net/publication/347907794
CITATIONS READS
0 2,793
1 author:
Nopriadi Saputra
Binus University
155 PUBLICATIONS 357 CITATIONS
SEE PROFILE
All content following this page was uploaded by Nopriadi Saputra on 26 December 2020.
Nopriadi Saputra
ABSTRAK:
Perkembangan teknologi digital telah menghantarkan kita pada perubahan eksponensial pada
dalam segala hal, termasuk dalam hal pengelolaan orang-orang di dalam organisasi. Setidaknya
ada empat kategori orang dalam organisasi, yaitu: workforce, human resource, human capital
dan talent. Perkembangan teknologi digital membuat talent dan talent management menjadi isu
yang stratejik. Pengukuran potensi dalam proses identifikasi talent selama ini menggunakan
konstruk psiko-sosial. Seiring dengan perkembangan teknologi digital, sudah seharusnya pula
dalam pengukuran potensi tersebut juga mempertimbangkan aspek teknologikal, selain aspek
psiko-sosial. Artikel ini menawarkan usulan learning dexterity sebagai konstruk tekno-psiko-
sosial untuk mengukur potensi dan mengidentifikasi talent pada era digital dewasa ini.
Pendahuluan
Revolusi industri 4.0 yang menurut Mc Kinsey Global Institute sebagai suatu
cyber–physical systems telah memadukan komputasi, jaringan, dan proses-proses fisik.
Hal ini merupakan integrasi multi-lateral dari value creation system dan didorong oleh
operasi yang fleksibel dan real-time sehingga memungkinkan terselenggaranya
customized production. RI 4.0 telah menggenerasi perubahan bisnis dengan kecepatan
eksponensial daripada kecepatan linier. Revolusi tersebut juga tidak hanya mengubah
“apa” dan “bagaimana” kita melakukan sesuatu, tetapi juga telah mendefinisikan ulang
“siapa” kita sejatinya saat ini (Piccarozzi, Aquilani, & Gatti, 2018)
Telah di pubikasikan:
Saputra (2020), Manajemen Talenta di Era Digital: Digital Dexterity sebagai Sebuah Usulan, The Ary
Suta Center Series on Strategic Management, 49(April 2020), 165-187
Tinjauan literatur sistematis telah dilakukan terhadap tema Revolusi Industri 4.0.
dan diperoleh 68 tulisan ilmiah terkini dan terbaik yang terpublikasi pada pangkalan
data riset Scopus-Elsevier, Web of Science, J-stor, dan Google Scholar. Tulisan-tulisan
tersebut menyimpulkan bahwa RI 4.0 telah memicu perubahan di berbagai aspek
operasi dan bisnis perusahaan. Setidaknya ada 10 aspek yang terpengaruh , yaitu: 1)
metode produksi, 2) model bisnis, 3) strategi, 4) dampak dan konsekwensi, 5) sumber
daya manusia, 6) usaha kecil-menengah, 7) rantai persediaan, 8) sustainabilitas, 9)
sistem informasi, dan 10) inovasi sosial (Piccarozzi, Aquilani, & Gatti, 2018)
Sumber daya manusia sebagai salah satu tema yang terdampak oleh
perkembangan Revolusi Industri 4.0 merupakan sebuah soft system dari value creation
yang membutuhkan penangaan yang berbeda. Mengelola orang dalam organisasi
tradisional lebih berfokus pada perspektif “sekarang” dan “di sini’. Dengan
pendayagunaan teknologi, perusahan memungkinkan untuk mengelola orang-orang
tidak hanya pada perspektif “saat ini” tetapi juga “masa depan”. Sekaligus juga tidak
hanya pada perspektif “di sini”, namun juga “di sana”. Lingkungan bermain yang sama
sekali baru, tapi tidak dikuasai. Sebagai konsekwensinya, organisasi membutuhkan
pendekatan baru yang berbeda. Teknologi digital memmungkinkan organisasi untuk
beroperasi pada lintas ruang maupun waktu. Karena itu, merupakan hal yang imperatif
untuk meninjau ulang mengenai “siapa” dan “bagaimana” mengelola orang-orang
dalam organisasi di era digital saat ini.
