Anda di halaman 1dari 21

22

BAB II

PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI WILAYAH

NEGARA

A. Wilayah Sebagai Unsur Negara

Berbicara persoalan unsur-unsur negara sejatinya merupakan

sesuatu yang fundamental bagi keberlangsungan hidup suatu negara.

Eksistensi yang ditimbulkan dari pemenuhan unsur-unsur negara dapat

mempengaruhi keadaan baik itu dari skala nasional maupun internasional

meliputi sektor ekonomi, perpolitkan, dan pertahanan yang sesuai dengan

tujuan daripada pendirian suatu negara. Sebagaiamana dalam Pasal 1

Konvensi Montevideo 1933 tentang hak dan kewajiban negara , yang

sebenarnya hanya merupakan konvensi regional kawasan Amerika

Regional dimana senantiasa menjadi rujukan pertanyaan kapan suatu

entitas politik dapat dikatakan sebagai negara. Pasal 1 konvensi

Montevideo 1933 menyatakan bahwa karakteristik negara adalah sebagai

berikut : 1

1. Memiliki a defined territory (wilayah yang jelas)

2. Memiliki a permanent population (penduduk yang tetap)

3. Memiliki a government (memiliki pemerintahan)

21
Sefriani, op.cit, hal.40.
23

4. Memiliki a capacity to enter into relations with other states ( memiliki

kemampuan untuk melakukan hubungan internasional dengan negara

lain). Adapun bentuk penjelasan terkait unsur-unsur negara, yakni :2

1. Defined Territory ( wilayah yang jelas )

Defined territory adalah suatu wilayah yang befungsi sebagai

tempat bermukim penduduknya. Suatu wilayah dapat dikatakan sebagai

pasti atau tetap apabila wilayah tersebut sudah mempunyai kejelasan

batas-batas wilayahnya yang dituangkan melalui demarkasi dan dilienasi

batas wilayah.

Menurut Wiloughby, eksistensi negara sangat bergantung pada hak

negara atas territorial yang dimilikinya sebagai sebuah kesatuan sosial

yang nyata juga sebagai kesatuan geografis.

2. a permanent population (penduduk yang tetap)

Rakyat atau masyarakat merupakan unsur utama terbentuknya

suatu negara. Jika membicarakan negara, maka sebenarnya yang

dibicarakan adalah masyarakat manusia, dimana adanya manusia

merupakan suatu keharusan, sehingga manusia itu terciptalah kelompok

masyarakat. Terbentuknya kelompok masyarakat karena manusia dalam

kenyataanya adalah mahluk (zoom politicon), sebagaimana pendapat

Aristoteles “Hidup bermasyarakat merupakan suatu kelompok yang

mempunyai ide dan cita-cita serta keinginan untuk bersatu”. Dalam

pengamatan ilmu modern adanya ide atau cita-cita untuk bersatu serta

2
Rei Resza “Tinjauan Yuridis Terhadap Penengalaman Kapal Asing Pelaku
ILLegal, Unregulated And Unreported Fishing (IUU FISHING), Skripsi dalam Bidang
Ilmu Hukum, Universitas Kristen Satya Wacana , Salatiga, 2019, hal. 18-20.
24

kesatuan senasib dan seperjuangan disebut sebagai tekad untuk

membentuk suatu nation (bangsa). Oleh karena itu pengertian masyarakat

tersebut menjadi pengertian rakyat, yang berarti lebih condong kearah

konsepsi politik.

Pada umumnya penduduk suatu negara terdiri dari 2 (dua) tipologi.

Pertama, penduduk yang merupakan warga negara yang disetiap negara

merupakan mayoritas dari jumlah penduduknya, dimana penduduk

tersebut secara permanen di dalam wilayah negara yang bersangkutan serta

memiliki hubungan khusus dan timbal balik dengan negara tersebut.

Kedua, penduduk yang bukan warga negara adalah orang asing atau orang

yang bukan warga negara dari negara yang bersangkutan atau ada juga

orang yang tidak mempunyai status kewarganegaraan (stateless).

3. a government (memiliki pemerintahan)

Penduduk yang mendiami atau bermukim disuatu wilayah hidup

dengan mengorganisasikan diri mereka yang kemudian disebut sebagai

negara, guna mengatur penggunaan dan pengamanan wilayah serta

mengatur hubungan masyarakat dengan wilayah agar dapat mengatur dan

membina tata tertib dalam masyarakat, maka perlu adanya suatu

kekuasaan. Kekuasaan ini dipegang dan dijalnkan oleh pemerintahan

negara.

