Anda di halaman 1dari 80

ISU-ISU SEPUTAR SUNNAH

(Studi Perbandingan Ahl Al-Sunnah dan Syi’ah Imamiyah)


ii
ISU-ISU SEPUTAR SUNNAH
(Studi Perbandingan Ahl Al-Sunnah dan Syi’ah Imamiyah)

Drs. Faisol Nasar Bin Madi, M.A.

iii
ISU-ISU SEPUTAR SUNNAH
(Studi Perbandingan Ahl Al-Sunnah dan Syi’ah Imamiyah)

Pertama kalii diterbitkan dalam bahasa Indonesia


Oleh Penerbit Pustaka Radja, Maret 2011, edisi Revisi 2017
Kantor Jl. Jum’at No. 69 Karang Mluwo, Mangli, Jember
085852455816. 081233475221

Penulis : Drs. Faisol Nasar Bin Madi, M.A.


Editor : MN. Harisuddin, M.Fil.I
Layout dan desain sampul : Lutfianto

Hak cipta dilindungi undang-undang


Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit

Xi + 70; 14,8 x 21 cm
ISBN: 978-602-98990-0-9

Isi diluar tanggung jawab percetakan C.V. Pustaka Radja

iv
KATA PENGANTAR

Hingga kini, masalah perbedaan Sunni-Syiah merupakan


salah satu topik menarik yang banyak dikaji. Bukan hanya karena
perbedaan Sunni-Syiah merupakan kerikil tajam atas tegaknya
Ukhuwah Islamiyah secara umum, namun secara de facto
perbedaan justru melahirkan kajian-kajian yang begitu banyak
antara dua kutub kelompok Islam yang sering dihadap-hadapkan
vis a vis secara diametral tersebut.
Salah satu titik tolak perbedaan antara Sunni-Syiah adalah
tentang konsep Sunnah. Bagi kalangan Sunni, yang disebut
Sunnah adalah sesuatu yang disandarkan pada Nabi Muhammad
Saw, baik dari aspek perktaan, perbuatan maupun taqrirnya.
Namun, kalangan Syi’ah tidak hanya menyandarkan Sunnah pada
Nabi Muhammad semata, melainkan juga pada Imam Syi’ah yang
berjumlah dua belas. Artinya, perkataa imam mereka juga
dianggap sebagai sunnah.
Dengan demikian, bagi kalangan Syi’ah Imamiyah, mereka
juga merupakan pengambilan dasar otoritas keagamaanya pada
imamnya tanpa harus bersandar pada Rasulullah Saw. Pandangan
Syi’ah ini sealur dengan pandangan mereka bahwa para Imam
Syi’ah adalah ma’sum, terhindar dari cela dan kesalahan. Ini tentu
berbeda dengan kalangan Ahlussunnah yang harus mendasarkan

v
segala sesuatu pada Nabi Muhammad Saw dan hanya memandang
sifat ma’sum hanya pada Rasulullah.
Dus, menurut Syi’ah Imamiyah, bawah Allah Swt wajib
memberi sifat ishmah pada para imam tersebut. Karena, tanpa
adanya sifat ishmah ini, para imam ini dikhawatirkan
menyampaikan pesan keagamaan berdasar hawa nafsu belaka.
Oleh karena itu, mereka berpandangan bahwa yang muncul dari
para imam mereka tak lain adalah wahyu Allah Swt yang tidak
berbeda dengan hadits Nabi.
Demikianlah, masih banyak isu seputar Sunnah antara
pemikiran Sunni-Syiah. Kami berharap buku ini dapat membuka
mata kita, betapa perbedaan pemahaman Sunni-Syiah adalah fakta
yang tak dapat dipungkiri. Perbedaan bukan hal yang harus dicaci
apalagi dimusnahkan, namun sebagai jalan untuk saling mengerti
dan memahami satu dengan lainnya, demi menampakkan Islam
yang rahmatan lil alamin.
Kami segenap kru Penerbit Pustaka Radja mengucapkan
terima kasih pada Bapak Faisol Nasar Bin Madi yang
mempercayakan buku ini untuk diterbitkan kami.
Akhirnya, selamat membaca!

Mangli, 22 Maret 2011

vi
DAFTAR ISI

Kata Pengantar .......................................................................... v


Daftar Isi .................................................................................... vii

Bab I Konsep Sunnah Menurut Jumhur


A. Otoritas Sunnah menurut Jumhur ............................ 1
B. Pengertian Sunnah menurut Jumhur.......................... 8
C. Sunnah sebagai Hujjah ................................................ 13
1. Kehujjahan Sunnah dalam al-Qur’an ................... 14
2. Kehujjahan Sunnah dalam Hadis. ............................. 16
3. Kehujjahan Sunnah Secara Nalar ......................... 22
4. Kehujjahan Sunnah Menurut Ijma’ ...................... 23
5. Upaya Jumhur Dalam Pengumpulan Hadits Dan
Pembukuannya.................................................................. 24
a. Hadis Pada Masa Rasulullah SAW .............. 26
b. Hadis Pada Masa Sahabat (Khulafa' Ar Rasyidin) 27
c. Hadis Pada Masa Tabi'in .............................. 31
d. Hadis Pada Masa Kodivikasi ......................... 33
e. Hadis Pada Masa Seleksi, Pengembangan dan
Penyempurnaan .............................................. 34
Bab II konsep Sunnah Menurut Syi’ah Imamiyah
A. Otoritas Sunnah menurut Syi’ah Imamiyyah ............. 39
B. Pengertian Sunnah menurut Syi’ah Imamiyyah ........ 42
C. Sunnah Sebagai Hujjah ............................................... 44

vii
D. Upaya syi’ah dalam pengumpulan hadits .................. 44
1. Kodifikasi Sunnah Pada Masa Rasulullah SAW . 45
2. Penulisan Hadis dimasa Tabi’in dan
Tabi’u at-Tabi’in.................................................... 49
E. Pengaruh konsep Imamah terhadap Konsep Sunnah 54

Bab III Kesimpulan .................................................................. 61

Daftar Pustaka ........................................................................... 67


Biografi Penulis ......................................................................... 70

viii
Isu-Isu Seputar Sunnah
Study Perbandingan ahl As-Sunnah dan Syi’ah Imamiyah) 1

Bab 1
Konsep Sunnah
Menurut Jumhur

A. Otoritas Sunnah menurut Jumhur


As-Sunnah,1 merupakan bagian dari wahyu Allah, yang isi
dan kandungannya dilafadzkan oleh Rasulullah SAW.2 Hal ini
menunjukkan bahwa as-Sunnah memiliki otoritas yang sama pen-
tingnya dengan al-Qur‟an,3 yaitu selaku sumber penjelas isi kan-

1 Yang dimaksud sunnah dalam penulisan ini adalah segala sesuatu yang datang-
nya dari Nabi SAW, berupa perkataan, perbuatan atau juga penetapannya. Sebagaimana
yang telah dipaparkan oleh pakar hadis, fiqih ataupun ushul fiqh. Bukan sunnah yang
berarti Sesuatu yang mendapat pahala dalam mengerjakannya dan tidak mendapat dosa
apabila ditinggalkan, sebagaimana konsep dalam bab fiqih tentang wajib, sunnah, ma-
kruh dan lain sebagainya. Lihat, H. Sulaiman Rasjid. Al-Fiqh al-Islami.(Bandung : Sinar
Baru Al-Gensindo. 2009). Hlm.1
2 Sebagaimana yang telah disematkan didalam Al-Qur‟an “nabi Muhammad tidak

akan berkata kecuali perkataannya merupakan wahyu yang datangnya dari Allah SWT” (An-
Najm : 3-4). Dikisahkan bahwa pada suatu saat Abdullah ibn Umar menulis segala sesua-
tu yang muncul dari Rasulullah SAW untuk diingat dan dihafalnya. Kemudian ada seba-
gian dari kaum Quraiys yang melihatnya dan berkata kepadanya “ mengapa engkau me-
nulis segala sesuatu yang datangnya dari Rasulullah SAW, beliau adalah seorang manusia
sebagaimana kita? Yang terkadang beliau juga bisa marah sebagaimana kita. Maka ber-
hentilah ibn Umar, kemudian disampaikanlah peristiwa ini kepada Rasulullah SAW,
beliau menjawab. “tulislah apa yang engkau dengar dariku, demi Dzat yang diriku dalam
kekuasaannya, sesungguhnya tidaklah terucap dari diriku kecuali yang hak. lihat (Abu al-
Fida‟ Ismail ibn Umar ibn Katsir al-Qursyiyyi al-Dassyaq, Tafsir ibn Katsir.(Dar at-
Thaibah : 1999) Juz 7. hlm. 443
3 Dalam hal ini imam Ahmad berkata “mencari hukum dalam Al-Qur‟an harus-
lah melalui al-Hadits, demikan pula halnya mencari agama. Jalan yang telah dibentang
untuk mempelajari fiqhi Islam dan syari‟atnya ialah melalui al-Hadits atau sunnah,
lihat, (M. Noor Sulaiman, Antologi Ilmu Hadits. (Jakarta: Gaung Persada Press,
Isu-Isu Seputar Sunnah
2 Study Perbandingan ahl As-Sunnah dan Syi’ah Imamiyah)

dungan ajaran Islam yang termuat didalam maupun diluar al-


Qur‟an. Oleh sebab itu, menurut jumhur al-Ulama‟ Sunnah memi-
liki posisi sangat dominan dan peran yang sangat urgent dalam
perkembangan wacana Islam, wabil khusus perihal yang berkaitan
dengan hukum, sebagaimana yang telah diriwayatkan dalam Su-
nan Ibn Majah “Ingatlah, dan sesungguhnya apa yang diharamkan Rasu-
lullah adalah sama seperti apa yang diharamkan Allah"4
Jumhur Ulama‟ (mayoritas ulama) berpandangan bahwa
Sunnah merupakan perangkat yang dapat menjelaskan hukum-
hukum Allah yang masih bersifat Mujmal (Global). Oleh kare-
nanya dalam rangka mengungkap kandungan firman Tuhan, me-
reka terlebih dahulu merujuk kepada Hadis/Sunnah, seperti dalam
kasus pelaksanaan shalat. Didalam al-Qur‟an, pembahasan ten-
tang shalat hanya berkisar pada kewajiban dan waktu-waktunya
saja. Namun, pembahasan yang lebih detail mengenai tatacara
pelaksanaan maka harus merujuk kepada ajaran Rasul dalam hal
ini beliau bersabda “Shalluu kama Ra‟aitumuny ushally” (shalatlah
kalian sebagaimana aku melaksanakaannya).5
Selanjutnya Jumhur Ulama kembali menegaskan bahwa Sun-
nah merupakan Hujjah yang menempati posisi kedua setelah al-
Qur‟an dalam rangka beristidlal (penyandaran dalil dalam masalah
hukum), penegasan tersebut menjadi tampak setelah adanya kon-
sensus (Ijma‟) atas keharusan merealisasikan hukum yang muncul

2008) hal 37
4 Muhammad ibn Yazid Abu Abdillah al-Quzwaini, Sunan Ibn Majah, (Saudi:

Thab‟at al-Arabiyah. 1984), Juz 1, hlm 10


5 Muhammad ibn Ismail Abu Abdillah al-Bukhary, Shahih al-Bukhary (Dar

Ibn Katsir, Bairut : 1987 ) Juz 5, hlm 2238.


Isu-Isu Seputar Sunnah
Study Perbandingan ahl As-Sunnah dan Syi’ah Imamiyah) 3

dari sabda Rasulullah SAW. 6 Seperti dalam sebuah riwayat yang


menceritakan tentang seorang wanita yang datang kepada Abdul-
lah ibn Mas‟ud. “Aku beritahu bahwa engkau melarang menyambung
rambut ?. beliau menjawab, “benar”, dia bertanya lagi, “adakah larangan
tersebut engkau temukan didalam kitabullah atau engkau mendengarnya
dari Rasulullah SAW.? “Aku menemukannya didalam kitabullah dan
telah dari Rasulullah SAW tentang larangan tersebut”. Ia berkata “demi
Allah saya telah membolak-balik setiap lembar mushaf, tetapi saya tidak
menemukan didalamnya apa yang engkau katakana itu. Beliau berkata
“apakah engkau menemukan didalamnya ? apa yang diberi Rasul kepa-
damu, maka terimalah dia. Dan apa-apa yang telah dilarangnya bagimu,
maka tinggalkanlah.7 Ia menjawab “benar”, lalu beliau berkata “sesung-
guhnya saya mendengar Rasulullah SAW melarang al-Namisyah, al-
Wasyirah, al-Washilah, dan al-Wasyimah, kecuali karena penyakit.8
Begitupun dalam hal Rasul sebagai pejelas atas sebagian
ayat yang bersifat mujmal (global), Al-Qur‟an sendiri mene-
gaskannya Allah berfirman “Dan Kami menurunkan kepada kamu
adz-dzikr, agar engkau menjelaskan kepada manusia tentang apa yang
telah diturunkan kepada mereka." 9
Dalam perkembagan selanjutnya para pakar menginterpre-

6 Abd al-Ghina abd al-Khaliq. Hujjiyyah as-Sunnah.(Amirikiyyah : al-Ma‟had

al-Alami, 1995). Hlm 342. Dalam kitab al-Risalah, Imam as-Syafii menyatakan “wijhat al-
ilmi al-khabar fi al-kitab,aw as-Sunnati, aw al-Ijma‟i aw al-Qiyasi” (rujukan hukum ialah al-
kitab, sunnah, ijma‟ dan qiyas) lihat (ar-Risalah (Muhammad ibn idris as-Syafi‟i, ar-
Risalah, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah)
7 Al-Hasyr : 7
8 Al-Namisyah, adalah wanita yang mencabut rambut dari wajahnya, al-Wasyirah

adalah seorang wanita yang melancipkan giginya dan menipiskan ujungnya agar tampak
lebih muda. Al-Washilah adalah wanita yang menyambung rambutnya dengan rambut
lain. Lihat, Ahmad ibn Hanbal Musnad Imam Ahmad. Juz IV, hlm 21
9 An-Nahl : 44
Isu-Isu Seputar Sunnah
4 Study Perbandingan ahl As-Sunnah dan Syi’ah Imamiyah)

tasikan kata al-Mubin atau Bayan (Rasul sebagai penjelas terhadap


ayat Al-Qur‟an) dengan beberapa pandangan yang berbeda, seba-
gaimana berikut :
a. Menurut ulama Ahli Ra‟yi, penjelasan Hadis terhadap Al-
Qur‟an ialah sebagai berikut
1) Bayan Taqrir, yaitu keterangan yang didatangkan oleh
Sunnah untuk memperkokoh apa yang telah diterangkan
oleh al-Qur‟an.
2) Bayan Tafsir, yaitu menjelaskan terhadap apa-apa yang ki-
ra-kira tidak mudah diketahui (pengertiannya tersem-
bunyi), seperti ayat-ayat yang mujmal (global) dan yang
mustarak fihi (mengandung dua makna atau lebih).
3) Bayan Tabdil atau Bayan Nasakh, yaitu mengganti hukum
atau menasakhnya.
4) Menuurut Imam Malik, Bayan al-Hadis terbagi menjadi
lima :
1) Bayan Taqrir, Yaitu menerangkan dan mengokohkan hu-
kum al-Qur‟an, bukan men-tawdhih (memperjelas), men-
Taqyid (membatasi) yang mutlak, atau men-Takhsis
(mengkhususkan) yang am (umum),
2) Bayan Tawdhih (Bayan tafsir) yaitu menerangkan maksud-
maksud ayat yang difahami oleh para sahabat, namun
pemahaman mereka berlainan dengan yang dimaksud
oleh ayat itu sendiri.
3) Bayan Tafshil, yaitu menjelaskan tentang keumuman (ke-
mujmamalan) al-Qur‟an, seperti tentang penjelasan beliau
tentang shalat.
Isu-Isu Seputar Sunnah
Study Perbandingan ahl As-Sunnah dan Syi’ah Imamiyah) 5

4) Bayan Tabshit (Bayan ta‟wil), yaitu memperluas keterangan


terhadap yang diringkas keterangannya.
5) Bayan Tasyri‟, yaitu menetapkan suatu hukum yang tidak
ditetapkan dalam Al-Qur‟an, seperti memberikan putu-
san hukum, dengan bersandar kepada seorang saksi dan
sumpah apabila si penggugat atau penuduh tidak memi-
liki dua orang saksi.
b. Muhammad ibn Idris as-Syafi‟i, menetapkan bahwa penjela-
san Hadis terhadap Al-Qur‟an terbagi menjadi lima.
1) Bayan Tafsil, yaitu menjelaskan ayat-ayat yang sifatnya
mujmal, (yang sangat ringkas petunjuknya).
2) Bayan Takhsish, yaitu menentukan Sesuatu yang menentu-
kan dari keumuman ayat.
3) Bayan Ta‟yin, yaitu menentukan yang dimaksud dari dua
atau tiga perkara yang mungkin dimaksudkan.
4) Bayan Tasyri‟, yaitu menentukan sesuatu hukum yang ti-
dak ditemukan dalam al-Qur‟an.
5) Bayan Nasakh, yaitu menentukan mana ayat-ayat Al-
Qur‟an yang menghapus (Nasikh), dan mana yang diha-
pus (Mansukh) dari ayat-ayat Al-Qur‟an yang tampak ber-
tentangan (Ta‟arudh)
c. Ahmad ibn Hanbal sangat sepakat dengan gurunya, Imam as-
Syafi‟i, bahkan lebih keras lagi pendiriannya. Ibn Qayyim al-
Jauziyyah menjelaskan pendapat Ahmad ibn Hanbal, bahwa
penjelasan Sunnah terhadap Al-Qur‟an terbagi menjadi empat
:
1) Bayan Ta‟qid, (Bayan Taqrir), yaitu ketika Sunnah sangat se-
Isu-Isu Seputar Sunnah
6 Study Perbandingan ahl As-Sunnah dan Syi’ah Imamiyah)

suai petunjuknya dengan petunjuk Al-Qur‟an dari segala


arah.
2) Bayan Tafsir, yaitu menjelaskan suatu hukum al-Qur‟an,
yakni menjelaskan apa yang dimaksud oleh al-Qur‟an.
3) Bayan Tasyri‟, yaitu menetapkan hukum yang didiamkan
oleh Al-Qur‟an (yang tidak dijelaskan hukumnya).
4) Bayan Taksish dan Taqyid, yaitu mengkhususkan Al-
Qur‟an dan men-taqyidnya.10
Otoritas Sunnah, sebagaimana dijelaskan diatas, merupakan
hal yang bersifat Dharury (pasti diketahui) oleh mayoritas penga-
nut Ahlussunnah dan tidak terdapat pertentagan didalamnya.
Hanya saja dalam fase berikutnya khususnya dalam tataran pera-
wi. Hal ini, disebabkan, terkadang Sunnah itu diriwayatkan oleh
seorang perawi (Hadits ahad), atau terkadang diriwayatkan oleh
perawi yang banyak sehingga tidak perlu diragukan atas kebena-
rannya (Hadis mutawatir). Dari sisi inilah kemudian kalangan
ulama berpolemik, wabilkhusus mengenai Hadis Ahad, yang kemu-
dian ada justifikasi, layakkah Hadis Ahad dijadikan sebagai rujukan
hukum.
Dalam penilaian Hadis kalangan ulama membatasinya pada
tingkatan tabi‟in tidak sampai pada tingkatan sahabat, karena
jumhur ulama sepakat tentang adilnya kalangan sahabat. Sehingga
tidak membutuhkan penelitian tentang mereka.
Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan, pada dasarnya po-
lemic yang berkembang dalam wacana Hadis ialah pada tataran

