Anda di halaman 1dari 6

3.

TANTANGAN DALAM MENGHADAPI KEBERAGAMAN SDM DALAM


ORGANISASI

Kualitas sumber daya manusia tidak lepas dari hasil kerja para pekerja yang profesional. Oleh
karena itu, diharapkan muncul sumber daya manusia yang berkualitas dari para profesional
yang keahliannya digunakan untuk menilai dan membentuk citra diri. Keberhasilan suatu
organisasi ditentukan oleh pengelolaan sumber daya manusia yang semakin berkualitas. Hal
ini menjadi tantangan bagi pengelolaan sumber daya manusia dalam konteks sumber daya
manusia yang semakin beragam (Rahmat & Ginting, 2023).

Menurut Kaswan (2012: 8) (Rahmat & Ginting, 2023) lebih spesifik mengatakan bahwa,
"Tantangan-tantangan merupakan kekuatan yang mempengaruhi individu, komunitas, bisnis,
dan masyarakat. Kekuatan-kekuatan itu mengisyaratkan bahwa sejumlah tindakan harus
dilakukan organisasi untuk menangani ketidakpastian dan turbulensi yang ada dilingkungan."

Edy Sutrisno (2012: 11) (Rahmat & Ginting, 2023) lebih spesifik mengatakan bahwa,
"Kesulitan yang dihadapi oleh manajemen sumber daya manusia dimasa depan tentu tidak
akan sama lagi dengan kondisi masa lampau. Kesulitannya adalah bagaimana menciptakan
organisasi yang semakin beragam dan menuntut pengelolaan yang semakin efisien, efektif,
dan produktif."

Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa tantangan atau kesulitan yang dihadapi dalam
pengelolaan sumber daya manusia harus dikelola secara utuh dan efektif. Dengan banyaknya
keragaman sumber daya manusia saat ini, maka pengelolaan sumber daya manusia harus
mampu menciptakan komunikasi yang efektif, pengembangan dan pelatihan pegawai, yang
dapat menciptakan lingkungan kerja yang nyaman dan produktif, serta memberikan umpan
balik terhadap kinerja pegawai berdasarkan hasil yang diperoleh (Rahmat & Ginting, 2023).

4. TANTANGAN ORGANISASI DALAM MENATA DAN MERANCANG SDM


DALAM MENGHADAPI REVOLUSI INDUTRI 4.0
Dalam tiga puluh tahun terakhir, pola kerja telah berubah secara signifikan di seluruh dunia.
Ini adalah hasil dari perubahan besar yang menghasilkan gelombang gangguan baru yang saat
ini melanda dunia. Proses ini dikenal sebagai revolusi digital atau revolusi industri 4.0. Sejak
tahun 1970-an, industri mulai berpindah dari Eropa dan Amerika menuju Asia (Indonesia,
Vienam, Thailand, Pakistan, India, dll.) dan Amerika Latin (Brazil mewakilinya). Aplikasi
otomatisasi yang intensif dan masif yang mengubah kebutuhan pekerjaan menjadi digital
merupakan konsekuensi dari relokasi industri. Sumber Daya Manusia (SDM) yang tidak
memiliki kemampuan literasi digital akan dibuang cepat atau lambat (Nurbaya, 2020).

Pengaruh kapitalisme keuangan, juga dikenal sebagai kapitalisme keuangan, merupakan


faktor penting lainnya yang mendorong revolusi industri 4.0. Thompson dan Harley (2012)
didukung Lazonick (2007) (Nurbaya, 2020)menyatakan bahwa situasi bisnis saat ini telah
keluar dari tatanan Knowledge Based Economics (KBE). Dampak dari revolusi industry 4.0
adalah terbentuknya pasar yang hiperkompetitif. Menurut Handy (1998) (Nurbaya,
2020)pasar yang hiperkompetitif menuntut kreativitas dan inovasi, menguras sumber daya
keuangan dan dapat mengucilkan SDM dari lingkungan industry karena alasan efisiensi.

Dalam era kapitalisme keuangan, laba yang didapatkan relatif besar dengan modal kecil.
Laba diperoleh perusahaan bukan melalui produksi barang atau jasa, namun diperoleh
melalui modal fenomenologis (McKenna, 2004) (Nurbaya, 2020). Gojek dan Traveloka
adalah contoh bagus di Indonesia. Nilai tambah, atau laba tambahan, perusahaan tidak
diperoleh dari margin antara pendapatan dan biaya. Sebaliknya, itu diperoleh dari hal-hal
yang menghargai diri sendiri, seperti derivatif, hedge fund, arbitrase, pasar komoditas atau
masa depan (pasar berjangka), pasar mata uang asing (forex), bit coin, dan sebagainya. Bisnis
seperti ini dianggap sebagai kekayaan ilusif. Ketika datang ke jenis bisnis ini, kecepatan
transaksi sangat penting. Pasar keuangan ini semakin jauh atau tidak terpengaruh oleh
ekonomi riil. Kondisi bisnis saat ini lebih fokus pada keuntungan para pemegang saham
daripada tatanan sosial, nilai-nilai keadilan, dan ketersediaan.

