlukan latihan..”.


Guru novis 2

Dapatan ini selari dengan maklum balas yang diperolehi daripada SISC
yang telah membuat tinjauan terhadap pengajaran dan pembelajaran guru-guru
tidak kurang dari 6 bulan.

“Guru tidak jelas tentang pedagogi inklusif kerana tidak ada


pendedahan pedagogi tersebut. Guru hanya tahu inklusif itu
adalah untuk pendidikan khas dan pemulihan sahaja”.
SISC 1

“Pengetahuan dan kemahiran guru tentang pedagogi inklusif


amat minima”
SISC 2

“Guru mempunyai pengetahuan dan kemahiran yang amat


rendah tentang pedagogi inklusif. Guru perlukan latihan”.
SISC 3

Walaupun tidak terdapat perbezaan pendapat tentang pengetahuan,


kefahaman dan kemahiran di antara guru novis dan guru berpengalaman
terhadap pedagogi inklusif, terdapat sedikit perbezaan tentang keyakinan
mereka. Temu bual bersama guru selepas pemerhatian pengajaran dan
pembelajaran menunjukkan bahawa guru berpengalaman lebih yakin dengan
kesesuaian perancangan pengajaran dan pembelajaran yang telah dibuat
untuk memenuhi keperluan pembelajaran murid. Apabila ditanya tentang
kesesuaian perancangan yang dibuat, guru berpengalaman berpendapat :

“Aktiviti pengajaran yang saya rancang sesuai untuk murid-


murid. Saya rancang mengikut tahap kognitif murid kerana
murid-murid saya ada yang lemah dan ada yang pandai”.
Guru berpengalaman 2

Manakala guru novis kurang yakin tentang keberkesanan pengajaran dan


pembelajaran yang telah dilaksanakan.
1408
“Saya rasa macam tak berapa ok. Banyak lagi yang saya perlu
perbaiki”

Guru novis 3

Walau bagaimanapun, kesemua guru mempunyai sikap yang sangat


positif terhadap pedagogi inklusif. Mereka yakin dapat melaksanakan pedagogi
inklusif sekiranya latihan yang mencukupi diberikan.
[

Penglibatan Murid Dalam Pengajaran Dan Pembelajaran


Dapatan kajian berdasarkan pemerhatian pengajaran dan pembelajaran
subjek kajian, didapati penglibatan murid dalam aktiviti pengajaran dan
pembelajaran adalah amat terhad. Perkara ini berlaku kerana autonomi guru di
dalam bilik darjah tinggi. Guru lebih selesa mengajar secara tradisional. Maka,
murid tidak berpeluang melibatkan diri secara aktif di dalam proses pengajaran
dan pembelajaran. Hal ini jelas diperhatikan dalam pengajaran dan
pembelajaran partisipan seperti yang berikut:
“Murid tidak diberi peluang untuk membuat pilihan. Guru yang
menetapkan tugasan mereka. Tidak diberi peluang membuat
keputusan kerana tidak ada aktiviti kumpulan. Tidak ada maklum
balas kerana guru tidak menyoal. Tidak ada aktiviti yang
memberi peluang mengekpreskan diri”
Guru berpengalaman 1

“Guru berautonomi penuh. Tidak diberi peluang membuat


keputusan. Murid memberi maklum balas dari buku teks dan
soalan yang ditujukan oleh guru. Tidak ada motivasi yang
memberi peluang mengekpreskan diri.”
Guru berpengalaman 3

“Murid tidak diberi peluang untuk membuat pilihan. Guru yang


menetapkan tugasan mereka. Tidak diberi peluang membuat
keputusan kerana tidak ada aktiviti kumpulan. Tidak ada
maklum balas. Tidak ada aktiviti yang memberi peluang
mengekpreskan diri.”

Guru berpengalaman 2

“Guru berautonomi penuh. Tidak diberi peluang membuat


keputusan. Murid memberi maklum balas apabila disoal. Tidak
ada motivasi yang diberikan kepada murid”
Guru novis 1

Terdapat dua partisipan guru yang dapat menglibatkan murid secara aktif
dalam pengajaran dan pembelajaran melalui aktiviti kumpulan dan
menggunakan strategi berpusatkan murid. Aspek-aspek pemerhatian ini dapat
dilihat dalam pengajaran dan pembelajaran partisipan 3 dan 6:

1409
“Murid diberi pilihan untuk membaca mana-mana satu dialog.
Diberi peluang untuk keluar dan membetulkan jawapan murid
lain. Murid sangat selesa memberi maklum balas kerana guru
memotivasikan mereka. Murid diberi peluang untuk membuat
kesimpulan pengajaran hari itu. Murid mempunyai sikap yang
natural untuk menyatakan sesuatu.”
Guru novis 2

“Murid diberi peluang untuk membuat pilihan sama ada


membuat ayat atau ulasan pantun. Murid mencari dan
membuat ulasan melalui perbincangan dengan guru. Guru
dapat merangsang pemikiran murid dengan mengajukan soalan
yang berkaitan tayangan gambar. Murid berupaya memberi
contoh. Murid aktif memberi maklum balas daripada aktiviti
soal-jawab.”
Guru novis 3

Dapatan kajian menunjukkan bahawa kemahiran guru adalah pelbagai


dalam melibatkan murid dalam proses pengajaran dan pembelajaran.
Walaupun guru novis kurang keyakinan dalam pengajaran yang dijalankan,
mereka lebih melibatkan murid secara aktif dan memberikan peluang yang
lebih setara kepada murid dari pelbagai tahap kognitif.
PERBINCANGAN
Dapatan kajian menunjukkan semua subjek kajian tidak jelas tentang
pedagogi inklusif. Mereka mengaku bahawa kefahaman dan pengetahuan
tentang pedagogi inklusif di tahap minima. Pada tanggapan mereka, inklusif itu
hanya difokuskan kepada murid-murid berkeperluan khas. Mereka menyambut
baik dan sedar akan kepentingan pedagogi inklusif. Justeru itu, mereka
memerlukan latihan atau kursus tentang pedagogi inklusif. Dapatan ini
membuktikan bahawa guru perlu mempertingkatkan lagi kompetensi dan
kemahiran dalam melaksanakan kepelbagaian aktiviti PdP agar proses
pembelajaran yang efektif dan menyeronokkan murid dapat diwujudkan.
Kerjasama guru SISC sangat diperlukan untuk merealisasikan pelaksanaan
pedagogi inklusif ini. Dapatan kajian ini juga menunjukkan bahawa kompetensi
atau pengetahuan pedagogi perlu seiring dengan kepelbagaian pedagogi
khasnya dalam aspek pendekatan, strategi, kaedah dan teknik pengajaran
serta penglibatan aktif murid untuk memenuhi kepelbagaian tahap murid, sosio
budaya dan keadilan dalam memberi peluang kepada murid-murid. Semua
guru yang ditemu bual bersikap positif tentang pedagogi inklusif. Elemen afektif
ini penting kerana guru yang bersikap positif akan lebih berkeyakinan dan
bermotivasi untuk melaksanakan pedagogi inklusif.
Daripada pemerhatian yang dijalankan kepada 6 guru di tiga buah
sekolah yang berbeza, didapati guru novis banyak memberi peluang kepada
murid membuat pilihan. Contohnya, murid diberi pilihan untuk membaca mana-
mana satu dialog, pilihan membuat ayat atau ulasan pantun. Walaupun murid
diberi peluang membuat pilihan, tetapi guru masih berautonomi dalam proses
pengajaran dan pembelajaran. Elemen penglibatan murid dan memberi

1410
peluang kepada murid membuat maklum balas, dapat dilihat semasa guru
novis 2 dan 3 mengajar. Namun, ada beberapa elemen inklusif yang tidak
dilaksanakan oleh guru. Di antaranya adalah elemen kepelbagaian arahan,
mencungkil minat/ bakat, pengajaran mengikut aras kebolehan dan
pembelajaran koperatif dan kolaboratif. Begitu juga dengan elemen inklusif
seperti peluang membuat pilihan, membuat keputusan, memberi maklum balas
dan mengekspresi diri tidak dilaksanakan dalam pengajaran dan pembelajaran.
Elemen inklusif tersebut adalah penting dalam pengajaran dan pembelajaran
pada masa kini. Malahan elemen inklusif ini selaras dengan Kurikulum
Standard Sekolah Rendah (KSSR) yang mencabar guru menggunakan
pendekatan dan teknik pengajaran dan pembelajaran yang interaktif dan
menarik supaya murid diberi peluang untuk membuat keputusan, kreatif,
inovatif dan mahir dalam menyelesaikan masalah.
RUMUSAN
Guru-guru di sekolah, sedar pedagogi inklusif sangat penting dan
memberi banyak faedah kepada pendidikan. Kajian ini juga memberi kesedaran
bahawa tanpa pedagogi inklusif, proses pengajaran dan pembelajaran adalah
sama dengan cara tradisional. Aplikasian pelbagai pendekatan, strategi,
kaedah dan teknik dalam pengajaran dan pembelajaran guru adalah terhad.
Guru tidak mengambil inisiatif untuk memahami keperluan pembelajaran murid,
menglibatkan murid secara aktif dalam pengajaran dan pembelajaran dan
seterusnya tidak dapat memenuhi keperluan individu yang berbeza. Kajian ini
juga menonjolkan guru novis lebih banyak memberi peluang untuk murid
membuat pilihan melalui kaedah hands on dan menggunakan banyak bahan
bantu mengajar berbanding dengan guru berpengalaman. Walaupun autonomi
guru masih dominan dalam proses pengajaran, tetapi guru mempunyai sikap
yang positif dari segi keyakinan kendiri, persepsi dan motivasi terhadap
perlaksanaan pedagogi inklusif.
CADANGAN
Bagi keberkesanan pelaksanaan pedagogi inklusif yang efisien, Team
Teaching adalah satu cara yang baik untuk guru berkongsi ilmu. Latihan atau
kursus tentang aplikasi kepelbagaian pendekatan, strategi, kaedah dan teknik
patut diberi kepada guru-guru yang telah mengajar lebih daripada 5 tahun.
Dengan membekalkan ilmu dan kemahiran, guru akan lebih berkompetensi.
Pendedahan pedagogi inklusif hendaklah jelas dan latihan berbentuk ‘in-situ’
secara berkala bagi meningkatkan kemahiran pedagogi mereka untuk
melaksanakan pedagogi inklusif yang efektif. Seterusnya, prasarana sekolah
perlu ditambahbaik terutamanya daripada aspek peralatan pengajaran dan
pembelajaran khasnya hardware dan software Teknologi Maklumat dan
Komunikasi (TMK), serta Projektor LCD agar guru dapat melaksanakan
pengajaran dan pembelajaran lebih menarik, interaktif dan sesuai dengan Alaf
Ke 21 ini.

1411
DAFTAR RUJUKAN
Booth, T., Ainscow, M., Black-Hawkins, K., Vaughan, M. & Shaw, L. (2000) The
Index For Inclusion: Developing Learning And Participation In Schools.
(Bristol, CSIE).
Florian, L., & Spratt, J., (2013) Applying The Principles Of Inclusive Pedagogy
In Initial Teacher Education: From University Based Course To
Classroom Action, ISBN: 1697-5200 (London, Sage), 7–20.
Hill, C. E., Knox, S., Thompson, B. J., Williams, E. N., Hess, S. A., & Ladany, N.
(2005). Consensual qualitative research: An update. Journal of
Counseling Psychology, 52(2), 196.
Jordan, A., & McGhie-Richmond, D. (2014). Identifying Effective Teaching
Practices in Inclusive Classrooms. Measuring Inclusive Education
(International Perspectives on Inclusive Education, Volume 3) Emerald
Group Publishing Limited, 3, 133-162.
Loreman, T., Forlin, C., Chambers, D., Sharma, U., & Deppeler, J. (2014).
Conceptualising and measuring inclusive education. Measuring Inclusive
Education (International Perspectives on Inclusive Education, Volume 3)
Emerald Group Publishing Limited, 3, 3-17.
Moriaty, M., (2007). Inclusive Pedagogy:Teaching Methodologies to Reach
Diverse Learners in Science Instruction. Journal of Equity & Excellence in
Education, 40:252-265
Persidangan Antarabangsa UNESCO ke-13 – Oktober 2001
Pelan Pembangunan Pendidikan Malaysia (PPPM) (2013-2025)
Woolfolk, A. (2010). Educational Psychology 11th ed. The Ohio State University.
Pearson Education International.

1412
PELAKSANAAN PEDAGOGI INKLUSIF DALAM KALANGAN
GURU PENDIDIKAN JASMANI
1)
Mohd. Khamdani Bin Sairi, 2)Jalaluddin Bin Abd. Latif, 3)Mokhtar Bin
Ahmad, 4)Rozila Binti Mohd. Isa, 5)Jamaliyah Binti Ahmad, 6)Hafidzah Binti
Abd. Khafidz, 7)Noraini Binti Mohamed, & 8)Zulkarnain Bin Ali
Institut Pendidikan Guru Kampus Ilmu Khas
E-mail: 1)khamdani@ipik.edu.my
Abstrak
Kajian kualitatif secara kajian kes ini bertujuan untuk mengenal pasti
pelaksanaan Pedagogi inklusif di salah sebuah sekolah di Felda. Empat orang
guru Pendidikan Jasmani telah terlibat dalam kajian ini. Kajian kualitatif ini
menggunakan kaedah perbandingan secara berterusan untuk menganalisis
data. Data diperolehi dengan menggunakan kaedah temu bual mendalam,
pemerhatian langsung dan analisis dokumen. Pemilihan peserta kajian
berdasarkan persampelan bertujuan bagi mendapatkan pemahaman
mendalam dan terperinci tentang fenomena yang dikaji. Proses penganalisisan
dan pengumpulan data dijalankan secara serentak dan berterusan sehingga
data mencapai tahap ketepuan. Penganalisisan data dilakukan dengan
membanding dan menghubungkan konsep dan kategori yang timbul dari data
yang dikumpulkan menggunakan kaedah perbandingan secara berterusan bagi
memperoleh binaan asas model. Program NVivo 2.0 diaplikasikan untuk
membantu mengurus, menganalisis dan menginterpretasikan data secara
sistematik dan berkesan. Kajian awal bahawa guru P. Jasmani sekolah kajian
tidak sedar akan pedagogi inklusif. Namun setelah diterangkan, mereka
menyedari bahawa sebahagian pelaksanaan PdP yang dilaksanakan selama
ini telah melibatkan beberapa strategi dalam pedagogi inklusif. Selain itu guru
Pendidikan Jasmani juga telah menentukan kriteria pembelajaran sebelum
melaksanakan sesuatu sesi PdP. Guru juga turut memberi peluang kepada
pelajar untuk memilih tahap pembelajaran berdasarkan tahap kebolehan. Di
samping itu guru juga telah menyediakan aktiviti-aktiviti yang mudah hingga
sukar untuk membolehkan semua murid merasai kejayaan. Guru juga telah
menyediakan beberapa kumpulan bagi menentukan murid-murid dapat
melaksanakan aktiviti berdasarkan tahap kebolehan.
Kata kunci: Pedagogi inklusif; Berpusat Guru: Berpusatkan pelajar
PENDAHULUAN
Pedagogi inklusif memberi peluang untuk semua pelajar tanpa
mengira jantina serta status sosio ekonomi, bangsa, latar belakang, etnik
atau kebolehan kognitif untuk menerima pembelajaran. Sebagai contoh
seorang guru P. Jasmani yang menggunakan Pedagogi Inklusif turut
mengajar pelajar berkebolehan motor rendah seperti mana pelajar yang
mempunyai keupayaan motor yang tinggi; menerima pelajar perempuan
untuk sama-sama belajar untuk mencapai kekejayaan; juga menerima dan
memberi peluang kepada pelajar yang berbeza etnik dan latar belakang
untuk mencapai kejayaan dalam kemahiran yang diajar. Pedagogi Inklusif
juga memperkenalkan kaedah pengajaran yang pelbagai. Pelbagai gaya
1413
pembelajaran membolehkan pelajar untuk mencapai hasil pembelajaran
yang ditetapkan. Pedagogi Inklusif memberi peluang kepada pelajar untuk
belajar secara aktif. Pelajar berkongsi idea untuk membuat keputusan
pengajaran dan pembalajaran. Pelajar mungkin boleh membuat keputusan
dan memilih persekitaran pembelajaran yang disukai, bekerja dan berada di
gimnasium, tahap kesukaran soalan dan tugasan. (Hastie, 2003: Siedentop
& Tannehill, 2000)
OBJEKTIF
Mengenal pasti pelaksanaan Pedagogi Inklusif dalam kalangan guru P.
Jasmani di sebuah sekolah rendah Felda
METODOLOGI KAJIAN
Pendekatan
Pendekatan kajian ini ialah pendekatan kualitatif yang berbentuk kajian
lapangan dan berupaya menerangkan proses yang dilalui peserta kajian dalam
latar sebenar dan semula jadi ( Creswell 1992; Denzin dan Lincoln 1994).
Patton (1990) menyatakan bahawa kaedah kualitatif membenarkan pengkaji
menyiasat isu yang dikenal pasti dengan mendalam dan terperinci, agar isu
yang diselidiki dapat mengekalkan ciri-ciri keasliannya secara holistik.
Rekabentuk kajian
Reka bentuk kajian ini berdasarkan kajian kes. Menurut Burn (1995),
Merriam (1998) dan Yin (1994), penggunaan reka bentuk penyelidikan kajian
kes menggunakan data kualitatif amat sesuai apabila sesuatu kajian melibatkan
pemerhatian seseorang individu atau unit, satu kumpulan manusia, keluarga,
satu kelas, sekolah atau masyarakat, peristiwa atau budaya.
Instrumen Kajian
Item temu bual mendalam dibina sendiri oleh pengkaji berdasarkan
kategori dan elemen. Berpandukan asas yang telah diutarakan, pengkaji
membina kod-kod berdasarkan kategori dan elemen. Menurut Lofland (1995),
Bogdan dan Biklen (1998) dalam Miles dan Huberman (1994), kod-kod boleh
dibina berdasarkan tempat kajian, takrifan situasi peserta kajian, perspektif atau
pemikiran, proses aktiviti, kejadian, strategi, perhubungan sosial dan asas
teoritikal. Skema pengekodan mestilah berkait rapat dengan masalah yang
dikaji dan juga teori-teori yang berkaitan. Kategori-kategori yang diwujudkan
seharusnya mengaitkan respons kepada masalah yang dikaji. Skema
pengekodan mesti lengkap dan membolehkan kesemua respons yang
dikenalpasti diklasifikasi. Ini bererti pengkaji perlu membina skema pengkodan
yang komprehensif (Zaharah 2002).
Sampel Kajian
Pengkaji telah memilih peserta kajian yang terdiri daripada dua orang
guru P. Jasmani yang berpengalaman dari sebuah sekolah Felda. Pemilihan
sampel berdasarkan teknik persampelan secara bertujuan (purposeful
sampling). Pemilihan subjek yang bertujuan (purposive) merupakan kunci
utama dalam kajian kualitatif (Cresswell 1998). Miles dan Huberman (1994)
menjelaskan penyelidik yang menggunakan kajian kualitatif perlu menentukan
kriteria yang jelas dalam pemilihan subjek tersebut. Bagi kajian kes ini

1414
penyelidik telah memilih subjek supaya dapat memberikan maklumat yang
mendalam (Merriam 1998).
Lokasi Kajian
Sekolah Rendah di sebuah Felda
Cara pengumpulan data
Bagi tujuan kajian ini, pengkaji telah menggunakan gabungan kaedah
pemerhatian, temu bual mendalam serta analisis dokumen bagi mengenalpasti
amalan pedagogi inklusif dalam kalangan guru P. Jasmani. Bagi tujuan kajian
seperti ini, tiga teknik utama yang biasa digunakan dalam kajian kualitatif ialah
pemerhatian, temu bual dan bukti dokumen (Spradley 1980; Bogdan & Biklen
1984) digunakan pada sepanjang tempoh kajian dilaksanakan.
Cara analisis data
Menurut Miles dan Huberman (1994), proses menganalisis data kualitatif
memerlukan tiga langkah, iaitu reduksi data, pemaparan data, membuat
kesimpulan dan verifikasi data. Reduksi data melibatkan proses memilih,
memfokus, memudahkan, membuang serta melakukan tranformasi apa-apa
yang terdapat dalam nota yang telah ditranskripsikan. Proses mereduksi harus
dilakukan dari awal data dikumpul sehinggalah kesemua data selesai dikumpul.
Proses ini bukanlah berasingan tetapi merupakan sebahagian daripada proses
menganalisis data yang berterusan. Proses ini dilakukan supaya data yang
dikumpul dapat diperhalusi, disusun semula, dibuang dan disusun secara
keseluruhan bagi mencapai kesimpulan. Data-data yang direduksi dibaca
semula untuk mengenal pasti pola, tema, persamaan ataupun perbezaan.
Daripada data-data yang direduksi, penyelidik membina kod-kod yang dapat
menggambarkan pola atau tema yang timbul dari data.
Pengkaji akan menganalisis data setelah temu bual pertama dilakukan.
Proses bermula dengan membuat transkripsi secara verbatim atau kata demi
kata rakaman pita temu bual. Proses seterusnya memilih atau memfokus data.
Data yang telah dipilih dikodkan dan kemudian dikategorikan. Proses ini
dilakukan secara berterusan sehingga tamat proses pengumpulan data apabila
pengkaji mendapati data yang dikumpulkan sudah sampai tahap pemuakan
iaitu data yang dikumpul tidak lagi menyumbang kepada penemuan kategori
baru (Meriam 1998). Proses berikutnya ialah melibatkan proses untuk
mengesahkan kesahihan data dengan membuat triangulasi terhadap data temu
bual dengan data yang diperoleh daripada kaedah pemerhatian dan dokumen.
DAPATAN KAJIAN
Kefahaman guru tentang Pedagogi Inklusif
Berdasarkan jadual 1, didapati bahawa kedua-dua orang peserta kajian
(P1; P2) tidak pernah mendengar istilah Pedagogi Inklusif(PI) namun daripada
penerangan dan temubual pengkaji didapati peserta kajian ada melaksanakan
dan faham akan (PI). Peserta kajian 1 misalnya menjelaskan:
“PI ini macam pernah dengat.. tipulah kalau saya tak pernah dengar.
Rasa pernah dengar, benda tu saya buat tapi saya tak tahu nama tu.. sekarang
saya dah tahu.”
(KOD: KG-kpi/P1/TM1/Section 0, Para 20, 12 Chars)
P2 pula menyatakan:

