BAB I
PENDAHULUAN
“Sesuatu (hal atau urusan) yang menyalahi adat kebiasaan yang ditampakkan Allah diatas
kekuasaan seorang nabi untuk memperkuat kenabiannya.” [8]
B. Macam-Macam Mukjizat
Secara garis besar mukjizat dapat dibagi dalam dua bagian pokok, yaitu mukjizat yang
bersifat hissiyah (material indrawi), dan mukjizat yang bersifat ‘aqliyah (rasional).[14] Mukjizat
nabi-nabi terdahulu semuanya merupakan jenis pertama. Mukjizat mereka bersifat material dan
indrawi dalam arti keluarbiasaan tersebut dapat disaksikan atau dijangkau langsung lewat indra
oleh masyarakat tempat nabi tersebut menyampaikan risalahnya, seperti perahu nabi Nuh yang
dibuat atas petunjuk Allah sehingga mampu bertahan dalam situasi ombak dan gelombang yang
demikian dahsyat; tidak terbakarnya nabi Ibrahim dalam kobaran api; tongkat nabi Musa yang
berobah menjadi ular; penyembuhan yang dilakukan nabi Isa atas izin Allah dan lain-lain.
Semuanya bersifat material indrawi, terbatas pada lokasi tempat nabi tersebut berada dan
berakhir dengan wafatnya masing-masing nabi. Berbeda dengan mukjizat nabi Muhammad Saw,
sifatnya bukan material indrawi, tetapi ‘aqliyah (dapat dipahami oleh akal). Karena sifatnya yang
demikian, maka ia tidak terbatas pada suatu tempat atau masa tertentu. Mukjizat al-Quran dapat
dijangkau oleh setiap orang yang menggunakan akalnya, kapan dan dimanapun berada.[15]
Perbedaan ini disebabkan oleh dua hal pokok. Pertama, para nabi sebelum nabi
Muhammad Saw., ditugaskan untuk masyarakat dan masa tertentu. Karena itu, mukjizat mereka
hanya berlaku untuk masa dan masyarakat tersebut, tidak untuk sesudah mereka. Ini berbeda
dengan nabi Muhammad Saw., yang diutus untuk seluruh umat manusia hingga akhir zaman,
sehingga bukti kebenaran ajarannya harus selalu siap dipaparkan kepada setiap orang yang ragu
kapanpun dan dimanapun mereka berada.
Kedua, manusia mengalami perkembangan dalam pemikirannya. Umat para nabi sebelum nabi
Muhammad Saw., amat membutuhkan bukti kebenaran yang harus sesuai dengan tingkat
pemikiran mereka, bukti tersebut harus jelas dan terjangkau indra mereka. Tetapi, setelah
manusia mulai menanjak ke tahap kedewasaan berpikir, maka bukti yang bersifat indrawi tidak
dibutuhkan lagi. Ini bukan berarti bahwa tidak terjadi hal-hal luar biasa dari atau melalui nabi
Muhammad Saw. Keluarnya air dari celah jari-jari beliau, makanan yang sedikit dapat
mencukupi orang banyak, genggaman pasir yang beliau lontarkan kepada kaum musyrik dalam
perang badar hingga menutupi pandangan mereka, dan lain-lain merupakan hal-hal luar biasa
yang telah terjadi.[16]
Namun demikian dapat disimpulkan, Pertama, Bahwa mukjizat itu luar biasa dalam
mengatasi segala persoalan manusia, tiada yang kuasa membuatnya, selain Allah menentukan
ketentuan tersebut. Kedua, bahwa antara mukjizat nabi yang satu dengan lainnya adalah sama
fungsinya, yaitu untuk memainkan peranannya dan mengatasi kepandaian kaumnya, disamping
membuktikan kekuasaan Allah diatas segala-galanya.[17]
C. Bentuk dan Tahapan Tantangan al Quran
Tantangan yang datang dari al-Quran terdiri dari dua bentuk, yaitu:
1. Tantangan umum
Tantangan ini ditujukan kepada semua golongan, baik kaum filosof, cendikiawan, ulama,
dan hukama, serta semua manusia tanpa kecuali, orang Arab atau orang Ajam, orang putih atau
orang hitam, mukmin atau kafir. Hal ini dijelaskan Allah dalam al-Quran surat al-Isra’ ayat 88.
