Anda di halaman 1dari 26

PROPOSAL PENELITIAN TUGAS AKHIR

A. JUDUL : PELINDUNGAN KORBAN TERHADAP TINDAK

PIDANA PENELANTARAN DALAM LINGKUP

RUMAH TANGGA DI ACEH

B. PELAKSANAAN PENELITIAN

Nama Mahasiswa : Farah Sabila

NIM : 2003101010132

Angkatan Tahun : 2020

Program Studi : Ilmu Hukum

Jurusan : Hukum Pidana

Jumlah sks yang telah diselesaikan : 122 sks

Sudah lulus/belum mata kuliah wajib : Belum Lulus

Alamat : Jl.Rombean Lr. Plamboyan, Desa

Lamlagang, Banda Aceh

A. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Penelantaran dalam lingkup rumah tangga terjadi ketika suami

meninggalkan anak dan istrinya tanpa memberikan pemenuhan kehidupan

bagi seluruh anggota keluarga yang telah menjadi tanggungannya. Padahal

seorang suami berkewajiban memberikan nafkah kepada anggota

1
keluarganya terutama kepada istri dan anaknya semenjak anak tersebut lahir.

Adapun tanggung jawab seorang suami adalah perawatan, penjagaan,

pendidikan dan kasih sayang kepada anak-anaknya.

Penelantaran di lingkup rumah tangga termasuk dalam tindakan

kekerasan dalam rumah tangga (domestic violence) dan termasuk perbuatan

melanggar hukum (strafbaarfeit). Hal ini diatur dalam Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah

Tangga.

Keberadaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang

Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah tangga ini bertujuan untuk menjaga

keutuhan dan keharmonisan di lingkup rumah tangga, bukan bertujuan untuk

menghancurkan sistem rumah tangga tersebut, dimana hal terpenting adalah

dengan menjaga kerukunan dan keutuhan dari sebuah keluarga, salah

satunya dalam diri seseorang tersebut yaitu dengan menjaga kualitas

pengendalian dirinya terutama emosi yang dapat dikeluarkan secara

berlebihan dalam rumah tangga. Sebagaimana hal tersebut diatur dalam

Pasal 3 dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang

Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah tangga yang melindungi hak-hak

anggota keluarga dari kekerasan yang mungkin dan akan terjadi di dalam

rumah tangga tersebut.1

1
Andrie Irawan, Batasan Penelantaran Rumah Tangga Dalam Perspektif hukum kekerasan dalam rumah
tangga dan hukum perkawinan indonesia, Jurnal Hukum Responsif FH UNPAB, 7:2 hlm 103 (2019)
2
Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang

Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga menyebutkan bahwa

kekerasan dalam rumah tangga merupakan setiap perbuatan kepada

seseorang di lingkup rumah tangga, yang dapat menimbulkan kesengsaraan

atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran

rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan,

atau perampasan kemerdekaan seseorang secara melawan hukum. Adapun

ruang lingkup rumah tangga terdiri dari: “(a) suami, istri, dan anak (termasuk

didalamnya anak angkat dan anak tiri); (b) orang-orang yang mempunyai

hubungan keluarga, baik karena hubungan darah, perkawinan, persusuan,

pengasuhan, dan perwalian yang menetap dalam rumah tangga dan/atau

(menantu, mertua, ipar, dan besan); (c) orang yang bekerja membantu rumah

tangga dan menetap dalam rumah tangga yang bersangkutan (pekerja rumah

tangga)”.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan

Kekerasan Dalam Rumah Tangga menyebutkan bahwa “setiap orang

dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal

menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau

perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan

kepada orang tersebut”. Berdasarkan Pasal 49 huruf a Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah

tangga bahwa “setiap orang yang melakukan penelantaran rumah tangga

3
dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda

paling banyak Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).”

Provinsi Aceh sendiri memiliki 23 (dua puluh tiga) kabupaten,

dimana dalam kasus penelantaran dalam lingkup rumah tangga yang

terjadi di Aceh hanya terdapat 7 (tujuh) kabupaten dari 23 (dua puluh tiga)

kabupaten/kota terjadinya tindak pidana penelantaran di Direktori Putusan

Mahkamah Agung Republik Indonesia., diantaranya yaitu Aceh Selatan,

Aceh Tenggara, Aceh Timur, Sabang, Banda Aceh yang masing masing

terdapat 1 (satu) kasus penelantaran dalam lingkup rumah tangga, kemudian

Aceh Besar terdapat 3 (tiga) kasus selama 3 (tiga) tahun terakhir, dan Bener

Meriah terdapat 1 (satu) kasus namun terjadi di tahun 2017. Jika dilihat

dari data putusan tersebut tindak pidana penelantaran dalam lingkup rumah

tangga di Pengadilan Negeri Jantho atau kabupaten Aceh Besar lebih

banyak tercatat dalam putusan pengadilan dari pada kabupaten lainnya.

