Anda di halaman 1dari 105

INDIKATOR PENYERAPAN PANGAN DI KABUPATEN SIDOARJO

Oleh
ELFIRA ROSA PURBA

UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS PERTANIAN
MALANG
2018

i
ANALISIS DIVERSIFIKASI KETERSEDIAAN PANGAN DAN
INDIKATOR PENYERAPAN PANGAN DI KABUPATEN SIDOARJO

Oleh
ELFIRA ROSA PURBA
145040101111157

SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar
Sarjana Pertanian Strata Satu (S-1)

UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS PERTANIAN
JURUSAN SOSIAL EKONOMI PERTANIAN
MALANG
2018
PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang
pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan disuatu Perguruan Tinggi
dan sepanjang sepengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang
pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu
dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka

Malang, April 2018

Elfira Rosa Purba


NIM. 145040101111157
LEMBAR PERSETUJUAN

Judul Penelitian : Analisis Diversifikasi Ketersediaan Pangan dan


Indikator Penyerapan Pangan di Kabupaten Sidoarjo
Nama Mahasiswa : Elfira Rosa Purba
NIM : 145040101111157
Jurusan : Sosial Ekonomi Pertanian
Program Studi : Agribisnis

Disetujui

Tanggal Persetujuan:
LEMBAR PENGESAHAN

Mengesahkan
MAJELIS PENGUJI

Tanggal Lulus:
Skripsi ini saya persembahkan untuk

Keluarga saya yang tidak pernah lelah untuk mendukung serta mendoakan saya,
khususnya untuk kedua orangtua saya dan kakak saya yang saya cintai

Kepada Prof Nuhfil, Bu Fahriyah, Pak Rosihan, Bu Rini serta Pak Condro yang
selalu sabar dan tidak pernah lelah membantu serta membimbing saya dalam
penulisan skripsi ini

Buat I Gusti Ayu Kade Aprelianingsih yang telah berjuang bersama – sama
dalam penyelesaian skripsi ini

Untuk sahabat saya Andi Eris Gista Aulia dan Tomi Syarif yang telah berjuang
bersama – sama dari SMA hingga kuliah, yang telah menemani saya dan
mendukung saya dari awal hingga akhir

Sahabat saya Putri Debbie Paramitha, Nurfatningtias Wardica, dan Yudit


Oktaneldanora yang selalu menemani saya saat susah hingga senang, membantu
hingga mensupport saya dalam penulisan skripsi ini dari awal hingga akhir

Dan tidak lupa juga kepada teman – teman yang tidak dapat saya sebutkan satu
per satu yang sudah terlibat dan membantu selama 4 tahun perkuliahan saya
RINGKASAN

Elfira Rosa Purba. 145040101111157. Analisis Diversifikasi Ketersediaan


Pangan dan Indikator Penyerapan Pangan. Di Bawah Bimbingan Prof.Dr.Ir.
Nuhfil Hanani AR.,MS sebagai Pembimbing Utama serta Rini Mutisari, SP.,
MP sebagai Pembimbing Pendamping

Pada dasarnya dalam sebuah pembangunan ketahanan pangan bukan hanya


bagaimana ketersediaan pangan dapat terpenuhi, tetapi pangan itu sendiri harus
bisa didistribusikan ke seluruh wilayah, sehingga semua penduduk bisa
mengakses pangan. Ketahanan pangan bagi suatu negara merupakan hal yang
sangat penting, terutama bagi negara yang mempunyai jumlah penduduk sangat
banyak seperti Indonesia. Diversifikasi pangan merupakan suatu proses
penganekaragaman pangan atau upaya peningkatan konsumsi aneka ragam
pangan dengan prinsip gizi seimbang.
Sidoarjo merupakan salah satu Kabupaten di Jawa Timur yang memiliki
pertumbuhan jumlah penduduk tertinggi yakni mencapai 9,59% yang mengalami
kenaikan dari tahun sebelumnya (BPS Jawa Timur, 2017). Kabupaten Sidoarjo
juga merupakan wilayah yang sering mengalami konversi lahan (BKP Jawa
Timur, 2014). Semakin banyaknya penduduk di Kabupaten Sidoarjo semakin
banyaknya juga konversi lahan di Kabupaten Sidoarjo yang akan mengakibatkan
lahan pertanian semakin sempit, oleh karena itu dalam penyediaan pangannya
juga semakin sedikit, dengan semakin sedikitnya penyediaan pangan maka
semakin sedikit pula keragaman pangan yang ada di Kabupaten Sidoarjo.
Semakin sedikitnya keragaman pangan maka akan mengakibatkan peningkatan
pada Indikator Penyerapan Pangan seperti angka harapan hidup, balita gizi buruk,
serta angka kematian bayi di Kabupaten Sidoarjo.
Tujuan pertama dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi
diversifikasi ketersediaan pangan yang dilihat dari pencapaian skor Pola Pangan
Harapan (PPH) di Kabupaten Sidoarjo. Yang kedua, mengetahui estimasi skor
Pola Pangan Harapan Ideal. Yang ketiga, mengetahui hubungan antara Pola
Pangan Harapan dengan Indikator Penyerapan Pangan (Angka Harapan Hidup
(AHH), Balita Gizi Buruk, Angka Kematian Bayi).
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan
analisis skor Pola Pangan Harapan (PPH) untuk mengetahui Kondisi Diversifikasi
ketersediaan pangan dari tahun 2017, selain itu menggunakan analisis regresi
logaritmik untuk mengetahui estimasi skor Pola Pangan Harapan (PPH) ideal =
100, serta analisis korelasi untuk mengetahui hubungan Pola Pangan Harapan
dengan Indikator Penyerapan Pangan di Kabupaten Sidoarjo.
Hasil penelitian menunjukkan kondisi diversifikasi ketersediaan pangan di
Kabupaten Sidoarjo pada tahun 2017 tidak beragam yang ditunjukkan dari skor
PPH<100, dimana nilai skor PPHnya sebesar 74,5. Estimasi atau peramalan pada
skor PPH yang mencapai nilai 100 terdapat pada tahun di 2028, yang dimana
menandakan bahwa kualitas ketersediaan pangan di Kabupaten Sidaorjo beragam
(ideal). Hubungan antara skor PPH dengan AHH memiliki hubungan linier yang
kuat, pada tingkat kepercayaannya sebesar 83%, dengan nilai koefisien
korelasinya sebesar 0,83. Selain itu, terdapat juga hubungan linear yang kuat dan
negatif dengan tingkat kepercayaan sebesar 83% dengan nilai koefisien korelasi
sebesar -0,83. Sedangkan pada hubungan antara PPH dengan Angka Kematian
Bayi terdapat hubungan yang tidak signifikan.
SUMMARY

Elfira Rosa Purba. 145040101111157. Analysis of Diversification Food


Availibility and Food Absorption in Sidoarjo District. Supervised by
Prof.Dr.Ir. Nuhfil Hanani AR.,MS and Rini Mutisari, SP., MP

Basically, in a development of food security not only to the availability of


food can be met, but the food itself must be distributed throughout the region, so
that all residents can access the food. Food security for a country is very
important, especially for countries with a population very much like Indonesia.
Food diversification is a process of diversification of food or efforts to increase
the consumption of a variety of food with the principles of balanced nutrition.
Sidoarjo is a regency in East Java which has the highest population
growth, reaching 9.59%, which increased from the previous year (BPS East Java,
2017). Sidoarjo regency is also a region prone land conversion (BKP East Java,
2014). Increasing number of people in Sidoarjo increasing number also the
conversion of land in Sidoarjo which will result in more and more narrow
agricultural land, and therefore in their food supply is also increasingly less, with
fewer food supply, then the less food diversity in the district of Sidoarjo. Fewer
food diversity will lead to an increase in the Food Absorption indicators such as
life expectancy, infant malnutrition, and infant mortality rate in Sidoarjo.
The first objective of this study was to determine the condition of the
diversification of food supply as seen from the achievement Diesireable Dietary
Pattern score in Sidoarjo. Secondly, knowing the estimated score Diesireable
Dietary Pattern Ideal. Third, determine the relationship Diesireable Dietary
Pattern score between Food Absorption indicators (life expectancy (AHH),
Toddler malnutrition, infant mortality rate).
The method used in this research is to use analysis Diesireable Dietary
Pattern score to determine the condition of diversification of food availability
from 2017, but it uses the analysis of logarithmic regression to determine the
estimated Diesireable Dietary Pattern score base = 100, as well as correlation
analysis to determine the relationship Diesireable Dietary Pattern score between
Food Absorption indicators in Sidoarjo.
The results showed the diversification of food security conditions in
Sidoarjo in 2017 did not vary as indicated by a score of PPH <100, where a score
PPHnya 74.5. Estimation or prediction on the score PPH, which totaled 100 are in
the year in 2028, in which indicates that the quality of food availability in the
District Sidaorjo vary (ideal). The relationship between the PPH score with AHH
has a strong linear relationship, the confidence level of 83%, with a correlation
coefficient of 0.83. In addition, there is also a strong linear relationship and
negative with a confidence level of 83% with a correlation coefficient of -0.83.
While the relationship between the PPH with the infant mortality rate there is no
significant relationship.
KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala
rahmat dan karunia-Nya serta shalawat dan salam kepada junjungan kita Nabi
Muhammad SAW yang telah memberikan teladan kepada kita semua sehingga
pada kesempatan ini penulis mampu menyelesaikan skripsi dengan judul
“Analisis Diversifikasi Ketersediaan Pangan dan Indikator Penyerapan Pangan di
Kabupaten Sidoarjo”.
Kabupaten Sidoarjo menjadi daerah dengan kawasan industri paling padat di
Jawa Timur. Sehingga penting untuk mengetahui tingkat diversifikasi
ketersediaan pangan yang ada di kawasan tersebut apakah pangannya beragam
atau tidak.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi diversifikasi
ketersediaan pangan dan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara pola
pangan harapan dengan indikator penyerapan pangan di Kabupaten Sidoarjo.
Penulis berharap semoga penelitian ini dapat menjadi langkah awal yang
baik dalam kegiatan penelitian dan penulisan skripsi kedepannya dan dapat
memberikan manfaat bagi semua pihak

Malang, Maret 2018

Penulis
RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Elfira Rosa Purba, dilahirkan di Bekasi pada tanggal 18


Maret 1996 sebagai putri kedua dari dua bersaudara dari Bapak Laurensius Purba
dan Ibu Rosdalina.
Penulis menempuh pendidikan dasar di SDN Pejuang 4 Bekasi pada tahun
2002 sampai tahun 2008, kemudian penulis melanjutkan ke SMP Mutiara 17
Agustus Bekasi pada tahun 2008 sampai tahun 2011. Pada tahun 2011 sampai
tahun 2014 penulis studi di SMAN 14 Bekasi. Pada tahun 2014 penulis terdaftar
sebagai mahasiswa Strata-1 Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian
Universitas Brawijaya Malang, Jawa Timur, melalui jalur SMNPTN.
Selama menjadi mahasiswa penulis pernah mengikuti kepanitiaan dalam
acara Rangkaian Acara Semarak Permaseta 2015, Divisi Publikasi Dekorasi dan
Dokumentasi (PDD), dan menjadi panitia dalam acara Seminar Nasional
Pembangunan Pertanian, serta mahasiswa menjadi anggota pratama
PERMASETA pada tahun 2014-2018.
DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR ISI ........................................................................................ 12
DAFTAR TABEL ................................................................................. 14
DAFTAR GAMBAR ............................................................................. 15
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................ 16
I. PENDAHULUAN ....................... Error! Bookmark not defined.
1.1 Latar Belakang .................... Error! Bookmark not defined.
1.2 Rumusan Masalah ............... Error! Bookmark not defined.
1.3 Tujuan Penelitian................. Error! Bookmark not defined.
1.4 Kegunaan Penelitian ............ Error! Bookmark not defined.
II. TINJAUAN PUSTAKA ............. Error! Bookmark not defined.
2.1 Telaah Penelitian Terdahulu Error! Bookmark not defined.
2.2 Tinjauan Pangan .................... Error! Bookmark not defined.
2.3 Tinjauan Ketahanan Pangan .. Error! Bookmark not defined.
2.4 Pengukuran Diversifikasi Pangan ........ Error! Bookmark not
defined.
2.5 Estimasi atau Peramalan........ Error! Bookmark not defined.
2.5.1 Metode Estimasi atau Peramalan Error! Bookmark not
defined.
2.5.2 Metode Prediksi Regresi Non Linier Error! Bookmark
not defined.
2.6 Korelasi ................................. Error! Bookmark not defined.
III. KERANGKA KONSEP PENELITIAN .... Error! Bookmark not
defined.
3.1 Kerangka Pemikiran .............. Error! Bookmark not defined.
3.2 Hipotesis Penelitian ............... Error! Bookmark not defined.
3.3 Batasan Masalah .................... Error! Bookmark not defined.
3.4 Definisi Operasional .............. Error! Bookmark not defined.
IV. METODE PENELITIAN............. Error! Bookmark not defined.
4.1 Metode Penentuan Lokasi Penelitian ... Error! Bookmark not
defined.
4.2 Teknik Pengumpulan Data .... Error! Bookmark not defined.
4.3 Teknik Anailsis Data ............. Error! Bookmark not defined.
4.3.1 Pola Pangan Harapan (PPH) ....... Error! Bookmark not
defined.
4.3.2 Estimasi Skor Pola Pangan Harapan Ideal ............ Error!
Bookmark not defined.
4.3.3 Kolerasi antara PPH dengan Indikator Penyerapan Pangan Error!
Bookmark not defined.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN....................................................... 43
5.1 Kondisi Umum Wilayah...... Error! Bookmark not defined.
5.1.1 Kondisi Geografis ...... Error! Bookmark not defined.
5.1.2 Kependudukan ........... Error! Bookmark not defined.
5.1.3 Ketersediaan Pangan di Kabupaten Sidoarjo Tahun
2017 ........................... Error! Bookmark not defined.
5.1.4 Perikanan dan Peternakan ......... Error! Bookmark not
defined.
5.2 Kondisi Diversifikasi Ketersediaan Pangan di Kabupaten
Sidoarjo ............................... Error! Bookmark not defined.
5.3 Estimasi Skor Pola Pangan Harapan Ideal Error! Bookmark
not defined.
5.4 Hubungan Antara Pola Pangan Harapan (PPH) dengan
Indikator Penyerapan Pangan Error! Bookmark not defined.
5.4.1 Hubungan Antara Pola Pangan Harapan (PPH)
dengan Angka Harapan Hidup (AHH) Error! Bookmark
not defined.
5.4.2 Hubungan Antara Pola Pangan Harapan (PPH)
dengan Status Balita Gizi Buruk Error! Bookmark not
defined.
5.4.3 Hubungan Antara Pola Pangan Harapan (PPH)
dengan Angka Kematian Bayi .. Error! Bookmark not
defined.
VI. PENUTUP ................................... Error! Bookmark not defined.
6.1 Kesimpulan.......................... Error! Bookmark not defined.
6.2 Saran .................................... Error! Bookmark not defined.
DAFTAR PUSTAKA ........................... Error! Bookmark not defined.
DAFTAR TABEL

No. Teks Halaman

1. Kandungan Gizi Makanan Pokok dan Alternatif......................... 4


2. Pengelompokan Pangan............................................................... 38
3. Perhitungan Skor Pola Pangan Harapan (PPH)............................ 40
4. Daftar Kelompok Pangan Berdasarkan Produksi, Impor, Ekspor
Dan Stok....................................................................................... 45
5. Proposi Penggunaan Jenis Kelompok Pangan Terhadap
Ketersediaan Pangan Kabupaten Sidoarjo Tahun 2016............... 46
6. Skor PPH (Pola Pangan Harapan) di Kabupaten Sidoarjo Tahun
2017.............................................................................................. 49
7. Angka Harapan Hidup di Kabupaten Sidoarjo Tahun 2017......... 55
8. Hubungan Antara PPH dengan AHH........................................... 55
9. Prevelensi Status Balita Gizi Buruk di Kabupaten Sidoarjo
Tahun 2017................................................................................... 57
10. Hubungan Antara PPH dengan Balita Gizi Buruk....................... 58
11. Angka Kematian Bayi di Kabupaten Sidoarjo Tahun 2017......... 60
12. Hubungan Antara PPH dengan Angka Kematian Bayi................ 60
DAFTAR GAMBAR

No. Teks Halaman

1. Sub Sistem Ketahanan Pangan.............................................. 22


2. Skematis Kerangka Pemikiran.............................................. 34
3. Skor PPH 2013 – 2017.......................................................... 51
4. Estimasi Skor Pola Pangan Harapan..................................... 51
5. Status Balita Gizi Buruk....................................................... 58
6. Angka Kematian Bayi........................................................... 61
DAFTAR LAMPIRAN

