Anda di halaman 1dari 10

INKULTURASI BUDAYA JAWA DALAM INTERIOR GEREJA

KATOLIK REDEMPTOR MUNDI DI SURABAYA

Sriti Mayang Sari


Jessyca Setyaprana
Jurusan Desain Interior, Fakultas Seni dan Desain
Universitas Kristen Petra - Surabaya
e-mail: sriti@petra.ac.id

ABSTRAK
Gereja Redemptor Mundi merupakan gereja Katolik bergaya Jawa yang berlokasi di jalan Dukuh Kupang
Barat I no. 7 Surabaya. Inkulturasi dalam aturan gereja Katolik harus ada dan tidak dapat dipisahkan satu
sama lain. Setiap daerah memiliki bermacam-macam kebudayaan yang berbeda-beda, untuk itu dasar-dasar
liturgi tersebut harus dapat bersatu dan sejalan dengan kebudayaan yang ada, artinya kebudayaan yang ada
harus dapat menerima dasar-dasar tersebut dan memberi peluang adanya hubungan timbal balik antara budaya
gereja dengan budaya setempat, dalam penelitian ini budaya Jawa, dimana dasar-dasar tersebut akan tumbuh
dan berkembang. Hal inilah yang mendasari penataan tiap gereja Katolik. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui sejauh mana inkulturasi budaya Jawa pada unsur-unsur fisik interior gereja Katolik Redemptor
Mundi.
Dari penelitian ini diketahui bahwa tidak keseluruhan unsur fisik pada gereja Redemptor Mundi
mengalami inkulturasi, elemen yang tidak memiliki kesamaaan makna tersebut digunakan sebagai elemen
dekorasi saja untuk menunjukkan keberadaan budaya Jawa dalam interior gereja tersebut.

Kata kunci: Interior Gereja Katolik, Liturgi, Inkulturasi Budaya, Budaya Jawa

ABSTRACT
Church of Redemptor Mundi is a catholic church which has a Javanese style of design in Dukuh Kupang
Barat I no 7 Surabaya. In the church encyclopedia it was said that catholic church was not separated from
inculturation, a process in which a religion adapts to the local culture. This fact becomes the base of the every
arrangement decided in the church, while also considering the church liturgy. The aim of this research is to
identify the phyisical elements of the church of Redemptor Mundi that has undergone inculturation with the
Javanese culture, and to identify the elements that contain the same meaning with the liturgy and thus they
equally support themselves as symbols in the Catholic church.
Though this research, it was found that not all of the physical elements in Redemptor Mundi church, have
undergone inculturation. The elements that do not have similar meaning are only used decoration to show the
existence of Javanese culture in the church.

Keywords: Interior of Catholic Church, Liturgy, Cultural Inculturation, Javanese Culture

PENDAHULUAN pada Kamus Gereja Katolik: ”Inkulturasi dan


sifat Katolik gereja tak terpisahkan satu sama
Arti inkulturasi menurut De Liturgia lain” (Heuken, 1992:104). Inkulturasi berbeda
Romana Et Inkulturations (1995) adalah usaha dengan akulturasi, akulturasi merupakan suatu
suatu agama menyesuaikan diri dengan budaya situasi dimana sebuah kebudayaan termodifikasi
setempat. Transformasi mendalam dari nilai- dengan meminjam adat istiadat dari satu atau
nilai budaya asli yang diintegrasikan ke dalam lebih kebudayaan lain (Taylor, 1973:505).
Kristiani. Sedangkan menurut aturan gereja Gereja Redemptor Mundi Surabaya yang
Katolik inkulturasi harus ada dan tidak dapat terletak di jalan Dukuh Kupang Barat I/7,
dipisahkan satu sama lain seperti yang tertulis Surabaya dibangun pada tanggal 24 November

