KELOMPOK 8
Putri Agung Margared Gia 712023280
Greache Rafaela Mata Taga 712023002
Deftrand Leonardo Tritama Kariono 712023022
Agnadya Yulien Daik 712023307
Silfia Danga Ana Amah 712023324
Imanuel Bedrik Tunliu 712023265
Sanci Neolaka 712023317
Georgina M. Wibowoputri 712023315
A. Pengantar
Perkembangan Gereja di Eropa mengalami tantangan struktural yang hebat. Hal ini terlihat
dari ketiadaan batasan yang jelas antara Gereja dan negara. Di sisi lain, Gereja pada dirinya
sendiri juga mengalami perpecahan internal yang disebabkan oleh perbedaan dogma, pandangan,
motivasi, dan tujuan. Ordo dan sub-aliran di dalam Gereja membuat ketahanan Gereja lemah.
Konsekuensi terhadap hal ini adalah bahwa Gereja mengalami deklinasi dan disorientasi spiritual
serta perpecahan yang tidak terekonsiliasi hingga saat ini. Menariknya, perpecahan itu tidak
hanya nampak di Eropa, tetapi juga di seluruh dunia. Oleh sebab itu, makalah ini berupaya untuk
dinamika perkembangan Gereja tersebut. Pada akhirnya, makalah ini akan menyimpulkan faktor
apa saja yang menyebabkan dinamika, kelemahan, serta konflik dan perpecahan di dalam Gereja
tersebut.
B. Inti Bacaan
Konflik politik antara Gereja dan negara, serta Gereja dengan dirinya sendiri, bermanifestasi
di dalam berbagai fenomena. Menurut Jackson, rentannya Gereja terhadap konflik politik adalah
karena Gereja dapat berfungsi sebagai institusi politik yang tidak lagi melayani Tuhan 1. Hal ini
dikarenakan Gereja berada dekat dengan masyarakat, sehingga dapat menjadi jembatan politik
antara pemerintah dengan rakyat2. Argumen ini terbukti benar di dalam fenomena-fenomena
1
Jackson di dalam Anna Greenberg, “The Church and the Revitalization of Politics and Community.”
Political Science Quarterly, Vol. 115, No. 3. (2000): 377
2
Jackson di dalam Anna Greenberg, … 377
1. Pembaruan Gereja di Belanda
Konflik di Belanda muncul setelah kaisar Karel V melakukan penggabungan antara provinsi-
provinsi di Belanda yang awalnya merdeka, dengan Spanyol dan negeri-negeri Hasburg yang
lain. Peggabungan ini didasari oleh cita-cita Karel akan kesatuan di seluruh daerahnya. Hal ini
tentu saja melanggar kemerdekaan dan hak-hak lama dari wilayah-wilayah di Belanda. Sebagai
mereka tidak bisa mempraktikkan iman Injili mereka dengan bebas lagi. Terkait dengan hal ini,
perlu ditekankan bahwa Spanyol merupakan negara yang secara kolektif menganut agama
Katolik Roma, tidak hanya secara spiritual, melainkan juga konstitusional. Pengesahan Katolik
Roma sebagai agama negara terjadi setelah penandatanganan Konkordat 1851 oleh Paus Pius IX
di dalam persetujuan Ratu Isabel II3. Melalui penandatanganan itu, Katolik Roma tidak hanya
disahkan sebagai agama negara yang resmi, melainkan juga sebagai subjek di dalam pendidikan 4.
Pembatasan kekuasaan ini dilakukan Karel V karena ia tidak mau perkembangan Reformasi
menghambat kesatuan negara yang diimpikannya. Kaisar yang condong terhadap Katolik Roma
tersebut melancarkan tindakan keras untuk meredam gerakan yang mengancam kekuasannya itu.
Banyak pemimpin yang dipenjarakan dan dihukum, tetapi serangan itu tidak berhenti. Sejak
tahun 1540, maklumat pemerintah melawan kaum Injili makin keras dan penghukumannya kian
bengis. Namun, terlepas dari itu, orang Injili tetap bertahan dan memulai gereja Injjili di luar
Suksesi takhta dari Karel V kepada putranya, Philips II, tidak menghentikan serangan itu.