Telah di pubikasikan:
Saputra (2020), Manajemen Talenta di Era Digital: Digital Dexterity sebagai Sebuah Usulan, The Ary
Suta Center Series on Strategic Management, 49(April 2020), 165-187
Perkembangan pemikiran manajeken tidak dapat dipisahkan dari sejarah
peradaban manusia. Dalam setiap masa atau jaman, manusia dihapakan dengan
tantangan-tantangan tertentu. Untuk menangani tantangan tersebut, manusia
mengembangkan metode atau prosedur tertentu untuk beradaptasi pemikiran
manajemen yang berkembang pada jaman tersebut (Witzel, 2012). Scientific
management merupakan titik mulai dari perkembangan pemikiran manajemen sebagai
sebuah ilmu. Pada era atau jaman sebelumnya, manajemen lebih berdasarkan pada
subjective thinking dan tidak dibangun lewat pengujian empirik atas pemikiran itu
(Wren, 1987). Kebutuhan akan pembuktian empirik berkembang ketika manusia
memasuki era peradaban industri. Penemuan mesin uap pada tahun 1784 yang
menyebabkan terjadinya revolusi industri pertama, penemuan listrik pada tahun 1870
yang menjadi pemicu revolusi industri kedua telah memungkinkan terealisasinya
sistem produksi massal (mass production). Sebuah sistem produk yang massif
menghasilkan barang untuk memenuhi kebutuhan manusia. Bersamaan dengan
berkembangnya mass production, Adam Smith juga mengajukan usulan pemikiran
mengenai efisiensi produksi yang dicapai melalui division of labour atau spesialisasi.
Kedua hal itulah – mass production dan division of labour – telah mendorong
berkembangnya kebutuhan industri untuk menemukan secara ilmiah metode yang tepat
untuk mengelola produksi (Schermerhorn, Management, 2013).
Perkembangan management as a body of knowledge mengalami empat
pendekatan yang berbeda secara kronologis, yaitu pendekata manajemen: (1) klasik, (2)
perilaku, (3) kuantitatif, and (4) modern (Schermerhorn, 2014). Pendekatan manajemen
klasik merupakan pendekatan paling awal dan menggunakan asusmi utama bahwa para
manajer adalah individu yang rasional. Karena itu dalam menerapkan praktek
manajemen, para manajer menggunakan perbandingan yang masuk-akal dan
melakukan pengujian empiris secara ilmiah. Ada teori utama yang berkembangan pada
pendekata manajemen klasik ini, yaitu: scientific management, prinsip administrasi,
dan organisasi birokraktik. Frederick W. Taylor dengan studi eksperimental terhadap
pekerja pabrik baja Bethlehem beserta pasangan Frank dan Lilian Gilbreth dengan time-
motion study terhadap buruh bangunan memberikan kontribusi yang fundamental bagi
scientific management. Sementara itu, Henry Gant dengan Gant Chart dan Henry
Telah di pubikasikan:
Saputra (2020), Manajemen Talenta di Era Digital: Digital Dexterity sebagai Sebuah Usulan, The Ary
Suta Center Series on Strategic Management, 49(April 2020), 165-187
Fayol dengan buku berjudul “Administration Industrialle et Generale” meletakkan
pondasi bagi penegmbangan prinsip administrasi. Sedangkan pemikiran Max Weber
mengenai “bureaucracy sebagai karakteristik organisasional yang ideal, rasional,
sangat efisien untuk mencapai tujuan” menjadi acuan dasar bagi teori bureaucracy
organization (Schermerhorn, 2014).
Perkembangan selanjutnya adalah behavioural management approach.
Pendekatan ini berkembang sejak 1920-an. Dasar asumsi yang digunakan adalah
"manajemen haruslah berpusat pada hubungan antar-manusia. Karena manusia adalah
makhluk sosial yang berada dalam organisasi. Sebagai makhluk sosial, manusia
memiliki kemampuan self-actualize yang melampaui kemampuan fisiknya (William,
2015). Pendekatan manajemen perilaku ini diinisiasi oleh riset yang dikembangkan
oleh Elton pada tahun 1924 di Western Electric Company. Eksperimen ini juga dikenal
dengan nama Hawthorne Study. Riset tersebut menyajikan bukti ilmiah yang empiris
bahwa atmosfir sosial di tempat kerja sangat berpengaruh signifikan terhadap work
outcomes. Selain faktor fisik, faktor emosional yang merupakan dampak dari hubungan
antar-pribadi di tempat kerja berpengaruh signifikan terhadap kinerja. Ada pun teori-
teori yang berkontribusi dalam membangun pendekatan manaejemen perilaku
motivation hierarchy theory dari Maslow, Teori X-Y dari Mc Gregor, dan personality-
organization theory dari Argyris (Schermerhorn, 2013).
Selanjutnya, pendekatan manajemen berkembang menuju quantitative
management. Pendekatan ini menggunakan teknik matematis untuk merumuskan
fenomena manajemen ke dalam suatu model matematis. Berdasarkan model tersebut,
manajer menganalisis masalah dan mencari solusinya. Pendekatan ini juga dikenal
dengan istilah management science atau operation research. Beberapa konsep atau
teori yang membangun pendekatan ini metode peramalan, model persediaan, programa
linier, sistem antrian, network planning, dan simulasi matemati lainnya yang
mengunakan aplikasi komputer (Schermerhorn, 2014).
