Anda di halaman 1dari 4

Etos Kerja ... untuk Siapa?

Kusmayanto Kadiman
Menteri Negara Riset dan Teknologi - Republik Indonesia

Potret Etos Kerja Bangsa: Buram atau Asing?


Studi-studi sosiologi dan manajemen dalam beberapa dekade belakangan
bermuara pada satu kesimpulan yang mengaitkan antara etos kerja manusia (atau
komunitas) dengan keberhasilannya: bahwa keberhasilan di berbagai wilayah kehidupan
ditentukan oleh sikap, perilaku dan nilai-nilai yang diadopsi individu-individu manusia di
dalam komunitas atau konteks sosialnya. Melalui pengamatan terhadap karakteristik
masyarakat di bangsa-bangsa yang mereka pandang unggul, para peneliti menyusun
daftar tentang ciri-ciri etos kerja yang penting. Misalnya etos kerja Bushido dinilai
sebagai faktor penting dibalik kesuksesan ekonomi Jepang di kancah dunia. Etos kerja
Bushido ini mencuatkan tujuh prinsip, yakni:
1. Gi - keputusan yang benar diambil dengan sikap yang benar berdasarkan
kebenaran; jika harus mati demi keputusan itu, matilah dengan gagah, sebab
kematian yang demikian adalah kematian yang terhormat:
2. Yu - berani dan bersikap kesatria:
3. Jin - murah hati, mencintai dan bersikap baik terhadap sesama:
4. Re - bersikap santun, bertindak benar:
5. Makoto - bersikap tulus yang setulus-tulusnya, bersikap sungguh dengan
sesungguh-sungguhnya dan tanpa pamrih:
6. Melyo - menjaga kehormatan, martabat dan kemuliaan, serta
7. Chugo - mengabdi dan loyal.
Begitu pula keunggulan bangsa Jerman, menurut para sosiolog, terkait erat dengan etos
kerja Protestan, yang mengedepankan enam prinsip, yakni:
1. bertindak rasional,
2. berdisiplin tinggi,
3. bekerja keras,
4. berorientasi pada kekayaan material,
5. menabung dan berinvestasi, serta
6. hemat, bersahaja dan tidak mengumbar kesenangan.
Pertanyaannya kemudian adalah seperti apa etos kerja bangsa Indonesia ini.
Apakah etos kerja kita menjadi penyebab dari rapuh dan rendahnya kinerja sistem sosial,
ekonomik dan kultural, yang lantas berimplikasi pada kualitas kehidupan? Ataukah etos
kerja yang kita miliki sekarang ini merupakan bagian dari politik republik tercinta?
Dalam buku "Manusia Indonesia" karya Mochtar Lubis yang diterbitkan sekitar
seperempat abad yang lalu, diungkapkan adanya karakteristik etos kerja tertentu yang
dimiliki oleh bangsa Indonesia. Beberapa di antara ciri-ciri itu adalah: munafik; tidak
bertanggung jawab; feodal; percaya pada takhyul; dan lemah wataknya. Beliau tidak
sendirian. Sejumlah pemikir/budayawan lain menyatakan hal-hal serupa. Misalnya, ada
yang menyebut bahwa bangsa Indonesia memiliki ‘budaya loyo,’ ‘budaya instan,’ dan
banyak lagi.

Diskusi tentang ”Etos Kerja” Meneg Ristek RI 7 Desember 2005


Hasil pengamatan para pemikir/cendekia tersebut tentu ada kebenarannya. Tetapi
tentunya (dan mudah-mudahan) bukan maksud mereka untuk membuat final judgement
terhadap bangsa kita. Pernyataan-pernyataan mereka perlu kita sikapi sebagai suatu
teguran dan peringatan yang serius. Jika ciri-ciri etos kerja sebagaimana diungkapkan
dalam “Manusia Indonesia” kita sosialisaikan, tumbuhkembangkan dan pelihara, maka
berarti kita bergerak mundur beberapa abad ke belakang.
Tanpa bermaksud terlarut dalam kejayaan masa lalu, sejarah menunjukkan bahwa
bangsa Indonesia memiliki prestasi yang patut dihargai dalam perjalanannya. Tegaknya
candi Borobudur dan puluhan yang lainnya hanya mungkin terjadi dengan dukungan etos
kerja yang bercirikan disiplin, kooperatif, loyal, terampil rasional (sampai batas tertentu),
kerja keras, dan lain-lain. Berkembang luasnya pengaruh kerajaan-kerajaan besar seperti
Majapahit, Samudra Pasai, Mataram, Demak, dengan berbagai perangkat dan
infrastruktur teknologis maupun sosial dalam pengelolaan kenegaraannya, juga
mempersyaratkan adanya suatu etos kerja tertentu yang patut dihargai. Selain ini,
pesantren-pesantren yang sampai kini masih bertahan dan berkembang, memiliki akar
pertumbuhan pada beberapa abad yang lalu, yang menunjukkan bahwa tradisi belajar-
mengajar telah menjadi bagian kehidupan masyarakat Tanah Air jauh sebelum bangsa
Belanda mengunjungi kita.
Kita juga mengenal slogan-slogan yang, setidaknya dulu, pernah menjadi
cerminan suatu etos kehidupan, seperti: Bhinneka Tunggal Ika; Ing Ngarso Sung Tulodo,
Ing Madyo Mbangung Karso, Tut Wuri Handayani; Menang Tan Ngasorake; Niteni,
Niroake, Nambahake. Ini mencerminkan etos kerja dalam konteks kehidupan sosial yang
penting dalam membangun persatuan, leadership, dan bahkan untuk berinovasi. Masih
banyak lagi slogan-slogan yang berlaku dan terkenal di berbagai daerah-daerah di Tanah
Air.
Sejarah bangsa Indonesia dapat menjadi salah sebuah sumber penting bagi kita
untuk menggali, memahami dan membangun etos kerja bangsa kita. Hanya saja,
perhatian pada sejarah tak jarang dimotivasi oleh dorongan-dorongan apologetik, atau
menjadi ‘pelarian’ dari tantangan-tantangan yang kita hadapi hari ini. Jika potensi
sejarah ini tidak dimanfaatkan secara optimal, ini bisa berimplikasi keterasingan bangsa
akan dirinya sendiri. Lebih jauh, ini bisa membuat kita asing terhadap etos kerja bangsa
kita sendiri.