Pemerintahan terbangun dalam kehidupan bersama manusia selaku

anggota masyarakat yang mempunyai kepentingan dan tujuannya dalam

bentuk organisasi masyarakat, memilih pimpinan dalam rangka mengatur


25

organisasi masyarakatnya yang mempunyai cita-cita dan aktivitasnya

dalam hubunganya dengan negara atas atas dasar tatanan nilai, norma,

aturan sebagai bentuk kebijaksanaan dan kebijakan. Dalam suatu

organisasi pemerintahan yang dikembangkan yang berdimensi kehidupan

politik, administrasi, hukum, ekonomi, dan sosial budaya untuk melakukan

memerintah pada kelompok manusia dan masyarakat, maka terdapat

pemikiran tentang memerintah dan pemerintahan dalam mengatur,

mengurus, dan melaksanakan urusan pemerintah.3

4. a capacity to enter the relation with other states ( kemampuan untuk

mengadakan hubungan dengan negara lain)

Kemampuan untuk mengadakan hubungan hukum internasional

dengan negara lain tidak dapat diamati secara langsung karena bersifat

subjektif dan situasional. Kemampuan untuk mengadakan hubungan

internasional ini memerlukan proses panjang melalui adanya pengakuan

dari negara-negara lain terhadap keberadaan atau eksistensi negara yang

bersangkutan. Dengan demikian adanya pengakuan masyarakat

internasional mengandung nilai hukum yang melandasi eksistensi suatu

negara baik secara de facto (pada kenyataan) dan de jure (berdasarkan

hukum).

Kemampuan suatu negara untuk menjalin hubungan hukum dengan

subjek hukum internasional lain dapat dipandang sebagai manifestasi dari

kedaulatan negara, khususnya kedaulatan yang bersifat eksternal

3
Abd Halil Hi. Ibrahim dan Tjahja Supriatna, Epistemologi Pemerintahan
(Paradigma Manajemen, Birokrasi, dan Kebijakan Publik), Gramasurya, Yogyakarta,
2020, hal.1.
26

(kedaulatan ke luar). Kedaulatan eksternal inilah yang menjadi salah satu

kewenangan negara dalam melakukan hubungan hukum internasional,

sedangkan kedaulatan internal bukan merupakan faktor penentu dari

eksistensi suatu negara, oleh karena itu hukum internasional tidak

berurusan langsung dengan masalah dalam negeri masing-masing negara.4

Unsur-unsur negara yang termaktubkan dalam Pasal 1 konvensi

Montevideo 1933 tersebut telah terbagi dalam dua bentuk pengakuan yang

dikenal secara umum baik itu secara de facto dan de jure. Pengakuan

secara de facto biasanya diberikan atau lahir terlebih dahulu sebelum

bentuk pengakuan secara de jure. Dari sudut pandang negara yang

mengakui secara de facto, maka negara yang baru lahir itu dianggap telah

memenuhi syarat-syarat sebagai subyek hukum internasional yang sifatnya

temporer dalam kenyataan.5

Pemenuhan unsur-unsur negara merupakan hal mutlak yang harus

dilakukan oleh setiap kelompok atau organisasi tertentu jika ingin

mengklaim pendirian suatu negara. Hal ini senantiasa berdampak sangat

signifikan dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan benegara,

hingga pada tingkatan dunia internasional. Dampak yang ditimbulkan

ketika berbicara persoalan unsur negara salah satunya yakni, bentuk

penghormatan terhadap wilayah suatu negara sebagaimana telah tercantum

pada piagam PBB, dimana bentuk penghormatan tersebut merupakan

4
Suryo Sakti Hadiwijoyo, Perbatasan Negara Dalam Dimensi Hukum
Internasional, Graha Ilmu, Yogyakarta,2011, hal. 7.
5
J.G. Strake, Introduction to international law, Niith ed, Butterworths, London,
1984, p. 137.
27

suatu keharusaan yang harus tetap terjaga. Penghormatan terhadap wilayah

negara sangatlah melekat pada masyarakat internasional. Sebagaiamana

syarat dalam pendirian suatu negara. Terlepas daripada unsur negara yaitu

wilayah, ada bentuk pengakuan secara de jure yang lahir ketika pengakuan

akan pendirian suatu negara itu diakui oleh negara lain, sehingga hal-hal

yang menjadi ketetapan dunia internasional perlu untuk diratifikasi suatu

perjanjian seperti aturan terkait batas wilayah.