10 Muhammad Hasbi al-Shidiqie, Sejarah Dan Pengantar Ilmu Hadis (Jakarta : Bu-

lan Bintang . 1980). Hlm. 61


Isu-Isu Seputar Sunnah
Study Perbandingan ahl As-Sunnah dan Syi’ah Imamiyah) 7

perawinya sehingga berdampak pada penilaian Hadis, apakah


termasuk Hadis mutawatir atau Hadis ahad. Sehingga berimplikasi
pada adanya klaim apakah Hadis itu dapat dijadikan sebagai ruju-
kan hukum atau tidak manakala Hadis itu termasuk Hadis ahad.
Berikut perbedaan mereka mengenai Hadis ahad:
a. Sebagian dari mereka, berpandangan bahwa, tidak perlu di-
bedakan antara Hadis ahad ataupun mutawatir, karena tidak
ada satupun perangkat ilmu yang bisa melacak dengan benar
apakah ketika Hadis itu ahad datangnya bukan dari Rasul, atau
sebaliknya. Atau tidak ada satupun ilmu yang dapat mengan-
tarkan kita kepada sebuah penilain, bahwa, ketika Hadis itu
mutawatir maka pasti datangnya dari Rasul atau sebalikanya.
Sehingga dari sisi ini, maka secara mutlak manakala ada Sun-
nah atau Hadis yang disandarkan kepada Rasulullah SAW,
maka wajib diamalkan tampa membedakan dalam periwatan-
nya.
b. Ada yang memiliki pandangan bahwa, hanyalah Hadis muta-
watir yang dapat dijadikan sebagai hujjah dalam hukum Islam,
dan mereka menolak secara mutlak terhadap Hadis ahad.
c. Sebagian yang lain, mengambil kedua-duanya yaitu Hadis
mutawatir dan Hadis ahad. Khusus dalam Hadis ahad, mereka
memberi persayaratan dalam periwayatnya, manakala Hadis
ahad tersebut memenuhi persyaratan maka dapat dijadikan
sebaga hujjah dalam hukum Islam. Dalam persayaratan Hadis
ahad inilah terdapat kontradiksi yang sangat banyak diantara
mereka. Seperti kelompok hanafiyyah, malikiyyah, Syafi‟iyyah
dan lain-lain.
Isu-Isu Seputar Sunnah
8 Study Perbandingan ahl As-Sunnah dan Syi’ah Imamiyah)

Meski terdapat beberapa pandangan tantang Hadis khu-


susnya dalam Hadis ahad sebagamana diatas, walhasil, semua
perbedaan tersebut bukan dalam masalah matan Hadis, melain-
kan dalam tataran periwayat Hadis, sehingga dapatlah diambil
benang merah bahwa Hadis tersebut manakala sudah ditetapkan
datangnya dari Rasulullah SAW. Maka semua ulama akan mene-
rimanya sebagai hujjah.

B. Pengertian Sunnah menurut Jumhur


Secara etimologi, Sunnah berarti jalan atau jejak, baik yang ter-
tuju kepada jalan yang buruk ataupun yang baik, Allah berfirman
Sebagai suatu sunnatullah yang Telah berlaku sejak dahulu, kamu
sekali-kali tiada akan menemukan peubahan bagi sunnatullah itu.11 (al-
Fath)
Dan didalam Hadis disebutkan :
ٍََّٛ‫ّ حَط‬ٍُٖٛ‫ ا ِإلضِالًَِ ض‬ٜٔ‫ « وََِ ضََٖ ؾ‬-‫ اهلل عمْٗ ٔضمي‬ٜ‫صم‬- َّْٔ‫قَاهَ َزضُٕهُ الم‬
ِ‫ؾَعُىٔنَ بَّٔا بَعِدَُٓ كُٔتبَ لَُْ ؤجِنُ أَ ِجسِ وََِ عَىٔنَ بَّٔا َٔالَ ٍَِٖقُصُ ؤَِ أُجُٕزِِٔي‬
ِ‫ّ ؾَعُىٔنَ بَّٔا بَعِدَُٓ كُٔتبَ عَمَِْٗٔ ؤجِنُ ِٔشِز‬َٛ٠َِّٗ‫ّ ض‬ٍُٖٛ‫ ا ِإل ِضالًَِ ض‬ٜٔ‫ْ َٔوََِ ضََٖ ؾ‬ِٜٞ‫َش‬
» ِْٜٞ‫وََِ عَىٔنَ بَّٔا َٔالَ ٍَِٖقُصُ ؤَِ أَِٔشَازِِٔيِ َش‬
Rasulullah SAW bersabada, barang siapa yang melakukan perilaku baik,
kemudian diikuti oleh orang-orang setelahnya maka baginya pahala seorang
yang melakukan perbuatan sepertinya, tampa mengurangi sedikitpun pahala

11 Al-Fath : 23
Isu-Isu Seputar Sunnah
Study Perbandingan ahl As-Sunnah dan Syi’ah Imamiyah) 9

yang diperbuatnya, dan barang siapa melakukan perilaku jelek dalam Is-
lam, kemudian diikuti orang setelahnya maka baginya dosa seorang yang
melakukan kejelekan setelahnya, tampa mengurangi dosa orang setelahh-
nya.12
Dari penjelasan tersebut dapat difahami, bahwa yang di-
maksud Sunnah secara bahasa adalah jejak dan lampah. Secara
Syara‟ ialah perintah ataupun larangan yang datangnya dari Nabi
SAW, atau juga sesuatu yang disunnahkan oleh beliau, baik be-
rupa ucapan atau perilaku, selama semua itu tidak tertuang dalam
al-Qur‟an. Oleh karenanya, dikatakan, dalil yang dapat dijadikan
sandaran huku dalam syri‟at Islam ialah al-Kitab dan as-Sunnah.13
Namun kemudian, pendefinisian Sunnah secara termenolo-
gi para pakar berbeda pandangan, tergantung fan ilmu yang dite-
kuninya, seperti definisi Sunnah yang dimunculkan oleh pakar
Hadis akan berbeda dengan definisi yang dimunculkan oleh pakar
Fiqh, atau juga akan berbeda dengan pakar Ushul Fiqh
a. Ulama ahli hadits mendefinisikan Sunnah “sebagai, perkataan,
pekerjaan, ketetapan, sifat (watak budi atau jasmani); atau
tingkah laku Nabi Muhammad saw, baik sebelum menjadi
Nabi maupun sesudahnya.14
Pengertian Sunnah, sebagaimana yang telah dimun-
culkan oleh pakar Hadits sebagaimana dilansir diatas, ialah di-

12Abu al-Husain Muslim ibn al-Hujaj ibn Muslim al-Qsyairi an-Naisabury, Sha-
hih Muslim, (Dar al-Jail : Bairut, tt) Juz 1, hal 705
13 Muhammad ibn Mukrom Ibn mandzur al-Afriqy al-Mishry, Lisan al-Arab,
(Dar al-Shadir : Bairut, tt) Juz 1, hal 2124
14 Muhammad Ujaj al-Khatiby, as-Sunnah Qabla at-Tadwin, (Maktabah Wahbah :

Kairo, 1988) hal. 15


Isu-Isu Seputar Sunnah
10 Study Perbandingan ahl As-Sunnah dan Syi’ah Imamiyah)

latar belakangi atas objek tinjauan mereka mengenai Rasulul-


lah SAW yaitu “Rasulullah merupakan seorang pemberi petunjuk,
suri tauladan dan pembawa Rahmat bagi seluruh alam” dari latar be-
lakang pemahaman inilah kemudian mereka memunculkan
definisi Sunnah sebagaimana diatas, dengan tampa memper-
timbangkan apakah yang muncul dari Rasulullah tersebut be-
rupa hukum atau bukan. Dalam artian segala sesuatu yang da-
tangnya dari Rasulullah SAW maka secara mutlak dikatakan
Sunnah)
b. Pakar Ushul Fiqih mendefinisikan Sunnah adalah sabda Nabi
Muhammad saw. yang bukan berasal dari al-Qur‟an, peker-
jaan, atau ketetapannya.15
Pengertian Sunnah yang telah dimunculkan oleh pakar
Ushul Fiqh sebagaimana dilansir diatas memiliki latar belakang
pada pemahaman mereka tentang Rasulullah SAW. Bagi mereka
Rasulullah merupakan seorang yang telah diutus Allah SWT un-
tuk membawa amanah dariNYA agar disampaikan kepada umat
manusia dimuka bumi, yang kemudian diletakkannya beberapa
kaidah, yang dengan kaidah tersebut memunculkan perangkat
dalam memunculkan hukum-hukum Syar‟i, hal ini sebagaimana
tradisi yang berkembang dalam Ulama pakar dalam bidang ushul
fiqh. Selain itu mereka juga memiliki pandangan bahwa Rasulullah
juga diutus untuk menjelaskan undang-undang kehidupan kepada
selurus ras manusia.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa penilaian ula-

15 Abd al-Ghina. Hujjiyyatu as-Sunnah, hal 68


Isu-Isu Seputar Sunnah
Study Perbandingan ahl As-Sunnah dan Syi’ah Imamiyah) 11

ma ushul fiqh tentang Rasulullah terbatas pada perbuatan, perka-


taan ataupun penetapannya yang berkaitan dengan hukum seba-
gaimana Hadis berikut ini :
1. Hadis yang berupa ucapan Rasulullah dan didalamnya men-
gandung hukum
‫ ؾىَ كاٌت ِجستْ إىل‬ٌٕٝ ‫ ٔإمنا الوسئ وا‬ٍٛٗ‫ٖا أّٖا الٍاس إمنا األعىاه بال‬
ٚ‫اهلل ٔزضٕلْ ؾّجستْ إىل اهلل ٔزضٕلْ ٔوَ ِاجس إىل دٌٗا ٖصٗبّا أٔ اوسأ‬
ْٗ‫ٖتصٔجّا ؾّجستْ إىل وا ِاجس إل‬
Wahai manusia sesungguhnya segala urusan ialah bergantung pada
niat, barang siapa yang hijrahnya kepadnya kepada Allah maka, ma-
ka hijrahnya untuk Allah dan Rasulnya namun apabila karena dunia
yang ingin diperolehnya atau karena perempuan yang akan dinikahinya
maka maka hijrahnya sebagaimana yang ia kehendaki.16
2. Hadis Nabi yang mengandung akhlak
ََِ‫ ال ِإميَاَُ لٔى‬: َ‫ المَُّْ عَمَِْٗٔ َٔضَمَّي‬َّٜ‫ قَاهَ َزضُٕهُ المَّْٔ صَم‬: َ‫ قَاه‬، َ‫عََِ ابَِِ عُ َىس‬
َُْ‫َ ل‬ٚ‫ َٔال دََٖٔ لٔىََِ ال صَال‬، َُْ‫َ لٔىََِ ال طُُّٕزَ ل‬ٚ‫ َٔال صَال‬، َُْ‫َ ل‬ٌَٛ‫ال أَوَا‬
Dari ibn umar, r.a. berkata, bersabda Rasulullah SAW : tidak ada
iman bagi seorang yang tidak ada amanah baginya, dan tidak ada shalat
yang tidak ada suci baginya, dan tidak ada agama bagi seorang yang
tidak shalat baginya.17

16 Muhammad ibn Ismail Abu Abdillah Al-Bukhary al-Ju‟fy, Shahih al-Bukhary,


(Turki : an-Nasyiran. 1992). Juz 1, Hal 2.
17 Sulaiman ibn Ahmad ibn Ayyub Abu al-Qasim Al-Thabrani. Al-Mu‟jam al-

Kabir, (al-Maktabah al-ulum wal-Hikam : 1983) Juz, 11, Hal 122


Isu-Isu Seputar Sunnah
12 Study Perbandingan ahl As-Sunnah dan Syi’ah Imamiyah)

3. Hadis yang berupa perbuatan Rasulullah SAW, yaitu seperti


tatacara shalat yang telah dicontohkan oleh beliau Rasulullah
SAW, atau juga tatacara puasa, tatacara mengeluarkan zakat,
tatacara manasik haji atau juga yang lainnya, yang semua itu
telah sampai kepada kita melalui para Sahabat.
4. Sunnah yang sifatnya penetapan Rasulullah SAW. Yaitu seba-
gaimana kasus yang terjadi dikalangan sahabat tentang perbe-
daan diantara mereka yang kemudian ditetapkan oleh Rasu-
lullah SAW. Yaitu tentang kasus Shalat, Pada saat itu Rasulul-
lah SAW berkata kepada para sahabatnya “jangan sekali-kali
kalian melaksanakan shalat kecuali ketika sampai di Bani Qu-
raidhah” sesaat kemudian setelah Rasulullah SAW bersabda
demikian, diantara kalangan sahabat terjadi perbedaan ten-
tang Sabda Rasulullah SAW tersebut, ada yang memahami
secara tekstual, sehingga sebagian melaksanakan shalatnya
menjelang hampir masuk magrib, sebagian yang lain mema-
haminya dengan tidak harus melaksanakannya di Bani Qu-
raidhah, dengan dalih bahwa perkataan Rasulullah tersebut
menunjukkan agar mereka bergegas menuju Bani Quraidhah,
sehingga tidak masalah manakala melaksanakan shalat meski
belum sampai di tempat tujuan. Setelah sampai di Bani Qu-
raidhah, peristiwa ini disampaikan kepada Rasulullah SAW,
dan beliau membenarkan keduanya.18
Diantaranya lagi, yaitu Hadis, disaat Rasulullah SAW, bersi-
laturrahmi kepada salah satu sahabat, kemudian beliau diberi hi-

18 Al-Bukhary, Shahih al-Bukhary,,,,,, Juz 5, hal 50


Isu-Isu Seputar Sunnah
Study Perbandingan ahl As-Sunnah dan Syi’ah Imamiyah) 13

dangan berupa Dhab (hayawan semacam biawak), namun Rasu-


lullah SAW tidak memakannya. Oleh karenanya, seorang dari
mereka yang bernama Khalid bertanya kepada Rasulullah SAW. “
adakah makanan ini haram wahai Rasulullah ?. Rasulullah SAW
menjawab, tidak, saya tidak memakannya karena tidak terbiasa,
dan hewan semacam itu tidak ada didaerah saya. Kemudian Kha-
lid menyantabnya, dan Rasulullah SAW menyaksikannya. 19
c. Pakar Fiqh mendefinisikan Sunnah dengan “segala sesuatu yang
muncul dari Rasulullah SAW, dalam bentuk ucapan, perbuatan dan
penetapan, akan tetapi yang tidak berhubungan dengan hal-hal yang
diwajibkan. 20
Definisi Sunnah sebagaimana yang dijelaskan oleh ulama fi-
kih tersebut ialah dilatarbelakangi adanya cara pandang mereka
dalam berijtihad untuk mengungkap hukum syar‟i, yang hanya
berkutat pada lingkup halal- haram, mubah dan lainnya .21

C. Sunnah sebagai Hujjah


Sunnah merupakan bagian dari mashadir al-ahkam (sumber
hukum agama) yang menenmpati posisi kedua setelah Al-Qur‟an,
yang selain sebagai hujjah Sunnah juga sebagai penjelas atas ayat-
ayat Al-Qur‟an, sehingga tak ayal didalam ayat Al-Qur‟an dan
Sunnah terdapat beberapa dalil yang menandaskan agar menataati
Rasulullah sekaligus berpegang teguh kepada Sunnahnya, bahkan
terdapat konsensus (Ijma‟ Ulama) dalam kehujjahannya.

19 Al-Bukhary, Shahih al-Bukhary,,,,,,, Juz 6, hal 201


20 Abd al-Ghina. Hujjiyyat as-Sunnah. Hal 15
21
Isu-Isu Seputar Sunnah
14 Study Perbandingan ahl As-Sunnah dan Syi’ah Imamiyah)

1. Kehujjahan Sunnah dalam al-Qur’an.


Kehujjahan Sunnah (Sunnah sebagai sandaran hukum) telah
banyak ditegaskan dalam firman Allah SWT, yang didalamnya
meliputi, keharusan taat (menjalankan segala aspek yang pernah
diharuskan oleh Rasulullah, ataupun segala yang dilarangnya),
menjadikan beliau sebagai tauladan dalam kehidupannya dan lain
sebagainya sebagaimana berikut.
ًََِِٕٗ‫ْ لٔىََِ كَاَُ َٖسِجُٕ المََّْ َٔال‬ٍََٛ‫ْ حَط‬َِٕٚ‫﴿ لَقَدِ كَاَُ َلكُيِ ؾٔ٘ َزضُٕهِ المَّْٔ ُأض‬
﴾ ‫الِآ ٔخسَ َٔذَ َكسَ المََّْ كَجٔريّا‬
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik
bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah Ta‟ala dan (ke-
datangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah Ta‟ala.” 22
Firman Allah Ta‟ala:
َُّْ‫المَْ ؾَاتٖبٔعٌُٕٔ٘ ُٖخِبِٔبكُيُ المَُّْ ََٖٔػِ ٔؿسِ َلكُيِ ذٌَُُٕبكُيِ َٔالم‬
َّ َُٕٗ‫قُنِ إُِِ كٍُِتُيِ تُخٔب‬
ْ‫غَؿُٕزْ زَحٔٗي‬
“Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah Ta‟ala, ikutilah
aku, niscaya Allah Ta‟ala mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Al-
lah Ta‟ala Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”23
‫ َزضُٕلٍَٔا‬َٜ‫َٔأَطٔٗعُٕا المََّْ َٔأَطٔٗعُٕا ال ٖسضُٕهَ َٔاحِرَزُٔا ؾَإُِِ تََٕلَِّٗتُيِ ؾَاعِمَىُٕا أٌَٖىَا عَم‬
ُ‫الِبَمَاؽُ الِىُبٔني‬

22 Al-Ahzab : 21
23 Ali Imron:31
Isu-Isu Seputar Sunnah
Study Perbandingan ahl As-Sunnah dan Syi’ah Imamiyah) 15

Dan taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasul-(Nya)
dan berhati-hatilah. jika kamu berpaling, Maka Ketahuilah bahwa Sesung-
guhnya kewajiban Rasul kami, hanyalah menyampaikan (amanat Allah)
dengan terang.24
ُِِ‫َٖا أََّٖٗا الَّرََٖٔ آَوٍَُٕا أَطٔٗعُٕا المََّْ َٔأَطٔٗعُٕا ال ٖسضُٕهَ َٔأُٔلٔ٘ الِأَ ِوسِ ؤٍِكُيِ ؾَإ‬
ًَِِِٕٗ‫ المَّْٔ َٔال ٖسضُٕهِ إُِِ كٍُِتُيِ تُؤِؤٍَُُٕ بٔالمَّْٔ َٔال‬َٜ‫ٕ َؾ ُسدُٗٔٓ ِإل‬ِٞ٘‫تٍََاشَعِتُيِ ؾٔ٘ َش‬
‫الِآَ ٔخسِ َذلٔكَ خَِٗسْ َٔأَحِطََُ تَأِِٖٔمّا‬
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya),
dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan
Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.25
َُٚ‫ المَُّْ َٔ َزضُٕلُُْ أَ ِوسّا أَُِ َٖكَُُٕ لَُّيُ الِخَٔٗس‬َٜ‫ٕ ِإذَا قَض‬ٍَٛٔ‫َٔوَا كَاَُ لٔىُؤِؤٍَ َٔلَا وُؤِو‬
‫ؤَِ أَ ِوسِِٔيِ َٔوََِ َٖعِصِ المََّْ َٔ َزضُٕلَُْ ؾَقَدِ ضَنٖ ضَمَالّا وُبٍّٔٗا‬
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi
perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya Telah menetapkan
suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan
mereka. dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya Maka sung-
guhlah dia Telah sesat, sesat yang nyata.Al-ahzab