Peranan Nalar dalam Membangun Etos Kerja


Seorang neurolog Donald B. Calne, melalui karyanya “Within Reason” atau Batas
Nalar, mempertanyakan peranan nalar dalam membentuk perilaku etika manusia. Bagi
Calne, direktur di sebuah Pusat Penanggulangan Penyakit Syaraf, yang mengusik
perhatian dan pemikiran dia adalah fakta-fakta di mana nalar dan pendidikan tidak
tampak mampu untuk mengendalikan perilaku manusia dan membangun etos kerja.
Kegelisahan ini tercermin dalam pertanyaan kritis Calne berikut:
”Jika kita berpikir lebih banyak, akankah kita bertindak lebih baik?”

Calne, melalui pencermatan kritis terhadap sejarah, mendapati adanya berbagai


peristiwa kejam, tidak beradab, irasional, yang dilakukan oleh individu, kelompok
ataupun bangsa yang justeru telah meraih kemajuan dalam pendidikan dan penalaran.

Diskusi tentang ”Etos Kerja” Meneg Ristek RI 7 Desember 2005


Untuk lebih sistematis dalam memahami fenomena yang menggelisahkan ini, Calne
menuangkan problematika nalar ke dalam bentuk pertanyaan yang lebih umum:
”Apakah yang kita tahu mengenai nalar dan cara menggunakannya?”

Kegelisahan Calne, dan latar belakang sosial dia sebagai anggota komunitas
neurolog yang sering menjumpai perilaku disorders pada lingkungan sosialnya, memacu
Calne untuk terus-menerus mencari jawaban tentang nalar. Dalam lingkungan
profesionalnya, Calne mencari jawaban ini melalui pengamatan terhadap neron dan otak
manusia, dalam perspektif teoretik biologi evolusioner. Melalui suatu penelusuran
historis, Calne menuturkan tentang tampilnya era Enlightment di Eropa pada abad ke-17
dan ke -18, setelah bangsa ini mengalami stagnasi intelektual selama lima belas abad. Di
masa kegelapan Barat itu, di Timur, menurut pengakuan Calne, justeru tengah terjadi
kemajuan-kemajuan di bidang nalar. Calne mencatat kemajuan-kemajuan yang dicapai
Dunia Islam dalam Matematika, Astronomi, Kedokteran dan lain-lain.
Perubahan dimensi intelektual di era Enlighment membawa bangsa Eropa pada
suatu tatanan kehidupan yang sangat berbeda dari sebelumnya. Kehidupan intelektual di
era Enlightment ini dicirikan oleh cara pandang baru terhadap alam, nalar manusia, dan
kemanusiaan. Tentang arti penting nalar manusia dan kemanusiaan ini, Calne mengutip
ucapan Isaac Newton :
”Sains terdiri dari menemukan kerangka dan cara kerja Alam,
dan sejauh mungkin mereduksinya jadi rumus dan dalil umum—
meneguhkan rumus dan dalil itu dengan hasil pengamatan dan percobaan,
lalu dari sana menarik kesimpulan mengenai sebab dan akibat.”
Kemajuan ini kemudian diiringi dengan perubahan sosial-politik di Eropa, di
mana nalar dan rasionalitas mendapat tempat yang makin tinggi dalam kehidupan
bernegara dan bermasyarakat. Pada saat yang sama, makin meningkat kepercayaan dan
harapan bahwa sains dan nalar mampu melenyapkan kemiskinan, kebodohan, dan
kekejaman di dunia.
Namun, Calne menilai bahwa harapan yang digantungkan pada nalar terlalu
berlebihan. Meletusnya perang dunia dan krisis ekonomi berulang-ulang menjadi bukti
keterbatasan nalar dalam menjalankan peranan sebagai ’dewa penyelamat.’ Gerakan
menjauhi nalar secara berangsur mulai tampil kembali dan memarak ke dalam panggung
sejarah. Bandul sejarah seperti kembali ke titik yang berlawanan, menurutnya. Bagi
Calne, keterbatasan bukan hanya pada sains, tapi juga pada dunia akademis secara umum.
Sikap Calne dalam situasi yang dia cermati ini dinyatakannya sebagai berikut:
”Bahwa kekuatan nalar betul-betul merupakan kemampuan manusia yang nyata, jelas,
dan, tidak-boleh-tidak, bekerja dalam hampir semua aspek kehidupannya. Tapi nalar
tidak bisa memberi atau mengendalikan tujuan-tujuan yang terkait dengan
(aktivitas)nalar.”
Nalar, bagi Calne, tidak memiliki sifat meraih kepuasan emosional. Sedangkan
moral, etika, yang bertautan dengan hal-hal yang seharusnya dan diinginkan, terpaut
dengan emosi dan perintah budaya. Naluri dan emosi mendorong kita karena
memuaskannya akan membawa kebahagiaan, dan mengabaikannya akan menimbulkan
kekecewaan. Kebudayaan dapat mengaitkan tujuan-tujuan dengan naluri dan emosi, dan
keduanya memunculkan motivasi. Nalar jauh dari gelora hasrat manusia. Calne melihat

