Oleh
ELFIRA ROSA PURBA
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS PERTANIAN
MALANG
2018
i
ANALISIS DIVERSIFIKASI KETERSEDIAAN PANGAN DAN
INDIKATOR PENYERAPAN PANGAN DI KABUPATEN SIDOARJO
Oleh
ELFIRA ROSA PURBA
145040101111157
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar
Sarjana Pertanian Strata Satu (S-1)
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS PERTANIAN
JURUSAN SOSIAL EKONOMI PERTANIAN
MALANG
2018
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang
pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan disuatu Perguruan Tinggi
dan sepanjang sepengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang
pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu
dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka
Disetujui
Tanggal Persetujuan:
LEMBAR PENGESAHAN
Mengesahkan
MAJELIS PENGUJI
Tanggal Lulus:
Skripsi ini saya persembahkan untuk
Keluarga saya yang tidak pernah lelah untuk mendukung serta mendoakan saya,
khususnya untuk kedua orangtua saya dan kakak saya yang saya cintai
Kepada Prof Nuhfil, Bu Fahriyah, Pak Rosihan, Bu Rini serta Pak Condro yang
selalu sabar dan tidak pernah lelah membantu serta membimbing saya dalam
penulisan skripsi ini
Buat I Gusti Ayu Kade Aprelianingsih yang telah berjuang bersama – sama
dalam penyelesaian skripsi ini
Untuk sahabat saya Andi Eris Gista Aulia dan Tomi Syarif yang telah berjuang
bersama – sama dari SMA hingga kuliah, yang telah menemani saya dan
mendukung saya dari awal hingga akhir
Dan tidak lupa juga kepada teman – teman yang tidak dapat saya sebutkan satu
per satu yang sudah terlibat dan membantu selama 4 tahun perkuliahan saya
RINGKASAN
Puji syukur alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala
rahmat dan karunia-Nya serta shalawat dan salam kepada junjungan kita Nabi
Muhammad SAW yang telah memberikan teladan kepada kita semua sehingga
pada kesempatan ini penulis mampu menyelesaikan skripsi dengan judul
“Analisis Diversifikasi Ketersediaan Pangan dan Indikator Penyerapan Pangan di
Kabupaten Sidoarjo”.
Kabupaten Sidoarjo menjadi daerah dengan kawasan industri paling padat di
Jawa Timur. Sehingga penting untuk mengetahui tingkat diversifikasi
ketersediaan pangan yang ada di kawasan tersebut apakah pangannya beragam
atau tidak.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi diversifikasi
ketersediaan pangan dan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara pola
pangan harapan dengan indikator penyerapan pangan di Kabupaten Sidoarjo.
Penulis berharap semoga penelitian ini dapat menjadi langkah awal yang
baik dalam kegiatan penelitian dan penulisan skripsi kedepannya dan dapat
memberikan manfaat bagi semua pihak
Penulis
RIWAYAT HIDUP
Halaman
DAFTAR ISI ........................................................................................ 12
DAFTAR TABEL ................................................................................. 14
DAFTAR GAMBAR ............................................................................. 15
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................ 16
I. PENDAHULUAN ....................... Error! Bookmark not defined.
1.1 Latar Belakang .................... Error! Bookmark not defined.
1.2 Rumusan Masalah ............... Error! Bookmark not defined.
1.3 Tujuan Penelitian................. Error! Bookmark not defined.
1.4 Kegunaan Penelitian ............ Error! Bookmark not defined.
II. TINJAUAN PUSTAKA ............. Error! Bookmark not defined.
2.1 Telaah Penelitian Terdahulu Error! Bookmark not defined.
2.2 Tinjauan Pangan .................... Error! Bookmark not defined.
2.3 Tinjauan Ketahanan Pangan .. Error! Bookmark not defined.
2.4 Pengukuran Diversifikasi Pangan ........ Error! Bookmark not
defined.
2.5 Estimasi atau Peramalan........ Error! Bookmark not defined.
2.5.1 Metode Estimasi atau Peramalan Error! Bookmark not
defined.
2.5.2 Metode Prediksi Regresi Non Linier Error! Bookmark
not defined.
2.6 Korelasi ................................. Error! Bookmark not defined.
III. KERANGKA KONSEP PENELITIAN .... Error! Bookmark not
defined.
3.1 Kerangka Pemikiran .............. Error! Bookmark not defined.
3.2 Hipotesis Penelitian ............... Error! Bookmark not defined.
3.3 Batasan Masalah .................... Error! Bookmark not defined.
3.4 Definisi Operasional .............. Error! Bookmark not defined.
IV. METODE PENELITIAN............. Error! Bookmark not defined.
4.1 Metode Penentuan Lokasi Penelitian ... Error! Bookmark not
defined.
4.2 Teknik Pengumpulan Data .... Error! Bookmark not defined.
4.3 Teknik Anailsis Data ............. Error! Bookmark not defined.
4.3.1 Pola Pangan Harapan (PPH) ....... Error! Bookmark not
defined.
4.3.2 Estimasi Skor Pola Pangan Harapan Ideal ............ Error!
Bookmark not defined.
4.3.3 Kolerasi antara PPH dengan Indikator Penyerapan Pangan Error!
Bookmark not defined.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN....................................................... 43
5.1 Kondisi Umum Wilayah...... Error! Bookmark not defined.
5.1.1 Kondisi Geografis ...... Error! Bookmark not defined.
5.1.2 Kependudukan ........... Error! Bookmark not defined.
5.1.3 Ketersediaan Pangan di Kabupaten Sidoarjo Tahun
2017 ........................... Error! Bookmark not defined.
5.1.4 Perikanan dan Peternakan ......... Error! Bookmark not
defined.
5.2 Kondisi Diversifikasi Ketersediaan Pangan di Kabupaten
Sidoarjo ............................... Error! Bookmark not defined.
5.3 Estimasi Skor Pola Pangan Harapan Ideal Error! Bookmark
not defined.
5.4 Hubungan Antara Pola Pangan Harapan (PPH) dengan
Indikator Penyerapan Pangan Error! Bookmark not defined.
5.4.1 Hubungan Antara Pola Pangan Harapan (PPH)
dengan Angka Harapan Hidup (AHH) Error! Bookmark
not defined.
5.4.2 Hubungan Antara Pola Pangan Harapan (PPH)
dengan Status Balita Gizi Buruk Error! Bookmark not
defined.
5.4.3 Hubungan Antara Pola Pangan Harapan (PPH)
dengan Angka Kematian Bayi .. Error! Bookmark not
defined.
VI. PENUTUP ................................... Error! Bookmark not defined.
6.1 Kesimpulan.......................... Error! Bookmark not defined.
6.2 Saran .................................... Error! Bookmark not defined.
DAFTAR PUSTAKA ........................... Error! Bookmark not defined.