24 Al-Maidah : 92
25 Annisa : 59
Isu-Isu Seputar Sunnah
16 Study Perbandingan ahl As-Sunnah dan Syi’ah Imamiyah)

ََّْ‫َاتَاكُيُ ال ٖسضُٕهُ ؾَخُرُُٔٓ َٔوَا ٌََّاكُيِ عٍَُِْ ؾَاٌِتَُّٕا َٔاتٖقُٕا المََّْ إُِٖ الم‬ٞ ‫﴿ َٔوَا‬
﴾ ‫شَدٖٔدُ الِعٔقَاب‬
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang
dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah
Ta‟ala. Sesungguhnya Allah Ta‟ala sangat keras hukuman-Nya”.26
Juga Allah Ta‟ala berfirman:
﴾ ‫ ؾَىَا أَ ِزضَمٍَِاكَ عَمَِِّٗيِ حَؿٔٗظّا‬َّٜ‫﴿ وََِ ُٖطٔعِ ال ٖسضُٕهَ ؾَقَدِ أَطَاعَ المََّْ َٔوََِ تََٕل‬
"Barangsiapa yang menta`ati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menta`ati
Allah Ta‟ala. Dan barangsiapa yang berpaling (dari keta`atan itu), maka
Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka27."
Allah Ta‟ala berfirman:
﴾ ْ‫ْ َأِٔ ُٖصَٔٗبُّيِ عَرَابْ أَلٔٗي‬ٍَِٛ‫﴿ ؾَمَِٗخِرَزِ الَّرََٖٔ ُٖخَالٔؿُٕ َُ عََِ أَوِسِٓٔ أَُِ تُصَٔٗبُّيِ ؾٔت‬
" maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut
akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih".28

2. Kehujjahan Sunnah dalam Hadis.


Sebagaimana Al-Qur‟an, ternyata didalam Sunnah juga ba-
nyak memuat dalil-dalil tentang kehujjahan Sunnah, dalil-dalil terse-
but dapat diklasifikasi menjadi 3 jenis, sebagaimana berikut :
a. Kabar yang beliau SAW sampaikan bahwa beliau diberikan
wahyu dan apa yang beliau sampaikan merupakan syari‟at Al-

26 Al Hasyr : 7
27 An Nisaa : 80
28 An Nuur : 63
Isu-Isu Seputar Sunnah
Study Perbandingan ahl As-Sunnah dan Syi’ah Imamiyah) 17

lah Ta‟ala, karenanya mengamalkan As Sunnah berarti men-


gamalkan Al Qur‟an. Dan Iman tidak akan sempurna kecuali
setelah mengikuti Sunnahnya dan tidak ada yang bersumber
dari beliau kecuali baik dan benar
ُ‫ َألَا إٌِِّ٘ أُٔتٔٗت‬: َ‫ َكسِبَ عََِ َزضُٕهِ المَّْٔ أٌَُْٖ قَاه‬ٙٔ‫عََِ الِىٔقِدَاًِ بَِِ وَعِد‬
‫ أَزِٖكَتْٔٔ َٖقُٕهُ عَمَِٗكُيِ بَّٔرَا‬َٜ‫اِلكٔتَابَ َٔؤجِمَُْ وَعَُْ َألَا ُٖٕشٔكُ زَجُنْ شَبِعَاُُ عَم‬
ُُٕٓ‫خسِّو‬
َ َ‫الِ ُقسِآُِ ؾَىَا َٔجَدِتُيِ ؾْٔٗٔ ؤَِ حَمَاهٍ ؾَأَحٔمُُّٕٓ َٔوَا َٔجَدِتُيِ ؾْٔٗٔ ؤَِ َحسَاًٍ ؾ‬
ِ‫ ٌَابٕ ؤَِ الطٖبُع‬ٙٔ‫َألَا لَا َٖخٔنٗ َلكُيِ لَخِيُ الِخٔىَازِ الِأَِِمِّٔ٘ َٔلَا كُنٗ ذ‬
Dari Al Miqdam bin Ma‟dikarib dari Rosulullah Shallallhu „alaihi wa
sallam bersabda: “Ketahuilah sesungguhnya telah diberikan kepadaku Al
Kitab (Al Qur‟an) dan yang semisal dengannya (As Sunnah), ketahuilah
akan datang seorang laki-laki yang kekenyangan di atas sofanya dan ber-
kata :”Hendaknya kalian berpegang teguh pada Al Qur‟an ini, apa yang
kalian dapati di dalamnya tentang kehalalannya maka halalkan, dan apa
yang kalian dapati tentang keharamannya maka haramkan”, (Rasulullah
SAW bersabda):"Ketahuilah bahwa tidak dihalalkan bagi kalian keledai
negeri dan setiap binatang buas yang bertaring,29
Beliau juga bersabda :
ِ‫ أُ زضٕه اهلل وََِ أَطَاعٍَٔ٘ ؾَقَدِ أَطَاعَ المََّْ َٔوََِ عَصَأٌ٘ ؾَقَد‬ٚ‫عَ أب٘ ِسٖس‬
ََّْ‫ الم‬َٜ‫عَص‬

29 . Abu daud Sulaiman ibn al-Asy‟ats al-Sajastani. Sunan Abi Daud, (Bairut : Dar

al-Fikr. tt) Juz. 2 hal.610


Isu-Isu Seputar Sunnah
18 Study Perbandingan ahl As-Sunnah dan Syi’ah Imamiyah)

“Dari Abu Hurairah Radhiyallah „anhu bahwasanya Rosulullah


Shallallhu „alaihi wa sallam bersabda :” Barangsiapa yang taat kepa-
daku sungguh ia telah taat kepada Allah Ta‟ala dan siapa yang bermak-
siat kepadaku sungguh dia telah bermaksiat kepada Allah Ta‟ala…” 30
Dari Abu Hurairah Radhiyallah „anhu berkata: Rosulul-
lah Shallallhu „alaihi wa sallam bersabda:
ََِ‫ قَاهَ و‬َٜ‫ قَالُٕا َٖا َزضُٕهَ المَّْٔ َٔوََِ َٖأِب‬َٜ‫َ إِلَّا وََِ أَب‬ٍَٖٛ‫كُنٗ أُوٖتٔ٘ َٖدِخُمَُُٕ الِج‬
(‫ ٔوطمي‬ٙ‫ )زٔآ البخاز‬َٜ‫َ َٔوََِ عَصَأٌ٘ ؾَقَدِ أَب‬ٍَٖٛ‫أَطَاعٍَٔ٘ دَخَنَ الِج‬

”Seluruh umatku akan masuk surga kecuali yang enggan. (Para sahabat)
bertanya, “Siapa mereka itu yang enggan wahai Rosulullah” ? Beliau ber-
sabda : “Barangsiapa yang menaatiku maka dia akan masuk surga dan
siapa yang mendurhakaiku maka dialah yang enggan masuk surga “31
َّْٔ‫ٕ َأضِىَعُُْ ؤَِ َزضُٕهِ الم‬ِٞ٘‫عََِ عَبِدٔ المَّْٔ بَِِ عَ ِىسٍٔ قَاهَ كٍُِتُ أَكُِتبُ كُنٖ َش‬
َّْٔ‫ٕ تَطِىَعُُْ َٔ َزضُٕهُ الم‬ِٞ٘‫أُزِٖدُ حٔؿِظَُْ ؾٍَََّتٍِٔ٘ ُقسَِٖضْ َٔقَالُٕا أََتكُِتبُ كُنٖ َش‬
َ‫ط ِكتُ عََِ اِلكٔتَابٔ ؾَرَ َكسِتُ َذلٔك‬
َ ِ‫ضبٔ َٔالسِّضَا ؾَأَو‬
َ َ‫صسْ ََٖتكَمَّيُ ؾٔ٘ الِػ‬
َ َ‫ب‬
‫ ٌَؿِطٔ٘ بَٔٗدٔٓٔ وَا‬ٙٔ‫ اكُِتبِ ؾََٕالَّر‬: َ‫ ؾْٔٗٔ ؾَقَاه‬َٜ‫ٔل َسضُٕهِ المَّْٔ ؾَأَِٔوَأَ بٔأُصِبُعْٔٔ ِإل‬
ٓ‫خسُجُ ؤٍُِْ إِلَّا حَق‬
ِ َٖ
Dari Abdulah bin Amr bahwasanya dia berkata: Dulu saya menulis selu-
ruh apa yang saya dengar dari Rosulullah Shallallhu „alaihi wa sallam yang

30 Al-Bukhary, Shahih al-Bukhary,,,,,, Juz 3. Hlm. 1080


31 Al-Bukhary, Shahih al-Bukhary, Juz 6, hlm 2655
Isu-Isu Seputar Sunnah
Study Perbandingan ahl As-Sunnah dan Syi’ah Imamiyah) 19

ingin saya hafal, namun kaum Quraisy melarangku, mereka berkata: Se-
sungguhnya engkau menulis segala sesuatu yang kamu dengar dari Rosulul-
lah Shallallhu „alaihi wa sallam padahal Rosulullah Shallallhu „alaihi wa
sallam adalah seorang manusia biasa yang berbicara saat marah dan senang.
Maka saya menghentikan penulisan tersebut lalu saya menyebutkan hal
tersebut kepada Rosulullah Shallallhu „alaihi wa sallam lalu beliau bersab-
da-sambil mengisyaratkan dengan jarinya ke mulut beliau-:”Tulislah ! De-
mi zat yang jiwaku berada di Tangan-Nya tidak ada yang keluar darinya
kecuali haq “
b. Perintah beliau untuk memegang teguh Sunnahnya dan laran-
gan beliau hanya mengambil dan mengamalkan Al Qur‟an
tanpa As Sunnah dan mengikuti hawa nafsu serta hanya
menggunakan logika belaka.
ِ‫ المَّْٔ َٔالطٖىِع‬َِٕٝ‫ أُٔصٔٗكُيِ بٔتَق‬: َ‫َ أُ زضٕه اهللَقَاه‬َِٖٛ‫عَ الِ ٔعسِبَاضَ بََِ ضَاز‬
‫ اخِتٔمَاؾّا كَجٔريّا‬َٝ‫ ؾَطََٗس‬ٙٔ‫ٔ َٔإُِِ عَبِدّا حَبَصٔٗ٘ا ؾَإٌُِْٖ وََِ َٖعٔضِ ؤٍِكُيِ بَعِد‬َٛ‫َٔالطَّاع‬
‫طكُٕا بَّٔا َٔعَضٕٗا‬
ٖ َ‫ٔ الِىَِّدِّٖٔنيَ السٖاشٔدََٖٔ تَى‬ٞ‫ٔ الِخُمَؿَا‬ٍُٖٛ‫ؾَعَمَِٗكُيِ بٔطٍُٖتٔ٘ َٔض‬
َٕٛ‫ْ َٔكُنٖ بٔدِع‬َٛ‫ٕ بٔدِع‬َٛ‫عَمََِّٗا بٔالٍَٖٕاجٔرٔ َٔإِٖٖاكُيِ َٔوُخِدَثَاتٔ الِأُوُٕزِ ؾَإُِٖ كُنٖ وُخِدَث‬
َْٛ‫ضَمَال‬
Dari „Irbadh bin Sariyah bahwasanya Rosulullah Shallallhu „alaihi
wa sallam bersabda :” Saya berwasiat kepada kalian untuk bertaqwa
kepada Allah Ta‟ala, dan untuk mendengar serta taat (kepada pemimpin),
walaupun (yang memerintah kalian) seorang hamba yang bersal dari Haba-
syah(Ethiopia), karena sesungguhnya siapa yang hidup diantara kalian
Isu-Isu Seputar Sunnah
20 Study Perbandingan ahl As-Sunnah dan Syi’ah Imamiyah)

sesudahku maka dia akan melihat ikhtilaf (perselisihan) yang banyak, ma-
ka hendaknya kalian berpegang teguh dengan Sunnahku dan Sunnah para
khulafaur rosyidin, pegangilah Sunnah tersebut dan gigitlah dengan gigi ge-
raham kalian, dan jauhilah seluruh perkara-perkara yang baru, karena
sesungguhnya segala yang baru itu bid‟ah dan setiap yang bid‟ah adalah
sesat.32
ُ‫ أَزِٖكَتْٔٔ َٖأِتْٔٗٔ الِأَ ِوس‬َٜ‫ّا عَم‬٠ٔ‫ لَا ُألِؿََٖٔٗ أَحَدَكُيِ وُٖتك‬: َ‫ زاؾع عَ الٍيب قَاه‬ٜ‫عَ أب‬
ٔ‫ وَا َٔجَدٌَِا ؾٔ٘ كٔتَاب‬ِٙ‫ ؤىٖا أَ َوسِتُ بْٔٔ أَِٔ ٌََِّٗتُ عٍَُِْ ؾََٗقُٕهُ لَا ٌَدِز‬ِٙ‫ؤَِ أَ ِوس‬
.ُٓ‫المَّْٔ اتٖبَعٍَِا‬

Dari Abu Rafi‟ dari Nabi Shallallhu „alaihi wa sallam bersabda:”


Saya tidak ingin mendapatkan salah seorang diantara kalian yang bersan-
dar di atas sofanya, datang kepadanya perintahku atau laranganku lalu dia
berkata: ”Kami tidak tahu, apa yang kami dapat di dalam Al Qur‟an
itulah yang kami ikuti “33
َُ‫ دَعٌُٕٔ٘ وَا َتسَكُِتكُيِ إٌِٖىَا َِمَكَ وََِ كَا‬: َ‫َ عََِ الٍٖبِّٔ٘ قَاه‬َٚ‫عََِ أَبٔ٘ ُِسَِٖس‬
ُُٕٓ‫ٕ ؾَاجِتٍَٔب‬ِٞ٘‫ِّٔيِ ؾَِإذَا ٌََُِّٗتكُيِ َعَِ َش‬ٟ‫ أٌَِبَٔٗا‬َٜ‫قَبَِمكُيِ بٔطُؤَالِّٔيِ َٔاخِتٔمَاؾِّٔيِ عَم‬
.ِ‫َِٔإذَا أَ َوسُِتكُيِ بٔأَ ِوسٍ ؾَأِتُٕا ؤٍُِْ وَا اضِتَطَعِتُي‬

Dari Abu Hurairah Radhiyallah „anhu dari Nabi Saw. bersabda:”


Tinggalkanlah apa yang aku tinggalkan, karena sesungguhnya yang mem-
binasakan orang sebelum kalian adalah pertanyaan mereka dan kedurha-

32 Abu Daud, Sunan Abi Daud, Juz 13, hlm 327


33 Abu Daud, Sunan Abi Daud, Juz 13, hlm 325
Isu-Isu Seputar Sunnah
Study Perbandingan ahl As-Sunnah dan Syi’ah Imamiyah) 21

kaan mereka terhadap nabi-nabi mereka, maka jika aku melarang sesuatu
maka tinggalkanlah dan jika aku memerintah kalian sesuatu maka lak-
sankanlah sekemampuan kalian “34
c. Perintah beliau untuk mendengarkan haditsnya, menghafal-
kannya, dan menyampaikannya kepada yang belum menden-
garnya dan beliau menjanjikan bagi yang menyampaikannya
berupa pahala yang sangat besar.
‫ضسَ المَُّْ ا ِوسَأّ ضَىٔعَ ؤٍٖا‬
ٖ ٌَ : ُ‫عَ عَبِدٔ المَّْٔ بَِِ وَطِعُٕدٕ قَاهَ ضَىٔ ِعتُ الٍٖٔبٖ٘ َٖقُٕه‬
ٍ‫ ؤَِ ضَاؤع‬َٜ‫ّا ؾَبَمَّػَُْ كَىَا ضَىٔعَ َؾسُبٖ وُبَمِّؼٍ أَِٔع‬٠َِٗ‫ش‬
Dari Abdullah bin Mas‟ud berkata:” Saya telah mendengar Nabi Shal-
lallhu „alaihi wa sallam bersabda:” Semoga Allah Ta‟ala menjadikan
berseri-seri wajah seseorang yang mendengarkan sesuatu dari kami kemu-
dian dia menyampaikannya sebagaimana yang dia dengarkan. Boleh jadi
yang disampaikan lebih memahami dari yang mendengar (langsung) “35
َّٖٛ‫ بَمِّػُٕا عٍَِّ٘ َٔلَِٕ آ‬:َ‫عََِ عَبِدٔ المَّْٔ بَِِ عَ ِىسٍٔ أَُٖ الٍٖٔبٖ٘ قَاه‬
Dari Abdullah bin Amr bin Al Ash t bahwasanya Nabi Shallallhu „alai-
hi wa sallam bersabda: ” Sampaikan dariku walaupun hanya satu ayat
ََِ‫بَ َؾمَعَنٖ بَعِضَ و‬ٟٔ‫ َألَا لُٔٗبَمِّؼِ الصٖأِدُ الِػَا‬: َ‫ٔ٘ قَاه‬
ِّ ‫َ عََِ الٍٖب‬َٚ‫عََِ ابَِِ أَبٔ٘ َب ِكس‬
َُْ‫ لَُْ ؤَِ بَعِضِ وََِ ضَىٔع‬َٜ‫َٖبِمُػُُْ أَُِ َٖكَُُٕ أَِٔع‬
Dari Abu Bakrah dari Nabi Shallallhu „alaihi wa sallam bersabda:

Al-Bukhary, Shahih Bukhary, (Biarut : Dar Ibn Katsir. 1987). Juz 6, hlm 2658
34

Al-Turmudzy, Sunan at-Tirmudzy, (Dar Ihya‟ Turats al-Araby : Bairut, tt) Juz
35

10, hlm 163


Isu-Isu Seputar Sunnah
22 Study Perbandingan ahl As-Sunnah dan Syi’ah Imamiyah)

”… Perhatikanlah, hendaknya yang hadir menyampaikan kepada yang


tidak hadir, sebab boleh jadi sebagian orang yang disampaikan lebih paham
dari orang yang (langsung) mendengar “ 36

3. Kehujjahan Sunnah Secara Nalar


Akal manusia pada dasarnya memiliki potensi yang sangat
besar dalam menggali materi-materi ilmiyah selain itu juga sangat
mungkin menumbuhkan segala sesuatu yang berdampak baik dan
mashlahah bagi perjalangan hidupnya, namun akal manusia tidak
akan mungkin memahami Al-Qur‟an dengan benar manakala
tidak merujuk terlebih dahulu terhadap Sunnah Nabi SAW. Seper-
ti dalam ayat-ayat kewajiban shalat dan zakat atau ayat-ayat yang
lain yang sifatnya mujmal, dalam ayat-ayat semacam itu manusia
tidak mungkin dapat mengerahkan kemampuannya dalam me-
numbuhkan dan memunculkan bagaimana ukuran zakat, apa
yang dimaksud zakat, berapa ukuran zakat, kapankah zakat terse-
but dikeluarkan. Begitupun dalam kasus shalat yang mana ayat-
ayatnya belum memerinci tentang kapan waktunya, bagaimana
caranya, dan beberapa hal lain yang sifatnya belum terperinci.
Oleh karenanya, dibutuhkan interpretasi Hadis/Sunnah dalam
menemukan penjelasan tentang ayat-ayat tersebut. Maka secara
rasional sangatlah jelas tentang kebutuhan manusia terhadap Sun-
nah Rasul guna memperjelas ayat-ayat Al-Qur‟an yang bersifat
Mujmal, hal ini tiada lain karena keterbatasan manusia biasa da-
lam menggali perintah-perintah Allah, lain halnya Rasulullah yang

36 Al-Bukhary, Shahih al-Bukhary, Juz, 4 hlm 1599


Isu-Isu Seputar Sunnah
Study Perbandingan ahl As-Sunnah dan Syi’ah Imamiyah) 23

mana segala gerak-gerik, pemikiran dan ucapannya selalu disertai


dengan wahyu Allah SWT.