Perkembangan jaman selanjutnya membawa manajemen menuju modern
management approach. Pendekatan ini menggunakan asusmsi bahwa organisasi
merupakan sistem yang terbuka dalam lingkungan yang kontigensi. Organisasi sebagai
sistem tersusun atas beberapa sub-system yang saling berinteraksi untuk mencapai
Telah di pubikasikan:
Saputra (2020), Manajemen Talenta di Era Digital: Digital Dexterity sebagai Sebuah Usulan, The Ary
Suta Center Series on Strategic Management, 49(April 2020), 165-187
tujuan atau menghasilkan outcome tertentu. Dalam upaya mencapai tujuan tersebut,
organisasi dipengaruhi dan mempengaruhi lingkungannya. Beberapa teori atau konsep
yang membangun pendekatan ini adalah systemic thinking, kepemimpinan situasional,
game theory, quality excellence, learning organization, global awareness, dan
sustainability (Schermerhorn, 2014).
Telah di pubikasikan:
Saputra (2020), Manajemen Talenta di Era Digital: Digital Dexterity sebagai Sebuah Usulan, The Ary
Suta Center Series on Strategic Management, 49(April 2020), 165-187
Pendekatan manajemen kuantitatif menggunakan asumsi bahwa orang-orang di
dalam organisasi itu bukan hanya sebagai sumber daya yang membutuhkan perlakuan
tertentu terlebih dahulu barulah menghasilkan daya atau kinerja yang diinginkan.
Orang-orang dalam organisasi itu haruslah menjadi modal atau kapital. Keberadaaan
orang-orang dalam organisasi dituntut untuk dapat menghasilkan pendapatan atau
aliran uang masuk yang lebih besar daripada konsekwensi biaya yang ditimbulkannya.
Karena itu orang di dalam organisasi mendapat istilah sebagai human capital atau
modal manusia.
Telah di pubikasikan:
Saputra (2020), Manajemen Talenta di Era Digital: Digital Dexterity sebagai Sebuah Usulan, The Ary
Suta Center Series on Strategic Management, 49(April 2020), 165-187
kemampuan dan keahliaan lainnya selain energi fisik dalam menyelesaikan pekerjaan.
Human resource memiliki technical skills dan soft skills tertentu yang terkait dengan
pekerjaan dan lingkugnan kerja. Human resource dan work force tidak pernah peduli
terhadap aspek finansial dari pekerjaannya yang terkait dengan bisnis perusahaan.
Mereka lebih konsen hanya kepada gaji dan manfaat yang mereka peoleh dari
organisasi. Namun tidak demikian terjadi dengan human capital dan talent. Mereka
menyadari bahwa keberadaan mereka dalam organisasi menimbulkan konsekwensi
biaya. Human capital dan talent merasa bertanggung jawab untuk menghasilkan
produk atau pendapatan yang jauh melampaui dari biaya yang ditimbulkan. Human
capital dan talent merasa terdorong untuk berkontribusi terhadap kesinambungan bisnis
perusahaan. Talent juga memiliki dorongan yang kuat untuk menghasilkan kinerja yang
luar biasa secara persisten. Tidak hanya pada level perusahaan, industri, regional atau
global. Ambisi dari talent untuk melampaui pencapaian pihak lain merupakan sumber
dari keunggulan kompetitif organisasional.
Berdasarkan proaktivitas untuk menampilkan kinerja, maka work force dan
human resources lebih cenderung pasif-reaktif. Mereka cenderung menunggu atau
membutuhkan perlakukan tertentu dari organisasi agar dapat memberikan kinerja
terbaik. Kinerja terbaik merupakan konsekwensi dari perlakukan organisasi. Sedangkan
human capital dan talent cenderung aktif-proaktif. Mereka menunjukkan inisiatif untuk
berkinerja unggul tanpa menuntut adanya kondisi atau perlakuan tertentu dari
organisasi untuk berkinerja. Kinerja merupakan penyebab perlakuan istimewa yang
mereka terima dari organisasi.
Berdasarkan room-for-growth atau ruang untuk bertumbuh, work force lebih
terbatas pada kemampuan fisik semata, sedangkan human resource memiliki ruang
bertumbuh yang tak terbatas pada keterampilan fisik semata. Mereka dapat
mengembangkan beragam dimensi dari kapababiltas individual. Sedangkan, ruang
bertumbuh dari human capital lebih terbatas pada cakupan organisasi perusahaan
semata. Talent memiliki ruang bertumbuh yang lebih luar dari organisasinya, bahkan
mereka “memburu” pencapaian melampui standar industri, regional, bahkan global.
Dengan demikian, ruang bertumbuh dari talent pun tidak hanya sebatas organisasi
perusahaan semata
Telah di pubikasikan:
Saputra (2020), Manajemen Talenta di Era Digital: Digital Dexterity sebagai Sebuah Usulan, The Ary
Suta Center Series on Strategic Management, 49(April 2020), 165-187
Perkembangan teknologi digital menimbulkan dua dampak yang bertolak
belakang secara simultan bagi orang-orang dalam organisasi. Pada satu sisi, teknologi
digital berpeluang besar untuk mengancam bahkan menggantikan orang-orang dalam
menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang bersifat repetitif, sederhana, dan
mengandalkan tenaga fisik serta keterampilan kerja sederhana. Pada sisi lainnya,
perkembangan teknologi digital membuat orang-orang lebih mudah untuk menjadi
unggul dalam pekerjaannya. Perkembangan teknologi digital mengancam keberadaan
work force dan human resource. Namun di lain pihak, teknologi digital memberikan
dukungan besar bagi human capital dan talent untuk menghasilkan kinerja secara
efisien dan kompetitif. Keberadaan human capital dan talent di era digital menjadi
semakin stratejik bagi pertumbuhan dan kelanggengan hidup organisasi.