No. Teks Halaman

1. Neraca Bahan Makanan Kabupaten Sidoarjo 2017......................... 71


2. Angka Konversi NBM Kabupaten Sidoarjo 2017........................... 76
3. Tingka Konsumsi............................................................................. 83
4. Populasi Ternak di Kabupaten Sidoarjo Tahun 2017...................... 85
5. Produksi Ikan di Kabupaten Sidoarjo Tahun 2017.......................... 86
6. Skor Pola Pangan Harapan (PPH) Kabupaten Sidoarjo 2017.......... 87
7. Pertumbuhan PPH dan Angka Harapan Hidup................................ 88
8. Pertumbuhan Balita Gizi Buruk....................................................... 89
9. Pertumbuhan Angka Kematian Bayi................................................ 90
10. Perhitungan Pertumbuhan PPH........................................................ 91
11. Perhitungan Pertumbuhan Angka Harapan Hidup........................... 92
12. Perhitungan Pertumbuhan Balita Gizi Buruk................................... 93
13. Perhitungan Angka Kematian Bayi.................................................. 94
14. Korelasi PPH dengan AHH.............................................................. 95
15. Korelasi PPH dengan Balita Gizi Buruk.......................................... 96
16. Korelasi PPH dengan Angka Kematian Bayi................................... 97
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pada dasarnya dalam sebuah pembangunan ketahanan pangan bukan hanya bagaimana
ketersediaan pangan dapat terpenuhi, tetapi pangan itu sendiri harus bisa didistribusikan ke
seluruh wilayah, sehingga semua penduduk bisa mengakses pangan. Ketahanan pangan bagi
suatu negara merupakan hal yang sangat penting, terutama bagi negara yang mempunyai
jumlah penduduk sangat banyak seperti Indonesia. Ketahanan pangan sebagaimana tercantum
dalam Undang Undang Pangan Nomor 18 tahun 2012 merupakan kondisi terpenuhinya
pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan
yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata dan terjangkau.
Ketahanan pangan adalah suatu kondisi dimana setiap individu dan rumahtangga
memiliki akses secara fisik, ekonomi, dan ketersediaan pangan yang cukup, aman, serta
bergizi untuk memenuhi kebutuhan sesuai dengan seleranya bagi kehidupan yang aktif dan
sehat. Selain itu aspek pemenuhan kebutuhan pangan penduduk secara merata dengan harga
yang terjangakau oleh masyarakat juga tidak boleh dilupakan. Konsep ketahanan pangan
dapat diterapkan untuk menyatakan situasi pangan pada berbagai tingkatan yaitu tingkat
global, nasional, regional, dan tingkat rumah tangga serta individu yang merupakan suatu
rangkaian system hirarkis. Hal ini menunjukkan bahwa konsep ketahanan pangan sangat luas
dan beragam serta merupakan permasalahan yang kompleks. Namun demikian dari luas dan
beragamnya konsep ketahanan pangan tersebut intinya bertujuan untuk mewujudkan
terjaminnya ketersediaan pangan bagi umat manusia.
Usaha untuk mewujudkan ketahanan pangan diperlukan adanya informasi terkait
dengan permasalahan yang ada di setiap subsistem ketahanan pangan, dimana menurut
USAID, (1999) dalam Safa’at, (2013) subsistem ketahanan pangan terdiri dari 3 subsistem,
yakni ketersediaan pangan, akses pangan, dan penyerapan pangan. Hal tersebut dikarenakan
agar pelaksanaan pembangunan ketahanan pangan dapat dilakukan secara efektif. Keefektifan
tersebut akan terjadi ketika terdapat informasi yang cukup tentang apa yang seharusnya
dilakukan dan pada aspek mana intervensi kebijakan pembangunan perlu diterapkan, apakah
itu di subsistem ketersediaan, akses, atau penyerapan pangan. Hakikatnya informasi tersebut
dapat digunakan untuk mendeteksi secara dini kerawanan pangan (Hanani, 2011).
Dalam ketahanan pangan faktor yang mempengaruhi terjadinya kerawanan pangan
salah satunya adalah pertumbuhan jumlah penduduk. Menurut proyeksi Badan Pusat Statistik
(BPS), jumlah penduduk Indonesia tahun 2017 ini mencapai 261 juta jiwa. Hal tersebut
berpotensi menimbulkan krisis pangan, karena semakin tinggi jumlah penduduk maka
semakin tinggi juga kebutuhan akan pangan, sehingga produksi pangan perlu ditingkatkan
agar memenuhi kebutuhan tersebut. Selain itu, dengan bertambahnya pertumbuhan penduduk
maka akan meningkatkan jumlah konversi lahan, yang disebabkan adanya perkembangan
yang pesat pada pembukaan dan penggunaan lahan untuk pemukiman penduduk.
Pertumbuhan penduduk juga menjadi masalah bagi pemerintah karena hal ini
menyebabkan semakin meningkatnya kebutuhan akan pangan. Pertumbuhan penduduk yang
tidak diikuti oleh peningkatan produksi dan kapasitas produksi akan menyebabkan terjadinya
kerawanan pangan. Omuewu et al. (2012) menjelaskan bahwa rumah tangga dengan anggota
lebih sedikit (1-4 orang) lebih tahan pangan dari pada rumah tangga yang memiliki jumlah
anggota keluarga yang lebih banyak (lebih dari 4 orang). Hal ini dikarenakan semakin
banyaknya jumlah penduduk yang membutuhkan makan. Untuk mengatasi masalah tersebut
perlu adanya diversifikasi pangan, yang dimana diversifikasi pangan dapat mendorong
masyarakat lebih kreatif dalam memanfaatkan lahan yang ada dengan menanam tanaman
yang dapat menjadi bahan makanan pokok selain padi seperti jagung, ketela, dan umbi-
umbian lainnya.
Diversifikasi pangan ataupun produksi pangan, keduanya berkaitan dengan kebijakan
ketahanan pangan nasional. Upaya kebijakan untuk diversifikasi pangan sudah dilaksanakan
sejak awal dekade 1960an untuk mengantisipasi kebutuhan atau permintaan akan jenis
tanaman pangan nasional (Handewi dan Ariani, 2016). Pada tahun 1974, dikeluarkan
Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 Tahun 1974 tentang Usaha Perbaikan Menu Makanan
Rakyat (UPMMR) yang selanjutnya ditegaskan kembali melalui Inpres No 20 Tahun 1979
tentang UPMMR. Tujuan dikeluarkannya instruksi presiden tersebut adalah untuk
menindaklanjuti upaya penganekaragaman jenis pangan dalam rangka meningkatkan mutu
gizi makanan rakyat, baik secara kuantitas maupun kualitas. Sesuai dengan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012 mengenai pangan merupakan segala sesuatu yang
berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan,
perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan
atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku
pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau
pembuatan makanan atau minuman.
Konsep diversifikasi pangan bukan suatu hal baru dalam peristilahan kebijakan
pembangunan pertanian di Indonesia karena konsep tersebut telah banyak dirumuskan dan
diinterprestasikan oleh para pakar. Kasryno et al. (1993) memandang diversifikasi pangan
sebagai upaya yang sangat erat kaitannya dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia,
pembangunan pertanian di bidang pangan dan perbaikan gizi masyarakat. Sementara
Suhardjo (1998) menyebutkan bahwa pada dasarnya diversifikasi pangan mencakup tiga
lingkup pengertian yang saling berkaitan, yaitu diversifikasi konsumsi pangan, diversifikasi
ketersediaan pangan, dan diversifikasi produksi pangan. Dari pernyataan yang telah di
kemukakan oleh kedua penulis tersebut dapat diterjemahkan bahwa konsep diversifikasi
dalam arti luas, tidak hanya aspek konsumsi pangan tetapi juga aspek produksi pangan.
Dimensi diversifikasi konsumsi pangan tidak hanya terbatas pada pangan pokok tetapi juga
pangan jenis lainnya, karena konteks diversifikasi tersebut adalah untuk meningkatkan mutu
gizi masyarakat secara kualitas dan kuantitas.
Kandungan gizi merupakan pertimbangan utama dalam pelaksanaan program
diversifikasi tanaman pangan. Hal ini dimaksudkan untuk tercapainya salah satu tujuan dari
perwujudan ketahanan pangan nasional, yaitu terpenuhinya gizi masyarakat yang seimbang.
Adapun kandungan gizi makanan pokok dan makan alternatifnya diperlihatkan pada tabel di
bawah ini.
Tabel 1. Kandungan Gizi Makanan Pokok dan Alternatif
No Komoditi Karbohidrat *) Protein *) Lemak *)
1 Padi 77,4 6,70 0,40
2 Jagung 70,0 3,22 1,18
3 Ubi Kayu 36,8 1,00 0,30
4 Ubi Jalar 27,9 1,43 0,17
Keterangan :
*) Kandungan gizi dari 100 gram berat basah (gram).
Sumber : Cahyani (2008)
Dari Tabel 1 di atas, jenis padi memiliki kandungan yang cukup tinggi untuk
karbohidrat dan protein. Menurut Cahyani (2008), pemenuhan karbohidrat tidak perlu
memiliki kandungan tinggi, akan tetapi mencukupi. Oleh karena itu, dalam pemenuhan
karbohidrat tidak hanya dari padi saja, karbohidrat pun bisa diperoleh dari jenis makanan lain
selain padi yaitu ubi kayu dan ubi jalar.
Hal ini yang menjadi dasar penelitian Pola Pangan Harapan (PPH) di Kabupaten
Sidoarjo melalu diversifikasi ketersediaan pangan. Diversifikasi pangan merupakan suatu
proses penganekaragaman pangan atau upaya peningkatan konsumsi aneka ragam pangan
dengan prinsip gizi seimbang. Dengan mengetahui diversifikasi pangan yang semakin
beragam yang diukur dengan skor Pola Pangan Harapan (PPH) yang sesuai dengan skor PPH
normatif nasional yaitu 100, maka akan dapat dikatakan terwujudnya ketersediaan pangan,
yang dimana sesuai dengan pernyataan Badan Ketahanan Pangan (2007) terwujudnya skor
PPH sebesar 100 berarti telah mencerminkan kondisi pangan 3 B (Bergizi, Berimbang, dan
Beragam).
Terkait dengan masalah tersebut, Sidoarjo merupakan salah satu Kabupaten di Jawa
Timur yang memiliki pertumbuhan jumlah penduduk tertinggi yakni mencapai 9,59% yang
mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya (BPS Jawa Timur, 2017). Kabupaten Sidoarjo
juga merupakan wilayah yang sering mengalami konversi lahan (BKP Jawa Timur, 2014).
Semakin banyaknya penduduk di Kabupaten Sidoarjo semakin banyaknya juga konversi
lahan di Kabupaten Sidoarjo yang akan mengakibatkan lahan pertanian semakin sempit, oleh
karena itu dalam penyediaan pangannya juga semakin sedikit, dengan semakin sedikitnya
penyediaan pangan maka semakin sedikit pula keragaman pangan yang ada di Kabupaten
Sidoarjo.
Semakin sedikitnya keragaman pangan maka akan mengakibatkan peningkatan pada
balita gizi buruk. Dapat diketahui masa balita merupakan masa di mana terjadi proses
pertumbuhan dan perkembangan, baik secara fisik maupun motorik . Pemberian makanan
dalam jumlah yang tepat dengan pemilihan jenis makanan yang berkualitas dapat menunjang
tumbuh kembang balita menjadi optimal. Pengenalan dan pemberian makanan yang beragam
kepada balita perlu dilakukan sejak dini karena setiap bahan makanan mengandung zat gizi
yang berbeda . Makanan yang beragam tersebut terdiri dari makanan pokok, lauk pauk,
sayuran dan buah-buahan. Selain itu, dalam mengonsumsi makanan perlu diperhatikan
jumlah dan jenisnya agar sesuai dengan kebutuhan tubuh .
Dalam penelitian ini akan membahas tentang diversifikasi ketersediaaan pangan.
Meskipun banyak penelitian sebelumnya yang membahas tentang pangan khususnya
ketersediaan pangan, namun belum banyak penelitian yang membahas tentang diversifikasi
ketersediaan pangan di Indonesia. Penelitian yang sama tentang diversifikasi ketersediaan
pangan seperti pada Peneliti Penelitian yang berkaitan dengan kualitas ketersediaan pangan
dan kuantitas ketersediaan pangan dilakukan oleh Hidayah (2018) yang Penelitian ini
bertujuan untuk untuk melihat dinamika ketersediaan pangan di Kabupaten Sidoarjo, dimana
kabupaten ini merupakan kabupaten dengan jumlah penduduk tertinggi di Jawa Timur dan
kabupaten dengan tingkat konversi lahan tertinggi di Jawa Timur. Metode yang digunakan
dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan analisis Neraca Bahan Makanan (NBM)
untuk mengetahui dinamika kuantitas ketersediaan pangan dari tahun 2013-2016. Analisis
skor Pola Pangan Harapan (PPH) untuk mengetahui dinamika kualitas ketersediaan pangan
dari tahun 2013-2016, serta analisis korelasi untuk mengetahui hubungan ketersediaan lahan
pertanian dengan ketersediaan pangan di Kabupaten Sidoarjo.
Melihat keadaan tersebut sekaligus permasalahan yang terjadi di Kabupaten Sidoarjo,
oleh karena itu memilih Kabupaten Sidoarjo untuk diteliti mengenai keberagaman terhadap
ketersediaan pangan sehingga sangat penting dilakukan penelitian terkait dengan diversifikasi
ketersediaan pangan. Penelitian ini mencoba memberikan informasi mengenai kondisi
ketersediaan pangan dari segi kualitasnya serta hubungan antara Pola Pangan Harapan (PPH)
dengan Indikator Penyerapan Pangan melalui Diversifikasi ketersediaan pangan dan Indikator
Penyerapan Pangan di Kabupaten Sidoarjo.

1.2 Rumusan Masalah


Ketersediaan pangan sebagai salah satu subsistem ketahanan pangan berfungsi
menjamin pasokan pangan untuk memenuhi kebutuhan penduduk dari segi kuantitas dan
kualitas keragaman dan keamanannya. Kuantitas ketersediaan pangan harus mencukupi
kebutuhan energi dan protein sesuai dengan Angka Kecukupan Gizi, yakni masing-masing
sebesar 2400 Kkal/kapita/hari dan 63 gr/kapita/hari (WNPG, 2012 dalam BKP Jawa Timur;
2015). Kualitas pangan harus mencapai skor 100 pada skor Pola Pangan Harapannya (PPH)
(Asmara, 2009).
Sidoarjo dikenal juga dengan sebutan Kota Delta, karena berada di antara dua sungai
besar pecahan Kali Brantas, yakni Kali Mas dan Kali Porong. Kota Sidoarjo berada di selatan
Surabaya, dan secara geografis kedua kota ini seolah-olah menyatu. Perikanan, industri dan
jasa merupakan sektor perekonomian utama Sidoarjo. Wilayah ini merupakan daerah yang
dekat dengan kawasan metropolis akan tetapi pada beberapa kecamatan masih memiliki
luasan lahan yang digunakan sebagai pusat pemerintahan, perumahan, perbelanjaan, dan
fasilitas-fasilitas umum lainnya.
Produksi pangan di Kabupaten Sidoarjo berfluktuasi dari tahun ke tahun. Terjadi
peningkatan produksi pada beberapa komoditas, namun juga penurunan pada beberapa
komoditas yang lain. Ketersediaan pangan di Kabupaten Sidoarjo ini berasal dari sumber
pangan nabati dan pangan hewani. Sumber pangan nabati ini meliputi kelompok padi-padian,
makanan berpati, gula, buah atau biji berminyak, buah-buahan, sayuran dan sebagian dari
kelompok minyak dan lemak. Sumber pangan hewani meliputi kelompok pangan daging,
telur, susu, ikan, serta sebagian kelompok minyak dan lemak. Kelompok pangan minyak dan
lemak yang termasuk dalam pangan nabati adalah kacang tanah. Sedangkan kelompok
pangan minyak dan lemak yang termasuk dalam pangan hewani adalah lemak sapi, lemak
kerbau, lemak kambing dan lemak domba.
Dalam ketersediaan pangan dapat mempengaruhi tingkat kesehatan masyarakat.
Tercukupinya atau tersedianya masyarakat dapat meningkatkan kesehatan pada masyarakat.
Dalam pembangunan kesehatan adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen
bangsa yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat
bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.
Derajat kesehatan masyarakat dapat dilihat dari berbagai faktor yang meliputi indikator umur
harapan hidup, angka kematian, angka kesakitan dan status gizi masyarakat. Salah satu cara
untuk meningkatkan derajat kesehatan yaitu dengan memperbaiki status gizi masyarakat
terlebih pada balita. Balita termasuk kelompok paling rentan terhadap masalah gizi jika
ditinjau dari sudut masalah kesehatan dan gizi, sedangkan pada masa ini mereka mengalami
siklus pertumbuhan dan perkembangan yang relatif pesat. Akibat dari kurang gizi ini
kerentanan terhadap penyakit-penyakit infeksi terlebih pada kasus gizi buruk, gizi buruk
seperti fenomena gunung es dimana kejadian gizi buruk dapat menyebabkan kematian
(Notoatmodjo, 2003).
Tahun 2015, beberapa fasilitas kesehatan yang diakses masyarakat Sidoarjo untuk
berobat jalan, secara mayoritas sudah merujuk pada fasilitas/petugas medis yang ada.
Masyarakat yang berobat jalan ke RS/Puskesmas/dokter praktek/petugas kesehatan,
jumlahnya sudah mencapai 99,8%; dimana prakter dokter menempati rujukan tertinggi
sebesar 43,82%, disusul Puskesmas (24,82%) dan rumah sakit (19,1%). Sementara itu,
dengan kemudahan akses dan pelayanan kesehatan yang semakin baik, angka harapan hidup
(AHH) masyarakat di Sidoarjo semakin meningkat. Pada Tahun 2015, AHH masyarakat
mencapai 73,63 tahun atau meningkat dibanding Tahun 2010 (70,55 tahun).(BPS Kabupaten
Sidoarjo, 2016).
Berdasarkan permasalahan yang ada maka masalah-masalah dapat diidentifikasikan
sebagai berikut :
1. Bagaimana kondisi diversifikasi ketersediaan pangan yang dilihat dari percapaian skor
Pola Pangan Harapan (PPH) di Kabupaten Sidoarjo?
2. Bagaimana estimasi Skor Pola Pangan Harapan ideal?
3. Bagaimana hubungan antara Pola Pangan Harapan dengan Indikator Penyerapan Pangan
di Kabupaten Sidoarjo?

1.3 Tujuan Penelitian


Berdasarkan uraian dari rumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian yang ingin
dicapai antara lain :
1. Mengetahui kondisi diversifikasi ketersediaan pangan yang dilihat dari percapaian skor
Pola Pangan Harapan (PPH) di Kabupaten Sidoarjo.
2. Mengetahui estimasi Skor Pola Pangan Harapan ideal.
3. Mengetahui hubungan antara Pola Pangan Harapan dengan Indikator Penyerapan Pangan.

1.4 Kegunaan Penelitian


1. Sebagai salah satu sumber informasi bagi masyarakat tentang diversifikasi ketersediaan
pangan
2. Sebagai bahan pemikiran pemerintah dalam pembuatan kebijakan yang berkenan dengan
diversifikasi pangan.
3. Bagi pembaca, peneliti ini dapat dijadikan refrensi dalam penyusunan penelitian
selanjutnya yang sejenis.
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Telaah Penelitian Terdahulu


