Anda di halaman 1dari 46

KAJIAN YURIDIS TENTANG DANA ASPIRASI DALAM

KAITANNYA DENGAN FUNGSI PENGAWASAN DEWAN


PERWAKILAN RAKYAT ACEH

Makalah

Untuk memenuhi syarat salah satu tugas


mata kuliah Perkembangan Hukum Tata Negara

Disusun oleh:
Dian Ayunda
2203201010032

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM


UNIVERSITAS SYIAH KUALA
BANDA ACEH
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu Wataala karena


berkat rahmat, petunjuk dan hidayah-Nyalah penulis dapat dan menyusun
menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Makalah ini membahas “Kajian
Yuridis tentang Dana Aspirasi dalam Kaitannya dengan Fungsi Pengawasan Dewan
Perwakilan Rakyat Aceh”. Makalah ini disusun bertujuan sebagai salah satu tugas
mata kuliah Perkembangan Hukum Tata Negara.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan makalah ini masih


banyak terdapat kekurangan yang jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan
makalah ini. Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi yang
membacanya.

Banda Aceh, 5 Oktober 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii


DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah ................................................................................ 1
B. Perumusan Masalah ....................................................................................... 6
C. Tujuan Penelitian ........................................................................................... 6
D. Metode Pendekatan ........................................................................................ 7
E. Sistematika Penulisan .................................................................................. 11
BAB II LANDASAN TEORITIS ........................................................................12
A. Teori Pengawasan ........................................................................................ 12
B. Teori Akuntabilitas ...................................................................................... 16
BAB III PEMBAHASAN ....................................................................................22
A. Alur Pendistribusian Dana Aspirasi DPRA Ditinjau Menurut Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2014 ................................................................... 22
B. Fungsi Pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh Terhadap Pengelolaan
Keuangan Daerah khususnya dana aspirasi ................................................. 32
BAB IV PENUTUP ..............................................................................................38
A. Kesimpulan .................................................................................................. 38
B. Saran ............................................................................................................ 39
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................41

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD


1945) menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Dalam pandangan
paham negara demokrasi, rakyat memiliki hak menyampaikan pendapat dan
aspirasi terhadap terselenggaranya pemerintahan yang baik atau good
governance sebagai bagian dari perwujudan kedaulatan rakyat.1

Negara demokrasi mengedepankan aspek partisipasi, transparasi


(keterbukaan), akuntabilitas (pertanggungjawaban) dan keadilan
(keseimbangan) dalam pengelolaan pemerintahan termasuk dalam
pengelolaan anggaran baik yang bersifat Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Pemerintah dipilih oleh rakyat, untuk rakyat dan bertanggungjawab kepada
rakyat. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah merupakan salah satu subsistem
dalam konteks “Pemerintahan di daerah” dimana Dewan Perwakilan Rakyat
berkaitan dengan pihak subsistem lainnya, yaitu pihak eksekutif dan rakyat.

Sistem pemerintahan otonomi lebih menjamin terwujudnya demokrasi


pada tataran pemerintahan lokal daripada sentralisasi. Satuan pemerintahan
otonom dengan prinsip desentralisasi mewujudkan prinsip kebebasan dalam
penyelenggaraan pemerintahan dan akan memberikan pelayanan sebaik-
baiknya kepada masyarakat sesuai keanekaragaman daerah-daerah.2 Untuk
dapat menyelenggarakannya diperlukan sumber keuangan yang cukup.
Pelaksanaan desentralisasi berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
Penyerahan urusan pemerintahan disertai dengan penyerahan kewenangan
dibidang keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang
disebut dengan desentralisasi fiskal. Dengan adanya desentralisasi fiskal,

1
Hendra Karianga, Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Keuangan Daerah
(Perspektif Hukum dan Demokrasi), P.T. Alumni, Cetakan ke-1, Bandung, 2011, hlm. 1.
2
Lukman Hakim, Filosofi Kewenangan Organ Lembaga Daerah, Setara Press, Malang,
2012, hlm. 33.

1
pemerintah pusat dan pemerintah daerah memiliki sumber pendapatannya
masing-masing. Sehingga Pemerintah Daerah memiliki kepastian
mendapatkan pendapatan yang berbeda dan tidak semata-mata bergantung
dengan sumbersumber keuangan dari Pemerintah Pusat yang dapat
menghilangkan eksistensi pemerintah daerah otonom.3 Dalam sistem
pemerintahan daerah yang berperan bukan hanya Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah dan eksekutif tetapi juga rakyat sebagai subsistemnya. Tanpa rakyat,
tidak ada arti Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Gubernur, Bupati dan
Walikota sebagai eksekutif didaerah.4

Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang


Pemerintahan Daerah sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2015, menyebutkan Pemerintahan Daerah adalah
penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan
dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pasal 1 angka 3 Undang Undang Pemerintahan Daerah menyebutkan


Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara
Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangan daerah otonom. Dalam Pasal 1 angka 4 Undang-
Undang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD) adalah lembaga perwakilan rakyat daerah yang
berkedudukan sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.

Pemerintah sebagai pemegang kendali tongkat kekuasaan dalam sistem


pemerintahan baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
Pemerintahan selanjut disebut pemerintah pusat adalah Presiden Republik

3
Faisal Akbar Nasution, “Kebijakan Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Daerah Pasca Reformasi”, Jurnal Hukum No. 3 Vol. 18 Juli 2011, hlm. 383.
4
Solly Lubis, Hukum Tata Negara, CV. Mandar Maju, Bandung, 2008, hlm. 104.

2
Indonesia dan dibantu oleh wakil presiden yang memegang roda kekuasaan
pemerintahan negara sesuai yang dimaksud dalam Pasal 4 Ayat (1) UUD
1945. Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan
oleh pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-
luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pasal 20A Ayat (1) UUD 1945 menjelaskan tentang pembagian


kewenangan legislatif diantaranya bahwa legislatif yang dipilih rakyat baik
dipusat maupun didaerah memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran dan
fungsi pengawasan. Pasal 18 UUD 1945 beserta penjelasannya diamanatkan
bahwa daerah-daerah yang bersifat otonom diadakan badan perwakilan
daerah, karena di daerahpun pemerintahan akan bersendi atas dasar
permusyawaratan. Perwakilan merupakan mekanisme untuk merealisasikan
gagasan normatif bahwa pemerintahan harus dijalankan dengan atas
kehendak rakyat (will of the people).5

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) merupakan lembaga


perwakilan rakyat daerah dan berkedudukan sebagai unsur penyelenggara
pemerintahan daerah yang memiliki fungsi legislasi, anggaran dan
pengawasan. Pasal 316 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014
tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD juga menegaskan bahwa Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) mempunyai fungsi legislasi, anggaran
dan pengawasan.

DPRA merupakan salah satu unsur penyelenggara pemerintahan di


Aceh yang memiliki fungsi legislasi, pengawasan, dan anggaran dalam
mengawal kinerja pemerintah Aceh. Dewan Perwakilan Rakyat Aceh
memiliki peran yang sangat penting dalam sistem pemerintahan di Aceh.
Fungsi legislasi DPRA mencakup pembuatan dan pengesahan peraturan
daerah yang menjadi landasan hukum bagi pemerintah Aceh. Selain itu,

5
Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Sinar Grafika, Cetakan
ke-6, Jakarta, 2016, hlm. 54-55.

3
DPRA juga memiliki fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan
daerah dan kinerja pemerintah Aceh. DPRA juga memiliki peran dalam
proses penganggaran dan pengawasan belanja negara di Aceh.

Fungsi pengawasan DPRA memiliki kaitan erat dengan fungsi legislasi,


karena objek pengawasan pada dasarnya adalah pelaksanaan peraturan
daerah. Fungsi pengawasan DPRA bertujuan untuk memastikan bahwa
peraturan daerah yang telah disahkan dijalankan dengan baik oleh pemerintah
Aceh. DPRA melakukan pengawasan terhadap kinerja pemerintah dalam
melaksanakan kebijakan dan program-program yang diatur dalam peraturan
daerah. Sehingga, fungsi pengawasan DPRA dan fungsi legislasi saling
terkait dan saling mendukung dalam menjaga keberlangsungan pemerintahan
di Aceh.

Untuk melaksanakan kedaulatan rakyat berdasarkan kerakyatan yang


dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan,
perlu diwujudkan lembaga permusyawaratan rakyat, lembaga perwakilan
rakyat, dan lembaga perwakilan rakyat daerah yang mampu memperjuangkan
nilai-nilai demokrasi serta dapat menyerap dan memperjuangkan aspirasi
rakyat, termasuk kepentingan daerah, agar sesuai dengan tuntutan
perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pernyataan ini menjelaskan bahwa lembaga perwakilan rakyat, seperti


DPRA, memiliki peran penting dalam mewujudkan kedaulatan rakyat dan
nilai-nilai demokrasi. DPRA bertindak sebagai wakil rakyat yang
memperjuangkan aspirasi dan kepentingan masyarakat Aceh. Oleh karena itu,
DPRA perlu memiliki fungsi pengawasan yang efektif untuk memastikan
bahwa kepentingan rakyat dan daerah diwakili dan dijalankan dengan baik
oleh pemerintah Aceh.6

6
Suwondo Anwar, W. S. Analisis Kinerja Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Dprd)(Studi
Kinerja Dprd Kabupaten Tulang Bawang Periodetahun 2009-2014). Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu
Politik, 2016.

4
Dana aspirasi anggota DPRA merupakan salah satu bentuk pengawasan
terhadap penganggaran dan belanja negara (control of budgeting) dan
pelaksanaan peraturan daerah. Dana aspirasi anggota DPRA merupakan
sumber pendanaan yang digunakan oleh anggota DPRA untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat di wilayahnya. Dana ini juga memiliki fungsi
pengawasan terhadap penganggaran dan belanja negara. Dengan adanya dana
aspirasi, anggota DPRA dapat memantau dan mengawasi penggunaan
anggaran serta pelaksanaan peraturan daerah di Aceh. Namun, beberapa
kasus dugaan korupsi di Aceh diduga kuat ada kaitannya dengan dana aspirasi
DPRA. Meskipun dana aspirasi memiliki tujuan yang baik dalam mendukung
pembangunan dan kebutuhan masyarakat, beberapa kasus dugaan korupsi
telah terjadi di Aceh yang diduga melibatkan dana aspirasi DPRA.

