Anda di halaman 1dari 4

Nama: Akhyar

Nim. : 11210110000093
Matkul : Qawa’id Fiqhiyah
Fiqih 5C

Kaidah Kelima: Kaidah yang berkaitan dengan ‘URF dan ADAT

Al adatu muhakkamah Adat (dipertimbangkan di dalam) menetapkan hukum. kaidah ini


memiliki arti bahwa di suatu keadaan, adat dapat dijadikan pijakan untuk menentukan hukum
ketika tidak ditemukan dalil syari’. Namun, tidak semua adat bisa dijadikan pijakan hukum.
Kesimpulannya bahwa sebuah tradisi baik umum atau yang khusus itu dapat dijadikan sebuah
hukum untuk menetapkan hukum syariat islam (hujjah) terutama oleh seorang hakim dalam
sebuah pengadilan, selama tidak atau belum ditemukan dalil nash yang secara khusus melarang
adat itu, atau mungkin ditemukan dalil nash tetapi dalil itu terlalu umum, sehingga tidak bisa
mematahkan sebuah adat. Namun bukan berarti setiap adat kebiasaan dapat diterima begitu saja,
karena suatu adat bisa diterima jika tidak bertentangan dengan syari'at, tidak menyebabkan
kemafsadatan dan tidak menghilangkan kemashlahatan, telah berlaku pada umumnya orang
muslim, tidak berlaku dalam ibadah mahdah, dan ‘Urf tersebut sudah memasyarakat ketika akan
ditetapkan hukumnya.

Perbedaan antara al-’Adah dengan al-’Urf

a. ‘Urf hanya menekankan pada adanya aspek pengulangan pekerjaan sekelompok, sedang
obyeknya lebih menekankan pada posisi pelakunya.

b. ‘Adah hanya melihat dari sisi pelakunya (pribadi atau kelompok), dan obyeknya hanya pada
pekerjaan.

Urf Sosial: Urf sosial mengacu pada norma-norma yang mengatur interaksi sosial antara individu
dalam masyarakat. Contohnya termasuk tata cara berbicara, etika dalam berinteraksi dengan
orang lain, dan konvensi sosial seperti berjabat tangan saat bertemu atau memberikan hadiah
pada pernikahan.
Dalam Islam, konsep "urf" (tradisi atau adat) memiliki peran penting, tetapi itu tidak boleh
bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah. Syariah adalah hukum Islam yang berasal dari Al-
Quran dan Hadis, dan setiap tradisi atau adat yang tidak sesuai dengan syariah harus dihindari
atau diubah. Singkatnya, pandangan syariat Islam terhadap urf adalah:

a. Urf yang Sesuai: Urf yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah diterima dan dapat
digunakan dalam praktik kehidupan sehari-hari.

b. Urf yang Bertentangan: Urf yang bertentangan dengan syariah harus dihindari atau
diubah. Syariah memiliki prioritas lebih tinggi dalam penentuan tindakan dan keputusan.

c. Keseimbangan: Islam mendorong mencari keseimbangan antara menghormati tradisi


(urf) yang positif dan memastikan bahwa mereka tidak melanggar ketentuan-ketentuan
syariah.

Landasan hukum dalam fikih (hukum Islam) didasarkan pada dua sumber utama: Al-Quran dan
Hadis (tradisi dan perkataan Nabi Muhammad). Beberapa ayat Al-Quran dan hadis Nabi
Muhammad (SAW) yang menjadi dasar hukum kebolehan mengambil urf sebagai pertimbangan
dalam merumuskan hukum fikih adalah

Al-Quran:

Surah Al-Ahzab (33:21): "Sesungguhnya, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang
baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat,
dan banyak menyebut Allah."

Surah Al-Nahl (16:90): "Sesungguhnya Allah memerintahkan (manusia) berlaku adil, berbuat
baik, dan memberi kepada kaum kerabat; dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran,
dan permusuhan."

Hadis:

Hadis Riwayat Abu Hurairah: Nabi Muhammad (SAW) bersabda, "Barangsiapa yang
menghukumkan suatu perkara bagi kaum muslimin dengan keadilan, maka dia akan memperoleh
pahala dua kali lipat. Barangsiapa yang menghukumkan perkara bagi mereka dengan yang tidak
sesuai, maka dia akan mendapatkan dosa yang sama." (Hadis Riwayat Ahmad, Abu Dawud,
Tirmidzi)

Hadis Riwayat Aisyah: Nabi Muhammad (SAW) bersabda, "Kita adalah kaum yang tidak tahu
membaca atau menulis. Kami mengikuti apa yang turun dalam wahyu." (Hadis Riwayat
Bukhari).

Dalam konteks merumuskan hukum fikih, diterimanya adat atau urf sebagai bahan pertimbangan
harus memenuhi beberapa syarat agar sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Berikut adalah
beberapa syarat yang umumnya diperlukan:

Tidak Bertentangan dengan Syariah: Adat atau urf yang diambil sebagai pertimbangan dalam
merumuskan hukum fikih tidak boleh bertentangan dengan hukum syariah yang telah ditetapkan
dalam Al-Quran dan Hadis. Syariah memiliki prioritas tertinggi dalam menentukan keabsahan
dan kebolehan.

Mengandung Kemaslahatan (Maslahah): Adat atau urf tersebut harus mengandung maslahah atau
kemaslahatan umum. Merujuk kepada maslahah berarti bahwa adat tersebut harus memberikan
manfaat yang jelas dan positif bagi masyarakat dan individu. Hukum fikih umumnya
mempertimbangkan kemaslahatan dalam pengambilan keputusan.

Keadilan dan Kebaikan: Adat atau urf yang diambil sebagai pertimbangan harus mencerminkan
prinsip-prinsip keadilan dan kebaikan. Hukum fikih menekankan pentingnya keadilan dalam
hukum dan tindakan. Adat yang menghasilkan ketidakadilan atau tindakan yang tidak baik
biasanya tidak dapat diterima.

Tidak Bersifat Wajib atau Haram: Adat atau urf tidak dapat memaksa seseorang untuk
melakukan sesuatu yang wajib (fard) atau menghindari sesuatu yang haram (dilarang) menurut
syariah. Syariah memiliki ketentuan yang jelas tentang hal-hal yang wajib dan haram.
Konsistensi dengan Nilai-Nilai Islam: Adat atau urf harus konsisten dengan nilai-nilai, etika, dan
moral Islam. Ini termasuk menghormati hak-hak individu, kepatuhan kepada nilai-nilai agama,
dan etika yang baik.

Konteks Budaya dan Sosial: Adat atau urf harus sesuai dengan konteks budaya dan sosial
masyarakat tertentu. Hukum fikih sering kali mempertimbangkan adat dalam konteks tertentu
dan memungkinkan variasi hukum berdasarkan perbedaan budaya, asalkan memenuhi syarat-
syarat di atas.

Anda mungkin juga menyukai