BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Agama dan Gereja Katolik mulai dikenalkan kepada masyarakat daerah Yogyakarta
pada tahun 1919. Pada waktu awal berdirinya, gereja pada umumnya masih berdiri dengan
gaya arsitektur Belanda karena dibawa dan diajarkan oleh orang-orang Belanda. Salah satu
gereja katolik tua di Bantul, Yogyakarta adalah gereja Katolik Hati Kudus Tuhan Yesus
Ganjuran. Gereja ini didirikan pada tanggal 16 April 1924 oleh keluarga Schmutzer, yang
memiliki sebuah pabrik gula di wilayah itu dengan tujuan awal mendirikan sebuah kapel
doa untuk keluarganya dan karyawan pabriknya dengan gaya arsitektur Belanda.
Namun adanya gaya arsitektur dan tata cara yang asing bagi masyarakat setempat
tersebut, dirasakan kurang serasi dan terkesan jauh bagi masyarakat setempat. Kemudian
gereja ini sedikit demi sedikit mulai memasukkan adat setempat ke dalam susunan perayaan
Ekaristi misalnya mulai menggunakan gamelam melibatkan penduduk setempat dalam
Perayaan Ekaristi. Kemudian pada tahun 1927 dibangun sebuah candi yang berisikan
patung Tuhan Yesus Jawa dengan corak Hindu-Jawa, dan setelah itu banyak mengalami
perkembangan dan penyesuaian dengan kebudayaan daerah.
Gambar 1.1 Gereja Hati Kudus Yesus sebelum Gambar 1.2 Candi Ganjuran
gempa 2006
Pada tahun 2006 terjadi gempa bumi di Yogyakarta yang menyebabkan keruntuhan
pada bangunan gereja tetapi tidak pada bagian candi. Setelah runtuh akibat gempa, gereja
ini memilih untuk membangun kembali gerejanya dengan mengangkat bentuk arsitektur
tradisional setempat yaitu arsitektur tradisional Jawa. Keputusan ini dilakukan mengingat
pada tahun 1974 para Uskup Asia menandaskan tekad untuk melancarkan inkulturasi dalam
Gereja setempat : “Kita hendak membangun Gereja setempat yang diinkarnasikan di dalam
suatu bangsa, suatu Gereja pribumi dan diinkulturasikan.” Sri Paus juga mendorong usaha
inkulturasi Gereja Indonesia pada kunjungan Ad Limina tahun 1980 “Kita rindu melihat
1
2
Gambar 1.3 Gereja Hati Kudus Yesus setelah Gambar 1.4 Interior Gereja Hati Kudus Yesus
gempa 2006 Ganjuran
Kompleks Gereja HKTY Ganjuran terdiri dari beberapa fungsi bangunan yaitu
bangunan gereja, Gua Maria, Candi Tuhan Yesus dan juga kantin. Bangunan gereja dengan
luas 600 m2 memiliki gaya arsitektur Jawa yaitu berbentuk joglo yang diselaraskan dengan
ornament-ornamen dan ketentuan ruang gereja Katolik. Kemudian terdapat Gua Maria
dengan menggunakan bentuk bangunan Jawa bermaterial kayu dengan atap bertipe Joglo
kampong. Dan yang paling menonjol dari kompleks ini adalah terdapat Candi yang di
dalamnya terdapat patung Tuhan Yesus Jawa yang bercorak Hindhu-Jawa, dibangun
sebagai ungkapan syukur atas berkat Tuhan yang melimpah. Arca Hati KudusYesus yang
sekaligus adalah Kristus Raja ditahtakan di dalamnya, melambangkan keadilan dan
perdamaian Tuhan yang merajai bumi pertiwi.
Dari pengamatan awal yang dilakukan, gereja Ganjuran adalah gereja setempat yang
diinkarnasikan di dalam suatu bangsa, suatu Gereja pribumi dan diinkulturasikan, dan
kerinduan Sri Paus melihat gereja merembes masuk ke dalam tenunan masyarakat
Indonesia sekiranya sudah dilakukan oleh gereja Ganjuran ini. Maka pada skripsi ini akan
diteliti lebih dalam dan detail bagaimanakah penerapan budaya-budaya setempat dalam
kaidah gereja katolik pada arsitektur kompleks Gereja Ganjuran Yogyakarta.