2. Tantangan khusus
Tantangan ini ditujukan khusus kepada orang-orang Arab, terutama bagi orang-orang kafir
Quraisy. Tantangan bertanding khusus ini terbagi atas dua macam, yaitu :
a. Tantangan yang bersifat kulli (keseluruhan), yaitu tantangan dengan seluruh al-
Quran mengenai hukum-hukumnya, keindahan bahasanya, balaghahnya dan
kejelasannya. Hal ini dijelaskan Allah dalam surat al-Thuur ayat 34.
b. Tantangan yang bersifat juz’i (sebagian), yaitu tantangan untuk mendatangkan
sepuluh surat atau satu surat saja yang menyerupai surat-surat al-Quran. Hal ini
sebagaimana dijelaskan Allah dalam surat Hud ayat 13 dan surat al-Baqarah ayat 23.
[18] Adapun tahapan-tahapan tantangan al-Quran adalah sebagai berikut:
Pertama, Allah menantang untuk membuat semacam “keseluruhan al-Quran”, sebagaimana
dipahami dari surat al-Thuur ayat 34,
“Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal al-Quran itu jika mereka
termasuk orang-orang yang benar.” (Al-Thuur : 34).
Dalam satu riwayat dinyatakan bahwa ketika ayat ini turun untuk menantang orang-orang
kafir Quraisy yang meragukan dan menolak kebenaran al-Quran, maka mereka berdalih “kami
tidak mengetahui sejarah umat terdahulu” (yang merupakan sebagian kandungan al-Quran).
Adapun yang dimaksud dengan kalimat ديثmm( بحbihadiitsin) dalam ayat diatas adalah
tandingan al-Quran, namun ternyata mereka tidak mampu mendatangkan sesuatu yang
menyamai al-Quran.
Kedua, Allah meringankan tantangan, yaitu menantang untuk membuat sepuluh surat saja
yang menyamai al-Quran, sebagaimana dinyatakan Allah Swt., dalam surat Hud ayat 13,
ِدِق ِم ِن ِه ٍت ِم ِلِه
َأْم َيُقوُلوَن اْفَتَراُه ُقْل َف ْأُتوا ِبَعْش ِر ُس َوٍر ْث ُمْف َتَرَيا َواْد ُع وا َم ِن اْس َتَطْع ُتْم ْن ُدو الَّل ِإْن ُك ْنُتْم َص ا َني
)13:(هود
)38 :أَْم َيُقوُلوَن اْفَتَراُه ُقْل َفْأُتوا ِبُس وَرٍة ِم ْثِلِه َواْد ُعوا َم ِن اْس َتَطْع ُتْم ِم ْن ُدوِن الَّلِه ِإْن ُك ْنُتْم َص اِدِقَني (يونس
“Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang al-Quran yang kami wahyukan kepada hamba
kami (Muhammad), maka buatlah satu surat yang seumpamanya dan panggillah penolong-
penolongmu selain Allah jika kamu orang-orang yang benar.” (al-Baqarah: 23).
Ayat 23 yang terdapat dalam surat al-Baqarah ini mirip redaksinya dengan ayat 38 dalam
surat Yunus. Perbedaannya antara lain pada kalimat (fa’tuu bisuuratin mitslihi dan fa’tuu
bisuuratin min mitslihi). Kata ( منmin) disini diartikan “lebih kurang”, sehingga dengan
demikian tantangan ini lebih rendah daripada tantangan sebelumnya yang menuntut membuat
satu surah tanpa menggunakan kata (منmin) atau “lebih kurang”.
