Anda di halaman 1dari 64

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS

A. Kajian Terdahulu yang Relevan

1. Ramadani, Pengaruh Kepemimpinan Demokratis Terhadap Kinerja

Pegawai pada Kementerian Perhubungan Direktorat Jenderal

Perhubungan Darat Balai Pengelola Transportasi Darat Wilayah

Provinsi Sumatera Utara, 2021. Bertujuan untuk menganalisis Pengaruh

Kepemimpinan Demokratis Terhadap Kinerja Pegawai Di Kementerian

Perhubungan Direktorat jenderal Perhubungan Darat Balai Pengelola

Transportasi Darat Wilayah II-Provinsi Sumatera Utara. Responden berjumlah

70 orang, metode analisisnya kuantitatif menggunakan analisis regresi linier

sederhana. Hasil penelitian uji parsial (uji t) menunjukkan bahwa

Kepemimpinan Demokratis berpengaruh signifikan terhadap kinerja pegawai.

Hal tersebut dapat dilihat dari thitung 9,467 > t tabel 1,995 dengan signifikasi

0,000 < 0,05. Sementara hasil uji koefisien determinasi (R) sebesar 0,569. Hal

ini berarti bahwa pengaruh variabel X terhadap variabel Y sebesar 56,9%.

2. Pandingan, Pengaruh Kepemimpinan Demokratis Terhadap Kinerja Pegawai

Di Kantor Camat Kecamatan Medan Perjuangan, 2017. Tujuan penelitian ini

untuk mengetahui pengaruh kepemimpinan demokratis terhadap kinerja

pegawai di kantor camat kecamatan medan perjuangan. Populasi dalam

penelitian ini adalah pegawai negeri kantor camat kecamatan medan

perjuangan, jumlah pegawai 32 orang dan diambil sampel seluruhnya yang

11
12

menjadi responden dalam penelitian ini. Metode analisis yang digunakan

adalah metode kuantitatif melalui dengan analisis regresi linier sederhana.

Berdasarkan hasil penelitian terbukti bahwa dilihat dari tingkat korelasi antara

variabel bebas (x) dengan variabel terikat (y) berada pada tingkat korelasi

sedang, yaitu kepemimpinan demokratisnya dari 32 orang menjawab 93,75%

dan kinerja pegawainya dari 32 orang menjawab 62,5% dari hasil perhitngan

tersebut rxy = 0,412. Artinya pengaruh kepemimpinan demokratis terhadap

kinerja pegawai sebesar 41,2%.

3. Harmen, Pengaruh Budaya organisasi (Kerja) Dan Lingkungan Kerja Non

Fisik Terhadap Kinerja Pegawai Pada Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air

Provinsi Sumatera Utara, 2015. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan

menjelaskan pengaruh budaya organisasi (Kerja) dan lingkungan kerja non

fisik terhadap kinerja pegawai pada Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air

Provinsi Sumatera Utara. Populasi 192 orang dan sampel 66 orang. Metode

analisis dengan regresi linier berganda. Hasil penelitian : Berdasarkan uji-t

diperoleh nilai t hitung budaya organisasi (Kerja) sebesar 2,186 lebih besar dari

nilai t tabel 1,669, dapat disimpulkan bahwa budaya kerja berpengaruh secara

parsial terhadap kinerja pegawai. Lingkungan kerja non fisik memiliki nilai t

sebesar 3,019 lebih besar dari nilai tabel sebesar 1,669, dapat disimpulkan

bahwa lingkungan kerja non fisik berpengaruh secara parsial terhadap kinerja

pegawai. Hasil analisis dalam penelitian ini menyimpulkan bahwa budaya

organisasi (Kerja) berpengaruh terhadap kinerja pegawai sebesar 22,7%.

4. Situmorang, Pengaruh Budaya Organisasi (kerj) Terhadap Kinerja Pegawai


13

Pada Dinas Pendapatan Sumatera Utara, 2018. Tujuan penelitian untuk

mengetahui pengaruh budaya organiasi (kerja) terhadap kinerja pegawai.

Populasi dan sampel berjumlah 46 orang. Metode analisis yang digunakan

adalah analisis kuantitatif dengan program SPSS Versi 20. Hasil penelitian

budaya organisasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja pegawai

pada Dinas Pendapatan Sumatera Utara dapat diterima pada tingkat

kepercayaan 95%. Sebesar 85,6% dari perubahan kinerja pegawai dapat

dijelaskan oleh perubahan variabel budaya organisasi.

B. Kepemimpinan Demokratis

1. Pengertian Kepemimpinan

Pengertian Kepemimpinan menurut Rivai (2014;72) menyatakan

bahwa kepemimpinan memiliki banyak arti dan makna. Definisi

kepemimpinan secara luas meliputi proses mempengaruhi dalam menentukan

tujuan organisasi, memotivasi perilaku pengikut untuk mencapai tujuan,

mempengaruhi untuk memperbaiki kelompok atau budayanya”. Selain itu

juga Kepemimpinan juga sering dipahami sebagai kemampuan seseorang

untuk mengerakkan orang lain dalam melakukan, mempertahankan dan

mengembangkan sebuah organisasi. Untuk mencapai tujuan organisasi di

butuhkan pemimpin yang mampu menjadi tauladan yang baik bagi pegawai.

Yukl (2015:92) mengemukakan beberapa pengertian tentang

kepemimpinan, yaitu :

a. Kepemimpinan adalah pengaruh antar pribadi yang dijalankan dalam


14

suatu situasi tertentu, serta diarahkan melalui suatu proses komunikasi,

kearah satu atau beberapa tujuan tertentu

b. Kepemimpinan adalah perilaku dari seorang individu yang

memimpin aktivitas-aktivitas suatu kelompok ke suatu tujuan yang

akan dicapai bersama (Shared Goal)

c. Kepemimpinan adalah proses mempengaruhi aktivitas-aktivitas

sebuah kelompok yang diorganisasikan ke arah pencapaian tujuan

d. Kepemimpinan adalah sebuah proses memberi arti (pengarahan

berarti) terhadap usaha kolektif, dan yang mengakibatkan kesediaan

untuk melakukan usaha yang diinginkan untuk mencapai sasaran.

Dari beberapa pengertian di atas, maka dalam kepemimpinan

mencakup unsur pemimpin yakni orang yang akan mempengaruhi tingkah

laku pengikutnya (influencee), pengikut-pengikutnya (influencee) dan situasi

tertentu. Ketiadaan salah satu dari ketiga unsur tersebut akan

menghilangkan esensi pemimpin itu. Dan pemimpin yang efektif dalam

hubungannya dengan bawahan adalah pemimpin yang mampu meyakinkan

mereka bahwa kepentingan pribadi dari bawahan adalah visi pemimpin,

serta mampu meyakinkan bahwa mereka mempunyai andil dalam

mengimplementasikannya.

The leader is characterised by a strong drive for responsibility and

task completion, vigour and persistence in pursuit of goals,

venturesomeness and originality in problem solving, and a drive to

exercise initiative in social situations. He possesses self-confidence and a


15

strong sense of personal identity; a willingness to accept the

consequences of decision and actions, a readiness to absorb interpersonal

stress, a willingness to tolerate frustration and delay, an ability to

influence other people’s behaviour, and a capacity to structure social

interaction systems to the purpose at hand. Stogdill (Foster, 2011:6)

Kepemimpinan demokratis Robbins (2015:149) menyatakan bahwa

gaya demokratis menggambarkan pemimpin yang melibatkan pegawai dalam

membuat keputusan, mendelegasikan wewenang dan menggunakan umpan

balik sebagai kesempatan untuk melatih pegawai.

Kartono (2016:86) menyatakan bahwa, kepemimpinan demokratis

menitik beratkan masalah aktivitas setiap anggota kelompok juga para

pemimpin lainnya, yang semua terlibat aktif dalam penentuan sikap,

pembuatan rencana – rencana, pembuatan keputusan penerapan disiplin kerja

(yang ditanamkan secara sukarela oleh kelompok – kelompok dalam suasana

demokratis).

Berdasarkan paparan beberapa pendapat diatas dapat ditarik sebuah

kesimpulan bahwa kepemimpinan demokratis merupakan sikap pemimpin

yang melibatkan pegawai secara sukarela dalam membuat keputusan,

pembuatan rencana-rencana, serta memberikan kesempatan pegawai untuk

berpartisipasi menyampaikan kritik dan saran yang bisa di pertanggung

jawabkan

Pemimpin dibedakan oleh sebuah kekuatan penggerak terhadap

tanggung jawab dan penyelesaian tugas, kekuatan mental/fisik dan


16

keteguhan dalam mencapai cita-cita, berani menanggung resiko, dan

originalitas dalam pemecahan masalah, dan memiliki inisiatif dalam

situasi sosial. Dia memiliki kepercayaan diri dan kesadaran kuat pada

identitas personal; rela menerima konsekuensi dari suatu tindakan dan

keputusan, mudah memahami interpersonal stress, kerelaan menahan

frustasi dan penundaan, kemampuan mempengaruhi perilaku orang lain,

dan kemampuan struktur sistem interaksi sosial untuk tujuan yang

diembannya.

Pembahasan masalah kepemimpinan merupakan masalah yang tak

ada habis-habisnya, setiap organisasi baik formal maupun nonformal pasti

memiliki seorang pemimpin, karenanya demikian banyak ahli teori

kepemimpinan. Ada beberapa alasan yang menguatkan bahwa

keberadaan pemimpin sangat diperlukan dalam suatu organisasi,

sebagaimana dikemukakan Rivai (2014:1) yaitu: (a) karena banyak orang

memerlukan figur pemimpin, (b) dalam beberapa situasi seorang pemimpin

perlu tampil mewakili kelompoknya, (c) sebagai tempat pengambilalihan

resiko bila terjadi tekanan terhadap kelompoknya, (d) sebagai tempat untuk

meletakkan kekuasaan.

Ada banyak definisi mengenai kepemimpinan, tergantung pada

perspektif yang digunakan. Menurut Rivai (2014:2) kepemimpinan

merupakan proses mempengaruhi dalam menentukan tujuan organisasi,

memotivasi perilaku pengikut untuk mencapai tujuan, mempengaruhi

untuk memperbaiki kelompok dan budayanya. Stephen P Robbins


17

dalam Nawawi (2011:20) kepemimpinan adalah kemampuan

mempengaruhi suatu kelompok ke arah pencapaian tujuan.

Sementara Robert G Owens dalam Nawawi (2011:20-21)

mengatakan bahwa kepemimpinan merupakan suatu interaksi antar suatu

pihak yang memimpin dengan pihak yang lain. Masih dalam

Nawawi (2011:21) Robert dan Angelo Kinicki mengatakan bahwa

kepemimpinan adalah upaya mempengaruhi anggota untuk mencapai

tujuan organisasi secara sukarela. Goetsch dan Davis (2012:192)

kepemimpinan merupakan kemampuan untuk membangkitkan semangat

orang lain agar bersedia dan memiliki tanggung jawab total terhadap

usaha mencapai atau melampaui tujuan organisasi.

2. Teori Kepemimpinan

Berdasarkan beberapa pengertian kepemimpinan yang telah

diungkapkan dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa kepemimpinan

mempunyai sifat universal dan merupakan suatu gejala sosial.

