Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

BIROKRASI ALA WEBER

Oleh :

SRI ARWIWIANTI

UNIVERSITAS CAHAYA PRIMA (UNCAPI)

KAB. BONE

2023
DAFTAR ISI

SAMPUL……………………………………………………………………..

DAFTAR ISI....................................................................................................i

BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………1-2

A.Latar Belakang………………………………………………………1
B.Rumusan Masalah…………………………………………………...2
C.Tujuan Penulisan…………………………………………………….2

BAB II PEMBAHASAN………………………………………………….3-16

A.Bagaimana pemikiran weber tentang birokrasi?..............................3


B.Bagaimana type social action menurut weber?..................................6
C.Bagaimana keyakinan dasar otoritas legal weber?............................8
D.Bagaimana dalil otoritas legal versi weber?......................................10
E.Bagaimana kritik terhadap pemikiran weber?.................................14

BAB III PENUTUP……………………………………………………..17-18

A.Kesimpulan………………………………………………………….17
B.Saran ………………………………………………………………...18

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………19

i
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Birokrasi sering kali digambarkan dengan proses yang berbelit-belit


danmemerlukan waktu yang cukup lama. Karenanya birokrasi tidak terlepas dari Anggapan
tidak efisien dan tidak adil, serta mengancam kebebasan sosial. Birokrasi ditinjau dari asal
kata atau bahasanya berasal dari kata “Bureaucratie” dari bahasa Perancis yang mana
“Bureau” berarti meja tulis dan “Cratein” berarti kekuasaan.

Dalam dunia pemerintahan, birokrasi dapat dipraktikkan sebagai suatu sistem atau
proses yang diciptakan untuk menjamin mekanisme dan keteraturan kerja. Birokrasi juga
dianggap sebagai sarana untuk merealisasikan suatu tujuan organisasi, dan para petinggi
dalam birokrasi berperan sebagai pemantik dan pemicu dari sesuatu yang tidak mempunyai
kepentingan pribadi. Menurut Rouke (1978, dikutip dalam Sitindjak, 2017), birokrasi
adalah sistem administrasi yang terstruktur, dalam sistem hierarki yang jelas, dilakukan
dengan aturan tertentu, olehorang-orang yang dipilih karena kemampuan dan keahlian di
bidangnya.

Max Weber (1864-1921) merupakan sosiolog dari Jerman yang menciptakan model
tipe birokrasi ideal dimana suatu birokrasi menurutnya mempunyai suatu bentuk pasti
ketika semua fungsi dijalankan dalam cara-cara yang rasional. Max Weber sendiri mungkin
salah seorang yang paling berpengaruh di dunia atas ide dan pemikirannya dalam ilmu
pengetahuan sosial. Teori birokrasi miliknya dianggap sebagai teori ideal karena
merumuskan sesuatu yang abstrak menjadi suatu bentuk ideal dari organisasi yang
seharusnya dijalankan secara profesional dan rasional. Istilah “rasional” tersebut yang
menjadi kunci dari konsep birokrasi ideal oleh Max Weber.

Menurut Max Weber, birokrasi seharusnya dijalankan dalam sistem hierarki vertikal
yang ketat dan komunikasi antar pekerja yang terbatas. Layaknya mesin yang memiliki

i
suku cadang yang berbeda fungsi, maka sistem birokrasi harus dirancang berdasarkan
pembagian kerja dengan spesifikasi kerjanya masingmasing. Birokrasi juga harus memiliki
karakteristik bahwa alur kekuasaannya terpusat karena dianggap menjadi lebih efektif
dalam proses pengambilan keputusan dan spesifikasi para pekerja. Menurutnya juga
birokrasi adalah sistem yang tertutup karena lingkungan dianggap dapat mengganggu
kinerja organisasi.

Dan yang paling penting, menurutnya peraturan adalah hal utama dalam sistem
birokrasi. Praktik birokrasi dalam pemerintahan Indonesia tidak jauh melenceng dari apa
yang dikemukakan Weber. Dalam implementasinya pemerintah menggunakan peraturan-
peraturan mulai dari undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan menteri, hingga
peraturan daerah untuk mencapai tujuan organisasi, yakni sesuai dalam alinea 4 pembukaan
UUD 1945.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pemikiran weber tentang birokrasi?
2. Bagaimana type social action menurut weber?
3. Bagaimana keyakinan dasar otoritas legal weber?
4. Bagaimana dalil otoritas legal versi weber?
5. Bagaimana kritik terhadap pemikiran weber?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui pemikiran weber tentang birokrasi.
2. Mengetahui type social action menurut weber.
3. Mengetahui keyakinan dasar otoritas legal weber.
4. Mengetahui dalil otoritas legal versi weber.
5. Mengetahui kritik terhadap pemikiran weber.

i
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pemikiran Weber Tentang Birokrasi

Max Weber lahir di Erfurt, Thuringia, pada 21 April 1864. Ayahnya, Max Weber,
Sr., seorang ahli hukum yang cakap dan penasihat kotapraja, berasal dari keluarga
pedagang linen dan produsen tekstil di Jerman bagian Barat. Ibu Max Weber, Hellena
Fallenstein Weber adalah seorang perempuan Protestan terpelajar dan liberal.29 Hubungan
ayahibu Weber berlangsung kurang baik; ayahnya memberikan prioritas pada kepentingan
politik dan ekonomi, ibunya memberikan prioritas kepada ideal-ideal etika Protestantisme.
Weber lebih memilih dekat kepada ibunya dibanding kepada ayahnya dan kemudian
memberikan perhatian pada bidang teori mengenai pengaruh ide-ide (ideal-ideal) guna
kepentingan mengendalikan perilaku manusia.