DAFTAR TABEL
a) Padi-padian
b) Akar-akaran, umbi-umbian dan pangan berpati
c) Kacang-kacangan dan biji-bijian berminyak
d) Sayur-sayuran
e) Buah-buahan
f) Pangan hewani
g) Lemak dan minyak
h) Gula dan sirop
Ada beberapa hal penting dalam mengatasi permasalahan pangan di Indonesia
(Purwaningsih:2008:3) yaitu :
1) Ketersediaan pangan
Negara berkewajiban untuk menjamin ketersediaan pangan dalam jumlah yang cukup
(selain terjamin mutunya) bagi setiap warga negara, karena pada dasarnya setiap warga
negara berhak atas pangan bagi keberlangsungan hidupnya. Penyediaan pangan dalam negeri
harus diupayakan melalui produksi dalam negeri dari tahun ke tahun meningkat seiring
dengan adanya pertumbuhan penduduk.
2) Kemandirian pangan
Kemandirian pangan suatu negara dalam memenuhi kebutuhan rakyatnya merupakan
indikator penting yang harus diperhatikan, karena negara yang berdaulat penuh adalah yang
tidak tergantung (dalam bidang politik, keamanan, ekonomi, dan sebagainya) pada negara
lain.
3) Keterjangkauan pangan
Keterjangkaun pangan atau aksesibilitas masyarakat (rumah tangga) terhadap bahan
sangat ditentukan oleh daya beli, dan daya beli ini ditentukan oleh besarnya pendapatan dan
harga komditas pangan.
4) Konsumsi pangan
Konsumsi pangan berkaitan dengan gizi yang cukup dan seimbang. Tingkat danpola
konsumsi pangan dan gizi dipengaruhi oleh kondisi ekonomi,sosial, dan budaya setempat.
Maxwell, 1992 dalam Safa’at, 2013 mengusulkan empat elemen ketahanan pangan
berkelanjutan (sustainable food security) di level keluarga, yakni: pertama, kecukupan
pangan, yang didefinisikan sebagai jumlah kalori yang dibutuhkan untuk kehidupan yang
aktif dan sehat. Kedua, akses atas pangan, yang didefinisikan sebagai hak (entitlements)
untuk berproduksi, membeli atau menukarkan (exchange) pangan ataupun menerima sebagai
pemberian (transfer). Ketiga ketahanan, yang didefinisikan sebagai keseimbangan antara
kerentanan, resiko dan jaminan pengaman sosial. Keempat, fungsi waktu manakala ketahanan
pangan dapat bersifat kronis, transisi dan/atau siklus.
Secara umum, ketahanan pangan mencakup 4 aspek, yaitu kecukupan (sufficiency),
akses (access), keterjaminan (security), dan waktu (time) (Baliwaty , 2004). Dengan adanya
aspek tersebut maka ketahanan pangan dipandang menjadi suatu sistem, yang merupakan
rangkaian dari tiga komponen utama yaitu ketersediaan dan stabilitas pangan (food
availability dan stability), kemudahan memperoleh pangan (food accessibility) dan
pemanfaatan pangan.
Terwujudnya ketahanan pangan merupakan hasil kerja dari suatu sistem yang terdiri
dari berbagai subsistem yang saling berinteraksi, yaitu subsistem ketersediaan mencakup
pengaturan kestabilan dan kesinambungan penyediaan pangan. Ketersediaan pangan
menyangkut masalah produksi, stok, impor dan ekspor, yang harus dikelola sedemikian rupa,
sehingga walaupun produksi pangan sebagaian bersifat musiman, terbatas dan tersebar antar
wilayah, pangan yang tersedia bagi keluarga harus cukup volume dan jenisnya, serta stabil
dari waktu kewaktu.
Ketahanan pangan terdiri dari tiga subsistem utama yaitu ketersediaan, akses, dan
penyerapan pangan, sedangkan status gizi merupakan outcome dari ketahanan pangan
(USAID, 1999 dalam Safa’at; 2013). Salah satu subsistem tersebut tidak terpenuhi maka
suatu negara belum dapat dikatakan mempunyai ketahanan pangan yang baik. Bagan
subsistem ketahanan pangan ditampilkan pada Gambar 1 berikut:
Ketersediaan pangan
(food availability)
Penyerapan pangan
(food utilization)
Dimana :
IEK = indeks Entropy untuk mengukur diversifikasi pangan karbohidrat.
IEL = indeks Entropy untuk mengukur diversifikasi pangan lemak.
IEP = indeks Entropy untuk mengukur diversifikasi pangan protein.
IE = indeks Entropy untuk mengukur diversifikasi pangan keseluruhan.
Ki = nilai kandungan karbohidrat dari komoditas pangan jenis i.
Ci = konsumsi sumber komoditas pangan jenis i.
Li = nilai kandungan lemak dari komoditas pangan jenis i.
Pi = nilai kandungan protein dari komoditas pangan jenis i.
Angka Indeks Entropy (IE) menunjukkan tingkat keragaman, sehingga semakin tinggi
nilai IE, mengindikasikan semakin tinggi pula tingkat keberagaman (diversitas) nilai yang
diukur. Dengan mengetahui proporsi dari setiap nilai gizi seperti karbohidrat, lemak, dan
protein pada pola pangan yang dikonsumsi seseorang maka dapat diketahui bagaimana nilai
tingkat diversifikasi nilai gizinya. Sedangkan untuk mendapatkan nilai diversifikasi
keseluruhan pada pola konsumsi pangan dengan cara menjumlahkan tingkat diversifikasi
pangan karbohidrat, tingkat diversifikasi pangan lemak, dan tingkat diversifikasi pangan
protein lalu kemudian dibagi 3.
2. Metode kuantitatif
Metode kuantitatif adalah metode yang didasarkan atas data kuantitatif masa lalu. Hasil
prediksi yang dibuat sangat bergantung pada metode yang dipergunakan dalam prediksi
tersebut. Baik tidaknya metode yang digunakan tergantung dengan perbedaan atau
penyimpangan antara hasil ramalan dengan kenyataan yang terjadi. Semakin kecil
penyimpangan antara hasil ramalan dengan kenyataan yang akan terjadi maka semakin baik
pula metode yang digunakan
𝑝̂
ln ( ) = 𝐵0 + 𝐵1 𝑋
1 − 𝑝̂
Di mana:
Ln : Logaritma Natural.
B0 + B1X : Persamaan yang biasa dikenal dalam OLS.
Sedangkan P Aksen adalah probabilitas logistik yang didapat rumus sebagai berikut:
exp(𝐵0 + 𝐵1 𝑋) 𝑒 𝐵0 +𝐵1𝑋
𝑝̂ = =
1 + exp(𝐵0 + 𝐵1 𝑋) 1 + 𝑒 𝐵0 +𝐵1𝑋
Di mana:
exp atau ditulis “e” adalah fungsi eksponen.
(Perlu diingat bahwa exponen merupakan kebalikan dari logaritma natural. Sedangkan
logaritma natural adalah bentuk logaritma namun dengan nilai konstanta 2,71828182845904
atau biasa dibulatkan menjadi 2,72)
2.6 Korelasi
Uji korelasi adalah metode pengujian yang digunakan untuk mengetahui hubungan
antara dua variabel yang datanya kuntitatif. Selain dapat mengetahui derajat keeratan
hubungan korelasi juga dapat digunakan untuk mengetahui arah hubungan dua variabel
numerik, misalnya apakah hubungan berat badan dan tinggi badan mempunyai derajat yang
kuat atau lemah dan juga apakah kedua variabel tersebut berpola positif atau negatif.
(Armaidi, 2010).