Beragamnya pendapat para ahli seperti diuraikan di atas, disebabkan

karena keingintahuan para ahli sehingga mereka berupaya mencari

sebab-sebab mereka seorang pemimpin mampu mempengaruhi dan

menggerakkan orang dalam rangka mencapai tujuan organisasi. Untuk

menjawab pertanyaan tersebut, terdapat tiga teori dalam mempelajari

kepemimpinan, yaitu teori sifat, teori perilaku dan teori situasional,

sebagaimana dikemukakan Rivai (2014:11) sebagai berikut:


18

a. Teori Sifat

Teori yang berusaha untuk mengidentifikasikan karakteristik khas

(fisik, mental, kepribadian) yang dikaitkan dengan keberhasilan

kepemimpinan. Teori ini menekankan pada atribut-atribut pribadi dari

para pemimpin. Teori ini didasarkan pada asumsi bahwa beberapa

orang merupakan pemimpin alamiah dan dianugerahi beberapa ciri yang

tidak dimiliki orang lain seperti energi yang tidak habisnya, intuisi yang

mendalam, pandangan masa depan yang luar biasa dan kekuatan

persuasif yang tidak tertahankan. Teori kepemimpinan ini

menyatakan bahwa keberhasilan bekerjaial disebabkan karena

memiliki kemampuan-kemampuan luar biasa yang dimiliki pemimpin.

Menurut Davis dalam Wahjosumidjo (2013:45) terdapat empat macam

sifat yang harus dimiliki seorang pemimpin:

1) Intelegensia

2) Kematangan dan keluasan pandangan sosial

3) Mempunyai motivasi dan keinginan berprestasi yang datang dari

dalam

4) Mempunyai kemampuan mengadakan hubungan antar manusia

Sementara Yukl (2015;33) menemukan karakteristik pemimpin

yang sukses terdiri dari (1) cerdas, (2) terampil secara konseptual, (3)

kreatif, (4) diplomatis dan taktis, (5) lancar berbicara, (6), memiliki

pengetahuan mengenai tugas, (7) persuasif, (8) memiliki keterampilan


19

sosial.

Sifat-sifat kepemimpinan dikelompokkan menjadi 5, yaitu:

1) Capacity, yang meliputi: kecerdasan (intelligence),

kewaspadaan (alertness), kemampuan berbicara (verbal facility)

keaslian (originality) dan kemampuan menilai (judgment)

2) Achievement, yang meliputi: gelar kesarjanaan (scholarship),

pengetahuan (knowledge), keberhasilan dalam olah raga (athletic

accomplishment)

3) Responsibility, yang meliputi: berdikari (independent ability),

inisiatif, ketekunan (persistence), agresif, percaya pada diri sendiri

(self confidence), keinginan untuk unggul

4) Participation, yang meliputi: aktif, kemampuan bergaul (social

ability), kerjasama, mudah menyesuaikan diri

5) Status, yang meliputi: kedudukan sosial ekonomi (social

economic position), ketenaran

b. Teori Perilaku

Teori ini bertolak dari pemikiran bahwa kepemimpinan untuk

mengefektifkan organisasi, tergantung pada perilaku atau gaya

bersikap dan bertindak seorang pemimpin. Dengan demikian berarti

juga teori ini memusatkan perhatiannya pada fungsi-fungsi

kepemimpinan. Gaya atau perilaku kepemimpinan tampak dari cara

melakukan pengambilan keputusan, cara memerintah (memberikan


20

instruksi), cara memberikan tugas, cara berkomunikasi, cara

mendorong semangat bawahan, cara membimbing dan mengarahkan,

cara menegakkan disiplin, cara mengendalikan dan mengawasi

pekerjaan anggota organisasi, cara memimpin rapat, cara menegur dan

memberikan sanksi/hukuman (Wahab, 2015:89).

Penelitian tentang kepemimpinan dilakukan di Universitas Ohio

dan Universitas Michigan. Menurut hasil penelitian tersebut, seorang

pemimpin pada dasarnya memiliki dua dimensi, yaitu konsiderasi

dan struktur inisiasi. Struktur inisiasi mengacu pada perilaku

pemimpin dalam menggambarkan hubungan antara dirinya sendiri

dengan anggota kelompok kerja dalam upaya membentuk pola

organisasi, saluran komunikasi, dan metode atau prosedur yang

ditetapkan dengan baik. Sebaliknya, konsiderasi mengacu pada

perilaku yang menunjukkan persahabatan, kepercayaan timbal balik,

rasa hormat dan kehangatan dalam hubungan antara pemimpin

dengan anggota stafnya.

Dalam mempelajari perilaku pemimpin, Universitas Ohio

menemukan bahwa struktur inisiasi dan konsiderasi merupakan

dimensi-dimensi yang terpisah dan berbeda. Skor yang tinggi pada

salah satu dimensi tidak harus berarti skor yang rendah pada

dimensi lain. Dengan demikian, Selama berlangsungnya studi-

studi itulah perilaku pemimpin pertama kali diplotkan pada dua

poros terpisah dan tidak pada satu kontinum saja. Dua dimensi
21

tersebut mempunyai ciri-ciri berikut: 1) Konsiderasi, perilaku

pemimpin cenderung ke arah kepentingan bawahan. Oleh karena itu

ciri-cirinya adalah ramah tamah, mendukung dan membela

bawahan, mau berkonsultasi, mau menerima usul bawahan,

memikirkan kesejahteraan bawahan. 2) Struktur inisiasi, perilaku

pimpinan cenderung lebih mementingkan tujuan organisasi daripada

memperhatikan pegawai. Oleh karena itu ciri-cirinya adalah:

menekankan pentingnya batas waktu penyelesaian tugas, selalu

memberi tahu apa-apa yang dikerjakan bawahan, selalu mengawasi

apakah bawahan bekerja sepenuh kemampuan.

Pada perkembangan berikutnya muncul penulis-penulis

terkenal antara lain Tannenbaum, Schmit, Blake dan Mouton yang

berusaha menentukan gaya kepemimpinan yang paling efektif untuk

kepentingan organisasi. Tannenbaum dan Schmit mengemukakan

berbagai gaya kepemimpinan yang dapat dilukiskan sebagai suatu

kontinum dan teorinya disebut Model Leadership Continuum.

Berdasarkan teori kontinum, perilaku pemimpin pada dasarnya

bertitik tolak dari dua pandangan dasar, yaitu (1) berorientasi pada

pemimpin dan (2) berorientasi pada bawahan. Menurut teori ini

ada tujuh tingkatan hubungan pemimpin dengan bawahan

1) Pemimpin membuat putusan dan mengumumkannya (telling),

2) Pemimpin menjual dan menawarkan keputusan (selling),

3) Pemimpin menyampaikan ide dan mengundang pertanyaan,


22

4) Pemimpin memberikan keputusan tentatif dan bias diubah,

5) Pemimpin menyampaikan masalah dan minta saran

pemecahannya kepada bawahan (consulting),

6) Pemimpin menetapkan batas dan meminta kelompok untuk

membuat keputusan,

7) Pemimpin mengijinkan bawahan untuk berfungsi dalam batas yang

ditetapkan.

c. Teori Kepemimpinan Situasional

Pendekatan teori ini mencoba melihat efektifitas seorang

pemimpin tidak hanya dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berasal dari

dirinya, namun juga variabel-variabel lain, diantaranya adalah visi dan

misi organisasi, sifat pekerjaan, lingkungan organisasi, serta karakteristik

individu yang terlibat dalam organisasi. Pendekatan ini memberikan arti

yang cukup banyak bagi pemimpin dalam prakteknya, yaitu dengan

memasukan pertimbangan situasi secara keseluruhan dalam rancangan

kegiatan.

Secara khusus Siagian (2014:129) mengungkapkan berbagai

faktor situasional yang ditemukan berpengaruh pada gaya

kepemimpinan tertentu, antara lain:

1) Kompleksitas tugas yang harus diselesaikan

2) Jenis pekerjaan, misalnya apakah bersifat rutin atau inovatif

3) Bentuk dan sifat teknologi yang digunakan

4) Persepsi, sikap dan gaya yang digunakan oleh para pejabat pimpinan
23

yang menduduki hirarki jabatan yang lebih tinggi

5) Norma-norma yang dianut oleh kelompok kerja yang berada di

bawah pimpinan yang bersangkutan

6) Rentang kendali yang paling tepat untuk diterapkan

7) Ancaman yang datang dari luar organisasi yang mesti dihadapi

8) Tingkat stress yang mungkin timbul sebagai akibat beban tugas,

tingkat tanggung jawab, desakan waktu dan faktor-faktor lainnya

yang dapat menimbulkan ketegangan

9) Iklim yang terdapat dalam organisasi

The situational approach, or contingency theory as it is now

called, enjoyed a vogue in the 1960s mainly as a result of the work of

Professor F E Fiedler of the University of Illinois and his associates. They

studied the extent to which leadership veered towards the two poles of

‘task oriented‘ and ‘considerate’ (or ‘human relations’) and tried to

predict the circumstances in which one of these leadership ‘styles’ would

be more effective than the other. Factors such as group composition, the

degree of structuring in the task, and the ‘position power’ of the leader

came into play. Fiedler believed that: ‘We can improve the effectiveness of

leadership by accurate diagnosis of the group-task situation and by

altering the leader’s work environment.’2, Frost( Adair, 2016:25)

Pendekatan situasional, atau disebut teori kontingensi, yang

lebih popular pada tahun 1960 merupakan sebuah hasil kerja Profesor F

E Fiedler pada University of Illionis dan rekannya. Penelitian mereka


24

pada tingkat mengubah kepemimpinan pada arah ‘task oriented’ dan

‘Konsiderasi’ (atau human relations’) dan mencoba untuk memprediksi

penyebab gaya-gaya kepemimpinan ini akan lebih efektif dari gaya

kepemimpinan lain. Faktor- faktor seperti komposisi kelompok, proses

penyusunan tugas, dan ‘position power’ pemimpin.Fiedler yakin

bahwa:’kita bisa memperbaiki efektivitas kepemimpinan dengan

diagnosa akurat pada situasi tugas kelompok dan dengan mengubah

lingkungan kerja pemimpin.

d. Pendekatan Terbaru dalam kepemimpinan

Pendekatan ini lebih melihat kepemimpinan sebagai upaya untuk mengelola

berbagai makna atau pengertian daripada sebagai proses mempengaruhi orang

lain untuk melakukan sesuatu hal mencapai tujuan organisasi.

Beberapa teori kepemimpinan kontemporer ini adalah kepemimpinan

mentransformasi/ transforming leadership (Burn et,al), kepemimpinan

transformasi/ transformational leadership (Bass), kepemimpinan

kharismatic/charismatic leadership (House, Conger), kepemimpinan

visioner /visionary leadership (Westley & Mintzberg).

1) Kepemimpinan Karismatik

Kepemimpinan karismatik adalah warisan dari konsepsi

kepemimpinan lama. House (Luthans, 2014:652) menyatakan

bahwa pemimpin karismatik dikarakterisasikan dengan percaya diri

dan memiliki bawahan yang percaya diri, harapan yang tinggi pada

bawahan, visi ideologis, dan memakai contoh personal.


25

2) Kepemimpinan Transaksional

Menurut Andarika (2014:38), “kepemimpinan transaksional

adalah gaya kepemimpinan dimana seorang pemimpin memfokuskan

perhatiannya pada transaksi interpersonal antara pemimpin dengan

pegawai yang melibatkan hubungan pertukaran.

Sementara, Yukl (2015;104) mengemukakan bahwa hubungan

pemimpin transaksional dengan pegawai tercermin dari tiga hal

yakni:

a) Pemimpin mengetahui apa yang diinginkan pegawai dan

menjelaskan apa yang akan mereka dapatkan apabila kerjanya

sesuai dengan harapan;

b) Pemimpin menukar usaha-usaha yang dilakukan oleh pegawai

dengan imbalan; dan

c) Pemimpin resfonsif terhadap kepentingan pribadi pegawai selama

kepentingan tersebut sebanding dengan nilai pekerjaan yang

telah dilakukan pegawai.

3) Kepemimpinan karismatik

Teori kepemimpinan transformasional merupakan

pendekatan baru dalam teori kepemimpinan yang dikemukakan

pertama kali oleh Bernard M. Bass (2014) mendefinisikannya sebagai

berikut:

Kepemimpinan karismatik sebagai sebuah proses untuk mencapai

tujuan kolektif, melalui penyatuan motif-motif yang saling


26

menguntungkan yang dimiliki pemimpin dan bawahan dalam rangka

mencapai perubahan yang diinginkan.