Peran sentral wilayah dalam skema hukum internasional bisa

dilihat dari perkembangan aturan hukum yang melindungi keadaannya

yang tidak bisa di ganggu gugat. Prinsip penghormatan integritas territorial

negara juga merupakan salah satu penyangga sistem internasional, seperti

halnya norma yang melarang campur tangan terhadap urusan internal

negara lain. Namun, terdapat sejumlah faktor yang mengurangi

ekslusivitas territorial negara dalam hukum internasional. Dalam hal ini,

perubahan teknologi dan ekonomi turut berdampak mengingat semakin

mencoloknya saling ketergantungan dan bangkitnya perhatian lintas

bangsa seperti hak asasi manusia dan penentuan nasib sendiri yang

cenderung mengusik ekslusivitas ini.6

Wilayah sebagai unsur negara menjadi salah satu unsur krusial

yang tentunya harus ada dari negara yang berdaulat. Wilayah suatu negara

sendiri ditentukan oleh batas-batas tertentu, baik itu di darat, laut, maupun

udara. Perbatasan tersebut menjadi penting bagi negara selain sebagai

6
Malcolm N. Shaw QC, op.cit., hal. 479
28

batas atau penanda luas wilayah suatu negara, tetapi juga menyangkut

banyak aspek lain dalam kehidupan bernegara seperti masalah ekonomi,

sosial-budaya, keamanan, dan identitas atau harga diri bangsa.7

Hukum internasional didasarkan pada konsep negara. Negara pada

dasarnya bekerja di atas fondasi kedaulatan, yang mengekspresikan secara

internal supremasi daripada lembaga pemerintah dan mengekresikan

secara eksternalisasi negara sebagai badan hukum.8 Tetapi kedaulatan itu

sendiri, dengan pengiringnya atas hak dan kewajiban hukum, didasarkan

pada fakta wilayah. Tanpa wilayah, badan atau subjek hukum tidak bisa

menjadi negara.9 Hal Ini tidak diragukan lagi adalah perihal karakteristik

dasarnya dari suatu negara dan yang paling diterima dan dipahami secara

luas. Saat ini ada sekitar 200 unit teritorial yang berbeda, masing-masing

tunduk pada kedaulatan teritorial dan yurisdiksi yang berbeda.

Konsep hukum fundamental seperti kedaulatan dan yurisdiksi

hanya dapat dipahami dalam kaitannya dengan wilayah, maka sifat hukum

wilayah menjadi bagian penting dalam studi hukum internasional.

Memang, prinsip dimana negara dianggap melaksanakan kekuasaan

eksklusif atas wilayahnya dapat dianggap sebagai aksioma fundamental

hukum internasional klasik.10 Perkembangan hukum internasional atas

dasar kewenangan eksklusif negara dalam kerangka teritorial yang

7
https://www.hubunganinternasional.id/main/blog/16?title=Perbatasan dalam
Studi Hubungan Internasional (diakses pada tanggal 3 maret 2021 )
8
Malcom N Shaw Qc, International Law, ed eight, Cambridge University Press,
England,2017, p.451.
9
Ibid. p. 451.
10
L. Delbez, ‘Du Territoire dans ses Rapports avec l’ État’, 39 Revue Générale
de Droit International Public, 1932, p. 46.
29

diterima, berarti bahwa wilayah menjadi suatu konsep dasar hukum

internasional.11 Sebagian besar negara memang berkembang melalui

hubungan yang erat dengan tanah yang mereka tempati.12

Hukum mencerminkan kondisi politik dan berkembang, dalam

banyak kasus, selaras dengan kenyataan, hukum internasional harus

mengembangkan serangkaian aturan yang mengatur transfer dan kontrol

wilayah. Aturan seperti itu, pada dasarnya adalah sifat alami masyarakat

internasional, sering (meskipun tidak selalu) memiliki efek melegitimasi

hasil pelaksanaan kekuasaan. Aturan yang ditetapkan oleh undang-undang

dan keputusan yudisial tentang transfer dan penguasaan tanah dalam

negara bagian tertentu biasanya sangat rinci, karena mereka berurusan

dengan salah satu dari sumber daya dasar dan faktor pencipta kekayaan

bangsa. Perlakuan wilayah dalam hukum internasional belum mencapai

tahap yang canggih ini karena sejumlah alasan, khususnya sistem

horizontal kedaulatan teritorial yang ada secara internasional berbeda dari

tatanan vertikal hukum pertanahan yang bertahan di sebagian besar sistem

munisipilitas ( entitas administratif yang terdefinisi secara jelas wilayah

dan penduduknya).