1415
Kenyataan itu turut dinyatakan oleh P2 yang menjelaskan bahawa tidak
pernah dengar PI namun memahami setelah setelah diberi penerangan oleh
pengkaji. Beliau menyatakan:
“Pernah dengar tapi tak berapa faham sangat, tak berapa ingat”
(KOD: KG-kpi/P2/TM2/Section 0, Para 12, 52 Chars)
Amalan PI dalam kalangan guru PJ
Persediaan guru
1. Rujukan yang berkaitan
P1 dan P2 menjelaskan bahawa sebelum melaksanakan PdP PJ mereka
telah membuat persediaan awal terlebih dahulu. Mereka merujuk sukatan
pelajaran (SP) dan Rancangan Pelajaran Tahunan (RPT) sebelum
melaksanakan sesuatu PdP. Selain itu mereka juga merujuk dokumen
KSSR/KBSR untuk menentukan aktiviti yang akan dijalankan. Bagi
menjalankan sesuatu ujian yang berkaitan kecergasan kedua-dua peserta
kajian menggunakan Dokumen Segak. P1 menjelaskan:
“ Saya akan merujuk sukatan, buku teks dan dokumen yang berkaiatan
sebelum membuat RPH”
(KOD: API-PG-Rui/P1/TM1/Section 0, Para 10, 25 Chars)
P2 pula menyatakan:
“saya akan tengok rph...”
(KOD: API-PG-Rui/P2/TM2/Section 0, Para 25, 21 Chars)
2. Penulisan objektif
Objektif PdP adalah amat penting bagi menentukan sejauh mana sesuatu
kandungan mata pelajaran dapat disampaikan kepada murid. Oleh itu
kedua-dua peserta kajian telah menyatakan bahawa mereka menentukan
objektif PdP berdasarkan tajuk atau topik. Selain itu kedua-duanya
bersetuju bahawa objektif yang dirancang adalah boleh dicapai. Ini bagi
memberi keyakinan dan motivasi kepada murid yang pelbagai latar
belakang dan prestasi yang berbeza. Ini dapat ditunjukkan melalui kata-
kata P1:
“Bila ssaya dah tahu keupayaan budak2 ni macam ni jadi objektifnya
pun kena berbezalah antara dua kelas...so walaupun kita ajar benda yang
sama tapi kita dah tahu keupayaan berbeza objektif ubah sikit supaya
kumpulan yang tak berapa boleh ni boleh capai objektif.”
(KOD: API-PG-PenOb/P1/TM1/Section 0, Para 11, 20 Chars)
P1 dan P2 juga telah menentukan objektif berdasarkan kebolehan pelajar,
tahap kemahiran psikomotor, jenis sukan, saiz murid serta murid aktif.
Objektif juga ditulis secara berbeza dari satu kelas dengan kelas yang lain.
Perancangan pembelajaran adalah fleksibel agar sesuai dengan kebolehan
murid. Ini dijelaskan oleh P1:
“Ye.. ambil kira fizikal, kemahiran motor dia saiz budak.. jugak sukan
yang ada agility dia... murid yang besar.. yang obes. sekolah saya
kebanyakan budak lelakinya obes dan saiz kecil budak perempuan
besar2. Kat situ ada perbezaan. yg besar perempuan besar tapi tak aktif.
sekolah lain mungkn lain caranya.. tapi macaman pun kita kena capai
objektif.”
(KOD: API-PG-PenOb/P1/TM1/Section 0, Para 14, 22 Chars)

1416
P2 menjelaskan:
“Latar belakang pelajar diambilkira sebelum membuat
perancangan....”
(KOD: API-PG-PenOb/P2/TM2/Section 0, Para 33, 48 Chars)
3. BBM
Dalam penggunaan alat bantu mengajar (BBM), P1 dan P2 telah
menggunakan alatan yang sesuai bagi memastikan murid dapat
melakukan aktiviti yang dirancang. Bagi tujuan tersebut mereka
menggunakan alatan PJ yang sedia ada dan menggunakan alat gantian
seperti surat khabar dan kayu sebagai pemukul dalam kemahiran memukul.
4. Strategi
Dalam perancangan P1 menggunakan strategi berpusatkan guru. Guru
memberi penerangan dan demonstrasi kepada murid. Murid dibahagikan
kepada beberapa kumpulan mengikut kebolehan masing-masing.
Ini jelas dinyatakan oleh P1:
“...jadi kena tunjuk.. demonstrasi. Kebetulan saya boleh buat.. jadi saya
tunjuk. macanama gambaran nak buat...saya suruh dalam bentuk
gambaran..imegri. contoh bayangkan putaran roda tu macamna.. kamu
tengok tayar basikal.”
(KOD: API-PG-Sta/P1/TM1/Section 0, Para 14, 19 Chars)
Dalam pada itu P2 menyatakan bahawa kumpulan dibahagikan
berdasarkan murid yang berprestasi baik dan sebaliknya. Murid-murid
berada dalam kumpulan yang sama agar murid yang mempunyai prestasi
yang baik akan membantu murid yang lemah. Beliau juga menggunakan
kaedah berpasangan. Beliau menyatakan:
“.... saya menggunakan kaedah ansur maju dan berkumpulan.
Ada juga saya gunakan kaedah secara berpasangan ...”
(KOD: API-PG-Sta/P2/TM2/Section 0, Para 27, 16 Chars)
Berdasarkan analisis dokumen dan senarai semak pemerhatian didapati
guru menyediakan RPH berdasarkan RPT. RPH disediakan dengan merujuk
standard pembelajaran KSSR. Objektif ditulis secara eksplisit. Tiga objektif
psikomotor, kognitif dan afektif ditulis dengan jelas. Persediaan ditulis dengan
ringkas dan format yang ditentukan oleh pihak sekolah.
Pelaksanaan PdP
1. Objektif
Dalam pelaksanaan objektif yang dirancang, telah diubahsuai bagi
memastikan semua pelajar dapat melakukan sesuatu aktiviti atau
kemahiran. Objektif tersebut telah disesuaikan dengan kebolehan murid
semasa PdP berlangsung. P1 menjelaskan bahawa:
“kita kena sesuaikan kebolehan murid. minimumkan bilangan murid
untuk dipulihkan, dengan kata lain budak yang tak boleh diasingkan.“
(KOD: API-PelG-obj/P1/TM1/Section 0, Para 34, 25 Chars)
Manakala P2 menyatakan bahawa:
“Saya menentukan objektif berdasarkan tajuk pada hari itu dan tahap
kebolehan murid....”
(KOD: API-PelG-obj/P2/TM2/Section 0, Para 41, 34 Chars)
Berdasarkan pemerhatian, didapati objektif ditulis mengikut kebolehan
murid. Aktiviti dilaksanakan bagi mencapai objektif yang telah ditetapkan.
1417
2. Berpusatkan guru
Semasa pengajaran berlangsung guru menggunakan kaedah ansur maju
dan tunjuk cara kepada murid-muridnya. Ini untuk memastikan semua
murid mendapat butiran mengajar dan peluang untuk menjalankan aktiviti
dengan betul. Guru juga akan mengajar murid-murid yang lemah kemahiran
yang palinng asas agar murid-murid yang berada dalam kumpulan ini dapat
merasai kejayaan dan boleh melakukan sesuatu kemahiran yang diajar.
Guru sentiasa memberi motivasi untuk menggalakkan semua murid sama
ada yang lemah atau sebaliknya agar mereka dapat melakukan sesuatu
aktiviti dengan jayanya. Guru akan mengajar murid sehingga muridnya
berjaya. Selain itu bagi murid yang lemah prestasinya, guru akan
memudahkan tugasan yang diberi. Contohnya bagi memastikan murid-
murid merasai kejayaan, guru telah mengubah jarak sasaran kepada lebih
dekat. Ini akan memberikan keyakinan kepada murid untuk merasai
kejayaan dalam menjalani sesuatu aktiviti.
Ini dapat dibuktikan melalui kenyataan P1:
“kena tunjuk cara..sebasic basicnya. Dalam Pj dia ada ansur maju .. kita
patah balik pada yang awal tadi...seprti awal yang pertama. Slow motion
dengan kiraan, kalaubudak pandai tak yah kira dah....tunjuk bahagian
yang betul dari basic balik....”
(KOD: API-PelG-Ber-g/P1/TM1/Section 0, Para 34, 41 Chars)
3. Berpusatkan murid
Selain itu, melalui pendekatan berpusatkan pelajar, guru mengarahkan
murid membuat kumpulan. Aktiviti dilakukan dalam kumpulan. Murid-murid
yang mempunyai prestasi yang baik akan membantu yang lemah. Murid-
murid akan berlatih dalam kumpulan. P1 menyatakan:
“kita kena buat kumpulan untuk membolehkan mereka berlatih bersama
dalam pelbagai kemahiran yang diajar.....”
(KOD: API-PelG-Ber-p/P1/TM1/Section 0, Para 34, 25 Chars)
P2 turut menjelaskan bahawa:
“Saya mencampurkan murid yang lemah dan yang baik dalam satu
kumpulan....”
(KOD: API-PelG-Ber-p/P2/TM2/Section 0, Para 41, 28 Chars)
Di samping itu guru juga menyediakan stesen-stesen untuk tugasan yang
mudah, sederhana dan sukar. Muird-murid boleh melaksanakan aktiviti
berdasarkan kebolehan mereka. Ini membolehkan meurid yang lemah turut
juga merasai kejayaan melakukan aktiviti. Ini dijelaskan oleh P1:
“lagipun saya dah siapkan tempat untuk ajar..kecuali .. saya tanya
siapa yang dah pandai.. tak buat sebab kita bermain dengan masa.
Kalau tak boleh saya kurangkan. Saya sediakan tugasan ikut setesen.
Muird pilih tugasanyang sesuai dengan kebolehan mereka..”
(KOD: API-PelG-Ber-p/P1/TM1/Section 0, Para 34, 28Chars)
Bagi menggalakkan aktiviti yang dirancang dapat dilakukan dengan
jayanya, guru menggunakan kaedah berpasangan. Melalui aktiviti ini murid
memberi maklumbalas kepada pasangan untuk meningkatkan kemahiran
murid yang lemah. Ini dinyatkan oleh P1 seperti berikut:
“Budak kena jug lakukan aktiviti berpasangan.. kawan memberi
maklumbalas dan bantu kawan yang lemah.”
1418
(KOD: API-PelG-Ber-p/P1/TM1/Section 0, Para 39, 32 Chars)
Bagi P2, beliau menjelaskan:
“.. murid berlatih secara berpasangan... mereka saling membantu...”
(KOD: API-PelG-Ber-p/P2/TM2/Section 0, Para 43, 30 Chars)
Selain itu murid yang telah menguasai kemahiran yang diajar pada hari itu
meneruskan latihan mereka. Latihan dijalankan berdasarkan tugasan yang
diberikan oleh guru. Semua murid telah diberi peluang untuk mengikuti
aktiviti dan merasai kejayaan. Ini dapat dibuktikan melalui penjelasan P1:
“Kalau tak murid yang pandai ni tak main.. jadi budak yang pandai terus
lakukan aktiviti, dan pantau disamping tumpuan kepada meningkatkan
kemahiran budak yang lemah.. saya tengok.. lima minit terakhir tu
boleh bagi mainlah atau 10 minit terakhir..”
(KOD: API-PelG-Ber-p/P1/TM1/Section 0, Para 39, 32 Chars)
Berdasarkan pemerhatian dan analisis dokumen didapati murid
menjalankan PdP enggunakan pelbagai kaedah bagi memastikan murid
dapat melakukan aktiviti yang dilaksanakan bagi mencapai objektif. Guru
memberi penerangan kepada semua murid untuk memastikan murid dapat
mengetahui butir-butir mengajar. Guru menggunakan kaedah demonstrasi
untuk menunjukcara kemahiran yang sukar. Murid diberi peluang untuk
berlatih dan melakukan aktiviti secara maksima. Guru membantu dan
membetulkan murid yang didapati lemah dalam kemahiran yang diajar.
Guru membuat aktiviti kumpulan. Murid dibahagikan kepada kumpulan.
Ahli kumpulan terdiri daripada pelbagai latar belakang. Murid yang
berprestasi tinggi akan membantu murid yang berprestasi rendah. guru
juga menggunakan kaedah berpasangan. Murid saling membantu bagi
[
meningkatkan prestasi kemahiran mereka.
Refleksi
1. Refleksi guru
Berdasarkan refleksi, guru mendapati ada murid yang masih tidak dapat
tidak melakukan sesuatu kemahiran. Guru berpendapat mungkin tugasan
kemahiran itu agak susah dan perlukan masa yang agak lama untuk
memahirkan murid berkenaan. Oleh sebab itu guru perlu terus mengubah
strategi dan kaedah bagi memastikan semua murid dapat
melaksanakannya. Guru menggunakan kaedah yang mudah iaitu ansur
maju dan melakukan kemahiran yang sangat asas. Ini dinyatakan oleh P1:
“Pertama saya refleksi diri saya balik sama ada apa yang saya ajar ni
bebudak dapat..kecuali saya dah ajar sebasic-basicnya budak tak boleh
buat.”
(KOD: API-Rel-g/P1/TM1/Section 0, Para 48, 23 Chars)
Selain itu teknik yang sesuai amat penting bagi menentukan butir-butir
mengajar dapat disampaikan dengan tepat. Abm dan alatan perlu sesuai
dan berkesan agar semua murid jelas dan menggunakan alatan tersebut.
Semua alatan sedia ada dan alat ganti perlu disesuaikan dengan
psikomotor murid agar matalat pengajaran pada hari itu tercapai. P1
mennyatakan:
“Lepas tu ..err.. ABM yang kita guna sesuai teknik yang saya guna ni
sesuai ke contoh.. macm bola untuk tahap satu ni berat sangat ke.. kena

1419
reflek baliklah.. contoh balingan. mungkin bola jaring terlalu berat. jadi
ada bola form tu.”
(KOD: API-Ref-g/P1/TM1/Section 0, Para 48, 45 Chars)
2. Refleksi murid
Murid berasa puas hati dengan PdP pada sesi itu dengan menunjukkan
rasa seronok ketika menjalankan aktiviti. Mereka berasa tidak puas untuk
melakukan aktiviti seterusnya. Mereka juga bertepuk tangan dengan kuat
menunjukkan mereka rasa puas hati dan seronok. Penglibatan murid juga
nampak aktif semasa PdP berlangsung. P1 menjelaskan:
“Murid puas hati dia seronok.. tak puas hati pun tapi seronok. Luaran
Dia seronok.. luarannya dia macam tak puaslah,,, biasanya tepuk
tangan.. kalau budak yang tak seronok dia tepuk sikit-sikit je..yang suka
tepuk kuat. Kalau pdp suka budak akan tanya minggu depan kita main
lagi.. tapi kalau diam je balik kelas.. dia tak sukalah..”
(KOD: API-Ref-m/P1/TM1/Section 0, Para 48, 23 Chars)
P2 pula menyatakan:
“....saya akan melihat respon murid sama ada seronok ke tak...”
(KOD: API-Ref-m/P2/TM2/Section 0, Para 57, 10 Chars)
Berdasarkan pemerhatian, murid-murid berasa seronok kerana kebanyakan
murid dapat melakukan aktiviti.

SIMPULAN
Pada keseluruhannya guru di P. Jasmani di sekolah ini mengamalkan
Pedagogi Inklusif. Ini dapat ditunjukkan melalui temubual bersama guru,
pemerhatian PdP guru serta analisis dokumen. Didapati bahawa guru
mengubahsuai objektif yang telah dirancang untuk disesuaikan dengan
kebolehan murid semasa PdP berlangsung. Guru menggunakan pendekatan
berpusatkan guru menggunakan kaedah demonstrasi dan ansur maju bagi
memastikan isi pengajaran dapat disampaikan dengan jelas (Mosston &
Ashworth, 1994). Murid diberi peluang seluas-luasnya untuk mencapai
kejayaan melalui latihan berkumpulan dan berpasangan (Block, Oberweiser &
Bain, 1995) melalui pendekatan berpusatkan murid (Rink, 1996) . Murid
sentiasa diberi motivasi untuk mencapai kejayaan. Kesimpulannya Pedagogi
Inklusif dalam mata pelajaran Pendidikan Jasmani sangat sesuai diaplikasikan
kerana kaedah ini memberi peluang kepada semua murid untuk berjaya dalam
sesuatu kemahiran yang diajar.
CADANGAN
1. Melibatkan beberapa responden daripada beberapa sekolah lain.
2. Guru perlu didedahkan dengan pedagogi inklusif.
3. Guru perlu didedahkan dengan pelbagai kaedah/pedagogi.
4. Menyediakan modul yang sesuai
5. Pencapaian harus mengambil kira prestasi standard.
DAFTAR RUJUKAN
Burn, R.B. (1995). Introduction to Research Methods. Melbourne: Longman.
Block, M.E., Oberweiser, B., & Bain, M. (1995). Using classwide peer tutoring to
facilitate inclusion of students with disabilities in regular physical
education. The Physical Educator, 52, 47-56.
1420
Bogdan, R.C. & Biklen, S.K. (1998). Qualitative research in education: An
introductionto theory and methods. (3rd ed.). Bostan: Allyn & Bacon Inc.
Cresswell, J.W. & Brown, M.L. (1992). How Chairpersons enhance faculti
research: A grounded theory study. Review of Higher Education
16(1): 41-62.
Creswell, J.W. (1994). Research design: Qualitative and quantitative
aproaches. California: Sage Publication.
Denzin, N. & Lincoln, Y. (1994). Handbook of qualitative research. Carlifornia:
Sage.
Hastie, P. (2003). Teaching for lifetime physical activity through quality high
school physical education. San Francisco: Benjamin Cummings.
Loftland, J. & Lofland, L.H. (1995). Analyzing social setting: A guide to
qualitative observation and analysis (3rd ed.). Belmont, CA:
Wadsworth
Miles, M.B. & Huberman, A.M. (1994). Qualitative data analysis: an expanded
sourcebook. (2nd. Ed). Thousan Oak CA: Sage.
Merriam,. S.B. (1998). Qualitative Research and Case study Applications in
Education. 2nd ed. San Francisco: Jossey-Bass.
Mosston, M., & Ashworth, S. (2002). Teaching physical education (5th ed.). San
Francisco: Benjamin Cummings
Mosston, M., & Ashworth, S. (1994). Teaching physical education (4th ed.).
New York: Macmillan.
Patton. M.Q. 1990. Qualitative evaluation and research methods (2nd ed).
Newbur Park, CA: Sage.
Rink, J.E. (1996). Effective instruction in physical education. In S.J. Silverman &
C.D. Ennis (Eds.), Student learning in physical education (pp. 171-
198). Champaign, IL: Human Kinetics.
Siedentop, D., & Tannelhill, D. (2000). Developing teaching skills in physical
education. Mountain View, CA: Mayfield.
Yin, R.K. 1994. Case Study Research: Design and Methods. 2nd ed.
Thousand Oak,
Califf: Sage
Zahrah Mokhtar. 2002. Amalan-amalan pengurusan dekan. Tesis Dr.
Fal.Universiti Kebangsaan Malaysia, Bangi.

1421
KEFAHAMAN GURU-GURU SEKOLAH RENDAH TENTANG
KONSEP PENDIDIKAN DAN PEDAGOGI INKLUSIF: SATU KAJIAN
KES DALAM KALANGAN GURU-GURU DI LEMBAH KLANG
1)
Mohd On bin Ahmad, 2)Parwazalam bin Abdul Rauf, & 3)Chin Mei Keong
Institut Pendidikan Guru Kampus Ilmu Khas, Kuala Lumpur
Abstrak
Kajian ini bertujuan untuk menjawab dua persoalan utama iaitu melihat sejauh
mana pengetahuan guru-guru daripada pendidikan khas dan guru-guru aliran
perdana terhadap konsep pendidikan dan pedagogi inklusif. Seramai 40 orang
guru telah ditemu bual daripada kedua-dua jenis aliran tersebut. Analisis
dijalankan dengan menggunakan konsep pendidikan inklusif yang telah
dikeluarkan oleh UNESCO melalui Penyataan Salamanca, Sepanyol. Hasil
dapatan mendapati konsep pendidikan inklusif dan pedagogi inklusif dalam
kalangan guru-guru amat rendah dan tidak mengikut apa yang telah digariskan
oleh pihak UNESCO. Dengan kajian ini harapan penyelidik agar pihak di
Kementerian Pendidikan Malaysia melakukan rombakan terhadap pemahaman
konsep ini.
Kata kunci: Pedagogi Inklusif, Pendidikan Inklusif dan Pembangunan Sumber
Manusia
PERNYATAAN MASALAH
Majlis Kebangsaan Intervensi Awal Kanak-kanak telah menghantar satu
memorandum kepada Menteri Pendidikan Malaysia sempena Semakan
Semula Sistem Pendidikan Kebangsaan 2012. Memorandum ini mendesak
kerajaan menjadikan “Pendidikan Inklusif sebagai polisi kebangsaan untuk
kanak-kanak berkeperluan khas”. Susulan daripada memrorandum ini maka
makmal pendidikan khas telah diadakan dengan The Performance
Management and Delivery Unit (PEMANDU) pada 15-22 Oktober 2012. Hasil
daripada makmal ini maka pada laporan awal Pelan Pembangunan Pendidikan
Malaysia (PPPM) 2013-2025 telah mencatatkan bahawa Kementerian
Pendidikan Malaysia (KPM) komited untuk menambah bilangan Murid
Berkeperluan Khas (MBK) dalam model pendidikan inklusif. Sehubungan itu,
satu piagam telah diwujudkan iaitu “Peningkatan Enrolmen MBK dalam
Program Pendidikan Inklusif”.
Seterusnya pihak PEMANDU membuat perjumpaan dengan pihak
Organisasi Bukan Kerajaan (NGO) yang berkaitan dan hasilnya mereka dapati
terdapat 4 cabaran yang perlu diatasi dalam perlaksanaan pendidikan inklusif
iaitu:
1. kurang kesedaran & empati
2. kurang pengesanan dan intervensi awal
3. kurang akses ke sekolah
4. kekurangan guru yang mahir dan kompeten
Berasaskan kepada cabaran yang keempat iaitu kekurangan guru yang
mahir dan kompeten, maka sebuah institusi latihan perguruan, perlu bersifat
proaktif untuk menilai sejauhmana kefahaman guru-guru yang berada dalam
perkhidmatan sekarang terhadap pendidikan inklusif. Ini ditambah pula agenda
1422
pendidikan inklusif merupakan agenda yang penting bagi KPM kerana telah
dimasukkan dalam PPPM sebagai Inisiatif No. 34 Peningkatan Enrolmen
Dalam Program Pendidikan Inklusif Bagi MBK. Melihat kepada pentingnya
agenda ini maka maklumat awal tahap kefahaman guru-guru berkenaan
dengan pendidikan inklusif ini akan membolehkan pihak IPGK merangka suatu
modul latihan yang sesuai untuk mereka. Ini seterusnya akan merungkai
cabaran yang keempat.
Soalan Kajian
Kajian ini bertujuan untuk menjawab 2 persoalan utama iaitu:
1. Apakah tahap kefahaman guru-guru arus perdana dan guru pendidikan
khas terhadap konsep pendidikan inklusif?
2. Apakah tahap kefahaman guru-guru arus perdana dan guru pendidikan
khas tentang konsep pedagogi inklusif?
SOROTAN LITERATUR
Untuk kajian ini kami menerangkan tentang pendidikan inklusif, pedagogi
inklusif dan kajian-kajian yang berkaitan dengannya.
Konsep Pendidikan Inklusif
Kajian tentang konsep pendidikan inklusif ini telah banyak dilaksanakan
(Corbett, 2001). Tetapi rujukan utama tentang konsep ini adalah berpaksikan
kepada Kami mendapati konsep pendidikan inklusif yang tepat berasaskan
kepada Penyataan Salamanca, 1994 iaitu
“Schools should accommodate all children regardless of their physical,
intellectual, social, emotional, linguistic or other conditions. This should
include disabled and gifted children, street and working children, children
from remote or nomadic populations, children from linguistic, ethnic or
cultural minorities and children from other disadvantaged or marginalized
areas or groups.” (UNESCO, 1994)
Pedagogi Inklusif
Pedagogi inklusif didefinisikan sebagai pendekatan yang bertujuan untuk
menggalakkan budaya mengakodomasikan semua pelajar dengan memastikan
amalan pengajaran guru menggunakan pelbagai strategi (Corbett, 2001).
“Inclusive pedagogy is defined as an approach intended to promote a
culture of accommodating all and ensuring practice based on the use of
diverse teaching strategies (Corbett, 2001.”
Ia berkaitan dengan pedagogi perhubungan iaitu menghubungkan antara
pelajar dengan pembelajaran mereka terlebih dahulu dan kemudian
menghubungkan antara pembelajaran dengan kurikulum (Corbett, 2001).
Pedagogi Inklusif ialah proses di mana pelajar sentiasa melibatkan diri dengan
bahan pembelajaran dan melakarkan pengalaman mereka (Nilholm & Alm,
2010) . Bahan ini dipersembahkan sehampir mungkin kepada realiti dan pelajar
bukan penerima pasif pengetahuan tetapi dibenarkan untuk ‘melampirkan’
makna subjektif kepadanya .
Untuk artikel ini, PI merujuk kepada kaedah pengajaran yang bersifat
total, bentuk dan prinsip yang meningkatkan penglibatan pelajar. Pengajaran
inklusif ialah pusat kepada pendekatan. Definisi ini diterima oleh kami
berdasarkan pendapat Makoellea (2013).

