Anda di halaman 1dari 19

TEORY BIROKRASI

(MAX WEBER)

Max Weber (1864-1920) seorang ahli


sosiologi Jerman yang lahir di Erfurt,
Thungiria tahun 1864 dan juga dikenal
sebagai bapak Birokrasi.
Beliau merupakan salah satu perintis
utama studi mengenai organisasi.
Analisanya mengenai Birokrasi sebagai tipe
ideal, pendapatnya ini sangat berbeda
dengan pandangan umum yang melihat sisi
negatifnya saja.
Weber menyajikan secara detail
tentang organisasi birokrasi yang ideal
dalam karyanya berjudul Birokasi,
diterbitkan pada tahun 1922. Weber
percaya bahwa salah satu karakteristik
utama masyarakat industri adalah dorongan
untuk merasionalkan proses sosial dan
ekonomi. Rasionalisasi yang dimaksud
adalah the calculated matching means and
ends to achieve social and economic
objectives with the greates possible
efficiency (pemaduan sarana dan tujuan
untuk mencapai tujuan sosial dan ekonomi seefisien mungkin (islamy, 2003).karena itu jenis
birokrasi seperti ini ia namakan sebagai birokrasi tipe ideal atau model organisasi yang rasional.
Dibawah ini merupakan penjelasan mengenai tipe otoritas, bentuk organisasi sosial dan
konsep birokrasi dari Max weber itu sendiri.

A. Tipe Otoritas
Tindakan-tindakan sosial individu (dengan makna-makna yang berkaitan) membentuk
bangunan dasar untuk struktur-struktur sosial yang lebih besar. Dalam The Theory of Social
Economic Organization, Weber meletakan dasar ini dengan mengembangkan serangkaian
distingsi-distingsi tipologis yang bergerak dari tingkatan hubungan sosial ke tingkatan
keteraturan ekonomi dan sosial politik. Konsep legitimasi keteraturan sosial mendasari analisa
Weber mengenai institusi ekonomi, politik dan agama serta interpretasinya mengenai perubahan
sosial. Stabilitas keteraturan sosial yang absah tidak tergantung semata-mata pada kebiasaan saja
(artinya, uniformitas perilaku tidak diperkuat oleh sanksi eksternal) atau pada kepentingan
diri individu yang terlibat. Sebaliknya, itu didasarkan pada penerimaan individu akan norma-
norma atau peraturan-peraturan yang mendasari keteraturan itu sebagai sesuatu yang bisa
diterima atau diinginkan. Norma-norma atau peraturan-peraturan ini mungkin/bisa didasarkan
pada konvensi dan hukum. Pembedaan diantara keduanya adalah bahwa hukum diperkuat oleh
suatu badan khusus, sedangkan konvensi didukung oleh tanggapan masyarakat pada umumnya.
Weber menunjukan empat dasar legitimasi yang berbeda-beda, yang mencerminkan
tipologi tindakan sosial seperti berikut :
1. Karena tradisi; suatu kepercayaan akan legitimasi mengenai apa yang sudah selalu ada ;
2. Berdasarkan sikap-sikap efektual, terutama emosi, yang melegitimasi validitas mengenai apa
yang baru diungkapkan atau suatu model untuk ditiru;
3. Berdasarkan kepercayaan rasional akan suatu komitmen absolut dan terakhir;
4. Karena dibentuk dalam suatu cara yang diakui sebagai yang sah.
Hubungan sosial dalam berbagai tipe keteraturan sosial yang baru diperlihatkan itu
menunjukan keanekaragaman yang berbeda-beda. Weber mengidentifikasikan beberapa tipe
yang berbeda, tetapi dia khususnya tertarik pada hubungan yang muncul dalam organisasi dalam
suatu struktur otoritas yang mapan, artinya suatu struktur dimana individu-individu yang
diangkat, bertanggung jawab untuk mendukung keteraturan sosial itu. Hubungan seperti itu,
kalau tertutup untuk orang luar, kecuali kalau mereka diperbolehkan menurut peraturan, dapat
dilihat sebagai “kelompok yang berbadan hukum” (coorporate group). Kalau hubungan itu
bersifat asosiatif (rasional) dan bukan komunal (emosional), meliputi staf administratif dan
tunduk pada suatu tipe kegiatan tertentu yang terus-menerus, maka hubungan itu menunjukan
pada “organisasi yang berbadan hukum”. (Hubungan asosiatif didasarkan pada persetujuan
rasional; hubungan komunal meliputi perasaan subyektif).
Namun perhatian Weber yang utama adalah pada landasan keteraturan sosial yang absah.
Ini berarti bahwa keteraturan sosial dan pola-pola dominasi yang berhubungan dengan itu
diterima sebagai yang benar, baik oleh mereka yang tunduk pada suatu dominasi maupun mereka
yang dominan. Pola-pola dominasi mencerminkan terutama strukutur otoritas, bukan
struktur kekuasaan. Kekuasaan adalah kemampuan untuk melaksanakan kemauan seseorang
walaupun mendapat perlawanan; otoritas adalah hak untuk mempengaruhi karena didukung oleh
peraturan dan norma yang mendasari keteraturan sosial. Penggunaan otoritas tergantung pada
kerelaan pihak bawahan untuk patuh pada perintah orang yang memiliki otoritas. Tingkat
kerelaan ada macam-macam dalam situasi yang berbeda-beda. Tambahan pula, mereka yang
berasa dalam posisi otoritas biasanya mempuanyai struktur kepentingan untuk memperkuat
kepercayaan akan legitimasi.
Weber mengidentifikasi tiga dasar legitimasi yang utama dalam hubungan otoritas;
ketiganya dibuat berdasarkan tipologi tindakan sosial yang sudah kita lihat di atas. Masing-
masing tipe berhubungan dengan tipe struktur administratifnya sendiri dan dinamika sosialnya
sendiri yang khusus. Tipe-tipe ini, dalam hubungannya dengan struktur administratif terbagi
menjadi tiga otoritas yakni ototritas tradisional, karismatik dan legal rasional.

1. Otoritas tradisional
Otoritas tradisional adalah otoritas di mana legitimasi tokoh otoritas didasarkan sekitar
kustom. Legitimasi dan kekuatan untuk kontrol diturunkan dari masa lalu dan kekuatan ini dapat
dilaksanakan dengan cara yang cukup diktator. Ini adalah jenis otoritas dalam mana hak-hak
tradisional individu yang kuat dan dominan atau kelompok diterima atau setidaknya tidak
ditantang oleh individu bawahan.
Menurut Weber otoritas tradisional adalah sarana yang ketidaksetaraan yang diciptakan
dan dipelihara. Jika tidak ada yang menantang otoritas tradisional atau pemimpin kelompok
pemimpin akan tetap dominan. Juga baginya blok kekuasaan tradisional perkembangan rasional-
legal bentuk otoritas sudut pandang dia sangat parsial.

2. Otoritas Karismatik
Otoritas karismatik ada ketika kontrol orang lain didasarkan pada karakteristik pribadi
seseorang seperti keahlian etis heroik atau agama yang luar biasa. Pemimpin karismatik dipatuhi
karena orang merasa ikatan emosional yang kuat kepada mereka. Hitler Gandhi Napoleon dan
Julius Caesar semua pemimpin karismatik. Apakah kekuatan tersebut sebenarnya ada tidak
relevan fakta bahwa pengikut percaya bahwa kekuatan seperti itu ada adalah apa yang penting.
Weber menganggap karismatik menjadi pengemudi dan kekuatan kreatif yang melalui
otoritas tradisional serta peraturan yang ditetapkan. Satu-satunya dasar otoritas karismatik adalah
pengakuan atau penerimaan dari klaim pemimpin oleh pengikut. Otoritas karismatik bisa
menjadi revolusioner di alam menantang otoritas tradisional dan terkadang rasional-hukum. Tipe
otoritas ini dengan mudah bisa berubah menjadi otoritas tradisional di mana kekuasaan tersebut
dilakukan oleh mereka yang mengelilingi pemimpin karismatik.
Otoritas karismatik merupakan kebalikan dari kegiatan rutin dan merupakan keinginan
untuk gangguan dan perubahan tatanan sosial yang berlaku. Ini adalah bagian penting dari
dialektika antara kebutuhan manusia untuk struktur dan kebutuhan sama-sama manusia untuk
variasi dan inovasi dalam masyarakat. Otoritas karismatik berbeda dari otoritas rasional atau
tradisional karena berkembang bukan dari tatanan yang sudah mapan atau tradisi melainkan dari
kepercayaan khusus pemimpin karismatik dalam menginduksi pengikutnya kekuatan aneh dia
pameran dan kualitas unik yang dimilikinya. Menurut Weber sulit bagi para pemimpin
karismatik untuk mempertahankan otoritas mereka karena pengikut harus terus melegitimasi
otoritas ini. Ada kebutuhan bagi pemimpin karismatik untuk terus menunjukkan kinerja
kepemimpinan untuk pengikutnya agar memperkuat legitimasi kekuasaannya.