Pengadilan Negeri Jantho terdapat 3 (tiga) kasus, pada putusan yang

pertama terjadi pada tahun 2020 dimana terdakwa yaitu suami meninggalkan

korban (yaitu istrinya) beserta anaknya dan menikah lagi dengan orang lain,

dimana status terdakwa dan korban saat itu masih suami istri sah, ditambah

korban sedang mengandung, namun sejak kepergiannya sampai sekarang

korban tidak pernah dinafkahi lagi. Kemudian kasus kedua terjadi pada tahun

2021 dimana terdakwa tidak mampu menafkahi keluarganya, namun

terdakwa malah nikah lagi dan pernah mengusir anaknya sendiri dari rumah

yang ditinggal korban bersama anaknya karena ingin dijual oleh terdakwa.

4
Adapun kasus ketiga terjadi pada tahun 2023 yaitu pada putusan

No.6/Pid.Sus/2023/ PN Jth, dimana suami tidak menafkahi istri dan anak

nya karena alasan terdakwa tidak mengetahui nomor rekening, seharusnya

jika terdakwa niat menafkahi mengunjungi anggota keluarganya.

Bila melihat dari kasus penelantaran di Aceh Besar tersebut, sudah

seharusnya kasus penelantaran dapat diselesaikan secara musyawarah

terlebih dahulu antara suami dan istri karena seperti diketahui perkawinan

antara suami dan istri merupakan hal yang sakral, untuk itu demi

menghindari kesalahpahaman atau miss communication dan untuk tetap

menjaga keutuhan dan keharmonisan rumah tangga. Sebagaimana tujuan

dari perkawinan itu sendiri untuk membentuk rumah tangga yang bahagia

dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.2

Namun apabila masih belum dapat terselesaikan, pengadilan tentu

merupakan jalan tengah yang dapat ditempuh. Akan tetapi penerapan sanksi

pidana penjara bukan jalan tengahnya, karena terdakwa masih mempunyai

tanggungan keluarga yang tetap harus dinafkahi.

2
Suhasril, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dan Perempuan, Depok: Rajawali Pers,
2016, hlm. 110

5
Tabel 1
Data Penelantaran Dalam Lingkup Rumah Tanggga Di Pengadilan Provinsi
Aceh

No. Kabupaten/ Nomor Berkas Masa percobaan Putusan


Kota perkara Hakim

1. Aceh No.8/Pid.Sus/2023/ - Pidana Penjara


Selatan PN Ttn 1 (satu) tahun

No.73/Pid.Sus/2022 - Pidana Penjara


/PN Ttn 3 (tiga) bulan

2. Aceh No.142/Pid.Sus/201 - Pidana Penjara


Tenggara 9/PN Ktn 10 (sepuluh)
bulan

3. Aceh Timur No.110/Pid.Sus/202 pidana tersebut Pidana penjara


0/PN Idi tidak perlu dijalani selama 6
kecuali jika (enam) bulan;
dikemudian hari
ada putusan hakim
yang menentukan
lain disebabkan
karena terpidana
melakukan suatu
tindak pidana
sebelum masa
percobaan selama 1
(satu) tahun
berakhir;

4. Bener No.23/Pid.Sus/2017 - pidana penjara


meriah /PN Str selama 3 (tiga)
bulan

5. Sabang No.36/Pid.Sus/2020 - pidana penjara


/PN Sab selama 8
(delapan)
bulan

6
6. Banda Aceh No.277/Pid.Sus/202 - Pidana penjara
2/PN Bna selama 1(satu)
bulan

7. Aceh Besar No.6/Pid.Sus/2023/ pidana tersebut pidana penjara


PN Jth tidak usah dijalani selama 3 (tiga)
kecuali jika bulan
dikemudian hari
ada putusan hakim
yang menentukan
lain disebabkan
karena Terdakwa
melakukan suatu
tindak pidana
sebelum masa
percobaan selama 6
(enam) bulan
berakhir;