Dalam hukum internasional, perubahan kepemilikan wilayah

tertentu juga melibatkan perubahan kedaulatan dan juga dalam

kewenangan hukum yang mengatur daerah tersebut. Artinya,

kewarganegaraan penduduk diubah, seperti sistem hukum di mana mereka

11
Ibid.
12
Ibid.
30

tinggal, bekerja, dan hubungan berperilaku, sedangkan dalam hukum

negara tidak ada perubahan seperti itu terlibat dalam perubahan hukum

kepemilikan. Oleh karena itu, hukum internasional harus menangani juga

semua efek perubahan yang beragam dalam kedaulatan teritorial dan tidak

membatasi perhatiannya pada mekanisme akuisisi belaka atau hilangnya

wilayah.13

B. Wilayah-Wilayah Negara

1. Wilayah daratan

Wilayah daratan merupakan tempat dimana setiap aktifitas yang

dilakukan oleh individu maupun kelompok maupun tempat untuk

berinteraksi antara satu sama lain. Wilayah daratan memiliki keguanaan

yang sangat penting yang merupakan suatu objek vital negara dimana pada

wilayah daratan berlangsung sistem pemerintahan.

Secara umum dikatakan bahwa hukum internasional tidak

mengenal adanya aturan secara khusus yang berlaku dalam rangka

pengaturan ratifikasi wilayah perbatasan daratan anatarnegara. Hal ini

terkesan bisa menimbulkan konflik antara negara-negara. Metode yang

biasanya digunakan dalam hal penentuan perbatasan antara negara

dilakukan denga dua cara yakni penerpan secara alami dan secara

artificial.

Metode lainnya yang dipakai yakni dengan mengikuti contur alami

daerah perbatasan dimaksud. Hukum internasional mengenal pendekatan

13
Ibid. hal. 453.
31

ini sebagai pendekatan watershed,yaitu mengikuti aliran turunnya air dari

tempat yang lebih tinggi. Dalam prakteknya, mekanisme ini banyak

timbulkan permasalahan dan masalah dalam hubungan antara dua negara.

Permasalahan akan timbul karena perbedaan penafsiran kedua belah pihak

akibat fakta dilapangan yang lain dan beda dengan substansi naskah

perjanjian.Dalam keterkaitan ini, hukum international tekankan perlunya

good faith (itikad baik) kedua pihak untuk mengensampingkan pendekatan

kekerasan dan sebaliknya prioritaskan untuk cara penyelesaian secara

aman damai. Kesepakatan yang dicapai kedua pihak sehubungan dengan

output penetapan dilapangan berdasar penerapan method ini umumnya

dituangkan didalam field plan dan sebagai salah satu referansi hukum

dalam penetapan perbatasan daratan.14

2. Wilayah Laut

Kondisi geografis bumi menunjukan bahwa wilayah lautan lebih

besar dari wilayah daratan, sehingga konsekuensi logisnya adalah bahwa

sebagian besar sumber daya alam yang diperlukan untuk mendukung

kesejahteraan manusia tersedia dilautan. Fungsi utama laut disamping

penyedia media transportasi, juga sebagai penyedia sumber daya alam

yang paling besar, baik sumber daya alam hayati maupun non-hayati.15

Seorang ahli hukum yang beraliran hukum alam yakni Hugo

Grotius berpendapat bahwa “Laut adalah unsur yang bergerak dengan cair,

14
Fitri Windradi dan Niniek Wahyuni, “ Konsep Pengaturan dan Ratifikasi
Batas Kedaulatan Wilayah Laut Negara Kesatuan RI dalam Prespektif Hukum
Internasional”, Jurnal Transparansi Hukum, Universitas Kadiri, Jawa Timur, 2020, hal.7.
15
Dhian Puspitawati, Hukum Laut Internasional, Kecana,Jakarta, 2017, hal.1-2.
32

orang-orang tidak bisa secara permanen tinggal dilautan, laut hanya

digunakan sebagai tempat singgah dan jalur transportasi dalam rangka

keperluan- keperluan tertentu dan kemudian kembali lagi ke daratan. Di

wilayah darat manusia bisa hidup dan berkembang secara permanen,

dimana dapat melakukan kekuasaan secara efektif dan berkelanjutan. Oleh

karena itu laut tidak bisa dimiliki oleh siapa pun (res extra commercium).

