Tugas Resume T3 Hukum Pemerintahan Daerah - Wendelyn Winona Widyadari - 6052001244

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 7

TUGAS HUKUM PEMERINTAHAN DAERAH

Nama : Wendelyn Winona Widyadari


NPM : 6052001244
Kelas :B

SEJARAH PEMERINTAHAN DAERAH

Sebelum 1903

Pada dasarnya kerajaan Mataram merupakan sebuah Monarki yang kepala pemerintahannya
merupakan Raja atau Ratu. Raja yang memerintah Kerajaan Mataram ini tinggal di keraton yang
mana merupakan istana milik Raja. Agar pemerintahan bisa dijalankan dengan baik, para Raja di
Mataram menunjuk beberapa pejabatan internal dalam keraton, pejabat internal tersebut
diantaranya merupakan Patih Kerajaan, Wedana, keluarga kerajaan, abdi dalem, prajurit dan lain
sebagainya. Salah satu fungsi Pejabat Internal tersebut adalah untuk mewakili raja untuk
mengontrol para Bupati dan Kepala Desa kerajaan apabila ditunjuk oleh raja, apabila tidak maka
Raja juga bisa mengontrolnya secara langsung. Bupati membawahi Wedana atau Demang yang
mana tugasnya adalah untuk membantu Bupati. Bupati juga bisa dibantu seorang Kaliwon yang
merupakan pemimpin pedesaan tetapi jabatannya berada di bawah bupati. Kerajaan Mataram ini
merupakan suatu kerajaan agraris yang membuat seringnya muncul kasus-kasus perubahan status
tanah. Diantara kasus-kasus tersebut terdapat suatu penetapan daerah berstatus Sima. Berdasarkan
inti dari prasasti Muncang 944 M baris 24-26, prasasti Gulung-Gulung 929 M baris 25-28, dan
prasasti Sugih Manek 915 M baris 27-28 dijelaskan bahwa pada dasarnya suatu daerah Sima ini
merupakan suatu daerah yang diberi kebebasan atas beban-beban kerajaan berupa pajak oleh
penguasa, seperti raja, raka , atau samgat. Raka atau rakai adalah penguasa wilayah watak, daerah
bawahan kerajaan, yang wilayahnya pada umumnya merupakan gabungan dari watak-watak yang
lebih kecil atau merupakan pengelompokan desa-desa kecil. Sedangkan Samgat merupakan
singkatan dari jabatan keagamaan atau kehakiman yang bernama sang pamgat yang pemegangnya
merupakan pemutus perkara atau hakim sekaligus sebagai seorang agamawan Hindu atau Buddha.
Penewu atau Penatus yang diperintah oleh seorang Kaliwon atau Wedana yang akan
menyampaikan perintah yang diberikan kepadanya kepada bawahannya. Lurah Desa merupakan
pemimpin desa yang bertugas untuk memimpin desa dimana ia tinggal.

Zaman Hindia Belanda

Pada 1602 VOC resmi masuk ke Nusantara dan hal tersebut menandakan dimulainya Zaman
Pemerintahan Hindia Belanda. Pada awalnya VOC memiliki Dewan Tujuh Belas yang bertugas
untuk menjalankan urusan VOC, namun keberadaan dewan ini dianggap tidak efektif dalam
menjalankan tugasnya . Hal tersebut dikarenakan oleh kedudukan dewan ini berada di Amsterdam
sehingga dalam mengatasi permasalahan tersebut VOC membentuk Gouvernour Generaal
(Gubernur Jenderal), yang bertugas untuk mengendalikan kekuasaan di negeri jajahan Belanda.
Diawali dengan bangkrutnya VOC, Pemerintah Belanda mengambil alih kekuasaan VOC di
Hindia Belanda, pada 1 Januari 1800. Pada 28 Januari 1807, Louis Napoleon mengangkat
Maarschalk Willem Daendles. Dalam menjalankan tugasnya sebagai gubernur jenderal, Daendles
melakukan beberapa kebijakan, yaitu membatasi pengaruh kekuasaan kerajaan-kerajaan
tradisional terhadap kehidupan masyarakat, membagi Jawa menjadi keresidenan, kedudukan.
bupati menjadi pegawai dibawah pemerintah kolonial dan membagi Jawa bagian timur menjadi 5
prefetur (setingkat provinsi). Pada zaman Thomas Stamford Raffles, Raffles mengeluarkan
beberapa kebijakan yaitu:
1. Merubah prefektur menjadi resident,
2. Jawa dirubah menjadi 16 keresidenan
3. Sistem penguasa pribumi yang diperoleh secara turun menurun dihapus, kemudian
dijadikan sebagai pegawai pemerintah kolonial yang langsung di bawah kekuasaan
pemerintah kolonial