No.37/Pid.Sus/2021 - pidana penjara


/PN Jth selama 1
(satu) tahun;

No.326/Pid.Sus/202 - pidana penjara


0/PN Jth selama 8
(delapan)
bulan;
(Sumber : Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia)

Persoalan Penelantaran dalam lingkup rumah tangga di pengadilan

Aceh memang tidak banyak terjadi, hal ini dapat dilihat pada tabel 1 Direktori

Putusan Mahkamah Agung. Namun dalam penjatuhan pidana seharusnya

persoalan penelantaran dalam rumah tangga, sanksi yang diterapkan bukan

pidana penjara, melainkan sanksi yang dapat memenuhi kembali hak korban

penelantaran dalam rumah tangga.

Apabila menerapkan sanksi pidana penjara kepada pelaku, hal itu

hanya akan membuat korban harus menangung semua beban dari suaminya

7
yang sebelumnya ditelantarkan, bahkan sekarang dan seterusnya juga akan

terlantarkan, dikarenakan suaminya berada di penjara. Dimana hal tersebut

tidak mencerminkan perlindungan dan keadilan bagi korban.

Dengan melihat latar belakang permasalahan tersebut, penulis

membahas masalah diatas dalam penulisan hukum yang disusun dengan

judul “Pelindungan Korban Terhadap Tindak Pidana Penelantaran dalam

Lingkup Rumah Tangga di Aceh”.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka dirumuskan masalah

penelitian sebagai berikut:

a. Bagaimana konsep pelindungan korban terhadap tindak pidana

penelantaran rumah tangga dalam aturan hukum indonesia?

b. Apakah pidana dalam Pasal 49 Undang-Undang PKDRT telah

mencerminkan pelindungan dan keadilan bagi korban?

c. Bagaimanakah pertimbangan hukum hakim dalam penerapan Pasal

49 Undang-Undang PKDRT di Aceh?

3. Ruang Lingkup dan Tujuan Penelitian

a. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini termasuk dalam bagian hukum pidana

yang mana pembahasannya mengenai “Pelindungan Korban

Terhadap Tindak Pidana Penelantaran dalam Lingkup Rumah

Tangga Di Aceh.”

8
b. Tujuan Penelitian

Supaya penelitian ini memiliki sasaran dan tujuan yang diinginkan

oleh penulis maka dengan pedoman dari pemikiran itu, penulis

memiliki tujuan sebagai berikut:

1) Untuk mengetahui bagaimana konsep pelindungan korban

terhadap tindak pidana penelantaran rumah tangga dalam aturan

hukum indonesia

2) Untuk mengetahui apakah pidana dalam Pasal 49 Undang-

Undang PKDRT telah mencerminkan pelindungan dan keadilan

bagi korban

3) Untuk mengetahui bagaimanakah pertimbangan hukum hakim

dalam penerapan Pasal 49 Undang-Undang PKDRT di Aceh

4. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian dapat dibagi menjadi 2, yaitu:

a. Kegunaan secara teoritis

Dengan penelitian ini dilakukan diharapkan nantinya dapat

memberikan informasi yang dapat memperkaya wawasan dan

memperdalam konsep penelantaran orang dalam lingkup rumah

tangga yang juga merupakan bagian dari tindak pidana kekerasan

dalam rumah tangga.

9
b. Kegunaan secara praktis

Secara Praktis, yaitu penelitian ini diharapkan dapat

memberikan bahan tambahan perpustakaan atau bahan referensi

bagi pihak pihak yang memerlukan mengenai proses pelindungan

korban terhadap tindak pidana penelantaran di lingkup rumah tangga

di Aceh.

5. Keaslian Penelitian

Penelitian ini merupakan hasil karya sendiri dan bukan

merupakan duplikasi hak cipta orang lain. Berdasarkan hasil

penelusuran kepustakaan ditemukan penelitian yang juga meneliti

tentang. sejauh ini penelitian sebelumnya berbeda dengan penelitian

yang akan diteliti. Adapun penelitian yang dimaksud yaitu :

a. Penelitian oleh Fakultas Hukum Universitas Lampung yang

berjudul perlindungan hukum terhadap korban penelantaran oleh

suami dalam Rumah Tangga Berdasarkan Undang-Undang

Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Penelitian ini dilakukan pada

tahun 2013. Tujuan skripsi ini adalah untuk mengetahui

perlindungan hukum yang tepat bagi korban penelantaran dalam

rumah tangga yang dilakukan oleh suami terhadap istri maupun

anak dan faktor penghambat pelaksanaan penegakan

perlindungan hukum bagi korban tindak penelantaran dalam

rumah tangga yang dilakukan oleh suami.