Salah satu kasus yang terjadi pada tahun 2021 yaitu dugaan korupsi
beasiswa di Aceh diduga dari dana aspirasi. Program beasiswa tersebut
merupakan aspirasi DPRA yang bersumber dari Anggaran Pendapatan
Belanja Aceh (APBA) Tahun 2017. Nilai kerugian keuangan negara
mencapai lebih dari Rp 10 miliar, mencapai 46,50 persen dari total anggaran
Rp 21,7 miliar.7 Kasus-kasus ini menunjukkan adanya potensi
penyelewengan dana aspirasi dan kurangnya pengawasan yang efektif
terhadap penggunaan dana tersebut.

Pengelolaan dan penggunaan dana otonomi khusus yang berorientasi


pada tujuan yang tepat guna dan berdaya guna serta kemampuan daerah
mencapai target dengan sumber daya yang dimiliki dengan cara atau proses
yangpaling optimal dapat tercapai tidak hanya terpaku pada pengelolaan
sember alokasi dana yang besar, akan tetapi juga harus dengan prinsip
perencanaan yang baik, pelaksanaan yang tepat serta pengawasan yang
terpadu dan bermanfaat.

7
Kompas.id, https://www.kompas.id/baca/nusantara/2021/06/27/dugaan-korupsi-
beasiswa-dpr-aceh-negara-rugi-rp-10-miliar? diakses pada tanggal 3 Okteber 2023.

5
Pengawasan yang dilakukan bertujuan mengoptimalkan pembangunan
secara merata dengan memperhatikan keseimbangan kemajuan pembangunan
antar Kabupaten/Kota, namun tidak melemahkan kemandirian otonomi
sehingga menghambat percepatan pembangunan daerah. Akan tetapi dalam
rangka mengoptimalkan penggunaan yang efektif. Kajian ini hanya
difokuskan kepada perimbangan Dana Otonomi Khusus Aceh antara Provinsi
dan Kabupaten/Kota. Tujuan yang ingin dicapai melalui kajian ini adalah
untuk mengetahui tata cara pengalokasian Dana Otonomi Khusus Aceh serta
pengawasannya yang diatur didalam peraturan perundang-undangan.

Dari latar belakang tersebut, dapat disimpulkan bahwa kajian yuridis


tentang dana aspirasi dalam kaitannya dengan fungsi pengawasan DPRA
sangat penting untuk dilakukan guna mencegah terjadinya penyelewengan
dana aspirasi dan meningkatkan efektivitas fungsi pengawasan DPRA.
Penulisan dalam makalah ini akan membahas “Kajian Yuridis tentang Dana
Aspirasi dalam Kaitannya dengan Fungsi Pengawasan Dewan Perwakilan
Rakyat Aceh”.

B. Perumusan Masalah

Rumusan masalah dari penulisan makalah ini adalah:

1. Bagaimana alur pendistribusian dana aspirasi DPRA ditinjau menurut


Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 dalam mendukung fungsi
pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah di Aceh?

2. Bagaimana fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh


terhadap pengelolaan keuangan daerah khususnya dana Aspirasi?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui alur pendistribusian dana aspirasi DPRA ditinjau


menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 dalam mendukung
fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah di Aceh

2. Untuk mengetahui fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh


terhadap pengelolaan keuangan daerah khususnya dana aspirasi

6
D. Metode Pendekatan

Metode penelitian adalah prosedur atau cara mendapatkan ilmu yang


tepat atau ketetapan melalui cara-cara yang sistematis.8 Dalam pemecahan
masalah yang ada, suatu penelitian diperlukan penyelidikan yang hati-hati,
teratur dan terus-menerus, sedangkan untuk mengetahui bagaimana
seharusnya langkah penelitian harus dilakukan dengan menggunakan metode
penelitian. Metode penelitian adalah suatu teknik atau cara mencari,
memperoleh, mengumpulkan atau mencatat data, baik berupa data primer
maupun data sekunder yang digunakan untuk keperluan menyusun suatu
karya ilmiah dan kemudian menganalisa faktor-faktor yang berhubungan
dengan pokok-pokok permasalahan sehingga akan terdapat suatu kebenaran
data-data yang akan diperoleh.9

Menurut I Made Wirartha metode penelitian adalah sebagai berikut:


“Suatu cabang ilmu pengetahuan yang membicarakan atau mempersoalkan
cara-cara melaksanakan penelitian (yaitu meliputi kegiatan-kegiatan mencari
mencatat, merumuskan, menganalisis sampai menyusun laporannya)
berdasarkan fakta-fakta atau gejala-gejala secara ilmiah.10 Adapun metode
yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Pendekatan Penelitian

Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian


normatif, yaitu merupakan penelitian yang dikonsepkan sebagai norma
atau kaidah yang belaku dalam masyarakat dan menjadi acuan perilaku
setiap orang. Sehingga penelitian hukum normatif berfokus pada
inventarisasi hukum positif, asas-asas dan doktrin hukum, penemuan
hukum dalam perkara in concreto, sistematik hukum, taraf sinkronisasi,

8
Soerjono Soekanto, Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif suatu Tinjauan Singkat, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hlm.2.
9
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D,
Alfabeta, Bandung, 2010, hlm.2.
10
I Made Wirartha, Penelitian Kualitatif, Alfabeta, Bandung, 2006, hlm. 66.

7
perbandingan hukum dan sejarah hukum.11 Menurut Soerjono Soekanto
pendekatan yuridis normatif yaitu suatu penelitian hukum yang
dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder
sebagai dasar untuk diteliti dengan cara mengadakan penelusuran
terhadap peraturan-peraturan dan literatur-literatur yang berkaitan
dengan permasalahan yang diteliti.12

Menurut Peter Mahmud Marzuki “Pendekatan-pendekatan yang


digunakan di dalam penelitian hukum adalah pendekatan Undang-
Undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach),
pendekatan konseptual (conseptual approach), pendekatan historis
(historical approach), pendekatan perbandingan (comparative
approach).13 Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan 3 (tiga)
macam metode pendekatan yaitu pendekatan perundang-undangan,
pendekatan konseptual dan pendekatan kasus:

a. Pendekatan perundang-undangan (statute approach), yaitu


dengan menelaah semua Undang-Undang dan regulasi yang
bersangkut paut dengan isu hukum yang diteliti. Nantinya hasil
dari telaah itu merupakan suatu pendapat untuk memecahkan isu
yang diteliti sesuai perbuatan melawan hukum yang terjadi dalam
penelitian ini.

b. Pendekatan konseptual (conseptual approace), yaitu suatu


metode pendekatan melalui pendekatan dengan merujuk dari
pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di
dalam ilmu hukum.14

11
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, Ed.1, Cet-15, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2013, hlm 13-14.
12
Soerjono Soekanto, Ibid.
13
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Edisi Revisi, Kharisma Putra Utama,
Bandung, 2015, hlm. 133
14
Ibid., hlm.135.

8
c. Pendekatan kasus (case approach) dilakukan dengan cara
melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan
isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap.15

Pada penulisan tesis ini, sifat penelitian yang akan dipergunakan


ialah kualitatif, penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud
untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek
penelitian dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa,
pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan
berbagai metode ilmiah.16

2. Teknik Pengumpulan data

Data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan data


sekunder dan primer. Bahan yang digunakan adalah data yang diperoleh
dari dokumen perpustakaan atau dokumen yang berhubungan dengan
topik penelitian.17 Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah dokumen hukum primer, sekunder dan tersier yang akan
dijabarkan sebagai berikut:

a. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang utama,


sebagai bahan hukum yang bersifat autoritatif, yakni bahan
hukum yang mempunyai otoritas. Dalam penelitian ini bahan
hukum primer berupa: Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia Tahun 1945 dan Qanun terkait

b. Bahan hukum sekunder adalah dokumen atau bahan hukum yang


memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer seperti
rancangan Undang-Undang (RUU),buku-buku, artikel, jurnal,
hasil penelitian serta makalah yang terkait dengan perbuatan

15
Ibid., hlm.134.
16
Sugiyono, Op.Cit, hlm.9.
17
H. Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Tesis
dan Disertasi, ed-1,Cet-2, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2013, hlm. 15-16.

9
melawan hukum yang dilakukan oleh PPAT dalam penerbitan
akta jual beli.

c. Dokumen hukum tersier, Bahan hukum tersier sebagai bahan


hukum penunjang yaitu bahan-bahan yang memberikan petunjuk
atau penjelasan terhadap bahan hukum primer maupun sekunder.

3. Analisis data

Data yang diperoleh melalui penulisan tesis ini diolah dan


dianalisis dengan mempergunakan metode analisis yuridis normatif
yang bertitik tolak dari peraturan-peraturan yang ada sebagai hukum
positif, sedangkan kualitatif maksudnya adalah merupakan analisis data
yang berasal dari informasi-informasi yang diperoleh18. Dengan
demikian analisis pada penelitian ini merupakan analisis data tanpa
mempergunakan rumus angka-angka, melainkan merupakan uraian-
uraian sebagai hasil analisis.

Metode analisis data dalam penelitian ini, dengan mengolah secara


sistematis bahan-bahan penelitian untuk dikaji secara komprehensif.
Metode yang digunakan untuk menganalisis adalah metode analisis
deskriptif. Deskriptif adalah menganalisis data dengan cara
memaparkan secara terperinci dan tepat perihal fenomena tertentu
terkait dengan penulisan hukum ini. Kualitatif adalah menganalisis
pemaparan hasil-hasil penulisan yang disusun secara sistematis dengan
kajian dari teori-teori hukum dan hukum positif. Hal ini guna
menjelaskan permasalahan penelitian hukum dengan kalimat yang logis,
bersifat ilmiah dan mudah dipahami.

18
Soerjono Soekanto, Op. Cit, hlm 250.

10
E. Sistematika Penulisan

Sebagai gambaran singkat tentang isi tesis ini, maka akan diuraikan
mengenai sistematika pembahasannya. Penulisan tesis ini dibagi ke dalam 5
(lima) bab yaitu:

Bab I adalah Pendahuluan. Pada bab ini dikemukakan tentang Latar


Belakang, Identifikasi masalah, Ruang Lingkup Penelitian, Tujuan dan
Metode pendekatan dan sistematika penulisan

Bab II merupakan tinjauan teoritis untuk mempertajam penelitian.