2
3
Issue gereja dan inkulturasi sudah ditegaskan sejak tahun 1980 oleh Sri Paus supaya
dapat menjadi pedoman bagi gereja-gereja katolik di dunia untuk memperhatikan akar-akar
dan kebudayaan tradisi setempat. Salah satu gereja katolik di Indonesia yang menerapkan
prinsip inkulturasi ini yaitu Gereja Katolik Hati Kudus Yesus Ganjuran. Bangunan Gereja
ini dibangun ulang setelah mengalami keruntuhan akibat gempa bumi di Yogya pada tahun
2006. Rancangan pembangunan kembali gedung gereja ini mengangkat arsitektur
tradisionalnya yaitu arsitektur Jawa sebagai bentuk perhatian atas apa yang telah
dicanangkan oleh Sri Paus mengenai “bangunan yang rendah hati dan dekat” dengan
sekitarnya.
Kompleks Gereja HKTY Ganjuran terdiri dari beberapa fungsi bangunan yaitu
bangunan gereja, Gua Maria, Candi Tuhan Yesus dan juga kantin. Bangunan gereja dengan
luas 600 m2 memiliki gaya arsitektur Jawa yaitu berbentuk joglo yang diselaraskan dengan
ornament-ornamen dan ketentuan ruang gereja Katolik. Kemudian terdapat Gua Maria
dengan menggunakan bentuk bangunan Jawa bermaterial kayu dengan atap bertipe Joglo
kampong. Dan yang paling menonjol dari kompleks ini adalah terdapat Candi yang di
dalamnya terdapat patung Tuhan Yesus Jawa yang bercorak Hindhu-Jawa.
Dari pengamatan awal yang dilakukan, gereja Ganjuran adalah gereja setempat yang
diinkarnasikan di dalam suatu bangsa, suatu Gereja pribumi dan diinkulturasikan, dan
kerinduan Sri Paus melihat gereja merembes masuk ke dalam tenunan masyarakat
Indonesia sekiranya sudah dilakukan oleh gereja Ganjuran ini. Maka pada skripsi ini akan
diteliti lebih dalam dan detail bagaimanakah penerapan budaya-budaya setempat dalam
kaidah gereja katolik pada arsitektur Gereja Ganjuran Yogyakarta.
3
4
Manfaat dari penelitian ini adalah untuk menambah ilmu pengetahuan dan wawasan
penulis tentang gereja dan inkulturasi serta budaa-budaya setempat yang dijadikan
inspirasi dalam pembangunan Gereja Katolik Hati Kudus Tuhan Yesus Yogyakarta.
4
5
BAB II
DASAR TEORI
2.1. Inkulturasi
2.1.1. Pengertian Inkulturasi
Inkulturasi adalah sebuah istilah yang digunakan di dalam paham Kristiani,
terutama dalam Gereja Katolik Roma, yang merujuk pada adaptasi dari ajaran-ajaran
Gereja pada saat diajukan pada kebudayaan-kebudayaan non-Kristiani, dan untuk
memengaruhi kebudayaan-kebudayaan tersebut pada evolusi ajaran-ajaran gereja.
Selain itu juga diharapkan menjadi kekuatan yang menjiwai, mengarahkan, dan
memperbaharui kebudayaan bersangkutan, dan dengan demikian menciptakan suatu
kesatuan dan ‘communio’ baru, tidak hanya di dalam kebudayaan tersebut,
melainkan juga sebagai unsur yang memperkaya Gereja sejagat.
‘Inkulturasi’ sebagai proses pengintegrasian pengalaman iman Gereja ke
dalam suatu budaya tertentu, tentu saja berbeda dari ‘akulturasi’. Perbedaan itu
pertama-tama terletak di sini, bahwa hubungan antara Gereja dan sebuah budaya
tertentu tidak sama dengan kontak antar-budaya. Sebab Gereja “berkaitan dengan
misi dan hakekatnya, tidak terikat pada suatu bentuk budaya tertentu”. Kecuali itu,
proses inkulturasi itu bukan sekedar suatu jenis ‘kontak’, melainkan sebuah
penyisipan mendalam, yang dengannya Gereja menjadi bagian dari sebuah
masyarakat tertentu.