10
b. Penelitian oleh Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala yang

berjudul Tindak Pidana Penelantaran Dalam Lingkup Rumah

Tangga Oleh Anggota TNI KODAM ISKANDAR MUDA

(Suatu Penelitian Wilayah Hukum Pengadilan Militer I-01

Banda Aceh). Penelitian ini dilakukan pada tahun. Tujuan

Skripsi ini adalah untuk mengetahui faktor yang menyebabkan

terjadinya penelantaran dalam rumah tangga dikalangan TNI

dan untuk mengetahui upaya apa saja untuk mengatasi oknum

TNI melakukan penelantaran dalam rumah tangga.

c. Penelitian oleh Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala yang

berjudul Tindak Pidana Penelantaran Dalam Rumah Tangga

(Suatu Penelitian Wilayah Pengadilan Negeri Tapaktuan).

Penelitian ini dilakukan pada tahun 2023. Tujuan Skripsi ini

adalah untuk mengetahui apa yang menjadi pertimbangan hakim

dalam menjatuhkan pidana kepada pelaku, untuk mengetahui

penyebab tindak pidana penelantaran dalam rumah tangga, dan

bagaimana upaya penanggulangan tindak pidana penelantaran

dalam rumah tangga.

B. Kerangka Pemikiran

1. Teori Tindak Pidana

Istilah tindak pidana merupakan istilah yang mengandung

pengertian dasar dalam ilmu hukum, sebagai istilah yang akan dibentuk

11
dengan kesadaran dalam memberikan ciri tertentu dalam sebuah

peristiwa hukum pidana. 3

Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari “strafbaar feit”, di

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak dijelaskan mengenai

apa yang dimaksud dengan strafbaar feit itu sendiri. Biasanya tindak

pidana disinonimkan dengan delik, yang berasal dari bahasa latin yakni

kata delictum.4

Dalam Kamus Besar Indonesia tercantum sebagai berikut:

“Delik adalah perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena

merupakan pelanggaran terhadap undang-undang tindak pidana”.

Berdasarkan rumusan tersebut maka delik (strafbaar feit) memuat

beberapa unsur yakni:

a. suatu perbuatan manusia,

b. perbuatan itu dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-

undang,

c. perbuatan itu dilakukan oleh seseorang yang dapat

dipertanggungjawabkan.

Adapun unsur-unsur di dalam tindak pidana terdapat, yaitu:5

a. Unsur objektif

3
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Jakarta: Rajawali Pers, 2011, hlm.
69.
4
Prof. Dr. Teguh Prasetyo, S.H.,M.Si, Hukum Pidana,Depok: Rajawali Pers, 2019, hlm.
47-48.
5
Ibid, hlm.50-51.

12
Unsur yang terdapat di luar si pelaku. Unsur-unsur yang ada

hubungannya dengan keadaan, yaitu dalam keadaan-keadaan dimana

tindakan-tindakan si pelaku itu harus dilakukan. Terdiri dari:

1) Sifat melanggar hukum,

2) Kualitas dari si pelaku,

Misalnya keadaan sebagai pegawai negeri di dalam kejahatan

jabatan menurut pasal 415 KUHP atau keadaan sebagai

pengurus atau komisaris dari suatu perseroan terbatas di

dalam kejahatan menurut pasal 398 KUHP.

3) Kausalitas

Yakni hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab

dengan suatu kenyataan sebagai akibat.

b. Unsur Subjektif

Unsur yang terdapat atau melekat pada diri si pelaku, atau yang

dihubungkan dengan diri si pelaku dan termasuk didalamnya segala

sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Adapun unsur unsur nya

terdiri dari:

1) Kesengajaan atau Ketidaksengajaan (dolus atau culpa);

2) Maksud pada suatu percobaan, seperti ditentukan dalam

Pasal 53 ayat (1) KUHP;

3) Macam-macam maksud seperti terdapat dalam kejahatan-

kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, dan

sebagainya;

13
4) Merencanakan terlebih dahulu, seperti tercantum dalam

Pasal 340 KUHP, yaitu pembunuhan yang direncanakan

terlebih dahulu;

5) Perasaan takut seperti terdapat di dalam Pasal 308 KUHP.