Laut tidak dapat berada dibawah kedaulatan negara mana pun di dunia ini

dan laut menjadi bebas”.

Hukum laut mempunyai sejarah panjang dalam pembentukan

model hukumnya dikarenakan perdebatan besar atas negara kepulauan dan

juga negara yang tak mempunyai pantai dan laut. United Nations

Convention on The Law of The Sea 1982 sebagai Konvnesi dari PBB yang

membawahi negara-negara di dunia, baik yang memiliki laut dan pantai

maupun yang tidak.16 Sehingga menciptakan Instrumen hukum

internasional yang hampir seluruh negara yang ikut dalam konvensi

tersebut meratifikasi perjanjian tersebut. Pengaturan tentang laut dalam

UNCLOS 1982 tidak hanya terbatas pada pengaturan perbatasan

kepulauan dan kelautan.17

Dalam beberapa dekade pada tahun 90-an telah terjadi beberapa

perubahan terkait pengaturan hukum laut diantaranya :

16
United Nations Convention on The Law of The Sea 1982
17
Melly Aida dan M farid Al Rianto, Hukum Laut Internasional Dalam
Perkembangan (Kerjasama Regional Dalam Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan
Laut di Selat Malaka),Justice Publisher , Bandar Lampung, 2014, hal. 38-39.
33

1. The Hague Codification Conference in 1930 ( Konferensi

Kodifikasi Den Haag 1930 di bawah naungan Liga

BangsaBangsa). Konvensi ini adalah Konvensi pertama yang

membahas tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban negara

pantai atas laut. Tetapi Konvensi ini gagal menghasilkan

ketetapan-ketetapan internasional dikarenakan tidak

terdapatnya persesuaian paham tentang lebar laut teritorial dan

pengertian mengenai zona tambahan.18

2. The UN Conference on the law of the sea in 1958 (Konferensi

PBB tentang Hukum Laut). Konvensi yang dilaksanakan pada

tahun 1958 di Jenewa ini setidaknya terdapat beberapa

kesepakatan yang dibuat diantaranya, yakni :

a. Convention on the Territorial Sea and Contigious Zone

(Konvensi tentang laut teritorial dan zona tambahan),

b.Convention on the High Sea (Konvensi tentang laut lepas),

c. Convention on Fishing amd Conservation of the Living

Resources of the High Sea (Konvensi tentang perikanan dan

kekayaan alam hayati di laut lepas),

d.Convention on Continental Shelf (Konvensi tentang Landas

dan Kontinen).19

Setelah melewati beberapa kesepakatan yang dibuat oleh negara-

negara terkait dengan bentuk pengaturan mengenai hukum laut, maka

18
P Joko Subagyo, Hukum Laut – Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 1993, hal.3.
19
Boer Mauna, Op.Cit., hal.181.
34

ditetapkanya aturan baru serta penambahan hukum laut melalui Konvensi

PBB tentang Hukum Laut 1982 (United Nations Convention on the Law

of the Sea) yang ditandatangani oleh 119 Negara di Teluk Montego

Jamaika tanggal 10 Desember 1982.

Hal utama yang menjadi pokok sehingga dilaksanakanya konvensi

hukum laut ini adalah permasalahan maritim zones-laut teritorial, zona

tambahan, zona ekonomi eksklusif, landas kontinen, laut tinggi, wilayah

laut internasional dan perairan kepulauan. Konvensi ini juga memuat

ketentuan untuk lewatnya kapal, perlindungan lingkungan laut, kebebasan

penelitian ilmiah, dan eksploitasi sumber daya alam.20

Konvensi PBB tentang hukum laut 1982 (UNCLOS 1982)

melahirkan bebarapa bentuk pengaturan terkait hukum laut yakni :

a. Laut Teritorial

Laut territorial (territorial Sea) adalah bagian laut yang

terletak pada sisi luar dari garis pangkal atau garis dasar (base line)

dan disebelah luarnya dibatasi oleh garis atau batas luar (outer

limit). Yang dimaksud oleh garis pangkal adalah garis yang ditarik

pada pantai pada air laut surut. Ditetapkanya pada waktu air laut

surut disebabkan oleh karena garis air laut surut adalah merupakan

batas antara daratan dan perairan (laut).21

Laut territorial berdasarkan bentuk penganturanya

merupakan garis pangkal yang diukur sejauh 12 mil laut. Garis


20
http://www.sangkoeno.com/2016/07/sejarah-lahirnya-unclos.html (diakses
pada tangga 6 maret 2021).
21
Ibid,hal.150.
35

pangakal tersebut yang berada pada kawasan sejauh 12 mil berlaku

suatu dasar kedaulatan penuh atas ruang udara yang berada

diatasnya serta tanah dibawahnya dan dalam laut territorial juga

membahas persoalan hak lintas damai bagi kapal asing.