Sementara itu Greenberg dan Baron (2013;82),

mendefinisikan bahwa “Kepemimpinan karismatik sebagai suatu

perilaku kepemimpinan yang dengannya seorang pemimpin

menggunakan kharismanya untuk mentransformasi dan merevitalisasi

organisasi”.

Kepemimpinan karismatik didefinisikan sebagai kepemimpinan

yang melibatkan perubahan dalam organisasi (dipertentangkan dengan

kepemimpinan yang dirancang untuk memelihara status quo).

Kepemimpinan ini juga didefinisikan sebagai kepemimpinan

yang membutuhkan tindakan memotivasi para bawahan agar

bersedia bekerja demi sasaran-sasaran “tingkat tinggi” yang dianggap

melampaui kepentingan pribadinya pada saat itu.

Yang menjadi pertanyaan penting, mengapa diperlukan

Kepemimpinan karismatik? Para ahli seperti Bass, 1985; Bass dan

Avoilo, 1990 seperti dikutip dalam Hartanto, 1991, meyakini

bahwa seiring dengan perubahan- perubahan yang cepat,

kompleks, dan canggih dalam kehidupan manusia, kepemimpinan

transformasional dapat mengimbangi pola pikir dan refleksi

paradigma-paradigma baru di dalam proses perubahan.

Burn (1978) yang dikutif Komariah dan Triatna (2016:77)

menjelaskan ”Kepemimpinan karismatik sebagai suatu proses yang


27

pada dasarnya ’para pemimpin dan pengikut saling menaikkan

diri ke tingkat moralitas dan motivasi yang lebih tinggi’. Para

pemimpin adalah seorang yang sadar akan prinsip perkembangan

organisasi dan kinerja manusia sehingga ia berupayamengembangkan

segi kepemimpinannya secara utuh selalui pemotivasian terhadap staf

dan menyerukan cita-cita yang lebih tinggi dan nilai-nilai moral

seperti kemerdekaan, keadilan, dan kemanusiaan, bukan

didasarkan atas emosi, seperti misalnya keserakahan,

kecemburuan dan kebencian.

Perubahan sebagai konsep masa depan sering disebut dengan

pembaharuan atau reformasi. Kata reformasi menjadi sebuah kata

yang sangat populer di kalangan kita, lalu apa sebenarnya yang

disebut dengan perubahan atau reformasi? Perubahan atau reformasi

adalah suatu proses transformasi yang menuju kearah terwujudnya

keadaan baru, kondisi yang lebih baik dibandingkan dengan

keadaan sebelumnya (Wahyo Sumidjo : 1999). Transformasi tersebut

tidak hanya menyangkut salah satu aspek kehidupan secara total.

Seperti dalam bidang sosial, politik, ekonomi pemerintahan dan

budaya. Dalam aspek pemerintahan termasuk di dalamnya

adalah aspek administrasi, manajemen, organisasi, proses kerja,

sumber daya manusia, dan sebagainya.

Seorang pemimpin dalam era pembaharuan adalah

seseorang yang mampu menciptakan suatu lingkungan yang inovatif


28

yang tidak menghambat kreativitas murni dan potensi kekuatan

kerja. Pemimpin pembaharuan memberikan arah dan pandangan

keluar demi kebutuhan bawahan. Pemimpin membantu untuk

menciptakan suatu lingkungan kebanggaan, loyalitas, bukan

ketakutan dan intimidasi.

Peran seorang pemimpin pembaharuan menyangkut hal-hal

strategis sebagai berikut :

Bass dan Aviola (2014;99) mengusulkan empat dimensi dalam kadar

kepemimpinan seseorang dengan konsep yang artinya :

a) “I” pertama adalah idealized influence, yang dijelaskan sebagai

perilaku yang menghasilkan rasa hormat (respect) dan rasa

percaya diri (trust) dari orang-orang yang dipimpinnya. Idealized

influence mengandung makna saling berbagi resiko, melalui

pertimbangan atas kebutuhan yang dipimpin di atas

kebutuhan pribadi, dan perilaku moral serta etis.

b) “I” kedua adalah inspirational motivation, yang tercermin

dalam perilaku yang senantiasa menyediakan tantangan dan

makna atas pekerjaan orang-orang yang dipimpin, termasuk di

dalamnya adalah perilaku yang mampu mengartikulasikan

ekspektasi yang jelas dan perilaku yang mampu

mendemonstrasikan komitmen terhadap sasaran organisasi.

Semangat ini dibangkitkan melalui antusiasme dan optimisme.

c)“I” ketiga adalah intellectual simulation, Pemimpin yang


29

mendemonstrasika tipe kepemimpinan senantiasa menggali ide-ide

baru dan solusi yang kreatif dari orang-orang yang dipimpinnya.

Ia juga selalu mendorong pendekatan baru dalam melakukan

pekerjaan.

d) “I” keempat adalah individualized consideration, yang direfleksikan

oleh pemimpin yang selalu mendengarkan dengan penuh

perhatian, dan memberikan perhatian khusus kepada kebutuhan

prestasi dan kebutuhan dari orang-orang yang dipimpinnya.

4) Kepemimpinan Visioner

Kepemimpinan memiliki kedudukan yang menentukan dalam

organisasi. Pemimpin yang melaksanakan kepemimpinannya secara

efektif dapat menggerakkan orang/personel kearah tujuan yang dicita-

citakan, sebaliknya pemimpin yang keberadaannya hanya sebagai

figur, tidak memiliki pengaruh, kepemimpinannya dapat

mengakibatkan lemahnya kinerja organisasi, yang pada akhirnya dapat

menciptakan keterpurukan.

Kepemimpinan visioner adalah kemampuan pemimpin dalam

mencipta, mengkomunikasikan, dan mengimplementasikan

pemikiran- pemikiran ideal yang berasal dari dirinya atau

sebagai hasil interaksi sosial di antara anggota organisasi

dan stakeholders yang diyakini sebagai cita-cita organisasi

di masa depan yang harus diraih atau diwujudkan melalui


30

komitmen semua personil. (Komariah dan Triatna, 2016:82)

3. Gaya Kepemimpinan

Gaya kepemimpinan adalah suatu cara yang digunakan

pemimpin dalam berinteraksi dengan bawahannya (Nasution, 2017:

210). Lebih lanjut Nasution mengemukakan ada lima gaya

kepemimpinan, yaitu:

1) Kepemimpinan otokratis

Kepemimpinan otokratis disebut juga kepemimpinan diktator atau

direktif. Orang yang menganut pendekatan ini mengambil

keputusan tanpa berkonsultasi dengan para pegawai yang harus

melaksanakannya atau pegawai yang dipengaruhi keputusan

tersebut.

2) Kepemimpinan Demokratis

Kepemimpinan ini dikenal pula dengan istilah kepemimpinan

konsultatif atau konsensus. Orang yang menganut pendekatan

ini melibatkan para pegawai yang harus melaksanakan keputusan

dalam proses pembuatannya, walaupun keputusan akhir dibuat oleh

pemimpin.

3) Kepemimpinan Partisipatif

Kepemimpinan partisipatif juga dikenal dengan istilah

kepemimpinan terbuka, bebas, atau nondirective. Orang yang

menganut pendekatan ini hanya sedikit memegang kendali dalam


31

proses pengambilan keputusan. Ia hanya menyajikan informasi

mengenai suatu permasalahan dan memberikan kesempatan

kepada anggota tim untuk mengembangkan strategi dan

pemecahannya.

4) Kepemimpinan Berorientasi pada Tujuan

Gaya kepemimpinan ini juga disebut kepemimpinan berdasarkan

hasil atau berdasarkan sasaran. Orang yang menganut

pendekatan ini meminta anggota tim untuk memusatkan

perhatiannya hanya pada tujuan yang ada.

5) Kepemimpinan Situasional

Gaya kepemimpinan ini dikenal pula sebagai kepemimpinan

tak tetap (fluid) atau kontingensi. Asumsi yang digunakan

dalam gaya ini adalah bahwa tidak ada satu pun gaya

kepemimpinan yang tepat bagi setiap bekerja dalam semua

kondisi.

Ciri-ciri kepimpinan karismatik:

Berdasarkan buku Gelagat Organisasi oleh Robbin (2015:66), ciri-

ciri Pemimpin Karismatik adalah seperti berikut:

1. Yakin diri : Mereka mempunyai keyakinan diri yang sepenuhnya

terhadap penilaian yang dibuat sertakeupayaan diri mereka sendiri

2. Satu Visi : Mereka komited kepada visi dan sanggup mengambil

risiko demi mencapai visi tersebut. Inimerupakan satu objektif

yang ideal yang bertujuan untuk memperbaiki keadaan di


32

masahadapan berbanding keadaan semasa

3. Keupayaan untuk menyampai visi tersebut: Mereka boleh

menjelaskan serta menyampaikan visi mereka dalam bentuk yang

mudah difahami oleh orang lain. Kaedah penyampaian ini

menunjukkan bahawa pemimpin tersebutsedar akan keperluan para

pekerja. Ini boleh dijadikan suatu faktor motivasi.

4. Penegasan terhadap visi tersebut :Para pemimpin berkarisma

dianggap sangat komited, sanggup menghadapi risiko diri

yangtinggi, sanggup membelanjakan kos yang tinggi

serta melakukan pelbagai pengorbanan untukmencapai visi

tersebut.

4. Fungsi Kepemimpinan

Pemimpin mempunyai berbagai fungsi, baik fungsi di dalam

maupun di luar organisasi. Menurut Yukl (2015;72) secara garis

besar fungsi pemimpin dalam suatu organisasi dapat digolongkan

menjadi empat bagian, yaitu:

1) Fungsi pengembangan (visionary leader), yang meliputi

memanfaatkan perubahan lingkungan, mencapai sasaran atau

tujuan organisasi, serta memusatkan perhatian pada manusia di

dalam atau di luar organisasi.

2) Fungsi struktural, yaitu menjembatani kesenjangan antara

struktur yang telah ditetapkan dengan karakteristik pekerjaan yang

dihadapi.
33

3) Fungsi penegakkan kepatuhan, yaitu untuk meyakinkan anggota

organisasi menjalankan tugasnya sebaik mungkin, dengan cara

mengadakan supervisi yang ketat, melaksanakan kepemimpinan

yang supportif dan partisipatif.

4) Fungsi pemberian penghargaan, yaitu memberikan penghargaan

kepada pegawai yang berprestasi dan mendorong semua

pegawai untuk berprestasi di dalam dan di luar organisasi.

Dalam era persaingan global ini peranan pemimpin sangat

dominan untuk dapat menjembatani masalah-masalah kronis yang

dihadapi oleh organisasinya. Peranan pemimpin menurut hasil

penelitian (Yukl,2015;84) adalah meliputi :

a. Peranan yang bersifat interpersonal

Dalam fungsi yang bersifat interpersonal meliputi 3 macam peran,


yaitu :

1). Figurehead

Sebagai pimpinan suatu organisasi kadang-kadang harus

tampil dalam berbagai upacara resmi dan undangan, misalnya

hadir dalam upacara anggota stafnya, menghadiri upacara-

upacara pelantikan dan sebagainya.

2). Berperan sebagai Leader (penggerak)

Dalam hal ini seorang bekerja harus mampu memberikan

bimbingan sehingga bawahan dapat dibina dan dikembangkan

dalam pelaksanaan tugas.