1423
PI juga merujuk kepada pedagogi yang merangkumi pembelajaran untuk
semua kanak-kanak. Ia adalah mengenai pengajaran kumpulan pelbagai dan
yang berkenaan mengenai pengalaman pembelajaran semua pelajar.
Kajian-kajian Lepas
Pada amnya kajian tentang pedagogi inklusif tidak banyak dijalankan oleh
penyelidik (Florian dan Black-Hawkins (2010, P14). Kajian yang dijalankan
tidak mendalam dan tidak dapat membuktikan pedagogi inklusif satu
pengkaedahan yang terbaik. Kajian secara ekspremental hampir tiada
langsung.
Tetapi kajian yang dijalankan oleh Institut Pendidikan, Universiti London
(2002) secara tidak langsung memasukkan unsur-unsur pedagogi inklusif untuk
kurikulum pendidikan guru. Dapatan kajian mengemukakan lapan tema atau
'rukun kemasukan' yang berguna untuk pelatih dan guru-guru baru untuk
dipertimbangkan dalam pengajaran mereka:
1. Persekitaran pembelajaran Inklusif - isu-isu bunyi dan cahaya, tempat
duduk, sumber, memaparkan, kawasan arousal rendah, kesihatan dan
keselamatan
2. Pendekatan multi-deria, termasuk ICT - apabila mengajar, untuk rakaman
murid dan menggalakkan keselamatan dan organisasi
3. Bekerja dengan orang dewasa tambahan - murid berunding mengenai
sokongan, sokongan merancang, menilai sokongan
4. Menguruskan hubungan rakan sebaya - pengumpulan murid, kerja
kumpulan pengurusan dan perbincangan, membangunkan tanggungjawab
5. Dewasa / komunikasi murid dan bahasa - komunikasi guru dan murid,
interaksi pelajar-guru
6. Formatif penilaian / penilaian untuk pembelajaran - memahami matlamat
pembelajaran, memberi tumpuan kepada bagaimana murid-murid belajar,
memberi maklum balas, memahami kriteria penilaian, menyemak kemajuan
dan membantu murid bertambah baik, mengumpul bukti penilaian
7. Motivasi - memahami struktur pelajaran, relevan dan motivasi tugas, sistem
ganjaran
8. Memori/penyatuan - Mengimbas kembali peristiwa, mengurangkan
pergantungan kepada ingatan, menyatukan pembelajaran, kajian
bebas/kerja rumah
Lapan tema digunakan secara terperinci dalam setiap satu daripada buku
kecil subjek tertentu, memberikan nasihat dan sokongan untuk mengajar setiap
mata pelajaran untuk kedua-dua pelatih rendah dan menengah.
PENGSAMPELAN
Kajian ini dijalankan secara kualitatif dengan pensampelan dijalankan
secara ‘purposive’. Oleh kerana tujuan kajian ini hendak melihat tahap
kefahaman guru-guru dalam perkhidmatan terhadap konsep pendidikan inklusif
dan pedagogi inklusif, maka sampel yang dipilih merangkumi aspek berikut:
1. Melibatkan hanya sekolah rendah.
2. Sekolah ini mempunyai dua aliran iaitu aliran perdana (tanpa murid
berkeperluan khas) dan aliran pendidikan khas.
3. Responden yang digunakan di sini ialah dalam kalangan guru sekolah
rendah aliran perdana dan aliran pendidikan khas.

1424
Hasilnya seramai 24 orang guru daripada aliran iaitu aliran perdana dan
19 orang guru daripada aliran pendidikan khas telah ditemubual oleh
penyelidik. Rintis kepada temubual telah dilaksanakan pada 21 Januari 2015.
Setiap responden hanya perlu menjawab dua soalan iaitu soalan 1, apakah
yang guru faham tentang pendidikan khas dan soalan kedua ialah, apakah
yang guru faham tentang pedagogi inklusif. Tujuan kajian rintis ini dijalankan
ialah (a) untuk menguji kebolehpercayaan dan meneliti ketekalan alat
pengukuran yang digunakan, (b) menentukan jangka masa yang diperlukan
oleh responden untuk menjawab soal selidik dan mengikuti sesi aktiviti lisan
yang dijalankan, (c) menentukan kesesuaian format soal selidik dan aktiviti
lisan dengan tujuan kajian dan (d) memastikan perkataan yang digunakan di
dalam soal selidik mudah difahami dan mempunyai maksud yang jelas
bersesuaian dengan laras bahasa responden. Hasil kajian rintis yang diperoleh
didapati kesemua tujuan di atas dapat dipenuhi. Untuk itu, kajian sebenar telah
dibuat kepada responden guru-guru pada 12 Februari 2015.
DAPATAN DAN RUMUSAN KAJIAN
Daripada 19 orang guru aliran pendidikan khas dan 24 orang guru
daripada aliran perdana penyelidik mendapati hampir kesemua mereka tidak
dapat memahami konsep pendidikan dan pedagogi inklusif. Kebanyakan
mereka mentakrifkan konsep pendidikan dan pedagogi inklusif sebagai suatu
teknik pengajaran dan pembelajaran yang digunakan untuk mengajar murid
berkeperluan khas (MBK) yang ditempatkan di sekolah biasa. Contohnya
Responden 19 daripada guru arus perdana mentakrifkan pendidikan inklusif
ialah;
“Pendidikan Inklusif merupakan peluang pembelajaran murid berkeperluan
khas di kelas aliran perdana bersama murid-murid normal”. Responden 19
Responden 10 daripada guru aliran pendidikan khas juga menyuarakan
pendapat yang sama iaitu
“Pendidikan Inklusif ialah murid berkeperluan khas (MBK) yg. belajar di arus
perdana bersama-sama murid normal menggunakan silibus/sukatan
normal. Ada inklusif penuh @ inklusif separa (subjek2 tertentu shj)”.
Responden 10
Temu bual yang dilaksanakan seterusnya menunjukkan pola jawapan
yang sama iaitu pendidikan inklusif bererti suatu pengajaran dan pembelajaran
yang dikhususkan kepada murid-murid berkeperluan khas yang ditempatkan di
sekolah-sekolah aliran perdana.
Untuk soalan kedua iaitu “apakah yang guru faham tentang pedagogi
inklusif”?, pada keseluruhannya tiada langsung guru yang dapat menjawab
soalan ini dengan tepat. Hampir semua guru-guru aliran perdana menunjukkan
kekeliruan tentang konsep pedagogi inklusif ini. Terdapat 5 daripada 24 orang
guru aliran perdana tidak menjawab langsung soalan ini. Ini menunjukkan 20
peratus guru di aliran perdana tidak memahami konsep ini. Tetapi terdapat juga
guru aliran perdana menjawab soalan ini dengan baik. Contohnya Responden
9 dan Responden 7
“Pedagogi inklusif - cara/kaedah p&p yang sesuai dengan pelajar yang
pelbagai keperluan”. Responden 9

1425
“Pedagogi Inklusif pula bermaksud atau cara-cara atau kemahiran yang
digunakan untuk mengajar murid-murid yang terdiri daripada pelbagai
kemahiran yang berbeza”. Responden 7
Jawapan ini menarik kerana guru ini telah mula memahami konsep
pedagogi inklusif dengan jelas. Walau bagaimanapun selain daripada jawapan
Responden 9 dan 7, semua jawapan guru-guru aliran perdana berpendapat PI
ialah cara pengajaran dan pembelajaran yang disesuaikan untuk MBK. Contoh-
contoh jawapan:
“Kaedah pengajaran kepada murid yang berkeperluan khas” Responden 10
“Pedagogi inklusif pendidikan berkaitan cara atau pendekatan mengajar
kanak-kanak bekeperluan khas”. Responden 4
Selain itu ada juga dalam kalangan responden yang memberikan jawapan
yang mengelirukan dan tidak jelas. Contohnya Responden 5
“Cara pengajaran dan pembelajaran yang perlu guru laksanakan didalam
kelas tersebut kerana guru yang mahir mahupun murid yang lemah”.
Bagi guru pendidikan khas pada keseluruhannya jawapan mereka masih
berkisar dengan konsep pendidikan khas yang berkaitan dengan MBK semata-
mata. Hampir semua responden memberikan jawapan yang menunjukkan pola
yang hampir sama.
“Pedagogi inklusif ialah cara pengajaran di kelas pendidikan khas dan
aliran perdana yang berbeza”. Responden 17
“Pedagogi inklusif adalah cara murid yang diinklusif itu diajar. Murid yang
diinklusif akan mengikuti pedagogi aliran perdana. Guru pendidikan khas
hanya menjadi guru sumber untuk guru aliran perdana”. Responden 7
“Pedagogi inklusif adalah proses pengajaran dan pembelajaran
mengabungkan murid arus perdana dan pendidikan khas. Murid
pendidikan khas akan mengikuti sukatan arus perdana sepenuh masa. Ia
akan sukar dilaksanakan kerana murid pendidikan khas memerlukan
perhatian yg lebih dari guru”. Responden 8
“Pedagogi inklusif ialah semua semua seperti yg. digunakan utk. pedagogi
murid2 normal kerana murid yg. Berada di kelas inklusif diandaikan sudah
dapat menguasai silibus/sukatan murid2 normal”. Responden 10
Walau bagaimanapun terdapat juga dalam kalangan guru-guru pendidikan
khas memberikan jawapan tidak pasti iaitu seramai 2 orang yang mewakili
10.5 peratus daripada keseluruhan responden.
Rumusan daripada kajian ini jelas menunjukkan hampir semua
responden dalam kalangan guru di sekolah rendah samada guru arus perdana
atau arus pendidikan khas tidak memahami konsep pendidikan dan pedagogi
inklusif dengan jelas dan tepat. Ini tidak selari dengan konsep pendidikan
inklusif sebagaimana dinyatakan dalam Penyataan Salamanca, 1994.
Penyataan ini dengan jelas menunjukkan konsep pendidikan inklusif yang
merujuk kepada murid yang mempunyai pintar-cerdas dan murid yang berada
di kawasan pedalaman. Tetapi di Malaysia konsep pendidikan inklusif dan
pedagogi inklusif dikhususka untuk pendidikan khas, Ini menyebabkan murid-
murid pintar-cerdas diabaikan dan malahan tidak terdapat satu pengajaran
yang pembelajaran yang mengambil kira soal jantina. Ini juga menyebabkan
jurang pencapaian antara pelajar bandar dan luar bandar dan antara pelajar
lelaki dan perempuan semakin ketara (Laporan PPPIM, 2014).
1426
CADANGAN DAN KAJIAN AKAN DATANG
Berdasarkan dapatan di atas dicadangkan cadangan berikut:
1. Suatu siri latihan kepada semua guru-guru di Malaysia dijalankan secara
besar-besaran bagi menjelaskan konsep pendidikan dan pedagogi inklusif.
2. Konsep pendidikan dan pedagogi inklusif ini perlu diletakkan di bawah
tanggungjawab suatu jabatan yang memahami konsep ini. Jabatan ini tidak
semestinya Bahagian Pendidikan Khas. Ini kerana selagi konsep inklusif ini
diserahkan kepada BPK, maka konsep ini hanya ditakrifkan untuk MBK
sahaja.
3. Suatu modul inklusif perlu dikeluarkan bagi memudahkan pra warga
pendidik di sekolah melaksanakan konsep pedagogi dan pendidikan
inklusif.
Cadangan kajian akan datang
1. Kajian yang lebih mendalam dijalankan dengan melakukan bedah siasat
yang lebih baik.
2. Penerokaan dengan lebih mendalam dengan melakukan ke atas
responden-responden dengan menyediakan modul-modul pengajaran dan
pembelajaran.
DAFTAR RUJUKAN
Carbett,J.(2001). Supporting Inclusive Education:A connective
Pedagogy.London:Routledge
Laporan Kajian Tentang Pendidikan Inklusif (2012), KPM.
The Salamanca Statement (1994), UNESCO, Paris.

1427
LITERASI PEDAGOGI INKLUSIF DALAM KALANGAN GURU-
GURU PENDIDIKAN JASMANI
DI KUALA LUMPUR
1)
Kok Mong Lin, 2)Teng Siew Lian, 3)Balkaran a/l Arumugam,
& 4)Ch’ng Swee Ghiam
Institut Pendidikan Guru Kampus Ilmu Khas, Kuala Lumpur
Email: 1)mama_kok@ipik.edu.my
Abstrak
Kajian ini dijalankan untuk meninjau literasi pedagogi inklusif dalam
kalangan guru pendidikan jasmani. Pasukan pengkaji telah melaksanakan
satu soal selidik atas talian kepada sampel kajian yang dipilih secara
persampelan ‘convenience’. Sebanyak 79 orang (Lelaki = 20, Perempuan =
59) guru pendidikan jasmani dari 14 buah sekolah rendah di Kuala Lumpur
telah dipilih untuk menjawab soal selidik bentuk Likert berskala 5. Soal
selidik kajian ini menumpu kepada tiga aspek iaitu Profil Responden,
Pengetahuan Dalam Pedagogi Inklusif dan Pelaksanaan Pengajaran dan
Pembelajaran Pendidikan Jasmani menurut spektrum gaya mengajar
Mosston dan Ashworth (2002). Soal selidik yang dirangka membolehkan
pengkaji memperoleh data tentang literasi pedagogi inklusif responden
dalam proses pengajaran dan pembelajaran yang melibatkan Fasa Pra
Impak (Perancangan), Fasa Impak (Pelaksanaan), dan Fasa Pasca Impak
(Pentaksiran). Dapatan kajian menunjukkan majoriti reponden adalah terdiri
daripada kalangan guru bukan opsyen pendidikan jasmani (N=59) dengan
min pengalaman mengajar pendidikan jasmani keseluruhan adalah 7.9
tahun. Skor min keseluruhan dalam aspek Pengetahuan Pedagogi Inklusif
adalah 3.75, manakala min aspek Pelaksanaan Pedagogi Inklusif Dalam
Pengajaran dan Pembelajaran Pendidikan Jasmani adalah 3.89 untuk Fasa
Pra-Impak; 3.70 bagi Fasa Impak, dan 3.74 untuk Fasa Pasca Impak.
Cadangan untuk kajian lanjutan turut dibincangkan.
Kata kunci: Literasi, pedagogi inklusif, spektrum gaya mengajar.
PENDAHULUAN
Pedagogi inklusif bermatlamat memberi peluang pembelajaran yang
sama rata kepada semua murid tanpa mengira keupayaan dan kebolehan
mereka selaras dengan hasrat memberi pendidikan untuk semua.
Kementerian Pendidikan Malaysia telah mengenal pasti jurang pendidikan
yang perlu dirapatkan supaya lima ciri aspirasi utama iaitu akses, kualiti,
ekuiti, perpaduan dan kecekapan untuk menghasilkan suatu sistem
pendidikan negara yang berkualiti dapat dipertingkatkan. Ini selaras dengan
inisiatif dalam Pelan Pembangunan Pendidikan Malaysia (PPPM) 2013-
2025 (Kementerian Pendidikan Malaysia, 2013) bagi menghasilkan kualiti
pendidikan serta keberhasilan dan kemenjadian murid dengan tumpuan
kepada transformasi pendidikan ke arah pendidikan era abad ke-21 dengan
penyerapan kaedah pedagogi inklusif dalam pengajaran dan pembelajaran
(P&P).

1428
Dalam P&P pendidikan jasmani, gaya pengajaran yang kerap
dikaitkan ialah gaya pengajaran Mosston dan Ashworth (2002). Spektrum
gaya pengajaran Mosston dan Ashworth (2002) merupakan gaya
pengajaran yang berpusatkan guru dan murid untuk memaksimumkan
pembelajaran murid. Kategori spektrum P&P ini merupakan rangkaian
keputusan yang dibuat oleh guru dan murid dalam proses P&P. Pengajaran
dan pembelajaran spektrum ini melibatkan tiga fasa iaitu Fasa Pra-Impak
(Perancangan), Fasa Impak (Pelaksanaan), dan Fasa Pasca Impak
(Pentaksiran).
Dalam Fasa Pra-Impak, guru pendidikan jasmani akan merancang
P&P seperti penetapan objektif, hasil pembelajaran, pilihan kaedah
pedagogi, dan pilihan aktiviti P&P (Mc Cullick & Byna, 2002). Fokus dalam
Fasa Impak pula adalah menumpu kepada tindakan dan pengajaran
bersemuka yang berpunca daripada keputusan yang dibuat dalam Fasa
Pra-Impak. Keputusan yang telah dibuat itu mencetuskan transaksi
bersemuka guru-murid, tugasan, dan prestasi. Fasa Pasca Impak
melibatkan semua keputusan yang ada hubungkait dengan pentaksiran
seperti maklum balas prestasi dan penilaian keseluruhan pengajaran guru-
murid. Tiga fasa ini berbeza tujuan membuat keputusan dalam persediaan,
pelaksanaan, atau pentaksiran (Mosston & Ashworth, 2002).
Spektrum pengajaran Mosston dan Ashworth dibahagikan kepada dua
kelompok gaya pengajaran iaitu reproduktif-kapasiti menghasilkan semula
ilmu dan kemahiran yang diketahui, serta produktif-kapasiti menghasilkan
pengetahuan dan kemahiran baru. Kelompok reproduktif dibahagikan
kepada gaya arahan, latihan, resiprokal, semak kendiri dan inklusif. Gaya
pengajaran ini dikenali sebagai Gaya A, B, C, D dan E. Dalam gaya
pengajaran reproduktif, pelbagai jangkaan guru-murid diwakili. Isi khas
dikuasai melalui sebilangan pendekatan membuat keputusan, latihan
kemahiran khas, dan maklum balas.
Dalam kajian ini, tumpuan diberikan kepada gaya E iaitu gaya inklusif
dalam Mosston dan Ashworth, (2002). Gaya ini memberi peluang kepada
pelajar untuk memilih tahap pembelajaran mereka mengikut kemampuan
mereka. Pelajar akan memilih tahap dalam prestasi mereka sebelum
melakukan aktiviti. Aktiviti atau kriteria pembelajaran tersebut masih
ditentukan oleh guru. Gaya P&P ini memberi peluang kepada pelajar untuk
melakukan aktiviti walaupun berbeza kebolehan dan keupayaan diri. Pelajar
akan merasai kepuasan dan kajayaan dalam pendidikan jasmani dan
seterusnya dapat meningkatkan kemahiran kendiri dan motivasi untuk
melibatkan diri dalam aktiviti yang dilaksanakan. Lantaran itu, keberkesanan
pedagogi inklusif merupakan salah satu alat untuk merealisasikan aspirasi
sistem PPPM 2013-2025.

SOROTAN LITERATUR
Pendidikan jasmani inklusif adalah berasaskan prinsip penolakan sifar
yang mempunyai matlamat memenuhi keperluan semua pelajar tanpa
mengira jenis kecacatan dan kebolehan. Penolakan sifar membentuk idea
pendidikan jasmani berasaskan orientasi kejayaan, melalui adaptasi dan

1429
modifikasi supaya semua pelajar boleh terlibat dalam aktiviti. Melalui inklusif,
pelajar normal boleh belajar maksud kerja berpasukan yang baharu dengan
membantu rakan sebaya turut serta dalam aktiviti pendidikan jasmani
secara aktif (Sherrill, dalam Barrie, 2011).
Menurut Sanderson, Heckaman, Ernest, Johnson, dan Raab (2013),
pengurusan kelas pendidikan jasmani yang baik memerlukan pengendalian
bilangan pelajar yang ramai, pelaksanaan pelbagai aktiviti, dan transisi yang
kerap dalam kelas. Hal ini lebih kritikal jika terdapat ramai pelajar yang
menunjukkan julat kebolehan yang berbeza. Guru pendidikan jasmani juga
mengaku mereka tidak bersedia untuk mengurus dan memenuhi segala
keperluan pelajar (Hardin, 2005; Hill & Brodin, 2004; Klavina, Block & Larins,
2007; Martin & Speer, 2011). Latihan yang terhad dalam pengurusan kelas
inklusif menyebabkan guru mungkin akan mengeluarkan pelajar kurang
upaya dari aktiviti yang dirancang agar mereka tidak mengganggu aktiviti
pelajar lain. Keadaan ini tidak akan memberi manafaat kepada pelajar
berkenaan dari segi sosial dan peluang pembelajaran yang sepatutnya
terdapat dalam kelas.
Kebanyakan kelas Pendidikan Jasmani terdiri daripada tiga tahap
pelajar, iaitu tahap tinggi - mereka yang telah mengetahui kemahiran
sebelum masuk ke kelas; tahap sederhana - mereka yang memahami
konsep pergerakan tetapi memerlukan kefahaman yang lebih melalui latihan
permainan yang autentik; dan tahap rendah – mereka yang memerlukan
kefahaman tentang konsep pergerakan yang asas dan latihan kemahiran
yang penting (Schinelli, 2012). Beliau berpendapat bahawa sekiranya
kemahiran dan aktiviti diajar dengan memberi fokus kepada mewujudkan
tahap permainan dan bukan kecemerlangan permainan, maka lebih peluang
sosial yang diwujudkan akan dapat menunjukkan keadaan inklusi yang lebih
autentik. Mewujudkan suasana inklusif yang berkesan melibatkan
pengenalpastian tahap kemahiran pelajar, bahagian permainan yang
dikenal pasti, serta bahagian personaliti yang boleh diselit dalam aktiviti.
Schinelli (2012) mengaplikasi pedagogi inklusif dalam pengajaran bola
sepak dengan mengambil kira tiga aspek tersebut dan telah berjaya
menggalakkan kreativiti, inklusi, serta memberi pelajar pilihan, di samping
menggalakkan komunikasi antara pasangan.
Mosston dan Ashworth (2002) telah menyarankan beberapa gaya
pengajaran dalam pendidikan jasmani. Salah satu gaya pengajaran ialah
gaya inklusif yang berpusatkan guru yang memberikan keistimewaan
kepada pelajar untuk memilih tahap pembelajaran mengikut kemampuan
mereka. Dalam gaya inklusif ini, guru akan menetapkan kriteria
pembelajaran, namun pelajar yang akan memilih sendiri tahap dalam
prestasi mereka sebelum melakukan aktiviti. Proses P&P ini memberikan
peluang untuk merasai kepuasan dan kejayaan dalam pendidikan jasmani.
Semua pelajar berupaya untuk melakukan aktiviti walaupun berbeza
kebolehan diri. Misalnya, dalam melakukan aksi kemahiran lompat tinggi,
pelajar bebas untuk memilih ketinggian lompatan. Sekiranya pelajar ini
dapat melepasi ketinggian tersebut, maka ini akan meningkatkan motivasi
pelajar.

