Anda di halaman 1dari 7

ILMU KOMUNIKASI Jurnalistik

PERTEMUAN 4

MODUL Jurnalisme Sastrawi Dosen: Kencana Ariestyani S, S.Sos, M.Si


POKOK BAHASAN: Pelaporan Jurnalisme Sastrawi; Tujuh pertimbangan dalam jurnalisme sastrawi DESKRIPSI: Penjelasan singkat mengenai pelaporan jurnalisme sastrawi dan tujuh pertimbangan dalam penulisan laporan jurnalisme sastrawi TUJUAN INSTRUKSIONAL:: Diharapkan mahasiswa memahami pengertian jurnalisme sastrawi dan dapat membedakan antara fakta dan fiksi dalam jurnalisme sastrawi dengan menerapkan disiplin verifikasi.
1. Bill Kovach & Tom Rosenstiel, Elemen-elemen Jurnalisme Apa yang Seharusnya Diketahui Wartawan dan yang Diharapkan Publik , Penerbit ISAI, Jakarta, 2003 2. Septiawan Santana Kurnia, Jurnalisme Sastra , PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003 3. Andreas Harsono dan Budi Setiyono, Jurnalisme Sastrawi Antologi Liputan Mendalam dan Memikat, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2008 4. Septiawan Santana Kurnia, Kegusaran Tom Wolfe: Jurnalisme kesastraan mengusung fakta dengan memikat, tanpa fiksi setitik pun , PANTAU, Jakarta, 2001 5. Steve A. Holmes, Reporting is the Key to Good Journalism

Jurnalisme Sastrawi

6. Isabel Wilkerson, Interviewing Sources The Center of the Onion is What You Want

1.

PELAPORAN JURNALISME SASTRAWI

Setiap reporter bersaing dengan reporter Koran atau kantor (wire services) lain untuk menjadi orang pertama yang meliput suatu kasus atau kisah dan segera menuliskannya. Persaingan ketat dalam memburu berita newspeg atau berita yang kuat untuk ditampilkan di halaman pertama, di sisi lain justru memunculkan gaya reportase unik yang dikenal sebagai gaya pelaporan penulis feature. Feature adalah kategori lain penulisan Koran yang saat itu mengedepankan model pemberitaan hard news . Ia ditempatkan di bagian berita ringan dan dimasukkan dalam daftar item berita yang tak diburu-buru. Kisah yang diangkat bertema kemanusiaan, panjang, cukup lengkap, dan kerap menyembunyikan pengalaman sentimental orang-orang biasa yang terlibat dalam suatu tragedi atau peristiwa luar biasa. Eksplorasi pengisahannya menimbulkan kebutuhan untuk membuat aturan kerja penulisan yang lain dari biasanya. Menurut Charnley (1970), seperti yang dituliskan Septiawan Santana Kurnia, kisah-kisah feature sangat ketat dalam menyeleksi materi-materinya. Berbagai elemen berita benar-benar dipertimbangkan. Aktualitas waktu menjadi bagian dari penulisan, tapi tidak menjadi elemen utama seperti yang diberlakukan dalam persyaratan berita. Selain dimulai dengan feature, dalam bukunya The New Journalism, Wolfe menyebut jurnalisme sastrawi seperti novel. Novel memang mempengaruhi

Jurnalisme Sastrawi

pemunculan jurnalisme baru (sastrawi). Tapi pengaruh itu bukan sekedar penjiplakan semata. Jurnalisme sastrawi, secara konsep dan dalam banyak segi, memang membawa kebaruan. Kebaruan itu, dalam pandangan Nelson, diawali dengan pencampuran fakta dan fiksi. Pembaca dibuat merasa membaca kisah fiksi yang berbumbu fakta. Hal itu karena sajian peliputannya kadang-kadang menampilkan karakter tokoh-tokoh yang riil. Bahkan, dalam contoh yang paling ekstrem, pembaca tidak tahu lagi yang mana fiksi dan yang mana fakta. Pada diri tokoh yang diberitakan, penulis jurnalisme sastrawi dengan sengaja mengkompilasikan banyak karakter yang ia temukan saat meliput sehingga laporan mereka terasa dramatis dan diceritakan dalam tempo penceritaan yang cepat.

2.

TUJUH PERTIMBANGAN DALAM JURNALISME SASTRAWI

Reportase adalah bagian yang melekat dalam jurnalisme ini. Data-data diperoleh dari lapangan dengan tangguh. Menembus sumber dengan gigih. Pagi hingga malam. Riset dan wawancara yang membutuhkan waktu panjang. Bahasanya tidak harus mendayu-dayu, tapi bisa lugas. Dari segi struktur karangan, genre ini bentuknya seperti gelombang sinus. Naik turun. Namun, cantik dan memikat. Rasanya pembaca tidak bisa melepaskan karangan itu sebelum tuntas membaca. Setidaknya ada tujuh pertimbangan bila seseorang hendak membuat laporan dengan gaya jurnalisme sastrawi (Andreas Harsono, 2000).