2.1.2. Hormat Kepada Kebudayaan
Paus Johannes Paulus II mempunyai suatu pandangan antropologis khas
dalam Gereja Katolik. Dari itu dikembangkan suatu humanisme transcendental atau
humanisme kekristenan yang terbuka untuk Allah. “Dalam bingkai antropologi
kristosentris inilah dibangun seluruh kerangka sikap kepada kebudayaan sebagai
hasil pengolahan manusia atas alam” dan juga sikap terhadap inkulturasi. Perincian
dari kerangka sikap dasar ni kiranya dapat dijabarkan sbb:
Pertama ialah sikap ppositif dan menghormati kebudayaan sebagaimana kita
harus menghrmati martabat dan kebebasan manusia.
Kedua ialah peringatan akan kesiapsiagaan manusia mengawasi
perkembangan kebudayaan agar tidak merugikan dirinya. Pemikiran di sini,
janganlah kiranya manusia menjadi korban hasil karyanya seoerti kadang-kadang
kemajuan ilmu dan teknologi merugikan keutuhan pribadi manusia sendiri.
5
6
6
7
sana juga ada Gereja Katolik….” ((St. Ignatius of Antioch, Letter to the Smyrnaeans,
8)). Sejak saat itu Gereja Katolik memiliki arti yang kurang lebih sama dengan yang
kita ketahui sekarang, bahwa Gereja Katolik adalah Gereja universal di bawah
pimpinan para uskup yang mengajarkan doktrin yang lengkap, sesuai dengan yang
diajarkan Kristus.
7
8
2. Sakristi
Tempat persiapan Imam dan pembantunya sebelum menuju ke altar.
3. Panti Umat
Tempat bangku atau kursi umat
4. Tempat Koor
8
9
Tempat khusus bagi para petugas yang diserahi tugas membawakan lagu-lagu
selama perayaan liturgy atau ekaristi
5. Kamar Pengakuan
Tempat untuk menerima Sakramen Tobat secara pribadi
6. Balkon
Tempat/ruang atas di bagian belakang Gereja. Dahulu balkon difungsikan sebagai
tempat koor, namun sekarang balkon lebih sering difungsikan sebagai perluasan
tempat duduk umat.
7. Menara Gereja
Tempat menggantungkan lonceng Gereja. Menara Gereja ada yang menjadi satu
dengan bangunan Gereja, ada juga yang terpisah di samping kanan atau kiri
Gereja.
9
10
10. Pastoran
Tempat tinggal pastor, biasanya tidak jauh dari atau bahkan menjadi satu kompleks
dengan bangunan Gereja.
10
11
11
12
Selain itu Gereja Katolik juga merayakan liturgi berdasarkan pada warna
liturgis yang berlaku pada saat-saat tertentu, yaitu :
Putih : digunakan untuk masa Paskah dan Natal, pesta dan peringata Tuhan
Yesus (kecuali sengsaraNya), Santa Perawan Maria, para Malaikat, para
Kudus (bukan martir), hari raya semua Orang Kudus (1 November), Yohanes
Pembabtis (24 Juni), Yohanes Rasul (27 Deseember), Takhta Rasul Petrus (22
Februari), dan bertobatnya Rasul Paulus (25 Januari).
12
13
Merah : dikenakan pada hari Minggu Palma dan Jummat Agung, hari raya
Pentakosta, Para Rasul, para pengarang Injil, dan para Martir.
Hijau : dikenakan dalam masa Biasa sepanjang tahun.
Ungu : dikenakan dalam masa Adven dan Prapaskah, ibadat atau misa arwah
13
14
dengan dinding anyaman bambu, penerangan alami yang' minimum, dan dibuat dari
bahan bangunan yang didapat dari alam sekitar.