Memang sejak semula Allah telah menegaskan bahwa siapapun dan kapanpun al-Quran
tetap menjadi mukjizat dan tidak dapat ditandingi. Hal ini dapat kita pahami dari firman Allah
dalam surat al-Isra’ ayat 88,
ُق ْل َلِئِن اْج َتَم َعِت اِإْل ْن َواِجْلُّن َعَلى َأْن َي ْأُتوا ِمِبْث ِل َه َذ ا اْلُق ْرَءاِن اَل َي ْأُتوَن ِمِبْثِل ِه َو َل ْو َك اَن َبْع ُض ُه ْم ِلَبْع ٍض
ُس
)88 :َظِه ًريا(اإلسراء
“Katakanlah (hai Muhammad): Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat
yang serupa al-Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya,
sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu sebagian yang lain.” (al-Isra’ : 88).
Dengan demikian jelaslah bahwa tahap demi tahap tantangan al-Quran, ternyata tidak
seorangpun sanggup untuk memenuhi tantangan tersebut, terutama orang-orang Arab kafir
Quraisy yang dengan terang-tarangan tidak menerima kebenaran al-Quran. Dengan demikian
jelaslah mukjizat al-Quran yang benar-benar diwahyukan Allah untuk nabinya Muhammad Saw.,
yang ummi.
D. Aspek-Aspek Kemukjizatan Al Quran
Para ulama sepakat bahwasanya al-Quran tidaklah melemahkan manusia untuk
mendatangkan sepadan al-Quran hanya karena satu aspek saja, akan tetapi karena beberapa
aspek, baik aspek lafzhiyah (morfologis), ma’nawiyah (semantik) dan ruhiyah (psikologis).
Semuanya bersandarkan dan bersatu, sehingga melemahkan manusia untuk melawannya.[19]
Namun demikian mereka berbeda pendapat dalam meninjau segi kemukjizatan al-Quran.
Perbedaan itu adalah sebagai berikut:
1. Sebagian ulama berpendapat bahwa segi kemukjizatan al-Quran adalah sesuatu yang
terkandung dalam al-Quran itu sendiri, yaitu susunan yang tersendiri dan berbeda
dengan bentuk puisi orang Arab maupun bentuk prosanya, baik dalam permulaannya,
maupun suku kalimatnya.
2. Sebagian yang lain berpendapat bahwa segi kemukjizatan al-Quran itu terkandung
dalam lafal-lafalnya yang jelas, redaksinya yang bernilai sastra dan susunannya yang
indah, karena nilai sastra yang terkandung dalam al-Quran itu sangat tinggi dan tidak
ada bandingannya.
3. Ulama lain berpendapat bahwa kemukjizatan itu karena al-Quran terhindar dari adanya
pertentangan, dan mengandung arti yang lembut dan memuat hal-hal ghaib diluar
kemampuan manusia dan diluar kekuasaan mereka untuk mengetahuinya.
