Anda di halaman 1dari 7

Sebuah Cerpen:

TERORIS
Oleh Satrio Arismunandar

Ruang konferensi pers, di gedung grup perusahaan Karya Dewata, siang itu penuh
dengan jurnalis dari dalam dan luar negeri. Sejumlah jurnalis televise tampak sibuk dengan
kamera mereka yang besar. Mereka terlihat sangat antusias. Bisa dimaklumi, karena Ratih
Dewanti, Direktur Utama PT. Karya Dewata, yang membawahi sejumlah pasar swalayan dan
pusat perbelanjaan besar, akan memberi keterangan pers tentang aksi teror terhadap
perusahaannya.

Empat hari sebelumnya, sebuah bom meledak di salah satu pusat perbelanjaan besar
milik Ratih, sehingga menewaskan dua karyawan dan tiga pengunjung, serta melukai dua belas
orang lainnya. Ledakan itu, menurut penyelidikan polisi, diduga kuat adalah bom bunuh diri.

Dari keterangan para saksi mata, tersangka pelakunyaadalah Ahmad Mahdi, mantan
karyawan PT. Karya Dewata. Diduga, Mahdi mendendam karena beberapa bulan yang lalu,
perusahaan tidak memperpanjang masa kontrak kerjanya. Alasan perusahaan waktu itu, Mahdi
dianggap tidak berprestasi.

“Saudara-saudara sekalian! Mohon tenang, karena Ibu Ratih Dewanti telah hadir dan
acara akan kita mulai, seru seorang staf Humas perusahaan, yang menjadi pembawa acara. Para
jurnalis pun segera duduk di jajaran kursi yang telah disediakan.

Ratih memasuki ruang dan langsung duduk di podium depan, di samping pembawa acara.
Wajahnya letih dan muram, kontras dengan perawakan tubuhnya yang agak gemuk dan sehat, di
usianya yang sudah hampir 50 tahun. Rambut Ratih bermodel potongan pendek. Tampaknya ia
termasuk orang tak suka berlama-lama di depan meja rias.
1
Ratih memandang ke seputar ruangan sambil tersenyum tipis kepada para jurnalis. Ia
diam sejenak, menunggu redanya kilatan-kilatan cahaya lampu blitz dari jepretan kamera para
jurnalis. Sesudah pengantar singkat dari stafnya, Ratih menyampaikan terimakasih atas
kehadiran para wakil media massa.

“Pertama, atas nama pribadi dan selaku pimpinan PT. Karya Dewata, saya
menyampaikan rasa bela sungkawa yang sebesar-besarnya, atas jatuhnya korban jiwa dan
korban yang luka-luka, dalam serangan bom yang lalu. Kepada keluarga para korban, saya juga
berdoa, semoga mereka diberi ketabahan dan kesabaran menghadapi musibah ini, ujarnya,
dengan suara tersendat.

Saya juga telah menginstruksikan kepada staf saya, untuk mengganti seluruh biaya
pengobatan para korban yang luka-luka dan dirawat di rumah sakit. Kepada keluarga korban
yang tewas, kami juga akan memberi santunan ala kadarnya. Kami tahu, santunan ini tidak bisa
menggantikan anggota keluarga mereka yang meninggal, tetapi itulah yang bisa kami lakukan,
lanjutnya.

Ratih lalu menuturkan kerusakan bangunan akibat ledakan bom dan nilai kerugiannya.
Juga, tentang rencananya untuk menutup sementara pusat perbelanjaan yang dibom tersebut,
sampai semua kerusakan diperbaiki dan ketenangan kerja pulih kembali. “Mungkin ada
pertanyaan dari rekan-rekan wartawan? Mohon menyebutkan nama dan dari media mana.

Seorang gadis bertubuh tinggi dan berjaket Benetton merah, berdiri. Saya Retno
Kedathon dari Trans TV. Tersangka pengebom, Ahmad Mahdi, diduga mendendam karena
merasa diperlakukan tak adil, dan kontraknya tak diperpanjang. Bagaimana sebenarnya perilaku
Mahdi, semasa masih bekerja di perusahaan Anda? tanya gadis itu.