80
Sari, Inkulturasi Budaya Jawa dalam Interior Gereja Katolik Redemptor Mundi di Surabaya 81

1996 dan dikhususkan sebagai wadah ibadah garan tetapi tidak meninggalkan pegangan ter-
bagi umat Katolik disekitarnya yang mayoritas sebut mengalami modifikasi (‘Pengantar Litur-
Jawa. Menurut asisten Setiawan selaku arsitek, gi’. Romo E. Martasudjita, Pr.).
bangunan gereja Redemptor Mundi mengikuti Dilatarbelakangi oleh pertemuan kedua
aturan budaya Jawa. Dengan demikian inkul- budaya inilah menyebabkan adanya proses yang
turasi disini diartikan bahwa gereja ini menye- dapat berupa penerimaan, penolakan ataupun
suaikan diri terhadap budaya setempat. Sehingga penyesuaian, hal itulah yang menjadikan penulis
diharapkan agar terjadi hubungan timbal balik tertarik untuk melakukan penelitian keilmuan
yang positif antara gereja dengan masyarakat di desain interior mengenai inkulturasi gereja
sekeliling wilayah gereja. Redemptor Mundi ini terhadap budaya setempat.
Adapun hal-hal yang menggambarkan duga- Karena setiap kebudayaan memiliki simbol-
an awal yang menandai kekhasan gereja ini pada simbol tersendiri, aturan, dan makna tersendiri,
budaya Jawa, yaitu pada bentuk gunungan yang maka kondisi di atas selayaknya wujud benda-
terletak pada altar. Peletakan ornamen ini diper- benda budaya Jawa yang diambil sebagai inkul-
caya sebagai lambang keagungan dan keesaan, turasi seharusnya memiliki nilai yang sama
dalam hal ini digambarkan sebagai keagungan dengan liturgi. Jadi arah penelitian ini adalah
Tuhan. Bentuk gunungan ini biasanya diletakkan adakah perwujudan budaya Jawa yang diterap-
di dalam rumah-rumah sebagai pengharapan kan masih memiliki (kesesuaian) makna seperti
akan ketentraman dan lindungan Tuhan dalam yang dimaksud pada liturgi.
rumah mereka (Dakung, 1982:157). Begitu pula Tujuan penelitian ini adalah untuk menge-
penggunaan ornamen-ornamen kayu yang meru- tahui sejauh mana inkulturasi budaya Jawa pada
pakan ciri khas budaya Jawa, dalam kemampuan unsur-unsur fisik interior gereja Katolik Re-
mengukir kayu yang diturunkan secara turun demptor Mundi. Penelitian dikhususkan pada
temurun tidak hanya sebuah bentuk keindahan penataan interior ruang ibadah yang merupakan
namun setiap ukiran memiliki makna tersendiri. pusat misa (liturgi) dilaksanakan, dan seharusnya
Selain itu, atap yang menyerupai joglo tanpa memiliki inkulturasi seperti bangunan ibadah di
tiang sasaka juga menjadi ciri khas rumah Jawa, Jawa yang terdiri dari ruang utama dan serambi
yang memiliki arti yang sangat dalam. Adanya (Yunus, 1984:43) sehingga menarik menjadi
misa Bahasa Jawa, dimaksudkan agar masyara- obyek inkulturasi.
kat lebih mendalami isi dan makna dari periba-
datan. Sedangkan bahan yang digunakan dalam METODE PENELITIAN
interior sebagai elemen pembatas ruangan mau-
pun dekorasi pada gereja ini menurut arsiteknya, Jenis penelitian yang digunakan adalah
digunakan material campuran yang diambil dari penelitian kualitatif dengan metode penelitian
daerah-daerah di wilayah Indonesia. Hal ini dise- deskriptif. Penelitian deskriptif juga diartikan
babkan keterbatasan dana, tetapi hal tersebut suatu metode dalam meneliti status sekelompok
tidak membuat permasalahan, seperti halnya manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu
batu Bali yang berwarna merah terletak pada sistim pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa
altar sebagai pengisi ornamen gunungan pada pada masa sekarang. Yang tujuannya adalah
altar, sedangkan bahan kayu yang digunakan untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan
pada pintu pada panti imam menggunakan kayu secara sistematis, faktual dan akurat mengenai
dari Sulawesi. Semua itu telah sesuai dengan fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antarfeno-
kriteria bahan alami. mena yang diselidiki (Nazir, 1992: 63).
Di lain pihak gereja Katolik mempunyai Pengumpulan data dengan observasi lang-
pegangan dan batasan liturgi tertentu sebagai sung ke obyek penelitian Mendata dan men-
tolok ukur utama yang menjadi standar kesera- deskripsikan elemen pembentuk ruang serta apa
gaman Katolik diseluruh dunia. Tetapi setelah saja yang ada dalam interior ruang ibadah Gereja
Konsili Vatikan II aturan-aturan yang menjadi Redemptor Mundi yang dipengaruhi karakter
pegangan tersebut tidak diharuskan untuk secara budaya Jawa. Data-data dikumpulkan melalui
tepat dituangkan dalam sebuah bangunan gereja pengamatan langsung di lapangan dan direkam
Katolik, namun telah mengalami sedikit kelong- dalam bentuk foto yang menggambarkan keada-
82 DIMENSI INTERIOR, VOL. 5, NO. 2, DESEMBER 2007: 80-89