Penelitian tentang pangan memang banyak dilakukan tetapi masing – masing memiliki
fokus penelitian yang berbebeda – beda. Ada beberapa yang membahas mengenasi
ketersediaan pangan, masalah tingkat ketahanan pangan, dan ada juga yang membahas
tentang diversifikasi pangan. Metode yang digunakan saat penelitian juga menggunakan
metode yang berbeda – beda.
Terdapat peneliatian Ariani (1996) yang berjudul ‘Analisis Diversifikasi Konsumsi
Energi Menurut Pola Pangan Harapan dan Faktor – Faktor yang Mempengaruhinya’
menganalisis diversifikasi konsumsi energi dari faktor-faktor yang mempengaruhinya. Data
yang digunakan adalah data Survai Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 1993 dan
1996, bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS). Hasil kajian menunjukkan bahwa: (l)
Rata-rata tingkat konsumsi energi mengalami penurunanya itu dari 2.018 kalori tahun 1993
menjadi l.984 tahun 1996 untuk di kota, sedangkan di desa untuk tahun yang sama dari 2.074
menjadi 2.040 kalori; (2) Dibandingkan dengan anjuran konsumsi pangan dalam PPH,
pencapaian konsumsi pangan hewani sangat rendah dibandingkan kelompok pangan lainnya.
Sebagai gambaran pada kelompok pendapatan rendah hanya 10-34% dari anjuran, sedangkan
pada kelompok pendapatan tinggi sekitar 25-89%. Dalam rangka menuju pencapaian anjuran
konsumsi pangan hewani menurut PPH maka upaya untuk memacu penyediaan pangan
sumber protein hewani dan peningkatan pendapatan masyarakat perlu mendapat priorias.
Penyediaan pangan sumber protein hewani dilakukan dengan pemacuan produksi dalam
negeri dan mencari pasar impor yang lebih kompetitif; (3) Mengingat tingkat pendapatan
merupakan faktor yang nyata mempengaruhi tingkat diversiftkasi konsumsi pangan rumah
tangga, maka upayakan di daerah pedesaan (dan masyarakat miskin) mengingat secara
agregat tingkat konsumsi pangar mereka lebih rendah dari pada di perkotaan.
Terdapat penelitian yang serupa yang ditulis oleh Kepala Pusat Penelitian Teknologi
Pangan dan Gizi Lembaga Penelitian, Universitas Jember (2003) yang berjudul “Diversifikasi
Konsumsi Pangan berdasarkan Pendekatan Pola Pangan Harapan (PPH) di Daerah Rawan
Gizi”, bahwa berdasarkan data susenas tahun 1999, Propinsi Jawa Timur beda pada peringkat
pertama dalam hal prevelensi Kurang Energi Protein (KEP) balita yang tinggi. Kebupaten
rawan gizi ditentukan berdasarkan data konsumsi energi dibawag Angka Kecukupan Gizi
(AKG) dari dinas Kesehatan Jawa Timur tahun 1999. Kemudian dipilih empat kabupaten
atau 25% kabupaten rawan gizi dengan urutan peringkat tingkat pemenuhan energi, yaitu
Kabupaten Trenggalek, Jember, Tuban dan Pasuruan. Kecamatan rawan gizi ditentukan
berdasarkan data status gizi dan prevalensi Kurang Energi Protein (KEP) anak balita dari
Puskesmas dan Posyandu kecamatan dan diperoleh 12 kecamatan rawan gizi daerah pantai.
Konsumsi pangan di daerah rawan gizi pantai memenuhi 61% dari kebutuhan energi.
Sumbangan energi dari kelompok padi – padian dan gula perlu ditingkatkan pangan hewani
perku sebesar 14% dan 3%. Demikian juga dengan konsumsi pangan hewani perlu
ditingkatkan sekitar 11%, terutama dari jenis pangan ikan segar dan telur yang tersedia di
daerah pantai. Sebaiknya konsumsi kacang – kacangan dan umbi – umbian memberi
sumbangan energi sedikit lebih tinggi, masing – masing 1% dari standar Pola Pangan
Harapan (PPH) konsumsi Jawa Timur atau Nasional.
Penelitan Asparian (2003) yang berjudul ‘Hubungan Pengeluaran Pangan, Skor Pola
Pangan Harapan (PPH) dan Tingkat Konsumsi Energi-Protein dengan Status Gizi Balita
Umur 2-4 Tahun Pada Keluarga di Desa Terpencil (Studi Kasus di Desa Renah Pemetik
Kecamatan Gunung Kerinci Kab. Kerincu Propinsi Jambi)’ penelitian ini untuk mengetahui
hubungan pengeluaran pangan, skor pola pangan harapan (PPH) dan tingkat konsumsi energi-
protein dengan status gizi balita umur 2-4 tahun pada keluarga di Desa Renah Pemetik
Kecamatan Gunung Kerinci. Secara khusus penelitian ini bertujuan mendeskripsikan,
menganalisa dan mengukur variabel-variabel penelitian yang terdiri dari pengeluaran pangan,
skor PPH keluarga, tingkat konsumsi energi-protein keluarga dan status gizi balita umur 2-4
tahun. Jenis penelitian adalah explanatory researce dengan pendekatan cross sectional.
Populasi penelitian adalah seluruh keluarga dengan balita umur 2- 4 tahun. Sampel adalah
balita terkecil dalam keluarga umur 2-4 tahun. Pengumpulan data dilakukan dengan dua
tahap, tahap pertama pengumpulan data sekunder dan tahap kedua pengumpulan data primer.
Hasil penelitian menemukan hubungan yang sangat bermakna antara skor PPH keluarga
dengan status gizi balita umur 2-4 tahun indeks TB/U, tingkat konsumsi protein keluarga
dengan status gizi balita umur 2-4 tahun indeks TB/U. Hubungan bermakna antara
pengeluaran pangan dengan konsumsi energi keluarga, tingkat konsumsi energi keluarga
dengan status gizi balita umur 2-4 tahun indeks BB/U. Tidak ada hubungan pengeluaran
pangan dengan skor PPH keluarga.
Terdapat penelitian Mun’im (2016) yang berjudul ‘Analisis Pengaruh Faktor
Ketersediaan, Akses, dan Penyerapan Pangan Terhadap Ketahanan Pangan di Kabupaten
Surplus Pangan: Pendekatan Partial Least Square Path Modeling’ dalam penelitian ini,
indikator-indikator yang digunakan untuk membangun sebuah faktor merujuk dari Publikasi
FIA 2005 dan FSVA 2009. Faktor ketersediaan pangan diukur oleh variabel-variabel
konsumsi kalori per kapita per hari, konsumsi protein per kapita per hari, dan rasio antara
produksi pangan terhadap konsumsi normatif penduduk. Faktor akses pangan diukur oleh
variabel – variabel persentase penduduk tidak miskin, persentase rata-rata pengeluaran rumah
tangga untuk konsumsi nonmakanan, persentase rumah tangga yang menggunakan listrik,
persentase desa yang memiliki akses jalan kendaraan roda 4, dan persentase desa yang
memiliki akses pasar. Faktor penyerapan pangan diukur oleh variabel-variabel persentase
kepala rumah tangga yang tamat SMP/MTs., persentase rumah tangga yang menggunakan air
dengan kualitas fisik air yang baik, persentase rumah tangga yang menggunakan jamban
leher angsa, dan persentase rumah tangga yang memiliki akses terhadap fasilitas pelayanan
kesehatan. Faktor ketahanan pangan diukur oleh variabel-variabel persentase balita yang
tidak mengalami kekurangan gizi (underweight), persentase balita yang tidak mengalami
kekurusan (stunting), dan angka harapan hidup.
Menurut purwaningsih (2008) dalam penelitiannya menjelaskan harga beras dunia dan
impor beras tahun Pola konsumsi pangan rumah tangga pangan di Dusun Klagen, Desa
Kepuh Kembeng, Kecamatan Peterongan, Kabupaten Jombang belum mencerminkan
diversifikasi konsumsi pangan yang sesuai dengan Pola Pangan Harapan. Hal ini ditunjukkan
dengan skor PPH yang masih berada di bawah 100 dan belum mencapai standar makro PPH
Jawa Timur tahun 2007 sebesar 83. Secara kuantitas dan kualitas konsumsi pangan rumah
tangga di daerah penelitian masih di bawah standar yang ditetapkan, yaitu untuk angka
kecukupan energi sebesar 1911,6 kkal/kap/hr atau 77,22% AKE normatif (2200) dan nilai
skor PPH sebesar 62,83 atau 62,83% dari PPH normatif (100%).
Penelitian yang dilakukan oleh Nuhfil, Rosihan dan Yustisianto (2008) dengan judul
“Analisis Diversifikasi Konsumsi Pangan Dalam Memantapkan Ketahanan Pangan
Masyarakat Perdesaan” penelitian dilakukan secara purposive (sengaja) didaerah Jombang
tepatnya di Dusun Klagen, menggunakan random sampling untuk mendapatkan jumlah
responden rumah tangga yang akan diteliti dan metode analisis yang digunakan analisis
deskriptif, analisis diversifikasi konsumsi pangan, indeks Entropy, analisis regresi linier
berganda. Hasil penelitian perhitungan Indeks Entropy per rumah tangga suatu daerah
terendah adalah 0,01 yang menunjukkan tingkat diversifikasi pangan yang paling rendah,
sedangkan yang paling tinggi adalah 0,14, dengan nilai rata-rata Indeks Entropy sebesar 0,06.
Jika dilakukan perbandingan antara Indeks Entropy rata-rata untuk konsumsi karbohidrat,
lemak, dan protein di desa. Kedua diversifikasi konsumsi lemak yang mencapai 0,061, dan
yang paling rendah adalah diversifikasi konsumsi karbonhidrat yang mencapai 0,053. Ketiga
nilai dapat dilihat bahwa nilai indeks entropy yang sangat kecil, sehingga dapat dikatakan
tingakat konsumsi karbohidrat, lemak, dan protein masih belum terdiversifikasi dengan baik.
Dari hasil analisis regresi linier berganda dapat diketahui nilai Fhitung sebesar 8,917 dengan
Ftabel sebesar 2,39 sehingga nilai Fhitung > Ftabel, sehingga disimpulkan bahwa variabel
bebas jumlah anggota rumahtangga, pendidikan ibu dan kepala rumah tangga, usia ibu dan
kepala rumah tangga, nilai R2 sebesar 0,706 bahwa semua variabel bebas jumlah anggota
rumah tangga, pendidikan ibu dan kepala rumah tangga, regresi menjelaskan variabel terikat
tingkat diversifikasi konsumsi pangan sebesar 70,6%, sedangkan sisanya sebesar 29,4%
dipengaruhi oleh variabel bebas lainnya yang tidak terdapat dalam model. Pada hasil regresi
diketahui nilai VIF sebesar 1,300; 1,838;1,901; 1,115; 1,220; 1,625; dan 1,518 yang berarti
tidak terjadi Multikolinearitas kerena nilai VIF lebih dari 10. Model ini juga terdistribusi
normal yang ditunjukkan oleh nilai asymp.sig.(2-tailed)> α, atau 0,848> 0,05 pada hasil uji
Kolmogorov-Smirnov.
Penelitian yang dilakukan oleh Hanafie (2010) dengan judul “Peran Pangan Pokok
Lokal Tradisional Dalam Diversifikasi Konsumsi Pangan ” penelitian dilakukan di
Kecamatan Kauman Kabupaten Tulungagung. Unit analisis dalam penelitian adalah
rumahtangga perdesaan. Sampel ditentukan secara random sebanyak 150 rumahtangga.
Diversifikasi konsumsi pangan diukur dengan mutu konsumsi pangan yang dihitung menurut
Norma Pola Pangan Harapan (Norma PPH) dinyatakan dengan skor, skor PPH atau Derajat
Ketahanan Pangan (DKP) atau Skor Mutu Konsumsi Pangan (SMKP) normatif diharapkan
sebesar 100. Analisis secara deskripstif kualitatif dengan bantuan table frekuensi, juga
dilakukan komparasi antara konsumsi pangan aktual dengan konsumsi pangan normatif
menurut Norma PPH. Rata tingkat konsumsi energi sebesar 60,47% AKE atau senilai
1.330,24 kkal/kap/hari menunjukkan bahwa konsumsi energi rumah tangga perdesaan belum
memenuhi standar konsumsi energi oleh Dinas kesehatan. Dua rumah tangga (0,13%)
mengkonsumsi pangan pokok beras, empat rumah tangga (0,27%) mengkonsumsi pangan
pokok ketela pohon, 144 rumah tangga (0,96%) mengkonsumsi pangan pokok beras
dicampur dengan ketela pohon (dalam bentuk nasi tiwul), 48 rumah tangga (0.32%)
mengkonsumsi beras dicampur jagu ng, 96 rumah tangga (0.64%) mengkonsumsi pangan
pokok beras ketela pohon.
Penelitian yang dilakukan oleh Gusti dan Nurliana (2012) dengan judul “Analisis
Ketersediaan Pangan Lokal Dalam Mendukung Diversifikasi Pangan Di Provinsi Sumatera
Utara” mengunakan data dalam penelitian ini adalah data primer terdiri dari 10
Kabupaten/Kota dan sekunder (time series) periode tahun 2006-2010 yang diambil dari
Departemen Pertanian, Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara, Badan Pusat Statistik
Kabupaten/Kota dan metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
kuadrat terkecil/Least Square Method. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pangan lokal
selain padi yang dimaksud jagung, kedele, kacang tanah, kacang hijau, ubi kayu dan ubi jalar.
Sebagaimana diketahui, jagung, ubi kayu dan ubi jalar telah lama dijadikan sebagai bahan
pangan pendamping atau pengganti nasi di Indonesia. Perkembangan teknologi pengolahan
juga sudah menemukan bentuk-bentuk olahan modern yang beragam dari bahan baku
tersebut dan berpotensi besar untuk dikembangkan baik industri skala rumah tangga hingga
industri besar. Perkembangan dan keberadaan agroindustri berbasis komoditi lokal sebagai
salah satu upaya diversifikasi pangan sangat tergantung dari ketersediaan bahan baku utama.
Oleh karena itu peningkatan produksi komoditi lokal perlu menjadi perhatian seiring dengan
semakin berkembangya agroindustrinya. Perkembangan luas panen, produksi, sumber pangan
lokal selain padi di Sumatera Utara
Penelitian yang berkaitan dengan kualitas ketersediaan pangan dan kuantitas
ketersediaan pangan dilakukan oleh Fahriyah (2016) yang Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis ketersediaan pangan di Kabupaten Sidoarjo. Situasi pangan di Kabupaten
Sidoarjo adalah ketersediaan energi dan protein masing-masing mencapai 1,334.48
kkal/kapita/hari, protein 44.59 gram/kapita/hari, dimana kondisi ini masih berada di bawah
standar ketersediaan sebesar 2,400 kkal/kapita/hari dan protein 63 gram/kapita/hari.
Ketersediaan lemak adalah 15.27 gram/kapita/hari sedangkan untuk ketersediaan vitamin
nilai ketersediaannya masing-masing adalah: vitamin A sebesar 4,908.90 RE/kapita/hari;
vitamin B1 sebesar 0.82 mg/kapita/hari; dan vitamin C 71.09 mg/kapita/hari. Sementara itu,
untuk ketersediaan mineral pada kalsium adalah 256.60 mg/kapita/hari fosfor 655.27
mg/kapita/hari. dan zat besi 8.46 mg/kapita/hari. Nilai Pola Pangan Harapan (PPH)
ketersediaan di Kabupaten Sidoarjo masih berada di bawah skor PPH ideal. Nilai PPH
ketersediaan di Kabupaten Sidoarjo adalah sebesar 48.13 sedangkan nilai PPH idealnya
adalah 100. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa tingkat keragaman pangan yang tersedia di
Kabupaten Sidoarjo masih relatif rendah.
Penelitian yang berkaitan dengan kualitas ketersediaan pangan dilakukan oleh
Prasetyarini, et al. (2014). Tujuan dari penelitiannya adalah untuk menganalisis tingkat
ketersediaan pangan dari segi kualitas dan kuantitas terhadap pengaruhnya dalam ketahanan
pangan. Metode yang digunakan adalah menggunakan analisis Neraca Bahan Makanan
(NBM) FAO (untuk analisis kuantitas) dan menggunakan skor Pola Pangan Harapan (PPH)
(untuk analisis kualitas). Hasil dari penelitian ini menunjukkn bahwa Kabupaten Sidoarjo
berada pada status rawan pangan. Hal ini ditunjukkan melalui perolehan ketersediaan energi
dan protein masing-masing sebesar 1400 kkal/kapita/hari dan 50,59 gram/kapita/hari. Skor
PPH ketersediaan pangan di Kabupaten Sidoarjo adalah sebesar 48. Skor ini belum dapat
dikatakan ideal karena belum mencapai skor PPH ideal sebesar 100.
Penelitian tentang kuantitas dan kualitas pangan tidak hanya dilakukan dari segi
ketersediaan pangan saja, namun juga dari segi konsumsi pangan. Ediwiyati, et al. (2016)
melakukan tentang ketahanan pangan rumah tangga. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
menganalisis kuantitas dan kualitas penyerapan pangan (konsumsi pangan) di tingkat rumah
tangga pada rumah tangga program desa mandiri pangan. metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah dengan menggunakan perhitungan konsumsi energi dan protein aktual
dari masing-masing kelompok bahan pangan (AKE dan AKP aktual), serta analisis skor pola
pangan harapan (PPH) dari segi konsumsi. Hasil dari penelitian ini adalah dikethui bahwa
dari ketiga kelompok afinitas, baik kelompok Mawar 1, 2, maupun 3, memiliki skor AKE di
bawah skor normatifnya yakni 2000 kkal/kapita/hari. Kelompok Mawar 3 memiliki skor
AKE tertinggi disusul dengan kelompok Mawar 1 dan 2 dengan nilai AKE masing-masing
sebesar 1893,91 kkal/kapita/hari, 1657,06 kkal/kapita/hari, dan 1533,02 kkal/kapita/hari.
Pencapaian AKP dari kelompok Mawar 3 juga menempati posisi tertinggi disusul dengan
kelompok Mawar 1 dan 2, yang masing-masing sebesar 42,18 gram/kapita/hari, 40,25
gram/kapita/hari, dan 35,51 gram/kapita/hari. Nilai ini berada di bawah nilai AKP normatif
untuk konsumsi protein yakni sebesar 52 gram/kapita/hari. Berdasarkan perhitungan skor
PPH dapat diketahui bahwa kelompok Mawar 3 memiliki skor PPH tertinggi disusul dengan
kelompok Mawar 1 dan 2. Nilai skor PPH dari ketiga kelompok afinitas tersebut masing-
masing sebesar 90,23; 70,54; dan 66,62.
Penelian Khotimah (2016) yang berjudul ‘Kajian Tingkat Pengetahuan Ibu, Tingkat
Pendapatan, Tingkat Pendidikan dan Jumlah Anggota Keluarga Berkaitan Dengan Status Gizi
Balita di Kecamatan Sedati dan Kecamatan Wonoayu Kabupaten Sidoarjo’ menjelaskan
tentang Kecamatan Sedati dan Kecamatan Wonoayu merupakan daerah yang memiliki
jumlah balita gizi buruk yang berbeda. Kecamatan Sedati merupakan daerah dengan jumlah
balita gizi buruk terendah, sedangkan Kecamatan Wonoayu merupakan daerah dengan
jumlah balita gizi buruk tertinggi di Kabupaten Sidoarjo. Status gizi balita dikaji oleh peneliti
untuk mengetahui (1) pengaruh tingkat pengetahuan ibu terhadap status gizi balita, (2)
pengaruh tingkat pendapatan keluarga terhadap status gizi balita, (3) pengaruh tingkat
pendidikan terhadap status gizi balita, (4) pengaruh jumlah anggota keluarga terhadap status
gizi balita, dan (5) manakah diantara tingkat pengetahuan ibu, tingkat pendapatan keluarga,
tingkat pendidikan dan jumlah anggota keluarga yang paling berpengaruh terhadap status gizi
balita di Kecamatan Sedati dan Kecamatan Wonoayu Kabupaten Sidoarjo. Penelitian ini
dilakukan dengan menentukan subyek penelitian pada masing-masing kecamatan, untuk
Kecamatan Sedati yaitu subyek kasus sebanyak 21 ibu yang memiliki balita gizi buruk dan 21
ibu yang memiliki balita gizi baik dan untuk Kecamatan Wonoayu sebanyak 67 ibu yang
memiliki balita gizi buruk dan 67 ibu yang memiliki balita gizi baik. Data primer dalam
penelitian ini diperoleh dari hasil wawancara terhadap responden dengan bantuan pedoman
wawancara. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah (1) wawancara terstruktur, (2)
dokumentasi dan (3) observasi.
Pada penelitian Faridi dan Sagita (2016) yang berjudul ‘Hubungan Pengeluaran, Skor
Pola Pangan Harapan (PPH) Keluarga, dan Tingkat Konsumsi Energi-Protein dengan Status
Gizi Balita Usia 2-5 Tahun’ Penelitian ini merupakan penelitian cross sectional. Penelitian ini
dilakukan di Kelurahan Gandul Kecamatan Cinere Kota Depok, Provinsi Jawa Barat pada
bulan Juli tahun 2013. Sampel dalam penelitian ini adalah yang memenuhi kriteria sebagai
berikut: 1) balita laki-laki dan perempuan usia 25–60 bulan, 2) sehat fisik dan mental (dapat
dilakukan penimbangan berat badan dan pengukuran tinggi/panjang badan). Hasil
perhitungan sampel berdasarkan perhitungan z-skor diperoleh jumlah sampel sebanyak 76
balita. Jika diperkirakan drop out 20% maka jumlah total sampel minimum yang diperlukan
adalah 91 balita. Persentase terbesar ada pada tingkat pendapatan lebih atau sama dengan
Rp1.236.991,00/bulan sebesar 92,1% dan sebesar 7,9% dengan tingkat pendapatan kurang
dari Rp1.236.991,00/bulan. Berdasarkan indeks BB/U, sebesar 85,5% responden mempunyai
status gizi baik, status gizi buruk sebesar 3,9%, status gizi kurang sebesar 9,2%, dan status
gizi lebih sebesar 1,3%. Berdasarkan indeks TB/U, balita yang mempunyai tinggi badan
normal lebih banyak dibandingkan yang tidak normal (72,4%), sangat pendek (13,2%),
pendek (11,8%), dan tinggi (2,6%). Sebagian besar responden mempunyai asupan energi
yang kurang (53,9%). Sebesar 36,8% mempunyai asupan protein lebih, asupan protein baik
sebesar 28,9%, dan asupan protein kurang sebesar 34,2%. Sebagian besar (93,4%) responden
hidup dalam keluarga dengan tingkat sosial ekonomi mampu. Hampir seluruh (97,4%)
responden memiliki skor pola pangan harapan tidak ideal. Umur, jenis kelamin, jumlah
anggota keluarga, pendidikan ayah, pekerjaan ayah, pekerjaan ibu, asupan energi, dan asupan
protein tidak berhubungan dengan status gizi balita (BB/U). Tidak ada hubungan antara total
sosial ekonomi dan skor PPH dengan status gizi balita (TB/U). Pendidikan ibu dan
pendapatan keluarga berhubungan dengan status gizi balita (BB/U).
Dapat dilihat dan disimpulkan dari penelitian terdahulu diatas yang membahas
mengenai ketahanan pangan, dimana masing – masing menggunakan metode analisis
pendekatan Pola Pangan Harapan (PPH) ini belum mampu memberikan intervensi tepat
sasaran. Oleh karena itu peneliti mencoba melakukan pendekatan lain mengenai ketahanan
pangan melalui metode Neraca Bahan Makanan (NBM) agar interverensi yang diberikan
tepat sasaran. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah, pada penelitian
ini dibahas tentang diversifikasi ketersediaan pangan di Kabupaten Sidoarjo yang dilakukan
dengan analisis skor Pola Pangan Harapan (PPH). Penelitian ini juga menganalisis bagaimana
hubungan Pola Pangan Harapan (PPH) dengan Angka Harapan Hidup di Kabupeten Sidoarjo
dan bagaimana hubungan Pola Pangan Harapan (PPH) dengan Status Balita Gizi Buruk di
Kabupaten Sidoarjo.

2.2 Tinjauan Pangan


Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian,
perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun
tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia,
termasuk bahan tambahan Pangan, bahan baku Pangan, dan bahan lainnya yang digunakan
dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman (Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012).
Pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang paling hakiki dan
pemenuhan akan kebutuhan pangan merupakan hak asasi setiap orang, dengan demikian,
pangan bagi penduduk harus tersedia setiap saat dimana saja penduduk membutuhkannya
(Fardiaz, 2003). Hal serupa juga dinyatakan oleh Wirakartakusumah (2001) bahwa pangan
adalah kebutuhan dasar bagi manusia dan pemenuhannya merupakan hak asasi setiap warga
masyarakat, sehingga pangan harus tersedia dalam jumlah yang cukup, aman, bermutu,
bergizi, beragam dengan harga yang terjangkau oleh kemampuan daya beli masyarakat.
Pangan memiliki pengertian yang luas, mulai dari pangan esensial bagi kehidupan manusia
yang sehat dan produktif (keseimbangan kalori, karbohidrat, protein, lemak, vitamin, serat,
dan zat esensial lain) serta pangan yang dikonsumsi atas kepentingan sosial dan budaya
seperti untuk kesenangan, kebugaran, kecantikan dan sebagainya. Jadi pangan tidak hanya
berarti pangan pokok dan jelas tidak hanya berarti beras, melainkan pangan yang terkait
dengan berbagai hal lain (Krisnamurti, 2003). Dalam pemenuhannya, saat ini manusia tidak
hanya bergantung dari makanan segar, namun juga memilih dan mengkonsumsi makanan
kemasan sudah menjadi kebiasaan dalam kehidupan sehari – hari.
Karsin (2004) Pangan merupakan kebutuhan dasar yang paling esensial bagi
manusianuntuk mempertahankan hidup dan kehidupan. Pangan sebagai sumber zat gizi
(karbohidrat, lemak, protein, vitamin, mineral dan air) menjadi landasan utama manusia
untuk mencapai kesehatan dan kesejahteraan sepanjang siklus kehidupan. Janin dalam
kandungan, bayi, balita, anak, remaja, dewasa maupun usia lanjut membutuhkan makanan
yang sesuai dengan syarat gizi untuk mempertahankan hidup, tumbuh dan berkembang, serta
mencapai prestasi kerja.
Jumlah macam makanan dan jenis serta banyaknya bahan pangan dalam pola makanan
di suatu negara atau daerah tertentu, biasanya berkembang dari pangan setempat atau dari
pangan yang telah di tanam di tempat tersebut untuk jangka waktu yang panjang. Di samping
itu kelangkaan pangan dan kebiasaan bekerja dari keluarga, berpengaruh pula terhadap pola
makanan (Harper, et.al, 1986). Pangan telah dikelompokkan menurut berbagai cara yang
berbeda dan berikut merupakan salah satu cara pengelompokannya, yakni :

a) Padi-padian
b) Akar-akaran, umbi-umbian dan pangan berpati
c) Kacang-kacangan dan biji-bijian berminyak
d) Sayur-sayuran
e) Buah-buahan
f) Pangan hewani
g) Lemak dan minyak
h) Gula dan sirop
Ada beberapa hal penting dalam mengatasi permasalahan pangan di Indonesia
(Purwaningsih:2008:3) yaitu :
1) Ketersediaan pangan
Negara berkewajiban untuk menjamin ketersediaan pangan dalam jumlah yang cukup
(selain terjamin mutunya) bagi setiap warga negara, karena pada dasarnya setiap warga
negara berhak atas pangan bagi keberlangsungan hidupnya. Penyediaan pangan dalam negeri
harus diupayakan melalui produksi dalam negeri dari tahun ke tahun meningkat seiring
dengan adanya pertumbuhan penduduk.
2) Kemandirian pangan
Kemandirian pangan suatu negara dalam memenuhi kebutuhan rakyatnya merupakan
indikator penting yang harus diperhatikan, karena negara yang berdaulat penuh adalah yang
tidak tergantung (dalam bidang politik, keamanan, ekonomi, dan sebagainya) pada negara
lain.
3) Keterjangkauan pangan
Keterjangkaun pangan atau aksesibilitas masyarakat (rumah tangga) terhadap bahan
sangat ditentukan oleh daya beli, dan daya beli ini ditentukan oleh besarnya pendapatan dan
harga komditas pangan.
4) Konsumsi pangan
Konsumsi pangan berkaitan dengan gizi yang cukup dan seimbang. Tingkat danpola
konsumsi pangan dan gizi dipengaruhi oleh kondisi ekonomi,sosial, dan budaya setempat.

