Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

Al-Yaqin La Yuzalu Bi Al-Syak

Dosen Pengampuh:

Dr. Jamaluddin, ME.

DI Susun Oleh:

KELOMPOK 2

Moh gifari (215120184)

Nurul khoiriyah (215120174)

Taufiqul hakim (215120169)

Andi dhea adillah Az zahrah (215120167)


Asnidar (215120182)
Sahrul Qolbi (215120172)

JURUSAN EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UNUVERSITAS ISLAM NEGERI DATOKARAMA PALU

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT. Yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini tepat pada
waktunya.

Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari
Bapak Dr. Jamaluddin, ME. pada mata kuliah KAIDAH FIKIH EKONOMI
ISLAM. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang
Al-Yaqin La Yuzalu Bi Al-Syak bagi para pembaca dan juga bagi penyusun.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Jamaluddin, ME selaku


dosen mata kuliah KAIDAH FIKIH EKONOMI ISLAM yang telah memberikan
tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan
bidang studi yang kami tekuni.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi
sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.

Kami menyadari, makalah yang kami susun ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan
demi kesempurnaan makalah ini.

PALU 24 SEPTEMBER 2023

KELOMPOK 2
DAFTAR ISI

SAMPUL.............................................................................................................i

KATA PENGANTAR........................................................................................ii

DAFTAR ISI.....................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN..................................................................................1

A. Latar belakang.........................................................................................1
B. Rumusan masalah....................................................................................2
C. Tujuan......................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN....................................................................................3

A. Makna kaidah Al-Yaqin La Yuzalu Bi Al-Syak .................................... 3


B. dalil landasan kaidah Al-Yaqin La Yuzalu Bi Al-Syak ..........................5
C. sumber pengambilan kaidah Al-Yaqin La Yuzalu Bi Al-Syak ...............6
D. cabang kaidah Al-Yaqin La Yuzalu Bi Al-Syak .....................................7
E. Penerapan kaidah Al-Yaqin La Yuzalu Bi Al-Syak
Dalam Bidang Muamalah........................................................................10
BAB III PENUTUP............................................................................................11

A. Kesimpulan........................................................................ .....................11
B. Saran........................................................................................................11

DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................12
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Manusia hidup tidak mungkin lepas dari beragam perasaan senang, sedih,
sakit, sehat, kuat, lemah, rajin, malas, dan beragam sifat manusiawi lainya.
Begitupun rasa yakin dan ragu, selalu menyertai denyut nadi kehidupan manusia.
Islam pun sebagai agama yang rahmtan lil alamiin memiliki pengertian dan
perhatian besar pada hal-hal yang bersifat psikologis-antropologis ini.

Rasa yakin yang bisa mengawal hidup manusia, baik dalam dunia bisnis, relasi
sosial, hingga interaksi spriritualnya, merupakan modal primer yang tidak layak di
sia-siakan. Rasa yakin yang akan mengiringi manusia menuju kunci kesuksesan
dan keberhasilanya menggapai kebahagiaan Hidup dunia akhirat. Sebaliknya,
orang yang tidak punya keyakinan, perjalanan hidupnya akan goyah tak tentu
arah. Karenanya, keraguan yang menganggu pikiran sebagaimana pesan
substansial kaidah ini tidak akan mampu menggoyahkan status hukum yang telah
dimiliki oleh keyakinan.

Kaidah ini menandaskan bahwa hukum yang sudah berlandaskan keyakinan


tidak dapat dipengaruhi oleh keraguan yang timbul kemudian. Rasa ragu yang
merupakan unsur eksternal dan muncul setelah keyakinan tidak akan
menghilangkan hukum yakin yang telah ada sebelumnya. Seseorang yang
sebelumnya telah yakin bahwa dia berada dalam kondisi suci dengan berwudhu
misalnya tidak akan hilang hukum kesuciannya
B. RUMUSAN MASALAH

1. Apa Makna kaidah Al-Yaqin La Yuzalu Bi Al-Syak?


2. Apa dalil landasan kaidah Al-Yaqin La Yuzalu Bi Al-Syak?
3. Sebutkan dan jelaskan sumber pengambilan kaidah Al-Yaqin La Yuzalu
Bi Al-Syak?
4. Sebutkan cabang kaidah Al-Yaqin La Yuzalu Bi Al-Syak?
5. Bagaimana Penerapan kaidah Al-Yaqin La Yuzalu Bi Al-Syak Dalam
Bidang Muamalah?
C. TUJUAN