1430
Dalam kajian Doherty (2010), beliau mencadangkan pelbagai
ketinggian dan jarak dalam pengajaran lari berpagar bagi mengalakkan
penglibatan pelajar seperti dalam contoh Mosston dan Ashworth (2002).
Tambahan itu, gaya inklusif juga membolehkan pelajar membantu rakan
untuk berjaya dalam melaksanakan aktiviti P&P sebagai tujuan
pembelajaran mereka. Beliau juga menyatakan bahawa gaya inklusif dalam
pendidikan jasmani memaksimakan penglibatan pelajar dalam P&P.
Mosston dan Ashworth (2002) dan Doherty (2010) menyarankan
bahawa gaya inklusif menggalakkan penglibatan pelajar dan seterusnya
meningkatkan motivasi pelajar. Pandangan ini dipersetujui Goudas, Biddle,
Fox, dan Underwood (1995) iaitu gaya inklusif dalam kelas pendidikan
jasmani dapat meningkat motivasi dalaman pelajar.
Kajian Hoyt dan Lee (2002) menunjukkan bahawa gaya inklusif
menggalakkan kolaborasi pasukan. Antara ciri gaya ini adalah pelajar
mempelajari sesuatu antara satu sama lain, membentuk pasukan atau
kumpulan perbincangan untuk memudahkan pembelajaran, serta berkongsi
idea dan pengalaman dengan ahli kumpulan dari pelbagai latar belakang
dan pandangan yang berbeza. Dalam gaya inklusif ini, pelajar juga
digalakkan saling membantu untuk memahami idea atau konsep. Gaya ini
dapat menggalakkan penglibatan dan merangsangkan minat pelajar.
Dari segi aplikasi gaya inklusif, SueSee dan Edward (2005) telah
membina inventori spektrum gaya pengajaran yang telah berjaya digunakan
untuk mengumpul data tentang penggunaan gaya pengajaran guru
pendidikan jasmani di Queensland, Australia pada tahun 2005. Dapatan
kajian menunjukkan peratus guru yang menggunakan gaya inklusi ialah
47.2% berbanding dengan 78.6% dalam kajian oleh Cothran (dalam
SueSee dan Edward, 2005).
Bagi kebanyakan pendidik jasmani, gaya pengajaran spektrum
berperanan sebagai alat untuk memenuhi matlamat keperluan pelajar yang
pelbagai dalam pendidikan jasmani. Menurut Sanchez, Byra, dan Wallhead
(2012), penerokaan persepsi pelajar tentang gaya pengajaran akan dapat
memperluaskan kefahaman tentang cara pelajar belajar di samping dapat
mengenal pasti kelebihan dan kekurangan sesuatu gaya pengajaran.
Mereka telah mengkaji persepsi pelajar terhadap penglibatan fizikal, kognitif,
dan sosial dalam aktiviti fizikal yang dikendalikan dengan gaya arahan,
latihan, dan inklusif, di samping meninjau keutamaan pelajar untuk gaya
pengajaran yang berbeza. Dapatan kajian tersebut melaporkan pelajar
lebih melibatkan diri secara fizikal dan kognitif dalam sesi pelajaran yang
menggunakan gaya inklusif berbanding dengan gaya arahan dan gaya
latihan. Dari segi keutamaan gaya pula, pelajar lebih suka pelajaran di
mana guru mengaplikasikan gaya inklusif dan gaya arahan.
OBJEKTIF KAJIAN
Secara umum, kajian ini bertujuan untuk meninjau tahap literasi
pedagogi inklusif dalam kalangan guru-guru pendidikan jasmani di Kuala
Lumpur. Objektif khusus kajian ini pula adalah untuk mengenal pasti tahap
pengetahuan pedagogi inklusif, aplikasi pedagogi inklusif pada Fasa Pra

1431
Impak (Perancangan), Fasa Impak (Pelaksanaan), dan Fasa Pasca Impak
(Pentaksiran) proses pengajaran dan pembelajaran dalam kalangan guru-
guru pendidikan jasmani.
PERSOALAN KAJIAN
Persoalan kajian dalam kajian ini adalah seperti berikut:
1. Adakah guru pendidikan jasmani di Kuala Lumpur mempunyai
pengetahuan dalam pedagogi inklusif?
2. Adakah guru pendidikan jasmani di Kuala Lumpur merancangkan
pengajaran dan pembelajaran berdasarkan konsep pedagogi inklusif?
3. Adakah guru pendidikan jasmani di Kuala Lumpur mengamalkan
pedagogi inklusif semasa melaksanakan aktiviti pengajaran dan
pembelajaran pendidikan jasmani?
4. Adakah guru pendidikan jasmani di Kuala Lumpur mentaksir
keberkesanan pengajaran dan pembelajaran pendidikan jasmani
berdasarkan konsep pedagogi inklusif?
METODOLOGI KAJIAN
Kajian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan reka bentuk
tinjauan untuk mengenal pasti literasi pedagogi inklusif dalam kalangan guru
pendidikan jasmani di Kuala Lumpur. Data dikumpul melalui soalan selidik
atas talian melalui instrumen Lime Survey. Item-item soal selidik berbentuk
skala Likert dengan lima skala telah dibina untuk meninjau literasi pedagogi
inklusif dalam aspek pengetahuan, aplikasi dalam fasa perancangan,
pelaksanaan, dan pentaksiran proses pengajaran dan pembelajaran
pendidikan jasmani.
Sampel kajian ini terdiri daripada 79 orang guru yang mengajar mata
pelajaran pendidikan jasmani dari 14 buah sekolah rendah di Kuala Lumpur.
Seramai 59 orang guru perempuan dan 20 orang guru lelaki telah memberi
respon atas talian yang mengambil masa lebih kurang 15 minit untuk
menjawab semua item dalam soal selidik.
Semua data yang diperoleh atas talian telah dianalisis secara diskriptif
iaitu dengan menggunakan min dan sisihan piawai. Maklumat seperti umur
responden, pengalaman pengajaran pendidikan jasmani, pengetahuan
tentang pedagogi inklusif, serta aplikasinya dalam tiga fasa pengajaran dan
pembelajaran telah dianalisis. Perbandingan antara guru opsyen dan bukan
opsyen pendidikan jasmani juga telah dilaksanakan untuk melihat
perbezaan literasi pedagogi inklusif.
DAPATAN KAJIAN DAN PERBINCANGAN
Responden kajian ini terdiri daripada 79 orang (L-20, P-59) guru
pendidikan jasmani di Kuala Lumpur. Antara responden kajian ini, terdapat
20 orang guru opsyen pendidikan jasmani manakala sebanyak 59 orang
pula merupakan guru bukan opsyen pendidikan jasmani. Min umur guru
opsyen dan guru bukan opsyen pendidikan jasmani tidak jauh beza iaitu
35.17 tahun dan 35.85 tahun. Dengan itu, min keseluruhan umur
responden adalah 35.34 tahun (SP=9.11). Bagi aspek pengalaman
mengajar, min keseluruhan adalah 7.9 tahun (SP= 6.89). Min pengalaman

1432
mengajar guru opsyen dan bukan opsyen pendidikan jasmani masing-
masing adalah 7.1 tahun dan 10.7 tahun (Jadual 1).
Jadual 1.
Profil Responden

Min Min Min Keseluruhan


Aspek (Opsyen – 20 (Bukan (Sisihan Piawai)
orang) Opsyen
– 59 orang)
Umur 35.17th 35.85th 35.34th (9.11)
Pengalaman 7.1th 10.7th 7.9th (6.89)
Mengajar

Kajian ini bertujuan untuk meninjau literasi pedagogi inklusif dalam


kalangan guru pendidikan jasmani di Kuala Lumpur. Literasi pedagogi yang
ditinjau adalah berdasarkan pengetahuan yang dipunyai responden serta
kesedaran untuk memasuki elemen inklusi dalam proses pengajaran dan
pembelajaran iaitu Fasa Pra Impak (Perancangan), Fasa Impak
(Pelaksanaan), dan Fasa Pasca Impak (Pentaksiran). Berdasarkan Jadual 2,
dapatan kajian ini menunjukkan guru opsyen pendidikan jasmani telah
mempunyai tahap literasi pedagogi inklusif yang lebih tinggi dalam ke
empat-empat aspek berbanding dengan guru bukan opsyen. Guru opsyen
pendidikan jasmani telah memperoleh min 3.84, 4.04, 3.77, dan 3.85 dalam
aspek Pengetahuan, Pra Impak, Impak, dan Pasca Impak masing-masing
berbanding dengan min 3.65, 3.73, 3.62, dan 3.62 bagi guru bukan opsyen.
Secara keseluruhan, guru pendidikan jasmani di Kuala Lumpur setuju
bahawa mereka mempunyai pengetahuan dalam pedagogi inklusif (M=3.75).
Dapatan aspek pengetahuan ini diperoleh melalui item soal selidik yang
berkaitan dengan ciri-ciri inklusi seperti perbezaan tahap kesukaran aktiviti,
pembelajaran kolaboratif, mengambil kira perbezaan individu, serta
penglibatan maksimum. Dengan itu, dapatan kajian ini telah menjawab
persoalan kajian 1 iaitu guru pendidikan Jasmani di Kuala Lumpur
mempunyai pengetahuan dalam pedagogi inklusif.
Dalam proses pengajaran dan pembelajaran, min keseluruhan Fasa
Pra Impak, Fasa Impak dan Pasca Impak adalah 3.89, 3.70, dan 3.74
masing-masing (Jadual 2). Item soal selidik bagi Fasa Pra Impak yang
merupakan fasa perancangan dalam P&P mengambil kira pengalaman
lepas dan kompetensi pelajar, penetapan perbezaan matlamat, pilihan
bahan dan aktiviti mengikut tahap dan minat. Dalam Fasa Impak pula, item
soal seilidik pelaksanaan P&P memfokuskan ciri-ciri inklusi seperti
pengubahsuaian corak aktiviti semasa, kolaborasi dalam kalangan pelajar
dan guru dalam memilih bahan dan kawasan serta peluang merasa
kejayaan sepanjang P&P. Ciri-ciri inklusif dalam item soal selidik Fasa
Pasca Impak kajian ini, merangkumi pentaksiran dari segi keberkesanan
P&P, penguasaan kemahiran, motivasi dan pencapaian objektif mengikut
tahap individu.

1433
Jadual 2.
Dapatan Kajian

Aspek Min Min Pra Min Min Pasca


Pengetahuan Impak Impak Impak
Opsyen 3.84 4.04 3.77 3.85

Bukan Opsyen 3.65 3.73 3.62 3.62

Keseluruhan 3.75 3.89 3.70 3.74

Dapatan kajian menunjukkan responden bersetuju bahawa mereka


merancang, melaksana, dan mentaksir P&P berdasarkan ciri-ciri inklusif di
atas. Maka, dapatan kajian ini telah menjawab persoalan kajian 2, 3, dan 4
iaitu guru pendidikan jasmani di Kuala Lumpur merancang, melaksana dan
mentaksir keberkesanan P&P pendidikan jasmani berdasarkan konsep
pedagogi inklusif.
Perbezaan guru opsyen dan bukan opsyen pendidikan jasmani dalam
pengetahuan dan sepanjang proses pengajaran dan pembelajaran yang
mengaplikasikan pedagogi inklusif menunjukkan keberkesanan spektrum
gaya pengajaran Mosston dan Ashworth (2002) dalam latihan keguruan
pendidikan jasmani. Guru opsyen pendidikan jasmani yang telah
didedahkan spektrum tersebut memang mempunyai pengetahuan yang
lebih tinggi berbanding dengan guru bukan opsyen pendidikan jasmani.
Latar belakang pengetahuan dalam gaya pengajaran inklusif Mosston dan
Ashworth (2002) bagi guru opsyen pendidikan jasmani turut membantu
dalam proses P&P iaitu perancangan, pelaksanaan dan pentaksiran
pendidikan jasmani.
Dapatan kajian ini selaras dengan pandangan Sherrill (dalam Barrie,
2011), iaitu melalui aktiviti pendidikan jasmani inklusif, pelajar normal boleh
belajar kerja berpasukan dengan membantu rakan sebaya secara aktif.
Aktiviti pendidikan jasmani inklusif yang berorientasikan kejayaan dapat
menggalakkan penglibatan dan merangsang minat pelajar (Hoyt & Lee,
2002; Doherty, 2010). Lantaran itu, pelajar berpeluang untuk merasa
kejayaan tanpa mengira tahap keupayaan masing-masing (dalam Barrie,
2011). Pengalaman kejayaan yang kerap dalam pelaksanaan P&P
meningkatkan motivasi pelajar (Mosston dan Ashworth, 2002; Goudas et al.,
1995).
Ciri-ciri inklusif kajian seperti penyediaan peluang kepada pelajar
untuk membawa kekuatan individu dalam P&P yang disarankan oleh
Schinelli (2012) menunjukkan responden telah memahami konsep inklusif.
Responden bersetuju bahawa aktiviti P&P boleh dijalankan berdasarkan
tahap kebolehan yang berbeza. Maka, ini telah memenuhi matlamat
pedagogi inklusif iaitu memberi peluang pembelajaran yang sama rata
kepada semua murid tanpa mengira keupayan dan kebolehan mereka. Ini
selaras dengan initiatif PPPM 2013-2025 bagi keberhasilan dan

1434
kemenjadian murid dengan penyerapan pedagogi inklusif dalam P&P
(Kementerian Pendidikan Malaysia, 2013).
SIMPULAN
Berdasarkan dapatan kajian, guru pendidikan jasmani di Kuala
Lumpur mempunyai literasi pedagogi inklusif yang masih boleh
dipertingkatkan, sama ada dari aspek pengetahuan, mahupun dari segi
aplikasinya dalam fasa-fasa pengajaran dan pembelajaran pendidikan
jasmani. Hal ini penting agar aspek perbezaan individu pelajar dapat
dititkberatkan untuk menyahut hasrat Pelan Pembangunan Pendidikan
(2013-2025) dalam merealisasikan aspirasi murid.
Justeru, kursus latihan dalam perkhidmatan tentang pedagogi inklusif
pendidikan jasmani harus diberi agar no child is left behind, selaras dengan
falsafah inklusif. Kursus pra-perkhidmatan dalam pendidikan inklusif untuk
guru pelatih juga harus diperkenalkan di institut pendidikan guru dan
institusi pengajian tinggi untuk menyediakan mereka dalam menghadapi
pelajar dari pelbagai latar belakang dengan tahap keupayaan kemahiran
dan pengetahuan yang berbeza.
Kajian lanjutan tentang sebab dan akibat dalam penggunaan
pedagogi inklusif pendidikan jasmani juga disyorkan agar pelaksanaannya
dapat diperluaskan di sekolah dan institusi pengajian tinggi, memandangkan
ciri-ciri utama pedagogi inklusif ini ialah kolaborasi kumpulan, penglibatan,
dan merangsangkan minat setiap pelajar. Semua kelebihan ini dapat
meningkatkan keberkesanan pengajaran dan pembelajaran demi
menghasilkan kemenjadian generasi pelajar yang sedia menghadapi
cabaran di dunia globalisasi ini.
Kajian berbentuk kualitatif tentang literasi dan keberkesanan pedagogi
inklusif juga dicadangkan. Dengan menggunakan instrumen temu bual,
pemerhatian proses pengajaran dan pembelajaran, serta refleksi guru dan
pelajar selepas sesi pengajaran dan pembelajaran dapat membekalkan
gambaran dan keputusan yang lebih autentik dan menyeluruh. Korelasi
antara persekitaran pengajaran dan pembelajaran dengan amalan pedagogi
inklusif dalam pendidikan jasmani juga boleh ditinjau pada kajian seterusnya.
Ini bertujuan mengenal pasti faktor dan pengaruh persekitaran seperti
sokongan sekolah, infrastruktur, dan iklim sekolah yang mungkin ada
perkaitan dengan amalan pedagogi inklusif di sekolah.
Perbezaan dan keberkesanan antara gaya-gaya pengajaran
pendidikan jasmani yang lain dalam spektrum pengajaran Mosston dan
Ashworth (2002) juga boleh dikaji seperti kajian yang dijalankan oleh
SueSee dan Edward (2005). Mereka telah membina inventori spektrum
gaya pengajaran sendiri dalam mengenal pasti gaya pengajaran yang
menarik minat pelajar. Semoga hasil dapatan kajian ini dapat menyumbang
kepada literasi dan amalan pedagogi inklusif dalam mata pelajaran secara
amnya, dan dalam pendidikan jasmani khasnya.

1435
DAFTAR RUJUKAN
Barrie, G. (2011). Inclusice physical education. New Zealand Physical
Educator, Vol. 44 (2).
Doherty, J. (2010). Teaching styles in physical education and Mosston’s
Spectrum. Kentucky: AHPERD. Dipetik dari
http://spectrumofteachingstyles.org/pdfs/literature/TeachingStylesinPE
andMosstonsSpectrum.pdf
Goudas, M., Biddle, S., Fox, K., & Underwood, M. (1995). It ain’t what you
do, it’s the way you do it, teaching style effects children motivation in
track and field. The Sport Psycholologist. 9:254-264.
Hardin, B. (2005). Physical education teachers’ reflections on preparation for
inclusion. Physical Educator, 62(1), 44–56
Hill, G., & Brodin, K. (2004). Physical education teachers’ perceptions of the
adequacy of university coursework in preparation for teaching.
Physical Educator, 61(2), 75–87.
Hoyt, D.P. & Lee E.J. (2002). Teaching styles and learning outcomes.
IDEA research report #4. Manhattan: IDEA Center. Dipetik dari
eric.ed.gov/?id=ED472498
Kementerian Pendidikan Malaysia (2013). Pelan Pembangunan Pendidikan
Malaysia 2013 -2025. Putrajaya: Kementerian Pendidikan Malaysia.
Klavina, A., Block, M., & Larins, V. (2007). General physical educators’
perceptions of including students with disabilities in general physical
education in Latvia. Palaestra, 23(3), 26–31.
Martin, M. R., & Speer, L. (2011). Leveling the playing field: Strategies for
inclusion. Strategies. 24(5), 24–27.
McCullick, B., & Byra, M. (2002). Spectrum teaching styles and the national
standards for physical education: Introduction. Teaching Elementary
Physical Education, 13(2), 6-7.
Mosston, M., & Ashworth, S. (2002). Teaching physical education (5thed.).
San Francisco, C.A.: Benjamin Cummins.
Sanchez, Byra & Wallhead (2012). Students’ perception of the command,
practice, and inclusion styles of teaching. Physical Education & Sport
Pedagogy. Vol. 17 (3).
Sanderson, S., Heckaman, K.A., Ernest, J.M., Johnson, S. & Raab, S.
(2013). Strategies for maintaining Appropriate Behavior in Inclusive
Physical Education Settings. Strategies 26(1), 20-25.
Schinelli, M. (2012). Inclusion in physical education: Get students
involved: Keep students interested. New Jersey Education
Association.
SueSee, B. & Edwards, K. (2005). Developing the descriptions of landmark
teaching styles: A spectrum inventory. Queensland University of
Technology: ACHPER International Conference.

