Anda di halaman 1dari 38

1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Agama dan Gereja Katolik mulai dikenalkan kepada masyarakat daerah Yogyakarta
pada tahun 1919. Pada waktu awal berdirinya, gereja pada umumnya masih berdiri dengan
gaya arsitektur Belanda karena dibawa dan diajarkan oleh orang-orang Belanda. Salah satu
gereja katolik tua di Bantul, Yogyakarta adalah gereja Katolik Hati Kudus Tuhan Yesus
Ganjuran. Gereja ini didirikan pada tanggal 16 April 1924 oleh keluarga Schmutzer, yang
memiliki sebuah pabrik gula di wilayah itu dengan tujuan awal mendirikan sebuah kapel
doa untuk keluarganya dan karyawan pabriknya dengan gaya arsitektur Belanda.
Namun adanya gaya arsitektur dan tata cara yang asing bagi masyarakat setempat
tersebut, dirasakan kurang serasi dan terkesan jauh bagi masyarakat setempat. Kemudian
gereja ini sedikit demi sedikit mulai memasukkan adat setempat ke dalam susunan perayaan
Ekaristi misalnya mulai menggunakan gamelam melibatkan penduduk setempat dalam
Perayaan Ekaristi. Kemudian pada tahun 1927 dibangun sebuah candi yang berisikan
patung Tuhan Yesus Jawa dengan corak Hindu-Jawa, dan setelah itu banyak mengalami
perkembangan dan penyesuaian dengan kebudayaan daerah.

Gambar 1.1 Gereja Hati Kudus Yesus sebelum Gambar 1.2 Candi Ganjuran
gempa 2006

Pada tahun 2006 terjadi gempa bumi di Yogyakarta yang menyebabkan keruntuhan
pada bangunan gereja tetapi tidak pada bagian candi. Setelah runtuh akibat gempa, gereja
ini memilih untuk membangun kembali gerejanya dengan mengangkat bentuk arsitektur
tradisional setempat yaitu arsitektur tradisional Jawa. Keputusan ini dilakukan mengingat
pada tahun 1974 para Uskup Asia menandaskan tekad untuk melancarkan inkulturasi dalam
Gereja setempat : “Kita hendak membangun Gereja setempat yang diinkarnasikan di dalam
suatu bangsa, suatu Gereja pribumi dan diinkulturasikan.” Sri Paus juga mendorong usaha
inkulturasi Gereja Indonesia pada kunjungan Ad Limina tahun 1980 “Kita rindu melihat

1
2

gereja merembes masuk ke dalam tenunan masyarakat Indonesia.” Singkatnya adalah


adanya wacana untuk mencampurkan karakteristik gereja katolik dengan kebudayaan
dimana dia berada.
Hal ini berarti secara konkret berupa suatu gereja yang berdialog terus menerus,
dengan rendah hati dan penuh cinta dengan tradisi-tradisi, kebudayaan-kebudayaan, dan
agama-agama setempat. Singkatnya, dengan semua kenyataan hidup dari bangsa tempat
gereja menanamkan akarnya dalam-dalam dan yang dengan senang hati membuat sejarah
dan kehidupan bangsa itu menjadi sejarah dan kehidupannya sendiri.

Gambar 1.3 Gereja Hati Kudus Yesus setelah Gambar 1.4 Interior Gereja Hati Kudus Yesus
gempa 2006 Ganjuran

Kompleks Gereja HKTY Ganjuran terdiri dari beberapa fungsi bangunan yaitu
bangunan gereja, Gua Maria, Candi Tuhan Yesus dan juga kantin. Bangunan gereja dengan
luas 600 m2 memiliki gaya arsitektur Jawa yaitu berbentuk joglo yang diselaraskan dengan
ornament-ornamen dan ketentuan ruang gereja Katolik. Kemudian terdapat Gua Maria
dengan menggunakan bentuk bangunan Jawa bermaterial kayu dengan atap bertipe Joglo
kampong. Dan yang paling menonjol dari kompleks ini adalah terdapat Candi yang di
dalamnya terdapat patung Tuhan Yesus Jawa yang bercorak Hindhu-Jawa, dibangun
sebagai ungkapan syukur atas berkat Tuhan yang melimpah. Arca Hati KudusYesus yang
sekaligus adalah Kristus Raja ditahtakan di dalamnya, melambangkan keadilan dan
perdamaian Tuhan yang merajai bumi pertiwi.

Dari pengamatan awal yang dilakukan, gereja Ganjuran adalah gereja setempat yang
diinkarnasikan di dalam suatu bangsa, suatu Gereja pribumi dan diinkulturasikan, dan
kerinduan Sri Paus melihat gereja merembes masuk ke dalam tenunan masyarakat
Indonesia sekiranya sudah dilakukan oleh gereja Ganjuran ini. Maka pada skripsi ini akan
diteliti lebih dalam dan detail bagaimanakah penerapan budaya-budaya setempat dalam
kaidah gereja katolik pada arsitektur kompleks Gereja Ganjuran Yogyakarta.

2
3

1.2. Perumusan Masalah

Issue gereja dan inkulturasi sudah ditegaskan sejak tahun 1980 oleh Sri Paus supaya
dapat menjadi pedoman bagi gereja-gereja katolik di dunia untuk memperhatikan akar-akar
dan kebudayaan tradisi setempat. Salah satu gereja katolik di Indonesia yang menerapkan
prinsip inkulturasi ini yaitu Gereja Katolik Hati Kudus Yesus Ganjuran. Bangunan Gereja
ini dibangun ulang setelah mengalami keruntuhan akibat gempa bumi di Yogya pada tahun
2006. Rancangan pembangunan kembali gedung gereja ini mengangkat arsitektur
tradisionalnya yaitu arsitektur Jawa sebagai bentuk perhatian atas apa yang telah
dicanangkan oleh Sri Paus mengenai “bangunan yang rendah hati dan dekat” dengan
sekitarnya.

Kompleks Gereja HKTY Ganjuran terdiri dari beberapa fungsi bangunan yaitu
bangunan gereja, Gua Maria, Candi Tuhan Yesus dan juga kantin. Bangunan gereja dengan
luas 600 m2 memiliki gaya arsitektur Jawa yaitu berbentuk joglo yang diselaraskan dengan
ornament-ornamen dan ketentuan ruang gereja Katolik. Kemudian terdapat Gua Maria
dengan menggunakan bentuk bangunan Jawa bermaterial kayu dengan atap bertipe Joglo
kampong. Dan yang paling menonjol dari kompleks ini adalah terdapat Candi yang di
dalamnya terdapat patung Tuhan Yesus Jawa yang bercorak Hindhu-Jawa.

Dari pengamatan awal yang dilakukan, gereja Ganjuran adalah gereja setempat yang
diinkarnasikan di dalam suatu bangsa, suatu Gereja pribumi dan diinkulturasikan, dan
kerinduan Sri Paus melihat gereja merembes masuk ke dalam tenunan masyarakat
Indonesia sekiranya sudah dilakukan oleh gereja Ganjuran ini. Maka pada skripsi ini akan
diteliti lebih dalam dan detail bagaimanakah penerapan budaya-budaya setempat dalam
kaidah gereja katolik pada arsitektur Gereja Ganjuran Yogyakarta.