Philips II justru membangun serangan yang lebih struktural, yakni melalui pendirian organisasi
3
Joan Domke, “Education, Fascism, and the Catholic Church in Franco’s Spain.” [Disertasi]. (2011): 24
4
Joan Domke, “Education, Fascism, and the Catholic Church in Franco’s Spain.” … 24
baru agar ia bisa menggunakan Gereja sebagai alatnya. Namun, lebih daripada itu,
Semangat Reformasi itu memimpin kaum Injili untuk membela kebenaran, sehingga membuat
gereja dan merusak semua objek yang berhubungan dengan Katolik Roma. Guido de Bres,
seorang pemuka Calvinis yang terkenal, bahkan mati syahid, meninggalkan karangan yang
bangga berkata kepada rekan satu tahanannya demi menyemangati mereka, katanya, “Aku tidak
percaya bahwa Tuhan akan memberikan kepadaku kehormatan yang sungguh besar”5.
Perseteruan antara Katolik Roma dan Calvinisme berhenti di masa Pangeran Willem dari
Oranje, yang percaya bahwa semangat toleransi merupakan elemen yang krusial di dalam
pemerintahan. Di dalam semangat toleransi ini, Willem dari Oranje dibantu oleh pelayan-pelayan
Calvinis, baik di dalam media cetak maupun di mimbar 6. Namun demikian, Willem juga
dalam teks yang mereka tulis, orang-orang Oranje menunjukkan persetujuan akan gereja publik
atau gereja negara, tetapi tidak semua setuju akan Gereja Calvinis 8. Hasilnya, meskipun ia adalah
Calvinis sejati (yang terbukti dengan diakuinya Gereja Hervormd sebagai satu-satunya gereja
resmi), Willem memperbolehkan aliran agama lain untuk berada di Belanda. Hal ini membuat
yang sangat ketat, yang bermanifestasi pada penanggalan segala bentuk ajaran Katolik Roma dan
penguatan pendidikan agama dan kependetaan. Namun, muncul penolakan terhadap aliran ini
dari pihak Erasmus yang mendambakan pembaruan gereja kepada semangat humanisme, dan
regen-regen yang mewakili pemerintahan provinsi dan kota. Kedua aliran ini disebut dengan
Libertin. Menurut Kaplan, kaum Libertin merupakan golongan yang sebetulnya merupakan
bagian dari Protestan Injili, tetapi mereka menolak gereja Calvinis karena mereka tidak
menyukai segala bentuk disiplin gerejawi yang berlaku di antara para Calvinis9.
Terdapat dua hal yang ditolak oleh kaum Libertin, yakni pengakuan dan tata gereja. Kaum
Libertin percaya bahwa kekristenan merupakan aliran yang berlandaskan pada rasionalitas dan
moralitas manusia. Hal ini tentu saja ditolak oleh Calvin dan berhasil. Kendati demikian,
pemerintah secara keras menolak tatagereja karena Gereja akan menjadi terlalu kuat, sementara
tujuan pemerintah adalah gereja-negara. Karena alasan ini, terjadi bentrokan yang hebat antara
persoalan dogmatik. Lebih tepatnya, konflik ini diakibatkan oleh perseteruan antara kaum
remonstran dan kontra-remonstran. Kaum remonstran, yang memihak kepada teologi Arminius,
percaya bahwa manusia berdosa bersandar pada usahanya sendiri untuk mendapatkan
keselamatan dan bahwa manusia sanggup melawan rahmat Allah. Di sisi lain, kaumkontra-
remonstran, yang kemudian disebut dengan aliran Calvinis, adalah pengikut Gomarus. Kaum ini
percaya bahwa keselamatan manusia seluruhnya bergantung pada rahmat Allah, manusia tidak
sanggup melakukan atau menginisiasi apa pun untuk mendapatkan keselamatan, sehingga
9
Benjamin J. Kaplan, “Dutch Particularism and the Calvinist Quest for “Holy Uniformity”*”. Vol 82.
(1991) 239
keselamatan adalah seluruhnya karya Tuhan. Perdebatan Arminian dan Calvinis ini diakhiri
dengan kematian Arminius, yang menjadi awal dari persetujuan kaum Arminian atas sinode
nasional yang disebut dengan Sinode Dordrecht. Sinode ini menerjemahkan Alkitab ke dalam
akibatnya, gaya hidup jemaat menjadi hedonis, persepsi jemaat dan juga pemuka agama menjadi
sekuler, serta atmosfer Gereja berubah suam. Penurunan pengaruh dan nilai dari symbol, doktrin,
dan institusi agamawi itu disebut dengan sekularisasi agama 10. Dampak fatalnya, sekularisasi
agama dapat membuat masyarakat menjadi tanpa agama sama sekali 11. Sebagai reaksi terhadap
hal ini, timbullah tiga aliran yang berusaha menghidupkan kembali gereja, yakni reaksi biblisistis
yang mematahkan kekakuan Gereja akan dogma Calvinis, reaksi rasionalitas yang
mengembalikan Gereja pada akal budi, dan reaksi piestistis yang menjunjung tinggi sikap hidup
saleh.