34

3). Berperan sebagai Liaison (penghubung)

Dalam hal ini bekerja harus mengembangkan hubungan

kerjasama, bukan hanya dengan bawahan melainkan lingkungan

kerja diluar satuannya dalam satuannya dalam saling tukar

menukar informasi.

b. Peranan yang bersifat informasional

Menerima dan menyampaikan informasi adalah peranan

penting bagi setiap bekerja, sebab dalam setiap pengambilan

keputusan bekerja perlu informasi. Ada 3 macam peranan yang

bersifat informasional :

1) Peranan sebagai pemonitor dalam arti setiap bekerja harus

selalu mengikuti dan memperoleh segala macam informasi

seluruh proses kegiatan di satuan kerjanya.

2) Peranan sebagai Disseminator, seorang bekerja harus selalu

memberikan informasi kepada bawahannya tentang setiap hal

yang berkaitan dengan satuan kerjanya. Hal ini penting agar para

bawahan selalu dapat mengikuti setiap program dan perubahan

yang terjadi di lingkungan kerjanya.

3) Peranan sebagai juru bicara, segala informasi yang menyangkut

satuan kerja yang akan disampaikan keluar tidak bisa disalurkan

melalui orang lain, sebab juru bicara suatu organisasi adalah

bekerja itu sendiri.


35

c. Peranan sebagai pengambil keputusan

Sebagai pengambil keputusan setiap bekerja dapat berperan sebagai,

1) Entrepreneur

a) Setiap bekerja harus selalu berusaha memperbaiki dan

mengembangkan satuan kerja yang dipimpin.

b) Setiap bekerja harus berusaha untuk menciptakan ide dan

gagasan baru, baik menyangkut sistem hubungan dan tata

kerja (innovation) satuan kerja yang dipimpinnya, maupun

pengembangan organisasinya sendiri.

2) Orang yang selalu mampu mengatasi segala macam kesulitan

(disturbances handler).

a) Dalam situasi apapun seorang bekerja harus mampu mengatasi

segala hambatan dan tantangan yang dihadapinya.

b) Peran sebagai pengatur segala macam sumber yang ada

c) Setiap bekerja bertanggung jawab mengatur segala macam

sumber daya manusia, dana, waktu dan prasarana, sehingga

masing-masing sumber dapat dimanfaatkan secara efektif

dan efisien dalam mendukung pencapaian tujuan organisasi.

3) Orang yang berperan mewakili dalam setiap hubungan kerja

dengan satuan kerja diluarnya.

5. Perilaku Kepemimpinan
36

Perilaku kepemimpinan merupakan tindakan-tindakan spesifik

seorang pemimpin dalam mengarahkan dan mengkoordinasikan kerja

anggota kelompok (Hasibuan, 2012:205) mengemukakan bahwa

perilaku kepemimpinan dalam melaksanakan tugas-tugas

kepemimpinan meliputi aktivitas berikut.

a. Mengambil keputusan

b. Mengembangkan imajinasi

c. Mengembangkan kesetiaan pengikutnya

d. Pemrakarsa, penggiatan dan pengendalian rencana

e. Pelaksanaan keputusan dengan memberikan dorongan kepada

pengikutnya

f. Memanfaatkan sumber daya manusia dan sumber-sumber lainnya.

g. Melaksanakan kontrol dan perbaikan-perbaikan atas kesalahan

h. Memberikan tanda penghargaan

i. Mendelegasikan wewenang kepada bawahannya

Komarudin (20113:27) mengungkapkan bahwa kepemimpinan

bertugas untuk “membuat keputusan, menetapkan sasaran, memilih dan

mengembangkan personalia, mengadakan komunikasi, memberikan

motivasi, dan mengawasi pelaksanaan manajemen”.

6. Dimensi Kepemimpinan Demokratis

Menurut Pasolong (2013;81) diantaranya:

a. Keputusan dibuat bersama.


37

b. Menghargai potensi setiap bawahannya.

c. Mendengarkan saran, kritik dari bawahannya.

d. Melakukan kerjasama dengan bawahannya.

e. Proses pengendalian

Keputusan di buat bersama. Pemimpin yang demokratis tidak

sungkan untuk terlibat dengan bawahan untuk membuat keputusan

secara bersama – sama. Jadi setiap rencana yang di buat oleh pemimpin

tidak luput dengan musyawarah pengambilan keputusan yangdi buat

secara bersama – sama. Menghargai potensi setiap bawahannya.

Kepemimpinan demokratis bersedia mengakui keahlian pegawai dalam

masing – masing bidangnya. Artinya pemimpin menghargai keahlian

yang dimiliki pegawai dan menempatkan pekerjaan pegawai sesuai

dengan bidangnya. Mendengarkan saran, kritik dari bawahannya.

Menerima kritik dan saran dari bawahan merupakan hal yang wajar

dalam organisasi. Dengan demikian maka pemimpin dapat belajar dari

kesalahan sebelumnya. Jadi pegawai bebas untuk memberi saran dan

kritik untuk pemimpin, guna untuk memperbaiki cara pemimpin

memimpin organisasi. Melakukan kerjasama dengan bawahannya.

Pemimpin mampu bekerja sama atau terlibat langsung dalam

menjalankan tugas demi pencapaian tujuan organisasi. Artinya

pemimpin tidak sungkan untuk terjun langsung bekerjasama dengan

bawahannya guna mencapai tujuan organisasi.

7. Kepemimpinan Atasan
38

Atasan memegang peranan kunci dalam mengelola tugas kantor

yang produktif. Bekal kemampuan, keahlian dan keterampilan

menjadi keniscayaan bagi atasan untuk mampu menjalankan roda

lembaga yang dipimpinnya. Atas dasar hal tersebut, maka atasan

harus dipilih dari kalangan pegawai yang benar-benar memiliki

pengalaman, wawasan, dan kompetensi yang sesuai.

Atasan harus mampu menampilkan kepemimpinan team (team

leadership) bersama wakil atasan, demikian juga dengan pegawai dan

staf lainnya (Danim, 2012:211). Secara tim, atasan akan memerankan

fungsi memimpin organisasinya, termasuk dalam kerangka desain

strategi dan arah, mengembangkan dan mengoptimalkan rencana

perbaikan organisasi, mengukur dan melaporkan kemajuan yang

dicapai.

Lebih lanjut Danim (2012;61) mengemukakan bahwa

pimpinan organisasi dan tim harus mampu menjalin komunikasi

dengan masyarakat, mengelola sumber- sumber, bekerjasama

dengan orang tua murid dan keluarga, serta membuat kebijakan

dan praktik kerja yang manjur bagi perbaikan prestasi belajar

pegawai. Di samping menjalankan roda kepemimpinan

diorganisasinya, atasan dan tim harus mampu melakukan

hubungan yang sinergis dengan Pemerintah setempat.

Sejarah pertumbuhan peradaban manusia banyak

menunjukkan bukti bahwa salah satu faktor yang menentukan


39

keberhasilan dan keberlangsungan organisasi adalah kuat tidaknya

kepemimpinan. Kegagalan dan keberhasilan suatu organisasi banyak

ditentukan oleh pemimpin karena pemimpin merupakan pengendali

dan penentu arah yang hendak ditempuh oleh organisasi menuju

tujuan yang akan dicapai. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan

Siagian (2014:117) bahwa “arah yang hendak ditempuh oleh

organisasi menuju tujuan harus sedemikian rupa sehingga

mengoptimalkan pemanfaatan dari segala sarana dan prasarana yang

tersedia”. Arah yang dimaksud tertuang dalam strategi dan taktik

yang disusun dan dijalankan oleh organisasi bersangkutan. Perumus

dan penentu strategi dan taktik adalah pimpinan dalam organisasi

tersebut.

Banyak hasil-hasil studi yang menunjukkan bahwa gaya

kepemimpinan yang terdapat dalam setiap organisasi merupakan

faktor yang berhubungan dengan produktivitas dan efektivitas

organisasi. Siagian (2014:117) mengemukakan “ada beberapa factor

determinan terhadap produktivitas kerja antara lain iklim

kepemimpinan (leadership climate), tipe kepemimpinan (type of

leadership), dan pemimpin (leaders), dari 33 faktor lain yang

berpengaruh”. Sementara Siagian (2014:117) mengemukakan enam

faktor yang turut menentukan tingkat produktivitas, yaitu

pendidikan, teknologi, tata nilai, iklim kerja, derajat kesehatan, dan

tingkat upah minimal. Dari keenam faktor tersebut, yang mendukung


40

produktivitas tenaga kerja, secara eksplisit, dalam iklim kerja diuraikan

pentingnya kepemimpinan.

Di lingkungan instansi pemerintah, ada seperangkat

keterampilan yang harus dimiliki oleh pimpinan dalam melaksanakan

sejumlah tugas. Ketika instansi makin didorong tumbuh secara

otonom sejalan dengan kebijakan desentralisasi birokrasi, atasan

yang terampil menjadi sebuah tuntutan, keterampilan atasan itu

dimaksudkan sebagai bekal bagi mereka untuk dapat menjalankan

manajemen dengan lebih baik.

Dengan keterampilan tersebut, diharapkan atasan dapat

melaksanakan tugas secara efektif dan efisien.

Danim (2012:215) mengatakan bahwa keterampilan yang

harus dimiliki oleh administrator yang efektif adalah

keterampilan teknis (technical skill), keterampilan hubungan

manusiawi (human relation skill), dan keterampilan konseptual

(conceptual skill). Ketiga jenis keterampilan tersebut dijelaskan

sebagai berikut:

a. Keterampilan Teknis

Keterampilan teknis adalah keterampilan menerapkan

pengetahuan ke dalam tindakan praktis, kemampuan memecahkan

masalah melalui taktik yang baik, atau kemampuan menyelesaikan

tugas secara sistematis. Keterampilan ini erat kaitannya dengan gerak

motorik atau keterampilan tangan. Keterampilan dimaksud antara lain


41

adalah:

1) Keterampilan menyusun laporan pertanggungjawaban;

2) Keterampilan menyusun program teknis;

3) Keterampilan membuat data statistik organisasi;

4) Keterampilan membuat keputusan dan merelisasikannya;

5) Keterampilan mengetik;

6) Keterampilan menata ruang;

7) Keterampilan membuat surat.

b. Keterampilan Hubungan Manusiawi

Keterampilan hubungan manusiawi adalah keterampilan untuk

menempatkan diri didalam kelompok kerja dan keterampilan menjalin

komunikasi yang mampu menciptakan kepuasan kedua belah pihak.

Keterampilan hubungan manusiawi ini antara lain tercermin dalam hal

1) Keterampilan menempatkan diri dalam kelompok;

2) Keterampilan menciptakan kepuasan pada diri bawahan;

3) Sikap terbuka terhadap kelompok kerja;

4) Kemampuan mengambil hati melalui keramahtamahan;

5) Penghargaan terhadap nilai-nilai etis;

6) Pemerataan tugas dan tanggung jawab;

7) Itikad baik, adil, menghormati dan menghargai orang lain.

Di bidang kepemimpinan dan manajemen, interaksi dinamis

antara pimpinan puncak, kelompok pimpinan di bawahnya, dan para


42

pegawai adalah syarat mutlak menuju tercapainya tujuan organisasi.

Hal ini akan melahirkan kepuasan dalam diri individu yang pada

gilirannya akan merangsang motivasi kerja pegawai.

c. Keterampilan Konseptual

Keterampilan konseptual adalah kecakapan untuk

memformulasikan pikiran, memahami teori-teori, melakukan

aplikasi, melihat kecenderungan berdasarkan kemampuan teoritis

dan yang dibutuhkan dalam dunia kerja. Keterampilan konseptual

antara lain tercermin dalam pemahaman terhadap teori secara luas dan

mendalam, kemampuan mengorganisasi pikiran, keberanian

mengeluarkan pendapat secara akademik, dan kemampuan

mengkorelasikan bidang ilmu yang dimiliki dengan pelbagai situasi.

Tingkat keterampilan yang dibutuhkan menurut sifat organisasi

berbeda. Keterampilan yang dimiliki oleh pimpinan organisasi

memungkinkan organisasi itu mencapai keuntungan ganda.