1.3. Pertanyaan Penelitian


Bagaimanakah inkulturasi arsitektur pada Gereja Katolik Hati Kudus Yesus Yogyakarta?

1.4. Maksud dan Tujuan Penelitian


Untuk mengetahui dan mengidentifikasi penerapan inkulturasi pada arsitektur Gereja
Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran

1.5. Manfaat Penelitian

3
4

Manfaat dari penelitian ini adalah untuk menambah ilmu pengetahuan dan wawasan
penulis tentang gereja dan inkulturasi serta budaa-budaya setempat yang dijadikan
inspirasi dalam pembangunan Gereja Katolik Hati Kudus Tuhan Yesus Yogyakarta.

4
5

BAB II
DASAR TEORI
2.1. Inkulturasi
2.1.1. Pengertian Inkulturasi
Inkulturasi adalah sebuah istilah yang digunakan di dalam paham Kristiani,
terutama dalam Gereja Katolik Roma, yang merujuk pada adaptasi dari ajaran-ajaran
Gereja pada saat diajukan pada kebudayaan-kebudayaan non-Kristiani, dan untuk
memengaruhi kebudayaan-kebudayaan tersebut pada evolusi ajaran-ajaran gereja.
Selain itu juga diharapkan menjadi kekuatan yang menjiwai, mengarahkan, dan
memperbaharui kebudayaan bersangkutan, dan dengan demikian menciptakan suatu
kesatuan dan ‘communio’ baru, tidak hanya di dalam kebudayaan tersebut,
melainkan juga sebagai unsur yang memperkaya Gereja sejagat.
‘Inkulturasi’ sebagai proses pengintegrasian pengalaman iman Gereja ke
dalam suatu budaya tertentu, tentu saja berbeda dari ‘akulturasi’. Perbedaan itu
pertama-tama terletak di sini, bahwa hubungan antara Gereja dan sebuah budaya
tertentu tidak sama dengan kontak antar-budaya. Sebab Gereja “berkaitan dengan
misi dan hakekatnya, tidak terikat pada suatu bentuk budaya tertentu”. Kecuali itu,
proses inkulturasi itu bukan sekedar suatu jenis ‘kontak’, melainkan sebuah
penyisipan mendalam, yang dengannya Gereja menjadi bagian dari sebuah
masyarakat tertentu.
2.1.2. Hormat Kepada Kebudayaan
Paus Johannes Paulus II mempunyai suatu pandangan antropologis khas
dalam Gereja Katolik. Dari itu dikembangkan suatu humanisme transcendental atau
humanisme kekristenan yang terbuka untuk Allah. “Dalam bingkai antropologi
kristosentris inilah dibangun seluruh kerangka sikap kepada kebudayaan sebagai
hasil pengolahan manusia atas alam” dan juga sikap terhadap inkulturasi. Perincian
dari kerangka sikap dasar ni kiranya dapat dijabarkan sbb:
Pertama ialah sikap ppositif dan menghormati kebudayaan sebagaimana kita
harus menghrmati martabat dan kebebasan manusia.
Kedua ialah peringatan akan kesiapsiagaan manusia mengawasi
perkembangan kebudayaan agar tidak merugikan dirinya. Pemikiran di sini,
janganlah kiranya manusia menjadi korban hasil karyanya seoerti kadang-kadang
kemajuan ilmu dan teknologi merugikan keutuhan pribadi manusia sendiri.

5
6

Demikianlah dapat dimengerti apabila Paus serentak menghormati kebudayaan dan


agama setempat, yang dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
modern seolah resah kehilangan keselarasan. Ditunjuk sebagai jalan penyehatan,
kembali kepada manusia sendiri dan melaluii martabatnya ditata suatu skala nilai
baru : “Di negeri ini orang langsung bertemu dengan tradisi-tradisi rohani dan agama
Asia, tradisi yang telah memperkaya warisan manusia seluruh dunia

2.2. Arsitektur Gereja Katolik


2.2.1. Pengertian Gereja Katolik
Kata Gereja berasal dari kata Portugis yaitu “igreja” yang berasal dari Bahasa
Yunani : “ekklesia”; yang artinya mereka yang dipanggil, kaum, golongan dan
“kyriake”, dengan arti yang dimiliki Tuhan. Jadi kata Gereja dapat diartikan menjadi
suatu kumpulan atau golongan yang dipanggil dan dimiliki oleh Tuhan.
Agama Katolik sering disebut juga dengan Gereja Katolik, karena pada
dasarnya Gereja adalah perkumpulan orang beriman. Oleh karena itu, Gereja
pertama-tama adalah sebuah rumah penduduk yang memungkinkan orang
berkumpul dan beribadat. Pada saat orang Kristen melewati masa penyiksaannya,
yaitu saat Konstatinopel menjadi Kaisar Roma, dan menjadikan kepercayaan para
pengikut Kristus itu menjadi agama resmi Kerajaan Roma, Agama Kristen mulai
berkembang. Pada perkembangan itulah, Gereja mulai terekspresikan lewat
bangunan-bangunan arsitektural.

2.2.2. Sejarah Gereja Katolik


Nama ‘Gereja Katolik’ baru resmi digunakan pada awal abad ke-2 (tahun
107), ketika Santo Ignatius dari Antiokhia menjelaskan dalam suratnya kepada
jemaat di Smyrna 8, untuk menyatakan bahwa Gereja Katolik adalah Gereja satu-
satunya yang didirikan Yesus Kristus, untuk membedakannya dari para heretik pada
saat itu -yang juga mengaku sebagai jemaat Kristen- yang menolak bahwa Yesus
adalah Allah yang sungguh-sungguh menjelma menjadi manusia. Ajaran sesat itu
adalah heresi/ bidaah Docetisme dan Gnosticisme. Dengan surat tersebut, St.
Ignatius mengajarkan tentang hirarki Gereja, imam, dan Ekaristi yang bertujuan
untuk menunjukkan kesatuan Gereja dan kesetiaan Gereja kepada ajaran yang
diajarkan oleh Kristus. Demikian penggalan kalimatnya, “…Di mana uskup berada,
maka di sana pula umat berada, sama seperti di mana ada Yesus Kristus, maka di

6
7

sana juga ada Gereja Katolik….” ((St. Ignatius of Antioch, Letter to the Smyrnaeans,
8)). Sejak saat itu Gereja Katolik memiliki arti yang kurang lebih sama dengan yang
kita ketahui sekarang, bahwa Gereja Katolik adalah Gereja universal di bawah
pimpinan para uskup yang mengajarkan doktrin yang lengkap, sesuai dengan yang
diajarkan Kristus.