2. Teori Penelantaran Dalam Lingkup Rumah Tangga

Penelantaran rumah tangga adalah suatu kelalaian atas kewajiban

seseorang di dalam rumah tangganya secara hukum bahwa seseorang

tersebut menjadi penanggung jawab atas kehidupan orang yang berada

pada lingkup keluarganya.6

Penelantaran dalam lingkup rumah tangga merupakan salah satu

bentuk dari tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga. Tindak pidana

kekerasan dalam rumah tangga adalah “perbuatan pidana terhadap

seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan

atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/ atau penelantaran

rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,

pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum

dalam lingkup rumah tangga”. Kristi E Purwandari dalam Archie

Luhulima mengemukakan 5 (lima) bentuk-bentuk kekerasan dalam

rumah tangga, yaitu:

a) Kekerasan fisik misalnya memukul, menampar, mencekik, dan

sebagainya;

6
Azima dan zakiah nujaba “Sanksi tindak pidana penelantaran rumah tangga terhadap
istri oleh suami menurut pasal 49 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 perspektif hukum
pidana Islam : Analisis putusan pengadilan negeri Pekanbaru Nomor 53/Pid.Sus/2016/PN.Pbr”,
Sarjana Thesis, UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2021.

14
a) Kekerasan Psikologis, contohnya seperti berteriak, mengancam,

menyumpah, melecehkan, dan lain sebagainya;

b) Kekerasan seksual, misalnya melakukan Tindakan yang mengarah

pada ajakan/desakan seksual, contohnya seperti mencium,

menyentuh, memaksa berhubungan seks tanpa persetujuan koban,

dan sebagainya;

c) Kekerasan finansial, contohnya yaitu seperti mengambil barang

korban, menahan atau tidak memberikan pemenuhan kebutuhan

finansial dan sebagainya;

d) Kekerasan spiritual, contohnya seperti merendahkan kepercayaan

atau keyakinan korban, dan memaksa korban mempraktekkan

keyakinan atau ritual tertentu.

Penelantaran orang dalam lingkup rumah tangga merupakan

kegiatan yang yang tidak memberikan kehidupan, perawatan, atau

pemeliharaan kepada orang yang menurut hukum merupakan kewajiban

dari yang bersangkutan. Dalam hal ini penelantaran rumah tangga

meliputi perbuatan yang tidak:7

a) Memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada

orang tersebut.

b) Berlaku juga untuk setiap orang yang mengakibatkan

ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang

7
Rodliyah dan salim, Hukum pidana khusus, Unsur Dan Sanksi Pidananya, Depok:
Rajawali Pers, 2017, hlm. 245.

15
untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga

korban berada di bawah kendali orang tersebut.

Tindak pidana penelantaran dalam lingkup rumah tangga ini berupa

penelantaran terhadap anak dan istri yang tidak diberikan nafkah. Dalam

keluarga suami sebagai kepala keluarga dalam rumah tangga mempunyai

kewajiban untuk melindungi dan memberi nafkah baik lahir dan batin

serta memberi tempat tinggal yang layak kepada keluarganya.

Adapun dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004

tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga disebutkan

bahwa lingkup rumah tangga meliputi a) suami, istri, dan anak, b) orang-

orang yang memiliki hubungan keluarga sebagaimana dimaksud pada

huruf (a) karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan,

dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga dan atau (b) orang-

orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah

tangga tersebut sehingga dipandang sebagai anggota keluarga. Oleh

karena itu ruang Lingkup nya sendiri sangat luas karena tidak hanya

termasuk dalam keluarga inti, tetapi juga keluarga lainnya. keluarga inti

terdiri dari suami, istri, dan anak. Keluarga lainnya meliputi: (a) orang-

orang yang mempunyai hubungan keluarga dan; (b) orang-orang yang

bekerja sebagai pembantu.8

8
Ibid., hlm. 241

16
3. Teori Pelindungan Korban

Perlindungan adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan

rasa aman kepada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat,

lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau pihak lainnya

baik sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan .

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan

Korban, pada Pasal 1 butir 3 menyebutkan bahwa: “korban adalah

seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian

ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.”

Namun kenyataanya, korban tindak pidana dapat dikatakan kurang

mendapat perlindungan, baik fisik maupun secara ekonomi, sementara

pelaku tindak pidana selalu diawasi dan mendapatkan perlakuan khusus

demi proses hukum, bahkan diberikan makan dan minum secara teratur.