2.3 Tinjauan Ketahanan Pangan


Menurut Seliawan (2004) definisi ketahanan pangan yang telah diterima secara luas
oleh praktisi maupun akademisi adalah setiap orang pada setiap saat memiliki aksesibilis
secara fisik dan ekonomi terhadap pangan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan
agar hiup produktif dan sehat. Ketahanan pangan diindikasikan oleh terpenuhinya pangan
bagi rumah tangga secara kualitas maupun kuantitas, aman, merata dan terjangkau.
Menurut Undang - Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan (Kementan 2013),
ketahanan pangan didefinisikan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai
dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah
maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan
dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan
produktif secara berkelanjutan. Kondisi ketahanan pangan dapat diwujudkan melalui
pemanfaatan sumberdaya pangan, kelembagaan dan budaya lokal. Hal ini berarti kebutuhan
pangan penduduk dapat dipenuhi dari kemampuan produksi atau perdagangan antar wilayah,
melalui hasil kerja suatu sistem ekonomi. Pangan yang terdiri atas subsistem ketersediaan
(availability); subsistem keterjangkauan (accessibility) baik secara fisik maupun ekonomi
serta subsistem stabilitas ketersediaan dan keterjangkauan. Aspek penting dalam perwujudan
ketahanan pangan adalah pengembangan agribisnis pangan dan pengembangan kelembagaan
pangan yang dapat menjamin keanekaragaman produksi, ketersediaan dan konsumsi pangan
penduduk.
Keberhasilan pembangunan ketahanan pangan tidak hanya bergantung pada
keberhasilan meningkatkan produksi, tetapi perlu ditakar secara komprehensif berdasarkan
tiga pilar utama, yakni produksi yang cukup, distribusi yang lancar dan merata, serta
konsumsi pangan yang aman dan berkecukupan gizi bagi seluruh individu masyarakat.
Distribusi memegang peranan penting dalam membawa suatu produk dari produsen hingga
dapat diterima oleh konsumen akhir sebagai pengguna produk tersebut (Dewan Ketahanan
Pangan 2006)
Hardinsyah (2001) menyatakan bahwa mewujudkan ketahanan pangan dapat diartikan
lebih lanjut sebagai berikut :
a. Terpenuhinya pangan yang cukup, dirtikan sebagai ketersediaan pangan dalam arti luas,
tidak hanya terbatas pada beras, tetapi juga mencakup €pangan yang berasal dari
tanaman, ternak dan ikan untuk memenuhi kebutuhan atas karbohidrat, protein, lemak,
vitamin dan mineral yang bermanfaat bagi pertumbuhan kesehatan manusia
b. Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang aman, diartikan bebas dari cemaran biologis,
kimia dan benda/zat lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan
kesehatan manusia serta aman menurut kaidah agama
c. Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang merata, dapat diartikan bahwa pangan harus
tersedia setiap saat dan merata diseluruh tanah air
d. Terpenuhinya pangan dengan kondisi terjangkau, diartikan bahwa pangan mudah
diperoleh oleh setiap rumah tangga dengan harga terjangkau

Maxwell, 1992 dalam Safa’at, 2013 mengusulkan empat elemen ketahanan pangan
berkelanjutan (sustainable food security) di level keluarga, yakni: pertama, kecukupan
pangan, yang didefinisikan sebagai jumlah kalori yang dibutuhkan untuk kehidupan yang
aktif dan sehat. Kedua, akses atas pangan, yang didefinisikan sebagai hak (entitlements)
untuk berproduksi, membeli atau menukarkan (exchange) pangan ataupun menerima sebagai
pemberian (transfer). Ketiga ketahanan, yang didefinisikan sebagai keseimbangan antara
kerentanan, resiko dan jaminan pengaman sosial. Keempat, fungsi waktu manakala ketahanan
pangan dapat bersifat kronis, transisi dan/atau siklus.
Secara umum, ketahanan pangan mencakup 4 aspek, yaitu kecukupan (sufficiency),
akses (access), keterjaminan (security), dan waktu (time) (Baliwaty , 2004). Dengan adanya
aspek tersebut maka ketahanan pangan dipandang menjadi suatu sistem, yang merupakan
rangkaian dari tiga komponen utama yaitu ketersediaan dan stabilitas pangan (food
availability dan stability), kemudahan memperoleh pangan (food accessibility) dan
pemanfaatan pangan.
Terwujudnya ketahanan pangan merupakan hasil kerja dari suatu sistem yang terdiri
dari berbagai subsistem yang saling berinteraksi, yaitu subsistem ketersediaan mencakup
pengaturan kestabilan dan kesinambungan penyediaan pangan. Ketersediaan pangan
menyangkut masalah produksi, stok, impor dan ekspor, yang harus dikelola sedemikian rupa,
sehingga walaupun produksi pangan sebagaian bersifat musiman, terbatas dan tersebar antar
wilayah, pangan yang tersedia bagi keluarga harus cukup volume dan jenisnya, serta stabil
dari waktu kewaktu.
Ketahanan pangan terdiri dari tiga subsistem utama yaitu ketersediaan, akses, dan
penyerapan pangan, sedangkan status gizi merupakan outcome dari ketahanan pangan
(USAID, 1999 dalam Safa’at; 2013). Salah satu subsistem tersebut tidak terpenuhi maka
suatu negara belum dapat dikatakan mempunyai ketahanan pangan yang baik. Bagan
subsistem ketahanan pangan ditampilkan pada Gambar 1 berikut:

Ketersediaan pangan
(food availability)

Akses pangan (food Ketahanan pangan


access) (food security)

Penyerapan pangan
(food utilization)

Status gizi (nutritional


status)

Sumber : USAID, 1999 (dalam Safa’at, 2013)


Gambar 1. Sub Sistem Ketahanan Pangan
Secara lebih rinci penjelasan mengenai sub sistem ketahanan pangan diuraikan sebagai
berikut:
1. Sub sistem ketersediaan (food availability)
Ketersediaan artinya adalah ketersediaan pangan dalam jumlah yang cukup aman dan
bergizi untuk semua orang dalam suatu negara baik yang berasal dari produksi sendiri, impor,
cadangan pangan maupun bantuan pangan. Ketersediaan pangan ini harus mencukupi pangan
yang didefinisikan sebagai jumlah kalori yang dibutuhkan untuk kehidupan yang aktif dan
sehat. Ketersediaan pangan dalam energi minimal 2400 kkal/kapita/hari dan protein sebesar
63 gr/kapita/hari (WNPG, 2012 dalam BKP Jawa Timur; 2015).
2. Akses pangan (food access)
Akses pangan merupakan kemampuan suatu rumah tangga dan individu dengan
sumberdaya yang dimilikinya dengan memperoleh pangan yang cukup untuk kebutuhan
gizinya yang dapat diperoleh dari produksi pangannya sendiri, pembelian ataupun melalui
bantuan pangan. Akses rumah tangga dan individu terdiri dari akses ekonomi, fisik, dan
sosial. Akses ekonomi tergantung pada pendidikan, kesempatan kerja, dan harga. Akses fisik
menyangkut tingkat isolasi daerah (sarana dan prasarana distribusi), sedangkan akses sosial
menyangkut tentang preferensi pangan.
3. Penyerapan pangan (food utilization)
Penyerapan pangan merupakan penggunaan pangan untuk kebutuhan hidup sehat yang
meliputi kebutuhan energi dan gizi, air, dan kesehatan rumah tangga/individu, sanitasi dan
ketersediaan air, fasilitas dan layanan kesehatan, serta penyuluhan gizi dan pemeliharaan
balita.
4. Stabilitas (stability)
Stabilitas merupakan dimensi waktu dari ketahanan pangan yang terbagi dalam
kerawanan pangan yang kronis (chronic food insecurity) dan kerawanan pangan sementara
(transitory food insecurity). Kerawanan pangan kronis adalah ketidakmampuan untuk
memeperoleh kebutuhan pangan setiap saat, sedangkan kerawanan pangan sementara adalah
kerawanan pangan yang terjadi secara sementara yang diakibatkan karena masalah
kekeringan banjir, bencana, maupun konflik sosial.
5. Status gizi (nutritional status)
Status gizi merupakan outcome ketahanan pangan yang merupakan cerminan dari
kualitas hidup seseorang. Umumnya status gizi ini diukur dengan angka harapan hidup,
tingkat gizi balita dan kematian bayi.

2.4 Pengukuran Diversifikasi Pangan


Konsep diversifikasi pangan bukan suatu hal baru dalam peristilahan kebijakan
pembangunan pertanian di Indonesia, oleh karena itu konsep tersebut telah banyak
dirumuskan dan diinterprestasikan oleh para pakar sesuai dengan kontek tujuannya. Kasryno,
et al (1993) memandang diversifikasi pangan sebagai upaya yang sangat erat kaitannya
dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia, pembangunan pertanian di bidang pangan
dan perbaikan gizi masyarakat. Diversifikasi pangan ini tercakup aspek produksi, konsumsi,
pemasaran, dan distribusi. Dari aspek produksi, diversifikasi berarti perluasan spektrum
komoditas pangan, baik dalam hal perluasan pemanfaatan sumber daya, pengusahaan
komoditas maupun pengembangan produksi komoditas pangan.
Sementara, Soetrisno (1998) mendefinisikan diversifikasi pangan lebih sempit (dalam
konteks konsumsi pangan) yaitu sebagai upaya menganekaragamkan jenis pangan yang
dikonsumsi, mencakup pangan sumber energi dan zat gizi, sehingga memenuhi kebutuhan
akan pangan dan gizi sesuai dengan kecukupan baik ditinjau dari kuantitas maupun
kualitasnya. Dalam pengukuran diversifikasi pangan terdapat beberapa metode pengukuran,
yaitu :

2.4.1 Pola Pangan Harapan (PPH)


Untuk mengukur keberhasilan upaya diversifikasi baik dibidang produksi, penyediaan
dan konsumsi pangan penduduk diperlukan suatu parameter. Salah satu parameter yang dapat
digunakan untuk menilai tingkat keanekaragaman pangan adalah Pola Pangan Harapan. Pola
Pangan Harapan adalah susunan beragam pangan atau kelompok pangan yang didasarkan atas
sumbangan energinya, baik secara mutlak maupun relatif terhadap total energi baik dalam hal
ketersediaan maupun konsumsi pangan, yang mampu mencukupi kebutuhan konsumsi
pangan penduduk baik kuantitas, kualitas maupun keragamannya dengan mempertimbangkan
aspek-aspek sosial, ekonomi, budaya, agama dan cita rasa (Suhardjo, 1996).
PPH pertama kali diperkenalkan FAO-RAPA (Food And Agriculture Organization -
Regional Conference For Asia And The Pacific) pada tahun 1989, yang kemudian
dikembangkan oleh Departemen Pertanian untuk menjabarkan penganekaragaman pangan
melalui Workshop yang diselenggarakan secara kerjasama dengan Organisasi Pangan Dunia.
Dengan metode PPH dapat dinilai mutu pangan penduduk berdasarkan skor pangan. Skor
pangan diperoleh dari hasil perkalian antara tingkat kontribusi energi kelompok pangan
dengan bobotnya ( Suhardjo, 1996).
Skor PPH sendiri dihitung berdasarkan sembilan kelompok pangan yaitu padi-padian,
umbi-umbian, pangan hewani, minyak dan lemak, buah/biji berminyak, kacang-kacangan,
gula, sayur dan buah, serta lain-lain (Hardinsyah et al, 2002). Diversifikasi pangan dari
sembilan kelompok pangan tersebut dikatakan efektif jika skor PPH mencapai 100. Jika
didapati skor PPH di bawah 100, maka dapat dikatakan bahwa diversifikasi pangan masih
belum efektif.
Berdasarkan PKG (Pemantauan Konsumsi Gizi, 2000) (dalam Purwaningsih, 2008)
perhitungan prosentase terhadap Kkal (% AKE) dan skor PPH aktual (skor AKE) dapat
dihitung sebagai berikut:

% Terhadap Total Kkal = % energi pada masing-masing bahan makanan


terhadap AKE
Skor PPH aktual = % Terhadap Total Kkal x Bobot
Skor PPH pada perhitungan tersebut kemudian dibandingkan dengan skor PPH
normatif. Penentuan skor PPH aktual didasarkan pada skor nilai terkecil antara skor PPH dan
skor PPH normatif. Jika skor PPH > skor PPH normatif, maka yang diambil untuk skor PPH
aktualnya adalah skor PPH normatif. Begitu pula sebaliknya, jika skor PPH < skor PPH
normatif, maka yang diambil untuk skor PPH aktual adalah nilai dari skor PPH. Penyusunan
tabel skor PPH diperlukan acuan berupa komposisi pangan normatif yang diberlakukan
secara nasional.

2.4.2 Indeks Entropy


Indeks Entropy merupakan salah satu metode untuk mengukur diversifikasi konsumsi
pangan. Indeks tersebut umumnya menghasilkan performa diversifikasi konsumsi yang tidak
banyak berbeda (Lee dan Brown, 1989), sehingga banyak peneliti menggunakan indeks
Entropy (Pakpahan dan Suhartini 1990; Simatupang dan Ariani, 1997; Erwidodo et al., 1999).
Aspek yang diukur juga beragam seperti pengeluaran pangan, tingkat konsumsi energi,
tingkat konsumsi protein dan kuantitas pangan yang dikonsumsi.
Selain itu, Indeks ini digunakan untuk mengetahui tingkat diversifikasi pola konsumsi
pangan dengan jalan mengukur nilai asupan gizi dari setiap menu pangan yang dikonsumsi
oleh suatu rumah tangga dalam suatu desa digunakan salah satu indeks pengukur
diversifikasi, yaitu Indeks Entropy (IE), berdasarkan pernyatan Ariani (2005) Indeks Entropy
(IE) yang memiliki persamaan sebagai berikut :

𝐼𝐸𝐾 = − ∑{(𝑘𝑖 ∗ 𝐶𝑖 )/ ∑ 𝑘𝑖 ∗ 𝐶𝑖 ) ln((𝑘𝑖 ∗ 𝐶𝑖 )/ ∑ 𝑘𝑖 ∗ 𝐶𝑖 ))}/ ln 𝑘


𝑖=1
𝑛

𝐼𝐸𝐿 = − ∑{(𝑙𝑖 ∗ 𝐶𝑖 )/ ∑ 𝑙𝑖 ∗ 𝐶𝑖 ) ln((𝑙𝑖 ∗ 𝐶𝑖 )/ ∑ 𝑙𝑖 ∗ 𝐶𝑖 ))}/ ln 𝑙


𝑖=1
𝑛

𝐼𝐸𝑃 = − ∑{(𝑝𝑖 ∗ 𝐶𝑖 )/ ∑ 𝑝𝑖 ∗ 𝐶𝑖 ) ln((𝑝𝑖 ∗ 𝐶𝑖 )/ ∑ 𝑝𝑖 ∗ 𝐶𝑖 ))}/ ln 𝑝


𝑖=1

𝐼𝐸 = ({ 𝐼𝐸𝐾 + 𝐼𝐸𝐿 + 𝐼𝐸𝑃}/3

Dimana :
IEK = indeks Entropy untuk mengukur diversifikasi pangan karbohidrat.
IEL = indeks Entropy untuk mengukur diversifikasi pangan lemak.
IEP = indeks Entropy untuk mengukur diversifikasi pangan protein.
IE = indeks Entropy untuk mengukur diversifikasi pangan keseluruhan.
Ki = nilai kandungan karbohidrat dari komoditas pangan jenis i.
Ci = konsumsi sumber komoditas pangan jenis i.
Li = nilai kandungan lemak dari komoditas pangan jenis i.
Pi = nilai kandungan protein dari komoditas pangan jenis i.
Angka Indeks Entropy (IE) menunjukkan tingkat keragaman, sehingga semakin tinggi
nilai IE, mengindikasikan semakin tinggi pula tingkat keberagaman (diversitas) nilai yang
diukur. Dengan mengetahui proporsi dari setiap nilai gizi seperti karbohidrat, lemak, dan
protein pada pola pangan yang dikonsumsi seseorang maka dapat diketahui bagaimana nilai
tingkat diversifikasi nilai gizinya. Sedangkan untuk mendapatkan nilai diversifikasi
keseluruhan pada pola konsumsi pangan dengan cara menjumlahkan tingkat diversifikasi
pangan karbohidrat, tingkat diversifikasi pangan lemak, dan tingkat diversifikasi pangan
protein lalu kemudian dibagi 3.

2.5 Estimasi atau Peramalan


Estimasi atau peramalan pada dasarnya merupakan dugaan atau prediksi mengenai
terjadinya suatu kejadian atau peristiwa di waktu yang akan datang. Prediksi bisa bersifat
kualitatif (tidak berbentuk angka) maupun kuantitatif (berbentuk angka). Prediksi kualitatif
sulit dilakukan untuk memperoleh hasil yang baik karena variabelnya sangat relatif sifatnya.
Prediksi kuantitatif dibagi dua yaitu: prediksi tunggal (point prediction) dan prediksi selang
(interval prediction). Prediksi tunggal terdiri dari satu nilai, sedangkan prediksi selang terdiri
dari beberapa nilai, berupa suatu selang (interval) yang dibatasi oleh nilai batas bawah
(prediksi batas bawah) dan batas atas (prediksi tinggi).

2.5.1 Metode Estimasi atau Peramalan


Metode estimasi atau peramalan merupakan cara memperkirakan apa yang akan terjadi
di masa mendatang, baik secara sistematis maupun pragmatis atas dasar data yang relevan
pada masa yang lalu, sehingga dengan demikian teknik prediksi diharapkan dapat
memberikan keakuratan yang lebih besar. Metode/teknik peramalan memberikan cara
pengerjaan yang teratur dan terarah, dengan demikian dapat dimungkinkan pengguna teknik-
teknik penganalisisan yang tepat dapat memberikan tingkat kepercayaan atau keyakinan yang
lebih besar, karena dapat diuji dan dibuktikan penyimpanagan atau deviasi yang terjadi secara
ilmiah. Secara umum teknik atau metode prediksi dapat dibagi menjadi dua kategori, yang
masing-masing kategori terdiri dari beberapa model, yaitu :
1. Metode kualitatif
Metode kualitatif adalah metode yang didasarkan atas data kualitatif pada masa lalu.
Hasil prediksi yang dibuat sangat bergantung pada orang yang menyusunnya. Hal ini penting
karena hasil prediksi tersebut ditentukan berdasarkan pemikiran yang instuisi, pendapat dan
pengetahuan serta pengalaman penyusunnya

2. Metode kuantitatif
Metode kuantitatif adalah metode yang didasarkan atas data kuantitatif masa lalu. Hasil
prediksi yang dibuat sangat bergantung pada metode yang dipergunakan dalam prediksi
tersebut. Baik tidaknya metode yang digunakan tergantung dengan perbedaan atau
penyimpangan antara hasil ramalan dengan kenyataan yang terjadi. Semakin kecil
penyimpangan antara hasil ramalan dengan kenyataan yang akan terjadi maka semakin baik
pula metode yang digunakan

2.5.2 Metode Prediksi Regresi Non Linier


Regresi non linier ialah bentuk hubungan atau fungsi di mana variabel bebas X dan atau
variabel tak bebas Y dapat berfungsi sebagai faktor atau variabel dengan pangkat tertentu.
Selain itu, variabel bebas X dan atau variabel tak bebas Y dapat berfungsi sebagai penyebut
(fungsi pecahan), maupun variabel X dan atau variabel Y dapat berfungsi sebagai pangkat
fungsi eksponen = fungsi perpangkatan. Adapun regresi non linier yang digunakan dalam
penelitian ini, yaitu regresi logaritmik.
Regresi logaritmik Bentuk fungsi dari regresi adalah: di mana variabel bebas Y
berfungsi sebagai pangkat (eksponen) dan variabel bebas X mempunyai bentuk perpangkatan
.
Model regresi ini adalah:
eY=a+bX
jika ditransformasikan dalam bentuk linier dapat di tulis menjadi :
Y = ln a + b ln X
Dengan model regresi ini, tidak menggunakan interpretasi yang sama seperti halnya
persamaan regresi OLS. Model Persamaan yang terbentuk berbeda dengan persamaan OLS.
Berikut persamaannya:

𝑝̂
ln ( ) = 𝐵0 + 𝐵1 𝑋
1 − 𝑝̂

Di mana:
Ln : Logaritma Natural.
B0 + B1X : Persamaan yang biasa dikenal dalam OLS.
Sedangkan P Aksen adalah probabilitas logistik yang didapat rumus sebagai berikut:
exp(𝐵0 + 𝐵1 𝑋) 𝑒 𝐵0 +𝐵1𝑋
𝑝̂ = =
1 + exp(𝐵0 + 𝐵1 𝑋) 1 + 𝑒 𝐵0 +𝐵1𝑋

Di mana:
exp atau ditulis “e” adalah fungsi eksponen.
(Perlu diingat bahwa exponen merupakan kebalikan dari logaritma natural. Sedangkan
logaritma natural adalah bentuk logaritma namun dengan nilai konstanta 2,71828182845904
atau biasa dibulatkan menjadi 2,72)

2.6 Korelasi
Uji korelasi adalah metode pengujian yang digunakan untuk mengetahui hubungan
antara dua variabel yang datanya kuntitatif. Selain dapat mengetahui derajat keeratan
hubungan korelasi juga dapat digunakan untuk mengetahui arah hubungan dua variabel
numerik, misalnya apakah hubungan berat badan dan tinggi badan mempunyai derajat yang
kuat atau lemah dan juga apakah kedua variabel tersebut berpola positif atau negatif.
(Armaidi, 2010).
Untuk mencari korelasi antara variabel Y dan X dapat dirumuskan sebagai berikut :
n ∑ 𝑋𝑌 − (∑ 𝑋)(∑ 𝑌)
𝑟𝑦𝑥 =
({n ∑ 𝑋 2 − (∑ 𝑋)2 }{𝑛 ∑ 𝑌 2 − (∑ 𝑌)2 })
Dua variabel dikatakan berkorelasi apabila perubahan pada suatu variabel akan diikuti
oleh perubahan variabel lain, baik dengan arah yang sama maupun dengan arah yang
berlawanan. Hubungan antara variabel dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis hubungan,
sebagai berikut :
1. Korelasi Positif Terjadinya korelasi positif apabila perubahan pada variabel yang satu
diikuti dengan perubahan variabel yang lain dengan arah yang sama atau berbanding
lurus. Artinya, apabila variabel yang satu meningkat, maka akan diikuti dengan
peningkatan variabel yang lain.
2. Korelasi Negatif Korelasi negatif terjadi apabila pada variabel yang satu diikuti dengan
perubahan variabel yang lain dengan arah yang berlawanan atau berbanding terbalik.
Artinya, apabila variabel yang satu meningkat, maka akan diikuti dengan penurunan
variabel yang lain dan sebaliknya.
3. Korelasi Nihil Korelasi nihil terjadi apabila perubahan pada variabel yang satu diikuti
pada perubahan variabel yang lain dengan arah yang tidak teratur (acak). Nilai koefisien
korelasi adalah -1 ≤ r ≤ 1. Jika dua variabel berkorelasi negatif maka nilai koefisien
korelasi akan mendekati -1. Jika dua variabel tidak berkorelasi akan mendekati 0.
Sedangkan jika dua variabel berkorelasi positif maka koefisien korelasi akan mendekati
+1.
Untuk lebih memudahkan mengetahui seberapa jauh derajat keeratan antara variabel
tersebut, dapat dilihat pada perumusan berikut ini:
-1,00 ≤ r ≤ -0,80 ,berarti korelasi kuat secara negatif
-0,79 ≤ r ≤ -0,50 ,berarti korelasi sedang secara negatif
-0,49 ≤ r ≤ 0,49 ,berarti berkorelasi lemah
0,50 ≤ r ≤ 0,79 ,berarti berkorelasi sedang secara positif
0,80 ≤ r ≤ 1,0 ,berarti berkorelasi kuat secara positif.
III. KERANGKA KONSEP PENELITIAN