Kritik yang bersifat politis diberikan kepada Bismarck karena Bismarck tidak
toleran terhadap pemimpin yang berpikiran bebas, tidak memperhatikan para petani
Jerman. Timur yang terlantar karena pertumbuhan daerah-daerah orang Junker terkait
imigran sebagai pekerja musiman. Pada masa Perang Dunia I, Weber mendapatkan
kesempatan untuk lebih memahami mengenai birokrasi, yaitu ketika Weber menjadi
perwira cadangan dan memimpin sembilan rumah sakit militer.

Sebagai orang Jerman, Weber mempunyai sikap nasionalisme kuat. Semasa


hidupnya, struktur sosial dan politik di Jerman sangat tegang penuh kontradiksi. Masa
damai yang dialami Jerman selama 43 tahun sebelum Perang Dunia I terjadi (1914) bersifat
mudah goyah. Setelah Bismarck, kebijakan luar negeri Jerman memburuk condong ke
kebijakan kolonial dan ekspansi militer. Weber mengalami tekanan batin. Dalam revolusi
industri, Jerman tertinggal dari Inggris dan Perancis, maka Jerman mencoba untuk
mengejar ketertinggalannya. Usaha pemerintah melakukan revolusi industri berpengaruh
pada struktur kekuasaan politik untuk membuktikan pada negara-negara lain bahwa Jerman
merupakan suatu kekuatan dunia yang penting dan mencega dominasi politik-budaya

i
Inggris dan Rusia. Inggris sebagai model suatu masyarakat industri yang kuat dengan
perhatian kolonial ke penjuru dunia.

Permulaan industrialisasi terjadi saat Weber pada tahap awal karirnya.


Perkembangan industri dan kekuasaan ekonomi borjuis meluas di Jerman wilayah barat
sedangkan di wilayah timur masih didominasi pola feodal tradisional dalam pengaruh gaya
hidup aristokrat. Dengan demikian sistem nilai tradisional masih sangat berpengaruh.
Struktur politik dalam pelayanan umum masih dipengaruhi nilai-nilai konservatif. Dasar
ekonomi bagi gaya hidup aristokratik sangat cepat goyah disebabkan karena faktor
dominasi ekonomi kaum borjuis yang semakin besar serta pola perdagangan luar negeri
yang sedang mengalami perubahan. Jadi struktur sosial dan politik di Jerman ditandai suatu
perpecahan tajam antara struktur ekonomi dan struktur politik serta sistem nilainya.

Struktur ekonomi semakin dikuasai sistem industry dan kaum borjuis sedangkan
nilai budaya dan struktur politik masih didominasi nilai-nilai semifeodal yang tradisional
dan konservatisme birokratis. Di atas kontradiksi internal yang mendasar ini terdapat
tekanan nasionalisme yang kuat dari para pemimpin politik terutama oleh birokrasi
pemerintah dan angkatan senjata yang teratur baik yang didominasi konservatisme Prusia
maupun kesetiaan pada kewajiban. Dalam sistem administratif Prusia dan angkatan
bersenjatanya serta dalam organisasi perusahaan industri, Weber mengamati banyak
karakteristik birokrasi –yang dianalisisnya- dan pengaruh-pengaruhnya yang melemahkan
kepribadian individu.

Pada suatu tingkat yang lebih abstrak, kontradiksi dasar dalam masyarakat Jerman
antara munculnya system ekonomi baru, sistem nilai, dan struktur politik memberikan
kepada Weber suatu ilustrasi mengenai pandangannya tentang pembedaan antara kelas,
status, dan kekuasaan sebagai dasar-dasar alternatif untuk stratifikasi sosial yang demikian
penting bagi studi-studi sejarahnya. Sosiologi Weber harus dimengerti dalam konteks latar
belakang sosial politik masyarakat Jerman yang berada dalam transisi yang pesat dan penuh
kontradiksi internal. Semasa Weber hidup, Jerman mengalami transisi dari masyarakat

i
agraris ke masyarakat industri perkotaan. Transisi ini disertai rasionalisasi yang semakin
bertambah dalam semua bidang kehidupan politik dan ekonomi.

Aspek pemikiran Weber yang paling terkenal adalahntekanannya pada pemahaman


subyektif sebagai metode untuknuntuk memperoleh pemahaman yang valid mengenai arti-
arti subyektif tindakan sosial. Obyektivitas dan netralitas nilai masih diakui sebagai bagian
warisan Weber untuk sosiologi masa kini. Weber berpendapat bahwa perilaku sosial
ekonomi dihubungkan dengan situasi institusionalnya.