an dan suasananya dilengkapi dengan catatan menjadi patokan dalam penataan interior sebuah
tertulis mengenai keterangan yang dianggap ruang, karena tiap bentukan dianggap memiliki
relevan dengan penelitian. Untuk melengkapi makna. Isi dan bentuk, keduanya tidak bisa
data-data yang dibutuhkan dilakukan wawan- dipisahkan. Orang Jawa beranggapan bahwa
cara secara langsung di lapangan dengan pihak bentuk yang lahiriah (konkrit) memiliki arti atau
gereja untuk mendapat keterangan yang ber- mantera. Kehidupan Jawa bersifat seremonil,
hubungan dengan penelitian. jadi setiap kegiatan menjadi terorganisir, nyata
Pengumpulan data dengan studi literatur dan resmi, termasuk pula di dalamnya cap, tanda
menjadi acuan utama. Buku-buku yang berhu- tangan, lambang-lambang yang lain memainkan
bungan dengan penelitian untuk mendapat peranan yang maha besar (Mulder, 1986). Hasil
informasi yang akan digunakan sebagai pe- kebudayaan Jawa berasal dari kehidupan orang
gangan pokok secara umum dan dapat diguna- Jawa dari waktu ke waktu yang melambangkan
kan sebagai bahan pertimbangan yang mendu- setiap aktivitasnya. Jadi hal ini menunjukkan
kung pemecahan masalah dalam penelitian. bahwa tidak semua hasil budaya tersebut
Selain itu dapat juga digunakan bahan-bahan memiliki makna yang sesuai dan dapat masuk ke
perbandingan yang lain sebagai tolok ukur dalam budaya gereja.
terhadap obyek penelitian (Nazir, 1988: 123). Kata inkulturasi memiliki arti usaha suatu
Studi ini dilakukan dengan mencari data-data agama untuk menyesuaikan diri dengan budaya
yang mendukung penelitian, sebagai pegangan setempat (Ali, 1996), transformasi mendalam
pokok dari buku yang memuat dasar-dasar dari nilai-nilai budaya yang asli diintegrasikan ke
secara pasti sebagai patokan, dapat juga melalui dalam kristiani (De Liturgia Romana Et Incul-
turations), suatu latihan setiap pelaku kebuda-
internet.
yaan untuk menyesuaikan diri terhadap peruba-
Metode analisis yang digunakan adalah me-
han kebudayaan yang terjadi (Sachari, 2002).
tode komparatif yang membandingkan antara
Memasuki bidang penyesuaian dan inkul-
data yang didapat di lapangan dengan teori yang
turasi ritus-ritus liturgi, dihadapkan pada tan-
didapat pada metode kepustakaan (dianggap se- tangan-tantangan yang lebih besar lagi. Sacro-
bagai wujud ideal). Kemudian setelah dianalisis, sanctum Concilium menyajikan asas dan arahan-
dari hasilnya didapatkan suatu kesimpulan yang arahan yang sangat jelas. “Dalam liturgi pun,
dapat menjawab pertanyaan pada rumusan gereja tidak ingin memaksakan keseragaman
masalah. kaku dalam hal-hal yang tidak menyangkut iman
atau kesejahteraan seluruh umat. Sebaliknya,
BUDAYA JAWA SEBAGAI UNSUR IN- gereja menghormati dan memajukan kekayaan
KULTURASI INTERIOR GEREJA KATO- rohani serta kekhasan berbagai suku dan bangsa.
LIK Apa saja dari cara hidup mereka yang tidak
terikat mati pada takhyul dan ajaran sesat dikaji
Kata budaya berarti pikiran; akal budi; adat dengan penuh simpati dan, kalau mungkin,
istiadat; secara antropologis berarti keseluruhan dilestarikan secara utuh.” (Sumber: Butir-butir
pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial penting pembaruan liturgi).
yang digunakan untuk memahami lingkungan Jadi yang dimaksud dengan inkulturasi
serta pengalamannya yang menjadi pedoman budaya adalah hubungan timbal balik antara
tingkah lakunya (Ali, 1996:149). Menurut Gereja Katolik dengan budaya setempat gereja
Koentjaraningrat (1984:1-2) para ahli ilmu sosial tersebut berada, yaitu wujud fisik yang konkrit
sering mengartikan kebudayaan dalam arti yang yang dapat dilihat, diraba, dalam hal ini budaya
amat luas dan meliputi hampir seluruh aktivitas yang ada di sekitar gereja dapat memperkaya
manusia dalam kehidupannya, yaitu seluruh total budaya gereja dan ajaran gereja dapat terus
pikiran, karya dan hasil karya manusia yang diungkapkan pada lingkungan budaya sekitarnya
tidak berakar kepada nalurinya, dan hanya bisa selama makna yang diintegrasikan bersatu dan
dicetuskan manusia sesudah suatu proses belajar. sejalan.
Hal-hal yang menjadi unsur-unsur dasar Budaya Jawa maupun gereja Katolik
kebudayaan Jawa adalah cara pandang masya- memiliki peraturan-peraturan, batasan dan
rakatnya yang memiliki pemikiran dasar dan makna-makna tertentu dalam penataan interior
Sari, Inkulturasi Budaya Jawa dalam Interior Gereja Katolik Redemptor Mundi di Surabaya 83

