Anda di halaman 1dari 4

Perkawinan

18 March 2022 9:18

• Perkawinan harus dicatat • Syarat beristri lebih dari satu


○ Pasal 5 ayat (1) & (2) KHI -> ○ Pasal 57 KHI atau Pasal 4 ayat (2) UU No.1/74 ->
(1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang
perkawinan harus dicatat. akan beristeri lebih dari seorang apabila :
(2) Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai a. isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri;
Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang No.22 Tahun b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
1946 jo Undang-undang No. 32 Tahun 1954. c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
○ Pasal 2 ayat (2) UU No.1/1974 -> ○ Pasal 58 KHI ->
(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang (1) Selain syarat utama yang disebut pada pasal 55 ayat (2) maka untuk
berlaku. memperoleh izin pengadilan Agama, harus pula dipenuhi syarat-syarat
○ Pasal 2 ayat (1) & (2) PP No.9/1975 -> yang ditentukan pada pasal 5 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 yaitu :
(1) Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya a. adanya persetujuan isteri;
menurut agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup
dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak isteri-isteri dan anak-anak mereka.
dan Rujuk. (2) Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41 huruf b Peraturan
(2) Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya Pemerintah No. 9 Tahun 1975, persetujuan isteri atau isteri-isteri dapat
menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh diberikan secara tertulis atau dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada
Pegawai Pencatat perkawinan pada kantor catatan sipil sebagaimana dimaksud persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan
dalam berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan. isteri pada sidang Pengadilan Agama.
(3) Persetujuan dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak diperlukan bagi
• Perkawinan dibuktikan dengan akta nikah seorang suami apabila isteri atau isteri-isterinya tidak mungkin dimintai
○ Pasal 7 ayat (1) KHI -> persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau
(1) Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh apabila tidak ada kabar dari isteri atau isteri-isterinya sekurang-kurangnya
Pegawai Pencatat Nikah. 2 tahun atau karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian Hakim.

• Jika tidak ada akta nikah dapat diajukan dengan itsbat • Larangan Kawin
○ Pasal 7 ayat (2) KHI -> ○ Pasal 39 KHI ->
(2) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat ○ Pasal 8 UU No.1/1974 ->
diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama Perkawinan dilarang antara dua orang yang:
a. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke
• Rukun dan syarat perkawinan atas;
○ Pasal 14 KHI -> b. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara
Rukun untuk melaksanakan perkawinan harus ada : saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang
a. Calon Suami; dengan saudara neneknya;
b. Calon Isteri; c. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu dan ibu/bapak tiri;
c. Wali nikah; d. berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara
d. Dua orang saksi; (laki-laki islam, adil, baligh, dll (pasal 25 KHI)) susuan dan bibi/paman susuan;
e. Ijab dan Kabul. e. berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan
dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang;
• Tidak boleh kawin beda agama f. mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang
berlaku, dilarang kawin.
○ Pasal 40 butir c KHI ->
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang
wanita karena keadaan tertentu: • Batalnya perkawinan
a. karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan ○ Pasal 22 UU No.1/1974 ->
pria lain; Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-
b. seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain; syarat untuk melangsungkan perkawinan.
c. seorang wanita yang tidak beragama islam. Pasal 23 UU No.1/1974 ->
○ Pasal 44 KHI -> Yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan yaitu:
Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau
pria yang tidak beragama Islam. isteri;
b. Suami atau isteri;
c. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan;
• Mahar -> Pasal 30-38 KHI
d. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16 Undang-undang ini
○ Pasal 30 KHI ->
dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung
Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.
yang jumlah, bentuk, dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak. ○ Pasal 70-76 KHI ->
○ Pasal 32 KHI ->
Mahar diberikan langsung kepada calon mempelai wanita dan sejak itu menjadi
• Pengajuan pembatalan perkawinan karena adanya ancaman yang
hak pribadinya.
melanggar hukum atau penipuan.
○ Pasal 33 KHI ->
○ Pasal 72 KHI atau Pasal 27 UU No.1/1974->
(1) penyerahan mahar dilakukan dengan tunai.
(1) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan
(2) apabila calon mempelai wanita menyetujui, penyerahan mahar boleh perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang
ditangguhkan baik untuk seluruhnya atau sebagian. Mahar yang belum
melanggar hukum.
ditunaikan penyerahannya menjadi hutang calon mempelai pria.
(2) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan
perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi
• Harta perkawinan penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau isteri
○ Pasal 35 UU No.1/1974 -> (3) Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu
(1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. menyadari keadaanya dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu
(2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang masih tetap hidup sebagai suami isteri, dan tidak dapat menggunakan
diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.
penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
○ Pasal 85 KHI -> • Perceraian
Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya ○ Pasal 38 UU No.1/1974 atau Pasal 113 KHI ->
harta milik masing-masing suami atau isteri. Perkawinan dapat putus karena:
○ Pasal 86 KHI -> a. Kematian,
(1) Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta isteri b. Perceraian
karena perkawinan. c. Atas keputusan Pengadilan.
(2) Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasi penuh olehnya, demikian juga ○ Pasal 39 UU No.1/1974 ->
harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasi penuh olehnya. (1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah
Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan
• Perjanjian Perkawinan kedua belah pihak.
○ Pasal 49 KHI -> (2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara
(1) Perjanjian percampuran harta pribadi dapat meliputi semua harta, baik yang suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.
dibawa masing-masing ke dalam perkawinan maupun yang diperoleh masing- (3) Tatacara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam
masing selama perkawinan. peraturan perundangan tersendiri.
(2) Dengan tidak mengurangi ketentuan tersebut pada ayat (1) dapat juga ○ Penjelasan Pasal 39 UU No.1/1974 atau Pasal 116 KHI atau Pasal 19 PP
diperjanjikan bahwa percampuran harta pribadi yang dibawa pada saat No.9/1975 ->
perkawinan dilangsungkan, sehingga percampuran ini tidak meliputi harta pribadi Alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian adalah:
yang diperoleh selama perkawinan atau sebaliknya. a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi
dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
• Kedudukan Anak b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-
○ Pasal 42 UU No.1/1974 atau Pasal 99 KHI -> turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal
Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat lain di luar kemauannya;
perkawinan yang sah. c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau

