Anda di halaman 1dari 38

ANALISIS KEPENTINGAN NASIONAL INDONESIA DALAM PENANDATANGANAN

KERJASAMA PERJANJIAN EKSTRADISI INDONESIA-SINGAPURA TAHUN 2022

SKRIPSI

Disusun Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Melaksanakan Penelitian Dalam Menyusun Skripsi
Pada Program Studi Ilmu Hubungan Internasional

Oleh:

DENNI KUSNADI

4518023080

PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS BOSOWA MAKASSAR

2023
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setiap negara di dunia memiliki hukum nasional atau hukum positif untuk mengatur,
memelihara serta mempertahankan ketertiban, ketertiban dan ketentraman bagi setiap warga
negaranya maupun orang yang sedang berada di wilayahnya. Hukum positif yang berlaku pada
sutau wilayah harus dipatuhi oleh semua orang yang berada dalam wilayah tersebut. Jika ada
yang melanggar maka akan pelaku harus bertanggungjawab atas perbuatannya, yaitu dijerat
hukuman atau penjatuhan saksi. Namun, tidak semua orang akan secara sukarela bersedia
mempertanggungjawabkan tindakan kejahatannya kepada penegak hukum yang bersangkutan.
Permasalahan yang timbul saat ini adalah pelaku yang tidak bersedia mempertanggungjawabkan
kejahatannya berusaha menghindarkan diri dari tuntutan atau ancaman hukum yang menjeratnya,
berbagai cara akan dilakukan pelaku baik itu dengan cara legal maupun illegal untuk bisa
terhindar dari tuntutan hukum di negara yang menjatuhi terhadapnya. Salah satu cara yang cukup
efektif mendhindari penegakan hukum tersebut adalah dengan melarikan diri ke wilayah negara
lain.

Adapun kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mempermudah interaksi dan
mobilitas antarnegara. Kemudahan interaksi tersebut ternyata tidak hanya memberikan dampak
positif namun juga dampak negatif. Salah satu dampak negatif yang timbul adalah kejahatan
lintas negara atau pelaku tindak pidana yang melarikan diri ke negara lain.

Indonesia merupakan negara berkembang yang memiliki kekayaan sumber daya alam
melimpah, pertumbuhan ekonomi, perkembangan infratrusktur yang pesat, dan sumber daya
manusia yang mempuni. Tak hanya itu Indonesia juga mengalami kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi yang baik terutama pada bidang informasi, komunikasi dan transportasi. Namun,
segala kemajuan tersebut tidak selamanya hanya membawa dampak positif saja karena dengan
segala kemudahan bisa menjadi peluang besar bagi pelaku tindak kejahatan untuk melakukan
kejahatannya. Dalam hal ini, keunggulan dan kemajuan dari segala aspek yang dimiliki negara
Indonesia ternyata menjadi sasaran bagi pelaku tindak kejahatan salah satunya adalah tindak
kejahatan korupsi.

Indonesia kerap megalami hambatan dalam penegakan hukum ketika di hadapkan pada
permasalahan pelaku tindak pidana yang melarikan diri ke luar wilayah Indonesia, terlebih lagi
apabila wilayah di luar Indonesia tersebut memiliki aturan yang memungkinkan pelaku sulit
untuk dibawa kembali ke Indonesia. Skema larinya pelaku tindak pidana ke luar negeri pada
umumnya menuju ke negara-negara yang tidak atau belum memiliki perjanjian ekstradisi dengan
Indonesia, salah satu negara yang sering menjadi tujuan bagi para pelaku adalah Singapura
karena belum memiliki perjanjian ekstradisi dengan Indonesia.

Singapura merupakan negara yang memiliki mempunyai arti penting bagi kepentingan
nasional dan kepentingan kawasan Indonesia. Hubungan bilateral Indonesia dan Singapura telah
berkembang secara baik, positi dan konstruktif. Kedekatan geografis kedua negara menjadi
pendorong guna terwujudnya hubungan dan kerjasama dalam berbagai bidang. Interaksi bisnis
dan hubungan antar masyarakat kedua negara juga berkembang dengan sangat baik serta lalu
lingtas warga kedua negara yang sangat tinggi. Dengan tingginya lalu lintas disebabkan oleh
berbagai faktor antara lain geografis yang saling berdekatan, kemudahan transportasi, dan
adanya pemberlakuan bebas visa kunjungan antara kedua negara.

Posisi geografis yang berdekatan, interaksi bisnis dan hubungan antara masyarakat tersebut
menyebabkan timbulnya berbagai tantangan yang secara langsung dapat mempengaruhi
kepentingan nasional Indonesia. Salah satu permasalahan yang ditimbulkan adalah Singapura
sering menjadi negara tujuan maupun negara transit dari pelarian pelaku tindak pidana. Ketika
menjadi negara tujuan akhir berarti pelaku yang bersangkutan memilih untuk menetap di
Singapura, sedangkan ketika menjadi negara transit Singapura menjadi tujuan antara untuk
menuju negara lain dengan tujuan akhir tujuan pelarian. Singapura dipilih sebagai negara transit
karena posisinya yang strategis dalam, jalur penerbangan antarnegara serta didukung belum
adanya perjanjian ekstradisi antara Indonesia dengan Singapura.

Upaya pemerintah Indonesia dalam menangkap dan mengadili pelaku tindak kejahatan yang
melarikan diri ke Singapura tidak dapat dilaksanakan karena Indonesia tidak boleh memasuki
wilayah territorial Singapura, hal ini disebabkan karena didalam hukum internasional berlaku
prinsip penghormatan kedaulatan yurisdiksi setiap negara. I Wayan Parthiana menjelaskan dalam
bukunya yang berjudul Ekstradisi dalam Hukum Internasional bahawa “Berdasarkan asas dalam
hukum internasional, setiap negara memiliki kedaulatan atas orang, benda, dan peristiwa yang
ada atau terjadi di dalam batas-batas wilayahnya, atau lebih dikenal dengan nama kedaulatan
territorial. Oleh karena itu, negara tidak boleh melakukan tindakan-tindakan yang merupakan
manifestasi dari kedaulatannya (act of sovereignty) di dalam wilayah negara lain, kecuali dengan
adanya persetujuan dari negara yang bersangkutan” (Parthiana, 2009:36). Sebab itu, Indonesia
tidak dapat dengan leluasa menangkap dan mengadili borunan yang telah melarikan diri ke
Singapura karena apabila hal tersebut terjadi maka tindakan tersebut merupakan pelanggaran
terhadap kedaulatan suatu negara dimana hal tersebut bertentangan dengan hukum internasional.

Sehingga untuk mencegah dan memberantas pelaku tindak kejahatan yang melarikan diri
melewati lintas batas negara yang bersangkutan, maka dibutuhkan kerjasama antara negara-
negara dalam pencegahan dan pemberatasan, baik dalam konteks bilateral, regional, multirateral
serta global. Proses kerjasama dilakukan dengan cara meminta kepada negara tempat pelaku
kejahatan tersebut berada guna meunulusi, menangkap, lalu kemudian menyerahkan kepada
negara yang meminta. Dalam hal ini, kerjasama yang berkaitan dengan ini adalah kerjasama
perjanjian ekstradisi.

Pada umumnya ekstradisi adalah sebagai akibat dari hak asylum yaitu tujuan politik dan
merupakan sarana untuk mencapai tujuan kekuasaan. Namun pada saat ini ekstradisi dalam
prakteknya digunakan untuk melewati batas wilayah dalam arti agar hukum pidana nasional
dapat diterapkan terhadap para penjahat yang melarikan diri ke negara lain agar keputusan
pengadilan terhadap seorang pelaku kejahatan yang melarikan diri ke luar negeri dapat
dilaksanakan (J.G. Strake, 1989).

Ekstradisi merupakan penyerahan secara formal, baik berdasarkan atas perjanjian ekstradisi
yang sudah ada sebelumnya ataupun berdasarkan atas hubungan baik secara timbal balik atas
seseorang yang diduga telah melakukan kejahatan atau tindak pidana (tersangka, tertuduh, atau
terdakwa) atau atas seseorang yang telah dijatuhi hukuman yang telah mempunyai kekuatan
mengikat yang pasti atas kejahatan yang telah dilakukannya, oleh negara tempatnya berada
kepada negara yang memiliki yuridiksi untuk mengadili atau menghukumnya, atas permintaan
dari negara yang memiliki yurisdiksi kepada negara tempat orang yang bersangkutan berada,
dengan maksud dan tujuan mengadilinya ataupun melaksanakan hukuman atau sisa hukumannya
(Parthiana 2009:8).

Perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura telah dirintis dan diupayakan oleh
Indonesia sejak tahun 1972, hanya saja pembahasan soal perjanjian ekstradisi baru dimulai pada
tahun 2004. Pembahasan rancangan perjanjian ekstradisi memerlukan waktu yang cukup lama
sehingga kedua negara baru menandatanganinya pada tahun 2007 di Bali. Selain perjanjian
ekstradisi, kedua negara juga menandatangani perjanjian kerjasama pertahanan yang dinamakan
Defence Cooperation Agreement (DCA), meski telah ditandatangani perjanjian tersebut masih
perlu menunggu ratifikasi dari DPR di Indonesia. Salah satu yang menimbulkan perdebatan
adalah perjanjian ekstradisi itu harus disepakati dengan perjanjian kerjasama pertahanan, dalam
perjanjian pertahanan tersebut diketahui bahwa Singapura meminta sebagian wilayah perairan
dan udara Indonesia supaya digunakan untuk Latihan militer. Maka, akibat dari perdebatan
tersebut proses ratifikasi perjanjian ekstradisi dan DCA antara Indonesia-Singapura tak kunjung
disetujui DPR (Bisnis.com, 2022).

Penandatangan perjanjian ektradisi antara Indonesia-Singapura akhirnya dilakukan oleh


perwakilan kedua negara tersebut dalam Leaders Retreat pada 25 Januari 2022 di Kepulauan
Riau, Indonesia. Sesuai hasil kesepakatan, perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura mencakup
31 tindak pidana, antara lain tindak pidana pencucian uang, pendanaan terorisme, dan korupsi.
Perjanjian ini bersifat dinamis karena kedua negara sepakat untuk menggunkan prinsip open
ended dalam menentukan jenis tindak pidana yang dapat diekstradisi, hal ini merupakan upaya
untuk mengantisipasi kejahatan lainnya di masa mendatang yang disepakati kedua pihak
sehingga mekanisme ekstradisi dapat tetap dilakukan (Kompas.com, 2022). Sebelumnya anatara
Indonesia dan Singapura telah terikat dalam perjanjian bantuan timbal balik masalah pidana
(mutual legal assistance in criminal matters) antara negara anggota ASEAN pada tahun 2008.
Setelah penandatanganan resmi perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura oleh Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) RI Yasonna H. Laoly dan Menteri dalam Negeri
dan Menteri Hukum Singapura K. Shanmugam yang disaksikan oleh Presiden RI Joko Widodo
dan Perdana Menteri (PM) Singapura Lee Hsien Loong (Humas Kemenkumham, 2022).
Meskipun sudah resmi ditandantangani, perjanjian ekstradisi tersebut belum dapat
diimplementasikan karena masih harus menunggu ratifikasi dari pemerintah kedua negara
tersebut. Sebelum diimplentasikan perjanjian ekstradisi ini perlu diketahui manfaatnya bagi
kepentingan nasional Indonesia, maka penulis ingin mengkaji dan meneliti mengenai “analisa
kepentingan nasional Indonesia dalam kerjasama perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura
Tahun 2022” yang dimana didalamnya terdapat hubungan bilateral antara Indonesia dan
Singapura serta proses perundingan kerjasama perjanjian ekstradisi.

