Anda di halaman 1dari 34

JURNALISME SASTRAWI, SEBUAH PERKENALAN

Oleh Hary B Koriun


Jurnalisme Sastrawi

Tahun 2015, jurnalis asal Belarusia (kelahiran


Ukraina), Svetlana Aleixeivich, mendapat
penghargaan Nobel Sastra dari Akademi
Swedia. Sedikit menjadi perdebatan karena dia
bukan sastrawan --yang menulis karya sastra
(fiksi)-- melainkan seorang jurnalis dan penulis
non-fiksi.
Jurnalisme Sastrawi

"Selama 30 atau 40 tahun terakhir dia sudah


sibuk memetakan individu di Soviet dan
pasca-Soviet. Tapi bukan pada peristiwa
sejarah. Melainkan pada emosi sejarah. Yang
dia tawarkan kepada kita adalah sebuah
dunia emosional. Peristiwa sejarah ini yang
dia tuliskan di berbagai buku-bukunya --
misalnya bencana Chernobyl atau perang
Soviet di Afghanistan-- adalah, sebagai cara,
tulisan yang menjelajahi individu Soviet dan
individu pasca-Soviet. Dia melakukan ribuan
wawancara dengan anak-anak, perempuan
dan laki-laki, dan dengan cara ini dia
menawarkan kita sejarah manusia tentang
orang-orang yang tidak kita ketahui
sebelumnya."

--Akademi Swedia
Buku Penting Svetlana

War’s Unwomanly Face (1985)


Svetlana mewawancarai ratusan dari
jutaan perempuan Rusia yang
berpartisipasi dalam perang dunia
kedua dalam berbagai peran, termasuk
sebagai prajurit, penembak jitu, dokter
dan perawat.
Buku Penting Svetlana

Zinky Boys: The Record of a Lost Soviet Generation (1992)

Buku perang Soviet di Afghanistan mengambil judul dari nama


yang diberikan untuk mayat laki-laki muda yang dikirim pulang
dari konflik, karena mereka selalu ditempatkan dalam peti
mati seng.

"Para pria dan wanita yang mengungkapkan pikiran dan


pengalaman mereka di buku ini tidak perlu diperkenalkan -
mereka berbicara sendiri. Kebingungan dan kontradiksi yang
ditampilkan oleh beberapa dari mereka membuka wawasan
sebagaimana kejujuran dan pengalaman dari yang lainnya.
Ketika kita mendengarkan mereka, namun, kami perlu
mengingat berbagai askpek kehidupan Soviet yang tidak
paralel dengan Barat."

--Julia R Robin Whitby, penerjemah bahasa Inggris


Buku Penting Svetlana

Voices from Chernobyl: The Oral History of a Nuclear Disaster (2006)

Pada 26 April 1986, reaktor nomor empat di pembangkit listrik Chernobyl


meledak. Menghadapi bencana nuklir dalam skala belum pernah terjadi
sebelumnya, pemerintah Soviet berusaha menahan situasi dengan
mengirimkan ribuan orang tanpa perlengkapan memadai ke dalam
pusaran radioaktif.

Dalam buku ini, Svetlana mengeksplorasi biaya manusia yang ditanggung


dari bencana melalui suara lebih dari 500 saksi mata, termasuk petugas
pemadam kebakaran, anggota tim kebersihan, politisi, dokter, fisikawan,
dan warga negara biasa, lebih dari 10 tahun.
Mengapa Svetlana Meraih Nobel?

Svetlana dipilih Akademi Swedia sebagai


perain Nobel Sasta 2015 karena karya-karya
jurnalistiknya bergenre sastrawi --dia
menyebut genre sebagai novel kolektif, novel
oratorio, novel kesaksian, atau epic chorus--
dengan melakukan wawancara terhadap
ratusan sampai ribuan orang untuk satu
karyanya; penulisan mendalam, dan semuanya
tentang persoalan kemanusiaan yang kalah
oleh politik, perang, agama, dan sebagainya.
Apa Menariknya Jurnalisme Sastrawi?

Jurnalisme sastrawi adalah satu dari


setidaknya tiga nama buat genre
tertentu dalam jurnalisme yang
berkembang di Amerika Serikat di
mana reportase dikerjakan dengan
mendalam, penulisan dilakukan dengan
gaya sastrawi, sehingga hasilnya enak
dibaca. Tom Wolfe, wartawan-cum-
novelis, pada 1960-an memperkenalkan
genre ini dengan nama new journalism
(jurnalisme baru).
Jurnalisme Sastrawi

1973, Wolfe dan EW Johnson menerbitkan antologi


dengan judul The New Journalism. Beberapa
penulis narasi terbaik diajak, seperti Hunter S
Thompson, Joan Didion, Truman Capote, Jimmy
Breslin, dan Wolfe sendiri.