Seharusnya, baik pelaku kejahatan maupun korban kejahatan wajib

diperlakukan secara seimbang antara hak dan kewajibannya, karena

korban sesungguhnya menjadi subyek konkrit yang justru selama ini

kurang mendapatkan perhatian.9

Makna perlindungan korban dapat dilihat dari dua sisi, diantaranya

yaitu: (a) dapat diartikan sebagai perlindungan hukum untuk tidak

9
John Kenedi, Perlindungan Saksi dan Korban (Studi Perlindungan Hukum Korban Kejahatan
dalam Sistem Peradilan di Indonesia), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2020, hlm. 3.

17
menjadi korban tindak pidana (artinya terhadap perlindungan HAM atau

kepentingan hukum seseorang); dan (b) dapat diartikan sebagai

perlindungan untuk memperoleh jaminan/ santunan hukum terhadap

penderitaan atau kerugian korban tindak pidana (artinya penyantunan

terhadap korban). Adapun bentuk-bentuk santunan dapat diberikan

kepada korban berupa pemulihan nama baik (rehabilitasi), pemulihan

keseimbangan batin (seperti pemaafan), pemberian ganti rugi (restitusi,

kompensasi, jaminan/ santunan kesejahteraan sosial) dan lain

sebagainya. 10 Dengan pemberian tersebut, salah satunya restitusi

kepada korban, hak-hak korban dalam tindak pidana penelantaran di

lingkup rumah tangga dapat terpenuhi.

Bentuk perlindungan korban diatur dalam Undang-Undang Nomor

23 Tahun 2004 dalam Pasal 18 diantaranya: “a. Dalam waktu 1 X 24 jam

terhitung sejak mengetahui atau menerima laporan kekerasan dalam

rumah tangga, kepolisian wajib memberikan perlindungan sementara

pada korban. b. Perlindungan sementara sebagaimana dimaksud dalam

ayat (1) diberikan paling lama 7 hari sejak korban diterima atau

ditangani. c. Dalam waktu 1X24 jam terhitung sejak diberikannya

perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepolisian wajib

meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.”

Namun perlindungan korban dalam tindak pidana kurang

mendapatkan perhatian peraturan perundang-undangan, dibandingkan

10
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam
Penanggulangan Kejahatan, Jakarta: Kencana Prenada Media, 2008, hlm. 61.

18
dengan penerapan sanksi kepada pelaku. Dalam Undang-Undang Nomor

23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

mengatur mengenai sanksi pidana kepada pelaku, yaitu sanksi pidana

penjara atau denda.

4. Teori Pertimbangan Hakim

Putusan hakim merupakan puncak klimaks dari suatu perkara yang

sedang diperiksa dan diadili oleh hakim. Hakim memberikan

keputusannya mengenai hal-hal sebagai berikut:

a. Keputusan mengenai peristiwanya, apakah terdakwa telah

melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya.

b. Keputusan mengenai hukumnya, apakah perbuatan yang dilakukan

terdakwa itu merupakan suatu tindak pidana, apakah terdakwa

bersalah, dan dapat di pidana.

c. Keputusan mengenai pidananya, apabila terdakwa memang dapat

dipidana.

Namun hakim dalam menjatuhkan pidana, harus berdasarkan

undang-undang yang berlaku. Dalam memutus suatu perkara pidana,

hakim harus memutus dengan seadil adilnya dan harus sesuai dengan

aturan-aturan yang berlaku. Menurut Van Apeldoorn, hakim itu

haruslah:11

a. Menyesuaikan Undang-Undang dengan faktor-faktor konkrit,

kejadian-kejadian konkrit dalam masyarakat.

11
E. Utrecht an Moch Saleh Djindang, Pengantar dalam Hukum Indonesia, Jakarta: Sinar
Harapan, 1980, hlm. 204.

19
b. Menambah Undang-Undang apabila perlu.

5. Teori Liberal Klasik

Teori ini melihat negara sebagai pelindung bagi warga negaranya,

namun dengan adanya kasus penelantaran dalam rumah tangga ini

mencerminkan bahwa Negara gagal dalam memberikan perlindungan

dan mengatasi kesulitan warga negaranya.12 Padahal dalam Undang-

Undang Dasar 1945 juga mengatur masalah tersebut. Dalam Pasal 34

ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa “Fakir

miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”.