B. Batasan dan Rumusan Masalah

1. Batasan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, penelitian ini akan membahas analisa ekstradisi pada
pemberantasan dan pencegahan kejahatan transnasional..

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka penelitian ini bermaksud menjawab pertanyaan
berikut: Apa kepentingan nasional Indonesia dalam penandatanganan kerjasama perjanjian
ekstradisi dengan Singapura pada tahun 2022?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian


1. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian dasarnya menggambarkan hal-hal yang ingin dicapai dalam penilitian
yang dilakukan. Tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk menganalisa kepentingan nasional Indoesia dalam kerjasama perjanjian


ekstradisi Indonesia-Singapura.
2. Untuk mengetahui tujuan dan kegunaan dari kerjasama perjanjian ektradisi.

2. Manfaat Penelitian

1. Bagi masyarakat, penelitian dapat membantu agar lebih memahami tujuan dan
manfaat dari kerjasama perjanjian ektradisi Indonesia dan Singapura.
2. Bagi lembaga, penelitian ini dapat memperkuat kerjasama bilateral dan
menjadi solusi bagi beberapa permasalahn. Lembaga-lembaga terkait dapat
memanfaatkan temuan dari penelitian.
3. Bagi akademis, penelitian ini akan memberikan kontribusi berharga pada
pengetahuan akademis tentang tujuan dan manfaat kerjasama perjanjian
ektradisi.
D. Tinjauan Pustaka
Literatur review atau tinjauan Pustaka menjadi bagian penting dari sebuah penelitian guna
mendapatkan bahan perbandingan dan menjadi bahan acuan terhadapat suatu penelitian. Selain
itu, adanya peninjauan atas penelitian terdahulu guna menghindari anggapan kesamaan dengan
penelitian yang dilakukan oleh peneliti. Ada beberapa peneliti yang membahas mengenai
kerjasama perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura, salah satunya adalah penelitian dari Ryanti
Sanur yang membahas kebijakan pemerintah Indonesia meratifikasi perjanjian ekstradisi
Indonesian dengan Singapura tahun 2008-2012. Penelitian ini membahas tentang apa saja isi dari
kerjasama perjanjian ekstradisi sekaligus kerjasama pertahanan dan kerangka pengaturan tentang
daerah militer antara Indonesia dengan Singapura yang ditandantangani oleh mantan Presiden RI
Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2008. Studi terdahulu lainnya yaitu, penelitian dari
Syahrul Husni Rof Kurnia Adjie yang berjudul “urgensi perjanjian ekstradisi Indonesia-
Singapura sebagai Upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia”.
Penelitian ini menggunakan konsep hukum internasioanl untuk menjelaskan tujuan terbentuknya
perjanjian ekstradisi.
Adapun studi terdahulu dari Intan Uswatun Nisa berjudul “Kepentingan nasional Indonesia
dalam kerjasama perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura” yang membahas tentang proses
perundingan perjanjian ekstradisi Indonesia dengan Singapura yang akhirnya membuahkan hasil
dengan ditandatanganinya perjanjian antara Indonesia dan Singapura pada tahun 2007. Penelitian
ini juga membahas tentang hal-hal yang mempengaruhi kepentiungan nasional Indonesia dalam
perjanjian ekstradisi yang dipararelkan dengan perjanjian pertahanan (DCA) pada tahun 2007
tersebut, serta mennganalisa isi-isi di dalam perjanjian ekstradisi pada tahun 2007 sebelum
adanya perubahan pasal dan masa berlaku perjanjian yang dilakukan pada tahun 2021.
Dari ketiga studi terdahulu tersebut terdapat satu kesamaan dengan penelitian ini yaitu
membahas perjanjian ekstradisi dibentuk untuk kemudian mencegah dan memberantas tindak
kejahatan transnational terutama pada kasus korupsi. Akan tetapi berbeda dari ketiga studi
terdahulu tersebut, skripsi ini akan mengkaji dan meneliti apa kepentingan nasional Indonesia
dalam kerjasama perjanjian ekstradisi yang ditandangani pada tahu 2022, penandatangan tersebut
mengalami perubahan pada pasal serta masa berlaku dari penandatanganan pada tahu 2007.
Perbedaan penelitian ini dari penelitian terdahulu tersebut akan dipaparkan melalui konsep
politik luar negeri dengan menganalisis isi perubahan perjanjian yang ditandatangani tahu 2022,
dengan begitu penelitian ini akan menganilisa kepentingan nasional Indonesia yang terdapat di
dalam perjanjian ekstradisi tersebut. Penelitian ini juga akan membahas tentang sejarah ektardisi
serta membahas proses perundingan perjanjian ektradisi Indonesia dengan Singapura sampai
dengan ditandatanganinya perjanjian tersebut pada tahun 2022.

E. Kerangka Konseptual

Kerangka konseptual pada dasarnya adalah bentuk hubungan antara teori-teori konseptual
yang dapat mendukung penelitian yang sedang berlangsung dan berfungsi sebagai panduan
untuk Menyusun studi yang sistematis, maka penelitian ini akan menggunakan konsep politik
luar negeri dan kepentingan nasional.

a. Kepentingan Nasional

Kepentingan nasional adalah tujuan dan ambisi negara, baik ekonomi, militer, atau budaya.
Menurut aliran arus utama dalam Studi Hubungan Internasional. Konesp ini penting sebagai
dasar bagi negara dalam melakukan hubungan internasional. Argumentasi Machiaveli mengenai
kepentingan nasional banyak dirujuk dalam praktik maupun pengembangan teoretis, sebagai
pembenaran terhadap perilaku internasional negara yang mengabaikan kepentingan utama pada
masa sebelumnya, yaitu agama dan moralitas. Kepentingan nasional sangat erat kaitannya
dengan power negara sebagai tujuan maupun instrumen, khususnya yang bersifat destruktif (Arry
Bainus & Junita Budi Rachman, 2018).

Sebuah kesepakatan paham antar dua negara dapat dilakukan dengan perangkat kerjasama
dan perjanjian. Melalui perjanjian internasional, setiap negara menetapkan dasar kerjasama yang
dibuat untuk mengatur berbagai masalah dan menyelesaikan berbagai masalah demi
keberlangsungan hidup masyarakat mereka. Pada umuumnya, pelaksanaan perjanjian kerjasama
atau perjanjian bilateral lebih dilatarbelakangi oleh kepentingan nasional negara-negara yang
bersangkutan. Dalam hal ini, Indonesia dan Singapura masing-masing memiliki kepentingan
nasional yang dituangkan oleh kedua negara tersebut dalam bentuk perjanjian ekstradisi.

A.A. Perwita menyatakan bahwa kepentingan nasional dapat dijelaskan sebagai tujuan
fundamental dan faktor penentu akhir yang mengarahkan para pembuat keputusan dari suatu
negara dalam merumuskan kebijakan luar negerinya (Perwita & Yani, 2006). Merujuk pada
pemikiran Morgenthau, kepentingan nasional tiap-tiap negara adalah mengejar kekuasaan, yaitu
hal-hal yang bisa membentuk dan mempertahankan pengadilan suatu negara atas negara lain.
Hubungan kekuasaan atau pengadilan tersebut bisa diciptakan melaui berbagai teknik paksaan
maupun kerjasama (Mas’eod, 1990).
Teori kepentingan nasional adalah pendekatan dalam studi hubungan internasional yang
menekankan pentingnya negara-negara untuk mengedepankan kepentingan nasional mereka
dalam interaksi dengan negara lain.teori ini berfokus pada upaya negara-negara untuk mencapai
tujuan-tujuan mereka, menjaga keamanan, kemakmuran, dan kedaulatan mereka melalui
tindakan-tindakan diplomasi, politik, ekonomi dan militer.
Beberapapoin utama terkait teori kepentingan nasional dalam hubungan internasional
adalah :
a. Kepentingan nasional sebagai prioritas utama: Menurut teori ini negara-
negara bertindakberdasarkan kepentingan nasional mereka seringkali
faktor-faktor seperti keamanan nasional, pemeliharaan kedaulatan,
kesejahteraan ekonomi dan keberlanjutan ekonomi.
b. Kerjasama dan konflik: Negara-negara dapat bekerjasama dalam rangka
mencapai kepentingan Bersama atau saling bertentangan dalam situasi
dimana kepentingan mereka saling berbenturan. Kerjasama dan konflik
dapat muncultergantung pada sejauh mana negara-negara tersebut merasa
bahwa tindakan mereka akan mendukung kepentingan nasional mereka.
c. Realpolitik: Teori kepentingan nasional sering dihubungkan dengan
pendekan realpolitik, yang menunjukkan bahwa keputusan dan tindakan-
negara didasarkan pada pertimbangan rasional untuk mecapai tujuan-
tujuan praktis, tanpa banyak mempertimbangkan faktor-faktor etika atau
moral.
d. Pengaruh faktor-faktor dalam menuntukan kepentingan: Faktor-
faktorseperti geografis, ekonomi, budaya dan sejarah dapat mempengaruhi
bagaimana negara mengidentifikasi dan mengupayakan kepentingan
nasional mereka.
e. Perubahan dalam kepentingan nasional: Kepentingan nasional suatu
negara dapat berubah seiring waktu berdasarkan perubahan dalam
lingkugan internasional dan nasional.
f. Balancing dan bandwagoning: Konsep “balancing” mengacu pada negara-
negara yang berusaha untukmenjaga keseimbangan kekuatan dengan
negara-negara lain yang dianggap sebagai ancaman, sedangkan
“bandwagoning” merujuk pada negara yang memilih untuk bersekutu
dengan negara yang lebih kuat untuk mendapatkan manfaat.

Proses pengimplentasian kepentingan nasional negara yang bersangkutan yaitu Indonesia


dan Singapura untuk membentuk suatu perjanjian atau traktat. Dalam pembuatan perjanjian
umumnya melalui beberapa tahap yaitu perundingan (negotiation), penandatanganan (signature),
dan pengesahan (ratification). Dalam perjanjian ekstradisi Indonesia dan Singapura telah melaui
banyak perundingan dan membutuhkan waktu yang sangat Panjang menggambarkan bahwa
proses merundingkan kepentingan nasional kedua negara tidak dengan mudah bisa dicapai.