3.1 Kerangka Pemikiran


Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian,
perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun
tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia,
termasuk bahan tambahan Pangan, bahan baku Pangan, dan bahan lainnya yang digunakan
dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman (Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012).
Negara berkewajiban untuk menjamin ketersediaan pangan dalam jumlah yang cukup
(selain terjamin mutunya) bagi setiap warga negara, karena pada dasarnya setiap warga
negara berhak atas pangan bagi keberlangsungan hidupnya. Penyediaan pangan dalam negeri
harus diupayakan melalui produksi dalam negeri dari tahun ke tahun meningkat seiring
dengan adanya pertumbuhan penduduk (Purwaningsih, 2008)
Ketersediaan pangan dapat diwujudkan melalui proses kedaulatan pangan dan
penganekaragaman pangan. Pemenuhan kebutuhan pangan merupakan hak negara dan bangsa
yang secara mandiri menentukan kebijakan Pangan yang menjamin hak atas pangan bagi
rakyat dan yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem pangan yang
sesuai dengan potensi sumber daya lokal. Studi pustaka yang dilakukan oleh The
International Food Policy Research Institute (IFPRI, 1999) diperkirakan terdapat 200 definisi
dan 450 indikator tentang ketahanan pangan (Weingärtner, 2000).
Situasi ketersediaan pangan suatu wilayah tercermin dari jumlah serta mutunya yang
masing-masing digambarkan dari ketersediaan pangan dan skor Pola Pangan Harapan (PPH)
(BKP Jawa Timur, 2014). Berdasarkan kedua gambaran tersebut nantinya akan diketahui
kondisi ketersediaan pangan suatu wilayah, apakah ketersediaannya telah sesuai dengan
Angka Kecukupan Gizi (AKG) atau tidak, serta apakah ketersediaan pangannya telah
mencapai tingkat yang beragam atau tidak. .
Selain Ketersedian pangan dalam ketahanan pangan yang baik perlu juga
memperhatikan indikator penyerapan pangan yang merupakan penggunaan pangan untuk
kebutuhan hidup sehat yang meliputi kebutuhan energi dan gizi, air dan kesehatan
lingkungan. Efektifitas dari penyerapan pangan tergantung pada pengetahuan
rumahtangga/individu, sanitasi dan ketersediaan air, fasilitas dan layanan kesehatan, serta
penyuluhan gizi dan pemeliharaan balita. Dalam indikator penyerapan pangan terdapat
outcome nutrisi dan kesehatan yaitu seperti status gizi (Nutritional Status) yang merupakan
outcome ketahanan pangan yang merupakan cerminan dari kualitas hidup seseorang.
Umumnya satus gizi ini diukur dengan Angka Harapan Hidup, Tingkat Gizi Balita dan
Kematian Bayi (Riely et.all , 1999).
Ketersediaan pangan dapat dikatakan baik atau tidaknya juga dapat dilihat dari Angka
Harapan Hidup (AHH). Semakin tingginya Angka Harapan Hidup (AHH) maka semakin baik
juga ketersediaan pangan dengan didukung oleh kemudahan akses. Ketersediaan pangan juga
dapat mempengaruhi tingkat status balita gizi buruk. Masalah gizi buruk pada balita
merupakan masalah kesehatan masyarakat sejak dahulu. Krisis ekonomi yang terjadi sejak
tahun 1997 sampai saat ini masih belum dapat ditanggulangi dengan baik. Hal ini
menyebabkan jumlah keluarga miskin semakin banyak dan daya beli terhadap pangan
menurun. Faktor yang mempengaruhi terjadinya gizi buruk diantaranya adalah status sosial
ekonomi, ketidaktahuan ibu tentang pemberian gizi yang baik untuk anak dan Berat Badan
Lahir Rendah (BBLR) (Anwar, 2005). Sumber lain mengatakan bahwa rendahnya pendidikan
dapat mempengaruhi ketersediaan pangan dalam keluarga, yang selanjutnya mempengaruhi
kuantitas dan kualitas konsumsi pangan yang merupakan penyebab langsung dari kekurangan
gizi pada anak balita (Kosim, 2008). Lebih lanjut, ketersediaan bahan makanan dalam
keluarga menjadi terbatas yang pada akhirnya berpotensi menimbulkan terjadinya gizi kurang
bahkan gizi buruk . Kekurangan gizi merupakan faktor utama yang menyebabkan kematian
bayi dan balita. Masalah gizi umumnya disebabkan oleh dua faktor utama, yakni infeksi
penyakit dan rendahnya asupan gizi akibat kurangnya kesediaan pangan di tingkat rumah
tangga atau pola asuh yang salah. Masalah gizi buruk dan gizi kurang pada anak balita
merupakan masalah yang perlu ditanggulangi (KESMAS, 2010).
Menurut UNICEF dan WHO (2016) gizi merupakan faktor utama kematian anak,
penyakit dan kecacatan. Faktor yang berhubungan dengan gizi berkontribusi sekitar 45% dari
kematian balita, diantaranya berat badan lahir rendah, kurang gizi, anak yang tidak diberi Air
Susu Ibu (non ASI) dan lingkungan tidak sehat. Anak kurang gizi memiliki risiko kematian
lebih tinggi akibat infeksi penyakit, seperti diare, pneumonia dan campak. Pertumbuhan
terhambat pada janin menyebabkan 12% kematian neonatal, sementara stunting (kependekan)
dan wasting (kekurusan) menyumbangkan 14% dan 20,4% sebagai penyebab kematian balita.
Angka Kematian Bayi setiap tahunnya mengalami penurunan, dikarenakan terjadinya
penuruan dapat disebabkan karena pada ketersediaan pangannya sudah semakin beragam. Hal
ini sesuai dengan teori Supariasa (2007) bahwa secara langsung asupan makanan yang
dikonsumsi anak dapat mempengaruhi status gizi anak dan rendahnya angka kematian bayi.
Menurut Depkes (2007) akibat tidak mengkonsumsi anekaragam makanan akan
mengakibatkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan pada balita.
Penelitian ini dilakukan untuk mengukur tingkat diversifikasi pangan di Kabupaten
Sidoarjo menggunakan indikator ketersediaan pangan dan skor Pola Pangan Harapan.
Ketersediaan pangan tersebut dihitung menggunakan Neraca Bahan Makanan (NBM) yang
dimana hasil analisis Neraca Bahan Makanan (NBM) akan digunakan sebagai bahan analisis
lanjutan yakni perhitungan skor Pola Pangan Harapan untuk mengetahui kualitas dari
ketersediaan pangan itu sendiri. Penelitian ini juga menganalisis hubungan antara Pola
Pangan Harapan dengan indikator penyerapan pangan (AHH, Balita Gizi Buruk, dan Angka
kematian Bayi) di Kabupaten Sidoarjo.
Kabupaten Sidoarjo
(terdiri dari 18 kecamatan)

Ketahanan Pangan

Kuantitas Pangan
(NBM)
a. Energi Ketersediaan
b. Protein Pangan
c. Lemak
d. Vitamin
e. Mineral
Indikator Penyerapan Kualitas
Pangan Pangan (PPH)
a. Angka Harapan Skor PPH
Hidup
b. Balita Gizi Buruk
c. Angka Kematian
Bayi

Analisis
Korelasi

Diversifikasi
Ketersediaan Pangan

Keterangan :
Dianalisis
Tidak dianalisis

Gambar 2. Skematis Kerangka Pemikiran Penelitian


3.2 Hipotesis Penelitian
1. Diduga kondisi diversifikasi ketersediaan pangan di Kabupaten Sidoarjo belum
beragam yang ditunjukkan oleh skor PPH <100.
2. Diduga terdapat hubungan yang positif antara Pola Pangan Harapan dengan Angka
Harapan Hidup, hubungan yang negatif antara Pola Pangan Harapan dengan Balita Gizi
Buruk, dan hubungan yang negatif antara Pola Pangan Harapan dengan Angka
Kematian Bayi.

3.3 Batasan Masalah


1. Penelitian ini diarahkan pada terwujudnya diversifikasi ketersedian pangan yang sesuai
harapan. Hal ini diindikasikan dengan telah terpenuhinya skor PPH normatif sebesar
100.
2. Tingkat ketersediaan pangan yang dianalisis hubungannya dengan Indikator
Penyerapan Pangan adalah Pola Konsumsi Pangan Berdasarkan skor PPH.
3.4 Definisi Operasional
Definisi operasional dan pengukuran variabel dalam penelitian ini terdiri dari definisi
operasional dan pengukuran variabel konsep penyediaan pangan, penggunaan pangan,
ketersediaan perkapita, kuantitas ketersediaan pangan, kualitas ketersediaan pangan. Secara
lebih jelas, definisi operasional dan pengukuran variabel dari beberapa konsep tersebut
dijelaskan sebagai berikut :
1. Ketersediaan pangan yaitu bahan makanan yang tersedia untuk dikonsumsi diukur
dengan Kg/tahun.
2. Jumlah penduduk yaitu seluruh penduduk Kabupaten Sidoarjo diukur dengan kapita
atau jumlah orang.
3. Angka kecukupan protein (AKP) yaitu jumlah protein yang dibutuhkan setiap
penduduk dapat diukur dengan gram/kapita/hari
4. Angka kecukupan energi (AKE) yaitu jumlah kalori per kapita pertahun masing –
masing kelompok bahan makanan diukur dengan persen (%)
IV. METODE PENELITIAN

4.1 Metode Penentuan Lokasi Penelitian


Penentuan lokasi penelitian ini dilakukan secara purposive di Kabupaten Sidoarjo.
Penentuan lokasi tersebut didasarkan pada kriteria permasalahan yang dimana Kabupaten
Sidoarjo terkenal dengan perikananannya, jadi belum dapat dikatakan diversifikasi atau
beragam dalam ketersediaan pangan. Terdapat 18 kecamatan di Kabupaten Sidoarjo yang
akan dipilih menjadi fokus dalam penelitian.

4.2 Teknik Pengumpulan Data


Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan data sekunder
yang bersumber baik dari data Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Sidoarjo, data Neraca
Bahan Makanan (NBM) yang meliputi produksi, stok, impor, ekspor. Data yang diolah pada
umumnya berdasarkan pada ketersediaan data di Kabupaten Sidoarjo tahun 2017. Selain itu,
untuk pengumpulan data Indikator Penyerapan Pangan (AHH, Balita Gizi Buruk, Angka
Kematian Bayi) didapatkan dari Sidoarjo dalam Angka 2017 dan Dinas Kesehatan Kabupaten
Sidoarjo 2017.

4.3 Teknik Anailsis Data


Analisis yang digunakan untuk mengetahui diversifikasi ketersediaan pangan dilakukan
menghitung skor Pola Pangan Harapan (PPH). Untuk menghitung skor PPH menggunakan
data Neraca Bahan Makanan (NBM) yang sebelumnya telah diolah. Selain menganalisis
diversifikasi pangan, penelitian ini juga menganalisis hubungan antara PPH dengan Indikator
Penyerapan Pangan (AHH, Balita Gizi Buruk, Angka Kematian Bayi).

4.3.1 Pola Pangan Harapan (PPH)


Perhitungan Pola Pangan Harapan (PPH) dalam penelitian ini menggunakan data dari
Neraca Bahan Makanan (NBM) tahun 2017. Analisis skor Pola Pangan Harapan (PPH)
digunakan untuk menganalisis diversifikasi ketersediaan pangan di Kabupaten Sidoarjo pada
tahun 2017 yakni terkait dengan pencapaian ragam ketersediaan pangan.
Berikut beberapa langkah untuk menghitung SKOR PPH :
1) Pengelompokan Pangan
Terdapat 9 kelompok pangan yang mengacu pada perhitungan Pola Pangan Harapan
(PPH), yaitu sebagai berikut :
Tabel 2. Pengelompokkan Pangan
No Kelompok Pangan Jenis Komoditas
1 Padi – padian beras dan olahannya, jagung dan olahannya,
gandum dan olahannya
2 Umbi – umbian ubi kayu dan olahannya, ubi jalar, kentang, talas,
dan sagu (termasuk makanan berpati)
3 Buah/biji Berminyak kelapa, kemiri, kenari, dan coklat
4 Lemak dan Minyak minyak kelapa, minyak sawit, margarin, dan
lemak hewani
5 Gula gula pasir, gula merah, sirup, minuman jadi dalam
botol/ kaleng
6 Pangan Hewani daging dan olahannya, ikan dan olahannya, telur,
serta susu dan olahannya
7 Kacang – kacangan kacang tanah, kacang kedelai, kacang hijau,
kacang merah, kacang polong, kacang mete,
kacang tunggak, kacang lain, tahu, tempe, tauco,
oncom, sari kedelai, kecap
8 Sayur dan Buah sayur segar dan olahannya, buah segar dan
olahannya
9 Pangan Lainnya aneka bumbu dan bahan minuman seperti terasi,
cengkeh, ketumbar, merica, pala, asam, bumbu
masak, teh dan kopi

2) Menghitung total energi aktual seluruh kelompok pangan (Kkal/Kapita/Hari)


Nilai Kkal/Kap/Hari tiap komoditas didapatkan dari data Neraca Bahan Makanan
(NBM) Kabupaten Sidoarjo 2017 yang sudah diolah. Kemudian Pada tahap ini yang
dilakukan adalah menjumlahkan total energi (Kkal/Kap/Hari) dari masing-masing kelompok
pangan, sehingga akan diketahui total energi (Kkal/Kap/Hari) dari seluruh kelompok pangan.
3) Menghitung kontribusi energi dari setiap kelompok pangan terhadap total energi aktual
(%).
Pada tahap ini adalah untuk menilai pola/komposisi energi setiap kelompok pangan (a)
dengan cara menghitung kontribusi energi dari setiap kelompok pangan di bagi dengan total
energi aktual seluruh kelompok pangan dan dikalikan dengan 100%
Kontribusi energi per kelompok pangan (%)
Energi Kelompok Pangan
𝑥 100 %
Total Energi aktual
4) Menghitung kontribusi energi setiap kelompok pangan terhadap Angka Kecukupan
Energi (% AKE)
Pada tahap ini merupakan langkah untuk menilai tingkat konsumsi energi dalam bentuk
persen (%) dengan cara menghitung kontribusi energi dari setiap kelompok pangan (a)
terhadap AKE (Nilai AKE Kabupaten Sidoarjo tahun 2017 adalah 2.400 kkal/kap/hari).
Kontribusi energi kelompok pangan (%AKE)
Energi Kelompok Pangan
𝑥 100 %
AKE (2400)
5) Menghitung Skor AKE (e)
Pada tahap ini yang dilakukan dengan mengalikan kontribusi AKE (%AKE)(c) setiap
kelompok pangan dengan bobotnya(d) masing-masing.
𝑆𝑘𝑜𝑟 𝐴𝐾𝐸 = % 𝐴𝐾𝐸 𝑠𝑒𝑡𝑖𝑎𝑝 𝐾𝑒𝑙𝑜𝑚𝑝𝑜𝑘 𝑃𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑥 𝐵𝑜𝑏𝑜𝑡
6) Skor PPH
Skor PPH aktual dihitung dengan cara membandingkan skor AKE(e) dengan skor
normatif (f). Skor normatif adalah batas maksimum skor setiap kelompok pangan yang
memenuhi komposisi Ideal. Penghitungan skor PPH masing-masing kelompok pangan
dengan ketentuan sebagai berikut :
- Jika skor AKE (e) lebih tinggi dari skor normatif (f), maka yang digunakan adalah skor
normatif (f).
- Jika skor AKE (e) lebih rendah dari skor normatif (f), maka yang digunakan adalah skor
AKE (e).
Tabel 3. Perhitungan Skor Pola Pangan Harapan (PPH)
Kelompok Kkal/ % %AKE Bobot Skor Skor PPH Skor
Pangan kapita/hari AKE Normatif PPH
(a) (b) (c) (d) (e) (f) (g)
Padi-padian 0,5 25,0
Umbi-umbian 0,5 2,5
Buah/biji 0,5 1,0
berminyak
Lemak dan 0,5 5,0
minyak
Gula 0,5 2,5
Pangan hewani 2,0 24,0

Kacang- 2,0 10,0


kacangan
Sayur dan 5,0 30,0
buah
Pangan 0,5 0,0
lainnya
Total 100
Sumber : Pemantauan Konsumsi Gizi, 2000

4.3.2 Estimasi Skor Pola Pangan Harapan Ideal


Analisis estimasi atau peramalan menggunakan metode analisis regresi logaritmik.
Menggunakan metode analisis regresi logaritmik untuk memprediksi atau mengestimasi
tahun dengan skor PPH. Regresi logaritmik Bentuk fungsi dari regresi adalah: di mana
variabel bebas Y berfungsi sebagai pangkat (eksponen) dan variabel bebas X mempunyai
bentuk berpangkat .
Model regresi logaritmik ini adalah:
𝑌𝑡 = 𝑎 + ln 𝑋𝑡
Dimana :
Y = Skor PPH
X = Tahun
Dengan nilai exponen dari logaritma natural yaitu sebesar 2,71828182845904 atau
biasa dibulatkan menjadi 2,72

4.3.3 Kolerasi antara PPH dengan Indikator Penyerapan Pangan


Analisis korelasi sederhana (Bivariate Correlation) digunakan untuk mengetahui
keeratan hubungan antara dua variabel dan untuk mengetahui arah hubungan yang terjadi.
Analisis ini menggunakan pearson correlation, karena Pearson Correlation digunakan untuk
data berskala interval atau rasio, sedangkan Kendall’s tau-b, dan Spearman Correlation lebih
cocok untuk data berskala ordinal.
Untuk mencari korelasi antara variabel PPH dan Indikator Penyerapan Pangan dapat
dirumuskan sebagai berikut :
n ∑ 𝑋𝑍 − (∑ 𝑍)(∑ 𝑌)
𝑟𝑦𝑧 =
({n ∑ 𝑍 2 − (∑ 𝑍)2 }{𝑛 ∑ 𝑌 2 − (∑ 𝑌)2 })
Dimana :
Y = Pola Pangan Harapan (PPH)
Z = Indikator Penyerapan Pangan (AHH, Balita Gizi Buruk, Angka Kematian Bayi)
Menurut Umar (2002), terdapat 4 kriteria dari koefisien korelasi (r), yakni
1. Jika nilai r > 0, artinya telah terjadi hubungan linier positif, yaitu semakin besar nilai
PPH maka semakin besar pula nilai Indikator Penyerapan Pangan atau sebaliknya,
semakin kecil nilai PPH, maka semakin kecil pula nilai Indikator Penyerapan Pangan.
2. Jika nilai r < 0, artinya telah terjadi hubungan linier negatif, yaitu semakin kecil nilai
PPH maka semakin besar nilai Indikator Penyerapan Pangan atau sebaliknya, semakin
besar nilai PPH maka semakin kecil nilai Indikator Penyerapan Pangan.
3. Jika r = 0, artinya tidak ada hubungan sama sekali antara PPH dengan Indikator
Penyerapan Pangan.
4. Jika r = 1 atau r = -1, artinya telah terjadi hubungan linier sempurna, sedangkan untuk
nilai r yang semakin mengarah ke arah 0 maka hubungan semakin melemah.
Setelah diketahui koefisien korelasinya, dilakukan pengujian statistik terhadap
koefisien korelasi tersebut. Koefisien korelasi menunjukkan keeratan hubungan linier antara
variabel satu dengan lainnya, sedangkan pengujian ini dilakukan untuk memastikan apakah
hubungan tersebut bermakna atau tidak (Algifari, 2000). Hipotesis pengujian kedua variabel
tersebut adalah sebagai berikut:

Ho; r = 0
HA; r ≠ 0
Dalam uji hipotesis digunakan taraf batas kesalahan α = 20%. Jika p-value < 20%, maka
keputusan menolak Ho dan menerima HA, artinya ada korelasi diantara kedua variabel, dan
sebaliknya, jika p-value > 20%, maka keputusan menerima Ho, artinya tidak ada korelasi
diantara kedua variabel tersebut.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Kondisi Umum Wilayah


Kondisi umum wilayah menggambaran kondisi yang ada di lokasi penelitian. Kondisi
ini terdiri dari kondisi geografis, kependudukan, hasil pertanian dan perkebunan, serta hasil
perikanan dan peternakan. Dari setiap masing – masing kondisi seperti geografis,
kependudukan serta hasil pertanian dan perkebunan dapat membantu pembaca untuk
mengetahui informasi kondisi real yang berada disana. Informasi ini nantinya juga
diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mengoptimalkan potensi pertanian yang
ada di Kabupaten Sidoarjo yang nantinya dapat meningkatkan ketersediaan pangan di
kabupaten tersebut.

5.1.1 Kondisi Geografis


Kabupaten Sidoarjo adalah daerah yang dihimpit dua sungai besar, sehingga terkenal
dengan sebutan Kota Delta. Di sebelah utara melintas Sungai Mas dan di sebelah selatan
wilayah, melintas sungai Brantas. Luas wilayah terbentang antara 112,5º - 112,9º Bujur
Timur dan 7,3º - 7,5º Lintang Selatan. Letak Kabupaten Sidoarjo yang berada di garis
khatulistiwa ini membuat Kabupaten Sidoarjo mengalami 2 musim, yakni musim kemarau
dan musim hujan. Musim kemarau berkisar antara bulan Juli-Oktober, sedangkan untuk
musim penghujan berkisar antara bulan November-Juni.
Dari total luas wilayah 714,24 km², 40,2 persennya berada di ketinggian 3 – 10 meter
yang berada di wilayah bagian tengah yang berair tawar. Seluas 29,9 persen, memiliki
ketinggian 0-3 meter yang terletak di bagian timur yang merupakan wilayah
pesisir/pertambakan dan berair asin. Sedangkan sisanya 29,2 persen, terletak pada ketinggian
antara 10-20 meter yang berada di bagian barat wilayah. Selain itu, Kabupaten Sidoarjo
memiliki batas – batasan wilayah, yaitu sebelah utara, berbatasan dengan Kota Surabaya dan
Kabupaten Gresik. Sebelah timur, berbatasan dengan Selat Madura. Sebelah selatan,
berbatasan dengan Kabupaten Pasuruan. Sebelah barat, berbatasan dengan kabupaten
Mojokerto.