bangunan maupun fasilitas pendukung lainnya. Zoning


Berdasarkan arti inkulturasi sesuai dengan Pada layout gereja Redemptor Mundi (Gam-
pemaknaan yang ada pada liturgi, maka unsur bar 1), terlihat jelas pembagian zoning daerah
fisik antara Budaya Jawa dan budaya gereja sakral dan daerah umat, penempatan pemimpin
Katolik harus ada kesesuaian makna antara terpisah dengan para umat. Layout para umat
kedua budaya tersebut. Kesesuaian tersebut berada disekeliling pemimpin dan menghadap
dapat dijadikan tolok ukur wujud Budaya Jawa ke arahnya (romo). Bentuk layout tersebut
sebagai unsur inkulturasi dalam perancangan mengakibatkan pola sirkulasi yang terjadi me-
gereja Katolik. Ada unsur-unsur liturgi yang musat, hal ini bermakna persaudaraan, persatuan
tidak dapat diwakilkan dengan budaya lain dan dengan tubuh Kristus dalam gerejaNya. Sedang
harus tetap berpegang pada apa yang sudah dalam bangunan ibadat Jawa tidak terjadi
ditetapkan Gereja Katolik baik bentukan aktivitas, tidak ada makna. Pola sirkulasi gereja
maupun ornamen pendukungnya. Redemptor Mundi ini tidak mengalami inkul-
Adapun wujud fisik budaya Jawa yang dapat turasi dengan budaya Jawa, namun tetap ber-
dijadikan unsur inkulturasi dalam interior gereja dasar pada budaya gereja Katolik.
Katolik karena mempunyai kesesuaian makna
antara lain (Sari, 2007):
 Zoning, pola dasar pembagian daerah sakral
dan daerah umat sangat jelas, pemimpin
mendapat kedudukan yang khusus.
 Elemen pembentuk ruang lantai dan plafon.
Lantai memiliki perbedaan ketinggian pada
daerah sakral, hal ini memiliki makna
keagungan Tuhan dan memberikan tempat
yang khusus (penghormatan) bagi pemim-
pin. Bentukan plafon mengutamakan ben-
tukan vertikal yang bermakna keagungan
Tuhan.
 Warna yang memiliki makna yang sama Gambar 1. Layout & Zoning Gereja Redemptor
adalah warna putih dan ungu. Sedangkan Mundi
warna lain memiliki makna yang sejalan dan
cocok apabila masuk dalam budaya gereja, Zoning pemimpin pada gereja ini mendapat
kecuali warna hitam. posisi yang terpisah dari umatnya dan berada
 Tata letak bangku umat walaupun tata cara tepat di depan umat (terpusat) yang disebut
duduknya berbeda tetapi mempunyai makna daerah sakral. Selama ibadat, zoning ini menjadi
yang sama. Perabot untuk pemimpin diletak- fokus utama, umat tidak diperkenankan berada
kan di tempat yang tinggi, khusus, bermakna pada daerah ini. Pola zoning ini memiliki makna
memberi penghormatan kepada pemimpin. penghormatan, pemimpin harus mendapatkan
kedudukan khusus. Hal ini juga tergambarkan
ANALISIS INKULTURASI BUDAYA pada pola penataan bangunan tempat ibadah
JAWA PADA INTERIOR GEREJA Jawa (kejawen), yang terfokus pada struktur
KATOLIK REDEMPTOR MUNDI sosial masyarakat Jawa, ruangan yang dinama-
kan paimbaran merupakan ruang khusus pemim-
Untuk mengetahui inkulturasi budaya Jawa pin, dan umat menghadap ke arah pemimpin
yang terdapat pada unsur-unsur fisik interior selama ibadat, penataan ini bermakna peng-
gereja Redemptor Mundi, berlokasi di jalan hormatan. Zoning pada kedua budaya di atas
Dukuh Kupang Barat I/7, Surabaya, maka akan memiliki kesamaan makna, namun tidak terjadi
dianalisis berdasarkan tolok ukur di atas. inkulturasi, karena hanya kesamaan nilai, di-
Adapun analisis perwujudan inkulturasi budaya mana pemimpin selalu mendapatkan tempat di
Jawa pada interior gereja tersebut di atas dijelas- depan dan selalu dihormati, hal ini berlaku
kan sebagai berikut: secara universal dimanapun.
84 DIMENSI INTERIOR, VOL. 5, NO. 2, DESEMBER 2007: 80-89