2.2.3. Perkembangan Gereja Katolik di Indonesia


Sejarah Gereja Katolik di Indonesia berawal dari kedatangan bangsa Portugis
ke kepulauan Maluku. Orang pertama yang menjadi Katolik adalah orang Maluku,
Kolano (kepala kampung) Mamuya (sekarang di Maluku Utara) yang dibaptis
bersama seluruh warga kampungnya pada tahun 1534 setelah menerima pemberitaan
Injil dari Gonzalo Veloso, seorang saudagar Portugis. Ketika itu para pelaut Portugis
baru saja menemukan kepulauan rempah-rempah itu dan bersamaan dengan para
pedagang dan serdadu-serdadu, para imam Katolik juga datang untuk menyebarkan
Injil. Salah satu pendatang di Indonesia itu adalah Santo Fransiskus Xaverius, yang
pada tahun 1546 sampai 1547 datang mengunjungi pulau Ambon, Saparua dan
Ternate. Ia juga membaptis beberapa ribu penduduk setempat.
Kemudian pada Era Hindia Belanda terjadi perubahan politik di Belanda,
khususnya kenaikan tahta Raja Lodewijk, seorang Katolik, membawa pengaruh
yang cukup positif. Kebebasan umat beragama mulai diakui pemerintah. Pada
tanggal 8 Mei 1807 pimpinan Gereja Katolik di Roma mendapat persetujuan Raja
Louis Napoleon untuk mendirikan Prefektur Apostolik Hindia Belanda di Batavia
Gubernur Jendral Daendels (1808-1811) berkuasa menggantikan VOC
dengan pemerintah Hindia Belanda. Kebebasan beragama kemudian diberlakukan,
walaupun agama Katolik saat itu agak dipersukar. Imam saat itu hanya 5 orang untuk
memelihara umat sebanyak 9.000 orang yang hidup berjauhan satu sama lainnya.
Akan tetapi pada tahun 1889, kondisi ini membaik, di mana ada 50 orang imam di
Indonesia. Di daerah Yogyakarta, misi Katolik dilarang sampai tahun 1891.

2.2.4. Perkembangan Gereja Katolik di Yogyakarta


Misi Katolik di daerah ini diawali oleh Pastor F. van Lith, SJ yang datang ke
Muntilan pada tahun 1896. Pada awalnya usahanya tidak membuahkan hasil yang
memuaskan, akan tetapi pada tahun 1904 tiba-tiba 4 orang kepala desa dari daerah
Kalibawang datang ke rumah Romo dan mereka minta untuk diberi pelajaran agama.

7
8

Sehingga pada tanggal 15 Desember 1904, rombongan pertama orang Jawa


berjumlah 178 orang dibaptis di sebuah mata air Semagung yang terletak di antara
dua batang pohon Sono. Tempat bersejarah ini sekarang menjadi tempat ziarah
Sendangsono.
Romo van Lith juga mendirikan sekolah guru di Muntilan yaitu
Normaalschool pada tahun 1900 dan Kweekschool (Sekolah Pendidikan Guru) pada
tahun 1904. Pada tahun 1918 sekolah-sekolah Katolik dikumpulkan dalam satu
yayasan, yaitu Yayasan Kanisius. Para imam dan Uskup pertama di Indonesia adalah
bekas siswa Muntilan. Pada permulaan abad ke-20 gereja Katolik berkembang pesat.

2.2.5. Ruang-ruang pada Gereja Katolik


1. Panti Imam
Tempat Imam memimpin perayaan liturgy

2. Sakristi
Tempat persiapan Imam dan pembantunya sebelum menuju ke altar.

3. Panti Umat
Tempat bangku atau kursi umat

4. Tempat Koor

8
9

Tempat khusus bagi para petugas yang diserahi tugas membawakan lagu-lagu
selama perayaan liturgy atau ekaristi

5. Kamar Pengakuan
Tempat untuk menerima Sakramen Tobat secara pribadi

6. Balkon
Tempat/ruang atas di bagian belakang Gereja. Dahulu balkon difungsikan sebagai
tempat koor, namun sekarang balkon lebih sering difungsikan sebagai perluasan
tempat duduk umat.

7. Menara Gereja
Tempat menggantungkan lonceng Gereja. Menara Gereja ada yang menjadi satu
dengan bangunan Gereja, ada juga yang terpisah di samping kanan atau kiri
Gereja.

9
10

8. Portal atau gerbang


Bagian depan gereja yang biasanya terdapat sekat papah sehingga umat yang
sedang mengikuti perayaan liturgy tidak terlihat dari luar.

9. Area Air Suci


Area di pintu Gereja tempat umat mengambil air suci.

10. Pastoran
Tempat tinggal pastor, biasanya tidak jauh dari atau bahkan menjadi satu kompleks
dengan bangunan Gereja.

11. Secretariat Paroki


Tempat segala urusan administrasi, arsip, dan dokumen-dokumen paroki. Biasanya
area ini terletak di dekat Pastoran.

10
11

12. Panti Paroki


Tempat kegiatan umat paroki, misalnya untuk mengadakan pertemuan.

2.2.6. Peralatan Gereja


Dalam merayakan misteri karya keselaman Allah, yang terwujud dalam
bentuk liturgi, Gereja Katolik membutuhkan aneka sarana sebagai perlengkapan
liturgi. Perlengkapan liturgi dapat dilihat umat beriman Katolik, sehingga umat dapat
memahami makna di balik bentuk barang yang dipergunakan. Barang-barang ini
dapat berupa buku, pakaian, maupun benda-benda lain, yang dipegunakan dalam
tindak liturgi
Altar : meja perjamuan Tuhan, di mana umat Allah berkmpul di sekelilingnya dan
di atasnya kurban Kristus dihadirkan. Altar ini harus ditutup dengan kain altar yang
berwarna putih dan diberi korporale.
Salib Altar : salib, dengan gambar Tubuh Kristus, yang diletakkan di atas
meja altar.
Lilin : ditempatkan di atas meja altar sebagai tanda penghormatan
Piala : tempat anggur yang berubah menjadi Darah Kristus sewaktu perayaan
Ekaristi. Piala ini biasanya terbuat dari logam mulia atau sekurang-kurangnya
bagian dalam dilapisi emas.
Patena : sebuah piring yang dilapisi dengan emas, tempat meletakkan hosti
besar.
Palla : kain linen yang diperkeras, bersegi empat, yang dipergunakan untuk
menutup piala dan patena.
Korporale : kain linen, bersegi empat, yang dibentangkan di atas meja altar.
Kain ini menjadi alas untuk meletakkan, baik piala, sibori, patena, maupun
monstrans.
Ampul : gelas kecil untuk menempatkan air anggur.
Purifikatorium : sehelai kain linen untuk membersihkan piala dan sibori.
Sibori : semacam piala yang dapat ditutup untuk menyimpan Tubuh Kristus.
Sibori ini biasanya disimpan di tabernakel.
Piskis : wadah kecil yang dilapisi dengan emas, yang dipergunakan untuk
membawa Tubuh Kristus kepada orang sakit.
Monstrans : perlengkapan liturgi, dibuat dari emas atau bahan lain yang
pantas, yang dipergunakan untuk memperlihatkan Sakramen Mahakudus

11
12

sewaktu perarakan atau pujian.