Untuk menangani tantangan yang dihadapi perusahaan selama revolusi industri 4.0 saat ini,
pengelolaan SDM memerlukan inisiatif dan pendekatan baru, seperti literasi baru yang
mencakup literasi data, literasi teknologi, dan literasi manusia.
Pada abad pertengahan atau awal abad XIV, MSDM strategis mulai berkembang di Eropa.
Pada saat itu, hubungan industri—atau hubungan buruh-majikan—dimulai dengan para
pengrajin industri, buruh pabrik sepatu, tukang roti, penjaga toko, pedagang kecil, dan kuli
angkut bersatu untuk melawan kekuatan lain yang merampas hak mereka, seperti peraturan
raja yang dianggap menekan buruh dan lebih menguntungkan para majikan.

Di penghujung abad XVII atau di awal abad XVIII, terjadi "Revolusi Industri", transformasi
industri yang signifikan yang mengubah perusahaan sosial, hubungan ekonomi, dan filosofi
politik dengan cepat.

Kapasitas produksi manufaktur melonjak dengan cepat karena transformasi proses


manufaktur menjadi mekanikal. Dalam situasi seperti ini, para bisnis harus berpikir lebih
sistematis dan inovatif untuk menghasilkan keuntungan yang lebih besar.

MSDM Strategis pasca revolusi industri ditandai adanya kontribusi psikologi industri,
khususnya teori perilaku (Behavioral Theory). Harsey dan Blanchard dalam buku
Management of Organizational Behavior (Nurbaya, 2020) menyatakan bahwa seorang
behavior scientist berusaha menyatukan konsep dan teori dari berbagai disiplin ilmu untuk
dipergunakan sebagai alat untuk membuat keputusan tentang perilaku individu dan
kelompok. Behavior science sangat penting untuk MSDM kontemporer karena ia
menggunakan metode dyadical—sebuah pendekatan yang seimbang antara tuntutan kerja dan
hak karyawan. Manajer sumber daya manusia yang berhasil adalah mereka yang berhasil
mengelola karyawan mereka secara menyeluruh dan manusiawi (humanis).

Sedikitnya terdapat tiga dampak bagi perusahaan untuk merespon perubahan teknologi baru,
yaitu (Nurbaya, 2020):

(1) Perlunya meningkatkan skills dan work habits karyawan


(2) Tersingkirnya jabatan tingkat rendah dan level manajerial
(3) Hirarki berkurang, lebih berorientasi pada kerjasama atau kolaborasi
(4) Kehidupan pekerja pada era industry 4.0 didominasi oleh self-directed striving for
personally valued career outcomes.

Mengumpulkan dan memproses data, aktivitas fisik, dan mengoperasikan mesin adalah
beberapa tugas yang memiliki potensi teknis tertinggi untuk diotomatisasi. Sebaliknya,
otomatisasi mungkin tidak terjadi pada aktivitas yang melibatkan pengelolaan dan
pengembangan individu, interaksi dengan pemangku kepentingan, dan pengembangan
keterampilan kreatif, pengambilan keputusan, dan perencanaan.

Tingkat potensi otomatisasi berbeda-beda di antara negara dan industri. Secara global, ada 1,2
miliar karyawan yang bekerja pada aktivitas yang dapat diotomatisasi. Di China, India,
Jepang, dan Amerika Serikat ada lebih dari 50% lapangan kerja yang diotomatisasi, dengan
China dan India memiliki potensi lapangan kerja teknis terbesar, dengan 700 juta karyawan
penuh waktu masing-masing. Di Inggris, Jerman, Italia, Spanyol, dan Prancis, ada 62 juta
pekerja penuh waktu yang secara teknis dapat

Digitalisasi, optimalisasi dan kustomisasi produksi, otomasi dan adapsi, interaksi mesin-
manusia, nilai tambah jasa dan bisnis, pertukaran dan pertukaran data yang otomatis, dan
penggunaan teknologi internet adalah ciri-ciri revolusi industri 4.0 dan tantangan baru bagi
dunia kerja. Transformasi pasar kerja Indonesia harus mempertimbangkan perubahan iklim
bisnis dan industri, perubahan struktur organisasi perusahaan, dan perubahan kebutuhan
ketrampilan. Untuk memenuhi kebutuhan pasar kerja yang semakin berkembang pesat,
keterampilan dan kompetensi harus terus ditingkatkan. Oleh karena itu, baik sektor industri
maupun sektor pendidikan harus dapat mengembangkan strategi transformasi industri dengan
mempertimbangkan bagaimana sektor berkembang.

