Kel 2 Kaidah Fikih Ekonomi Islam
Kel 2 Kaidah Fikih Ekonomi Islam
Dosen Pengampuh:
DI Susun Oleh:
KELOMPOK 2
2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT. Yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini tepat pada
waktunya.
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari
Bapak Dr. Jamaluddin, ME. pada mata kuliah KAIDAH FIKIH EKONOMI
ISLAM. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang
Al-Yaqin La Yuzalu Bi Al-Syak bagi para pembaca dan juga bagi penyusun.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi
sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari, makalah yang kami susun ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan
demi kesempurnaan makalah ini.
KELOMPOK 2
DAFTAR ISI
SAMPUL.............................................................................................................i
KATA PENGANTAR........................................................................................ii
DAFTAR ISI.....................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................1
A. Latar belakang.........................................................................................1
B. Rumusan masalah....................................................................................2
C. Tujuan......................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN....................................................................................3
A. Kesimpulan........................................................................ .....................11
B. Saran........................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................12
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Manusia hidup tidak mungkin lepas dari beragam perasaan senang, sedih,
sakit, sehat, kuat, lemah, rajin, malas, dan beragam sifat manusiawi lainya.
Begitupun rasa yakin dan ragu, selalu menyertai denyut nadi kehidupan manusia.
Islam pun sebagai agama yang rahmtan lil alamiin memiliki pengertian dan
perhatian besar pada hal-hal yang bersifat psikologis-antropologis ini.
Rasa yakin yang bisa mengawal hidup manusia, baik dalam dunia bisnis, relasi
sosial, hingga interaksi spriritualnya, merupakan modal primer yang tidak layak di
sia-siakan. Rasa yakin yang akan mengiringi manusia menuju kunci kesuksesan
dan keberhasilanya menggapai kebahagiaan Hidup dunia akhirat. Sebaliknya,
orang yang tidak punya keyakinan, perjalanan hidupnya akan goyah tak tentu
arah. Karenanya, keraguan yang menganggu pikiran sebagaimana pesan
substansial kaidah ini tidak akan mampu menggoyahkan status hukum yang telah
dimiliki oleh keyakinan.
PEMBAHASAN
Dalam bahasa arab, diskursuskan seputar makna kata yaqin (selanjutnya di-
Indonesiakan menjadi yakin) cukup semarak di bicarakan, terutama dalam kajian
ilmu Fiqih, Uahul Fiqih, maupun Kaidah fiqih. Dilihat dari sisi bahasa, yakin
secara sederhana di maknai sebagai ketetapan hati (Thuma’ninah Al-qalb) atas
suatu kenyataan atau realitas tertentu. Umpamanya seseorang mamiliki ketetapan
hati bahwa hari ini adalah hari rabu, maka dia telah yakin bahwa hari ini adalah
hari rabu. Lebih jauh, Al-Ghozali menandaskan bahwa yakin adalah kemantapan
hati untuk membenarkan sebuah objek hukum, dimana hati juga mampu
memastikan bahwa kemantapan itu adalah hal yang benar Sementara yakin
dalam konteks kaidah ini mempunyai makna lebih luas dari pada pengertian
secara etimologi. Sebab yang dimaksud yakin disini juga memasukan Zhan
(praduga kuat), dimana dzan sendiri belum mencapai derajatyakin. Namun para
fukaha’ terbiasa menggunakan kata Al-ilmu (tahu) dan yakin untuk menunjuk
makna dzan, dan sebaliknya. Dalam kerangka ini, Al-nawawi menandaskan
bahwa bila ada orang yang di percaya (Tsiqah) memberi tahu bahwaair yang kita
pakai berwudlu terkena najis, maka pengetahuan kita yang berdasarkan berita tadi
telah dikategorikan yakin. Padahal sebenarnya kemantapan hati kita baru harus
mencapai taraf dzan (asumsi atau presepsi kuat), karena kita tidak melihat
langsung najis yang menimpa air yang kita gunakan berwudlu itu. Karenanya,
fuqaha’ sering kali menamai dzan seperti itu dengan kalimat yakin Atau al-ilmu
(tahu). Konsekuensinya, kita wajib mensucikan kembali anggota badan yang
terkena air najis tersebut sekaligus wajib mengulangi sholat.