5.1.2 Kependudukan
Data Kependudukan, utamanya diperoleh melalui Sensus Penduduk, Registrasi
Penduduk dan Survei Kependudukan. Sensus Penduduk terakhir dilaksanakan Tahun 2010.
Jumlah penduduk tercatat sebanyak 1.945.252 jiwa. Terjadi kenaikan sebesar 382.237 jiwa
atau 24,45 persen dari hasil Sensus Penduduk Tahun 2000. Jumlah penduduk terbesar di
Kecamatan Waru, diikuti Kecamatan Taman dan Kecamatan Sidoarjo. Kecamatan Jabon
merupakan kecamatan dengan jumlah penduduk paling kecil diikuti Kecamatan Krembung.
Sex ratio penduduk hasil Sensus Penduduk 2010 sebesar 101,05 persen. Hal ini berarti
jumlah penduduk laki-laki lebih banyak daripada perempuan. Sedangkan hasil registrasi
penduduk Dinas Catatan Sipil Tahun 2016 mencatat bahwa jumlah penduduk sebanyak
2.223.002 jiwa, mengalami kenaikan 49,93 persen dibandingkan dengan tahun 2015.
Penduduk yang tercatat adalah penduduk yang terdaftar dalam Kartu Keluarga (KK) dan atau
memiliki KTP di Sidoarjo. Perkembangan penduduk menurut kecamatan yang datang dan
pindah pada tahun 2016 mengalami kenaikan 9,59 persen dibanding tahun 2015

5.1.3 Ketersediaan Pangan di Kabupaten Sidoarjo Tahun 2017


Pangan sebagai kebutuhan primer masyarakat, selalu mendapat perhatian lebih dari
pemerintah. Sidoarjo memiliki 11 tipe penggunaan lahan pertanian; yaitu pekarangan, tegal,
ladang, padang rumput, hutan rakyat/hutan negara, perkebunan, rawa, tambak, dan kolam.
Secara keseluruhan, pengalihan fungsi lahan sawah, perkebunan dan tambak menjadi lahan
pemukiman dan industri tidak menyurutkan semangat petani untuk terus berproduksi dan
menghasilkan yang terbaik.
Kabupaten Sidoarjo memiliki potensi pangan yang dapat dikembangkan untuk
memenuhi kebutuhan pangan wilayahnya. Potensi pangan tersebut tentunya harus dikelola
dengan baik agar nantinya jumlah produksi pangan dapat memenuhi kebutuhan penduduk.
Potensi pangan yang ada di Kabupaten Sidoarjo adalah beras, jagung, kedelai, kacang hijau,
telur, daging dan ikan.
Tabel 4. Daftar Kelompok Pangan Berdasarkan produksi, Impor, Ekspor dan Stok
Produksi Impor Ekspor Stok
Kelompok Pangan
ton ton ton ton
Padi-padian 348.646 85.127 - -
Makanan Berpati - 23.034 - -
Gula 27.908 - 6.794 -
Buah/Biji Berminyak 2.722 28.094 247 -
Buah-buahan 6.800 49.182 - -
Sayur-sayuran 7.740 128.625 - -
Daging 14.910 24.375 6.313 -
Telur 2.317 15.915 - -
Susu 6.942 35.287 2.636 -
Ikan 86.072 - 29.048 -
Minyak dan Lemak 642 29.512 - -
Total 504.698 419.150 45.037 -
Sumber : Neraca Bahan Makanan, 2016 (Diolah)
Produksi pangan di kabupaten Sidoarjo terdiri dari berbagai macam komoditas.
Produksi setiap kelompok pangan terhadap impor dan ekspor memiliki kontribusi berbeda-
beda. Produksi kelompok pangan yang memiliki kontribusi tertinggi terhadap impor adalah
kelompok pangan sayur - sayuran sebesar 128.625 ton. Diposisi kedua yaitu kelompok
pangan padi-padian sebesar 85.127 ton. Selanjutnya kelompok pangan buah-buahan sebesar
49.182 ton. Kelompok pangan susu, minyak dan lemak, buah/biji berminyak, daging,
makanan berpati dan telur kontribusi impor sebesar 35.287 ton ; 29.512 ton ; 28.094 ton ;
24.375 ton ; 23.034 ton dan 15.915 ton. Produksi kelompok pangan terhadap ekspor yakni
kelompok pangan gula, buah biji berminyak, daging, susu dan ikan. Kontribusi ekspor dari
masing-masing kelompok pangan yang tertinggi adalah kelompok pangan ikan sebesar
29.048 ton.
Produksi pangan pada setiap kelompok pangan memiliki jumlah yang berbeda-beda.
Jumlah penyediaan pangan dapat diketahui setelah jumlah produksi ditambah impor
dikurangi ekspor. Jumlah ketersediaan pangan yang dapat digunakan untuk bahan makanan
akan diketahui setelah mengurangi jumlah penyediaan pangan yang ada didalam kabupaten
dengan pengunaan pangan untuk pakan, benih, industry makanan, industry non makanan,
tercecer. Penyediaan domestik yang ada di Kabupaten Sidoarjo nantinya akan digunkanan
dalam pengunaan domestik. Pengunaan domestik digunakan untuk non pangan (pakan, benih,
tercecer), industry makanan, industry non makanan dan bahan makanan. Bahan makanan
yang tersedia untuk seluruh penduduk merupakan ketersediaan pangan yang tersedia di
Kabupaten Sidoarjo yang nantinya di konsumsi penduduk.
Tabel 5. Proporsi Penggunaan Jenis Kelompok Pangan Terhadap Ketersediaan Pangan
Kabupaten Sidoarjo Tahun 2017.
Penggunaan
Penyediaan Industri
Kelompok Pangan Industri Lain-
Domestik Pangan Non
Makanan lainnya
Makanan
Ton Ton Ton Ton
Padi-padian 433.773 209.499 204.639 1.224 18.411
Makanan Berpati 23.034 20.324 - 1.463 1.247
Gula 21.114 20.907 - - 207
Buah/Biji
Berminyak 30.569 27.177 1.800 - 1.592
Buah-buahan 55.982 53.074 - - 2.907
Sayur-sayuran 136.365 130.868 - - 5.497
Daging 30.658 29.259 - - 1.398
Telur 18.231 15.277 - - 2.954
Susu 39.593 33.377 - - 6.216
Ikan 57.024 55.312 - - 1.711
Minyak dan
Lemak 30.154 29.691 - 1 462
Total 876.497 624.765 206.439 2.688 42.603
Keterangan :
Lain-lainnya : Bukan Pangan dan Bukan Industri (Pakan, bibit, tercecer)
Sumber : NBM, 2016 (Diolah)
Berdasarkan Tabel 5 proporsi penggunaan setiap jenis kelompok pangan terhadap
penyediaan pangan di Kabupaten Sidoarjo memiliki jumlah yang berbeda-beda. Penggunaan
pangan untuk industri makanan di Kabupaten Sidoarjo merupakan penggunaan pangan
terbesar dengan jumlah sebanyak 206.439 ton terhadap total penyediaan pagan. Kelompok
pangan padi-padian merupakan kelompok pangan yang memiliki tingkat penggunaan pangan
untuk industri makanan terbesar dengan proporsi penggunaan terhadap penyediaan pangan
domestik 204.639 ton. Kelompok pangan buah/ biji berminyak dalam industry makanan
digunakan sebesar 1.800 ton dari total penyediaan domestik Kabupaten Sidoarjo.
Penggunaan pangan untuk kebutuhan lain-lainnya adalah sebesar 42.603 ton dari total
penyediaan domestik. Kelompok pangan padi-padian memiliki proporsi tertinggi dalam
penggunaan pangan untuk non pangan 18.411 ton. Kondisi penggunaan pangan untuk
industri non hanya sebesar 2.688 ton dari total penyediaan domestik. Kelompok pangan padi-
padian dan makanan berpati merupakan kelompok pangan yang digunakan dalam industri
makanan dengan proporsi masing-masing sebesar 1.224 ton dan 1.463 ton. Bahan pangan
yang tersedia untuk seluruh penduduk adalah sebesar 624.765 ton dari total penyediaan
domestik.
5.1.4 Perikanan dan Peternakan
Sektor peternakan merupakan salah satu penyumbang protein hewani dalam penyediaan
pangan disuatu wilayah. Hasil peternakan di Kabupaten Sidoarjo terdiri atas beberapa jenis
ternak. Jenis ternak tersebut adalah kuda, sapi, sapi perah, kerbau, kambing, domba, babi,
ayam buras, ayam ras petelur, ayam ras pedaging, itik dan enthok.Pada tahun 2016 populasi
ternak terbesar dikabupaten Sidoarjo adalah ayam buras dengan jumlah populasi mencapai
367.542 ekor. Itik menempati urutan kedua jenis ternak yang memiliki jumlah populasi
tertinggi kedua dengan jumlah populasi 293.522 ekor, selanjutnya diikuti oleh ayam ras
pedaging dan ayam ras petelur dengan jumlah populaso ternak masing-masing sebanyak
66599 ekor dan 51605 ekor.
Melihat jumlah populasi hewan ternak pada tahun 2016 pada Tabel 6, ternak sapi yang
memiliki jumlah populasi sebanyak 9802 ekor menyumbangkan produksi daging mencapai
6101,946 ton. Ayam ras pedaging yang memiliki jumlah populasi sebanyak 66599 ekor
memiliki produksi daging sebesar 2984,5 ton. Populasi sapi perah sebanyak 3632 ekor
memiliki peranan dalam produksi susu di Kabupaten Sidoarjo dengan jumlah susu mencapai
6.942.150 liter.
Kabupaten Sidoarjo adalah Kabupaten yang memiliki potensi perikanan yang sangat
besar. Usaha tambak di Sidoarjo cukup menjanjikan, sesuainya wilayah Sidoarjo dalam
pengembangan budidaya perikanan tambak dan wilayah yang berada pada wilayah pesisir
mengakibatkan berkembangnya produksi ikan diwilayah ini. Tambak seluas 15.513,57 Ha
ternyata memberikan kesejahteraan tersendiri bagi 3.247 petani tambak dan 3.246 pendega.
Produksi ikan dapat di klasifikasikan menjadi 3 berdasarkan tempatnya yaitu tambak,
perairam umum dan kolam. Produksi bandeng pada tahun 2016 paling banyak daripada ikan
lainnya. Total produksinya mencapai 33833,3 ton. Badeng tersebut tidak hanya dikonsumsi di
Sidoarjo , tetapi juga keluar kabupaten. Tahun 2016 produksi udang meningkat 43,38 persen
dari tahun sebelumnya.

5.2 Kondisi Diversifikasi Ketersediaan Pangan di Kabupaten Sidoarjo


Kondisi Diversifikasi ketersediaan pangan merujuk pada keberagaman pangan.
Keberagaman ketersediaan pangan menunjukkan proporsi keseimbangan energi dari pangan
itu sendiri, artinya adalah dengan memperhatikan ketersediaan pangan dari segi kualitas
(selain dari kuantitasnya), maka keseimbangan energi untuk ketersediaan pangan akan
tercapai (BKP Jawa Timur, 2014).
Dalam pencapaian diversifikasi pangan pada suatu daerah dapat dilihat dari pencapaian
skor Pola Pangan Harapan (PPH). Begitu pula dengan Kabupaten Sidoarjo. Perhitungan skor
PPH di Kabupaten Sidaorjo dapat menunjukkan kualitas ketersediaan pangan di daerah
tersebut. Berikut skor PPH Kabupaten Sidaorjo Tahun 2017 disajikan pada Tabel 6:
Tabel 6. Skor PPH (Pola Pangan Harapan) di Kabupaten Sidoarjo Tahun 2017
No Kelompok Pangan Perhitungan Skor Pola Pangan Harapan (PPH)
Kalori % %AKE Bobot Skor Skor Skor
Kkal/kap AKE PPH PPH
/hari Normatif
1 Padi - padian 941,0 51,2 39,2 0,5 19,6 25 19,6
2 Umbi - umbian 33,0 1,9 1,4 0,5 0,7 2,5 0,73
3 Pangan Hewani 215,0 12,3 9,0 2 17,9 24 17,9
4 Lemak dan Minyak 336,0 19,2 14,0 0,5 7,0 5 5,0
5 Buah/Biji Berminyak 2,1 0,1 0,1 0,5 0,04 1 0,04
6 Kacang - kacangan 123,0 7,0 5,1 2 10,3 10 10,0
7 Gula 95,15 5,4 4,0 0,5 2,0 2,5 2,0
8 Sayur dan Buah 92,2 5,3 3,8 5 19,2 30 19,2
9 Pangan Lainnya 0,0 0,0 0,0 0,5 0,0 0 0,0
Total 1837,5 100,0 76,6 76,7 100 74,5
Sumber: NBM Kabupaten Sidoarjo Tahun, 2017 (Diolah)
Berdasarkan Tabel 6 menunjukan bahwa skor PPH di Kabupaten Sidaorjo pada tahun
2017 <100, dimana skor PPH tersebut adalah sebesar 74,5. Pencapaian skor PPH ini
menandakan bahwa diversifikasi ketersediaan pangan di Kabupaten Sidaorjo belum beragam
(tidak ideal). Kondisi yang belum beragam ini menandakan bahwa diversifikasi ketersediaan
pangannya rendah, sehingga perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan keberagaman dari
segi ketersediaan pangannya (Prasetyarini et al., 2014).
Upaya yang dilakukan unuk meningkatkan keberagaman ketersediaan pangan, perlu
diperhatikan perbandingan skor PPH normatif dan skor AKE dari setiap kelompok pangan.
Dengan membandingkan skor PPH normatif dengan skor AKE dari setiap kelompok pangan,
dapat diketahui kelompok pangan mana yang perlu ditingkatkan keberagamannya sehingga
nantinya diharapkan skor PPH yang akan tercapai adalah skor PPH=100 (kualitas pangan
yang tinggi). Skor PPH normatif sendiri merupakan skor maksimal dari masing-masing
kelompok pangan.
Berdasarkan data pada Tabel 6 tersebut pada komoditas padi – padian nilai skor PPH
sebesar 19,6, yang dimana belum dapat dikatakan ideal karena nilai skor PPH belum
mencapai nilai normatif. Belum dapat dikatakan ideal pada komoditas padi – padian
disebabkan karena kelompok pangan padi – padian merupakan kelompok pangan yang
memiliki tingkat penyediaan domestik terbesar yaitu sebesar 433.773 ton, namun untuk
produksi pangan hanya menyediakan sebesar 209,499 ton, sehingga sisanya di gunakan untuk
penggunaan non pangan (pakan, benih, tercecer), industri makanan, industri non makanan
dan bahan makanan.
Pada komoditas umbi – umbian nilai skor PPH sebesar 0,73, yang dimana belum dapat
dikatakan ideal karena nilai skor PPH belum mencapai nilai normatif. Kurangnya nilai
normatif pada komoditas umbi – umbian yaitu sebesar 97,5 %, sehingga produksi pada
komoditas umbi – umbian di Kabupaten Sidoarjo sangat kurang. Di Kabupaten Sidoarjo tidak
memliki produksi domestik pada komoditas umbi – umbian, melainkan hanya mengandalkan
impor saja untuk memenuhi ketersediaan pangannya.
Pada komoditas pangan hewani nilai skor PPH sebesar 17,9, yang dimana belum dapat
dikatakan beragam karena nilai skor PPH belum mencapai nilai normatif. Di Kabupaten
Sidoarjo terkenal akan perikanannya, namum untuk skor PPH pada komoditas pangan hewani
belum dapat dikatakan beragam karena di Kabupaten Sidoarjo nilai ekspornya tinggi yaitu
sebesar 37.997 ton sehingga produksi pangan yang tersedia di domestik semakin sedikit.
Pada komoditas buah/biji berminyak nilai skor PPH sebesar 0,04, yang dimana belum
dapat dikatan beragam karena nilai skor PPH belum mencapai nilai normatif. Di Kabupaten
Sidoarjo produksi pada komoditas buah/biji berminyak sangat rendah sehingga untuk
memenuhi ketersediaan pangan masih sedikit.
Pada komoditas gula nilai skor PPH sebesar 2,0, yang dimana belum dapat dikatan
beragam karena nilai skor PPH belum mencapai nilai normatif. Komoditas gula di Kabupaten
Sidoarjo hasil produksi sebagian di ekspor dan tidak melakukan impor, sehingga ketersediaan
pangan di Kabupaten Sidoarjo semakin sedikit.
Pada komoditas sayur dan buah nilai skor PPH sebesar 19.2, yang dimana belum dapat
dikatan beragam karena nilai skor PPH belum mencapai nilai normatif. Komoditas buah dan
sayur di Kabupaten Sidoarjo nilai produksinya sangat rendah sehingga dalam ketersediaannya
belum dapat beragam.
Sedangkan untuk komoditas lemak dan minyak serta kacang – kacangan sudah
mencapai nilai PPH normatif yaitu sebesar 7,0 dan 10,3.

5.3 Estimasi Skor Pola Pangan Harapan Ideal


Dapat kita ketahui Skor Pola Pangan Harapan (PPH) pada tahun 2013 – 2017 di
Kabupaten Sidoarjo mengalami perubahan setiap tahunya. Skor PPH di Kabupaten Sidoarjo
mengalami peningkatan serta penurunan. Secara lengkap Skor PPH tahun 2013 – 2017
disajikan dalam Gambar 3.
Dapat kita lihat di Gambar 3 pada tahun 2013 – 2014 mengalami peningkatan dari
65,2% menjadi 68,97%, sementara itu dari tahun 2014 – 2015 mengalami peningkatan yang
signifikan dari 68,97% menjadi 78,8. Namun, pada tahun 2016 mengalami penurunan yaitu
sebesar 71,86% serta mengalami peningkatan lagi pada skor PPH di Kabupaten Sidoarjo pada
tahun 2017 yaitu sebesar 74,5%.

90
78,88
80
70 74,5
68,97 71,86
60 65,2
Skor PPH

50
40
Skor PPH
Column2
30
20
10
0
2013 2014 2015 2016 2017

Tahun

Gambar 3. Skor PPH 2013 – 2017


Skor PPH pada tahun 2013 – 2017 menunjukkan grafik yang meningkat meskipun
dengan peningkatan yang tidak terlalu besar. Namun demikian, skor PPH tersebut dapat
digunakan untuk memprediksi peningkatan PPH pada tahun 2028. Secara lengkap estimasi
skor PPH disajikan pada Gambar 4.
90
80 78,88 y = 4331,2ln(x) - 32881
74,5 R² = 0,424
70 71,86
68,97
65,2
60
Skor PPH

50
40 Series1
Skor PPH
30
20
10
0
2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018
Tahun

Gambar 4. Estimasi Skor Pola Pangan Harapan

Berdasarkan hasil analisis pada Gambar 4 dapat diketahui hasil estimasi skor Pola
Pangan Harapan (PPH). Hasil dari gambar tersebut mengetahui pada tahun ke-berapa skor
PPH mencapai nilai 100 (kualitas pangan tinggi). Dapat dilihat pada Gambar 4 skor PPH
yang mencapai nilai 100 terdapat pada tahun di 2028, yang dimana menandakan bahwa
kualitas ketersediaan pangan di Kabupaten Sidaorjo beragam (ideal). Sesuai dengan
pernyataan (Hardinsyah et al, 2002) diversifikasi pangan dari sembilan kelompok pangan
tersebut dikatakan efektif (ideal) jika skor PPH mencapai 100. Jika didapati skor PPH di
bawah 100, maka dapat dikatakan bahwa diversifikasi pangan masih belum efektif (belum
ideal).
Diversifikasi pangan dari sembilan kelompok pangan tersebut dikatakan efektif jika
skor PPH mencapai 100. Jika didapati skor PPH di bawah 100, maka dapat dikatakan bahwa
diversifikasi pangan masih belum efektif. Selain itu, yang mempengaruhi keberagaman
pangan yaitu proksi jumlah penduduk, yang dimana dengan peningkatan jumlah penduduk
mempengaruhi pola pangan harapan (PPH). Pertumbuhan penduduk juga menjadi masalah
bagi pemerintah karena hal ini menyebabkan semakin meningkatnya kebutuhan akan pangan.
Pertumbuhan penduduk yang tidak diikuti oleh peningkatan produksi dan kapasitas produksi
akan menyebabkan terjadinya kerawanan pangan. Omuewu et al. (2012) menjelaskan bahwa
rumah tangga dengan anggota lebih sedikit (1-4 orang) lebih tahan pangan dari pada rumah
tangga yang memiliki jumlah anggota keluarga yang lebih banyak (lebih dari 4 orang). Hal
ini dikarenakan semakin banyaknya jumlah mulut yang membutuhkan makan.
Berdasarkan Gambar 4 pada tahun 2028 mencapai PPH ideal yaitu 100,2, juga
disebabkan dari konsumsi atau produksinya. Karena konsumsi atau produksi dapat merubah
pola pangan harapan (PPH), sesuai dengan pernyataan Jelliffe (1989) Produksi pangan
merupakan rantai awal pada rantai pangan WHO 1976. Rantai pangan WHO menggambarkan
alur pangan sejak diproduksi hingga dikonsumsi yang nantinya akan menentukan status gizi.
Dirantai pangan tersebut terdapat variabel ketersediaan pangan. Dengan potensi sumber daya
yang beragam, Indonesia mempunyai peluang besar untuk meningkatkan produksi pangan.
Skor Pola Pangan Harapan (PPH) merupakan instrumen sederhana untuk menilai situasi
konsumsi pangan penduduk baik jumlah maupun komposisi pangan menurut jenis pangan
yang dinyatakan dalam skor PPH. Skor ini merupakan indikator mutu gizi dan keragaman
konsumsi pangan (Kementerian Pertanian, 2010).