Dalam penerapannya, politik luar negeri Indonesia dengan Singapura dalam perjanjian
ekstradisi erat kaitannya dengan kepentingan nasional kedua negara. Mengingat perjanjian
ekstradisin yang ditandangani pada tahun 2022 tersebut dipararelkan dengan perjanjian
pertahanan (DCA) serta perjanian penyesuaian flight information region (FIR). Ketiga
perjanjian tersebut ditandatangani dalam waktu yang bersamaan, hal ini yang menimbulkan
asumsi bahwa ketiga perjanjian tersebut memiliki keterkaitan meskipun perjanjian tersebut
adalah tiga perjanjian yang berbeda atau terpisah. Asumsi tersebut muncul karena proses
terbentuknya kesepakatan yang cukup lama dan kesan enggan sebelumnya dari pihak
Singapura untuk menyetujui perjanjian ekstradisi, kemudian pada perundingan terkait
perjanjian ekstradisi terdapat usulan perubahan pada perjnjian ekstradisi antara kedua negara,
lalu muncul pembahasan mengenai kerjasama perjanjian pertahanan (DCA) dan FIR yang
kemudian ditandangangi bersamaan dengan perjanjian ekstradisi.
Sehubungan dengan penjelasan terkait konsep kepentingan nasional, bahwa kesepakatan
kerjasama kedua negara erat kaitannya dengan kepentingan nasional masing-negara yang
bersangkutan. Sehingga dapat dikatakan perubahan sikap Singapura dalam perjanjian ekstradisi
tersebut memang erat kaitannya dengan kerjasama lain dalam bentuk perjanjian pertahanan
(DCA) dan FIR. Oleh karena itu ketiga perjanjian ini menjadi satu paket yang tidak dapat
dipisahkan.

b. Ekstradisi

Ekstradisi berasal dari bahasa latin ekstradere, yaitu ex adalah artinya keluar dan tradere
berarti memberikan atau menyerahkan. Sedangkan dalam bahasa Inggris, kata extradition berarti
menyerahkan. Istilah ekstradisi biasanya digunakan terutama dalam penyerahan pelaku kejahatan
dari suatu negara kepada negara peminta, atau sebagai akibat dari hak asylum yaitu tujuan politik
dan merupakan sarana untuk mencapai tujuan kekuasaan.

Adapun definisi ekstradisi menurut I Wayan Parthiana dalam bukunya yang berjudul Hukum
Pidana Internasional dan Ekstradisi menjelaskan bahwa “ekstradisi adalah penyerahan yang
dilakukan secara formal, baik berdasarkan atas perjanjian ekstradisi yang telah ada sebelumnya,
ataupu berdasarkan prinsip timbal balik atau hubungan baik, atas seseorang yang diduga telah
melakukan kejahatan atau tindak pidana (tersangka, terdakwa, atau tertuduh) atau atas seseorang
yang telah dijatuhi hukuman pidana yang telah mempunyai kekuatan mengikat yang pasti
(terhukum, terpidana), oleh negara tempatnya berada (negara yang diminta) kepada negara yang
memiliki yurisdiksi untuk mengadili atau menghukumnya (negara yang meminta) atas
permintaan negara peminta, dengan tujuan untuk mengadili dan atau pelaksaan hukumannya”
(Parthiana, 2004).

Berdasarkan definisi tersebut, maka setiap penyerahan seseorang dari suatu negara ke negara
lain tidak selamanya dapat digolongkan ke dalam ekstradisi. Penyerahan dapat digolongkan
sebagai ekstradisi jika memenuhi unsur-unsur berikut :

a. Subjek, yaitu negara yang mengajukan permintaan atau disebut negara peminta dan
negara yang diminta untuk menyerahkan orang uang bersangkutan atau yang disebut
negara diminta.
b. Objek, yaitu yaitu pelaku kejahatan atau borunan sebagai orang yang diminta.
c. Tata cara atau prosedur, yakni bagaimana tata cara untuk mengajukan permintaan
penyerahan dan tata cara untuk penyerahan atau penolakan terhadap penyerahan
serta hal yang sehubungan. Permintaan tersebut harus didasarkan pada perjanjian
ekstradisi yang telah ada sebelumnya antara kedua pihak atau jika perjanjian tersebut
belum ada juga bisa didasarkan pada asas timbal balik yang telah disepakati.
d. Tujuan, yaitu untuk tujuan apa orang yang bersangkutan diminta dan diserahkan.

Di Indonesia pengertian ekstradisi di atur dalam Undang-Undang RI No.1 Tahun 1979, yang
berbunyi “Ekstradisi adalah penyerahan oleh suatu negara yang meminta penyerahan seorang
yang disangka atau dipidana karena melakukan suatu kejahatan di luar wilayah negara yang
menyerahkan dan didalam yurisdiksi wilayah negara yang meminta penyerahan tersebut, karena
berwenang untuk mengadili dan menghukumnya”.

1. Dasar Hukum Ekstradisi

Dalam proses ini permintaan ekstradisi oleh suatu negara ke negara lain pada umumnya
didasarkan oleh 4 (empat) hal, yaitu :

a. Perundang-undangan nasional

Permasalahan terkait ekstradisi sebagian besar merupakan bagian dari hukum internasional,
jika dicermati lebih dalam, peninjauan dan pembahasannya tidak hanya terdapat pada ruang
lingkup internasional tetapi juga mencakup hukum nasional boleh atau tidaknya diatur
sepenuhnya dalam perjanjian ekstradisi termasuk hal-hal yang merupakan masalah dalam negeri
masing-masing negara yang bersangkutan. Hal ini yang merujuk pada hukum nasional dimana
masing-masing pihak dapat menetukan sekaligus mengatur perjanjian ekstradisi secara detail.
Misalnya, suatu negara meminta kepada negara lain dimana pelaku kejahatan tersebut
bersembunyi. Terkait penahanan dan penangkapan orang yang bersangkutan tentang penentuan
kejahatan pelaku apakah merupakan kejahatan politik atau tidak, tentang Lembaga instansi yang
berwenang untuk memutuskan penerimaan atau penolakan. Hukum nasional belum mampu
menjawab semua permasalahan terkait ekstradisi tersebut, maka dari permasalahan tersebut
negara memerlukan sebuah undang-undang nasional yang secara khusus mengatur tentang
ekstradisi disamping mengadakan perjanjian ekstradisi dengan negara lain. Dalam perundang-
undangan nasional dan perjanjian ekstradisi dilaksanakan selaras dan saling melengkapi tetapi
tetap harus ada Batasan-batasan dengan perjanjian internasional karena untuk menghindari
berbagai permasalahan yang bertentangan dengan peraturan atau kesepakatan didalam perjanjian
ekstradisi tersebut. Namun, apabila dalam perjanjian tersebut terdapat konflik atau pertentangan
makan ketentuan-ketentuan tersebut harus dihormati dan diutamakan dalam hal ini berpatokan
pada prinsip hukum internasional bahwa suatu negara tidak dibenarkan melalaikan segala
kewajiban yang telah ditentukan dalam hukum internasional.

b. Perjanjian ekstradisi

Dalam proses ekstradisi terdapat ketetapan ketentuan ekstradisi dimana ketetapan tersebut
dilanjutkan dengan membuat konvensi untuk mengadakan keseragaman ekstradisi dan
prosedurnya. Upaya keseragaman ekstradisi ini bertujuan agar pada pelaksanaan ekstradisi tidak
menimbulkan permasalahan yang dapat menghalangi pihak-pihak dalam menangkap para pelaku
kejahatan tersebut atau dengan adanya undang-undang yang menjadi faktor penghalang sehingga
pelaksaan ekstradisi dapat terhambat. Untuk mencegah permasalahan tersebut dapat dilakukan
dengan mengadakan perjanjian ekstradisi secara bilateral dan perjanjian secara multilateral.
Kedua perjanjian ini masing-masing memiliki ketentuan tertentu yang dimana perjanjian
ekstradisi tersebut merupakan peraturan yang berdiri sendirin atau selfstanding yaitu berarti
bahwa pokok permasalahan secara jelas dan tegas telah diatur dalam perjanjian ekstradisi itu
sendiri serta selebihnya merupakan ketentuan bersifat menunjuk yang berarti bahwa pengaturan
dalam ekstradisi diserahkan kepada hukum nasional dari masing-masing pihak yang berkaitan
dengan perjanjian tersebut.

Perjanjian secara bilateral adalah perjanjian yang disepakati anatar dua negara yang berarti
hanya ada dua negara yang terlibat dalam perjanjian ini. Perjanjian bilateral dapat mencakup
berbagai masalah atau isu yang dianggap penting oleh kedua negara yang terlibat. Dalam konteks
ekstradisi, perjanjian ekstradisi secara bilateral merupakan kesepakatan hukum antara dua negara
yang mengatur persyaratan dan prosedur untuk menyerahkan pelaku kejahatan yang melarikan
diri dari suatu negara ke negara lain. Perjanjian ekstradisi secara bilateral menetapkan prinsip-
prinsip kerjasama antara kedua negara dalam penangkapan dan pengadilan terhadap pelaku
kejahatan lintas batas. Selain dari perjanjian bilateral, perjanjian ekstradisi juga dapat dilakukan
secara multilateral. Kondisi negara-negara yang berada pada posisi yang saling berdekatan
menjadi pemicu negara-negara untuk membuat perjanjian ekstradisi secara multilateral.
Perjanjian-perjanjian ekstradisi yang telah dibuat oleh negara-negara baik secara bilateral
maupun multilateral pada umumnya kemudian diratifikasi oleh negara-negara yang bersangkutan
untuk diberlakukan ke dalam lingkup nasional. Perlunya dilakukan hal ini, mengimgat proses
penyerahan pelaku kejahatan dari negara diminta kepada negara peminta harus sesuai dengan
peraturan perundang-undangan negara yang diminta, walaupun tidak semua negara yang diminta
telah memiliki undang-undang nasional tentang ekstradisi (Deli Waryenti, 2012).

c. Perluasan Konvensi Internasional

Ekstradisi dapat didasarkan atas perluasan suatu konvensi tertentu dimana ekstradisi dapat
diberikan dalam hal pelanggaran seperti konvensi tentang pemberantasan perdagangan wanita
dan anak-anak. Dalam konvensi tersebut terdapat pernyataan bahwa apabila permasalahan tidak
diatur dalam ekstradisi, maka akan memakai berbagai cara untuk mengekstradisi tersangka
sesuai prinsip-prinsip hukum internasional yang telah diakui secara luas dan telah dianggap
sebagai aturan hukum kebiasaan internasional

Perluasan konvensi ionternasional ekstradisi biasanya melibatkan perundingan diplomatik


antara negara-negara peserta yang telah menandatangani konvensi tersebut. Hasil dari
perundingan ini dapat berupa protokol tambahan, amandemen, atau perubahan lain dalam
konvensi tersebut yang memperluas cakupan ekstradisi atau memperkuat aspek-aspek tertentu
dari konvensi tersebut. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa konvensi tersebut tetap
relevan dan efektif dalam mengatasi perkembangan hukum dan tantangan yangn muncul seiring
berjalannya waktu.

a. Tata Krama Internasional

Jika perjanjian atau konvensi tidak diatur dalam hukum, ekstradisi dapat dilaksanakan atas
dasar suatu tata krama oleh negara kepada negara lain atau disebut ekstradisi terselubung
(disguished extradition). Yang dimana ini dapat diartikan sebagai penyerahan pelaku kejahatan
tidak sepenuhnya sesuai dengan proses dan prosedur ekstradisi sebagaimana yang telah
ditentukan dalam undang-undang ekstradisi.