Plafon berbeda dan lebih kuat (biasanya menggunakan


konstruksi kayu) pada obyek menggunakan
Plafon gereja Redemptor Mundi cukup konstruksi besi. Tiang sasaka menimbulkan
tinggi, bermakna mewujudkan hubungan dengan kesan meninggi, bermakna hubungan dengan
Tuhan (hubungan vertikal). Pada plafon terdapat Tuhan serta menggambarkan keagungan dan
stained glass berornamen rohani disusun dengan keesaan Tuhan. Dengan demikian terdapat kesa-
warna yang berbeda-beda, menimbulkan kesan maan makna pada elemen plafon, meskipun
sakral dan pada siang hari kehadiran Allah terasa bentukan plafon obyek tidak sama persis dengan
ketika cahaya matahari menyinari daerah sakral. bangunan Jawa, namun penambahan ruang
Stained glass ini merupakan titik pertemuan pola serambi dapat juga membentuk bentukan salib
plafon gereja yang mengikuti pola layout yang karena penambahan tersebut dibuat berdasarkan
berwujud salib. kebutuhan ruangnya, dapat disimpulkan bahwa
bentukan plafon pada gereja Redemptor Mundi
ini telah mengalami inkulturasi.

Dinding

Gambar 2. Bentuk Plafon Gereja Redemptor Mundi

Plafon gereja ini berbentuk dasar bujur sang-


kar, hal ini sama dengan plafon bangunan Jawa,
pada bagian tengah plafon terdapat bentukan
bujur sangkar yang disanggah oleh empat tiang
sasaka. Pada obyek keempat tiang sasaka ini Gambar 3. Dinding nave bagian Timur altar Gereja
dihilangkan dengan mengganti konstruksi yang Redemptor Mundi
Sari, Inkulturasi Budaya Jawa dalam Interior Gereja Katolik Redemptor Mundi di Surabaya 85

Dinding area umat pada gereja Redemptor dengan lambang alpha dan omega. Dan juga
Mundi, berupa deretan kaca pada daerah umat sebagai pohon kehidupan yang biasanya dilam-
(nave). Fungsinya untuk menimbulkan pencaha- bangkan dengan pohon anggur (Yesus) dengan
yaan alami ke dalam interior gereja yang ber- cabangnya (umatNya). Dengan demikian din-
makna menghadirkan Kerajaan Ilahi. Dibagian ding pada area altar ini mengalami inkulturasi
atas dan bawah deretan kaca tersebut di atas, pada daerah sakral, sedang pada bagian umat
terdapat deretan lubang angin yang berfungsi tetap berdasar budaya gereja Katolik.
sebagai penghawaan alami. Begitu pula pada
dinding budaya Jawa, memiliki kesamaan fungsi Lantai
dengan dinding pada gereja ini, selain untuk pen-
cahayan dan penghawaan alami, dinding juga Lantai pada gereja Redemptor Mundi me-
berfungsi sebagai pembatas antara ruang luar miliki perbedaan ketinggian pada daerah altar.
dengan ruang dalam, dengan demikian dinding Ketinggian lantai bertujuan agar Romo dan para
pada daerah nave tidak mengalami inkulturasi. pelayannya mudah terlihat meskipun dari bang-
ku belakang, dan umat dapat berperan aktif
mengikuti ibadat. Hal ini bermakna menghorma-
ti pemimpin ibadat. Pada budaya Jawa memiliki
pemaknaan yang sama terhadap penghormatan
pada pemimpin, yaitu pemimpin selalu menda-
patkan tempat yang khusus (lebih tinggi) dari
rakyatnya sebagai penghormatan, berdasar dari
pola struktur masyarakatnya. Ada kesesuaian
makna antara obyek dengan kedua budaya di
atas, dengan demikian lantai pada gereja Re-
demptor Mundi ini mengalami inkulturasi
dengan budaya Jawa.

