Anda di halaman 1dari 4

NORMA-NORMA JURNALISTIK SASTRA

Jurnalisme sastra telah tumbuh berkembang dan jutaan pembaca mencarinya, tulis Mark
Kramer dalam Literacy Journalisme : A New Collection of The Best American Non Fiction
(1995:23-24).
Dikutip Kurnia, Kramer menyusun delapan poin semacam aturan atau norma-norma yang
harus dilakukan jurnalis sastra ketika menyiapkan tulisannya (Kurnia, 2004:121).

Dengan merujuk kepada pernyataan Kramer dan pendapat Kurnia, berikut penjelasan dan
tafsir atas kedelapan norma jurnalistik sastra tersebut.
1. Riset Mendalam dan Melibatkan Diri dengan Subjek
Jurnalis sastra sebaiknya memerlukan waktu lama, hanya untuk melakukan riset atas subjek yang akan
ditulisnya. sering nya bekerja sendiri, akrab dengan dunia yang sunyi. Dalam kesendirian itu, terus mengenali
dan memburu subjek. Harus yakin, subjek yang akan di tulis sudah dikenalinya luar-dalam.

2. Jujur Kepada Pembicara dan Sumber Berita


Seorang jurnalis sastra, bahkan seorang jurnalis konvensional sekalipun harus jujur kepada diri sendiri, profesi, media
ia tempat bekerja, sumber berita, naras umber, dan kepada pembaca, pendengar atau pemirsa. Etika dasar jurnalistik
mengajarkan, seorang jurnalis, wartawan atau reporter sejak dini harus bias mebedakan dan tidak membaurkan antar fakta
dan opini , tidak merekayasa fakta peristiwa, dan senantiasa melaporkan semua yang dilihatdan dingernya dengan benar,
jujur, faktual, objektif.

3. Fokus Kepada Peristiwa-peristiwa Rutin


Seorang jurnalis sastra tidak akan memaksakan dir untuk menyelam di dasr laut dengan mata telanjang, artinya ia tidak
akan melakukan sesuatu yang tidak mungkin dikerjakan, atas dalihh apapun, termasuk dalih liputan jurnalistik, ia memnag
harus kreatif dan kaya iinisiatif. Tapidua hal itu, tidak lalu mebuat dirinya gelap mata meliput sesuatu yayng tidak
mungkin.

4. Menyajikan Tulisan yang Akrab-Informasi-Manusiawi


Pada jurnalistik sastra, yang diperlukan tidak hanya kemampuan melaporkan fakta. Itu kemampuan dasar yang harus
dimiliki olleh siapapun jurnalis konvensional.Pada jurnalistik sastra, justru diperlukan kemampuan yang lebih tinggi
menulis akrab, informal, dan manusiawi. Akrab berarti dekat atau tidak menjaga jarak dengan pembaca, pendengar, atau
pemirsa, informal, berarti disajikan dalam gaya yang jauh dari kesan resmi, tidak kaku luwes, lentur, pekat dengan nuansa
5. Gaya Penulisan yang Sederhana dan Memikat
Dalam hal Bahasa, jurnalis sastra menggunakan Bahasa yang efisien, individual, informal, sederhana, penuh gaya,
terkontrol, dan elegan. Bahasa jurnalisme sastra mengunggah, lincah, dan dipertajam dengan kata kerja aktif.

6. Sudut Pandang yang Langsung Menyapa Pembaca


Pembaca, pendengar, atau pemirsa, bukanlah patung yang tak bernyawa. Ia manusia, mahluk mulia. Karena itu, ia ingin
siapa, dihargai, dihormati, diperlakukan sebagaimana layaknya manusia. Ia tidak boleh dibiarkan sendiri, menyepi, atau
apalagi seolah olah terisolasi. Ia harus diajak, didorong, dikondisikan untuk terlibat dan masuk dalam realitas subjek
peristiwa yang kita tulis. Semua ini bias tercapai apabila kita sebagai jurnalis sastra, menggunakan sudut pandang
penulisan yang langsung menyapa pembaca, pendengar, atau pemirsa.

7. Menggabungkan Naratif Premier dan Naratif Simpangan

jurnalistik sastra mengembangkan apa yang disebut bnaratif premiere dan naratif simpangan. Naratif berarti kisah atau
pengisahan, premier berarti utama dan simapangan berarti digression : melantur, menyimpang dari pokok pembicaraan
(Echols dan hassan shadity, 1990:182). Apamaknanya ? Dalam konsep jurnalistik sastra, penyimpangan berarti menunjuk
kepada kisah pendukung. Sesuatu yang bersifat melengkapi sekaligus memperkaya kisah utama.

8. Menanggapi Reaksi-reaksi Sekuensial Pembaca

seorang jurnalis sastra dituntut lebih piawai dalam berkisah, ia juga harus meguasai psikologi pesan sekaligus psikologi
khalayak (pembaca,pendengar,pemirsa). Ia mengetahui dengan baiik serta bias mengikuti irama detak jantungnya dari
detik ke detik, menit ke menit, dalam situasi yang nyaman

Anda mungkin juga menyukai