2. Unsur-Unsur dalam Ekstradisi


Dalam pelaksaan perjanjian ekstradisi sebagai penyerahan pelaku kejahatan terdapat beberapa
unsur yang harus diterapkan, yaitu :

a. Unsur Subjek :
 Negara atau negara-negara yang memiliki yurisdiksi untuk megadili atau menghukum
mempunyai kepentingan untuk mendapatkan kembali orang tersbut untuk diadili atau
dihukum atas tindakan kejahatan yang dilakuakannya. Untuk mendapatkan kembali orang
yang bersangkutan, negara tersebut harus mengajukan permintaan penyerahan kepada
negara tempat orang itu berada atau bersembunyi. Negara aini berkedudukan sebagai
pihak yang meminta atau singkat disebut negara peminta (requesting state).
 Negara tempat pelaku kejahatan bersembunyi, negara ini diminta oleh negara yang
memiliki yurisdiksi atau negara peminta agar menyerahkan orang yang berada dalam
wilayah itu, yang dengan singkat dapat disebut negara diminta (rewuested state).
b. Unsur Objek : Yaitu orang atau individu yang diminta untuk diserahkan (tersangka, terdakwa,
ataupun terpidana).
c. Unsur Prosedur atau Tata Cara : Unsur ini meliputi tentang tata cara untuk mengajukan
permintaan penyerahan maupun tata cara untuk menyerahkan dan menolak penyerahan
tersebut, serta segala hal berhubungan dengan itu. Permintaan tersebut harus didasarkan oada
perjanjian ekstradisi yang telah ada sebelumnya antara kedua pihak, jika belum terdapat
perjanjian ekstradisi antara kedua pihak maka juga bisa didasarkan pada asas timbal balik
yang telah disepakati.
d. Unsur Tujuan : Yaitu untuk apa orang yang bersangkutan dimnta untuk diserahkan.
Penyerahan itu diminta oleh negara peminta kepada negara diminta oleh karena orang yang
bersangkutan telak melakukan kejahatan yang menjadi yurisdiksi negara peminta atau orang
tersebut melarikan diri ke negara diminta setelah dijatuhi hukuman yang telah mempunyai
kekuatan mengikat yang pasti.
1. Asas-Asas Ekstradisi

Ekstradisi merupakan bagian dari hukum pidana internasional, dalam hal ini kebutuhan
terhadap aspek hukum dari ekstradisi sangat mengikat dan penting pada proses peradilan yang
dilaksanakan oleh para pelaku kejahatan yang melarikan diri dari suatu negara menuju negara
lain. Negara dalam proses menyelesaikan persoalan ekstradisi tidak dapat melakukannya secara
sepihak tetapi harus adanya kerjasama internasional, karena hal ini menyangkut yurisdiksi negara
lain.

Dalam undang-undang nasional atau perjanjian terkait ekstradisi, asas-asas dari ekstradisi
sendiri tertuang secara eksplisit. Namun terdapat juga beberapa asas-asas ekstradisi yang tidak
dicantumkan dalam undang-undang ataupun perjanjian terkait ekstradisi.

Menurut I Wayan Parthiana terdapat unsur asas dalam hukum ekstradisi (Parthiana, 2004) yaitu :

a. Asas Kejahatan Ganda

Asas ini mengisyaratkan bahwa kejahatan yang dapat menjadi alasan dalam permohonan
ekstradisi atas orang diminta adalah kejahatan yang telah dijatuhi hukuman baik hukum pidana
dari negara peminta maupun hukum dari negara yang diminta. Hal ini bisa terjadi karena suatu
perubahan atau peristiwa mungkin merupakan peristiwa pidana atau kejahatan menurut sistem
hukum negara tertentu, sedangkan menurut hukum negara lain tidak memandang sebagai
peristiwa pidana.

b. Asas Kekhususan (Principle of Speciality)

Asas ini memberi kewajiban bagi negara peminta untuk hanya menuntut, mengadili dan
menghukum orang yang diminta berdasarkan kejahatan yang dijadikan alasan untuk permintaan
penyerahan ekstradisinya. Jadi orang yang bersangkutan tidak boleh diadili atau dihukum atas
kejahatan lain, selain dari pada kejahatan yang dijadikan alasan untuk meminta ekstradisinya.
Asas kekhususan akan berfungsi jika orang yang diminta telah diekstradisi oleh negara yang
diminta kepada negara yang meminta.

c. Asas Tidak Menyerahkan Warga Negara

Pada dasarnya asas ini memberi kekuasaan kepada negara-negara untuk tidak menyerahkan
warga negaranya sendiri yang melakukan kejahatan di dalam wilayah negara lain. Jika orang
yang diminta oleh negara peminta ternayata merupakan warga negara dari negara yang diminta,
maka negara yang diminta berhak menolak permintaan penyerahan pelaku dari negara peminta.
Hal ini berlandaskan oleh pemikiran bahwa negara wajib untuk memberikan perlindungan
kepada setiap warga negaranya dan warga negara juga memiliki hak untuk mendapatkan
perlindungan dari negaranya. Namun penolakan tersebut tidak berrarti menghapus kesalahan
warga negara tersebut, serta warga negara tersebut tetap wajib untuk diadili dan dihukum sesuai
hukum nasionalnya.

d. Asas Tidak Menyerahkan Pelaku Kejahatan Politik (Non-Extradition of Political Criminal)

Asas ini mulanya pada abad ke-18, yang menunjukkan bahwa yang dapat diserahkan hanya
para penjahat politik dan pasukan yang melakukan perbuatan disersi. Apabila negara diminta
memiliki pendapat bahwa kejahatan yang dijadikan sebagai alasan untuk permintaan ekstradisi
oleh negara peminta merupakan kejahatan politik, maka negara diminta harus menolak
permintaan tersebut. Hal ini dikarenakan kejahatan politik bersifat subjektif serta definisi
kejahatan politik yang berlaku secara umum bagi hukum internasional juga tidak ada.

e. Asas ne/non bis in idem

Menurut as aini, apabila kejahatan dijadikan alasan untuk permintaan ekstradisi atas orang
yang diminta ternyata telah diadili atau dijatuhi hukuman yang telah memiliki kekuatan hukum
yang mengikat, maka negara yang diminta diwajibkan menolak permintaan dari negara peminta.
Asas ini memberi jaminan kepastian hukum bagi orang yang pernah atau telah dijatuhi putusan
pengadilan yang telah memiliki kekuatan yang mengikat yang pasti, baik itu putusan
pembebasan atau pelepasan dari tuntutan pidanan maupun putusan yang berupa hukuman
terhadap dirinya.

f. Asas Daluwarsa

Asas ini dikenal juga dengan asas lewat waktu, asas ini menyatakan bahwa seseorang tidak
boleh diserahkan oleh negara yang diminta kepada negara yang mneminta karena hak untuk
menuntut atau hak untuk melaksanakan putusan pidana telah daluwarsa atau lewat waktu
menurut hukum dari salah satu maupun dari kedua pihak yang bersangkutan. Tujuan dari diakui
daluwarsa ini adalah demi memberikan jaminan kepastian hukum bagi masing-masing pihak.

Asas-asas yang disebutkan diatas merupakan beberapa unsur yang terdapat dalam hukum
ekstradisi (Parthiana, 2004).

F. Metode Penelitian
2. Jenis Penelitian

Dalam melakukan penelitian ini, penulis akan menggunakan metode penelitian


kualitatif dengan tipe penulisan deskriptif. Metode ini merupakan proses pengumpulan
bukti, perumusan hipotesis dan pada akhirnya dapat mencapai kesimpulan denga melalui
observasi dan telaah dokumen dan fakta.

3. Jenis dan Sumber Data

Jenis dan sumber data yang akan penulis pakai adalah data sekunder, data hasil olahan
yang dihasilkan oleh peneliti sebelumnya atau yang disiapkan oleh Lembaga-lembaga atau
badan pemerintah ataupun swasta. Dengan mencari data di website tertentu di internet
serta jurnal-jurnal ilmiah.

4. Teknik Pengumpulan Data

Penulis akan memakai teknik pengumpulaan data telaah pustaka (library research)
yang adalah pengumplan data dengan cara menelusuri berbagai literatur. Data dan
informasi dari sumber tertulis yang memiliki hubungan dengan masalah yang sedang
diteliti didapat dari buku, berbagai literatur, koran dan informasi di media internet.

5. Teknik Anaisa Data


Untuk melakukan analisis data dalam penelitian ini, penulis akan mengadopsi teknik
analisis kualitatif. Dalam rangka menjalankan analisis dengan cara yang terstruktur,
peneliti akan mengikuti tiga tahap yaitu, pengumpulan data, analisis data, dsn proses
pemberian makna atau interpretasi data yang terkumpul.
BAB II

GAMBARAN UMUM

A. Hubungan Diplomasi Indonesia dan Singapura

Tahun 1945 merupakan hari yang bersejarah bagi Republik Indonesia karena pada tahun
tersebut Indonesia berhasil menjadi negara yang merdeka. Pada saat itu pula Soekaron diangkat
menjadi Presiden pertama Indonesia. Sejak masa kepemimpinan Presiden Soekarno tersebut
banyak memberikan dampak yang sangat besar untuk Indonesia, akan tetapi selaras dengan hal
tersebut juga timbul berbagai masalah baik dalam lingkup nasional maupun lingkup
internasional. Masa kepemimpinan Predsiden Soekarno adalah masa dimana negara masih dalam
proses transisi setelah merdeka, hal ini yang menjadi pendorong awal mulanya interaksi antara
Indonesia dan Singapura untuk memperjuangkan kemerdekaan seutuhnya bagi setiap Negara.