Bagi organisasi-organisasi yang berhasil, people management merupakan
aktivitas bisni inti yang tidak hanya memenuhi kebutuhan operasional jangka pendek
namun juga menjamin keberhasilan binsis jangka panjang. Mendapatkan dan
mempertahankan talent merupakan bagian yang paling penting. Pengelolaan talenta
yang efektif akan mendorong terciptanya lingkungan kerja yang mendayagunakan
potensi, mendorong kontribusi, dan mengikat talent secara optimal. Orang-orang dalam
organisasi merupakan sumber kunci dari keunggulan kompetitif. Bahkan dalam
beberapa situasi, orang-orang dalam organisasi merupakan satu-satunya sumber
keunggulan (Turner & Kalman, 2014)
Telah di pubikasikan:
Saputra (2020), Manajemen Talenta di Era Digital: Digital Dexterity sebagai Sebuah Usulan, The Ary
Suta Center Series on Strategic Management, 49(April 2020), 165-187
Tinjauan Historis terhadap Talent Dan Talent Management
Istilah talent berasal dari bahasaYunani kuno yaitu talanton dan dari bahasa
Latin yaitu talenta yang digunakan untuk menjelaskan unit atau satuan berat atau
satuan nilai uang (Turner & Kalman, 2014). Sebelum abab ke-14, talent memiliki
sebuah makna denonatif yaitu satuan dari berat atau mata uang seperti one talent of
silver. Definisi baru mengenai talent berkembang ada abad ke-17 dan ke-18. Talent
memiliki makna yang abstrak sebagai suatu kemampuan alami yang tak terbatas atau
kemampuan berbagai kekuatan mental (Adamsen, Demystifying talent management: A
critical approach to the realities of talent, 2016). Sejak abab ke-19 sampai dengan
sekarang, talent diartikan sebagai sebagai sesuatu yang terkandung dalam diri yang
orang yang berbakat atau yang memilki kemampuan spesial (Painter-Morland, Susan,
Deslandes, & Tansley, 2019). Talent secara tradisional adalah sesuatu yang terkait
dengan kemampuan istimewa dalam hal seni, musik, atau pun olahraga. Namun sejak
abad ke-20 para ilmuwan menggunakan kata talent untuk menjelaskan kejeniusan atau
giftedness pada bidang di luar musik, seni dan olahraga. Penggunaan kata talent dalam
konteks bisnis berkembang sejak tahun 1960-an. Hal ini seiring dengan pembahasan
mengenai pencapaian organisasional (Turner & Kalman, 2014).
Berdasarkan suatu systematic literature review, definisi dari talent dapat
dikonseptualisasikan dalam empat kategori: (1) talent adalah kemampunan individual
yang khas dari seseorang yang menyebabkan mereka melampaui orang banyak; (2)
talent mengacu pada entitas manusia yang menghasilkan output yang jauh lebih banyak
daripada orang lainnya di tempat kerja dalam kondisi bisnis tertentu; (3) talent mengacu
pada kapabilitas istimwwa dari orang-orang tertentu dalam organisasi yang sengaja
diarahkan untuk menghasilkan manfaat yang lebih besar bagi organisasi, dan (4) talent
adalah kombinasi kompetensi pegawai istimewa yang mendorong mereka untuk
mampu menyelesaikan tugas-tugas tertentu dengan memanfaatkan kapabilitas tersebut
(Kravariti & Johnston, 2019).
Bagaimana talent dijelaskan dalam suatu organisasi sangat terkait erat dengan
banyak kondisi seperti nature of work, industri, lokasi, dan generation. Daripada
menggunakan defnisi yang bersifat umum, organisasi akan memperoleh nilai lebih bila
Telah di pubikasikan:
Saputra (2020), Manajemen Talenta di Era Digital: Digital Dexterity sebagai Sebuah Usulan, The Ary
Suta Center Series on Strategic Management, 49(April 2020), 165-187
menggunakan definisinya sendiri yang disesuaikan dengan kondisi organisasi (Serrat,
2010). Definisi dari talent dapat ditempatkan dalam suatu garis dengan dua kutub yang
berseberangan, yaitu: ekslusivitas dan inklusivitas. Talent adalah istilah untuk
sekelompok orang tertentu saja secara ekslusif ataukah talent adalah istilah untuk
semua orang secara inklusif di dalam organisasi. Definisi talent merupakan konsep
yang bersifat hirarkis ataukah non-hirarkis. Talent dibutuhkan untuk menyediakan
orang-orang untuk posisi hirakis tertentu dalam suatu organisasi ataukah untuk proyek-
proyek yang memiliki cultural contexts yang berbeda (Turner & Kalman, 2014).