Hukum Islam Halaman 1


dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
• Kedudukan Anak b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-
○ Pasal 42 UU No.1/1974 atau Pasal 99 KHI -> turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal
Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat lain di luar kemauannya;
perkawinan yang sah. c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau
○ Pasal 43 UU No.1/1974 atau Pasal 100 KHI -> hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
(1) Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
dengan ibunya dan keluarga ibunya. membahayakan terhadap pihak yang lain;
(2) Kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas selanjutnya akan diatur dalam e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang
Peraturan Pemerintah. mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai
○ Pasal 44 UU No.1/1974 -> suami/isteri;
(1) Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh isterinya, f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan
bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan anak itu akibat pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah-
daripada perzinaan tersebut. tangga.
(2) Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas
permintaan pihak yang berkepentingan. • Waktu Tunggu
○ Pasal 153 KHI ayat (2) dan (3) ->
• Beristri lebih dari satu (2) waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut:
○ Pasal 55 KHI -> a. Apabila perkawinan putus karena kematian, walaupun qobla al dukhul,
(1) Beristeri lebih satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai waktu tunggu ditetapkan 130 hari atau 4 bulan dan 10 hari.
empat isteri. b. Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang
(2) Syarat utama beristeri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil masih haid ditetapkan 3 kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 hari, dan
terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya. bagi yang tidak haid ditetapkan 90 hari.
(3) Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, c. Apabila perkawinan putus karena perceraian sedang janda tersebut dalam
suami dilarang beristeri dari seorang. keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
○ Pasal 56 KHI -> d. Apabila perkawinan putus karena kematian, sedang janda tersebut dalam
(1) Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
Pengadilan Agama. (3) tidak ada waktu tunggu bagi yang putus perkawinan karena perceraian
(2) Pengajuan permohonan Izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut pada sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya qobla al dukhul.
tata cara sebagaimana diatur dalam Bab.VIII Peraturan Pemeritah No.9 Tahun • Pencegahan Perkawinan
1975. • Talak -> Pasal 118-122 KHI
(3) Perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga atau keempat tanpa
izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.
○ Pasal 3 UU No.1/1974 ->
(1) Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai
seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
(2) Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih
dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