Lunula : benda yang berbentuk bulan sabit, dibuat dari emas, yang
dipergunakan untuk mengapit Hosti Kudus (besar) dan ditempatkan dalam
monstrans.
Wiruk : tempat dupa, yang dpergunakan untuk mendupai Sakramen
Mahakudus, altar, korban persembahan, dan sebagainya.
Hosti : roti bundar dari gandum, baik berukuran besar maupun kecil, yang
dipergunakan saat perayaan Ekaristi.
Anggur : anggur misa, yang harus dihasilkan langsung dari buah anggur tanpa
ramuan lain.
Air, yag terdiri dari: a) air yang dicampurkan dengan anggur, b) air yang
dipergunakan untuk pembabtisan, dan c) air yang dipergunakan untuk
peyucian atau pemberkatan.
Kredens : meja kecil di panti imam, tempat untuk meletakkan perlengkapan
Ekaristi, misal : piala, sibori, ampul dan sebagainya.
Mimbar : tempat khusus untuk mewartakan sabda Allah dan pusat perhatian
umat selama liturgi sabda.
Minyak, yang terdiri dari : a) minyak katekumen atau Oleum
Catechumenorum, yaitu minyak yang dipergunakan untuk pemberkatan para
katekumen, b) minyak orang sakit atau Oleum Infirmorum, yaitu minyak yang
dipergunakan untuk pengurapan orang sakit, dan c) minyak krisma atau
Sacrum Chrisma, yaitu minyak yang dipergunakan untuk liturgi penguatan
atau krisma, tahbisan, konsekrasi gedung gereja atau altar atau piala atau
lonceng gereja.
Tabernakel : almari kecil yang dipergunakan untuk menyimpan Sakramen
Mahakudus.

Selain itu Gereja Katolik juga merayakan liturgi berdasarkan pada warna
liturgis yang berlaku pada saat-saat tertentu, yaitu :
Putih : digunakan untuk masa Paskah dan Natal, pesta dan peringata Tuhan
Yesus (kecuali sengsaraNya), Santa Perawan Maria, para Malaikat, para
Kudus (bukan martir), hari raya semua Orang Kudus (1 November), Yohanes
Pembabtis (24 Juni), Yohanes Rasul (27 Deseember), Takhta Rasul Petrus (22
Februari), dan bertobatnya Rasul Paulus (25 Januari).

12
13

Merah : dikenakan pada hari Minggu Palma dan Jummat Agung, hari raya
Pentakosta, Para Rasul, para pengarang Injil, dan para Martir.
Hijau : dikenakan dalam masa Biasa sepanjang tahun.
Ungu : dikenakan dalam masa Adven dan Prapaskah, ibadat atau misa arwah

2.3. Arsitektur Jawa


Bangunan sebagai salah satu karya dari sekelompok manusia, tidak lepas dari
budaya yang berkembang di daerah tempat kelompok tersebut berada. Adanya
perbedaan budaya, membuat orang kesulitan dalam memberi batasan pengertian
tentang arsitektur yang dipakai pada bangunan tradisional (termasuk Jawa), dengan
bangunan yang digolongkan nontradisional.
Pada bangunan tradisional Jawa, semata-mata pada aspek fisik, tetapi keabsahan
terhadap alam nyata maupun tinggi. Keabsahan ini justru prioritas yang daripada aspek
fisik karena mempunyai implikasi terhadap jaminan keselamatan dan ketenteraman
bagi 'yang menempatinya. Dua aspek nonfisik yang dominan menurut Johan Silas
adalah aspek arah menghadapnya bangunan dan lambang tubuh manusia. Dalam
penentuan arah menghadapnya bangunan tidak memperhatikan keserasian terhadap
jalan maupun sinar matahari atau kondisi/situasi lingkungan yang lain, melainkan lebih
ditentukan oleh keyakinan individu atau masyarakat setempat.
Kaitannya dengan pengklasifik'asian bagian bangunan tradisional, maupun tata
kota/ruang, umumnya diatur menurut susunan tubuh manusia, yakni kepala, badan dan
kaki. Bahkan kadang-kadang lebih rinci lagi, misalnya: kepala, tubuh, kelamin, tangan
(dibedakan kanan dan kiri), kaki (dibedakan kanan dan kiri). • ' Sedangkan bentuk fisik
bangunan tidak baryak menuntut pembaharuan, meJainkari secara turun-temurun
mengikuti bentuk yang sudah ada dan yang dianggap cocok bagi dirinya. Ini ditinjau
dari segi ukuran fisik bangunan secara keseluruhan maupun penataan ruang di
dalamnya. Sehingga, bangunan tradisional secara· fisik tidak banyak mengalami
perubahan yang berarti untuk kurun waktu yang relatif lama. Perhatian terhadap fisik
ini umumnya mendapat prioritas rendah.
Hasil penelitian Zain Mudjiono dkk (1992) menyimpulkan babwa ciri-ciri
arsitektur tradisional sukti' Jawa pada dasarnya:
(1) Menyelaraskan atau tanggap terhadap alam fisiko Hal ini ditandai dengan bangunan
yang berstruktur taban gempa dengan sistem bangunan tenda, tahan terhadap panas
dengan atap dominan berteritis lebar dan beratap miring, penghawaan yang homogen

13
14

dengan dinding anyaman bambu, penerangan alami yang' minimum, dan dibuat dari
bahan bangunan yang didapat dari alam sekitar.
(2)' Bangunan merupakan tempat' perlindungan terhadap kekuatan gaib/metafisik. Ini
ditandai dengan pengungkapan antara lain: pemilihan kayu, pemilihan tapak,' cara
menghadapnya bangunan harus disesuaikan dengan norma kaidah yang berlaku. Proses
pendirian bangunan selalu diiringi dengan perbitungan adat dan upacara lengkap
'dengan sesaji dan doa. Pandangan hidup dicerminkan atau dilambangkan dalam
elemen-elemen bangunan. Pemilikan ragam hiasan disesuaikan status pemilik dan
fungsi tolak bala terhadap kekuatan gaib/metafisik yang jahat
(3) Bangunan dianggap sebagaibadan manusia/personifikasi. Ditandai dengan bentuk
bangunan dengan pola kepalabadan-kaki. Sernakin' kaya pemiliknya semakin rinci
pembagian pola ini. Pada·banguhan rumah tinggal, senthong yang sakral dipersamakan
dengan alat kelamin, dapur dengan pencern.aan, gandhok sebagai alat kerja.fanggota
badan dan sebagainya. ·
(4) Rumah tinggal cenderung solider tapi ramah. Pengungkapannya adalah; suatu
rumah tinggal prinsipnya diper~ untukkan satu keluarga. Pendopo yang relatif terbuka
memberi kesan ramah menjadi sangat jelas di samping kesan menyatu dengan alam
(Zain Mudjiono WP, 1992:285-287). Penataan bangunan di 5uatu tempat cenderung
mengikuti norma tertentu yang diturunkan dari pandangan hidup yang berlaku dan
budaya yang berkembang di sekitar tempat tersebut. Eko Budiharjo mengatakan
bahwa: "Se tiap kelompok masyarakat mempunyai seperangkat aturan yang dilakukan
pada proses kelahiran, 'cara penggunaan serta cara memusnahkan bangunan. Bagi
masyarakat tradisional, bangunan dianggap 'hidup' dan sangat mempengaruhi
kehidupan sehari-hari." (1991 :85)