Gambar 4. Dinding pada area altar Gereja Redemp-


tor Mundi

Dinding area altar, menggunakan bahan


alam berupa batu merah Bali yang diberi bingkai
batu paras (lihat gambr 4), hal ini disebabkan
altar sebagai daerah khusus untuk pemimpin dan
menjadi pusat selama ibadat, tempat keagungan
dan kehadiran Yesus. Bentukan dinding altar
mengadopsi bentuk gunungan, yakni segitiga
sama kaki dengan sedikit lengkung di bagian
bawah, bentuknya mirip kekayon dalam pewa-
yangan yang selalu diletakkan di tengah saat
akan dimulai dan diakhirinya pewayangan. Or-
namen ini selalu ditempatkan pada bagian
tengah rumah. Gunungan ini merupakan lam-
bang alam semesta dengan puncaknya yang
melambangkan keagungan dan keesaan. Sedang
kekayon berarti tempat berlindung untuk men-
dapat ketentraman, keselamatan, serta dilindungi
Tuhan Yang Mahakuasa. Bentuk gunungan atau
kekayon ini disebut juga kalpataru bermakna
pohon kehidupan. Hal ini memiliki kesamaan
makna dengan makna rohani yakni Yesus seba- Gambar 5. Perbedaan ketinggian lantai Gereja
gai awal dan akhir, biasanya dilambangkan Redemptor Mundi
86 DIMENSI INTERIOR, VOL. 5, NO. 2, DESEMBER 2007: 80-89

Warna digunakan adalah batu merah Bali, batu paras


Warna yang digunakan dalam gereja harus sebagai bingkai bentuk gunungan pada altar,
mendukung suasana doa agar orang yang kayu Sulawesi pada pintu menuju ruang sakristi,
menjalani ibadah dapat merasa tenang dan penggunaan kayu pada mimbar, sedilia, dan
khusuk. Warna menurut budaya Jawa dan gereja plafon. Untuk menghadirkan kesan alam diguna-
Katolik memiliki kesepadanan makna untuk tiap kan penggunaan rangkaian bunga sebagai peng-
warnanya. Gereja Katolik memiliki pemahaman hias ruangan. Dengan demikian bahan yang
bahwa penciptaan suasana ruang sesuai dengan digunakan pada gereja ini sesuai dengan budaya
fungsi bangunan tradisional dan mengikuti unsur Jawa namun tidak ada makna tertentu dalam
alam, sehingga selain warna-warna liturgi, gereja penggunaan bahannya, sehingga dari batasan
juga menggunakan warna-warna alam agar kesamaan makna sebagai proses dari terjadinya
terasa khusyuk saat berdoa. Warna-warna yang inkulturasi maka penggunaan bahan pada gereja
digunakan pada gereja ini menggunakan warna- ini tidak mengalami inkulturasi.
warna alam pada deretan kaca daerah umat dan
penggunaan bahan alam yang ada di bagian Ornamen
belakang altar. Ornamen Jawa dengan ornamen gereja yang
Penggunaan warna dalam budaya Jawa sela- memiliki kesamaan makna adalah ornamen flora
lu menyerasikan diri dengan alam sekitar serta yang dianggap sebagai sesuatu yang indah,
kejujuran dalam penggunaan bahan sehingga sakral, nyaman. Maka ornamen yang mengan-
apabila gereja menggunakan bahan-bahan alam, dung unsur flora dianggap mengalami inkul-
maka warna yang ada juga sesuai dengan warna turasi, sedangkan ornamen yang berupa fauna,
asli dari bahan yang digunakan tersebut. Dengan alam, dan lainnya dinggap sebagai unsur deko-
demikian penggunaan warna pada kedua kebu- rasi yang menggambarkan unsur kejawaan.
dayaan tersebut memiliki kesamaan makna, Perwujudan ornamen yang mengalami
namun bukan berarti terjadi inkulturasi, tetapi inkulturasi budaya Jawa diterapkan langsung
hanya kesamaan nilai yang berlaku secara uni- pada obyek, seperti perabot. Hal ini dimaksud-
versal di manapun. kan agar terjadi keselarasan dan menyatu dengan
unsur lainnya dalam ruang. Pada gambar 6,
Bahan Sedilia, tempat duduk untuk Romo maupun para
Gereja Katolik memiliki batasan pada pe- putra altar, terbuat dari bahan kayu dengan dua
nentuan bahan bahwa penciptaan suasana ruang macam ukiran ornamen flora, yaitu wajikan dan
sesuai dengan fungsi bangunan tradisional, padma. Wajikan bentuknya mirip dengan wajik,
mengikut sertakan unsur alam. Dengan adanya belah ketupat sama sisi, ada yang menggunakan
batasan tersebut bahan yang digunakan pada garis tepi ada yang tidak. Isinya berupa daun-
gereja Katolik mengikuti budaya yang berinkul- daun yang tersusun memusat, atau gambar
turasi dengan budaya gereja tersebut. Menurut bunga yang dilihat dari depan. Cara penem-
budaya Jawa penggunaan bahan dalam bangun- patannya dapat berdiri dapat juga telentang.
an tradisional harus dapat menyerasikan diri Ornamen ini dapat digunakan untuk mengisi
dengan sekitar, kejujuran dalam struktur dan bagian yang tampak polos dan juga dapat
bahan, memperlihatkan strukturnya secara jelas, digunakan sebagai pengurang kesan tinggi.
wajar, dan jujur, bahannya semua dibiarkan Warnanya dapat diberi warna mencolok juga
menunjukkan watak aslinya. dapat sama dengan warna kayunya. Sedangkan
Penggunaan bahan pada gereja Redemptor Padma (flora), yaitu ukiran berupa bunga yang
Mundi mengikuti budaya Jawa, menggunakan merupakan garis melengkung kedalam kemu-
bahan-bahan alam, jujur dalam struktur dan ba- dian keluar. Ragam hias ini biasanya ditempat-
han, dan memperlihatkan bahan tersebut apa kan sebagai alas tiang, selain untuk menambah
adanya (tidak menggunakan bahan buatan seper- keindahan ragam ini juga memiliki lambang
ti keramik berornamen kayu untuk lantai kayu, kesucian yang identik dengan arti kokoh dan
dan sebagainya). Pada area altar bahan yang kuat, yang tidak tergoyahkan oleh segala macam
Sari, Inkulturasi Budaya Jawa dalam Interior Gereja Katolik Redemptor Mundi di Surabaya 87