(2)' Bangunan merupakan tempat' perlindungan terhadap kekuatan gaib/metafisik. Ini
ditandai dengan pengungkapan antara lain: pemilihan kayu, pemilihan tapak,' cara
menghadapnya bangunan harus disesuaikan dengan norma kaidah yang berlaku. Proses
pendirian bangunan selalu diiringi dengan perbitungan adat dan upacara lengkap
'dengan sesaji dan doa. Pandangan hidup dicerminkan atau dilambangkan dalam
elemen-elemen bangunan. Pemilikan ragam hiasan disesuaikan status pemilik dan
fungsi tolak bala terhadap kekuatan gaib/metafisik yang jahat
(3) Bangunan dianggap sebagaibadan manusia/personifikasi. Ditandai dengan bentuk
bangunan dengan pola kepalabadan-kaki. Sernakin' kaya pemiliknya semakin rinci
pembagian pola ini. Pada·banguhan rumah tinggal, senthong yang sakral dipersamakan
dengan alat kelamin, dapur dengan pencern.aan, gandhok sebagai alat kerja.fanggota
badan dan sebagainya. ·
(4) Rumah tinggal cenderung solider tapi ramah. Pengungkapannya adalah; suatu
rumah tinggal prinsipnya diper~ untukkan satu keluarga. Pendopo yang relatif terbuka
memberi kesan ramah menjadi sangat jelas di samping kesan menyatu dengan alam
(Zain Mudjiono WP, 1992:285-287). Penataan bangunan di 5uatu tempat cenderung
mengikuti norma tertentu yang diturunkan dari pandangan hidup yang berlaku dan
budaya yang berkembang di sekitar tempat tersebut. Eko Budiharjo mengatakan
bahwa: "Se tiap kelompok masyarakat mempunyai seperangkat aturan yang dilakukan
pada proses kelahiran, 'cara penggunaan serta cara memusnahkan bangunan. Bagi
masyarakat tradisional, bangunan dianggap 'hidup' dan sangat mempengaruhi
kehidupan sehari-hari." (1991 :85)
14
15
15
16
laku peziarahan manusia. Secara paralel dalam konsep makrokosmos ada garis
imajiner Selatan – Utara, yaitu Laut Selatan – Gunung Merapi.
Secara filosofis dari Panggung Krapyak ke Keraton dan Tugu memberikan
gambaran konsep sangkan paraning dumadi (dari mana asal manusia dan arah
kemana yang akan dituju). Gambaran manusia dari embrional, lahir, berproses,
berkembang, eksis, dan apda akhirnya kembali kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
Sumber : https://books.google.co.id/books?id=24RRT-
PsxGYC&pg=PA51&lpg=PA51&dq=Sumbu+Mikrokosmos&source=
16
17
17
18
b. Rumah Limasan
Rumah limasan memiliki denah empat persegi panjang dan dua buah
atap (kejen atau cocor) serta dua atap lainnya (brunjung) yang bentuknya
jajaran genjang sama kaki. Kejen atau cocor berbentuk segi tuga sama kaki
seperti tutup keyong. Karena cenderung untuk berubah, maka rumah limasan
mengalami penambahan sisi-sisinya yang disebut empyak emper atau atap
emper. Karena hal ini, tentulah timbul rumah limasan dengan namanya
masing-masing.
Jika diteliti perbedaan rumah limasan dengan rumah joglo ialah pada
atap brunjung dan konstruksi bagian tengah. Ternyata atap brunjung rumah
limasan lebih panjang daripada atap brunjung rumah joglo, tapi lebih rendah
bila dibandingkan joglo.
18
19
c. Rumah Kampung
Pada jaman lampau, para penduduk beranggapan yang rumahnya
berbentuk kampong adalah rumah orang tidak mampu atau miskin. Kemudian
istilah tersebut menjadi umum, bahwa orang kampong mempunyai rumah
bentuk kampong dan panggang-pe. Dan untuk golongan menengah rumah
limasan, serta joglo untuk golongan nigrat.
Rumah kampong ini sudah bisa dilihat pada relief-relief candi
Borobudur, rambanan dan candi-candi lainnya. Dari sini bisa diambil
kesimpulan bahwa rumah kampong lebih tua daripada rumah joglo atau
limasan.
Rumah Kampung pada umumnya mempunyai denah empat persegi
panjang. Namun bagi yang menginginkan kesederhanaan hanya memakai
empat buah tiang dan dua buah atap yang berbentuk empat persegi panjang.
Di bagian samping atas, ditutup dengan tutup keyong. Atap ini namanya
sama, tetapi lain dengan yag ada pada rumah Limasan. Karena
kesederhanaannya justru menimbulkan nama yang bermacam-macam.