Berdasarkan dynamic context of organization, istilah talent telah didefinisikan
dengan baik dalam the framework of talent conceptualization (Collings, Scullion, &
Caligiuri, 2019). Pendefinisian talent merupakan hal yang kritikal, karena definisi
tersebut menentukan arah dalam praktek talent management di dalam suatu
organisasi. Secara garis besar, the framework of talent conceptualization memberikan
dua pendekatan, yaitu: subject approach dan object approach.
Object approach memberikan jawaban atas pertanyaan “what is talent?”
(Collings, Scullion, & Caligiuri, 2019). Dalam object approach, Talent didefinisikan
dalam empat kategori:
(1) Talent as natural ability. Hal ini berarti bahwa talent adalah sesuatu yang diperoleh
secara alami dari lahir. Bukanlah sesuatu yang dikembangkan. Dengan demikian,
organisasi mustahil untuk mengembangkan talent, Organisasi hanya berupaya
untuk mengenali, mencari, dan mendapatkan talent untuk diretensi di dalam
organisasi selala kurun waktu tertentu.
(2) Talent as a mastery. Hal ini menjelaskan bahwa talent merupakan sesuatu yang
dapat diasah dan dikembangkan. Pada awalnya bisa saja seseorang bukanlah talent,
namun karena perlakukan yang efektif dari organisasi kemudian berkembang
menjadi talent.
(3) Talent as an attitude. Hal ini menjelaskan bahwa apa pun kondisi atau keadaan
seseorang dalam organisasi selama mereka memiliki sikap mental yang tepat, yaitu
motivasi yang besar dan komitmen yang kuat untuk berkembang, maka mereka
dapat menjadi talent. Talent tidak semata-mata karena upaya atau inisiatif
Telah di pubikasikan:
Saputra (2020), Manajemen Talenta di Era Digital: Digital Dexterity sebagai Sebuah Usulan, The Ary
Suta Center Series on Strategic Management, 49(April 2020), 165-187
pengembangan dari organisasi. Setiap individu memiliki kesempatan untuk
mengembangkan diri sendiri menjadi talent.
(4) Talent as a fit. Hal ini menjelaskan bahwa talent itu merupakan sesuatu yang
bersifat relative dan kontekstual. Sangat tergantung pada tantangan yang dihadapi
oleh organisasi. Dalam kondisi pasar yang prospektif, maka kemampuan untuk
dapat menemukan peluang bisnis, mengembangkan pemasaran, dan mencetak
penjualan meruapakan talent yang dibutuhkan oleh organisasi. Namun dapat
kondisi ekonomi yang krisis, kemampuan untuk efisien dan beroperasi dalam biaya
yang rendah merupakan talent yang dibutuhkan organisasi.
Sementara itu dalam sisi lainnya, talent juga dapat didefinisikan dalam subject
approach. Pendekatan ini secara umum menjawah pertanyaan “who is talent?” (Collings
et al., 2019). Dengan demikian talent dapat didefinisikan secara ekslusif untuk orang-
orang tertentu ataukah secara inklusif untuk semua orang dalam organisasi:
(1) Talent is all people. Semua orang dalam organisasi secara inklusif merupakan
talent bagi organisasi. Mereka adalah talent dengan kondisi yang ada pada mereka
sendiri. Mereka memiliki bakat atau kemampuan yang khas dan bila organisasi
dalam mengenai dan mendayagunakannya dengan efektif, maka akan menjadi
sumber keunggulan bersaing bagi organisasi.
(2) Talent is some people. Pendekatan ini mendefinisikan talent secara ekslusif, hanya
untuk beberapa orang saja dalam organisasi. Organiasi memetakan seluruh orang
dalam organisasi kemudian mengelompokkannya berdasarkan kinerja dan potensi.
Orang-orang yang memiliki kinerja yang tinggi (high performance) dan memiliki
potensi yang besar (high potential) sajakah yang ditetapkan sebagai talent.
Organisasi akan berfokus pada orang-orang tersebut untuk membangun
keunggulan kompetitifnya.
Sejak konsultan McKinsey menggunakan “War for Talent” pada laporan mereka
untuk tahun 1997, pembahasan mengenai talent management mendapatkan minat dan
perhatian yang luas baik dari kalangan praktisi maupun akademisi manajemen
(Collings & Mellahi, 2009). Laporan tersebut menegaskan akan pentingnya organisasi
untuk mengidentifikasi dan “menjaga” orang-orang terbaik mereka. Hal ini sejalan
Telah di pubikasikan:
Saputra (2020), Manajemen Talenta di Era Digital: Digital Dexterity sebagai Sebuah Usulan, The Ary
Suta Center Series on Strategic Management, 49(April 2020), 165-187
dengan meningkatnya kelangkaan akan top global talent dan semakin tingginya tingkat
persaingan terutama di sektor korporasi (Adamsen & Swailes, 2019).