5. Teori Tanggung Jawab.

Menurut teori ini, bahwa pada hakekatnya subjek hukum (orang atau

kelompok) bertanggung jawab terhadap segala perbuatan hukum yang

dilakukannya, sehingga jika seseorang melakukan suatu tindak

pidana yang mengakibatkan orang lain menderita kerugian (dalam arti

luas), orang tersebut harus bertanggung jawab atas kerugian yang

ditimbulkannya, kecuali ada alasan yang membebaskannya.

6. Teori Ganti Kerugian

Sebagai perwujudan tanggung jawab karena kesalahannya

terhadap orang lain, pelaku tindak pidana dibebani kewajiban untuk

memberikan ganti kerugian pada korban atau ahli warisnya.13 Adapun

12
Sofia Hardani, wilaela, Nurhasanah Bakhtiar & Hertina, Perempuan dalam lingkaran
KDRT, Riau: Pusat Studi Wanita UIN Sultan Syarif Kasim, 2010, hlm 19.
13
Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, Jakarta: Akademika Pressindo, 1993, hlm 50.

20
salah satu bentuk dari perlindungan korban secara langsung berupa ganti

kerugian , baik berbentuk restitusi maupun kompensasi.

C. Metode penelitian

Metode yang digunakan dalam tulisan ini adalah metode penelitian

hukum normatif atau yuridis normatif. Di dalam penelitian hukum terdapat

beberapa pendekatan. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini

adalah pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach) dan

pendekatan kasus (case approach) berkaitan dengan isu yang dihadapi.

a. Pendekatan Undang-Undang (Statute Approach)

Pendekatan perundang-undangan merupakan pendekaan

dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang menjadi

fokus kajian. Penggunaan pendekatan perundang-undangan

merupakan suatu keniscayaan mengingat dalam penelitian hukum,

permasalahan hukum dimulai dari norma atau kaidah yang diatur

dalam peraturan. 14 Tentunya pendekatan undang-undang ini

merupakan salah satu yang harus dilakukan dalam penelitian

normatif.

b. Pendekatan Kasus (Case Approach)

Adapun alasan penulis menggunakan pendekatan kasus

karena penelitian ini bertujuan untuk melihat penerapan prinsip

perlindungan korban dalam kasus penelantaran dalam rumah tangga

di Aceh.

14
Mahmud Marzuki, penelitian hukum, Prenada Media, Jakarta, 2017, hlm 133.

21
1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini yaitu

dengan menggunakan penelitian hukum atau biasa disebut metode

penelitian yuridis normatif dengan berdasarkan dari hasil kajian buku-

buku, jurnal-jurnal dan undang-undangan yang berhubungan dengan

tindak pidana penelantaran serta menggunakan pendekatan perundang-

undangan sehingga pengumpulan dan pengolahan bahan hukum melalui

studi kepustakaan yang dianalisis menggunakan kualitatif.

2. Tahap Penelitian dan Bahan Hukum

Tahap penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini yaitu

penelitian kepustakaan yang dikaitkan dengan studi literatur. Tahap

penelitian ini mengambil bahan hukum primer yang berupa peraturan

perundang-undangan yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004

Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum untuk membantu

menganalisis bahan hukum primer, penelitian ini menggunakan tulisan-

tulisan tentang hukum baik berbentuk buku ataupun jurnal- jurnal yang

berfokus pada judul “Pelindungan Korban Terhadap Tindak Pidana

Penelantaran Dalam Lingkup Rumah Tangga Di Aceh”.

Bahan hukum tersier digunakan sebagai penyempurnaan bahaya

yang digunakan di dalam penelitian ini adalah Kamus Besar Indonesia.

3. Alat dan Teknik Pengumpulan Data

22
Proses pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan studi

dokumen atau studi kepustakaan untuk menemukan bahan-bahan hukum

yang bersifat primer, sekunder, tersier maupun non hukum terhadap

suatu peristiwa hukum yang sedang diteliti. Adapun wawancara dapat

dilakukan apabila diperlukan dalam penelitian ini dan dapat dilakukan

secara lisan sesuai dengan permasalahan yang ingin dijawab dan tujuan

yang ingin dicapai dalam penulisan ini. sumber bahan hukum

selanjutnya dianalisis secara kualitatif yaitu analisis yang bersifat

mendeskripsikan bahan hukum yang diperoleh baik bahan hukum primer

maupun bahan hukum sekunder.