2.3.1. Pembagian Ruang Arsitektur Jawa


Susunan ruang dalam bangunan tradisional Jawa pada prinsipnya terdiri dari
beberapa bagian ruang yaitu :
a. Pendapa, difungsikan sebagai tempat melakukan aktivitas yang sifatnya formal
(pertemuan, upacara, pagelaran seni dan sebagainya). Meskipun terletak di
bagian depan, pendapa bukan merupakan ruang penerima yang mengantar orang
sebelum memasuki rumah. Jalur akses masuk ke rumah yang sering terjadi adalah
tidak dari depan melalui pendapa, melainkan justru memutar melalui bagian
samping rumah

14
15

b. Pringgitan, lorong penghubung (connection hall) antara pendapa dengan omah


njero. Bagian pringgitan ini sering difungsikan sebagai tempat pertunjukan
wayang kulit / kesenian / kegiatan publik. Emperan adalah teras depan dari bagian
omah-njero. Teras depan yang biasanya lebarnya sekitar 2 meter ini merupakan
tempat melakukan kegiatan umum yang sifatnya nonformal
c. Omah njero, kadang disebut juga sebagai omah-mburi, dalem ageng atau omah.
Kata omah dalam masyarakat Jawa juga digunakan sebagai istilah yang
mencakup arti kedomestikan, yaitu sebagai sebuah unit tempat tinggal.
d. Senthong-kiwa, dapat digunakan sebagai kamar tidur keluarga atau sebagai
tempat penyimpanan beras dan alat bertani.
e. Senthong tengah (krobongan), sering juga disebut sebagai boma, pedaringan,
atau krobongan. Dalam gugus bangunan rumah tradisional Jawa, letak senthong-
tengah ini paling dalam, paling jauh dari bagian luar. Senthong-tengah ini
merupakan ruang yang menjadi pusat dari seluruh bagian rumah. ruang ini
seringkali menjadi “ruang pamer” bagi keluarga penghuni rumah
tersebut.Sebenarnya senthong-tengah merupakan ruang yang sakral yang sering
menjadi tempat pelaksanaan upacara / ritual keluarga. Tempat ini juga menjadi
ruang penyimpanan benda-benda pusaka keluarga penghuni rumah.
f. Senthong-tengen, fungsinya sama dengan sentong kiwa
g. Gandhok, bangunan tambahan yang mengitari sisi samping dan belakang
bangunan inti.

2.3.2. Sumbu Mikrokosmos


Dalam konteks kultural flosofis tata ruang Kota Yogyakarta yang membujur
arah selatan – utara (Sumbu Filosofis) mempunyai makna filosofis yang sangat
tinggi. Konfigurasi ruang di garis sumbu tersebut dilengkapi dengan elemen ruang
baik bangunan Panggung Krapyak – Keraton Yogyakarta – Tugu. Sumbu tersebut
merupakan gambaran konsep mikrosmos, yaitu alam kehidupan nyata yang menjadi

15
16

laku peziarahan manusia. Secara paralel dalam konsep makrokosmos ada garis
imajiner Selatan – Utara, yaitu Laut Selatan – Gunung Merapi.
Secara filosofis dari Panggung Krapyak ke Keraton dan Tugu memberikan
gambaran konsep sangkan paraning dumadi (dari mana asal manusia dan arah
kemana yang akan dituju). Gambaran manusia dari embrional, lahir, berproses,
berkembang, eksis, dan apda akhirnya kembali kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.

Sumber : https://books.google.co.id/books?id=24RRT-
PsxGYC&pg=PA51&lpg=PA51&dq=Sumbu+Mikrokosmos&source=

Apabila dirinci maka Panggung Krapayak – Keraton merepresentasikan


makna Sangkan Paran yaitu asal muasal manusia untuk berproses menuju eksistensi.
Sedangkan Tugu – Keraton merepresentasikan makna Paraning Dumadi, yaitu
manusia yang eksis berproses untuk menjalankan kehidupannya. Proses itu untuk
mendapatkan kehidupan dalam Jalan Keutamaan, Jalan Kesejahteraan, Jalan
Kemuliaan, dan mampu membebaskan diri dari berbagai halangan, godaan, serta
nafsu angkara murka. Manunggaling Kawula – Gusti atau kesatupaduan antara
Kawula dan Gusti atau antara rakyat dan raja (mikrokosmos) serta antara manusia
dengan Tuhan (makrokosmos) dapat menjadi jalan kehidupan yang baik terutama
dalam tataran untuk selalu menjalankan konsep hamemayu hayuning bawana.
Makna konsep itu yaitu memperindah kehidupan di dunia atau menjaga kehidupan
dunia secara baik.

16
17

2.3.3. Bentuk-Bentuk Rumah Jawa


a. Rumah Bentuk Joglo
Rumah ini pada kenyataannya hanya dimiliki oleh orang-orang yang
mampu. Sebab untuk membangun rumah Joglo dibutuhkan bahan bangunan
yang lebih banyak dan lebih mahal. Dan memang rumah-rumah semacam
joglo hanya dimiliki oleh orang-orang yang terpandang.
Paling tidak rumah joglo berbentuk bujur sangkar dan bertiang empat.
Tapi yang kita lihat sekarang adalah yang sudah mengalami banyak
perubahan. Sehingga namanya juga bermacam-macam.

17
18

b. Rumah Limasan
Rumah limasan memiliki denah empat persegi panjang dan dua buah
atap (kejen atau cocor) serta dua atap lainnya (brunjung) yang bentuknya
jajaran genjang sama kaki. Kejen atau cocor berbentuk segi tuga sama kaki
seperti tutup keyong. Karena cenderung untuk berubah, maka rumah limasan
mengalami penambahan sisi-sisinya yang disebut empyak emper atau atap
emper. Karena hal ini, tentulah timbul rumah limasan dengan namanya
masing-masing.
Jika diteliti perbedaan rumah limasan dengan rumah joglo ialah pada
atap brunjung dan konstruksi bagian tengah. Ternyata atap brunjung rumah
limasan lebih panjang daripada atap brunjung rumah joglo, tapi lebih rendah
bila dibandingkan joglo.

18
19

c. Rumah Kampung
Pada jaman lampau, para penduduk beranggapan yang rumahnya
berbentuk kampong adalah rumah orang tidak mampu atau miskin. Kemudian
istilah tersebut menjadi umum, bahwa orang kampong mempunyai rumah
bentuk kampong dan panggang-pe. Dan untuk golongan menengah rumah
limasan, serta joglo untuk golongan nigrat.
Rumah kampong ini sudah bisa dilihat pada relief-relief candi
Borobudur, rambanan dan candi-candi lainnya. Dari sini bisa diambil
kesimpulan bahwa rumah kampong lebih tua daripada rumah joglo atau
limasan.
Rumah Kampung pada umumnya mempunyai denah empat persegi
panjang. Namun bagi yang menginginkan kesederhanaan hanya memakai
empat buah tiang dan dua buah atap yang berbentuk empat persegi panjang.
Di bagian samping atas, ditutup dengan tutup keyong. Atap ini namanya
sama, tetapi lain dengan yag ada pada rumah Limasan. Karena
kesederhanaannya justru menimbulkan nama yang bermacam-macam.

d. Rumah Bentuk Tajug


Rumah bentuk masjid dan tajug mempunyai denah bujur sangkar, dan
bentuk inilah yang masih mempertahankan bentuk denah aslinya sampai
sekarang. Jika terdapat variasi, maka variasi tadi tidak akan mengubah bentuk
denah bujur sangkar tersebut.