Weber mengembangkan tipe ideal sebagai suatu cara untuk memungkinkan


perbandingan dan generalisasi empirik. Penjelasan formal mengenai tipe ideal itu sebagai
suatu teknik metodologis yang dirancangkan merupakan salah satu sumbangan Weber yang
paling penting dalam dalam bidang metodologi. Dalam konteks teori keseluruhannya, tipe
ideal ini harus dilihat sebagai suatu pengimbangan terhadap tekanannya pada individu yang
merupakan kunci untuk mengadakan generalisasi ke satuan-satuan sosial yang lebih besar
yang ada di belakang tingkat individu itu.

Tipe ideal yang paling terkenal dan menarik menurut Weber adalah birokrasi.
Pelbagai karakteristik birokrasipembagian kerja dan spesialisasi, hirarki otoritas,
penerimaan pegawai berdasarkan keahlian teknis, tekanan pada peraturan formal dan
impersonalitas- membentuk tipe ideal suatu organisasi birokratis. Tipe ideal dapat
dikonstruksikan menurut tingkat-tingkat yang berbeda-beda dan dengan tingkat generalitas
yang berbeda-beda pula. Orang dapat mengembangkan tipe ideal mengenai pola-pola
personalitas, hubungan sosial, kelompok atau kolektivitas yang lebih besar. Sama halnya,
orang dapat mengembangkan suatu tipe ideal yang berlaku untuk suatu situasi historis
tertentu atau yang berlaku untuk suatu pola yang lebih luas sifatnya, misalnya “manusia
ekonomi”.

i
B. Type Social Action Menurut Weber

Rasionalitas merupakan konsep dasar yang digunakan Weber dalam klasifikasinya


mengenai tipe-tipe tindakan sosial. Pembedaan pokok yang diberikan adalah antara
tindakan rasional dan yang nonrasional. Dengan kata lain, tindakan rasional berhubungan
dengan pertimbangan yang sadar dan pilihan bahwa tindakan itu dinyatakan. Di dalam
kategori utama mengenai rasional dan nonrasional itu, ada dua bagian yang berbeda satu
sama lain.
Weber menyebutkan terdapat empat (4) tipe tindakan sosial, yaitu: (1)
Instrumentally rational (Tindakan Rasional Instrumental), yaitu tindakan sosial yang
mengharapkan reaksi individu lain sesuai dengan kondisi atau tujuan aktor yang melakukan
tindakan sosial tersebut; (2) Value-rational (Tindakan yang berorientasi Nilai), yaitu
tindakan sosial berdasarkan nilai agama atau etika yang dipegang; (3) Affectual (Tindakan
Afektif), yaitu tindakan sosial yang dipengaruhi oleh emosi atau perasaan aktor; (4)
Traditional (Tindakan Tradisional), yaitu tindakan sosial yang dibentuk oleh kebiasaan.
1. Rasionalitas instrument
Tingkat rasionalitas yang paling tinggi ini meliputi pertimbangan dan pilihan yang
sadar yang berhubungan dengan tujuan tindakan itu dan alat yang dipergunakan untuk
mencapainya. Tindakan ini diarahkan secara rasional ke suatu sistem dari tujuan-tujuan
individu yang memiliki sifatsifatnya sendiri apabila tujuan itu, alat dan akibat-akibat
sekundernya diperhitungkan dan dipertimbangkan semuanya secara rasional. Hal ini
mencakup pertimbangan rasional atas alat alternatif untuk mencapai tujuan itu,
pertimbangan mengenai hubungan-hubungan tujuan itu dengan hasil-hasil yang mungkin
dari penggunaan alat tertentu apa saja dan akhirnya pertimbangan mengenai pentingnya
tujuan-tujuan yang mungkin berbeda secara relative. Tipe tindakan ini juga tercermin dalam
organisasi birokratis. Pengamatan Weber saat itu, sistem pasar yang impersonal dan
organisasi birokratis sedang berkembang di dunia Barat modern.

i
2. Rasionalitas berorientasi nilai
Sifat rasionalitas yang berorientasi nilai yang penting adalah bahwa alat-alat hanya
merupakan obyek pertimbangan dan perhitungan yang sadar; tujuan-tujuannya sudah dalam
hubungannya dengan nilai-nilai individu yang bersifat absolut atau merupakan nilai akhir
baginya. Nilai-nilai akhir bersifat nonrasional dalam hal di mana seseorang tidak dapat
memperhitungkannya secara secara obyektif mengenai tujuan-tujuan mana yang harus
dipilih. Lebih lagi komitmen terhadap nilai-nilai ini adalah sedemikian sehingga
pertimbangan-pertimbangan rasional mengenai kegunaan (utility), efisiensi, dan sebagainya
tidak relevan. Juga orang tidak memperhitungkannya (kalau nilai-nilai itu benar-benar
bersifat absolut) dibandingkan dengan nilai-nilai alternatif. Individu mempertimbangkan
alat untuk mencapai nilai-nilai seperti itu,tetapi nilai-nilai itu sendiri sudah ada.41 Tindakan
religius mungkin merupakan dasar dari rasionalitas yang berorientasi nilai ini. Orang
beragama mungkin menilai pengalaman subyektif mengenai kehadiran Tuhan bersamanya
atau perasaan damai dalam hati atau dengan manusia seluruhnya suatu nilai akhir di mana
dalam perbandingannya nilai-nilai lain menjadi tidak penting. Nilainya sudah ada, individu
memilih alat seperti meditasi, doa, menghadiri upacara di gereja untuk memperoleh
pengalaman religius. Apakah nilai seperti ini dicapai secara efektif, tidak dapat
“dibuktikan” secara obyektif dengan cara yang sama seperti kita membuktikan keberhasilan
delam mencapai tujuan dalam tindakan instrumental.
3. Tindakan tradisional
Tindakan tradisional merupakan tipe tindakan sosial yang bersifat nonrasional
karena dibentuk oleh kebiasaan. Individu yang memperlihatkan perilaku karena kebiasaan,
tanpa refleksi yang sadar atau perencanaan, perilaku seperti itu digolongkan sebagai
tindakan tradisional. Individu tersebut akan membenarkan atau menjelaskan tindakan itu,
kalau diminta dengan hanya mengatakan bahwa dia selalu bertindak dengan cara seperti itu
atau perilaku seperti itu merupakan kebiasaan baginya. Apabila kelompok-kelompok atau
seluruh masyarakat didominasi oleh orientasi ini, maka kebiasaan dan institusi mereka
diabsahkan atau didukung oleh kebiasaan atau tradisi yang sudah lama mapan sebagai
kerangka acuannya yang diterima begitu saja tanpa persoalan. Satu- satunya pembenaran