3. Otoritas Legal Rasional


Otoritas yang didasarkan pada komitmen terhadap seperangkat peraturan yang
diundangkan secara resmi dan diatur secara impersonal disebut weber dengan istilah otoritas
legal-rasional. Tipe ini sangat erat kaitannya dengan rasionalitas instrumental. Tipe ini berbeda
dengan otoritas tradisional dan karismatik dalam sifat impersonal pelaksanaannya. Singkatnya,
orang yang sedang melaksanakan ototritas legal-rasional adalah karena dia memiliki suatu posisi
sosial yang menurut peraturan yang sah didefinisikan sebagai memiliki posisi otoritas. Bahwa
tunduk pada otoritas karena posisi sosial yang mereka miliki mengharuskan hal tersebut dalam
bidang-bidang tertentu.
Seleksi terhadap orang-orang untuk menduduki posisi otoritas itu atau posisi bawahan juga
diatur secara eksplisit oleh peraturan yangs ecara resmi adalah sah. Misalnya, peraturan mungkin
menjelaskan persyaratan-persyaratan tertentu menurut pendidikan atau keahlian. Bagaimanapun
juga komitmen individu terhadap hubungan yang meliputi penggunaan otoritas legal-rasional
berlandaskan pada komitmennya yang lebih umum terhadap peraturan-peraturan impersonal
yang mendefinisikan dan mengatur hubungan itu. Singkatnya, peraturan-peraturan itu apabila
diundangkan menurut prosedur yang diterima dan sah, dilihat sebagai sesuatu yang mengikat dan
absah.

B. Bentuk Organisasi Birokratis


Otoritas legal Rasional dapat mengambil varietas bentuk-bentuk struktural, tetapi bentuk
yang paling menarik perhatian weber ialah birokrasi, yang dianggap sebagai “tipe pelaksanaan
otoritas legal yang paling murni”. Analisa Max Weber yang sangat terkenal mengenai organisasi
birokrasi berbeda dengan sikap yang umumnya terdapat di masa kini yang memusatkan
perhatiannya pada birokrasi yang tidak efisien, boros dan nampaknya tidak rasional lagi.
Sebaliknya, dalam membandingkan birokrasi dengan bentuk-bentuk administrasi tradisional
kuno yang didasarkan pada keluarga besar (extended family) dan hubungan pribadi, Weber
melihat birokrasi modern sebagai satu bentuk organisasi sosial yang efisien, sistematis dan dapat
diramalkan. Seperti yang dilihatnya langsung dalam masyarakat sendiri, yang dikuasai ketika
sedang berada di bawah birokrasi militer dan birokrasi politik Prusia, dan ketika dia melihat
perkembangan sistem administrasi industri dan administrasi politik nasional di negara-negara
Barat lainnya,dia mendapat kesan bahwa perkembangan dunia modern ditandai oleh semakin
besarnya pengaruh birokrasi. Bentuk organisasi sosial birokratis, yang mencerminkan suatu
tingkat rasionalitas instrumental yang tinggi, mampu berkembang pesat dengan menggeser
bentuk-bentuk tradisional hanya karena efesiensinya yang besar itu.

Sebagian besar analisa Weber mengenai birokrasi mencakup karakteristik-karakteristik


struktural yang istimewa, yang dilihatnya sebagai tipe ideal yaitu :
1. Aturan-aturan yang disahkan, regulasi, dan prosedur yang distandarkan dan arah tindakan
anggota organisasi dalam pencapaian tugas organisasi. Weber menggambarkan pengembangan
rangkaian kaidah dan panduan spesifik untuk merencanakan tugas dan aktifitas organisasi.
2. Spesialisasi peran anggota organisasi memberikan peluang kepada divisi pekerja untuk
menyederhanakan aktivitas pekerja dalam menyelesaikan tugas yang rumit. Dengan memecah
tugas-tugas yang rumit kedalam aktivitas yang khusus tersebut, maka produktifitas pekerja dapat
ditingkatkan.
3. Hirarki otoritas organisasi formal dan legitimasi peran kekuasaan anggota organisasi didasarkan
pada keahlian pemegang jabatan secara individu, membantu mengarahkan hubungan intra
personal diantara anggota organisasi guna menyelesaikan tugas-tugas organisasi. Prinsip
pertingkatan ini dan derajat wewenang merupaka sistem yang tegas perihal hubungan atasan
dengan bawahan teradap bawahan oleh atasannya.
4. Pekerjaan personil berkualitas didasarkan pada kemampuan tekhnik yang mereka miliki dan
kemampuan untuk melaksanakan tugas yang dibebangkan kepada mereka. Para manajer harus
mengevaluasi persyaratan pelamar kerja secara logis, dan individu yang berkualitas dapat
diberikan kesempatan untuk melakukan tugasnya demi perusahaan.
5. Mampu tukar personil dalam peran organisasi yang bertanggung jawab memungkinkan aktivitas
organisasi dapat diselesaikan oleh individu yang berbeda. Mampu tukar ini menekankan
pentingnya tugas organisasi yang relatif untuk dibandingkan dengan anggota organisasi tertentu
yang melaksanakan tugas-tugasnya.
6. Impersonality dan profesionalisme dalam hubungan intra personil diantara anggota organisasi
mengarahkan individu kedalam kinerja tugas organisasi. Menurut prinsipnya, anggota organisasi
harus konsentrasi pada tujuan organisasi dan mengutamakan tujuan dan kebutuhan sendiri.
Sekali lagi, ini menekankan prioritas yang tinggi dari tugas-tugas organisasi didalam
perbandingannya dengan prioritas yang rendah dari anggota organisasi individu
7. Uraian tugas yang terperinci harus diberikan kepada semua anggota organisasi sebagai garis
besar tugas formal dan tanggung jawab kerjanya. Pekerja harum mempunyai pemahaman yang
jelas tentang keinginan perusahaan dari kinerja yang mereka lakukan.
8. Rasionalitas dan predictability dalam aktivitas organisasi dan pencapain tujuan organisasi
membantu meningkatkan stabilitas perusahaan. Menurut prinsip dasarnya, organisasi harus
dijalangkan dengan kaidah dan panduan pemaksaan yang logis dan bisa diprediksikan.
Tipe ideal meliputi seleksi atas ciri-ciri suatu gejala empirik yang kelihatannya
behubungan secara logis dan berarti, meskipun kerangka atau ciri-ciri ini secara empirik tidak
pernah ada dalam bentuk murni. Misalnya tipe ideal mengenai birokrasi menekankan sifat
hubungan sosial yang impersonal, tetapi organisasi birokratis yang sebenarnya tidak pernah
sepenuhnya mengabaikan atau mencegah timbulnya hubungan-hubungan pribadi.
Birokrasi Khas-Ideal Weber melukiskan birokrasi-birokrasi dalam istilah tipikal ideal:
“Dari suatu sudut pandang teknis belaka, suatu birokrasi mampu mencapai derajat efisiensi
tertinggi, dan dalam pengertian itu secara formal birokrasi adalah alat paling rasional yang
diketahui bagi pelaksanaan otoritas atas umat manusia. Birokrasi lebih unggul dibandingkan
setiap bentuk pelaksanaan otoritas lainnya dalam hal presisi,stabilitas, keketatan displinnya, dan
dalam keandalannya. Oleh sebab itu, birokrasi memungkinkan derajat kalkulabilitas hasil yang
sangat tinggi untuk para kepala organisasi dan untuk orang-orang yang bertindak terkait
dengannya. Akhirnya, birokrasi lebih unggul baik dalam hal efisiensi intensif maupun dalam hal
cakupan kegiatannya dan secara formal dapat diterapkan kepada segala jenis tugas
administratif.” (Weber, 1921/1968:223)
Weber juga mengatakan, birokrasi itu sistem kekuasaan, dimana pemimpin (superordinat)
mempraktekkan kontrol atas bawahan (subordinat). Sistem birokrasi menekankan pada aspek
“disiplin” . sebab itu, Weber juga memasukkan birokrasi sebagai sistem legal-rasional. Legal
oleh sebab tunduk pada aturan-aturan tertulis dan dapat disimak oleh siapapun juga. Rasional
artinya dapat dipahami, dipelajari, dan jelas penjelasan sebab-akibatnya.
Meskipun ada diskusinya mengenai sifat-sifat positif birokrasi, disana-sini didalam
karyanya, ada ambivalensi fundamental dalam sikapnya terhadap birokrasi. Kendati Weber
memerinci keuntungan-keuntungan birokrasi, dia sadar betul atas masalah-masalah yang
ditimbulkannya. Weber mengungkapkan berbagai keberatan tentang organisasi-organisasi
birokratik. Contohnya, dia sadar atas “kelakuan birokrasi” (red tape) yang sering membuat
urusan dengan birokrasi begitu menjengkelkan dan begitu sulit. Akan tetapi, ketakutannya yang
utama ialah, bahwa rasionalisasi yang mendominasi semua aspek kehidupan birokrasi adalah
suatu ancaman bagi kemerdekaan individu. Seperti dinyatakan weber:
“Tidak ada mesin yang berfungsi begitu seksama di dunia seperti para aparat manusia ini dan,
yang begitu murah. Kalkulasi rasional mereduksi setiap pekerjaan menjadi suatu gigi roda
didalam mesin birokratis ini dan, ketika melihat dirinya sendiri dalam kondisi demikian, dia
hanya akan menanyakan cara untuk mengubah dirinya agar bisa menjadi sebuah gigi roda yang
agak lebih besar. Nafsu utnuk birokratisasi mendorong kita menuju keputusan.”
Weber dikejutkan oleh efek-efek birokratisasi dan yang lebih umum lagi efek-efek
rasionalisasi dunia. Birokratisasi hanyalah satu komponen dari rasionalisasi dunia. Weber tidak
melihat ada jalan keluar. Dia melukiskan birokrasi sebagai lembaga-lembaga yang “escape
proof” (tidak bisa dielakkan), “nyaris tidak tergoyahkan,” dan salah satu diantara hal-hal yang
paling sulit dihancurkan sekali ia dibentuk. Dengan nada yang sama dia merasa bahwa para
birokrat individual tidak dapat “mengeliat keluar” dari birokrasi sekali mereka “dipasang”
didalamnya (untuk pandangan yang kurang mengecutkan hati mengenai birokrasi, liat klagge,
1997). Weber menyimpulkan bahwa “masa depan adalah milik birokratisasi” dan waktu telah
membuktikan prediksinya.
Weber akan mengatakan bahwa pelukisannya atas keuntungan-keuntungan birokrasi
adalah bagian dari gambaran tipikal idealnya atas cara kerja birokrasi. Birokrasi yang tipikal
ideal adalah suatu pembesar-besaran yang disengaja mengenai sifat-sifat rasional birokrat. Model
yang dibesar-besarkan itu bermanfaat untuk maksud-maksud heuristik dan untuk mempelajari
organisasi-organisasi di dunia nyata, tetapi jangan disalah pahami sebagai pelukisan yang
realistis mengenai cara kerja birokrasi yang sesungguhnya.