Keuntungan ganda dapat diperoleh jika pimpinannya mempunyai

keterampilan konseptual, manual, keterampilan bekerjasama dengan

lembaga lain, kemampuan bernegosiasi dengan pemerintah,

kemampuan menganalisis peluang, dan lain-lain.

Bagi pemimpin yang paling penting adalah menciptakan

tradisi kerja demi terselenggaranya program bekerja secara baik dengan

cara yang lebih personal, administratif, formal, manusiawi, dan

proporsional. Di samping itu, pimpinan masih dituntut sejumlah


43

kemampuan khusus dimana kemampuan tersebut berbeda secara

relatif dengan kemampuan yang harus dimiliki oleh pemimpin

organisasi sosial lainnya. Danim (2012:218) mengemukakan :

Kemampuan yang harus dimiliki pimpinan antara lain

membangkitkan inspirasi pegawai, menciptakan kerjasama antar

pegawai, menciptakan kerjasama antar staf, mengembangkan program

supervisi, mengelola kegiatan bekerja, mengatur program

pengembangan, dan melaksanakan kegiatan lain yang erat kaitannya

dengan pencapaian tujuan organisasi.

Pimpinan harus memiliki beberapa kemampuan, seperti

dikemukakan Danim (2012:40) :

1. Stimulate and motivate staff to maximum performance

2. Develop with the staff arealistic and objective system of

accountability for learning (as contrasted to merely monitoring

programmes and instructional processes in input terms as

prescribed by the central office)

3. Develop co-operative assassment procedures for on-going

programs to identify and suggest alternatives for improving weak

areas

4. Work with staff in developing and implementing the evaluation of the

staff

5. Work with staff in formulating plans for evaluating and reporting

student progress
44

6. Provide channels for the involvement of the community in the

operation of the school

7. Encourage continuous study of curricilar and instructional innovations

8. Provide leadersip to students in helping them a meaningful and


responsible student government

Danim (2012:40) mengemukakan bahwa penekanan

kepimpinan adalah:

1. Mendorong dan memotivasi staf untuk memaksimalkan kinerjanya

2. Mengembangkan staf dengan sistem objektif dan realistik bagi

akuntabilitas bekerja

3. Mengembangkan prosedur evaluasi kooperatif untuk

mengidentifikasi berjalannya program dan mengidentifikasi

alternatif untuk memperbaiki kelemahan.

4. Bekerjasama dengan staf dalam mengimplementasikan dan

mengembangkan evaluasi terhadap staf

5. Bekerjasama dengan staf dalam memformulasikan rencana untuk

evaluasi dan laporan perkembangan pegawai

6. Mendukung inovasi bekerja instruksional dan kurikuler secara

kontinue

7. Pemimpin bersedia membantu meningkatkan pemahaman pegawai

dan mempertanggungjawabkannya

8. Mendirikan suatu pusat bekerja profesional dan mempercepat

penggunaannya.
45

Yukl (2015:523) mengemukakan bahwa esensi kepemimpinan

yang efektif adalah:

1. Membantu menerjemahkan makna dari peristiwa

Para pemimpin yang efektif membantu orang untuk

menerjemahkan peristiwa, mengenali ancaman dan kesempatan

yang muncul.

2. Menciptakan kesejajaran atas sasaran dan strategi

Para pemimpin yang efektif membantu menciptakan

kesepakatan tentang sasaran, prioritas dan strategi.

3. Membangun komitmen dan optimisme tugas

Para pemimpin yang efektif meningkatkan antusiasme

terhadap pekerjaan, memiliki komitmen terhadap sasaran

tugas, dan memiliki keyakinan bahwa upaya itu akan berhasil

4. Membangun saling mempercayai dan kerja sama

Pemimpin yang efektif memupuk sikap saling menghormati,

sikap saling percaya dan kerjasama.

5. Memperkuat identitas kolektif

Pemimpin yang efektif membantu menciptakan sebuah identitas

unik bagi sebuah kelompok atau organisasi dan

menyelesaikan masalah keaggotaan dengan cara yang konsisten.

6. Mengatur dan mengoordinasikan aktivitas

Pemimpin yang efektif membantu mengatur pelaksanaan

aktivitas kolektif secara efisien membantu mengkoordinasikan


46

aktivitas.

7. Mendorong dan memudahkan bekerja kolektif

Pemimpin yang efektif mendorong dan memudahkan bekerja dan

inovasi kolektif.

8. Mendapatkan sumber daya dan dukungan yang diperlukan

Pemimpin yang efektif mempromosikan dan mempertahankan

minat unit dan membantu memperoleh sumber daya dan

dukungan yang diperlukan.

9. Mengembangkan dan memberi kewenangan kepada orang

Pemimpin yang efektif membantu mengembangkan

keterampilan penting dan memberikan kewenangan kepada

orang untuk untuk menjadi agen perubahan dan pemimpin itu

sendiri.

10. Mempromosikan keadilan sosial dan moralitas

Pemimpin yang efektif memberikan contoh perilaku moral, dan

mereka melakukan tindakan yang diperlukan untuk

mempromosikan keadilan sosial.

1. Mempengaruhi dan menggerakkan bawahan

Untuk mempengaruhi dan menggerakkan bawahan baik

secara perorangan maupun kelompok, seorang pemimpin harus

mempunyai pengaruh yang cukup. Menurut Devung (Hasibuan,

2012:62) ada tiga faktor yang menentukan tingkat pengaruh

seorang pemimpin dalam suatu organisasi, yaitu : (1) faktor pribadi,


47

(2) faktor organisasional, dan (3) interaksi antara faktor pribadi

dan organisasional.

2. Memilih dan mengembangkan personil

Memilih dan menempatkan pegawai tidak sekedar

menempatkan melainkan harus mencocokkan dan membandingkan

dengan kebutuhan dan persyaratan dari suatu jabatan atau

pekerjaan. Dalam kaitan ini Hasibuan (2012:64) menegaskan bahwa

penempatan pegawai hendaklah memperhatikan : “azas penempatan

orang-orang yang tepat dan penempatan orang yang tepat untuk

jabatan yang tepat atau the right man in the right place and the right

man behind the right job”.

Selain itu, tugas pemimpin adalah mengembangkan pegawai.

Hasibuan (2012:103) memaparkan bahwa pengembangan adalah

“suatu usaha meningkatkan kemampuan teknis, teoritis, konseptual

dan moral pegawai sesuai dengan kebutuhan pekerjaan/jabatan

melalui pendidikan dan latihan”.

3. Mengadakan komunikasi

Pemimpin dapat melaksanakan kepemimpinannya dengan

efektif jika mampu melakukan komunikasi dengan efektif, karena

jika komunikasi efektif maka pelaksanaan tugas yang dilimpahkan

terhadap bawahan akan dikerjakan dengan baik, sebab mereka

memahami apa yang diperintahkan. Lindgren dalam Hasibuan

(2012:215) menegaskan effective leadership means


48

effective communication (kepemimpinan yang efektif berarti

komunikasi yang efektif).

Bagi seorang pemimpin menurut Hasibuan (2012:217)

komunikasi dapat berfungsi antara lain sebagai berikut :

Instructive, komunikasi dalam hal ini berfungsi untuk

memberikan instruksi, perintah dari atasan kepada para bawahannya.

Informative, komunikasi dalam hal ini berfungsi sebagai

alat untuk menyampaikan informasi, berita.

Influencing, komunikasi dalam hal ini berfungsi untuk

memberikan saran-saran, nasehat-nasehat dari seseorang kepada orang

lain.

Evalutive, komunikasi berfungsi untuk memberikan

laporan, dari bawahan kepada atasan.

Pimpinan dapat melakukan komunikasi baik secara formal

maupun informal. Yukl (2015:94) memaparkan komunikasi formal

adalah “proses komunikasi yang terikat pada aturan dan kondisi

formal, dengan mengikuti alur struktural dan birokrasi”, sedangkan

komunikasi informal adalah “proses komunikasi yang dibatasi oleh

ketentuan formal organisasi, dimana arus hubungan bias terjadi

melalui jalur pintas, tanpa melalui hierarki organisasi”.

4. Memberikan motivasi

Sumantri (2015:53) menungkapkan, motivasi sangat


49

penting untuk mengerti mengenai mengapa dan bagaimana perilaku

seseorang dalam bekerja atau dalam melakukan suatu tugas

tertentu. Oleh karena itu, untuk dapat mengarahkan perilaku

produktif dan efisien, masalah motivasi ini perlu diketahui dan

dikaji lebih dalam. Motivasi diperlukan untuk (1) mengamati dan

memahami tingkah laku individu; (2) mencari dan menentukan

sebab-sebab tingkah laku individu; dan (3) memperhitungkan,

mengawasi, dan mengubah serta mengarahkan tingkah laku individu.

Komaruddin (2013:34) mengungkapkan motivasi adalah

“keseluruhan proses gerakan yang mendorong perilaku untuk

mencapai tujuan. Tingkah laku yang mengandung muatan motivasi

itu ialah perilaku yang berlatar belakang kebutuhan”. Dengan

demikian dapat dikatakan bahwa pegawai akan termotivasi untuk

bekerja bila kebutuhannya terpenuhi.

Peterson dan Plowman dalam Suwatno (2019:100)

menjelaskan bahwa seseorang mau bekerja karena termotivasi

untuk memenuhi kebutuhan- kebutuhan sebagai berikut.

a. The desire to life, artinya keinginan untuk hidup

merupakan keinginan utama dari setiap orang; manusia bekerja

untuk dapat makan dan makan untuk dapat melanjutkn hidupnya.

b. The desire for possession, artinya keinginan untuk memiliki

sesuatu merupakan keinginan manusia yang kedua dan ini salah

satu sebab mengapa manusia mau bekerja.


50

c. The desire for power, artinya keinginan akan kekuasaan merupakan

keinginan di atas keinginan untuk memiliki; mendorong orang mau

bekerja;

d. The desire for recognition, artinya keinginan akan

pengakuan merupakan jenis terakhir dari kebutuhan dan juga

mendorong orang untuk bekerja.

5. Membuat Keputusan

Dermawan (2014:2-3) mengemukakan pengambilan

keputusan merupakan ilmu dan seni yang harus dicari, dipelajari,

dimiliki, dikembangkan secara mendalam oleh setiap orang.

Dikatakan seni karena kegiatannya selalu dihadapkan pada sejumlah

peristiwa yang memiliki karakteristik tersendiri. Sedangkan dikatakan

ilmu karena aktivitasnya memiliki sejumlah cara, metode, atau

pendekatan yang bersifat sistematis, teratur dan terarah. Siagian

(204:82) mengemukakan “pengambilan keputusan merupakan suatu

pendekatan sistematis terhadap hakekat suatu masalah, pengumpulan

fakta-fakta dan data, penentuan yang matang dari alternatif yang

dihadapi dan mengambil tindakan menurut perhitungan merupakan

tindakan yang paling tepat”.

6. Membangun kerjasama dengan berbagai pihak

Kerjasama dalam mewujudkan organisasi yang produktif harus

terjalin dengan baik, karena melalui kerjasama ini diharapkan segala

permasalahan akan lebih mudah terpecahkan. Melalui kerjasama yang


51

dibangun diharapkan organisasi memperoleh peluang lebih banyak

untuk mendapatkan bantuan dalam bentuk apapun, selain itu

kerjasama juga diharapkan mampu menyalurkan hasil kerja.

Kerjasama ini dapat dibangun baik dengan personil organisasi

maupun dengan pihak luar yang memiliki kepentingan bersama.

Sebagaimana dikemukakan Yukl (2015:524) “Para pemimpin

yang efektif memupuk saling menghormati, kepercayaan dan

kerjasama”.