Dengan ayat ini, Allah SWTmemberi penegasan akan hal yang mesti
dijadikan bijakan berfikir dan bertindak yakni yang jelas-jelas dapat menunjukkan
pada kebenaran, bukan yang masihdiragukan. Karena walau bagaimanapun, hal
yang masih dalam keraguan ataumasih menjadi tanda tanya tidak dapat
disejarahkan dengan keyakinan. Dari penegasan ini akan memunculkan
keniscayaan bahwa apabila terjadi keragu-raguan yang berpotensi untuk
mempengaruhi hal-hal yang telah diyakinisebelumnya, sudah barang tentu tidak
dapat mempengaruhi keyakinan yang sudahada, selama belum ada elemen-elemen
fundamental yang dapat menunjukan buktifalid bahwa keyakinan itu tidak sesuai
kenyataan: Al-yaqin la yuzalu bi al-syak. Hadist Nabi Muhammad SAW yang
menjadi pondasi kaidah ini antaralain:
1. Al-Qur`an
Pondasi terbangunnya kaidah ini adalah Firman Allah SWT dalam QS. Yunus
ayat 36 yang Artinya:
Ayat ini pada mulanya menyoroti karakter orang-orang musyrik yang seringkali
berpegang pada prasangka-prasangka yang tidak bisa dibuktikan kebenarannya.
Terhadap Tuhan yang mesti disembah pun mereka masih cenderung berimajinasi
pada benda-benda mati yang dalam persepsi mereka dapat memberi jaminan
keselamatan dan kelansungan hidup. Dengan ayat ini, Allah SWT memberi
penegasan akan hal yang mesti dijadikan pijakan berfikir dan bertindak, yakni
yang jelas-jelas dapat menunjukkan pada kebenaran bukan yang masih diragukan.
2. Hadist
ﻦﻣ ﺪﺠﺴﻤﻟﺍ ﻰﺘﺣ ﻊﻤﺴﻳ ﺎﺗﻮﺻ ﻭﺃ ﺪﺠﻳ ﺎﺤﻳﺭ ﺍﺫﺇ ﺪﺟﻭ ﻢﻛﺪﺣﺃ ﻲﻓ ﻪﻨﻄﺑ ﺎﺌﻴﺷ ﻞﻜﺷﺄﻓ ﻪﻴﻠﻋ ﺝﺮﺧﺃ ﻪﻨﻣ ﺀﻲﺷ ﻡﺃ
ﻻ ﻓﻼ ﻦﺟﺮﺨﻳ: ﻩﺍﻭﺭ ﻢﻠﺴﻣArtinya:
Secara eksplisit, hadist ini memang berbicara dalam konteks seseorang yang
ragu, apakah telah merasakan keluarnya angin atau tidak. Dalam hal ini, Nabi
Muhammad SAW menegaskan, keraguan yang baru timbul itu tidak dapat
mempengaruhi status wudhu’nya, kecuali jika dia memang telah benar-benar
mendengar maupun mencium bau ini, bisa dijadikan sebuah indikasi kuat
(amarah) bahwa wudhu’nya telah batal.
1. (Pokok asli yang memberlakukan keadaan semula atas keadaan yang ada
sekarang).