Sebagaimana dalam Pasal 3 menyebutkan bahwa “setiap negara

berhak menetapkan lebar teritorialnya hingga suatu batas yang

tidak melebihi 12 mil laut, diukur dari garis pangkal yang

ditentukan sesuai dengan konvensi ini.”

b. Perairan Pedalaman

Pasal 8 ayat (1) United Nations Conventions on the Law of

the Sea (UNCLOS 1982) disebutkan bahwa Perairan Pedalaman

adalah perairan pada sisi darat garis pangkal laut teritorial. Pasal

tersebut berbunyi, “Perairan pada sisi darat garis pangkal laut

territorial merupakan bagian perairan pedalaman negara tersebut”.

c. Zona tambahan

Zona tambahan sebenarnya sudah dikenal semenjak perang

dunia II, sebagai konsep hukum yang pertama kali diperkenalkan

oleh Oden de Bouen dalam konperensi internasional tentang

perikanan yang diselenggarakan di Madrid, Spanyol.

Zona tambahan sesuai Pasal 33 ayat (2) UNCLOS 1982

menjelaskan bahwa zona tambahan tidak dapat melebihi dari 24

mil laut garis pangkal dari mana lebar laut territorial diukur. Pada

zona tambahan hanya memiliki kedaulatan yang terbatas dimana


36

kedaulatan terbatas tersebut hanya mencakup bentuk pencegahan

terhadap pelanggaran seperti bea cukai,fisikal, imigrasi atau

saniteri dan perikanan seperti ditegaskan pada Pasal 33 ayat 1.

d. Landasan kontinen

Landasan kontinen meliputo dasar laut dan tanah

dibawahnya dari area dibawah permukaan laut yang terletak di luar

laut territorial, sepanjang kelanjutan alamiah wilayah daratan hingga

pinggiran luar tepi kontinen, atau hingga suatu jarak 200 (dua ratus)

mil laut dari garis pangkal darimana lebar laut territorial diukur.22

e. Zona ekonomi eksklusif

ZEE adalah suatu zona selebar tidak lebih dari 200 mil laut

dari garis pangkal. Di zona ini negara pantai memiliki hak-hak

berdaulat yang eksklusif untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi

sumber kekayaan alam serta yurisdiksi tertentu terhadap :23

1. Pembuatan dan pemakaian pulau buatan, instalasi dan

bagunan

2. Riset ilmiah kelautan

3. Perlindungan dan pelastarian lingkungan laut

f. Laut lepas

Istilah laut lepas (high seas) pada mulanya berarti seluruh

bagian laut yang tidak termasuk perairan pedalaman dan laut

teritorial dari suatu negara. Pada konperensi Kodifikasi Den Haag

22
Sefriani, op.cit., hal. 182.
23
Ibid.,182-183.
37

1930 atas prakarsa Liga Bangsa-Bangsa walaupun disetujui

mempertimbangkan laut teritorial sebagai bagian dari wilayah

negara pantai, dan perairan di luarnya adalah laut lepas, tetapi

konperensi tersebut mengalami kegagalan dalam menentukan lebar

laut teritorial.