Jurnalisme Sastrawi

1. FAKTA Jurnalisme selalu mensakralkan fakta. Walaupun genre ini memakai kata sastra tapi ia tetap jurnalisme. Setiap detail adalah kenyataan. Namanama orang adalah nama sebenarnya. Tempat juga memang nyata. Kejadian benar-benar kejadian. Apabila ada dua orang bertemu dan mengadakan pembicaraan. Seorang wartawan seyogyanya mengecek kepada keduanya apakah benar si A mengatakan ini dan si B mengatakan itu.

2. KONFLIK Sebuah tulisan panjang lebih mudah dipertahankan daya pikatnya bila ada konflik. Bila Anda berminat membuat laporan panjang, Anda seyogyanya berpikir berapa besar konflik atau pertikaian yang ada? Konflik bisa berupa pertikaian satu orang dengan orang lain. Konflik juga bisa berupa pertikaian antar kelompok. Konflik juga bisa berupa pertentangan seseorang dengan hati nuraninya. Konflik juga bisa berupa pertentangan seseorang dengan nilai-nilai di masyarakatnya. Singkatnya, pertikaian adalah unsur penting dalam suatu laporan panjang.

3. KARAKTER Penulisan laporan gaya jurnalisme sastrawi mensyaratkan adanya karakter-karakter karena karakter membantu terikatnya suatu laporan. Dalam laporan dengan genre ini, ada karakter utama dan karakter pembantu. Andreas Harsono menuliskan, karakter utama seyogyanya orang yang terlibat dalam

Jurnalisme Sastrawi

pertikaian, memiliki kepribadian yang menarik, tidak datar dan tidak mudah menyerah. Biasanya, orang yang mudah menyerah juga tidak mau dituliskan riwayatnya.

4. AKSES Untuk menuliskan laporan dengan genre jurnalisme sastrawi, reporter seyogyanya punya akses kepada karakter utama atau orang-orang yang mengenal karakter utama. Akses tersebut bisa berupa dokumen, korespondensi, album foto, buku harian, wawancara dan sebagainya.

5. EMOSI Pelaporan gaya jurnalisme sastrawi membutuhkan emosi dari karakterkarakternya. Emosi ini bisa berupa cinta, pengkhianatan, kebencian, loyalitas, kekaguman, sikap menjilat, oportunisme dan lain-lain. Emosi menjadikan cerita (laporan) seakan-akan hidup. Pembawa dibawa ke situasi di mana drama sedang terjadi. Emosi karakter juga bisa berubah-ubah bersama perjalanan waktu. Misalnya, pada awalnya si karakter menghormati mentornya. Suatu kejadian besar menguji apakah ia perlu tetap menghormati mentornya atau tidak. Di sini mungkin ada pergulatan batin, intelektual. Ini seyogyanya memberikan ruang buat emosi.

Jurnalisme Sastrawi

6. PERJALANAN WAKTU Mungkin perbedaan antara jurnalisme sastrawi dengan jurnalisme sehari-hari adalah keterkaitannya dengan waktu. Ibaratnya, laporan surat kabar hari ini seperti potret (snap shot) sedangkan laporan panjang adalah sebuah film yang berputar, video. Robert Vare, mantan editor The New Yorker, menyebutnya series of

time. Peristiwa berjalan bersama waktu. Hal ini memiliki konsekuensi


penyusunan kerangka karangan, bersifat kronologis (dari awal hingga akhir) atau mau membuat flashback . Panjangnya waktu bergantung kebutuhan.

7. KEBARUAN Unsur kebaruan harus dipertimbangkan ketika hendak membuat laporan panjang. Misalnya, kalau mau menulis cerita panjang soal pembunuhan G30S atau kerusuhan Mei 1998, sebaiknya berpikirlah dua atau tiga kali sebelum menuliskannya. Cukup banyak fakta yans sudah diungkap oleh orang lain mengenai dua peristiwa tersebut. Namun, bukan berarti tidak ada lagi fakta yang masih tersembunyi atau belum terungkap. Karena itu, bersiaplah mencari fakta-fakta baru, menembus sumber-sumber yang paling sulit yang belum ditembus orang lain. Jurnalisme memang terkait dengan unsur kebaruan. Entah ada pemain baru, dokumen yang baru dibuka atau perkembangan baru lainnya.

Jurnalisme Sastrawi

Mungkin lebih mudah mengungkapkan kebaruan itu dari kacamata orang-orang biasa yang menjadi saksi mata peristiwa besar. Misalnya, Hersey mewawancarai seorang dokter, seorang pendeta, seorang sekretaris, dan seorang pastor jerman, untuk merekonstruksi pemboman Hiroshima. Hersey menceritakan dahsyatnya bom tersebut. Ia mendeskripsikan ada kulit terkelupas, ada desas-desus soal bom rahasia, ada kematian yang menyeramkan, ada perasaan dendam, ada perasaan rendah diri.

Jurnalisme Sastrawi

Anda mungkin juga menyukai