1436
MENEROKA KESEDIAAN PENSYARAH DI INSTITUT PENDIDIKAN
GURU MELAKSANAKAN PEDAGOGI INKLUSIF DALAM
PENGAJARAN DAN PEMBELAJARAN
1)
Rajagopal Ponnusamy & 2)Ravichantiran Arujunan
Institut Pendidikan Guru Kampus Ilmu Khas
E-mail: 1)rajagopal@ipik.edu.my
Abstract
The present research is to explore whether the teacher eduactors in IPG KIK is
ready to implement inclucive pedagogical practices in their teaching. This
paper reports the results of a survey of 52 lecturers from IPG KIK about their
readiness to implement PI of the 10 constructs involved in the study. The
instrument used in this research was formulated by the researcher based on
Zahara Aziz dan Nik Azleena Nik Ismail(2007). The instrument has a high
reliability value (0.957).The Statistical Program For Social Sciences(SPSS) 16
was used to analyse the data. Mean score and percentage was used to
answer the research questions. The findings revealed that the overall mean
score for the seven constructs were (mean: 3.05 sd: 0.8). The mean score for
each construct is as: understanding of the teacher educators towards inclucive
pedagogy(mean: 2.7 sd: 0.9)average, perception of lecturers’ towards inclucive
pedagogy(mean: 2.9 sd: 0.7)average, implementation of inclucive pedagogy
(mean: 3.4 sd: 0.8)high, understanding of the lecturers’ towards inclucive
pedagogical practices (mean: 2.2 sd: 4.3) average, acceptance of inclucive
pedagogy(mean: 2.7: sd :1.2) average, relevance of inclucive peadgogy(mean:
3.6 sd: 0.7) high, understanding towards dimensions of inclucive pedagogy
(mean: 3.8 sd: 0.5)high. The high mean score indicates that the teacher
educators are ready to implement inclucive pedagogical practices but they
have to really understand how the inclucive elements are integrated in teaching
and learning in the class room so that no students are left out in the learning
process.
Keywords: lecturers’ readiness,inclusive pedagogy, awareness towards
inclucive pedagogy
PENGENALAN
Mengikut Thomas Friedman,pengarang buku The World Is Flat, abad
ke21 ini merupakan salah satu abad yang sangat berbeza berbanding dengan
zaman sebelum ini kerana ianya menjadi semakin mencabar dan anak-anak
muda pada masa ini memerlukan kemahiran kreativiti, kemahiran
menyelesaikan masalah, minat untuk memperolehi ilmu dan pengetahuan serta
memiliki dedikasi yang tinggi dan mengamalkan pembelajaran sepanjang
hayat. Kesemua kemahiran itu dapat diperolehi melalui pengajaran guru dalam
bilik darjah apabila seorang guru dapat mengaplikasikan pelbagai pendekatan
pengajaran yang boleh memotivasikan pelajar untuk melibatkan diri dalam
pembelajaran secara aktif. Pengajaran guru secara sistematik dan penglibatan
pelajar secara aktif dalam pembelajaran membolehkan suasana pembelajaran
semakin digemari oleh pelajar dan seterusnya pencapaian pelajar dapat
dipertingkatkan. Ini boleh dilakukan sekiranya semua pelajar dalam kelas
1437
dapat mengambil bahagian dalam proses pembelajaran dan pengajaran secara
menyeluruh yang dinamakan sebagai connected pedagogy yang berkaitan
dengan pedagogi inklusif. Pedagogi inklusif ini boleh dianggap sebagai salah
satu pendekatan eksklusif dalam bilik darjah yang membolehkan berlaku
pembelajaran optima sekiranya dapat dilaksanakan oleh guru. Diharapkan
pelaksanaan pedagogi inklusif dalam bilik darjah oleh guru dapat melahirkan
pelajar yang cemerlang, gemilang dan terbilang. Sehubungan dengan itu kajian
ini akan meneroka sama ada pensyarah sudah bersedia untuk melaksanakan
pedagogi inklusif dalam kalangan guru pelatih di IPG KIK.
Pernyataan Masalah
Konsep pedagogi inklusif(PI) merupakan satu konsep yang telah menjadi
topik perbincangan hangat dalam kalangan warga IPG Kampus Ilmu Khas
selepas lawatan Ketua pengarah Pendidikan Malaysia pada penghujung bulan
Mei 2014. Oleh kerana konsep PI itu sesuatu yang baru, ia telah menimbulkan
pelbagai reaksi dalam kalangan pensyarah untuk memahami dan mendalami
mengenai apakah itu sebenarnya pedagogi inklusif. Lazimnya, apabila sesuatu
program atau konsep baru diperkenalkan untuk dilaksanakan maka beberapa
isu kebiasaanya akan timbul. Dalam perkara ini yang berkaitan dengan PI, isu
pertama yang menjadi fokus warga KIK ialah berkaitan dengan pemahaman
mengenai konsep apakah sebenarnya PI itu. Oleh kerana PI merupakan satu
konsep yang baru maka ianya melibatkan semua pensyarah di IPG KIK untuk
duduk bersama dan mengadakan beberapa perbincangan dan dialog bersama
untuk memahami apakah sebenarnya pedagogi inklusif itu. Oleh kerana ianya
merupakan satu beban tugas yang perlu dilaksanakan dengan teliti kerana
ianya melibatkan satu konsep yang kabur untuk difahami dan didalami. Justeru
itu, penerokaan mengenai pedagogi inklusif adalah sangat penting pada masa
ini untuk mencari jawapan yang sebenar mengenai definisi pedagogi inklusif,
fahaman mengenai pedagogi inklusif, persepsi terhadap pedagogi inklusif,
amalan terhadap pedagogi inklusif, penerimaan pedagogi inklusif dan fahaman
mengenai pendekatan-pendekatan PI. Pengkaji berpendapat adalah lebih
penting pensyarah IPG memahami apakah itu PI sebelum diperkenalkan
kepada para guru pelatih di IPG dan seterusnya disebarluaskan ke sekolah
kemudiannya. Diharapkan dapatan kajian dapat membantu IPGM untuk
mengintegrasikan amalan-amalan PI dalam program pendidikan guru untuk
meningkatkan penglibatan semua pelajar dalam proses pembelajaran dan
pengajaran secara efektif.
Objektif Kajian
Kajian ini akan dijalankan berasaskan kepada objektif kajian yang
dikenal pasti seperti berikut:
1. Mengenal pasti tahap fahaman pensyarah IPG KIK terhadap pedagogi
inklusif
2. Meninjau persepsi pensyarah IPG KIK terhadap pedagogi inklusif
3. Meninjau kesediaan pensyarah IPG KIK terhadap mengurus aktiviti
pembelajaran pedagogi inklusif
4. Mengenal pasti kesediaan pensyarah IPG KIK memahami pendekatan
pengajaran pedagogi inklusif dalam bilik darjah
5. Meninjau kesediaan pensyarah IPG KIK menerima pedagogi inklusif

1438
6. Mengenal pasti sama ada pensyarah IPG KIK menganggap pedagogi
inklusif itu relevan kepada mereka
7. Mengenal pasti sama ada pensyarah IPG KIK mengetahui tentang
dimensi-dimensi dalam pedagogi inklusif
Persoalan Kajian
Berdasarkan objektif-objektif kajian yang telah dinyatakan di atas, kajian
ini akan menjawab soalan-soalan berikut:
1. Apakah tahap fahaman pensyarah IPG KIK terhadap pedagogi inklusif ?
2. Apakah persepsi pensyarah IPG KIK terhadap pedagogi inklusif ?
3. Adakah pensyarah IPG KIK bersedia mengurus aktiviti pembelajaran
pedagogi inklusif ?
4. Adakah pensyarah IPG KIK memahami pendekatan pengajaran pedagogi
inklusif ?
5. Adakah pensyarah IPG KIK menerima pedagogi inklusif ?
6. Adakah pensyarah IPG KIK menganggap pedagogi inklusif itu relevan
kepada mereka?
7. Adakah pensyarah IPG KIK mengetahui mengenai dimensi-dimensi dalam
pedagogi inklusif ?
Batasan Kajian
Kajian ini terbatas kepada 52 orang yang berkhidmat sebagai pensyarah
di IPG KIK di beberapa jabatan di IPG. Kajian ini hanya melibatkan pensyarah-
pensyarah yang berkhidmat di IPG KIK yang terletak di Lembah Kelang di
Wilayah Persekutuan Kuala Lumpur, Malaysia. Kajian ini hanya memberi fokus
kepada kesediaan pensyarah IPG melaksanakan pedagogi inklusif di IPG KIK.
KERANGKA TEORETIKAL
Sehingga hari ini tidak terdapat sesuatu penjelasan yang tepat dan
konkrit diberikan terhadap apakah itu sebenanya inclusion(inklusif). Secara
global, konsep inklusif dianggap ada kaitan dengan pendidikan inklusif.
Pendidikan inklusif merupakan satu dasar atau polisi kerajaan untuk memberi
peluang pendidikan yang sama kepada murid berkeperluan khas dalam aliran
perdana (Manisah, Ramlee Mustapha dan Zalizan Jejas, 2006). Pelajar
berkeperluan khas terdiri daripada murid buta, pekak dan bisu. Kumpulan
murid itu diletakan dalam aliran perdana dan diberi peluang pembelajaran
yang sama dengan adanya guru pendidkan khas yang dilatih. Dalam situasi
inlah yang menyebabkan ada penulis dan pengkaji mengaitkan ‘inclusion’
dengan pendidikan iklusif. Ini memungkinkan istilah ini disamakan ertinya
dengan pedagogi inklusif(Artkes and Dyson, 2005). Mengikut Clough dan
Corbett (2006) konsep ini adalah ‘context bound’ dan ianya menimbulkan
pelbagai keraguan dan kabur penggunaanya. Namun begitu, Ainscow(2010)
telah mendefinisikan inclusion sebagai satu proses mengatur langkah-langkah
yang sistematik untuk memberi respon kepada kehendak dan keperluan
semua murid di sekolah tanpa mengira kelainan pelajar. Tetapi, Artiles dan
Kozleksi(2007) mengkonsepsikan inclusion sebagai satu pendekatan untuk
membina satu masyarakat inklusif. Dalam usaha untuk menyeragamkan
konsep inklusif, UNESCO menjelaskan bahawa inclusion memberi peluang
atau keperihatinan kepada semua pelajar untuk belajar kerana semua pelajar
1439
mampu dan berkebolehan untuk belajar. Ini bererti bahawa pandangan
UNESCO lebih kepada memberi peluang kepada semua pelajar tanpa
mengambil kira latar belakang pelajar atau prinsip kesamarataan dalam
pendidikan. Namun begitu, definisi itu lebih kepada pendidikan inklusif. Oleh
kerana tedapat pelbagai definisi dan huraian yang berlainan maka ini
menyukarkan untuk memberi satu ketetapatan terhadap konsep inklusif.
Sehubungan dengan itu Farrell(1997), Burnard, Pamela and Dillon(2008)
berpendapat inclusion melibatkan pendekatan pendidikan inklusif dalam
sekolah aliran perdana. Pada masa yang sama Ainscow(2010) Bellard(1995)
berpendapat inclusion adalah satu pendekatan alternatif kepada pendekatan
khas yang lebih luas yang digunakan oleh guru secara kreatif dan berkesan.
Inklusif dimaksudkan sebagai melibatkan semua murid dalam proses
pembelajaran dan pengajaran tanpa mengambil kira latar belakang murid dan
menggunakan pelbagai pendekatan yang perlu supaya semua murid dapat
menguasai pembelajaran itu dengan gembira dan seterusnya menghasilkan
sesuatu yang baharu(Abdul Razaq, Norhasani ,Zalizan dan Anisa
Saleha(2011). Mengikut Carbett(2001) pedagogi inklusif adalah satu
pendekatan yang bertujuan untuk memastikan budaya pembelajaran dan
pengajaran yang melibatkan semua pelajar dalam sesuatu kelas dengan
menggunakan pelbagai strategi yang dapat melahirkan pelajar yang aktif dalam
pembelajaran. Carbett turut menyatakan bahawa pedagogi inklusif itu
dianggap sebagai pedagogi penghubung(connective pedagogy) di mana
pelajar-pelajar dapat membabitkan diri dengan pembelajaran sendiri dan
seterusnya dapat melibatkan diri dalam pembelajaran kurikulum yang
disediakan (Hawkins2010). Makoelle (2014) mengutarakan bahawa pedagogi
inklusif sebagai satu amalan pengajaran dan pembelajaran yang
menggunakan pelbagai teknik, strategi, pendekatan dan prinsip Berkaitan
dengan itu, Spratt dan Florian (2013) menjelaskan bahawa pedagogi inklusif
itu sebagai satu pengajaran dan pembelajaran yang membolehkan semua
pelajar dapat dilibatkan sepenuhnya dalam proses pembelajaran. Ainscow dan
Howes(2003) dan Downing(2005) memberi pandangan bahawa pelaksanan
budaya pedagogi inklusif boleh diamalkan dalam bilik darjah secara kolaborasi
melalui partisipasi semua pelajar dalam aktiviti pembelajaran secara aktif.
Pembelajaran kolaboratif dianggap sebagai satu pendekatan yang boleh
memberi peluang kepada semua pelajar untuk belajar dalam kumpulan yang
boleh menggalakkan perkongsian pengetahuan, kemahiran dan idea secara
kolaboratif (Biggs1999).Dengan itu, semua pelajar dapat menjalin hubungan
mesra antara satu dengan lain dalam kumpulan. Di samping itu, interaksi
antara pelajar dan guru dapat disaksikan membawa suasana pembelajaran
yang lebih mesra dan kondusif.
METODOLOGI
Reka Bentuk Kajian, Sampel dan Instrumen Kajian
Dalam kajian ini pengkaji telah menggunakan kaedah tinjaun dengan
menggunakan soal selidik yang melibatkan pengumpulan data daripada 52
orang pensyarah IPG KIK. Pengkaji telah menggunakan satu instrumen untuk
meneroka kesediaan pensyarah IPG melaksanakan pedagogi inklusif
berdasarkan inventori yang dibina oleh pengkaji sendiri. Inventori ini

1440
mengandungi perkara-perkara seperti berikut: Bahagian A mengandungi aspek
yang berkaitan dengan latar belakang sampel. Bahagian B mengandungi 10
item berkaitan dengan fahaman pensyarah terhadap pendagogi inklusif.
Bahagian C mengandungi 10 item berkaitan persepsi pensyarah terhadap
pendagogi inklusif. Bahagian D mengandungi 10 item berkaitan dengan
kesediaan pensyarah menguruskan aktiviti pembelajaran pedagogi inklusif.
Bahagian E mengandungi 10 item berkaitan kesediaan pensyarah memahami
pendekatan pengajaran pedagogi inklusif dalam bilik darjah. Bahagian F
mengandungi 10 item berkaitan kesediaan pensyarah menerima pedagogi
inklusif. Bahagian G mengandungi 10 item berkaitan dengan kerelevanan
pedagogi inklusif kepada pensyarah. Bahagian H mengandungi 10 item
berkaitan dengan pemahaman dimensi-dimensi pedagogi inklusif oleh
pensyarah.
Kebolehpercayaan Instrumen Kajian
Data yang dikumpulkan daripada 52 orang pensyarah IPG KIK telah
dianalis untuk menentukan kebolehpercayaan dan kesahan instrumen kajian.
Nilai kebolehpercayaan Cronbach’s alpha yang diperolehi bagi kesemua
konstruk ialah 0.98. Bagi setiap konstruk nilai Cronbach’s alpha yang diperolehi
ialah: tahap fahaman pensyarah IPG KIK terhadap pedagogi inklusif (0.9581),
persepsi pensyarah IPG KIK terhadap pedagogi inklusif (0.95), kesediaan
pensyarah mengurus aktiviti pembelajaran pedagogi inklusif (0.95),fahaman
terhadap pendekatan-pendekatan dalam pengajaran pedagogi inklusif(0.99),
penerimaan pensyarah IPG KIK menerima pedagogi inklusif (0.99),
kerelevanan pedagogi inklusif kepada pensyarah (0.65), pengetahuan
pensyarah terhadap dimensi-dimensi dalam pedagogi inklusif (0.97). Nilai
Cronbach’s alpha yang tinggi menggambarkan instrumen kajian ini mempunyai
kesahan yang tinggi.

DAPATAN DAN PERBINCANGAN


Secara keseluruhan hasil kajian mendapati pensyarah IPG memperolehi
(skor min 3.05 sp 0.9) dalam tujuh konstruk yang dikaji dan ianya berada pada
tahap tinggi. Seterusnya skor min bagi setiap item adalah seperti: tahap
fahaman pensyarah terhadap pedagogi inklusif (min 2.8 sp 0.9) sederhana,
persepsi pensyarah terhadap pedagogi inklusif (min 2.9 sp 0.7),sederhana,
kesediaan pensyarah mengurus aktiviti pembelajaran pedagogi inklusif (min 3.4
sp 0.8),tinggi,fahaman terhadap pendekatan-pendekatan dalam pengajaran
pedagogi inklusif (min 2.2 sp 0.8),sederhana, penerimaan pensyarah terhadap
pedagogi inklusif (min 2.7 sp 1.2),sederhana, kerelevanan pedagogi inklusif
(min 3.6 sp 0.7)tinggi, pemahaman pensyarah terhadap dimensi-dimensi
pedagogi inklusif (min 3.80 sp 0.5)tinggi. Bagi tujuan menjawab persoalan
dalam kajian ini, dapatan kajian akan dihuraikan secara berasingan mengikut
soalan kajian yang telah ditetapkan.

1441
Jadual 1.
Perbandingan Skor Min Konstruk-konstruk Persepsi Pensyarah
Terhadap PI

Kesediaan Pensyarah Melaksanakan Total Samples(55)


Pedagogi Inklusif Skor Min SP
Fahaman pensyarah terhadap pedagogi 2.8 0.9
inklusif Persepsi pensyarah terhadap 2.9 0.7
pedagogi inklusif 3.4 0.8
Kesediaan pensyarah mengurus aktiviti pdp 2.2 0.8
PI
Pemahaman pensyarah terhadap 2.7 1.2
pendekatan pedagogi inklusif 3.6 0.7
Penerimaan terhadap pedagogi inklusif 3.8 0.5
Kerelevan pedagogi inklusif kepada
pensyarah Pemahaman terhadap dimensi- 3.1 0.8
dimensi dalam pedagogi inklusif
Jumlah
(Tahap Persepsi PT: Rendah(1.0-1.99) Sederhana(2.0-2.99)
Tinggi(3.00-3.99) Sangat Tinggi(4.0-5.0)
Jadual 2.
Tahap Pemahaman Pensyarah Terhadap Pedagogi Inklusif

Level of Perception
Pemahaman Pensyarah Terhadap Rendah Sederhana Tinggi Sangat
Pedagogi Inklusif Tinggi

Fahaman pensyarah terhadap pedagogi - 2.8 -


inklusif Persepsi pensyarah terhadap - 2.9 -
pedagogi inklusif - 3.4
Kesediaan pensyarah mengurus aktiviti - 2.2 -
pdp PI -
Pemahaman pensyarah terhadap - 2.7 -
pendekatan pedagogi inklusif - 3.6
Penerimaan terhadap pedagogi inklusif - 3.8
Kerelevan pedagogi inklusif kepada - -
pensyarah Pemahaman terhadap
dimensi-dimensi dalam pedagogi inklusif

Persoalan Kajian 1: Apakah Tahap Fahaman Pensyarah IPG KIK Terhadap


Pedagogi Inklusif?
Hasil dapatan kajian bagi konstruk fahaman pensyarah IPG KIK terhadap
pedagogi inklusif (min 2.8,sp 0.9) berada pada tahap sederhana (Jadual 1).
Seterusnya, hasil dapatan kajian mendapati 100%(52) kesemua pensyarah IPG
dalam kajian ini memahami apakah itu pedagogi dan tahu apakah maksudnya.
Di samping itu, lebih daripada 80% pensyarah dalam kajian ini mendapati
mereka tahu apakah itu pedagogi dan pedagogi inklusif dan penggunaan
1442
pedagogi inklusif dalam bilik darjah oleh guru menggalakkan semua murid
dalam pembelajaran dengan aktif.
Persoalan Kajian 2: Apakah Persepsi Pensyarah IPG KIK Terhadap
Pedagogi Inklusif?
Hasil dapatan kajian bagi konstruk persepsi pensyarah IPG KIK terhadap
pedagogi inklusif (min 2.92,sp 0.70) berada pada tahap sederhana (Jadual 1).
Seterusnya, hasil dapatan kajian mendapati 100%(52) kesemua pensyarah IPG
dalam kajian ini mendapati murid akan menguasai pelbagai kemahiran
pembelajaran sekiranya diberi peluang kepada murid dan juga 85%(44) orang
pensyarah menyatakan pedagogi inklusif boleh memperkembangkan
kemahiran berfikir. Tetapi, dapatan juga turut mendapati hampir 94%(49) orang
pensyarah dalam kajian ini tidak bersetuju bahawa pedagogi inklusif boleh
meningkatkan pengetahuan murid. Apa yang menarik ialah, skor min bagi item
kemahiran berfikir adalah sangat rendah berbanding dengan skor lain bagi
konstruk ini. Hanya dua item sahaja dalam konstruk ini berada pada tahap
sangat tinggi dan lima item dalam konstruk ini berada pada tahap sederhana.
Persoalan Kajian 3:Adakah Pensyarah IPG KIK Berkebolehan Mengurus
Aktiviti Pembelajaran Pedagogi Inklusif?
Hasil dapatan kajian bagi konstruk kesediaan mengurus aktiviti
pembelajaran pedagogi inklusif (min 3.4.,sp 0.8) berada pada tahap tinggi
(Jadual 1). Ini menjelaskan pensyarah IPG KIK berkebolehan mengurus
aktiviti pembelajaran pedagogi inklusif dengan baik. Seterusnya, perkiraan
peratus digunakan untuk meninjau kebolehan pensyarah mengurus aktiviti
pembelajaran pedagogi inklusif mendapati fahaman pensyarah terhadap
pedagogi inklusif. Hasil dapatan kajian mendapati 90%(47) pensyarah IPG KIK
dalam kajian ini menyatakan mereka berkebolehan pembelajaran secara
kumpulan melibatkan kepelbagaian murid, berkebolehan melibatkan semua
murid dalam mengurus aktiviti pembelajaran dan mampu memberi bimbingan
kepada murid untuk meningkatkan keupayaan mereka. Hasil dapatan kajian
mendapati 90%(47) pensyarah IPG KIK dalam kajian ini menyatakan mereka
berkebolehan belajar secara kumpulan melibatkan kepelbagaian murid dalam
mengurus aktiviti pembelajaran dan mampu memberi bimbingan kepada murid
untuk meningkatkan keupayaan mereka.
Persoalan Kajian 4:Adakah Pensyarah IPG KIK Memahami Pendekatan
Pengajaran Pedagogi Inklusif?
Hasil dapatan kajian bagi konstruk samaada pensyarah IPG dalam kajian
ini memahami pendekatan- tahap fahaman pensyarah IPG KIK terhadap
konstruk ini berada pada tahap sederhana. Namunbegitu, 90%(47) pensyarah
dalam kajian ini menyatakan mereka ada pengetahuan untuk melaksanakan
pendekatan pengajaran dalam pedagogi inklusif (min 2.2,sp 0.8) berada pada
tahap sederhana (Jadual 1). Ini menjelaskan pembelajaran koepartif dan
kolaboratif, pembelajaran beradun(blended learning), pembelajaran
resiprokal,pembelajaran kontekstual, pembelajaran kebezaan(differentiated
learning) dan pembelajaran futuristik.
Persoalan Kajian 5: Adakah pensyarah IPG KIK menerima pedagogi inklusif?
Hasil dapatan kajian bagi konstruk penerimaan pensyarah IPG KIK
terhadap pedagogi inklusif (min 2.7 sp1.2) berada pada tahap sederhana
(Jadual 1). Ini menjelaskan tahap fahaman pensyarah IPG KIK berada pada
1443
tahap yang sangat rendah. Seterusnya, hasil dapatan kajian mendapati
16%(8) pensyarah IPG KIK menyatakan amalan pedagogi inklusif
membebankan. Tetapi, hampir 75%(39) menyatakan semua pensyarah perlu
menjadi pensyarah inklusif sebelum melaksanakan pembelajaran inklusif.
Persoalan Kajian 6: Adakah pensyarah IPG KIK menganggap pedagogi
inklusif itu relevan kepada mereka?
Hasil dapatan kajian bagi konstruk kerelevanan pedagogi inklusif kepada
pensyarah IPG KIK (min 3.6,sp 0.7) berada pada tahap tinggi (Jadual 1). Ini
menjelaskan pedagogi inklusif itu relevan kepada mereka. Seterusnya, hasil
dapatan kajian mendapati hanya 12%(6) pensyarah bersetuju amalan pedagogi
inklusif dapat meningkatkan minat pelajar.Sebaliknya,94%(49) orang
pensyarah tidak bersetuju bahawa pedagogi inklusif dapat membantu
pensyarah untuk meneroka pelbagai pendekatan pengajaran.
Persoalan Kajian 7: Adakah pensyarah IPG KIK mengetahui mengenai
dimensi-dimensi dalam pedagogi inklusif?
Hasil dapatan kajian bagi konstruk pengetahuan mengenai dimensi-
dimensi dalam pedagogi inklusif mendapati (min 3.8 ,sp 0.5) berada pada
tahap tinggi (Jadual 1). Ini menjelaskan tahap fahaman pensyarah IPG KIK
berada pada tahap tinggi. Seterusnya, hasil dapatan kajian mendapati
100%(52) pensyarah IPG bersetuju amalan pedagogi inklusif dapat
menggalakkan autonomi dan pembelajaran kendiri tetapi kesemua 100% (52)
pensyarah tidak bersetuju dengan amalan semua pensyarah perlu menerima
murid berkeperluan khas. Di samping itu, kesemua pensyarah dalam kajian ini
juga tidak bersetuju bahawa pelaksanaan pedagogi inklusif dapat
menggalakkan pembinaan kumpulan penyokong dalam kalangan pelajar.
RUMUSAN DAN CADANGAN
Perbincangan dan Cadangan
Kajian ini yang dijalankan untuk meneroka sama ada pensyarah IPG KIK
bersedia untuk melaksanakan pedagogi inklusif dalam pengajaran mereka di
IPG. Hasil dapatan kajian mendapati skor min secara keseluruhan ialah (min
3.05,sp 0.8) menunjukkan tahap kesediaan tinggi terhadap pelaksanaan
pedagogi inklusif dalam pengajaran. Namun begitu, daripada tujuh konstruk
yang dikaji didapati 3 konstruk berada pada tahap tinggi: pengurusan aktiviti
pembelajaran pedagogi inklusif(min 3.4 sp 0.8), kerelevanan pedagogi
inklusif(mean 3.6 sp 0.7), pemahaman terhadap dimensi-dimensi pedagogi
inklusif(min 3.8 sp 0.5). Manakala empat konstruk lagi berada pada tahap
sederhana:fahaman terhadap pedagogi inklusif (min 2.75 sp 0.9),persepsi
pensyarah terhadap pedagogi inklusif(min 2.9 sp 0.7), pengetahuan terhadap
pedagogi inklusif(min 2.2 sp 0.8) dan penerimaan terhadap pedagogi inklusif
(min 2.7 sp 1.2). Apa yang menarik ialah walaupun min keseluruhan berada
pada tahap tinggi tetapi, bagi empat konstruk lagi tahapnya adalah berada
pada tahap sederhana.Oleh itu, perlu diberi fokus untuk meningkatkan tahap
persepsi,fahaman dan pengetahuan tentang strategi-strategi penagajaran
pedagogi inklusif. Dicadangkan agar kursus-kursus berkaitan dengan
pedagogi inklusif diadakan kepada semua pensyarah IPG supaya dapat
meningkatkan fahaman, pengetahuan dan kemahiran terhadap pedagogi
inklusif. Selain itu, semua pensyarah perlu diberi pendedahan untuk
1444
melaksanakan pengajaran pedagogi inklusif dalam bilik darjah. Ini boleh
dilakukan dengan mengadakan lawatan ke sekolah untuk memantau
bagaimanakah pengajaran dan pembelajaran untuk memperbaiki amalan-
amalan pedagogi inklusif. Didicadangkan lebih banyak bengkel diadakan untuk
meningkatkan pelaksanaan terhadap kemahiran pedagogi inklusif kepada
pensyarah di IPG sebelum ianya diperkenalkan kepada guru-guru di sekolah.
DAFTAR RUJUKAN
Abdul Razaq Ahmad, Norhasani Zainal, Zalizan Mohd Jelas dan Anisa
Saleha(2011).Teachers’ Perspectives toward School Diversity in
Malaysia. International Journal of Business and Social Science. Vol.2
No.4:March 2011
Ainscow,M.(1999).Understanding the Development of Inclusive Schools.
London:Falmer Press
Bellard,K.(1995).Inclusion In Practice: A Case Study Of Metahtheory And
Action. Cambridge University
Biggs, J.(1999). ‘What the student does: teacher for enhanced learning?’.
Higher Education Research & Development,vol.18,no.1,pp.57-75
Black Hawkins,K.(2010). The framework for participation:a research tool for
exploring the relationship between achievement and inclusion in schools.
International Journal of Research & Method in Education.
Vol.33,No.1.April 2010, 21-40
Burnard, Pamela and Dillon, Steven C. dan Rusinek,Gabriel dan
Saether,Eva(2008). Inclusive pedagogies in Music Education: A
comparative study of music teachers’ perspectives from four countries.
International journal of Music Education 26(2):pp.109-126.
Clough P,Carbett J(2000). Theories of Inclucive Education:A Student
Guide.London:Paul Chapman Publishing
Carbett,J.(2001). Supporting Inclusive Education:A connective
Pedagogy.London:Routledge
Downing,J.E.(2005). Teaching literacy to students with significant
disabilities:Strategies for the K-12 incusive classroom. Thousand
Oaks,California: Corwing Press
Dyson,A.,Clark C., Millward,A.(1999). Inclusive Education and schools as
organisations.International Journal of Inclusive Education.3(1).37-51
Farrell,P., Ainshow,M., Howes,A. Frankham,J.,Fox S.,dan
Davis,P.(2004).Inclusive Education for all: Dream or reality? Journal of
International Special Needs Education.7(7),1-11
Makoelle (2012). The state of Inclusive Pedagogy in South Africa: A Literature
Review. Jurnal of Sociology Soc Auth,3(2):93-102
Manisah Mohd Ali, Ramlee Mustapha dan Zalizan Mohd Jejas( 2006). An
Emprical Study On Teachers’ Perception Towards Inclusive Education In
Malaysia. International Journal of Special Education. Vol. 21. No.3.
Spratt J. dan Florian L. (2013). Applying The Principles Of Inclusive Pedagogy
In Initial Teacher Education :From University Based Course To
Classroom Action. Revista de Investigation en Education.11(3).pp.133-
140