Konsepsi laut bebas ini lebih jelas terlihat di dalam pasal 2

dari Konvensi Jenewa 1958 tentang laut lepas, yang menyatakan

bahwa laut lepas adalah terbuka untuk semua bangsa, tidak ada

suatu negarapun secara sah dapat melakukan pemasukan bagian dari

laut lepas ke daerah kedaulatannya. Laut lepas dimaksudkan untuk

kepentingan perdamaian dan tidak suatu negarapun yang dapat

melakukan klaim kedaulatannya atas bagian laut lepas.24

Terhadap kawasan laut lepas berlaku prinsip berbagai

prinsip kebebasan dalam batas-batas hukum internasional, seperti

kebebasan berlayar, penerbangan, kebabasan menagkap ikan dan

juga penelitian ilmiah.25

g. Dasar laut samudra dalam

Dasar laut yang berada diluar yuridiksi negara dalam

UNCLOS 1982 ditetapkan bahwa Dasar Laut Internasional yang

tunduk kepada ketentuan internasional merupakan Warisan

Bersama Umat Manusia dan dicadangkan untuk generasi yang

24
Mochtar Kusumaatmadja,Hukum Laut Internasional, IKAPI, Bandung, 1983,
hal 95.
25
Ibid, hal . 183.
38

akan datang.26 Suatu kemajuan sangat berarti diperoleh oleh

negara-negara berkembang dikawasan ini yaitu dengan diakuinya

prinsip warisan bersama umat manusia (common heritage of

mankind), serta terbentuknya badan otorita hukum laut

internasional sebgai tindak lanjutnya.27

3. Wilayah Udara

Terdapat adagium dalam hukum Romawi yang berbunyi “ciujus est

solum, ejus est usque ad coelum”, yang artinya barang siapa yang

menguasai sebidang tanah, maka dia berhak atas segala sesuatu yang

terdapat di tanah tersebut sampai suatu ketinggian yang tidak terbatas.

Adagium ini kemudian diadaptasi oleh hukum internasional

berkaitan dengan kedaulatan negara yang meliputi darat, laut dan udara.

Kedaulatan suatu negara atas wilayah udara mengikuti wilayah darat dan

laut sampai suatu ketinggian yang disebut ruang angkasa. Sampai saat ini

belum ada kesepakatan dalam hukum international mengenai batas

wilayah udara suatu negara. Yang dipakai sebagai pedoman adalah

sampai suatu batas di mana pesawat udara masih bisa terbang diruang

udara.28

26
Heryandi “Kerjasama Internasional Pengelolaan Sea Bed Area dan
Implikasinya Bagi Negara Pantai. Jurnal Dinamika Hukum”. Vol.13 No.3. September,
2013, Hal. 356-357
27
Ibid.
28
Fitri Windradi dan Niniek Wahyuni “Konsep Pengaturan dan Ratifikasi Batas
Kedaulatan Wilayah Laut Negara Kesatuan RI Dalam Pesektf Hukum Internasional”,
Jurnal Transparansi Hukum, hal. 28-29.
39

Pengaturan ruang udara juga angkasa memang merupakan aturan

yang relative baru dibandingkan pengaturan internasional di wilayah bumi

yang lain, seperti halnya laut. Hal ini dapatlah dimaklumi mengingat

sebelumnya belum terpikirkan manusia akan bisa terbang mencapai bulan

dan benda angkasa lainya. Beda halnya dengan laut yang sudah berhasil

dikuasai manusia sejak berabad-abad sebelumnya. Barulah sejak

ditemukannya balon udara juga pesawat yang paling sederhana kemudian

digunakan untuk melumpuhkan kekuatan musuh di era perang mulai

terpikirkan untuk mengatur kedaulatan negara di ruang udara yang

ternyata merupakan wilayah yang sangat penting dan strategis bagi suatu

negara.29

Setelah menyadari bahwa wilayah udara memiliki nilai ekonomis

dan strategis, maka negara-negara mulai memikirkan instrumen hukum

untuk melindungi kepentingannya sehingga lahirlah berbagai perjanjian

internasional di bidang hukum udara. Dua perjanjian internasional yang

melegitimasi kepemilikan negara atas ruang udara adalah Konvensi Paris

1919 dan konvensi Chicago 1944. Lahirnya dua perjanjian tersebut

didasarkan atas teori kepemilikan ruang udara (the air sovereignty

theory).30

29
Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pengantar, Ibid, hal .197.
30
Baiq Setiani “Konsep Kedaulatan Negara di Ruang Udara dan Upaya
Penegakan Pelanggaran Kedaulatan oleh Pesawat Udara Asing” , Jurnal Ilmu Hukum,
Universitas Azzahra, Jakarta Timur, 2017, hal. 4.
40

Pasal 1 Konvensi Paris 1919 yang dikuatkan pada Konvensi

Chaniago 1944 menegaskan bahwa negara mempunyai kedaulatan yang

penuh dan eksklusif atas ruang udaranya. Negara memiliki yurisdiksi

eksklusif dan kewenangan yang penuh untuk mengontrol ruang udara

diatas wilayahnya. Kata-kata penuh dan ekslusif menunjukan betapa

besarnya kedaulatan yang dimiliki suatu negara atas ruang udaranya.

C. Hubungan Wilayah dan Kedaulatan

Kata ‘kedaulatan’ berasal dari bahasa Inggris, yaitu ‘sovereignty’

yang berasal dari kata Latin ‘superanus’ berarti ‘yang teratas’. Negara

dikatakan berdaulat atau sovereign karena kedaulatan merupakan suatu

sifat atau ciri hakiki negara. Apabila dikatakan bahwa suatu negara itu

berdaulat, dimaksudkan bahwa negara itu mempunyai kekuasaan tertinggi.