Karyawan di perusahaan kami berjumlah ratusan. Tentu saya tak bisa mengenal mereka
satu-persatu secara pribadi. Namun, menurut laporan staf kami, kinerja Mahdi memang lamban,
sehingga kontraknya tak diperpanjang. Kami memperlakukan Mahdi dengan adil, dan tak
mengurangi haknya sedikit pun. Tapi dia memang tidak berprestasi. Apa boleh buat. Kami tak
bisa mempertahankannya.

2
Ade Pepe dari Harian Warta Kota, seorang jurnalis kurus mengangkat tangan. Di
rumah kontrakan Mahdi, polisi menemukan buku-buku berisi ajaran radikal dan buku
berideologi kiri. Bahkan ditemukan sejumlah print-out dari Internet, tentang cara-cara merakit
bom. Apakah selama bekerja di perusahaan Ibu, Mahdi telah menganut atau menyebarkan
pandangan-pandangan radikal?

Hal itu pun, kami tak tahu. Sejauh laporan yang saya terima, Mahdi dikenal pendiam
dan tidak banyak bicara. Namun, sebagai bujangan, ia tidak banyak bergaul dengan rekan-rekan
kerjanya. Mungkin saja, ia telah menganut pandangan-pandangan radikal, namun persisnya kami
tak tahu.

Maaf, Bu Ratih, kali ini seorang gadis lain menyela. Berkacamata minus dan
mengenakan jaket denim lusuh, ia tampak galak. Saya Yunizar Junaid dari Majalah Gatra.
Beberapa minggu sebelum terjadi pengeboman, Ibu tercatat beberapa kali membuat pernyataan
di media massa, yang memuji dan mendukung pemerintah Amerika dalam perang melawan teror.
Grup perusahaan Ibu kabarnya juga menjalin kerjasama erat dengan perusahaan-perusahaan
Amerika. Apakah tidak mungkin, pengeboman ini berlatarbelakang sikap Ibu, yang oleh
sebagian kalangan dianggap sangat pro-Amerika tersebut?

Ratih manggut-manggut. Tampaknya ia tidak terkejut dengan pertanyaan itu. Terus


terang, saya memang mendukung penuh kebijakan perang melawan teror. Tetapi bukan karena
saya pro-Amerika. Lebih tepat jika disebut pro-kemanusiaan. Saya pikir, seluruh manusia
yang masih waras akan mendukung perang melawan teror. Kebetulan saja, Amerika
mempelopori kebijakan tersebut. Tentang bisnis dengan perusahaan Amerika, saya pikir tidak
ada yang salah dengan itu. Bukankah pemerintah kita juga menerima utang dari Amerika?

***

Empat hari sebelum acara konferensi pers itu, dua pria bercakap-cakap pelan, di dalam
sebuah mobil Kijang berwarna lusuh, yang diparkir di tempat yang tidak mencolok. Pria yang
satu berumur 25 tahunan, dengan warna kulit pucat. Berwajah klimis dengan jenggot tipis, pria
itu tampak gelisah. Pria yang satu lagi berumur 40 tahunan, berkulit kehitaman dan berkumis

3
agak kasar. Pria ini dengan tenang mengisap rokoknya dalam-dalam. Kontras dengan rekannya,
ia kelihatan amat tenang.

Ayolah, Mahdi! kata pria yang lebih tua. Semua yang akan kita lakukan ini sudah kita
bicarakan panjang-lebar, jauh-jauh hari sebelumnya. Kenapa justru sekarang kamu jadi ragu-
ragu?

Mahdi menggeleng-gelengkan kepala. Saya tidak ragu, Bang Rizal. Cuma…

”Cuma apa? Kita tahu, grup perusahaan Karya Dewata itu telah membuat kerusakan di
mana-mana. Pabriknya mencemarkan lingkungan di sana-sini. Keuntungannya besar, tetapi
karyawannya digaji kecil, bahkan bisa dibilang ditindas. Kamu sendiri diberhentikan begitu
saja dari perusahaan, bukan? Pemiliknya, Ratih, juga sangat pro-Amerika. Lihat saja ucapan-
ucapannya! Dia tak mau tahu atas penderitaan rakyat di Palestina, Irak, dan Afganistan karena
tindakan Amerika. Ratih dan perusahaannya adalah kepanjangan tangan Amerika dan Zionis di
negeri kita. Dia sangat berbahaya! Rizal memberi penekanan pada tiap kata-katanya.