1. Untuk mengetahui Makna kaidah Al-Yaqin La Yuzalu Bi Al-Syak


2. Untuk mengetahui dalil landasan kaidah Al-Yaqin La Yuzalu Bi Al-Syak
3. Untuk mengetahui sumber pengambilan kaidah Al-Yaqin La Yuzalu BiAl-
Syak
4. Untuk mengetahui cabang kaidah Al-Yaqin La Yuzalu Bi Al-Syak
5. Untuk mengetahui Penerapan kaidah Al-Yaqin La Yuzalu Bi Al-
SyakDalam Bidang Muamalah
BAB II

PEMBAHASAN

A. Makna kaidah Al-Yaqin La Yuzalu Bi Al-Syak

Dalam bahasa arab, diskursuskan seputar makna kata yaqin (selanjutnya di-
Indonesiakan menjadi yakin) cukup semarak di bicarakan, terutama dalam kajian
ilmu Fiqih, Uahul Fiqih, maupun Kaidah fiqih. Dilihat dari sisi bahasa, yakin
secara sederhana di maknai sebagai ketetapan hati (Thuma’ninah Al-qalb) atas
suatu kenyataan atau realitas tertentu. Umpamanya seseorang mamiliki ketetapan
hati bahwa hari ini adalah hari rabu, maka dia telah yakin bahwa hari ini adalah
hari rabu. Lebih jauh, Al-Ghozali menandaskan bahwa yakin adalah kemantapan
hati untuk membenarkan sebuah objek hukum, dimana hati juga mampu

memastikan bahwa kemantapan itu adalah hal yang benar Sementara yakin
dalam konteks kaidah ini mempunyai makna lebih luas dari pada pengertian
secara etimologi. Sebab yang dimaksud yakin disini juga memasukan Zhan
(praduga kuat), dimana dzan sendiri belum mencapai derajatyakin. Namun para
fukaha’ terbiasa menggunakan kata Al-ilmu (tahu) dan yakin untuk menunjuk
makna dzan, dan sebaliknya. Dalam kerangka ini, Al-nawawi menandaskan
bahwa bila ada orang yang di percaya (Tsiqah) memberi tahu bahwaair yang kita
pakai berwudlu terkena najis, maka pengetahuan kita yang berdasarkan berita tadi
telah dikategorikan yakin. Padahal sebenarnya kemantapan hati kita baru harus
mencapai taraf dzan (asumsi atau presepsi kuat), karena kita tidak melihat
langsung najis yang menimpa air yang kita gunakan berwudlu itu. Karenanya,
fuqaha’ sering kali menamai dzan seperti itu dengan kalimat yakin Atau al-ilmu
(tahu). Konsekuensinya, kita wajib mensucikan kembali anggota badan yang
terkena air najis tersebut sekaligus wajib mengulangi sholat.

Sedangkan Syak Secara literal biasa diartikan sebagai keraguan atau


kebimbangan. Secara lebih spesifik, ahli fiqih memaknai syak sebagai keraguan
dan kebimbangan akan terjadinya sesuatu atau tidak terjadinya. Yang agak
berbeda adalah makna syak yang di ajukan ahli ushul fiqih, yakni keseimbangan
hati dalam menyikapi sesuatu. Dalam pengertian ini, hati kita tidak lebih
cenderung kepada salah satu dari dua kemungkinan yang ada. Semisal seseorang
yang ragu, apakah temanya yang sedang di tunggu akan datang atau tidak, tanpa
melebihkan kemungkinan antara datang dan tidak tersebut.

Dengan pemahaman ini, ushuliyyin sering melontarkan kritik epistimoilogis


(teori ilmu pengetahuan) kepada para fuqaha” seputar rumsuan kaidah ini . Sebab
menurut ushuliyyin, apabila seseorang telah di hinggapi keraguan dalam hatinya,
maka keyakinan yang sebelumnya telah bulat pasti akan hilang, atau minimal
terganggu dan tidak utuh lagi. Sedangkan kaidah ini mengklaim bahwa keyakinan
tidak dapat dihilangkan oleh keraguan; ini jelas sesuatu yang mengada ada,
demikian menurut ushuliyyin. Menanggapi kritik ini, fuqaha’ menegaskan bahwa
yang dimaksud tidak hilang”(La yuzhalu) bukan berarti keyakinan itu sendiri yang
sendiri yang sirna, sebab hal itu mustahil terjadi, melainkan hukum yang telah
terbangun berdasarkan keyakinan itulah yang tidak akan hilang. Hal ini
berdasarkan arguman pokok, bahwa pada dasarnya keyakinan memiliki nilai
hukum lebih kuat dari pada keraguan. Sebab, ketika dalam hati telah terbangun
suatu keyakinan, maka dia tidak dapat digoyahkan oleh situasi, kondisi, atau
faktor eksternal apapun Artinya, dalam sebuah keyakinan terdapat hukum pasti
yang tidak akan tergoyahkan oleh hal-hal yang baru timbul, kecuali oleh
keyakinan yang lain.