Jawaban:
a. Perkawinan Winanti dan Yuliandri tidak sah karena Winanti masih dalam
keadaan waktu tunggu atau iddah. Yang mana dalam Pasal 153 ayat (2) butir
a KHI dinyatakan bahwa apabila perkawinan putus karena kematian, walupun
qobla al dukhul, waktu tunggu ditetapkan 130 hari atau 4 bulan 10 hari,
sedangkan Winanti yang ditinggal mati suaminya langsung menikah kembali
selang 2,5 bulan. Selain itu pernikahan mereka juga tidak dilakukan
pencatatan nikah sehingga tidak memiliki kekuatan hukum dan secara negara
perkawinanya menjadi tidak sah. Sehingga kesimpulannya baik secara
agama maupun negara perkawinan mereka adalah tidak sah.
b. Menurut Pasal 33 ayat (2) KHI, Apabila calon mempelai wanita menyetujui,
penyerahan mahar boleh ditangguhkan baik untuk seluruhnya atau sebagian.
Mahar yang belum ditunaikan penyerahannya menjadi hutang calon
mempelai pria. Maka mahar/mas kawin yang dicicil tersebut dalam hukum
perkawinan hukum islam diperbolehkan.
c. Menurut Pasal 42 UU No.1/1974 Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan
dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Karena perkawinan Winanti
dengan Yuliandri tidak sah maka menurut Pasal 43 UU No.1/1974 Anak yang
dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan
ibunya dan keluarga ibunya. Maka Winandri (anak) tidak dapat
mendapatkan akta kelahiran yang menunjukan anak sah dari Winanti
dan Yuliandri.

Hukum Islam Halaman 2


Jawaban:
a. Karena perkawinan tersebut memenuhi Pasal 5 ayat (1) KHI dan Pasal 2 ayat (2)
UU No.1/1974 bahwa perkawinan tersebut telah dicatat dan pada saat
dilangsungkannya perkawinan dianggap telah memenuhi syarat. Maka
perkawinan mereka tetap dianggap sah.
b. Menurut Pasal 113 KHI dan Pasal 38 UU No.1/1974 perkawinan hanya dapat
putus karena kematian, perceraian atau atas putusan pengadilan. Sehingga,
Mariono dan Hapsari masih terikat perkawinan karena belum melewati atau
memenuhi salah satu syarat di atas.
c. Menurut Pasal 72 KHI ayat (2) atau Pasal 27 UU No.1/1974 (2) menyatakan bahwa
Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan
apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah
sangka mengenai diri suami atau isteri. Maka jawabannya adalah ya, Satyani
dapat mengajukan pembatalan perkawinan. Menurut Pasal 74 ayat (1) KHI
permohonan pembatalan perkawinan dapat diajukan kepada pengadilan agama
yang mewilayahu tempat tinggal suami atau isteri atau perkawinan dilangsungkan.
d. Karena perkawinan antara Mariono dan Satyani sah secara hukum, dan anak
mereka juga lahir di dalam perkawinan, maka menurut Pasal 42 UU No.1/1974
status anak tersebut adalah anak yang sah.

Jawab:
1. Kuasa hukum Nadia:
• Perkawinan mereka tidak dianggap sah di Indonesia karena tidak didaftarkan,
sehingga tidak sesuai dengan Pasal 2 ayat (2) UU No.1/1974 yang berisi Tiap -tiap
perkawinan dicatat menurut peraturan perundang -undangan yang berlaku.
• Dalam hal agama pun pernikahan mereka tidak sah karena melanggar Pasal 44
KHI yang berisi seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan
seorang pria yang tidak beragama islam.
• Anak perempuan dari Nadia dan Neymar menurut Pasal 43 UU No.1/1974 hanya
memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya yaitu Nadia.
• Perbuatan Nadia dan Gilang tidak termasuk kedalam zina, karena pada hakikatnya
Nadia dan Neymar bukanlah suami istri, karena perkawinan mereka tidak sah,
sehingga Nadia juga tidak dapat diancam dengan Pasal 284 KUHP.
• Permintaan Neymar untuk bercerai dan sekaligus meminta pembagian harta
bersama tidak dapat dilakukan, karena perkawinan mereka tidak sah, ditambah
pula kenyataan bahwa Neymar melakukan kawin sirih dengan Atika dan telah
memiliki seorang bayi.
2. Kuasa hukum Neymar:
• Neymar memiliki kehendak bebas untuk mau atau tidak untuk menikahi Atika.
3. Kuasa hukum Atika:
• Menurut sudut pandang hukum Indonesia Neymar belum melakukan perkawinan,
karena perkawinan Neymar dengan Nadia tidak sah di mata hukum. Sehingga
Atika dapat menuntut kepada Neymar untuk dinikahi secara sah di KUA, karena
tidak akan bertentangan dengan Pasal 3 UU No.1/1947 yang menekankan asas
monogami mutlak bagi non-islam.