i
yang perlu adalah bahwa, “Ini cara yang sudah dilaksanakan nenek moyang kami, dan
demikian pula nenek moyang mereka sebelumnya; ini adalah cara yang sudah begini dan
akan selalu begini terus”. Weber melihat bahwa tipe tindakan ini sedang hilang lenyap
karena meningkatnya rasionalitas instrumental.
4. Tindakan afektif
Tipe tindakan ini didominasi perasaan atau emosi tanpa refleksi intelektual dan
perencanaan yang sadar. Keempat tipe tindakan sosial yang baru didiskusikan ini harus
dilihat sebagai tipe-tipe ideal. Weber mengakui bahwa tidak banyak tindakan, kalau ada,
yang seluruhnya sesuai dengan salah satu tipe ideal ini. Tetapi bagi kebanyakan tindakan,
hal ini harus memperlihatkan kemungkinan untuk mengidentifikasi mana dari orientasi-
orientasi subyektif terdahulu bersifat primer. Membuat pembedaan antara tipetipe tindakan
yang berbeda atas dasar ini penting untuk memahami pendekatan Weber terhadap
organisasi sosial dan perubahan sosial. Tindakan sosial dapat dimengerti hanya menurut arti
subyektif dan pola-pola motivasional yang berkaitan dengan itu. Pada tindakan rasional,
arti subyektif itu dapat ditangkap dengan skema alat tujuan.

C. Keyakinan Dasar Otoritas Legal Weber

Tindakan sosial individu dengan maknanya yang berkaitan membentuk bangunan


dasar untuk struktur sosial yang lebih besar. Weber meletakkan dasar ini dengan
mengembangkan serangkaian distingsi-distingsi tipologi yangnbergerak dari tingkatan
hubungan sosial ke tingkatan keteraturan ekonomi dan sosial politik. Konsep legitimasi
keteraturan sosial mendasari analisis Weber mengenai perubahan sosial. Stabilitas
keteraturan sosial yang absah tidak tergantung semata-mata pada kebiasaan atau pada
kepentingan diri individu yang terlibat. Sebaliknya, itu didasarkan pada penerimaan
individu akan norma-norma atau peraturan-peraturan yang mendasari keteraturan itu sebagi
sesuatu yang bisa diterima atau diinginkan.
Weber mengidentifikasi beberapa tipe yang berbeda tetapi dia khususnya tertarik
pada hubungan yang muncul dalam organisasi dalam suatu struktur otoritas yang mapan

i
artinya, suatu struktur di mana individu-individu yang diangkat bertanggung jawab untuk
mendukung keteraturan sosial. Weber mengidentifikasi tiga dasar legitimasi yang utama
dalam hubungan otoritas: ketiganya dibuat berdasarkan tipologi tindakan sosial. Masing-
masing tipeberhubungan dengan tipe struktur administratifnya sendiri dan dinamika
sosialnya sendiri yang khusus. Tipe-tipe ini dalam hubungannya dengan struktur
administratif. Menurut Weber terdapat tiga bentuk dominasi kekuasaan sebagai berikut:
1. Otoritas legal rasional
Otoritas legal rasional adalah otoritas yang didasarkan pada komitmen terhadap
seperangkat yang dibuat dalam sebuah aturan legal. Yang termasuk dalam bentuk dominasi
kekuasaan ini adalah negara dan kepala negara. Seseorang memegang otoritas melakukan
tugasnya dengan kebijakan dan norma-norma yang ada. Orang-orang yang melakukan
pekerjaannya harus tunduk kepada atasannya. Orang yang memiliki otoritas paling tinggi
adalah orang yang memiliki jabatan paling atas. Tindakan dari orang yang memiliki otoritas
tertinggi didasarkan pada norma-norma yang tidak bersifat pribadi. Otoritas legal rasional
ini terjadi dalam organisasi birokrasi yang menunjukkan ciri-ciri sebagai berikut: kegiatan
staf administrasi dilaksanakan secara teratur dan merupakan kedinasan resmi yang memiliki
batas-batas yang jelas. Wewenang para pejabat dalam bentuk hirarki kantor. Aturan-aturan
mengenai prilaku staf, otoritas dan tanggungjawab dituangkan dalam bentuk tulisan.
Penerimaantenaga administrasi didasarkan pada seleksi dengan syaratsyarat tertentu.
Demikian juga ketika telah menjadi pegawai, ia akan mendapatkan hak-hak dan kewajiban-
kewajiban yang telah ditentukan berdasarkan aturan yang ada
2. Otoritas tradisional
Otoritas yang dihasilkan oleh kepercayaan tradisional. Contoh dominasi kekuasaan
ini adalah kerajaan dan raja. Otoritas tradisional didasarkan pada kepercayaan kepada
kesucian aturan-aturan dan kekuasaan yang telah berabadabad lamanya. Weber
membedakan tiga otoritas tradisional: (1) Gerontokrasi, dimana otoritas berada di tangan
orangorang tua dalam suatu kelompok; (2) Patriakhalisme, otoritas berada di tangan satu
kesatuan kekerabatan yang dipegang oleh seseorang individu tertentu yang memiliki
otoritas warisan; (3) Patrimonalisme, merupakan perkembangan patriakhalisme dan sudah