Tahun 1963 menjadi tonggak sejarah atau yang lebih dikenal dengan peristiwa Ganyang, masa
ini ditandai dengan adanya konflik berupa peperangan antara Indonesia, Malaysia dan Singapura
tanpa suatu pernyataan perang yang formal. Hal ini dikarenakan Presiden Soekarno tidak
berkenan terhadap pembentukan negara Malaysia, Presiden Soekaro menaruh curiga atas
pembentukan negara Malaysia sebagai tipu muslihat Imperialisme Inggris untuk mengepung
Indonesia. Indonesia mempersipkan pasukan-pasukan tempur di Sumatera Utara dan Kalimantan
Barat untuk diterjungkan di Semenanjung Malay, pada saat tersebut Brunei Darussalam dan
Singapura telah bersekutu dengan Malaysia untuk memerangi Indonesia. Pada 11 Maret 1966
dikeluarkan Surat Perintah yang memberikan wewenang bagi Jendral Soeharto untuk mulai
melakukan usaha mengakhiri konfrontasi, hal tersebut pada mulanya dilakukan secara diam-
diam tanpa sepengetahuan Presiden Soekarno. Kemudian dalam suatu upacara resmi di
Departemen Luar Negeri yang terletak di Jakarta, konfrontasi telah berhasil diakhiri secara
formal.

Pada tahun 1966 Soeharto diangkat menjadi Presiden kedua Republik Indonesia. Masa
kepemimpinan Presiden Soeharto dalam perkembangan politik luar negeri Indonesia ditandai
dengan adanya pembentukan organisasi kerjasama lima negara Asia Tenggara, yaitu Indonesia,
Malaysia, Singapura, Filipina dan Thailand, atau yang dikenal dengan Association of South Asia
Nations (ASEAN). Perkembang ASEAN yang tergolong lamban sehingga pemerintah Singapura
sempat meragukan peran ASEAN dalam kanca internasional. Pada pertemuan ketiga di Manila,
Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew dalam pidatonya menyebutkan keraguannya terhadap
pera ASEAN dan sekaligus menyatakan ketersediaannya mengikuti keputusan Presiden Soeharto
terkait ASEAN. Hal ini menjukkan bahwa sosok Presiden Soeharto merupakan sosok yang
dipercaya oleh negara-negara tetangga bahkan Singapura siap mengikuti segala keputusan
Presiden Soeharto. Dalam menjalin hubungan dengan Singapura, Presiden Soeharto lebih
mengedepankan kebijakan Good Neighborhod Policy dengan membangun hubungan yang baik.,
harmonis, dan produktif.

Pada masa kepemimpinan Soeharto Indonesia lebih cenderung menghindari konflik dengan
negara-negara tetangga, hal ini ditandai dengan politik luar negeri yang diterapkan Presiden
Soeharto. Presiden Soeharto dalam kebijakan politik luar negerinya menganggap tujuan politik
luar negeri suatu negara adalah mengamankan dan mengembangkan kepentingan nasional.
Dengan begitu, Indonesia dan Singapura memulai babak baru dalam menjalin hubungan bilateral
pada tahun 1965, saat itu Singapura dengan sukarela memberikan 10.000 ton beras tanpa
meminta imbalan kepada Indonesia yang sedang megalami krisis pangan dan harga beras yang
melonjak. Meskipun saat itu Singapura tidak meminta imbalan atau di kembalikan, akan tetapi
Presiden Soeharto tetap memutuskan untuk menggantinya bahkan dengan kualitas yang lebih
baik.

Kerjasama antara Indonesia dan Singapura pun memasuki babak baru pada decade 1980-an,
pada masa ini Singapura berkembang dengan sangat pesat. Singapura membutuhkan tempat
untul merelokasi bagi kegiatan pembuatan produk-produk yang bernilai rendah sehingga pada
tahun 1988 Singapura mkemudian meluncurkan program restrukturisasi ekonomi untuk
mengatasi permasalahan tersebut, dengan konsep mengalihkan Singapura dari industry yang
mempekerjakan banyak orang ke industry yang bernilai lebih tinggi seklagus menjadikan
Singapura sebagai pemeran utama dalam investasi global. Batam dan pulau-pulau lain di
Provinsi Kepulauan Riau dianggap sebagai tempat relokasi alternatif yang paling strategis oleh
Singapura, kawasan industry di Pulau Batam menjadi jembatan Singapura yang merupakan
tonggak investasi asing sebagai tindak lanjut dari realisasi program tersebut. Perdana Menteri
Singapura Lee Kuan Yew memberi usulan kepada Presiden Soeharto tentang pentingnya
kemungkinan perusahaan-perusahaan Singapura terutama yang bergerak pada bidang industry
elektronika memdapatkan kemudahan investasi di Pulau Batam. Kemudian usulan tersebut
mendapat sambutan hangat dari pemerintah Indonesia karena menganggap usulan tersebut
selaras dengan semangat deregulasi dan open door policy untuk menarik Penanaman Modal
Asing (PMA). Pemerintah Indonesia kemudian menyatakan perubahan kebijakan pada tahun
1989 terkait perizinan kepemilikan investasi asing di Pulau Batam hingga 100 persen.

Kemudian memasuki tahun 1995 terjalin hubungan militer antara Indonesia dan Singapura
yang telah berlangsung selama 26 tahun yang dikenal sebutan Latihan Bersama Indonesia-
Singapura (Latma Indopura), kerjasama tersebut terus berlangsung hingga tahun 2003.
Kerjasama tersebut bukan hanya sekedar latihan bersama antar kedua negara tetapi juga
pemberian wilayah tertentu kepada Singapura untuk sebagai tempat berlatih. Denga kata lain,
pemerintah Indonesia telah memberikan akses kepada Singapura untuk memasuki dan juga
berlatih di wilayah Indonesia yang telah diberi izin, yaitu di Tanjung Pinang dan Laut Cina
Selatan. Namun pemberian area latihan militer dihentikan oleh Indonesia karena Singapura telah
melanggar kedaulatan Indonesia melalui MTA, yitu dengan melibatkan Amerika Serikat dan
Australia pada setiap pelatihan di wilayah Indonesia. Akan tetapi hal tersebut tidak menjadi
hambatan bagi hubungan erat kedua negara yang terus terjalin secara politis.

Memasuki tahun 1998 yang merupakan tahun kelengseran Presiden Soehareto setelah
menjabat selama 32 tahun lamanya. Setelah lengser dari jabatannya sebagai Presiden Republik
Indonesia, Soeharto sempat mendapatkan perwatan di rumah sakit yang berada di Jakarta. Dalam
kaitannay, Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew pun mneyampatkan diri untuk menjenguk
Soeharto di rumah sakit. Dalam kunjungannya ke rumah sakit untuk menjenguk Soeharto, PM
Singapura Lee Kuan Yew mengatakan “saya ingin menghormatinya sebagai sahabat lama dan
rekan yang tangguh. Soeharto layak mendapatkan pengakuan atas kontribusinya selama hidup
terhadap Indonesia dan dunia luar”. Soeharto kemudian wafat pada tahun 2008 (Samosir, 2015).

Berakhirnya masa kepemimpinan Soeharto yang dikenal sebagai orde baru, kemudian
digantikan oleh B.J. Habibie sebagai Presiden Republik Indonesia ketiga. Masa kepemimpinan
Presiden B.J. Habibie dikenal juga dengan masa era reformasi. Pada masa kepemimpinan
Presiden Habibie Indonesia sedang dalam kondisi gejolak pemerontakan atas kekecewaan dari
keadaan Indonesia yang ambruk akibat krisis moneter. Pada masa ini Indonesia lebih cenderung
waspada terhadap negara tetangga, interkasi antara Indonesia dan Singapura mengalami
perubahan yang drastis jauh dengan kondisi pada masa jabatan Soeharto. Singapura cenderung
bereaksi negatif terhadap naiknya Presiden Habibie sebagai Presiden Republik Indonesia,
sedangkan Presiden Habibie cenderung mengalami selisih paham dan juga kerap memberikan
komentar serta kritik tajam yang menyebabkan keretakan hubungan politik antara kedua negara.

Sejak dilantiknya Presiden Habibie tahun 1998, PM Singapura secara spontan mengatakan
bahwa Habibie sebagai pengganti Soeharto tidakn akan didukung pasar dan jika Presiden
Habibie naik jabatan nilai kurs Rupiah Indonesia akan menembus Rp. 20 ribu. Hal tersebut
mengakibatkan hubungan bisnis antara kedua negara menjadi turun drastis. Pemerintah
Singapura pernah merasa risih atas ucapan Presiden Habibie yang mengatakan bahwa adanya
praktek-praltek rasial yang dilakukan oleh pemerintah Singapura yang memiliki keturunan
melayu terhadap para penduduk melayu.

Ketika Indonesia sedang membutuhkan dukungan internasional agar dapat mengakhiri masa
krisis ekonomi terutama bantuan dan dukungan dari Singapura yang merupakan negara tetangga
dan sesama anggota ASEAN, Presiden Habibie malah mengeluarkan komentar yang
menyebabkan keretakan hubungan politik kedua negara. Pada masa kepemimpinan Presiden
Habibie hubungan Indonesia dan Singapura mengalami kemunduran yang diakibatkan oleh
ketegangan antara kedua negara melalui perkataan Presiden Habibie di sebuah wawancara dalam
The Asian Wall Street pada 4 Agustus 1998. Saat krisis yang membuat GDP Indonesia anjlok
15%, Singapura tidak mengalami dampak signifikan meski secara perekonomiannya juga
mengendur karena kurangnya permintaan. Lantas hal tersebut yang membuat Presiden Habibie
menuturkan pendapatnya bahwa tidak masalah terhadap dirinya, tetapi ada 211 juta orang di
Indonesia, semua area yang berwarna hijau Indonesia dan titik merah itu adalah Singapura
(Sebayang, 2019). Pernyataan liltle red dot atau titik merak yang dikatakan Presiden Habibie
tersebut membuat publk Singapura tersinggung karena menganggap istilah tersebut sebagai
hinaan. Akibatnya, Singapura berpendapat bahwa Presiden Habibie melakukan kesalahan dengan
membalik semua hukum-hukum pada masa Soeharto yang menyebabkan kelompok-kelompok
islam radikal muncul kembali dan salah faktor munculnya teroris merupakan akibat dari
kesalahan Presiden Habibie. Kesalahpahaman antara kedua negara tersebut mengakibatkan
hubungan diplomatik kedua negara tidak terjalin dengan baik bahkan lebih cenderung
memperkeruh keadaan.