Pada bagian ini peneliti akan mebahas tinjauan teoritis berupa teori
pengawasan dan teori akuntabilitas

Bab III merupakan bab pembahasan yang akan membahas alur


pendistribusian dana aspirasi DPRA ditinjau menurut Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2014 dalam mendukung fungsi pengawasan terhadap
pelaksanaan peraturan daerah di Aceh, mengetahui fungsi pengawasan
Dewan Perwakilan Rakyat Aceh terhadap pengelolaan keuangan daerah.

Bab IV merupakan bab penutup yang mengemukakan kesimpulan


dari hasil pembahasan dan uraian bab-bab sebelumnya untuk kemudian
disampaikan saran sebagai masukan yang diharapkan dapat bermanfaat.

11
BAB II
LANDASAN TEORITIS

A. Teori Pengawasan

Istilah pengawasan dalam banyak hal sama artinya dengan kontrol.


Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, arti kata kontrol adalah pengawasan,
pemeriksaan. Jadi kalau kata mengkontrol berarti mengawasi, memeriksa.19
Menurut Sujamto dalam bahasa Indonesia fungsi controlling mempunyai
pandangan Pengawasan dapat diartikan sebagai proses untuk menjamin
bahwa tujuan organisasi dan manajemen tercapai. Ini berkenaan dengan cara-
cara membuat kegiatan-kegiatan sesuai yang di rencanakan dengan instruksi
yang telah diberikan dan dengan prinsip-prinsip yang telah digariskan.

Pengawasan adalah suatu bentuk pola pikir dan pola tindakan untuk
memberikan pemahaman dan kesadaran kepada seseorang atau beberapa
orang yang diberikan tugas untuk dilaksanakan dengan menggunakan
berbagai sumber daya yang tersedia secara baik dan benar, sehingga tidak
terjadi kesalahan dan penyimpangan yang sesunagguhnya dapat menciptakan
kerugian oleh lembaga atau organisasi yang bersangkutan.

Dalam arti sempit pengawasan didefinisikan sebagai segala usaha


atau kegiatan untuk mengetahui dan menilai kenyataan yang sebenarnya
tentang pelaksanaan tugas atau pekerjaan apakah sesuai dengan semestinya
atau tidak. Adapun pengendalian itu pengertiannya lebih forcefull
dibandingkan pengawasan, yaitu segala usaha atau kegiatan untuk menjamin
dan mengarahkan agar pelaksanaan tugas atau pekerja berjalan sesuai dengan
semestinya. Sementara itu pengawasan dikenal dan dikembangkan dalam
ilmu manajemen karena pengawasan merupakan salah satu unsur dalam
kegiatan pengelolaan. 20

Henry Fayol menyebutkan “control consist in verifying wether


everything occur in conformity with the plan adopted, the instruction issued

19
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1984,
hlm. 521.
20
Sujamto, Beberapa Pengertian di Bidang Pengawasan, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1983,
hlm .17.

12
and principle estabilished. It has for object to point out weaknesses in error
in order to rectify then and prevent recurrance”.

Dari pengertian ini dapat dilihat bahwa pengawasan hakekatnya


merupakan suatu menilai apakah sesuatu sudah berjalan sesuai dengan yang
telah ditentukan. Dengan pengawasan ini akan dapat ditemukan kesalahan-
kesalahan yang akan dapat diperbaiki dan yang paling terpenting jangan
sampai kesalahan tersebut terulang kembali. Selanjutnya, Muchsan
mengemukakan bahwa pengawasan adalah kegiatan untuk menilai suatu
pelaksanaan tugas secara de facto, sedangkan tujuan pengawasan hanya
terbatas pada pencocokan apakah kegiatan yang dilaksanakan telah sesuai
dengan tolak ukur yang telah ditetapkan sebelumnya.21

Dalam konteks yang lebih luas maka arti dan makna pengawasan
lebih bercorak pada pengawasan yang berlaku pada organisasi dan birokrasi.
Jika ditarik dalam makna yang lebih luas dan kompeherensif maka
pengawasan dapat dilihat dari beberapa segi yakni:

1. Kontrol sebagai penguasaan pemikiran;

2. Disiplin sebagai kontrol diri;

3. Kontrol sebagai sebuah makna simbolik.

Kontrol tidak terbatas pada prosedur formal dalam penyelenggara organisasi.


Kontrol bisa digunakan untuk mencapai tujuan tertentu yang sesuai dengan
keinginan kelompok tertentu.

Pengawasan adalah suatu proses untuk memastikan bahwa kegiatan


yang dilakukan telah sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan
sebelumnya. Pengawasan merupakan salah satu fungsi manajemen yang
penting untuk memastikan bahwa tujuan organisasi dan manajemen dapat
tercapai.22

21
Sirajun dkk, 2012. Hukum Pelayanan Publik, Malang, Setara Press, hlm. 126.
22
Djadjuli, Didi, "Pelaksanaan Pengawasan Oleh Pimpinan Dalam Meningkatkan Kinerja
Pegawai." Dinamika: Jurnal Ilmiah Ilmu Administrasi Negara 4.4, 2018, hlm. 565-573.

13
Tujuan pengawasan adalah untuk mencegah terjadinya
penyimpangan, pemborosan, penyelewengan, hambatan, kesalahan, dan
kegagalan dalam pencapaian tujuan dan sasaran serta pelaksanaan tugas-
tugas organisasi. Pengawasan dapat dilakukan dengan berbagai teknik,
seperti pengawasan langsung, pengawasan tidak langsung, pengawasan
preventif, dan pengawasan represif.23

Pengawasan juga dapat dibedakan menjadi pengawasan kebenaran


formil dan pengawasan kebenaran materil. Pengawasan yang baik dan
berkesinambungan sangat penting untuk mencegah terjadinya penyimpangan
dan meningkatkan efektivitas dan efisiensi organisasi. Teori pengawasan
dapat meningkatkan kinerja instansi atau DPRA dalam hal ini dengan
beberapa cara:

1. Pengawasan dapat membantu mencegah terjadinya penyimpangan,


pemborosan, penyelewengan, hambatan, kesalahan, dan kegagalan
dalam pencapaian tujuan dan sasaran serta pelaksanaan tugas-tugas
organisasi. Dalam hal ini, DPRA dapat melakukan pengawasan
terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan peraturan perundang-
undangan lainnya, APBD, kebijakan pemerintah daerah dalam
melaksanakan program pembangunan daerah, dan kerjasama
internasional di daerah.
2. Pengawasan dapat membantu meningkatkan akuntabilitas dan
transparansi dalam pengelolaan anggaran dan belanja negara. DPRA
dapat melakukan pengawasan terhadap penganggaran dan belanja
negara (control of budgetting) dan pelaksanaan peraturan daerah.
3. Pengawasan dapat membantu meningkatkan efektivitas dan efisiensi
organisasi. Dalam hal ini, DPRA dapat melakukan pengawasan
terhadap kinerja pemerintah Aceh dan memastikan bahwa tujuan
organisasi dan manajemen tercapai.
4. Pengawasan dapat membantu meningkatkan partisipasi masyarakat
dalam pengambilan keputusan dan perumusan kebijakan daerah.

23
Muslim, Saiful. "Peran Pengawasan Dalam Meningkatkan Produktivitas Kerja." An-
Nisbah: Jurnal Perbankan Syariah 3.1, 2022, hlm. 83-104.

14
DPRA dapat menyerap dan memperjuangkan aspirasi rakyat,
termasuk kepentingan daerah, agar sesuai dengan tuntutan
perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara.
5. Pengawasan dapat membantu meningkatkan kedisiplinan kerja
pegawai. Dalam suatu organisasi, manajemen pengawasan yang baik
pada pegawainya dapat menciptakan lingkungan kerja yang positif
dan produktif.

Dalam hal ini, DPRA dapat melakukan pengawasan terhadap kinerja


pegawai dan faktor pendukung dan penghambat pegawai. Dengan melakukan
pengawasan yang baik dan berkesinambungan, DPRA dapat mencegah
terjadinya penyimpangan dan meningkatkan efektivitas dan efisiensi
organisasi.

Pengawasan memiliki beberapa tujuan dalam meningkatkan kinerja


instansi atau DPRA, yaitu:

1. Mencegah terjadinya penyimpangan, pemborosan, penyelewengan,


hambatan, kesalahan, dan kegagalan dalam pencapaian tujuan dan
sasaran serta pelaksanaan tugas-tugas organisasi.24 Dalam hal ini,
DPRA dapat melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan
peraturan daerah dan peraturan perundang-undangan lainnya,
APBD, kebijakan pemerintah daerah dalam melaksanakan program
pembangunan daerah, dan kerjasama internasional di daerah.
2. Meningkatkan akuntabilitas dan transparansi dalam pengelolaan
anggaran dan belanja negara. DPRA dapat melakukan pengawasan
terhadap penganggaran dan belanja negara dan pelaksanaan
peraturan daerah.25
3. Meningkatkan efektivitas dan efisiensi organisasi. Dalam hal ini,
DPRA dapat melakukan pengawasan terhadap kinerja pemerintah

24
Jatmiko, Bambang. "Pengaruh pengawasan internal, akuntabilitas dan transparansi
terhadap kinerja pemerintah daerah Kabupaten Sleman (Survei pada seluruh satuan kerja perangkat
daerah Kabupaten Sleman)." Jurnal Akuntansi Trisakti 7.2, 2020, hlm. 231-246.
25
Kumalasari, Deti, and Ikhsan Budi Riharjo. "Transparansi dan akuntabilitas pemerintah
desa dalam pengelolaan alokasi dana desa." Jurnal Ilmu dan Riset Akuntansi (JIRA) 5.11, 2016.