bencana yang menimpanya. Dengan demikian keadaan yang tidak sempurna menjadi sem-
sedilia ini mengalami inkulturasi campuran, purna. Ornamen ini digunakan pada sedilia
yaitu pemakaian bentuk yang sama sesuai untuk Romo karena pemimpin harus berkem-
dengan budaya Gereja Katolik dicampur dengan bang menjadi serupa dengan Kristus karena
penggunaan bentuk Jawa. mereka wakil Kristus menggembalakan umatnya
di dunia. Selain itu ornamen Easter Cross juga
digunakan sebagai lambang kemuliaan. Dengan
demikian sedilia 3 ini mengalami inkulturasi
campuran.

Gambar 6. Sedilia 1 Gambar 7. Sedilia 2

Pada Gambar 7. Sedilia 2, menggunakan


ornamen panah (alam), bentukannya berupa be-
berapa anak panah yang digambarkan menuju ke
satu titik dan bidang yang diberi hiasan biasanya
berbentuk segi empat panjang. Warnanya biasa
mengikuti warna kayunya. Arti dari ornamen ini
adalah penolak segala macam kejahatan untuk
mendapat keselamatan, keamanan, dan keten-
traman dari segala macam gangguan. Easter
Cross yang berarti kemuliaan dalam arti gere-
jani. Ornamen pada sedilia 2 ini tidak semakna
dengan makna rohani karena merupakan orna-
men alam, jadi disimpulkan bahwa pada sedilia
ini tetap menggunakan budaya Jawa. Ada
beberapa sedilia pada gereja ini yang tidak
memiliki ornamen Jawa sebagai ornamennya,
tidak mengalami inkulturasi. Gambar 8. Sedilia 3
Pada Gambar 8. Sedilia 3 menggunakan
ornamen flora Jawa yaitu kangkungan dan Pada gambar 9, dapat dilihat bahwa ornamen
kebenan. Kangkungan memiliki makna kesucian pada kaki gong berupa padma (flora). Ornamen
dan dipercaya membawa kedamaian dan ke- ini biasanya ditempatkan sebagai alas tiang,
benaran, hal ini sangat mendukung suasana doa. selain untuk menambah keindahan, juga memi-
Kebenan berbentuk segi empat menonjol merun- liki lambang kesucian yang identik dengan arti
cing bagai mahkota, ornamen ini digunakan kokoh dan kuat, tidak tergoyahkan oleh segala
karena memiliki makna menggambarkan dari macam bencana. Sedangkan pada kepala gong,
88 DIMENSI INTERIOR, VOL. 5, NO. 2, DESEMBER 2007: 80-89

dapat dilihat bahwa ornamen yang digunakan


berupa kangkungan (flora) yang dimodifikasi-
kan menjadi suatu kesatuan rangkaian yang
indah. Ornamen ini mengambil bentuk daun dan
batang tumbuh-tumbuhan jenis kangkung yang
menjalar. Ornamen ini bermakna kesucian,
dengan menggunakannya dipercaya membawa
kedamaian dan kebenaran.