Walaupun demikian, kekuasaan tertinggi ini mempunyai batas-

batasnya.Ruang pemberlakuan kekuasaan tertinggi ini dibatasi oleh batas

wilayah negara itu, artinya suatu negara hanya memiliki kekuasaan

tertinggi di dalam batas wilayahnya. Jadi, pengertian kedaulatan sebagai

kekuasaan tertinggi mengandung dua pembatasan penting dalam dirinya

yaitu:31

1. Kekuasaan terbatas pada batas wilayah negara yang memiliki

kekuasaan itu.

2. Kekuasaan itu berakhir ketika kekuasaan suatu negara lain

dimulai.

31
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, op.cit., hal.16-18
41

Daniel Patrick O'Connell seorang ahli hukum sekaligus pengacara

yang berkonsentrasi pada bidang hukum internasional berpendapat bahwa

kedaulatan dan wilayah berkaitan erat karena pelaksanaan kedaulatan

didasarkan pada wilayah.

Hubungan antara kedaulatan dan wilayah sama-sama memiliki arti

penting bagi keberlangsungan suatu negara, bentuk penghormatan

terhadap wilayah itu lahir ketika kedaulatan itu ada. Kedaulatan itu berarti

kekuasaan tertinggi diamana ada pemberlakuan yuridksi didalamnya.

Yurisdiksi sendiri diartikan sebagai kekuasaan atau kompetensi hukum

negara terhadap orang, benda atau peristiwa hukum. Yurisdiksi juga

merupakan refleksi dari prinsip dasar kedaulatan negara dan prinsip tidak

campur tangan.32

Setiap negara yang lahir dimana sudah memenuhi unsur-unsur

yang termaktubkan dalam Konvensi Montevideo memiliki hak yang

fundamental dalam bentuk penghargaan terhadap kedaulatan akan

wilayahnya. Kedaulatan yang dimiliki oleh suatu negara dalam

pelaksanaan jurisdiksi ekslusif memiliki kekuatan yang mengikat bagi

setiap negara dan harus di hormati oleh dunia internasional.

Kedaulatan territorial suatu negara tidak serta merta bersifat

sebebas bebasnya dalam hal pelaksanaan yuridiksinya, namun ada batasan-

batasan yang perlu dihormati dimana, suatu negara tidak dapat

melaksanakan Yurisdiksi ekslusifnya ke luar dari wilayahnya yang dapat

32
Ian Brownlie, Principle of Public International Law, Oxford University Press,
edisi ke-3, 1979, Hal.109.
42

mengganggu kedaulatan wilayah negara lain. Suatu negara hanya dapat

melaksanakannya secara ekslusif dan penuh hanya di dalam wilayahnya

saja.

Hakikat kedaulatan teritorial terkandung dalam pengertian hak.

Istilah ini berhubungan baik dengan kondisi faktual dan hukum di mana

suatu wilayah dianggap sebagai bagian dari suatu wilayah otoritas tertentu

atau lainnya. Dengan kata lain, hal ini mengacu pada keberadaan fakta-

fakta yang diisyaratkan di bawah hukum internasional untuk menimbulkan

konsekuensi hukum dari perubahan status yuridis dari wilayah tertentu.33

Wilayah dalam hal ini merupakan unsur awal yang dapat menjadi

acuan sehingga suatu kedaulatan dapat berfungsi semestinya. Ada berbagai

hal yang berkesinambungan antara wilayah dan kedaulatan sehingga dua

hal tersebut menjadi hal urgent demi keberlangsungan suatu negara.

Adanya suatu wilayah tanpa adanya kedaulatan, jika dilihat dari sudut

pandang kedaulatan keluar maka hal dapat merusak citra daripada negara

itu sendiri, misalnya negara lain dapat masuk dengan mudah menganggu

keamanan dan ketentraman wilayah suatu negara.

Persoalan kedaulatan ialah jati diri suatu bangsa, ketika berdaulat

maka bangsa itu akan mampu menunjukkan jati diri, karakter hingga

keunggulannya dimana keberadaanya akan diperhatikan dan

diperhitungkan oleh bangsa-bangsa lain

33
Jennings, Acquisition, See also Brownlie’s Principles of Public International
Law, 8th edn, Oxford, 2012, p. 216.

Anda mungkin juga menyukai