15
Aceh dan memastikan bahwa tujuan organisasi dan manajemen
tercapai.
4. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan
dan perumusan kebijakan daerah.26 DPRA dapat menyerap dan
memperjuangkan aspirasi rakyat agar sesuai dengan tuntutan
perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara.
5. Meningkatkan kedisiplinan kerja pegawai. Dalam suatu organisasi,
manajemen pengawasan yang baik pada pegawainya dapat
menciptakan lingkungan kerja yang positif dan produktif. Dalam hal
ini, DPRA dapat melakukan pengawasan terhadap kinerja pegawai
dan faktor pendukung dan penghambat pegawai. Dengan melakukan
pengawasan yang baik dan berkesinambungan, DPRA dapat
mencegah terjadinya penyimpangan dan meningkatkan efektivitas
dan efisiensi organisasi.

B. Teori Akuntabilitas

Akuntabilitas adalah sebuah konsep etika yang dekat dengan


administrasi publik pemerintahan (lembaga eksekutif pemerintah, lembaga
legislatif parlemen dan lembaga yudikatif kehakiman) yang mempunyai
beberapa arti antara lain, hal ini sering digunakan secara sinonim dengan
konsep-kosnep seperti yang dapat dipertanggungjawabkan (responsibility),
kemampuan memberikan jawaban (answeraility), yang dapat dipersalahkan
(blameworthiness) dan yang mempunyai ketidakbebasan (liability) termasuk
istilah lain yang mempunyai keterkaitan dengan harapan dapat
menerangkannya. 27

Akuntabilitas secara umum dapat diartikan sebagai permintaan


pertanggungjawaban atas pemenuhan tanggung jawab yang diserahkan

26
Efendy, “Pengaruh kompetensi, independensi, dan motivasi terhadap kualitas audit
aparat inspektorat dalam pengawasan keuangan daerah (Studi empiris pada Pemerintah Kota
Gorontalo)” (Doctoral Dissertation, Universitas Diponegoro), 2010.
27
Puspitasari, Yeni, Khofifatus Sakdiyah, and Rika Rossana Marlaeni. "Evaluasi Kinerja
Birokrat Dalam Rangka Meningkatkan Pelayanan Publik Di Desa Tegalgondo Kabupaten
Malang." Kybernan: Jurnal Studi Kepemerintahan 4.2, 2021, hlm 160-174.

16
kepadanya.28 Dalam tugasnya mengaudit laporan keuangan, auditor dituntut
bekerja dengan akuntabilitas yang tinggi dan secara profesional. Hal ini untuk
memenuhi permintaan klien yang menginginkan kinerja yang tinggi.

Menurut Dwi Martani, laporan keuangan memiliki beberapa


karakteristik utama yaitu adalah relevan, andal dan dapat dipahami.
Karakteristik tersebut harus dipenuhi agar laporan keuangan bermanfaat bagi
pengguna untuk pengambilan keputusan.29 Laporan keuangan pada dasarnya
adalah hasil dari proses akuntansi yang dapat digunakan sebagai alat untuk
mengkomunikasikan data keuangan atau aktivitas perusahaan kepada pihak-
pihak yang berkepentingan. Dengan kata lain, laporan keuangan ini berfungsi
sebagai alat informasi yang menghubungkan perusahaan dengan pihak-pihak
yang berkepentingan, yang menunjukkan kondisi kesehatan keuangan
perusahaan dan kinerja perusahaan.

Menurut Budi Setiyon, accountability adalah konsep yang memiliki


beberapa makna. Terminologi ini sering digunakan dengan beberapa konsep
seperti answerability, rensponsibility, dan terminology lain yang berkaitan
dengan “the expectation of account-giving” (harapan pemberi mandat dengan
pelaksana mandat). Dengan demikian accountability mencakup dengan
harapan atau asumsi perilaku hubungan antara pemberi dan penerima
mandat.30

Laporan auditor adalah semacam surat perantara (medium) melalui


bagaimana auditor menyatakan opininya (pendapat) atau jika keadaan
mengharuskan menolak berpendapat tentang laporan yang diauditnya untuk
pihak-pihak yang berkepentingan. Hal ini berarti auditor bertanggungjawab
terhadap pendapat atau opininya.31

28
Singgih, Elisha Muliani, and Icuk Rangga Bawono, "Pengaruh Independensi,
Pengalaman, Due Professional Care dan Akuntabilitas Terhadap Kualitas Audit." Simposium
Nasional Akuntansi XIII 2, 2010.
29
Dwi Martani., dkk, Akuntansi Keuangan Menengah Berbasis PSAK, Jakarta: Salemba
Empat, 2014, hlm. 54.
30
Hery, Analisis Laporan Keuangan, Jakarta: Grasindo, 2017, hlm. 3.
31
Budi Setiyono, Pemerintahan Dan Manajemen Sektor Publik, Cet. 1, (Yogyakarta : Caps,
2014), hlm. 181

17
Tujuan audit umum atas laporan keuangan klien oleh auditor
independen adalah untuk menyatakan pendapat mengenai kewajaran, dalam
semua hal yang material, posisi keuangan, hasil operasi, serta arus kas sesuai
dengan prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku umum. Auditor
mengumpulkan bahan bukti untuk memverifikasi dan selanjutnya membuat
kesimpulan tentang apakah laporan keuangan klien telah disajikan secara
wajar.32

Akuntabilitas publik adalah kewajiban pihak pemegang amanah


untuk memberikan pertanggungjawaban, menyajikan, melaporkan, dan
mengungkapkan segala aktivitas dan kegiatan yang menjadi
tanggungjawabnya kepada pihak pemberi amanah (principal) yang memiliki
hak dan kewenangan untuk meminta pertanggungjawaban tersebut. Menurut
UNDP, akuntabilitas adalah evaluasi terhadap proses pelaksanaan
kegiatan/kinerja organisasi untuk dapat dipertanggungjawabkan serta sebagai
umpan balik bagi pimpinan organisasi untuk dapat lebih meningkatkan
kinerja organisasi pada masa yang akan datang. Akuntabilitas dapat diperoleh
melalui:33

1. Usaha untuk membuat para aparat pemerintahan mampu


bertanggungjawab untuk setiap perilaku pemerintah dan responsive
pada identitas dimana mereka memperoleh kewenangan,

2. Penetapan kriteria untuk mengukur performan aparat pemerintahan


serta penetapan mekanisme untuk menjamin bahwa standar telah
terpenuhi.

Teori akuntabilitas adalah suatu konsep yang berkaitan dengan


pertanggungjawaban atas tindakan atau keputusan yang diambil oleh
seseorang atau suatu organisasi.34 Istilah akuntabilitas berasal dari bahasa
Inggris accountability yang berarti keadaan yang dapat

32
Mathius Tandiontong, Kualitas Audit Dan Pengukurannya, Cet. 1, Bandung, Alfabeta,
2016, hlm. 71.
33
Mardiasmo, Akuntansi Sektor Publik, Cet. 1, Yogyakarta, Andi Offset, 2004, hlm. 20.
34
Sawir, Muhammad. Konsep Akuntabilitas Publik." Papua Review: Jurnal Ilmu
Administrasi dan Ilmu Pemerintahan 1.1, 2017, hlm. 10-18.

18
dipertanggungjawabkan. Tujuan dari teori akuntabilitas adalah untuk
memastikan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir kegiatan penyelenggaraan
pemerintah harus dipertanggungjawabkan kepada masyarakat sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan.

Menurut beberapa sumber, terdapat beberapa aspek penting dalam


teori akuntabilitas, yaitu:35

1. Akuntabilitas adalah sebuah hubungan antara pihak yang memberi


mandat dan pihak yang menerima mandat.

2. Akuntabilitas berorientasi pada hasil, artinya bahwa setiap kegiatan


harus menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat.

3. Akuntabilitas membutuhkan adanya laporan, sehingga setiap


kegiatan harus dilaporkan secara transparan dan akurat.

4. Akuntabilitas membutuhkan konsekuensi, artinya bahwa setiap


pelanggaran harus diberikan sanksi yang sesuai.

5. Akuntabilitas memperbaiki kinerja, artinya bahwa setiap kegiatan


harus dievaluasi secara berkala untuk meningkatkan kinerja
organisasi.

Teori Akuntabilitas adalah kerangka kerja yang digunakan untuk


memahami dan menganalisis konsep akuntabilitas dalam berbagai konteks.
Akuntabilitas merujuk pada kewajiban individu, organisasi, atau lembaga
untuk bertanggung jawab atas tindakan, keputusan, dan penggunaan sumber
daya yang dipercayakan kepada mereka.

Dalam konteks pemerintahan dan lembaga publik, teori akuntabilitas


menyoroti pentingnya transparansi, pertanggungjawaban, dan keterlibatan
publik dalam memastikan bahwa para pemegang kekuasaan bertanggung
jawab atas tindakan dan keputusan mereka. Beberapa aspek yang terkait
dengan teori akuntabilitas meliputi:

35
Styawan, Suci. "Penanganan pengaduan (complaint handling) dalam pelayanan publik
(studi tentang transparansi, responsivitas, dan akuntabilitas dalam penanganan pengaduan di kantor
pertanahan kota surabaya ii)." Jurnal Kebijakan dan Manajemen Publik 4.4 (2012).

19
1. Transparansi

Transparansi melibatkan ketersediaan informasi yang jelas, terbuka,


dan mudah diakses tentang tindakan, kebijakan, dan penggunaan
sumber daya. Dengan transparansi yang memadai, individu atau
lembaga dapat dipantau dan dievaluasi oleh pihak lain, sehingga
meningkatkan akuntabilitas.

2. Pertanggungjawaban

Pertanggungjawaban berarti individu atau lembaga memiliki


kewajiban untuk menjawab atas tindakan, keputusan, atau kegagalan
mereka. Hal ini melibatkan kemampuan untuk menjelaskan dan
mempertanggungjawabkan tindakan yang diambil, serta menerima
konsekuensi yang sesuai jika terjadi kelalaian atau pelanggaran.

3. Partisipasi Publik

Teori akuntabilitas juga menekankan pentingnya partisipasi publik


dalam proses pengambilan keputusan dan pengawasan. Partisipasi
publik memungkinkan masyarakat untuk terlibat dalam
mempengaruhi dan mengawasi tindakan pemerintah, sehingga
meningkatkan transparansi dan akuntabilitas.