5.4 Hubungan Antara Pola Pangan Harapan (PPH) dengan Indikator Penyerapan
Pangan
Ketahanan pangan merupakan suatu sistem ekonomi pangan yang terintegrasi yang
terdiri atas berbagai subsistem (Suryana, 2003). Ketahanan pangan setidaknya mengandung
dua unsur pokok, yaitu ketersediaan pangan yang cukup dan aksebilitas masyarakat terhadap
pangan yang memadai, dimana kedua unsur tersebut mutlak terpenuhi untuk mencapai derajat
kesehatan dan kesejahteraan masyarakat (Hasan, 2006). Ketahanan pangan merupakan satu
kesatuan utuh atas dimensi ketersediaan, aksebilitas, dan stabilitas harga pangan
(Arifin,2005). Sedangkan Dewan Ketahanan Pangan (DKP) bersama World Food Program
(WFP) telah merumuskan indikatorindikator ketahanan pangan yang dikelompokkan ke
dalam tiga faktor, yaitu faktor ketersediaan, akses, dan pemanfaatan pangan (DKP, 2009).
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sistem ketahanan pangan terdiri dari tiga subsistem
utama yaitu ketersediaan, akses, dan penyerapan pangan (Hanani, 2009).
Penyerapan pangan (food utilization) yaitu penggunaan pangan untuk kebutuhan hidup
sehat yang meliputi kebutuhan energi dan gizi, air dan kesehatan lingkungan. Efektifitas dari
penyerapan pangan tergantung pada pengetahuan rumah tangga atau individu, sanitasi dan
ketersediaan air, fasilitas dan layanan kesehatan, serta penyuluhan gizi dan pemeliharaan
balita (Riely et all, 1999).
Indikator penyerapan pangan merupakan suatu indikator atau sub sistem yang harus
dipenuhi secara utuh salah satunya seperti energi, gizi, dan kesehatan. Indikator penyerapan
pangan merupakan outcome dari ketersediaan pangan atau ketahanan pangan, yang dimana
ketika ketahanan pangannya bagus maka indikator penyerapan pangan seperti Angka
Harapan Hidup menjadi meningkat, Balita Gizi Buruk semakin menurun, dan Angka
Kematian Bayi semakin berkurang.
Ketersediaan pangan merupakan kebutuhan dasar yang mampu mengatasi masalah
terhadap indikator penyerapan pangan, yang dimana jika ketersediaan pangannya beragam
dan penduduknya mampu mengakses maka outcomenya akan membaik, salah satunya yaitu
Angka Harapan Hidup, Balia Gizi Buruk, dan Anga Kematian bayi. Faktor lain yang
mempengaruhi indikator penyerapan pangan selain ketersediaan pangan yaitu seperti
ketersediaan dari penyediaan fasilitas kesehatan dan sebagainya. Namun, karena pangan
merupakan kebutuhan dasar yang dimana kalau kebutuhan dasar tidak terpenuhi maka bisa
menyebabkan indikator penyerapan pangannya semakin memburuk.

5.4.1 Hubungan Antara Pola Pangan Harapan (PPH) dengan Angka Harapan Hidup
(AHH)
Angka Harapan Hidup di Kabupaten sidoarjo dari tahun 2007 – 2016 mengalami
peningkatan (BPS Kabupaten Sidoarjo, 2016). Angka Harapan Hidup (AHH) merupakan alat
untuk mengevaluasi kinerja pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan penduduk pada
umumnya, dan meningkatkan derajat kesehatan pada khususnya. Angka harapan hidup yang
rendah di suatu daerah harus meningkatkan aspek aspek seperti pembangunan kesehatan, dan
sosial lainnya termasuk kesehatan lingkungan, kecukupan gizi dan kalori termasuk program
pemberantas kemiskinan.
Tabel 7. Angka Harapan Hidup di Kabupaten Sidoarjo Tahun 2017
Tahun AHH (tahun)
2013 71,43
2014 71,65
2015 73,63
2016 73,67
Sumber : Sumber : Dinas Kesehatan Kabupaten Sidoarjo, 2017 (Diolah)

Berdasarkan data pada Tabel 7 dapat diketahui bahwa Angka Harapan Hidup setiap
tahunnya mengalami peningkatan. Hal ini dikarenakan skor PPH meningkat setiap tahunnya,
yang dimana semakin meningkat nilai skor PPH maka semakin meningkat Angka Harapan
Hidupnya. Rata – rata panjangnya usia manusia pada tahun 2013 yaitu 71,43 tahun dan
mengalami peningkatan sampai tahun 2016 rata – rata panjangnya usia manusia yaitu 73,67
tahun. Analisis hubungan yang dilakukan di penelitian ini digunakan untuk mengetahui
keeratan hubungan antara dua variabel dan untuk mengetahui arah hubungan yang terjadi.
Hubungan variabel tersebut adalah antara Pola Pangan Harapan (PPH) dengan Angka Hapan
Hidup (AHH). Hasil korelasi disajikan pada Tabel 10 sebagai berikut:

Tabel 8. Hubungan Antara Pola Pangan Harapan (PPH) dan Angka Harapan Hidup (AHH)
SKOR PPH AHH
SKOR PPH Pearson Correlation 1 .830
Sig.(2-tailed) .170
N 4 4
AHH Pearson Correlation .830 1
Sig.(2-tailed) .170
N 4 4

Berdasarkan hasil analisis pada Tabel 8 didapat nilai korelasi antara skor PPH dan
AHH sebesar 0,830. Untuk arah hubungan kedua variabel tersebut sendiri adalah positif. Hal
ini dikarenakan nilai r bertanda positif yang menunjukkan bahwa, semakin besar nilai PPH
maka semakin besar pula nilai AHH atau sebaliknya, semakin kecil nilai PPH, maka semakin
kecil pula nilai AHH. Hal ini sesuai dengan pernyatan Umar (2002) yang menyatakan bahwa
jika nilai r > 0, artinya telah terjadi hubungan linier positif.
Berdasarkan hasil analisis pada Tabel 8 juga dapat diketahui bahwa skor PPH dengan
AHH memiliki hubungan linier yang kuat, yang dimana jika nilai skor PPH meningkat makan
nilai AHH juga meningkat. Nilai sig.(2-tailed) sebesar 0,17 yang dimana tingkat
kepercayaannya sebesar 83%, karena tingkat kepercayaannya masih diatas 80% maka
dinyatakan signifikan dan nilai 0,830 dinyatakan nyata.
Hal ini tentunya sesuai dengan pendapat FAO 1997 yang menyatakan bahwa hasil yang
diharapkan adalah manusia sehat dan produktif (angka harapan hidup tinggi). Selain itu,
status gizi adalah outcome ketersediaan pangan yang merupakan cerminan dari kulaitas hidup
seseorang. Umumnya status gizi ini diukur dengan angka harapan hidup (AHH), tingkat gizi
balita dan kematian bayi. Berkenaan dengan perilaku konsumsi pangan perlu mendapatkan
perhatian mengingat ketersediaan gizi berimbang dan makanan yang aman dikonsumsi
menjadi aspek yang kritis dalam upaya membentuk sumberdaya manusia yang sehat dan
produktif. Berdasarkan pendapat ini, terdapat korelasi/hubungan antara PPH dengan AHH
yang ditunjukkan dengan nilai korelasi yang signifikan (< 20%).
Berbagai penelitian telah menganalisis situasi keragaman ketersediaan pangan dan
manfaat mengonsumsi anekaragam pangan bagi pemenuhan kebutuhan gizi dan perbaikan
kualitas gizi makanan (Hardinsyah & Heywood 1993). Selain itu ada pula penelitian tentang
manfaat mengonsumsi anekaragam makanan bagi kesehatan dan hasilnya menunjukkan
bahwa skor keragaman konsumsi pangan yang tinggi mengurangi risiko berbagai jenis
penyakit tidak menular (Hardinsyah dan Mark, 1996; Moore,et al., 2002) dan
memperpanjang usia harapan hidup atau mengurangi risiko kematian (Kant et al., 1993;
Trichopoulou, et al., 1996).
Ketersediaan pangan menurut Patrick Webb and Beatrice Rogers (2003) merupakan
ketersediaan pangan dalam jumlah yang cukup aman dan bergizi untuk semua orang dalam
suatu negara baik yang berasal dari produksi sendiri, impor, cadangan pangan maupun
bantuan pangan. Ketersediaan pangan ini diharapkan mampu mencukupi pangan yang
didefinisikan sebagi jumlah kalori yang dibutuhkan untuk kehidupan yang aktif dan sehat.
Begitu juga dengan Pola Pangan Harapan (PPH) yang merupakan susunan beragam pangan
yang didasarkan pada sumbangan energi dari kelompok pangan utama (baik secara absolut
maupun relatif) dari suatu pola ketersediaan dan atau konsumsi pangan. FAO-RAPA (1989)
mendefinisikan PPH adalah komposisi kelompok pangan utama bila dikonsumsi dapat
memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi lainnya.
Berdasarkan pembahasan diatas, hubungan antara PPH dengan AHH adalah positif
yaitu terdapat hubungan antara PPH dengan AHH. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan
yang dimana pada pencapaian utama ketersediaan pangan adalah meningkatkan angka
harapan hidup (AHH). Jika teraksesnya ketersediaan pangan maka tingkat angka harapan
hidup (AHH) semakin baik.

5.4.2 Hubungan Antara Pola Pangan Harapan (PPH) dengan Status Balita Gizi Buruk
Salah satu permasalahan kesehatan di Indonesia adalah gizi buruk. Gizi buruk
merupakan sebuah keadaan dimana seseorang mengalami kekurangan nutrisi atau kebutuhan
nutrisi yang masih dibawah standar yang dialami oleh balita (anak di bawah usia balita lima
tahun). Pada usia balita, anak-anak membutuhkan dukungan nutrisi yang lengkap untuk
pertumbuhan dan perkembangan tubuh dan otak. Sebagian besar balita dengaan gizi buruk
memiliki pola makan yang kurang beragam. Pola makanan yang kurang beragam memiliki
arti bahwa balita tersebut mengkonsumsi hidangan dengan komposisi yang tidak memenuhi
gizi seimbang.
Tabel 9. Prevelensi Status Balita Gizi Buruk di Kabupaten Sidoarjo Tahun 2017
Tahun Balita Gizi Buruk (%)
2013 1,22
2014 1,02
2015 0,7
2016 0,8
Sumber : Dinas Kesehatan Kabupaten Sidoarjo, 2017 (Diolah)
Prevelensi balita gizi buruk menunjukkan penurunan setiap tahunnya. Hal ini
dikarenakan nilai skor PPH semakin meningkat, yang dimana semakin meningkatnya nilai
skor PPH maka semakin menurunnya status balita gizi buruk. Pada tahun 2013 prevelensi
balita gizi buruk sebesar 1,22 %, mengalami penurunan pada tahun 2014 sebesar 1,02 %.
Prevelensi balita gizi buruk mengalami penurunan pada tahun 2014 ke tahun 2015 yaitu
sebesar 0,7%, sementara pada tahun 2016 mengalami peningkatan sebesar 0,8%.
Perkembangan data persentase balita gizi buruk dapat dilihat pada pertumbuhan persentase
balita gizi buruk. Persentase balita gizi buruk tersebut disajikan dalam bentuk grafik pada
Gambar 5.
1,40

1,20 1,22

1,00 1,02
Status Gizi Buruk

0,80 0,8
0,7
0,60 Balita Gizi Buruk
0,40

0,20

0,00
2012 2013 2014 2015 2016 2017
Tahun

Gambar 5. Status Balita Gizi Buruk

Berdasarkan dari keseragaman susunan hidangan pangan, pola makanan yang meliputi
gizi seimbang adalah jika mengandung unsur zat tenaga yaitu makanan pokok, zat
pembangun dan pemelihara jaringan yaitu lauk pauk dan zat pengatur yaitu sayur dan buah.
Analisis hubungan yang dilakukan di penelitian ini digunakan untuk mengetahui keeratan
hubungan antara dua variabel dan untuk mengetahui arah hubungan yang terjadi. Hubungan
variabel tersebut adalah antara Pola Pangan Harapan (PPH) dengan Balita Gizi Buruk Hasil
korelasi disajikan pada Tabel 10 sebagai berikut:
Tabel 10. Hubungan Antara PPH dengan Balita Gizi Buruk
SKOR PPH Balita Gizi Buruk
SKOR PPH Pearson Correlation 1 -.830
Sig.(2-tailed) .170
N 4 4
Balita Gizi Buruk Pearson Correlation -.830 1
Sig.(2-tailed) .170
N 4 4

Berdasarkan hasil analisis pada Tabel 10 didapat nilai korelasi antara skor PPH dan
Balita Gizi Buruk sebesar -0,830. Untuk arah hubungan kedua variabel tersebut sendiri
adalah negatif. Hal ini dikarenakan nilai r bertanda negatif yang menunjukkan bahwa,
semakin kecil nilai PPH maka semakin besar nilai Balita Gizi Buruk atau sebaliknya,
semakin besar nilai PPH maka semakin kecil nilai Balita Gizi Buruk. Hal ini sesuai dengan
pernyatan Umar (2002) yang menyatakan bahwa jika nilai r < 0, artinya telah terjadi
hubungan linier negatif.
Berdasarkan hasil analisis pada Tabel 10 juga dapat diketahui bahwa skor PPH dengan
Balita Gizi Buruk memiliki hubungan linier yang kuat namun berkebalikan, yang dimana jika
nilai skor PPH meningkat makan nilai Balita Gizi Buruk menurun. Nilai sig.(2-tailed) sebesar
0,17 yang dimana tingkat kepercayaannya sebesar 83%, karena tingkat kepercayaannya
masih diatas 80% maka dinyatakan signifikan dan nilai -0,830 dinyatakan nyata.
Berdasarkan pembahasan diatas terdapat hubungna antara Pola Pangan Hrapan (PPH)
dengan Balita Gizi Buruk, karena semakin beragamnya pangan makan nilai Balita Gizi
Buruknya semakin menurun (negatif). Sesuai pernyataan Novitasari (2012) rendahnya
kualitas dan kuantitas ketersediaan pangan, merupakan penyebab langsung dari kekurangan
gizi pada anak balita dan sebaliknya semakin tinggi kualitas dan kuantitas ketersediaan
pangan, maka akan menyebabkan minimnya kekurangan gizi pada balita. Keadaan sosial
ekonomi yang rendah berkaitan dengan masalah kesehatan yang dihadapi karena
ketidaktahuan dan ketidakmampuan untuk mengatasi berbagai masalah tersebut. Balita
dengan gizi buruk pada umumnya hidup dengan makanan yang kurang bergizi, begitu juga
sebaliknya semakin beragamnya gizi pada anak balita tidak akan mengakibatkan gizi buruk
pada balita. Selain itu, sesuai dengan pernyataan FAO 1997 yang menyatakan bahwa Capaian
utama ketersediaan pangan meliputi peningkatan status gizi (penurunan kelaparan, gizi
kurang dan gizi buruk).
Salah satu indikator yang mengakibatkan gizi buruk pada balita adalah kekurangnnya
ketersediaan pangan yang beragam dan masih kurang karena belum mampu mempertahankan
pangannya. Ketersediaan (food availabillity) yaitu ketersediaan pangan dalam jumlah yang
cukup aman dan bergizi untuk semua orang baik yang berasal dari produksi sendiri, impor,
cadangan pangan maupun bantuan pangan. Ketersediaan pangan ini diharapkan mampu
mencukupi pangan yang didefenisikan sebagai jumlah kalori yang dibutuhkan untuk
kehidupan yang aktif dan sehat (Hanani, 2012).

5.4.3 Hubungan Antara Pola Pangan Harapan (PPH) dengan Angka Kematian Bayi
Angka kematian bayi (AKB) menunjukkan keberhasilan pelayanan kesehatan suatu
wilayah. Angka Kematian Bayi (AKB) adalah jumlah penduduk yang meninggal sebelum
mencapai usia 1 tahun. Angka Kematian Bayi merupakan salah satu keberhasilan
pembangunan kesehatan yang telah direncanakan dalam sistem kesehatan nasional dan
bahkan dipakai sebagai indikator sentral keberhasilan pembangunan kesehatan di Indonesia
(Bachreon,1988). Menurut data World Health Organization (WHO) 2003, Angka Kematian
Bayi di Indonesia sebagian besar terkait dengan faktor nutrisi yaitu sebesar 53%.

Tabel 11. Angka Kematian Bayi di Kabupaten Sidoarjo Tahun 2017


Tahun AKB (%)
2013 21,24
2014 20,93
2015 20,63
2016 20,26
Sumber : Dinas Kesehatan Kabupaten Sidoarjo , 2017 (Diolah)

Angka kematian bayi (AKB) menunjukkan penurunan secara signifikan. Pada tahun
2013 angka kematian bayi sebesar 21,24 per 1000 kelahiran hidup. Setelah itu terjadi
penuruan pada tahun 2014 sebesar 20,93 per 1000 kelahiran hidup. Pada tahun 2015 sebesar
20,63 per 1000 kelahiran hidup dan mengalami penuruna pada tahun 2016 sebesar 20,26 per
1000 kelahiran hidup. Pertumbuhan data tersebut jika disajikan dalam bentuk grafik dapat
dilihat pada Gambar 6 .
21,4

21,24
21,2

21
20,93
20,8
AKB

20,6 20,63

20,4

20,26
20,2
2012 2013 2014 2015 2016 2017

Gamabr 6. Angka Kematian Bayi

Saat ini diperkirakan sekitar 50 persen penduduk Indonesia atau lebih dari 100 juta jiwa
mengalami beraneka masalah kekurangan gizi, yaitu gizi kurang dan gizi lebih. Masalah gizi
kurang sering luput dari penglihatan atau pengamatan biasa dan seringkali tidak cepat
ditanggulangi, padahal dapat memunculkan masalah besar. Selain gizi kurang, secara
bersamaan Indonesia juga mulai menghadapi masalah gizi lebih dengan kecenderungan yang
semakin meningkat dari waktu ke waktu. Dengan kata lain saat ini Indonesia tengah
menghadapi masalah gizi ganda. Secara perlahan kekurangan gizi akan berdampak pada
tingginya angka kematian ibu, bayi, dan balita, serta rendahnya umur harapan hidup
(UNNICEF,1990). Analisis hubungan yang dilakukan di penelitian ini digunakan untuk
mengetahui keeratan hubungan antara dua variabel dan untuk mengetahui arah hubungan
yang terjadi. Hubungan variabel tersebut adalah antara Pola Pangan Harapan (PPH) dengan
Angka Kematian Bayi. Hasil korelasi disajikan pada Tabel 12 sebagai berikut:

Tabel 12. Hubungan Antara Pola Pangan Harapan (PPH) dengan Angka Kematian Bayi
SKOR PPH Angka Kematian Bayi
SKOR PPH Pearson Correlation 1 -.659
Sig.(2-tailed) .341
N 4 4
Angka Kematian Pearson Correlation -.659 1
Bayi Sig.(2-tailed) .341
N 4 4

Berdasarkan hasil analisis pada Tabel 12 didapat nilai korelasi antara skor PPH dan
Angka Kematian Bayi sebesar -0,659. Untuk arah hubungan kedua variabel tersebut sendiri
adalah negatif. Hal ini dikarenakan nilai r bertanda negatif yang menunjukkan bahwa,
semakin kecil nilai PPH maka semakin besar nilai Angka Kematian Bayi atau sebaliknya,
semakin besar nilai PPH maka semakin kecil nilai Angka Kematian Bayi. Hal ini sesuai
dengan pernyatan Umar (2002) yang menyatakan bahwa jika nilai r < 0, artinya telah terjadi
hubungan linier negatif.
Berdasarkan hasil analisis pada Tabel 12 juga dapat diketahui bahwa hubungan antara
PPH dengan Angka Kematian Bayi dikatakan tidak signifikan, karena nilai sig.(2-tailed)
sebesar 0,341 yang dimana tingkat kepercayaannya sebesar 65,9%, karena tingkat
kepercayaannya dibawah 80% maka dapat disimpulkan bahwa kematian bayi tidak memiliki
hubungan dengan skor PPH.
Penyebab terjadinya kematian bayi tidak hanya disebabkan oleh pangannya, ada
beberapa penyebab kematian bayi terjadi yaitu sesuai dengan pernyataan UNICEF dan WHO
(2016: 13) gizi merupakan faktor utama kematian anak, penyakit dan kecacatan. Faktor yang
berhubungan dengan gizi berkontribusi sekitar 45% dari kematian balita, diantaranya berat
badan lahir rendah, kurang gizi, anak yang tidak diberi Air Susu Ibu (non ASI) dan
lingkungan tidak sehat. Anak kurang gizi memiliki risiko kematian lebih tinggi akibat infeksi
penyakit, seperti diare, pneumonia dan campak.
VI. PENUTUP

6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Kualitas ketersediaan pangan di Kabupaten Sidoarjo pada tahun 2017 belum beragam
yang ditunjukkan dari skor PPH<100, dimana skor tersebut sebesar 74,5. Hal ini
dikarenakan beberapa kelompok pangan yakni padi-padian, umbi-umbian, pangan
hewani, buah/biji berminyak, gula serta buah dan sayur memiliki skor PPH di bawah
skor normatifnya.
2. Skor PPH di Kabupaten Sidoarjo akan mencapai skor PPH ideal pada tahun 2028, yang
dimana skor PPH telah mecapai 100.
3. Hubungan Pola Pangan Harapan (PPH) dengan Indikator Penyerapan Pangan
ditunjukkan oleh korelasi PPH dengan Angka Harapan Hidup (AHH), PPH dengan
Balita Gizi Buruk, dan PPH dengan Angka Kematian Bayi. Terdapat hubungan linear
yang kuat dan positif antara PPH dengan AHH pada tingkat kepercayaan sebesar 83%
dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0,83. Selain itu, terdapat juga hubungan linear
yang kuat dan negatif dengan tingkat kepercayaan sebesar 83% dengan nilai koefisien
korelasi sebesar -0,83. Sedangkan pada hubungan antara PPH dengan Angka Kematian
Bayi terdapat hubungan yang tidak signifikan.

6.2 Saran
Dengan masih relatif rendahnya keberagaman pangan (skor PPH <100) di Kabupaten
Sidoarjo maka upaya untuk meningkatkan keberagaman pangan terdapat 2 cara yaitu dengan
cara meningkatkan ketersediaan domestik melalui produksi dan perdagangan. Ketersediaan
domestik melalui produksi domestik dapat dilakukan pada komoditas yang masih
memungkinkan untuk produksi di domestik yaitu komoditas padi – padian seperti beras, dan
untuk gandum dilakukan perdagangan. Komoditas tebu, dan komoditas pangan hewani
seperti ikan, daging, susu, dan telur. Selain itu, beberapa komoditas buah yang masih bisa
memungkinkan untuk produksi domestik yaitu seperti alpukat, jeruk, jambu, mangga, pepaya,
sawo, semangka, belimbing, dan nangka untuk selebihnya seperti duku, durian, nanas,
rambutan salak, manggis, markisa, sirsak dan sukun yang tidak bisa diproduksi domestik
melakukan perdagangan melalui impor. Pada komoditas sayur seperti ketimun, kacang
panjang, tomat, cabe, terong, sawi, kangkung, dan bayam masih bisa di produksi domestik,
dan untuk bawang, kacang merah, kentang, kubis, wortel, labu, dan jamur dilakukan
perdagangan. Pada komoditas minyak dan lemak seperti kacang tanah, kopra, dan minyak
sapi, kerbau, kambing dan domba masih dapat meningkatkan produksi domestik, dan
selebihnya seperti minyak sawit, lemak lainnya melalui perdagangan. Sementara untuk
komoditas umbi – umbian dilakukan secara perdagangan dengan melakukan impor.
Dengan meningkatknya PPH Ketersediaan dapat menaikan Angka Harapan Hidup dan
menurunkan Balita Gizi Buruk, sehingga peningkatan PPH ketersediaan penting untuk
dilakukan agar outcome ketahanan pangan menjadi lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Faridi. 2016. Hubungan Pengeluaran, Skor Pola Pangan Harapan (PPH) Keluarga,
dan Tingkat Konsumsi Energi-Protein dengan Status Gizi Balita Usia 2-5 Tahun.
Skripsi. Universitas Muhammadiyah, Jakarta.