4. Ada lagi ulama yang berpendapat bahwa segi kemukjizatan al-Quran adalah
keistimewaan-keistimewaan yang nampak dan keindahan-keindahan yang terkandung
dalam al-Quran, baik dalam permulaan, tujuan maupun dalam menutup setiap surat.[20]
Imam al-Qurtubi dalam tafsirnya al-Jami’i Ahkamil Quran menyebutkan sepuluh segi
kemukjizatan al-Quran, sementara al-Zarkani dalam kitabnya Manahilul Irfan mencatat
empat belas segi kemukjizatan al-Quran.[21] Perbedaan pendapat ulama diatas
diketahui sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing. Jadi bukan berbeda dalam
menentukan batasan-batasan kemukjizatan al-Quran, karena aspek-aspek kemukjizatan
al-Quran tidak hanya terbatas pada aspek-aspek tertentu yang mereka sebutkan.[22]
E. Paham As-Sharfah
As-Sharfah terambil dari akar kata رفmm( صSharafa) yang berarti memalingkan, dalam
pengertian bahwa Allah memalingkan manusia dari upaya membuat semacam al-Quran,
sehingga seandainya tidak dipalingkan, manusia akan mampu. Dengan kata lain, kemukjizatan
al-Quran dianggap oleh paham as-sharfah lahir dari faktor eksternal, bukan dari al-Quran itu
sendiri.[26]
Berbicara tentang as-sharfah, Abu Ishaq Ibrahim an-Nazham dari golongan mu’tazilah
yang oleh Mustafa Shadiq al-Rafi’i disebut sebagai “syetan yang berargumentasi”
mengemukakan bahwa, kemukjizatan al-Quran pada dasarnya bukan terletak pada kehebatan al-
Quran itu semata-mata melainkan lebih dikarenakan sharfah (proteksi) dari Allah Swt., terhadap
para hambanya, lebih dari itu kata an-Nazham, Allah tidak saja memprotek kemampuan manusia
untuk menandingi al-Quran, akan tetapi juga malahan membelenggu kefasihan lidah mereka.[27]
Sementara al-Murtadha dari golongan Syiah berpendapat bahwa makna as-sharfah itu
adalah mencabut, yaitu Allah mencabut pengetahuan dan rasa bahasa yang mereka miliki yang
dibutuhkan untuk menyusun kalimat serupa al-Quran.[28] Jika kita perhatikan kedua pendapat
diatas, mereka menganggap bahwa al-Quran bukan merupakan mukjizat dengan Zat-Nya, tetapi
kemukjizatan itu karena dua hal:
1. Penggerak Ilahi yang melemahkan mereka untuk bertanding akhirnya mereka bermalas-
malasan.
2. Faktor luar yang melambangkan bakat kefasihan dan kemampuan sastra mereka.[29]
Dalam hal ini Muhammad Abd Azhim al-Zarkani memandang bahwa tuduhan penafian
I’jaz al-Quran terhadap aliran Mu’tazilah dan kaum Syi’ah secara keseluruhan hanya disebabkan
segelintir tokohnya yang dalam kasus ini an-nazham dan al-Murtadha merupakan tuduhan yang
kurang etis mengingat terlalu banyak pengikut Mu’tazilah dan kaum Syi’ah yang pengakuannya
tentang kemukjizatan al-Quran yang lebih kurang sama dengan kaum muslimin pada umumnya.
Bahkan dari kalangan Ahli Sunnah sekalipun sesunguhnya ada yang membenarkan kemungkinan
as-sharfah itu terjadi, diantaranya adalah Abu Ishak al-Isfariyini.[30]
Dalam pada itu Al-Qadhi Abu Bakar al-Baqillani mengatakan bahwa, salah satu hal yang
membatalkan pendapat tentang shirfah adalah, kalaulah menandingi al-Quran itu mungkin, tetapi
mereka dihalangi oleh shirfah, maka kalam Allah itu tidak mukjizat, melainkan shirfah itulah
yang mukjizat. Dengan demikian, kalam tersebut tidak mempunyai kelebihan apapun atas kalam
yang lain.[31] Selain Abu Bakar al-Baqillani, pendapat tentang as-sharfah menurut Muhammad
Ali as-Shabuniy juga dikatakan salah dan tidak bisa dipertanggung jawabkan karena tidak sesuai
dengan kenyataan. Hal itu menurutnya karena beberapa faktor:
1. Kalau pendapat ini benar, kemukjizatan itu akan berada pada unsur pemalingan dan
tidak dalam al-Quran itu sendiri.
2. Kalau pendapat dengan pemalingan ini benar, pasti hal itu unsur melemahkan bukan
kemukjizatan. Karena perbuatan itu sama saja halnya kita memotong lidah seseorang
kemudian kita paksa dia bicara.