Jawaban yang benar:


• Perkawinan mereka sah menurut Pasal 56 UU No.1/1974.
• Menurut Pasal 37 ayat (4) UU No.23/2006 tentang Adminduk pencatatan
perkawinan dari luar negeri di Indonesia harus dilaporkan kepada instansi
pelaksana paling lambat 30 hari hari sejak yang bersangkutan kembali ke
Indonesia.
• Karena kasusnya telat dicatatkan, maka masih bisa didaftarkan dengan
terlambat dengan dikenakan denda.
• Dengan dicatatkannya perkawinan tersebut, maka perkawinan tersebut akan
menjadi sah di hadapan hukum, sehingga menurut Pasal 42 UU No.1/74
anak perempuan dari Neymar dan Nadia merupakan anak yang sah.
• Gugatan cerai yang diajukan oleh Neymar dapat dilakukan karena
perkawinan mereka merupakan perkawinan yang sah.
• Gugatan Neymar akan pembagian harta bersama juga menjadi dapat
dilakukan.

Jawaban :

A. Dengan adanya UU No.16 Tahun 2019 tentang perubahan atas UU No.1 Tahun
1974, yang merubah ketentuan Pasal 7 UU No.1/74, di mana batas minimal usia
untuk melangsungkan perkawinan baik bagi laki-laki maupun perempuan adalah
19 tahun. Sehingga syarat nikah tidak terpenuhi bagi pihak perempuan yang masih
berusia 16 tahun, selain itu rukun nikah yang dituangkan dalam Pasal 14 KHI juga
tidak terpenuhi karena Jasmin tidak mendapatkan persetujuan dari ayahnya yang
seharusnya menjadi walinya dalam perkawinan tersebut.
B. Menurut Pasal 23 KHI, Jasmin dan Zulkifli dapat menikah dengan wali pengganti.
C. Menurut Pasal 14 ayat (1) UU No.1/74, orang tua Jasmin merupakan keluarga
dalam garis lurus ke atas sehingga dapat mengajukan pencegahan perkawinan.
Hal serupa juga diatur dalam Pasal 62 ayat (1) KHI, yang menyatakan bahwa yang
dapat mencegah perkawinan ialah para keluarga dalam garus keturunan lurus ke
atas. Sementara UU peradilan agama tidak secara eksplisit mengatur mengenai
pencegahan perkawinan.
D. Menurut ketentuan Pasal 17 UU No.1/74 dan Pasal 65 KHI, pencegahan

Hukum Islam Halaman 3


Hal serupa juga diatur dalam Pasal 62 ayat (1) KHI, yang menyatakan bahwa yang
dapat mencegah perkawinan ialah para keluarga dalam garus keturunan lurus ke
atas. Sementara UU peradilan agama tidak secara eksplisit mengatur mengenai
pencegahan perkawinan.
D. Menurut ketentuan Pasal 17 UU No.1/74 dan Pasal 65 KHI, pencegahan
perkawinan dapat diajukan kepada pengadilan dalam daerah hukum dimana
perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada pegawai
pencatat perkawinan. Kepada calon-calon mempelai juga diberi tahukan mengenai
permohonan pencegahan perkawinan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini oleh
pegawai pencatat perkawinan.

Hukum Islam Halaman 4

Anda mungkin juga menyukai