4. Kehujjahan Sunnah Menurut Ijma’


Jika kita menelusuri atsar-atsar ulama Salaf dan khabar-
khabar ulama Khalaf sejak masa Khulafaur Rosyidin hingga masa kini
tidak kita dapati seorang imam mujtahid pun bahkan seorang
muslim yang awam yang mempunyai sebesar dzarrah keimanan
pada hatinya yang mengingkari kewajiban untuk berpegang teguh
pada As Sunnah dan berhujjah dengannya. Sehingga saluruh kaum
muslim manakala mendapatkan Sunnah Nabi yang penukilannya
shahih maka pasti baginya melaksanakan Sunnah tersebut. Imam
as-Syafi‟i berkata “Umat manusia telah ber-ijma‟ bahwa barang
siapa yang telah jelas baginya Sunnah dari Rasulullah SAW, maka
tidak mungkin baginya mengatakan bahwa Sunnah tersebut dari
seorang manusia”37 beliau juga berkata “tidak aku dengar seo-
rangpun yang memiliki pandangan baik secara universal ataupun
individu yang menisbatkan kepada keilmuan, sedangkan keil-
muannya itu bertentangan dengan kewajiban mengikuti perintah
Rasulullah SAW, dan menerima hukum yang telah dikeluarkan
olehnya”38
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ‫اهلل‬ ْ‫ زمح‬berkata:” Dan hen-
daknya diketahui bahwa tidak seorang pun diantara para imam

37 Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah. I‟lam al-Muwaqqi‟in „an Rabbu al-Alamin. (Dar al-
Jail : Bairut, 1973 M ) Juz 2. hlm 361
38 Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah. I‟lam al-Muwaqqi‟in „an Rabbu al-Alamin,,,,,,,,, hlm

364
Isu-Isu Seputar Sunnah
24 Study Perbandingan ahl As-Sunnah dan Syi’ah Imamiyah)

yang diikuti oleh umat ini sengaja menyelisihi Rosulullah Shal-


lallhu „alaihi wa sallam dari Sunnah yang kecil dan besar. Karena
sesungguhnya, mereka telah sepakat dengan penuh keyakinan
akan kewajiban mengikuti Rosulullah Shallallhu „alaihi wa sallam
dan bahwa setiap orang diterima dan ditolak perkataannya kecuali
Rosulullah Shallallhu „alaihi wa sallam”.

5. Upaya Jumhur Dalam Pengumpulan Hadits Dan Pem-


bukuannya.
Awalnya, penyebaran hadits-hadits pada masa Rasulullah
hanya disebarkan lewat mulut ke mulut (secara lisan). Hal ini bu-
kan hanya dikarenakan banyak sahabat yang tidak bisa menulis
hadits, tetapi juga karena Nabi melarang untuk menulis hadits.
Beliau khawatir hadits akan bercampur dengan ayat-ayat Al-
Quran.
Menurut al-Baghdadi (w. 483 H), ada tiga buah hadits yang
melarang penulisan hadits, yang masing-masing diriwayatkan oleh
Abu Sa‟id al-Khudri, Abu Hurairah, dan Zaid ib Tsabit. Namun
yang dapat dipertanggungjawabkan otentisitasnya hanya hadits
Abu Sa‟id al-Khudri yang berbunyi.
‫ ٔال حسج‬ٍٜ‫ غري القسآُ ؾمٗىخْ ٔحدثٕا ع‬ٍٜ‫ ٔوَ كتب ع‬ٍٜ‫ال تكتبٕا ع‬
"‫ٔوَ كرب عم٘ٓ وتىعدا ؾمٗتبٕٓأ وقعدٓ وَ الٍاز‬

“Janganlah kamu sekalian menulis sesuatu dariku selain Al-Qur‟an. Ba-


rangsiapa yang menulis dariku selain Al-Quran maka hendaklah ia meng-
hapusnya. Riwayatkanlah dari saya. Barangsiapa yang sengaja berbohong
Isu-Isu Seputar Sunnah
Study Perbandingan ahl As-Sunnah dan Syi’ah Imamiyah) 25

atas nama saya maka bersiaplah (pada) tempatnya di neraka” (HR. Mus-
lim).39
Disini Nabi melarang para sahabat menulis hadits, tetapi
cukup dengan menghafalnya. Beliau membolehkan meriwayatkan
hadits dengan disertai ancaman bagi orang yang berbuat bohong.
Dan hadits tersebut merupakan satu satunya hadits yang shahih
tentang larangan menulis hadits. Menurut Dr. Muhammad Alawi
al-Maliki, meskipun banyak hadits dan atsar yang semakna den-
gan hadits larangan tersebut, semua hadits itu tidak lepas dari ca-
cat yang menjadi pembicaraan di kalangan para ahli hadits.
Adapun faktor-faktor utama dan terpenting yang menye-
babkan Rasulullah melarang penulisan dan pembukuan hadits
adalah:
a. Khawatir terjadi kekaburan antara ayat-ayat Al-Qur‟andan
hadits Rasul bagi orang-orang yang baru masuk Islam.
b. Takut berpegangan atau cenderung menulis hadits tanpa di-
ucapkan atau ditela‟ah.
c. Khawatir orang-orang awam berpedoman pada hadits saja.40
Nabi telah mengeluarkan izin menulis hadits secara khusus
setelah peristiwa fathu Makkah. Itupun hanya kepada sebagian
sahabat yang sudah terpercaya. Dalam hadits yang diriwayatkan
Abu Hurairah disebutkan, bahwa ketika Rasulullah membuka
kota Makkah, beliau berpidato di depan orang banyak dan ketika
itu ada seorang lelaki dari Yaman bernama Abu Syah meminta

39 Abu al-Husain Muslim ibn al-Hujaj ibn al-Muslim al-Qusyairi an-Naisaburi,


Shahih Muslim (Dar al-Jail : Bairut, tt ) Juz, 8 hlm. 229
40 Hasan Sulaiman Abbas Alwi, Terj. Ibanatul Ahkam Syarh Bulughul Maram Jilid

I. hlm. 16
Isu-Isu Seputar Sunnah
26 Study Perbandingan ahl As-Sunnah dan Syi’ah Imamiyah)

agar dituliskan isi pidato tersebut untuknya. Kemudian Nabi


memerintahkan sahabat agar menuliskan untuk Abu Syah.
"ٓ‫ شا‬ٜ‫اكتبٕا ألب‬: ‫ ؾقاه‬.‫"ٖا زضٕه اهلل اكتبٕا ىل‬

“Wahai Rasulullah. Tuliskanlah untukku. Nabi bersabda (pada sahabat


yang lain), tuliskanlah untuknya.”41

a. Hadis Pada Masa Rasulullah SAW


Periode ini merupakan periode pertama sejarah pertumbu-
han dan perkembanagn Hadis. Pada masa ini terhitung cukup
singkat jika dibandingkan dengan masa-masa berikutnya. Masa ini
berlangsung selama 23 tahun, mulai 13 sebelum hijriyah (610 H)
sampai 11 hijriyah (632 M). Masa awal ini bertepatan juga dengan
kurun waktu turunnya wahyu (al-Qur'an). Wahyu yang diturun-
kan Allah swt kepada rasulullah saw dijelaskan melalui perkataan
(aqwal), perbuatan (af'al), dan ketetapannya (taqriir) dihadapan pa-
ra sahabat. Apa yang didengar, dilihat dan disaksikan oleh para
sahabat merupakan pedoman amaliah dan ubudiyah sehari-hari.42
Ada beberapa teknik atau cara Rasulullah saw menyampai-
kan Hadis kepada para sahabat, yang disesuaikan dengan kondisi
mereka,43 yakni pertama, melalui para jama'ah pada pusat pembi-
naannya yang disebut majelis al-'ilmi. Melalui majelis ini para saha-
bat memperoleh banyak peluang untuk menerima Hadis, sehing-
ga mereka berusaha untuk selalu mengkonsentrasikan diri untuk

41 Abu daud, Sunan Abu Daud,,,,,,, Juz 3. Hlm. 357


42 Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, (Jakarta : Gaya Media Pratama, 2001), hlm 45.
43 Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis ,hlm 47-48.
Isu-Isu Seputar Sunnah
Study Perbandingan ahl As-Sunnah dan Syi’ah Imamiyah) 27

mengikuti majelis ini. Kedua, dalam banyak kesempatan rasulullah


saw juga menyampaikan Hadisnya melalui sahabat tertentu, yang
kemudian oleh para sahabat tersebut disampaikannya kepada
orang lain. Ketiga, melalui ceramah atau pidato ditempat terbuka,
seperti pada haji wada' dan futuh makkah. Keempat, melalui perbua-
tan langsung yang disaksikan oleh para sahabatnya (jalan musyaha-
dah), seperti yang berkaitan dengan praktek-praktek ibadah dan
mu'amalah. Mereka para sahabat tidak sekedar mengisahkan
kembali pengamatan mereka terhadap Rasul, tetapi apa yang di-
dapat dari Rasul benar-benar menjadi petunjuk dan pedoman
dalam kehidupan mereka sehari-hari. Sebagian sahabat sengaja
mendatangi Rasul dari tempat tinggal mereka yang jauh hanya
sekadar menanyakan sesuatu hukum syar‟i.
Dalam penulisan Hadis, banyak para sahabat yang memiliki
catatan-catatan dan melakukan penulisan Hadis, baik untuk dis-
impan sebagai catatan-catatan pribadi maupun untuk memberi-
kan pesan kepada sahabat lain. Kegiatan ini diketahui dan dibiar-
kan oleh rasulullah dan bahkan dibenarkan. Misalnya Abdullah
bin Amr al 'Ash (27 SH-63 H). Ia memiliki catatan Hadis yang
menurut pengakuannya dibenarkan oleh rasulullah, sehingga di-
berinya nama as shahifah as shadiqah.44
b. Hadis Pada Masa Sahabat (Khulafa' Ar Rasyidin)
Periode kedua sejarah perkembangan Hadis, adalah masa
sahabat, khususnya masa khulafa' ar rasyidin (masa Abu Bakar,
Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib).

44 Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, hlm 52.


Isu-Isu Seputar Sunnah
28 Study Perbandingan ahl As-Sunnah dan Syi’ah Imamiyah)

Masa ini tehitung sejak tahun 11 H samapai 40 H. Pada masa ini,


perhatian mereka terfokus kepada pemeliharaan dan penyebaran
al-Qur'an. Dengan demikian, maka periwayatan Hadis belum be-
gitu berkembang bahkan mereka berusaha membatasi periwaya-
tan Hadis tersebut. Oleh karena itu, masa ini oleh para ulama di-
anggap sebagai masa yang menunjukkan adanya pembatasan dan
memperketat periwayatan (at tatsabut wa al-iqlal min ar riwayah).45
Meskipun perhatian mereka terpusat pada upaya pemeliha-
raan dan penyebaran al-Qur'an, akan tetapi tidak berarti mereka
melalaikan dan tidak menaruh perhatian terhadap Hadis. Mereka
memegang Hadis, sebagai amanah rasulullah sebagaimana halnya
yang diterimanya secara utuh ketika masih hidup. Akan tetapi
dalam meriwayatkannya mereka sangat berhati-hati dan memba-
tasi diri.46
Kehati-hatian dan usaha membatasi periwayatan yang dila-
kukan para sahabat, disebabkan karena mereka khawatir terja-
dinya kekeliruan, yang padahal mereka sadari bahwa Hadis meru-
pakan sumber ajaran setelah al-Qur'an, yang harus tetap terpeli-
hara dari kekeliruannya sebagaimana terpeliharanya al-Qur'an.
Oleh karenanya, para sahabat khusunya khulafa' ar rasyidin (Abu
Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi
Thalib) dan sahabat lainnya, seperti az-Zubair, Ibn Abbas, dan
Abu Ubaidah berusaha memperketat periwayatan dan peneri-
maan Hadis.47

45 Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, hlm 54-55.


46 Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, hlm 56-57.
47 Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, hlm 57.
Isu-Isu Seputar Sunnah
Study Perbandingan ahl As-Sunnah dan Syi’ah Imamiyah) 29

Sikap kehati-hatian ditunjukkan oleh para sahabat, seperti


Abu Bakar sebagai khalifah pertama menunjukkan perhatian yang
serius dalam memeliharan Hadis. Menurut adz Dzahabi, Abu
Bakar adalah sahabat yang pertama sekali menerima Hadis den-
gan hati-hati. Diriwayatkan oleh Ibn Syihab dari Qabisah bin
Zuaib, bahwa seorang nenek bertanya kepada Abu Bakar soal
bagian warisan untuk dirinya. Ketika ia menyatakan bahwa hal itu
tidak ditemukan hukumnya dalam al-Qur'an maupun al-Hadis,
kemudian ada sahabat al Mughirah menyatakan bahwa rasulullah
memberinya seperenam. Abu bakar kemudian meminta supaya al
Mughirah mengajukan saksi terlebih dahulu kemudian Hadisnya
diterima.48
Pembatasan tersebut dimaksudkan agar tidak banyak dari
sahabat yang mempermudah penggunaan nama Rasulullah dalam
berbagai urusan, meskipun jujur dan dalam permasalahan yang
umum. Namun pembatasan tersebut tidak berarti bahwa kedua
khalifah tersebut anti-periwayatan, hanya saja beliau sangat selek-
tif terhadap periwayatan hadits. Segala periwayatan yang menga-
tasnamakan Rasulullah harus dengan mendatangkan saksi, seperti
dalam permasalahan tentang waris yang diriwayatkan oleh Imam
Malik.
Perselisihan para sahabat dalam pembukuan Hadis ber-
pangkal pada adanya Hadis yang menunjukkan adanya melarang
pencatatan Hadis. Yakni “Janganlah kamu sekalian menulis sesuatu
dariku selain Al-Qur‟an. Barangsiapa yang menulis dariku selain Al-

48 Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, hlm 57.


Isu-Isu Seputar Sunnah
30 Study Perbandingan ahl As-Sunnah dan Syi’ah Imamiyah)

Quran maka hendaklah ia menghapusnya, Riwayatkanlah dari saya. Ba-


rangsiapa yang sengaja berbohong atas nama saya maka bersiaplah (pada)
tempatnya di neraka ” (HR. Muslim). Menurut an Nawawi dan as
Suyuti, bahwa pelarangan tersebut dimaksudkan bagi orang yang
kuat hafalannya, sehingga tidak ada kekhawatiran terjadinya lupa.
Akan tetapi bagi yang khawatir lupa atau kurang kuat ingatannya
maka dibolehkan mencatatnya. Sedangkan menurut Ibnu Hajar
Asqalani bahwa larangan Rasulullah menulis Hadis karena al-
Qur'an diturunkan. Ini karena, ada kekhawatiran tercampurnya
antara ayat al-Qur'an dengan Hadis. Kemudian menurutnya, la-
rangan ini dimaksudkan untuk tidak menuliskan al-Qur'an dan
Hadis dalam satu shuhuf. Ini artinya, bahwa ketika wahyu ditu-
runkan dan dituliskan bukan pada shuhuf untuk mencatat wahyu,
namun adanya pemisahan shuhuf wahyu dan Hadis.
Namun juga ada riwayat (Hadis) yang dapat dijadikan lan-
dasan bahwa pembolehan penulisan Hadis, yakni kisah Abdullah
ibn Amr bin Ash yang mengatakan bahwa aku menulis segala
yang didengar dari rasulullah untuk aku hafal. Lalu beliau menga-
dukan hal ini pada rasulullah, kemudian rasulullah bersabda :
"Tuliskanlah. Demi zat yang menguasai jiwaku, tidaklah keluar dari mu-
lut ini kecuali yang benar. 49
Pada masa ini belum ada usaha secara resmi untuk meng-
himpun Hadis dalam suatu kitab, seperti halnya al-Qur'an. Hal ini
disebabkan, antara lain : pertama, agar tidak memalingkan perha-
tian umat Islam dalam mempelajari al-Qur'an. Kedua, bahwa para

49 Muhammad 'Ajaj Al Khatib (penerj. Qodirun Nur & ahmad musyafiq), Ushul

Hadis, (Jakarta Gaya Media Pratama, 2003), hlm 132.


Isu-Isu Seputar Sunnah
Study Perbandingan ahl As-Sunnah dan Syi’ah Imamiyah) 31

sahabat yang banyak menerima Hadis dari rasulullah sudah terse-


bar ke berbagai daerah kekuasan Islam dengan kesibukan masing-
masing sebagai pembina masyarakat, sehinnga dengan kondisi
seperti ini ada kesulitan mengumpulkan mereka secara lengkap.
Ketiga, bahwa soal membukukan Hadis, dikalangan para sahabat
sendiri terjadi perselisihan pendapat. Belum lagi terjadinya perseli-
sihan soal lafazh dan ke-shahihan-nya.50
c. Hadis Pada Masa Tabi'in
Sebagaimana para sahabat, para tabi'in juga cukup berhati-
hati dalam periwayatan Hadis. Hanya saja beban mereka tidak
terlalu besar dibandingkan dengan yang dihadapi para sahabat.
Pada masa ini al_Qur'an sudah dikumpulkan dalam satu mushaf,
sehingga tidak lagi mengkhawatirkan mereka. Selain itu, pada ma-
sa akhir periode khulafa' ar rasyidin (masa khalifah Utsman bin
Affan) para sahabat ahli Hadis telah menyebar ke beberapa wi-
layah kekuasan Islam. Ini merupakan kemudahan bagi para tabi'in
untuk mempelajari Hadis-Hadis dari mereka.51
Ketika pemerintah dipegang oleh Bani Umayah, wilayah
kekuasaan Islam sudah meliputi Makkah, Madinah, Bashrah,
Syam, Khurasan, Mesir, Persia, Irak, Afrika Selatan, Samarkhand
dan Spanyol. Sejalan dengan pesatnya perluasan wilayah kekua-
saan Islam itu, penyebaran para sahabat ke daerah-daerah terse-
but terus meningkat, yang berarti juga meningkatnya penyebaran
Hadis. Oleh sebab itu, masa ini dikenal dengan masa menyebar-

50 Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, hlm 58.