1445
PERANAN PENTADBIR SEKOLAH DALAM PELAKSANAAN
PEDAGOGI INKLUSIF DI BEBERAPA SEKOLAH RENDAH
YANG TERPILIH
1)
Rajagopal Ponnusamy, 2)Ramesh Rao, 3)Jeya Velu, 4)Ismail Raduan, 5)Lee
Leh Hong, 6)Lee Lay Hwa, 7)Mohd Jim Hamzah, & 8)Santhi Periasamy
IPG Kampus Ilmu Khas, Kuala Lumpur
E-mail: 1)rajagopal@ipik.edu.my
Abstract
The present reserch is to investigate the the role of the school administrators
towards the implementation of inclucive pedagogy in the selected primary
schools. This paper reports the results of a survey of 32 primary school
administrators about their perception of the 5 constructs involved in the
study. The instrument used in this research was formulated by the researcher
based on Brown D.S.(1991) and Papanastasiou, E.C.(2005). The instrument
has a high reliability level(0.92).The Statistical Program For Social
Sciences(SPSS) 16 was used to analyse the data. Mean score and percentage
was used to analyse the data obtained together with ANOVA. The findings
revealed that the overall mean score for the 5 constructs were (mean:3.69 sd:
0.97)high . The mean score for each construct is as: perception towards
inclucive pedagogy (mean:3.78 sd: 0.92)high, implementation of inclucive
pedagogy in school( mean:4.34 sd: 0.72)very high,facilities to implement
inclucive pedagogy in the school (mean:3.02 sd 0.97)high, importance of
inclucive pedagogy to the school (mean:4.02 sd: 0.57)very high acceptance of
inclucive pedagogy by the administrators (mean:3.80 sd: 0.57) high. The
ANOVA results conducted revealed there isn’t any significant differences
between the administrators in the school regarding inclucive pedagogy.
Keywords: Role of school administrators , inklusive pedagogy
PENGENALAN
Pendidikan merupakan salah satu bidang yang memainkan peranan
penting dalam pembangunan sesebuah negara dalam pertumbuhan ekonomi
dan pembangunan sosial. Proses pengajaran dan pembelajaran yang berlaku
dalam bilik darjah merupakan petunjuk terbaik bagi kemajuan masa depan
sesebuah negara(PPPM 2013-2015). Selain itu, pendidikan juga menjadi asas
pembinaan negara bangsa dan pengukuhan perpaduan. Justeru itu, sejak
mencapai kemerdekaan Malaysia telah mengambil pelbagai langkah untuk
membangunkan sistem pendidikan negara kita supaya dapat melahirkan
pelajar yang cemerlang, gemilang dan terbilang selaras dengan aspirasi Pelan
Pembangunan Pendidikan Malaysia(2013-2015). Pembangunan negara
melalui kecemerlangan pendidikan di negara kita dijadikan sebagai agenda
utama untuk memstikan supaya WAWASAN 2020 yang ingin meletakkan
negara kita sebagai negara maju menjelang tahun 2020 sesama dengan
negara lain di barat. Dalam menjayakan usaha murni ini, Pendidikan Untuk
Semua(Education For All) turut diberi keutamaan supaya semua pelajar di
negara kita yang berada di sekolah dapat mencapai tahap pencapaian yang
diharapkan tanpa meminggirkan sesiapa sahaja seperti murid miskin, murid
1446
pedalaman,murid berkeperluan khas dan kumpulan minoriti. Sehubungan itu,
kerajaan Malaysia telah memperuntukan jumlah peruntukkan yang tinggi dalam
sektor pendidikan supaya semua sekolah dan murid diberikan peluang yang
sama untuk mencapai kecemerlangan yang sama. Sehubungan dengan itu,
KPM telah mengenal pasti supaya jurang pendidikan yang perlu dirapatkan
supaya akses,ekuiti dan kualiti dalam pendidikan dapat dipertingkatkan(KPM
2009).
Justeru itu, kerajaan kita telah berusaha untuk memastikan agar sistem
pendidikan di negara kita untuk mencapai pendidikan bertaraf dunia melalui
sekolah-sekolah berperasti tinggi dan seterusnya menjadikan negara ini
sebagai sebuah negara maju sebagai A Great Nation dan Negara Inovatif
menjelang tahun 2050(Mohamad Ikhsan 2003). Pelaksanaan dasar dan polisi
pendidikan yang lebih mengutamakan kecemerlangan pelajar menyebabkan
banyak kejayaan telah dicapai dalam pendidikan dan ini telah menyebabkan
sistem pendidikan negara akan menjadi mantap seperti sekarang di mana
“kejayaan dalam pendidikan telah meletakan Malaysia menduduki tempat
nombor 45 daripada 129 negara dalam pendidikan antarabnagsa(Berita
Harian 21.7.09). Kedudukan ini membuktikan bahawa Malaysia sudah boleh
mencapai agenda pembangunan modal insan dan pembentukan minda kelas
pertama sebagaimana yang diharapkan dalam Misi Nasional. Walaupun
negara kita telah mencapai kecemerlangan akademik dalam negara, tetapi
dalam PISSA dan TIMS pencapaian yang dicapai adalah tidak memuaskan.
Bagi menghadapi cabaran ini kami percaya agar pedagogi inklusif yang
memberi peluang pembelajaran yang efektif melalui kaedah penyampaian yang
lebih eksklusif kepada semua pelajar akan membawa perubahan yang kritikal
dalam usaha untuk mencapai misi pendidikan nasional melalui pendidikan
untuk semua.
Pernyataan Masalah
Konsep pedagogi inklusif merupakan satu konsep yang telah menjadi
topik perbincangan dalam kalangan warga IPG Kampus Ilmu Khas selepas
lawatan Ketua pengarah Pendidikan Malaysia pada penghujung bulan Mei
2014. Semasa ucapan, beliau telah menyarankan IPG Kampus Ilmu Khas (IPG
KIK) untuk memberi keutamaan dan menjalankan satu kajian menyeluruh
mengenai pedagogi inklusif. Oleh itu ianya telah menimbulkan pelbagai reaksi
dalam kalangan pensyarah untuk memahami dan mendalami mengenai apakah
itu sebenarnya pedagogi inklusif. Sebelum ini semua pensyarah mempunyai
pengetahuan mengenai pendidikan inklusif kerana ianya telah diperkenalkan
lebih awal pada tahun 1999 dan mula dilaksanakan di Malaysia.
Oleh itu, ianya dianggap sebagai satu beban tugas yang perlu
dilaksanakan dengan teliti kerana menjadi satu konsep yang kabur untuk
difahami dan didalami. Selain itu, ianya melibatkan pihak sekolah yang perlu
kita memperolehi pelbagai maklumat yang ada kaitan dengan pedagogi inklusif.
Kesemua ini menjadi halangan pada permulaanya. Perbincangan demi
perbincangan dan mesyuarat demi mesyuarat yang diadakan untuk mendapat
kepastian konkrit terhadap pengertian, pemahaman serta definisi mengenai
pedagogi inklusif itu terpaksa diperolehi dengan membuat rujukan daripada
sumber yang relevan dari luar negara. Maklumat yang diperolehi mengenai
pedagogi inklusif sehingga sekarang tidak memberi satu gambaran yang jelas
1447
dan mendalam mengenai pedagogi inklusif. Justeru itu, penerokaan mengenai
pedagogi inklusif memberi satu gambaran bahawa konsep ini tidak mempunyai
hala tuju yang jelas dan pelaksanaanya akan menimbulkan pelbagai masalah
serta kekeliruan mengenai apakah itu pedagogi inklusif dan apakah ciri-ciri
inklusif yang perlu ada dalam pengajaran dan pembelajaran dalam bilik darjah
untuk diterima sebagai amalan-amalan dalam pedagogi inklusif. Walau
bagaimanapun, warga IPG KIK telah mempunyai komitmen serta motivasi
yang tinggi untuk menjadi penggerak utama dalam pelaksanaan pedagogi
inklusif di Malaysia dan menjadi pencetus minda dalam kalangan semua IPG di
Malaysia. Besarlah harapan dapatan kajian dapat membantu IPGM untuk
mengintegrasikan amalan-amalan pedagogi inklusif dalam program pendidikan
guru supaya ianya dapat membantu meningkatkan penglibatan semua pelajar
dalam proses pembelajaran dan pengajaran secara efektif. Kajian ini
dijalankan untuk mengenal pasti apakah peranan yang dimainkan oleh pihak
pentadbir sekolah dalam pelaksanaan pedagogi inklusif di sekolah. Pentadbir
dalam kajian ini dirujuk sebagai individu yang terlibat dalam pengurusan dan
pentadbiran di sekolah. Bagi tujuan kajian ini, Guru Besar sekolah , Penolong
Kanan Pentadbiran(PKP), Penolong Kanan Hal Ehwal Murid(PKHEM) dan
Penolong Kanan Ko-kurikulum(PKKOKO) dikenal pasti sebagai pentadbir
sekolah. Kajian ini cuba untuk meninjau persepsi pentadbir sekolah terhadap
pedagogi inklusif, pengetahuan pentadbir sekolah mengenai amalan-amalan
pedagogi di sekolah oleh guru, prasarana yang terdapat di sekolah dalam
pelaksanaan pedagogi inklusif, persepsi pentadbir sekolah mengenai keperluan
dan penerimaan pentadbir sekolah terhadap pedagogi inklusif. Corak kajian
pedagogi inklusif ini ada persamaan dengan cadangan yang diberikan oleh
Spratt dan Florian(2013) dan Reynolds dan Mann(1987) yang memberi
penekanan kepada peranan pentadbir sekolah dalam pelaksanaan pedagogi
inklusif di sekolah.
Objektif Kajian
Kajian yang dijalankan sebagai kajian preliminari ini mempunyai objektif-
objektif berikut:
1. Mengenal pasti tahap persepsi pentadbir sekolah terhadap pedagogi
inklusif
2. Meninjau sama ada pentadbir sekolah berpengetahuan mengenai amalan-
amalan pedagogi inklusif dalam kalangan guru di sekolah
3. Mengenal pasti apakah jenis-jenis prasarana yang terdapat di sekolah
untuk melaksanakan pedagogi inklusif di sekolah oleh guru
4. Meninjau pendapat pihak pentadbir mengenai keperluan pedagogi inklusif
kepada guru di sekolah.
5. Meninjau pendapat pihak pentadbir mengenai penerimaan pedagogi
inklusif kepada guru di sekolah.
Persoalan Kajian
Berdasarkan objektif-objektif kajian yang telah dinyatakan di atas,
kajian ini akan menjawab soalan-soalan berikut:
1. Apakah tahap persepsi pentadbir sekolah terhadap pedagogi inklusif di
sekolah?

1448
2. Adakah pentadbir sekolah mempunyai pengetahuan mengenai
amalan-amalan pedagogi inklusif dalam kalangan guru di sekolah?
3. Adakah terdapat jenis-jenis prasarana yang diperlukan untuk
melaksanakan pedagogi inklusif di sekolah?
4. Apakah pendapat pihak pentadbir mengenai keperluan pedagogi
inklusif kepada guru di sekolah?
5. Apakah pendapat pihak pentadbir mengenai penerimaan pedagogi
inklusif kepada guru di sekolah?
KERANGKA TEORITIKAL
Pedagogi didefinisikan sebagai segala ilmu yang diperlu dimiliki oleh
seseorang guru untuk menyampaikan pembelajaran kepada murid dalam bilik
darjah. Setiap murid dalam bilik darjah adalah unik kerana mereka
mempamerkan minat,motivasi, tingkahlaku, emosi dan mengamalkan gaya
pembelajaran yang berlainan dan itu menyebabkan pencapaian mereka juga
adalah berbeza. Dalam hal ini, seseorang guru perlu memahami dan
mengetahui pelbagai strategi dan teknik pengajaran selain daripada memahami
dan menguasai jiwa dan citarasa murid dalam pembelajaran(Abdul
Razaq,Norhazni,Zalizan dan Anisa 2011). Manakala Spratt dan Florian(2013)
menjelaskan inclusion sebagai satu proses dinamik yang melibatkan semua
murid dalam proses pembelajaran sepenuhnya dan ianya adalah sesuatu yang
sangat penting untuk membina masa depan yang lebih bermakna kepada
murid dalam kehidupan mereka nanti. Tetapi, Farrell et al.(2004) menghuraikan
konsep inklusif sebagai satu konstruk yang terdiri daraipada pengintegrasian
beberapa aspek seperti penerimaan(acceptance),penglibatan(involvement) dan
pencapaian(achievemen). Namun begitu, Downing(2005) mengutarakan apa
sahaja langkah untuk membantu semua pelajar dalam proses pembelajaran
akan mencapai kebuntuan sekiranya tiada satu sistem sokongan yang kondusif
daripada pelbagai pihak yang prihatin terhadap pelajar-pelajar yang mengalami
masalah pembelajaran.
Forlin(2001) pula berpendapat peranan guru dalam membawa
perubahan dalam proses pembelajaran adalah sangat kritikal kerana gaya
pengajaran guru akan menentukan penglibatan murid dalam pembelajaran
secara aktif. Tetapi Rouse(2009) berpendapat usaha murni dalam pelaksanasn
pedagogi itu bergantung kepada pengetahuan, minat dan keupayaan guru
untuk memahami potensi dan kebolehan murid di dalam bilik darjah yang diajar.
Ini bererti sebagai seorang guru yang efektif setiap guru seharusnya memahami
tingkahlaku murid dan kemampuan murid dalam proses pembelajaran.
Pendapat ini di persetujui oleh Hart, Dixon, Drummond dan McIntyre,2004)
tetapi amalan pengajaran dan pembelajaran selama ini yang berdasarkan
kepada kecemerlangan murid dapat menimbulkan perasaan tidak
menyeronokkan mereka semasa pembelajaran dan ianya boleh membunuh
semangat untuk mencuba kerana guru cuba membezakan murid berdasarkan
kepada kemampuan mencapai markah yang tinggi. Hart(2004) mengutarakan
bahawa amalan pedagogi inklusif dalam bilik darjah tidak membenarkan
penggunaan labeling terhadap murid yang mempamerkan kecerdasan yang
berbeza sebaliknya pedagogi inklusif membolehkan setiap murid dapat belajar
bersama dalam situasi atau suasana pembelajaran yang kodusif tanpa

1449
merasakan diri meraka terancam. Sebaliknya, Schpilberg & Hubschman(2003)
menyatakan amalan pedagogi inkklusif dalam bilik darjah bukan hanya
melibatkan pendekatan,strategi dan teknik mengajar malah ianya melibatkan
seorang guru yang mempamerkan kasih sayang, keprihatinan,suka membantu
pelajar dan menjalin hubungan erat dan mesra dengan murid di mana amalan
emosi yang positif dapat menarik minat pelajar dalam proses pembelajaran.
METODOLOGI
Dalam kajian ini kaedah tinjaun dengan menggunakan soal selidik
melibatkan pengumpulan data daripada 32 orang pentadbir sekolah digunakan.
Bilangan guru besar yang terlibat dalam kajian ini ialah seramai 8 orang,
bilangan GPP yang terlibat ialah 7 orang, bilangan GPK HEM yang terlibat ialah
10 orang dan bilangan GPK KOKO yang terlibat ialah seramai 7 orang.
Bilangan pentadbir lelaki yang terlibat dalam kajian ini ialah sebanyak 17 orang
manakala bilangan pentadbir perempuan yang terlibat ialah seramai 15 orang.
Jadual 1, di bawah menerangkan pecahan sampel secara terperinci.
Jadual 1.
Pecahan Sampel Dalam kajian

LELAKI PEREMPUAN JUMLAH


SAMPEL

Guru Besar 6 2 8
PKP 2 5 7
PK HEM 3 7 10
PK KOKO 4 3 7

JUMLAH 15 17 32

Dalam kajian ini satu instrumen yang dibina oleh pengkaji berdasarkan
inventori yang dihasilkan oleh Brown D.S.(1991) dan Papanastasiou,
E.C.(2005). Inventori ini mengandungi enam konstruk iaitu: Bahagian A
mengandungi aspek yang berkaitan dengan latar belakang pentadbir sekolah.
Bahagian B mengandungi 10 item berkaitan dengan persepsi pentadbir sekolah
terhadap pedagogi inklusif. Bahagian C mengandungi 10 item mengenai
pengetahuan pihak pentadbir mengenai amalan-amalan pedagogi inklusif di
sekolah. Bahagian D mengandungi 10 item mengenai prasarana yang
disediakan oleh pihak sekolah untuk melaksanakan pedagogi inklusif di
sekolah. Bahagian E mengandungi 10 item mengenai persepsi pentadbir
terhadap keperluan pedagogi inklusif kepada guru sekolah dan akhirnya
Bahagian F mengandungi 10 item mengenai penerimaan terhadap pedagogi
inklusif oleh pentadbir sekolah.
Data yang dikumpulkan daripada 32 orang pentadbir sekolah telah
dianalis untuk menentukan kebolehpercayaan dan kesahan. Nilai
kebolehpercayaan Cronbach alpha yang diperolehi bagi kesemua konstruk
ialah 0.92. Bagi setiap konstruk nilai Cronbach alpha yang diperolehi ialah:
kesedaran pentadbir sekolah mengenai pedagogi inklusif(0.87),fahaman
pentadbir sekolah mengenai pedagogi inklusif(0.78),prasarana yang ada
1450
disediakan oleh pentadbir sekolah terhadap pedagogi inklusif (0.92),keperluan
pedagogi inklusif di sekolah(0.94), penerimaan pedagogi inklusif oleh pentadbir
sekolah(0.90). Nilai Cronbach alpha secara keseluruhan(0.92) yang tinggi
menggambarkan instrumen kajian ini mempunyai kesahan yang tinggi dan
boleh digunakan dalam kajian ini.
DAPATAN DAN PERBINCANGAN
Secara keseluruhan hasil kajian ini mendapati pentadbir sekolah dalam
kajian ini memperolehi skor min lebih daripada 3 dalam lima konstruk yang
dikaji. Daripada lima konstruk itu, min skor bagi dua konstruk ialah
pengetahuan mengenai pedagogi inklusif(4.30) dan keperluan pedagogi
inklusif di sekolah(4.02) berada pada tahap sangat tinggi. Manakala, dalam tiga
konstruk lagi iaitu persepsi terhadap pedagogi inklusif(3.78), prasarana yang
disediakan oleh sekolah untuk pedagogi inklusif ( (3.02) dan penerimaan
pedagogi inklusif oleh sekolah(3.80) berada pada tahap tinggi seperti
diterangkan dalam Jadual 2 dan Jadual 3. Dapatan kajian akan dihuraikan
secara berasingan mengikut soalan kajian yang telah ditetapkan. Data dalam
Jadual 2 dan Jadual 3 digunakan untuk menjawab soalan-soalan kajian.