4. Mekanisme Pengawasan

Teori akuntabilitas mencakup berbagai mekanisme pengawasan


yang digunakan untuk memastikan akuntabilitas. Mekanisme ini
bisa berupa pengawasan internal oleh lembaga itu sendiri,
pengawasan eksternal oleh pihak-pihak independen atau lembaga
pemerintah yang berwenang, serta pengawasan sosial yang
melibatkan partisipasi masyarakat dalam memantau dan mengawasi
tindakan pemerintah.

Dalam konteks DPRA, teori akuntabilitas dapat membantu


meningkatkan kinerja DPRA dengan memastikan bahwa setiap kegiatan dan
hasil akhir kegiatan penyelenggaraan pemerintah harus
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat sesuai dengan ketentuan

20
perundang-undangan. DPRA dapat melakukan pengawasan terhadap
pelaksanaan peraturan daerah dan peraturan perundang-undangan lainnya,
APBD, kebijakan pemerintah daerah dalam melaksanakan program
pembangunan daerah, dan kerjasama internasional di daerah. DPRA juga
dapat melakukan pengawasan terhadap kinerja pemerintah Aceh dan
memastikan bahwa tujuan organisasi dan manajemen tercapai. Dengan
menerapkan teori akuntabilitas dengan baik, DPRA dapat meningkatkan
efektivitas dan efisiensi organisasi serta memperbaiki kinerja
penyelenggaraan pemerintah di Aceh.

Teori akuntabilitas memberikan kerangka kerja yang penting dalam


menganalisis bagaimana akuntabilitas dapat diterapkan dalam berbagai
konteks, termasuk dalam mengawasi penggunaan dana aspirasi oleh DPR
Aceh. Dalam konteks ini, penerapan teori akuntabilitas akan
mempertimbangkan bagaimana transparansi, pertanggungjawaban,
partisipasi publik, dan mekanisme pengawasan dapat memastikan
penggunaan dana aspirasi yang akuntabel dan bertanggung jawab.

21
BAB III
PEMBAHASAN

A. Alur Pendistribusian Dana Aspirasi DPRA Menurut Undang-Undang


Nomor 17 Tahun 2014

Dana aspirasi merupakan istilah yang sebetulnya tidak dikenal di


dalam peristilahan hukum dan perundang-undangan di Indonesia. Istilah
tersebut muncul paling tidak untuk menyederhanakan istilah “dana program
pembangunan daerah pemilihan” atau dana yang digunakan untuk
memajukan daerah konstituen yang diatur di dalam Pasal 80 Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (atau selanjutnya ditulis UU MD3), sebagaimana terakhir
diubah dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019.

Dana adalah uang yang disediakan untuk suatu keperluan tertentu.


Sedangkan aspirasi merupakan kata serapan dari istilah aspiration di dalam
bahasa Inggris yang artinya cita-cita atau keinginan, harapan atau tujuan yang
ingin dicapai pada masa yang akan datang.36 Melalui 2 (dua) pengertian ini,
maka dapat dikatakan sebagai dana atau uang yang disediakan untuk
memenuhi sesuatu yang dicita-citakan oleh masyarakat atau dana yang
bertujuan untuk bisa melaksanakan dan merealisasikan program pemerintah
terhadap masyarakat. Menurut Edward dan Berenscot, istilah dana aspirasi
yang dikenal di banyak negara adalah sebagai dana pembangunan konstituen
(daerah pemilihan). Di Indonesia dimaknai sebagai dana proyek penarik suara
dimana para anggota legislatif diberikan akses untuk dana khusus yang
digunakan di daerah pemilihan mereka masing-masing.37

Definisi serupa juga ditegaskan oleh Erawati, bahwa di dalam


peristilahan yang umum, dana aspirasi ini memiliki kesamaan dengan pork
barrel politics, yaitu sejumlah pengeluaran tertentu para politisi guna

36
John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Indonesia Inggris: An Indone
37
Tim Redaksi, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa, 2008, hlm. 49.

22
kepentingan konstituennya, sebagai imbalan/balas jasa atas dukungan politik
dalam kampanye dan pemungutan suara pada saat pemilihan umum (general
election). Sementara constituency development fund ialah sejenis
desentralisasi anggaran dari pusat ke daerah yang berbasis konstituen. Jadi
pada prinsipnya, dana aspirasi ini adalah pendekatan berdasarkan daerah
pemilihan.38

Mengacu kepada beberapa definisi di atas, bahwa para ahli memiliki


pandangan yang berbeda dalam mengajukan rumusan definisi dana aspirasi.
Hal ini disebabkan tidak adanya definisi yang akurat, tegas, dan rinci tentang
istilah tersebut. Bahkan, di dalam undang-undang juga tidak ditemukan istilah
dana aspirasi. Meskipun ada rumusan yang berbeda-beda, semuanya
menunjukkan pada maksud yang sama, yaitu dana yang dimaksudkan agar
masing-masing anggota dewan (legislatif) memberikan sejumlah uang
kepada para konstituen di daerah yang diwakili, melalui program-program
pembangunan, atau dana yang digunakan oleh seorang anggota legislatif
untuk menanggapi aspirasi masyarakat khususnya dalam merealisasikan
program masyarakat di mana anggota legislatif itu dipilih (konstituen)

Wacana awal pembentukan program dana aspirasi ini sudah diajukan


pada masa pemerintahan Presiden RI Ke-5, Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY). Pada waktu itu, salah satu diantara beberapa partai yang berkeinginan
mengajukan wacana mewujudkan program dana aspirasi ini ialah dari Partai
Golongan Karya (Golkar) di tahun 2010. Saat itu, Fraksi Golkar mengusulkan
anggaran dana untuk alokasi dana aspirasi sebesar Rp. 15.000.000.000 (lima
belas miliar rupiah) untuk setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
yang akan diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
tahun 2011 dengan alasan program percepatan pembangunan di daerah
pemilihan. Jika ditelusuri, alasan-alasan pengajuan dana aspirasi ini terus

38
Edward Aspinall & Ward Berenchot, Democracy for Sale: Pemilihan Umum,
Klientelism, dan Negara di Indonesia, (Terj: Edisius Riyadi), Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia, 2019, hlm. 240

23
berkembang bukan hanya untuk percepatan pembangunan di daerah, tetapi
juga dengan alasan yang lain yang sifatnya lebih praktis.39

Misalnya mendekatkan anggota legislatif dengan konstituennya,


untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah dalam hal memperbesar
intervensi dana pemerintah ke tengah masyarakat di daerah dan untuk
mempercepat pemenuhan infrastruktur dasar di pedesaan dan masih banyak
lainnya. Mengikuti argumentasi tersebut tampak bahwa pihak yang pro
terhadap dana aspirasi ini memberikan beberapa kelebihan dan dukungan
dengan adanya dana aspirasi.

Sebelum tahun 2014, belum ada aturan yang memberikan legalitas


bagi anggota legislatif untuk melaksanakan pembangunan daerah
konstituenya. Dilihat dari Undang-Undang Nomor 27 tahun 2009 Tentang
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD) (UU MD3) yang belum diperbarui, tidak ada dasar hukum dana
aspirasi di DPR. Namun demikian, keinginan untuk memasukkan dana
aspirasi masih ada, sehingga pada tahun 2014, dalam Undang-Undang Nomor
17 Tahun 2014 Tentang MD3 (sebagai revisi UU No. 27 Tahun 2009),
disepakati rumusan yang menegaskan keberadaan dana aspirasi di DPR yang
terdapat dalam Pasal 80 yang mengatur tentang hak anggota Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR). Pasal 80 Undang-Undang MD3 diatas
menyebutkan bahwa anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berhak:

1. mengajukan usul rancangan undang-undang;

2. mengajukan pertanyaan;

3. menyampaikan usul dan pendapat;

4. memilih dan dipilih;

5. membela diri;

6. imunitas;

39
Jaya Suprana, Bercak-Bercak Harapan, Edisi Pertama, Jakarta, Elex Media
Komputindo, 2018, hlm. 13-16

24
7. protokoler;

8. keuangan dan administratif;

9. pengawasan;

10. mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan daerah


pemilihan; dan

11. melakukan sosialiasi undang-undang. 40

Berdasarkan keterangan diatas, dipahami bahwa anggota Dewan


Perwakilan Rakyat (DPR) memiliki hak-hak yang khusus. Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) berhak untuk mengusulkan dan upaya dalam
memperjuangkan program-program pembangunan daerah pilihan. Pasal
diatas adalah awal dari legalisasi program pembangunan daerah konstituen
atau populer disebut dengan dana aspirasi. Dalam konteks kedaerahan dana
aspirasi masyarakat merupakan usulan dari legislatif atau Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD) yang kemudian dimasukkan dalam program dan
anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dan juga menjadi bagian
dari mekanisme penganggaran daerah.

Menurut Oktavianus, dana aspirasi tercakup dalam 3 (tiga) kriteria,


yaitu:41

1. Dana aspirasi masyarakat merupakan rekayasa anggaran daerah


dimana program dan kegiatan masing-masing Satuan Kerja
Pemerintah Daerah (SKPD) yang diusulkan melalui Program Kerja
dan Anggaran (PKA), diklaim sebagai bagian dari program aspirasi
masyarakat yang diusulkan oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD.

40
Ibid , Jaya Suprana,
41
Oktavianus Pasoloran, “Narsisism Dana Aspirasi Masyarakat pada Penganggaran
Daerah Kajian Etno-Semiotika Berbasis Filsafat Bartesian”, Jurnal Simposium Nasional Akuntansi
XIX, Lampung”, 2016, hlm. 14

25
2. Dana aspirasi masyarakat kemudian diekspresikan sebagai dana
titipan yang berkonotasi sebagai dana yang dimiliki atau
dikendalikan oleh penitip.

3. Program kerja dan anggaran pada Satuan Kerja Perangkat Daerah


(SKPD) dimaknai sebagai locker atau wadah dimana dana aspirasi
itu akan ditempatkan.

Sebagaimana tersebut dalam Pasal 80 huruf j Undang-Undang MD3,


jelas dikatakan bahwa dana aspirasi atau dana bagi program pembangunan
aerah pemilihan (konstituen) anggota legislatif merupakan bagian dari hak
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sebagai sebuah hak, kedudukan dana
aspirasi ini juga tidak lepas dari aspek kewajiban anggota Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) itu sendiri, sesuai dengan kewajiban-kewajiban Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) yaitu memperhatikan hal-hal yang berkaitan
langsung dengan aspirasi dan memajukan tingkat kehidupan masyarakat.