51 Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, hlm 61
Isu-Isu Seputar Sunnah
32 Study Perbandingan ahl As-Sunnah dan Syi’ah Imamiyah)

nya Hadis (intisyar ar riwayah).52 Sesuai dengan tersebarnya para


sahabat ke wilayah kekuasaan Islam, maka tercatat beberapa kota
sebagai pusat pembinaan dalam periwayatan Hadis, sebagai tem-
pat tujuan para tabi'in dalam mencari Hadis, dan pada giliranya
menjadi pusat kegiatan para tabi'in dalam meriwayatkan Hadis-
Hadis kepada para muridnya (tabi' at tabi'in).
Mulai masa ini, mulai para tabi'in menuliskankan Hadis.
Hal ini menurut ar Ramahurmusy bahwa Hadis tidak bisa diken-
dalikan kecuali dengan tulisan, kemudian dengan saling tukar dan
saling melakukan kajian, mengingat dan menghafal, mempelaja-
rinya secara berulang-ulang dan bertanya, melakukan penelitian
mendalam dari para periwayat serta memahami apa yang mereka
riwayatkan. Penulisan memang dilarang oleh sebagian tokoh pada
masa awal Islam. Adapun pada saat waktu telah berselang lama,
jalur periwayatan tidak lagi berdekatan bahkan berbeda-beda, se-
hingga bahaya terlupakan sudah dekat dan parduga sudah tidak
bisa dihindari lagi, maka mengendalikan Hadis melalui tulisan
lebih utama dan lebih terjaga.53
Penghimpunan Hadis pada masa ini masih campur dengan
perkataan sahabat dan fatwanya. Berbeda dengan penulisan pada
abad sebelumnya yang masih berbentuk lembaran-lembaran (shu-
huf) yang hanya dikumpulkan tanpa diklasifikasikan ke dalam be-
berapa bab secara tertib, pada masa ini sudah dihimpun perbab.54

52 Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, hlm 61


53 Muhammad 'Ajaj Al Khatib (penerj. Qodirun Nur & ahmad musyafiq), Ushul
Hadis, hlm 151.
54 Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta: Amazah, 2008), hlm 54.
Isu-Isu Seputar Sunnah
Study Perbandingan ahl As-Sunnah dan Syi’ah Imamiyah) 33

d. Hadis Pada Masa Kodivikasi


Kodifikasi atau tadwin Hadis artinya pencatatan, penulisan
atau pembukuan Hadis. Dalam pembahasan disini lebih mene-
kankan kodifikasi secara resmi berdasarkan perintah khalifah,
dengan melibatkan beberapa personil yang ahli dalam masalah ini.
Bukan yang dilakukan secara perseorangan atau untuk kepentin-
gan pribadi, seperti yang terjadi pada masa-masa sebelumnya.
Kegiatan ini dimulai pada masa pemerintahan Islam yang
dipimpin oleh khalifah Umar bin Abdul Aziz (khalifah kedelapan
dari kekhalifahan Bani Umayah), melalui intruksinya kepada Abu
Bakr Bin Muhammad bin Amr bin Hazm (gubernur Madinah)
dan para ulama madinah agar memperhatikan dan mengumpul-
kan Hadis dari para penghafalnya.55 Khalifah juga mengintruksi-
kan kepada Abu Bakar ibn Muhammad bin Hazm agar men-
gumpulkan Hadis-Hadis yang ada pada Amrah bin Abdurrahman
al-Anshari (murid kepercayaan Siti Aisyah) dan al Qasim bin Mu-
hammad bin Abi Bakr. Intruksi yang sama juga kepada Muha-
mamad bin Syihab az Zuhri yang dinilai sebagai orang yang lebih
banyak mengetahui Hadis dari pada yang lainnya. Peran para
ulama Hadis, khususnya az Zuhri sangat mendapatkan penghar-
gaan dari seluruh umat Islam. Mengingat pentingnya peranan az
Zuhri bahawa tanpa beliau akan banyak Hadis yang hilang.56
Ada tiga hal pokok mengapa khalifah Umar bin Abdul
Aziz mengambil kebijaksanaan untuk kodifikasi Hadis, yakni per-
tama, kekhawatiran hilangnya Hadis, dengan meninggalnya para

55 Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, hlm 67.


56 Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, hlm 67.
Isu-Isu Seputar Sunnah
34 Study Perbandingan ahl As-Sunnah dan Syi’ah Imamiyah)

ulama di medan perang. Kedua, kekhawatiran akan tercampurnya


antara Hadis-Hadis yang shahih dengan Hadis-Hadis palsu. Keti-
ga, bahwa dengan semakin luasnya derah kekuasaan Islam
,sementara kemampuan para tabi'in antara satu dengan yang lain
tidak sama, maka memerlukan adanya usaha kodifikasi.57
Peristiwa yang cukup mengkhawatirkan dalam sejarah per-
jalanan Hadis ialah terjadinya pemalsuan Hadis, yang salah satu
penyebabnya ialah terjadinya perpecahan politik dalam pemerin-
tahan. Dipandang mengkhawatirkan, karena pengaruh yang lang-
sung dan bersifat negatif yakni munculnya Hadis-Hadis palsu
(maudhu') yang mendukung kepentingan politiknya masing-
masing kelompok dan untuk menjatuhkan posisi lawan-
lawannya.58 Dan juga fitnah politik dan madzhab yang mulai awal
terjadi pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib yakni pertentangan
pengikut Ali (Syi'ah) dengan Muawiyah.59
Penkodifikasian Hadis setelah az Zuhri, dilakukan oleh
Malik bin Anas yakni ulama Hadis yang berhasil menyusun kitab
tadwin (93-179 H) di Madinah, dengan hasil karyanya bernama al
Muwaththa'. Kitab tersebut selesai disusun pada tahun 143 H dan
para ulama menilainya sebagai kitab tadwin yang pertama.60
e. Hadis Pada Masa Seleksi, Pengembangan dan Pe-
nyempurnaan
Masa seleksi merupakan masa dalam upaya para mudawwin

57 Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, hlm 68.


58 Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, hlm 66.
59 Manna al Qtahthan (penerj.Mifdhol Abdurahman), Pengantar Studi Ilmu Hadits,

(Jakarta : pustaka al kautsar, 2004), hlm 51.


60 Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, hlm 69.
Isu-Isu Seputar Sunnah
Study Perbandingan ahl As-Sunnah dan Syi’ah Imamiyah) 35

Hadis melakukan seleksi secara ketat, sebagai kelanjutan dari


upaya para ulama sebelumnya yang telah berhasil melahirkan sua-
tu kitab tadwin. Masa ini mulai sekitar akhir abad II (awal abad
III) atau ketika pemerintahan dipegang oleh Dinasti Bani Abbas,
khususnya sejak masa al Makmun sampai akhir abad III (awal
abad IV), pada masa al Muktadir.61
Munculnya periodesasi seleksi ini, karena pada periode se-
belumnya (periode tadwin) belum berhasil memisahkan beberapa
Hadis mauquf dan maqthu' dari Hadis marfu'. Begitu pula belum
bisa memisahkan beberapa Hadis yang dha'if dari yang shahih.
Bahkan masih adanya Hadis yang maudlu' tercampur pada Hadis-
Hadis yang shahih.
Satu persatu kitab-kitab seleksi ketat itu muncul pada masa
ini. Ulama yang pertama kali berhasil menyusun kitab tersebut
ialah Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al
Mughirah bin Bardisah al Bukhari yang terkenal dengan Imam al
Bukhari (194-252 H) dengan kitabnya Jami' Ash Shahihah. Setelah
itu, muncul kemudian Abu Husain Muslim bin al Hajjaj al Kusairi
an Naisaburi, yang dikenal dengan Imam Muslim (204-261) den-
gan kitabnya yang juga disebut Jami' Ash Shahihah. Menyusul ke-
mudian, Abu Dawud Sulaiman bin al Asy'ats bin Ishaq al Sijistani
(202-275 H), Abu Isa Muhammad bin Isa bin Surah at Turmudzi
(200-279 H), dan Abu Abdillah ibn Yazid ibn majah (207-273 H).
Hasil karya empat ulama ini dikenal dengan kitab As-Sunan yang
menurut para ulama kualitasnya dibawah karya Imam Bukhari

61 Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, hlm 69-70.


Isu-Isu Seputar Sunnah
36 Study Perbandingan ahl As-Sunnah dan Syi’ah Imamiyah)

dan Imam Muslim.62 Secara lengkap kitab-kitab yang enam diatas,


diurutkan sebagai berikut :
1) Al Jami' Ash Shahihah sususnan Imam al Bukhari.
2) Al Jami' Ash Shahihah sususnan imam Muslim.
3) As Sunan susunan Abu Dawud.
4) As Sunan susunan at Turmudzi.
5) As Sunan susunan an Nasa'i, dan
6) As Sunan susunan ibn Majah.
Penyusunan kitab-kitab pada masa ini lebih mengarah ke-
pada usaha pengembangan beberapa variasi pen-tadwinan terha-
dap kitab-kitab yang sudah ada. Maka setelah berjalannya bebera-
pa saat dari munculnya Kutub As Sittah, Al Muwatha' Malik Bin
Anas dan Al Musnad Ahmad bin Hambal, para ulama mengalih-
kan perhatiannya untuk menyusun kitab Jawami' (mengumpulkan
kitab-kitab Hadis menjadi satu karya), kitab Syarah (kitab komen-
tar dan uraian), kitab Mukhtasar (kitab ringkasan), men-takhrij
(mengkaji sanad dan mengembalikan kepada sumbernya), dan
menysun kitab Athraf (menyususn pangkal-pangkal suatu Hadis
sebagai petunjuk kepada materi Hadis secara keseluruhan), dan
penyusunan kitab Hadis untuk topik-topik tertentu.63
Diantara usaha yang dilakukan ulama pada masa ini, yakni
mengumpulkan isi kitab Shahih al Bukhari dan Muslim, seperti
yang dilakukan oleh Muhammad ibn Abdillah al Jauzaqi dan Ibn
al Furrat (w.414 H). Diantaranya juaga ada yang mengumpulkan
isi kitab yang enam, seperti yang dilakukan oleh Abd al Haq ibn

62 Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, hlm 70.


63 Ibid, hlm 71.
Isu-Isu Seputar Sunnah
Study Perbandingan ahl As-Sunnah dan Syi’ah Imamiyah) 37

Abd ar Rahman al Asybili (terkenal dengan Ibn al Kharrat, w.583


H), al Fairu az Zabadi, dan Ibn al Atsir al Jazari. Ulama yang
mengumpulkan kitab-kitab Hadis mengenai hukum, diantaranya
Ad Daruquthni, Al Baihaqi, Ibn Daqiq Al'id, Ibn Hajar al Asqa-
lani, dan Ibn Qudamah al Maqdisi.64
Masa perkembangan Hadis yang disebut terakhir ini ter-
bentang cukup panjang dari mulai abad keempat hijriyah terus
berlangsung beberapa abad berikutnya. Dengan demikian masa
perkembangan ini melaewati dua fase sejarah perkembangan Is-
lam yakni fase pertengahan dan fase modern.

64 Ibid, hlm 72.


Isu-Isu Seputar Sunnah
38 Study Perbandingan ahl As-Sunnah dan Syi’ah Imamiyah)
Isu-Isu Seputar Sunnah
Study Perbandingan ahl As-Sunnah dan Syi’ah Imamiyah) 39

Bab 2
Konsep Sunnah
Menurut Syi’ah Imamiyyah

A. Otoritas Sunnah menurut Syi’ah Imamiyyah


Seperti halnya Ahlussunnah, menurut pemahaman syi‟ah
imamiyah, Sunnah juga memiliki otoritas yang sangat dominant,
dalam artian sebagai rujukan sentral dalam pengambilan hukum,
bagi mereka Sunnah merupakan hujjah yang menempati peringkat
kedua setelah al-Qur‟an, bahkan diantara mereka ada yang ber-
pandangan “Al-Qur‟antidak akan dapat dimengerti apabila tidak
ada Sunnah”. Baik Sunnah yang datangnya dari Nabi ataupun Sun-
nah dari para aimmah mereka yang ma‟shum Maksudnya ialah
bahwa al-Quran hanyalah teks mati dan tidak memiliki peran
apapun manakala tidak terdapat sesuatu yang menjelaskannya,
menurut syi‟ah Al-Qur‟andapat dijadikan sebagai Hujjah manaka-
la ada seorang yang berhak untuk mentafsirinya yaitu Ali,65 Tam-
pa adanya Ali maka al-Quran hanyalah teks tidak berguna dalam
masala hukum, sebagaimana yang dikatakan al-Kulaini dalam ki-

65 Al-Thabrasi, Al-Bihar, Juz 37, hal 209/ al-Burujudy al-Ihtijaj hal 31-33.
Isu-Isu Seputar Sunnah
40 Study Perbandingan ahl As-Sunnah dan Syi’ah Imamiyah)

tabnya Ushulu al-Kafi66 pada bab I‟tiqaduhum fi al-Sunnah


‫ ٔأُ عمٗاّ كاُ قٗي القسآُ ٔكاٌت‬:‫ إال بقٗي‬ٛ‫أُ القسآُ ال ٖكُٕ حج‬
"‫ الٍاس بعد زضٕه اهلل‬ٜ‫ عم‬ٛ‫ ٔكاُ احلج‬،ٛ‫طاعتْ وؿرتض‬
Al-kulaini berkata “sesungguhnya Al-Qur‟antidak bisa dijadikan sebagai
hujjah kecuali ada seorang yang menjelaskannya, sesungguhnya hanyalah
Ali termasuk Qayyimu al-Qur‟an, ketaatan kepadanya merupakan keha-
rusan, dan beliaulah yang merupakan Hujjah setelah Rasulullah wafat 67

Pemahaman mereka tentang bahwa Al-Qur‟anhanyalah teks


terbelenggu, maksudnya teks yang tidak akan pernah dapat mem-
beri solusi terhadap permasalahan-permasalahan baru, ialah dida-
sarkan pandangan pendahulu-pendahulu mereka, sebagaimana
perkataan Ali yang telah dikutib oleh kalangan syi‟ah,
:‫ "ِرا كتاب اهلل الصاوت ٔأٌا كتاب اهلل الٍاطق" ٔقاه‬:‫عَ عم٘ أٌْ قاه‬
"... ٍْ‫"ذلك القسآُ ؾاضتٍطقٕٓ ؾمَ ٍٖطق لكي أخربكي ع‬
Diriwayatkan dari Ali, beliau berkata “ ini adalah kitab Allah yang ti-
dak bisa berbicara, dan saya adalah kitab Allah yang dapat berbicara.68
(dalam riwayat lain dinyatakan “ itulah al-Qur‟an, maka mintalah kalian
semua perkataandari Al-Qur‟anmaka dia tidak akan berbicara kepada-

66 Ushulu al-Kafi menurut syi‟ah adalah sebuah kitab yang selefel dengan kitab

shahih al-Bukhari.
67 Abu Ja‟far Muhammad bin Ya‟qub al Kulayni , Ushulu al-Kafi, (Dar al-Kutub

al-Islamiah : Teheran, tt ) Juz I. hal 188.


68 Muhammad ibn Hasan al-Hurru al-Amily, alfusulu al-Muhimmah (Muassisah
Ma‟arif Islam: Qum, 1418 H) hal 235
Isu-Isu Seputar Sunnah
Study Perbandingan ahl As-Sunnah dan Syi’ah Imamiyah) 41

mu, dan akulah yang akan memberikan pemahaman kepadamu tentangnya


,69

Menurut mereka yang dimaksud Al-Qur‟anialah para imam


baik Ali maupun para imam yang dua belas, pandangan mereka
yang semacam ini didasarkan pada ayat Al-Qur‟an{ َ‫َٔاتٖبَعُٕاِ الٍٕٗز‬
َُْ‫َ أٌُصِهَ وَع‬ٙٔ‫} الَّر‬, artinya, hendaklah kalian semua mengikuti cahaya
yang diturunkan besertanya. Menurut syi‟ah lafadz Nur (cahaya)
dalam ayat tersebut ialah Ali dan para Imam yang 12. 70
Bahkan mereka memiliki pandangan bahwa al-Qu‟an dapat
digantikan para Imam. Sebagaimana ketentuan yang terdapat dala
surat yunus ayat ke 15, yang artinya :
Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat kami yang nyata, orang-
orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan kami berkata: "Da-
tangkanlah Al Quran yang lain dari ini atau gantilah dia". Katakanlah:
"Tidaklah patut bagiku menggantinya dari pihak diriku sendiri. Aku ti-
dak mengikut kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Sesungguhnya
Aku takut jika mendurhakai Tuhanku kepada siksa hari yang besar
(kiamat)".
Dalam menfasiri ayat ُِْ‫َدل‬
ِّ ‫تٔ بٔ ُقسِآٍُ غَِٗسِ َِرَا أَِٔ ب‬ِٟ‫ا‬: datangkan-
lah Al-Qur‟anyang lain, atau gantilah dia. mereka berpandangan
bahwa yang dimaksud ayat tersebut datangkanlah atau gantilah al-

69 al Kulayni , Ushulu al-Kafi, Juz I, hal 61


70 al Kulayni , Ushulu al-Kafi, Juz I hal 194
Isu-Isu Seputar Sunnah
42 Study Perbandingan ahl As-Sunnah dan Syi’ah Imamiyah)

Qur‟an, menurut syi‟ah yang dimaksud pergantian Al-


Qur‟antersebut ialah dengan Amiru al-Mukminin.71
Dari sedikit pemaparan diatas maka dapat diambill pema-
haman, bahwa Sunnah bagi kalangan syi‟ah juga memiliki otoritas
yang cukup dominant dalam sandaran hukum, bahkan dalam sa-
lah satu penggede mereka bahwa posisi Sunnah dimasa sekarang
lebih tinggi dari pada al-Qur‟an, karena tampa adanya Sunnah
mereka, Al-Qur‟anadalah teks baku yang tidak dapat difahami
oleh umat muslim, dengan tampa adanya Sunnah.