Terlepas dari kontradiksi diatas, Al-Nawawi menandaskan bahwa syak dalam


istilah fuqaha’ didefinisikan sebagai keraguan antara wujud dan tidaknya sesuatu.
Hak ini dapat dilihat dari penggunaan istilah syak atau ragu dalam masalah air,
kemudian soal hadats, najasah, sholat, puasa, thalaq, semuanya mengandung
pengertian kebimbangan antara ada dan tidak ada; anaar wujud dan tidak wujud,
anatara dikerjakan dan tidak dikerjakan. Keraguan dalam kasus ini bisa bersifat
sama kuat atau seimbang antara keberadaan dan tidak keberadaanya, dan bisa pula
ada yang lebih tinggi salah satu kadarnya. Secara lebih sistematis, sebagian
ulama’ memilah kondisi hati dalam lima bagian berikut:
1) Yakin, yakni keteguhan hati yang bersandar dalam dalil qath’iy (petunjuk
pasti).
2) I’tiqad, yaitu keteguhan hati yang tidak bersandar pada dalil qath’iy.
3) Dzan, yakni presepsi atau asumsi hati terhadap dua hal berbeda, dimana
salah satunya lebih kuat.
4) Syak,yaitu sebentuk prasangka terhadap dua hal tanpa mengunggulkan
salah satu diantara keduanya.
5) Wahm, atau kemungkinan yang lebih lemah dari dua hal yang di
asumsikan.

B. Dalil landasan kaidah Al-Yaqin La Yuzalu Bi Al-Syak

Pondasi terbangunya kaidah ini adalah firman Allah SWT.


Dalam QS. Yunus:36
Artinya : Kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali prasangka saja.
Sesungguhnya prasangka itu tidak akan mengantarkan kebenaran sedikitpun”

Ayat ini pada mulanya menyoroti karakter orang-orang musyrik yangseringkali


berpegangan pada prasangka-prasangka yang tidak bisa di buktikankebenaranya.
Terhadap tuhan yang mesti disembahpun mereka masih cenderung berimajinasi
pada benda-benda mati yang dalam presepsi mereka dapat memberi jaminan
keselamatan dan kelangsungan hidup.

Dengan ayat ini, Allah SWTmemberi penegasan akan hal yang mesti
dijadikan bijakan berfikir dan bertindak yakni yang jelas-jelas dapat menunjukkan
pada kebenaran, bukan yang masihdiragukan. Karena walau bagaimanapun, hal
yang masih dalam keraguan ataumasih menjadi tanda tanya tidak dapat
disejarahkan dengan keyakinan. Dari penegasan ini akan memunculkan
keniscayaan bahwa apabila terjadi keragu-raguan yang berpotensi untuk
mempengaruhi hal-hal yang telah diyakinisebelumnya, sudah barang tentu tidak
dapat mempengaruhi keyakinan yang sudahada, selama belum ada elemen-elemen
fundamental yang dapat menunjukan buktifalid bahwa keyakinan itu tidak sesuai
kenyataan: Al-yaqin la yuzalu bi al-syak. Hadist Nabi Muhammad SAW yang
menjadi pondasi kaidah ini antaralain:

“Apabila salah seorang diantara kalian merasakan’sesuatu’didalam perutnya,


kemudian dia ragu, apakah telah keluar sesuatu (dari parutnya) atau tidak, maka
janganlah dia keluar dari masjid (membatalkan sholatnya), samapai diamendengar
suara atau mencium bau”(H.R Muslim).