3. Kalau ada penggerak yang melemahakan mereka untuk bertanding, mereka pasti sudah
malas dan tidak mungkin menghalang-halangi Nabi untuk berdakwah.
4. Seandainya ada faktor yang timbul secara mendadak, menghalangi mereka berbicara
tegas pasti mereka akan mengumumkan hal itu kepada khalayak ramai.
5. Bilamana pemalingan itu betul terjadi, pasti bagi kita sekarang akan bisa menandingi al-
Quran, begitu juga bagi mereka yang tekun dalam sastra Arab pada setiap masa, tentu
mereka akan bisa menerangkan kedustaan pengakuan kemukjizatan al-Quran.[32]
Semuanya itu (tentang pendapat as-sharfah) menurut hemat penulis adalah tidak benar,
yang benar adalah bahwa usaha untuk mendatangkan semisal al-Quran sama sekali tidak akan
terlaksana menurut kemampuan makhluk.
BAB III
PENUTUP
Al-Quran adalah mukjizat nabi Muhammad Saw., terbesar yang sifatnya ‘aqliyah sehingga
berlaku sepanjang zaman karena dapat dijangkau oleh perkembangan akal manusia.
Kemukjizatan al-Quran terletak pada aspek keindahan bahasanya, kabar berita yang dibawanya,
keluasan isi materi yang terkandung didalamnya maupun dari segi-segi lainnya, dan tidak ada
seorang manusiapun sampai kapanpun dapat menandinginya. Mukjizat al-Quran merupakan hal-
hal yang luar biasa yang terdapat didalam al-Quran itu sendiri, bukan datang dari luar al-Quran,
karenanya paham as-sharfah tidak dapat diterima. Demikianlah makalah ini disampaikan dalam
seminar mata kuliah al-Quran, penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan
kekeliruan baik literature yang digunakan maupun susunan bahasanya, untuk itu kritik dan saran
yang membangun dari pembaca sangat diharapkan. Hanya kepada Allahlah kita menyerahkan
diri.
DAFTAR PUSTAKA
Anis, Ibrahim, et.all., al-Mu’jam al-Washith, Surabaya: t.t.
Ansari, Ibnu Mansur Jamaluddin Muhammad bin Mukarram al-, Lisan al-Arab, Beirut: al-Dar
al-Misriyah, 1990.
Khallaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul Figh, cet. 8, terj. Noer Iskandar al-Barsany dan Moh. Tolchah
Mansoer, Kairo: Dar al-‘Ilm:1978.
Munawwar, Said Aqil Husain al-, I’jaz al-Quran dan Metodelogi Tafsir, Semarang: Dimas, 1994.
Qattan, Manna’ al-, Mabahis fi Ulum al-Quran, Beirut: Maktabah Wahbah, 2004.
Rafi’i, Mustafa Shadiq al-, ‘Ijaz al-Quran wa al-Balaghah an-Nabawiyyah, Beirut: Dar al-Kutub
al-Arabi, 1990.
Sayuti, Jalaluddin al-, al-Itqan fi Ulum al-Qur an, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2000.
Shabuniy, Muhammad Ali al-, Studi Ilmu al-Quran, terj. Aminuddin, Bandung: Pustaka Setia,
1999.
Shiddiqiey, T.M. Hasbi al-, Mu’djizat al-Qur’an, Jakarta: Bulan Bintang, 1996.
Shihab, M. Qurais, Mukjizat al-Qur an Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah dan
Pemberitaan Gaib, cet II, Bandung: Mizan, 2007.
Suma, Muhammad Amin, Studi Ilmu-Ilmu al-Quran 3, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004.
Sya’rawi, Muhammad al-Mutawalli al-, Mukjizat al-Quran, terj. Muhammad Ali dan Abdullah,
Surabaya: Bungkul Indah, 1995.
Poerwodarminto, WJS, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1976.