Secara umum, kewajiban Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ada 4


(empat), yaitu:

1. Mempertahankan, mengamalkan dan juga mengamankan Pancasila


dan Undang-undang Dasar 1945.

2. Menjunjung tinggi dan juga melaksanakan secara konsekuen


GarisGaris Besar Haluan Negara (GBHN).

3. Bersama-sama dengan pihak eksekutif menyusun Anggaran


Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

4. Memperhatikan aspirasi dan memajukan tingkat kehidupan rakyat.

Poin 4 (empat) diatas menunjukkan bahwa adanya keterikatan


langsung antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terhadap masyarakat untuk
selalu memperhatikan aspirasi atau keinginan mereka. Apalagi pemahaman
masyarakat terhadap anggota DPR itu dipilih oleh konstituennya. Sebagai
sebuah konsekuensi terhadap hal tersebut, maka Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) memang layak diberikan hak untuk menunjang kewajibannya atau
setidaknya memberi kesempatan kepada anggota legislatif untuk memajukan

26
dan membangun daerah konstituennya. Secara khusus, pengaturan lebih
lanjut menyangkut hak anggota legislatif Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
dalam mengajukan dana aspirasi ditetapkan berdasarkan Peraturan Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR).

Dalam peraturan ini, anggota DPR diberikan hak untuk


mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan daerah
pemilihan. Ini sebagaimana diatur di dalam Pasal 3 ayat (1), dinyatakan
bahwa: Anggota berhak mengusulkan dan memperjuangkan Program.
Anggota dalam rumusan ini ialah anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
yaitu wakil rakyat yang telah bersumpah atau berjanji sesuai dengan
ketentuan di dalam peraturan perundang-undangan dan dalam melaksanakan
tugasnya dengan memperhatikan kepentingan rakyat (Pasal 1 butir 6).
Adapun yang dimaksudkan dengan Program di dalam rumusan Pasal 3 ayat
(1) adalah program pembangunan daerah pemilihan, yaitu program yang
diusulkan oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam rangka
memperjuangkan aspirasi rakyat di daerah pemilihan yang diwakilinya untuk
bisa mewujudkan tujuan nasional (Pasal 1 butir 5). Pengaturan lebih lanjut
tentang hak anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tersebut, ditetapkan
pada Pasal 4 sampai dengan Pasal 9 mengenai tata cara pengusulan.
Kemudian di dalam Pasal 10 sampai dengan Pasal 11 tentang kriteria
program.

Sebagaimana telah dikemukakan terdahulu, dana aspirasi ini


mempunyai banyak tujuan. Tujuan dari usulan pemberian dana aspirasi oleh
anggota legislatif adalah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerah
konstituen,38 pemerataan pembangunan dan juga percepatan turunnya dana
pembangunan ke daerah yang selama ini dirasakan masih kurang
memuaskan.39 Jika ditelusuri, alasan-alasan pengajuan dana aspirasi ini terus
berkembang, bukan hanya untuk percepatan pembangunan di daerah, tetapi
juga dengan alasan yang lain yang sifatnya lebih praktis. Pada masa

27
pemerintahan Jokowi JK, alasan pentingnya dana aspirasi ini dikemukakan
oleh Lukman Edy paling tidak ada 25 (dua puluh lima) alasan, yaitu :42

1. Untuk mengisi kekosongan anggaran atau backlock bagi daerah


yang tidak tersentuh program Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN).

2. Untuk memenuhi kebutuhan mendesak yang tidak terakomodir


dalam suatu program pemerintah.

3. Untuk melengkapi program pemerintahan Jokowi-JK.

4. Untuk meningkatkan penyaluran uang ke daerah.

5. Untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada lembaga


Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

6. Untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada anggota


Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI).

7. Untuk bisa meningkatkan akuntabilitas pengelolaan anggaran yaitu


dengan penyalurannya tetap melalui mekanisme pemerintah.

8. Untuk membangun kewibawaan Dewan Perwakilan Rakyat


Republik Indonesia (DPR RI) di mata rakyat.

9. Untuk merealisasikan janji-janji politik selama pemilu.

10. Untuk mengikis membesarnya foating mass, dan kontraproduktif


terhadap suatu konsolidasi demokrasi.

11. Untuk mengurangi mafia anggaran di Dewan Perwakilan Rakyat


Republik Indonesia (DPR RI).

12. Pendidikan politik bagi bangsa.

13. Membantu pemerintah untuk mempercepat penyerapan anggaran.

14. Untuk memperkuat hubungan pusat dan daerah.

15. Untuk mengurangi kekosongan perencanaan.

42
Rahman Mulyawan, Sistem Pemerintahan di Indonesia, Cet. 1, (Bandung: UNPAD
Press, 2015), hlm. 46.

28
16. Untuk menunjang azas keadilan antar komisi di Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR).

17. Untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada demokrasi.

18. Untuk memberikan harapan baru bagi masyarakat.

19. Untuk memberikan kontribusi terhadap penguatan struktur


Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

20. Untuk meningkatkan transparansi anggaran, karena dalam


penyurunan satu program, harus melibatkan masyarakat dan
pemerintah daerah secara baik dan terbuka.

21. Mendekatkan anggota legislatif dengan konstituennya.

22. Untuk menggerakkan energi bangsa dalam isu pembangunan.

23. Untuk meningkatkan gerakan anti-korupsi di kalangan legislatif


karena di dalam praktiknya, P2DP diawasi oleh BPK dan KPK. 30

24. Untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah dalam hal


memperbesar intervensi dana pemerintah ke tengah masyarakat di
daerah.

25. Untuk mempercepat pemenuhan infrastruktur dasar di pedesaan.

Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis


Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan
Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD),
menyatakan bahwa :

1. Badan anggaran melakukan pembahasan usulan program bersama


pemerintah.

2. Hasil pembahasan tersebut berasal dari keputusan rapat badan


anggaran bersama pemerintah mengenai perencanaan kerja
pemerintah dalam menyusun rancangan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN).

3. Hasil keputusan rapat badan anggaran bersama pemerintah


disampaikan kepada anggota yang mengusulkan.

29
Dalam Pasal 3 Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Nomor
4 Tahun 2015 menjelaskan bahwa .

1. Anggota berhak mengusulkan dan memperjuangkan program.

2. Program yang diusulkan boleh sendiri maupun bersama-sama.

3. Usulan program tersebut dapat berasal dari inisiatif sendiri,


pemerintah daerah atau aspirasi masyarakat di daerah pemilihannya.

4. Setiap anggota hanya mengusulkan program pada daerah


pemilihannya.

Dalam Pasal 4 Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Nomor


4 Tahun 2015 mengenai tata cara pengusulan program pembangunan daerah
pemilihan, yaitu sebagai berikut :

1. Anggota menyusun usulan program secara tertulis yang


ditandatangani oleh anggota yang bersangkutan.

2. Dalam program yang diusulkan bersama-sama, maka setiap anggota


memberitahukan program tersebut kepada pimpinan fraksi
masingmasing.

3. Usulan program disampaikan kepada pimpinan Dewan Perwakilan


Rakyat (DPR) melalui pimpinan fraksi

4. Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menginventarisasi


usulan program.

5. Fraksi menyampaikan usulan program dalam rapat paripurna yang


mengagendakan usulan program.

6. Usulan program ditetapkan dalam rapat paripurna.

Dalam pengusulan program tersebut paling sedikit anggota harus


memuat informasi tentang:

1. Nama, nomor anggota, daerah pemilihan, komisi, tanda tangan


pengusul, dan fraksi pengusul.

2. Nama program yang diusulkan

30
3. Latar belakang atau dasar pertimbangan usulan program

4. Nama provinsi, kabupaten/kota, kecamatan dan/atau


kelurahan/desa.43

Mekanisme tata cara pengusulan dan kriteria program yaitu


pendaftaran program anggota, Pimpinan Fraksi, Penyampaian usulan kepada
presiden, Pembahasan RAPBN oleh Badan Anggaran bersama pemerintah,
Penyampaian hasil rapat badan anggaran kepada anggota Pelaksanaan
program,

Dalam melakukan pendaftaran tersebut, paling lambat 1 (satu) hari


sebelum rapat paripurna dilaksanakan. Dalam rapat paripurna, pimpinan
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengundang pemerintah untuk menghadiri
rapat terkait usulan program. Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
menyampaikan usulan program dana aspirasi tersebut kepada presiden paling
lambat 5 (lima) hari kerja terhitung sejak rapat paripurna dilaksanakan.
Dalam hal ini, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak mendapatkan anggaran
dana aspirasi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN),

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hanya memeriksa dan


mengesahkan rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
yang diusulkan presiden. Program yang diusulkan anggota dewan harus
termasuk dalam rancangan program pembangunan nasional. Kemudian
usulan tersebut akan disesuaikan dengan setiap program kementrian yang
selanjutnya disesuaikan dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN). Pada tingkat kabupaten, program yang diusulkan akan disesuaikan
dengan kondisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang
berasal dari Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Umum (DU), dan
Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang di transfer dari pusat.

Kedudukan dana aspirasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPRA)


tercantum dalam ketentuan peraturan perundang-undangan, terutama

43
Fikri, Putra Nur. Pengunaan Dana Aspirasi Dewan Perwakilan Rakyat (Studi Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 106/PUU-XIII/2015). BS thesis. Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

31
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014, Peraturan Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) sebagai satu aturan turunan dari undang-undang tersebut.
Adapun alur pendistribusian dana aspirasi DPRA ialah untuk kepentingan
pemenuhan fasilitas umum atau sarana dan prasarana desa, dan
pemberdayaan masyarakat misalnya pemberdayaan ekonomi.

B. Fungsi Pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh Terhadap


Pengelolaan Keuangan Daerah khususnya dana aspirasi

Sebagai wakil rakyat, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)


diberi hak untuk memajukan daerah pemilihan (dapil) melalui dana aspirasi
(aspiration fund). Dana aspirasi dikenal dalam banyak negara merupakan
dana pembangunan konstituensi ataupun daerah pemilihan. Dana aspirasi
yang dikenal di Indonesia merupakan dana proyek yang digunakan untuk
dapat menarik masyarakat tempat daerah pemilihan.