Genre ini berbeda dari reportase sehari-hari


karena dalam bertutur ia menggunakan adegan
demi adegan (scene by scene construction),
reportase yang menyeluruh (immersion
reporting), menggunakan sudut pandang orang
ketiga (third person point of view), dan sangat
detail.
Jurnalisme Sastrawi

Beberapa pemikir dan akademisi


jurnalisme mengembangkan temuan
Wolfe. Ada yang pakai nama narrative
reporting, passionate journalism, dan
Pulitzer Prize menyebutnya
explorative journalism.
Jurnalisme Sastrawi

Genre ini menulis dengan sangat mendalam. lebih


dalam daripada apa yang disebut sebagai in-depth
reporting. Ia bukan saja melaporkan seseorang
melakukan apa. Tapi ia masuk ke dalam psikologi
yang bersangkutan dan menerangkan mengapa ia
melakukan hal itu.

Ada karakter, drama, pembabakan, adegan, dan


yang paling penting adalah konflik --itu semua
syarat penulisan prosa fiksi, cerpen maupun novel.
Laporannya panjang dan utuh –tidak dipecah-
pecah ke dalam beberapa laporan.
Jurnalisme Sastrawi

Pedoman standar 5W 1H dalam


jurnalistik biasa menjadi pendekatan
baru yang naratif. Pada narasi, menurut
Clark dalam sebuah esei di Nieman
Reports, who berubah menjadi karakter,
what adalah plot atau alur, where
menjadi setting, when menjadi kronologi,
why menjadi motif, dan how menjadi
narasi.

--Roy Peter Clark, guru menulis dari


Poynter Institute, Florida.
Jurnalisme Sastrawi

Jurnalisme sastrawi adalah salah satu jawaban


media cetak terhadap serbuan televisi, radio, dan
internet. Hari ini praktis tak ada orang mendapatkan
breaking news dari surat kabar. Orang mengandalkan
media elektronik dan daring.

Surat kabar tak bisa bersaing cepat dengan media


elektronik dan daring. Namun media elektronik sulit
bersaing kedalaman dengan media cetak. Surat kabar
bisa berkembang bila ia menyajikan berita yang
dalam dan analitis. Genre ini makanya disajikan
panjang.
Jurnalisme Sastrawi

Majalah The New Yorker bahkan pernah


menerbitkan sebuah laporan hanya dalam satu edisi
majalah. Judulnya “Hiroshima” karya John Hersey
yang dimuat pada 31 Agustus 1946 tentang korban
bom atom Hiroshima.
7 Syarat Jurnalisme Sastrawi

Robert Vare, mantan


editor majalah The New
Yorker dan Rolling
Stones, mensyaratkan 7
hal untuk jurnalisme
sastrawi.
7 Syarat Jurnalisme Sastrawi

Pertama, Fakta

Jurnalisme menyucikan fakta. Walau pakai kata dasar


“sastra” tapi ia tetap jurnalisme. Setiap detail harus berupa
fakta. Nama-nama orang adalah nama sebenarnya. Tempat
juga nyata. Kejadian benar-benar kejadian. Merah disebut
merah. Hitam hitam. Biru biru.

Jurnalisme sastrawi bukan reportase yang ditulis dengan


kata-kata puitis. Narasi boleh puitis tapi tak semua prosa
yang puitis adalah narasi. Kalimat dalam jurnalistik harus
tegas dan jelas, tak bias, tak multitafsir.
7 Syarat Jurnalisme Sastrawi

Kebanyakan narasi bawaan Robert Vare malah tak


puitis. John Hersey menulis “Hiroshima” layaknya
laporan suratkabar. Verifikasi adalah esensi dari
jurnalisme. Maka apa yang disebut sebagai jurnalisme
sastrawi juga mendasarkan diri pada verifikasi.

Cerpen "Saksi Mata" dan cerpen lainnya dalam buku


Saksi Mata karya Seno Gumira Ajidarma, yang
meskipun penuh data dan fakta, bukanlah karya
jurnalisme sastrawi. Fiktif.
7 Syarat Jurnalisme Sastrawi

Seno menulis cerita soal pembunuhan orang-orang Timor


Leste oleh tentara-tentara Indonesia pada November 1991.
Ceritanya memukau. Tapi karya itu fiktif. Nama-nama
diganti. Tempat tak disebutkan jelas. Seno yang ketika itu
adalah editor/wartawan majalah Jakarta Jakarta membuat
cerita fiksi justru karena dia tak bisa menuliskan fakta.
Harap maklum, rezim Soeharto dan ABRI ketika itu
melarang media bercerita bebas soal pembantaian Santa
Cruz 1991. Seno kemudian membuat kredo: ketika
jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara.