Menurut Al-Nawawi, hadist ini merupakan salah satu landasan dasaryurisprodensi


islam yang kemudian dijadikan fundamen terbangunya kaidah-kaidah fiqih, dari
hadits ini pula terbangun konsep serta metodologi-analitismengenai status objek,
yakni dengan cara melihat status hukum asalnya yangtidak akan berubah hingga
ada unsur eksternal yang falid dan mampu mempengaruhi” keaslian “nya, secara
eksplisit, hadist ini memang berbicara dalam konteks seseorang yang ragu apakah
telah merasakan keluarnya angin atautidak. Dalam hal ini,Nabi saw mengesahkan,
keraguan yang beru timbul itu tidakdapat mempengaruhi status wudlunya. Kecuali
jika dia memang telah benar- benarmendengar bunyi nya atau mencium bau angin
tersebut. Proses mendengarmaupun mencium bau ini biasa dijadikan indikasi kuat
bahwa wudlunya telah batal.

C. Sumber pengambilan kaidah Al-Yaqin La Yuzalu Bi Al-Syak

1. Al-Qur`an

Pondasi terbangunnya kaidah ini adalah Firman Allah SWT dalam QS. Yunus
ayat 36 yang Artinya:

“dankebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya


persangkaan itu tidak sedikitpun ” . (QS. Yunus [10]: 36).

Ayat ini pada mulanya menyoroti karakter orang-orang musyrik yang seringkali
berpegang pada prasangka-prasangka yang tidak bisa dibuktikan kebenarannya.
Terhadap Tuhan yang mesti disembah pun mereka masih cenderung berimajinasi
pada benda-benda mati yang dalam persepsi mereka dapat memberi jaminan
keselamatan dan kelansungan hidup. Dengan ayat ini, Allah SWT memberi
penegasan akan hal yang mesti dijadikan pijakan berfikir dan bertindak, yakni
yang jelas-jelas dapat menunjukkan pada kebenaran bukan yang masih diragukan.

2. Hadist

‫ﻦﻣ ﺪﺠﺴﻤﻟﺍ ﻰﺘﺣ ﻊﻤﺴﻳ ﺎﺗﻮﺻ ﻭﺃ ﺪﺠﻳ ﺎﺤﻳﺭ ﺍﺫﺇ ﺪﺟﻭ ﻢﻛﺪﺣﺃ ﻲﻓ ﻪﻨﻄﺑ ﺎﺌﻴﺷ ﻞﻜﺷﺄﻓ ﻪﻴﻠﻋ ﺝﺮﺧﺃ ﻪﻨﻣ ﺀﻲﺷ ﻡﺃ‬
‫ ﻻ ﻓﻼ ﻦﺟﺮﺨﻳ‬: ‫ ﻩﺍﻭﺭ ﻢﻠﺴﻣ‬Artinya:

“apabilah salah seorang kamu mendapatkan sesuatu didalam perutnya, lalu


timbul kemusykilan apakah sesuatu itu keluar dari perut atau tidak, maka
janganlah keluar dari mesjid, sehingga ia mendengar suara atau mendapatkan
baunya” (HR. Muslim).

Secara eksplisit, hadist ini memang berbicara dalam konteks seseorang yang
ragu, apakah telah merasakan keluarnya angin atau tidak. Dalam hal ini, Nabi
Muhammad SAW menegaskan, keraguan yang baru timbul itu tidak dapat
mempengaruhi status wudhu’nya, kecuali jika dia memang telah benar-benar
mendengar maupun mencium bau ini, bisa dijadikan sebuah indikasi kuat
(amarah) bahwa wudhu’nya telah batal.

D. Cabang kaidah Al-Yaqin La Yuzalu Bi Al-Syak

1. (Pokok asli yang memberlakukan keadaan semula atas keadaan yang ada
sekarang).
Oleh karena itu, seseorang merasa yakin bahwa ia telah berwudhu, tiba-
tiba ia merasa ragu apakah ia sudah batal atau masih bersuci. Dalam hal ini
ia ditetapkan bersuci seperti keadaan semula, karena itu yang telah
diyakini. Bukan keadaan berhadats yang ia ragukan. Begitu pula,
Seseorang makan sahur di akhir malam dengan dicekam rasa ragu-ragu,
jangan-jangan waktu fajar telah terbit, maka puasa orang tersebut pada
pagi harinya dihukumkan sah, karena waktu yang ditetapkan berlaku
sebelumnya adalah waktu malam, bukan waktu fajar. Dalam kasus
muamalah misalnya, seseorang pembeli sebuah televisi menggugat kepada
penjualnya, karena televisi yang dibelinya setiba di rumah tidak dapat
dimanfaatkan, maka gugatan pembeli dikalahkan, karena menurut asalnya
televisi yang dijual ditetapkan dalam keadaan baik. Dalam kasus
munakahat misalnya, seorang suami lama meninggalkan isterinya dan
tidak diketahui ke mana perginya, maka isteri tidak dapat kawin dengan
laki-laki lain, karena dipandang, bahwa hukum yang berlaku adalah wanita
yang masih terikat tali perkawinan, sebab ketika suaminya pergi tidak ada
menjatuhkan thalaq (atau ta'liq thalaq) kepada isterinya.