Berakhirnya kepemimpinan Presiden Habibie, kemudian Abburrahman Wahid atau yang


akrab dipanggil Gus dur diangkat menjadi Presiden keempat Republik Indonesia. Meskipun
masa kepemimpinan Presiden Gus Dur berlangsung sangat singkat, namun mampu memberikan
beberapa kemajuan dalam politik luar negerinya dengan Singapura. Kemajuan tersebut
membawa dampak besar bagi Indonesia yang mana Presiden Gus Dur merangkul Singapura
bersama Lee Kuan Yew untuk menjadi penasehat tim ekonomi kepresidenannya bersama Henry
Kissinger (AS) dan Sofyan Wanandi (CSIS). Kerjasama tersebut membawa pengaruh besar
sehingga sukses mengembalikkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS mencapai RP. 10 ribu.
Seiring berjalannya waktu hubungan kedua negara sama seperti pemimpin-pemimpin
sebelumnya, terdapat saling tuding dan menaruh curiga terhadap satu sama lain. Presiden Gus
Dur pada masa kepemimpinannya lebig cenderung menuturkan komentar-komentar yang
dianggap kurang berwibawa sebagai seorang Presiden bahkan terkesan terlalu memaksakan
pendapatnya yang kerap menjadi kontroversil, tidak konsisten serta kurang taktis terhadap
pemerintah Singapura. Sikap tersebut terlihat dari timbulnya kekecewaan Presiden Gus Dur
kepada Singapura yang tidak menginginkan adanya pembahasan terkait kerjasama ekstradisi,
sikap Singapura ini yang kemudian memicu kemarahan Presiden Gus Dur sehinggan menuturkan
statemen dengan nada kecaman menghentikan pasokan air oleh Indonesia pada saat itu. Selain
itu, terdapat pula keinginan Presiden Gus Dur untuk membentuk Forum Pasifik Barat yang
terdiri dari negara ASEAN dan 3 negara baru di Pasifik Barat yaitu Papua New Guinea, Timor
Timur dan Australia. Namun keinginan tersebut tidak mendapatkan disetujui oleh Lee Kuan Yew
yang mengakibatkan kemarahan Presiden Gus Dur sehingga menuturkan pendapat bahwa Lee
Kuan Yew sebagai PM Singapura tidak menghargai orang melayu.

Hanya berselang beberapa tahun, Presiden Gus Dur dipaksa berhenti dari jabatannya sebagai
Presiden Republik Indonesia dan kemduian digantikan oleh Megawati. Megawati merupakan
keturunan dari mantan Presiden pertama Indonesia Soekarno. Pada masa kepemimpinan Presiden
Megawati hubungan Indonesia dan Singapura relatif berjalan dengan baik, hal ini ditandai
adanya hubungan saling kunjungan pejabat antara kedua negara bahkan setelah pengumuman
kabinet pemerintahannya Presiden Megawati secara khusus terbang menuju Singapura.
Hubungan antara Indonesia dan Singapura membawa dampak yang baik, salah satu keberhasilan
atas hubungan tersebut adalah terciptanya hubungan kerjasama dalam membasmi terorisme yang
berlandaskan pada peristiwa World Trade Center 2001.

Hubungan baik antara Indonesia dan Singapura yang saling membutuhkan saat itu ternyata
juha disertai dengan beberapa permasalahan bilateral diantara kedua negara. Pasang surut
hubungan Indonesia dengan Singapura disebabkan karena belum terselesainya beberapa
permasalahan dalam hubungan bilateral kedua negara. Permasalahan yang sejak awal hubungan
bilateral Indonesia-Singapura adalah belum teralisasinya perjanjian ekstradisi yang hingga masa
jabatan Presiden Megawati berkahir, adapun permasalahan terkait ekspor pasir dari Indonesia ke
Singapura dalam rangka proyek reklamasi negara tersebut dan masalah perbedaan pandangan
ekspor impor yang disebabkan oleh ketidakterbukaan Singapura dalam menampilkan data
perdagangan dengan Indonesia. Kemudian pada masa kepemimpinan Presiden Megawati,
kembali muncul permasalahan akibat sikap arogansi pemerintah Singapura melalui PM Lee
Kuan Yew yang menuduh Indonesia sebagai sarang teroris dan adapula permasalahan lain yang
muncul adalah kaburnya bbeberapa koruptor BLBI ke Singapura yang membawa hasil
korupsinya senilai Rp. 450 triliun (Fannani, 2008).

Setelah berakhirnya masa kepemimpinan Presiden Megawati, kemudian Susilo Bambang


Yudhoyono atau yang lebih akrab dipanggil SBY terpilih sebagai presiden keenam Republik
Indonesia, serta terpilihnya Lee Hsein Loong sebagai Perdana Menteri Singapura yang baru pada
tanggal 12 Agustus 2004. Pergantian pemimpin kedua negara merupakan momentum baru bagi
hubungan kedua negara memrikan dampak yang lebih berkembang secara positif dan kondusif,
bermula dari hubungan sahabat dari pemimpin kedua negara ketika terpilihnya Presiden SBY
sebagai Presiden Republik Indonesia keenam PM Singapura Lee Hsein Loong menjadi Perdana
Menteri di Asia yang mengucapkan selamat atas terpilihnya Presiden SBY. Selain itu, kunjungan
kedua kepala negara mendorong adanya hubungan dalam pengembangan sektor-sektor
kerjasama baru yang saling menguntungkan sebagai upaya menyelasaikan berbagai
permasalahan yang menyangkut outstanding issue.

Pada masa kepemimpinan Presiden SBY, hubungan bilateral antara Indonesia dan Singapura
mengalami perkembangan yang sangat baik. Kunjungan pejabat antar kedua negara kerap
dilakukan untuk membahas hal-hal yang menjadi kepentingan bersama. Pada masa pemerintahan
ini perundingan awal perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura dimulai sejak November 2004
saat kedatangan PM Singapura Lee Hsein Loong ke Indonesia sebagai dukungan terhadap
pemerintahan Presiden SBY yang saat itu dilantik serta dalam kunjungan tersebut untuk
membahas hal-hal penting lainnya antara kedua negara termasuk perjanjian ekstradisi.

Hubungsn bilateral Indonesia dan Singapura ini tetap fluaktif karena adanya permasalahan
kabut asap, disamping itu pada masa kepemimpinan Presiden SBY adalah masa dimana
Indonesia kerap mengalami berbagai bencana alam dalam negeri dan krisis ekonomi. Peran
menonjol Pemerintah dan masyarakay Singapura dalam memberikan bantuan kemanusiaan
kepada korban bencana alam gempa bumi dan tsunami di Sumatera Utara dan Aceh pada 26
Desember 2004, bencana gempa bumi dasar laut di dekat Pulau Nias dan Pulau Simeleu pada
Maret 2005, bencana gempa bumi di Yogyakarta dan Jawa Tengah serta tsunami di Pandangaran
pada tahun 2006 tersebut memberikan penagruh positif terhadap Indonesia kepada Singapura dan
merupakan faktor positif lain bagi perkembangan hubungan baik kedua negara.

B. Perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang memberikan kemudahan interaksi dan
mobilitas antarnegara. Kemudahan interaksi tersebut tidak hanya memberikan dampak positif
namun juga dampak negatif. Salah satu dampak negatif yang muncul adalah kejahatan lintas
negara atau pelaku tindak pidana yang melarikan diri ke wilayah negara lain. Untuk
menanggulangi dampak negatif tersebut, diperlukan adanya instrumen penegakan hukum dalam
bentuk kerjasama ekstradisi sebagai uapaya penyerahan seseorang yang disangka atau dipidana
karena telah melakukan tindak kejahatan di luar wilayah negara yang menyerahkan dan di dalam
yurisdiksi wilayah negara yang meminta penyerahan tersebut karena memiliki kewenangan
untuk mengadili dan memidananya.

Dalam upaya mewujudkan penegakan hukum tersebut, Indonesia telah menandatangani


perjanjian ekstradisi dengan beberapa negara atau yurisdiksi yaitu Malaysia, Thailand,
Hongkong, Filipina, Australi, Korea Selatan, Republik Rakyat Tiongkok, Vietnam, Persatuan
Emirat Arab, Republik Islam Iran dan Republik India. Selanjutnya, pada awal tahu 2022
pemerintah Indonesia melakukan penandatanganan perjanjian ekstradisi dengan Singapura.
Pembuatan perjanjian ekstradisi juga dilakukan berdasarkan hukum positif terkait ekstradisi pada
masing-masing negara. Adapun pada sistem hukum Singapura yang berlaku terdapat
keharusahan adanya perjanjian ekstradisi sebelum melaksanakan ekstradisi dengan negara lain.

Pentingnya pembuatan perjanjian ekstradisi Indonesia dengan Singapura tidak terlepas dari
posisi Singapura sebagai negara yang berbatasan langsung dengan Indonesia, serta intensitas
pergerakan warga antara kedua negara yang tinggi dan juga didorong kebijakan Indonesia yang
memasukkan Singapura ke dalam daftar negara bebas visa. Hal tersebut menyebabkan Singapura
seringkali dijadikan sebagai negara tujuan akhir atau tujuan transit oleh para pelaku kejahatan.
Adanya kerjasama perjanjian ekstradisi dengan Singapura akan memudahkan aparat penegak
hukum Indonesia dalam menyelesaikan perkara pidana yang pelakunya berada di Singapura.

Pada tahun 2005, Indonesia pernah mengajukan 5 permohonan ekstradisi terhadap beberapa
pelaku tindak pidana yang melarikan diri ke singapura. Akan tetapi kelima permohonan tersebut
tidak mendapat respon dari pihak Singapura. Tindakan Singapura yang tidak merespon terhadap
permohonan ekstradisi yang diminta oleh Indonesia merupakan perwujudan aturan hukum yang
berlaku di Singapura.

Singapura berdasarkan Act 1968 mewajibkan suatu perjanjian untuk pelaksanaan kerjasama
ekstradisi. Aturan tersebut berbeda dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Pengaturan
ekstradisi di Indonesia bersifat fleksibel. Pasal 2 UU Nomor 1 Tahun 1979 tentang ekstradisi
mengatur “ekstradisi dapat dilakukan berdasarkan suatu perjanjian dan apabila belum ada
perjanjian maka ekstradisi dapat dilakukan atas dasar hubungan baik”. Penerimaan suatu
permohonan ekstradisi oleh negara penerima memang dapat disebabkan oleh beberapa faktor,
meskipun begitu dalam konteks Singapura adanya perjanjian ekstradisi menjadi penting karena
aturan yang berlaku di Singapura. Suatu perjanjian akan menjadi dasar yang mengikat bagi
masing-masing pihak baik Indonesia maupun Singapura untuk memenuhi kewajiban yang
tertuang dalam perjanjian ekstradisi.

Pada tahun 2007, pemerintah Indonesia dengan pemerintah Singapura menandatangani


perjanjian ekstradisi. Perjanjian ekstradisi yang ditandatangani pada tahun 2007 tersebut
merupakan hasil dari usaha diplomasi pembuatan perjanjian ekstradisi yang telah mulai
diupayakan sejak tahun 1973. Pada tahun 1998 melalui saluran diplomatik pemerintah Indonesia
melakukan terhadap Perdana Menteri Singapura. Pendekatan tersebut berlanjut dengan
pertemuan tingkat kepala pemerintah yang dilaksanakan pada tahun 2002 serta menghasilkan
kesepakatan action plan perjanjian ekstradisi Indonesia dan Singapura. Dalam kaitannya,
langkah awal pelaksanaan action plan ini dilakukan pada tahun 2003 dengan dilaksanakan
pertemuan bilateral antara Kementrian Luar Negeri kedua negara yang membahas sistem hukum
dan pembentukan perjanjian ekstradisi. Dalam pertemuan Presiden SBY dan PM Singapura Lee
Hsien Loong di Jakarta pada 8 November 2004 terdapat kesepakatan agar pembicaraan persoalan
yang masin pending atau yang belum tercapai kesepakatan antara Indonesia dan Singapura
termasuk ekstradisi dapat dilakukan secara rasional dan konstruktif. Hasil pertemuan ini
menyepakati untuk melaksanakan pertemuan antardelegasi tingkat pejabat teknis (technical
meeting) pada tanggal 17-18 Januari 2005 bermula dari pertemuan yang terselenggara di
Singapura. Perundingan terkait perjanjian ekstradisi ini selanjutnya dilakukan sampai dengan
tahun 2007 hingga dilanjutkan dengan penandatanganan perjanjian oleh kedua negara.