Terdapat perbedaan yang kontras dalam hal perkembangan Gereja Protestan di Perancis dan
Jerman. Di Belanda, perkembangan aliran Calvinis pada abad ke-17 berlangsung dengan pesat,
sampai-sampai Gereja Calvinis Belanda menjadi pusat sejarah Protestantisme. Hal ini berkat
dukungan dari Pangeran Willem dari Oranje 12. Sementara itu, di Perancis, perkembangan
Protestantisme sangat terhambat karena larangan dari Louis XIII yang melarang golongan
10
Larry Shiner, “The Concept of Secularization in Empirical Research”. Journal for the Scientific Study of
Religion, Vol. 6, No. 2. (1967): 209
11
Larry Shiner, “The Concept of Secularization in Empirical Research”. … 209
12
Jill Stern, “Religion and the Orangists 1650-1675” Dutch Crossing Journal of Low Countries Studies,
Vol. 30, No. 2. (5 Juni 2016): 183
Di sisi lain, di Jerman, terjadi ketegangan antara Lutheran sejati (golongan Philips) dan
yang disematkan oleh Lutheran sejati kepada mereka yang mendukung pandangan Calvin 13. Pada
hakikatnya, label ini merupakan sebuah ejekan terhadap mereka yang tidak setia pada tradisi
Lutheran14. Setelah terjadi pemutusan hubungan antara teologia Luther dan Calvinis, pada
akhirnya teologia Luther menang. Kemenangan ini tampaknya hanya lahiriah saja, karena
kekakuan dogmatik Luther yang tertuang dalam formula concordiae membuat semangat
Lutheran surut, sehingga lahirlah aliran mistik. Oleh sebab itu, teologia Lutheran menyimpang
dari substansinya, yakni sola fide atau pembenaran oleh iman saja.
Meskipun begitu, Gereja Katolik Roma menolak ajaran bahwa keselamatan diperoleh hanya oleh
karena anugerah iman saja. Ordo Yesuit, yang secara fanatik berupaya agar kuasa Gereja Katolik
Roma luas kembali, memerangi ajaran Calvinis itu. Aksi perlawanan itu berpusat di Spanyol.
Sementara perlawanan itu berlangsung, ordo dan kongregasi berfokus pada layanan masyarakat
dalam hal pendidikan, pemeliharaan kaum papa, dan perawatan orang sakit.
Di belahan dunia lain, Perancis memperoleh dominasinya di bidang politik dan agama,
sehingga negara tersebut menjadi benteng bagi Gereja Katolik Roma. Sayangnya, dukungan dari
Perancis ini gagal memberikann Gereja Katolik Roma hak-hak lamanya. Namun, terdapat
beberapa gerakan Katolik Roma penting yang muncul setelah Trente, yakni Jansenisme yang
berusaha menghidupkan kembali ajaran Agustinus, Pascal yang menyingkap motivasi buruk
13
Esther Chung-Kim, “Calvin’s Lutheran Critics.” Cambridge Core. (14 November 2019): 350
14
Esther Chung-Kim, “Calvin’s Lutheran Critics.” … 350
Yesuit, dan Yesuit yang menyerang aliran berbeda dengan Katolik Roma karena faktor-faktor
politik.
Di Inggris, muncul aliran Calvinis karena aliran Anglikan tidak bisa berdiri pada dua kaki,
yakni Injili dan Katolik Roma. Golongan Calvinis yang menghapus segala sesuatu yang berbau
Katolik Roma itu disebut dengan Puritan, yang kerap disebut juga Presbiterian. Gaya hidup
mereka sesuai dengan Alkitab. Hal ini berlawanan dengan maksud raja yang menginginkan
kuasa mutlak atas negara dan Gereja (absolutisme). Oleh sebab itu, Karel I melawan kaum
Puritan di Skotlandia. Hal ini gagal karena parlemen tidak mendukung keputusannya. Alhasil,
Westminster, yakni tentang katekismus, liturgia, dan pengakuan. Menurut Davidson, Pengakuan
Westminster memiliki empat fungsi, yakni untuk menginstruksikan katekumen dan jemaat
tentang doktrin Gereja Universal dan Komuni; untuk mengamankan doktrin yang benar dan
untuk melindunginya dari bidat serta kesalahan; untuk mendefinisikan posisi teologis dari
Komuni, dan; untuk mengumumkan kepada dunia luar tentang sistem kepercayaan yang
memutuskan bahwa yang memerintah adalah parlemen. Parlemen itu diisi dengan orang-orang
Independen. Golongan independen adalah kaum yang menolak segala bentuk campur tangan
baik dari dalam dan luar gereja. Namun, strategi ini gagal, sehingga Cromwell harus menjadi
diktator. Setelah kematiannya, terjadi lagi konflik antara absolutisme dan kaum Puritan. Konflik
15
Nevile Davidson, “The Westminster Confession of Faith.” Scottish Journal of Theology, Vol. 19, No. 3.