C. Budaya kerja

1. Pengertian dan Fungsi Budaya Kerja

Budaya kerja adalah suatu falsafah didasari pandangan hidup sebagai

nilainilai yang menjadi sifat, kebiasaan dan juga pendorong yang

dibudayakan dalam suatu kelompok dam tercermin dalam sikap menjadi

perilaku, cita-cita, pendapat, pandangan serta tindakan yang terwujud

sebagai bekerja.

Robbins (2015:11) mengatakan budaya kerja merupakan “Suatu

sistem pengertian bersama yang dipegang oleh anggota suatu organisasi

yang membedakan organisasi tersebut dari organisasi lainnya”. Menurut

Mangkunegara (2013:316) menyimpulkan pengertian budaya kerja sebagai

“Separangkat asumsi atau sistem keyakinan, nilai-nilai dan norma yang

dikembangkan dalam perusahaan yang dijadikan pedoman tingkah laku bagi

anggota-anggotamya untuk mengatasi masalah adaptasi eksternal dan


52

integrasi internal.

Triguna (2011:1) menjelaskan bahwa “Sebenarnya budaya kerja

sudah lama dikenal oleh manusia, namun belum disadari bahwa suatu

keberhasilan kerja berakar pada nilai-nilai yang dimiliki dan perilaku yang

menjadi kebiasaan. Nilainilai tersebut bermula dari adat istiadat, agama,

norma dan kaidah yang menjadi keyakinan pada diri pelaku kerja atau

organisasi.

Nilai-nilai yang menjadi kebiasaan tersebut dinamakan budaya

kerja”. Dengan demikian, maka setiap fungsi atau proses kerja harus

mempunyai perbedaan dalam bekerjanya, yang mengakibatkan berbedanya

pola nilai-nilai yang sesuai untuk diambil dalam kerangka kerja organisasi.

Seperti nilai-nilai apa saja yang sepatutnya dimiliki, bagaimana perilaku

setiap orang akan dapat mempengaruhi kerja mereka, kemudian falsafah

yang dianutnya seperti “budaya kerja” merupakan suatu proses tanpa

“akhir” atau “terus menerus”.

Berbicara tentang budaya kerja berarti berbicara tentang pedoman

yang berisi tentang aturan-aturan yang terkait bdengan kerja yang kemudian

diimplementasikan di dalam kehidupan nyata dalam pekerjaan sehari-hari

yang menghasilkan produk-produk yang relevan dengan tuntutan

pekerjaannya. Budaya kerja tersebut kemudian secara mekanis dan organis

terdapat didalam diri manusia sehingga terekpresi di dalam kehidupannya.

Sebagai pedoman dalam bersikap dan berperilaku, budaya kerja merupakan

seperangkat pengetahuan yang built in di dalam individu manusia pekerja


53

yang dengannya manusia bertindak atau berperilaku di dalam dunia kerja.

Budaya kerja tersebut sudah menjadi bagian di dalam kehidupan seseorang

sehingga tanpa pengawasan pun seseorang pasti akan melakukannya

sebagaimana pedomannya tersebut.

Dari pengertian tentang budaya kerja dapat disimpulkan bahwa

budaya kerja adalah cara pandang yang menumbuhkan keyakinan atas dasar

nilai-nilai yang diyakini pegawai untuk mewujudkan prestasi kerja terbaik.

Menurut Rivai (2014:430) fungsi budaya kerja adalah “Budaya mempunyai

suatu peran menetapkan tapal batas, artinya budaya menciptakan perbedaan

yang jelas antara suatu organisasi dengan organisasi lain; Budaya

memberikan identitas bagi organisasi; Budaya mempermudah timbulnya

komitmen yang lebih luas dari pada kepentingan individu; Budaya itu

mengingatkan kemantapan sistem sosial; dan Budaya sebagai mekanisme

pembuat maknadan kendali yang memandu serta membentuk sikap dan

perilaku pegawai”.

Menurut Robbins (2015:520) peran atau fungsi didalam suatu

budaya adalah “Sebagai tapal batas yang menbedakan secara jelas suatu

organisasi dengan organisasi yang lain; Memberikan rasa identitas bagi

anggota-anggotanya organisasi; Memudahkan penerusan komitmen hingga

mencapai batasan yang lebih luas dari pada kepentingan individu;

Mendorong stabilitas sisitem sosial, merupakan perakat sosial yang

membantu mempersatukan organisasi; Membentuk rasa dan kendali yang

memberikan panduan dan membentuk sikap serta perilaku pegawai; Sebagai


54

pola perilaku yang berisi norma tingkah laku dan menggariskan batas-batas

toleransi sosial dan juga alat komunikasi antara atasan dan bawahan maupun

sebaliknya”

2. Proses dan Faktor-Faktor Terbentuknya Budaya Kerja

Menurut Robbins (2015:523) dibutuhkan waktu yang lama untuk

pembentukan suatu budaya kerja. Sekali terbentuk budaya itu cenderung

berurat berakar, sehingga sukar bagi para bekerja untuk mengubahnya.

Robbins (2015:523) menjelaskan bagaimana budaya kerja dibangun dan

dipertahankan ditunjukkan dari filsafat pendiri dan pimpinannya.

Selanjutnya budaya ini sangat dipengaruhi oleh kriteria yang digunakan

dalam mempekerjakan pegawai.

Tindakan pimpinan akan sangat berpengaruh terhadap perilaku yang

dapat diterima baik dan yang tidak. Bagaiman bentuk sosialisasi akan

tergantung kesuksesan yang dicapai dalam menerapkan nilai-nilai dalam

proses seleksi. Namun secara perlahan nilai-nilai tersebut dengan sendirinya

akan terseleksi untuk melakukuan penyesuaian terhadap perubahan yang

pada akhirnya akan muncul budaya kerja yang diinginkannya. Menurut

Mangkunegara (2013:317) ada tiga macam proses terbentuknya budaya,

yaitu “Budaya diciptakan oleh sendirinya; Budaya terbentuk sebagai upaya

menjawab tantangan dan peluang dari lingkungan internal dan eksternal;

budaya diciptakan oleh tim manajemen sebagai cara meningkatkan kinerja

perusahaan secara sistematis”. Sementara Gomes (2013:39) mengatakan

bahwa satuan kerja atau organisasi akan mampu mencapai sukses tertinggi
55

jika ia memiliki “Sasaran-sasaran dan target-target yang agung; Keteguhan

tetapi sekaligus fleksibel; Budaya kerja yang dihayatin secara fanatik; Daya

inovasi yang kreatif; Sistem pembangunan sumber daya manusia (SDM)

dari dalam; Orientasi pada mutu kesempurnaan dan kemampuan untuk terus

menerus belajar dan berubah secara damai”.

Menurut Gomes (2013:53) factor-faktor yang membentuk budaya

kerja yaitu “Observed behavioral regularities when people interact”, yaitu

bahasa yang digunakan dalam organisasi, kebiasaan dan organisasi yang

ada, dan ritual para pegawai dalam menghadapi berbagai macam situasi;

Group Norms, yaitu nilai dan standar baku dalam organisasi, Exposed

Values, yaitu nilai-nilai dan prinsip-prinsip organisasi yang ingin dicapai,

misalnya kualitas produk, dan sebagainya; Formal Philosophy,yaitu

kebijakan dan prinsip ideologis yang mengarahkan perilaku organisai

terhadap pegawai, pelanggan, dan pemegang saham; Rules of the Game,

yaitu aturan-aturan dalam perusahaan, hal-hal apa saja yang harus dipelajari

oleh pegawai baru agar dapat diterima organisasi tersebut; Climateyaitu

perasaan yang secara eksplisit dapat terasa dari keadaan fisik organisasi dan

interaksi antar pegawai, interaksi antasan dengan bawahan, juga interaksi

dengan pelanggan atau organisasi lain; Embedded Skills, yaitu kompetensi

khusus dari anggota organisasi dalam menyelesaikan tugasnya, dan

kemampuan menyalurkan keahliannya dari satu generasi ke generasi

lainnya; Habits of thinking, mental models, and/or linguistic paradigms,

yaitu adanya suatu kesamaan “frame” yang mengarahkan pada persepsi


56

(untuk dapat mengurangi adanya perbedaan persepsi), pikiran, dan bahasa

yang digunakan oleh para pegawai dan diajarkan pada pegawai bru pada

awal proses sosialisasi; Shared Meanings, yaitu rasa saling pengertian yang

diciptakan sendiri oleh pegawai dariinteraksi sehari-hari; Root Metaphors or

Integrating Symbols, yaitu ide-ide, perasaan dan citra organisasi yang

dikembangkan sebagai karakteristik organisasi yang secara sadar ataupun

tidak sadar tercermin dari bangunan, lay out ruang kerjadan materi artifact

lainnya. Hal ini merefleksikan respon emosional dan estetika anggota

organisasi, disamping kemampuan kognitif atau kemampuan evaluatif

anggota organisasi. Nilai adalah keyakinan yang bertahan lama mengenai

sesuatu yang dianggap berharga, penting, mempunyai arti, diinginkan dan

diprioritaskan sehingga diperjuangkan untuk direalisasikan. Nilai-nilai yang

terbentuk didalam suatu organisasi kerja, sumbernya dari masyarakat yang

kemudian dibawa suatu organisasi ketika seseorang menjadi anggota

organisasi kerja tertentu. Nilai-nilai dari suatu masyarakat diyakini dominan

mempengaruhi budaya perusahaan tempat organisasi berada.

Nilai terbentuknya mulai dari keluarga, social, organisasi dan

universitas. Nilai-nilai budaya merupakan gejala kolektif dan lebih

mencerminkan gejala komunitas. Mencapai keberhasilan yang permanen,

organisasi perlu membangun core valueyang membentuk budaya

perusahaan. Nilai-nilai ini akan memotivasi setiap orang dalam organisasi,

berfungsi memperjelas alasan organisasi untuk bertindak dan melakukan

sesuatu. Nilai-nilai ini juga menjadi ukuran dalam menentukan perioritas


57

dalam pengambilan keputusan dan menjadi pedoman perilaku anggota

organisasi

Menurut Sentono (2014:69) “Budaya pada intinya adalah nilai dan

norma yang berlaku di suatu organisasi dan dianut oleh para anggota”. Tiap

organisasi seharusnya memiliki nilai masing-masing yang sebaiknya

merupakan nilai-nilai dari seluruh anggota.

Perusahaan membangun tata nilai yang mencakup hal-hal yang

menggugah pegawai untuk memberikan kontribusi positif pada perusahaan,

hubungan antara pegawai serta hubungan dengan stakeholders, yang

merupakan hal-hal yang harus dijunjung tinggi atau dipedomi oleh seluruh

pegawai dalam melaksanakan kegiatan perusahaan, yang terdiri dari

“Proaktif”. Proaktif berarti sikap berinisiatif dan mengevaluasi resiko yang

mungkin terjadi. Proaktif adalah kemampuan untuk membuat keputusan

tentang apa yang harus dikerjakan pada situasi dan kondisi yang kritis, tanpa

menunggu perintah atau dukungan dari atasan. Unggul berarti lebih tinggi,

lebih baik atau lebih cakap. Ungggul bisa juga berarti yang terbaik atau yang

terutama .Excellence pada intinya adalah upaya membangun atau

menciptakan keunggulan dalam rangka memenangkan persaingan. Watak

unggul adalah sifat yang selalu mengedepankan kesempurnaan dan

peningkatan dalam kualitas kerja, serta berkeinginan dan bergairah untuk

menjadi yang terbaik, kerjasama tim. Bermakna bukan sekedar bekerja

bersama-sama namun kerjasama diantar dua potensi yang berbeda atau

lebih, dengan beban, tanggung jawab dan fungsi yang berbeda dan hasilnya
58

lebih dari sekedar. Hasil kerja kolektif terjadi bila dua anggota atau lebih

bekerja bersama-sama, mencerminkan kontribusi bersama yang nyata dari

anggota-anggota tim. Inovasi merupakan proses pengambilan gagasan yang

kreatif yang mengubahnya menjadi produk, jasa atau metode operasi yang

bermanfaat. Inovasi adalah intensi memperkenalkan dan mengaplikasi suatu

ide, proses produk atau prosedur baru dalam organisasi untuk mendapatkan

keuntungan bagi organisasi. Bertanggung jawab didefinisikan sebagai

kemampuan dalam menannggapi dan menyelesaikan pekerjaan yang di

lakukan. Besar kecilnya tanggung jawab atas akibat keputusan yang diambil

dan tindakan yang dilakukan.