2. (Pokok yang asli tidak ada tanggung jawab).


Misalnya, terdakwa yang menolak diangkat sumpah tidak dapat diterapkan
hukuman. Karena menurut asalnya ia bebas dari tangggungan dan yang
harus diangkat sumpah adalah pendakwa. Jika seseorang menghadiahkan
sesuatu barang kepada orang lain dengan syarat memberikan gantinya dan
kemudian mereka berdua berselisih tentang wujud penggantiannya, maka
yang dimenangkan adalah perkataan orang yang menerima hadiah, karena
menurut asalnya ia bebas dari tanggungan memberikan gantinya

3. (Pokok yang asli ketiadaan sesuatu).


Misalnya, Seseorang mengaku telah berutang kepada orang lain
berdasarkan atas pengakuannya atau adanya data otentik, tiba-tiba orang
yang berutang mengaku telah membayar utangnya, sehingga ia telah
merasa bebas dari tanggungannya. Sedangkan orang yang memberi utang
mengingkarinya atas pengakuan orang yang berutang. Dalam hal ini sesuai
dengan qaidah, maka yang dimenangkan adalah pernyataan orang yang
memberi utang, karena menurut asalnya belum adanya pembayaran utang,
sedangkan pengakuan orang yang berutang atas bayarnya adalah perkataan
yang meragukan. Jika seseorang yang menjalankan modal orang lain
(mudharabah) mengatakan kepada pemilik modal bahwa ia tidak
memperoleh keuntungan, maka perkataannya itu dibenarkan. Karena
memang sejak semula diadakan perikatan mudharabah belum ada
keuntungan. Belum memperoleh keuntungan adalah hal yang telah nyata
karena belum bertindak, sedangkan memperleh keuntungan yang
diharapkan merupakan hal yang tidak pasti

4. (Pokok yang asli pada sesuatu adalah boleh)


Misalnya, Segala macam binatang yang sukar untuk ditentukan
keharamannya disebabkan tidak didapat sifat-sifat atau ciri-ciri yang dapat
digolongkan kepada binatang haram, maka binatang itu halal dimakan.

5. (Pokok yang asli pada setiap kejadian penetapannya menurut masa yang
terdekat dengan kejadiannya).
Misalnya: Seseorang berwudhu dengan air yang diambil dari sumur.
Beberapa hari kemudian diketahuinya bahwa di dalam sumur tersebut ada
bangkai, sehingga menimbulkan keragu- raguannya perihal wudhu dan
sembahyang yang dikerjakan beberapa hari lalu. Dalam hal ini ia tidak
wajib mngqadha shalat yang sudah dikerjakannya. Karena masa yang
terdekat sejak dari kejadian diketahuinya bangkai itulah yang dijadikan
titik tolak untuk penetapan kenajisan air sumur yang mengakibatkan tidak
sahnya shalat

6. (Pokok yang asli dalam pembicaraan adalah yang hakiki).


Misalnya, Seseorang mewaqafkan harta miliknya kepada anakanaknya.
Maka jika terjadi gugatan dari cucucucunya untuk menuntut bagian, maka
gugatan itu tidak digubris. Karena menurut arti hakikat perkataan anak itu
adalah hanya terbatas kepada anak kandung yang dilahirkan secara
langsung oleh orang yang berwaqaf.
E. Penerapan kaidah Al-Yaqin La Yuzalu Bi Al-Syak Dalam Bidang
Muamalah

1) Jika seseorang membeli mobil, kemudian ia mengatakan, bahwa mobil


yang dibelinya itu cacat dan ia ingin mengembalikannya, lalu penjual
menolak ucapan pembeli yang mengata kan adanya cacat itu, maka si
pembeli tidak boleh mengembalikannya, karena pada asalnya mobil itu
yakin dalam keadaan baik. Cacat tidak boleh ditetapkan dengan adanya
keraguan, sebab yang yakin tidak boleh dihapuskan oleh keraguan.