(September 1966): 312
itu berakhir pada tahun 1689 berkat pemberlakuan kebebasan kata hati bagi semua golongan
Sejak ditemukannya benua Amerika, negara Portugal dan Spanyol memiliki tujuan untuk
menyebarkan agama Katolik ke banyak negara, termasuk Amerika. Kegiatan tersebut disebut
Misi. Misi dilancarkan dengan pengorbanan yang besar, yang dipimpin oleh Yesuit dan golongan
lain yang rajin dalam usaha pengembangan Gereja Roma. Sayangnya, banyak orang masuk
agama Katolik hanya karena ketakutan terhadap penjajah. Hal itu terjadi di Asia dan Eropa.
Sementara di Amerika Utara, Protestantisme mulai berkembang berkat kaum Puritan yang
melarikan diri ke sana dan berusaha mendapatkan kemerdekaan beragama. Mereka disebut
Pilgrim fathers (bapa-bapa musafir). Banyak golongan yang pergi ke Amerika juga, tetapi secara
C. Tanggapan Kritis
Serangkaian konflik dan perpecahan di dalam perkembangan Gereja Injili di Eropa pada
dasarnya bisa dicegah bila terjadi kesatuan sesuai dengan firman Tuhan. Hal ini juga sejalan
dengan strategi Gereja dalam menggunakan kitab PL, dan kemudian PB, untuk memerangi
aliran-aliran sesat seperti gnostik, montanisme, dan yang lainnya. Menarik untuk disoroti bahwa
politik di dalam Gereja telah menghentikan penggunaan senjata tersebut secara internal, padahal
beberapa paham sudah jelas-jelas salah, seperti misalnya aliran mistik yang mengaburkan esensi
Lutheran di Jerman.
D. Kesimpulan
Kemunculan konflik dan perpecahan di dalam perkembangan Gereja di Eropa, khususnya
Belanda, didasari bukan hanya karena faktor dogmatik, tetapi juga politik. Hal ini terlihat dari
konflik yang kental di antara perwakilan Gereja, seperti paus dan pemimpin ordo, dengan
pemerintah. Motivasi politik untuk mengklaim dominasi atas segenap rakyat juga menginfeksi
Gereja dengan berbagai-bagai aliran yang pada praktiknya tidak hanya menghambat pekabaran
Injil yang sesuai dengan Alkitab, tetapi juga menimbulkan kepahitan kolektif di dalam
masyarakat dan jemaat. Hal ini berimplikasi secara sosial dan struktural, baik di dalam maupun
di luar Gereja.
E. Pertanyaan Kritis
Jika benar bahwa Gereja Katolik Roma secara sadar dan sengaja mengabaikan kebenaran
Alkitab di dalam pengambilan keputusannya yang sarat motif-motif politik, bagaimana cara
untuk menjustifikasi pengatekorian Katolik Roma ke dalam nomenklatur agama dan bukannya
entitas politik?
F. Daftar Pustaka
Boekestein, William. “Who was Guido de Bres?” Ligonier. (14 Desember 2022).
31/10/2023
Chung-Kim, Esther. “Calvin’s Lutheran Critics.” Cambridge Core. (14 November 2019): 345
354
Davidson, Nevile. “The Westminster Confession of Faith.” Scottish Journal of Theology, Vol.
(2011): 1-155
Greenberg, Anna. “The Church and the Revitalization of Politics and Community.” Political
Kaplan, Benjamin J. “Dutch Particularism and the Calvinist Quest for “Holy Uniformity”*”. Vol
Shiner, Larry. “The Concept of Secularization in Empirical Research”. Journal for the Scientific
Stern, Jill. “Religion and the Orangists 1650-1675” Dutch Crossing Journal of Low Countries