Dalam menghadapi revolusi industri 4.0, ada tiga hal yang harus diperhatikan oleh semua
pihak. Pertanyaan pertama adalah kualitas, yang mencakup upaya untuk menghasilkan
sumber daya manusia yang berkualitas untuk memenuhi kebutuhan pasar kerja modern.
Pertanyaan kedua adalah kuantitas, yaitu menghasilkan jumlah sumber daya manusia yang
berkualitas, terampil, dan sesuai dengan kebutuhan industri. Pertanyaan ketiga adalah
bagaimana sumber daya manusia berkualitas didistribusikan secara tidak merata. Untuk
meningkatkan kompetensi dan produktivitas pekerja, lembaga pelatihan kerja, badan
setifikasi profesi, dan program pemagangan harus digunakan secara luas.

Untuk menjawab tantangan era revolusi industri 4.0 tidak cukup hanya dengan literasi
manusia lama, untuk mendapatkan SDM yang kompetitif dalam industri 4.0, kurikulum
pendidikan harus dirancang agar out put-nya mampu menguasi literasi baru, yaitu (Nurbaya,
2020):

(1) Literasi data, yaitu kemampuan membaca, menganalisis dan memanfaatkan informasi
big data dalam dunia digital
(2) Literasi teknologi, yaitu memahami cara kerja mesin, aplikasi teknologi (coding,
artificial intelligence dan engineering principles
(3) Literasi manusia, humanities, komunikasi dan desain.

Tujuan literasi manusia adalah agar manusia dapat berfungsi dengan baik dalam lingkungan
yang semakin berkembang. Universitas harus mencari metode baru untuk meningkatkan
kemampuan kognisi manusia, seperti kemampuan mental tingkat tinggi, pemikiran kritis, dan
pemikiran sistemik. Dalam industri 4.0, keterampilan dasar SDM adalah kepemimpinan
(leadership), bekerja dalam tim (teamwork), kematangan budaya (cultural agility), dan
entreprenurship (termasuk sociopreneurship).

Lima dasar dimensi kepribadian—extravenous, agreeable, conscientious, emotional stability,


dan openness to experience—adalah modal dasar SDM yang selama ini dianggap berhasil
dalam penggunaan MSDM.

Aspek-aspek sukses SDM lain seperti kecerdasan emosional (Golemen, 1977) (Nurbaya,
2020), kecerdasan spiritual (Agustian, 2000) (Nurbaya, 2020) yang meliputi kesadarn diri
(self-awareness), manajemen perasaan (emotional management), motivasi diri (self-
motivation), perasaan iba hati (empathy), mengelola hubungan baik (managing relationship),
keterampilan komunikasi (communication skills) dan gaya pribadi (personal style).
Dalam era industri 4.0, kategorisasi pengetahuan tidak langsung dan jelas menurut Nonaka
dan Takeuchi (1995) dan Polanyi (1966) (Nurbaya, 2020) juga penting untuk diperhatikan.
Pengetahuan eksplisit adalah pengetahuan yang formal, sistemik, dan dapat dikomunikasikan
dengan kata-kata dan angka, sedangkan pengetahuan tacit adalah pengetahuan istimewa,
sangat pribadi, dan sulit untuk diformalkan dan dikomunikasikan.

Pada industri 4.0, gagasan Resource Based View (RBV) oleh Ketchen et al. (2009) (Nurbaya,
2020) masih sangat relevan untuk perusahaan. RBV menjelaskan bahwa suatu perusahaan
mendapatkan keunggulan bersaing melalui sumber daya strategis yang berharga, jarang, atau
unik, dan mahal untuk ditiru dan digantikan oleh pesaingnya. Resourve Based Value memiliki
tiga dimensi, yaitu (Nurbaya, 2020):

(1) Tangible resource, meliputi : financial, physical, technological dan organizational.


(2) Intangible resource, meliputi: human, inovation, reativity, dan reputation
(3) Organizational capabilities, meliputi: layanan pelanggan yang istimewa (outstanding
customer service), kemampuan pengembangan produk yang sangat bagus (excellent
product development capabilities), inovasi produk dan jasa (innovation of product
and services) and kemampuan menerima, memotivasi dan menjaga modal sdm
(ability to hire, motivate and retain human capital).

References
Nurbaya, S. (2020). Manajemen Sumber Daya Manusia di Era Revolusi Industri 4.0.
Makassar: CV. Nas Media Pustaka.

Rahmat, A., & Ginting, S. (2023). Perencenaan Sumber Daya Manusia Untuk Peningkatan
Kinerja dan Ketrampilan Manajerial. Yogyakarta: Zahir Publishing.

Anda mungkin juga menyukai