Weber membedakan birokrasi yang ditipikal-ideal dari birokrat yang tipikal-ideal. Dia
membayangkan birokrasi sebagai sturktur-struktur dan para birokrat sebagai posisi-posisi yang
ada didalam struktur-struktur itu. Weber tidak memberikan suatu psikologi sosial mengenai
organisasi atau mengenai para individu yang menghuni birokrasi itu, seperti yang dapat kita
harapkan ketika dia berorientasi tindakan atau seperti yang dapat dilakukan para interaksionis
simbolik modern.
Birokrasi yang tipikal-ideal adalah suatu tipe organisasi. Unit-unit dasarnya adalah jabatan-
jabatan yang di atur dengan cara hierarkis disertai aturan-aturan, fungsi-fungsi, dokumen-
dokumen tertulis dan alat-alat pemaksa. Semua itu, pada derajat yang bervariasi, adalah struktur-
struktur berskala besar yang menggambarkan arah pemikiran weber. Terutama, dia dapat
merumuskan suatu birokrasi tipikal-ideal yang berfokus pada pemikiran-pemikiran dan tindakan-
tindakan para individu yang ada didalam birokrasi. Ada suatu aliran pemikiran yang lengkap
dalam studi mengenai organisasi-organisasi yang berfokus secara seksama pada level tersebut
ketimbang pada struktur-struktur birokrasi.
Berikut ini adalah sifat-sifat utama birokrasi yang tipikal-ideal :
1. Suatu pengaturan fungsi resmi yang terus menerus diatur menurut peraturan
2. Suatu bidang keahlian, yang meliputi:
a) Bidang kewajiban melaksanakan fungsi yang sudah ditandai sebagai bagian dari pembagian
pekerjaan yang sistematis
b) Ketetapan mengenai otoritas yang perlu dimiliki seseorang yang menduduki suatu jabatan untuk
melaksanakan fungsi-fungsi ini
c) Bahwa alat paksaan yang perlu secara jelas dibatasi serta penggunaanya tunduk ada kondisi-
kondisi terbatas itu
d) Organisasi kepegawaian mengikuti prinsip hirarki; artinya pegawai rendahan berada dibawah
pengawasan dan mendapat super visi dari seseorang yang lebih tinggi
e) Peraturan-peraturan yang mengatur prilaku soeorang pegawai dapat merupakan peraturan atau
nrma yang bersifat tehnis. Dalam kedua hal itu, kalau penerapannya seluruhnya bersifat rasional,
maka (latihan) spesialisasi diharuskan
f) Dalam tipe rasional hal itu merupakan masalah prinsip bahwa para anggtoa staf administratif
harus sepenuhnya terpisah dari peilikan alat-alat produksi atau administrasi
3. Dalam hal tipe rasional itu, juga biasanya terjadi bahwa sama sekali tidak ada pemberian posisi
kpegawaiannya oleh seseorang yang sedang menduduki suatu jabatan.
4. Tindakan-tindakan, keputusan-keputusan dan eraturan-peraturan administratif dirumuskan dan
secara tertulis
Walaupun suatu organisasi birokrasi bisa memperlihatkan tingkatan rasionalitas dan daya
ramal (predictability) yang tinggi, tidak berarti bahwa setiap pegawai dalam organisasi itu akan
harus sadar bagaimana semua elemen yang berbeda-beda dalam organisasi itu saling
berhubungan untuk membentuk suatu sistem yang rasional. Orientasi subyektif pegawai itu
secara individual adalah konsentrasi pada tugasnya yang khusus, dan mungkin juga hubungan
tugas ini dengan tugas-tugas lainnya yang erat kaitannya.

Rasionalitas organisasi birokrasi berhubungan dengan pertimbangan-pertimbangan


efisiensi teknis serta daya ramalnya, bukan kebutuhan manusia atau nilai akhir. Dalam beberapa
kasus, tujuan organisasi itu secara keseluruhan atau akibat yang tidak langsung dar fungsi
rutinnya sangat menghambat terpenuhinya kebutuhan manusia, atau mengganggu nilai-nilai yang
terdapat dalam kalangan luas.