Selama hamper 25 tahun, konseptualisasi talent management telah berkembang
dengan progresif. Hal ini sejalan dengan tantangan bisnis yang dihadapi oleh organisasi
bisnis. Setidaknya sudah ada empat seri konsep talent management yang berkembang.
Diawali dengan Talent 1.0, kemudian Talent 2.0, selanjutnya Talent 3.0 dan saat ini
berkembang Talent 4.0 (Turner & Kalman, 2014).
Pada awalnya konseptualisasi dari talent management lebih difokuskan untuk
perencanaan sukses organisasi. Talent management menyajikan panduan bagi
organisasi untuk bagaimana mengidentifikasi, mengembangkan, dan mengikat para
kandidat untuk mengisi posisi puncak manajemen (Talent 1.0). Karena kelangkaan dari
pasukan talenta dan keuslitan untuk mengembangkan talenta dari dalam organisasi,
maka konseptualisasi dari talent management pun lebih berorientasi kepada upaya
untuk menarik dan meretensi high flying candidates (Talent 2.0). Perkembangan
selanjutnya menjelaskan bahwa untuk mencapai pertumbuhan yang berkelanjutan,
maka mau tidak mau organisasi lebih efektif untuk mengembangkan sendiri (making
the leaders) daripada merekrut pemimpin dari luar organisasi (buying the leaders).
Karena itu talent management pun berkembang pada bagaimana menarik dan
mengembangkan fresh-graduates yang memiliki high potential untuk
ditumbuhkembangkan bersama organisasi (Talent 3.0). Perkembangan terakhir ini,
organisasi dihadapkan dengan kondisi multi-generasi dan strategi internasionalisasi
bisnis, maka Talent 4.0 pun lebih berorientasi pada bagaimana menangani isu multi
generasi dan multi-kultur (Turner & Kalman, 2014).
Telah di pubikasikan:
Saputra (2020), Manajemen Talenta di Era Digital: Digital Dexterity sebagai Sebuah Usulan, The Ary
Suta Center Series on Strategic Management, 49(April 2020), 165-187
yang berpengaruh di antaranya adalah terbukanya kesempatan untuk kemajuan karir,
pengembangan pegawai, pemantauan retensi pegawai, keberadaan sistem informasi,
adanya praktek motivasional intrinsik dan ekstrinsik, dan sistem seleksi yang
menargetkan individu berbakat. Selain itu, faktor internal lain yang juga berpengaruh
adalah organizational soft elements, seperti: corporate branding, strategi korporasi,
employee engagement, budaya dan struktur organisasional, atmosfir sosial, dan
dukungan penuh dari pimpinan puncak (Kravariti & Johnston, 2019).
Kapabilitas organisasional dalam mengelola talenta bertumpu pada tiga proses
utama, yaitu: identifikasi, utilisasi dan retensi terhadap talent pool (Adamsen &
Swailes, 2019). Dalam mengidentifikasi talenta, para praktisi maupun akademisi
manajemen umumnya menggunakan dua dimensi, yaitu performance dan potential
(Collings, Scullion, & Caligiuri, 2019). Sedangkan untuk mengindentifikasi potential,
para praktisi dan akademisi manajemen umumnya menggunakan learning agility
(Dries, 2013). Learning agility merefleksikan kemampuan individu untuk
mendayagunakan pengalaman mereka sebagai sarana pembelajaran efektif untuk
beradaptasi terhadap perubahan-perubahan (Cappellii & Keller, 2014). Learning agility
dipercaya cukup valid untuk memprediksi kinerja saat in, potens masa depan dan juga
kemampuan untuk beradaptasi terhadap lingkungan yang dinamis dan penuh
perubahan. Learning agility bertumpu pada kemampuan untuk mendapatkan
pembelajaran yang relevan atas pengalaman yang ada untuk dimanfaatkan dalam
menghadapi kondisi yang baru dan lebih sulit (Gravett & Caldwell, 2016).
Beberapa konstruk yang memiliki kemiripan konseptual dengan learning agility
adalah integrative complexity, motivation to learn, cognitive flexibility, learning
effectiveness, street smart, atau adaptive performance. Semua konstruk ini merupakan
konstruk yang bersifat psiko-sosial. Konstruk tersebut hanya mempertimbangkan
kemampuan individu untuk mengelola kondisi psikologis pribadi dan mempengaruhi
lingkungan social ketika berhadapan dengan perubahan-perubahan. Karena perubahan-
perubahan yang terjadai akibat dari perkembangan teknologi digital, maka penting pula
untuk mempertimbangkan kemampuan individual dalam menguasai teknologi digital.
Karena itulah tulisan ini mengusulkan untuk memodifikasi learning agility untuk
mengukur potensi menjadi sebuah konstruk yang lebih bersifat techno-psycho-social.