B. Pengertian Sunnah menurut Syi’ah Imamiyyah


Sunnah, dalam pandangan syi‟ah ialah “segala sesuatu, baik
berupa perkataan, perbutan dan juga penetapan, yang datangnya
dari Nabi SAW dan keluarganya, atau datangnya dari seseorang
yang ma‟shum”,72 atau sebagian yang lain mendefinisikan dengan
“perkataan seseorang yang baginya tidak diperbolehkan berbo-
hong melakukan kesalahan. Atau juga perilaku, dan penetapan-
nya. Yang bukan termasuk al-Qur‟an”,73
Hadis menurut dalam pandangan Ahlussunnah adalah uca-
pan, perbuatan atau ketetapan Nabi saw. Namun menurut kalan-
gan Syi‟ah Imamiyah secara khusus, berdasarkan dalil kuat bagi me-
reka, bahwa perkataan imam yang ma‟shum dari ahl al-bait sama
seperti perkataan Nabi saw dan sebagai hujjah bagi manusia yang
wajib diikuti, dalam hal ini Hadis mencakup ucapan setiap imam

71 al Kulayni , Ushulu al-Kafi, juz 1, hal 419


72 Syaikh Abdullah al-Maqany. Miqbas al-Hidayah fi ilmi ar-Riwayah, (Qum: Muassi-
sah Al-albait alaihi as-Salam li Ihya‟i at-Turats. 1411 H) Juz 1. hlm 68
73 Syaikh Abdullah al-Maqany. Miqbas al-Hidayah fi ilmi ar-Riwayah, Juz 1. hlm 68
Isu-Isu Seputar Sunnah
Study Perbandingan ahl As-Sunnah dan Syi’ah Imamiyah) 43

yang ma‟shum, perbuatan atau ketetapannya. Jadi Hadis dalam


istilah mereka adalah ucapan, perbuatan atau ketetapan imam
yang ma‟shum. Taqiyyu al-Hakim berkata:
“Sunnah ialah segala sesuatu baik perkataan, perbuatan dan penetapan
yang datangnya dari orang-orang yang makshum.74
Hal ini memberikan pengertian, bahwa para imam dari ahl
al-bait bukan sebagai para periwayat dan penyampai Hadis dari
Nabi saw agar ucapan mereka menjadi hujjah karena mereka siqah
dalam riwayat, tapi mereka diangkat Allah melalui Nabi Muham-
mad saw untuk menyampaikan hukum-hukum aktual, sehingga
mereka tidak mengkhabarkan kecuali hukum-hukum aktual dari
sisi Allah sebagaimana aslinya.
Atas dasar ini, maka penjelasan mereka tentang hukum bu-
kan sebagai bentuk riwayat dan pengkhabaran Hadis, juga tidak
termasuk ijtihad dalam pendapat dan istinbath dari sumber-
sumber syari‟at. Karena perkataan mereka adalah Hadis, dan bu-
kan berita tentang Hadis. Adapun penetapan imamah dan perka-
taan mereka seperti perkataan Rasulullah, dikaji secara lengkap
dalam pembahasan ilmu kalam.
Dari keterangan di atas dapat diketahui, bahwa mereka
menjadikan seorang imam sebagai orang yang ma‟shum seperti
Nabi Muhammad saw., yang di utus Allah, dan Sunnah adalah
perkataan orang ma‟shum, perbuatan atau ketetapannya, baik
Nabi Muhammad saw atau salah satu imam Syi‟ah. Mereka men-
jadikan imam seperti Nabi Muhammad dalam menjelaskan Al-

74 Muhammad Taqiyu al-Hakim, al-Ushul al-Ammah li al-Fiqh al-Muqoron,


hlm, 122
Isu-Isu Seputar Sunnah
44 Study Perbandingan ahl As-Sunnah dan Syi’ah Imamiyah)

Qur‟an, dengan membatasi kemutlakannya dan mengkhususkan


keumumannya. Mereka juga berpandangan bahwa para periwayat
mereka melarang mengamalkan zahir Al-Qur‟an karena mereka
tidak berpedoman dalam syari‟at kecuali dari para imam mereka.
Dan bahwa imam adalah sebagai sumber syari‟at secara mandiri.
Mereka mengatakan bahwa imam mempunyai ilham yang se-
banding dengan wahyu bagi Rasulullah saw.

C. Sunnah Sebagai Hujjah


Para pemuka syi‟ah Imamiyyah, juga sepakat bahwa Sunnah
an-Nabawiyyah juga merupakan hujjah, yang harus berpegang
teguh kepadanya, selain itu, mereka juga memiliki keyakinan
bahwa Sunnah merupakan sumber sentral dalam agama setelah al-
Qur‟an. Dalam hal ini, antara sekte syi‟ah dengan Ahlussunnah
tidak terdapat perbedaan pandangan.75

D. Upaya syi’ah dalam pengumpulan hadits.


Hadis merupakan salah satu sumber rujukan sentral bagi
umat Islam dalam masalah hukum, hal ini dapat dibuktikan dari
beberapa sirah sahabat, baik disaat Rasulullah SAW hidup, atau
disaat Rasulullah SAW meninggal dunia, namun, penulisan Hadis
pada saat Rasulullah SAW justru dilarang oleh Rasulullah SAW,
dan Rasulullah SAW menegaskan dalam sebuah Hadis yang ber-
bunyi “janganlah kalian menuliskan dariku kecuali al-Qur‟an, sia-

75 Tentang masalah keyakinan syi‟ah tentang masalah kehujjahan mereka terha-


dap as-Sunnah dapat dilihat secara detail dalam kitab-kitab mereka seperti kitab al-Ushul
al-Ammah, oleh Muhammad Taqiyyu al-Hakim, hlm 124-131. dan kitab Jami’ ahadis
as-syi’ah, oleh Husain Thaba‟thaba‟i, Juz 1, hlm 120-124
Isu-Isu Seputar Sunnah
Study Perbandingan ahl As-Sunnah dan Syi’ah Imamiyah) 45

pa saja yang menuliskan dariku selain Al-Qur‟anmaka hapuslah”,


oleh karenanya, pada saat itu kalangan sahabat tidak berani menu-
lis Hadis, karena ditakutkan terbaurnya antara Hadis dengan al-
Qur‟an, dan setelah Rasulullah SAW wafat, muncul pandangan-
pandangan dari kalangan sahabat untuk menuliskan Hadis. Seba-
gaimana berikut

1. Kodifikasi Sunnah Pada Masa Rasulullah SAW.


Seorang pemuka Syi‟ah, Hasyim, masyhur dengan julukan
al-Hasani, berpandangan, kalangan sahabat pada masa Rasulullah
SAW, sangatlah berpegang teguh pada Sunnah, namun saat itu
kalangan sahabat masih belum menganggap penting untuk mem-
bukukan Hadis / Sunnah, mereka hanya mengingat segala sesuatu
yang datangnya dari Rasulullah SAW dengan cara menghafalnya
atau kemudian menyampaikannya kepada sahabat yang lain, yang
belum sempat mendengar Hadis tersebut. Pada saat itu mereka
hanya focus pada penulisan al-Qur‟an.
Disisi lain pada saat itu Rasulullah SAW, memang belum
memandang penting dan tidak memerintahkan kalangan sahabat
untuk menulis Sunnah. Namun, bukan berarti Rasulullah SAW
melarang kalangan sahabat untuk menuliskan Sunnah yang mun-
cul dari beliau, penulisan Sunnah pada saat itu menurut kalangan
syi‟ah ialah mubah, baik yang ditulis ialah sesuatu yang muncul
dari Rasulullah SAW, dikala beliau rido atau disaat beliau marah.
Dalam larangan menulis hadits terdapat riwayat sebuah hadits
yang berbunyi “janganlah engkau tulis segala sesuatu yang mun-
culnya dari aku, barangsiapa menulisnya maka hapuslah” bagi
Isu-Isu Seputar Sunnah
46 Study Perbandingan ahl As-Sunnah dan Syi’ah Imamiyah)

kalangan syi‟ah Hadis ini dari sisi sanad ialah dhaif.


Tidak tertulisnya Hadis ini terus berjalan hingga Rasulullah
SAW wafat, dan pada masa sahabat muncullah sebagian para sa-
habat memunculkan sebuah imbauan tentang pelarangan penuli-
san Hadis, dan siapapun yang menulis Hadis pada saat itu akan
disiksa. Meski demikian kondisi pada saat itu, namun tetap mun-
cul sebagian sahabat yang tetap menulis Hadis, mereka adalah Ali
ibn Abi Thalib dan Ibn Abbas,76
Pada dasarnya, penulisan Hadis dimasa Rasulullah SAW,
merupakan perkara mubah, hanya saja, para khulafa‟ yang tiga
dan bany Umayyah yang memunculkan pelarangan terhadap pe-
nulisan Sunnah dan menghukum siapa saja yang menuliskannya.
Bagi kalangan syi‟ah merekalah yang menyebabkan terbelakang-
nya kodifikasi hadits, hingga pada akhirnya muncullah seorang
khalifah yang adil, yaitu Umar ibn Abd al-Aziz yang mengintruk-
sikan penulisan Sunnah.
Adapun alasan pelarangan penulisan Sunnah hingga seratus
tahun pertama pasca wafatnya Rasulullah SAW. Menurut kalan-
gan syi‟ah ialah tidak lain merupakan perkara yang kurang baik
dan bermuatan politis. Menurut mereka dengan adanya pelaran-
gan tersebut, tidak sedikit Sunnah yang hilang yang seharusnya
dapat dijadikan sebagai pedoman bagi Umat Islam, seperti Sunnah
yang menandaskan tentang keutama‟an Ahl al-Bait, yang ber-
bunyi “Bari‟at al-Dzimmat min man Ruwiya Syai‟an fi Fadhli Ali
wa Ahli Baitihi”. Dan beberapa perbedaan Hadis dalam matan-

76 Al-Hasyim. Al-Maudhu’at fi al-Atsar wa al-Akhbar. (). Hlm. 18-20


Isu-Isu Seputar Sunnah
Study Perbandingan ahl As-Sunnah dan Syi’ah Imamiyah) 47

nya sehingga kemudian menimbulkan perbedaan dalam hukum


yang ditimbulkannya, tidak lain juga merupakan dampak dari pe-
larangan penulisan Hadis, disisi lain pelarangan tersebut bagi ka-
langan syi‟an juga terdapat muatan politis yaitu memiliki kepen-
tingan menjauhkan ahli al-Bait dari perpolitikan dengan tujuan
agar ahl al-bait tidak memiliki kursi kepemimpinan pasca wafat-
nya Rasulullah SAW.
Walhasil, segala sesuatu yang telah disematkan oleh pemu-
ka syi‟ah seperti al-Hasany, Sayyid Muhammad Ridha al-Husaini
al-Jalaly, Hasan al-Amin dan Murtadha al-Askary tentang kodifi-
kasi, tiada lain ialah tentang kebobrokan para Khalifah yang tiga
(Abu Bakar, Utsman dan Ali) dan juga kekhalifahan pada masa
Bany Umayyah, yang menurut tokoh syi‟ah merekalah yang me-
nyebabkan melambatnya pengkodifikasian Sunnah, selain itu me-
reka juga sepakat tentang keshahihan Hadis pelarangan penulisan
Sunnah sebagaimana yang telah diyakini kalangan AhlisSunnah.
Dan tentang alasan-alasan tentang ditakutkannya tercampur
adukkannya Sunnah dan Al-Qur‟an
Menurut Syi‟ah yang pertama kali menulis Hadis dimasa
Rasulullah SAW antara lain Ali ibn Abi Thalib, sebagai mana
yang telah dinyatakan oleh hasan al-Shadr yang beliau nukil dari
an-Najasy
“yang pertama kali menulis Hadis dari kalangan syi‟ah ialah
Amirul Mukminin Ali, selanjutnya ialah budak Rasulullah
SAW yang bernama Abu Rafi‟”77

77 Sayyid Hasan as-Shadr. Ta‟sis as-Syi‟ah li Ulum al-Islam” () hlm. 280


Isu-Isu Seputar Sunnah
48 Study Perbandingan ahl As-Sunnah dan Syi’ah Imamiyah)

Abu Rafi‟e; budak Rasulullah saw. An-Najasyi di dalam


Asma‟ Mushannifisy Syi‟ah, mengatakan: “Dan Abu Rafi‟e budak
Rasulullah saw. mempunyai kitab As-Sunan wal Ahkam wal-
Qodhoya”. Lalu ia menyebutkan sanad-sanadnya sampai peri-
wayatan kitab secara bab per bab; mulai dari bab shalat, puasa,
haji, zakat dan tema-tema muamalah. Kemudian dia menyatakan
bahwa Abu Rafi‟e telah menjadi Muslim secara lebih dahulu di
Mekkah lalu hijrah ke Madinah dan ikut serta bersama Nabi saw.
dalam banyak peperangan, dan setelah wafat beliau, ia menjadi
pengikut setia Amiril Mukminin Ali ibn Abi Thalib a.s.
Abu Rafi‟e tergolong sebagai orang Syi‟ah yang saleh, dan
turut terjun di dalam peperangan bersama Ali ibn Abi Thalib a.s.
Ia juga dipercayai sebagai pemegang kunci Baitul Mal di masa
kekhalifahan Ali ibn Abi Thalib di Kufah.
Abu Rafi‟e meninggal pada tahun 35 H., sesuai dengan ke-
saksian Ibnu Hajar di dalam At-Taqrib, di mana ia telah membe-
narkan tahun wafatnya di awal kekhalifahan Ali ibn Abi Thalib
a.s. Atas dasar ini, menurut ijma‟ para ulama, tidak ada orang yang
lebih dahulu dari Abu Rafi‟e dalam upaya mengumpulkan Hadis
dan menyusunnya secara bab perbab. Dalam riwayat lain dinyata-
kan bahwa yang menuliskan Hadis pertama kali ialah Abu Abdil-
lah Salman Al-Farisi dan Abu Dzar Al-Ghifari.78
Sebagaimana yang telah dinukil oleh al-Hasany dari at-
Thusy
“Seseorang yang pertama kali menuliskan Atsar adalah
maulana adalah Abdullah Abu Salman al-Farisi r,a seorang

78 Sayyid Hasan as-Shadr. Ta‟sis as-Syi‟ah li Ulum al-Islam” hlm. 280


Isu-Isu Seputar Sunnah
Study Perbandingan ahl As-Sunnah dan Syi’ah Imamiyah) 49

dari sahabat Rasulullah SAW, dan telah menganggit kitab


Hadits al-Jalisy al-Rumi, yang telah diutus ke kerajaan Rum
setelah Rasulullah SAW.”

Dan juga mengatakan


“ Abu Salman al-Farisi adalah seorang yang pertama kali
menuliskan Hadis, selanjutnya ialah Abu Dzarrin al-Ghifari
yang juga merupakan sahabat Rasulullah SAW”79

Menurut Sayyid Husai al-Amin, kitab yang telah dikarang


oleh Amir al-Mukminin, ialah al-Ja‟far, al-Jami‟ah, Shahifat al-
Fara‟id, kitab yang didalamnya menjelaskan tentang zakat hewan
ternak, dua kitab fiqih dan Qadhaya. Sedangkan Abu Salman al-
Farisi, ialah kitab Hadis al-Jatsiliq, dan Abi Dzarrin al-Ghifari ia-
lah kitab Khutbah, dan Abu Rafi‟ menganggit kitab Kitab as-
Sunan wa al-Akam wa al-Qadhaya.80

2. Penulisan Hadis dimasa Tabi’in dan Tabi’u at-Tabi’in


Pada periode ini Sunnah mulai terkodifikasi, umat muslim
sudah mulai merasa penting untuk kemudian membukukan Ha-
dis, selain dihawatirkan hilangnya Hadis, pada saat itu orang-
orang arab sudah berbaur dengan warga asing yang membawa
berita-berita Persia, Rumania mereka membawa kabar-kabar ten-
tang kerajaan-kerajaannya dan juga membawa ajaran-ajaran filsa-
fat. Kaum muslim sudah mulai sadar bahwa semua itu akan men-
gancam terhadap punahnya Sunnah, yang hanya berada pada hafa-

79 Sayyid Hasan as-Shadr. Ta‟sis as-Syi‟ah li Ulum al-Islam” hlm. 280


80 Muhsin al-Amin. A‟yan as-Syi‟ah. () Juz 1, Shahifah 139
Isu-Isu Seputar Sunnah
50 Study Perbandingan ahl As-Sunnah dan Syi’ah Imamiyah)

lan-hafalan diantara para tabi‟in saat itu, yang sebagian dari para
penghafal Hadis itu sedikit-demi sedikit meninggal dunia, dan
secara otomatis Sunnah Nabi hilang bersamaan dengan meninggal
beserta para huffadz yang meninggal dunia. Pada periode tersebut
telah tersebar para pencerita-pencerita dan para pembohong khu-
susnya pada periode kekuasaan umawiyyah.
Sekelompok ulama pada saat itu, mulai sadar akan pen-
tingnya pengkodifikasian Hadis karena ditakutkan hilangnya Ha-
dis, sejak saat itu penulisan Hadis terus berkembang seiring den-
gan perkembangan zaman hingga mereka berlomba-lomba untuk
menuliskan Hadis dengan beberapa tema yang berbeda, merepa
menulis setiap Sunnah yang mereka temukan dari para perawi
Hadis, hingga dari para perawi Hadis dari kelompok umawiyyin.81
Para periwayat Hadis Imamiyah hanya sedikit jumlahnya
dan mereka tidak mempunyai ilmu tentang musthalah Hadis. Se-
bab mereka hanya menerima apa yang datang dari para imam
mereka dalam kitab-kitab Hadis yang menjadi sandaran mereka.82
Bahkan mereka berpendapat tentang mutawatirnya setiap Hadis
dan kalimat dengan semua harakat dan sukunnya dalam i‟rab dan
bina‟ serta urutan kalimat dan huruf yang terdapat dalam kitab-
kitab tersebut. Di mana empat kitab Hadis mereka itu muncul
pada abad keempat dan kelima hijriyah, dan para penulisnya ber-
pendapat tentang sahihnya segala sesuatu yang mereka tetapkan

Sayyid Muhsin al-Amin. A‟yan as-Syi‟ah. () Juz 1 hlm. 139


81

Rasul Ja‟fariyan, Penulisan dan Penghimpunan Hadis kajian Historis, terj. Dedi Ja-
82

maluddin Malik, (Jakarta: Lentera, 1992), hlm. 14


Isu-Isu Seputar Sunnah
Study Perbandingan ahl As-Sunnah dan Syi’ah Imamiyah) 51

dalam kitab mereka.83


Bahkan, dalam perkembangannya, pada saat itu, sebagai
seorang khalifah Umar ibn Abd al-Aziz mengeluarkan imbauan,
untuk menghapus larangan tentang penulisan Sunnah Rasulullah
SAW, dan menuliskannya kepada Ahl al-Madinah, supaya mereka
melihatnya lagi, seraya berkata “maka tulislah Hadis itu, sesung-
guhnya diriku hawatir akan hilangnya Sunnah dan hilangnya para
penghafal Sunnah” saat itu muncullah seorang tabiin yang berna-
ma Syihab as-Zuhri, beliaulah orang yang pertama kali Hadis atas
perintah Umar ibn Abd al-Aziz, namun beliau belum sempat
menyempurnakannya, karena meninggalnya sang khalifah di ne-
gara Sam pada tahun 101 H, pada saat itu terputuslah penulisan
Sunnah hingga pada akhirnya digantikan Abu Ja‟far al-Mansur dan
mendorong kalangan ulama untuk tetap melanjutkan penulisan
Sunnah.84
Penulisan Hadis pada masa itu belum tersusun dalam ben-
tuk bab per bab. Bahkan penulisannya masih berbaur menjadi
satu dengan tema yang bermacam-macam. Sedangkan penulisan
Sunnah yang sudah diklafikasi menjadi bab khusus dalam fiqih
belum ditemukan hingga menjelang abad kedua.85 Kemudian pa-
da abad kedua Hijriyyah, sebagaimana yang telah diungkapkan
oleh al-Hasani beridirilah madrasah al-Baqir al-Shadiq, pada masa
ini terdapat sekitar enam ribu Hadis yang telah terkodifikasi,86 hal