Contoh lain, novel Luka Tanah penuh dengan fakta politik,


bencana alam tsunami Aceh, Gempa Gunung Kerinci,
konflik warga transmigrasi, dll. Tapi itu fiksi, karena
banyak karakter disamarkan, juga dunia khayal penulis.
7 Syarat Jurnalisme Sastrawi

Kedua, Konflik

Sebuah tulisan panjang lebih mudah dipertahankan


daya pikatnya bila ada konflik. Bila Anda berminat
menulis jurnalisme sastraw/narasi, sebaiknya pikir
berapa besar sengketa yang ada?

Sengketa bisa berupa pertikaian satu orang


dengan orang lain. Ia juga bisa berupa pertikaian
antarkelompok. Sengketa juga bisa pertentangan
seseorang dengan hati nuraninya. Sengketa juga
bisa pertentangan seseorang dengan nilai-nilai di
masyarakatnya. Soal interpretasi agama sering
jadi sengketa. Konflik unsur penting dalam narasi.
7 Syarat Jurnalisme Sastrawi

Dalam fiksi, seluruh cerita terkenal dibangun di


atas gugusan konflik. Bahkan lapis-lapis konflik.
Tanpa elemen konflik, orang tak akan membaca
Harry Potter, bahkan kisah Cinderella atau Putri
Tidur dan Tujuh Kurcaci.

Di Indonesia, juga di Riau, banyak konflik besar


yang luput dari liputan jurnalistik. Kalaupun ada,
dibuat sekilas, berita biasa, tak mendalam, tak
menyeluruh.
7 Syarat Jurnalisme Sastrawi

Ketiga, Karakter

Jurnalisme sastrawi meminta ada karakter-karakter.


Karakter membantu mengikat cerita. Ada karakter utama.
Ada karakter pembantu. Karakter utama seyogyanya orang
yang terlibat dalam pertikaian. Ia harus punya kepribadian
menarik. Tak datar dan tak menyerah dengan mudah.

Pada 15 November 1958, di kota kecil Holcomb, Kansas,


terjadi pembunuhan terhadap bapak, ibu, dan dua anak
keluarga Clutter. Ini keluarga petani. Mereka ditembak
dengan senapan laras pendek. Jaraknya, dekat dengan
wajah mereka.
7 Syarat Jurnalisme Sastrawi

Wartawan The New Yorker, Truman Capote,


mengikuti kasus ini selama enam tahun hingga
pemuda Richard Hickock dan Perry Smith
ditemukan polisi, diadili, dinyatakan bersalah,
dan dihukum gantung karena kasus tersebut.
Maka Capote pun menerbitkan serial In Cold
Blood di majalah The New Yorker. Dick dan
Perry adalah karakter dalam cerita Capote.
7 Syarat Jurnalisme Sastrawi

Keempat, Akses

Jurnalis seyogyanya punya akses kepada para karakter. Akses bisa


berupa wawancara, dokumen, korespondensi, foto, buku harian,
gambar, kawan, musuh, dan sebagainya.

Capote mengikuti kasus Dick dan Perry selama lima tahun, empat
bulan, dan 28 hari. Capote menyaksikan penangkapan mereka.
Pemeriksaan. Pengadilan. Hukuman. Capote juga menyaksikan ketika
Dick dan Perry dihukum gantung. Serial itu dibukukan dan difilmkan.
Capote punya akses yang luar biasa terhadap keduanya.
7 Syarat Jurnalisme Sastrawi

Kelima, Emosi

Ia bisa rasa cinta. Bisa pengkhianatan. Bisa


kebencian. Kesetiaan. Kekaguman. Sikap
menjilat dan sebagainya. Emosi menjadikan
cerita hidup. Emosi juga bisa bolak-balik.
Mulanya cinta lalu benci, lalu membunuh.
Mungkin ada pergulatan batin. Mungkin ada
perdebatan pemikiran.
7 Syarat Jurnalisme Sastrawi

Keenam, Perjalanan Waktu

Robert Vare mengibaratkan laporan suratkabar “biasa” dengan


sebuah potret. Snap shot. Klik. Klik. Klik. Laporan panjang
adalah sebuah film yang berputar. Video. Ranah waktu jadi
penting. Ini juga yang membedakan narasi dari feature. Narasi
macam video. Berita biasa seperti potret. Sekali jepret.

Vare menyebutnya series of time. Peristiwa berjalan bersama


waktu. Konsekuensinya, penyusunan struktur karangan. Mau
bersifat kronologis, dari awal hingga akhir. Atau mau membuat
flashback. Dari akhir mundur ke belakang? Atau kalau mau
bolak-balik bagaimana agar pembaca tak bingung?
7 Syarat Jurnalisme Sastrawi

Ketujuh, Kebaruan

Mungkin lebih mudah mengungkapkan kebaruan itu dari


kacamata orang biasa yang jadi saksi mata peristiwa
besar. John Hersey dalam Hiroshima mewawancarai dua
dokter, seorang pendeta, seorang sekretaris, seorang
penjahit, dan seorang pastor Jerman untuk
merekonstruksi pemboman Hiroshima.