Weber mencampurbaurkan perasaan-perasaan dengan dominasi organisasi birokratis yang


bertambah besar. Dia tidak melihat efisiensinya yang semakin bertambah itu menghasilkan
kebahagiaan manusia yang lebih besar atau membawa kemajuan yang jelas ke suatu bentuk
masyarakat yang utopis. Dalam hal ini dia lebih pesimis daripada Marx yang memimpikan suatu
masyarakat tanpa kelas.
Dalam mengembangkan dan meningkatkan bentuk organisasi birokratis, orang
membangun bagi dirinya suatu “kandang besi” (iron cage) dimana pada suatu saat mereka sadar
bahwa mereka tidak bisa keluar lagi dari situ. Proses ini tidak hanya terbatas pada masyarakat
kapitalis; juga terjadi dalam masyarakat sosialis. Satu-satunya jalan keluar yang dibayangkan
Weber adalah impian kosongnya bahwa mungkin kelak akan muncul seorang pemimpin
kharismatik yang akan membuat dobrakan dari cengkraman mesin birokratis yang tanpa jiwa itu,
dan memberi tempat kembali pada perasaan dan cita-cita manusia.
Ø Birokrasi Rasional
Dalam tipe ideal birokrasi yang rasional yang dikemukakan oleh Weber tersebut jika
dikaitkan dalam perpolitikan sekarang tersirat intisari bahwa seorang pejabat politik tidak
diperkenankan lebih mementingkan kepentingan individualnya daripada kepentingan umum,
sama halnya dalam pilkada, elit birokrasi atau pejabat birokrasi harus bisa netral karena adanya
batasan jabatannya.
Menurutnya, Organisasi disebut sebagai sebuah birokrasi, menentukan norma-normanya sendiri yang
semuanya harus dilaksanakan. Organisasi mempunyai peraturan dan pengaturan dan juga memberi perintah agar
organisasi dapat berfungsi secara efektif dimana semua peraturan harus ditaati (Weber ungkap Etzioni,1985;73).
Pandangan Weber banyak dicurahkan kepada masalah pembagian distribusi kekuasaan
antara berbagai posisi organisasi didalam struktur birokrasi. Sebagaimana yang dikemukakan
oleh Etzioni (1985:3) Weber berhasil menyajikan perspektif baru tentang kepuasan sebagai hasil
partisipasi didalam organisasi, bagaimana caranya mengendalikan para partisipan agar efesien
dan efektivitasnya dapat ditingkatkan semaksimal mungkin serta sekaligus
mengurangi uncertanty(ketidakpastian) yang diakibatkan oleh kebutuhan untuk mengendalikan
organisasi birokrasi. Dengan perkataan lain bahwa organisasi dapat menggunakan sumber daya
yang dimilikinya untuk memberi ganjaran kepada mereka yang taat dan sebaliknya memberi
hukuman kepada mereka yang membangkang agar struktur organisasi moderen dapat berfungsi
secara efektif dan efisien. Lebih lanjut disebutkan Etzioni (1985:73) bahwa sebagai suatu
organisasi, struktur tersebut memerlukan wewenang birokrasi.
Konsep tentang struktur birokrasi yang rasional menurut Weber yaitu:
1. Tugas-tugas pejabat diorganisir atas dasar aturan yang berkesinambungan.
2. Tugas-tugas tersebut dibagi atas bidang-bidang yang berbeda sesuai dengan fungsi-fungsinya,
yang masing-masing dilengkapi dengan syarat otoritas dan sanksi-sanksi.
3. Jabatan-jabatan tersusun secara hirarkis, yang disertai dengan rincian hak-hak kontrol dan
pengaduan (complaint).
4. Aturan-aturan yang sesuai dengan pekerjaan diarahkan baik secara tekhnis maupun secara
legal. Dalam kedua kasus tersebut, manusia yang terlatih menjadi diperlukan.
5. anggota sebagai sumber daya orgaisasi berbeda dengan anggota sebagai individu pribadi.
6. Pemegang jabatan tidaklah sama dengan jabatannya.
7. Administrasi didasarkan pada dokumen-dokumen tertulis dan hal ini cenderung menjadikan
kantor (biro) sebagai usat organisasi modern.
8. Sistem-sistem otoritas legal dapat mengambil banyak bentuk, tetapi dilihat bentuk aslinya,
sistem tersebut tetap berada dalam suatu staf administrasi birokratik.
Weber menjelaskan organisasi rasional merupakan antitesa dari pada hubungan khusus,
temporal dan yang tidak stabil dengan demikian titik beratnya diartikannya kepada kontinuitas.
Peraturan akan menghasilkan suatu penyelesaian baru bagi setiap persoalan dan kasus, peraturan
akan mempermudah standarisasi dan banyak kasus diperlakukan secara sama.
Bidang kompetensi khusus; ini menyangkut;
(a) Suatu bidang kewajiban untuk menjalankan berbagai fungsi yang merupakan
pembagian kerja yang sistematis
(b) Persyaratan bagi para pemegang jabatan dengan wewenang yang diperlukan untuk
melaksanakan fungsi tersebut.
(c) Bahwa sarana pelaksana sudah ditentukan secara jelas dan penggunanya tunduk pada
kondisi tertentu.

Prinsip birokrasi, menurut Max Weber:


1. Susunan jabatan berdasarkan prinsip hirarki. Dengan perkatan lain setiap jabatan yang
tingkatanya lebih rendah selalu berada dibawah pengendalian dan pengawasan tingkat yang lebih
tinggi. Dengan cara tersebut tidak ada jabatan yang tidak dikendalikan. Pemenuhannya tidak
dapat dilakukan secara kebetulan, pelaksanaannya harus dicek dan diperkuat secara sistematis.
2. Peraturan yang mengatur tingkah laku sesuatu jabatan dapat berbentuk peraturan dan
norma teknis. Peraturan dan norma teknis tersebut, penerapanya benar-benar rasional dan harus
didukung oleh latihan khusus. Dengan demikian pada umumnya tepat bila dikatakan bahwa
hanya seseorang yang memiliki latar belakang teknis yang memadai dan dipandang cukup
cakap.Untuk menduduki jabatan staf administrasi, Weber menyebut akar wewenang birokrat
ialah pengetahuan dan latihan yang pernah diterima, penguasaanya dibidang keterampilan teknik
dan pengetahuan akan merupakan landasan-landasan legitimasi yang diberikan kepadanya.
3. Sudah merupakan prinsip bahwa anggota staf administrasi tidak dapat memiliki sarana
produksi atau administrasi, selain itu pada prinsipnya terdapat pemisahan antara milik organisasi
yang dikendalikan secara resmi dan milik pribadi seorang pejabat. Contoh: penggunaan mobil
dinas hanya dapat digunakan untuk kepentingan dinas, sebagai seorang birokrat dalam
kepentingan tugas-tugasnya, dan tidak digunakan diluar kepentingan dinas.
4. Untuk meningkatkan kebebasan organisasi, semua sumber dan organisasi harus bebas
dari setiap pengendalian ekstern dan posisi tidak dapat dimonopoli didalam tangan pejabat
manapun. Sumber daya harus bebas untuk dialokasikan dan direalokasikan sesuai kebutuhan
organisasi. Dalam hal ini pejabat tidak dapat memiliki jabatan resmi secara pribadi.
5. Tindakan, keputusan dan peraturan administratif harus dirumuskan dan dicatat secara
tertulis, Weber menekankan agar norma dan pelaksanaan peraturan harus ditafsirkan secara
sistematis dan dokumen itu harus tertulis dan disimpan sebagai sumber pengawasan.
Selain kelima prinsip birokrasi diatas, Weber menjelaskan bahwa:
”para pejabat harus digaji secara resmi dan tidak boleh menerima pembayaran dari klien
agar lebih mengutamakan orientasinya kepada organisasi. Norma-norma ini yang berlaku bagi
aparat birokrasi serta mempromosikan para pejabat secara sistematis harus dilakukan dan ini
berarti menyalurkan hasrat dan ambisi dengan cara menyediakan jabatan karier, memberi
ganjaran kepada pejabat yang setia, dengan demikian organisasi akan lebih memperkuat rasa
tanggung jawab para pejabat sebagaimana yang disebut Etzioni (1985;78)”.
Menurut Weber sebagaimana yang disebut Thoha (1987;73) teori birokrasi rasional adalah
sebuah konsepsi model tipe ideal (ideal type)dari hubungan organisasi rasional. Ia menyebut bila
kumpulan mereka itu tidak diatur, kerja mereka bisa acak-acakkan, semrawut, mengacau, tidak
rasional dan tidak efisien. Semua yang bernada pemborosan tidak ada aturan dan mubazir dapat
diatasi dengan konsep model tipe ideal.
Model tipe ideal ini bertujuan agar dalam organisasi itu tercapai rasionalitas, agar dapat
menempung prinsip-prinsip kehidupan manusia yang berorganisasi. Setiap organisasi, apakah itu
pemerintahan atau non pemerintahan, fungsinya selalu diatur, sehingga prinsip kepastian dan
hal-hal kedinasan harus diatur berdasarkan hukum yang diwujudkan dalam berbagai peraturan.
Di dalam konsep Weber, sebagaimana yang disebut Thoha (1987;76) mengenai pengisian
jabatan struktural, harus ada aturan yang menjamin kelangsungan pengisian jabatan dengan
pedoman yang jelas dan tegas bahwa orang-orang yang mempunyai persyaratan yang ditentukan
sajalah yang bisa diangkat dalam jabatan tersebut. Ia mencontohkan pendidikan dan keahlian
yang terlatih yang dapat memenuhi syarat sesuai bidang dan spesialisasi dunianya agar urusan
yang dipegang dapat berjalan dengan baik dan efisien. Disisi lain penilaian terhadap keberhasilan
atau ketaatan dapat dipromosikan sebagai ganjaran dan sebaliknya sanksi hukuman yang tegas
tanpa pandang bulu diberlakukan bagi siapa yang melakukan pelanggaran aturan-aturan yang
telah ditetapkan oleh birokrasi.
Teori Weber, sebagaimana yang disebut (Thoha 1987;78) bahwa apa yang ia sebutkan
prinsip impersonal dalam organisasi harus ditegakkan oleh birokrasi, yakni hubungan yang
memberi kesempatan berbagai aspirasi yang sifatnya pribadi. Weber memperjelas prinsip
impersonal itu adalah hubungan belas kasihan, cinta kasih, kasih sayang, kesedihan dan
kesenangan, jangan mengintervensi kedalam tata hubungan birokrasi, kalau semuanya itu masuk
maka rasionalisasi sudah tidak bermakna lagi.
Ia mempertegas bahwa konsep impersonal yang memasuki birokrasi seperti belas kasihan,
cinta kasih, kasih sayang, kesedihan, kesengan, yang keterlaluan intervensinya menjadikan
birokrasi berperilaku buruk. Sifat personal itu kalau dituruti maunya akan bersifat irasional dan
bernada cenggeng. (Weber dalam Thoha, 1987;78). Kemudian pendapat ini dirangkum oleh
Albrow, sebagaimana yang disebut oleh Santoso (1997;18) dengan menyebutkan ada empat ciri
utama dari tipe ideal tersebut, yaitu:
i) adanya suatu struktur hirarki, termasuk pendelegasian wewenang dari atas kebawah
dalam organisasi, ii) adanya serangkaian posisi-posisi jabatan yang masing-masing memiliki
tugas dan tanggung jawab yang tegas, iii) adanya aturan-aturan, regelusi-regulasi dan standar-
standar formal yang megatur tata kerja organisasi dan tingkah laku para anggota, dan iv) adanya
personil yang secara teknis memenuhi syarat yang dipekerjakan atas dasar karir, dengan promosi
yang didasarkan pada kualifikasi dan penampilan.
Selanjutnya Bennis, sebagaimana yang disebut Thoha (1987;91) berbeda dengan Weber,
bahwa untuk perkembangan pada masa mendatang, bahwa penataan organisasi akan mempunyai
sifat-sifatnya yang unik. Struktur organisasi formal akan mengalami perubahan dan penambahan
yang bervariasi. Orang tidak lagi hanya memusatkan perhatiannya pada struktur formal seperti
apa yang dikemukakan Weber. Istilah temporer, sementara, relative, jangka pendek dan
sejenisnya mulai mewarnai struktur organisasi.
Teori Weber sebagaimana disebut Onghokham (1982:2) menyebut birokrasi adalah alat
pemerintahan untuk melaksanakan kebijakannya dalam suatu negara modren disebut birokrasi
negara atau aparatur negara seperti lazimnya di Indonesia. Sifat birokrasi sebagai mesin
(rasional/impersonal), tanpa ciri subjektif (personal) apapun. Ini adalah birokrasi ideal, karena
sifatnya bagaikan mesin itulah yang menjadikan ia efektif di masyarakat. Mekanisme
didalamnya diatur dengan undang-undang, yang juga berjalan secara otomatis tanpa pandang
bulu. Promosi, rekruitering (penerimaan dalam birokrasi tersebut) diatur dan gaji atau sumber
penghasilan pribadi terpisah dengan jabatan para anggota birokrasi. Fungsi-fungsi (sifat yang
menyolok dari birokrasi modern) khususnya hirarki atasan dan bawahan dan lain-lain diatur
dengan undang-undang. Negara menyerahkan kekuasaan kepada birokrasi untuk memerintah
masyarakat sebagai aparat negara.
Keuangan untuk keperluan kantor berbeda dengan gaji pegawai. Bila perlu ada dana-dana
istimewa untuk menjamin kejujuran anggota birokrasi tersebut seperti dana politik, dana resepsi,
dan lain-lain yang diatur lagi oleh undang-undang. Terhadap hal ini, Weber sebagaimana yang
disebut Onghokham (1982;9) menguraikan bahwa:
”Kalau birokrasi tidak dibiayai cukup untuk kebutuhanya, karena kekuasaanya ia akan
memungut secara liar dari masyarakat apa yang tidak diperolehnya secara legal. Birokrasi negara
ini demikian efektif sehingga dalam keadaan negara mengganti kabinet, birokrasi tetap
menjalankan roda pemerintahan dan tidak menggangu kepentingan umum. Birokrasi dapat
dipakai rezim demokratis, fasis dan diktator. Contoh seperti ini dapat dilihat di Italia dan Prancis
dan di negara Eropa selama Perang Dunia II”
Ø Birokrasi Patrimonial.
Terminologi patrimonial adalah konsep antropologi yang secara nominatif berasal kata
dari patir dan secara genetif berasal ari katapatris yang berarti Bapak. Konsep yang
dikembangkan dari kata tersebut kemudian diterjemahkan secara lebih luas yakni menjadi
warisan dari bapak atau nenek moyang.
Disamping birokrasi rasional yang dipelopori oleh Max Weber. Schrool (1980:167) yakni
seorang pakar modernisasi dunia berkembang membedakan jenis birokrasi menjadi birokrasi
modern dengan patrimonial. Jika pada birokrasi rasional lebih menitikberatkan pada unsur
prestasi, maka pada birokrasi patrimonial justru sebaliknya, yakni menekankan pada ikatan-
ikatan patrimonial (patrimonial ties) yang menganggap serta menggunakan administrasi sebagai
urusan pribadi dan kelompok. Secara lebih tegas, Weber sebagaimana yang dikemukakan oleh
Santoso (1997:22) menegaskan bahwa dalam birokrasi patrimonial, individu-individu dan
golongan penguasa berupaya mengontrol kekuasaan dan otoritas jabatan untuk kepentingan
kekuasaanya. Selain itu, ciri daripada birokrasi patrimonial disebutkan bahwa:
i). Pejabat-pejabat disaring atas dasar kriteria pribadi dan politik, ii) jabatan dipandang
sebagai sumber kekayaan atau keuntungan, iii) pejabat-pejabat mengontrol, baik fungsi politik
maupun administratif karena tidak ada pemisahan antara sarana-sarana produksi dan
administrasi, iv) setiap tindakan diarahkan oleh hubungan pribadi dan politik. Tujuan-tujuan
pribadi penguasa merupakan hal yang pokok dalam sepak terjang pemerintahan kendatipun
mereka dibatasi oleh fungsi-fungsi sebagai seorang pemimpim.”(Weber dalam santoso,
1997:23).
Ø Budaya Birokrasi
Uraian diatas telah mencoba menjelaskan dua perspektif birokrasi yakni birokrasi rasional-
modern yang dikembangkan oleh Max Weber sebagai kontra terhadap birokrasi patrimonial.
Bila birokrasi rasional yang dikembangkan oleh Weber adalah tipe ideal, bebas dari
impersonal, objektif dan keutamaan terhadap prestasi (pendidikan dan latihan) dan banyak
diterapkan di negara-negara maju. Selanjutnya, birokrasi patrmonial adalah keutamaan terhadap
ikatan-ikatan primordial (primordial ties) seperti agama, suku, klan, teritori, subjektif, kurang
mengindahkan prestasi dan banyak ditemukan di negara-negara dunia berkembang seperti
bangsa Indonesia.
Sistem seperti ini banyak terjadi pada birokrasi kerajaan patrimonial yang secara rinci
dapat ditemukan dalam birokrasi kerajaan Jawa sejak Majapahit hingga abad ke-20 pada
kerajaan Surakarta dan Yogyakarta. Budaya birokrasi sebagai abdi dalem ini tentu saja sangat
membekas dalam sistem nilai dan sistem pengetahuan masyarakat (knowledge and value of
sisyem) sehingga sekalipun perubahan-perubahan sudah terjadi dapat saja budaya itu masih
sangat melekat.
Masa Pulau Jawa bersentuhan dengan kolonialisme terutama setelah Diponegoro
ditaklukkan pada tahun 1830, maka pemerintah Belanda mengganti peran abdi
dalem menjadi priyayi yakni ambtenaar, yaitu orang-orang pribumi yang diangkat dalam jajaran
birokrasi kolonial dengan mendapatkan gaji dan memiliki kedudukan yang kuat dalam
masyarakat. Berbeda dengan abdi dalem yang diangkat berdasarkan kemurahan raja,
maka priyayi diangkat berdasarkan rasional. Mereka ini lebih menekankan kemajuan dan
kebaharuan yang berbeda denganabdi dalem yang cenderung konservatif dan klasik. Para priyayi
yang lebih banyak berhubungan dengan pemerintah kolonial membuat mereka mengadopsi gaya
hidup barat dan mengadaptasikan ketimuran mereka pada budaya yang didominasi oleh kognisi,
etika dan estetika barat. Mereka lebih suka menggunakan bahasa Belanda sebagai simbol
kebanggaan. Mereka dengan senang mengikuti model busana, bujana dan tegur sapa Belanda.
Demikian pula dalam memanfaatkan waktu luang mereka.
Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa, apa yang diketahui tentang sejarah priyayi ialah
kesenderungan mereka untuk mengabdi dan menundukkan diri sebagai bagian dari kekuasaan
kolonial sama sepertiabdi dalem yang meleburkan dirinya menjadi bagian dari penguasa
kerajaan. Oleh karena itu, menurut Kuntowijoyo (1991: 332) Indonesia sebenarnya tidak punya
tradisi birokrasi yang lebih mengidentifikasikan diri sebagai sebuah pelayan sosial. Oleh karena
itu, pasca Indonesia merdeka, negara membangun birokrasi baru yang dikenal dengan pegawai
negeri.
Kekuasaan pegawai negeri sebenarnya sangat luas, tetapi pegawai negeri gagal menjadi
kelas sosial yang eksklusif karena ada penurunan kemakmuran disatu pihak dan penambahan
jumlah dipihak lain. Kecuali dengan rata-rata petani, pegawai negeri masih kalah makmur jika
dibandingkan dengan sektor non pegawai negeri ataupun petani. Yang menarik dalam gejala
birokrasi sekarang ialah keterlibatan pegawai negeri dalam politik praktis secara formal, suatu
gejala yang tidak pernah ada di masa lalu. Gejala lainnya adalah idiologisasi yakni dengan
penataran-penataran kesadaran politik. Tentu saja idiologisasi itu penting terutama untuk
menumbuhkan semangat nasional, tetapi jika idiologisasi tersebut menggantikan cara berfikir
analitis, tentu tidak banyak bermanfaat pada pengembangan birokrasi sebagai pelayan.
Disamping itu, gejala lainnya adalah ritualisasi yakni dengan adanya baju seragam, upacara-
upacara, sumpah-sumpah, yang mirip denganabdi dalem. Ritualisasi tersebut tentu saja tidak sia-
sia, tetapi dikhawatirkan akan kehilangan etos kepelayanan dan yang tersisa adalah etos
kekuasaan.(Kuntowijoyo, 1991:334).