Anggota legislatif (DPR) diberikan akses dana khusus digunakan


untuk daerah pemilihan mereka masing-masing. Regulasi tentang dana
aspirasi ini diatur di dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau selanjutnya
ditulis( Undang-Undang MD3). Dalam Undang-Undang MD3, tidak
disebutkan secara tegas mengenai istilah dana aspirasi. Dana aspirasi
dimaksud dalam Undang-Undang MD3 ialah dana program pembangunan
daerah pemilihan (P2DP). Hal ini seperti diatur di dalam Pasal 80 huruf j
menyangkut hak-hak dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), di mana
anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berhak mengusulkan dan
memperjuangkan program pembangunan daerah pemilihan. Selanjutnya di
dalam Pasal 110 huruf e menyatakan bahwa badan anggaran bertugas
melaksanakan sinkronisasi terhadap usulan program pembangunan daerah
pemilihan yang diusulkan komisi. Dengan begitu, dana program
pembangunan daerah pemilihan (P2DP) atau dana aspirasi dapat dianggarkan
melalui mekanisme pengajuan dalam komisi di parlemen, bahkan usulan dana
tersebut bagian dari hak anggota.

32
Tujuan dari usulan pemberian dana aspirasi oleh anggota legislatif
adalah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerah konstituen,
pemerataan pembangunan dan juga percepatan turunnya dana pembangunan
ke daerah yang selama ini dirasakan masih kurang memuaskan.

Jika ditelusuri, alasan-alasan pengajuan dana aspirasi ini terus


berkembang, bukan hanya untuk percepatan pembangunan di daerah, tetapi
juga dengan alasan yang lain yang sifatnya lebih praktis. Pada masa
pemerintahan Jokowi JK, alasan pentingnya dana aspirasi ini dikemukakan
oleh Lukman Edy paling tidak ada 25 (dua puluh lima) alasan, yaitu: untuk
mengisi kekosongan anggaran atau backlock bagi daerah yang tidak tersentuh
program Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), untuk
memenuhi kebutuhan mendesak yang tidak terakomodir dalam suatu program
pemerintah, untuk melengkapi program pemerintahan Jokowi-JK, untuk
meningkatkan penyaluran uang ke daerah, untuk meningkatkan kepercayaan
masyarakat kepada lembaga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), untuk
meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), untuk bisa meningkatkan akuntabilitas
pengelolaan anggaran yaitu dengan penyalurannya tetap melalui mekanisme
pemerintah, untuk membangun kewibawaan Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia (DPR RI) di mata rakyat, untuk merealisasikan janji-janji
politik selama pemilu, untuk mengikis membesarnya foating mass, dan
kontraproduktif terhadap suatu konsolidasi demokrasi, untuk mengurangi
mafia anggaran di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI),
pendidikan politik bagi bangsa, membantu pemerintah untuk mempercepat
penyerapan anggaran, untuk memperkuat hubungan pusat dan daerah, untuk
mengurangi kekosongan perencanaan, dan lain-lain.Dalam melakukan reses,
pokok-pokok pikiran aspirasi masyarakat dititipkan kepada anggota dewan
agar diperjuangkan dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (RAPBD).

Hasil penyerapan aspirasi melalui reses yang dituangkan dalam


pokok pikiran dewan akan dimasukkan ke dalam aplikasi Sistem Informasi
Pembangunan Daerah (SIPD) dalam bentuk program dan kegiatan yang

33
mencakup informasi pembangunan daerah, informasi keuangan daerah, dan
informasi pemerintah daerah lainnya. Aspirasi masyarakat tersebut kemudian
ditindaklanjuti oleh Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian, dan
Pengembangan Daerah (BAPPEDA) yang akan melakukan pemilahan
kembali ke dinas mana saja yang merupakan kewenangannya. Selain melalui
musrenbang, anggota dewan juga dapat menampung usulan program
masyarakat melalui kunjungan kerja yang disebut dengan reses. Reses adalah
kegiatan anggota dewan yang bekerja diluar gedung Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) untuk menjumpai masyarakat di daerah pemilihannya (dapil)
masing-masing dalam rangka menjaring, menampung aspirasi serta
melaksanakan fungsi pengawasan.

Masa reses mengikuti masa persidangan yang dilakukan sebanyak 3


(tiga) kali dalam setahun atau 14 (empat belas) kali reses dalam periode 5
(lima) tahun masa jabatan. Masa reses tersebut dipergunakan secara individu
maupun secara kelompok. Artinya, anggota dewan yang memiliki daerah
pemilihan atau konsituen yang sama dapat melakukan kegiatan masa reses
secara bersama-sama. Keduanya dapat mengunjungi daerah pemilihan untuk
menyerap aspirasi masyarakat.

DPRA Aceh sedang merancang aplikasi sistem penyerapan aspirasi


masyarakat (SiPeMas) untuk meningkatkan kinerja Sekretariat DPR Aceh
dalam memfasilitasi tugas dan fungsi Pimpinan dan . Selain itu, pada Maret
2023, pemerintah diminta untuk mempertahankan dana Otsus Aceh tetap dua
persen karena Aceh memiliki sumber daya alam yang luar biasa. Namun,
dalam penggunaan dana aspirasi selama ini, masih banyak anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) yang lebih mengutamakan kepentingan
pribadi.

Selain itu, persoalan lain dalam pelaksanaan otonomi daerah juga


terjadi dalam pengelolaan sumber daya alam, di mana tidak ada peraturan
daerah yang mengatur hak masyarakat atas informasi dan keterlibatan
masyarakat dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan. Pada
Agustus 2021, Bupati Aceh Barat, H. Ramli MS meminta agar kegiatan yang

34
tertunda akibat refocusing bisa dilanjutkan kembali untuk mencapai
kemajuan Aceh Barat

Dalam konteks Aceh, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA)


memiliki fungsi pengawasan terhadap pengelolaan keuangan daerah,
termasuk dalam hal pengawasan terhadap APBD. Tujuan pengawasan ini
adalah untuk memastikan alokasi anggaran sesuai dengan prioritas daerah dan
diajukan untuk kesejahteraan masyarakat, menjaga agar penggunaan APBD
ekonomis, efisien dan efektif, serta menjaga agar pelaksanaan APBD benar-
benar dapat dipertanggungjawabkan atau dengan kata lain bahwa anggaran
telah dikelola secara transparan dan akuntabel untuk meminimalkan
terjadinya kebocoran.

Dalam hal ini, teori pengawasan dan akuntabilitas sangat relevan


untuk diterapkan oleh DPRA. Teori pengawasan dapat membantu DPRA
dalam melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan
peraturan perundang-undangan lainnya, APBD, kebijakan pemerintah daerah
dalam melaksanakan program pembangunan daerah, dan kerjasama
internasional di daerah.

Dengan menerapkan teori pengawasan dengan baik, DPRA dapat


mencegah terjadinya penyimpangan dan meningkatkan efektivitas dan
efisiensi organisasi serta memperbaiki kinerja penyelenggaraan pemerintah
di Aceh. Sementara itu, teori akuntabilitas dapat membantu DPRA dalam
memastikan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir kegiatan penyelenggaraan
pemerintah harus dipertanggungjawabkan kepada masyarakat sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan. DPRA dapat melakukan pengawasan
terhadap penganggaran dan belanja negara dan pelaksanaan peraturan daerah.
Dengan menerapkan teori akuntabilitas dengan baik, DPRA dapat
meningkatkan efektivitas dan efisiensi organisasi serta memperbaiki kinerja
penyelenggaraan pemerintah di Aceh.

DPRA memiliki peran penting dalam mengawasi penyusunan,


perubahan, dan pelaksanaan anggaran daerah. Mereka memastikan bahwa
anggaran disusun secara transparan, akuntabel, dan sesuai dengan

35
kepentingan publik. DPRA juga bertugas memeriksa dan mengevaluasi
pelaksanaan anggaran, termasuk penggunaan dana aspirasi, untuk
memastikan kepatuhan terhadap peraturan dan efektivitas penggunaannya.

Pengawasan Pelaksanaan Program dan Kebijakan: DPR Aceh


melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan program dan kebijakan yang
berkaitan dengan pengelolaan keuangan daerah. Mereka memantau apakah
program dan kebijakan tersebut dilaksanakan dengan baik, mencapai hasil
yang diharapkan, dan memperhatikan aspek keuangan secara efisien dan
efektif.

DPRA memiliki wewenang untuk melakukan pemeriksaan terhadap


keuangan daerah. Mereka dapat melakukan audit terhadap laporan keuangan,
mengadakan rapat dengar pendapat dengan pihak terkait, dan meminta
penjelasan tentang pengelolaan keuangan. Pemeriksaan ini bertujuan untuk
memastikan kepatuhan terhadap peraturan keuangan dan mendeteksi potensi
penyimpangan atau ketidakberesan yang perlu ditindaklanjuti.

DPRA juga bertanggung jawab dalam mengawasi penggunaan dana


aspirasi. Mereka memantau apakah dana aspirasi digunakan sesuai dengan
peraturan yang berlaku dan untuk kepentingan masyarakat. DPRA dapat
melakukan pengecekan, evaluasi, dan pemeriksaan terhadap alokasi dan
penggunaan dana aspirasi, serta memastikan bahwa dana tersebut tidak
disalahgunakan atau dialokasikan untuk kepentingan pribadi atau kelompok
tertentu.

DPRA juga memiliki peran dalam mengawasi peraturan daerah yang


berkaitan dengan pengelolaan keuangan daerah. Mereka terlibat dalam proses
perumusan dan pembahasan peraturan daerah terkait keuangan, serta
melakukan evaluasi dan pemantauan terhadap implementasinya. DPRA dapat
memastikan bahwa peraturan daerah tersebut memenuhi prinsip-prinsip
keuangan yang baik dan memberikan perlindungan bagi kepentingan publik.

Melalui fungsi pengawasan tersebut, DPRA bertujuan untuk


memastikan transparansi, akuntabilitas, dan efektivitas dalam pengelolaan
keuangan daerah. Upaya pengawasan yang dilakukan oleh DPRA diharapkan

36
dapat mencegah penyelewengan, meningkatkan penggunaan dana secara
efisien, serta memastikan kepatuhan terhadap peraturan dan kepentingan
publik dalam pengelolaan keuangan daerah.