Untuk mencari korelasi antara variabel Y dan X dapat dirumuskan sebagai berikut :
n ∑ 𝑋𝑌 − (∑ 𝑋)(∑ 𝑌)
𝑟𝑦𝑥 =
({n ∑ 𝑋 2 − (∑ 𝑋)2 }{𝑛 ∑ 𝑌 2 − (∑ 𝑌)2 })
Dua variabel dikatakan berkorelasi apabila perubahan pada suatu variabel akan diikuti
oleh perubahan variabel lain, baik dengan arah yang sama maupun dengan arah yang
berlawanan. Hubungan antara variabel dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis hubungan,
sebagai berikut :
1. Korelasi Positif Terjadinya korelasi positif apabila perubahan pada variabel yang satu
diikuti dengan perubahan variabel yang lain dengan arah yang sama atau berbanding
lurus. Artinya, apabila variabel yang satu meningkat, maka akan diikuti dengan
peningkatan variabel yang lain.
2. Korelasi Negatif Korelasi negatif terjadi apabila pada variabel yang satu diikuti dengan
perubahan variabel yang lain dengan arah yang berlawanan atau berbanding terbalik.
Artinya, apabila variabel yang satu meningkat, maka akan diikuti dengan penurunan
variabel yang lain dan sebaliknya.
3. Korelasi Nihil Korelasi nihil terjadi apabila perubahan pada variabel yang satu diikuti
pada perubahan variabel yang lain dengan arah yang tidak teratur (acak). Nilai koefisien
korelasi adalah -1 ≤ r ≤ 1. Jika dua variabel berkorelasi negatif maka nilai koefisien
korelasi akan mendekati -1. Jika dua variabel tidak berkorelasi akan mendekati 0.
Sedangkan jika dua variabel berkorelasi positif maka koefisien korelasi akan mendekati
+1.
Untuk lebih memudahkan mengetahui seberapa jauh derajat keeratan antara variabel
tersebut, dapat dilihat pada perumusan berikut ini:
-1,00 ≤ r ≤ -0,80 ,berarti korelasi kuat secara negatif
-0,79 ≤ r ≤ -0,50 ,berarti korelasi sedang secara negatif
-0,49 ≤ r ≤ 0,49 ,berarti berkorelasi lemah
0,50 ≤ r ≤ 0,79 ,berarti berkorelasi sedang secara positif
0,80 ≤ r ≤ 1,0 ,berarti berkorelasi kuat secara positif.
III. KERANGKA KONSEP PENELITIAN
Ketahanan Pangan
Kuantitas Pangan
(NBM)
a. Energi Ketersediaan
b. Protein Pangan
c. Lemak
d. Vitamin
e. Mineral
Indikator Penyerapan Kualitas
Pangan Pangan (PPH)
a. Angka Harapan Skor PPH
Hidup
b. Balita Gizi Buruk
c. Angka Kematian
Bayi
Analisis
Korelasi
Diversifikasi
Ketersediaan Pangan
Keterangan :
Dianalisis
Tidak dianalisis
Ho; r = 0
HA; r ≠ 0
Dalam uji hipotesis digunakan taraf batas kesalahan α = 20%. Jika p-value < 20%, maka
keputusan menolak Ho dan menerima HA, artinya ada korelasi diantara kedua variabel, dan
sebaliknya, jika p-value > 20%, maka keputusan menerima Ho, artinya tidak ada korelasi
diantara kedua variabel tersebut.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1.2 Kependudukan
Data Kependudukan, utamanya diperoleh melalui Sensus Penduduk, Registrasi
Penduduk dan Survei Kependudukan. Sensus Penduduk terakhir dilaksanakan Tahun 2010.
Jumlah penduduk tercatat sebanyak 1.945.252 jiwa. Terjadi kenaikan sebesar 382.237 jiwa
atau 24,45 persen dari hasil Sensus Penduduk Tahun 2000. Jumlah penduduk terbesar di
Kecamatan Waru, diikuti Kecamatan Taman dan Kecamatan Sidoarjo. Kecamatan Jabon
merupakan kecamatan dengan jumlah penduduk paling kecil diikuti Kecamatan Krembung.
Sex ratio penduduk hasil Sensus Penduduk 2010 sebesar 101,05 persen. Hal ini berarti
jumlah penduduk laki-laki lebih banyak daripada perempuan. Sedangkan hasil registrasi
penduduk Dinas Catatan Sipil Tahun 2016 mencatat bahwa jumlah penduduk sebanyak
2.223.002 jiwa, mengalami kenaikan 49,93 persen dibandingkan dengan tahun 2015.
Penduduk yang tercatat adalah penduduk yang terdaftar dalam Kartu Keluarga (KK) dan atau
memiliki KTP di Sidoarjo. Perkembangan penduduk menurut kecamatan yang datang dan
pindah pada tahun 2016 mengalami kenaikan 9,59 persen dibanding tahun 2015
90
78,88
80
70 74,5
68,97 71,86
60 65,2
Skor PPH
50
40
Skor PPH
Column2
30
20
10
0
2013 2014 2015 2016 2017
Tahun
50
40 Series1
Skor PPH
30
20
10
0
2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018
Tahun
Berdasarkan hasil analisis pada Gambar 4 dapat diketahui hasil estimasi skor Pola
Pangan Harapan (PPH). Hasil dari gambar tersebut mengetahui pada tahun ke-berapa skor
PPH mencapai nilai 100 (kualitas pangan tinggi). Dapat dilihat pada Gambar 4 skor PPH
yang mencapai nilai 100 terdapat pada tahun di 2028, yang dimana menandakan bahwa
kualitas ketersediaan pangan di Kabupaten Sidaorjo beragam (ideal). Sesuai dengan
pernyataan (Hardinsyah et al, 2002) diversifikasi pangan dari sembilan kelompok pangan
tersebut dikatakan efektif (ideal) jika skor PPH mencapai 100. Jika didapati skor PPH di
bawah 100, maka dapat dikatakan bahwa diversifikasi pangan masih belum efektif (belum
ideal).
Diversifikasi pangan dari sembilan kelompok pangan tersebut dikatakan efektif jika
skor PPH mencapai 100. Jika didapati skor PPH di bawah 100, maka dapat dikatakan bahwa
diversifikasi pangan masih belum efektif. Selain itu, yang mempengaruhi keberagaman
pangan yaitu proksi jumlah penduduk, yang dimana dengan peningkatan jumlah penduduk
mempengaruhi pola pangan harapan (PPH). Pertumbuhan penduduk juga menjadi masalah
bagi pemerintah karena hal ini menyebabkan semakin meningkatnya kebutuhan akan pangan.
Pertumbuhan penduduk yang tidak diikuti oleh peningkatan produksi dan kapasitas produksi
akan menyebabkan terjadinya kerawanan pangan. Omuewu et al. (2012) menjelaskan bahwa
rumah tangga dengan anggota lebih sedikit (1-4 orang) lebih tahan pangan dari pada rumah
tangga yang memiliki jumlah anggota keluarga yang lebih banyak (lebih dari 4 orang). Hal
ini dikarenakan semakin banyaknya jumlah mulut yang membutuhkan makan.