Penandatanganan perjanjian ekstradisi tersebut dilaksanakan pada tanggal 27 April tahun 2007
di Istana Kepresidenan Tampaksiring Bali. Perjanjian tersebut ditandatangani oleh Menteri Luar
Negeri Indonesia Hassan Wirajuda dan Menteri Luar Negeri Singapura George Yeo serta
disaksikan secara langsung oleh Presiden SBY dan PM Singapura Lee Hsien Loong. Namun
demikian, perjanjian yang ditandangani tahun 2007 tersebut tidak ditindaklanjuti dengan
melakukan pengesahan perjanjian dari kedua negara.

Setelah penandatanganan perjanjian ekstradisi pada tahun 2007, Indonesia juga pernah
mengajukan 2 permohonan ekstradisi terhadap dua pelaku tindak pidana. Permohonan yang
diajukan tersebut merupakan permohonan ekstradisi kedua dari Indonesia setelah permohonan
sebelumnya tidak mendapat respon oleh Singapura. Dari dua permohonan ekstradisi yang
diajukan oleh Indonesia, terdapat satu permohonan yang mendapatkan jawaban oleh Attorney-
General’s Chambers of Singapore bahwa yang bersangkutan tidak diketahui keberadaannya di
Singapura.

Selain permohonan ekstradisi, Indonesia juga pernah mengajukan permohonan penahanan


sementara (provisional arrest) pada tahun 2014. Permohonan tersebut mendapat respon
Attorney-General’s Chambers of Singapore dengan jawaban melalui surat resmi bahwa pihak
Singapura tidak dapat membantu Indonesia dikarenakan belum berlakunya perjanjian ekstradisi
yang ditandangani pada tahun 2007.
Dalam perkembangannya, pada tahun 2021 Indonesia mengajukan usulan perubahan Pasal 2
ayat 4 mengenai masa retroaktif dari yang semula 15 tahun sebelum tanggal berlakunya
perjanjian menjadi 18 tahun. Usulan perubahan dari Indonesia tersebut diterima oleh Singapura,
sehinga kedua negara mencapai kesepakatan untuk menandatangani perjanjian ekstradisi yang
memuat perubahan tersebut. Perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura selanjutnya
ditandatangani di Bintan, Kepulauan Riau, Indonesia pada tanggal 25 Januari 2022 oleh Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H. Laoly dan Menteri Dalam Negeri dan Menteri
Hukum Singapura K Shanmugam, S.C serta disaksikan oleh Presiden Joko Widodo dan Perdana
Menteri Singapura Lee Hsien Loong.

Dalam perkembangannya, setelah penandatanganan perjanjian ekstradisi Indonesia-


Singapura tahu 2022, kemudian Rancangan Undang-Undang (RUU) perjanjian antara
Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Singapura tentang ekstradisi buronan resmi disahkan
menjadi Undang-Undang (UU) pada Rapat Paripurna DPR RI Ke-13 Masa Persidangan II Tahun
Sidang 2022-2023. Dalam Rapat Paripura yang dipimpin langsung oleh Ketua DPR RI Puan
Mahari tersebut, UU Ekstradisi antara Indonesia dan Singapura disahkan setelah melalui
pembahasan tingkat pertama dengan Komisi III DPR RI dengan Kementrian Luar Negeri
(Kemenkumham, 2022).

Wakil Ketua Komisi III DPR RI Pangeran Khairul Saleh menjelaskan bahwa RUU
perjanjian antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Singapura tentang ekstradisi buronan
dipandang penting untuk segera disahkan karena berguna bagi kepentingan negara dan
Masyarakat umum, khususnya daalam rangka mendukung efektivitas sistem penegakan hukum
dan peradilan pidana (DPR-RI, 2022).

Pengesahan UU Ekstradisi tersebut akan menjadi dasar hukum bagi pemerintah Indonesia
guna dapat memberikan kepastian hukum bagi kedua negara terkait perjanjian ekstradisi.
Rancangan Undang-Undang tersebut sekaligus memberi respon terhadap kebutuhan kerjasama
internasional terutama pada bidang hukum secara komprehensif.

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H. Laoly mengatakan
bahwa membangun kerjasama internasional dalam bentuk perjanjian ekstradisi merupakan upaya
pemerintah Indonesia dalam memberikan keadilan dan perlindungan bagi rakyat Indonesia
sekaligus sebagai perwujudan peran aktif negara Indonesia dalam menjaga ketertiban dunia
(Menkumham,2022).

C. Isu-isu Yang Berkaitan Dengan Ekstradisi Di Indonesia

Belakanagn ini persoalan terkait ekstradisi sering muncul dan sedang ramai bicarakan di
kalangan masyarakat luas, oleh karena semakin banyaknya pelaku kejahatan yang melarikan diri
dari suatu negara ke negara lain, atau kejahatan yang membrikan akibat terhadap lebib dari satu
negara. Dengan kata lain, kejahatan yang dilakukan tersebut menjadi urusan dari dua negara atau
lebih. Kejahatan-kejahatan ini pada umumnya disebut sebagai kejahatan berskala internasional
atau kejatahan transnasional, bahkan ada pula yang menyebutnya dengan kejahatan internasional
(Parthiana, 2004).

Permasalahan ekstradisi merupakan salah satu masalah pada bidang kriminologi berkaitan
dengan pelaku kejahatan yang kerap menimbulkan rasa tidak puas serta perdebatan di kalangan
masyarakat Indonesia pada umumnya. Masalah ekstradisi muncul ketika banyak orang Indonesia
yang disangka atau dituduh telah melakukan tindakan kejahatan di Indonesia, baik sebelum atau
sedang maupun telah diproses pengadilan, lalu kemudian melarikan diri ke liuar negeri. Setelah
pelaku btelah berada di luar negeri, maka dengan demikian pemerintah Indonesia tidak berdaya
untuk menjangkau pelaku tersebut sehingga pada akhirnya kasus tersebut perlahan-lahan
menghilang.

Ada beberapa kasus yang tercatat sampai pada saat ini, seperti pengemplang Bantuan Bank
Indonesia (BLBI) yang melarikan diri ke Singapura dan Australia. Hendra Rahardja dan Adrian
Kiki adalah beberapa nama dari sejumlah pelaku yang melarikan diri keluar negeri serta
membawa hasil kejahatannya, namun tidak bisa diproses hukum sampai saat ini. Hendra
Rahardja, mantan Direktur BHS Bank yang melarikan diri ke Australia, namun sampai dia
meninggal dunia, yang bersangkutan tidak berhasil untuk dipulangkan ke Indonesia. Begitupun
dengan pengemplang dana BLBI lainnya, yaitu Mantan Direktur Bank Surya Adrian Kiki yang
divonnis seumur hidup oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tahu 2002, juga berhasil
mealukan pelarian ke Australia, bahkan dia berhasil menjadi warga negara disana. Namun
sampai saat ini yang bersangkutan belum berhasil untuk dipulangkan ke Indonesia, walaupun
Australia merupakan salah satu dari 5 negara yang telah melakukan kerjasama perjanjian
ekstradisi dengan Indonesia selain dari Malaysia, Filipina, Thailand dan Hongkong.
Sebaliknya, negara yang belum mengadakan atau melaksanakan perjanjian ekstradisi dengan
Indonesia justru menjadi surga bagi para pelaku kejahatan transnasional. Misalnya Singapura,
ada beberapa buronan Indonesia yang justru hidup tenang disana, bahkan dilindungi oleh
pemerintah setempat. Seperti para pengemplang dana BLBI lainnya, yaitu Syamsul Nursalim
kasus BDNI yang merugikan negara sebesar 6,9 triliun rupiah dan 96,7 US dollar, Bambang
Sutrisno (kasus Bank Surya yang merugikan negara sebesar 1,5 triliun rupiah), dan David
Nusawijaya kasus Bank Servitia yang merugikan negara sebesar 1,26 triliun rupiah.

Sejarah suram mengenai ekstradisi Indonesia dengan Singapura sebenarnya telah


berlangsung cukup lama, yaitu pada tahun 1950 ketika Indonesia mengajukan permohonan
ekstradisi kepada Inggris atas Turco Westerling dimana pada ssat itu melarikan diri ke
Singapura, sementara Singapura masih merupakan negara jajahan Inggris. Permohonan
ekstradisi tersebut ditolak oleh Inggris karena belum adanya perjanjian ekstradisi. Begitupun hal
dengan tersangka kasus suap cek perjalanan anggota DPR RI untuk pemilihan Deputy Senior
Bank Indonesia (DGS BI), Nunun Nurbaeti. Sejak kasus tersebut muncul sekitar tahu 2009,
Nunun Nurbaiti tiba-tiba terkena penyakit lupa ingatan sehingga diperbolehkan untuk berobat ke
Singapura. Namun sampai saatsw ini yang bersangkutan tidak pernah kembali ke Indonesia
meski telah dipanggil secara wajar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang
bekerjasama dengan INTERPOOL (Weryina, 2012).