“Saya tahu, semua yang dikatakan Bang Rizal itu benar. Saya hanya belum yakin, paket
berisi mercon besar ini bisa efektif, untuk menakut-nakuti Ratih agar mengubah kebijakan di
grup perusahaannya. Mahdi menatap Rizal, seperti minta kepastian.

“Aku yakin itu efektif. Sesuai rencana, kamu sekarang tinggal masuk ke pusat
perbelanjaan itu dengan paket yang sudah kusiapkan. Kutunggu kamu di sini. Setelah
kamu kembali, kita bersama-sama pergi dan menelepon ke pusat perbelanjaan itu. Kita katakan,
ada bom di sana. Jika grup perusahaan Ratih tidak mengubah kebijakannya, kita mengancam
akan serius mengebom cabang-cabang perusahaannya yang lain. Mudah, kan? Cara ini aman
buat kita, juga tak akan ada orang yang terluka. Bagaimana?

Mahdi tercenung agak lama. Akhirnya, pelan-pelan kepercayaan dirinya bangkit.


Baiklah, Bang. Saya siap sekarang, ujarnya, lebih mantap.

Rizal tersenyum, menenangkan. Nah, itulah yang kuharapkan. Jangan bimbang, Mahdi.
Semua yang kita lakukan ini adalah untuk kepentingan dan kebaikan semua orang. Saat ini, cuma
itulah sumbangan yang bisa kita berikan.
4
Rizal memberikan paket, yang sudah dibungkus rapi seperti kado, kepada Mahdi. Mahdi
menerimanya, dan kemudian melangkah ke pusat perbelanjaan. Tunggu saya, Bang Rizal!
ucapnya.

Jangan khawatir. Pasti kutunggu.

Rizal menunggu sampai Mahdi menghilang dari pandangan. Dari kejauhan, terlihat
Mahdi masuk ke pusat perbelanjaan tersebut. Tanpa ekspresi, Rizal mengeluarkan telepon
genggam dari sakunya. Ia menekan nomor-nomor tertentu, dan sesaat kemudian terdengar
ledakan dahsyat dari dalam pusat perbelanjaan itu.

Bumi terasa bergetar. Asap tebal terlihat mengepul ke luar, dan terjadi kebakaran kecil.
Suara jeritan-jeritan panik sayup-sayup terdengar dari kejauhan. Paket itu tampaknya bukan
mercon biasa, seperti yang diduga Mahdi. Paket itu jelas adalah bom berkekuatan cukup besar,
yang diledakkan dari jauh lewat sinyal elektromagnetik dari telepon genggam tadi.

Rizal sejenak menatap suasana panik di pusat perbelanjaan itu, sebelum menghidupkan
mesin mobilnya, berbalik arah, dan tanpa tergesa-gesa meninggalkan tempat itu.

***

Konferensi pers di kantor PT. Karya Dewata telah usai. Ratih berbasa-basi sejenak
dengan sejumlah jurnalis, sebelum mereka pergi. Ratih sempat memberi beberapa instruksi
kepada staf perusahaan, lalu masuk ke mobilnya. Ia perintahkan sopirnya untuk menuju ke
sebuah hotel berbintang. Ini hari yang melelahkan, dan ia ingin makan siang sendirian.

Mobil masuk ke hotel. Ratih menyuruh sopirnya menunggu dan beristirahat. Ia baru saja
melangkah menuju lobi hotel, ketika telepon genggamnya berdering pelan. Ratih mengangkat
teleponnya. Hallo, apakah cuaca di Jakarta sedang mendung? terdengar suara pria di saluran
telepon itu.

Sialan! Ratih mengutuk dalam hati. Kenapa setan satu ini menelepon di saat-saat begini?
Cuaca di Jakarta cerah, sahutnya. Ini kode di antara mereka, untuk mengatakan bahwa suasana
cukup aman untuk berkomunikasi secara bebas.

5
Sialan kau, Firman! Kan sudah kubilang, jangan hubungi aku dulu! Nanti pada saatnya,
aku yang akan menghubungimu, maki Ratih.