Algifari, 2000. Analisis Regresi, Teori, Kasus dan Solusi. Edisi Kedua. BPFE : Yogyakarta.

Anwar, K., Jufrrie, M., & Julia, M. 2005. Faktor Risiko Kejadian Gizi Buruk di Kabupaten
Lombok Timur, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Jurnal Gizi Klinik Indonesia, 2(3), 108-
116.

Ariani, Mewa. 2005. Diversifikasi Pangan di Indonesia: Antara Harapan dan Kenyataan.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor

Ariani, M. (2010). Analisis konsumsi pangan tingkat masyarakat mendukung pencapaian


diversifikasi pangan. Gizi Indonesia, 33(1), 20-28.

Arifin, B. 2005. Ekonomi Kelembagaan Pangan. Pustaka LP3ES : Jakarta.

Asmara, R., Hanani, N., & Purwaningsih, I. A. 2009. Pengaruh Faktor Ekonomi Dan Non
Ekonomi Terhadap Diversifikasi Pangan Berdasarkan Pola Pangan Harapan (Studi
Kasus Di Dusun Klagen, Desa Kepuh Kembeng, Kecamatan Peterongan, Kabupaten
Jombang). Agricultural Socio-Economics Journal, 9(1), 19-31.

Asparian, A. 2003. Hubungan Pengeluaran Pangan, Skor Pola Pangan Harapan (PPH) Dan
Tingkat Konsumsi Energi-Protein Dengan Status Gizi Balita Umur 2-4 Tahun Pada
Keluarga di Desa Terpencil (Studi Kasus di Desa Renah Pemetik Kecamatan Gunung
Kerinci-Kab. Kerinci Propinsi Jambi). Diss. Diponegoro University, 2003.

Balanza, et al. 2007. Trends in Food Availability Detemined by Food and Agriculture
Organization’s Food Balance Sheets in Mediterranean Europe in Comparison eith
Other Europe Areas. Public Health Nutrition, 10(2): 168-176.

. 2009. Peta Rawan Pangan. http://rosihan.lecture.ub.ac.id. Diakses tanggal 24


November 2017.

BKP Jawa Timur. 2014. Rencana Strategis (RENSTRA) Badan Ketahanan Pangan Provinsi
Jawa Timur Tahun 2014-2019. http://bkp.jatimprov.go.id. Diakses tanggal 24
November 2017.

dan World Food Programme (WFP). 2015. Peta Ketahanan dan


Kerentanan Pangan Jawa Timur 2015. http://.documents.wfp.org. Diakses tanggal 24
November 2017.

BPS Jawa Timur. 2016. Jumlah Penduduk dan Laju Pertumbuhan Penduduk Menurut
Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur, 2010, 2014, dan 2015. https://jatim.bps.go.id.
Diakses tanggal 15 Desember 2017.
2016. Angka Harapan Hidup Kabupaten/Kota di Jawa Timur 2010 - 2016.
https://jatim.bps.go.id. Diakses tanggal 27 Oktober 2017.

[DKP] Dewan Ketahanan Pangan. 2006. Kebijakan Umum Ketahanan Pangan 2006-2009.
Dewan Ketahanan Pangan : Jakarta.

Cahyani, G. I. 2008. Analisis Faktor Sosial Ekonomi Keluarga Terhadap Keanekaragaman


Konsumsi Pangan Berbasis Agribisnis Di Kabupaten Banyumas. Diss. Program Pasca
Sarjana Universitas Diponegoro.

Depkes. 2007. Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta.

Ediwiyati, R., Koestiono, D., & Setiawan, B. 2016. Analisis Ketahanan Pangan Rumah
Tangga (Studi Kasus pada Pelaksanaan Program Desa Mandiri Pangan di Desa Oro
Bulu Kecamatan Rembang Kabupaten Pasuruan). Agricultural Socio-Economics
Journal, 15(2), 85-93.

Fahriyah, F., & Nugroho, C. P. 2016. Analisis Neraca Bahan Makanan (NBM) Dan Pola
Pangan Harapan (PPH) Kabupaten Sidoarjo. Agricultural Socio-Economics
Journal, 15(3), 155-165.

Fardiaz, D dan Fardiaz, S. 2003. Keamanan Pangan dan Pengawasannya. Di dalam: Efrina
Ginting. Persepsi Ibu tentang Label Makanan Kemasan

Hanafie, R. 2010. Peran Pangan Pokok Lokal Tradisional Dalam Diversifikasi Konsumsi
Pangan. JSEP (Journal Of Social And Agricultural Economics), 4(2), 1-7.

Hanani, N., 2012. Srategi Pencapaian Ketahanan Pangan Keluarga, Perhimpunan Ekonomi
Pertaniaan Indonesia. Bogor.

, N., Asmara, R., Nugroho, Y. 2008. Analisis Diversifikasi Konsumsi Pangan Dalam
Memantapkan Ketahanan Pangan Mayarakat Pedesaan. Agricultural Socio-Economics
Journal, 8(1), 46-54.

, N., Tyasmoro, S. Y., Sujarwo, S., & Asmara, R. 2011. Analisis Pemetaan Dalam
Rangka Deteksi Dini Kerawanan Pangan Tingkat Desa. Habitat, 22(1), 24-38.

Hardinsyah, Heywood PF, 1993. Review Of The Association Between Food Diversity And
Diet Quality. Abstract Of The XV International Congress Of Nutrition, Adelaide.

, Mark GC, 1996. Dietary diversity and nutrition related health outcomes: A
Review. Abstract of the XII International Congress of Dietetics, Manila.

, Y.F. Baliwati, D. Martianto, H.S. rachman, A. Widodo dan Subiyakto. 2001.


Pengembangan Konsumsi Pangan dengan Pendekatan Pola Pangan Harapan. Pusat
Studi Kebijakan Pangan Dan Gizi (PSKPG)-IPB dan Pusat Pengembangan Konsumsi
Pangan. Badan Bimas Ketahanan Pangan (BBKP)- Departemen Pertanian. Bogor
Hasan, M. 2006. Meningkatkan Ketahanan Pangan Nasional. Makalah Pengantar Falsafah
Sains. Disampaikan pada kuliah Program Pascasarjana/S3 IPB (Bogor, 26 November
2006).

Hidayah, R., Hanani, N., & Nugroho, C. P. 2018. Dinamika Ketersediaan Pangan Di
Kabupaten Sidoarjo. Jurnal Ekonomi Pertanian dan Agribisnis, 2(3), 194-203.

Kant, A. K., Schatzkin, A., Harris, T. B., Ziegler, R. G., & Block, G. (1993). Dietary
Diversity And Subsequent Mortality In The First National Health And Nutrition
Examination Survey Epidemiologic Follow-Up Study. The American Journal Of
Clinical Nutrition, 57(3), 434-440.

Karsin, ES. 2004. Peranan Pangan dan Gizi dalam Pembangunan dalam Pengantar Pangan
dan Gizi. Penebar Swadaya : Jakarta.

Kasryno, F., M. Gunawan, dan C. A. Rasahan. 1993. Strategi Diversifikasi Produksi Pangan.
Prisma, No. 5. Tahun XXII. LP3ES : Jakarta.

Kementerian Pertanian. 2014. Statistik Lahan Pertanian Tahun 2009-2013.


http://pertanian.go.id. Diakses tanggal 15 Desember 2016.

Khotimah, H. 2016. Kajian Tingkat Pengetahuan Ibu, Tingkat Pendapatan, Tingkat


Pendidikan dan Jumlah AnggotaKeluarga Berkaitan dengan Status Gizi Balita di
Kecamatan Sedati dan Kecamatan Wonoayu Kabupaten Sidoarjo. Swara Bhumi, 1(1),
179-188.

Kosim, Sholeh, M. 2008. Buku Ajar Neonatologi edisi 1. Badan Penerbit IDAI : Jakarta.

Krisnamurti, 2006. Penganekaragaman Pangan Sebuah Kebutuhan Yang Mendesak. Makalah


Seminar Nasional Diversifikasi Untuk Mnedukung Ketahanan pangan.

Kuncoro, mudrajad. 2004. Analisis spasial dan regional: studi aglomerasi dank luster industry
Indonesia. UPP AMP YKPN : Yogyakarta.

Maxwell, S. dan Fankenberger, 1992. Household Food Security : Concepts, Indikators,


Measurement : A Technical Review, Rome ; International Fund For Agriculture
Development.

Moore H, Svetkey L, Lin P-H, Karanja N, Jenkins M, 2002. The DASH Diet for
Hypertension. The Free Press : New York.

Mun’im, A. 2016. Analisis Pengaruh Faktor Ketersediaan, Akses, Dan Penyerapan Pangan
Terhadap Ketahanan Pangan Di Kabupaten Surplus Pangan: Pendekatan Partial Least
Square Path Modeling. Jurnal Agro Ekonomi, 30(1), 41-58.

Notoatmodjo, S. 2003. Prinsip-Prinsip Dasar Ilmu Kesehatan Masyarakat. Rineka Cipta :


Jakarta.
Omuemu, V.O., E.M. Otasowie, U. Onyiriuka. 2012. Prevalence of Food Insecurity in Egor
Local Government Area of Edo State, Nigeria. Annals of African Medicine, 11(3): 139-
145.

Prasetyarini, F. D, M. M. Mustadjab, dan N. Hanani. 2014. Analisis Penyediaan Pangan


untuk Meningkatkan Ketahanan Pangan di Kabupaten Sidoarjo. AGRISE, 14(3): 205-
217.

Prayoga, D. 2014. Analisis Ketersediaan Pangan di Kabupaten Sidoarjo. Skripsi. Jurusan


Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya.Malang.

Purwaningsih. 2008.Ketahanan Pangan: Situasi, Permasalahan, Kebijakan, Dan


Pemberdayaan Masyarakat”. Jurnal Ilmu Ekonomi dan Pembangunan. Jurnal Ilmiah FE
Universitas Muhamadiyah Surakarta, Terakreditasi Dikti No. 55a/DIKTI/Kep 2006,
Volume 9, Nomor 1, Juni 2008.

Rachman, H. P., Ariani, M. 2016. Penganekaragaman konsumsi pangan di Indonesia:


permasalahan dan implikasi untuk kebijakan dan program. Analisis Kebijakan
Pertanian, 6(2), 140-154.

Reilly Peter. et. al. 1999. The Human Resource Function Audit. Strategy Publications Ltd :
UK: Cambridge.

Safa’at, R. 2013. Rekonstruksi Politik Hukum Pangan. Dari Ketahanan Pangan ke


Kedaulatan Pangan. UB Press : Malang.

Sediaoetama, A. D. 2000. Ilmu gizi untuk mahasiswa dan profesi. Jakarta: Dian Rakyat, 34.
Setiavani, Gusti dan Nurliana Harahap. 2012. Analisis Ketersediaan Pangan Lokal Dalam
Mendukung Diversifikasi Pangan Di Provinsi Sumatera Utara. Skripsi. Medan: Dosen
Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian (STPP).

Suhardjo, 1998. Konsep dan Kebijakan Diversifikasi Konsumsi Pangan Dalam Rangka
Ketahananan Pangan Nasional. 693-714

Supariasa, I.D.N. 2007. Penilaian Status Gizi. EGC : Jakarta.

Suryana, Achmad. 2003. Kapita selekta evolusi pemikiran kebijakan ketahanan pangan.
BPFE : Yogyakarta.

Trichopoulou A, Kouris-Blazos, Wahlqvist, ML, 1996. Diet And Overall Survival In Erderly
People. British Medical Journal, 311,1457-1460.

Umar, H. 2002. Metode Riset Bisnis: Panduan Mahasiswa Untuk Melaksanakan Riset
Dilengkapi Contoh Proposal Dan Hasil Riset Bidang Manajemen Dan Akuntansi.
Gramedia Pustaka Utama.

Undang-Undang No. 18 Tahun 2012 Tentang Pangan. http://jdih.bpk.go.id. Diakses tanggal


15 Desember 2016.
Weingärtner, L. 2004. The concept of food and nutrition security. International training
course: Food and nutrition security—assessment instruments and intervention
strategies (Background Paper No. I), August. Retrieved January 26, 2008.

Wirakartakusumah. 2001. Pelabelan Pangan. Di dalam: Hardiansyah, Atmojo SM, editor.


Pengendalian Mutu dan Keamanan Pangan. Jakarta: 55 Perhimpunan Peminat Gizi
dan Pangan (PERGIZI PANGAN) Indonesia, Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan
Indonesia (PATPI) dan Institut Pertanian Bogor, bekerjasama.

Yamin, S dan H. Kurniawan. 2014. SPSS Complete. Teknik Analisis Statistik Terlengkap
dengan Software SPSS. Salemba Infotek : Jakarta Selatan
Lampiran 1. Neraca Bahan Makanan Kabupaten Sidoarjo 2017

71
Lampiran 1. Lanjutan

72
Lampiran 1. Lanjutan

73
Lampiran 1. Lanjutan

74
Lampiran 2. Agka Konversi Neraca Bahan Makanan Kabupaten Sidoarjo 2017

76
Lampiran 2. Lanjutan

77
Lampiran 2. :Lanjutan

78
Lampiran 2. Lanjutan
Lampiran 2. Lanjutan

80
Lampiran 2. Lanjutan

81
Lampiran 2. Lanjutan

82
Lampiran 3. Tingakat Konsumsi

Kelompok /jenis pangan Konsumsi g/kap/hari

Pertanian Perikana Industri Kabupaten


n Sidoarjo

1. Padi-padian 282,9 257,6 255,4 269,7

Beras giling 252,6 222,0 223,2 237,6

Jagung pipila 5,6 6,9 5,5 5,8

Tepung terigu 23,5 27,4 25,6 25,0

Padi-padian 1,2 1,5 1,1 1,2


lainnya

2. Umbi-umbian 54,0 61,1 30,0 48,9

Singkong 28,0 29,0 13,2 24,1

Ubi jalar 3,9 8,8 2,9 4,7

sagu - - - -

Kentang 17,7 18,4 12,8 16,5

Umbi-umbian 4,5 4,9 1,1 3,6


lain

3. Pangan Hewani 205,7 201,7 202,2 203,9

Daging 16,3 15,1 22,7 17,8


Ruminansia

Daging unggas 47,6 29,8 31,2 39,1

Telur 22,0 26,9 20,8 22,8

Susu 51,0 47,0 60,9 52,8

Ikan 68,8 82,9 66,5 71,3


4. Minyak dan lemak 46,2 24,7 42,3 40,3

Minyak kelapa 0,6 0,3 - 0,4

Minyak sawit 40,9 23,0 40,7 36,9

Lemak 2,2 0,3 1,0 1,4

Minyak lainnya 2,5 1,2 0,4 1,5

5. Buah/biji 4,3 8,3 2,5 4,6


berminyak

Kelapa 2,3 4,0 1,9 2,6

Kemiri 1,7 2,2 0,4 1,5

Biji jambu mete - - - -

Buah biji 0,2 2,0 0,1 0,6


berminyak
lainnya

Lampiran 3. Lanjutan

Kelompok /jenis pangan Konsumsi g/kap/hari

Pertanian Perikana Industri Kabupaten


n Sidoarjo

6. Kacang-kacangan 37,5 47,0 41,0 40,6

Kacang tanah 4,1 1,9 1,9 3,0

Kacang kedelai 25,1 35,7 35,3 30,3

Kacang hijau 1,8 1,8 1,4 1,7

Kacang-kacangan 6,6 7,5 2,4 5,6


lainnya

7 Gula 28,3 26,3 26,3 27,3


Gula Pasir 27,7 24,8 25,2 26,4

Gula aren 0,4 1,0 1,0 0,7

Gula kelapa 0,2 0,4 0,1 0,2

8. Sayur dan Buah 236,3 240,7 248,3 240,6

Sayur-sayuran 171,4 170,5 169,0 170,5

Buah-Buahan 64,9 70,3 79,2 70,0

9. Lain-lain 8,8 4,5 5,5 6,9

Minuman - - - -

Bumbu 5,0 1,9 1,1 3,2

Lainnya 3,8 2,5 4,3 3,7


Lampiran 4. Populasi Ternak di Kabupaten Sidoarjo Tahun 2016

No Jenis ternak Populasi (ekor)

1 Kuda 106

2 Sapi 9.802

3 Sapi Perah 3.632

4 Kerbau 556

5 Kambing 32.169

6 Domba 31.359

7 Babi 0

8 Ayam Buras 367.542

9 Ayam ras petelur 31.605

10 Ayam ras pedaging 66.599

11 Itik 293.522

12 Enthok 5.364
Lampiran 5. Produksi Ikan di Kabupaten Sidoarjo Tahun 2016

No Jenis Ikan Produksi Ikan Tahun 2016 (Kg)


1 Dorang 464.100
2 Kakap 64.900
3 Lancam 209.400
4 Sembilang 247.700
5 Pari 382.400
6 Rajungan/kepiting 337.700
7 Kupang 9.578.100
8 Kerang 2.329.800
9 ikan 4.771.800
10 keong laut 940.200
11 Bandeng 33.883.300
12 Udang 13.211.600
13 Nila 13.401.800
14 Rumput laut 10.088.600
15 Tawes 7.800
16 Mujair 235.500
17 Nila 33.000
18 lele 18.424.100
19 Gurameh 95.900
20 Patin 41.500
Lampiran 6. Skor Pola Pangan Harapan (PPH) Kabupaten Sidoarjo 2017

No Kelompok Perhitungan Skor Pola Pangan Harapan (PPH)


Pangan Kalori % %AKE Bobot Skor Skor Skor
Kkal/kap AKE PPH PPH
/hari Normatif

1 Padi - 941,0 51,2 39,2 0,5 19,6 25 19,6


padian
2 Umbi - 33,0 1,9 1,4 0,5 0,7 2,5 0,73
umbian
3 Pangan 215,0 12,3 9,0 2 17,9 24 17,9
Hewani
4 Lemak dan 336,0 19,2 14,0 0,5 7,0 5 5,0
Minyak
5 Buah/Biji 2,1 0,1 0,1 0,5 0,04 1 0,04
Berminyak
6 Kacang - 123,0 7,0 5,1 2 10,3 10 10,0
kacangan
7 Gula 95,15 5,4 4,0 0,5 2,0 2,5 2,0
8 Sayur dan 92,2 5,3 3,8 5 19,2 30 19,2
Buah
9 Pangan 0,0 0,0 0,0 0,5 0,0 0 0,0
Lainnya

Total 1837,5 100,0 76,6 76,7 100 74,5

Keterangan :

Angka Kecukupan Energi (AKE) : 2400 Kkal/Kap/Hari.


Lampiran 7. Tabel Pertumbuhan PPH dan AHH

Tahun SKOR Pertumbuhan PPH AHH Pertumbuhan AHH


PPH
2007 82,8 0 69,89 0
2008 81,9 -1,087 70,08 0,2719
2009 75,7 -7,570 70,31 0,3282
2010 77,5 2,378 70,55 0,3413
2011 77,3 -0,258 70,79 0,3402
2012 75,4 -2,458 71,03 0,3390
2013 65,2 -13,528 71,43 0,5631
2014 68,97 5,782 71,65 0,3080
2015 78,88 14,369 73,63 2,7634
2016 71,86 -8,900 73,67 0,0543
Lampiran 8. Tabel Pertumbuhan Balita Gizi Buruk

Tahun Balita Gizi Buruk Pertumbuhan

2013 1,22 0

2014 1,02 -30

2015 0,7 -20

2016 0,8 -100


Lampiran 9. Tabel Pertumbuhan Angka Kematian Bayi

Tahun AKB Pertumbuhan

2013 21,24 0

2014 20,93 1993

2015 20,63 1963

2016 20,26 1926


Lampiran 10. Perhitungan Pertumbuhan PPH

2007 = 0
81,9−82,8
2008 = = -1,087
82,8

75,7−81,9
2009 = = -7,570
81,9

77,5−75,7
2010 = = 2,378
75,7

77,3−77,5
2011 = = -0,258
77,5

75,4−77,3
2012 = = -2,458
77,3

65,2−75,4
2013 = = -13,528
75,4

68,97−65,2
2014 = = 5,782
65,2

78,88−68,97
2015 = = 14,369
68,97

71,86−78,88
2016 = = -8,900
78,88
Lampiran 11. Perhitungan Pertumbuhan AHH

2007 = 0
70,08−69,89
2008 = = 0,2719
69,89

70,31−70,08
2009 = = 0,3282
70,08

70,55−70,31
2010 = = 0,3413
70,31

70,79−70,55
2011 = = 0,3402
70,55

71,03−70,79
2012 = = 0,3390
70,79

71,43−71,03
2013 = = 0,5631
71,03

71,65−71,43
2014 = = 0,3080
71,43

73,63−71,65
2015 = = 2,7634
71,65

73,67−73,63
2016 = = 0,0543
73,63
Lampiran 12. Perhitungan Pertumbuhan Balita Gizi Buruk

2013 = 0
1,02−1,22
2014 = = -30
1,22

0,7−1,02
2015 = = -20
1,02

0,8−0,7
2016 = = -100
0,7
Lampiran 13. Perhitungan Pertumbuhan Angka Kematian Bayi

2013 = 0
20,93−21,24
2014 = = 1993
21,24

20,63−20,93
2015 = = 1963
20,93

20,26−20,63
2016 = = 1926
20,63
Lampiran 14. Korelasi Antara PPH dengan AHH
Lampiran 15. Korelasi Antara PPH dengan Balita Gizi Buruk
Lampiran 16. Korelasi Antara PPH dengan AKB

Anda mungkin juga menyukai