Berdasarkan Gambar 4 pada tahun 2028 mencapai PPH ideal yaitu 100,2, juga
disebabkan dari konsumsi atau produksinya. Karena konsumsi atau produksi dapat merubah
pola pangan harapan (PPH), sesuai dengan pernyataan Jelliffe (1989) Produksi pangan
merupakan rantai awal pada rantai pangan WHO 1976. Rantai pangan WHO menggambarkan
alur pangan sejak diproduksi hingga dikonsumsi yang nantinya akan menentukan status gizi.
Dirantai pangan tersebut terdapat variabel ketersediaan pangan. Dengan potensi sumber daya
yang beragam, Indonesia mempunyai peluang besar untuk meningkatkan produksi pangan.
Skor Pola Pangan Harapan (PPH) merupakan instrumen sederhana untuk menilai situasi
konsumsi pangan penduduk baik jumlah maupun komposisi pangan menurut jenis pangan
yang dinyatakan dalam skor PPH. Skor ini merupakan indikator mutu gizi dan keragaman
konsumsi pangan (Kementerian Pertanian, 2010).
5.4 Hubungan Antara Pola Pangan Harapan (PPH) dengan Indikator Penyerapan
Pangan
Ketahanan pangan merupakan suatu sistem ekonomi pangan yang terintegrasi yang
terdiri atas berbagai subsistem (Suryana, 2003). Ketahanan pangan setidaknya mengandung
dua unsur pokok, yaitu ketersediaan pangan yang cukup dan aksebilitas masyarakat terhadap
pangan yang memadai, dimana kedua unsur tersebut mutlak terpenuhi untuk mencapai derajat
kesehatan dan kesejahteraan masyarakat (Hasan, 2006). Ketahanan pangan merupakan satu
kesatuan utuh atas dimensi ketersediaan, aksebilitas, dan stabilitas harga pangan
(Arifin,2005). Sedangkan Dewan Ketahanan Pangan (DKP) bersama World Food Program
(WFP) telah merumuskan indikatorindikator ketahanan pangan yang dikelompokkan ke
dalam tiga faktor, yaitu faktor ketersediaan, akses, dan pemanfaatan pangan (DKP, 2009).
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sistem ketahanan pangan terdiri dari tiga subsistem
utama yaitu ketersediaan, akses, dan penyerapan pangan (Hanani, 2009).
Penyerapan pangan (food utilization) yaitu penggunaan pangan untuk kebutuhan hidup
sehat yang meliputi kebutuhan energi dan gizi, air dan kesehatan lingkungan. Efektifitas dari
penyerapan pangan tergantung pada pengetahuan rumah tangga atau individu, sanitasi dan
ketersediaan air, fasilitas dan layanan kesehatan, serta penyuluhan gizi dan pemeliharaan
balita (Riely et all, 1999).
Indikator penyerapan pangan merupakan suatu indikator atau sub sistem yang harus
dipenuhi secara utuh salah satunya seperti energi, gizi, dan kesehatan. Indikator penyerapan
pangan merupakan outcome dari ketersediaan pangan atau ketahanan pangan, yang dimana
ketika ketahanan pangannya bagus maka indikator penyerapan pangan seperti Angka
Harapan Hidup menjadi meningkat, Balita Gizi Buruk semakin menurun, dan Angka
Kematian Bayi semakin berkurang.
Ketersediaan pangan merupakan kebutuhan dasar yang mampu mengatasi masalah
terhadap indikator penyerapan pangan, yang dimana jika ketersediaan pangannya beragam
dan penduduknya mampu mengakses maka outcomenya akan membaik, salah satunya yaitu
Angka Harapan Hidup, Balia Gizi Buruk, dan Anga Kematian bayi. Faktor lain yang
mempengaruhi indikator penyerapan pangan selain ketersediaan pangan yaitu seperti
ketersediaan dari penyediaan fasilitas kesehatan dan sebagainya. Namun, karena pangan
merupakan kebutuhan dasar yang dimana kalau kebutuhan dasar tidak terpenuhi maka bisa
menyebabkan indikator penyerapan pangannya semakin memburuk.
5.4.1 Hubungan Antara Pola Pangan Harapan (PPH) dengan Angka Harapan Hidup
(AHH)
Angka Harapan Hidup di Kabupaten sidoarjo dari tahun 2007 – 2016 mengalami
peningkatan (BPS Kabupaten Sidoarjo, 2016). Angka Harapan Hidup (AHH) merupakan alat
untuk mengevaluasi kinerja pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan penduduk pada
umumnya, dan meningkatkan derajat kesehatan pada khususnya. Angka harapan hidup yang
rendah di suatu daerah harus meningkatkan aspek aspek seperti pembangunan kesehatan, dan
sosial lainnya termasuk kesehatan lingkungan, kecukupan gizi dan kalori termasuk program
pemberantas kemiskinan.
Tabel 7. Angka Harapan Hidup di Kabupaten Sidoarjo Tahun 2017
Tahun AHH (tahun)
2013 71,43
2014 71,65
2015 73,63
2016 73,67
Sumber : Sumber : Dinas Kesehatan Kabupaten Sidoarjo, 2017 (Diolah)
Berdasarkan data pada Tabel 7 dapat diketahui bahwa Angka Harapan Hidup setiap
tahunnya mengalami peningkatan. Hal ini dikarenakan skor PPH meningkat setiap tahunnya,
yang dimana semakin meningkat nilai skor PPH maka semakin meningkat Angka Harapan
Hidupnya. Rata – rata panjangnya usia manusia pada tahun 2013 yaitu 71,43 tahun dan
mengalami peningkatan sampai tahun 2016 rata – rata panjangnya usia manusia yaitu 73,67
tahun. Analisis hubungan yang dilakukan di penelitian ini digunakan untuk mengetahui
keeratan hubungan antara dua variabel dan untuk mengetahui arah hubungan yang terjadi.
Hubungan variabel tersebut adalah antara Pola Pangan Harapan (PPH) dengan Angka Hapan
Hidup (AHH). Hasil korelasi disajikan pada Tabel 10 sebagai berikut:
Tabel 8. Hubungan Antara Pola Pangan Harapan (PPH) dan Angka Harapan Hidup (AHH)
SKOR PPH AHH
SKOR PPH Pearson Correlation 1 .830
Sig.(2-tailed) .170
N 4 4
AHH Pearson Correlation .830 1
Sig.(2-tailed) .170
N 4 4
Berdasarkan hasil analisis pada Tabel 8 didapat nilai korelasi antara skor PPH dan
AHH sebesar 0,830. Untuk arah hubungan kedua variabel tersebut sendiri adalah positif. Hal
ini dikarenakan nilai r bertanda positif yang menunjukkan bahwa, semakin besar nilai PPH
maka semakin besar pula nilai AHH atau sebaliknya, semakin kecil nilai PPH, maka semakin
kecil pula nilai AHH. Hal ini sesuai dengan pernyatan Umar (2002) yang menyatakan bahwa
jika nilai r > 0, artinya telah terjadi hubungan linier positif.
Berdasarkan hasil analisis pada Tabel 8 juga dapat diketahui bahwa skor PPH dengan
AHH memiliki hubungan linier yang kuat, yang dimana jika nilai skor PPH meningkat makan
nilai AHH juga meningkat. Nilai sig.(2-tailed) sebesar 0,17 yang dimana tingkat
kepercayaannya sebesar 83%, karena tingkat kepercayaannya masih diatas 80% maka
dinyatakan signifikan dan nilai 0,830 dinyatakan nyata.