Telah di pubikasikan:
Saputra (2020), Manajemen Talenta di Era Digital: Digital Dexterity sebagai Sebuah Usulan, The Ary
Suta Center Series on Strategic Management, 49(April 2020), 165-187
Dengan memadupadakan konsep digital mastery dan learning agility, sehingga
konstruk baru yaitu learning dexterity.
Istilah digital mastery berasal dari istilah the digital master. Dalam buku yang
berjudul “Leading digital: Turning technology into business transformation”
(Westerman, Bonnet, & McAfee, 2014), level kematangan digital digital suatu
perusahaan dapat dikategorikan dalam satu dari empat kagegori, yaitu: digirati,
fashionistas, conservatives and beginner. Kemudian istilah digirati diganti dengan
istilah digital master. Istilah ini digunakan untuk menamai perusahaan yang sukses
melakukan transformasi digital karena berinvestasi dalam pengembangan leadership
capability dan juga digital capability (Westerman, Bonnet, & McAfee, 2014). Istilah
digital master ini mengacu pada kemampuan organisasional. Namun istilah digital
mastery lebih sejalan dengan konsep personal mastery dari buku Fifth Discipline
(Senge, 1992) yang digunakan untuk mengindikasikan kemampuan individual.
Konstruk digital mastery memilik kemiripan konseptual dengan: digital skills,
digital competence, ICT / digital literacy, internet skills, digital intelligence atau digital
quotient Berdasarkan systematic literature review terhadap 75 artikel yang terkait
pertanyaan “keterampilan individual apa saja yang dibutuhkan untuk unnggul pada
abab ke-21?”, digital skills (Laar, Deursen, Dijk, & Haan, 2017) direfleksikan dalam
12 keterampilan yang dikelompokkan dalam empat grup keterampilan, yaitu: (1)
digital technical, (2) digital self-development, (3) social digital, and (4) digital
solution. Dengan mengacu pada telaah literatur tersebut, digital mastery pada tulisan
ini didefiniskan sebagai suatu kesadaranm siskap mentalm dan kemampuan individual
untuk memanfaatkan teknologi digital untuk keperluan koordinasim pengembangan
diri, operasi bisnis, dan mendukung perusahaan untuk menjadi lebih efektif-efisien.
Karena itu, digital mastery direfleksikan dalam tiga dimensi utama, yaitu: (1) digital
communication skills; (2) content creation skill, dan (3) digital strategic skills.
Jadi, learning dexterity merupakan konstruk techno-psycho-social yang
diusulkan dan merupakan perpaduan antara learning agility dan digital mastery. Istilah
dexterity mengacu pada istilah ambidexterity, yaitu kemampuan individu untuk
mendayagunakan tangan kiri dan tangan kanan dengan sama baiknya. Dalam konteks
manajemen, ambidexterity adalah kemampuan adaptif sebuah organisasi untuk
Telah di pubikasikan:
Saputra (2020), Manajemen Talenta di Era Digital: Digital Dexterity sebagai Sebuah Usulan, The Ary
Suta Center Series on Strategic Management, 49(April 2020), 165-187
mendayagunakan dua fungsi yang bertolak belakang secara simultan, yaitu ekspoitasi
dan eksplorasi (He & Wong, 2004). Fungsi ekspoitasi terkait dengan perbaikan
berkelanjutan, efisiensi, seleksi, dan implementasi. Sedangkan fungsi eksplorasi
berkaitan dengan riset, variasi, eksperimentasi, dan penemuan-penemuan baru (Luger,
Raisch, & Schimmer, 2018).
Selaras dengan ambidexterity, learning dexterity juga merupakan kemampuan
individual untuk mendayagunakan dua hal yang kontradiksi secara simultan, yaitu
kemampuan psiko-sosial dan kemampuan teknologikal. Kemampuan psiko-sosial
adalah kemampuan untuk mengelola diri dan hubungan interpersonal dengan pihak
lain. Sedangkan kemampuan teknologikal adalah kemampuan untuk mendayagunakan
teknologi digital untuk menghasilkan kinerja unggul, Learning dexterity juga sejalan
dengan socio-technical theory (Appelbaum, 1997) yang menjelaskan bahwa interaksi
antara aspek sosial dan aspek teknologikal dari perilaku individual terutama sekali
dalam konteks bagaimana individu mempersepsi dan melakukan pekerjaannya,
menjalankan perannya dalam organisasi, dan bagaimana mereka saling berinteraksi.
Kinerja optimal akan dicapai bila keterkaitan antara aspek sosial dan aspek teknologis
dipertimbangkan secara bersama-sama di lingkup pekerjaan.