Jadual 2.
Perbandingan Skor Min Konstruk-konstruk Persepsi Pedagogi Inklusif

Persepsi Pentadbir Terhadap Pedagogi Inklusif Skor Min SD

Persepsi Terhadap Pedagogi inklusif 3.78 0.97


Pengetahuan mengenai amalan pedagogi inklusif 4.34 0.72
Pasarana yang ada di sekolah untuk pedagogi inklusif 3.02 0.79
Keperluan pedagogi inklusif kepada guru sekolah 4.02 0.51
Penerimaan pentadbir sekolah terhadap pedagogi 3.80 0.57
inklusif

Jadual 3.
Tahap Persepsi Pentadbir Sekolah Terhadap Pedagogi Inklusif
TAHAP
Persepsi Pentadbir Terhadap
Pedagogi Inklusif Rendah Sederhana Tinggi Sangat.
1.0-1.9 2.0-2.9 3.0-3.9 Tinggi
4.0-5.0
Persepsi pentadbir terhadap pedagigi inklusif 3.78
Pengetahuan mengenai amalan pedagogi inklusif 4.34

Prasarana yang ada di sekolah untuk pedagogi 3.02


inklusif
Keperluan pedagogi inklusif kepada guru sekolah 4.02
Penerimaan pentadbir sekolah terhadap pedagogi 3.80
inklusif

1451
Persoalan Kajian 1: Apakah tahap persepsi pentadbir sekolah terhadap
pedagogi inklusif di sekolah?
Hasil dapatan kajian bagi konstruk persepsi pentadbir sekolah terhadap
pedagogi inklusif mendapati jumlah skor min yang diperolehi ialah(min: 3.78
sp:0.9) dan ianya berada pada tahap tinggi. Seterusnya, perkiraan peratus
mendapati kesemua 100%(32) pentadbir itu menyatakan pengetahuan
mengenai pedagogi inklusif sangat penting, relevan dan semua guru perlu
diberi pendedahan terhadap pedagogi inklusif oleh Kementerian Pendidikan
untuk menjayakan suasana pembelajaran yang efektif. Di samping itu, hanya
90.6%(29) menyatakan pedagogi inklusif itu sangat penting kepada mereka
sebagai pemimpin sekolah sedangkan 9.4%(3) tidak bersetuju. Dapatan juga
mendapati 21.7%(7) pentadbir sekolah tidak pernah dengar mengenai
pedagogi inklusif tetapi 59.4%(19) orang pentadbir mendapati tidak pernah
menghadiri sebarang program pedagogi inklusif itu.
Persoalan Kajian 2: Adakah pentadbir sekolah berpengetahuan
mengenai amalan-amalan pedagogi inklusif dalam
kalangan guru di sekolah?
Hasil dapatan kajian bagi konstruk sama ada pentadbir sekolah
berpengetahuan mengenai amalan-amalan pedagogi inklusif di sekolah
mendapati( min: 4.34 sp:0.72) berada pada tahap sangat tinggi(Jadual 2).
Dapatan kajian mendapati kesema 100%(32) pentadbir itu menyatakan semua
guru di sekolah melibatkan semua murid dalam pembelajaran dan pengajaran
dan menggunakan pendekatan yang sesuai dan sentiasa menjalankan
pentaksiran selapas tamat pengajaran dan pembelajaran dan mereka juga
menyatakan bahawa guru sekolah sentiasa melibatkan semua pelajar dalam
pembelajaran. Bagi mereka pengajaran guru yang efektif menyebabkan
pencapaian sekolah meningkat dan menyatakan pelajar sekolah sentiasa
mengambil bahagian dalam aktiviti-aktiviti di luar bilik darjah dalam aktiviti
kokurikulum. Tetapi,hanya 6.2%(2) sahaja pentadbir yang menyatakan guru di
sekolah tidak melaksanakan pedagogi inklusif dan guru mereka tidak membawa
pelajar mereka ke sekolah lain untuk melibatkan diri dalam aktiviti
pembelajaran yang lain. Secara keseluruhannya, hasil kajian mendapati majoriti
pentadbir sekolah mempunyai pengetahuan mengenai amalan-amalan
pedagogi inklusif di sekolah oleh guru sekolah.
Persoalan Kajian 3: Adakah sekolah mempunyai prasarana yang lengkap
untuk melakasanakan pedagogi inklusif.
Hasil dapatan kajian bagi konstruk prasarana yang ada di sekolah untuk
melaksanakan pedagogi inklusif oleh guru sekolah mendapati(min: 3.0 sp:0.7)
berada pada tahap tinggi. Seterusnya, mendapati 100%(32) pentadbir
menyatakan mereka akan pastikan semua guru dapat menggunakan ABM
yang sesuai dalam pengajaran dan pembelajaran dan 93.7%(30) pentadbir
menyatakan di sekolah mereka ada kemudahan makmal komputer yang
lengkap dan hanya dua pentadbir sahaja yang menyatakan tiada kemudahan
komputer yang lengkap di sekolah. Di samping itu, 87.5%(28) menyatakan di
sekolah mereka terdapat sudut bacaan yang lengkap dalam bilik darjah dan
suasana pembelajaran yang kondusif dalam bilik darjah dan penggunaan ICT
dalam pengajaran guru membolehkan murid suka datang ke sekolah. Namun
begitu, 71.3% (23) menyatakan tiada guru mengadakan perbincangan. Secara
1452
keseluruhan hasil dapatan kajian mendapati ada kemudahan LCD di setiap
bilik darjah untuk menyampaikan pengajaran secara inovatif. Manakala,
84%(27) pentadbir sekolah menyatakan di sekolah mereka tiada bilik-bilik khas
dan bilik mesyuarat untuk di sekolah untuk menjalankan pedagogi inklusif
didapati bahawa walaupun Kementarian Pelajaran ada membekalkan
kemudahan komputer dan LCD tetapi bilanganya adalah tidak mencukupi
untuk satu sekolah yang ada bilangan bilik darjah yang lebih. Hasil dapatan
juga mendapati guru sekolah mengalami pelbagai masalah kerana tiada bilik-
bilik khas dan bilik mesyuarat yang tertentu untuk menjalankan pengajaran dan
pembelajaran dengan lebih efektif.
Persoalan Kajian 4: Apakah pendapat pihak pentadbir mengenai
keperluan pedagogi inklusif kepada guru di sekolah?
Hasil dapatan kajian bagi konstruk keperluan pedagogi inklusif di
sekolah untuk melaksanakan pedagogi inklusif oleh pentadbir sekolah
mendapati (min: 4.02 sp:0.5) berada pada tahap sangat tinggi. Seterusnya,
perkiraan peratus mendapati 100%(32) kesemua pentadbir sekolah bersetuju
pedagogi inklusif sangat perlu di sekolah kerana dapat meningkatkan kualiti
pembelajaran dan pengajaran dalam bilik darjah, meningkatkan pencapaian
pelajar, melahirkan guru yang cemerlang dan boleh memartabatkan profesion
keguruan. Mereka turut berpendapat amalan pedagogi inklusif di sekolah
boleh meningkatkan minat guru dalam pengajaran dan boleh melahirkan pelajar
sekolah yang cemerlang dan boleh membawa perubahan dalam amalan guru
dalam bilik darjah. Kesemua pentadbir sekolah bersetuju amalan pedagogi di
sekolah boleh melahirkan guru yang berpengetahuan dan kemahiran tinggi
dalam pendidikan. Justeru itu, mereka berpendapat ianya boleh melahirkan
guru yang berwawasan untuk menjayakan misi pendidikan negara.
Persoalan Kajian 5: Adakah pentadbir sekolah menerima pelaksanaan
pedagogi inklusif di sekolah
Hasil dapatan kajian bagi konstruk penerimaan pentadbir sekolah
terhadap pedagogi inklusif di sekolah mendapati (min : 3.8 sp:0.5) berada
pada tahap tinggi. Seterusnya, perkiraan peratus mendapati 100%(32)
pentadbir itu menyatakan mereka akan menggalakkan guru sekolah menghadiri
kursus pedagogi inklusif dan akan mengutamakan pedagogi inklusif dalam
LADAP di sekolah. Seterusnya, kesemua pentadbir sekolah menyatakan
mereka akan menganjurkan seminar pedagogi inklusif di sekolah. Mereka juga
berpendapat akan berkongsi pengalaman mereka dengan sekolah lain dan
akan berbincang dengan PPD untuk menyebarkan maklumt untuk
melaksanakan pedagogi di sekolah. Hasil dapatan kajian mendapati semua
pentadbir sekolah dapat memberi sokongan untuk menerima pedagogi inklusif
di sekolah.
Seterusnya, ujian ANOVA dijalankan untuk membandingkan sama ada
terdapat perbezaan antara mereka mengenai peranan pentadbir sekolah
terhadap pedagogi inklusif di sekolah. Jadual 8, menerangkan ANOVA satu
hala bagi skor min keseluruhan antara empat kumpulan pentadbir sekolah
berkaitan dengan pedagogi inklusif di sekolah. Hasil dapatan ujian ANOVA
mendapati tiada terdapat perbezaan antara skor min pada aras p < .05 bagi 4
kumpulan F=3,28= 0.622,p=0.607. Analisis data mendapati nilai kesignifikanan
kelas ialah .607. Ini bererti pada aras p < .05, secara statistik boleh dibuat
1453
kesimpulan bahawa tidak terdapat perbezaan signifikan antara empat
kumpulan pentadbir sekolah dalam skor min keseluruhan lima konstruk yang
dikaji mengenai pedagogi inklusif di sekolah.
Jadual 4.
ANOVA Satu Hala bagi skor min Empat Kumpulan Pentadbir

Sumber Variasi JKD dk MKD F


Sig.

Antara Kumpulan .425 3 .142 .622 .60


Dalam Kumpulan 6.372 28 .228
Jumlah 6.797 31 - - -

JKD-Jumlah Kuasa Dua, dk- Darjah Kebebasan, MKD- Min Kuasa Dua
RUMUSAN DAN CADANGAN
Kajian ini yang dijalankan untuk meninjau peranan pentadbir sekolah
dalam pelaksanaan pedagogi inklusif di sekolah rendah. Pentadbir dalam kajian
ini meliputi guru besar sekolah,penolong kanan pentadbiran,penolong kanan
hal ehwal murid dan penolong kanan ko-kurikulum. Oleh kerana masa yang
sangat terhad untuk melaksanakan kajian ini, bilangan sampel adalah hanya
melibatkan 32 orang sahaja. Dalam kajian ini telah diberi keutamaan ke atas
lima konstruk sahaja iaitu persepsi pentadbir sekolah terhadap pedagogi
inklusif, pengetahuan pentadbir sekolah terhadap amalan-amalan pedagogi
inklusif, prasarana yang ada di sekolah dalam pelaksanaan pedagogi inklusif,
keperluan dan penerimaan pedagogi inklusif di sekolah. Dapatan kajian
mendapati dua konstruk iaitu pengetahuan terhadap amalan-amalan pedagogi
inklusif dan keperluan pedagogi inklusif di sekolah berada pada tahap skor min
yang sangat tinggi lebih daripada skor min lima. Manakala, tiga konstruk lagi
iaitu pesepsi pentadbir sekolah terhadap pedagogi inklusif, prasarana yang ada
di sekolah untuk melaksanakan pedagogi inklusif dan penerimaan pedagogi
inklusif pentadbir sekolah berada pada tahap yang tinggi di mana skor min
berada lebih daripada 3.0 dan kurang daripada 4.0. Analisis secara terperinci
mendapati walaupun semua pentadbir dalam kajian ini bersetuju dan menerima
amalan pedagogi inklusif di sekolah kerana ianya sangat diperlukan untuk
meningkatkan pengajran dan pembelajaran yang efektif fan inovatif supaya
semua pelajar dapat menerima pelajaran yang sama. Namun begitu, analisis
data mendapati terdapat beberapa kekurangan yang perlu diberi keutamaan
untuk menjayakan pengajaran dan pembelajaran yang berkesan dalam abad
yang ke-20 yang mengeutamakan pendidikan untuk semua perlu disediakan
kemudahan LCD dan bilik-bilik khas untuk menjalankan pengajaran guru
dengan berkesan. Terdapat rasa ketidakpuasan di mana di sekolahnya tidak
ada bilik yang tertentu untuk menjalankan pengajaran kepada murid sekolah.
Kekurangan bilik di sekolah menyukarkan guru untuk mengadakan
perbincangan dlam kalangan guru di sekolah mengenai perkongsian ilmu. Rata-
rata semua pentadbir bersetuju agar semua guru di sekolah harus diberi
pendedahan terhadap pedagogi inklusif di sekolah.

1454
Oleh itu, disarankan agar semua guru perlu diberi pendedahan mengenai
pedagogi inklusif supaya lebih memahami mengenai konsep pedagogi inklusif
itu secara mendalam. Selain itu, dicadangkan agar semua pensyarah perlu
diberi peluang untuk mengahdiri kursus jangka pendek yang boleh diuruskan
oleh universiti tempatan di mana pensyarah IPG boleh memperolehi
pengetahuan baru mengenai konsep pedagogi itu. Kini rata-rata didapati
bahawa pensyarah IPG yang ditugaskan untuk menjalankan kajian dalam
bidang ini tidak jelas mengenai pedagogi inklusif. Oleh itu, dicadangkan agar
IPGM mencari jalan yang efektif untuk mengadakan kursus yang boleh
memberi input kepada pensyarah sebelum mereka keluar untuk menjalankan
kajian di sekolah.
Dicadangkan agar pihak IPG mengambil inisiatif secara proaktif untuk
menganjurkan kursus-kursus secara kolaboratif dengan sekolah dan
mendedahakan pengetahuan mengenai pedagogi inklusif kepada guru di
sekolah. Apabila guru di sekolah dapat memahami apakah itu pedagogi inklusif
ianya akan mudah dilaksanakan dibilik darjah semasa proses pengajaran
seperti diutarakan oleh Biggs(1999). Mengikut Biggs, gurulah yang seharusnya
mengambil inisiatif untuk menyusun apa yang seharusnya dipelajari dan
diketahui oleh murid secara sistematik dan strategi ini dapat dilakukan dengan
menggunakan HOTS. Ini boleh dilakukan dengan memperkenalkan
pembelajaran berasaskan amalan (practice based learning) di mana guru yang
mengajar murid dengan persediaan khusus dan guru menjadikan subjek yang
diajar itu lebih menarik. Pendekatan ini dinamakan sebagai pendagogi
konektiviti(Connected Pedagogy) oleh Florian(2011).
Disarankan agar kursus dalaman melalui ULDP di IPG perlu diberi
keutamaan kepada program khas yang merangkumi kursus-kursus pedagogi
inklusif yang ada kaitan dengan pembelajaran dan pengajaran inovatif yang
juga berhubung kait dengan pendidikan untuk semua. Sehubungan dengan itu,
ULDP di IPG perlu menganjurkan kursus pedagogi inklusif di mana pakar dalam
bidang ini dari luar boleh diundang ke IPG untuk mengadakan kursus khas
pedagogi inklusif kepada pensyarah di IPG. Di samping itu, disarankan agar
IPGM di peringkat kebangsaan membelanjakan jumlah wang yang mencukupi
untuk menghantar pensyarah yang berkomited untuk menghadiri kursus-kursus
yang dianjurkan di luar negara. Dengan itu, harapan dan aspirasi negara untuk
mencapai pendidikan bertaraf dunia dapat direalisasikan menjelang tahun
2020.
DAFTAR RUJUKAN
Abdul Razaq Ahmad, Norhasani Zainal,Zalizan Mohd Jelas & Anisa
Saleha(2011).Teachers’ Perspectives toward School Diversity in
Malaysia. International Journal of Business and Social Science. Vol.2
No.4:March 2011
Biggs, J.(1999). ‘What the student does: teacher for enhanced learning?’.
Higher Education Research & Development,vol.18,no.1,pp.57-75
Black Hawkins,K., The framework for participation:a research tool for exploring
the relationship between achievement and inclusion in schools.
International Journal of Research & Method in Education.
Vol.33,No.1.April 2010, 21-40

1455
Downing,J.E.(2005). Teaching literacy to students with significant
disabilities:Strategies for the K-12 incusive classroom. Thousand
Oaks,California: Corwing Press
Farrell,P., Ainshow,M., Howes,A. Frankham,J.,Fox S., &
Davis,P.(2004).Inclusive Education for all: Dream or reality? Journal of
International Special Needs Education.7(7),1-11
Spratt,J. & Florian,L.,(2013) Applying the principles of inclusive pedagogy in
initial teacher education:from university based course to classroom
action.Revista de Investigaction en Education,n” 11(3).2013.pp,133-140
Kementerian Pelajaran Malaysia(2009). Pendidikan Untuk Semua, Bahagian
Kewangan, Kementerian Pelajaran Malaysia
Mohamad Ikhsan. 2003. Budaya Ilmu dan Pembangunan Insan Dala Era
Globalisasi, Jurnal Pendidikan Guru, Bahagian Pendidikan Guru,
Kementerian Pendidikan Malaysia
Mohd Hanafi ,Hasnah & Shaharuddin(2008). Pelaksanaan Program Inklusif di
Sekolah Menengah Teknik dan Sekolah Menengah Harian. Educationist,
Vol ll No.1 Jan 2018
Schpilberg,B & Hubschman,B.( 2003). Face to face and computer meditated
tutoring: A comparative exploration on high school students’ math
achievement. American Educational Research Association, Chicago

1456
AMALAN PEDAGOGI INKLUSIF SISWA GURU PISMP AMBILAN
JANUARI 2011 OPSYEN PENGAJIAN SOSIAL
1)
Syed Ismail Syed Mustapa, 2)Pushpavalli A.Rengasamey, 3)Fuziah Abdul
Manaf, 4)Nor Baizura Abu Bakar, 5)Siti Rohani Abd.Rahman
Kamsiah Ab Rashid, & 6)Munizar Mohamad
Institut Pendidikan Guru Kampus Ilmu Khas, Kuala Lumpur

Abstract
This study aims to study the implementation of Inclusive Pedagogy practice in
the teaching and learning of Kajian Tempatan subject among the PISMP Social
Studies students during their Phase 3 practicum. Aspects studied were
knowledge and understanding of teaching, instructional planning,
implementation of teaching, teaching and learning skills, attitude and
personality and the professionalism values in teaching. This study used a
quantitative approach using questionnaires to obtain the data. Data were then
analyzed descriptively using Statistical Package for Social Science (SPSS)
version 22.0. The sample consisted of 41 students of Social Studies options.
The findings showed that the inclusive pedagogical practices in teaching and
learning skills aspect recorded the highest mean (mean = 4.06, SD = .36).
Meanwhile, the two other aspects showed high means of inclusive pedagogical
practices were professionalism values in teaching (mean = 4.01, SD = .40) and
instructional planning (mean = 4.01, SD = .43). The aspects of implementation
of teaching (mean = 3.98, SD = .45), knowledge and understanding (mean =
3.95, SD = .51) and attitude and personality (mean = 3.98, sp = .45) showed
moderate level of inclusive pedagogical practices. The findings of this study
showed that the teacher students have adopted elements of inclusive pedagogy
during the planning and implementation of teaching and learning of Kajian
Tempatan subject.
Keywords: Inclusive Pedagogy practice
PENGENALAN
Pedagogi Inklusif adalah amalan pedagogi yang dapat memenuhi
kepelbagaian tahap keupayaan kumpulan pelajar. Menurut Florian, L. dan
Spratt, J. (2013), Pedagogi Inklusif merupakan amalan pengajaran dan
pembelajaran untuk menjaga keperluan, penglibatan dan perkembangan setiap
pelajar tanpa mengambil kira jantina, gaya pembelajaran, bakat, ketaksamaan
status sosial dan pelabelan. Pedagogi Inklusif ini berupaya mewujudkan
persekitaran yang tidak menghadkan kepelbagaian murid-murid dari segi tahap
kognitif, status sosial, latar belakang dan budaya. Oleh itu, seseorang guru
harus berkeyakinan bahawa mereka berkelayakan dan berkebolehan mengajar
semua murid yang mempunyai kepelbagaian ini sama ada di aliran perdana
atau pendidikan khas. Elemen-elemen teras yang perlu diberi perhatian oleh
guru dalam melaksanakan Pedagogi Inklusif ialah persekitaran pembelajaran
inklusif, pendekatan multi sensori dan menguruskan hubungan rakan sebaya.

1457
PERNYATAAN MASALAH
Program Ijazah Sarjana Muda Perguruan Dengan Kepujian (PISMP)
major Pengajian Sosial Pendidikan Rendah ditawarkan kepada pelajar lepasan
SPM. Program ini bertujuan melatih siswa guru bagi memenuhi hasrat
Kementerian Pendidikan Malaysia bagi melahirkan guru sekolah rendah yang
memiliki ijazah. Semasa menjalani latihan, siswa guru akan diberi pelbagai
ilmu pengetahuan, kemahiran pedagogi dan pengalaman pengajaran dan
pembelajaran yang berkaitan dengan profesion perguruan. Namun demikian,
dalam major Pengajian Sosial, kursus Pedagogi Inklusif tidak ditawarkan
sebagai kursus teras mahupun elektif. Senario latihan perguruan ini tidak selari
dengan hasrat kerajaan iaitu aspirasi sistem terhadap ekuiti dan perpaduan
seperti yang terkandung dalam PPPM 2013-2015. Oleh itu, timbul persoalan di
sini, adakah siswa guru dapat mengaplikasikan amalan Pedagogi Inklusif di
sekolah apabila tamat pengajian mereka. Sehubungan itu, suatu kajian telah
dijalankan untuk mengkaji amalan Pedagogi Inklusif semasa praktikum Fasa III
dalam kalangan siswa guru PISMP Ambilan Januari 2011 opsyen Pengajian
Sosial di sekolah kebangsaan.
TINJAUAN LITERATUR
Perancangan pengajaran adalah penting kerana ini adalah permulaan
kepada segala usaha pemikiran, penyusunan dan tindakan yang akan diambil
oleh guru untuk mencapai objektif pengajarannya (KPM 2005). Menurut
Muainah (2000) persediaan mengajar ialah satu program yang disediakan oleh
guru-siswa guru sebagai panduan yang dapat membantu mereka dalam
melaksanakan pengajaran. Persediaan ini biasanya perlu dirancang dengan
teliti dengan memberi perhatian kepada perkara-perkara seperti menyatakan
objektif eksplisit yang lebih tepat, aktiviti pengkayaan dan bimbingan khas
(pemulihan) dan penilaian sepanjang proses pembelajaran mengikut kebolehan
murid.
Kajian oleh Noor Azlan & Lim (2011) mendapati bahawa siswa guru yang
berjaya membuat persediaan rapi serta menulis buku rancangan mengajar
dengan baik akan dapat melaksanakan pengajaran dengan baik dan berkesan.
Manakala ketika berhadapan dengan murid, siswa guru berjaya menarik minat
mereka dengan menggunakan set induksi yang kreatif di samping memberi
pendedahan yang berbeza mengikut keupayaan murid yang pelbagai. Oleh
kerana siswa guru dapat melaksanakan semua langkah pengajaran yang
dirancang maka pengajaran dan pembelajaran dapat dijalankan dengan lancar.
Penguasaan siswa guru terhadap topik-topik yang diajar menyumbang kepada
kejayaan latihan mengajar.
Seterusnya kajian oleh Meor Ibrahim & Norziana (2010) pula mendapati
bahawa kebanyakan guru pembimbing menggalakkan siswa guru supaya
menggunakan pelbagai pendekatan, strategi dan kaedah mengajar bagi semua
tahap murid. Guru pembimbing turut memastikan pengajaran siswa guru
mencapai objektif pembelajaran yang telah ditetapkan dan aktiviti pengajaran
dan pembelajaran selaras dengan apa yang telah dirancang.