Selain itu, masih terdapat beberapa borunan terkait tindak pidana korupsi di Indonesia yang
melarikan diri ke Singapura seperti, Bambang Sutrisno yang merupakan mantan komisaris Bank
Surya. Ia divonnis seumur hidup oleh PN Jakarta Pusat terkait kasus penyelewengan dana BLBI
pada tahu 2003 yang menyebabkan negara mengalami kerugian sebesar Rp. 1,5 triliun. Namun
hingga saat ini yang bersangkutan masih berkeliaran bebas dan hidup nyaman di Singapura.
Adapun nama lain, yaitu Harun Masiku dengan dugaan suap terkait penetapan anggota DPR
terpilih periode 2019-2024. Harun Masiku telah meninggalkan Indonesia pada 6 Januari 2020
lalu dan menuju ke Singapura. Informasi tersebut berdasarkan catatan Direktorat Jendral Imigrasi
Kemenkumham yang menyatakan Harun Masiku meninggalkan Indonesia lalu menuju ke
Singapura. Namun hingga saat ini yang bersangkutan masih belum diketahui keberadaannya
(Putra & Karlina, 2022).
BAB III

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

KEPENTINGAN NASIONAL INDONESIA DALAM PERJANJIAN EKSTRADISI


INDONESIA-SINGAPURA

Setelah mengetahui dinamika hubungan bilateral, proses perjanjian ekstradisi Indonesia


dan pengertian ekstradisi, selaras dengan politik luar negeri dan kepentingan nasional Indonesia
dalam kerjasama perjanjian ekstradisi dengan Singapura. Maka pada bab ini akan menganalisa
kepentingan nasional Indonesia dalam penandatanganan kerjasama perjanjian ekstradisi
Indonesia-Singapura pada Leaders’ Retreat 2022 di Bintan, Kepulauan Riau, Indonesia.

a. Kepentingan penguatan hubungan bilateral dengan Singapura

Penandatangan perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura pada Leaders’ Retreat 2022 akan


memperkuat hubungan bilateral Indonesia dengan Singapura sehingga diharapkan dapat menjadi
pendorong kekuatan kerjasama di bidang lain yang bermanfaat bagi kepentingan nasional serta
pembangunan di Indonesia. Mengingat Singapura adalah negara sahabat dan salah satu negara
tetangga paling dekat yang memiliki arti penting bagi kepentingan nasional Indonesia dan juga
kepentingan kawasan, dari segi kawasan Indonesia dan Singapura merupakan dua negara penting
dikawasan Asia Tenggara yang merupakan pendiri ASEAN. Indonesia perlu memberikan
proritas dan memberikan perhatian pada pembinaan dan penguatan hubungan, dan solidaritas
ASEAN.

Perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura yang berdampak pada penguatan hubungan


bilateral kedua negara tentu saja menjadi kepentingan nasional Indonesia dalam kebijakan luar
negerinya, sebab Singapura yang merupakan tetangga terdekat memiliki hubungan kerjasama
yang terwujud dalam berbagai bidang kehidupan, terutama yang paling menonjol adalah pada
bidang ekonomi. Singapura merupakan mitra dagang utama, sumber investasi asing tersebar dan
juga sebagai asal wisatawan asing terbesar bagi Indonesia.
Penandatanganan perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura sebagai penguatan hubungan
bilateral antara kedua negara dilihat dari pertemuan bilateral antara Presiden Joko Widodo dan
PM Singapura Lee Hsien Loong di Istana Kepresidenan Singapura pada Maret 2023 yang
membahas terkait sejumlah kemajuan yang telah dilakukan sejak penandatangan perjanjian
ekstradisi pada tahun 2022. Dalam pertemuan tersebut Presiden Joko Widodo menjelaskan
bahwa bnyak kemajuan yang Indonesia dan Singapura lakukan setelah penandatangan
perjanjiaan ekstradisi pada tahun 2022, investasi Singapura naik 40 persen dan volume
perdagangan Indonesia juga naik 25 persen. Pada kesempatan yang sama Pm Singa Lee Hsien
Long juga menyampaikan ucapan terima kasihnya kepada Presiden Joko Widodo dan para
Menterinya atas kepemimpinan dan dukungan serta kerja kerasnya untuk meratifikasi perjanjian
tersebut. Menurut PM Lee Hsien Long, Singapura akan terus bekerjasama dengan Indonesia
dalam pengimplementasian perjanjian tersebut dan menyakini bahwa kesuksesan dari perjanjian
tersebut akan mencerminkan kuatnya hubungan bilateral anatara Indonesia dan Singapura
(Kemensetneg-RI, 2023).

b. Kepentingan untuk menangkap para pelaku tindak pidana di Singapura

Selain sebagai penguatan hubungan bilateral dengan Singapura, penandatangan


kerjasama perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura ini juga akan memperluas jangkauan
penegakan hukum nasonal Indonesia dalam pemberantasan kejahatan. Adanya kerjasama
perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura akan mengikat kedua negara untuk merespon dan
melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk menyerahkan pelaku selama seluruh
persyaratan telah terpenuhi. Hal ini selaras dengan penegertian perjanjian ekstradisi sebagai
sebuah kesepakatan formal antara dua negara dua atau lebih negara yang mengatur prosedur dan
syarat-syarat ekstradisi, hal hal tersebut juga selaras dengan Pasal 1 UU Nomor 1 bahwa
ekstradisi adalah penyerahan oleh suatu negara yang meminta penyerahan seseorang yang
disangka atau dipidana karena telah melakukan tindakan kejahatan di luar wilayah negara yang
menyerahkan dan di dalam yurisdiksi negara yang meminta penyerahan tersebut, karena
berwenang untuk mengadili dan memidananya.

Penandatanganan perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura sebagai kebijakam luar


negeri Indonesia dalam upaya memberantas pelaku kejahatan ekonomi yang melarikan diri ke
Singapura. Dalam perjanjian ekstradisi yang telah sejak lama di upayakan oleh Indonesia
mengandung keinginan Indonesia yang sangat kuat untuk menangkap borunan korupsi yang
melarikan diri dari proses hukum yang menjeratnya.

Singapura disebut-sebut sebagai surga bagi pelaku tindak pidana khususnya korupsi di
Indonesia untuk melarikan diri dari penegakan hukum yang menjeratnya, hal ini tidak terlepas
dari posisi Singapura yang berbatasan langsung dengan Indonesia serta intensitas pergerakan
warga kedua negara yang tinggi dan didukung oleh kebijakan pemerintah Indonesia yang
memasukkan Singapura dalam negara bebas visa sehingga memudahkan para pelaku kejahatan
untuk melarikan diri.

Berikut ini adalah beberapa nama pelaku kejahatan korupsi yang melairkan diri dan
bersembunyi di Singapura (Kompas.com, 2020).

NO NAMA KASUS KERUGIAN NEGARA


1 Sjamsul Nursalim Korupsi BLBI Rp. 4,58 Triliun
2 Bambang Sutrisno Korupsi BLBI Rp. 1,5 Triliun
3 Adrian Kiki Irawan Penyelewengan dana BLBI Rp. 1,5 Triliun
4 Eko Adi Putranto Korupsi BLBI Bank BHS Rp. 1,95 Triliun
5 Sherny Konjongian Korupsi KLBI Rp. 1,95 Triliun
6 David Nusa Wijaya Korupsi BLBI Rp. 1,9 Triliun
7 Samadikun Hartono Korupsi BLBI Rp. 169,4 Triliun
8 Agus Anwar Korupsi BLBI Bank Pelita Rp. 1,9 Triliun
9 Sujiono Timan Korupsi BLBI Rp. 2 Triliun
10 Maria Pauline Korupsi Bank BNI Rp. 1,7 Triliun
11 Djoko S Tjanda Korupsi Bank Bali Rp. 546 Miliar
12 Gayus Tambunan Korupsi Pajak Rp. 24 Miliar
13 Surya Darmadi Korupsi PT DT Palma Rp. 78 Triliun
14 Nader Taher Kasus Bank Mandiri Rp. 24,8 Miliar
15 Lesmana Basuki Korupsi Comersial Paper Rp. 209 Miliar
16 Hartawan Aluwi Korupsi Bank Century Rp. 3,11 Triliun
17 Hendro Wiyanto Korupsi Bank Century Rp. 3,11 Triliun
18 Anton Tantular Korupsi Bank Century Rp. 3,11 Triliun
19 Hesham Al-Waraq Korupsi Bank Century Rp. 3,1 Triliun
20 Rasat Ali Rizfi Korupsi Bank Century Rp. 3,1 Triliun
21 Muhammad Nazaruddin Kasus Korupsi Gratifikasi -
22 Lidya Muchtar Kasus BLBI Rp. 189 Miliar

Berdasarkan data pada tabel diatas adalah daftar terduga, tersangka, terdakwa, terpidana
asal Indonesia yang diduga pernah dan telah melirikan diri ke Singapura. Upaya penegakan
hukum di Indonesia kerap mengalami hambatan ketika dihadapkan pada permasalahan kaburnya
pelaku tindak pidana ke luar wilayah Indonesia. Terlebih lagi jika wilayah di luar Indonesia
tersebut aturan yang memungkinkan pelaku sukar dibawa kembali ke Indonesia jika telah berada
di wilayahnya. Dalam hal ini, Singapura yang menjadi sarang bagi pelaku tindak pidana
khususnya korupsi tidak merespon permintaan ekstradisi borunan dari Indonesia jika kedua
negara belum terikat dalam kerjasama perjanjian ekstradisi karena Singapura memiliki sistem
hukum nasional yang mengharuskan adanya perjanjian ekstradisi sebelukm dilaksanakan
ekstradisi dengan negara lain.

c. Kepentingan untuk pengembalian aset atau hasil kejahatan pelaku tindak pidana di
Singapura

Perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura yang ditandatangani pada tahun 2022 ini akan
membantu penegakan hukum, yakni untuk pelaksaan penuntutan hingga pelaksanaa keputusan,
termasuk mempermudah upaya eksekusi pengembalian kerugian negara. Kembalinya tindak
pelaku pidana ke Indonesia akan memeudahkan upaya aparat penegakan hukum dalam
memaksimalkan potensi pengembalian atau penyelamatan kerugian negara melalui penyitaan
dan perampasan. Kepentingan Indonesia dalam perjanjian ekstradisi dengan Singapura tidak
hanya mengembalikan pelaku kejahatan, tetapi salah satu prioritas Indonesia juga untuk
mengembalikan aset atau hasil kejahatan pelaku yang disembunyikan di negara Singapura.

Dengan dihadirkannya pelaku atau terdakwa melalui perjanjian ekstradisi tersbut akan
menghasilkan putusan pengadilan yang lebih diterima oleh negara lain dan menjadi dasar hukum
yang kuat guna pengambilan aset pelaku tindak pidana yang berada di luar negeri. Hal ini
mengingat persidangan yang dilaksanakan secara in absentia belum diterima secara umum oleh
banyak negara, juga berpotensi tertetolaknya penyitaan atau perampasan aset diluar negeri,
sedangkan di beberapa undang-undangnya, Indonesia menganut peradilan in absentia.

d. Kepentingan dalam memberikan efek gentar terhadap pelaku kejahatan transnasional


Perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura yang dimana kedua negara sepakat
untuk mengekstradisi orang yang ditemukan di negara yang diminta dan dicari oleh negara yang
meminta untuk proses penuntutan dan persidangan atau pelaksanaan hukuman.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H. Laoly menjelaskan bahwa perjanjian
ekstradisi ini akan menciptakan efek gentar (deterrence) bagi para pelaku tindak pidana
Indonesia dan Singapura. Dengan adanya perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura akan
mempersempit ruang gerak tidak pidana di Indonesia. Apabila kedua negara dapat dengan
segera melakukan ratifikasi terhadap perjanjian ekstradisi ini maka Lembaga penegak hukum
kedua negara dapat memanfaatkan perjanjian ekstradisi dalam Upaya memberantas dan
mencegah tidndak pidana yang bersifat lintas batas negara seperti korupsi, narkoba dan
terorisme (Intan, 2022).
BAB IV

PENUTUP

KESIMPULAN

Anda mungkin juga menyukai