19
20
20
21
Gambar. 10 Lung-lungan
2) Saton
Ragam hias ini juga berupa pahatan pada kayu dan biasanya ditempatkan
pada balok-balok kayu serta tebeng jendela dan pintu, dan selalu
ditempatkan pada ujung dan pangkalnya. Saton biasanya ragam hias lain.
Ragam hias ini bila diwarnai, maka warna dasarnya berwarna hijau tua
atau merah tua sementara satonya berwarna kuning emas. Selain itu juga
biasa dijumpai hiasan ini tidak diwarnai .
Gambar. 11 Saton
3) Wajikan
Ragam hias ini berupa pahatan kayu yang dibuat terpisah dengan balok
kayu yang dihias. Wajikan biasanya ditempatkan pada bagian tengah dari
tiang atau titik persilangan balok-balok kayu pada pagar. Warnanya
biasanya kontras dengan warna dasarnya .
21
22
Gambar. 12 Wajikan
4) Nanasan
Ragam hias ini biasanya terdapat pada rumah bangsawan atau istana.
Warnanya biasanya menyesuaikan dengan warna bangunanya, kecuali
jika warna bangunannya adalah hijau tua atau merah tua, dimana nanasan
diberi warna emas dan merah. Hiasan ini biasanya ditempatkan pada
ujung saka bentung dan pada balok lainya.
Gambar. 13 Nanasan
5) Tlacapan
Ragam hias ini biasanya ditempatkan pada ujung balok kerangka
bangunan. Pada bangunan yang tidak berhias, maka hiasan ini dibiarkan
tidak berwarna, sementara pada bangunan yang berhias, maka hiasan ini
diwarnai dengan emas atau hijau dan merah. Jika ada garis tepinya, maka
garis tepi tersebut berwarna emas, dengan warna dasar hijau tua atau
merah tua menurut warna dasar balok yang dihias .
Gambar. 14 Tlacapan
6) Kebenan
Ragam hias ini berupa pahatan kayu, yang diberi warna bila digunakan
pada bangunan bangsawan, sementara untuk rumah biasanya tidak diberi
warna. Hiasan ditempatkan pada ujung saka bentung, dan pada setiap
sudut blandar sisi luar pada rumah joglo. Karena itu hisan ini banyak
ditemui pada rumah joglo atau pada bangunan yang menggunakan
lambing gantung.
22
23
Gambar. 15 Kebenan
7) Patran
Ragam hias ini dipahatkan pada kerangka kayu bangunan, biasanya
dibiarkan polos, sementara jika diwarnai maka akan diberi warna hijau
atau biru yang bervariasi hingga ke putih. Hiasan ini ditempatkan pada
kerangka bangunan. Pada umumnya hiasan ini ditemui pada sisi tipis
balok dengan posisi ujung daun di bawah.
8) Padma.
Ragam hias ini hanya digunakan pada umpak. Hiasan yang
melambangkan kesucian ini berupa pahatan pada batu umpak dan tidak
diberi warna atau berwarna hitam pekat biasanya penempatanya adalah
pada tiang-tiang saka guru, penanggap atau penitih.
Gambar. 17 Padma
9) Kemamang
Ragam hias ini berupa gambar atau relief yang mukanya diberi warna
emas, rambut dan kumis hitam pekat, bibir dan lidah yang berwarna
merah, walaupun ada juga yang polos. Hiasan ini tidak terdapat pada
rumah biasa, tetapi pada bangunan istana dan ditempatkan pada pintu
masuk, gerbang dan pintu gerbang.
Gambar. 18 Kemamang
23
24
Gambar. 20 Naga
12) Jago
Ragam hias ini terbuat dari tembikar atau seng yang tidak diberi warna
dan diletakan diatas bubungan atap.
Gambar. 21 Jago
13) Mirong
Ragam hias ini dipahatkan pada tiang dan banyak ditempatkan pada saka
guru, tiang-tiang penggap ataupun penitih. Ragam hias ini selalu
digunakan sepasang pada setiap tiang. Untuk tiang-tiang yang memiliki
24
25
Gambar. 22 Mirong
14) Gunungan
Ragam hias ini terbuat dari seng atau tembikar yang tidak diberi warna.
Penempatanya adalah pada tengah-tengah bubungan. Bentuknya
bermacammacam, bisa sederhana sekali seperti gunungan pada wayang
kulit, ataupun stilisasi bentuk gunung .