Kemudian pada Maret 1816, kekuasaan Raffles digantikan oleh John Fedall. John Fedall menjadi
Letnan Gubernur Nusantara hingga Agustus 1816, yang kemudian diambil alih kembali oleh
Pemerintah Belanda. Decentralisatie Wet (UU Desentralisasi) ini ditetapkan pada 23 Juli 1903,
yang menyebabkan daerah otonom dibagi menjadi tiga jenis, yaitu :

a. Gewestelijke ressort (15 di Jawa-Madura)


b. Plaatselijke ressort (10 di tanah seberang)
c. Gemeentelijke ressort atau gemeente (19 di Jawa-Madura dan 13 di tanah seberang)

Dengan dikeluarkannya Bestuurshervorming 1922 ini, menandakan terjadinya desentralisasi baru


sehingga dapat dikatakan Bestuurshervorming ini merupakan desentralisasi yang sesungguhnya.
Hal ini disebabkan oleh, Bestuurshervorming memiliki beberapa ciri, yaitu :

1. Pemberian hak otonomi dan medebewind yang lebih tegas dan luas
2. Memungkinkan pembentukan daerah otonom yang lebih luas dari resident dengan nama
provincie (provinsi) dan daerah otonom dengan tingkat yang lebih rendah, yaitu
regentschap (kabupaten) dan stadgemente (kotapraja)
3. Penghapusan gewestlijke ressort di Jawa-Madura
4. Susunan pemerintah daerah terdiri dari tiga organ, yaitu raden (dewan daerah), college
(orang yang menjalankan pemerintahan sehari-hari) dan kepala daerah

Terdapat pula asas-asas yang berlaku dalam pemerintah daerah, yaitu :

a. Asas desentralisasi : penyerahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah


daerah otonom
b. Asas dekonsentrasi : pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada wilayah
administrative
c. Asas medebewind : raja-raja yang berkuasa dalam rangka membantu pemerintah colonial
d. Asas otonomi asli : pengakuan atas wewenang yang telah ada

Zaman Penjajahan Jepang

Pada tanggal 8 Maret 1942 Jepang telah resmi menduduki Indonesia yang langsung melakukan
perubahan untuk menghapus dominasi Barat. Sistem pemerintahan yang diterapkan Jepang yaitu
menggunakan sistem pemerintahan militer, sehingga yang berkuasa adalah panglima tentara. Pada
masa ini, daerah-daerah provinsi ditiadakan. Otonomi daerah pada masa ini hampir sama dengan
masa sebelumnya, karena sepanjang tidak bertentangan dengan strategi militer dalam menghadapi
perang, Jepang tetap akan menggunakan prinsip desentralisasi peninggalan Belanda sampai tahun
1945. Jepang melaksanakan pemerintahannya melalui tiga prinsip diantaranya mencari dukungan
rakyat, memanfaatkan struktur pemerintahan yang telah ada, dan penerapan sistem autarki. Daerah
didorong untuk dapat memenuhi kebutuhannya sendiri dan mampu memenuhi permintaan Jepang
untuk keperluan perang (entah itu harta benda ataupun manusianya), inilah yang disebut sistem
autarki. Untuk melaksanakan pemerintahan militer, Osamu Seirei No. 1 tahun 1942 berisikan
diantaranya:

1. Pasal 1 à Balatentara Nippon melangsungkan pemerintahan militer sementara waktu di


daerah yang telah ditempati agar mendatangkan keamanan
2. Pasal 2 à Pembesar balatentara memegang kekuasaan pemerintahan militer tertinggi &
segala kekuasaan yang dahulu dipegang Gubernur Jenderal Hindia Belanda
3. Pasal 3 à Semua badan pemerintah, kekuasaan hukum, undang-undang tetap diakui sah
untuk sementara waktu asal tidak bertentangan dengan aturan pemerintahan militer
4. Pasal 4 àBalatentara Jepang akan menghormati kedudukan & kekuasaan pegawai yang
setia pada Jepang