37
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian diatas maka peneliti dapat


menyimpulkan bahwa:

1. Jalur pendistribusian dana aspirasi DPRA menurut Undang-Undang


Nomor 17 Tahun 2014 yaitu Anggota DPRA mengusulkan program
pembangunan daerah pemilihannya ke pimpinan fraksi. Usulan
program disampaikan ke pimpinan DPRA dan diinventarisasi.
Usulan diputuskan dalam rapat paripurna DPRA dengan kehadiran
pemerintah. Pimpinan DPRA menyampaikan usulan ke presiden
maksimal 5 hari kerja setelah rapat paripurna. Usulan diproses oleh
Badan Anggaran DPRA bersama pemerintah dalam kerangka APBD
provinsi/kabupaten. mProgram yang sesuai dengan APBD
provinsi/kabupaten akan dilaksanakan untuk kepentingan
masyarakat seperti pemenuhan fasilitas umum dan pemberdayaan
ekonomi. Jadi inti alurnya adalah pengusulan program oleh anggota
DPRA, pembahasan bersama pemerintah, dan pelaksanaan program
sesuai APBD yang fokus pada kepentingan masyarakat daerah
pemilihan.
2. Fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh terhadap
pengelolaan keuangan daerah khususnya dana aspirasi adalah
melakukan pengawasan terhadap proses penyusunan, perubahan,
dan pelaksanaan anggaran daerah termasuk penggunaan dana
aspirasi agar dilakukan secara transparan dan akuntabel.Memeriksa
dan mengevaluasi pelaksanaan anggaran daerah dan penggunaan
dana aspirasi untuk memastikan kepatuhan terhadap peraturan dan
efektivitas penggunaannya.Memantau pelaksanaan program dan
kebijakan terkait pengelolaan keuangan daerah termasuk
penggunaan dana aspirasi agar efisien dan mencapai
tujuan.Melakukan pemeriksaan keuangan daerah seperti audit

38
laporan keuangan dan meminta penjelasan terkait pengelolaan
keuangan untuk memastikan kepatuhan dan mendeteksi potensi
penyimpangan.Mengawasi penggunaan dana aspirasi agar sesuai
peraturan dan untuk kepentingan masyarakat, serta mencegah
penyalahgunaan untuk kepentingan pribadi.Terlibat dalam
penyusunan dan evaluasi peraturan daerah terkait keuangan daerah
untuk memastikan kepatuhan prinsip keuangan yang baik.

Dengan kata lain, fungsi pengawasan DPRA terhadap


pengelolaan keuangan daerah khususnya dana aspirasi bertujuan
untuk mencapai transparansi, akuntabilitas, dan efektivitas
penggunaan dana sesuai peraturan dan kepentingan publik.

B. Saran

Berdasarkan pembahasan mengenai dana aspirasi DPRA di atas,


saya memberikan beberapa rekomendasi berikut:

1. Diperlukan penyempurnaan peraturan perundang-undangan terkait


dengan Dana Aspirasi untuk memberikan landasan hukum yang
jelas. Peraturan tersebut perlu mengatur secara rinci mengenai
mekanisme penganggaran, pelaksanaan, pertanggungjawaban,
sanksi, dan hal-hal lainnya.

2. Sistem pengawasan terhadap penggunaan dana aspirasi perlu


disempurnakan, misalnya melalui audit secara berkala oleh BPK
atau lembaga independen lainnya untuk mencegah penyimpangan.
Laporan hasil audit diumumkan ke publik.

3. Capaian program yang didanai dana aspirasi perlu diawasi dan


dievaluasi, bukan sekadar melakukan pengecekan administrasi. Hal
ini agar danaaspirasi benar-benar memberikan manfaat bagi
masyarakat.

4. Masyarakat perlu terlibat dalam penentuan prioritas program yang


akan didanai dengan dana aspirasi, misalnya melalui musrenbang
desa secara rutin

39
5. Pemerintah daerah perlu berkoordinasi dengan DPRD dalam
pelaksanaan program yang bersumber dari dana aspirasi untuk
mendukung tujuan pembangunan daerah.

6. Diperlukan sosialisasi yang memadai kepada masyarakat tentang


mekanisme dan penggunaan dana aspirasi agar transparan dan
mendapat dukungan masyarakat.

Demikian beberapa saran saya untuk meningkatkan tata kelola


penggunaan dana aspirasi agar benar-benar dapat membawa manfaat bagi
pembangunan daerah dan masyarakat.

40
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Budi Setiyono, Pemerintahan Dan Manajemen Sektor Publik, Cet. 1,


Yogyakarta, Caps, 2014.

Dwi Martani., dkk, Akuntansi Keuangan Menengah Berbasis PSAK, Cet. 1,


Jakarta, Salemba Empat, 2014.

Edward Aspinall & Ward Berenchot, Democracy for Sale: Pemilihan Umum,
Klientelism, dan Negara di Indonesia, (Terj: Edisius Riyadi), Jakarta
Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2019.

Gun Gun Heryanto, dkk., Literasi Politik: Dinamika Konsolidasi Demokrasi


Indonesia Pasca Reformasi, Yogyakarta, IRCiSoD, 2019.

H. Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum pada


Penelitian Tesis dan Disertasi, ed-1,Cet-2, Jakarta, PT RajaGrafindo
Persada, 2013.

Hendra Karianga, Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Keuangan


Daerah (Perspektif Hukum dan Demokrasi), Bandung, PT Alumni,
2011.

Hery, Analisis Laporan Keuangan, Cet. 2, Jakarta, Grasindo, 2017.

I Made Wirartha, Penelitian Kualitatif, Alfabeta, Bandung, 2006.

Jaya Suprana, Bercak-Bercak Harapan, Edisi Pertama, Jakarta, Elex Media


Komputindo, 2018.

Lukman Hakim, Filosofi Kewenangan Organ Lembaga Daerah, Malang,


Setara Press, 2012.

Mardiasmo, Akuntansi Sektor Publik, Cet. 1, Yogyakarta, Andi Offset, 2004.

Mathius Tandiontong, Kualitas Audit Dan Pengukurannya, Cet. 1, Bandung,


Alfabeta, 2016.

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Edisi Revisi, Bandung, Kharisma


Putra utama, 2015.

Rahman Mulyawan, Sistem Pemerintahan di Indonesia, Cet. 1, Bandung,


UNPAD Press, 2015.

Sirajun dkk, Hukum Pelayanan Publik, Malang, Setara press, 2012.

41
Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Jakarta, Sinar
Grafika, 2016.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu
Tinjauan Singkat, Jakarta Raja Grafindo Persada, 2013.

Solly Lubis, Hukum Tata Negara, Bandung, CV. Mandar Maju, 2008.

Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif


dan R&D, Bandung, Alfabeta, 2010.

Sujamto, Beberapa Pengertian Di Bidang Pengawasan, Jakarta, Ghalia


Indonesia 1983.

Tim Redaksi, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta, Pusat Bahasa, 2008.

W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai


Pustaka 1984.

B. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan


Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana terakhir diubah
dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah


sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 9
Tahun 2015.

C. Sumber Lain

Djadjuli, Didi. "Pelaksanaan pengawasan oleh pimpinan dalam meningkatkan


kinerja pegawai." Dinamika: Jurnal Ilmiah Ilmu Administrasi
Negara 4.4 2018.

Efendy, M., “Pengaruh kompetensi, independensi, dan motivasi terhadap


kualitas audit aparat inspektorat Dalam Pengawasan Keuangan
Daerah (Studi Empiris Pada Pemerintah Kota Gorontalo)”, Doctoral
Dissertation, Universitas Diponegoro, 2010.

Faisal Akbar Nasution, “Kebijakan Perimbangan Keuangan antara


Pemerintah Pusat dan Daerah Pasca Reformasi”, Jurnal Hukum No.
3 Vol. 18 Juli 2011.

Jatmiko, Bambang. "Pengaruh pengawasan internal, akuntabilitas dan


transparansi terhadap kinerja pemerintah daerah Kabupaten Sleman

42
(Survei pada seluruh satuan kerja perangkat daerah Kabupaten
Sleman)." Jurnal Akuntansi Trisakti 7.2 2020.

Kompas.id, https://www.kompas.id/baca/nusantara/2021/06/27/dugaan-
korupsi-beasiswa-dpr-aceh-negara-rugi-rp-10-miliar? diakses pada
tanggal 3 Okteber 2023

Kumalasari, Deti, and Ikhsan Budi Riharjo. "Transparansi dan akuntabilitas


pemerintah desa dalam pengelolaan alokasi dana desa." Jurnal Ilmu
dan Riset Akuntansi (JIRA) 5.11 2016.

Muslim, Saiful. "Peran Pengawasan Dalam Meningkatkan Produktivitas


Kerja", An-Nisbah: Jurnal Perbankan Syariah 3.1 2022

Oktavianus Pasoloran, “Narsisism Dana Aspirasi Masyarakat pada


Penganggaran Daerah Kajian Etno-Semiotika Berbasis Filsafat
Bartesian”, Jurnal: “Simposium Nasional Akuntansi XIX, Lampung,
2016.

Puspitasari, Yeni, Khofifatus Sakdiyah, and Rika Rossana Marlaeni.


"Evaluasi Kinerja Birokrat Dalam Rangka Meningkatkan Pelayanan
Publik Di Desa Tegalgondo Kabupaten Malang." Jurnal Studi
Kepemerintahan 4.2, 202.

Sawir, Muhammad, "Konsep Akuntabilitas Publik." Jurnal Ilmu Administrasi


dan Ilmu Pemerintahan 1.1, 2017.

Singgih, Elisha Muliani, and Icuk Rangga Bawono. "Pengaruh Independensi,


Pengalaman, Due Professional Care dan Akuntabilitas Terhadap
Kualitas Audit." Simposium Nasional Akuntansi XIII 2, 2010.

Styawan, Suci. "Penanganan Pengaduan (Complaint Handling) Dalam


Pelayanan Publik (Studi Tentang Transparansi, Responsivitas, Dan
Akuntabilitas Dalam Penanganan Pengaduan Di Kantor Pertanahan
Kota Surabaya II)." Jurnal Kebijakan dan Manajemen Publik 4.4,
2012.

43

Anda mungkin juga menyukai