i
memiliki staf administrasi. Staf administrasi terdiri dari orang-orang yang memiliki
hubungan pribadi dengan pemimpinnya. Patrimonalisme merupakan bentuk dominasi yang
mempunyai ciri khas dalam pemerintahan tradisional yang sewenang-wenang. Otoritas
tradisional rentan konflik karena didasari oleh kepentingan penguasa untuk memperbesar
kekuasaannya dan bawahan untuk memperbesar gerak kebebasannya.
3. Otoritas kharismatik
Otoritas karismatik adalah otoritas akibat karisma atau kemampuan individu yang
dijadikan pemimpin dan didasarkan bahwa individu tersebut dianggap dan diperlakukan
memiliki sifat unggul dengan kekuatankekuatan yang khas dan luar biasa. Otoritas
karismatik dapat timbul dalam konteks sosial atau sejarah yang beraneka ragam. Oleh
karena itu banyak tokoh-tokoh karismatik, mulai dari pemimpin politik sampai dengan
nabi-nabi. Tokoh karismatik biasanya memberikan sebuah bukti dari keasliannya dengan
cara melakukan hal-hal ajaib yang bersifat ketuhanan. Menurut Weber, karisma adalah
kekuatan revolusioner, salah satu kekuatan revolusioner penting di dunia sosial. Yang
membedakan karisma merupakan kekuatan revolusioner adalah bahwa ia menyababkan
berubahnya pikiran aktor; ini menyebabkan “reorientasi subjektif atau internal”. Perubahan-
perubahan tersebut bisa mengarah pada perubahan sikap utama dan arah tindakan secara
radikal menjadi orientasi yang sama sekali bagu bagi semua sikap terhadap perbedaan
masalah sosial.

D. Dalil Otoritas Versi Weber

Atas dasar konsep legitimasi, Weber merumuskan 8 (delapan) proposisi tentang


penyusunan sistem otoritas legal sebagai berikut.
1. Tugas-tugas pejabat dalam organisasi berdasarkan aturan yang berkesinambungan.
Dengan demikian setiap pejabat akan melaksanakan tugas sesuai dengan bidang
tugasnya masing-masing yang diatur dalam aturan yang tegas dan jelas, satu tugas dengan
tugas lainnya seirama menuju satu tujuan akhir. Semua tugas dari sekelompok tugas-tugas
merupakan satu system sehingga saling mempengaruhi dan memerlukan satu sama lain,

i
bukan antara satu sama lain aturannya bertentangan, ini akan membuat inefisiensi birokrasi.
Hal demikian bukan pengertian “birokrasi” yang dimaksudkan oleh Weber. Weber
mengisyaratkan bahwa birokrasi adalah bekerja dengan efisien dan rasional.
2. Tugas-tugas tersebut dibagi atas bidang-bidang yang dibedakan menurut fungsi,
masing-masing dilengkapi dengan syarat otoritas, dan sanksisanksi.
Selain tugas diorganisasi agar terjadi keseimbangan gerak dan tujuan, juga harus
dibagi menurut bidang-bidang dan fungsi-fungsi yang jelas. Satu tugas dengan fungsi yang
lain harus dapat ditarik benang merah secara tegas sehingga hal yang mempunyai
wewenang (otoritas) jelas dan kepada siapa harus mempertanggungjawabkan tugas-tugas
yang telah dikerjakannya sehingga akan terhindar dari pelemparan tanggung jawab. Siapa
yang harus bertanggung jawab terhadap tugas-tugas itu akan menjadi jelas, demikian juga
jika terjadi kesalahan dalam melakukan tugas, akan terlihat pihak yang akan dikenai sanksi
sehingga sanksi tidak salah alamat. Bila hal ini terjadi selain melanggar aturan juga
melanggar prinsip keadilan sehingga organisasi akan menjadi tidak efektif karena ada
anggota yang sakit hati dan akan mengacaukan kehidupan organisasi tersebut. Orang-orang
yang diperlakukan tidak adil, sering kali membuat ulah, untuk menghambat tugas atau
menjegal saingannya.
3. Jabatan-jabatan tersusun secara hierarkis, hak-hak kontrol, dan komplain
di antara mereka terperinci.
Dengan demikian, pejabat yang lebih rendah akan tunduk kepada pejabat yang lebih
tinggi sehingga akan mempermudah pembinaan dan pengawasan pekerjaan yang menjadi
tugasnya. Otoritas masing-masing unit kerja menjadi jelas dari posisi jabatan/level yang
paling tinggi, menengah, maupun level yang lebih paling rendah. Hal ini akan
mempermudah setiap level atasan dalam menerima pertanggungjawaban dari bawahannya.
Demikian juga hak-hak pegawai/anggota organisasi dan keluhan-keluhan diatur secara
jelas, tertulis, dan terperinci. Jika sistem demikian yang berlaku pada organisasi birokrat
maka semua persoalan yang terjadi akan dapat terpecahkan, dan sebaliknya jika komunikasi
tidak berjalan maka hambatan akan mengganggu jalannya