Gambar 10. Ornamen Padma dan Kangkungan

Ornamen pada besi penyanggah Salib


Corpus Yesus adalah ornamen kangkungan, arti-
nya kesucian dan membawa kedamaian serta
kebenaran. Maka ornamen ini sesuai ditempat-
kan sebagai penyanggah salib Yesus yang suci
dan membawa kedamaian serta kebenaran bagi
seluruh umat manusia. Dengan demikian obyek
ini mengalami inkulturasi campuran. Inkulturasi
campuran juga terjadi pada Kaki Rangkaian
Bunga, ornamen yang digunakan mega men-
dung (alam), dapat berbentuk lurus dan tegak.
Warnanya dapat polos seperti warna kayu, ada
yang mengkilat dengan warna kuning emas, ada
yang hitam putih, pada obyek digunakan warna
emas sehingga mencolok meskipun letaknya di
bawah. Biasanya letaknya pada tepian, baik
jendela, pintu dan lainnya. Arti dari ornamen ini
adalah hitam putih, hidup mati yang artinya
manusia harus selalu ingat bahwa di dunia ini
Gambar 9. Kepala dan Kaki Gong ada sifat baik dan buruk.

Ornamen pada kaki gong, biasanya tidak SIMPULAN


memiliki warna dalam arti mengikuti warna
bahan dimana ornamen ini berada, keseluruhan Inkulturasi budaya yang terjadi pada Gereja
dari obyek ini memiliki makna kesucian dan Redemptor Mundi tidak pada keseluruhan wujud
dipercaya membawa kedamaian dan kebenaran, fisiknya, hal ini disebabkan adanya beberapa
hal ini sangat mendukung suasana doa. Maka alasan, antara lain:
dapat ditarik kesimpulan bahwa obyek ini  Terdapat unsur liturgi yang tidak dapat
mengalami inkulturasi walaupun bentuk gong diwakilkan dengan budaya lain dan harus
sama seperti pada gereja Katolik umumnya tetap berpegang pada apa yang sudah
namun makna ornamen yang menyertainya ditetapkan baik bentukan maupun ornamen
semakna dengan budaya Gereja Katolik. pendukungnya.
Sari, Inkulturasi Budaya Jawa dalam Interior Gereja Katolik Redemptor Mundi di Surabaya 89

 Terdapat unsur fisik yang tetap memakai Dakung, Sugiyarto, ed. 1982. Arsitektur Tradi-
budaya Jawa tanpa bermakna liturgi, obyek sional Daerah Istimewa Yogyakarta.
ini diletakkan dalam gereja hanya sebagai Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan
unsur pelengkap saja (dekorasi), untuk me- Kebudayaan Proyek Inventaris dan Doku-
nandai bahwa interior gereja tersebut ber- men Kebudayaan Daerah.
budaya Jawa.
 Terdapat unsur fisik yang menurut liturgi Heuken, S. J., Adolf. 1992. Ensiklopedi
dan menurut budaya Jawa hanya memiliki Gereja II H-Konp. Jakarta: Yayasan
kesamaan nilai, meskipun makna yang Cipta Loka Caraka.
dicapai sama, hal ini disebabkan karena Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Mentalitas
unsur tersebut bersifat universal. dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia.
Adapun unsur-unsur fisik yang mengalami
Mulder, Niels. 1986. Kepribadian Jawa dan
inkulturasi dapat dijabarkan menjadi dua. Per-
Pembangunan Nasional. Yogyakarta:
tama, inkulturasi langsung, dikatakan mengalami
Gajah Mada University Press.
inkulturasi langsung karena terdapat kesamaan
makna antara kedua budaya (berdasar liturgi dan Nazir, Mohammad. 1988. Metode Penelitian.
budaya Jawa) dan hal tersebut tidak berlaku pada Jakarta: Ghalia Indonesia.
budaya lain. Kedua, inkulturasi campuran, dika-
takan mengalami inkulturasi campuran karena Sachari, Dr. Agus. 2002. Pengantar Metodologi
bentukan yang digunakan sama seperti liturgi Penelitian. Jakarta: Erlangga.
dan digabungkan dengan bentukan Jawa yang
Sriti Mayang Sari. 2007. Wujud Budaya Jawa
semakna.
Sebagai Unsur Inkulturasi Interior
REFERENSI Gereja Katolik. Jurnal Dimensi Interior Vol.5.
No.1. Juni 2007. Surabaya: Universitas
Ali, Lukman., et al. 1996. (Tim Penyusun Kristen Petra.
Kamus Pusat Pembinaan dan Pengem-
bangan Bahasa Departemen Pendidikan Taylor, Robert B. Introduction to Cultural
dan Kebudayaan). Kamus Besar Bahasa Anthropology. Boston: Allyn and Bacon,
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Inc, 1973.
Anonim. 1995. De Liturgia Romana Et Incul- Yunus, H. Ahmad. Arsitektur Tradisional
turations. Jakarta: Departemen Dokumen- daerah Jawa Barat. Jakarta: Departemen
tasi dan Penerangan KWI. Pendidikan dan Kebudayaan, 1984.

Anda mungkin juga menyukai