Telah di pubikasikan:
Saputra (2020), Manajemen Talenta di Era Digital: Digital Dexterity sebagai Sebuah Usulan, The Ary
Suta Center Series on Strategic Management, 49(April 2020), 165-187
Gambar-2 Konstruk Orde Ketiga dari Learning Dexterity
Dengan mengacu pada definisi mengenai learning agility, digital mastery, dan
learning dexterity; maka dalam proses identifikasi talenta di era digital ini dapat
mengelompok talent dalam delapan level kapabilitas. Level terendah adalah orang-
orang yang teridenfikasi memiliki digital mastery yang rendah, learning agility yang
rendah, and performance yang rendah pulu dan merupakan level ke-1. Sementara itu,
level yang tertinggi adalah orang-orang yang memiliki digital mastery yang tinggi,
learning agility yang tinggi dan juga performance yang tinggi pula dan merupakan level
ke-8. Bila talent management menggunakan pendekatan ekslusif, maka yang
Telah di pubikasikan:
Saputra (2020), Manajemen Talenta di Era Digital: Digital Dexterity sebagai Sebuah Usulan, The Ary
Suta Center Series on Strategic Management, 49(April 2020), 165-187
diidentifikasi sebagai talent di era digital adalah orang-orang yang berada pada level 8
saja. Sedangkan bila talent management yang digunakan pendekatan inklusif, maka
talent di era digital adalah semua orang dalam organiasi dan mereka membutuhkan
pengembangan yang berbeda untuk mencapai level yang tertinggi.
KESIMPULAN
Telah di pubikasikan:
Saputra (2020), Manajemen Talenta di Era Digital: Digital Dexterity sebagai Sebuah Usulan, The Ary
Suta Center Series on Strategic Management, 49(April 2020), 165-187
yang tidak hanya memiliki keterampilan psiko-sosial namun juga kemampuan
teknologikal. Learning dexterity merupakan kombinasi antara learning agility dan
digital mastery. Usulan ini sejalan dengan socio technical theory dan juga
organisational ambidexterity. Melalui konsep learning dexterity ini pula, kita dapat
mengelompokkan talenta dalam delapan level dengan mempertimbangkan potensi
(baik adari aspek teknologikal, digital mastery- maupun dari aspek psiko-sosial,
learning agility) dan juga performansi.
Referensi:
Telah di pubikasikan:
Saputra (2020), Manajemen Talenta di Era Digital: Digital Dexterity sebagai Sebuah Usulan, The Ary
Suta Center Series on Strategic Management, 49(April 2020), 165-187
Kravariti, F., & Johnston, K. (2019). Talent management: A critical literature review and
research agenda for public sector human resource management. Public Management
Review, 1-21. doi:10.1080/14719037.2019.1638439
Laar, E. v., Deursen, A. J., Dijk, J. A., & Haan, J. d. (2017). 21st-Century digital skills for
work: A systematic literature review. Retrieved 3 16, 2020, from
https://research.utwente.nl/en/publications/21st-century-digital-skills-for-work-a-
systematic-literature-revi
Luger, J., Raisch, S., & Schimmer, M. (2018). Dynamic balancing of exploration and
exploitation: The contingent benefits of ambidexterity. Organization Science, 29(3),
449-470. Retrieved 3 16, 2020, from
https://pubsonline.informs.org/doi/10.1287/orsc.2017.1189
Painter-Morland, M., Susan, K., Deslandes, G., & Tansley, C. (2019). Talent management:
The good, the bad, and the possible. European Management Review, 16(1), 135-146.
Piccarozzi, M., Aquilani, B., & Gatti, C. (2018). Industry 4.0 in management studies: A
systematic literature review. Sustainability, 10(10), 3821. Retrieved 3 15, 2020, from
https://ideas.repec.org/a/gam/jsusta/v10y2018i10p3821-d177379.html
Schermerhorn, J. R. (2013). Management. John WIlley & Son, Inc.
Schermerhorn, J. R. (2014). Exploring management - Engage and inspire. John Willey &
Son, Inc.
Senge, P. M. (1992). The fifth discipline: The art & practice of the learning organization.
Retrieved 3 16, 2020, from
http://publishingindia.com/getbrochure.aspx?query=uergqnjvy2h1cmvzfc8ymje0lnbk
znwvmjixnc5wzgy=
Serrat, O. (2010). A primer on talent management. Asian Development Bank. Metro Manila:
Asian Development Bank. Retrieved from
https://www.adb.org/sites/default/files/publication/27626/primer-talent-
management.pdf
Turner, P., & Kalman, D. (2014). Make your people before you make your product. John
Willey & Son, Ltd.
Westerman, G., Bonnet, D., & McAfee, A. (2014). Leading digital - Turning technology into
business transformation. HBR Press.
William, C. (2015). Pinciples of management. Cengage Learning.
Witzel, M. (2012). A history of management thought. London & New York: Routledge.
Wren, D. A. (1987). Management history - Issues and ideas for teaching & research. Journal
of Management, 13(2), 339-350. doi:10.1177/014920638701300209
Telah di pubikasikan:
Saputra (2020), Manajemen Talenta di Era Digital: Digital Dexterity sebagai Sebuah Usulan, The Ary
Suta Center Series on Strategic Management, 49(April 2020), 165-187