Susunan pemerintahan militer Jepang sendiri terdiri atas Gunshireikan (panglima tentara),
kemudian Saiko Shikikan (panglima tertinggi) merupakan pimpinannya. Dibawah Saiko Shikikan
terdapat Gunseikan (kepala pemerintah militer) yang merangkap sebagai kepala staff Tentara.
Gunshireikan atau panglima tentara ini menetapkan peraturan yang dikeluarkan oleh Gunseikan,
namanya Osamu Kanrei. Peraturan yang telah ditetapkan itu diumumkan dalam Kan Po (berita
pemerintah), sebuah penerbitan resmi yang dikeluarkan Gunseikanbu (staff pemerintah militer
pusat). Lalu ada koordinator pemerintahan militer setempat yang disebut Gunseibu, dibentuk di
Jawa Barat berpusat di Bandung, Jawa Tengah berpusat di Semarang, dan Jawa Timur berpusat di
Surabaya. Pada setiap Gunseibu ditempatkan beberapa komandan militer setempat tugasnya untuk
memulihkan ketertiban & keamanan juga mengisi kekuasaan yang sementara masih kosong.
Mereka juga berwenang memecat pegawai kolonial Belanda yang kurang bagus dalam membentuk
pemerintahan setempat. Tetapi usaha membentuk pemerintahan ini tidak berjalan dengan baik,
Jepang kekurangan tenaga pemerintahan yang akhirnya membuat diangkatnya tenaga atau
pegawai dari bangsa Indonesia. Selanjutnya dari sini, dibentuklah pemerintahan daerah yang
berdasarkan Peraturan No. 27 Tahun 1942 berisikan mengenai perubahan tata pemerintahan
daerah yang disebutkan diseluruh Jawa-Madura kecuali Yogyakarta & Surakarta. Peraturan ini
membagi pemerintahan daerah dalam Syu (keresidenan), Syi (kotapraja), Ken (kabupaten), Gun
(kawedanan), Son (kecamatan), dan Kun (desa). Sedangkan para pemimpinnya disebut dengan
Syico (residen), Kenco (bupati&walikota), Gunco (wedana), Sonco (camat), dan Kunco (kepala
desa).

Setelah Proklamasi

UU No 1 Tahun 1945

Undang-Undang ini dikeluarkan pada tanggal 23 November 1945 dan merupakan UU


Pemerintahan Daerah yang pertama setelah kemerdekaan. Undang-Undang tersebut didasarkan
pasa pasal 18 UUD 1945. Pada dasarnya pengaturan-pengaturan yang dimuat dalam Undang-
Undang No 1 Tahun 1945 tersebut, meneruskan sistem yang diwariskan oleh Pemerintah Kolonial
Belanda. Sebuah Komite National Daerah didirikan pada setiap level terkecuali di tingkat Provinsi.
Komite tersebut bertindak selaku badan legislatip dan anggota-anggotanya diangkat oleh
Pemerintah Pusat. Kepala Daerah memjalankan dua fungsi utama yaitu sebagai Kepala Daerah
Otonom dan sebagai Wakil Pemerintah Pusat di daerah yang bersangkutan. Sistem ini
mencerminkan kehendak Pemerintah untuk menerapkan prinsip desentralisasi dan dekonsentrasi
dalam sistem pemerintahan daerah, 1945 namun penekanan lebih diberikan kepada prinsip
dekonsentrasi

UU Nomor 22 Tahun 1948

Undang-Undang No.22 Tahun 1948 dikeluarkan pada tanggal 10 Juli 1948 yang dimaksudkan
sebagai pengganti UU 1 Tahun 1945 yang dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan semangat
kebebasan setelah kemerdekaan. Undang-Undang No.22 Tahun 1948 hanya mengatur mengenai
daerah otonom dan sama sekali tidak menyinggung daerah administratif. UU tersebut hanya
mengakui 3 tingkatan daerah otonom yaitu; Provinsi, Kabupaten atau Kotamadya dan terakhir
Desa atau Kota Kecil. Kekuasaan Eksekutif dipegang oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD), dan pemerintahan sehari-hari dijalankan oleh Dewan Pemerintahan Daerah (DPD).
Kepala Daerah bertindak selaku Ketua DPD. Kepala Daerah diangkat oleh Pemerintah dari calon-
calon yang diusulkan oleh DPRD. Kepala Daerah menjalankan dwifungsi, pertama sebagai ketua
DPD pada satu sisi dan sebagai wakil Pusat di daerah pada sisi yang lain. Sebagai alat Pusat,
Kepala Daerah mengawasi DPRD dan DPD, sedangkan sebagai Ketua DPD, ia bertindak selaku
wakil dari Daerah yang bersangkutan. Posisi ini bisa jadi menimbulkan dilema, manakala terdapat
perbedaan antara kepentingan Daerah dan Pusat.