3. Indikator Budaya Kerja

Menurut Triguna, dkk (2011:8) indikator budaya kerja dapat dibagi

menjadi:

a. Sikap Terhadap Pekerjaan

Yaitu kesukaan akan kerja dibandingkan dengan kegiatan lain,

seperti bersantai atau semata-mata memperoleh kepuasan dari

kesibukan pekerjaannya sendiri atau merasa terpaksa melakukan

sesuatu hanya untuk kelangsungan hidupnya,

b. Perilaku Pada Waktu Bekerja

Seperti rajin, berdedikasi, bertanggung jawab, berhati-hati, teliti,

cermat, kemauan yang kuat untuk mempelajari tuga dan

kewajibannya, suka membantu sesama pegawai atau sebaliknya.


59

c. Disiplin Kerja

Dapat didefinisikan sebagai suatu sikap menghormati, menghargai,

patuh dan taat terhadap peraturan yang sudah ditetapkan

D. Kinerja Pegawai

1. Pegertian Kinerja

Kinerja terjemahan dari kata “Performance” yang dalam

Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English

(1982), “performance memiliki tiga pengertian, yaitu (1) an act of

performing a play a consert as same other entertainment, (2) an

action or achievement, considered in relation to how successful, dan

(3) the ability to operate efficiently, react quickly. Dalam Kamus

Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka (1996), kinerja diartikan

sebagai sesuatu yang dicapai, prestasi yang diperlihatkan atau

kemampuan kerja. Dengan demikian, dari pengertian bahasa tadi,

kinerja atau performance dapat diartikan sebagai wujud tampilan

hasil dari suatu pelaksanaan kegiatan atau suatu tugas dan

tanggung jawab atau dapat juga dikatakan sebagai kemampuan

dalam menjalankan tugas dengan sukses.

Dalam kajian manajemen kinerja diartikan sebagai sukses

individu dan kelompok dalam mencapai sasaran-sasaran yang

relevan. Menurut Hickman (2011:225) kinerja merupakan tanda


60

keberhasilan suatu organisasi dan orang-orang yang ada dalam

organisasi tersebut. Oleh karena itu kinerja baik individual maupun

organisasi selayaknya terus dievaluasi untuk mendapatkan standar

keberhasilan. Untuk mengukur kinerja seseorang dalam bidangnya,

Robins (2015:410) mengungkapkan dengan cara membandingkan

antara hasil evaluasi dengan pekerjaan yang menggunakan kriteria

seperti yang telah diungkapkan bersama.

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja

Kinerja seorang pekerja dipengaruhi oleh sifat dan bentuk

pekerjaan itu sendiri, karena pada dasarnya seseorang melakukan

pekerjaan merupakan pelampiasan kemampuan yang ada pada

dirinya dan juga untuk memenuhi berbagai kebutuhan pribadinya.

Dalam hal itu, Drucker (2010:237) mengemukakan beberapa

dimensi kerja yang mempengaruhi kinerja pegawai, yaitu:

a. Dimensi Fisiologis, yaitu bahwa setiap orang akan bekerja

dengan baik apabila dia bekerja dalam konfigurasi operasional

bersama tugas dan ritme kecepatan sesuai dengan keadan fisiknya.

b. Dimensi Psikologis, yaitu bahwa bekerja itu merupakan

ungkapan kepribadian, karena seseorang yang merasa puas

dalam bekerja akan berdampak pada kinerjanya

c. Dimensi Sosial, yaitu bahwa bekerja merupakan ungkapan

hubungan sosial diantara pegawai

d. Dimensi Ekonomi, yaitu bahwa bekerja merupakan sumber


61

penghidupan.

Imbalan jasa yang tidak sepadan akan menghambat pegawai

dalam berprestasi

e. Dimensi Keseimbangan, yaitu bahwa faktor keseimbangan

antara penghasilan dengan kebutuhan hidup akan memacu

seseorang untuk bekerja lebih giat guna mencapai keseimbangan.

Dimensi keseimbangan dapat juga disebut dimensi kekuasaan

pekerjaan, karena faktor keseimbangan dapat menimbulkan

konflik yang mempengaruhi kinerja

Hasibuan (2012:106) menyebutkan tidak kurang dari sebelas

dimensi kinerja yang biasa dinilai, yaitu: Kesetiaan, prestasi

kerja, kejujuran, kedisiplinan, kreativitas, kerjasama,

kepemimpinan, kepribadian, prakarsa, kecakapan dan tanggung

jawab.

3. Penilaian Kinerja

Rivai (2014: 309) Kinerja merupakan suatu fungsi dari

motivasi dan kemampuan. Penilaian kinerja mengacu pada sistem

formal dan terstruktur yang digunakan untuk mengukur, menilai dan

mempengaruhi sifat-sifat yang berkaitan dengan pekerjaan, perilaku

dan hasil, termasuk tingkat ketidakhadiran. Dengan demikian,

penilaian prestasi adalah merupakan hasil kerja pegawai dalam

lingkup tanggung jawabnya. Dalam praktiknya, istilah penilaian

kinerja (performance appraisal) dan evaluasi kinerja (performance


62

evaluation) dapat digunakan secara bergantian atau bersamaan

karena pada dasarnya mempunyai maksud yang sama. Sementara

Grote (2012:1) mengemukakan: “Performance appraisal is a formal

management system that provides for the evaluation of the quality

of an individual’s performance in an organization”. Penilaian

kinerja merupakan sebuah sistem manajemen formal yang

melengkapi evaluasi terhadap kualitas kinerja individu dalam sebuah

organisasi.

Sedangkan Sedarmayanti (2017:260) mengartikan penilaian

pelaksanaan pekerjaan kinerja adalah sistem yang digunakan untuk

menilai dan mengetahui apakah seorang pegawai telah melaksanakan

pekerjaannya secara keseluruhan. Penilaian pelaksanaan pekerjaan

merupakan pedoman dalam hal pegawai yang diharapkan dapat

menunjukkan kinerja pegawai secara rutin dan teratur sehingga

bermanfaat bagi pengembangan karier pegawai yang dinilai

maupun bagi organisasi secara keseluruhan.

Bernardian, John H. & Joyce E. A. Russell d a l a m

Sedarmayanti (2017: 260) Performance is defined as the record of

outcomes produced on a specific job function or activity during a

specific time period. (Kinerja didefinisikan sebagai catatan mengeni

outcome yang dihasilkan dari suatu aktivitas tertentu, selama kurun

waktu tertentu pula).

Penilaian kinerja memiliki tujuan dan manfaat tertentu,


63

Sedarmayanti (2017:262) mengemukakan bahwa tujuan atau

kegunaan sistem penilaian kinerja adalah :

a) Meningkatkan kinerja pegawai dengan cara membantu

mereka agar menyadari dan menggunakan seluruh potensi

mereka dalam mewujudkan tujuan organisasi.

b) Memberikan informasi kepada pegawai dan pimpinan sebagai

dasar untuk mengambil keputusan yang berkaitan dengan

pekerjaan.

Lebih lanjut Sedarmayanti mengemukakan bahwa secara

spesifik sistem penilaian kinerja memiliki kegunaan sebagai berikut:

a. Sebagai dasar pengambilan keputusan untuk:

1) Mempromosikan pekerja yang berprestasi

2) ‘Menindak’ pekerjaan yang kurang/tidak berprestasi

3) Melatih, memutasikan/mendisiplinkan pekerja.

4) Memberi/menunda kenaikan imbalan/balas jasa.

5) Berfungsi sebagai masukan pokok dalam penerapan sistem

penghargaan dan pemberian hukuman

b. Sebagai kriteria untuk melakukan validasi tes/menguji keabsahan

suatu alat tes.

c. Memberikan umpan balik kepada pegawai, sehingga penilaian

kinerja dapat berfungsi sebagai wahana pengembangan pribadi

dan pengembangan karier.

d. Bila kebutuhan pengembangan pekerjaan dapat


64

diidentifikasikan, maka penilaian kinerja dapat membantu

menentukan tujuan program penilaian.

e. Jika tingkat kinerja pegawai dapat ditentukan secara tepat, maka

penilaian kinerja dapat membantu mendiagnosis masalah

organisasi.

Sementara Rivai (2014: 311) menjelaskan bahwa penilaian

kinerja didasarkan pada dua alasan pokok, yaitu: (1) bekerja

memerlukan evaluasi yang objektif terhadap kinerja pegawai pada

masa lalu yang digunakan untuk membuat keputusan di bidang SDM

di masa yang akan datang; (2) bekerja memerlukan alat yang

memungkinkan untuk membantu pegawainya memperbaiki kinerja,

merencanakan pekerjaan, mengembangkan kemampuan dan

keterampilan untuk perkembangan karier dan memperkuat kualitas

hubungan antar bekerja yang bersangkutan dengan pegawainya.

Rivai (2014:315) menguraikan kegunaan penilaian kinerja

ditinjau dari berbagai perspektif, khususnya manajemen SDM, yaitu:

a. Posisi tawar. Untuk memungkinkan manajemen melakukan

negosiasi yang objektif dan rasional dengan serikat buruh (kalau

ada) atau langsung dengan pegawai.

b. Perbaikan kinerja. Umpan balik pelaksanaan kerja yang

bermanfaat bagi pegawai, bekerja, dan spesialis personil dalam

bentuk kegiatan untuk meningkatkan atau memperbaiki kinerja

pegawai.
65

c. Penyesuaian kompensasi. Penilaian kinerja membantu pengambil

keputusan dalam penyesuaian ganti-rugi, menentukan siapa

yang perlu dinaikkan upahnya-bonus atau kompensasi lainnya.

Banyak perusahaan mengabulkan sebagian atau semua dari bonus

dan peningkatan upah mereka atas dasar penilaian kinerja.

d. Keputusan penempatan. Membantu dalam promosi, keputusan

penempatan, perpindahan, dan penurunan pangkat pada umummya

didasarkan pada masa lampau atau mengantisipasi kinerja. Sering

promosi adalah penghargaan untuk kinerja yang lalu.

e. Pelatihan dan pengembangan. Kinerja buruk mengindikasikan

adanya suatu kebutuhan untuk latihan. Demikian juga, kinerja

baik dapat mencerminkan adanya potensi yang belum digunakan

dan harus dikembangkan.

f. Perencanaan dan pengembangan karier. Umpan balik penilaian

kinerja dapat digunakan sebagai panduan dalam perencanaan dan

pengembangan karier pegawai, penyusunan program

pengembangan karier yang tepat, dapat menyelaraskan antara

kebutuhan pegawai dengan kepentingan perusahaaan.

g. Evaluasi proses staffing. Prestasi kerja yang baik atau buruk

mencerminkan kekuatan atau kelemahan prosedur staffing

departemen SDM.

h. Defisiensi proses penempatan pegawai. Kinerja yang baik

atau jelek mengisyaratkan kekuatan atau kelemahan dalam


66

prosedur penempatan pegawai di departemen SDM.

i. Ketidakakuratan informasi. Kinerja lemah menandakan adanya

kesalahan di dalam informasi analisis pekerjaan, perencanaan

SDM atau sistem informasi manajemen SDM. Pemakaian

informasi yang tidak akurat dapat mengakibatkan proses

rekrutmen, pelatihan atau pengambilan keputusan tidak sesuai.

j. Kesalahan dalam merancang pekerjaan. Kinerja yang lemah

mungkin merupakan suatu gejala dari rancangan pekerjaan

yang kurang tepat. melalui penilaian kinerja dapat membantu

mendiagnosis kesalahan ini.

k. Kesempatan kerja yang adil. Penilaian kinerja yang akurat terkait

dengan pekerjaan dapat memastikan bahwa keputusan

penempatan internal tidak bersifat diskriminatif.