19
20

e. Rumah Bentuk Panggang-Pe


Panggang berarti dipanggang (dipanaskan di atas api). Pe dari kata epe
yang artinya dijemur di bawah terik matahari. Rumah yang namanya seperti
ini biasanya termasuk bentuk rumah yang sederhana, lebih sederhana bila
dibandingkan dengan rumah kampong. Rumah panggang-pe, di pedesaan
Jawa bukan untuk tempat tinggal. Rumah panggang-pe dahulu dipakai untuk
menjemur barang-barang seperti daun the, pati, ketela pohon dan lain-lainnya.
Ada sebuah atap dan empat buah tiang atau lebih dan barang yang dijemur di
atasnya lekas kering karena terhindar dari pengaruh penguapan air tanah.
Sebuah bangunan cukup kokoh, yang termasuk paling tua, dengan
diketemukannya relief pada dinding-dinding candi maupun tempat pemujaan
yang lain. Semua bentuk rumah Panggang-pe mudah dibuat. Biasanya ringan
dan kalau rusak tidak memerlukan resiko yang besar. Itulah sebabnya rumah
semacam ini tetap dipertahankan.
Sungguh mudah memberi tambahan di sana-sini, sehingga muncullah
bermacam-macam rumah Panggang-pe. Tetapi rumah tersebut hanya dipakai
untuk warung, gubug di tengah sawah untuk mengusir burung dan rumah kecil
di tengah pasar untuk berjualan.

20
21

2.3.4. Ornamen Jawa


Ornamen yang ada pada arsitektur Jawa menurut Dakung (1987 :32) antara
lain terdiri dari :
1) Lung-lungan
Biasanya ragam ini berupa relief pada kayu yang tidak diwarnai, kecuali
pada rumah bangsawan (warna dasar merah atau coklat, warna lung-
lungan emas, warna dasar hijau tua warna lung-lungan, atau warna tangkai
dan daun hijau–putih warna buah dan bunga merah putih). Hiasan ini
merupakan hiasan yang paling banyak ditemui pada rumah-rumah, dan
biasanya di tempatkan pada balok-balok kerangka rumah, pemindangan
serta tebeng pintu dan jendela .

Gambar. 10 Lung-lungan
2) Saton
Ragam hias ini juga berupa pahatan pada kayu dan biasanya ditempatkan
pada balok-balok kayu serta tebeng jendela dan pintu, dan selalu
ditempatkan pada ujung dan pangkalnya. Saton biasanya ragam hias lain.
Ragam hias ini bila diwarnai, maka warna dasarnya berwarna hijau tua
atau merah tua sementara satonya berwarna kuning emas. Selain itu juga
biasa dijumpai hiasan ini tidak diwarnai .

Gambar. 11 Saton
3) Wajikan
Ragam hias ini berupa pahatan kayu yang dibuat terpisah dengan balok
kayu yang dihias. Wajikan biasanya ditempatkan pada bagian tengah dari
tiang atau titik persilangan balok-balok kayu pada pagar. Warnanya
biasanya kontras dengan warna dasarnya .

21
22

Gambar. 12 Wajikan

4) Nanasan
Ragam hias ini biasanya terdapat pada rumah bangsawan atau istana.
Warnanya biasanya menyesuaikan dengan warna bangunanya, kecuali
jika warna bangunannya adalah hijau tua atau merah tua, dimana nanasan
diberi warna emas dan merah. Hiasan ini biasanya ditempatkan pada
ujung saka bentung dan pada balok lainya.

Gambar. 13 Nanasan
5) Tlacapan
Ragam hias ini biasanya ditempatkan pada ujung balok kerangka
bangunan. Pada bangunan yang tidak berhias, maka hiasan ini dibiarkan
tidak berwarna, sementara pada bangunan yang berhias, maka hiasan ini
diwarnai dengan emas atau hijau dan merah. Jika ada garis tepinya, maka
garis tepi tersebut berwarna emas, dengan warna dasar hijau tua atau
merah tua menurut warna dasar balok yang dihias .

Gambar. 14 Tlacapan
6) Kebenan
Ragam hias ini berupa pahatan kayu, yang diberi warna bila digunakan
pada bangunan bangsawan, sementara untuk rumah biasanya tidak diberi
warna. Hiasan ditempatkan pada ujung saka bentung, dan pada setiap
sudut blandar sisi luar pada rumah joglo. Karena itu hisan ini banyak
ditemui pada rumah joglo atau pada bangunan yang menggunakan
lambing gantung.

22
23

Gambar. 15 Kebenan
7) Patran
Ragam hias ini dipahatkan pada kerangka kayu bangunan, biasanya
dibiarkan polos, sementara jika diwarnai maka akan diberi warna hijau
atau biru yang bervariasi hingga ke putih. Hiasan ini ditempatkan pada
kerangka bangunan. Pada umumnya hiasan ini ditemui pada sisi tipis
balok dengan posisi ujung daun di bawah.

8) Padma.
Ragam hias ini hanya digunakan pada umpak. Hiasan yang
melambangkan kesucian ini berupa pahatan pada batu umpak dan tidak
diberi warna atau berwarna hitam pekat biasanya penempatanya adalah
pada tiang-tiang saka guru, penanggap atau penitih.

Gambar. 17 Padma
9) Kemamang
Ragam hias ini berupa gambar atau relief yang mukanya diberi warna
emas, rambut dan kumis hitam pekat, bibir dan lidah yang berwarna
merah, walaupun ada juga yang polos. Hiasan ini tidak terdapat pada
rumah biasa, tetapi pada bangunan istana dan ditempatkan pada pintu
masuk, gerbang dan pintu gerbang.

Gambar. 18 Kemamang

23
24

10) Peksi Garuda


Ragam ini dapat berupa relief, lukisan atau pahatan plastis, baik dari
logam, kayu tembok ataupun tembikar. Bentuknya bisa naturalistis,
stilisasi ataupun hanya simbolik, dan sering digunakan sebagai sengkalan
memet. Biasanya hiasan ini diberi warna kuning emas (atau prada emas
pada rumah bangsawan) dan ditempatkan pada bubungan, tebeng atau
pintu-pintu.

Gambar.19 Peksi Garuda


11) Naga
Ragam hias ini seperti juga peksi garuda dapat berupa relief atau lukisan
yang terbuat dari kayu, logam dan tembok. Hiasan ini selalu muncul
dalam bentuk naga secara utuh dan lengkap. Pewarnaan bisa natural,
sunggingan ataupun atau polos. Bila polos biasanya menggunakan warna
emas. Hiasan ini banyak ditempatkan pada pintu gerbang.