Menurut David Beetham (1975), Weber memperhitungkan tiga elemen pokok dalam
konsep birokrasinya. Pertama, birokrasi dipandang sebagai instrumen teknis. Kedua, birokrasi
dipandang sebagai kekuatan yang independen dalam masyarakat, sepanjang birokrasi
mempunyai kecenderungan yang melekat pada penerapan fungsi sebagai instrumen fungsi
tersebut. Ketiga, pengembangan dari sikap ini karena birokrat tidak mampu memisahkan
perilaku mereka dari kepentingannya sebagai suatu kelompok partikular. Dengan demikian
birokrasi dapat keluar dari fungsinya yang tepat karena anggotanya cenderung datang dari klas
sosial yang partikuler tersebut.
Elemen kedua dan ketiga dari birokrasi Weber diatas, mengandung pandangan Weber
terhadap peranan politik dalam birokrasi. Ada faktor yang bisa mempengaruhi proses tipe ideal
birokrasi. Kehidupan birokrasi tampaknya sudah diperhitungkan tidak mungkin bisa dipisahkan
dari politik.

Adakah alternatif lain? Birokrasi adalah salah satu dari struktur-struktur rasional yang
memainkan peran yang kian penting di dalam masyarakat modern , tetapi orang mungkin
bertanya-tanya apakah ada alternatif untuk struktur birokratis. Jawaban Weber yang jelas dan
tegas ialah tidak ada alternatif yang mungkin: “Kebutuhan-kebutuhan administrasi massa
membuat birokrasi di masa kini benar-benar sangat diperlukan. Pilihanya hanya diantara
birokrasi dan kinerja amatir (dilettantiasm) di bidang administrasi”.
Meskipun kita dapat mengakui bahwa birokrasi adalah bagian intrinsik kapitalisme
modern, kita dapat bertanya apakah masyarakat sosialis mungkin berbeda. Mungkinkah
menciptakan suatu masyarakat sosialis tanpa birokrasi dan birokrat? Sekali lagi, Weber
menjawab dengan tegas “ bila orang-orang yang tunduk kepada birokratis berusaha mlepaskan
diri dari pengaruh para aparat birokratis yang ada, normalnya hal itu yang hanya mungkin
dengan menciptakan suatu organisasi sendiri yang sama tunduknya kepada proses birokratis”.
Sesungguhnya weber percaya bahwa dalam kasus sosialisme, kita malah akan melihat suatu
pertambhan, bukan pengurangan, birokratisasi. Jika sosialisme mencapi suatu tingkat efisiensi
yang sebanding dengan kapitalisme, “itu berarti pertambahan yang luar biasa dalam pentingnya
birokrat profesional”.
Dalam kapitalisme paling tidak para pemilik bukan birokrat sehingga mereka akan mampu
mengendalikan para birokrat, tetapi dalam sosialisme, para pemimpin level puncakpun adalah
para birokrat. Oleh karena itu, Weber percaya bahwa segala masalahnya “kapitalisme memberika
keasempatan-kesempatan terbaik untuk pelestarian kebebasan individu dan kepemimpinan
kreatif dalam suatu dunia birokratis”.
Sekali lagi kita memasuki tema utama dalam karya Weber” pandanganya bahwa tidak ada
sama sekali harapan untuk dunia yang lebih baik. Dalam pandangan Weber, para sosialis hanya
akan memperburuk keadaan dengan memperluas derajat birokrasi di dalam masyarakat. Weber
mencatat: “yang ada dihadapan kita bukanlah musim panas,tetapi malam kutub dengan
kegelapandan kesukaran akibat es, tidak soal kelompok mana yang sekarang menang secara
eksternal”.