83 Aboebakar Aceh, Syi‟ah Rasionalisme Dalam Islam, (Solo: Ramadhani, 1984),


hlm. 160
84 Murtadha al-Askary. Maalim al-Mudarrisin. () Juz 6, hlm. 56
85 Al-Kulaini. Dirasat fi Al-Kafi, () hlm 21
86 Hasyim al-Hasany. Shahih al-Bukhary, () hlm. 22
Isu-Isu Seputar Sunnah
52 Study Perbandingan ahl As-Sunnah dan Syi’ah Imamiyah)

ini sebagaimana yang telah dituturkan oleh para pendahulu Syi‟ah


Imamiyah yang menandaskan bahwa penulisan Hadis mulai dari
Amir al-Mu‟minin hingga periode Muhammad Hasan al-Askary
telah mengelompokkan beberapa Hadis dengan melalui jalur Ah-
lu al-Bait tidak lebih dari enam ribu enam ratus kitab, sebagaima-
na disebut dalam kutub al-Rijal yang telah dihafal oleh Muham-
mad ibn Hasan al-Hur al-Amily pengarang kitab al-Wasa‟il, dan
kemudian beberapa Hadis tersebut dipilah-pilah menjadi empat
ratus kitab, yang semua ini dalam kalangan syi‟ah yaitu pada kitab
al-Ushul al-Arba‟ah, Imam al-Mufid berkata “kalangan imam
yang dua belas, mulai dari periode Amir al-Mu‟minin hingga peri-
ode Abi Muhammad al-Hasan al-Askary a.s, telah mengarang
kitab sekitar empat ratus kitab yang mereka beri nama al-Ushul,
beliau berkata inilah yang dimaksud perkataan mereka “sesuatu
yang menjadi sandaran mereka mereka memiliki landasan (lahu
ashlun)”.87
Munculnya ilmu Hadis dalam tradisi syi‟ah dimulai pada
abad ke-7,88 atas kritik dari Ibn Taimiyah, di mana dalam tradisi
syi‟ah sebelumnya ilmu Hadis belum mendapat perhatian yang
serius, karena bagi mereka tidak diperlukan lagi pembahasan ten-
tang jarh wa al-ta‟dil, mereka tidak menganggap penting kajian ten-
tang sanad.89
Salah satu ulama syi‟ah yang mempunyai bahasan tentang

87 Ibn Asyhar, Ma‟alim al-Ulama‟, () hlm. 3


88 Ahmad Haris Suhaimy, Tausiq al-Sunnah, Baina al-Syi‟ah al-Imamiyah wa ahl al-
Sunnah, (t.tp.: Dar al-Salam, t.th), hlm. 179
89 Ali Ahamad Al-Salus, Ma‟a al-Isna „Asyariyah fi al-Ushul wa al-Furu‟ Mausu‟ah

Syamilah, (Mesir: Maktabah Dar al-Qur‟an, 2003), hlm. 697


Isu-Isu Seputar Sunnah
Study Perbandingan ahl As-Sunnah dan Syi’ah Imamiyah) 53

ilmu Hadis adalah al-Hakim,90 dia menyusun sebuah kitab yang


bernama Ma‟rifah Ulum al-Hadis. Dalam kitab tersebut al-Hakim
menjelaskan tentang asahhu al-asanid (sanad yang paling sahih),
dan ad‟af al-asanid (sanad yang paling daif).91
Menurut al-Hakim, di antara sanad yang paling sahih ada-
lah sebagai berikut:
1. Sanad yang paling sahih untuk ahl al-bait adalah Ja‟far bin
Muhammad dari ayahnya dari kakaknya dari Ali, jika peri-
wayat dari Ja‟far maka riwayatnya dianggap siqah.
2. Sanad yang paling sahih untuk Abu Bakar adalah Isma‟il bin
Abi Khalid dari Qays bin Abi Hazim dari Abu Bakar.
3. Sanad yang paling sahih untuk Umar adalah Al-Zuhri dari
Salim dari ayahnya dari kakaknya.
4. Sanad yang paling sahih bagi Abu Hurairah adalah al-Zuhri
dari Said bin Musayyab dari Abu Hurairah. Dan bagi Abdul-
lah bin Umar adalah Malik dari Nafi‟ dari Ibn Umar. Sedang
bagi A‟isyah adalah Ubaidillah bin Umar bin Hafash bin
„Ashim bin Umar bin Khaththab dari Qasim bin Muhammad
bin Abu Bakar dari „Aisyah.92
Dari kriteria di atas, diketahui bahwa tidak ada perbedaan
dengan jumhur al-Muslimin dalam pandangannya terhadap para
sahabat Nabi dan dalam menyatakan ke-siqah-an mereka. Berbeda

90 Al-Hakim adalah seorang syi‟ah tapi bukan dari kelompok Rafidhah, sehingga

dalam pendapatnya tidak terjadi pembauran antara sikap syi‟ah dan sikap Rafidhah
91 Ali Ahamad Al-Salus, Ma‟a al-Isna „Asyariyah fi al-Ushul wa al-Furu‟ Mausu‟ah

Syamilah, hlm. 697


92 Ali Ahamad Al-Salus, Ma‟a al-Isna „Asyariyah fi al-Ushul wa al-Furu‟ Mausu‟ah

Syamilah, hlm 698


Isu-Isu Seputar Sunnah
54 Study Perbandingan ahl As-Sunnah dan Syi’ah Imamiyah)

dengan pendapat Rafidhah.


Di samping al-Hakim membicarakan tentang kajian sanad,
dia juga membahas tentang ilmu matan Hadis, diantaranya adalah
Fiqh al-Hadis. Menurut al-Hakim, para fuqaha‟ Islam, para pelaku
qiyas, ra‟yu, istinbath, jadal dan nazhar, mereka dikenal dalam setiap
masa.
Dalam tradisi syi‟ah al-jarh wa al-ta‟dil juga menjadi salah sa-
tu cabang ilmu Hadis. Al-Jarh wa al-Ta‟dil menurut syi‟ah berkai-
tan dengan akidah mereka dibuat untuk mendukung akidah ini.
Mereka mencela generasi terbaik dari para sahabat Nabi. Tidak
ada sahabat yang selamat dari cercaan mereka kecuali orang yang
masyhur dalam sejarahnya karena loyalitasnya kepada ali bin Abi
Thalib.93
Kitab pokok mereka tentang para tokoh Hadis (kitab jarh
wa ta‟dil) ada lima, yaitu:
1. Rijal al-Barqi
2. Rijal al-Kasyi.
3. Rijal Syaikh al-Thusi.
4. Fihrasat al-Thusi, dan
5. Rijal al-Najasyi,94

E. Pengaruh konsep Imamah terhadap Konsep Sunnah


Sekte Syi‟ah,95 sebagai salah satu aliran dalam Islam, Syi‟ah

93 Ali Ahamad Al-Salus, Ma‟a al-Isna „Asyariyah fi al-Ushul wa al-Furu‟ Mausu‟ah

Syamilah, hlm 698


94 Ali Ahamad Al-Salus, Ma‟a al-Isna „Asyariyah fi al-Ushul wa al-Furu‟ Mausu‟ah

Syamilah, hlm 699


95 Mazhab syi‟ah secara politis muncul setelah adanya pertikaian antara Ali ibn
Isu-Isu Seputar Sunnah
Study Perbandingan ahl As-Sunnah dan Syi’ah Imamiyah) 55

memiliki pemikiran yang berbeda dengan aliran lainnya. Ia identik


dengan konsep kepemimpinan (imamah) yang merupakan tonggak
keimanan Syi‟ah. Mereka hanya percaya bahwa jabatan ilahiyah
yang berhak menggantikan Nabi baik dalam masalah keduniaan
maupun keagamaan hanyalah dari kalangan ahl al-bait. Keyakinan
tersebut mewarnai karakteristik Syi‟ah. sehingga mereka kemu-
dian memiliki keyakinan bahwa segala sesuatu yang munculnya
dari para imamam mereka.
Kepemimpinan Negara Menurut Syi‟ahPara pakar Syi‟ah
adalah muslim pertama yang melahirkan teori tentang Imamah.96
Mereka berpendapat bahwa imamah tidak hanya merupakan sua-
tu sistem pemerintahan, tetapi juga rancangan Tuhan, suatu ke-
percayaan yang dianggap sebagai penegas keimanan. Buku-buku
dogmatik Syi‟ah nyaris suatu konsisten mengulang-ulang pernya-
taan tentang pentingnya imamah yang absolut dengan bersandar
pada hadits kontroversial yang menyebutkan “Siapa pun yang
meninggal dunia tanpa mengenal imamah yang benar pada ma-
sanya berarti ia mati sebagai orang yang tidak beriman.”97 Aspek
kemutlakan konsep Syi‟ah tentang imamah tersebut didasarkan

Abi Thalib dengan Mu‟awiyah yang berbuntut kekalahan Ali dalam tahkim (arbitrase),
atau menurut pendapat lain berdasarkan hadis Nabi keberadaannya sudah dapat ditemui
pada masa awal Islam. Namun demikian kekalahan Ali dalam arbitrase merupakan sebab
utama kemunculan aliran Syi‟ah. Karena pada masa sebelumnya, masa Rasulullah, kebe-
radaan Syi‟ah hanya sebatas embrio. Syi‟ah dalam hal ini merupakan suatu golongan
yang mendukung dan setia kepada Ali ibn Abi Thalib dan keturunannya sebagai pewaris
kepemimpinan Rasulullah, baik dalam masalah keduniaan maupun keagamaan. Lihat Ibn
Khaldun, Muqaddimah (Beirut: Dar al-Kutub al-‟Ilmiyyah, 1978), hlm. 196. bandingkan
dengan Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), hlm. 146.
96 Abdullah A. al-Munifi, The Islamic Constitutional Theory. (Disertasi yang tidak di-

publikasikan) Universitas Virginia, 1973, hlm. 119


97 Shorter Encyclopedia of Islam, hlm. 534
Isu-Isu Seputar Sunnah
56 Study Perbandingan ahl As-Sunnah dan Syi’ah Imamiyah)

pada asumsi bahwa Syi‟ah tidak akan dapat berjalan tanpa adanya
kekuasaan mutlak yang berfungsi memeliharanya serta manafsir-
kan pengertian yang benar dan murni pada syari‟ah.98 Setelah
memandang keterbatasan-keterbatasan dan tidak sempurnanya
akal manusia, kaum Syi‟ah mengatakan bahwa orang yang meme-
nuhi syarat untuk berperan sebagai pelindung dan penafsir hu-
kum Tuhan hanyalah perantara supra-manusia yang diberi petun-
juk oleh Sang Pencipta hukum tersebut. Jadi kaum Syi‟ah men-
gembangkan teori mereka tentang imamah segaris dengan keten-
tuan iman yang dipilih oleh Tuhan dan bukan hasil pilihan umat.
Perilaku Tuhan (Allah) itu disebut dengan luthf atau rahmat
(grace) sedangkan urutan imam-imam tunjukan Allah dikenal
dengan julukan imamah. Bahkan golongan Syi‟ah mengklaim
bahwa Nabi, atas perintah Allah menunjuk Ali sebagai imam
yang pertama, kemudia Ali menunjuk penerusnya dan demikian
selanjutnya sampai dengan imam keduabelas.
Bagi mereka seorang Imam adalah seorang pemimpin poli-
tik dan keagamaan yang ma‟sûm.99 „Ismah al-Imâm ini, menurut
konsep Isna „Asyariyah, merupakan kelanjutan dari konsep Nu-
buwwah. Andaikata Allah SWT menunjuk seseorang untuk meng-

98 Qomaruddin Khan, The Political Thought of Ibn Taimiyah. Islamabad: Islamic

Research Institute, 1973. hlm. 141


99 Karena Imamah merupakan hal yang sangat penting dalam pemikiran fiqih

siyasah Syiah, sampai-sampai mereka beranggapan Umat manusia akan berada pada
kehancurannya. Sebagaiamana yang telah diriwayatkan dari Ja‟far al-Shadiq.
‫ لى ان االمام رفع ساعة مه االرض لماجت بأهلها كما يمىج البحر‬: ‫ويروي عه الجعفر الصادق‬
Dirwayatkan dari Ja‟far al-Shadiq “seandainya bumi ini tidak memiliki Imam
meskipun sesaat maka umat manusia akan bergejolak, sebagaimana bergejolaknya om-
bak dilautan” lihat “AL-Kulaini . Ushul al-Kafi. (dar al-Ta‟arif bairut cet 4 1401) j 1 hal
175”
Isu-Isu Seputar Sunnah
Study Perbandingan ahl As-Sunnah dan Syi’ah Imamiyah) 57

gantikan kedudukan Rasulullah saw. tentu saja Allah akan me-


nunjuk seseorang yang memiliki kesempurnaan yang sama den-
gan Rasul-Nya, kecuali wahyu dan kenabiannya, guna mengganti-
kan kedudukan Rasul-nya untuk mempertahankan keutuhan aja-
ran agama dan umatnya.100 Andaikata Allah menunjuk orang yang
tidak berkualitas seperti itu, maka misi kenabian pun akan terhen-
ti. Oleh karena itu „ismah al-imâm adalah sebuah keharusan bagi
pengganti Rasul dan pelanjutnya, sebagai wasî dan marja‟.101
Pada dasarnya konsep imamah. Sebagaimana yang telah di-
fahami oleh kalangan syi‟ah berdampak pada keharusan bagi me-
reka untuk mengimani segala Sesuatu yang munculnya dari para
imam, karena segala Sesutu yang munculnya dari para imam juga
termasuk bagian dari Sunnah bahkan bagi keyakinan mereka ua-
capan para imam bagaikan firman Allah, sehingga wajib bagi me-
reka dan bagi seluruh kaum muslim mengimaninya dan melaksa-
nakan atas segala sesuatu yang menjadi petunjuk para imam me-
reka tersebut. Berikutt pernyataan al-Kulaini dalam kitabnya al-
Kafi
Diriwayatkan Hisyam ibn Salim dari Hammad ibn Utsman
dan lain-lain, mereka berkata : saya mendengar Aba Abdillah ber-
kata “Perkataanku adalah perkataan ayahandaku, perkataan aya-
handaku adalah perrkataan kakekku, perkataan kakekku adalah
perkataan hasan dan husein, perkataan keduanya adalah perka-

100 As‟ad Qasim, Azimmah wal-khilafah, () hlm 35


101 Ja‟far al-Sabhani. Ahlul Bayt Sammatuhum Wahuququhum Fi al-
Qur’ani al-Karim” Hal 138
Isu-Isu Seputar Sunnah
58 Study Perbandingan ahl As-Sunnah dan Syi’ah Imamiyah)

taan Rasul SAW. Dan sabda beliau adalah fiman Allah SWT.102
Oleh karennya, menurut Syi‟ah Imamiyah secara khusus,
berdasarkan dalil kuat bagi mereka, bahwa perkataan imam yang
ma‟shum dari ahl al-bait sama seperti perkataan Nabi saw dan se-
bagai hujjah bagi manusia yang wajib diikuti, dalam hal ini Hadis
mencakup ucapan setiap imam yang ma‟shum, perbuatan atau
ketetapannya. Jadi Hadis dalam istilah mereka adalah ucapan,
perbuatan atau ketetapan imam yang ma‟shum.103
Hal ini memberikan pengertian, bahwa para imam dari ahl
al-bait bukan sebagai para periwayat dan penyampai Hadis dari
Nabi saw agar ucapan mereka menjadi hujjah karena mereka siqah
dalam riwayat, tapi mereka diangkat Allah melalui Nabi Muham-
mad saw untuk menyampaikan hukum-hukum aktual, sehingga
mereka tidak mengkhabarkan kecuali hukum-hukum aktual dari
sisi Allah sebagaimana aslinya. Ridha Mudhaffar berkata :
Adapun keilmuan yang dimiliki para Imam, ialah pengeta-
huan-pengetahuan dan hukum-hukum yang bersifat ila-
hiyyah (ketuhanan) dan seluruh pengetahuan-pengetahun
yang diperolehnya ialah sebagaimana pengetahuan yang di-
peroleh oleh Rasulullah atau kalangan imam yang menda-
huluinya. Manakala dia menemukan masalah maka dia
akan segera mengetahui solusi ataupun jawabanya, hal ini
mereka peroleh dari kekuatan ilham yang diberikan Allah
kepadanya, mereka dalam menanggapi apapun tidak mem-
butuhkan kekuatan akal, ataupun juga dari pemberitahuan
dari orang lain. Cukuplah bagi mereka ilham dari Allah.104

102Al-Kulayaini. Ushul al-Kafi.() Juz. 1, hlm. 104


103Ali Ahmad as-Salus, Ensiklopedi Sunnah-Syi’ah; Studi Perbandingan
Hadis & Fiqih, (Jakarta: Pustaka al-Kausar, 1997), hlm. 123
104 Muhammad Ridha Mudhaffar, Aqa'idu al-Imamiyyah. Hlm 68-69
Isu-Isu Seputar Sunnah
Study Perbandingan ahl As-Sunnah dan Syi’ah Imamiyah) 59

Atas dasar ini, maka penjelasan mereka tentang hukum bu-


kan sebagai bentuk riwayat dan pengkhabaran Hadis, juga tidak
termasuk ijtihad dalam pendapat dan istinbath dari sumber-
sumber syari‟at. Karena perkataan mereka adalah Hadis, dan bu-
kan berita tentang Hadis. Adapun penetapan imamah dan perka-
taan mereka seperti perkataan Rasulullah, dikaji secara lengkap
dalam pembahasan ilmu kalam.
Pada dasarnya klaim tentang Sunnah dari para imamah me-
reka, ialah berawal dari keyakinan mereka terhadap kemaksuman
para imam, yang menurut sekte ini, para imam tidak beda dengan
para nabi, yaitu sama-sama ma‟suhum, dalam konsep keimama-
han, sekte syi‟ah memiliki pandangan bahwa para imamah harus-
lah maksum, dengan alasan, seandainya imam tidak ma‟sum maka
ia akan dapat dengan mudah terjebak dalam kesalahan dan juga
berpotensi untuk mengelabui orang. Ishmah (penjagaan Allah)
terhadap para imam, bagi kalangan syi‟ah ialah Sesutu yang wajib
bagi Allah, karena, Imam adalah seseorang yang akan mengantar-
kan manusia kepada jalan yang diridhai oleh Allah, oleh sebab itu
mereka (para Imam) haruslah selalu dijaga dari perbuatan-
perbuatan yang tidak wajar. Dalam hal ini Jamaluddin berkata:
Ishmah, adalah perlindungan dari Allah SWT untuk seo-
rang mukallaf yang oleh karenanya dia terhind!ar dari tidak taat
kepada Allah SWT, atau juga dia akan terhindar dari perbuatan
maksiat yang mana sebagaimana manusia dia juga kuasa melaku-
kannya. Seandainya sifat Ma‟sum tersebut tidak diperoleh seorang
Isu-Isu Seputar Sunnah
60 Study Perbandingan ahl As-Sunnah dan Syi’ah Imamiyah)

hamba niscaya perkataannya tidak dapat dipercaya.105


Dari keterangan di atas dapat diketahui, bahwa mereka
menjadikan seorang imam sebagai orang yang ma‟shum seperti
Nabi Muhammad saw., yang di utus Allah, dan Sunnah adalah
perkataan orang ma‟shum, perbuatan atau ketetapannya, baik
Nabi Muhammad saw atau salah satu imam Syi‟ah. Mereka men-
jadikan imam seperti Nabi Muhammad dalam menjelaskan Al-
Qur‟an, dengan membatasi kemutlakannya dan mengkhususkan
keumumannya. Mereka juga berpandangan bahwa para periwayat
mereka melarang mengamalkan zahir Al-Qur‟ankarena mereka
tidak berpedoman dalam syari‟at kecuali dari para imam mereka.
Dan bahwa imam adalah sebagai sumber syari‟at secara mandiri.
Mereka mengatakan bahwa imam mempunyai ilham yang se-
banding dengan wahyu bagi Rasulullah saw.