”Tenang, Bu Ratih. Saya hanya sekadar mengecek perkembangan. Saya sekarang di


tempat yang aman. Bu Ratih tak bisa membayangkan, bagaimana lelahnya saya
berperan sekian lama sebagai Rizal. Membujuk Mahdi, agar mau membawa paket bom itu, juga
butuh teknik tersendiri. Soalnya, dia labil dan emosinya naik-turun. Tetapi, semua berakhir
seperti yang direncanakan. Mahdi sudah tewas. Tak ada saksi yang bisa menghubungkan bom itu
dengan saya, apalagi dengan Anda.

Ratih mendengus. Huh, aku sudah tahu itu.

Ide Bu Ratih, untuk menaruh buku-buku gerakan militan dan print-out teknik merakit
bom di rumah kontrakan Mahdi, benar-benar brilian! Bu Ratih bahkan berhasil menggalang
kondisi, dengan sengaja melontarkan pernyataan-pernyataan pro-Amerika di media massa
beberapa waktu lalu. Sementara ini, hal itu cukup memadai untuk menjelaskan motif dan cara
tindakan bom bunuh diri Mahdi. Pemberitaan media massa pun tampaknya menelan mentah-
mentah umpan kita.

Tutup mulutmu! Kau kubayar bukan untuk membuat analisis, tapi sekadar melakukan
tugas yang kuberikan.

Saya mengerti, Bu, terdengar suara Firman tertawa. Nadanya sabar. Omong-omong,
kapan bisa saya terima transfer uangnya? Saya berharap, tidak perlu menunggu sampai Bu Ratih
menerima bayaran klaim asuransi, atas ledakan bom di pasar swalayan tersebut. Saya tahu,
untuk klaim asuransi yang begitu besar, tentu prosesnya tidak bisa cepat.

Aku tak mau terlihat mencolok saat ini. Minggu depan akan kau terima bagianmu!

Terimakasih, Bu. Oh, ya. Apakah ada garapan lagi, yang bisa saya lakukan dalam waktu
dekat ini?

Brengsek! Tidak sekarang. Ini masih terlalu cepat. Kau akan kukontak lagi nanti.

6
Baik, Bu. Selamat siang! Hubungan telepon pun diputus.

Ratih tercenung sesaat. Ia memasukkan telepon genggamnya ke saku, lalu dengan


perlahan meneruskan langkahnya ke kafe hotel. Ia merasa tak perlu terburu-buru. Masih cukup
waktu untuk menikmati makan siang. ***

Depok, Maret 2004

Catatan:

Cerpen ini saya tulis tahun 2003, lalu dikirim ke Harian Kompas. Tapi lalu dikembalikan. Cerpen
lalu direvisi dan dikirim ke Lomba cerpen Majalah Femina tahun 2004, tapi juga tidak menang.
Akkhirnya Cuma disimpan di blog dan di-share di sini.

Memang cerita ini cuma fiksi. Namun, pola teroris yang diceritakan di sini bukan tak mungkin
bisa terjadi di dunia nyata. Meminjam momen bom Bali II, cerpen ini saya share di milis.
Semoga ada gunanya dan memberi perspektif yang berbeda...

Biodata Penulis:

* Satrio Arismunandar adalah anggota-pendiri Aliansi Jurnalis Independen atau AJI (1994), Sekjen AJI
(1995-97), anggota-pendiri Yayasan Jurnalis Independen (2000), dan menjadi DPP Serikat Buruh
Sejahtera Indonesia (SBSI) 1993-95. Pernah menjadi jurnalis Harian Pelita (1986-88), Kompas (1988-
1995), Majalah D&R (1997-2000), Harian Media Indonesia (2000-Maret 2001), Produser Eksekutif
Divisi News Trans TV (Februari 2002-Juli 2012), dan Redaktur Senior Majalah Aktual – www.aktual.co
(sejak Juli 2013). Alumnus Program S2 Pengkajian Ketahanan Nasional UI ini sempat jadi pengurus
pusat AIPI (Asosiasi Ilmu Politik Indonesia) 2002-2011.

Kontak Satrio Arismunandar:


E-mail: satrioarismunandar@yahoo.com; arismunandar.satrio@gmail.com
Blog pribadi: http://satrioarismunandar6.blogspot.com
Mobile: 081286299061

Anda mungkin juga menyukai