Oleh karena itu, seseorang merasa yakin bahwa ia telah berwudhu, tiba-
tiba ia merasa ragu apakah ia sudah batal atau masih bersuci. Dalam hal ini
ia ditetapkan bersuci seperti keadaan semula, karena itu yang telah
diyakini. Bukan keadaan berhadats yang ia ragukan. Begitu pula,
Seseorang makan sahur di akhir malam dengan dicekam rasa ragu-ragu,
jangan-jangan waktu fajar telah terbit, maka puasa orang tersebut pada
pagi harinya dihukumkan sah, karena waktu yang ditetapkan berlaku
sebelumnya adalah waktu malam, bukan waktu fajar. Dalam kasus
muamalah misalnya, seseorang pembeli sebuah televisi menggugat kepada
penjualnya, karena televisi yang dibelinya setiba di rumah tidak dapat
dimanfaatkan, maka gugatan pembeli dikalahkan, karena menurut asalnya
televisi yang dijual ditetapkan dalam keadaan baik. Dalam kasus
munakahat misalnya, seorang suami lama meninggalkan isterinya dan
tidak diketahui ke mana perginya, maka isteri tidak dapat kawin dengan
laki-laki lain, karena dipandang, bahwa hukum yang berlaku adalah wanita
yang masih terikat tali perkawinan, sebab ketika suaminya pergi tidak ada
menjatuhkan thalaq (atau ta'liq thalaq) kepada isterinya.
5. (Pokok yang asli pada setiap kejadian penetapannya menurut masa yang
terdekat dengan kejadiannya).
Misalnya: Seseorang berwudhu dengan air yang diambil dari sumur.
Beberapa hari kemudian diketahuinya bahwa di dalam sumur tersebut ada
bangkai, sehingga menimbulkan keragu- raguannya perihal wudhu dan
sembahyang yang dikerjakan beberapa hari lalu. Dalam hal ini ia tidak
wajib mngqadha shalat yang sudah dikerjakannya. Karena masa yang
terdekat sejak dari kejadian diketahuinya bangkai itulah yang dijadikan
titik tolak untuk penetapan kenajisan air sumur yang mengakibatkan tidak
sahnya shalat
2) Apabila dua orang melakukan transaksi jual beli, kemudian salah seorang
mensyaratkan sendiri khiyar dalam akad, ia berkeinginan membatalkan
transaksi jual beli itu dan mengembalikan barang, sementara penjual
menyanggah adanya syarat itu, maka perkataan yang dipercaya adalah
perkataan sipenjual disertai sumpahnya, karena syarat tersebut suatu hal
kejadiannya belakangan. Karena pada dasarnya dalam akad adalah bebas
dari syarat-syarat tambahan, maka tidak adanya syarat tambahan, itulah
yang yakin.
PENUTUP
A KESIMPULAN
Dapat disimpulkan bahwasanya kaidah kedua ini yang berbunyi Al- yaqinLa
yuzalu bi Al-syak yang artinya keyakinan itu tidak bisa dihilangkan
olehkebimbangan. Yang dimaksud yakin dalam kaidah ini adalah
tercapainyakemantapan hati pada satu objek hukum yang telah dikerjakan, baik
kemantapanitu sudah mencapai kadar pengetahuan yang mantap atau presepsi
kuat (Zhan). Jadi bukanlah sebuah kemantapan hati yang disertai dengan keraguan
saatmelaksanakan pekerjaan, karena hal itu tidak kategori yakin
C. SARAN
Penulis menyadari bahwa makalah ini tentunya jauh dari kata sempurna dan
masih banyak kekurangan lainnya. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik
dan saran yang sifatnya membangun untuk perbaikan makalah selanjutnya. Atas
sarannya, kami ucapkan terimakasih. Penulis berharap semoga makalah ini dapat
bermanfaat baik bagi penulis maupun pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad, Abu bin Muhammad al-ghazali, al- musthafa. Beirut: Dar Al-
khutubAl-Ilmiyah.
Abu, Taqiyudin Bakar bin Muhammad bin Abdul Mu’min al-Hishni.1997.
Dirasah wa Tahqiq Al-Rusydu, Syirkah al-Riyadl.
Ahmad bin Ahmad bin al-Hawali.1290 H. Ghamzu ‘uyun’ al - Basha’ir hasyiah
Asybah li Ibn Nujaim Istanbul: Dar al-Thiba’ah al-Amirah.
Muhammad bin jarir bin Yazid al-Thabariy.1405 H, Tafsir al-Thabari Dar al-
fikri.
Zakariya, Abu Yahya bin Syaraf al-Nawawi.1983. Syarah Shahih Muslim.Beirut.