Adakah Harapan? Secercah cahaya harapan di dalam karya Weber -an cahaya yang kecil
ialah bahwa para profesional yang berada di luar sistem birokratik dapat mengendalikannya
sampai batas tertentu. Di dalam kategori itu, Weber memasukan para politisi profesional,
ilmuwan, intelektual dan bahkan kaum kapitalis serta kepala tertinggi birokrasi. Conothnya,
Weber mengatakan bahwa para politisi seperti “harus menjadi kekuatan yang menandingi
dominasi birokratis”. Esainya yang terkenal “Politik sebagai Panggilan” (“Politics as a
Vocation”) pada dasarnya suatu permohonan untuk pengembangan para pemimpin politis dengan
seruan untuk melawan kekuasaan birokrasi dan para birokrat. Akan tetapi, pada akhirnya hal itu
tampak sebagai harapan yang agak lemah. Sesungguhnya, dapat diajukan alasan yang baik
bahwa profesional itu hanyalah aspek lain dari proses rasionalisasi dan bahwa pengembangan
mereka hanya bertindak menpercepat proses itu.

Dalam karya Weber “Gereja’ dan ‘Sekte’ di Amerika Utara: Suatu sketsa Sosio-Politis
Gerejawi” (1906/1985), Colin Loader dan Jeffrey Alexander (1985) melihat pratanda pemikiran
Weber akan diharapkan yang di berikan oleh etika tanggung jawab dalam menghadapi perluasan
birokrasi. Sekte-Sekte Amerika seperti praktik kaum Quaker, mempraktikan suatu etika
tanggung jawab dengan menggabungkan rasionalitas dan nilai-nilai yang lebih besar. Rogers
Brubaker mendefinisikan etika tanggung jawab sebagai “komitmen yang memihak kepada nilai-
nilai fundamental dengan analisis yang tidak memihak kepada alat-alat alternatif yang
mengejarnya”. Dia mempertentangkan hal itu dengan etika keyakinan, yaitu suatu pilihan
rasional atas alat-alat sudah ditetapkan dan aktor mengorientasikan “tindakannya kepada ralisasi
suatu nilai absolut atau tuntutan tidak bersyarat”.
Etika keyakinan sering mencangkup penarikan diri dari dunia rasional,sementara etika
tanggung jawabmelibatkan suatu perjuangan di dalam dunia untuk mencapai kemanusiaan yang
lebih besar. Etika tanggung jawab setidaknya memberikan setitik harapan dalam menghadapi
serangan gencar rasionalisasi dan birokratisasi.

C. Cara Pelaksanaan Birokrasi Ideal Rasional Max Weber Secara Singkat


Dalam bukunya, Miftah Toha menyatakan bahwa birokrasi ideal yang rasional Weber
singkatnya dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut:
1. Individu pejabat secara personal bebas, akan tetapi dibatasi oleh jabatannya manakala ia
menjalankan tugas-tugas atau kepentingan individual dalam jabatannya. Pejabat tidak bebas
menggunakan jabatannya untuk keperluan dan kepentingan pribadinya termasuk keluarganya.
2. Jabatan-jabatan itu disusun dalam tingkatan hierarki dari atas ke bawah dan ke samping.
Konsekuensinya ada pejabat atasan dan bawahan, dan ada pula yang menyandang kekuasaan
lebih besar dan ada yang lebih kecil.
3. Tugas dan fungsi masing-masing jabatan dalam hierarki itu secara spesifik berbeda satu sama
lainnya.
4. Setiap pejabat mempunyai kontrak jabatan yang harus dijalankan. Uraian tugas (job description)
masing-masing pejabat merupakan domain yang menjadi wewenang dan tanggung jawab yang
harus dijalankan sesuai dengan kontrak.
5. Setiap pejabat diseleksi atas dasar kualifikasi profesionalitasnya, yang idealnya dilakukan
melalui ujian yang kompetitif.
6. Setiap pejabat mempunyai gaji termasuk hak untuk menerima pensiun sesuai dengan tingkatan
hierarki jabatan yang disandangnya. Setiap pejabat bisa memutuskan untuk keluar dari
pekerjaannya dan jabatannya sesuai dengan keinginannya dan kontraknya dapat diakhiri dalam
keadaan tertentu.
7. Terdapat struktur pengembangan karier yang jelas dengan promosi berdasarkan senioritas dan
merit sesuai dengan pertimbangan yang objektif.
8. Setiap pejabat sama sekali tidak dibenarkan menjalankan jabatannya dan resources instansinya
untuk kepentingan pribadi dan keluarganya.
9. Setiap pejabat berada di bawah pengendalian dan pengawasan suatu sistem yang dijalankan
secara disiplin.(Weber, 1978 dan Albrow, 1970)

TEORI MANAJEMEN ILMIAH


(FREDERICK W. TAYLOR)
Frederick W. Taylor (1856-1915) adalah seorang insinyur mekanik asal Amerika Serikat yang
terkenal atas usahanya meningkatkan efisiensi industri. Ia dikenal sebagai bapak manajemen
ilmiah dan merupakan pemimpin intelektual dari gerakan efisiensi.
Beliau menyatakan bahwa manajemen ilmiah merupakan penerapan metode ilmiah pada
studi, analisis dan pemecahan masalah dalam organisasi. Taylor menerapkan cara-cara ilmu
pengetahuan dalam memecahkan masalah di perusahaan. Dari hasil penelitian dan analisanya
ditetapkan beberapa prinsip yang menggantikan prinsip lama yaitu prinsip coba-coba atau yang
lebih dikenal dengan sebutan trial and error.
Manajemen ini merupakan usaha untuk meningkatkan produktifitas para buruh. Dia berpendapat
bahwa pemborosan sering terjadi dalam kegiatan produksi karena para pekerja banyak
membuang waktu yang tidak sedikit akibat kinerja yang tidak efesien. Taylor juga merupakan
seorang manajer dan penasihat perusahaan.
James A.F. Stoner dalam buku manajemen (1995:34) mengatakan bahwa Frederick W. taylor
mendasarkan filosofinya dalam empat prinsip untuk mencapai efisiensi sebagai berikut :
1. Pengembangan manajemen Ilmiah sebenarnya, jadi setiap metode terbaik untuk
melaksanakan setiap tugas dapat ditentukan.
2. Seleksi ilmiah para pekerja, sehingga para pekerja akan diberi tanggung jawab yang paling
cocok dengan kemampuanya.
3. Pendidikan dan pengembangan karyawan secara ilmiah.
4. Kerjasama yang baik antar manajemen dan tenaga manajemen.
Taylor berpendapat bahwa untuk dapat sukses dengan prinsip ini memerlukan ‘revolusi mental
yang lengkap” pada pihak manajemen dan tenaga kerja. Kdeua belah pihak jangan bertengkar
mengenai lab, melainkan berusaha meningkatkan produksi. Dengan demikian dia percaya bahwa
laba akan naik sampai mencapai titik yang menyebabkan tenaga kerja dan manajemen tidak
perlu lagi berjuang untuk itu. Singkatnya Taylor percaya bahwa manajemen dan tenaga kerja
memiliki kepentingan bersama dalam meningkatkan produktivitas.
Taylor mendasarkan sistem manajemen pada studi waktu lini produksi. Bukanya mendasarkan
pada metode kerja tradisional. Dia menganalisis danmengukur waktu gerakan pekerja baja dari
satu seri pekerjaan. Menggunakan studi waktu sebagai dasarnya, dia memecah setiap
pekerjaanmenjadi komponen-komponennya dan mendesain metode tercepat dan paling baik
untuk melaksanakan setiap komponen. Dengan cara ini dia menetapkan berapa banyak seorang
pekerja harus mampu mengerjakan dengan peralatan dan material yang ada ditangan. Dia juga
mendorong para majikan untuk membayar pekerja yang lebih produkstif dengan upah yang lebih
tinggi dari pada yang lain, menggunakan tarif “yang tepat secara ilmiah” yang akan
menguntungkan perusahaan maupun pekerja. Jadi para pekerja didorong untuk melewati standar
prestasi kerjanya yang terdahulu untuk memperoleh upah yang lebih tinggi.
Menurut Taylor:
•Manajemen dan tenaga kerja mempunyai kepentingan bersama dalam meningkatkan
produktivitas
•Menggunakan studi gerak dan waktu (time dan motion study)
•Penentuan upah per potong (differential rate system) atau sistem tarif berbeda.