1458
Dapatan Ramachandran & Azni (2005) menunjukkan kesemua siswa
guru telah memperoleh ilmu pengetahuan dan kemahiran yang cukup dalam
aspek pengenalan kepada sukatan pelajaran, perancangan persediaan
mengajar, pelaksanaan pengajaran dan pembelajaran, pengujian dan
penilaian, pelbagai kaedah dan teknik pengajaran dan pembelajaran, dan
amalan refleksi yang membantu mereka menjalani program praktikum. Walau
bagaimanapun, mereka tidak memperoleh ilmu pengetahuan dan kemahiran
yang cukup dalam aspek pentadbiran dan pengurusan bengkel Kemahiran
Hidup.
Kajian Megat Aman Zahiri & Nor Kamsiah (2010) mendapati siswa guru
kurang diberi bimbingan dari segi meningkatkan profesionalisme perguruan.
Kebanyakan guru pembimbing lebih memberikan tumpuan kepada peranan
guru dalam tugas mengajar harian sahaja. Mereka kurang diberi bimbingan
mengenai aspek peningkatan profesionalisme keguruan.
Kajian oleh Noor Azlan & Lim (2011) mendapati bahawa kebanyakan
peningkatan dari segi nilai sahsiah dan sikap bertanggungjawab dalam
kalangan siswa guru semasa menjalani latihan mengajar adalah tidak berkaitan
dengan bimbingan guru pembimbing. Sementara itu kajian oleh Mohd Nor &
Ismail (2008); dan Radi Yahaya (2007) terhadap stres siswa guru praktikum
mendapati siswa guru yang kurang pengalaman mengajar banyak melakukan
kesilapan kerana mengalami perasaan gementar. Terdapat juga siswa guru
yang bersikap kurang bertanggungjawab, kurang pandai mengawal suasana
tegang dan konflik, kurang konsisten dan tidak mengakui kesilapan diri
(Kamalularifin et al. 2005; Nor Shafrin, Fadzilah & Rahimi 2009).
TUJUAN KAJIAN
Kajian ini bertujuan untuk mengkaji amalan Pedagogi Inklusif siswa guru
semasa praktikum Fasa lll dalam kalangan siswa guru PISMP opsyen
Pengajian Sosial di sekolah kebangsaan. Tumpuan kajian difokuskan kepada
amalan Pedagogi Inklusif siswa guru dalam enam aspek iaitu pengetahuan dan
kefahaman, perancangan pengajaran, pelaksanaan pengajaran, kemahiran
pengajaran dan pembelajaran, sikap dan sahsiah dan nilai profesionalisme
keguruan.
OBJEKTIF KAJIAN
Berdasarkan kepada tujuan kajian, antara objektif kajian yang ingin
dicapai dalam kajian ini adalah seperti berikut:-
1. Untuk mengenalpasti amalan Pedagogi Inklusif yang paling tinggi dalam
kalangan siswa guru semasa praktikum Fasa lll.
2. Untuk mengenalpasti tahap bagi enam aspek amalan Pedagogi Inklusif
dalam kalangan siswa guru semasa praktikum Fasa lll.
PERSOALAN KAJIAN
Secara am, kajian ini direka bentuk untuk mengkaji amalan Pedagogi
Inklusif siswa guru semasa praktikum Fasa lll dalam kalangan siswa guru
PISMP opsyen Pengajian Sosial di sekolah kebangsaan. Secara khususnya

1459
kajian ini dijalankan untuk menjawab tujuh persoalan kajian seperti yang
berikut:
1. Apakah amalan Pedagogi Inklusif yang paling tinggi dalam dalam kalangan
siswa guru semasa praktikum Fasa lll?
2. Apakah tahap amalan Pedagogi Inklusif siswa guru dalam aspek
pengetahuan dan kefahaman sebelum melaksanakan sesuatu pengajaran?
3. Apakah tahap amalan Pedagogi Inklusif siswa guru dalam aspek
perancangan pengajaran sebelum melaksanakan sesuatu pengajaran?
4. Apakah tahap amalan Pedagogi Inklusif siswa guru dalam aspek
pelaksanaan pengajaran semasa melaksanakan sesuatu pengajaran?
5. Apakah tahap amalan Pedagogi Inklusif siswa guru dalam aspek kemahiran
pengajaran dan pembelajaran semasa melaksanakan sesuatu pengajaran?
6. Apakah tahap amalan Pedagogi Inklusif siswa guru dalam aspek sikap dan
sahsiah semasa melaksanakan sesuatu pengajaran?
7. Apakah tahap amalan Pedagogi Inklusif siswa guru dalam aspek nilai
profesionalisme keguruan semasa melaksanakan praktikum Fasa lll?
METODOLOGI
Kajian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Sampel kajian terdiri
daripada 41 orang siswa guru PISMP Ambilan Januari 2011 opsyen Pengajian
Sosial. Instrumen yang digunakan adalah soal selidik yang terdiri daripada
tujuh bahagian iaitu Bahagian A: Maklumat Siswa Guru; Bahagian B:
Pengetahuan dan Kefahaman; Bahagian C: Perancangan Pengajaran;
Bahagian D: Pelaksanaan Pengajaran; Bahagian E: Kemahiran Pengajaran
dan Pembelajaran; Bahagian F: Sikap dan Sahsiah; dan Bahagian G: Nilai
Profesionalisme Keguruan. Bahagian B hingga G terdiri daripada 10 item.
Kajian rintis telah dijalankan ke atas 10 orang siswa guru PISMP Ambilan
Januari 2011 Pengkhususan TESL yang mengambil subjek Pendidikan Sivik
dan Kewarganegaraan. Analisis data kajian rintis menunjukkan nilai alfa
cronbach 0.965. Ini menunjukkan konstruk yang digunakan dalam kajian
mempunyai kebolehpercayaan yang tinggi.
Jadual 1.
Penentuan min

Bil Nilai Min Aras


1 4.01 hingga 5.00 Tinggi

2 3.01 himgga 4.00 Sederhana Tinggi

3 2.01 hingga 3.00 Sederhana Rendah

4 1.00 hingga 2.00 Rendah


Sumber: Nunnally, J.C. & Bernstein (1994)

1460
DAPATAN KAJIAN DAN PERBINCANGAN
Jadual 2.
Bilangan Responden Mengikut Kaum

Jantina Bilangan Peratus


Melayu 37 90.2
Cina 1 2.4
India 3 7.3
Jumlah Keseluruhan 41 100.0

Kesemua responden ini mengajar subjek Kajian Tempatan semasa


menjalani praktikum pada Fasa lll.

Jadual 3.
Min Keseluruhan Setiap Aspek Dalam Amalan Pedagogi Inklusif

Bil Aspek Pedagogi Inklusif min sp


1 Pengetahuan dan Kefahaman 3.95 .51
2 Perancangan Pengajaran 4.01 .43
3 Pelaksanaan Pengajaran 3.98 .45
4 Kemahiran Pengajaran & Pembelajaran 4.06 .36
5 Sikap dan Sahsiah 3.95 .45
6 Nilai Profesionalisme Keguruan 4.01 .40

Jadual 3 di atas menunjukkan dapatan keseluruhan kajian dalam setiap


amalan Pedagogi Inklusif siswa guru semasa mereka menjalani praktikum Fasa
lll. Perbincangan selanjutnya hanya akan merujuk kepada dapatan yang
menunjukkan min yang tinggi bagi setiap aspek dalam Amalan pedagigi
inklusif.
Jadual 4.
Amalan Pedagogi Inklusif Dalam Aspek Pengetahuan dan Kefahaman

Item Min Sp
Item Aspek Pengetahuan dan Kefahaman
5 Memilih strategi pengajaran yang bersesuaian dengan 4.27 .81
minat murid.
6 Menggunakan pengetahuan dalam aspek kecerdasan 4.37 .77
pelbagai untuk memperkembangkan potensi murid.
8 Mengetahui kandungan sukatan pelajaran yang diajar. 4.05 .92
9 Mengaplikasikan ilmu psikologi dalam konteks sebenar 4.34 .76
bilik darjah.
10 Mengetahui perubahan kurikulum yang dilaksanakan 4.49 .68
dalam KSSR.

Merujuk kepada Jadual 4, terdapat 5 item amalan Pedagogi Inklusif siswa


guru dalam aspek pengetahuan dan kefahaman berada pada tahap tinggi.

1461
Aspek pengetahuan dan kefahaman dengan min= 4.49 (sp= .68) adalah min
tertinggi, ini menunjukkan bahawa siswa guru telah mengetahui perubahan
kurikulum yang dilaksanakan dalam KSSR. Selain itu 4 item juga berada pada
tahap tinggi dengan min melebihi daripada 4.00. Ini menunjukkan siswa guru
menguasai pengetahuan dan kefahaman dalam Amalan Pedagogi Inklusif.
Jadual 5.
Amalan Pedagogi Inklusif Dalam Aspek Perancangan Pengajaran

Item Min Sp
Item Aspek Perancangan Pengajaran
2 Memberikan penekanan terhadap aspek perancangan set 4.05 .71
induksi sebelum memulakan pengajaran.
4 Merancang sumber pengajaran yang menarik perhatian 4.34 .69
murid yang pelbagai kecerdasan.
5 Perancangan penerapan nilai-nilai murni sesuai dengan 4.39 .70
kepelbagaian kecerdasan murid.
6 Menitikberatkan aspek KBKK dalam perancangan 4.00 .74
pengajaran.
8 Perancangan aktiviti pembelajaran yang menarik minat 4.20 .75
murid.
9 Merancang latihan yang sesuai untuk menguji pencapaian 4.22 .79
murid.

Berdasarkan Jadual 5, item yang mencatatkan min tertinggi dalam


aspek perancangan pengajaran adalah item ke 5 iaitu perancangan penerapan
nilai-nilai murni yang sesuai dengan kepelbagaian kecerdasan murid dengan
min= 4.34 (sp= .70). Selain itu 5 item juga berada pada tahap tinggi dengan
min melebihi daripada 4.00. Ini menunjukkan bahawa siswa guru dapat
merancang pengajaran yang sesuai dengan kepelbagaian kecerdasan murid
semasa melaksanakan pengajaran.
Jadual 6.
Amalan Pedagogi Inklusif Dalam Aspek Pelaksanaan Pengajaran

Item Min Sp
Item Aspek Pelaksanaan Pengajaran
2 Set induksi yang dilaksanakan berjaya menarik perhatian 4.46 .60
semua murid.
3 Sumber yang digunakan semasa melaksanakan 4.37 .70
pengajaran menarik minat semua murid.
6 Menekankan aspek KBKK semasa melaksanakan aktiviti 4.24 .62
pengajaran dan pembelajaran.
7 Melibatkan semua murid dalam aktiviti yang 4.31 .72
dilaksanakan.
10 Memberikan fokus kepada intonasi suara semasa 4.24 .62
melaksanakan pengajaran.

1462
Jadual 6 menunjukkan item ke 2 dalam aspek pelaksanaan
pengajaran iaitu set induksi yang dilaksanakan berjaya menarik perhatian
semua murid mencatatkan min tertinggi dengan min= 4.46 (sp= .60). Selain itu
4 item lain juga berada pada tahap tinggi dengan min melebihi daripada 4.00.
Ini menunjukkan bahawa siswa guru melaksanakan amalan Pedagogi Inklusif
dalam Pelaksanaan Pengajaran.
Jadual 7.
Amalan Pedagogi Inklusif Dalam Aspek Kemahiran Pengajaran
dan Pembelajaran

Item Min Sp
Item Aspek Kemahiran Pengajaran dan Pembelajaran
2 Mengaitkan isi pelajaran dengan konteks kehidupan 4.22 .72
seharian murid.
4 Berkebolehan menggunakan sumber pengajaran dengan 4.05 .71
berkesan.
6 Berkemahiran meningkatkan motivasi murid semasa 4.15 .61
proses pengajaran dan pembelajaran.
8 Bertutur dengan intonasi yang sesuai semasa 4.18 .67
mengendalikan aktiviti pengajaran dan pembelajaran.
9 Berkemampuan mengambilkira perbezaan individu dalam 4.12 .64
kalangan murid ketika melaksanakan pengajaran dan
pembelajaran.
10 Mengemukakan soalan yang mencabar untuk merangsang 4.29 .56
pemikiran murid.

Berdasarkan Jadual 7, dapatan kajian menunjukkan bahawa min tertinggi


amalan Pedagogi Inklusif dalam aspek kemahiran pengajaran dan
pembelajaran adalah dalam item ke 9 iaitu mengemukakan soalan yang
mencabar untuk merangsang pemikiran murid dengan min= 4.29 (sp= .56). Ini
menunjukkan bahawa siswa guru dapat soalan yang mencabar untuk
merangsang pemikiran murid semasa mereka melaksanakan pengajaran.
Selain itu 5 item juga berada pada tahap tinggi dengan min melebihi daripada
4.00. Dapatan ini menunjukkan siswa guru mengamalkan Pedagogi Inklusif
dalam aspek kemahiran pengajaran dan pembelajaran.
Jadual 8.
Amalan Pedagogi Inklusif Dalam Aspek Sikap dan Sahsiah

Item Min Sp
Item Aspek Sikap dan Sahsiah
2 Mampu mengawal emosi walaupun dalam keadaan yang 4.42 .59
tertekan.
3 Menunjukkan sikap yang prihatin terhadap keperluan murid. 4.31 .69
6 Rasa bersalah apabila gagal mencapai objektif pengajaran 4.27 .63
dan pembelajaran.

1463
7 Bersikap profesional ketika berbincang dengan pensyarah 4.24 .70
penyelia.
10 Peka terhadap persekitaran bilik darjah. 4.17 .63

Jadual 8 di atas menunjukkan item 2 iaitu siswa guru mampu


mengawal emosi walaupun dalam keadaan yang tertekan dengan min= 4.42
(sp= .59). Ini menunjukkan bahawa siswa guru mampu mengawal emosi
walaupun dalam keadaan tertekan dengan kerenah murid yang pelbagai.
Selain itu 4 item lain juga berada pada tahap tinggi dengan min melebihi
daripada 4.00. Dapatan ini menunjukkan siswa guru mempunyai sikap dan
sahsiah yang sesuai dalam Amalan Pedagogi Inklusif.
Jadual 9.
Amalan Pedagogi Inklusif Dalam Aspek Nilai Profesionalisme Keguruan

Item Min Sp
Item Aspek Nilai Profesionalisme Keguruan
2 Menunjukkan penampilan diri yang sesuai dengan 4.22 .69
profesion keguruan.
4 Menggunakan kemahiran berkomunikasi dengan 4.02 .72
berkesan semasa mengendalikan pengajaran dan
pembelajaran.
5 Tidak memberi alasan kesuntukan masa apabila 4.02 .69
menghasilkan kerja yang berkualiti rendah.
8 Menunjukkan teladan yang baik kepada murid. 4.17 .70
9 Mengemukakan banyak idea untuk meningkatkan mutu 4.07 .65
perkhidmatan.
10 Perkembangan profesionalisme guru meningkat setelah 4.14 .69
menerima teguran daripada pensyarah penyelia.

Seterusnya Jadual 9 menunjukkan item ke 2 iaitu penampilan diri yang


sesuai dengan profesion keguruan dengan min= 4.22 (sp= .69) adalah min
tertinggi. Ini menunjukkan bahawa siswa guru dapat menunjukkan penampilan
diri yang sesuai dengan profesion keguruan walaupuan mereka berhadapan
dengan murid yang terdiri daripada pelbagai latar belakang. Selain itu 5 item
lain juga berada pada tahap tinggi dengan min melebihi daripada 4.00.
Rumusan kajian dalam aspek nilai profesionalisme keguruan mendapati siswa
guru mengamalkan Pedagogi Inklusif dengan baik
RUMUSAN
Dapatan kajian ini menunjukkan bahawa terdapat Amalan Pedagogi
Inklusif dalam kalangan siswa guru PISMP major Pengajian Sosial semasa
menjalani praktikum Fasa lll. Kajian menunjukkan siswa guru telah
mengamalkan Pedagogi Inklusif dengan baik dalam aspek Perancangan
Pengajaran, Kemahiran Pengajaran dan Pembelajaran, serta Nilai
Profesionalisme di mana min bagi ketiga-tiga aspek ini melebihi 4.0. Manakala
bagi aspek Perancangan Pengajaran, Pelaksanaan Pengajaran dan Sikap dan
Sahsiah menunjukkan min adalah sederhana tinggi iaitu kurang dari 4.0.

1464
Dapatan ini selari dengan kajian oleh Muainah (2000) bahawa persediaan
mengajar perlu dirancang dengan teliti dengan memberi perhatian kepada
perkara-perkara seperti menyatakan objektif eksplisit yang lebih tepat, aktiviti
pengkayaan dan bimbingan khas (pemulihan) dan penilaian sepanjang proses
pembelajaran mengikut kebolehan murid. Kajian ini juga selari dengan dapatan
kajian oleh Noor Azlan & Lim (2011) mendapati bahawa siswa guru yang
berjaya membuat persediaan rapi serta menulis buku rancangan mengajar
dengan baik akan dapat melaksanakan pengajaran dengan baik dan berkesan.
Manakala ketika berhadapan dengan murid, siswa guru berjaya menarik minat
mereka dengan menggunakan set induksi yang kreatif di samping memberi
pendedahan yang berbeza mengikut keupayaan murid yang pelbagai. Dapatan
ini dikukuhkan lagi dengan kajian oleh Meor Ibrahim & Norziana (2010) iaitu
menggunakan pelbagai pendekatan, strategi dan kaedah mengajar bagi semua
tahap murid memberi kesan kepada proses pembelajaran.
CADANGAN
Para penyelidik mencadangkan agar kajian selanjutnya dilakukan dengan
menjadikan Pedagogi Inklusif sebagai sebahagian kursus major. Mata
pelajaran ini harus dijadikan sebagai satu subjek khas supaya siswa guru dapat
memahami, mengenalpasti dan mengaplikasikan elemen-elemen Pedagogi
Inklusif dalam persediaan dan pelaksanaan pengajaran dan pembelajaran di
sekolah. Kajian berbentuk kualitatif juga harus dilakukan untuk mengukuhkan
dapatan dan melihat lebih dalam masalah yang berlaku dalam melaksanakan
Pedagogi Inklusif. Seterusnya, para penyelidik mencadangkan kajian dibuat
untuk melihat persamaan dan perbezaan pelaksanaan Pedagogi Inklusif antara
siswa guru pengkhususan dan bukan pengkhususan.
DAFTAR RUJUKAN
Bahagian Pendidikan Guru. 2005. Garis Panduan Praktikum: Latihan
Perguruan Praperkhidmatan Mode Latihan Perguruan Berasaskan
Sekolah. Kementerian Pelajaran Malaysia.
Florian, L. dan Spratt, J. (2013). Enacting Inclusion: A Framework for
Interrograting Inclusive Practice. European Journal of Special Needs
Education. 28(2). pp. 119-135.
Kamalularifin Subari, Muhammad Sukri Saud, Adnan Ahmad & Mohd Ali
Jemali. 2006. Tahap keterampilan emosi guru-guru pelatih opsyen
kemahiran hidup Kursus Perguruan Lepasan Ijazah dan Kursus Diploma
Perguruan Malaysia di dua buah maktab Negeri Johor. Fakulti
Pendidikan. Universiti Teknologi Malaysia.
Megat Aman Zahiri Megat Zakaria & Nor Kamsiah Kamarul Jaeh. 2010.
Persepsi guru pelatih terhadap proses penyeliaan dan bimbingan yang
diberikan oleh penyelia pembimbing bagi program latihan mengajar
Universiti Teknologi Malaysia, Fakulti Pendidikan, Universiti Teknologi
Malaysia.
Meor Ibrahim Kamaruddin & Norziana Anuar. 2010. Tinjauan terhadap tahap
penyeliaan guru pembimbing terhadap guru pelatih semasa menjalani
latihan mengajar, Fakulti Pendidikan, Universiti Teknologi Malaysia.

1465
Mohd Nor Jaafar & Ismail Mat Ludin. 2008. Kajian stres guru pelatih praktikum
KPLI j-QAF. MPSAH. Kedah DarulAman. Jurnal Penyelidikan 13: 22-26.
Muainah Ismail. 2000. Bimbingan guru pembimbing terhadap guru pelatih STP,
UTM semasa menjalani latihan mengajar. Universiti Teknologi Malaysia,
Skudai.
Noor Azlan Ahmad Zanzali & Lim Wee Mei. 2011. Bimbingan oleh guru
pembimbing kepada guru pelatih UTM. Journal of Educational
Psychology and Counseling 2011(1): 59-76.
Nor Shafrin Ahmad, Fadzilah Amzah & Rahimi Che Aman. 2009. Kemahiran
komunikasi guru pelatih Universiti Sains Malaysia. Jurnal Pendidik dan
Pendidikan 24: 125-142.
Nunnally, J.C. & Bernstein. 1994. Psychometric theory. (Edisi ketiga). New
York: MacGraw-Hill
Radi Yahaya. 2007. Amalan penyeliaan pengajaran terhadap guru-guru sains
di sekolah menengah daerah Muar Johor. Universiti Teknologi Mara.
Ramachandran Vengrasalam & Azni Jaffar. 2005. Persepsi guru pelatih tentang
keberkesanan pelaksanaan sukatan pelajaran kemahiran hidup Kursus
Perguruan Lepas Ijazah (KPLI) dalam membantu mereka menjalani
program praktikum-satu tinjauan dari aspek pedagogi. Maktab Perguruan
Batu Pahat. Jurnal Pendidikan 9: 23-27.

1466

Anda mungkin juga menyukai