Hal ini tentunya sesuai dengan pendapat FAO 1997 yang menyatakan bahwa hasil yang
diharapkan adalah manusia sehat dan produktif (angka harapan hidup tinggi). Selain itu,
status gizi adalah outcome ketersediaan pangan yang merupakan cerminan dari kulaitas hidup
seseorang. Umumnya status gizi ini diukur dengan angka harapan hidup (AHH), tingkat gizi
balita dan kematian bayi. Berkenaan dengan perilaku konsumsi pangan perlu mendapatkan
perhatian mengingat ketersediaan gizi berimbang dan makanan yang aman dikonsumsi
menjadi aspek yang kritis dalam upaya membentuk sumberdaya manusia yang sehat dan
produktif. Berdasarkan pendapat ini, terdapat korelasi/hubungan antara PPH dengan AHH
yang ditunjukkan dengan nilai korelasi yang signifikan (< 20%).
Berbagai penelitian telah menganalisis situasi keragaman ketersediaan pangan dan
manfaat mengonsumsi anekaragam pangan bagi pemenuhan kebutuhan gizi dan perbaikan
kualitas gizi makanan (Hardinsyah & Heywood 1993). Selain itu ada pula penelitian tentang
manfaat mengonsumsi anekaragam makanan bagi kesehatan dan hasilnya menunjukkan
bahwa skor keragaman konsumsi pangan yang tinggi mengurangi risiko berbagai jenis
penyakit tidak menular (Hardinsyah dan Mark, 1996; Moore,et al., 2002) dan
memperpanjang usia harapan hidup atau mengurangi risiko kematian (Kant et al., 1993;
Trichopoulou, et al., 1996).
Ketersediaan pangan menurut Patrick Webb and Beatrice Rogers (2003) merupakan
ketersediaan pangan dalam jumlah yang cukup aman dan bergizi untuk semua orang dalam
suatu negara baik yang berasal dari produksi sendiri, impor, cadangan pangan maupun
bantuan pangan. Ketersediaan pangan ini diharapkan mampu mencukupi pangan yang
didefinisikan sebagi jumlah kalori yang dibutuhkan untuk kehidupan yang aktif dan sehat.
Begitu juga dengan Pola Pangan Harapan (PPH) yang merupakan susunan beragam pangan
yang didasarkan pada sumbangan energi dari kelompok pangan utama (baik secara absolut
maupun relatif) dari suatu pola ketersediaan dan atau konsumsi pangan. FAO-RAPA (1989)
mendefinisikan PPH adalah komposisi kelompok pangan utama bila dikonsumsi dapat
memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi lainnya.
Berdasarkan pembahasan diatas, hubungan antara PPH dengan AHH adalah positif
yaitu terdapat hubungan antara PPH dengan AHH. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan
yang dimana pada pencapaian utama ketersediaan pangan adalah meningkatkan angka
harapan hidup (AHH). Jika teraksesnya ketersediaan pangan maka tingkat angka harapan
hidup (AHH) semakin baik.
5.4.2 Hubungan Antara Pola Pangan Harapan (PPH) dengan Status Balita Gizi Buruk
Salah satu permasalahan kesehatan di Indonesia adalah gizi buruk. Gizi buruk
merupakan sebuah keadaan dimana seseorang mengalami kekurangan nutrisi atau kebutuhan
nutrisi yang masih dibawah standar yang dialami oleh balita (anak di bawah usia balita lima
tahun). Pada usia balita, anak-anak membutuhkan dukungan nutrisi yang lengkap untuk
pertumbuhan dan perkembangan tubuh dan otak. Sebagian besar balita dengaan gizi buruk
memiliki pola makan yang kurang beragam. Pola makanan yang kurang beragam memiliki
arti bahwa balita tersebut mengkonsumsi hidangan dengan komposisi yang tidak memenuhi
gizi seimbang.
Tabel 9. Prevelensi Status Balita Gizi Buruk di Kabupaten Sidoarjo Tahun 2017
Tahun Balita Gizi Buruk (%)
2013 1,22
2014 1,02
2015 0,7
2016 0,8
Sumber : Dinas Kesehatan Kabupaten Sidoarjo, 2017 (Diolah)
Prevelensi balita gizi buruk menunjukkan penurunan setiap tahunnya. Hal ini
dikarenakan nilai skor PPH semakin meningkat, yang dimana semakin meningkatnya nilai
skor PPH maka semakin menurunnya status balita gizi buruk. Pada tahun 2013 prevelensi
balita gizi buruk sebesar 1,22 %, mengalami penurunan pada tahun 2014 sebesar 1,02 %.
Prevelensi balita gizi buruk mengalami penurunan pada tahun 2014 ke tahun 2015 yaitu
sebesar 0,7%, sementara pada tahun 2016 mengalami peningkatan sebesar 0,8%.
Perkembangan data persentase balita gizi buruk dapat dilihat pada pertumbuhan persentase
balita gizi buruk. Persentase balita gizi buruk tersebut disajikan dalam bentuk grafik pada
Gambar 5.
1,40
1,20 1,22
1,00 1,02
Status Gizi Buruk
0,80 0,8
0,7
0,60 Balita Gizi Buruk
0,40
0,20
0,00
2012 2013 2014 2015 2016 2017
Tahun
Berdasarkan dari keseragaman susunan hidangan pangan, pola makanan yang meliputi
gizi seimbang adalah jika mengandung unsur zat tenaga yaitu makanan pokok, zat
pembangun dan pemelihara jaringan yaitu lauk pauk dan zat pengatur yaitu sayur dan buah.
Analisis hubungan yang dilakukan di penelitian ini digunakan untuk mengetahui keeratan
hubungan antara dua variabel dan untuk mengetahui arah hubungan yang terjadi. Hubungan
variabel tersebut adalah antara Pola Pangan Harapan (PPH) dengan Balita Gizi Buruk Hasil
korelasi disajikan pada Tabel 10 sebagai berikut:
Tabel 10. Hubungan Antara PPH dengan Balita Gizi Buruk
SKOR PPH Balita Gizi Buruk
SKOR PPH Pearson Correlation 1 -.830
Sig.(2-tailed) .170
N 4 4
Balita Gizi Buruk Pearson Correlation -.830 1
Sig.(2-tailed) .170
N 4 4
Berdasarkan hasil analisis pada Tabel 10 didapat nilai korelasi antara skor PPH dan
Balita Gizi Buruk sebesar -0,830. Untuk arah hubungan kedua variabel tersebut sendiri
adalah negatif. Hal ini dikarenakan nilai r bertanda negatif yang menunjukkan bahwa,
semakin kecil nilai PPH maka semakin besar nilai Balita Gizi Buruk atau sebaliknya,
semakin besar nilai PPH maka semakin kecil nilai Balita Gizi Buruk. Hal ini sesuai dengan
pernyatan Umar (2002) yang menyatakan bahwa jika nilai r < 0, artinya telah terjadi
hubungan linier negatif.