Orde Lama

Orde lama dalam sejarah politik Indonesia merujuk pada masa pemerintahan Soekarno yaitu dari
tahun 1945-1966. Republik Indonesia lahir pada Tahun 1945, pada masa itu beberapa masalah
terkait urusan pemerintah daerah berulangkali menjadi acara dan program pemerintah, di forum
legislatif maupun eksekutif. Pada acara legislatif, masalah ini menjadi pokok pembicaraan yang
kemudian tercantum dalam bentuk peraturan undang-undang.

Penetapan Presiden No. 6 Tahun 1959 Tentang Pemerintah Daerah:


• untuk menyelesaikan 2 masalah penting saat itu didukung dikeluarkannya Penpres No.
5/1960 tentang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Gotong Royong dan Sekretariat Daerah
dan Penpres No. 22/1963 tentang Penghapusan Kresidenan dan Kewedanan
• Pasal 1 Penpres No. 6/1959 “Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala Daerah dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah”
• Pasal 2 Penpres No. 6/1959 yang mengatur : “Dalam menjalankan tugasnya Kepala Daerah
dibantu oleh sebuah Badan Pemerintah Harian”.

UU No.18/1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah

à Visi : meneruskan politik ekonomi kecuali hubungan DPRD dengan Kepala Daerah
à Bentuk dan susunan pemerintahan daerah menurut Pasal 5 ayat (1) UU No. 18/1965 adalah:
“pemerintah Daerah terdiri dari Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Daerah.”
à Sesuai dengan Pasal 6 UU No. 18/1965 : Kepala daerah dalam menjalankan tugasnya sehari-
hari dibantu oleh Wakil Kepala Daerah dan Badan Pemerintahan Harian (BPH)

Tingkatan daerah otonom menurut Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965
Tentang Pemerintahan Daerah dibagi menjadi 3 tingkatan, yaitu:
a. Propinsi dan/atau Kotapraja sebagai Daerah tingkat I.
b. Kabupaten dan/atau Kotamadya sebagai Daerah tingkat II dan
c. Kecamatan dan/atau Kotapraja sebagai Daerah tingkat III.

Orde Baru

Orde baru merupakan suatu masa yang menggantikan orde lama dengan harapan dapat
memperbaiki pemerintahan dan otonomi daerah pada masa orde lama. Dimulainya orde baru
dimulai saat dikeluarkannya Surat Perintah 11 Maret 1966. Masa orde baru dimulai pada tahun
1966 dan berakhir pada tahun 1998. Selama kurang lebih 32 tahun, masa orde baru diperintah dan
dipimpin oleh Soeharto. Undang-undang yang menjadi dasar dalam pemerintahan daerah dan
otonomi daerah pada masa orde baru adalah UU No. 5 Tahun 1974. UU ini dipercaya mampu
memberikan stabilitas daerah dikarenakan eksekutif diberikan kewenangan yang besar sebagai
penguasa tunggal daerah. Didalam UU No. 5 Tahun 1974 tersebut dikatakan bahwa pemerintah
daerah terdiri dari kepala daerah dan DPRD. Namun realisasinya tidak seperti itu, tidak ada
keseimbangan dikarenakan DPRD pada masa orde baru menggunakan kekuasaannya untuk
kepentingan eksekutif. Selain itu, dalam pemilihan kepala daerah juga merupakan retorika belaka
dikarenakan orang yang akan menjabat sebagai kepala daerah sudah ditentukan sedari awal
sebelum diberlakukannya pemilihan. Lalu apabila skenario tersebut tidak berhasil, maka DPRD
dapat dengan mudah mengangkat orang pilihan seperti skenario awal dikarenakan pada Pasal 15
UU No. 5 tahun 1974, DPRD harus memberikan laporan dan usulan kepada pusat dan pusat
memiliki kewenangan bebas untuk memilih dan melantik orang yang menjadi usulan oleh DPRD.
pemerintahan pada masa orde baru dapat dilihat bercorak sentralistis dan dapat menyebabkan
beberapa distorsi, yaitu:

1. Kewenangan yang seharusnya menjadi kewenangan pemerintah daerah tetap berada di


tangan pemerintah pusat. Dengan begitu, pemerintah pusat memiliki kewenangan yang
besar dalam pengaturan kebijakan serta penyelenggaraan pemerintahan daerah. Oleh
karena itu, pemerintah daerah menjadi kurang efektif dalam menjalankan tugasnya yaitu
meningkatkan pelayanan dan pemberdayaan daerah serta pembangunan lokal. Dalam hal
ini, pemerintah telah gagal membangun pemerintahan daerah yang mandiri.
2. Dekonsentrasi pemerintah pusat dan hubungan keuangan yang tidak realistis antara pusat
dan daerah. Otonomi daerah yang kuat sangat terlihat dari bagaimana pemerintah dapat
bertanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan rumah tangganya sendiri. Hal yang sangat
penting dalam otonomi daerah adalah keuangan daerah. Sedangkan dalam masa orde baru,
sangat terlihat ketergantungan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat dikarenakan
kecilnya kontribusi pendapatan asli daerah keuangan daerah. Kondisi ini membuat
ketidakberdayaan pemerintah daerah untuk membangun daerahnya.

Era Reformasi

Pada era reformasi, terdapat 2 peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang sistem
pemerintahan daerah di Indonesia yakni UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan
UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. pada era reformasi sistem pemerintahan
daerah dilandasi oleh dua periode hukum yakni periode UU No. 22 Tahun 1999 dan periode UU
No. 32 Tahun 2004 dengan penjelasannya sebagai berikut;

Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah


Pada UU No. 22 Tahun 1999 ini dijelaskan bahwa otonomi daerah adalah penyerahan wewenang
pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom dan pemerintah daerah adalah kepala daerah
dengan perangkat daerah otonom yang berkedudukan sebagai badan eksekutif daerah.
Kewenangan-kewenangan yang dimiliki oleh daerah otonom ini lebih luas dan ditekankan pada
tingkat kabupaten/kota. Pada UU ini memberikan penjelasan bahwa kedudukan yang dimiliki oleh
DPRD adalah sebagai mitra dari pemerintahan daerah dan memiliki kedudukan yang sejajar.
Dalam UU No. 22 Tahun 1999 sistem pembinaan yang ada lebih ditekankan pada memfasilitasi
dalam upaya pemberdayaan daerah otonom, sedangkan sistem pengawasan lebih ditekankan
kepada pengawasan represif. Pada UU No. 22 Tahun 1999, susunan pemerintahan daerah otonom
meliputi DPRD dan pemerintah daerah. DPRD dipisahkan dari pemerintah daerah karena memiliki
maksud tertentu yakni, untuk lebih memberdayakan DPRD dan meningkatkan pertanggung
jawaban pemerintah daerah kepada rakyat. Hak-hak DPRD cukup luas dan diarahkan untuk
menyerap serta menyalurkan aspirasi masyarakat menjadi kebijakan daerah dan melakukan fungsi
pengawasan. Penyelenggaraan otonomi daerah di daerah kabupaten dan/atau kota, bupati atau
walikota bertanggung jawab kepada DPRD kabupaten/kota dan berkewajiban memberikan laporan
kepada presiden melalui Menteri Dalam Negeri.

Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

UU No. 32 Tahun 2004 tercipta karena adanya perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan
tuntutan otonomi daerah. Berdasarkan UU ini, penyelenggaraan yang dilakukan oleh otonomi
daerah menggunakan format otonomi seluas-luasnya, dengan adanya kebijakan otonomi ini setiap
daerah diharapkan untuk mampu dan mandiri dalam memberikan pelayanan demi meningkatkan
kesejahteraan rakyat di daerah masing-masing. Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 proses
pemilihan kepala/wakil kepala daerah sudah tidak lagi menjadi wewenang DPRD, melainkan
dilaksanakan dengan pemilihan langsung yang diselenggarakan oleh lembaga Komisi Pemilihan
Umum daerah (KPUD). Dalam UU ini terdapat dua bentuk pengawasan yakni pengawasan atas
pelaksanaan urusan pemerintah di daerah dan pengawasan terhadap peraturan daerah serta
peraturan kepala daerah. Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 dengan kebijakan politik yang
menganut prinsip kesetaraan serta checks and balances, maka otonomi daerah menggunakan
seluas-luasnya kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan
peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan
kesejahteraan rakyat.

Anda mungkin juga menyukai