i
organisasi. Aliran informasi dari atas berupa instruksi, peraturan, teguran, sanksi, petunjuk,
keterangan umum, perintah, dan pujian, sedangkan komunikasi dari bawah berupa
laporan/report, keluhan, saran dan pendapat. Komunikasi horizontal berupa pemantapan,
pendapat umum, kesepakatan opini, kejelasan informasi, dan lain-lain.
4. Aturan-aturan yang sesuai dengan pekerjaan diarahkan baik secara teknis
maupun secara legal.
Aturan-aturan yang berkaitan dengan uraian tugas pekerjaan dalam organisasi diatur
dalam bentuk susunan organisasi dan tata kerja organisasi. Di sini aturan terlihat dengan
jelas dan tegas, fungsi dan wewenang masing-masing bagian maupun masing-masing
pejabat dan anggota organisasi lainnya. Sehingga akan terhindar dari tumpang tindih
pekerjaan atau tugas bagian lain dikerjakan oleh yang bukan wewenangnya sehingga pada
satu bagian menumpuk sedangkan pekerjaan di pihak lain ada bagian yang kurang
pekerjaan maka akan terjadi ketidakseimbangan produktivitas dan mengakibatkan
kecemburuan sosial dalam organisasi tersebut. Apalagi pekerjaan itu menyangkut urusan
yang berkaitan dengan keuangan, dengan banyaknya pekerjaan akan mendapat kompensasi
gaji ekstra maka yang kurang pekerjaan tidak mendapat gaji ekstra (uang lembur). Jadi,
dalampekerjaan diperlukan spesialisasi kerja agar produktivitasnya tinggi dan efisien.
Sementara itu, yang dimaksud “diarahkan secara legal” adalah pembinaan terhadap
pegawai sesuai dengan aturan yang berlaku dalam organisasi itu. Sementara itu, diarahkan
secara “teknis” adalah dibina dan dibimbing setiap waktu atau berkala dalam melakukan
pekerjaan. Jika ada yang belum bisa bekerja dengan baik dibina agar menjadi lebih
baik dan jika salah dibetulkan sesuai dengan arah aturan yang legal sehingga seirama
dengan tujuan organisasi. Untuk pembinaan secara teknis maupun secara legal tentu
diperlukan orang-orang yang sudah senior, berpengalaman di bidangnya cukup lama,
sekaligus menguasai materi/pekerjaan yang sesuai aturan (standar yang berlaku) dan oleh
orang atau lembaga yang mempunyai kewenangan untuk itu.
5. Sumber-sumber daya organisasi sangat berbeda dengan yang berasal dari
para anggota sebagai individu pribadi.

i
Termasuk sumber daya organisasi adalah orang-orangnya dengan segala
kemampuannya dan juga materi sebagai sarana pencapaian tujuan organisasi itu. Di mana
setiap anggota organisasi mempunyai latar belakang yang berbeda satu sama lain, misalnya
tingkat pendidikan, adat istiadat, norma, suku bangsa, asal daerah. Jika tidak dibina dengan
baik akan terjadi ketidakserasian gerak dan nepotisme yang akan berakibat hubungan
antaranggota organisasi kurang harmonis. Proses pembinaan pegawai merupakan pekerjaan
para pejabat atau yang mempunyai otoritas, dan ini perlu dilakukan secara berkala.
Kepentingan pribadi harus dikesampingkan, mendahulukan kepentingan organisasi,
walaupun mungkin bertentangan dengan individu-individu anggota organisasi.
Dengan demikian, para anggota organisasi harus dapat menjalankan tugas-tugas yang legal
yang sudah menjadi aturan yang tertulis dan berlaku pada organisasi itu. Kesemuanya ini
harus ada yang menggerakkan, yaitu orang yang mempunyai otoritas.
6. Pemegang jabatan sesuai dengan kompetensinya
Maksudnya adalah jabatan-jabatan dalam organisasi dipegang oleh orang-orang
yang sesuai dengan kemampuannya, baik latar belakangpendidikan, keahlian maupun
tingkat penguasaannya. Sesuai dengan bidang tugasnya sehingga selama menjabat pada
jabatan tertentu ia akan dapat melaksanakan tugas secara efektif. Penguasaan tugas tidak
hanya cukup dilandasi oleh latar belakang pendidikan dan pengalaman saja, tetapi juga
harus didukung oleh keterampilan teknik dan perilaku yang sesuai dengan tuntutan jabatan
tersebut. Makna kompetensi adalah gabungan antara ilmu pengetahuan, keterampilan,
pengalaman, dan perilaku yang dibutuhkan oleh jabatan yang diembannya.
7. Administrasi didasarkan pada dokumen-dokumen tertulis.
Pernyataan itu dimaksudkan semua kegiatan dan kejadian dalam organisasi
sepanjang yang bisa ditulis harus didokumentasikan, diarsip secara kronologis menyangkut
pekerjaan atau hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan, termasuk jenis dan bentuk sanksi-
sanksi, aturanaturan yang berlaku dalam organisasi itu. Hal yang demikian merupakan ciri
organisasi modern, kesemuanya ini dimaksudkan agar semua kegiatan dapat terpotret
dengan jelas bila sewaktu-waktu dibutuhkan sebagai bahan laporan, sebagai data untuk
melihat kesulitan-kesulitan masa yang sudah lewat dan juga kegagalan-kegagalan yang