Berdasarkan hasil analisis pada Tabel 10 juga dapat diketahui bahwa skor PPH dengan
Balita Gizi Buruk memiliki hubungan linier yang kuat namun berkebalikan, yang dimana jika
nilai skor PPH meningkat makan nilai Balita Gizi Buruk menurun. Nilai sig.(2-tailed) sebesar
0,17 yang dimana tingkat kepercayaannya sebesar 83%, karena tingkat kepercayaannya
masih diatas 80% maka dinyatakan signifikan dan nilai -0,830 dinyatakan nyata.
Berdasarkan pembahasan diatas terdapat hubungna antara Pola Pangan Hrapan (PPH)
dengan Balita Gizi Buruk, karena semakin beragamnya pangan makan nilai Balita Gizi
Buruknya semakin menurun (negatif). Sesuai pernyataan Novitasari (2012) rendahnya
kualitas dan kuantitas ketersediaan pangan, merupakan penyebab langsung dari kekurangan
gizi pada anak balita dan sebaliknya semakin tinggi kualitas dan kuantitas ketersediaan
pangan, maka akan menyebabkan minimnya kekurangan gizi pada balita. Keadaan sosial
ekonomi yang rendah berkaitan dengan masalah kesehatan yang dihadapi karena
ketidaktahuan dan ketidakmampuan untuk mengatasi berbagai masalah tersebut. Balita
dengan gizi buruk pada umumnya hidup dengan makanan yang kurang bergizi, begitu juga
sebaliknya semakin beragamnya gizi pada anak balita tidak akan mengakibatkan gizi buruk
pada balita. Selain itu, sesuai dengan pernyataan FAO 1997 yang menyatakan bahwa Capaian
utama ketersediaan pangan meliputi peningkatan status gizi (penurunan kelaparan, gizi
kurang dan gizi buruk).
Salah satu indikator yang mengakibatkan gizi buruk pada balita adalah kekurangnnya
ketersediaan pangan yang beragam dan masih kurang karena belum mampu mempertahankan
pangannya. Ketersediaan (food availabillity) yaitu ketersediaan pangan dalam jumlah yang
cukup aman dan bergizi untuk semua orang baik yang berasal dari produksi sendiri, impor,
cadangan pangan maupun bantuan pangan. Ketersediaan pangan ini diharapkan mampu
mencukupi pangan yang didefenisikan sebagai jumlah kalori yang dibutuhkan untuk
kehidupan yang aktif dan sehat (Hanani, 2012).
5.4.3 Hubungan Antara Pola Pangan Harapan (PPH) dengan Angka Kematian Bayi
Angka kematian bayi (AKB) menunjukkan keberhasilan pelayanan kesehatan suatu
wilayah. Angka Kematian Bayi (AKB) adalah jumlah penduduk yang meninggal sebelum
mencapai usia 1 tahun. Angka Kematian Bayi merupakan salah satu keberhasilan
pembangunan kesehatan yang telah direncanakan dalam sistem kesehatan nasional dan
bahkan dipakai sebagai indikator sentral keberhasilan pembangunan kesehatan di Indonesia
(Bachreon,1988). Menurut data World Health Organization (WHO) 2003, Angka Kematian
Bayi di Indonesia sebagian besar terkait dengan faktor nutrisi yaitu sebesar 53%.
Angka kematian bayi (AKB) menunjukkan penurunan secara signifikan. Pada tahun
2013 angka kematian bayi sebesar 21,24 per 1000 kelahiran hidup. Setelah itu terjadi
penuruan pada tahun 2014 sebesar 20,93 per 1000 kelahiran hidup. Pada tahun 2015 sebesar
20,63 per 1000 kelahiran hidup dan mengalami penuruna pada tahun 2016 sebesar 20,26 per
1000 kelahiran hidup. Pertumbuhan data tersebut jika disajikan dalam bentuk grafik dapat
dilihat pada Gambar 6 .
21,4
21,24
21,2
21
20,93
20,8
AKB
20,6 20,63
20,4
20,26
20,2
2012 2013 2014 2015 2016 2017
Saat ini diperkirakan sekitar 50 persen penduduk Indonesia atau lebih dari 100 juta jiwa
mengalami beraneka masalah kekurangan gizi, yaitu gizi kurang dan gizi lebih. Masalah gizi
kurang sering luput dari penglihatan atau pengamatan biasa dan seringkali tidak cepat
ditanggulangi, padahal dapat memunculkan masalah besar. Selain gizi kurang, secara
bersamaan Indonesia juga mulai menghadapi masalah gizi lebih dengan kecenderungan yang
semakin meningkat dari waktu ke waktu. Dengan kata lain saat ini Indonesia tengah
menghadapi masalah gizi ganda. Secara perlahan kekurangan gizi akan berdampak pada
tingginya angka kematian ibu, bayi, dan balita, serta rendahnya umur harapan hidup
(UNNICEF,1990). Analisis hubungan yang dilakukan di penelitian ini digunakan untuk
mengetahui keeratan hubungan antara dua variabel dan untuk mengetahui arah hubungan
yang terjadi. Hubungan variabel tersebut adalah antara Pola Pangan Harapan (PPH) dengan
Angka Kematian Bayi. Hasil korelasi disajikan pada Tabel 12 sebagai berikut:
Tabel 12. Hubungan Antara Pola Pangan Harapan (PPH) dengan Angka Kematian Bayi
SKOR PPH Angka Kematian Bayi
SKOR PPH Pearson Correlation 1 -.659
Sig.(2-tailed) .341
N 4 4
Angka Kematian Pearson Correlation -.659 1
Bayi Sig.(2-tailed) .341
N 4 4
Berdasarkan hasil analisis pada Tabel 12 didapat nilai korelasi antara skor PPH dan
Angka Kematian Bayi sebesar -0,659. Untuk arah hubungan kedua variabel tersebut sendiri
adalah negatif. Hal ini dikarenakan nilai r bertanda negatif yang menunjukkan bahwa,
semakin kecil nilai PPH maka semakin besar nilai Angka Kematian Bayi atau sebaliknya,
semakin besar nilai PPH maka semakin kecil nilai Angka Kematian Bayi. Hal ini sesuai
dengan pernyatan Umar (2002) yang menyatakan bahwa jika nilai r < 0, artinya telah terjadi
hubungan linier negatif.
Berdasarkan hasil analisis pada Tabel 12 juga dapat diketahui bahwa hubungan antara
PPH dengan Angka Kematian Bayi dikatakan tidak signifikan, karena nilai sig.(2-tailed)
sebesar 0,341 yang dimana tingkat kepercayaannya sebesar 65,9%, karena tingkat
kepercayaannya dibawah 80% maka dapat disimpulkan bahwa kematian bayi tidak memiliki
hubungan dengan skor PPH.
Penyebab terjadinya kematian bayi tidak hanya disebabkan oleh pangannya, ada
beberapa penyebab kematian bayi terjadi yaitu sesuai dengan pernyataan UNICEF dan WHO
(2016: 13) gizi merupakan faktor utama kematian anak, penyakit dan kecacatan. Faktor yang
berhubungan dengan gizi berkontribusi sekitar 45% dari kematian balita, diantaranya berat
badan lahir rendah, kurang gizi, anak yang tidak diberi Air Susu Ibu (non ASI) dan
lingkungan tidak sehat. Anak kurang gizi memiliki risiko kematian lebih tinggi akibat infeksi
penyakit, seperti diare, pneumonia dan campak.