2) Apabila dua orang melakukan transaksi jual beli, kemudian salah seorang
mensyaratkan sendiri khiyar dalam akad, ia berkeinginan membatalkan
transaksi jual beli itu dan mengembalikan barang, sementara penjual
menyanggah adanya syarat itu, maka perkataan yang dipercaya adalah
perkataan sipenjual disertai sumpahnya, karena syarat tersebut suatu hal
kejadiannya belakangan. Karena pada dasarnya dalam akad adalah bebas
dari syarat-syarat tambahan, maka tidak adanya syarat tambahan, itulah
yang yakin.

3) Apabila seseorang berhutang mengatakan kepada orang yang punya


piutang, bahwa ia telah membayar hutangnya, sedangkan orang yang
punya piutang mengingkarinya, maka perkataan yang diperpegangi adalah
perkataan piutang yang mengingkari pembayaran itu. Karena yang
diyakini adalah belum bayarnya orang yang berhutang, terkecuali orang
yang berhutang itu dapat membuktikan bahwa ia sudah bayar hutangnya,
seperti ada alat bukti pembayaran. Karena hak orang yang punya piutang
itu diyakini.

4) Seseorang memakan makanan orang lain, ia mengatakan pemiliknya telah


mengizinkannya, pada hal pemilik makanan tersebut tidak
mengizinkannya. Dalam kasus ini yang dibenarkan adalah pemilik
makanan, sebab menurut hukum pokok makanan orang lain itu tidak boleh
di makan.
5) Seorang yang menjalankan modal melaporkan tentang perkembangannya
kepada pemilik modal, sudah mendapatkan keuntungan tetapi sedikit,
maka laporannya itu dibenarkan. Karena dari awal adanya ikatan
mudharabah memang belum diperoleh laba dan keadaan ini yang sudah
nyata, sedangkan keuntungan yang diharap-harapkan itu hal yang belum
terjadi (belum ada).
BAB III

PENUTUP

A KESIMPULAN

Dapat disimpulkan bahwasanya kaidah kedua ini yang berbunyi Al- yaqinLa
yuzalu bi Al-syak yang artinya keyakinan itu tidak bisa dihilangkan
olehkebimbangan. Yang dimaksud yakin dalam kaidah ini adalah
tercapainyakemantapan hati pada satu objek hukum yang telah dikerjakan, baik
kemantapanitu sudah mencapai kadar pengetahuan yang mantap atau presepsi
kuat (Zhan). Jadi bukanlah sebuah kemantapan hati yang disertai dengan keraguan
saatmelaksanakan pekerjaan, karena hal itu tidak kategori yakin

C. SARAN

Penulis menyadari bahwa makalah ini tentunya jauh dari kata sempurna dan
masih banyak kekurangan lainnya. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik
dan saran yang sifatnya membangun untuk perbaikan makalah selanjutnya. Atas
sarannya, kami ucapkan terimakasih. Penulis berharap semoga makalah ini dapat
bermanfaat baik bagi penulis maupun pembaca.
DAFTAR PUSTAKA

Muhammad, Abu bin Muhammad al-ghazali, al- musthafa. Beirut: Dar Al-
khutubAl-Ilmiyah.
Abu, Taqiyudin Bakar bin Muhammad bin Abdul Mu’min al-Hishni.1997.
Dirasah wa Tahqiq Al-Rusydu, Syirkah al-Riyadl.
Ahmad bin Ahmad bin al-Hawali.1290 H. Ghamzu ‘uyun’ al - Basha’ir hasyiah
Asybah li Ibn Nujaim Istanbul: Dar al-Thiba’ah al-Amirah.
Muhammad bin jarir bin Yazid al-Thabariy.1405 H, Tafsir al-Thabari Dar al-
fikri.
Zakariya, Abu Yahya bin Syaraf al-Nawawi.1983. Syarah Shahih Muslim.Beirut.

Zubair, Maimoen. 2015. Formaulasi Nalar Fiqh. Surabaya: Khalista.

Mudjib, Abdul.2005. Kaidah-kaidah Ilmu Fiqih Jakarta: Kalam Mulia.

Yahya, Mukhtar dan Fatchurrahman.1986. Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh


Islam. Bandung: Al-Ma’arif.
Ahmad, Djuli.2010. Kaidah-kaidah Fikih. Jakarta: Kencana.

Azhari, Fathurrahman. 2015. Qawaid Fiqhiyyah Muamalah.Banjarmasin:


Lembaga Pemberdayaan Kualitas Ummat (LPKU)

Anda mungkin juga menyukai