Diskusi tentang ”Etos Kerja” Meneg Ristek RI 7 Desember 2005


nalar sebagai terpisah dari motif atau kehendak. Meski peringkat-peringkat motiv berada
dalam wilayah nalar, menentukan pilihan motiv berada di luar batas nalar.
Buku ”Batas Nalar” sebagai sebuah karya besar dari Donald B.Calne
menyampaikan sebuah pesan yang sangat penting bahwa, meskipun ampuh, nalar tidak
bisa dibiarkan sendiri dalam menyelesaikan persoalan dalam kehidupan. Namun
demikian Calne masih menyisakan pertanyaan tentang bagaimana manusia dapat
menetapkan motiv-motiv, tujuan-tujuan, dan pada gilirannya mengendalikan nalar.

Etos Kerja ... untuk Manusia


Jadi, sebagaimana disimpulkan oleh para peneliti sosiologi dan manajemen, etos
kerja merupakan bagian penting dari keberhasilan manusia, baik dalam komunitas kerja
yang terbatas, maupun dalam lingkungan sosial yang lebih luas. Keberhasilan ini bukan
hanya dikarenakan adanya pengetahuan dan kemampuan menggunakan nalar, tetapi juga
kemampuan mengarahkan pengetahuan dan aktivitas penalaran menuju pada kebaikan,
baik kebaikan individu maupun kelompok. Ini yang menjadi ciri penting dalam etos
Bushido. Tetapi, kutipan berikut ini mengingatkan kita tentang aspek penting lain dari
etos kerja.
“. . . [A] human being regarded as a person, that is, as the subject of a morally practical
reason, is exalted above any price; for as a person (homo noumenon) he is not to be
valued merely as a means to the ends of others or even to his own ends, but as as an end
in himself; that is, he possesses a dignity (an absolute inner worth) by which he exacts
respect for himself from all other rational beings in the world."1a*
Immanuel Kant. The Metaphysics of Morals.
Ketika kita membicarakan etos kerja, atau prinsip-prinsip etika ataupun norma,
perlu kita sadari sasaran mendasar yang menjadi tujuan pengembangan etos tersebut.
Dalam kutipan di atas, Kant, seorang Bapak filosofi modern, menekankan pentingnya
menempatkan manusia dan kemanusiaan sebagai sebuah sasaran pengembangan etos
kerja. Artinya, pembicaraan etos kerja dan manajemen perubahan haruslah memberi
penekanan pada arti penting dari manusia (dan kemanusiaannya) itu sendiri sebagai
tujuan perubahan, bukan manusia sebatas sebagai SDM atau sebagai sarana produksi.
Kedua, meskipun nalar memiliki keterbatasan, uraian Calne sama sekali tidak
menyarankan bahwa kita tidak perlu menggunakan nalar untuk bisa bekerja lebih baik
ataupun hidup lebih baik. Yang penting adalah kita menyadari kembali sebuah fungsi
penting dari nalar, yaitu mengarahkan dan menghasilkan kehendak yang betul-betul baik.
Kehendak baik ini bukan menjadi tujuan perantara, tetapi menjadi tujuan akhir itu sendiri
dari penggunaan nalar, sebagaimana dinyatakan dalam pernyataan Kant Berikut ini:
“. . . [Reason's] true function must be to produce a will which is good, not as a means to
some further end, but in itself . . . "
Immanuel Kant (1724-1804). Groundwork of the Metaphysic of Morals
Sebagai penutup, mari kita akhiri pembahasan tentang pengembangan etos kerja
dalam artikel ini dengan merenungkan pesan yang terkandung dalam sebuah kutipan dari
sosiolog humanis Eric Fromm berikut ini:
Immature love says: ''I love you because I need you.''
Mature love says: ''I need you because I love you.''

Diskusi tentang ”Etos Kerja” Meneg Ristek RI 7 Desember 2005

Anda mungkin juga menyukai