VI. PENUTUP
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Kualitas ketersediaan pangan di Kabupaten Sidoarjo pada tahun 2017 belum beragam
yang ditunjukkan dari skor PPH<100, dimana skor tersebut sebesar 74,5. Hal ini
dikarenakan beberapa kelompok pangan yakni padi-padian, umbi-umbian, pangan
hewani, buah/biji berminyak, gula serta buah dan sayur memiliki skor PPH di bawah
skor normatifnya.
2. Skor PPH di Kabupaten Sidoarjo akan mencapai skor PPH ideal pada tahun 2028, yang
dimana skor PPH telah mecapai 100.
3. Hubungan Pola Pangan Harapan (PPH) dengan Indikator Penyerapan Pangan
ditunjukkan oleh korelasi PPH dengan Angka Harapan Hidup (AHH), PPH dengan
Balita Gizi Buruk, dan PPH dengan Angka Kematian Bayi. Terdapat hubungan linear
yang kuat dan positif antara PPH dengan AHH pada tingkat kepercayaan sebesar 83%
dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0,83. Selain itu, terdapat juga hubungan linear
yang kuat dan negatif dengan tingkat kepercayaan sebesar 83% dengan nilai koefisien
korelasi sebesar -0,83. Sedangkan pada hubungan antara PPH dengan Angka Kematian
Bayi terdapat hubungan yang tidak signifikan.
6.2 Saran
Dengan masih relatif rendahnya keberagaman pangan (skor PPH <100) di Kabupaten
Sidoarjo maka upaya untuk meningkatkan keberagaman pangan terdapat 2 cara yaitu dengan
cara meningkatkan ketersediaan domestik melalui produksi dan perdagangan. Ketersediaan
domestik melalui produksi domestik dapat dilakukan pada komoditas yang masih
memungkinkan untuk produksi di domestik yaitu komoditas padi – padian seperti beras, dan
untuk gandum dilakukan perdagangan. Komoditas tebu, dan komoditas pangan hewani
seperti ikan, daging, susu, dan telur. Selain itu, beberapa komoditas buah yang masih bisa
memungkinkan untuk produksi domestik yaitu seperti alpukat, jeruk, jambu, mangga, pepaya,
sawo, semangka, belimbing, dan nangka untuk selebihnya seperti duku, durian, nanas,
rambutan salak, manggis, markisa, sirsak dan sukun yang tidak bisa diproduksi domestik
melakukan perdagangan melalui impor. Pada komoditas sayur seperti ketimun, kacang
panjang, tomat, cabe, terong, sawi, kangkung, dan bayam masih bisa di produksi domestik,
dan untuk bawang, kacang merah, kentang, kubis, wortel, labu, dan jamur dilakukan
perdagangan. Pada komoditas minyak dan lemak seperti kacang tanah, kopra, dan minyak
sapi, kerbau, kambing dan domba masih dapat meningkatkan produksi domestik, dan
selebihnya seperti minyak sawit, lemak lainnya melalui perdagangan. Sementara untuk
komoditas umbi – umbian dilakukan secara perdagangan dengan melakukan impor.
Dengan meningkatknya PPH Ketersediaan dapat menaikan Angka Harapan Hidup dan
menurunkan Balita Gizi Buruk, sehingga peningkatan PPH ketersediaan penting untuk
dilakukan agar outcome ketahanan pangan menjadi lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Faridi. 2016. Hubungan Pengeluaran, Skor Pola Pangan Harapan (PPH) Keluarga,
dan Tingkat Konsumsi Energi-Protein dengan Status Gizi Balita Usia 2-5 Tahun.
Skripsi. Universitas Muhammadiyah, Jakarta.
Algifari, 2000. Analisis Regresi, Teori, Kasus dan Solusi. Edisi Kedua. BPFE : Yogyakarta.
Anwar, K., Jufrrie, M., & Julia, M. 2005. Faktor Risiko Kejadian Gizi Buruk di Kabupaten
Lombok Timur, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Jurnal Gizi Klinik Indonesia, 2(3), 108-
116.
Ariani, Mewa. 2005. Diversifikasi Pangan di Indonesia: Antara Harapan dan Kenyataan.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor
Asmara, R., Hanani, N., & Purwaningsih, I. A. 2009. Pengaruh Faktor Ekonomi Dan Non
Ekonomi Terhadap Diversifikasi Pangan Berdasarkan Pola Pangan Harapan (Studi
Kasus Di Dusun Klagen, Desa Kepuh Kembeng, Kecamatan Peterongan, Kabupaten
Jombang). Agricultural Socio-Economics Journal, 9(1), 19-31.
Asparian, A. 2003. Hubungan Pengeluaran Pangan, Skor Pola Pangan Harapan (PPH) Dan
Tingkat Konsumsi Energi-Protein Dengan Status Gizi Balita Umur 2-4 Tahun Pada
Keluarga di Desa Terpencil (Studi Kasus di Desa Renah Pemetik Kecamatan Gunung
Kerinci-Kab. Kerinci Propinsi Jambi). Diss. Diponegoro University, 2003.
Balanza, et al. 2007. Trends in Food Availability Detemined by Food and Agriculture
Organization’s Food Balance Sheets in Mediterranean Europe in Comparison eith
Other Europe Areas. Public Health Nutrition, 10(2): 168-176.
BKP Jawa Timur. 2014. Rencana Strategis (RENSTRA) Badan Ketahanan Pangan Provinsi
Jawa Timur Tahun 2014-2019. http://bkp.jatimprov.go.id. Diakses tanggal 24
November 2017.
BPS Jawa Timur. 2016. Jumlah Penduduk dan Laju Pertumbuhan Penduduk Menurut
Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur, 2010, 2014, dan 2015. https://jatim.bps.go.id.
Diakses tanggal 15 Desember 2017.
2016. Angka Harapan Hidup Kabupaten/Kota di Jawa Timur 2010 - 2016.
https://jatim.bps.go.id. Diakses tanggal 27 Oktober 2017.
[DKP] Dewan Ketahanan Pangan. 2006. Kebijakan Umum Ketahanan Pangan 2006-2009.
Dewan Ketahanan Pangan : Jakarta.
Ediwiyati, R., Koestiono, D., & Setiawan, B. 2016. Analisis Ketahanan Pangan Rumah
Tangga (Studi Kasus pada Pelaksanaan Program Desa Mandiri Pangan di Desa Oro
Bulu Kecamatan Rembang Kabupaten Pasuruan). Agricultural Socio-Economics
Journal, 15(2), 85-93.
Fahriyah, F., & Nugroho, C. P. 2016. Analisis Neraca Bahan Makanan (NBM) Dan Pola
Pangan Harapan (PPH) Kabupaten Sidoarjo. Agricultural Socio-Economics
Journal, 15(3), 155-165.
Fardiaz, D dan Fardiaz, S. 2003. Keamanan Pangan dan Pengawasannya. Di dalam: Efrina
Ginting. Persepsi Ibu tentang Label Makanan Kemasan
Hanafie, R. 2010. Peran Pangan Pokok Lokal Tradisional Dalam Diversifikasi Konsumsi
Pangan. JSEP (Journal Of Social And Agricultural Economics), 4(2), 1-7.