i
pernah dialami. Selain itu, dokumentasi dimaksudkan sebagai data masa lalu yang sangat
bermanfaat bagi pembuatan rencana yang akan datang. Data organisasi terkadang
diperlukan oleh pihak-pihak di luar organisasi, baik untuk kepentingan praktis maupun
untuk kepentingan ilmiah, missal untuk penelitian-penelitian, bahan kajian dalam membuat
karya tulis ilmiah mahasiswa, skripsi, tesis, maupun disertasi.
8. Sistem otoritas legal dapat mengambil banyak bentuk, tetapi dilihat dari bentuk
aslinya ialah sebuah staf administrasi birokratis.
Arti staf administrasi birokratik adalah adanya otoritas berjenjang, yang
mengandung konsekuensi pelaporan dan tanggung jawab secara berjenjang pula. Setiap
biro mempunyai wewenang dan tanggung jawab sebagaimana tertuang dalam surat
keputusan/pembentukannya atau diatur dengan surat keputusan lain yang menjadi sumber
legalitas bagi biro atau lembaga tertentu.

Saya harap Anda sudah semakin paham dengan konsep birokrasi dari Weber
tersebut. Namun demikian, Anda harus menyadari bahwa apa yang disampaikan di atas
belum sempurna jika Anda tidak mengetahui dengan lebih mendalam mengenai ciri-ciri
birokrasi yang terkenal dan menjadi kata kunci pemikiran dari Weber.

E. Kririk Terhadap Pemikiran Weber

Sebaik apapun analisis manusia, ia akan menuai kritik. Demikian pula pandangan
weberterhadap birokrasi ini. Berikut akan disampaikan sejumlah kritik para ahli akan
pandangan weber yang seluruhnya diambil dari buku birokrasi karya Martin Albrow.
Menurut Robert K. Merton dalam artikelnya Bureucratic Structure and
Personality iamempersoalkan gagasan birokrasi rasional weber. Bagi merton, penekanan
weber padarealibilitas (kehandalan) dan ketepatan akan menimbulkan kegagalan dalam
suatuadministrasi. Karena peraturan yang dirancang sebagai alat untuk mencapai tujuan,
dapatmenjadi tujuan itu sendiri. Selain itu, birokrat yang berkuasa akan membentuk
solidaritaskelompok dan kerap menolak perubahan. Jika para pejabat ini dimaksudkan

i
untukmelayani public, maka norma-norma impersonal yang menuntun tingkah laku
merekadapat menyebabkan konflik dengan individu-individu warga Negara. Apa
yangditekankan Marton adalah suatu struktur yang rasional dalam pengertian weber
dapatdengan mudah menimbulkan akibat-akibat yang tidak diharapkan dan mengganggu
bagi pencapaian tujuan tujuan organisasi.
Sementara Philip Selznick mengutarakan kritiknya atas weber tentang
disfunsionalisasi birokrasi. Selznick focus pada pembagian fungsi-fungsi didalam suatu
organisasi.Selznick menunjukkan bagaimana sub-sub unit mewujudkan tujuan organisasi
secarakeseluruhan. Pembentukan departemen baru uyntuk meniadakan kecenderungan
lama,hanya akan memperburuk situasi karena akan muncul lebih banyak sub-sub unit
tujuan.
Sedangkan Talcott Parsons focus pada kenyataan bahwa staf administrasi
yangdimaksud weber, telah didefenisikan sebagai yang memiliki keahlian professional dan
juga hak untuk memerintah. Atribut-atribut seperti itu, kilah parson, dapat
memunculkankonflik didalam birokrasi, karena tidak mungkin untuk memastikan bahwa
posisi dalamhirarki otoritas akan diiringi oleh keterampilan professional yang sepadam.
Akibatnya,timbul persoalan bagi anggota organisasi: siapa yang harus dipatuhi? Orang
yangmemiliki hak untuk memerintah atau orang yang memiliki keahlian yang hebat?
Alvin Gouldner kemudian melanjutkan kritik parson atas weber. Gouldner
memuatnya dalam artikel berjudul “ Pattern of industrial Bureaucracy”. Dalam analisisnya
tentang dasar kepatuhan dalam suatu organisasi, Gouldner menyimpulkan argumentnya
padakonflik antara otoritas birokrasi dan otoritas professional. Ia membedakan dua tipe
birokrasi yang utama : pemusatan hukuman (Punishment contered) dan
perwakilan(Representative). Pada tipe Punishment contered, para anggota birokrasi pura
pura setujudengan peraturan yang mereka anggap dipaksakan kepada mereka oleh suatu
kelompokyang asing. Sedangkan pada tipe representative, para anggota organisasi
memandang peraturan sebagai kebutuhan menurut pertimbangan teknis dan diperlukan
sesuai dengankepentingan mereka sendiri. Dua sikap yang berbeda terhadap peraturan ini
memiliki pengaruh yang mencolok pada pelaksanaan organisasi yang efisien.