105 Jamaluddin Ibn al-Muthahhar. Kasyfu al-Mawad (), hal 225


Isu-Isu Seputar Sunnah
Study Perbandingan ahl As-Sunnah dan Syi’ah Imamiyah) 61

Bab 3
KESIMPULAN

Beberapa ulasan tentang isu-isu Sunnah yang berkembang


dalam tradisi doktrin Ahlussunnah dan Syi‟ah Imamiyyah Itsna
Asyariyyah, pada dasarnya berangkat dari paradigma doktrin ke-
dua sekte tersebut, sehingga kemudian memunculkan konsep
Sunnah yang berbeda. Dalam sekte Ahlussunnah secara tegas
menyatakan bahwa Sunnah/Hadis hanyalah perihal yang muncul-
nya dari Rasulullah SAW saja bukan dari yang lainnya, begitupun
sekte Syi‟ah yang tidak mau kalah, mereka juga menegaskan bah-
wa Sunnah adalah segala sesuatu yang muncul bukan hanya dari
Nabi saja melainkan juga dari para Imam.
Klaim-klaim yang dimunculkan dari kedua fihak tersebut
sama-sama disandarkan kepada Al-Qur‟an dan Sunnah sekaligus
dalil rasional, sehingga kedua belah fihak sama-sama mengklaim
bahwa pendapat-pendapatnya ialah sama-sama dapat dipertang-
gung jawabkan secara ilmiah. Sebagaimana disinggung, bahwa
pada dasarnya sumber munculnya silang pandangan ini yang oleh
karenanya tidak jarang diantara dua sekte ini saling menyalahkan
bahkan saling mengkafir, dan memurtadkan ialah berangkat dari
paradigma berfikir masing-masing fihak. Selain juga akarnya pada
Isu-Isu Seputar Sunnah
62 Study Perbandingan ahl As-Sunnah dan Syi’ah Imamiyah)

fanatisme atas masing-masing kelompok.

Paradigma Ahlussunnah dan Syi’ah Imamiyyah Itsna Asya-


riyyah dalam konsep Sunnah
Pondasi pokok Ahlissunnah tentang konsep Sunnah pada
dasarnya berangkat dari ayat yang berbunyi wama yanthiqu an al-
hawa illah wahyun yuha (tidaklah dia berkata melainkan perkataan-
nya ialah firman Tuhan) dan juga beberapa ayat lain seperti dalam
surta al-Maidah : 92/An-Nisa‟ : 59/al-Ahzab:36, yang semua ayat
itu mengajurkan meneladani dan mentaati Rasulullah SAW. ala-
sannya karena tidak ada satupun perkara yang muncul dari Rasu-
lullah SAW melainkan sesuatu itu adalah dari Allah SWT, dari
sinilah muncul konsep Sunnah yang menegaskan bahwa yang di-
maksud Sunnah adalah segala hal yang muncul dari Rasulullah
SAW. selain Al-Qur‟an juga terdapat dalil yang berbunyi “alaikum
bi sunnati wa sunnat al-khulafaurrasyidin (berpegang teguhlah kalian
semua kepada sunnahku dan sunnah para khulafaurrasyidin).
Dari paradigam berfikir demikian muncullah konsep
wahyu, dalam hal ini yang dimaksud adalah ilmu yang secara khu-
sus diberikan oleh Allah SWT kepada para Nabinya untuk dijadi-
kan sebagai pegangan dalam mengatasi dan sebagai jalan keluar
dalam permasalahan yang terjadi pada Nabi atau umatnya, wahyu
yang dikatakan oleh Nabi merupakan firman Allah disebut Al-
Qur‟an, sedangkan wahyu yang diucapkan oleh Nabi namun tidak
disandarkan kepada Allah maka disebut Sunnah, oleh karenanya
sebagian pakar mendefinisikan Sunnah sebagai sesuatu yang mun-
cul dari Nabi yang selain Al-Qur‟an.
Isu-Isu Seputar Sunnah
Study Perbandingan ahl As-Sunnah dan Syi’ah Imamiyah) 63

Mengenai otoritas Sunnah dalam pandangan Ahlussunnah


ialah tidak dapat diragukan lagi, bahkan dalam pandangan mereka
Hadis/Sunnah dijadikan sumber rujukan hukum pada peringkat
kedua setelah Al-Qur‟an, selain juga merupakan penjelas atas ayat
Al-Qur‟an yang masi bersifat samar, seperti dalam masalah shalat,
maka tidak mungkin umat muslim melakasanakannya dengan
baik manakala tidak mencontoh Rasulullah SAW, atau zakat, haji
dan lainnya. Dari sisi inilah menjadi jelas bahwa Sunnah memiliki
peran penting dan otoritas yang sangat dominan dalam perkem-
bangan hukum Islam.
Lain halnya dengan sekte Syi‟ah Imamiyyah Itsna Asya-
riyyah, mereka memiliki persepsi bertolak belakang dengan sekte
Ahlussunnah dalam pandangan mereka bahwa yang dimaksud
Sunnah adalah segala sesuatu yang datangnya bukan hanya dari
Rasulullah SAW, melainkan juga dari para Imam mereka yang
dua belas. Kalau seandainya ditela‟ah secara seksama maka akan
terlihat bahwa pada dasarnya argumen mereka hanyalah berdasar
kepada rasional saja, meskipun mereka juga mengangkat bebera-
pa dalil ayat Al-Qur‟an dan Al-Hadis untuk menguatkan argumen
mereka dalam masalah Sunnah, akan tetapi dalail (dalil/bukti) me-
reka dapat dinyatakan lemah, karena semua dalil yang mereka
angkat tidak sama sekali menjelaskan asas-asas Sunnah sebagai-
mana konsepsi mereka. Justru yang paling menonjol adalah dalil
rasional, seperti “para Imam yang dua belas adalah penerus para Nabi,
oleh karenanya wajib bagi Allah agar memberikan segala keutamaan ke-
pada mereka sebagaimana keutamaan yang telah diberikan kepada para
Nabinya.
Isu-Isu Seputar Sunnah
64 Study Perbandingan ahl As-Sunnah dan Syi’ah Imamiyah)

Berangkat dari paradigma demikianlah para pemuka Syi‟ah


Imamiyyah menyatakan bahwa Sunnah bukan hanya dimiliki para
Nabi melainkan juga dimiliki para Imam mereka yang dua belas,
sehingga konsekuensinya berdampak pada pengkafirna pada sia-
papun yang menolak atas Sunnah yang keluar dari para Imam.
Mengenai otoritas Sunnah, pemahaman mereka tidak jauh
dengan pemahaman yang dimiliki Ahlussunnah yaitu menjadikan-
nya salah satu rujukan sumber hukum setelah Al-Qur‟an, bahkan
diantara ada yang beranggapan Sunnah lebih tinggi kedudukannya
dari pada Al-Qur‟an, dalam hal ini dikatakan yang diriwayatkan
dari Ali “hadza kitabullah as-shamit wa ana kitabullah an-nathiq” (Al-
Qur‟an adalah kitab Allah yang bisu sedang aku adalah firman Al-
lah yang dapat berbicara) atau sebagian diantara mereka mengata-
kan bahwa Al-Qur‟an itu tidak dapat dijadikan sebagai rujukan
manakala tidak ada imam yang menjelaskannya, dari sini menjadi
tampak bahwa Sunnah bagi kalangan Syi‟ah memiliki otoritas yang
sangat dominan.

Kodifikasi Sunnah
Pengkodifikasian Sunnah pada masa Rasulullah SAW ialah
terlarang, khususnya sebelum fathu makkah, pelarangan ini me-
nurut para pakar ialah karena ditakutkan adanya percampur adu-
kan antara firman Allah dan sabda Rasulullah SAW, namun sete-
lah fathu makkah penulisan Sunnah diperboleh. Sedangkan sekte
Syi‟ah berbeda pandangan, menurut mereka penulisan Sunnah
pada masa Rasulullah SAW ialah mutlak diperbolehkan, alasannya
Hadis tentang pelarangan tersebut ialah dla‟if (lemah) sehingga
Isu-Isu Seputar Sunnah
Study Perbandingan ahl As-Sunnah dan Syi’ah Imamiyah) 65

tidak dapat dijadikan sebagai rujukan hukum, bahkan menurut


mereka pelarangan penulisan Hadis tersebut hingga setelah sera-
tus tahun merupakan prakarsa politik khulafaurrasyidin (Abu Ba-
kar, Umar dan Utsman) dan Bany Umayyah, yaitu dalam rangka
menggeser Ali dari kepemimpinannya pasca wafatnya Rasulullah
SAW.

Khilafah/Imamah
Khilafah atau lebih masyhur dengan sebutan dengan Imamah
dalam tradisi pemahaman kepemimpinan sekte Syi‟ah Imamiyyah
Itsna Asyariyyah merupakan sumber pokok penyebab terjadinya
konflik diantara kaum muslim, wabilkhusus Ahlussunnah dan
Syi‟ah Imamiyyah, yang dengan perbedaannya memunculkan
doktrin-doktrin yang sangat mendasar yang dengan perbedaan itu
muncul klaim-klaim sesat dan pengkafiran antara sekte yang satu
dengan sekte yang lain, dalam hal ini yang paling parah adalah
doktrin yang dimunculkan sekte Syi‟ah Imamiyyah, diantaranya
adalah pernyataan yang menandaskan bahwa para Imam kedudu-
kannya sama dengan para Nabi, bahkan lebih utama dari pada
Nabi selain Nabi Muhammad. Kedua, memunculkan klaim bahwa
Sunnah bukan hanya dari para Nabi melainkan juga dari para
Imam yang dua belas. Ketiga, Memunculkan klaim bahwa para
khalifah (Abu Bakar, Umar dan Utsman) ialah termasuk orang
musyrik karena telah menggosob hak Ali Ibn Abi Thalib, yang
menurut mereka adalah satu-satunya orang yang berhak mendu-
duki mandat kepemimpinan pasca wafatnya Rasulullah SAW.
Kelima. Mereka menyatakan bahwa orang-orang muslim diluar
Isu-Isu Seputar Sunnah
66 Study Perbandingan ahl As-Sunnah dan Syi’ah Imamiyah)

mereka adalah orang-orang kafir dan musyrik, alasannya, karena


mereka tidak mengimani atas kekhilafahan para Imam yang dua
belas.
Walhasil, dapat kita simpulkan bahwa Syi‟ah Imamiyyah
adalah salah satu sekte yang berpaling dari ajaran Sunnah, karena
ajaran atau bahkan doktrin-doktrin mereka banyak bertentangan
dengan al-Qur‟an maupun dengan Sunnah, mengenai konsep
Sunnah yang berkembang dalam pemahaman mereka tidak dapat
dibenarkan baik secara ilmiah maupun secara doktrin agama, hal
ini dapat ditelaah melalui literatur-luteratur sejarah, Al-Qur‟an
ataupun Sunnah sehingga kita dapat mengerti tentang islam yang
sebenarnya.
Selaku seorang yang tidak terlepas dari sifat keterbatasan
dan jauh dari kesempurnaan, penulis bersyukur kepada Allah
SWT yang telah memberi kekuatan terhadap penulis dalam me-
nyelesaikan risalah ringkas ini, dan penulis juga mengaharap, se-
moga risalah ringkas ini akan menjadi rujukan bagi para pecinta
Sunnah, dan semoga risalah kecil ini dapat mengantarkan penulis
pada khususnya dan para pembaca pada umumnya untuk dapat
menimbang seperti apakah sosok Islam yang sebenarnya.

Wallahu A’lam
Isu-Isu Seputar Sunnah
Study Perbandingan ahl As-Sunnah dan Syi’ah Imamiyah) 67

Daftar Pustaka

H. Sulaiman Rasjid. Al-Fiqh al-Islami. (Bandung : Sinar Baru


Al-Gensindo. 2009) Abu al-Fida‟ Ismail ibn Umar ibn
Katsir al-Qursyiyyi al-Dassyaq, Tafsir ibn Katsir.(Dar
at-Thaibah : 1999)
M. Noor Sulaiman, Antologi Ilmu Hadits. (Jakarta : Gaung
Persada Press, 2008)
Muhammad ibn Yazid Abu Abdillah al-Quzwaini, Sunan Ibn
Majah, (Saudi : Thab‟at al-Arabiyah. 1984)
Muhammad ibn Ismail Abu Abdillah al-Bukhary, Shahih al-
Bukhary (Dar Ibn Katsir, Bairut : 1987 )
Abd al-Ghina abd al-Khaliq. Hujjiyyah as-Sunnah.(Amirikiyyah
: al-Ma‟had al-Alami, 1995)
Muhammad ibn idris as-Syafi‟i, ar-Risalah, Dar al-Kutub al-
Ilmiyyah)
Muhammad Hasbi al-Shidiqie, Sejarah Dan Pengantar Ilmu Hadis
(Jakarta : Bulan Bintang . 1980)
Abu al-Husain Muslim ibn al-Hujaj ibn Muslim al-Qsyairi an-
Naisabury, Shahih Muslim, (Dar al-Jail : Bairut, tt)
Muhammad ibn Mukrom Ibn mandzur al-Afriqy al-Mishry, Li-
san al-Arab, (Dar al-Shadir : Bairut, tt)
Muhammad Ujaj al-Khatiby, as-Sunnah Qabla at-Tadwin, (Makta-
Isu-Isu Seputar Sunnah
68 Study Perbandingan ahl As-Sunnah dan Syi’ah Imamiyah)

bah Wahbah : Kairo, 1988)


Muhammad ibn Ismail Abu Abdillah Al-Bukhary al-Ju‟fy, Shahih
al-Bukhary, (Turki : an-Nasyiran. 1992)
Sulaiman ibn Ahmad ibn Ayyub Abu al-Qasim Al-Thabrani. Al-
Mu‟jam al-Kabir, (al-Maktabah al-ulum wal-Hikam : 1983)
. Abu daud Sulaiman ibn al-Asy‟ats al-Sajastani. Sunan Abi Daud,
(Bairut : Dar al-Fikr. tt) Juz. 2 hal.610
Al-Bukhary, Shahih Bukhary, (Biarut : Dar Ibn Katsir. 1987)
Al-Turmudzy, Sunan at-Tirmudzy, (Dar Ihya‟ Turats al-Araby :
Bairut, tt)
Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah. I‟lam al-Muwaqqi‟in „an Rabbu al-
Alamin. (Dar al-Jail : Bairut, 1973 M )
Abu al-Husain Muslim ibn al-Hujaj ibn al-Muslim al-Qusyairi an-
Naisaburi, Shahih Muslim (Dar al-Jail : Bairut, tt )
Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, (Jakarta : Gaya Media Pratama,
2001), hlm 45.
Muhammad 'Ajaj Al Khatib (penerj. Qodirun Nur & ahmad mu-
syafiq), Ushul Hadis, (Jakarta : Gaya Media Pratama, 2003)
Muhammad 'Ajaj Al Khatib (penerj. Qodirun Nur & ahmad mu-
syafiq)
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta : Amazah, 2008)
Manna al Qtahthan (penerj.Mifdhol Abdurahman), Pengantar Studi
Ilmu Hadits, (Jakarta : pustaka al kautsar, 2004)
Abu Ja‟far Muhammad bin Ya‟qub al Kulayni , Ushulu al-Kafi,
(Dar al-Kutub al-Islamiah : Teheran, tt )
Muhammad ibn Hasan al-Hurru al-Amily, alfusulu al-Muhimmah
(Muassisah Ma‟arif Islam: Qum, 1418 H)
Isu-Isu Seputar Sunnah
Study Perbandingan ahl As-Sunnah dan Syi’ah Imamiyah) 69

Syaikh Abdullah al-Maqany. Miqbas al-Hidayah fi ilmi ar-Riwayah,


(Qum : Muassisah Al-albait alaihi as-Salam li Ihya‟i at-Turats.
1411 H)
Rasul Ja‟fariyan, Penulisan dan Penghimpunan Hadis kajian Historis,
terj. Dedi Jamaluddin Malik, (Jakarta: Lentera, 1992)
Aboebakar Aceh, Syi‟ah Rasionalisme Dalam Islam, (Solo: Ramad-
hani, 1984)
Ahmad Haris Suhaimy, Tausiq al-Sunnah, Baina al-Syi‟ah al-
Imamiyah wa ahl al-Sunnah, (t.tp.: Dar al-Salam, t.th),
Ali Ahamad Al-Salus, Ma‟a al-Isna „Asyariyah fi al-Ushul wa al-Furu‟
Mausu‟ah Syamilah, (Mesir: Maktabah Dar al-Qur‟an,
2003)
Ibn Khaldun, Muqaddimah (Beirut: Dar al-Kutub al-‟Ilmiyyah,
1978)
Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.)
Abdullah A. al-Munifi, The Islamic Constitutional Theory. (Disertasi
yang tidak dipublikasikan) Universitas Virginia, 1973
Qomaruddin Khan, The Political Thought of Ibn Taimiyah. (Islama-
bad: Islamic Research Institute, 1973).
AL-Kulaini . Ushul al-Kafi. (dar al-Ta‟arif bairut cet 4 1401)
Ali Ahmad as-Salus, Ensiklopedi Sunnah-Syi’ah; Studi Per-
bandingan Hadis & Fiqih, (Jakarta: Pustaka al-Kausar,
1997)
Isu-Isu Seputar Sunnah
70 Study Perbandingan ahl As-Sunnah dan Syi’ah Imamiyah)

Biografi Penulis

Faisol Nasar bin Madi lahir di Jember, 2 Agustus 1959.


menyelesakan kuliah S1 di Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan
Ampel Jember 1990. Sementara, S2nya ditempuh di Universi-
tas Islam Intenasioal Malaysia di Kuala Lumpur (2000). Hing-
ga kini, Faisal Nasasr masih menyelesaikan S3 di Universitas
Malaysia Kuala Lumpur.

Sekarang, Faisal Nasar mendapat amanah sebagai


Pembantu ketua Bidang Kemahasiswaan STAIN Jember
(2008-2012). Selain itu, Faisal juga aktif sebagai anggota Majlis
Ulama Indonesia Cabang Jember dan Forum Kerukunan
Umat Beragama. Amanah lain yang damabannya hingga seka-
rang adalah menjadi Ketua Al-Irsyad Al-Islamiyah Jember.

Anda mungkin juga menyukai