Zarkani, Muhammad Abdul ‘Azim al-, Manahilul Irfan fi Ulum al-Quran, Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyah, 1988.
FootNote
--------------------------------
[1]Makalah disampaikan pada tanggal 19 Maret 2008
[2]WJS Poerwodarminto, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1976), h. 395.
[3]M. Qurais Shihab, Mukjizat al-Qur an Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah dan
Pemberitaan Gaib, cet II, (Bandung: Mizan, 2007), h. 25.
[4]Ibnu Mansur Jamaluddin Muhammad bin Mukarram al-Ansari, Lisan al-Arab, (Beirut: al-Dar
al-Misriyah, 1990), Juz IV, h. 236.
[5]Shihab, Mukjizat…, h. 25.
[6]Said Aqil Husain al-Munawwar, I’jaz al-Quran dan Metodelogi Tafsir, (Semarang: Dimas,
1994), h. 1.
[7]Lihat al-Quran surat al-maidah (5):31, al-An’am (6):134, al-Anfal (8):59, al-Taubah (9):2 dan
3, Yunus (10):53, Hud (11):20, 33 dan 72, an-Nahlu (16):46, al-Hajj (22):51, an-Nur (24):57, al-
Syu’ara (26):171, al-Ankabut (29):22, Saba (34):5 dan 38, Fathir (35):44, al-Shaffat (37):135, al-
Zumar (39):51, al-Syura (42):31, al-Ahqaf (46):32, al-Zariyat (51):29, al-Qamar (54):20, al-
Haqqah (69):7, dan al-Jin (72):12.
[8]Ibrahim Anis, et.all., al-Mu’jam al-Washith, (Surabaya: t.t.), Juz. 2, h. 585.
[9]Jalaluddin al-Sayuti, al-Itqan fi Ulum al-Qur an, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2000), h.
228.
[10]Manna’ al-Qattan, Mabahis fi Ulum al-Quran, cet. XIII, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2004), h.
258.
[11]Ibid., h. 259.
[12]Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-Ilmu al-Quran 3, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004), h.
38-40.
[13]Shihab, Mukjizat…, h. 26-27.
[14]ِِِAl-Sayuti, al-Itqan…, h. 228.
[15]Shihab, Mukjizat…, h. 38-39.
[16]Ibid., h. 39-44.
[17]Muhammad al-Mutawalli al-Sya’rawi, Mukjizat al-Quran, terj. Muhammad Ali dan
Abdullah, (Surabaya: Bungkul Indah, 1995), h. 2.
[18]Muhammad Ali al-Shabuniy, Studi Ilmu al-Quran, terj. Aminuddin, (Bandung: Pustaka Setia,
1999), h. 122.
[19]Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Figh, cet. 8, terj. Noer Iskandar al-Barsany dan Moh.
Tolchah Mansoer, (Kairo: Dar al-‘Ilm:1978), h. 30.
[20]Al-Shabuniy, Studi…, h. 136-137.
[21]Muhammad Abdul ‘Azim al-Zarkani, Manahilul Irfan fi Ulum al-Quran, Juz II, (Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1988), h. 355.
[22]T.M. Hasbi Al-Shiddiqiey, Mu’djizat al-Qur’an, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), h. 33.
[23]Al -Shabuniy, Study…, h.137-138.
[24]Shihab, Mukjizat…, h. 123.
[25]Al -Shabuniy, Study…, h. 220.
[26]Shihab, Mukjizat…, h. 159.
[27]Mustafa Shadiq al-Rafi’i, ‘Ijaz al-Quran wa al-Balaghah an-Nabawiyyah, (Beirut: Dar al-
Kutub al-Arabi, 1990), h. 144.
[28]Ibid.
[29]Al -Shabuniy, Study…, h. 221.
[30]Al-Zarkani, Manahilul…, h. 480.
[31]Al-Qattan, Mabahis…, h. 261.
[32]Al -Shabuniy, Study…, h. 221-223.