i
R.G Francis Dan R.C. Stone melanjutkan kritik Gouldner dalam buku mereka
berjudul(Service and procedur Bureaucracy) mereka menunjukkan bahwa walaupun
literatureresmi tentang organisasi dapat melarang impersonalitas dan kesetiaan yang kuat
pada prosedur yang sudah ditentukan tetapi dalam prakteknya, para staf birokrasi
dapatmenyesuaikan tindakan mereka dengan keadaan yang cocok dengan kebutuhan
individu.

i
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Aspek pemikiran Weber yang paling terkenal adalahntekanannya pada pemahaman
subyektif sebagai metode untuknuntuk memperoleh pemahaman yang valid mengenai arti-
arti subyektif tindakan sosial. Obyektivitas dan netralitas nilai masih diakui sebagai bagian
warisan Weber untuk sosiologi masa kini. Weber berpendapat bahwa perilaku sosial
ekonomi dihubungkan dengan situasi institusionalnya.
Weber menyebutkan terdapat empat (4) tipe tindakan sosial, yaitu: (1)
Instrumentally rational (Tindakan Rasional Instrumental), yaitu tindakan sosial yang
mengharapkan reaksi individu lain sesuai dengan kondisi atau tujuan aktor yang melakukan
tindakan sosial tersebut; (2) Value-rational (Tindakan yang berorientasi Nilai), yaitu
tindakan sosial berdasarkan nilai agama atau etika yang dipegang; (3) Affectual (Tindakan
Afektif), yaitu tindakan sosial yang dipengaruhi oleh emosi atau perasaan aktor; (4)
Traditional (Tindakan Tradisional), yaitu tindakan sosial yang dibentuk oleh kebiasaan.
Weber mengidentifikasi beberapa tipe yang berbeda tetapi dia khususnya tertarik
pada hubungan yang muncul dalam organisasi dalam suatu struktur otoritas yang mapan
artinya, suatu struktur di mana individu-individu yang diangkat bertanggung jawab untuk
mendukung keteraturan sosial. Weber mengidentifikasi tiga dasar legitimasi yang utama
dalam hubungan otoritas: ketiganya dibuat berdasarkan tipologi tindakan sosial. Masing-
masing tipeberhubungan dengan tipe struktur administratifnya sendiri dan dinamika
sosialnya sendiri yang khusus.
Menurut Robert K. Merton dalam artikelnya Bureucratic Structure and
Personality iamempersoalkan gagasan birokrasi rasional weber. Bagi merton, penekanan
weber padarealibilitas (kehandalan) dan ketepatan akan menimbulkan kegagalan dalam
suatuadministrasi. Karena peraturan yang dirancang sebagai alat untuk mencapai tujuan,
dapatmenjadi tujuan itu sendiri. Selain itu, birokrat yang berkuasa akan membentuk
solidaritaskelompok dan kerap menolak perubahan. Jika para pejabat ini dimaksudkan

i
untukmelayani public, maka norma-norma impersonal yang menuntun tingkah laku
merekadapat menyebabkan konflik dengan individu-individu warga Negara. Apa
yangditekankan Marton adalah suatu struktur yang rasional dalam pengertian weber
dapatdengan mudah menimbulkan akibat-akibat yang tidak diharapkan dan mengganggu
bagi pencapaian tujuan tujuan organisasi.

B. Saran
Dalam tulisan ini, penulis menyadari bahwa masih terlalu banyak kekeliruan di
dalamnya. Olehnya itu kepada seluruh pembaca sekalian, kritik, usulan, pendapat yang
sifatnya membangun sangat penulis butuhkan. Agar kedepannya mampu memperbaiki apa
yang keliru di dalam penulisan selanjutnya.

i
DAFTAR PUSTAKA
Amitai Etzioni, A Comparative Analysis of Complex Organizations, (New York: Free
Press, 1975)
Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern (Sociology theory, classical
founders and contemporary perspective) (Jakarta: PT Gramedia, 1986)
Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik.
Goerge Ritzer dan Douglas J Goodman, Teori Sosiologi dari.
H.H Gert dan C. Wright Mills (eds.), From Max Weber
H.H Gert dan C. Wright Mills (eds.), From Max Weber: Essays in Sociology, (New York:
Oxford University Press, 1946)
Max Weber, Economy and Society.
Max Weber, The Theory Social.

Anda mungkin juga menyukai