4. Dimensi Kinerja Pegawai

Suprihanto (2013;70) mengemukakan dimensi kinerja pegawai

antara lain :

a. Kemampuan kerja

Kemampuan kerja pegawai merupakan suatu proses kerja yang

memberikan pemahaman dan kemampuan kepada pegawai dalam

melakukan aktivitas, sehingga apa yang diharapkan organisasi dapat

tercapai dengan baik guna meningkatkan kinerja.

b. Kerajinan

Kerajinan adalah hobi atau pekerjaan yang membutuhkan kemampuan


67

dan pengetahuan tertentu untuk menciptakan karya secara terampil.

Orang yang menggeluti bidang ini disebut perajin atau pengrajin, tetapi

pada zaman sekarang banyak juga disebut sebagai artisan

c. Disiplin

Disiplin PNS adalah kesanggupan PNS untuk menaati kewajiban dan

menghindari larangan yang ditentukan dalam peraturan perundang-

undangan

d. Hubungan kerja

Hubungan kerja adalah hubungan antara pemerintah daengan pegawai

berdasarkan perjanjian kerja dalam bentuk SK Pegawai. Dengan

demikian hubungan kerja tersebut adalah merupakan sesuatu yang

abstrak, sedangkan perjanjian kerja adalah sesuatu yang konkrit nyata.

Pegawai adalah kondisi yang diposisikan sebagai garda

terdepan dan posisi sentral di dalam pelaksanaan proses bekerja.

Berkaitan dengan itu, maka pegawai akan menjadi bahan

pembicaraan banyak orang, dan tentunya berkaitan dengan kinerja

dan totalitas dedikasi dan loyalitas pengabdiannya.

Banyak hal yang perlu menjadi bahan pertimbangan agar

kinerja pegawai tercapai dengan baik dan berkualitas, program-

program kerja harus rasional dan memungkinkan untuk dapat dicapai

oleh pegawai. Selain itu, kinerja pegawai juga sangat ditentukan oleh

kemampuan pimpinan dalam mengelola pegawai di lingkungan

organisasi serta budaya kerja yang ada harus diperhatikan oleh


68

pimpinan, sehingga kinerja pegawai dapat tercapai secara efektif dan

efisien dana tau sesuai target yang diharapkan.

Ukuran kinerja pegawai terlihat dari rasa tanggung jawabnya

menjalankan amanah, profesi yang diembannya, rasa tanggung

jawab moral dipundaknya. Kinerja pegawai terlihat dari kepatuhan

dan loyalitasnya dalam menjalankan tugas kepegawaiannya didalam

instansi. Sikap ini akan dibarengi pula dengan rasa tanggung

jawabnya mempersiapkan segala perlengkapan kerja sebelum

melaksanakan proses bekerja. Selain itu, pegawai juga harus

mempertimbangkan metodologi yang akan digunakan, termasuk

media kerja yang dipakai, serta alat penilaian apa yang digunakan

dalam pelaksanaan evaluasi kinerja pegawai.

Lebih lanjut Isjioni mengemukakan bahwa “kinerja pegawai

akan menjadi optimal, bilamana diintegrasikan dengan komponen

perorganisasian, yaitu atasan, pegawai maupun staf lainnya“.

Kinerja pegawai diartikan sebagai prestasi kerja pegawai dalam

mengelola dan melaksanakan tugas pokok dan tanggung jawab

untuk mencapai tujuan organisasi, karena pegawai merupakan

salah satu komponen penting dan memiliki posisi sentral dalam

proses bekerja (Supriadi, 2013), dan karena pimpinan sebagai tenaga

struktural yang memiliki kewenangan operasional dalam

mengorganisasikan pekerjaan bagi pegawainya. Dan juga sebagai

seorang profesional yang memiliki kewenangan untuk menjalankan


69

profesi kepegawaiannya.

Syaefuddin Saud (2010:50) mengemukakan “Untuk

keperluan analisis tugas pegawai sebagai tenaga sumber daya manusia,

maka kompetensi kinerja pegawai (generic teaching competencies)

penampilan aktual dalam proses bekerja, minimal memiliki empat

kemampuan”. Kemampuan yang harus dimiliki pegawai yakni:

1. Merencanakan proses pekerjaan;

2. Melaksanakan dan memimpin/mengelola pekerjaan;

3. Menilai kemajuan proses pekerjaan;

4. Menguasai pekerjaan.

Davis (2012:71) mengemukakan peran dan tugas pegawai

dalam bekerja, yaitu sebagai pengelola, dan sebagai pelaksana tugas.

Sebagai pimpinan atau pengelola pegawai harus memiliki

kemampuan merencanakan, pengorganisasian, kepemimpinan dan

pengendalian, sedangkan sebagai pelaksana bekerja, pegawai harus

mampu melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya.

Peran dan tugas sebagaimana dikemukakn Davis,

mengindikasikan bahwa seorang pegawai harus memiliki kemampuan

profesional, personal, dan sosial, serta bertindak sebagai seorang

pegawai dalam mengelola tugas yang diamanahkan.

Dengan memahami tugas, maka tolok ukur atau standar dan

ruang lingkup penilaian kinerja pegawai akan terkait secara

analisis dengan aspek-aspek atau dimensi dan indikator tugas


70

pokok pegawai tersebut, yaitu antara lain:

a) Dimensi perencanaan bekerja, dengan indikator (1) membuat

rencana pengelolaan program kerja, (2) membuat rencana

pengelolaan ruang kerja, (3) membuat rencana evaluasi dan

penilaian prestasi kerja pegawai, (4) membuat rencana perbaikan

dan pengayaan, dan (5) membuat rencana bimbingan dan

penyuluhan.

b) Dimensi penyajian pekerjaan, dengan indikator memiliki

kemampuan dalam (1) penguasaan pekerjaan, (2) penggunaan

ruangan sebagai tempat bekerja dan memanfaatkan waktu bekerja

secara efektif dan efisien, (3) penggunan media dalam kegiatan

bekerja. (4) penggunaan metode bekerja yang tepat dan sesuai

dengan proses bekerja, (5) penguasan teknik komunikasi dan

interaksi pegawai.

c) Dimensi pelaksanaan evaluasi bekerja, dengan indikator

memiliki kemampuan dalam (1) pelaksanaan penilaian prestasi

kerja pegawai, (2) pembuatan alat evaluasi, (3) penyajian

laporan kemajuan pegawai dalam bekerja.

d) Dimensi penyusunan dan pelaksanaan program perbaikan dan

pengayaan, dengan indikator mengusai, memahami dan

mendalami (1) landasan pekerjaan, (2) kebutuhan pegawai

sebagai hasil evaluasi pegawai, (3) landasan strategi bekerja

berikutnya.
71

e) Dimensi penyusunan dan pelaksanaan program bimbingan yang

menjadi tanggung jawabnya, dengan indikator menguasai dan

memahami serta mendalami (1) landasan pekerjaan (2) fungsi

dan program layanan bimbingan serta penyuluhan, teknik

komunikasi dan interaksi.

Pelaksanaan aspek-aspek tugas pokok pegawai akan

mendatangkan hasil kerja pegawai dalam suatu periode, baik kualitas

maupun kuantitas sebagai kinerja pegawai, karena kinerja pegawai

pada dasarnya merupakan unjuk kerja atau hasil kerja yang dicapai

pegawai dalam suatu periode tertentu. Oleh karena itu, penilaian dan

pengukuran kinerja pegawai dapat dilihat dari produktivitas

melalui indikator-indikator sebagai berikut:

a) Kompetensi (kemampuan) pegawai, yang diindikasikan oleh

kemampuan penguasaan terhadap tugas pokok pegawai dalam

hal perencanaan tujuan, perencanaan penyiapan bahan, metode

bekerja, perencanaan penggunaan media, pengelolaan dan

pengambilan tindakan.

b) Profesionalisme pegawai, yang diindikasikan oleh kemampuan dan

penguasaan dalam pelaksanaan aspek-aspek tugas pokok pegawai

dalam hal penyampaian tugas dan penggunaan metode dalam

bekerja, memiliki inisiatif dan berfikir inovatif untuk berbuat lebih

baik dalam mewujudkan kualitas bekerja serta sifat keteladanan

dalam bertindak dan berbuat.


72

c) Disiplin kerja pegawai, yang diindikasikan oleh sikap pegawai

dalam bekerja, tepat waktu dalam melaksanakan tugas pokok

pegawai, dan loyalitas terhadap tugas serta pelaporan/pengawasan.

E. Kerangka Pemikiran

Kerangka pemikiran merupakan pola piker yang menunjukkan

hubungan antara variabel yang akan diteliti yang sekaligus mencerminkan

jenis dan jumlah rumusan masalah yang perlu dijawab melalui penelitian,

teori yang digunakan untuk merumuskan hipotesis, jenis dan jumlah

hipotesis, dan teknik analisis statistik yang akan digunakan (Sugiono,

2016:43) dasar dari paradigma penelitian sesuai permasalahan penelitian ini

adalah mencari kontribusi variabel kepemimpinan atasan dan kinerja

pegawai terhadap produktivitas organisasi.

Berdasarkan hal tersebut, disusun paradigm penelitian yang

menunjukkan hubungan dari variabel-variabel penelitian tersebut. Hal ini


Kepemimpinan Demokratis
untuk mempermudah melakukan penelitian, pembahasan dan menarik
Pasolong (2013;81)

kesimpulan
Keputusansebagai hasil penelitian.
dibuat bersama.
Menghargai potensi setiap
bawahannya.
Mendengarkan saran, kritik dari
bawahannya.
Melakukan kerjasama dengan
bawahannya. X1.Y
Proses pengendalian

Kinerja Pegawai (Y)


Suprihanto (2013:70)
X1,X2.Y Kemampuan kerja,
Kerajinan,
Disiplin,
Hubungan kerja.

Budaya kerja (X2)


Triguno, dkk (2014:8)

Sikap Terhadap Pekerjaan X2.Y


Perilaku Pada Waktu Bekerja
Disiplin Kerja
73

Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran


F. Hipotesis

Terdapat tiga hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini, yaitu:

1. Besarnya pengaruh kepemimpinan demokratis terhadap kinerja pegawai

pada Dinas Kepemudaan, Olahraga Dan Pariwisata Kabupaten

Labuhanbatu Utara dipengaruh oleh variabel kepemimpinan demokratis

dengan dimensi : Sifat Kepemimpinan, Motivasi kepemimpinan,

Keputusan kepemimpinan, Komunikasi kepemimpinan, Proses

pengendalian

2. Besarnya pengaruh budaya kerja terhadap kinerja pegawai pada Dinas

Kepemudaan, Olahraga Dan Pariwisata Kabupaten Labuhanbatu Utara

dipengaruhi oleh variabel budaya kerja dengan dimensi : Tangibles (bukti

langsung), Reliability (Kehandalan), Assurance (Jaminan), Responsive

(Daya tanggap), Emphaty (Empati)

3. Besarnya pengaruh kepemimpinan demokratis dan budaya kerja

berpengaruh terhadap kinerja pegawai pada Dinas Kepemudaan, Olahraga

Dan Pariwisata Kabupaten Labuhanbatu Utara dipengaruhi oleh variabel

kepemimpinan demokratis dan budaya kerja secara bersama-sama dengan

dimensi masing-masing.
74

Anda mungkin juga menyukai