Kontribusi teori manajemen ilmiah


Dalam perjalanannya perusahaan yang dijalankan oleh Taylor menghasilkan produk yang lebih
cepat dari pada yang pernah dibayangkan oleh Taylor. “keajaiban” produksi ini hanya salah satu
warisan dari manajemen ilmiah. Sebagai tambahan, bahwa teknik manajemen efesiensi ini telah
diterapkan pada berbagai tugas dalam organisasi non industri, jasa makan siap sajisampai
pelatihan untuk doklter bedah.
Keterbatasan teori manajemen ilmiah
James A.F. Stoner dalam buku manajemen (1995:34) mengatakan bahwa walaupun Taylor
menyebabkan kenaikan dramatik dalam produktivitas dan upah yang lebih tinggi dalam sejumlah
kasus, para peklerja dan serikat pekerja mulai menentang pendekatan taylor karena mereka takut
bekerja lebih berat dan lebih cepat akan membuat lelah pekerjaan apapun, yang menyebabkan
pekerja yang bersangkutan dirumahkan.
Lebih lanjut, sistem Taylor jelas berarti bahwa waktu amat penting. Para pengkritiknya menolak
kondisi “mempercepat” yang diterapkan dengan tekanan secara berlebihan pada pekerja untuk
berprestasi semakin lama semakin cepat. Penekanan pada produktivitas dan kalau diperluas,
kemampuan menghasilkan laba membuat beberapa orang manajer mengeksploitasi perkeja dan
pelanggan. Sebagai hasilnya, lebih banyak yang pekerja bergadbung dengan serikat pekerja dan
dengan demikian memperkuat pola kecurigaan dan tidak mempercayai yang membayangi
hubungan tenaga kerja-manajemen selama beberapa dekade.

TEORI MANAJEMEN ADMINISTRATIF


(GULLICK & URWICK)
Lyndall Fownes Urwick adalah salah satu murid Fayol yang sangat rajin dan menulis buku
komprehensif tentang pengetahuan manajemen dengan judul The Element of Administration.
Bersama Gullick, Urwick menghasilkan karya yang berjudul Papers on The Science of
Administration. Gullick dan Urwick mengatakan bahwa fungsi-fungsi utama administrasi dan
manajemen adalah planning (perencanaan), organizing (pengorganisasian), staffing (pengadaan
tenaga kerja), directing (pemberian
bimbingan), coordinating (pengkoordinasian), reporting (pelaporan),
dan budgeting (penganggaran). Satu hal yang berbeda dengan konsep Gullick adalah
penggantian controlling dengan budgeting
Fungsi budgeting (penganggaran) sendiri merupakan perluasan dari fungsi planning dalam
hal perencanaan biaya (Manullang, 1988). Secara rinci Budgeting (penganggaran), berarti
pengikhtisaran sistem rencana anggaran keuangan, baik sistem keuangan dalam jangka pendek,
menengah maupun panjang. Rangkaian fungsi dari Gullick dan Urwick ini dikenal dengan
akronim POSDCoRB.

Fungsi Manajemen menurut Lyndall F. Urwick terdiri dari :


a. Staffing (Penyusunan).
Staffing adalah salah satu fungsi manajemen berupa penyampaian perkembangan atau hasil
kegiatan atau pemberian keterangan mengenai segala hal yang berkaitan dengan tugas dan
fungsi-fungsi kepada pejabat yang lebih tinggi.
b. Planning (Perencanaan).
Berbagai batasan tentang planning dari yang sangat sederhana sampai dengan yang sangat rumit.
Misalnya yang sederhana saja merumuskan bahwa perencanaan adalah penentuan serangkaian
tindakan untuk mencapai suatu hasil yang diinginkan. Pembatasan yang terakhir merumuskan
perencaan merupakan penetapan jawaban kepada enam pertanyaan berikut :
1) Tindakan apa yang harus dikerjakan ?
2) Apakah sebabnya tindakan itu harus dikerjakan ?
3) Di manakah tindakan itu harus dikerjakan ?
4) Kapankah tindakan itu harus dikerjakan ?
5) Siapakah yang akan mengerjakan tindakan itu ?
6) Bagaimanakah caranya melaksanakan tindakan itu ?
c. Organizing (Pengorganisasian).
Organizing atau pengororganisasian adalah kumpulan dua orang atau lebih yang bekerja sama
dalam cara yang terstruktur untuk mencapai sasaran spesifik atau sejumlah sasaran.
d. Controlling (Pengawasan).
Controlling atau pengawasan, sering juga disebut pengendalian adalah salah satu fungsi
manajemen yang berupa mengadakan penilaian, bila perlu mengadakan koreksi sehingga apa
yang dilakukan bawahan dapat diarahkan ke jalan yang benar dengan maksud dengan tujuan
yang telah digariskan semula.
e. Directing (Pengarahan).
Directing atau Commanding adalah fungsi manajemen yang berhubungan dengan usaha memberi
bimbingan, saran, perintah-perintah atau instruksi kepada bawahan dalam melaksanakan tugas
masing-masing, agar tugas dapat dilaksanakan dengan baik dan benar-benar tertuju pada tujuan
yang telah ditetapkan semula.
f. Coordinating (Kordinasi).
Coordinating atau pengkoordinasian merupakan salah satu fungsi manajemen untuk melakukan
berbagai kegiatan agar tidak terjadi kekacauan, percekcokan, kekosongan kegiatan, dengan jalan
menghubungkan, menyatukan dan menyelaraskan pekerjaan bawahan sehingga terdapat kerja
sama yang terarah dalam upaya mencapai tujuan organisasi.

ADMINISTRASI UMUM
(HANRY FAYOL)
Henri Fayol adalah seorang teoris manajemen atau administrasi yang lahir di Istanbul 1841.
Fayol adalah salah satu kontributor paling berpengaruh dalam konsep manajemen atau ilmu
administrasi modern.
Henri Fayol juga memberikan 3 Sumbangan Besar Pemikiran tentang Administrasi dan
manajemen;
1. Aktivitas Organisasi
2. Fungsi dan Tugas
3. Prinsip - Prinsip Administrasi dan Manajemen
Peninggalan Fayol yang paling terkenal adalah tentang lima fungsi utama manajemen,
yaitu ;
1. Perencanaan
2. Pengorganisasian
3. Pemberian Perintah
4. Pengkoordinasian
5. Pengontrolan
Fayol terkenal akan 14 Prinsip Manajemennya. Prinsip - prinsip manajemen adalah dasar
- dasar dan nilai yang menjadi inti dari keberhasilan sebuah manajemen. Prinsip umum
Manajemen menurut Henri Fayol terdiri dari ;
1. Pembagian Kerja
2. Wewenang dan Tanggung Jawab
3. Disiplin
4. Kesatuan Perintah
5. Kesatuan Pengarahan
6. Mengutamakan Kepentingan Organisasi
7. Penggajian Pegawai
8. Pemusatan
9. Hirarki
10. Ketertiban
11. Keadilan dan Kejujuran
12. Stabilitas Kondisi Karyawan
13. Inisiatif
14. Semangat Kesatuan

Manfaat penggunaan 14 prinsip manajemen terhadap perusahaan yaitu :


1. Adanya perubahan dan organisasi,
2. Digunakan sebagai pengambilan keputusan,
3. Keterampilan dapat digunakan untuk meingkatkna efektivitas dasar manajer,
4. Memahami bahwa manajemen dapat dilihat sebagai berbagai kegiatan yang dapat terdaftar
dan dikelompokkan.

Anda mungkin juga menyukai