Gambar. 20 Naga
12) Jago
Ragam hias ini terbuat dari tembikar atau seng yang tidak diberi warna
dan diletakan diatas bubungan atap.

Gambar. 21 Jago
13) Mirong
Ragam hias ini dipahatkan pada tiang dan banyak ditempatkan pada saka
guru, tiang-tiang penggap ataupun penitih. Ragam hias ini selalu
digunakan sepasang pada setiap tiang. Untuk tiang-tiang yang memiliki

24
25

ukuran berbeda, maka ukuran mirongnya juga berbeda. Pewarnaanya


selalu menggunakan warna emas pada garis tepinya.

Gambar. 22 Mirong
14) Gunungan
Ragam hias ini terbuat dari seng atau tembikar yang tidak diberi warna.
Penempatanya adalah pada tengah-tengah bubungan. Bentuknya
bermacammacam, bisa sederhana sekali seperti gunungan pada wayang
kulit, ataupun stilisasi bentuk gunung .

Gambar . 23 Gunungan
15) Makutha
Ragam hias ini berbentuk mahkota denga jenis yang bermacam-macam
dan terbuat dari seng atau tembikar. Pewarnaanya dibiarkan polos atau
diberi warna hitam dan ditempatkan pada tengah-tengah bubungan
bangunan. Hiasan ini biasanya dipakai pada rumah joglo, walaupun ada
juga yang ditempatkan pada bangunan limasan dan kampong.

Gambar . 24 Makutha
16) Praba
Ragam hias ini berupa relief yang dipahatkan pada tiang-tiang bangunan
utama dan selalu diberi warna baik warna emas, hijau, biru ataupun
merah. Pada tiang, hiasan ini, ditempatkan pada keempat sisi ujung dan
pangkal tiang.

25
26

Gambar . 25 Praba
17) Kepetan
Ragam hias ini sederhana, berupa relief dari kayu dan ditempatkan pada
tiap sudut daun pintu, patang garing, dan dinding gebyok. Biasanya hiasan
ini tidak diberi warna .

Gambar. 26 Kepetan
18) Panahan
Ragam hias ini berupa relief tembus dari kayu yang ditempatkan pada
tebeng pintu dan jendela. Panahan ini diberi warna sesuai dengan warna
kayu tebengnya. Bila kayunya tidak dicat, maka panahan tersebut juga
tidak dicat .

Gambar. 27 Panahan
19) Banyu Tetes.
Ragam hias ini berupa relief dan tidak berupa lukisan. Penempatanya
adalah pada bagian kerangka bangunan. Banyu tetes selalu dipadukan
dengan patran secara berselang-seling. Bila patran diwarnai maka banyu
tetes juga diwarnai, sementara jika patran tidak diwarnai maka banyu tetes
juga dibiarkan polos.

26
27

Gambar. 28 Banyu Tetes


20) Mustaka.
Ragam hias ini merupakan hiasan pada puncak bangunan berbentuk tajug,
yang dibuat dari seng yang bisa dicat dan bisa juga tidak dicat.

Gambar . 29 Mustaka
Dari dua puluh ornamen dalam arsitektur Jawa diatas dapat disimpulkan:
1) Sebagian besar bermotif alam yang distalisasi, dan hanya sedikit saja yang
bermotif benda-benda selain alam seperti Kaligrafi, Panahan, Mustaka
dan Makutha.
2) Kebanyakan ragam hias tersebut ditempatkan pada kerangka bangunan
yang terbuat dari kayu. Penempatan ragam hias tersebut pada kerangka
kayu bangunan adalah pada ujung-ujung dan bagian tengah-tengah balok.

2.4. Arsitektur Hinhu candi


2.4.1. Struktur
Kebanyakan bentuk bangunan candi meniru tempat tinggal para dewa yang
sesungguhnya, yaitu Gunung Mahameru. Oleh karena itu, seni arsitekturnya dihias
dengan berbagai macam ukiran dan pahatan berupa pola yang menggambarkan alam
Gunung Mahameru.
Peninggalan-peninggalan purbakala, seperti bangunan-bangunan candi, patung-
patung, prasasti-prasasti, dan ukiran-ukiran pada umumnya menunjukkan sifat
kebudayaan Indonesia yang dilapisi oleh unsur-unsur Hindu-Budha.[10] Pada
hakikatnya, bentuk candi-candi di Indonesia adalah punden berundak, di mana punden
berundak sendiri merupakan unsur asli Indonesia.
Berdasarkan bagian-bagiannya, bangunan candi terdiri atas tiga bagian penting,
antara lain, kaki, tubuh, dan atap.
Kaki candi merupakan bagian bawah candi. Bagian ini melambangkan dunia
bawah atau bhurloka. Pada konsep Buddha disebut kamadhatu. Yaitu menggambarkan

27
28

dunia hewan, alam makhluk halus seperti iblis, raksasa dan asura, serta tempat
manusia biasa yang masih terikat nafsu rendah. Bentuknya berupa bujur sangkar yang
dilengkapi dengan jenjang pada salah satu sisinya. Bagian dasar candi ini sekaligus
membentuk denahnya, dapat berbentuk persegi empat atau bujur sangkar. Tangga
masuk candi terletak pada bagian ini, pada candi kecil tangga masuk hanya terdapat
pada bagian depan, pada candi besar tangga masuk terdapat di empat penjuru mata
angin. Biasanya pada kiri-kanan tangga masuk dihiasi ukiran makara. Pada dinding
kaki candi biasanya dihiasi relief flora dan fauna berupa sulur-sulur tumbuhan, atau
pada candi tertentu dihiasi figur penjaga seperti dwarapala. Pada bagian tengah alas
candi, tepat di bawah ruang utama biasanya terdapat sumur yang didasarnya terdapat
pripih (peti batu). Sumur ini biasanya diisi sisa hewan kurban yang dikremasi, lalu
diatasnya diletakkan pripih. Di dalam pripih ini biasanya terdapat abu jenazah raja
serta relik benda-benda suci seperti lembaran emas bertuliskan mantra, kepingan uang
kuno, permata, kaca, potongan emas, lembaran perak, dan cangkang kerang.
Tubuh candi adalah bagian tengah candi yang berbentuk kubus yang dianggap
sebagai dunia antara atau bhuwarloka. Pada konsep Buddha disebut rupadhatu. Yaitu
menggambarkan dunia tempat manusia suci yang berupaya mencapai pencerahan dan
kesempurnaan batiniah. Pada bagian depan terdapat gawang pintu menuju ruangan
dalam candi. Gawang pintu candi ini biasanya dihiasi ukiran kepala kala tepat di atas-
tengah pintu dan diapit pola makara di kiri dan kanan pintu. Tubuh candi terdiri dari
garbagriha, yaitu sebuah bilik (kamar) yang ditengahnya berisi arca utama, misalnya
arca dewa-dewi, bodhisatwa, atau Buddha yang dipuja di candi itu. Di bagian luar
dinding di ketiga penjuru lainnya biasanya diberi relung-relung yang berukir relief
atau diisi arca. Pada candi besar, relung keliling ini diperluas menjadi ruangan
tersendiri selain ruangan utama di tengah. Terdapat jalan selasar keliling untuk
menghubungkan ruang-ruang ini sekaligus untuk melakukan ritual yang disebut
pradakshina. Pada lorong keliling ini dipasangi pagar langkan, dan pada galeri dinding
tubuh candi maupun dinding pagar langkan biasanya dihiasi relief, baik yang bersifat
naratif (berkisah) atau pun dekoratif (hiasan).
Atap candi adalah bagian atas candi yang menjadi simbol dunia atas atau
swarloka. Pada konsep Buddha disebut arupadhatu. Yaitu menggambarkan ranah
surgawi tempat para dewa dan jiwa yang telah mencapai kesempurnaan bersemayam.
Pada umumnya, atap candi terdiri dari tiga tingkatan yang semakin atas semakin kecil
ukurannya. Sedangkan atap langgam Jawa Timur terdiri atas banyak tingkatan yang