Hanani, N., 2012. Srategi Pencapaian Ketahanan Pangan Keluarga, Perhimpunan Ekonomi
Pertaniaan Indonesia. Bogor.
, N., Asmara, R., Nugroho, Y. 2008. Analisis Diversifikasi Konsumsi Pangan Dalam
Memantapkan Ketahanan Pangan Mayarakat Pedesaan. Agricultural Socio-Economics
Journal, 8(1), 46-54.
, N., Tyasmoro, S. Y., Sujarwo, S., & Asmara, R. 2011. Analisis Pemetaan Dalam
Rangka Deteksi Dini Kerawanan Pangan Tingkat Desa. Habitat, 22(1), 24-38.
Hardinsyah, Heywood PF, 1993. Review Of The Association Between Food Diversity And
Diet Quality. Abstract Of The XV International Congress Of Nutrition, Adelaide.
, Mark GC, 1996. Dietary diversity and nutrition related health outcomes: A
Review. Abstract of the XII International Congress of Dietetics, Manila.
Hidayah, R., Hanani, N., & Nugroho, C. P. 2018. Dinamika Ketersediaan Pangan Di
Kabupaten Sidoarjo. Jurnal Ekonomi Pertanian dan Agribisnis, 2(3), 194-203.
Kant, A. K., Schatzkin, A., Harris, T. B., Ziegler, R. G., & Block, G. (1993). Dietary
Diversity And Subsequent Mortality In The First National Health And Nutrition
Examination Survey Epidemiologic Follow-Up Study. The American Journal Of
Clinical Nutrition, 57(3), 434-440.
Karsin, ES. 2004. Peranan Pangan dan Gizi dalam Pembangunan dalam Pengantar Pangan
dan Gizi. Penebar Swadaya : Jakarta.
Kasryno, F., M. Gunawan, dan C. A. Rasahan. 1993. Strategi Diversifikasi Produksi Pangan.
Prisma, No. 5. Tahun XXII. LP3ES : Jakarta.
Kosim, Sholeh, M. 2008. Buku Ajar Neonatologi edisi 1. Badan Penerbit IDAI : Jakarta.
Kuncoro, mudrajad. 2004. Analisis spasial dan regional: studi aglomerasi dank luster industry
Indonesia. UPP AMP YKPN : Yogyakarta.
Moore H, Svetkey L, Lin P-H, Karanja N, Jenkins M, 2002. The DASH Diet for
Hypertension. The Free Press : New York.
Mun’im, A. 2016. Analisis Pengaruh Faktor Ketersediaan, Akses, Dan Penyerapan Pangan
Terhadap Ketahanan Pangan Di Kabupaten Surplus Pangan: Pendekatan Partial Least
Square Path Modeling. Jurnal Agro Ekonomi, 30(1), 41-58.
Reilly Peter. et. al. 1999. The Human Resource Function Audit. Strategy Publications Ltd :
UK: Cambridge.
Sediaoetama, A. D. 2000. Ilmu gizi untuk mahasiswa dan profesi. Jakarta: Dian Rakyat, 34.
Setiavani, Gusti dan Nurliana Harahap. 2012. Analisis Ketersediaan Pangan Lokal Dalam
Mendukung Diversifikasi Pangan Di Provinsi Sumatera Utara. Skripsi. Medan: Dosen
Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian (STPP).
Suhardjo, 1998. Konsep dan Kebijakan Diversifikasi Konsumsi Pangan Dalam Rangka
Ketahananan Pangan Nasional. 693-714
Suryana, Achmad. 2003. Kapita selekta evolusi pemikiran kebijakan ketahanan pangan.
BPFE : Yogyakarta.
Trichopoulou A, Kouris-Blazos, Wahlqvist, ML, 1996. Diet And Overall Survival In Erderly
People. British Medical Journal, 311,1457-1460.
Umar, H. 2002. Metode Riset Bisnis: Panduan Mahasiswa Untuk Melaksanakan Riset
Dilengkapi Contoh Proposal Dan Hasil Riset Bidang Manajemen Dan Akuntansi.
Gramedia Pustaka Utama.
Yamin, S dan H. Kurniawan. 2014. SPSS Complete. Teknik Analisis Statistik Terlengkap
dengan Software SPSS. Salemba Infotek : Jakarta Selatan
Lampiran 1. Neraca Bahan Makanan Kabupaten Sidoarjo 2017
71
Lampiran 1. Lanjutan
72
Lampiran 1. Lanjutan
73
Lampiran 1. Lanjutan
74
Lampiran 2. Agka Konversi Neraca Bahan Makanan Kabupaten Sidoarjo 2017
76
Lampiran 2. Lanjutan
77
Lampiran 2. :Lanjutan
78
Lampiran 2. Lanjutan
Lampiran 2. Lanjutan
80
Lampiran 2. Lanjutan
81
Lampiran 2. Lanjutan
82
Lampiran 3. Tingakat Konsumsi
sagu - - - -
Lampiran 3. Lanjutan
Minuman - - - -
1 Kuda 106
2 Sapi 9.802
4 Kerbau 556
5 Kambing 32.169
6 Domba 31.359
7 Babi 0
11 Itik 293.522
12 Enthok 5.364
Lampiran 5. Produksi Ikan di Kabupaten Sidoarjo Tahun 2016
Keterangan :
2013 1,22 0
2013 21,24 0
2007 = 0
81,9−82,8
2008 = = -1,087
82,8
75,7−81,9
2009 = = -7,570
81,9
77,5−75,7
2010 = = 2,378
75,7
77,3−77,5
2011 = = -0,258
77,5
75,4−77,3
2012 = = -2,458
77,3
65,2−75,4
2013 = = -13,528
75,4
68,97−65,2
2014 = = 5,782
65,2
78,88−68,97
2015 = = 14,369
68,97
71,86−78,88
2016 = = -8,900
78,88
Lampiran 11. Perhitungan Pertumbuhan AHH
2007 = 0
70,08−69,89
2008 = = 0,2719
69,89
70,31−70,08
2009 = = 0,3282
70,08
70,55−70,31
2010 = = 0,3413
70,31
70,79−70,55
2011 = = 0,3402
70,55
71,03−70,79
2012 = = 0,3390
70,79
71,43−71,03
2013 = = 0,5631
71,03
71,65−71,43
2014 = = 0,3080
71,43
73,63−71,65
2015 = = 2,7634
71,65
73,67−73,63
2016 = = 0,0543
73,63
Lampiran 12. Perhitungan Pertumbuhan Balita Gizi Buruk
2013 = 0
1,02−1,22
2014 = = -30
1,22
0,7−1,02
2015 = = -20
1,02
0,8−0,7
2016 = = -100
0,7
Lampiran 13. Perhitungan Pertumbuhan Angka Kematian Bayi
2013 = 0
20,93−21,24
2014 = = 1993
21,24
20,63−20,93
2015 = = 1963
20,93
20,26−20,63
2016 = = 1926
20,63
Lampiran 14. Korelasi Antara PPH dengan AHH
Lampiran 15. Korelasi Antara PPH dengan Balita Gizi Buruk
Lampiran 16. Korelasi Antara PPH dengan AKB