4. Analisi Data

Analisis data adalah cara mengatur bagian-bagian data yang sudah

ada yang lalu kemudian mengaturnya ke dalam pemahaman dasar. Data

yang akan diambil dari penelitian ini dianalisis menggunakan cara

kualitatif yang menampilkan kenyataan yang sudah ada. Berdasarkan

semua data yang sudah diperoleh sebelumnya melakukan penguraian

seluruh data untuk mendapatkan jawaban dari permasalahan yang sudah

dirumuskan.

23
D. JADWAL PENELITIAN

Untuk melakukan penelitian ini, penulis memperkirakan waktu yang

diperlukan dengan perincian sebagai berikut:

1. Pengumpulan Data : 20 hari

2. Analisis Data : 20 hari

3. Penyusunan Skripsi : 30 hari

Jumlah : 70 hari

Banda Aceh, 3 Oktober 2023

Pelaksana Penelitian

Farah Sabila

NPM. 2003101010132

24
KERANGKA PENULISAN SKRIPSI

ABSTRAK
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Rumusan Masalah
C. Ruang Lingkup dan Tujuan Penelitian
D. Kegunaan Penelitian
E. Keaslian Penelitian
F. Kerangka Penelitian
G. Metode Penelitian
H. Sistematika Penelitian

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA


PENELANTARAN DALAM LINGKUP RUMAH
TANGGA
A. Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga
B. Penelantaran dalam Lingkup Rumah Tangga Sebagai
Salah Satu Bentuk dari Kekerasan dalam Rumah
Tangga
C. Konsep Pelindungan Hukum Bagi Korban dalam Tindak
Pidana Penelantaran dalam Lingkup Rumah Tangga

BAB III PELINDUNGAN KORBAN DALAM TINDAK


PIDANA PENELANTARAN DI LINGKUP
RUMAH TANGGA DI ACEH
A. Konsep Pelindungan Korban Terhadap Tindak Pidana
Penelantaran Rumah Tangga dalam Aturan Hukum
Indonesia
B. Pidana dalam Pasal 49 Undang-Undang PKDRT
Apakah Telah Mencerminkan Perlindungan dan
Keadilan Bagi Korban
C. Pertimbangan Hukum Hakim dalam Penerapan Pasal 49
Undang-Undang PKDRT di Aceh

BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran

25
DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Jakarta: Rajawali Pers, 2011
Suhasril, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dan Perempuan, Depok: Rajawali
Pers, 2016.
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Depok: Rajawali Pers, 2019.
Rodliyah dan salim, Hukum pidana khusus, Unsur Dan Sanksi Pidananya, Depok:
Rajawali Pers, 2017.
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana
dalam Penanggulangan Kejahatan, Jakarta: Kencana Prenada Media,
2008.
E. Utrecht an Moch Saleh Djindang, Pengantar dalam Hukum Indonesia, Jakarta:
Sinar Harapan, 1980.
Sofia Hardani, wilaela, Nurhasanah Bakhtiar & Hertina, Perempuan dalam
lingkaran KDRT, Riau: Pusat Studi Wanita UIN Sultan Syarif Kasim,
2010.
John Kenedi, Perlindungan Saksi dan Korban (Studi Perlindungan Hukum
Korban Kejahatan dalam Sistem Peradilan di Indonesia), Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2020.
Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, Jakarta: Akademika Pressindo, 1993.
Mahmud Marzuki, penelitian hukum, prenada Media Jakarta, 2017.

Undang-Undang

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945


Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2004 tentang penghapusan
kekerasan dalam rumah tangga. (2004)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

JURNAL

Irawan, A. (2019). Batasan Penelantaran Rumah Tangga Dalam Perspektif


Hukum Kekerasan dalam Rumah Tangga dan Hukum Perkawinan
Indonesia. Jurnal Hukum Responsif FH UNPAB, 103.

DISERTASI/TESIS

Azima & zakiah nujaba, 2021, ”Sanksi tindak pidana penelantaran rumah
tangga terhadap istri oleh suami menurut pasal 49 UU Nomor 23 tahun
2004 perspektif hukum pidana Islam : Analisis putusan pengadilan
negeri Pekanbaru nomor 53/Pid.Sus/2016/PN.Pbr", Sarjana thesis, UIN
Sunan Gunung Djati Bandung.

26

Anda mungkin juga menyukai