28
29

membentuk kurva limas yang menimbulkan efek ilusi perspektif yang mengesankan
bangunan terlihat lebih tinggi. Pada puncak atap dimahkotai stupa, ratna, wajra, atau
lingga semu. Pada candi-candi langgam Jawa Timur, kemuncak atau mastakanya
berbentuk kubus atau silinder dagoba. Pada bagian sudut dan tengah atap biasanya
dihiasi ornamen antefiks, yaitu ornamen dengan tiga bagian runcing penghias sudut.
Kebanyakan dinding bagian atap dibiarkan polos, akan tetapi pada candi-candi besar,
atap candi ada yang dihiasi berbagai ukiran, seperti relung berisi kepala dewa-dewa,
relief dewa atau bodhisatwa, pola hias berbentuk permata atau kala, atau sulur-sulur
untaian roncean bunga.

2.4.2. Tata Letak


Bangunan candi ada yang berdiri sendiri ada pula yang berkelompok. Ada dua
sistem dalam pengelompokan atau tata letak kompleks candi, yaitu:
a. Sistem konsentris, sistem gugusan terpusat; yaitu posisi candi induk
berada di tengah–tengah anak candi (candi perwara). Candi perwara
disusun rapi berbaris mengelilingi candi induk. Sistem ini dipengaruhi tata
letak denah mandala dari India. Contohnya kelompok Candi Prambanan
dan Candi Sewu.
b. Sistem berurutan, sistem gugusan linear berurutan; yaitu posisi candi
perwara berada di depan candi induk. Ada yang disusun berurutan
simetris, ada yang asimetris. Urutan pengunjung memasuki kawasan yang
dianggap kurang suci berupa gerbang dan bangunan tambahan, sebelum
memasuki kawasan tersuci tempat candi induk berdiri. Sistem ini
merupakan sistem tata letak asli Nusantara yang memuliakan tempat yang
tinggi, sehingga bangunan induk atau tersuci diletakkan paling tinggi di

29
30

belakang mengikuti topografi alami ketinggian tanah tempat candi


dibangun. Contohnya Candi Penataran dan Candi Sukuh. Sistem ini
kemudian dilanjutkan dalam tata letak Pura Bali.

Tata letak Candi Sewu yang konsentris memperlihatkan bentuk mandala


wajradhatu.
2.4.3. Angka yang dihormati
Dalam tradisi beragama Hindu di Indonesia, secara matematis ada angka-
angka tertentu yang memiliki makna tertentu:

Angka 3 :

Angka ini banyak dikaitkan dengan Tiga Lapisan Bumi ini yaitu Bhur Loka (alam
manusia), Bhuwah Loka (alam leluhur) dan Swah Loka (alam dewa/Tuhan).
Angka 7 :

1. Diyakini istimewa karena jumlah ‘cakra’ dalam tubuh manusia = 7 yakni:


muladara, swadisthana, manipura, anahatta, wisudhi, ajnya, dan sahasrara.

2. Ada ‘Sapta Ongkara Mantra’: Prama-Siwa-Sunia Atma, Sada-Siwa-


Niskala-Atma, Sada-Rudra-Ati-Atma, Mahadewa-Nirmala-Atma, Ishwara-Parama-
Atma, Wisnu-Atma, Brahma-Atma.
Ketujuh Cakra seperti yang disebutkan diatas adalah bagian dari Yoga
Kundalini, bersamaan dengan mengucapkan Sapta Ongkara Mantra,dan Pranayama
(pengaturan nafas) dilakukan disaat Pendeta Hindu ‘ngili atma’, yaitu salah satu
proses dalam rangkaian membuat ‘tirtha amrta’ dalam suatu upacara. Ini ditulis
dalam sebuah Lontar bernama: Lontar Arga Patra’

Angka 7 juga istimewa, karena dalam Lontar ‘Purwa Gumi Kemulan’


disebutkan bahwa lapisan bumi ada 7: Patala (inti bumi = magma), Witala, Nitala,

30
31

Sutala. Satala, dan Ratala.


Angka 9 :
Angka 9 istimewa karena:

1. Jumlah butir-butir ganitri (tasbih) adalah 108: 1 + 0 + 8 = 9

2. Adanya Dewa-Dewa (manifestasi Tuhan/ Ida Sanghyang Widhi) menurut


arah mata angina = 9, yaitu: Ishwara (timur) Mahesora (tenggara), Brahma (selatan),
Rudra (barat-daya), Mahadewa (barat), Sangkara (barat-laut), Wisnu (utara),
Sambhu (timur laut) dan Tripurusha (tengah-tengah). Hal ini ada dalam Lontar Arga
Patra.

Keistimewaan lain dari angka 9 yang menjadi 108 adalah: bila 108 dibagi dua
= 54 (5 + 4 = 9); bila 54 dibagi dua = 27 (2 + 7 = 9) . Angka 108 juga merupakan
angka jumlah seluruh Upanishad (menurut versi Muktika Upanishad) seperti yang
ada dalam makalah Bapak.

Angka 9 juga istimewa sebagai angka tertinggi. Dalam hal ini angka 10 sama
dengan ‘nol’ Oleh karena itu, tahun baru Nyepi selalu tiba pada ‘penanggal ping
pisan sasih ke-dasa’ (tanggal satu bulan ke sepuluh) sedangkan hari terakhir pada
bulan ke-9 (tileming sasih kesanga) digunakan untuk upacara ‘tawur’ atau
‘pecaruan’ yang bertujuan untuk mennsucikan alam semesta (bhuwana agung). Ini
disebutkan dalam Lontar Jyotisha

31
32

BAB III
DATA BANGUNAN GEREJA GANJURAN

32
33

33
34

34
35

35
36

Bangsal sri manganti

Gedhong kaca

Gedhong kaca

36
37

37
38

BAB IV
PERWUJUDAN ARSITEKTUR JAWA PADA KOMPLEKS GEREJA
GANJURAN
4.1. Orientasi (sumbu mikrokosmos)
4.2. Bentuk gereja dan pastoran
Denah
Atap
4.3. Ornamen
4.4. Bentuk candi
4.5. Pengaruh Hindu pada gereja
(dari arah hadap timur-barat menjadi utara-selatan)
Jumlah yang didominasi angka kelipatan 3 dan 9

38

Anda mungkin juga menyukai