Gambar . 23 Gunungan
15) Makutha
Ragam hias ini berbentuk mahkota denga jenis yang bermacam-macam
dan terbuat dari seng atau tembikar. Pewarnaanya dibiarkan polos atau
diberi warna hitam dan ditempatkan pada tengah-tengah bubungan
bangunan. Hiasan ini biasanya dipakai pada rumah joglo, walaupun ada
juga yang ditempatkan pada bangunan limasan dan kampong.
Gambar . 24 Makutha
16) Praba
Ragam hias ini berupa relief yang dipahatkan pada tiang-tiang bangunan
utama dan selalu diberi warna baik warna emas, hijau, biru ataupun
merah. Pada tiang, hiasan ini, ditempatkan pada keempat sisi ujung dan
pangkal tiang.
25
26
Gambar . 25 Praba
17) Kepetan
Ragam hias ini sederhana, berupa relief dari kayu dan ditempatkan pada
tiap sudut daun pintu, patang garing, dan dinding gebyok. Biasanya hiasan
ini tidak diberi warna .
Gambar. 26 Kepetan
18) Panahan
Ragam hias ini berupa relief tembus dari kayu yang ditempatkan pada
tebeng pintu dan jendela. Panahan ini diberi warna sesuai dengan warna
kayu tebengnya. Bila kayunya tidak dicat, maka panahan tersebut juga
tidak dicat .
Gambar. 27 Panahan
19) Banyu Tetes.
Ragam hias ini berupa relief dan tidak berupa lukisan. Penempatanya
adalah pada bagian kerangka bangunan. Banyu tetes selalu dipadukan
dengan patran secara berselang-seling. Bila patran diwarnai maka banyu
tetes juga diwarnai, sementara jika patran tidak diwarnai maka banyu tetes
juga dibiarkan polos.
26
27
Gambar . 29 Mustaka
Dari dua puluh ornamen dalam arsitektur Jawa diatas dapat disimpulkan:
1) Sebagian besar bermotif alam yang distalisasi, dan hanya sedikit saja yang
bermotif benda-benda selain alam seperti Kaligrafi, Panahan, Mustaka
dan Makutha.
2) Kebanyakan ragam hias tersebut ditempatkan pada kerangka bangunan
yang terbuat dari kayu. Penempatan ragam hias tersebut pada kerangka
kayu bangunan adalah pada ujung-ujung dan bagian tengah-tengah balok.
27
28
dunia hewan, alam makhluk halus seperti iblis, raksasa dan asura, serta tempat
manusia biasa yang masih terikat nafsu rendah. Bentuknya berupa bujur sangkar yang
dilengkapi dengan jenjang pada salah satu sisinya. Bagian dasar candi ini sekaligus
membentuk denahnya, dapat berbentuk persegi empat atau bujur sangkar. Tangga
masuk candi terletak pada bagian ini, pada candi kecil tangga masuk hanya terdapat
pada bagian depan, pada candi besar tangga masuk terdapat di empat penjuru mata
angin. Biasanya pada kiri-kanan tangga masuk dihiasi ukiran makara. Pada dinding
kaki candi biasanya dihiasi relief flora dan fauna berupa sulur-sulur tumbuhan, atau
pada candi tertentu dihiasi figur penjaga seperti dwarapala. Pada bagian tengah alas
candi, tepat di bawah ruang utama biasanya terdapat sumur yang didasarnya terdapat
pripih (peti batu). Sumur ini biasanya diisi sisa hewan kurban yang dikremasi, lalu
diatasnya diletakkan pripih. Di dalam pripih ini biasanya terdapat abu jenazah raja
serta relik benda-benda suci seperti lembaran emas bertuliskan mantra, kepingan uang
kuno, permata, kaca, potongan emas, lembaran perak, dan cangkang kerang.