Secara detail, Hersey menceritakan dahsyatnya bom itu.


Ada kulit terkelupas, ada desas-desus bom rahasia, ada
kematian menyeramkan, ada dendam, ada rendah diri.
Semua campur aduk ketika Hersey merekamnya dan
menjadikannya salah satu cerita termasyhur dalam
sejarah jurnalisme Amerika.
7 Syarat Jurnalisme Sastrawi

Pada Maret 1999, Universitas New York menunjuk 37 ahli


sejarah, wartawan, penulis, dan akademisi untuk memilih
100 karya jurnalistik terbaik di Amerika Serikat pada abad
ke-20. Hasilnya, Hiroshima menduduki tempat nomor
satu.

Nomor dua adalah The Spring (1962) karya Rachel


Carson, dan yang ketiga adalah karya investigatif Bob
Woodward dan Carls Berntein soal Watergate di The
Washington Post (1972-1973) yang kemudian dibukukan
menjado All the President’s Men. Ketiga karya itu
mengalahkan jutaan karya lain yang diikutkan dalam
penilaian.
Contoh Karya Jurnalisme Sastrawi

Beberapa karya penting jurnalisme sartrawi selain


yang penting dibaca dan dipelajari antara lain
Kisah-Kisah Penculikan (News of a Kidnaping)
karya sastrawan peraih Nobel Sastra asal
Kolombia, Garbriel Garcia Marquez. Karya ini
menulis tentang penculikan yang dilakukan kartel
obat bius pimpinan Pablo Escobar yang menjadi
momok bagi masyarakat. Banyak politikus atau
jurnalis pemberani yang diculik, disandra, bahkan
dibunuh, atau dikirimi bom ke rumah atau kantar
mereka.
Contoh Karya Jurnalisme Sastrawi

Di Indonesia, kumpulan tulisan jurnalisme


sastrawi berjudul Jurnalisme Sastrawi
yang dieditori Andreas Harsono dan Budi
Setiyono juga penting. Karya-karya itu
merupakan yang terbaik dari liputan
jurnalisme sastrawi yang pernah
diterbitkan oleh majalah Pantau.
Contoh Karya Jurnalisme Sastrawi

Hikayat Kebo, karya prosais sastra Linda


Christany, merupakan salah satu contoh
kumpulan karya jurnalisme sastrawi yang
menarik dan penting. Ada 17 liputan genre
sastrawi yang ditulis Linda dalam buku
tersebut. Sebagai gambaran, buku Hikayat
Kebo ini telah terjual ribuan eksemplar.
Sebuah bukti bahwa karya jurnalisme
sastrawi layak jual.
Contoh Karya Jurnalisme Sastrawi

Bagi yang suka menulis biografi tokoh


dengan pendekatan jurnalisme sastrawi,
buku Tatang Teh Tong Tji karya sastrawan
yang juga wartawan, Triyanto Triwikromo,
juga menarik dan penting untuk dibaca dan
dipelajari. Triyanto menulis biografi pemilik
merek teh Tong Tji itu dengan pendekatan
yang berbeda dengan para penulis biografi
lainnya yang konvensional.
Jurnalisme Sastrawi

Karya genre jurnalisme sastrawi bisa menjadi


alternatif bagi para jurnalis/wartawan yang ingin
membuat liputan mendalam, yang selain bisa
menjadi konsumsi media, juga bisa diterbitkan
dalam bentuk buku. Artinya, seorang jurnalis yang
tidak bekerja di sebuah media atau sudah pension
dari media, tetap bisa menjalankan pekerjaan
tersebut dan mempublikasikannya lewat buku.
Jurnalisme Sastrawi

Banyak media, terutama mingguan (majalah atau tabloid)


yang mewajibkan seluruh wartawannya membaca karya
sastra (fiksi), baik cerpen atau novel. Sebab, dengan
membaca fiksi sastra tersebut, akan berpengaruh pada
pola berpikir dan kemudian dalam menulis laporan atau
artikel. Salah satunya adalah majalah Tempo. Hingga saat
ini hampir semua wartawan Tempo memahami fiksi
sastra dengan baik. Cara ini akan mengajarkan
"kelenturan" wartawan dalam menulis, termasuk dalam
pembelajaran menuju pemahaman jurnalisme sastrawi
dalam praktik.
Jurnalisme Sastrawi

SELAMAT
MENCOBA

Anda mungkin juga menyukai