Tubuh candi adalah bagian tengah candi yang berbentuk kubus yang dianggap
sebagai dunia antara atau bhuwarloka. Pada konsep Buddha disebut rupadhatu. Yaitu
menggambarkan dunia tempat manusia suci yang berupaya mencapai pencerahan dan
kesempurnaan batiniah. Pada bagian depan terdapat gawang pintu menuju ruangan
dalam candi. Gawang pintu candi ini biasanya dihiasi ukiran kepala kala tepat di atas-
tengah pintu dan diapit pola makara di kiri dan kanan pintu. Tubuh candi terdiri dari
garbagriha, yaitu sebuah bilik (kamar) yang ditengahnya berisi arca utama, misalnya
arca dewa-dewi, bodhisatwa, atau Buddha yang dipuja di candi itu. Di bagian luar
dinding di ketiga penjuru lainnya biasanya diberi relung-relung yang berukir relief
atau diisi arca. Pada candi besar, relung keliling ini diperluas menjadi ruangan
tersendiri selain ruangan utama di tengah. Terdapat jalan selasar keliling untuk
menghubungkan ruang-ruang ini sekaligus untuk melakukan ritual yang disebut
pradakshina. Pada lorong keliling ini dipasangi pagar langkan, dan pada galeri dinding
tubuh candi maupun dinding pagar langkan biasanya dihiasi relief, baik yang bersifat
naratif (berkisah) atau pun dekoratif (hiasan).
Atap candi adalah bagian atas candi yang menjadi simbol dunia atas atau
swarloka. Pada konsep Buddha disebut arupadhatu. Yaitu menggambarkan ranah
surgawi tempat para dewa dan jiwa yang telah mencapai kesempurnaan bersemayam.
Pada umumnya, atap candi terdiri dari tiga tingkatan yang semakin atas semakin kecil
ukurannya. Sedangkan atap langgam Jawa Timur terdiri atas banyak tingkatan yang
28
29
membentuk kurva limas yang menimbulkan efek ilusi perspektif yang mengesankan
bangunan terlihat lebih tinggi. Pada puncak atap dimahkotai stupa, ratna, wajra, atau
lingga semu. Pada candi-candi langgam Jawa Timur, kemuncak atau mastakanya
berbentuk kubus atau silinder dagoba. Pada bagian sudut dan tengah atap biasanya
dihiasi ornamen antefiks, yaitu ornamen dengan tiga bagian runcing penghias sudut.
Kebanyakan dinding bagian atap dibiarkan polos, akan tetapi pada candi-candi besar,
atap candi ada yang dihiasi berbagai ukiran, seperti relung berisi kepala dewa-dewa,
relief dewa atau bodhisatwa, pola hias berbentuk permata atau kala, atau sulur-sulur
untaian roncean bunga.
29
30
Angka 3 :
Angka ini banyak dikaitkan dengan Tiga Lapisan Bumi ini yaitu Bhur Loka (alam
manusia), Bhuwah Loka (alam leluhur) dan Swah Loka (alam dewa/Tuhan).
Angka 7 :
30
31
Keistimewaan lain dari angka 9 yang menjadi 108 adalah: bila 108 dibagi dua
= 54 (5 + 4 = 9); bila 54 dibagi dua = 27 (2 + 7 = 9) . Angka 108 juga merupakan
angka jumlah seluruh Upanishad (menurut versi Muktika Upanishad) seperti yang
ada dalam makalah Bapak.
Angka 9 juga istimewa sebagai angka tertinggi. Dalam hal ini angka 10 sama
dengan ‘nol’ Oleh karena itu, tahun baru Nyepi selalu tiba pada ‘penanggal ping
pisan sasih ke-dasa’ (tanggal satu bulan ke sepuluh) sedangkan hari terakhir pada
bulan ke-9 (tileming sasih kesanga) digunakan untuk upacara ‘tawur’ atau
‘pecaruan’ yang bertujuan untuk mennsucikan alam semesta (bhuwana agung). Ini
disebutkan dalam Lontar Jyotisha
31
32
BAB III
DATA BANGUNAN GEREJA GANJURAN
32
33
33
34
34
35
35
36
Gedhong kaca
Gedhong kaca
36
37
37
38
BAB IV
PERWUJUDAN ARSITEKTUR JAWA PADA KOMPLEKS GEREJA
GANJURAN
4.1. Orientasi (sumbu mikrokosmos)
4.2. Bentuk gereja dan pastoran
Denah
Atap
4.3. Ornamen
4.4. Bentuk candi
4.5. Pengaruh Hindu pada gereja
(dari arah hadap timur-barat menjadi utara-selatan)
Jumlah yang didominasi angka kelipatan 3 dan 9
38